Laporan Praktikum TEKLAB. Shift 1 Kel. 1

download Laporan Praktikum TEKLAB. Shift 1 Kel. 1

If you can't read please download the document

Transcript of Laporan Praktikum TEKLAB. Shift 1 Kel. 1

KANDUNGAN KIMIA, SENYAWA AKTIF DAN TOKSISITAS DARI Eucheuma Cottonii, Caulerpa sp. dan Solen sp.Irmanida Batubara1, Sabri Sudirman2, Wahyu Ramadhan2, Yulia Oktavia2, R.Roza Tirta F.P2Departemen Kimia FMIPA IPB, Sekolah Pascasarjana, Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB1

2

I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan yang luas dimana dua per tiga dari wilayah Indonesia merupakan laut. Berbagai potensi biota perairan terkandung didalamnya, diantaranya adalah rumput laut. Rumput laut yang hidup di wilayah perairan Indonesia sangat beragam, sekitar 782 jenis (Ekspedisi Siboga pada tahun 1899-1900). Lebih rinci, jenis rumput laut tersebut adalah 196 jenis rumput laut alga hijau, 134 jenis rumput laut alga cokelat, dan 352 jenis rumput laut alga merah. Pusat-pusat penyebaran rumput laut diantaranya di wilayah perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan; Perairan Sulawesi Tenggara; Sulawesi Tengah; Pulau Bali; Pulau Sumbawa; dan wilayah Perairan Kepulauan Maluku (Anggadiredja et.al. 2006). Jenis-jenis rumput laut yang ada di Indonesia tersebut diantaranya terdapat beberapa jenis rumput laut yang bernilai ekonomis tinggi dan telah diperdagangkan baik itu untuk konsumsi lokal maupun untuk ekspor. Diantara jenis rumput laut tersebut adalah Eucheuma cotonii, Eucheuma spinosum, Glacillaria, Gelidium sp., Hypnea sp., dan Sargassum sp. (Anggadiredja et.al. 2006). Di bidang industri, pengolahan rumput laut telah dikenal sejak dahulu, meskipun dengan teknologi dan peralatan yang sederhana. Rumput laut juga telah diolah menjadi beragam jenis makanan diantaranya kue, puding, dodol, dan agar. Eucheuma cotonii dan Caulerpa sp merupakan salah satu jenis rumput laut yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia Rumput laut ini memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan obat-obatan. Secara tradisional, cottonii ini telah banyak digunakan masyarakat pesisir untuk sayuran serta mengobati berbagai jenis penyakit, seperti hepatitis, aphrodisiac, diuretik, kusta,

rematik, cacar, bisul, sitotoksik dan obat luka bakar. Selain itu jenis kekerangan di Indonesia juga sangat beragam, salah satu yang telah banyak di konsumsi masyarakat Jawa Barat adalah Solen sp. atau Lorjuk. Berdasarkan data empiris kerang ini telah banyak digunakan sebagai obat tradisional di daerah setempat. Oleh karena itu besarnya potensi rumput laut dan kekerangan di Indonesia memberikan peluang untuk dimanfaatkan karena komoditas tersebut kaya akan senyawa metabolit sekunder. Beberapa senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam rumput laut dan kerang lorjuk adalah alkaloid, terpenoid, saponin, alkana, alkohol rantai panjang, dan fitosterol Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif dan toksisitas dari akar Eucheuma cottonii yang diperoleh dari kepulauan Tual Maluku, rumput laut Caulerpa dari kepulauan Riau dan Solen diperoleh dari perairan Cirebon Jawa Barat.

II BAHAN DAN METODE 2.1 Kadar air dan kadar abu Alat dan bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol timbang, neraca analitik, eksikator, oven, tanur listrik, cawan porselin, pembakar gas dan gegep besi. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut cottonii Prosedur praktikum - Penetapan kadar air Botol timbang dicuci lalu dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit. Setelah didinginkan dalam eksikator, botol kemudian ditimbang. Sebanyak 3 gram bahan, dimasukan dalam botol timbang, kemudian dikeringkan pada suhu 105 oC selama 2 jam. Setelah didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang lagi. Bila bobot hasil penimbnagan kedua telah sama dengan sebelumnya maka telah dapat ditentukan kadar airnya. Dimana perlakuan dilakukan dublo. Perhitungan kadar air = x 100 %

Keterangan : a: bobot bahan sebelum dikeringkan dan b: bobot bahan setelah dikeringkan.

- Penetapan kadar abu Cawan porselin dikeringkan pada suhu 600 oC selama 30 menit, didinginkan didalam eksikator kemudian ditimbang. Sebanyak 2 gram contoh dimasukan ke dalam cawan porselin, kemudian cawan dan isinya dipanaskan dengan nyala Bunsen sampai tidak berasap lagi kemudian dimasukkan kedalam tanur listrik dengan suhu 600 oC sampai contoh menjadi abu selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Dimana perlakuan dilakukan dublo. Perhitungan kadar abu = x 100 %

Keterangan : a: bobot abu, b: bobot sampel

2.2 Uji Fitokimia Prosedur kerja a. Identifikasi flavonoid Sebanyak 50 gram sampel ditambah air panas, didihkan selam 5 menit lalu disaring. Filtrat sebanyak 5 ml ditambah serbuk Mg, 1 ml HCL pekat dan 1 ml amil alcohol kemudian dikocok dengan kuat. Adanya flavonoid ditunjukan dengan terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alcohol. b. Identifikasi Alkoloid Sebayak 50 mg sampel ditambah 10 ml klorofoan amoniak, kemudian disaring dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak klorofoam dalam tabung reaksi kemudian dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2M, kemudian lapisan asamnya dipisahkan dalam tabung reaksi lain. Sampel diteteskan dalam spot plat dan ditambahkan tiga tetes pereaksi dragendorf, mayer dan wagner. Uji positif untuk alkaloid jika terbentuk endapan berwarna merah- jingga, putih dan cokelat. c. Identifikasi saponin Sebanyak 50 mg sampel ditambah dietil eter. Residu yang tidak larut dalam dietil eter diambil, dipisahkan dan ditambahkan 5 ml air kemudian dikocok sampai timbul busa yang stabil. d. Identifikasi Steroid-Triterpenoid Fraksi yang larut dalam dietil eter pada uji saponin dipisahkan dalam campuran tersebut ditambahkan anhidrida, asam asetat dan asam sulfat pekat (3:1).

Apabila terbentuk warna merah atau ungu menunjukkan kandungan steroid atau triterpenoid. e. Identifikasi Tanin Sebanyak 50 mg sampel dilarutkan dalam 5 ml etanol ditambah dengan beberapa tetes pereaksi FeCl3 1 %. Adanya tannin ditunjukan dengan terbentuknya warna hijau, biru atau ungu.

2.3 Ekstraksi Alat dan bahan Alat yang yang digunakan dalam praktikum ini adalah neraca, labu erlenmeyer, gelas piala, rotary evaporator, corong, kertas saring dan pengaduk, sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut Eucheuma cottonii, methanol. Prosedur kerja Ditimbang sample 100 gram kering atau 200 gram basah, lalu sampel dimasukkan kedalam gelas piala. Gelas piala yang sudah berisi ekstrak kemudian ditambah methanol dengan perbandingan 1 gram: 5 ml, diaduk hingga semua ekstrak larut. Kocok campuran dan pisahkan dengan kertas saring bila telah selesai diekstraksi. Ekstrak yang didapat kemudian diuapkan dengan rotaryevaporator dan setelah itu baru ditimbang.

2.4 Kromatografi Alat dan bahan Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cahmber KLT, pipet volumetrik dan mohr, pinset pipa kapiler. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah ekstrak methanol, pelarut untuk eluen (heksan dan etil 3:1) dan pelat silica gel GF254. Prosedur kerja Persiapan larutan pengembang dan bejana kromatografi Siapkan eluen yang sesuai dengan kandungan fitokimia yang terdapat pada akar mogrove avincenia marina (heksan dan etil 3:1) didalam bejana kromatografi.

Setelah ditutup benjana digoyangkan agar eluen didalamnya tercampur dengan baik. Eluen dijenuhkan minimal selama 15 menit. Aplikasi dan pemisahan sampel Teteskan larutan ekstrak dengan menggunakan pipa kapiler kepermukaan pelat TLC. Penetesan dilakukan berulang hingga diperoleh spot/ pita yang pekat (pastikan pelarut dibiarkan kering terlebih dahulu sebelum pengulangan penetesan). Pelat TLC dimasukkan kedalam bejana kromatografi, pengembangan dilakukan hingga larutan pengembang mencapai jarak 1 cm dari tepi atas pelat. Pelat diangkat dan dikeringkan. Catat nilai Rf masing-masing spot dan warna lyang teramati. Rumus Rf =

2.5 Pemisahan ekstrak dengan kromatografi kolom Alat dan bahan Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ekstrak methanol, eluen terbaik (heksan dan etil) dan serbuk silica gel. Prosedur kerja: Pengemasan kolom kromatografi Pada bagian dasar kolom yang bersih dimasukkan glass wol secukupnya, kemudian dimasukkan eluen hingga ketinggian 1/3 kolom. Sementara itu siapkan bubur silica dengan melarutkan bubuk silica dalam eluen yang digunakan. Bubur silica dimasukkan secara perlahan-lahan. Setelah selesai cerat kolo dibuka dan eluen dialirkan terus menerus melalui cerat kolom hingga diperoleh kolom yang pengepakannya homogeni dan tidak ada lagi gelembung udara dari dalam kolom. Sementara itu, eluen terus dialirkan ke dalam kolom dari tampungan eluen tetes demi tetes. Aplikasi dan pemisahan ekstrak Larutan ekstrak diteteskan dengan menggunakan pipet tetes kepermukaan mulut kolom bagian atas. Pemisahan dilakukan hinggaekstrak keluar dari kolom. Eluen yang digunakan adalah etil dan heksan. Setelah itu fraksi-fraksi yang didapat dikumpulkan secara visual dan dikumpulkan dan bandingkan kesamannya dengan penggunaan KLT.

2.6 Uji aktivitas BSLT Alat dan bahan Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pipet mikro, pelat pengujian toksisitas terhadap larva udang, labu takar yang berukuran 25 dan 50 ml dan pipet mohr. Sedangkan bahan yang digunakan meliputi larva udang, ekstrak lorjuk dan air laut. Prosedur kerja Ekstrak metabolit sekundar dilarutkan dalam air laut. Kedalam masingmasing pelat pengujian dimasukkan 10 ekor larva udang dan larutan ekstrak metabolit sekundar hingga diperoleh kosentrasi 10- 100.000 ppm ( masing-masing tiga kali ulangan). Larva udang diinkubasi selama 24 jam. Jumlah larva udang yang mati dihitung dan ditentukan rerata jumlah larva yang mati dari 3 kali ulangang yang dilakukan. Kemudian dibuat kurva hubungan antara kosentrasi ekstrak metabolit sekunder sebagai sumbu X dan rerata persen kematian larva udang sebagai sumbu Y untuk mendapatkan nilai LC50.

2.7 AAS Prosedur kerja Sampel abu yang didapat dari perhitungan kadar abu ditimbang kemudian 0,5 mg ditambahkan H2SO4 5 mL setelah itu ditambahkan dengan air 5 mL dan disaring dan ditambahkan lagi air. Lalu diukur kadar logamnya dengan menggunakan AAS.

2.8 IR Prosedur kerja: Fraksi terlpilih dibuat pellet dengan KBr lalu ditentukan spectrum infra merahnya. Interpretasi gugus fungsi yang terdapat dalam sampel.

III HASIL DAN PEMBAHASAN 3. 1 Kadar air dan kadar abu Hasil pengukuran kadar air dan abu sampel rumput laut Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kadar air dan kadar abu Eucheuma cottonii Ulangan Kadar air (%) 1 2 3 Rerata 14.17 15.16 14.39 14.58 Kadar abu (%) 38.41 41.41 38.56 39.46

Air merupakan komponen penyusun terbesar yang ada pada makhluk hidup selain itu air juga merupakan komponen terpenting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu (Winarno 1997). Kadar air Eucheuma cottonii pada praktikum ini ditentukan dengan cara pengeringan (thermogravimetri). Prinsip cara thermogravimetri yaitu menguapkan air yang ada pada bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air telah diuapkan (Sudarmadji et al. 2007). Hasil analisis kadar air Eucheuma cottonii yaitu 14,58%, hasil ini sejalan dengan penelitian Matanjun et al. (2009) yang menyatakan kadar air Eucheuma cottonii sebesar 10,55% sedangkan data DKP (2008) menyatakan kadar air yaitu 27,8%. Rendahnya kadar air Eucheuma cottonii disebabkan hal ini disebabkan Eucheuma cottonii yang digunakan telah mengalami pengeringan sehingga semakin sedikit air terperangkap dalam sel. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan (Sudarmadji et al. 2007). Mineral memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh baik di tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Hasil analisis kadar abu Eucheuma cottonii yaitu 39,46. Menurut Matanjun et al. (2009), kadar abu Eucheuma cottonii yaitu 46,19% yang terdiri dari Na 1771,84 mg/100 g, K 13155,19 mg/100 g, Ca 329,69 mg/100 g, Mg 271,33 mg/100 g, Fe 2,61 mg/100 g, Zn 4,30 mg/100 g, Cu 0,03

mg/100 g, dan Se 0,59 mg/100 g. Sedangkan kadar abu menurut data DKP (2008) yaitu 22,25%. 3.2 Uji Fitokimia Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat pada suatu bahan alam. Komponen bioaktif berpotensi mencegah berbagai penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskular (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, dan tanin. Hasil uji fitokimia Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Eucheuma cottonii Identifikasi Flavonoid Alkaloid - Mayer - Wagner - Dragendorf Saponin Steroid-Triterpenoid Tanin Alkaloid Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder, dimana saat ini diketahui sebanyak 5500 jenis alkaloid (Harborne 1987). Alkaloid terdiri dari 3 pengujian yaitu: Dragendrof, Meyer, dan Wagner. Dari hasil uji Hasil Uji + -

fitokimia menunjukkan bahwa hanya uji alkaloid dengan pereaksi dragendorf yang menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya endapan. Menurut Choudhury et al. (2011), alkaloid dapat berada dalam bentuk garam dari asam organik, asam oksalat, melica, laktat, tartat dan aconitin pada bagian tumbuhan. Flavonoid Flavonoid juga dikenal sebagai chrysin, oroxylin-a, scutellarin, baicalein, biochanin-a, dan asam elagic yang memberikan respon sebagai anti-inflammatory, diuretic, anti fungi,dan anti bakteri (Maitreyi et al., 2008). Dari hasil uji fitokimia ternyata Eucheuma cottonii tidak mengandung flavonoid. Flavonoid umumnya

terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne 1987). Karena mempunyai sejumlah gugus gula, flavonoid bersifat polar. Flavonoid dapat digunakan untuk mengurangi resiko berberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-proliferasi.

Saponin Menurut Sezgin (2010), Saponin didefinisikan berdasarkan aktivitas permukaannya. Kebanyakan saponin mampu membentuk busa dan stabil dalam air, memiliki aktivitas hemolitik dan memiliki rasa yang pahit dan beracun terhadap ikan (piscicidal). Saponin banyak ditemukan di beberapa tumbuhan, termasuk beberapa di antaranya sering digunakan sebagai bahan makanan seperti kacang-kacangan. Dari hasil uji fitokimia, Eucheuma cottonii tidak mengandung saponin. Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal dapat menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Sifat ini lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat oleh aktivitas permukaan serta dapat meregang partikel (Sirait 2007).

Steroid-Tripenoid Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30

asiklik, yaitu skualena. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif (Harborne 1987). Dari hasil uji Eucheuma cottonii tidak mengandung seyawa steroid tripenoid. Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokkan ini didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masingmasing senyawa. Kelompok-kelompok tersebut yaitu sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin.

Tanin Hasil uji fitokimia terhadap Eucheuma cottonii menunjukkan bahwa tidak terdapatnya tannin, hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya peubahan warna pada sampel. Tanin umumnya didefinisikan sebagai senyawa polifenol alami dengan berat molekul yang tinggi dan cukup untuk membentuk kompleks dengan protein. Metode kuantifikasi tannin didasarkan pada sifat kimia tannin atau kemampuannya untuk mengikat substrat, terutama protein. Tannin berdasarkan jenis struktualnya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu tanin terhidrolisa dan tannin kondensasasi (FAO 2000). Tannin bersifat toksik terhadap mikroba melalui mekanisme penghambatan enzim dan penghambatan penggunaan substrat oleh mikroba, menghambat penggunaan ion logam dan mengganggu membran mikroba. Tanin dapat digunakan sebagai komponen antidiare, hemostatic dan

antihemorrhoidal. (Shahidi dan Naczk 1995). Tanin terkondensasi yaitu tanin yang terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Sedangkan tanin terhidrolisis terdiri dari dua kelas yaitu depsida galoilglukosa dan dimer asam galat (Harborne, 1987). 3.3 Ekstraksi Ekstraksi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen senyawa aktif dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut. Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung

komponen-komponen bioaktif

(Harborne 1987). Ekstraksi rumput laut kering

E.cottonii dilakukan dengan metode soksletasi dan destilasi dengan menggunakan pelarut heksana. Soksletasi adalah ekstraksi solute dari padatan dengan menggunakan pelarut organic yang cocok dan proses terjadi berulang-ulang, sedangkan destilasi merupakan teknik pemisahan berdsarkan titik didih atau volatilitas.

Penentuan rendemen ekstrak yang dilakukan pemisahan ekstrak dengan pelarut menggunakan rotary evaporator. Rendemen dihitung dengan membandingkan antara berat ekstrak dan berat sampel yang digunakan. Hasil perhitungan menunjukan rendemen ekstrak kasar rumput laut kering dengan metode soksletasi adalah sebesar 4,35 % dan destilasi sebesar 3,86%. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa ekstraksi dengan metode soksletasi lebih efektif daripada destilasi. Hasil ini dapat dilihat dari rendemen ekstrak kasaryang lebih besar pada soksletasi. Proses ekstraksi dengan metode soksletasi, contoh selalu diekstrak dengan pelarut segar. 3.3.1 Penentuan Eluen terbaik dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography) merupakan metode awal pemisahan senyawa dan identifikasi komponen-komponennya. Metode ini berdasarkan distribusi komponen yang berbeda dari suatu senyawa campuran antara fase bergerak dan fase diam pada suatu lempeng tipis. Fase diamnya berupa lapisan tipis yang melekat atau terikat pada suatu material (dapat berupa gelas, plastik atau lembaran metal), yang memungkinkan fase bergerak dapat bergerak ke atas secara kapilari. Proses pemisahan senyawa berdasarkan prinsip bahwa tiap komponen

dalam campuran senyawa memiliki perbedaan polaritas dan akan terserap oleh fase diamnya (misalnya gel silika), demikian juga pelarut (adsorbent) dan zat terlarut (dissolve) yang berada pada fase gerak, akan bergerak pada tingkatan yang berbeda. Oleh karena itu, tiap komponen dalam campuran senyawa akan tertarik oleh pelarut fase gerak pada tingkatan yang berbeda di sepanjang plat kromatografi. Senyawa yang terikat lebih dulu (fase diam) merupakan senyawa polar dan senyawa yang terus bergerak atau yang memiliki nilai Rf yang tinggi (berada paling atas) merupakan senyawa non polar. Hasil pemisahan senyawa akan menunjukkan spot-spot yang terpisah sepanjang plat kromatografi lapis tipis (KLT) berdasarkan tingkat polaritasnya.

Spot-spot ini kemudian ditandai di bawah sinar UV (Ultra Violet). Faktor retardasi (Rf) dari tiap spot komponen yang terpisah dapat dikalkulasi dengan mengukur jarak dari titik awal sampel ke tengah spot yang sudah terpisah. Nilai Rf tersebut

merupakan langkah awal untuk memperkirakan jenis (identifikasi awal) senyawa organik yang telah terpisah (Furniss et al. 2004 diacu dalam Ismet 2007).

Identifikasi awal dalam menentukan keberadaan (ada atau tidaknya senyawa) dan kemurnian senyawa dilakukan dengan menggunakan Alumunium Sheets Silika Gel 60F254 pada metoda Thin Layer Chromatography (TLC) atau Kromatografi Lapis Tipis (KLT). KLT dilakukan dengan mencoba empat jenis pelarut yaitu metanol, kloroform, etil asetat, dan heksana. Hasil KLT berupa band-band atau spot (kelompok senyawa sejenis) dengan nilai Rf (retardaction fraction) tertentu adalah petunjuk keberadaan senyawa bioaktif yang terpisah menurut kepolarannya. Hasil selengkapnya pengidentifikasian awal senyawa bioaktif hasil fraksinasi ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil ini digunakan sebagai panduan pemilihan macam pelarut untuk proses pemurnian dengan kolom kromatografi. Tabel 3 Nilai Rf fraksi organik rumput laut Euchuema cottonii Jenis sampel Jenis pelarut Metanol Jumlah spot 2 Rf 0.74 0.89 0.05 0.10 0.31 0.88 0.94 0.08 0.89 0.04 0.15 0.48 0.90

Kloroform Runput laut Eucheuma cottonii Etil asetat

5

2

Heksana

4

Rf = 0,90

Rf = 0,48

Rf = 0,15 Rf = 0,04 M K EA He

Gambar 1 Fraksi organik E. cottonii dengan pemisahan menggunakan KLT pada berbagai pelarut: (M) methanol; (K) kloroform; (EA) etil asetat; (He) heksana. Fraksi atau kelompok senyawa yang telah memisah berdasarkan kepolarannya pada plat tipis gel silika KLT terlihat saat dibantu dengan sinar UV. Eluan dengan pelarut non polar, yaitu kloroform dan heksana memiliki spot yang lebih banyak dibandingkan eluan lainnya. Eluen menggunakan kloroform menghasilkan 5 spot senyawa, tetapi kurang terpisah dengan baik. Eluen menggunakan heksana menghasilkan 4 spot dengan pemisahan yang baik (Gambar 1), sehingga eluen (heksana) digunakan sebagai eluen pada proses pemisahan selanjutnya, yaitu kromatografi kolom. 3.3.2 Pemisahan ekstrak dengan kromatografi kolom Kromatografi kolom dilakukan dengan tujuan memisahkan fraksi-fraksi yang terdapat pada ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii. Fase diam berupa serbuk/bubur silika digunakan sebagai fase diam. Absorben silika lebih banyak digunakan karena

memiliki tekstur dan struktur yang lebih kompak dan teratur. Silika dapat membentuk ikatan hidrogen di permukaannya karena terikat gugus hidroksil. Oleh karena itu, silika gel bersifat sangat polar. Fase gerak yang digunakan yaitu heksana. Heksana merupakan senyawa dengan polaritas yang rendah (non polar). Hasil pemisahan ekstrak kasar rumput laut E. cottonii menghasilkan 2 fraksi. Hasil tersebut diperoleh setelah memisahkan kembali fraksi-fraksi yang diperoleh dari pemisahan dengan kromatografi kolom menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Pemisahan dengan KLT dilakukan untuk menentukan fraksi-fraksi yang memiliki spot sama, sehingga diduga fraksi tersebut mengandung komponen yang sama. Kedua kelompok fraksi tersebut yaitu fraksi I (fraksi 2-4) dan fraksi II (fraksi 5-6).

4 BSLT (Uji toksisitas) Uji toksisitas dilakukan dengan mengamati kematian hewan percobaan dan respon kematian dianggap sebagai pengaruh senyawa yang diuji. Uji toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik dan untuk meneliti batas

keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan senyawa yang ada dalam tumbuhan tersebut (Widyastuti 2008). BSLT (Brine Shrimp LethalityTest) merupakan salah satu metode skrining bahan yang berpotensi sebagai tanaman berkhasiat. Pengujian menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) diterapkan dengan menentukan nilai Lethal Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50 merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian sebesar 50 % dari jumlah hewan uji (Meyer et al., 1982). Suhirman et al. (2006) mengemukakan bahwa dalam metode penelitiannya menggunakan larva udang (Artemia salina Leach.) sebagai bioindikator. Larva udang ini merupakan organisme sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksik. Pujiati et al. (2002) mengatakan telur Artemia salina Leach memiliki daya tahan hidup selama beberapa tahun dalam keadaan kering. Telur udang dalam air laut akan menetas menjadi larva (nauplii) dalam waktu 2428 jam Bila bahan yang diuji memberikan efek toksik terhadap larva udang, maka hal ini merupakan indikasi awal dari efek farmakologi yang

terkandung dalam bahan tersebut. Meyer et al. (1982) mengatakan bahwa beberapa penelitian menunjukkan Artemia salina memiliki korelasi positif terhadap ekstrak yang bersifat bioaktif. Metoda ini juga banyak digunakan dalam berbagai analisis biosistim seperti analisis terhadap residu pestisida, miko toksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik dari phorbol ester Artemia salina Leach merupakan organisme sejenis udang-udangan yang berukuran kecil dan dikenal dengan nama brine shrimp. Artemia salina Leach digunakan sebagai hewan uji untuk menentukan ketoksikan suatu senyawa dalam ekstrak tumbuhan yang diwujudkan sebagai racun (Meyer et al. (1982) dalam Braja (2008)). Artemia salina Leach dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Artemia salina Leach (Naturfoto 2010) Kerang pisau atau lorjuk (Solen spp) merupakan anggota dari famili Solenidae. Kerang pisau memiliki cangkang yang panjang dengan dua sisi paralel, tubuhnya kecil memanjang, salah satu ujung tubuhnya berbentuk runcing seperti mata pisau, menempel dan berdiri tegak di pantai berpasir. Kadang kala lorjuk menarik badannya ke dalam pasir untuk berlindung dari musuh. Lorjuk di beberapa negara dikenal juga dengan sejumlah nama seperti razor clam atau jacknife karena karakteristiknya yang identik dengan pisau (Ditjen PPHP 2010). Kerang pisau atau lorjuk (Solen spp) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerang Pisau (Solen sp) (Zoologie 2008)

Pada ekstrak kasar kerang pisau mengandung lima komponen bioaktif berupa komponen alkaloid, streoid, flavanoid, karbohidrat dan asam amino (Izzati 2010). Alkaloid adalah senyawa alami amina baik pada tanaman, hewan ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder. Senyawa ini berperan dalam sistem saraf pusat dan merupakan komponen pertahanan dalam tubuh, selain itu juga dapat bersifat sebagai antimalaria (Sirait 2007). Flavonoid dan beberapa golongan fenol dapat digunakan untuk mengurangi risiko beberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, antiinflamasi, detoksifikasi karsinogen, antikolesterol, dan antiproliferasi (Chen dan Blumberg 2008). Flavonoid juga dapat menghambat secara efektif kerja beberapa enzim,yaitu xanthin oksidase, siklooksigenase, dan lipooksigenasi (Hoorn et al. 2002) sehingga dapat mengurangi pembentukan radikal superoksida yang dapat menyebabkan peradangan (Bodamyali et al. 2002). Berdasarkan penjelasan diatas maka dilakukan pengujian aktivitas BSLT untuk mengetahui tingkat toksisitas LC50 pada larva udang Artemia salina dengan penambahan larutan ekstrak kerang pisau (lorjuk). Hasil praktikum uji aktivitas BSLT dari larva udang Artemia salina Leach dengan penambahan larutan ekstrak kerang pisau (lorjuk) dan air laut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata kematian larva udang Artemia salina dengan penambahan larutan ekstrak kerang pisau (lorjuk) dan air laut Ulangan 1 2 Rata-rata % Mortalitas Bil. Probit Persentase kematian larva udang Artemia salina tiap konsentrasi 0 ppm 60 50 55 5.13 10 ppm 90 30 60 5.25 100 ppm 50 100 75 5.67 250 ppm 60 100 80 5.84 500 ppm 100 100 100 7.37 1000 ppm 100 100 100 7.37

Atmoko dan Maruf (2009) mengemukakan bahwa uji mortalitas dilakukan dengan lethal concentration 50% (LC50). LC adalah suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat mengakibatkan kematian organisme sampai 50%. Nilai kematian 50% per hari (LC50 dalam unit waktu) ditentukan dengan

menggunakan persamaan regresi antara log konsentrasi dan mortalitas (%). Grafik presentase kematian larva Artemia salina dapat dilihat pada Gambar 4.

8 7 Bilangan probit 6 5 4 3 2 1 0 0 1 2 Log konsentrasi 3 4 y = 0.746x + 4.7274 R = 0.7022

Gambar 4. Grafik Presentase Kematian Larva Artemia salina

Perhitungan : Y = a + bx = 50 4,727 = 45,273 LC50 = 45,273/0,746 = 60,6877 ppm

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tanaman. Melalui uji BSLT, pelaksanaan skrining akan berlangsung relatif cepat, mudah, dengan biaya relatif murah, dan dapat dipercaya. Pengujian

menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) diterapkan dengan menentukan nilai Lethal Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50 merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian sebesar 50 % dari jumlah hewan uji. Meyer et al. (1982) berpendapat bahwa ketersediaan telur, kemudahan dalam menetaskan telur menjadi larva, pertumbuhan yang cepat dari naupli dan relatif

mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium membuat kondisi Artemi salina merupakan hewan percobaan yang efektif dan sederhana dalam ilmu biologi dan toksikologi. Artemia salina sering digunakan dalam penelitian, sederhana dan yang terpenting tidak mahal, dan mudah diproduksi. Prinsip metode BSLT adalah menggunakan tingkat kematian naupli pada berbagai tahap perkembangan hidupnya untuk mengetahui toksisitas suatu bahan. Tingkat toksisitas suatu bahan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kategori toksisitas bahan Kategori Sangat toksik Toksik Tidak toksik Sumber : Meyer et al. (1982) LC50 (g/ml) < 30 30-1000 >1000

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai LC50 adalah 60,6877 ppm sehingga dapat disimpulkan pada pengujian aktivitas BSLT pada larva udang Artemia salina Leach dengan penambahan larutan ekstrak metabolit sekunder dari kerang pisau (lorjuk) dan air laut menghasilkan tingkat toksisitas yang toksik.

5 Spektrofometri Serapan Atom (SSA) Uji Cd dengan Spektrofometri Serapan Atom (SSA) Spektrofotometer Serapan Atom (AAS) adalah suatu alat yang digunakan pada metode analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metaloid yang berdasarkan pada penyerapan absorbsi radiasi oleh atom bebas. AAS merupakan suatu teknik spektroskopi yang memanfaatkan besarnya gelombang elektromagnetik yang diserap pada frekuensi tertentu oleh zat tertentu untuk bereksitasi. Gelombang elektromagnetik yang

diserap dihasilkan oleh suatu sumber cahaya. AAS dapat menentukan lebih dari 67 jenis logam yang berbeda yang terkandung dalam suatu larutan. AAS sangat sensitif dan akurat karena dapat mengukur hingga bagian per milyar dari suatu berat (g dm-3). Spektrofotometer serapan atom (AAS) merupakan teknik analisis kuantitafif dari unsur-unsur yang pemakainnya sangat luas di berbagai bidang karena

prosedurnya selektif, spesifik, biaya analisisnya relatif murah, sensitivitasnya tinggi (ppm-ppb), dapat dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar, waktu analisis sangat cepat dan mudah dilakukan. AAS pada umumnya digunakan untuk analisa unsur, spektrofotometer absorpsi atom juga dikenal sistem single beam dan double beam layaknya Spektrofotometer UV-VIS. Sebelumnya dikenal fotometer nyala yang hanya dapat menganalisis unsur yang dapat memancarkan sinar terutama unsur golongan IA dan IIA. Umumnya lampu yang digunakan adalah lampu katoda cekung yang mana penggunaanya hanya untuk analisis satu unsur saja. Metode AAS berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Metode serapan atom hanya tergantung pada perbandingan dan tidak bergantung pada temperatur. Setiap alat AAS terdiri atas tiga komponen yaitu unit teratomisasi, sumber radiasi, sistem pengukur fotometerik. Sumber cahaya pada AAS adalah sumber cahaya dari lampu katoda yang berasal dari elemen yang sedang diukur kemudian dilewatkan ke dalam nyala api yang berisi sampel yang telah teratomisasi, kemudia radiasi tersebut diteruskan ke detektor melalui monokromator. Chopper digunakan untuk membedakan radiasi yang berasal dari sumber radiasi, dan radiasi yang berasal dari nyala api. Detektor akan menolak arah searah arus (DC) dari emisi nyala dan hanya mengukur arus bolak-balik dari sumber radiasi atau sampel. Atom dari suatu unsur pada keadaan dasar akan dikenai radiasi maka atom tersebut akan menyerap energi dan mengakibatkan elektron pada kulit terluar naik ke tingkat energi yang lebih tinggi atau tereksitasi. Jika suatu atom diberi energi, maka energi tersebut akan mempercepat gerakan elektron sehingga elektron tersebut akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi dan dapat kembali ke keadaan semula. Atom-atom dari sampel akan menyerap sebagian sinar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. Penyerapan energi oleh atom terjadi pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang dibutuhkan oleh atom tersebut. Bila suatu senyawa tertentu diaspirasikan ke dalam nyala maka senyawa ini akan menguap lalu terurai menjadi uap-uap atom bebas (proses atomisasi). Uap-uap atom bebas tersebut menyerap energi radiasi yang berasal dari lampu katoda cekung (HollowCatoda Lamp) pada panjang gelombang tertentu yang khas dan karakteristik untuk setiap

unsur. Akibat dari proses penyerapan radiasi tersebut elektron dari atom-atom bebas tereksitasi, dan kembali ke keadaan semula sambil memancarkan energi radiasi (Asminar 2007) Dalam praktikum dengan spektrofometri serapan atom, logam yang dianalisa pada sampel adalah Cadmium (Cd). Sampel yang digunakan berupa sampel X (sampel acak Lab Biofarmaka IPB). Untuk menentukan konsentrasi Cd pada sampel sebelumnya dilakukan pengukuran serapan larutan standar dengan konsentrasi Cd diketahui. Selanjutnya dibuat kurva hubungan antara konsentrasi larutan standar diketahui (x) dengan absorban larutan standar yang terukur (y). Konsentrasi dan absorban larutan standar disajikan pada Tabel 6. Kurva standar (Gambar 5) digunakan untuk menentukan Cd pada larutan sampel.

Tabel 6. Konsentrasi dan absorban larutan standar Cd Konsentrasi Larutan Standar 0 0.1 0.2 0.5 0.7 Absorbansi -.0.001 0.048 0.101 0.213 0.284

Y = 0.40166x + 0.0085 Fit: 0.9977

Gambar 5. Kurva Standar Cd

Hasil pengukuran Cd sampel X (sampel acak Lab Biofarmaka IPB) disajikan pada tabel 7. Kadar Cd sebesar 0,5469 mg/L.

Tabel 7. Hasil pengukuran Cd pada ekstrak Sampel X (sampel acak Lab Biofarmaka IPB)

6 FTIR (Fourier Transform Infra Red) Metode spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang meliputi teknik serapan (absorption), teknik emisi (emission), teknik fluoresensi

(fluorescence). Komponen medan listrik yang banyak berperan dalam spektroskopi umumnya hanya komponen medan listrik seperti dalam fenomena transmisi, pemantulan, pembiasan, dan penyerapan. Spektroskopi IR merupakan metode yang sangat efektif untuk menentukan ada atau tidak adanya berbagai gugud ungsi dalam suatu molekul. Salah satu cara untuk mulai menganalisis spektrum IR adalah memulai spectrum bilangan gelombang tinggi (biasanya 4000 cm-1) dan mencari keberadaan dan tidak adanya serapan karakteristik saat bergerak ke arah bilangan gelombang yang lebih rendah. Beberapa, serapan yang paling umum, dan khas akan disusun dalam beberapa daerah (Hanson 2011). Sampel yang dianalisa dengan FTIR adalah ekstrak kasar Caulerpa yang berbentuk kering. Sebelum diuji sampel harus dipreparasi terlebih dahulu membentuk sampel menjadi pelet dengan menambah KBr. Pita serapan sampel dengan FTIR dijelaskan pada gambar 6.

Gambar 6. Pita serapan sampel ekstrak rumput laut Caulerpa sp. pada FTIR Dari hasil analisa dengan FTIR pada sampel ekstrak kasar Caulerpe terdapat 20 puncak pita serapan dengan bilangan gelombang yang bervariasi (Tabel 8). Interpretasi data IR tersebut berdasarkan data base yang diterbitkan oleh http://hem.ucla.edu. Ekstrak Caulerpa sp. mempunyai gugus fungsi yang sangat komplek hal tersebut dimungkinkan karena ekstrak ini belum murni.Tabel 8. Bilangan Gelombang dan pendugaan gugus fungsi ekstrak kasar Caulerpa sp. Puncak (peak) Bilangan gelombang (Wavenumber) (cm-1) Functional Group Molecular Motion

1 2 3 4 5 5 7 8

3398.77 2923.02 2853.03 2362.73 1637.83 1541.56 1458.67 1193.81

alkohol/phenol. Alkanes. Alkanes. phosphines alkenes amides Amines nitro groups alkanes esters alcohols eter halides alkyl ketones

9

1139.45

O-H stretch C-H stretch C-H stretch P-H stretch C=C stretch C=O stretch N-H bend -NO2 CH2 bend C-C(O)-C stretch (all others) C-O C-O-C C-F stretch C-C stretch

10

1125.00

11

1103.86

13 14 15 16

854.62 751.93 657.71 644.44

17

602.06

alcohols eter ketones alcohols eter ketones alcohols eter aromatics sulfonates aromatics alkyl halides acid chlorides alkyl halides acid chlorides alkynes alkyl halides acid chlorides alkynes

C-O C-O-C C-C stretch C-O C-O-C C-C stretch C-O C-O-C C-H bend (para) S-O stretch C-H bend (mono) C-Cl stretch C-Br stretch C-Cl stretch C-Br stretch acetylenic C-H bend C-Cl stretch C-Br stretch acetylenic C-H bend

Keterangan : Pendugaan gugus fungsi berdasar tabel pektrum IR yang dikeluarkan

http://www.chem.ucla.edu/~webspectra/irtable.html dan http://www.chemistry.ccsu.edu/glagovich/teaching/316/ir/table.html

Kesimpulan Dari hasil praktikum yang dilakukan diperoleh bahwa Eucheuma cottonii memiliki kadar air 14,58% dan kadar abu 39,46%. Dan tidak terdeteksinya komponen zat bioaktif yang meliputi alkaloid, flavonoid, steroid triterpen, saponin dan tannin. Selanjutnya sampel lorju menghasilkan tingkat toksisitas 60,6877 ppm (toksik). Pementuang gugus fungsi menggunakan FTIR dan logam menggunakan AAS menunjukkan sampel Caulerpa masih mengandung banyak pengotor sehingga masih sulit untuk menentukan gugus fungsinya.Saran

Dibutuhkan teknik preparasi dan persiapan sampel yang baik sehingga kondisi bahan baku yang tidak kotor, selain itu diperlukan teknik ekstraksi bertingkat untuk memastikan tingkat kemurnian sampel.

DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia. Jakarta. Asminar. 2007. Analisis Unsur-Unsur Pengotor Dalam Uranium Logam Secara Spektrofotometri Serapan Atom. Hasil-hasil Penelitian EBN Tahun 2007. ISSN 0854 5561 Anggadiredja JT, A. Zatnika, H. Purwoto, Sri Istini. 2006. Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya Atmoko T, Maruf A. 2009. Uji toksisitas dan skrining fitokimia ekstrak tumbuhan sumber pakan orangutan terhadap larva Artemia salina L. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. VI (1) : 37-45. Bodamyali T, Kancler JM, Millar TM, Blake DR, Stevens CR. 2002. Free radicals in rheumatoid arthritis: Mediators and modulators. Di dalam: Fuchs J,Podda M, Packer L, editor. Redox Genome Interaction in Health and Disease. New York: Marcel Dekker. Braja M. 2008. Uji toksisitas ekstrak daun Ficus elastic Nois ex Blume terhadap Artemia salina Leach dan profil kromatografi lapis tipis. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Chen CYO, Blumberg JB. 2008. Phytochemical composition of nuts. Asia Pac Journal Clin Nutr. 17(S1): 329-332. Choudhury S, Datta S, Talukda AD, Choudhury MD. 2011. Phytochemistry of the Family Bignoniaceae- A review. Journal of Science & Technology : Biological and Environmental Sciences. 7: 145-150. Ditjen PPHP. 2010. Warta Pasarikan Edisi Maret 2010/Vol.79. Kerang-Pasar Cemerlang, Pasokan Kurang. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan FAO. 2000. Quantification of Tannins in Tree Foliage. Vienna. Hanson, J. 2011. Introduction to Interpretation of Infrared Spectra. http://www2.ups.edu/faculty/hanson/Spectroscopy/IR/IRInterpretation.htm. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Edisi Ke-2. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: Insitut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytocemical Methods. Hoorn Van et al. 2002. Accurate prediction of xanthine oxidase inhibition based on the structure of flavonoids. Eur J Pharmacol. 451: 111-118. Ismet MS. 2007. Penapisan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Dari lokasi yang berbeda. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Isntitut Pertanian Bogor.

Izzati, L. 2010. Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif kerang pisau Spp). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

(Solen

Matanjun P, Mohamed S, Mustapha NM, Muhammad K. 2009. Nutrient content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum. J Appl Phycol 21:7580. Maitreyi, Z., Khandhar, A. and Jain, S. (2008). Quantification of Baicalein, Chrysin, Biochanin-A and Ellagic Acid in Root Bark of Oroxylum indicum by RPHPLC with UV Detection. Eurasian Journal of Analytical Chemistry. 3(2). Meyer BN, Ferigni N R, Putnam JE, Ja Cobsen LB, Nichols DE dan McLaughlin JL. 1982. Brine shrimp a convenient general bioassay for active constituents. Journal of Plant Medical Research. 45: 31-34. Naturfoto. 2010. Artemia salina L. www.naturephoto-cz.com. [Diakses tanggal 29 Mei 2012]. Nurhayati APD, Abdulgani N, Febrianto R. 2006. Uji toksisitas ekstrak eucheuma alvarezii terhadap Artemia salina sebagai studi pendahuluan potensi antikanker. Akta Kimindo. 2 (1) : 41-46. Pujiati I, Ningsih S, Palusi S, Windono T. 2002. Uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Dari fraksi n-heksan, khloroform, etil asetat dan air ekstrak etanol rimpang temumangga (Curcuma mangga VaL). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Universitas Surabaya, Surabaya : 109-115. Sezgin AEC, Artik N. 2010. Determination of Saponin Content in Turkish Tahini Halvah by Using HPLC. Advance Journal of Food Science and Technology. 2 (2) : 109-115. Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB. Suhirman S, Hernani, Syukur C. 2006. Uji toksisitas ekstrak lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) terhadap larva udang (Artemia salina Leach.). Buletin Littro. XVII (1) : 30-38. Sudarmadji, S.B., Haryanto dan Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Wisiastuti S. 2008. Uji toksisitas ekstrak daun iprih (Ficus glabella Blume) terhadap Artemia salina Leach dan profil kromatografi lapis tipis. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Winarno. 1997. Ilmu Pangan Dan Gizi. Gramedia. Jakarta. Zoologie. 2008. Kerang Pisau (Solen sp). www.zoologie.frasma.cz. [Diakses tanggal 29 Mei 2012].

LAMPIRAN Lampiran 1 Rumput laut kering E. cottonii

Lampiran 2 Rumput laut kering E. cottonii (sebelum proses pengabuan)

Lampiran 3 Rumput laut kering E. cottonii dan heksana dalam labu

Lampiran 4 Proses ekstraksi rumput laut kering E. cottonii

Lampiran 5 Uji Fitokimia

Lampiran 6 Hasil Ekstraksi lorjuk dan Rumput Laut

Lampiran 8 BSLT

Lampiran 9 AAS dan FTIR