Laporan Praktikum Destructive Test

58
1 MODUL 1 PENGUJIAN TARIK 1. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Untuk membandingkan kekuatan maksimum beberapa jenis logam (besi tuang, baja, tembaga dan alumunium). 2. Untuk membandingkan titik-titk luluh (yield) logam-logam tersebut. 3. Untuk membandingkan tingkat keuletan logam-logam tersebut melalui % elongasi dan % pengurangan luas. 4. Untuk membandingkan fenomena necking pada logam-logam tersebut. 5. Untuk membandingkan modulus elastisitas dari logam-logam tersebut. 6. Untuk membuat, membandingkan serta menganalisis kurva tegangan regangan, baik kurva rekayasa maupun kurva sesungguhnya dari beberapa jenis logam. 7. Untuk membandingkan tampilan perpatahan (fractografi) logam-logam tersebut dan mengAnalisisnya berdasarkan sifat-sifat mekanis yang telah dicapai. 2. DASAR TEORI Tujuan dari dilakukannya suatu pengujian mekanis adalah untuk menentukan respon material dari suatu konstruksi, komponen atau rakitan fabrikasi pada saat dikenakan beban atau deformasi dari luar. Dalam hal ini akan ditentukan seberapa jauh perilaku inheren (sifat yang lebih merupakan ketergantungan atas fenomena atomik maupun mikroskopis dan bukan dipengaruhi bentuk dan ukuran benda uji) dari material terhadap pembebanan tersebut di antara semua pengujian mekanis tersebut, pengujian terik merupakan jenis pengujian yang paling banyak digunakan karena mampu memberikan informasi representati dari perilaku mekanis material. Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat

description

Teknik Mesin

Transcript of Laporan Praktikum Destructive Test

Page 1: Laporan Praktikum Destructive Test

1

MODUL 1

PENGUJIAN TARIK

1. TUJUAN PRAKTIKUM

1. Untuk membandingkan kekuatan maksimum beberapa jenis logam (besi

tuang, baja, tembaga dan alumunium).

2. Untuk membandingkan titik-titk luluh (yield) logam-logam tersebut.

3. Untuk membandingkan tingkat keuletan logam-logam tersebut melalui %

elongasi dan % pengurangan luas.

4. Untuk membandingkan fenomena necking pada logam-logam tersebut.

5. Untuk membandingkan modulus elastisitas dari logam-logam tersebut.

6. Untuk membuat, membandingkan serta menganalisis kurva tegangan

regangan, baik kurva rekayasa maupun kurva sesungguhnya dari beberapa

jenis logam.

7. Untuk membandingkan tampilan perpatahan (fractografi) logam-logam

tersebut dan mengAnalisisnya berdasarkan sifat-sifat mekanis yang telah

dicapai.

2. DASAR TEORI

Tujuan dari dilakukannya suatu pengujian mekanis adalah untuk menentukan

respon material dari suatu konstruksi, komponen atau rakitan fabrikasi pada saat

dikenakan beban atau deformasi dari luar. Dalam hal ini akan ditentukan seberapa

jauh perilaku inheren (sifat yang lebih merupakan ketergantungan atas fenomena

atomik maupun mikroskopis dan bukan dipengaruhi bentuk dan ukuran benda uji)

dari material terhadap pembebanan tersebut di antara semua pengujian mekanis

tersebut, pengujian terik merupakan jenis pengujian yang paling banyak

digunakan karena mampu memberikan informasi representati dari perilaku

mekanis material.

Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan

beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat

Page 2: Laporan Praktikum Destructive Test

2

berupa perubahan panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan

dalam bentuk grafik tegangan-regangan.

2. 1. Perilaku Mekanik Material

Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan

nonlogam) dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku

material tersebut terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa

didapat adalah:

a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)

Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan

proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti

dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier σ = Eε

(bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili

regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada

Gambar 1.1 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-

regangan.

Gambar 1.1. kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat dari baja ulet

b. Batas Elastis (Elastic Limit)

Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang

semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bahagian

Page 3: Laporan Praktikum Destructive Test

3

dari batas plastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi dari

luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan

kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas

elastis merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan

terjadinya deformasi permanen (plastis) untuk pertama kalinya. Kebanyakan material

teknik memiliki batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas

proporsionalitasnya. Kebanyakan material teknik mempunyai batas elastisitas yang

hampir berimpitan dengan batas proposionalnya.

c. Titik Luluh (Yield Point) dan Kekuatan Luluh (Yield Strength)

Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami

deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan

bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress).

Gambar 1.2. Fenomena yield pada kurva hasil uji tarik

Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan

struktur kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-

atom carbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom

tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah

(lower yield point) dan titik luluh atas (upper yield point).

Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas umumnya tidak

memperlihatkan batas luluh yang jelas. Untuk menentukan kekuatan luluh material

seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset.

Dengan metode ini kekuatan luluh (yieldstrength) ditentukan sebagai tegangan

dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari

Page 4: Laporan Praktikum Destructive Test

4

proporsionalitas tegangan dan regangan . Umumnya garis offset diambil 0.1 – 0.2%

dari regangan total dimulai dari 0, dan ditarik keatas sejajar dengan garis

proporsional hingga berpotongan dengan kurva. Kekuatan luluh atau titik luluh

merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan deformasi permanen bila

digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik

seperti tarik, tekan, bending atau puntiran. Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai

ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses manufaktur produk-

produk logam seperti proses rolling, drawing, stretching dan sebagainya. Dapat

dikatakan bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:

Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)

Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)

d. Kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength)

Merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung oleh material sebelum

terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum σuts ditentukan dari

beban maksium Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.

Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (kurva

tegangan regangan) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B.

Bahan yang bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan

maksimum sekaligus tegangan perpatahan Dalam kaitannya dengan penggunaan

struktural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum adalah atas

tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.

e. Kekuatan Putus (breaking strength)

Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus

(Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk patahan yang bersifat ulet pada

saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus

B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu

deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil

daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah

Page 5: Laporan Praktikum Destructive Test

5

sama dengan kekuatan maksimumnya.

f. Keuletan (ductility)

Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam

menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa

tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses

rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya. Secara

umum dilakukan dengan tujuan sebagai :

Untuk menunjukkan perpanjangan dimana suatu logam dapat berdeformasi

tanpa terjadinya patah dalam suatu proses pembentukan logam, misal

pengerolan dan ekstrusi.

Untuk memberi petunjuk umum mengenai kemampuan logam untuk

berdeformasi secara plastis sebelum patah.

Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi

pengolahan.

Gambar 1.3. Perbandingan kurva uji tarik material ulet dan getaS

Page 6: Laporan Praktikum Destructive Test

6

Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:

Persentase perpanjangan (elongation)

Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang

awalnya.

Elongasi, ε (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%

dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.

Persentase pengurangan penampang (Area reduction)

Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan

terhadap luas penampang awalnya.

Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%

dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.

g. Modulus Elastisitas (Modulus Young)

Merupakan ukuran kekakuan suatu material. Semakin besar harga modulus ini

maka semakin kecil regangan elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan

tertentu, atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff). Modulus

kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis yang

linier,diberikan oleh :

E= σ /ε atau E= tan α

dimana α adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-

regangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom-

atom, sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses

tanpa merubah struktur bahan. Gambar di bawah ini menunjukkan grafik tegangan

regangan beberapa jenis baja :

Page 7: Laporan Praktikum Destructive Test

7

Gambar 1.4. Grafik tegangan regangan beberapa baja yang memperlihatkan

kesamaan modulus kekakuan.

h. Modulus Kelentingan (modulus of reselience)

Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa

terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk

oleh area elastik diagram tegangan-regangan. Pada gambar di samping ditunjukkan

oleh segitiga putus-putus.

Gambar 1.5. Daerah modulus resilience

Page 8: Laporan Praktikum Destructive Test

8

i. Modulus Ketangguhan (modulus of toughness)

Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya

perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah

kurva tegangan regangan hasil pengujian tarik. Pertimbangan disain yang mengikut

sertakan modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen-komponen

yang mungkin mengalami pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material

dengan modulus ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena

pembebanan berlebih,tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan

modulus yang rendah dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan

terlebih dahulu.

Gambar 1.6. Kurva tegangan regangan

j. Kurva tergangan rekayasa dan sesungguhnya

Kurva tegangan-regangan rekayasa (engineering stress-strain) didasarkan atas

dimensi awal (Ao dan lo) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva

tegangan-regangan seungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat

pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlalu besar pada

regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada rentang terjadinya pengerasan

regangan (strain hardening), yaitu setelah titik luluh terlampaui. Secara khusus

perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah necking.

Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji

secara actual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai

konstan pada saat perhitungan tegangan σ=P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-

regangan sesungguhnya luas area actual adalah selalu turun sehingga terjadinya

Page 9: Laporan Praktikum Destructive Test

9

perpatahan dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena σ=P/A.

Sehingga notasi true stress & true strain dan hubungannya dengan engineering stress

dan engineering strain dapat dituliskan sebagai :

Dan

dibawah ini adalah grafik yang membandingkan antara kurva tegangan regangan

rekayasa dan sesungguhnya.

Gambar 1.7. Kurva perbandingan true dan engineering stress

Page 10: Laporan Praktikum Destructive Test

10

2. Karakteristik Perpatahan

Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan

perpatahan seperti diilustrasikan oleh gambar di bawah ini :

Gambar 1.8. Mode perpatahan material ulet ke geta

Material dikatakan ulet bila material tersebut mengalami deformasi elastis dan

plastis sebelum akhirnya putus. Sedangkan material getas tidak mengalami deformasi

elastis sebelum mengalami putus.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

1. Universal testing machine, Servopulser Shimadzu kapasitas 30 ton

2. Caliper dan/atau micrometer

3. Spidol permanen atau penggores (cutter)

4. Stereoscan macroscope

5. Sampel Uji Tarik

Sangat ulet Sangat getas

Page 11: Laporan Praktikum Destructive Test

11

3.2. Diagram Alir

Pasang sampel pada grip mesin Shimadzu

Mulai penarikan, perhatikan mekanisme

yang terjadi

Tandai pada grafik titik UTS dan

fracturepoint

Lepaskan sampel dari mesin dan ukur panjang

dan diameter akhir

Mengamati karakteristik perpatahan, sketsa

Pengujian selesai

Hitung formulasi sesuai nilai-nilai yang

ditentukan

Mengulangi pengujian dengan material yang

berbeda

Finish

Mulai

Menghitung posisi sampel

Sketsa sampel, catat ukurannya

Tandai gaugelength dengan spidol

Page 12: Laporan Praktikum Destructive Test

12

4. PENGOLAHAN DATA

a. Data Percobaan

i. Tabel Data

No Time (s) P (kgf) dL

(mm) ε

σ

(Mpa) εt σt(Mpa) Keterangan

1 0 0 0 0 0 0 0

2 8.44500 3301,37 0,35 0,01 412,40 0,007 415,297

3 8.45000 3303,296 0,35 0,01 412,64 0,007 415,542

4 8.46500 3307,03 0,35 0,01 413,10 0,007 416,016

5 8.48500 3310,513 0,35 0,01 413,54 0,007 416,461

6 8.49000 3312,053 0,35 0,01 413,73 0,007 416,657

7 8.50500 3314,776 0,35 0,01 414,07 0,007 417,004

8 8.52500 3317,681 0,35 0,01 414,44 0,007 417,378

9 8.53500 3318,693 0,36 0,01 414,56 0,007 417,508

10 8.54500 3319,992 0,36 0,01 414,72 0,007 417,674

11 8.56500 3321,586 0,36 0,01 414,92 0,007 417,883

12 8.57500 3322,05 0,36 0,01 414,98 0,007 417,944 Yield Strength

13 8.58500 3322,586 0,36 0,01 415,05 0,007 418,014

14 8.60500 3323,167 0,36 0,01 415,12 0,007 418,095

15 8.61500 3323,295 0,36 0,01 415,14 0,007 418,114

16 8.62500 3323,33 0,36 0,01 415,14 0,007 418,121

17 8.65000 3322,997 0,36 0,01 415,10 0,007 418,089

18 8.66000 3322,75 0,36 0,01 415,07 0,007 418,061

19 8.69000 3321,834 0,36 0,01 414,95 0,007 417,956

20 8.70000 3321,288 0,36 0,01 414,89 0,007 417,891

21 8.73000 3319,906 0,36 0,01 414,71 0,007 417,727

22 43.96000 4345,435 1,83 0,04 542,82 0,036 562,690

23 43.98000 4345,473 1,83 0,04 542,82 0,036 562,702

24 43.99500 4345,491 1,83 0,04 542,83 0,036 562,713

25 44.01000 4345,494 1,83 0,04 542,83 0,036 562,720

26 44.03000 4345,485 1,83 0,04 542,83 0,036 562,727

27 44.04000 4345,473 1,83 0,04 542,82 0,036 562,729

28 44.05000 4345,469 1,83 0,04 542,82 0,036 562,735

29 44.07000 4345,468 1,83 0,04 542,82 0,036 562,742

30 44.08500 4345,467 1,84 0,04 542,82 0,036 562,750

31 44.10000 4345,485 1,84 0,04 542,83 0,036 562,760

32 44.12000 4345,496 1,84 0,04 542,83 0,036 562,770

Page 13: Laporan Praktikum Destructive Test

13

ALUMINIUM

No P (kg) dL (mm) ε σ (Mpa) εt σt(Mpa) Keterangan

0 0 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

1 600 0.125 0.003 79.658 0.002 79.857

2 1200 0.250 0.005 159.315 0.005 160.112

3 1578 0.375 0.008 185.868 0.007 187.262 Yield Strength

4 1600 0.500 0.010 192.506 0.010 194.431

5 1618 0.625 0.013 196.489 0.012 198.945

6 1628 0.750 0.015 203.127 0.015 206.174

7 1633 0.875 0.018 207.110 0.017 210.735

8 1636 1.000 0.020 209.765 0.020 213.961

9 1637 1.125 0.023 212.421 0.022 217.200

33 44.13500 4345,497 1,84 0,04 542,83 0,036 562,777 Tensile Strength

34 44.15500 4345,487 1,84 0,04 542,83 0,036 562,783

35 44.16000 4345,477 1,84 0,04 542,82 0,036 562,786

36 44.17500 4345,482 1,84 0,04 542,83 0,036 562,793

37 44.19000 4345,454 1,84 0,04 542,82 0,036 562,797

38 44.21000 4345,437 1,84 0,04 542,82 0,036 562,802

39 44.22500 4345,427 1,84 0,04 542,82 0,036 562,808

40 44.24500 4345,418 1,84 0,04 542,82 0,036 562,815

41 44.26000 4345,415 1,84 0,04 542,82 0,036 562,822

42 44.27500 4345,407 1,84 0,04 542,82 0,036 562,827

43 56.55000 3239,493 2,35 0,05 404,67 0,046 423,723

44 56.56500 3234,426 2,36 0,05 404,04 0,046 423,067

45 56.58500 3228,715 2,36 0,05 403,32 0,046 422,325

46 56.60000 3223,587 2,36 0,05 402,68 0,046 421,660

47 56.62000 3217,722 2,36 0,05 401,95 0,046 420,898

48 56.63500 3212,511 2,36 0,05 401,30 0,046 420,223

49 56.65000 3206,603 2,36 0,05 400,56 0,046 419,454

50 56.66000 3203,919 2,36 0,05 400,22 0,046 419,108

51 56.67500 3199,114 2,36 0,05 399,62 0,046 418,483

52 56.69000 3193,259 2,36 0,05 398,89 0,046 417,723

53 56.71000 3184,706 2,36 0,05 397,82 0,046 416,610 Breaking Strength

Page 14: Laporan Praktikum Destructive Test

14

10 1639 1.250 0.025 215.076 0.025 220.453

11 1640 1.375 0.028 217.731 0.027 223.719

12 1650 1.500 0.030 219.059 0.030 225.631

13 1670 1.625 0.033 221.714 0.032 228.920

14 1690 1.750 0.035 224.369 0.034 232.222

15 1700 1.875 0.038 225.697 0.037 234.161

16 1740 2.000 0.040 227.025 0.039 236.106

17 1778 2.125 0.043 228.352 0.042 238.057 Tensile Strength

18 1776 2.250 0.045 233.663 0.044 244.178

19 1772 2.375 0.048 234.990 0.046 246.152

20 1767 2.500 0.050 236.318 0.049 248.134

21 1760 2.625 0.053 236.318 0.051 248.725

22 1750 2.750 0.055 237.646 0.054 250.716

23 1740 2.875 0.058 238.973 0.056 252.714

24 1735 3.000 0.060 238.973 0.058 253.312

25 1710 3.125 0.063 240.301 0.061 255.320

26 1640 3.250 0.065 240.301 0.063 255.920

27 1620 3.375 0.068 241.628 0.065 257.938

28 1573 3.500 0.070 241.628 0.068 258.542

29 1520 3.625 0.073 241.628 0.070 259.147

30 1490 3.750 0.075 241.628 0.072 259.751

31 1470 3.875 0.078 241.628 0.075 260.355

32 1420 4.000 0.080 241.628 0.077 260.959

33 1415 4.125 0.083 241.628 0.079 261.563

34 1370 4.250 0.085 241.628 0.082 262.167

35 1320 4.375 0.088 241.628 0.084 262.771

36 1310 4.500 0.090 241.628 0.086 263.375

37 1295 4.625 0.093 240.301 0.088 262.529

38 1270 4.750 0.095 238.973 0.091 261.676

39 1240 4.875 0.098 238.973 0.093 262.273

40 1230 5.000 0.100 237.646 0.095 261.410

Page 15: Laporan Praktikum Destructive Test

15

41 1215 5.125 0.103 236.318 0.098 260.541

42 1200 5.250 0.105 233.663 0.100 258.197

43 1190 5.375 0.108 232.335 0.102 257.311

44 1140 5.500 0.110 231.007 0.104 256.418

45 1120 5.625 0.113 228.352 0.107 254.042

46 1110 5.750 0.115 227.025 0.109 253.132

47 1100 5.875 0.118 225.697 0.111 252.216

48 1080 6.000 0.120 223.042 0.113 249.807

49 1070 6.125 0.123 221.714 0.116 248.874

50 1065 6.250 0.125 220.386 0.118 247.935

51 1060 6.375 0.128 217.731 0.120 245.492

52 1058 6.500 0.130 215.076 0.122 243.036 Breaking Strength

Benda Uji Al Baja

Diameter benda uji, d (mm) 8,75 10,00

Luas Awal, Ao (mm²) 60,10 78,50

Luas Akhir, Af (mm²) 42,99 33,17

Panjang Awal, Lo (mm) 50 50

Panjang Akhir, Lf (mm) 56 66

Beban Luluh, kg 1578 3322

Beban Maksimum, kg 1778 4345

Beban putus, kg 1058 3184

Kekuatan Luluh, kg/mm² 26,26 42,32

UTS, kg/mm2 29,58 55,35

Elongasi, % 12,00 32,00

Tabel Sifat Mekanik Hasil Pengujian Tarik

Page 16: Laporan Praktikum Destructive Test

16

ii. Foto Sampel

Aluminium (Al)

Sketsa perpatahan logam Al hasil uji tarik

Baja (Fe3C)

Sketsa perpatahan logam Fe3C hasil uji tarik

b. Contoh Perhitungan

Baja (Fe3C)

1. Regangan Rekayasa

ε = dL/Lo

= 0.36mm/ 50mm

= 0.01

Page 17: Laporan Praktikum Destructive Test

17

2. Tegangan Rekayasa

σ = P/Ao

= 3322kg x 9.806 m/s2 /78,5 mm

2

= 414,98 MPa

3. Regangan Sesungguhnya

εT = ln (1 + ε)

= ln (1 + 0.01)

= 0.007

4. Tegangan Sesungguhnya

σT = σ (1 + ε)

= 414,98 (1 + 0.01)

= 417,944 MPa

5. Ultimate Tensile strength

UTS = Pmax/Ao

= 4345 kg / 78,5 mm2 x 9,806

= 542,77 MPa

6. % Elongasi Sampel

% elongasi = (Lf-Lo)/Lo x 100%

= (66- 50)/50 x 100%

= 32 %

7. % Reduksi

% reduksi = (Ao-Af)/Ao x 100%

= (78,5 – 33,17) / 78,5 x 100%

= 57,74 %

8. Modulus Elastisitas

E = σ /ε

= 414,98 Mpa / 0.01

= 41498 MPa

Page 18: Laporan Praktikum Destructive Test

18

Aluminium (Al)

1. Regangan Rekayasa

ε = dL/Lo

= 0.375mm/ 50 mm

= 0.008

2. Tegangan Rekayasa

σ = P/Ao

= 1578 kg x 9.806 m/s2 / 60,1 mm

2

= 185,86 Mpa

3. Regangan Sesungguhnya

εT= ln (1 + ε)

= ln (1 + 0.008)

= 0.00747

4. Tegangan Sesungguhnya

σT = σ (1 + ε)

= 185,86 (1 + 0.008)

= 187.262 MPa

5. Ultimate Tensile strength

UTS = Pmax/Ao

= 1778 kg / 60,1 mm2 x 9.806

= 290,09 MPa

6. % Elongasi Sampel

%elongasi sampel = (Lf-Lo)/Lo x 100%

= (56 - 50)/50 x 100%

= 12 %

7. % reduksi

% reduksi = (Ao-Af)/Ao x 100%

= (60,1 – 42,9)/60,1x 100%

= 28,6 %

Page 19: Laporan Praktikum Destructive Test

19

8. Modulus Elastisitas

E= σ /ε

= 185,86 Mpa / 0.008

= 23232 Mpa

c. Grafik

i. Grafik P vs dL

Aluminium (Al)

Baja (Fe3C)

Page 20: Laporan Praktikum Destructive Test

20

ii. Grafik Engineering Stress-Strain

Aluminium (Al)

Baja (Fe3C)

0,000

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 0,140

Stress vs Strain

0,000

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200

Stress vs Strain

Page 21: Laporan Praktikum Destructive Test

21

iii. Grafik True Stress-Strain

Aluminium (Al)

Baja (Fe3C)

0,000

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

900,000

0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 0,140 0,160 0,180

t

t

t vs t

Page 22: Laporan Praktikum Destructive Test

22

5. PEMBAHASAN

A. Prinsip Pengujian

Definisi pengujian tarik ialah pengujian untuk mengetahui respon suatu

material terhadap Beban tarik yang diberikan. Mesin yang dipakai dalam

pengujian tarik ini adalah Universal testing machine (Servopulser Shimadzu

kapasitas 30 ton). Prinsip pengujian kali ini adalah meletakkan sampel pada mesin

dengan posisi vertikal. Lalu beban tarik akan diberikan, mekanisme yang terjadi

adalah sampel akan mengalami bebarap fase dari fase elastis sampai fase plastis.

Saat mencapai daerah plastis perubahan yang terjadi adalah pertambahan panjang

dari material dan pada akhirnya akan mencapai patah/putus.

Sampel yang digunakan adalah Fe3C dan Al dengan sampel yang sengaj

diberi Gauge Length supaya patahan yang dinginkan bisa terjadi di daerah

tersebut dan mudah diamat perubahan yang terjadi dengan panjang awal 50 mm.

Hasil dari pengujian ini adalah grafik antara Beban dengan perpanjangan

(elongasi). Setelah hasil dari pengujian ini selesai, kita harus mengkonversikan

menjadi nilai Stress dan Strain. Setelah kurva Stress-Strain didadapat, maka akan

didapatkan pula beberapa nilai yang menggambarkan kemampuan mekanik dari

material tersebut seperti, Batas Proporsional, Yield Point, Yield Strength, UTS,

Modulus Young, serta sifat keuletan dapat terlihat dari hasil perpatahan logam

yang diuji. Pengujian Tarik juga punya standar pengujian yaitu ASTM E8.

B. Analisis Grafik

1. Analisis Grafik P vs dL (Fe3C dan Al)

Grafik ini menunjukkan nilai yang dicatat secara otomatis oleh alat uji tarik

Shimadzu. Dua variabel yang penting dalam bentuk grafik yaitu beban secara

kontinyu (Kg) dan pertambahan panjang (dL) dari tiap pembebanan. Grafik stress

– strain didapat dari ini setelah dikonversikan dari P(kg) menjadi Stress dengan

dibagi Ao, lalu dari Elongasi (mm) dirubah menjadi Strain dengan dibagi Panjang

Awal.

Pada grafik diatas dapat disimpulkan bahwa Fe3C mempunyai keuletan

paling tinggi, lalu Al. Data ini sesuai dengan literatur walaupun terkadang terdapat

Page 23: Laporan Praktikum Destructive Test

23

perbedaan. Perbedaan antara data dan literatur terhadap hasil praktikum bisa saja

disebabkan oleh cacat yang ada pada sampel tersebut. Karena cacat tersebut

sampel yang akan kita ujikan akan putus dengan beban yang lebih sedikit. Hal ini

bisa menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan dan menjadi tempat putus pada

saat penarikan dilakukan.

2. Analisis Grafik σ vs ε (Fe dan Al)

Pada grafik Engineering Stress dan Engineering Strain, kita akan melihat

beberapa titik yang merepresentasikan sifat mekanik logam Fe3C dan Al akibat

beban tarik yang diberikan.

Kuat Max (UTS)

Pada Grafik Engineering Stress dan Engineering Strain terlihat bahwa

logam Fe memiliki nilai UTS yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan logam

Al. Hal ini menunjukkan bahwa logam Fe3C memiliki kekuatan tarik yang lebih

tinggi. UTS merupakan beban maksimum yang mampu diterima oleh material saat

deformasi plastis terjadi.

Titik Luluh

Yield point yang tertera pada grafik menunjukkan bahwa logam Fe

memiliki Titik luluh yang paling tinggi dibandingkan dengan logam lainnya.

Alasan mengapa Fe3C memiliki titik luluh yang tinggi adalah karena saat logam

Fe3C diberikan beban atau tegangan, hal ini akan memicu dislokasi untuk

bergerak. Pergerakan dislokasi terjadi pada slip sistem dimana logam Fe3C yang

berstruktur BCC memiliki lebih sedikit slip sistem dibandingkan Al yang

memiliki struktur FCC. Sehingga akan semakin sulit untuk berubah dari fase

elastis menjadi plastis.

E (Modulus Young)

Berdasarkan grafik diatas, Modulous young Fe3C merupakan yang paling

tinggi. ini sesuai dengan literatur dimana E dari Baja sekitar 105 -200 Gpa, dan Al

Alloy 69-75 Gpa. Semakin tinggi nilai modulous young maka semakin kaku

Page 24: Laporan Praktikum Destructive Test

24

material tersebut. karena semakin besar tegangan yang harus diberikan untuk

mendapatkan regangan yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh energi ikatan antar

atom.

Necking

Mekanisme penciutan (necking) untuk ditandai ketika material mulai

mengalami penciutan terhadap diameter awalnya atau pada saat kekuatan tarik

maksimumnya terlewati. Mekanisme penciutan ini terjadi karena adanya

pergerakan dislokasi akibat pemberian tegangan yang tinggi pada ujung dislokasi

yang diikuti oleh proses penggabungan rongga-rongga udara secara memanjang

melalui jembatan-jembatan material yang berada di antara rongga-rongga tersebut.

Pada pengujian tarik yang telah dilakukan, ketiga spesimen uji tarik yang terdiri

dari Fe3C dan Al menunjukkan adanya fenomena penciutan (necking) yang berarti

bahwa ketiga spesimen ini cukup ulet.

Pada grafik Proses Necking yang menghasilkan perpanjangan cukup lama

adalah Fe3C yang berarti dia memiliki keuletan yang cukup baik. Untuk Al

mungkin banyak faktor yang mempengaruhi seperti micro-crack sehingga

sebelum ditarik memang sudah ada rongga yang tercipta.

Keuletan

Keuletan atau ductility ketiga sampel ini bisa kita lihat dari perubahan

panjang atau % elongasi. Berdasarkan data yang ada, % elongasi terbesar dimiliki

oleh Fe3C 32 % lalu Al 12 %. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa struktur

kristal Al tidak mampu menghasilkan keuletan yang tinggi. Karena pada hasil

pengujian Fe3C mempunyai keuletan yang lebih tinggi daripada Al.

3. Analisis Grafik σt vs εt (Fe3C dan Al)

True stress dan True Strain merupakan kondisi yang akan dialami material

pada kehidupan nyata. Secara perhitungan, untuk mendapatkan true stress harus

dibagi dengan Luas area saat kondisi terakhir material tersebut, sedangkan pada

Page 25: Laporan Praktikum Destructive Test

25

Engineering stress bisa didapat dengan dibagi luas penampang awal. Bisa dilihat

pada grafik bahwa nilai daru True Stress lebih besar dibanding dengan

engineering stress. Seharusnya bentuk grafik untuk true Stress adalah terus naik

ke atas. Karena nilai Af akan terus mengecil dan nilai Stress akan terus bertambah.

Dibandingkan dengan ketiga sampel, logam Fe3C tetap memiliki True Stress yang

paling tinggi.

4. Analisis Hasil Perpatahan

Pengamatan ini bertujuan untuk mengAnalisis data kualitatif berupa

bentuk patahan sampel. Bentuk patahan pada uji tarik memberikan informasi

apakah material uji bersifat ductile atau brittle. Berikut gambar perbandingan hasil

perpatahan ketiga sampel (Fe3C dan Al)

Dari data percobaan dapat disimpulkan bahwa semua sample bersifat ulet

(ductile), karena mengalami mekanisme necking. Necking adalah salah satu ciri

yang dimilki oleh material ductile. Selain itu, ketiga perpatahan memiliki patahan

yang berserabut (tidak rata) dan gelap (dull). Hal ini sesuai dengan Analisis

grafik yang ditampilkan sebelumnya. Pada spesimen Fe3C hasil perpatahan yang

dihasilkan berupa cup dan cone. Sedangkan pada spesimen Al bentuk patahannya

miring hampir 45o.

Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa proses perpatahan ini terjadi melalui

beberapa tahapan, yaitu : necking, pembentukan pori kecil pada material (di

tengah ataupun permukaan), penyebaran pori / lubang (cavities propagation),

untuk kemudian bergabung membentuk pori yang lebih besar dimana sumbu

panjangnya tegak lurus terhadap arah pembebanan. Penyebaran crack berlanjut

hingga pada akhirnya terjadi perpatahan akibat benda tidak mampu lagi menahan

beban yang ada.

Page 26: Laporan Praktikum Destructive Test

26

6. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

UTS Logam Fe3C dan Al :

Fe3C = 542,77 MPa

Al = 290,09 MPa

Titik luluh secara urutan yaitu Fe3C dan Al

Fenomena necking terjadi pada ketiga sampel logam

Modulous Elastisitas Fe3C paling tinggi lalu Al

Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas luas penampang awal

dan kurva tegangan-regangan sesungguhnya didasarkan atas luas

penampang aktual.

Patahan yang terjadi menampakan adanya fibrous dan tidak memantulkan

cahaya, menunjukan bahwa termasuk patahan ulet.

B. Saran

Terlalu lama menghabiskan waktu untuk pada tahap membahas laporan

awal dan paper, sehingga praktikum kurang dapat dipahami

Asisten memberi informasi dengan jelas dan baik

Praktikum pengujian tarik menyenangkan karena suasana praktikum yang

nyaman

Page 27: Laporan Praktikum Destructive Test

27

MODUL 2

PENGUJIAN KEKERASAN

1. Tujuan Praktikum

1 Menguasai beberapa metode pegujian yang umum dilakukan untuk

mengetahui nilai kekerasan suatu logam.

2 Menjelaskan makna nilai kekerasan material dalam lingkungan ilmu

metalurgi dan ilmu-ilmu terapan lainnya.

3 Menjelaskan perbedaan antara pengujian kekerasan dengan metode gores,

pantulan dan indentasi.

4 Menjelaskan kekhususan pengujian kekerasan dengan metode Brinell,

Vickers, Knoop, dan Rockwell.

5 Mengaplikasikan beberapa formulasi dasar untuk memperoleh nilai

kekerasan material dengan uji Brinell dan Vickers.

2. Dasar Teori

Kekerasan ( hardness ) merupakan kemampuan dari suatu bahan/ material

terhadap gaya tekan/ goresan/ pengikisan. Pengujian kekerasan adalah satu dari sekian

banyak pengujian yang dipakai, karena dapat dilaksanakan pada benda uji yang kecil

tanpa kesukaran mengenai spesifikasi. Pengujian paling banyak dipakai ialah dengan

menekankan penekan tertentu kepada benda uji dengan beban tertentu dan dengan

mengukur ukuran bekas penekanan yang terbentuk di atasnya, cara ini dinamakan cara

kekerasan penekanan.

Kekerasan merupakan ketahanan material terhadap deformasi plastis terlokalisir

(misalnya indentasi kecil atau gores). Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme

penggoresan (scratching), pantulan (rebound) ataupun indentasi dari material keras

terhadap permukaan benda uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3

metode uji kekerasan. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut , dikenal 3 metode

uji kekerasan :

2.1 Metode Goresan

Prinsip dari pengujian gores adalah menggoreskan permukaan benda uji dengan

material pembanding. Material yang tergores menunjukkan bahwa kekerasannya lebih

rendah dari material yang menggores. Namun, metode ini tidak banyak digunakan

Page 28: Laporan Praktikum Destructive Test

28

dalam dunia metalurgi, namun masih dalam dunia mineralogi.

Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yaitu dengan membagi kekerasan

material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs).

Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, nilai 10 sebagai skala

kekerasan tertinggi. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia diwakili

oleh :

1. Talc 6. Orthoclase

2. Gipsum 7. Quartz

3. Calcite 8. Topaz

4. Fluorite 9. Corundum

5. Apatite 10. Diamond (intan)

Bila suatu material mampu digores oleh apatite (no.5 ) tetapi tidak mampu digores

oleh Fluorite (no.4) , maka kekerasan material tersebut berada anatar 4 dan 5.

Kekurangan utama metode3 ini adalah ketidakakuratan nilai kekerasan suatu material.

Bila kekerasan mineral-mineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya

berkisar antara 1 – 9 saja. Sedangkan nilai 9 – 10 memiliki interval yang besar (jarang

ditemukan).

2.2 Metode Pantulan (rebound)

Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Scleroscope

yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang

dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan

(rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan

tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji

dinilai semakin tinggi.

2. 3. Metode Indentasi

Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan

indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu

material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung

jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji

kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Page 29: Laporan Praktikum Destructive Test

29

2.3.1 Metode Brinell

Diperkenalkan oleh JA Brinell tahun 1900. Pengujian kekerasan ini dilakukan

dengan menggunakan bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan

beban dan waktu indentasi tertentu. Hasil penekanan berupa jejak yang berbentuk

setengah bola dengan permukaan lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya

dengan mikroskop khusus pengukur jejak.

Gambar 2.1. Prinsip indentasi dengan metoda Brinell

Prosedur pengujiannya yaitu dengan menggunkan indentor berbentuk bola

dengan diamter D= 10 mm terbuat dari baja atau karbida tungsten. Beban yang

diaplikasikan dapat dipilih sebesar 500, 1500, atau 3000 kg, tergantung jenis bahan

yang akan diuji (pada umumnya 3000 kg untuk logam-logam ferous dengan waktu

indentasi sekitar 10 detik dan 500 untuk logam-logam nonferous, dengan waktu

indentasi sebesar 30 detik) sehingga terbentuk jejak berupa lingkaran atau

cekungan yang simetris dipermukaan bahan dengan diameter d (mm). Besarnya

nilai kekerasan Brinnel (BHN= Brinell Hardness Number) dihitung dengan

menggunakan persamaan di atas.

2.3.2 Metode Vickers

Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut

136°. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang

dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan

skala pada mikroskop pengukur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

VHN 1.854 P

d2

dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar\

Page 30: Laporan Praktikum Destructive Test

30

Gambar 2.2. Jejak pada metoda Vickers

Penggunaan indentor intan berbentuk piramid pada metode Vickers sangat

menguntungkan karena dapat digunakan untuk memeriksa bahan-bahan dengan

kekerasan tinggi. Di samping itu, bentuk dan geometri jejak yang dihasilkan tidak

banyak terpengaruh oleh besarnya beban yang diberikan sehingga besarnya beban

tidak perlu dikontrol terlalu ketat seperti halnya pada metode brinnel. Selain pada

skala makro, metode vickers dapat digunakan pada skala mikro, dengan

pembebanan sangat rendah, yaitu 1-1000 gram. Penampang jejek untuk uji ini

sangat bergantung dari sifat material yang akan diindentasi.

Gambar 2.3 Penampang hasil jejak metode Vickers

2.3.3 Metode Rockwell

Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers di mana kekerasan suatu bahan

dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan, maka metode ini merupakan uji

kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak

digunakan dalam industri karena praktis. Prinsip pengujian pada metode rockwell

yaitu dengan melakukan pembebanan sebanyak 2 tahap, dimana tahap pertama

Page 31: Laporan Praktikum Destructive Test

31

adalah pembebanan minor untuk menentukan titik awal (starting point) dan tahap

kedua adalah pembebanan mayor (pembebanan utama) .

Tabel 2.1 Daftar Indentor untuk metode Rockwell

Indentor pada metode rockwell ini berbentuk kerucut dengan sudut 120o dari

intan dengan diameter 1/16 inch atau bola baja berdiameter 1/8 inch. Beban yang

digunakan bervariasi 60, 100, dan 150. Jenis indentor dan beban menentukan skala

kekerasan yang digunakan. Nilai kekerasan dapat langsung dibaca pada display

sehingga pengujian ini cukup banyak digunakan di industri.

Gambar 2.4. Penjejakan metoda Rockwell

Page 32: Laporan Praktikum Destructive Test

32

2.3.4 Metode Knoop

Merupakan salah satu metoe micro-hardness, yaitu uji kekerasan dengan

benda uji yang kecil. Metode ini digunakan saat benda uji berukuran kecil atau tipis.

Disebut microhardness karena beban yang digunakan kurang dari 2N sedangkan

ketiga pengujian kekerasan diatas merupakan macrohardness karena beban yang

digunakan lebih besar dari 2 N.

Nilai kekerasan knoop adalah pembebanan dibagi dengan luas penampang

yang terdeformasi permanen. Jejak yang dihasilkan sekitar 0.01 mm- 0.1 mm dan

beban yang digunakan sebesar 5gr – 5 kg. Permukaan benda uji harus benar-benar

halus.

3. Metoda Penelitian

3.1 Alat dan Bahan

1. Hoytom macrohardness tester (metode Brinell, Vicker, dan Rockwell)

2. Buehler Micromet 2100 series microhardness tester (metode Vickers)

3. Micrometer

4. Measurin microscope

5. Sampel uji silinder pejal dan uji tarik (besi tuang, baja, tembaga dan

alumunium).

Page 33: Laporan Praktikum Destructive Test

33

3.2 Diagram Alir Proses Pengujian

3.2.1 Proses Vickers

Mulai

Mengamplas bagian

grip sampel uji tarik

Meletakkan sampel

pada anvil dengan

posisi mendatar

Memilih indentor

dan beban yang

sesuai

Melakukan

pengujian pada

beberapa titik di

bagian grip

Mengukur

diameter jejak

Menghitung dan

membandingkan nilai

kekerasan dengan sampel

silinder

Melakukan pengujian

pada sampel lain

Selesai

Page 34: Laporan Praktikum Destructive Test

34

3.2.2 Proses Brinell

Mulai

Menyiapkan

sampel

Memasang indentor

yang sesuai

Memasang beban yang

sesuai

Putar ring hingga jarum

menunjukkan angka

nol pada skala

Menyesuaikan skala

dengan metode

rockwell yang dipilih

Memutar poros

searah jarum jam,

untuk pre-load

Memutar tuas ke

belakang untuk

pembebanan

Mengembalikan tuas

ke posisi semula

Membaca nilai

kekerasan pada dial

Memutar poros

berlawanan arah

jarum jam

Melanjutkan pengujian

untuk lokasi dan

sampel lain

Selesai

Page 35: Laporan Praktikum Destructive Test

35

3.2.3 Metode Rockwell

Mulai

Menyiapkan

sampel uji

kekerasan

Memasang indentor

Memilih beban

sesuai sampel uji

Memutar poros

searah jarum jam

Memutar poros

hingga menyentuh

batas merah

Memutar tuas ke

belakang untuk

melakukan indentasi

selama 10-15 detik

Memutar poros

berlawanan arah

jarum jam

Melakukan proses

untuk lokasi dan

sampel lainnya

Mengukur diameter

jejak indentasi

Menghitung nilai

kekerasan

Selesai

Page 36: Laporan Praktikum Destructive Test

36

3.2.4 Metode Knoop (Mikro)

Page 37: Laporan Praktikum Destructive Test

37

4. PENGOLAHAN DATA

a. Data Percobaan

i. Tabel

ii. Foto Sampel

Aluminum (Al)

Sketsa indentasi logam Al hasil uji keras

Tembaga (Cu)

Sketsa indentasi logam Cu hasil uji keras

Benda UjiNomor

IndentasiP (N) D (mm) d (mm)

dave

(mm)

BHN

(N/mm2)

BHNave

(N/mm2)

1 0,727 41

2 0,723 43,5

3 0,723 43

4 0,721 40

5 0,769 45

1 0,794 124,22

2 0,709 156,31

3 0,709 123,27

4 0,76 132,51

5 0,797 135,6

42,50

Tembaga 1000 3,175 0,754 134,38

Aluminum 1000 3,175 0,733

Page 38: Laporan Praktikum Destructive Test

38

b. Contoh Perhitungan

Aluminum

BHN =

( √ )

=

( √ )

= 42,5

Tembaga

BHN =

( √ )

=

( √ )

= 134.38

c. Grafik

i. Grafik BHN vs beban (Al)

Page 39: Laporan Praktikum Destructive Test

39

ii. Grafik BHN Vs P (Cu)

iii. Grafik BHN perbandingan rata-rata ketiganya

Page 40: Laporan Praktikum Destructive Test

40

5. PEMBAHASAN

1. Prinsip Pengujian

Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengukur ketahanan material

terhadap deformasi plastis yang terlokalisir. Selain itu, pengujian kekerasan juga

dilakukan untuk mengukur nilai kekerasan material serta untuk memberikan

indikasi dari kekuatan tarik dan kemampuan material terhadap ketahanan aus.

Sampel uji yang digunakan ialah logam Al dan Cu. Waktu penjejakan ditentukan

selama 10 detik. Sedangkan beban yang diberikan pada masing-masing sampel

ialah Cu = 100 Kg dan Al = 100 Kg, dengan diameter indentor sebesar 3,175 mm.

Alat penguji kekerasan Brinell yang digunakan yaitu Hoytom Microhardness

Tester.

Penjejakan dengan metode Brinell ini dilakukan

sebanyak lima kali. Setelah dilakukan penjejakan lalu dilakukan pengukuran jejak

dengan menggunakan mikroskop. Dari lima buah data tersebut, dicari lebar

penjejakan rata-rata yang kemudian datanya diolah untuk dicari nilai kekerasan

BHN. Pengukuran nilai kekerasan suatu material dapat dilihat pada rumus di

bawah ini.

22

2dDD

D

PBHN

BHN = Brinell hardness number (Nilai kekerasan Brinell)

P = Beban Indentasi (kg)

D = Diameter Indentor (mm)

d = Diameter jejak (mm)

Page 41: Laporan Praktikum Destructive Test

41

2. Analisis Grafik

2.1 Analisis Grafik BHN vs Beban (Al)

Hampir sama dengan sampel Cu, sampel Al juga memiliki kekerasan Al

yang berbeda-beda. Nilai kekerasan tertinggi pada sampel Al terdapat pada

indentasi kelima yaitu nilai kekerasannya 45 N/mm2.

Sama halnya dengan sampel Cu, grafik BHN vs beban sampel Al tidak

memiliki deviasi yang signifikan. Deviasi yang terjadi biasanya disebabkan oleh

ketidak-akuratan selama pembacaan diameter jejak. Letak indentasi yang cukup

berjauhan turut membantu dalam pengurangan deviasi BHN akibat strain

hardening yang terjadi.

2.2 Analisis Grafik BHN vs Beban (Cu)

Pada grafik BHN vs beban sampel Cu, kembali didapatkan nilai kekerasan

yang berbeda seperti halnya Al. Terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara

indentasi yang pertama dan kedua. Pada indentasi pertama BHN-nya

menunjukkan 124.22 N/mm2, sedangkan pada indentasi kedua nilai BHN-nya

156.31 N/mm2.

Pada indentasi ketiga, nilai kekerasan BHN-nya tidak terlalu berbeda

dengan nilai kekerasan pada indentasi yang pertama. Nilai BHN-nya adalah

123.27 N/mm2. Perbedaan ini diakibatkan juga seperti dialami oleh spesimen Al

yaitu kurang sempurnanya pengamplasan pada permukaan spesimen sehingga

masih ada lapisan oksida pada beberapa bagian permukaan.

2.3 Analisis Grafik BHN vs Sampel

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, didapat nilai kekerasan yang

berbeda antara sampel Cu dan Al. Nilai kekerasan ketiga sampel uji tersebut

dihitung rata-ratanya dan didapat dari data.

Nilai kekerasan tertinggi dimiliki oleh Cu. Hal ini sesuai dengan literature.

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kesalahan pada nilai kekerasan.

Antara lain pengamplasan sampel yang kurang baik sehingga masih ada lapisan

oksida pada beberapa bagian permukaan, serta pembacaan dengan menggunakan

mikroskop juga mempengaruhi nilai kekerasan.

Page 42: Laporan Praktikum Destructive Test

42

Nilai kekerasan Cu lebih tinggi dari Al dapat dikarenakan beberapa faktor,

salah satu struktur kristalnya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Cu memiliki

struktur kristal BCC dan Al memiliki struktur kristal FCC. Struktur kristal FCC

memiliki slip sistem yang lebih banyak dari FCC yaitu berjumlah 12 buah.

Semakin banyaknya slip sistem maka dislokasi akan semakin mudah bergerak,

sehingga material dengan struktur FCC memiliki sifat mekanik yang lunak.

Dikarenakan sifat mekanik inilah maka Al memiliki ketahanan terhadap

pembebanan indentasi yang rendah tidak seperti Cu yang memiliki ketahanan

pembebanan yang cukup tinggi. Ketahanan terhadap pembebanan ini disebabkan

karena struktur kristal BCC memiliki slip sistem yang lebih sedikit daripada

struktur FCC sehingga dislokasi tidak bergerak semudah di dalam struktur FCC,

dan menyebabkan material dengan struktur BCC lebih keras.

2.4 Analisis Hubungan Nilai Kekerasan dengan Sifat Lain

Nilai kekerasan memiliki hubungan dengan kekuatan tarik pada logam.

Hal ini ditunjukkan pada grafik:

Sesuai persamaan: TS (MPa) = 3.45 x HB atau TS (psi) = 500 x HB

Dari grafik dan persamaan di atas, dapat kita lihat bahwa kekuatan tarik

(TS = Tensile Strength) berbanding lurus dengan kekerasan (HB = Hardness

Brinell). Sehingga dapat kita simpulkan, Cu memiliki kekuatan tarik yang paling

besar dibandingkan dengan Al dan berbanding lurus dengan kekerasannya. Selain

itu, nilai kekerasan juga berhubungan dengan tingkat resistansinya terhadap aus.

Page 43: Laporan Praktikum Destructive Test

43

Semakin keras material, maka ketahanan ausnya semakin tinggi. Ini berarti Cu

memiliki ketahanan aus yang paling tinggi dibanding Al.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Terdapat Beberapa metode pengujian Kekerasan : Metode Brinell,

Rockwell, dan Vickers serta Knoop yang umum digunakan saat ini

Faktor yang mempengaruhi nilai kekerasan Brinell :

1. Beban

2. Diameter Identor

3. Diameter Jejak

Dengan rumus :

( ( √

Urutan nilai kekerasan pada sampel uji : Cu – Al.

1. Kekerasan Cu = 134.38 BHN

2. Kekerasan Al = 42,5 BHN

Terdapat formula antara kekerasan dan kekuatan tarik :

UTS (MPa) = 3,45*HB

UTS (psi) = 500*HB

B. Saran

Asisten memberikan informasi dengan jelas dan baik.

Terlalu lama menghabiskan waktu untuk membahas laporan awal dan

paper, sehingga praktikan kurang memahami praktikum yang

dilakukan.

Praktikum pengujian keras menyenangkan karena suasana praktikum

yang nyaman.

Page 44: Laporan Praktikum Destructive Test

44

MODUL 3

PENGUJIAN IMPAK

1. TUJUAN PRAKTIKUM

1. Menjelaskan tujuan dan prinsip dasar pengukuran harga impak dari logam.

2. Mengetahui temperatur transisi perilaku kegetasan baja struktural ST 42.

3. MengAnalisis permukaan patahan (fractografi) sampel impak yang diuji

pada beberapa temperatur.

4. Membandingkan nilai impak beberapa jenis logam.

5. Menjelaskan perbedaan metode Charpy dan Izod.

2. PRINSIP PENGUJIAN

Pengujian impak berbeda dengan pengujian tarik dan pengujian kekerasan.

Perbedaannya terletak pada pemberian beban atau pembebanannya. Untuk pengujian

tarik dan pengujian kekerasan, pembebanan dilakukan secara perlahan-lahan.

Sedangkan untuk pengujian impak, merupakan pengujian yang mengukur ketahanan

beban terhadap beban kejut.

Pengujian impak merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi operasi

material yang sering ditemui dalam perlengkapan konstruksi dan transportasi dimana

beban tidak selamanya terjadi secara perlahan-lahan melainkan datang secara tiba-tiba,

misalnya deformasi pada bumper mobil pada saat kecelakaan.

Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum

beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk beban uji sehingga

beban uji mengalami deformasi.

Gambar 3.1 dibawah ini menunjukkan salah satu metode menentukan kekuatan

impak suatu. Gambar di bawah ini memberikan ilustrasi suatu pengujian impak dengan

metode Charpy:

Page 45: Laporan Praktikum Destructive Test

45

Gambar 3.1. Mekanisme pengujian impak

Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan

dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi

yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan

metode Charpydiberikan oleh :

dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di

bawah takik dalam satuan mm2.

dimana : P = beban yang diberikan (Newton)

Ho= ketinggian awal bandul (mm)

H1= ketinggian akhir setelah terjadi perpatahan benda uji (mm)

Benda uji impak dikelompokkan kedalam dua golongan sampel standar (ASTM

E-23) yaitu batang uji Charpy (Metode Charpy - USA) dan batang uji Izod ( Metode Izod –

Inggris dan Eropa).

Page 46: Laporan Praktikum Destructive Test

46

1. Batang Uji Charpy

Sampel uji memiliki dimensi ukuran yaitu 10x10x55 mm (tinggi x lebar x panjang).

Dengan posisi takik (notch) berada di tengah, kedalaman takik 2 mm dari permukaan

benda uji, dan sudut takik 45°. Bentuk takik berupa huruf bentuk U, V, key hole ( seperti

lubang kecil). Benda diletakkan pada tumpuan dengan posisi horisontal dan tidak dijepit.

Hal ini menyebankan pengujian berlangsung lebih cepat, sehingga memudahkan untuk

melakukan pengujian pada temperatur transisinya. Sedangkan ayunan bandul dari arah

belakang takik dengan pembebanan dilakukan dari arah punggung takik.

Gambar 3.2. Sampel uji impak Charpy

2. Batang Uji Izod

Sampel uji memiliki dimensi ukuran yaitu 10 x 10 x 75 mm (tinggi x lebar x

panjang). Dengan posisi takik berada pada jarak 28 mm dari ujung benda uji, kedalaman

takik 2 mm dari permukaan benda uji, dengan sudut takik 45°. Bentuk takik berupa

huruf U, V , atau key hole (seperti lubang kunci). Benda diletakkan pada tumpuan

dengan posisi vertikal dan dijepit. Sampel yang dijepit menyebabkan pengujian

berlangsung lama, sehingga tidak cocok digunakan pada pengujian dengan temperatur

yang bervariasi. Sedangkan ayunan bandul dari arah depan takik dengan pembebanan

dilakukan dari arah muka takik.

Gambar 3.3. Sampel uji impak izod

Page 47: Laporan Praktikum Destructive Test

47

Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah

penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fractografi)

yang terjadi. Secara umum perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis perpatahan,

yaitu :

1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme

pergeseran bidang-bidang kristal di dalam material / logam (logam) yang ulet

(ductile).

2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan

(cleavage) pada butir-butir dari material / logam (logam) yang rapuh (brittle).

3. Perpatahan campuran, merupakan kombinasi kedua jenis perpatahan di atas.

Informasi lain yang dapat diperoleh dari pengujian impak adalah

temperatur transisi bahan.

Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan

jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda. Pada

pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada

temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur

rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan

vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana pada temperatur

kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi

tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu driving

force terhadap pergerakan partikel atom bahan). Dengan meningkatnya vibrasi vacancy

akan semakin tinggi dan dengan begitu dislokasi akan sangat mudah bergerak. Dengan

semakin mudahnya dislokasi bergerak deformasi menjadi lebih tinggi dimana derajat

deformasi yang tinggi merupakan salah satu ciri keuletan.

Sebaliknya pada temperatur di bawah 0OC, vibrasi atom relatif sedikit sehingga

pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi tidak terlalu berperan dalam

terjadinya perpatahan ketika uji impak dilakukan. Ketika beban terjadi tiba-tiba pada

material dengan temperatur rendah maka patahan terjadi karena putusnya ikatan antar

atom, mode perpatahan yang terjadi adalah patahan getas dengan begitu perpatahan

energi yang relatif lebih rendah. Informasi mengenai temperatur transisi menjadi

demikian penting bila suatu material akan didisain untuk aplikasi yang melibatkan

rentang temperatur yang besar, misalnya dari temperatur dibawah 0OC hingga

temperatur tinggi di atas 100OC. Contoh sistem penukar panas (heat exchanger). Hampir

Page 48: Laporan Praktikum Destructive Test

48

semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan

aluminium bersifat ulet pada semua temperatur sementara bahan dengan kekuatan

luluh yang tinggi bersifat rapuh

Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah

penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fractografi)

yang terjadi. Secara umum perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis perpatahan,

yaitu :

1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme

pergeseran bidang-bidang kristal di dalam material / logam (logam) yang ulet

(ductile).

2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan

(cleavage) pada butir-butir dari material / logam (logam) yang rapuh (brittle).

3. Perpatahan campuran, merupakan kombinasi kedua jenis perpatahan di atas.

Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh yang

rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir

semua baja karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya

bersifat rapuh pada temperatur rendah. Gambar di samping ini memberikan ilustrasi

efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa bahan.

Gambar 3.4. Grafik efek temperatur terhadap kekuatan impak

Page 49: Laporan Praktikum Destructive Test

49

3. METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

1. Impact testing machine (metode Charpy) kapasitas 30 Joule.

2. Caliper dan/atau micrometer

3. Stereoscan macroscope

4. Termometer

5. Furnace

6. Sampel uji impak baja ST 42 dan Cu-Zn (3 buah)

7. Dry ice

3.2 Diagram Alir

MULAI

Mengukur luas area dibawah takik

Menyiapkan sampel uji untuk

temperatur rendah &

temperatur tingi

Uji sampel dengan berbagai

macam temperatur

Memastikan jarum merah pada posisi nol

Menaikkan pendulum

Meletakkan benda uji pada tempatnya

Melepaskan tombol hingga pendulum berayun

Menarik tuas rem

Membaca nilai pada skala

Menghitung nilai impak

Mengamati permukaan

patahannya

Buat sketsa patahan dan

mengukur luas area getas – ulet

(% luas area dibawah takik

Mengulangi pengujian untuk

sampel lain

Mengulangi pengujian untuk

sampel yang lain

SELESAI

Page 50: Laporan Praktikum Destructive Test

50

4. PENGOLAHAN DATA

a. Data Percobaan

i. Tabel

Keterangan :

a = tinggi daerah bawah takik (mm)

b = lebar sampel (mm)

A = luas penampang bawah takik (mm2)

E = Energi yang diserap (Joule)

HI = Harga Impak (Joule/mm2)

ii. Foto Sampel

1. Fe dan Al pada Temperatur Tinggi

Bahan T (°C) a (mm) b (mm) A (mm²)E

(Joule)

HI

(Joule/mm²)

Deskripsi

Patahan

-20 7,95 9,95 79,10 14 0,177 Getas

23 7,3 9,45 68,99 85 1,232 Fibrous

170 8,6 9,9 85,14 95 1,116 Fibrous

-20 7,95 9,9 78,71 17 0,216 Getas

23 7,21 9,4 67,77 22 0,325 Fibrous

120 8,25 9,95 82,09 25 0,305 Fibrous

Fe

Al

Page 51: Laporan Praktikum Destructive Test

51

2. Fe dan Al pada Temperatur Rendah

3. Fe dan Al pada Temperatur Ruang

b. Contoh Perhitungan

Harga Impak (HI) sampel Fe pada temperatur ruang

a = 7,3 mm

b = 9,45 mm

A = a x b = 68,99 mm2

E = 85 Joule

Page 52: Laporan Praktikum Destructive Test

52

Harga Impak (HI) sampel Al pada temperature ruang

a = 7.21 mm

b = 9,4 mm

A = 67,77 mm2

E = 22 Joule

c. Grafik

Grafik HI vs T (Fe)

Page 53: Laporan Praktikum Destructive Test

53

Grafik HI vs T (Al)

5. PEMBAHASAN

1. Prinsip Pengujian

Pengujian impak adalah pengujian untuk mengukur ketahanan material

terhadap beban kejut, terutama yang akan dipakai pada temperatur yang

bervariasi. Dasar dari pengujian impak iniadalah penyerapan energi potensial dari

pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk

benda uji hingga terdeformasi sampai titik maksimum yang mengakibatkan

perpatahan. Pengujian impak menghitung banyaknya energi yang diserap oleh

bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau

ketangguhan bahan tersebut. Semakin tangguh suatu material maka material

tersebut memiliki kemampuan untuk menyerap energi dari beban kejut yang besar

tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah.

Secara umum, uji impak dikelompokkan dalam 2 golongan sampel standar

(ASTM E-23) yaitu batang uji Charpy dan Izod. Pada pengujian yang dilakukan

oleh praktikan, metode yang digunakan dalam pengujian adalah metode dengan

batang uji Charpy. Batang uji Charpy ini digunakan karena praktikan juga akan

mengukur harga impak sampel dalam temperatur yang bervariasi.

Al

Page 54: Laporan Praktikum Destructive Test

54

Gambar Pengujian Impak

Pengujian impak ini akan menghasilkan data untuk mengetahui energi

yang mampu diterima material. Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati

permukaan patahan benda uji. Ada 3 macam jenis patahan yang kita ketahui,

antara lain: patahan berserat (fibrous), patahan granular/kristalin dan patahan

campuran. Data lain yang dapat diketahui dari pengujian impak ini adalah

temperatur transisi bahan.

Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi

perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-

beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda, kita dapat melihat

bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile), sedangkan pada

temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Informasi

mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan

didesain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur yang besar, misalnya

dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur tinggi di atas 100

derajat Celcius.

Variasi temperatur pada pengujian kali ini meliputi 3 suhu, yaitu: di bawah

suhu ruangan, pada suhu ruangan, dan di atas suhu ruangan. Masing-masing

temperatur tersebut digunakan pada sampel besi (Fe) dan aluminium (Al).

Untuk mengkondisikan temperatur di bawah temperatur ruangan, sampel

Page 55: Laporan Praktikum Destructive Test

55

dicelupkan dalam nitrogen cair. Sedangkan untuk suhu di atas temperatur ruang,

sampel dipanaskan di atas heater.

2. Analisis Grafik HI vs T

Dari kedua grafik terdapat perbedaan mengenai harga impak dari material

yang mengalami pengkondisian yang berbeda (temperature). Perbedaan harga

impak tersebut mengindikasikan adanya perubahan sifat mekanis dari logam.

Tingkat keuletan dari logam berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan oleh

hubungan dengan jenis perpatahan dari material ketika material diberikan beban.

Terjadi transisi dari logam yang cenderung logam menjadi lebih ductile, ataupun

sebaliknya.

2.1 Analisis Grafik HI vs T (Fe)

Dari grafik hubungan antara harga impak dan temperature uji dari Fe,

bahwa kurva harga impak Fe dari temperature rendah hingga temperature ruang

mengalami kenaikan kemudian mengalami penurunan lagi pada saat temperatur

Fe diatas temperatur ruang. Perubahan dalam harga impak tersebut tentunya

menunjukkan bahwa adanya perubahan temperature pada besi dapat merubah atau

minimal mempengaruhi sifat mekanis dari besi tersebut. Naiknya harga impak

tentunya mengindikasikan kemampuan besi dalam menyerap energi menjadi lebih

baik. Atau pengkonversian energi potensial dari bandul berlangsung secara lebih

maksimal. Sehingga material akan memiliki sifat yang cenderung lebih ulet.

Dari grafik terlihat bahwasanya nilai harga impak paling rendah terjadi

pada kondisi temperatur besi dengan temperature paling rendah, dan mengalami

peningkatan yang konstan hingga temperature ruang, sehingga melalui uraian

pada paragraph sebelumnya dapat disimpulkan bahwa besi sangat brittle pada

temperature rendah dan cenderung meningkat keuletannya pada temperature yang

lebih tinggi.

Page 56: Laporan Praktikum Destructive Test

56

2.2 Analisis Grafik HI vs T (Al)

Grafik HI vs T pada Al mengalami perubahan harga impak meningkat

sesuai dengan peningkatan suhu, namun saat suhu Al diatas temperatur ruangan,

harga impak Al mengalami penurunan dari harga impak Al saat temperatur

ruangan. Jika dibandingkan dengan grafik HI vs T (Fe), maka harga impak Al

lebih rendah dari harga impak Fe. Hal ini disebabkan oleh susunan atom yang

mana susunan atom Fe lebih rapat dibandingkan Al, selain susunan atom, solid

solution yang terdapat Al dan Fe juga menjadi penyebab perbedaan harga impak.

3. Analisis Temperatur Transisi

Temperatur transisi merupakan temperatur yang menunjukkan perubahan

jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda.

Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu

material akan didesain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur yang

besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur

tinggi di atas 100 derajat Celcius, contohnya sistem penukar panas (heat

exchanger).

3.1 Analisis Temperatur Transisi (Fe)

Berdasarkan grafik Fe, material ini memiliki temperature transisi karena

memiliki peningkatan HI dari temperature rendah ke temperature tinggi yang

cukup besar.Temperatur transisi terjadi pada Fe, karena Fe merupakan logam

yang memiliki struktur kristal BCC. Menurut literatur, struktur kristal ini

mengalami transisi perpatahan ulet ke getas jika temperature diturunkan. Material

BCC akan bersifat rapuh pada temperature rendah karena kekuatan luluhnya

meningkat sedangkan bersifat ulet pada temperature tinggi karena kekuatan

luluhnya menurun.

3.2 Analisis Temperatur Transisi (Al)

Pada grafik Harga Impak (HI) versus Temperatur (T) untuk spesimen Al

bahwa peningkatan Harga Impak (HI) terlihat konstan. Berdasarkan data hasil

Page 57: Laporan Praktikum Destructive Test

57

pengujian dapat disimpulkan bahwa Al mengalami fenomena temperatur transisi

ulet-getas pada rentang temperatur yang diujikan. Hal ini disebabkan karena Al

memiliki struktur kristal FCC.

Material dengan struktur FCC memiliki kepadatan atom yang lebih tinggi

dibandingkan dengan material BCC, sehingga pada saat terjadi pemanasan, vibrasi

atom yang terjadi pada material FCC tidak leluasa bergerak seperti pada BCC

yang lebih renggang. Dampaknya adalah vibrasi atom yang terjadi pada material

FCC tidak terlalu memengaruhi harga impak pada temperatur berapapun. Hal ini

seperti yang terlihat pada grafik bahwa tidak terjadi kenaikan harga impak yang

drastis pada perubahan temperatur yang dilakukan.

4. Analisis Hasil Perpatahan untuk Tiap Sampel pada Tiap T

4.1 Analisis Perpatahan (Fe)

Dari hasil deskripsi patahan yang telah difoto, dapat dilihat bahwa pada

logam Fe dengan kondisi temperature 230C memiliki bentuk patahannya yang

keseluruhan datar (hanya terdapat slope akibat dari penempatan sampel uji yang

tidak pas) dan terlihat terang (shiny) dimana menunjukkan bentuk patahan yang

getas. Pada temperatur ruang, Fe menunjukkan patahan campuran yang berserat

sekaligus granular. Namun pada temperatur 170°C, patahan yang dihasilkan

mirip dengan cup and cone, menunjukkan bahwa material tersebut bersifat sangat

ulet.

Pada suhu tinggi, harga impak dari Fe terjadi penurunan karena baja yang

digunakan adalah baja medium-to-high carbon steel dimana persentase karbonnya

cenderung tinggi sehingga menyebabkan atom-atom interstisi saat suhu dinaikkan

menjadi lebih sedikit akibat memiliki kandungan karbon yang cukup banyak.

4.1 Analisis Perpatahan (Al)

Dari hasil deskripsi patahan yang telah difoto, dapat dilihat bahwa pada

logam Al dengan kondisi temperature 230C memiliki bentuk patahannya yang

keseluruhan datar (hanya terdapat slope akibat dari penempatan sampel uji yang

tidak pas) dan terlihat gelap (shiny) dimana menunjukkan bentuk patahan yang

getas. Pada temperatur ruang, Fe menunjukkan patahan campuran yang berserat

Page 58: Laporan Praktikum Destructive Test

58

sekaligus kasar. Namun pada temperatur tinggi, patahan yang dihasilkan mirip

dengan memiliki bentuk yang lebih kecil patahannya, menunjukkan bahwa

material tersebut bersifat sangat ulet.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

- Pengujian impak digunakan untuk mengetahui ketangguhan suatu material

terhadap pembebanan secara tiba-tiba (kejut).

- Semakin besar ketangguhan material, maka ketahanan impaknya semakin

bagus

- Temperatur mempengaruhi kegetasan atau keuletan dari suatu material.

- Semakin tinggi temperatur, maka material akan bersifat ulet atau ductile

dan begitu pula sebaliknya.

- Jika suhu pada material yang diuji telah melewati batas suhu maksimum

terhadap harga impak maksimum, maka harga impak akan mengalami

penurunan.

- Berdasarkan hasil pengujian, harga impak Fe lebih tinggi dari Al, sehingga

dapat disimpulkan bahwa Fe lebih tangguh jika dibandingkan dengan Al.

B. Saran

Asisten tidak memberikan informasi dengan jelas dan baik.

Terlalu singkat waktu untuk membahas laporan awal dan paper,

sehingga praktikan kurang memahami praktikum yang dilakukan.

Praktikum pengujian impak menyenangkan karena suasana praktikum

yang nyaman.