Laporan Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air
-
Upload
tifa-foundation -
Category
Documents
-
view
253 -
download
4
description
Transcript of Laporan Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air
-
Laporan Penelitian
Pendapatan dan Belanja
Sektor Air
(DKI Jakarta, Kabupaten Klaten, Kotamadya
Semarang, Kabupaten Sukabumi,
Kabupaten Wonosobo)
2009
-
2
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3
Manajemen Air Tanah Berkelanjutan .............................................................................. 3
Pembangunan Berkelanjutan untuk Konteks Air .............................................................. 5
Permasalahan ................................................................................................................. 8
Metode Penelitian .......................................................................................................... 9
BAB II. DAMPAK EKSTRAKSI AIR TANAH DI DAERAH PENELITIAN .......................................... 11
Dampak Pengelolaan Air Tanah ..................................................................................... 12
Pemulihan Lingkungan .................................................................................................. 20
BAB III. PERATURAN DAN KELEMBAGAAN TENTANG AIR TANAH ........................................... 22
Peraturan tentang Pajak Air Bawah Tanah .................................................................... 22
Lembaga Sektor Sumber Daya Air ................................................................................. 25
Perizinan Pengelolaan Air Tanah ................................................................................... 28
BAB IV PENERIMAAN SEKTOR AIR DAN KEUANGAN DAERAH ................................................ 32
Pendapatan Sektor Air .................................................................................................. 32
Pajak Air Bawah Tanah/Pajak Air Permukaan .......................................................... 32
Retribusi Pemanfaatan Air ....................................................................................... 38
Laba Bumd Air ......................................................................................................... 39
Lain-Lain Pendapatan Dari Air ................................................................................. 39
Pendapatan dari Sumber Daya Air dan Sumbangannya bagi Pendapatan Asli Daerah .... 39
Potensi yang Hilang ....................................................................................................... 43
LAPORAN LEPAS PENDAPATAN DAN BELANJA SEKTOR AIR
DKI Jakarta .................................................................................................................... 47
Kabupaten Klaten ......................................................................................................... 60
Kotamadya Semarang ................................................................................................... 74
Kabupaten Sukabumi .................................................................................................... 87
Kabupaten Wonosobo .................................................................................................. 99
-
3
BAB I.
PENDAHULUAN
Air mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan kehidupan ekosistem lainnya.
Manusia membutuhkan air untuk pertanian, perkebunan, perumahan, industri, pertambangan,
pariwisata, kebudayaan, keperluan rumah tangga dan air minum. Tidak hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia, air juga memberi daya hidup bagi sistem alam, beragam spesies
binatang, tumbuh-tumbuhan, serta tanah agar dapat memberikan jasa ekosistem alam seperti
menyediakan makanan, bahan baku dan energi yang dibutuhkan manusia.
Sumber utama air yang mengisi sekitar 2/3 bagian dari bumi adalah air hujan yang turun ke bumi yang
sebagian mengalir sebagai air permukaan dan kemudian mengisi sungai, danau, rawa, dll. sementara
sebagian lagi meresap ke dalam tanah, kemudian membentuk air tanah. Air tanah dianggap sebagai
sumber daya terbarukan dan sekaligus tak terbarukan, hal ini dipengaruhi oleh lamanya waktu tempuh
aliran air tanah hingga mencapai dan mengisi ulang sistem akuifer (lapisan pembawa air bawah
permukaan). Dianggap sebagai sumber daya terbarukan jika periode pengisian ulang
-
4
Di daerah perkotaan, dari 23 kota megapolitan dengan penduduk lebih dari 10 juta orang di tahun 2000,
12 kota sangat tergantung pada air tanah dimana 11 di antaranya ada di negara berkembang (Burke dan
Moench, 2000, hal. 2). Lebih dari 75% penduduk Afrika mempergunakan air tanah sebagai sumber air
bersih (Mwanza, 2003). Diperkirakan sekitar 50% penggunaan air di daerah perkotaan di seluruh dunia
berasal dari sumur, mata air dan sumur dalam, dan lebih dari satu milyar penduduk perkotaan di Asia
dan 150 juta penduduk di Amerika Latin tergantung pada air tanah (Clarke, Lawrence dan Foster, 1995
dalam Foster, 2001, hal. 185).
Air tanah merupakan sumber daya alam milik bersama. Keadaan ini mengarahkan pada situasi dimana
pemilik tanah di atas akuifer tempat air tanah berada berlomba-lomba segera memompa sebanyak-
banyaknya agar mereka dapat menikmatinya sebelum sumber air ini habis dipompa orang lain.
Akibatnya terjadilah eksternalitas negatif, karena deplesi dan degradasi akibat pemompaan yang
berlebihan akan berpengaruh pada seluruh sistem akuifer yang bersifat lintas daerah, lintas wilayah
administratif dan bahkan lintas negara.
Pemompaan yang berlebihan akan merusak kantong-kantong air tanah. Akibat lainnya muka air tanah
turun. Pemompaan yang berlebihan juga akan berakibat pada intrusi air laut khususnya di daerah
ekosistem pantai, yang sering kali tidak dapat diperbaiki (Hoekstra, 1998, hal. 608). Ekosistem pantai
sangat tergantung pada keseimbangan antara asupan air tawar, pengambilan air tanah, dan salinasi air
laut (Burke dan Moench, 2000, hal. 36). Jika keseimbangan terganggu, usaha untuk memperbaikinya
selain membutuhkan teknologi yang tinggi juga biaya yang besar. Tidak seperti air permukaan, deplesi
dan degradasi sistem air tanah tidak dapat atau sulit diperbaiki.
Karena sifatnya yang lebih kompleks, sebaiknya manajemen air tanah dipisahkan dengan manajemen air
permukaan. Manajemen air tanah sangat terkait dengan struktur geologis dan harus berbasiskan sistem
akuifer (Burke dan Moench, 2000, hal. 1) dalam hal ini cekungan air tanah, yang bagi banyak orang
merupakan hal yang sulit dibayangkan.
Dengan karakteristik seperti tersebut di atas, air tanah harus dikelola secara berkelanjutan. Oleh karena
itulah Manajemen Sumber Daya Air yang Terintegrasi (IWRM) menjadi sangat relevan untuk air tanah.
IWRM didefinisikan sebagai pendekatan yang berkelanjutan terhadap sumber daya air yang
mempertimbangkan sifatnya yang multi dimensional waktu, ruang, multi disiplin dan multi
stakeholders (regulator, pemakai, penyedia) - dan pentingnya untuk menangani, memperhatikan dan
mengaitkan semua dimensi tersebut secara holistik sehingga dapat dicapai solusi yang berkelanjutan
(Thomas dan Durham, 2003, hal. 24). IWRM juga menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah
permintaan dan ketersediaan air tawar. Jumlah air di bumi ini selama dua juta tahun terakhir relatif,
tetap sebaliknya permintaan akan air tawar meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk,
kemakmuran penduduk dan penggunaan industri.
Legislasi dan regulasi dari pemerintah dan badan-badan lainnya diperlukan untuk mengatasi masalah-
masalah tersebut (Burke dan Moench, 2000, hal. 3; Palma, 2003, hal. 89) dan menjamin manajemen air
tanah yang terintegrasi. Pelibatan seluruh stakeholder dalam proses governance air tanah pada satu
cekungan air tanah sangat diperlukan untuk menjamin selain keberlanjutan air tanah juga keadilan.
Jangan sampai stakeholder yang memiliki kemampuan ekonomi dan teknologi yang lebih tinggi
mendominasi ekstraksi air tanah dan meninggalkan masalah bagi mereka yang marginal dalam hal
kemampuan ekonomi dan teknologi ekstraksi air tanah.
-
5
Selain faktor teknis dan governance seperti tersebut di atas, faktor pembiayaan juga perlu diperhatikan
benar. Untuk membiayai kegiatan manajemen air tanah - pengelolaan, konservasi, serta pelestarian air
tanah - yang terintegrasi diperlukan sistem pendanaan yang berkesinambungan dan dalam jumlah yang
memadai. Yang penting untuk diperhitungkan adalah bagaimana sistem pendanaan tersebut mampu
memberikan keadilan bagi warga di sekitar lokasi pemanfaatan air tanah. Sebab ekstraksi, terutama
untuk kepentingan industri, tidak hanya berpengaruh pada jumlah dan kualitas air tanah namun juga
bagi ekositem lainnya, seperti mengeringnya sumber-sumber air setempat, berkurangnya jumlah lahan
produksi karena terjadi alih fungsi, tetapi juga berubahnya struktur sosial-budaya setempat.
Pembangunan Berkelanjutan untuk Konteks Air
Undang-Undang Pokok Agraria 1960 Bab I Pasal 1 tentang dasar-dasar dan ketentuan pokok agraria dan
Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Sumber Daya Agraria merupakan
sumber kekayaan alam yang terdiri atas bumi, tanah, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya (tambang, hutan, air termasuk di dalamnya air tanah, gas alam dll.). Kekayaan
alam ini sepenuhnya dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran rakyat, termasuk juga di dalamnya
sumber daya air. Dalam Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), Pasal 3
menyebutkan bahwa Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan
lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan SDA yang berkelanjutan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Masalah kebutuhan akan air untuk memenuhi keperluan rumah tangga sehari-hari khususnya di daerah
perkotaan dan ekstraksi oleh industri telah menjadikan air sebagai barang komoditas. Konsekuensinya
antara lain adalah terjadinya ekstraksi air tanah besar-besaran untuk kepentingan industri, munculnya
kepemilikan atas air dan penjualan atasnya, tercabutnya kontrol masyarakat atas sumber daya air
berganti kontrol korporasi atau pemilik modal besar, serta meluasnya masalah kelangkaan air.
Sebagai perbandingan, banyaknya penggunaan air tahun 2007 di DKI Jakarta rata-rata adalah 1.850.446
m3 /bln yang terdiri atas 1.630.142 m3 /bln air tanah dan 220.304 m3 /bln air permukaan. Sedangkan
untuk Kota Semarang sekitar 624.310 m3 air tanah diekstraksi tiap bulannya pada tahun yang sama.
Sedangkan di Kabupaten Sukabumi terdapat ekstraksi pada air tanah pada tahun 2006 rata-rata
sebanyak 664.760 m3 /bln dan air permukaan sekitar 998.520 m3 /bln.
Data di atas memberikan gambaran tingginya kebutuhan akan air yang dipenuhi dari ekstraksi air tanah
dan pengolahan air permukaan. Penggunaan air yang tidak dengan cermat mempertimbangkan
ketersediaan dan keterbaharuan sumber daya air akan mengarah pada masalah kelangkaan/kerawanan
air. Sumber-sumber air semakin langka sementara kebutuhan akan air makin meningkat dan konflik
antara berbagai komunitas dan pemanfaat air makin meluas.
Perihal kerawanan sumber daya air terjadi pula di beberapa negara, sehingga mendorong
dikeluarkannya deklarasi para menteri yang membidangi masalah air di Den Haag, Belanda pada Maret
2000. Point 7 dari Deklarasi ini menyebutkan komitmen untuk membangun governance untuk
mengelola air secara berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi
kesempatan bagi generasi masa depan bisa memanfaatkan air. Hal senada kembali ditegaskan pada
World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan, awal 2002 bahwa masalah
air diangkat sebagai program prioritas dalam Rencana Implementasi guna mewujudkan pembangunan
air yang berkelanjutan.
-
6
Membicarakan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, kita akan membicarakan mengenai etika
lingkungan hidup, mengenai konsep cara pandang manusia terhadap ekosistem, dan bagaimana posisi
manusia dalam relasi antara manusia dengan alam. Relasi yang terjalin antara manusia dengan alam
begitu dekat, dan saling bergantung, selain itu manusia merupakan faktor pengaruh yang kuat bagi alam
dan begitu pula sebaliknya serta mampu saling membentuk satu sama lain. Misalnya perubahan tata
guna lahan akan berpengaruh pada kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air, hanya saja relasi
manusia dengan alam tidak lagi bersifat langsung dan dekat terutama pada era globalisasi ekonomi
seperti sekarang. Manusia masih melulu memikirkan alam sebagai penyedia kebutuhan, penyokong
peningkatan kualitas hidup dan beranggapan bahwa alam mampu memperbaiki diri serta
mempertahankan persediaan sumber dayanya, walaupun digunakan sebanyak dan semau manusia.
Adanya kesadaran, yang kemudian muncul, bahwa individu tidak mungkin hidup sendiri lepas dari
komunitas dan ekosistem, telah mengawali terbentuknya etika lingkungan hidup. Keberpihakan pada
alam juga dapat dilihat sebagai suatu wujud kesadaran untuk peduli dan solider pada mereka yang tidak
mampu serta mudah ditindas (misalnya komunitas/kelompok manusia lain yang lebih lemah, binatang
dan alam) dalam suatu relasi ekosistem yang tidak adil. Dari etika lingkungan ini pula konsep right to
water atau human right to water menjadi kuat. Yang menganggap bahwa air merupakan bagian dari hak
asasi yang harus dapat diakses secara sama dan mudah oleh setiap manusia dan Negara harus menjamin
distribusinya secara adil, merata serta bertanggung jawab atas pengelolaan konservasi sumber daya air.
Sebagai sebuah alternatif, manajemen air tanah dapat dilakukan melalui pembuatan suatu kebijakan
yang mendorong pemajuan teknologi untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan
atau memulihkan kandungan sumber daya alam. Misalnya teknologi yang dapat mengurangi waktu
pemulihan air tanah, agar terbaharui kembali dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek. Atau
dengan menerapkan kebijakan yang mendorong pemanfaatan sumber daya alam yang membutuhkan
waktu regenerasi lebih pendek. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan air didorong untuk penciptaan
teknologi daur ulang air permukaan dengan biaya rendah agar dapat menekan pemanfatan air tanah.
Tujuan dari kebijakan ini adalah melestarikan sumber daya alam dan menurunkan tekanan pada
kemajuan teknologi yang berorientasi pada peningkatan efesiensi pemanfaatan sumber daya alam.
Sehingga mampu menyeimbangkan peningkatan kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk serta
regenerasi sumber daya alam.
Dengan demikian, dalam kaitan air tanah Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan
air tanah yang berbasis konservasi dengan memelihara dan melindungi keberadaan dan kondisi
lingkungan air tanah guna mempertahankan kelestarian dan kesinambungan ketersediaannya.
Pada PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, kegiatan konservasi air tanah meliputi perlindungan dan
pelestarian air tanah, pengawetan air tanah serta pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran
air tanah. Untuk menjamin pelaksanaan rangkaian kegiatan konservasi ini, dibutuhkan pembiayaan yang
dialokasikan dari APBN, APBD Propinsi dan APBD Kota/Kabupaten.
Anggaran Berdimensi Pembangunan Berkelanjutan
Ketika seorang pemimpin wilayah mempunyai konsep etika lingkungan yang tidak mendorong
konservasi dan keberlanjutan dalam melakukan perencanaan pembangunan kota maka persoalan-
persoalan lingkungan tidak menjadi prioritas dan hal ini berimplikasi pada minimnya alokasi anggaran.
-
7
Sumber daya alam hanya diperlakukan sebagai penyedia bahan baku bagi industri yang tidak dipikirkan
keberlanjutannya, serta tidak adanya keterpaduan pengelolaan sumber daya alam. Termasuk juga dalam
hal ini adalah perlakuan terhadap air tanah.
Contohnya di Kota Semarang, sektor air bawah tanah yang masuk dalam urusan energi dan sumber daya
mineral ini tidak masuk di antara 26 urusan wajib yang menjadi prioritas pemerintah Kota Semarang
tahun 2006 2009, sementara persoalan intrusi air laut, amblesan tanah sampai krisis air bersih begitu
kasat mata dan dihadapi setiap hari oleh masyarakat kota pesisir ini.
Ketiadaan keberpihakan terhadap konservasi sumber daya alam nampak misalnya pada Keputusan
Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung
Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah, terkait pemotongan tarif pajak sebesar 70% dengan dalih
mendorong pengembangan dunia usaha. Kebijakan ini dikeluarkan tanpa memperhitungkan tingginya
biaya konservasi sumber daya alam, terutama pemulihan air tanah.
Pendekatan yang lebih menekankan eksploitasi seperti untuk alasan pertumbuhan ekonomi juga dapat
dilihat pada dokumen Rencana Pembanguan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sukabumi
Tahun 2006-2010 khususnya dalam pembahasan tentang Arah Kebijakan Ekonomi Daerah pada point 2
yaitu : Menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi guna mendorong perkembangan sektor
riil dan pariwisata. Meningkatkan investasi, merupakan kata kunci pada pendekatan pembangunan dan
eksploitasi atas sumber daya alam dilakukan atas dasar ini.
Minimnya keberpihakan pengambil kebijakan wilayah pada masalah konservasi sumber daya alam, akan
berdampak pada proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. Hal ini menjadi sangat penting
untuk disadari sebab anggaran merupakan instrumen terpenting pada pemenuhan hak. Sehingga
melakukan pemantauan terhadap proses perencanaan hingga penetapan anggaran menjadi penting
untuk dilakukan. Pemahaman akan tiap tahapan prosesnya akan menentukan strategi advokasi yang
akan dipilih.
Secara sederhana proses penganggaran daerah (Kabupaten/Kota) dimulai dengan penyusunan
Rancangan Awal RKPD (Rencana Kerja Perangkat Daerah) oleh BAPPEDA, kemudian proses Musrenbang
(Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dari tingkat desa hingga Kabupaten/Kota sebagai media
penyampaian usulan pembangunan dari masyarakat. Kemudian menjadi RKPD (Rencana Kerja
Pembangunan Daerah) yang diberikan pada Walikota dan DPRD untuk penentuan prioritas program dan
plafon anggaran. Dokumen tersebut menjadi acuan masing-bagi masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah) dalam menyusun RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) yang lebih rinci. Setelah proses teknokrasi
ini selesai dilanjutkan dengan proses politik, dimana dokumen RKA tersebut dibahas di DPRD hingga
kemudian disetujui Walikota dan menjadi APBD Kabupaten/Kota.
-
8
Gambar 1. Alur Proses Perencanaan Dan Penganggaran Daerah Menurut UU 17/2003 dan UU 25/2004
2
Permasalahan
Berdasarkan hasil penelitian Amrta Institute tentang Pemantauan Pendapatan dari sektor Air di
Kabupaten Klaten, Boyolali, Magelang dan Sleman. Menyatakan bahwa secara nasional peluang
pemerintah daerah memperoleh pendapatan dari sumber daya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila
dilakukan (i) perbaikan peraturan menyangkut aspek pemberian nilai perolehan air dan pajak air yang
tepat yang sapat menyeimbangkan eksploitasi dan konservasi air tanah, (ii) penegakan hukum dan (iii)
pembukaan akses bagi masyarakat, terkait dengan governance air tanah, terhadap informasi dan
pengambilan keputusan.
Saat ini PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah menetapkan sistem dan mekanisme penilaian
perolehan air yang tidak menerapkan prinsip keberlanjutan. Berdasar data Pengambilan Air Tanah Kota
Semarang tahun 2008, kurang lebih 635.000 m3
air bawah tanah diekstraksi tiap bulannya oleh sekitar
473 pemanfaat air bawah tanah mulai dari sektor non niaga hingga industri besar. Sedangkan pajak yang
dikenakan hanya sebesar 10% untuk air permukaan dan 20% untuk air tanah dari Nilai Perolehan Air,
ditambah dengan SK Gubernur Jawa Tengah No. 5 Tahun 2003 yang memberikan pengurangan
2 Laporan Workshop Gender Budgeting, LRC-KJHAM Semarang, 2008, hal 50
-
9
pungutan sebesar 70 % dari tarif pajak guna mendorong pengembangan dunia usaha yang mengambil
Air Bawah Tanah (ABT). Besarnya pendapatan pemerintah dari pajak ABT, misalnya, saat ini tidak
sepadan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan air minum dalam kemasan dan juga tidak
sepadan dengan biaya konservasi dan perbaikan kualitas dan kuantitas ABT. Belum lagi jika dihitung dari
biaya eksternalitas yang ditanggung masyarakat kecil pengguna air lainnya. Sebagai gambaran PT Aqua
Golden Missisipi Tbk di Kabupaten Sukabumi pada bulan Mei 2006 melakukan ekstraksi air tanah
sebesar 215.319 m3 dimana perusahaan air minum dalam kemasan (botol plastik) ini dapat menjual
produknya tersebut seharga Rp 430.638.000.000 (diperoleh dari volume ABT dikali harga jual per liter).
Sementara tarif pajak yang dibayarkannya pada bulan yang sama tidak lebih dari 0,19 % dari nilai jual
produk air minum dalam kemasan tersebut.
Sementara tidak hanya nilai perolehan pajak air yang rendah, namun dampak dari ekstraksi seperti
menurunnya muka air tanah sehingga masyarakat harus menambah kedalaman sumur tiap periode,
keringnya sumber-sumber air yang menyebabkan krisis air, menurunnya produktivitas lahan karena alih
fungsi, serta dampak sosial lainnya tidak mampu diberi bobot yang adil dari sistem penetapan pajak atas
air.
Melihat berbagai kondisi di atas Amrta Institute dan Yayasan TIFA, melakukan kerjasama untuk
melanjutkan penelitian seputar pendapatan dari sumber daya air yaitu tentang Pengembangan
Kapasitas Masyarakat Lokal dan Pemerintahan dalam Pengambilan Keputusan atas Pendapatan dari
Sumber Daya Air. Penelitian ini mengumpulan data pendapatan dari sumber daya air di empat daerah
yaitu Jakarta dan Semarang yang memiliki pengaruh pada skala nasional serta Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Klaten dimana ekstraksi air tanah dilakukan dalam skala besar oleh sektor industri. Hasilnya
akan diintegrasikan dengan penelitian terdahulu di Kab. Sleman, Boyolali, Magelang dan Klaten. Hasil
integrasi akan digunakan untuk advokasi baik di aras lokal maupun nasional.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di lima daerah yang terletak di tiga Propinsi yaitu Propinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta,
serta Jawa Barat. Kota Semarang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Klaten yang terletak di Propinsi
Jawa Tengah, Kota Jakarta yang terletak di Propinsi DKI Jakarta serta Kabupaten Sukabumi yang terletak
di Propinsi Jawa Barat.
Beberapa pertanyaan penelitian kunci dari penelitian ini adalah 1) dari mana sajakah sumber-sumber
pendapatan daerah dari sektor sumber daya air, 2) seberapa besar kontribusi pendapatan dari sektor
sumber daya air, 3) sektor/dinas/kantor/badan apa saja yang mempunyai program yang berkaitan
dengan air, 4) bagaimana alokasi belanja air dibanding total belanja daerah dan sektor/dinas pelaksana
5) permasalahan sumber daya air yang muncul dan dialami masyarakat.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengumpulan data atau
dokumen pendapatan dan ekstraksi air tanah di Kota Semarang, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Wonosobo, DKI Jakarta dan Kabupaten Sukabumi. Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah hasil wawancara mendalam, hasil Focus Group Discussion, foto, dokumen-dokumen Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, peraturan tentang sumber daya air baik tingkat nasional dan daerah,
SOTK dan TUPOKSI, laporan bulanan Perhitungan Nilai Perolehan Air masing-masing daerah penelitian.
-
10
Sumber data utama penelitian ini adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Tengah,
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Barat, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah DKI Jakarta, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sukabumi, DPRD Kota Semarang, DPRD DKI
Jakarta, Badan Geologi, Yayasan Fitra Jakarta dan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah eksploitasi
sumber daya air. Sebagai catatan beberapa lembaga dan instansi pemerintah menunjukkan sikap
defensif dan tidak bersedia memberikan akses terhadap dokumen publik yang menjadi kewenangannya
sehingga diperlukan kesempatan berulang-ulang untuk mendapat kepercayaan serta mencoba
mengakses dokumen-dokumen tersebut lewat lembaga non pemerintah atau instansi pemerintah
lainnya yang juga mempunyai kewenangan terhadap dokumen-dokumen tersebut.
-
11
BAB II
DAMPAK EKSTRAKSI AIR TANAH DI WILAYAH PENELITIAN
Secara alami air bawah tanah tidak bisa dibatasi oleh batas wilayah administratif maupun batas
kepemilikan lahan. Sebab pada prinsipnya air tanah tersimpan dalam cekungan air tanah, yang lebih
dibatasi oleh batas-batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis yang mencakup proses
pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air tanah berlangsung.
Gambar 1. Cekungan Air Tanah3
Terkadang, di suatu wilayah kabupaten/kota atau propinsi, tidak ditemukan setiap sisi batas cekungan
air tanah karena berada di wilayah administratif lainnya. Sehingga pengelolaan air tanah bisa lintas
kabupaten/kota, provinsi dan negara. Pendapat senada diungkapkan oleh Ir. Danaryanto, Kepala
Lingkungan Badan Geologi Nasional, bahwa pengelolaan terhadap air tanah tidak bisa parsial melainkan
harus dalam prinsip keterpaduan antar departemen/dinas/sektor. Permasalahan mengenai pengelolaan
air tanah yang cenderung belum berbasis konservasi adalah karena cara pandang mengenai air tanah
yang masih sangat berbeda-beda antar sektor yang satu dengan sektor yang lain. Misalnya pemahaman
dari dinas energi sumber daya mineral dan dinas lingkungan hidup akan berbeda dengan pemahaman
dari dinas pekerjaan umum. Sementara pemahaman yang diyakini oleh dinas tertentulah yang
selanjutnya akan menentukan seperti apa kebijakan terkait pengelolaan air bawah tanah akan
dirumuskan.
3 Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Departemen ESDM, 2005, hlm 21
-
12
Dampak Pengelolaan Air Tanah
Kebutuhan manusia pada umumnya akan air kira-kira sekitar 120 liter/hari. Maka kebutuhan suatu
wilayah akan air akan didapat dari hasil kali jumlah penduduk dengan rata-rata kebutuhan harian akan
air. Dan itu belum termasuk untuk kebutuhan pertanian, pariwisata, perkebunan, perumahan, industri,
pertambangan, kebudayaan, serta keperluan lainnya. Dengan perkembangan kesejahteraan, konsumsi
air global sekarang ini menjadi dua kali lipat tiap 20 tahun, melebihi dua kali jumlah pertumbuhan
penduduk.
Sementara kebutuhan akan air dapat terpenuhi dari sumber air berupa air permukaan, mata air dan air
bawah tanah. Semula air permukaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia namun
karena laju pertumbuhan penduduk yang pesat, maka kebutuhan masyarakat akan air tidak bisa
dipenuhi lagi hanya dari pemanfaatan air permukaan, terlebih seiring pertumbuhan penduduk maka
tumbuh pesat pula industri. Sedangkan air permukaan sangat rentan terpapar oleh limbah industri,
limbah rumah tangga maupun pencemar lainnya.
Manusia kemudian mulai menggunakan air bawah tanah untuk pemenuhan kebutuhannya. Hingga
sekarang air bawah tanah menjadi favorit karena lebih bersih, lebih bebas bakteri dan lebih murah.
Sedangkan untuk memanfaatkan air permukaan, terkendala oleh tingginya tarif yang dikenakan PDAM
selaku penyedia layanan air bersih bagi masyarakat. Juga terkendala oleh kemampuan coverage area
PDAM yang masih terbatas. Untuk sektor industri pun cenderung tidak terlalu memanfaatkan air
permukaan karena air permukaan mudah tercemar, relatif tidak bersih dan untuk bisa digunakan dalam
proses produksi perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Peralatan instalasi pengolahan air
permukaan tersebut tidaklah murah, sementara pelaku industri akan selalu mencari upaya minimalisasi
biaya produksi dan maksimalisasi pendapatan atau keuntungan.
Dalam kenyataannya, air bersih terdistribusi hanya ke sebagian kecil masyarakat. Menurut penelitian
Soetrisno (2002), seperti yang dikutip Heru Hendrayana4, bahwa dari sekitar 2.000 sumur bor di
Bandung sebesar 0,2 juta m3 per hari air tanah kualitas prima dimanfaatkan untuk keperluan industri
dan hanya sebesar 14.000 m3 per hari air tanah kualitas rendah dimanfaatkan oleh kaum miskin
perkotaan. Jadi kaum miskin perkotaan hanya menikmati air tanah sebesar 7% dari yang digunakan oleh
sektor industri. Sementara dalam Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2008 yang mengatur tentang Air
Tanah, pada pasal 50 ayat (3) menegaskan bahwa penyediaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain.
Namun faktanya beberapa kelompok masyarakat di sekitar daerah sumber air mengalami kekeringan,
dan tidak mempunyai akses atas air bersih. Sementara penggunaan air tanah oleh sektor industri
semakin meningkat, tanpa disertai upaya pemulihan kualitas dan kuantitas air tanah. Bahkan untuk
memperoleh akses atas air bersih, masyarakat di daerah sumber air di Sukabumi harus membuat
proposal yang diajukan kepada perusahaan dan setelah mendapat persetujuan perusahaan, baru air
bagi kebutuhan harian masyarakat tersebut didistribusikan dari perusahaan ke perkampungan. Logika
bahwa air sudah menjadi milik perusahaan semakin menegaskan adanya pergeseran nilai tentang air
yang semula komoditas sosial menjadi komoditas sosial-komersial. Padahal dalam PP no 43 tahun 2008,
tegas dinyatakan bahwa setiap pemegang izin pengusahaan air wajib menyediakan 10% dari batasan
debit yang tercantum dalam perizinan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat.
4 Hendrayana, Heru; Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah yang Berkelanjutan, kumpulan tulisan
dalam buku Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia, P3-TPSLK BPPT, Jakarta, 2002, hlm 272
-
13
Konflik karena persoalan distribusi yang adil atas air, khususnya air tanah, yang terjadi di Sukabumi
sebagai konflik antara penduduk sekitar mata air dan PT Aqua Tirta Investama serta beberapa
perusahaan air minum botolan lain juga disebabkan oleh mengeringnya mata air serta sungai di daerah
tersebut akibat ekstraksi air tanah yang masif sebagai air baku untuk produksi Air Minum dalam
Kemasan. Konflik air di Klaten muncul karena PT Tirta Investama Aqua melakukan ekstraksi air tanah di
sumber air di daerah hulu yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan air di daerah hilir. Dan untuk
memenuhi kebutuhan irigasi, para petani mengupayakannya dengan membuat sumur bor yang
disalurkan untuk mengairi persawahan dengan pompa disel yang berbiaya tinggi.
Ekstraksi atau pemanfaatan yang terus-menerus terhadap sumber daya air bawah tanah dan mata air
akan mengakibatkan penurunan kualitas atau kerusakan pada ekosistem yang lebih luas. Pada bagian
berikutnya pada bab ini akan dipaparkan situasi ekstraksi atau pemanfaatan air bawah tanah di
Kabupaten Klaten, Kota Semarang, Kabupaten Sukabumi dan DKI Jakarta, serta dampak-dampak yang
diakibatkan dari pemanfaatan air yang berlebihan disertai perubahan lingkungan lain yang menyertainya
pada daerah penelitian.
Dampak-dampak di Kabupaten Klaten
Sejak masuknya PT Tirta Investama Aqua Danone untuk melakukan eksploitasi mata air Sigedhang,
terjadi beberapa perubahan baik di lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pemanfaat air besar di
Kabupaten Klaten adalah PDAM Solo atas Umbul Inggas Cokro Tulung sejak tahun 1929, Aqua Farm
dengan kontrak kerja selama 35 tahun atas Umbul Kepoh dan Gedhang serta Aqua Danone dengan
sertifikasi penuh atas Umbul Sigedhang. Sumber mata air Sigedhang ini diperkirakan mampu
memproduksi debit air sebesar 6.307.200.000 l/tahun yang sebelumnya difungsikan untuk irigasi.
Pada kasus PT.TIA, izin eksploitasi yang diberikan adalah 23 l/detik namun kenyataan jauh melebihi
batas yaitu sekitar 86 l/detik yang kemudian dikecilkan hingga 65 l/detik. Perubahan yang lingkungan
fisik yang langsung terlihat adalah matinya beberapa sumber air yang mengakibatkan berkurangnya
debit air Cokro yang difungsikan oleh PDAM Solo dan debit air kapiler untuk kebutuhan irigasi dan
domestik di daerah hilir. Salah seorang petani saat diwawancara juga menggambarkan kondisi
kekurangan air untuk irigasi dengan situasi air yang cepat habis. Sehingga air dari hulu serasa tidak
pernah sampai ke hilir. Terkait dengan masalah irigasi, seorang anggota kelompok tani di daerah hilir
menyatakan bahwa untuk mengairi sawah kini dipenuhi dari air sumur bor. Ongkos produksi menjadi
mahal karena harus menyewa mesin pompa dan bahan bakar mesin. Dan apabila sebelumnya hanya
membutuhkan satu mesin pompa, kini harus menggunakan dua sampai tiga mesin pompa untuk
mengairi sawah.
Perubahan sosial yang muncul adalah potensi konflik baik horisontal antara warga di daerah hulu dan
hilir, internal kelompok-kelompok tani karena isu pembagian sumbangan dari PT.TIA serta konflik
vertikal antara warga dengan pemerintah kabupaten dan desa serta PT.TIA karena ketiadaan
transparansi mengenai sumbangan PT.TIA pada desa dan program Corporate Social Responsibility PT.TIA
yang diharapkan bisa memperbaiki kesejahteraan warga.
-
14
Kota Semarang
Beberapa dampak lingkungan fisik yang terjadi akibat pemanfaatan air bawah tanah yang melebihi
kemampuan daya dukung lingkungan adalah rob atau intrusi air laut, amblesan tanah, turunnya muka
air tanah dan turunnya kualitas air. Ringkasan hasil wawancara di Bandarharjo, Kemijen dan
Tambaklorok memberikan gambaran nyata akan masalah-masalah yang terjadi di Kota Semarang akibat
ekstraksi air tanah yang berlebihan.
Air Rob
Masalah yang selalu muncul baik di Bandarharjo, Kemijen, maupun Tambaklorok adalah air rob. Untuk
mengatasinya, penduduk di daerah tersebut harus meninggikan rumah terus- menerus paling tidak satu
tahun sekali dengan biaya sekitar lima juta rupiah. Sekali waktu sekitar 5 tahun sekali, rumah harus
dibongkar dengan biaya sampai 15 juta rupiah. Situasi ini tentu sangat memberatkan karena kebanyakan
bukanlah dari kelompok ekonomi kuat.
Padahal, serangan rob bisa berakibat sangat parah. Sebagaimana yang dialami Ulfa (35), ketika suatu
malam rob tiba-tiba masuk ke rumahnya. Ia dan keluarganya yang sedang tertidur lelap sama sekali
tidak waspada terhadap kedatangan rob. Akibatnya, banyak barang-barangnya yang terseret rob dan
hilang, termasuk alat-alat memasak dan buku pelajaran anak-anaknya. Rendaman rob bahkan bisa
berlangsung selama berhari-hari. Dalam keadaan seperti itu tidak ada pilihan selain mengungsi ke rumah
tetangga yang tidak terendam rob.
Sahili mungkin lebih beruntung dibanding Ulfa karena ia bisa meninggikan rumahnya. Akan tetapi bukan
berarti permasalahan rob selesai. Sekalipun tidak memasuki rumah, air rob yang terus menggenang di
luar tetap membuat lingkungan tidak sehat. Sampah, misalnya, akan tersebar di mana-mana sehingga
akan sulit menciptakan lingkungan yang bersih dan higienis.
Ketersediaan air bersih
Hampir semua narasumber mengungkapkan tidak ada masalah dengan ketersediaan air bersih,
meskipun dengan modus operandi yang berbeda. Di Kemijen, keluarga yang lebih mampu secara
ekonomi berlangganan air PDAM. Bagi yang tidak berlangganan, umumnya mereka membeli air dari
pengecer (air gerobak) atau berbagi dengan tetangga yang berlangganan. Sama sekali tidak ada keluhan
sulit mendapatkan air bersih.
Di Bandarharjo dan Tambaklorok, kebanyakan warga menggunakan air sumur bor. Polanya, rata-rata
setiap RT ada satu keluarga yang memiliki sumur bor, kemudian si pemilik menyalurkan air melalui pipa
kepada tetangganya. Berdasarkan pengakuan Khotimah (48), biaya sambungan sekitar Rp. 125.0000,-
termasuk pipa dan meteran untuk mengukur. Sedangkan tarifnya dihitung per meter kubik Rp. 3000
(sebagai catatan tarif PDAM untuk kelompok rumah tangga yang sama hanya Rp. 600). Mereka mengaku
sumur bor ini berkualitas dan lebih segar dibandingkan air PDAM. Tetapi belum ada bukti ilmiah tentang
kesehatan air yang mereka gunakan.
Ironis. Di daerah yang menderita akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan justru harus
menggantungkan hidupnya dengan mengekstraksi air tanah yang akibatnya malah membuat mereka
menderita akibat penurunan tanah, makin sulitnya mendapat air bersih karena muka air tanah turun
-
15
dan intrusi air laut, serta penurunan tanah membuat mereka yang tidak mampu menaikkan lantai
rumahnya harus lebih menderita akibat rob yang menggenangi rumah mereka yang berlantai rendah.
Sanitasi
Kebanyakan warga di Kemijen dan Bandarharjo memiliki kakus sendiri di rumah masing-masing. Kakus
tersebut harus ikut ditinggikan pada saat yang sama ketika rumah ditinggikan. Tidak ada masalah
dengan septic tank, hanya pipa untuk jamban yang perlu ditinggikan. Air limbah rumah tangga dialirkan
di selokan-selokan kecil di sekitar rumah, bercampur dengan rob sehingga sewaktu-waktu rob meninggi
limbah rumah tangga akan terbawa masuk rumah.
Di Tambaklorok berbeda. Kakus disediakan sebagai sarana umum. Limbah kakus dialirkan langsung ke air
laut. Tidak jarang kakus terlihat berada di sekitar perahu-perahu yang ditambatkan yang sering
digunakan untuk beraktivitas. Sementara untuk keperluan mandi, banyak yang memiliki kamar mandi
masing-masing di rumah karena mereka memiliki sambungan air bersih sendiri.
Sampah belum dikelola secara terencana. Sahili mengatakan sampah cukup dibuang di lahan-lahan
kosong yang ada di sekitar rumah. Tentu saja ketika datang rob, sampah-sampah tersebut bisa tersebar.
Keadaan ini justru membuat warga enggan untuk bersih-bersih lingkungan karena jika sewaktu-waktu
rob kembali datang sampah akan tersebar kembali.
Ekonomi
Pekerjaan yang dianggap paling menjanjikan adalah sebagai pegawai di perusahaan garmen Glory.
Penghasilan mereka yang bekerja di sana lebih dari satu juta rupiah. Bahkan anak sulung Ulfa, yang
setelah menunggu tiga tahun baru bisa diterima di Glory, akhirnya bisa mewujudkan keinginannya untuk
mengangsur pembelian motor.
Di Bandarharjo, pekerjaan yang paling banyak ditekuni warga adalah di pengasapan ikan. Namun
kesejahteraan mereka sangat minim. Gaji dihitung harian antara Rp. 20.000 Rp. 30.000, sudah bersih
tanpa ada tunjangan lain. Belum lagi lingkungan kerja yang tidak sehat. Zawida (51) mengaku ia sering
memakai sepatu boot saat bekerja karena air rob sering menggenangi. Masalah bau yang menyengat
juga menjadi keluhan utama.
Akan tetapi, mereka yang tinggal di daerah tepi laut tersebut tidak semuanya mencari nafkah berbasis
laut. Suami Ulfa, misalnya, bekerja sebagai penjahit pada seorang kyai di Sampangan. Ulfa memang
bekerja serabutan mengupas kerang, tetapi penghasilannya sangat minim. Mereka menempati rumah di
daerah tersebut karena harganya yang murah, yaitu per tahun 750.000 rupiah. Hampir semua
narasumber mengaku, jika ada pilihan, mereka tidak akan tinggal di tempat yang kini mereka tinggali.
Dengan penghasilan yang tidak banyak, para narasumber tersebut masih harus terbebani dengan biaya
peninggian rumah tiap lima tahun sekali. Akibatnya, keperluan makan sehari-hari dan biaya kesehatan
menjadi ditekan. Zawida dan Sahili mengaku makanan sehari-hari mereka adalah nasi sambal dan
krupuk. Jika sakit, mereka selalu enggan ke dokter. Bahkan anak-anak Ulfa yang sudah mentas masa
balita belum pernah diimunisasi.
-
16
Kabupaten Sukabumi
Di Kecamatan Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, setidaknya terdapat 12 mata air (32 titik
sumber) yang telah dikuasai oleh sekitar 21 perusahaan pengguna air. Padahal fungsi mata air tersebut
sangat penting untuk menjamin keberlanjutan hidup komunitas desa di kedua Kecamatan tersebut.
Beberapa perubahan lingkungan fisik yang terjadi akibat ekstraksi air bawah tanah yang berlebihan
adalah matinya beberapa sumber air, turunnya debit mata air, turunnya permukaan sungai. Secara rinci
terdapat delapan dampak negatif akibat penguasaan dan pemanfaatan sumber air oleh 27 perusahaan
yang beroperasi di Kecamatan Cidahu dan Cicirug, Kabupaten Sukabumi, yaitu
(1). Warga tidak dapat/sulit memanfaatkan air secara langsung dari mata air yang telah
dikuasai/dieksploitasi pihak perusahaan karena sumber tersebut telah ditutup oleh pihak perusahaan
atau membatasi akses pihak lain ke mata air. Dari hasil observasi yang dilakukan tim peneliti, PT Aqua
Golden Mississippi dan PT Tirta Investama melakukan pemagaran di sekeliling lokasi titik mata air
dengan tembok yang tinggi serta melakukan pengamanan dengan menempatkan petugas Satpam untuk
berjaga 24 jam.
(2). Turunnya muka air tanah pada sumur gali milik warga dengan kisaran 1-8 meter serta keringnya
sumur gali warga. Di kecamatan Cidahu dampak seperti ini ditemukan di enam desa yang mencakup 20
kampung. Adapun di kecamatan Cicurug, dampak penurunan muka air tanah pada sumur gali warga
ditemukan di empat desa.
(3). Sumber-sumber air alternatif -seperti air pancuran dan air rembesan- yang biasa dimanfaatkan
warga untuk MCK, mengalami kekeringan atau penurunan debit.
(4). Mata air yang dieksploitasi perusahaan mengalami kekeringan/penurunan debit pada musim
kemarau sehingga warga tidak dapat memanfaatkan sumber air tersebut.
(5). Saluran air (selokan) yang melewati perkampungan warga mengalami kekeringan karena tidak
ada/kecilnya pasokan air dari mata air.
(6). Debit air sungai menurun secara drastis pada musim kemarau sehingga warga tidak dapat/sulit
memanfaatkan air sungai untuk MCK.
(7). Terhentinya aliran air yang menuju ke rumah warga akibat pembersihan (pengurasan) sumber air
yang dilakukan perusahaan, dan
(8). Jumlah debit air (mata air) yang tersedia atau yang dapat dimanfaatkan oleh warga desa, tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga sehari-hari.
Berdasarkan hasil studi Widarti (1995) di dalam Laporan Akhir Kegiatan Inventarisasi Pemanfaatan Jasa
Lingkungan dan Wisata Alam (Balai TNGHS-JICA, 2006) disebutkan bahwa kebutuhan air bersih untuk
setiap rumah tangga adalah sebesar 204,6 M/KK/tahun. Berdasarkan data penelitian dapat dihitung
total jumlah kebutuhan air bersih untuk RT warga di ke-12 desa diatas adalah sebesar 4.519.203
m3/tahun. Sementara total jumlah volume air yang dieksploitasi oleh 27 perusahaan yang beroperasi di
Kecamatan Cidahu dan Cicurug selama tahun 2006 mencapai jumlah 5.960.671 m3. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah volume air yang telah dieksploitasi pihak perusahaan (selama tahun 2006) lebih besar
daripada jumlah kebutuhan air bersih untuk rumah tangga warga.
-
17
Kenyataan ini semakin mempertegas fakta terjadinya ketimpangan/ketidakadilan dalam pemanfaatan
sumber daya air antar pihak (masyarakat/sektor publik vs perusahaan/sektor privat) dan antar sektor
(sektor industri vs sektor pertanian).
Dampak negatif lain yang dirasakan warga adalah yang berpengaruh langsung dengan pemenuhan air
untuk irigasi pertanian, yaitu:
(1). Sulit/berkurangnya akses warga dalam memanfaatkan sumber air (mata air) secara langsung yang
mengalir melalui saluran irigasi atau sungai untuk irigasi lahan pertanian karena telah
dikuasai/dieksploitasi pihak perusahaan dengan cara menutup sumber air tersebut.
(2). Turunnya debit air sungai (sungai besar) secara drastis, karena sumber air (mata air) mengalami
penurunan debit/kering setelah adanya eksploitasi air yang dilakukan pihak perusahaan. Akibatnya
warga di daerah hilir tidak dapat/sulit memenuhi kebutuhan air untuk irigasi lahan pertanian (sawah).
(3). Berkurangnya debit air saluran irigasi (selokan/sungai kecil) yang mengalirkan air ke lahan pertanian
(sawah) karena sumber air (mata air) yang memasok air ke saluran tersebut telah dikuasai perusahaan
dengan cara ditutup. Penutupan ini menyebabkan berkurangnya debit air yang keluar dari mata air yang
menuju ke saluran irigasi di daerah hilir
(4). Pada musim kemarau sebagian besar lahan sawah milik warga mengalami kekeringan dan
ditelantarkan (tidak digarap) selama 4-5 bulan karena kekurangan air untuk irigasi lahan pertanian
(sawah).
(5). Meningkatnya alih fungsi pola tanam dari tanaman padi (sawah) menjadi tanaman palawija (lahan
kebun) karena kekurangan air untuk irigasi lahan pertanian
(6). Berkurangnya hasil produksi pertanian baik hasil produksi padi (sawah) maupun hasil produksi
palawija (kebun) karena tanaman kekurangan air.
(7). Pada musim kemarau sumber air (mata air) yang dieksploitasi perusahaan mengalami
kekeringan/penurunan debit yang dikuti oleh upaya pengeboran dilokasi sumber air oleh perusahaan,
sehingga debit air yang berasal dari sumber air melalui saluran irigasi dan sungai untuk keutuhan irigasi
lahan pertanian mengalami kekeringan.
(8). Keringnya sumber-sumber air alternatif -seperti air rembesan, kubangan air di sekitar area
persawahan. Air tersebut merupakan salah satu satu sumber air alternatif yang biasa dimanfaatkan
warga untuk irigasi lahan pertanian
(9). Ketidakseimbangan antara debit (mata air) yang tersedia dengan kebutuhan air untuk memenuhi
irigasi lahan pertanian yang semakin meningkat setiap tahun akibat adanya eksploitasi air secara besar-
besaran oleh perusahaan.
Sedangkan perubahan sosial yang terjadi adalah pergeseran nilai air atau cara pandang terhadap air
yang semula adalah sumber hidup dan lebih bernilai sosial serta kultural. Kini sejak menjamurnya
perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan beberapa industri lain yang mengekstraksi air
bawah tanah, bergeser menjadi lebih bernilai ekonomi dan diperlakukan seperti komoditi. Hal ini
berakibat pada beberapa lahan produktif atau yang mempunyai potensi air bawah tanah besar dijual ke
perusahaan, sehingga air dimaknai sebagai hak milik. Kemudian terjadinya alih fungsi lahan, dari lahan
produktif menjadi lahan tegalan karena tanah menjadi kering.
-
18
Kedua, terjadinya peralihan mata pencaharian yang semula di sektor pertanian menjadi ke sektor
industri dan jasa. Bagi beberapa pemuda, pilihan menjadi tukang ojek terasa lebih memberikan
keuntungan dibanding menekuni mata pencaharian sebagai petani. Dengan hadirnya perusahaan-
perusahaan ini - perusahaan makanan dan minuman (mamin), perusahaan peternakan, perusahaan
kimia (bahan kimia dan farmasi), perusahaan elektronik, perusahaan plastik, perusahaan wisata
(hotel/restoran/taman rekreasi), perusahaan air bersih, perusahaan pertambangan, perusahaan garmen
dan perusahaan perkebunan - semula warga berharap agar anak atau anggota keluarga mereka bisa
direkrut menjadi tenaga kerja. Namun syarat pendidikan minimal SMA menjadi berat untuk dipenuhi
warga, ditambah munculnya kelompok preman dimana warga yang ingin menjadi tenaga kerja harus
membayar sejumlah uang sebagai pelicin namun tetap tidak menjadi jaminan diterima sebagai tenaga
kerja.
Ketiga, ternyata kemampuan serap tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan yang ada di dua
Kecamatan di Kabupaten Sukabumi di atas yang menjadi lokasi penelitian, hanya sekitar 28% saja. Dan
sebagian besar pemenuhan kebutuhan tenaga kerja perusahaan berasal dari tenaga kerja di luar daerah.
Meskipun di beberapa desa sudah membuat kesepatan yang tertuang dalam Peraturan Desa tentang
jaminan warga lokal untuk diprioritaskan menjadi tenaga kerja, namun hal ini tidak kunjung terwujud.
Permasalahan yang menghambat adalah karena adanya pungutan uang dalam proses rekrutmen tenaga
kerja yang tidak mampu dipenuhi sebagian besar penduduk lokal, sehingga mereka kemudian memilih
tidak bekerja di perusahaan-perusahaan pemanfaaat air di daerah mereka tersebut.
Keempat, adanya persyaratan administrasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja di perusahaan. Bagi
penduduk yang rata-rata hanya lulusan SMP atau bahkan lebih rendah tentu dianggap tidak memenuhi
persyaratan bekerja di perusahaan yang mensyaratkan minimal pendidikan adalah lulusan SMA.
Masyarakat desa dimiskinkan karena tercerabutnya akses atas sumberdaya air di tempat mereka sendiri
dan kembali disisihkan dalam proses ekonomi dengan adanya pembatasan akses untuk bekerja di
perusahaan-perusahaan yang sudah mengeruk keuntungan dari daerah mereka.
Dampak sosial politik yang terjadi adalah tidak dilibatkannya golongan masyarakat biasa dalam
berbagai pengambilan keputusan strategis yang menyangkut soal air maupun aktivitas dan keberadaaan
perusahaan. Sementara yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat biasa ini.
Kedua, lahirnya golongan elite masyarakat yang mendukung keberadaan perusahaan. Aktor individu
yang terlibat adalah oknum anggota masyarakat seperti tokoh masyarakat, oknum RT, Oknum kepala
Desa, Tokoh pemuda, dll. Sedangkan organisasi sosial yang lahir dan dibentuk sejak adanya perusahaan
terdiri atas berbagai kategori Organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, Yayasan Rekrutmen
Tenaga kerja, Organisasi Preman Desa. Peran kelompok ini antara lain menjalankan fungsi pengamanan
perusahaan serta menjaga stabilitas dari misalnya aksi protes warga, menjadi perantara dalam proses
rekruitmen tenaga kerja, sebagai penyalur atau pelaksana berbagai proyek bantuan dari perusahaan
kepada masyarakat. Potensi konflik horisontal pun cukup tinggi menyangkut penyaluran bantuan
tersebut. Sedangkan bagaimana mekanisme yang berjalan dan aspek keadilan dalam distribusi tidak
menjadi tanggung jawab perusahaan lagi, dengan dalih sudah melibatkan kelompok masyarakat dalam
pendistribusian bantuan.
Kelompok ini juga mengambil keuntungan dari isu eksploitasi air sebagai komoditas politik mereka.
Sebagai contoh ada sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengatasnamakan kepentingan
masyarakat melakukan aksi protes pada perusahaan hanya agar mereka memperoleh imbalan atau
keuntungan lainnya dari perusahaan dan kepentingan masyarakat hanya merupakan kedok.
-
19
Relasi warga dengan perusahaan pun mencerminkan ketidakadilan, warga yang mengalami kekeringan
karena ekstraksi berlebihan perusahaan hanya difasilitasi pembuatan kamar mandi umum yang jauh dari
memadai untuk memenuhi kebutuhan warga. Beberapa desa yang lokasinya dekat sumber air namun
jauh dari lokasi perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air karena tidak adanya
fasilitas saluran air, sementara akses langsung ke sumber air yang terdapat di desanya tidak mungkin
karena sudah diisolasi oleh perusahaan.
Keberadaan perusahaan-perusahaan pengguna air secara umum tidak cukup mampu memberikan
kontribusi yang signifikan bagi perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di mana perusahaan itu
beroperasi atau mengeksploitasi air. Sebaliknya, keberadaan perusahaan di lokasi penyelidikan justru
telah membawa kerugian secara ekonomi terhadap usaha produktif warga desa terutama di sektor
pertanian, serta tidak cukup mampu membangun kesadaran dan keberdayaan politik warga desa untuk
bersikap dan bertindak secara kritis terhadap pihak perusahaan.
DKI Jakarta
Pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang cenderung meningkat, khususnya air tanah pada sistem
akuifer tertekan, menyebabkan terjadinya perubahan kedudukan muka air tanah. Empat daerah kerucut
penurunan muka air tanah (cone of depression) utama yang merupakan bukti jumlah pengambilan dan
pemanfaatan air tanah yang telah melebihi potensinya. Di daerah dataran bagian barat terdapat dua
kerucut penurunan muka air tanah yakni di sekitar daerah Kamal (Jakarta Utara), Dadap, Jurumudi, dan
Porisgaga (Kota Tangerang), Kebon Jeruk, Jelambar, Kali Deres, Cengkareng, dan Kapuk (Jakarta Barat),
kedudukan muka air tanah antara 22,87 m 47,08 m bml, terdalam dijumpai di daerah Kamal (PT.
Mundo). Kerucut penurunan muka air tanah lainnya meliputi daerah Tanah Abang, dan Senen (Jakarta
Pusat), dengan kedudukan muka air tanah > 20 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT. Jakarta Land. Di
daerah dataran bagian timur tedapat dua kerucut penurunan muka air tanah, yaitu, meliputi daerah
Pulogadung, Cakung, Ujung Menteng (Jakarta Timur), Pejuang, dan Medan Satria (Kota Bekasi), muka air
tanah berada pada kedudukan antara 21,42 m 44,06 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT.
Bridgestone, Medan Satria, Kota Bekasi. Kerucut lainnya terdapat di daerah Sunter (Jakarta Utara), dengan
kedudukan muka air tanah > 20 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT. Astra Motor.
Amblesan tanah (land subsidence) secara umum terjadi karena proses pemampatan/konsolidasi baik karena
faktor pembebanan maupun terkait dengan pengambilan air tanah. Penurunan muka air tanah pada sistem
akuifer tertekan mengakibatkan penurunan tekanan hidrolika (hydraulic pressure), sementara tekanan
antar butir (intergranular pressure) bertambah. Akibatnya terjadi penurunan permukaan tanah. Mengingat
material lempung sebagai lapisan penutup (confining layer) sistem akuifer tertekan sangat mudah
termampatkan, pertambahan tekanan antar butir akan menyebabkan lapisan lempung tersebut
termampatkan. Hal ini berarti mengurangi kesarangan (porosity) lempung yang mengakibatkan air yang
mengisi pori-pori lempung akan terperas ke bawah ke dalam akuifer.
Indikasi adanya amblesan tanah di daerah Jakarta ini ditunjukkan antara lain oleh :
- Retaknya bangunan gedung di kompleks kantor Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta
kompleks toko Sarinah di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat.
- Terjadinya genangan air laut pasang di daerah Kapuk, dan Cengkareng (Jakarta Barat) serta Kamal
(Jakarta Utara) yang semakin meluas dan semakin tinggi air genangannya.
-
20
- Miringnya Menara Museum Bahari di daerah Pasar Ikan, Pademangan (Jakarta Utara).
Hasil pengkajian amblesan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta, kecepatan amblesan tanah
di wilayah Jakarta selama tahun 1982 - 1997 berkisar antara 0,7 12,0 cm/tahun. Adapun daerah yang
mempunyai amblesan tertinggi terjadi di daerah Tegal Alur dan Cengkareng (Jakarta Barat), dengan
kecepatan amblesan tanah mencapai 12,0 cm/tahun.
Dari hasil wawancara dengan beberapa penduduk di daerah Muara baru, Jakarta Utara, diperoleh informasi
bahwa setiap harinya mereka mengalami banjir air laut. Bahkan berbeda dengan banjir air laut di Semarang,
banjir di wilayah Muara Baru merupakan banjir dengan arus gelombang tinggi. Seperti dikatakan salah
seorang narasumber yang menyatakan rasanya seperti kena tsunami setiap hari. Bahkan karena arus
gelombang yang tinggi tersebut, pernah di sepanjang gang dipasang tali tambang besar untuk membantu
penduduk berjalan agar tidak terseret arus.
Bahkan karena banjir yang datang tiba-tiba dan sering tidak bisa diperkirakan waktunya, beberapa warga
menjadi kehilangan potensi penghasilan. Misal karena banjir yang datang pagi hari, penjual nasi uduk dan
penjual jamu gendong tidak bisa berjualan karena rumahnya tergenang banjir. Bahkan seorang narasumber
memilih memiliki persediaan baju hanya dua pasang, karena toh akan hanyut atau terendam ketika banjir.
Kelompok perempuan menghadapi persoalan yang pelik karena bukan hanya harus bertanggung jawab atas
kebersihan rumah yang setiap hari tergenang, atau air bersih untuk minum dan masak yang susah didapat,
namun juga kerentanan kesehatan reproduksi karena buruknya sanitasi dan kualitas air untuk memenuhi
kebutuhan pribadi. Terlebih karena buruknya saluran drainase, limbah rumah tangga dan limbah industri
pengolahan ikan yang berada dekat wilayah itu menjadi tercampur baur dengan banjir air laut menggenangi
rumah-rumah warga.
Daerah Muara Baru memang sebuah kawasan industri yang tidak layak untuk menjadi tempat hunian,
namun ketiadaan pilihan dan ketidakmampuan untuk pindah ke lokasi pemukiman yang lebih layak
membuat masyarakat tetap bertahan dan beradaptasi dengan banjir.
Pemulihan Lingkungan
Berbagai masalah lingkungan seperti amblesan tanah, penurunan muka air tanah berlebihan, intrusi air laut
serta penurunan kualitas air tanah atau pencemaran air tanah disebabkan salah satunya oleh pengambilan
air tanah yang lebih besar dari usaha pemulihan. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Teknologi
Bandung dalam Laporan Penilaian Atas Pajak Air Tanah Dalam Rangka Konservasi telah mengidentifikasi
secara detil tentang kebutuhan biaya pemulihan lingkungan. Berikut adalah hasil analisis tim tersebut.
Secara umum upaya pemulihan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara langsung dan tidak langsung.
Cara langsung adalah dengan mengalihkan sebagian pemakaian air tanah kepada air permukaan. Cara
langsung ini memerlukan infrastruktur yang memadai diantaranya provisi (pentarifan) air tanah dan air
permukaan yang proporsional, adanya insentif terhadap penggunaan air permukaan dan insentif terhadap
penggunaan teknologi daur ulang serta ditunjang oleh infrastruktur air bersih yang baik.
Cara yang bersifat langsung dilakukan melaluui teknologi imbuhan buatan seperti sumur resapan, injeksi
langsung serta teknologi ASR (aquifer storage and recovery). Sesungguhnya biaya yang telah diketahui
untuk melakukan pemulihan yang bersifat langsung ini dapat dijadikan referensi bagi alokasi belanja untuk
konservasi air tanah di wilayah-wilayah yang telah mengalami defisit air tanah.
-
21
1. Pembuatan sumur resapan
Sumur resapan adalah adalah sistem resapan buatan yang berfungsi sebagai penampung air
hujan, dapat berupa sumur, parit atau alur taman resapan, berguna untuk pemulihan akuifer dangkal. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat sumur resapan kapasitas 3 m3 adalah Rp 4.000.000.
Dengan biaya sejumlah ini sumur resapan dapat bertahan sampai 5 tahun. Per tahun sumur resapan ini
dapat meresapkan air hujan sebanyak 450m3. Apabila dihitung ongkos pemulihan lingkungan per m3 maka
nilainya adalah Rp 1.700/m3 untuk kurun waktu lima tahun.
2. Pembuatan sumur injeksi
Merupakan teknologi imbuhan buatan dengan cara memasukkan air ke dalam akuifer
(penampungan air) sampai kedalaman 80-100 meter, sebagai upaya mengembalikan
ketersediaan air, teknologi ini berguna untuk pemulihan akuifer dalam. Sebagai gambaran biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan akuifer Cekungan Air Tanah Bandung adalah Rp 12.476/m3. Sementara
menurut tim Badan (BPPT) pembuatan sumur injeksi membutuhkan biaya hingga Rp 1,5 juta untuk setiap
satu meter kedalaman pengeboran. Pembuatan sumur injeksi karena berupaya untuk memulihkan akuifer
dalam maka membutuhkan kualitas air yang prima sehingga tidak justru mencemari air tanah dalam.
Kualitas air yang dibutuhkan minimum adalah setara dengan kualitas air bersih yang diproduksi oleh PDAM.
-
22
BAB III
PERATURAN DAN KELEMBAGAAN TENTANG AIR TANAH
Peraturan tentang Pajak Air Bawah Tanah
Beberapa peraturan yang terkait dengan pengelolaan air tanah adalah UU no 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menegaskan keleluasaan
kepada daerah untuk menggali pendanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Sedangkan mengenai sistem bagi hasil untuk sumber daya air diatur dalam UU No 34 tahun 2000
tentang Pajak dan Retribusi Daerah menegaskan peran pemerintah propinsi dalam melakukan program
konservasi air tanah berikut penarikan pajaknya. Dan mengatur pula sistem bagi hasil untuk sumber
daya air sebanyak 30% untuk propinsi dan 70% untuk kabupaten/kota asal daerah pemanfaatan air. Bagi
hasil untuk kabupaten/kota tersebut tidak hanya digunakan untuk program peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerah-daerah sumber air yang mempunyai pendapatan di sektor air yang tinggi namun
juga merupakan subsidi silang bagi daerah yang pendapatan di sektor air kecil namun punya masalah
kelangkaan air. Namun dalam faktanya, 70% bagian dari bagi hasil ini masih hanya diberikan ke
kabupaten/kota tempat pengusahaan air dan belum ke daerah yang mengalami kelangkaan air.
Sesuai dengan PP No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, para pemanfaat air dikenakan tarif pajak
sebesar 10% untuk pemanfaatan air permukaan dan sebesar 20% untuk pemanfaatan air bawah tanah5.
Perhitungan nilai perolehan air tanah sendiri diatur berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1451
tahun 2000. Beberapa konsep penting dalam keputusan ini adalah nilai perolehan air, harga dasar air,
harga air baku, faktor nilai air, dan kompensasi. Satu-satunya nilai yang relatif dapat berubah adalah
harga air baku. Harga air baku diperhitungkan dengan cara membagi nilai investasi untuk mendapatkan
air tanah dengan volume produksinya. Nilai moneter investasi relatif dapat berubah dari satu periode ke
periode berikutnya, meskipun demikian periode perubahannya relatif panjang sepanjang umur
investasiya. Nilai lainnya sifatnya relatif tetap. Akibatnya harga perolehan air tanah selama satu periode
investasi punya kecenderungan tetap, sementara nilai air alternatif bagi air tanah seperti air PDAM
nilainya biasanya mengikuti nilai pasar yang perubahannya salah satunya ditentukan oleh nilai inflasi.
Akibatnya nilai air tanah cenderung lebih murah dibandingkan dengan air PDAM. Hal inilah yang
mengakibatkan orang cenderung memilih air tanah dibandingkan dengan air PDAM.
Untuk komponen kompensasi pemulihan berlaku sistem progresif yaitu semakin besar besar volume
pengambilan air tanah maka semakin besar pula risiko kerusakannya sehingga besarnya kompensasi
ditentukan secara progresif tergantung besarnya pengambilan air tanah. Secara umum, pajak progresif
adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang
digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap
kali naik.
Di Indonesia contohnya tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi. Untuk penghasilan
seribu sampai 25 juta dikenakan tarif pajak 5 persen. Untuk penghasilan 25 juta sampai 50 juta
dikenakan tarif pajak 10 persen. Pada air tanah progresifitasnya terletak pada bobot komponen
kompensasi, semakin besar volume air yang diektrasi bobot komponen kompensasinya semakin besar.
5 Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, Pasal 36
-
23
Misalnya untuk kelas niaga kecil, apabila sebuah badan usaha memanfaatkan air tanah sebanyak kurang
dari 50m3 maka bobot kompensasinya adalah 1, sementara bila menggunakan lebih dari 2.500 m3 maka
bobot nya meningkat menjadi 1,4. Untuk industri besa yang mengambil kurang dari 50m3 bobot
kompensasi kurang dari 5,dan untuk pengambilan lebih dari 2.500 m3 dikenakan bobot kompensasi 7.
Hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan
pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan air tanah, diatur dalam UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Salah satu syarat teknis pembentukan daerah otonom adalah faktor
kemampuan ekonomi (Pasal 5 ayat 4). Urusan yang diserahkan kepada daerah otonom adalah sumber
pendanaan otonomi daerah, sarana dan prasarana, dan kepegawaian. Yang menghantui bagi
pemerintah daerah adalah bunyi pasal 6 ayat satu yang menyatakan bahwa daerah dapat dihapus dan
digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan
otonomi daerah. Pasal-pasal di atas mendorong pemerintah daerah berlomba-lomba untuk mencari
dana pembiayaan termasuk di dalamya adalah pemberian ijin eksploitasi air tanah yang dapat
menghasilkan tambahan pendapatan dari pajak air tanah.
Dan dalam PP No 43 tahun 2008 pasal 26 ditegaskan bahwa rencana pengelolaan cekungan air tanah
lintas provinsi dan negara menjadi kewenangan menteri (pemerintah), rencana cekungan air tanah lintas
kabupaten/kota menjadi kewenangan Gubernur (pemerintah provinsi) sedangkan untuk pengelolaan
cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/kota itu sendiri menjadi kewenangan Bupati/Walikota.
Beberapa peraturan di atas memperlihatkan adanya desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan air
tanah, sehingga pada masing-masing provinsi atau kabupaten/kota bisa memiliki kebijakan rencana
pengelolaan air tanah yang berbeda. Hal ini, salah satunya, dipengaruhi oleh penekanan kepentingan
dan keberpihakan pemangku kebijakan atas masalah pengelolaan air tanah.
Namun perlu dicermati beberapa kelemahan pengelolaan air tanah oleh pemerintah, yaitu
desentralisasi pengelolaan sampai tingkat Kabupaten/Kota yang cenderung mengabaikan prinsip
pengelolaan akuifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom terbatas dalam lingkup
wilayah administrasi pemerintahan, sehingga daerah cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya
air yang ada di wilayahnya, sedangkan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut.
Kedua, kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air tanah, tidak menjamin hak dasar
masyarakat, terutama masyarakat miskin, dalam mendapatkan akses penyediaan air bersih, tidak
mengakomodasi kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan partisipasi para
pihak lain yang berkepentingan serta kurang memberdayakan sumberdaya lokal.
Ketiga, masih banyak dijumpai kegiatan pengeboran dan pengambilan air tanah tanpa ijin (SIP, SIPPAT).
Keempat, belum tertibnya pelaporan rencana pelaksanaan pengeboran berupa pemasangan saringan,
uji pemompaan, pemasangan pompa dan pemasangan meter air; serta belum tertibnya laporan
pelaksanaan pengeboran meliputi gambar penampang litologi, hasil logging, analisa uji pemompaan,
penampang konstruksi sumur, analisa kimia dan fisika
Serta kelima, adanya keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun
daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.
Beberapa peraturan tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota yang terkait dengan pengelolaan air tanah
adalah :
-
24
(1). Perda Provinsi Jawa tengah No 6 tahun 2002 tentang Pengambilan Air Bawah Tanah. Aturan hukum
ini masih belum sesuai dengan PP No 43 tahun 2008, dan saat ini sedang disusun Raperda Provinsi Jawa
Tengah tentang Pemberian Rekomendasi Teknis terhadap Izin Pemakaian dan Pengusahaan Air Tanah
pada Cekungan Air Tanah lintas Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Namun agar
tidak terjadi kekosongan pelayanan perizinan air tanah maka masih diberlakukan Perda No 6 tahun 2002
tersebut; Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga
Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah; Keputusan Gubernur Jateng No.
188.3/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan dan Harga Dasar ABT; Keputusan
Gubernur Jateng No. 073/155 Tahun 2004 tentang Pemberian keringanan Pajak Pengambilan ABT
kepada PDAM di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10-20%.
(2). Perda kabupaten Sukabumi No 7 tahun 2002 tentang Pertambangan Umum; Perda Kabupaten
Sukabumi no 8 tahun 2002 tentang Pengelolaan ABT; SK Gubernur No 29 tahun 2002 tentang Tata Cara
Perhitungan Harga Dasar Air sebagai dasar penetapan Nilai Perolehan Air Air Bawah Tanah dan air
Permukaan; Peraturan Bupati Sukabumi No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air
Bawah Tanah Untuk Kepentingan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi.
Perda Kabupaten Sukabumi No 7 tahun 2002 termasuk di dalam peraturan tentang pengelolaan air
tanah sebab berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi tentang Pertambangan Umum ini,
pengambilan air bawah tanah termasuk salah satu jenis usaha/kegiatan pertambangan umum. Pada
pasal 1 Perda No. 7 Tahun 2002 disebutkan bahwa air bawah tanah termasuk salah satu jenis bahan
galian yang terjadi secara alami dan mempunyai nilai ekonomis.
Terkait dengan alokasi anggaran untuk konservasi, pemerintah Kabupaten Sukabumi mengeluarkan
Peraturan Bupati No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air Bawah Tanah untuk
Kepentingan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi, yang merupakan penjabaran dari Perda No 8 tahun
2002 pasal 12 ayat 3 huruf F tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Dalam Perbup ini diatur mengenai
alokasi 10% dari bagi hasil penerimaan pajak yang harus digunakan untuk program konservasi air bawah
tanah. Kebijakan ini sudah sangat maju karena menjamin adanya program konservasi untuk pemulihan
air bawah tanah.
Dalam Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003 disebutkan adanya potongan pada wajib
pajak air bawah tanah sebesar 70%, sehingga wajib pajak hanya perlu membayar 30% dari penetapan
nilai pajak. Selain karena perbedaan dalam penetapan Harga Dasar Air sebagai dasar perhitungan Nilai
Perolehan Air yang menentukan besaran Pajak Air Tanah yang harus dibayar wajib pajak ke kas daerah
masing-masing, peraturan tingkat Provinsi semacam ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan Nilai
Perolehan Air di tiap daerah.
Seturut dengan prinsip pengelolaan air tanah bisa dibedakan menjadi tiga hal yaitu (1). Penekanan pada
konservasi, (2). Penekanan pada keseimbangan, dan (3). Penekanan pada pertumbuhan ekonomi. Maka
keberpihakan yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah lewat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah
adalah pada konsep pengelolaan air tanah yang masih lebih menekankan pada aspek pertumbuhan
ekonomi, dengan dalih untuk lebih mengembangkan dunia usaha. Sedangkan pada pemerintah daerah
Kabupaten Sukabumi sudah ada jaminan anggaran untuk program konservasi dari pendapatan sektor
air.
Meskipun belum diatur dalam peraturan pelaksanaan untuk PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah,
Pasal 84 ayat 5 PP tersebut menyatakan bahwa Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat 4 merupakan penerimaan negara bukan pajak. Sementara ayat 4-nya
-
25
berbunyi Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah ... merupakan dana yang dipungut oleh
Pemerintah dari pemegang izin untuk biaya pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam
kegiatan konservasi air tanah. Pada penjelasan Pasal 84 ayat 1 (c) dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah adalah biaya jasa pengelolaan sumber daya
air pada cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU No. 7 tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. Sementara Penjelasan Pasal 77 ayat 3 huruf c UU No. 7 tahun 2004 berbunyi Hasil
penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air diperoleh dari para penerima manfaat pengelolaan
sumber daya air, baik untuk tujuan pengusahaan sumber daya air maupun untuk tujuan penggunaan
sumber daya air yang wajib membayar. Tidak secara eksplisit dinyatakan apakah biaya jasa tersebut
termasuk di dalamnya adalah pajak air tanah.
Menurut UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 8 dinyatakan bahwa
sebagian dana dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Kegiatan tersebut meliputi, salah satunya
adalah pelestarian sumber daya alam. Artinya ada jaminan, meskipun tidak seluruh dana pajak air tanah
(itupun jika penerimaan biaya jasa identik dengan pajak air tanah saat ini), bahwa sebagian penerimaan
pajak air tanah dapat digunakan langsung oleh instansi terkait dalam hal ini Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral atau Dinas terkait untuk kegiatan yang salah satunya adalah konservasi. Hal ini
berbeda jika kategorinya adalah penerimaan negara dari pajak. Seluruh dana masuk ke dalam APBN atau
APBD dan instansi terkait tidak punya kewenangan langsung untuk memanfaatkan dana untuk
kepentingan konservasi sumber daya seperti air tanah, misalnya.
Lembaga di Sektor Sumber Daya Air
Dinas yang berwenang untuk melakukan pengelolaan soal sumber daya air semula adalah Dinas
Pertambangan dan Energi, namun karena restrukturisasi organisasi di kalangan pemerintah daerah atau
adanya perubahan SOTK (Struktur Organisasi Tata Kelola) membuat kewenangan pengelolaan sumber
daya air menjadi urusan dinas yang berbeda. Yaitu antara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) untuk kewenangan pengelolaan air bawah tanah dan Dinas Energi dan Sumber Daya Air (ESDA)
untuk kewenangan pengelolaan air permukaan. Dan hal ini bisa berbeda di masing-masing daerah,
tergantung pada kebijakan yang dibuat oleh pemimpin wilayah.
Di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat terjadi perubahan struktur dimana yang semula Dinas
Pertambangan dan Energi yang mempunyai kewenangan di sektor air bawah tanah, kemudian menjadi
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan untuk air permukaan menjadi wewenang Dinas
Energi dan Sumber Daya Air.
Karena luasnya wilayah yang menjadi kewenangannya maka untuk Provinsi Jawa Tengah dibantu oleh
empat Unit Pelaksana teknis (UPT)/Balai ESDM Pati (wilayah Kendeng-Muria), Balai ESDM Solo, Balai
ESDM Purworejo (Serayu Selatan) dan Balai ESDM Banyumas (Serayu Utara). Kewenangan untuk
pengambilan air tanah di Kabupaten Klaten berada di bawah Balai ESDM Solo, sedangkan wilayah Kota
Semarang berada di bawah Dinas ESDM Provinsi langsung, termasuk juga untuk di daerah Demak,
Kendal, Kabupaten Semarang dan Salatiga.
Sedangkan di DKI Jakarta, semula kewenangan pengelolaan air bawah tanah ada pada Dinas
Pertambangan dan Energi namun kemudian Dinas ini dipecah menjadi beberapa Dinas. Dan
kewenangan pengelolaan air bawah tanah menjadi urusan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah
-
26
(BPLHD). Hal ini tertuang dalam Perda Propinsi DKI Jakarta No 10 tahun 2008 tentang Organisasi
Perangkat Daerah.
Pada pasal 121, ayat 2 Perda tersebut dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah mempunyai fungsi (poin e)
Pengelolaan limbah dan air permukaan, (poin g) pengoordinasian pelaksanaan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan, (poin p)
pemantauan, pengawasan, pengendalian, dan penerbitan, pemanfaatan air bawah tanah, limbah
industri, dan pemulihan sumber daya air permukaan.
Terkait dengan berubahnya struktur lembaga yang mempunyai kewenangan atas pemanfaatan air yaitu
dari Dinas menjadi Badan tentu ada beberapa kelemahan serta kelebihan. Namun terkait hal ini Ibu Dian
Wiwekowati menyatakan bahwa masih terlalu cepat untuk menilai keefektifan struktur yang baru ini
dan perlu dilihat nanti ke depan. Apakah dengan struktur yang baru ini, membuat BPLHD mampu
membuat kebijakan yang lebih strategis bagi upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan
perlindungan sumber daya air, itu merupakan salah satu parameter dalam menilai struktur yang baru
ini.
-
27
Gambar 1. Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah (BPLHD) DKI Jakarta6
6 Sumber diperoleh dari dokumen lampiran Perda No 10 tahun 2008, DKI Jakarta
-
28
Perizinan Pengelolaan Air Tanah
Guna menjaga kelangsungan ketersediaan sumberdaya air tanah, maka diperlukan langkah-langkah
sistematis untuk pelaksanaan pengelolaan air tanah. Sehingga pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan
kebutuhan manusia yang makin meningkat dapat meminimalkan dampak negatifnya seperti penurunan
muka air tanah, degradasi kualitas maupun terjadinya penurunan muka tanah/amblesan.
Salah satu aspek penting dalam pengelolaan air tanah tersebut pengaturan tentang rekomendasi teknis
sebagai dasar untuk penerbitan izin pengeboran eksplorasi air tanah, izin pengeboran eksploitasi air
tanah (SIP), izin pemanfaatan air tanah (SIPA), izin penurapan dan izin pemanfaatan air mata air
(SIPMA). Pemberian izin pengeboran eksplorasi air tanah, izin pengeboran eksploitasi, izin pemanfaatan
air tanah, izin penurapan, dan izin pemanfaatan mata air diberikan oleh Kabupaten/Kota yang
bersangkutan. Sedangkan rekomendasi teknis pada Cekungan Air Tanah lintas Provinsi atau lintas negara
diberikan oleh Direktur Jenderal dan pada Cekungan Air Tanah lintas Kabupaten/Kota diberikan oleh
Gubernur.
Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksplorasi Air Tanah harus dilengkapi dengan proposal
kegiatan yang mencantumkan maksud dan tujuan kegiatan, rencana kerja dan peralatan, peta topografi,
daftar ahli bidang air tanah serta Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU)
dan Sertifikat Juru Bor Air. Ketentuan lain yang harus dicantumkan dalam rekomendasi teknis ini adalah
laporan uji pemompaan dan analisis fisika serta kimia air tanah, kewajiban pemohon untuk mengirimkan
laporan hasil kegiatan pengeboran pada Bupati/Walikota dengan tembusan ke Direktur jenderal dan
Gubernur, mengirimkan contoh batuan hasil pengeboran serta mengajukan permohonan izin
pemanfaatan air tanah (SIPA) yang berlaku untuk tiga tahun.
Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksploitasi Air Tanah (SIP) harus dilengkapi dengan peta
situasi dan peta topografi; rencana pengeboran; salinan SIUJK, SBU dan Sertifikat Juru Bor Air; dokumen
UKL dan UPL untuk pemanfaatan air tanah kurang dari 50 l/detik, jika lebih besar dari 50 l/detik di satu
sumur atau lebih di areal pemanfaatan kurang dari 10 hektar harus dilengkapi dengan AMDAL; tanda
bukti kepemilikan satu sumur pantau yang dilengkapi dengan alat perekam otomatis muka air/AWRL;
serta adanya kewajiban Pemohon untuk mengirimkan laporan hasil kegiatan pada Bupati/Walikota
dengan tembusan ke Direktur jenderal dan Gubernur, yang berisi gambar penampang litologi, gambar
penampang penyelesaian konstruksi sumur, hasil analisis data uji pemompaan, dan data analisis fisika
dan kimia air tanah.
Rekomendasi teknis untuk Izin Pemanfaatan Air Tanah (SIPA) harus dilengkapi laporan penyelesaian
pengeboran yang dilengkapi dengan SIP, berita acara pengawasan pemasangan konstruksi sumur, berita
acara uji pemompaan beserta laporan hasilnya, hasiul analisis fifika dan kimia air tanah. Rekomendasi
teknis ini mengikat Bupati/Walikota menyangkut jumlah maksimum air tanah yang boleh dimanfaatkan
serta kapasitas dan kedudukan pompa. Kewajiban pemohon adalah memasang meter air standar PDAM,
melaporkan jumlah pemanfaatan per bulan pada Bupati/Walikota dan menyediakan air tanah untuk
masyarakat lokasi pemanfaatan air sebanyak-banyaknya 10 % dari batas debit yang ditetapkan dalam
ijin.
Persyaratan yang harus dilengkapi untuk mendapatkan Rekomendasi teknis untuk Izin Penurapan Mata
Air sama dengan Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksploitasi Air Tanah (SIP) adalah peta
situasi dan peta topografi, rencana penurapan mata air beserta gambar rancang bangunan, kajian
hidrogeologi, dan dokumen UKL dan UPL ataupun dokumen AMDAL.
-
29
Di Provinsi Jawa Tengah Biaya, biaya Retribusi yang harus dibayarkan adalah Retribusi atas izin yaitu
untuk sumur pertama sebesar 1 juta rupiah, untuk sumur kedua sebesar 1,5 juta rupiah, untuk sumur
ketiga sebesar 2 juta rupiah, untuk sumur keempat sebesar 2,5 juta rupiah dan sumur kelima sebesar 3
juta rupiah. Kemudian Retribusi untuk gali pasak pada sumur dangkal sebesar 250 ribu rupiah. Serta ada
biaya tidak mengikat berupa biaya jasa untuk pembuatan Peta topografi sebesar 500 ribu rupiah/lembar
dan biaya jasa Analisa laboratorium atas Air (sebagai lampiran untuk SIPA) sebesar 50 ribu
rupiah/sampel.
Pendapatan yang berasal dari retribusi Izin serta biaya Jasa/ Ketatausahaan yang sifatnya tidak mengikat
akan dikelola oleh bendahara Dinas Kabupaten/Kota yang kemudian disetor ke kas daerah yaitu ke Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi. Pada tabel berikut dapat dilihat besarnya retribusi izin yang dipungut atas
setiap pengeluaran izin.
Tabel 1. Retribusi Izin Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi Jawa Tengah7
No Jenis Izin Banyak Sumur Besar Retribusi (Rp.)
1. Setiap pemberian SIP, SIPA, SIPMA
a. Sumur gali/pasak Sumur I 250.000
Sumur II 350.000
Sumur III 450.000
Sumur IV, dst 550.000
b. Sumur bor Sumur I 1.000.000
Sumur II 1.500.000
Sumur III 2.000.000
Sumur IV 2.500.000
Sumur V, dst 3.000.000
c. Mata air 1.500.000
2. Setiap perpanjangan SIP, SIPA, SIPMA
a. Sumur gali/pasak 250.000
b. Sumur bor 1.000.000
c. Mata air 1.500.000
Setelah izin diberikan, langkah selanjutnya adalah pengawasan penggunaan air tanah. Pengawasan ini
ditujukan untuk menjamin kesesuaian antara pelaksanaan penggunaan air tanah dengan ketentuan
teknis yang tercantum dalam izin seperti pemasangan konstruksi sumur, uji pemompaan, pemasangan
meter air, debit pengambilan air tanah kemudian pelaksanaan UKL, UPL dan AMDAL serta kemungkinan
terjadinya pencemaran dan kerusakan air tanah.
Pengawasan ini dilakukan secara periodik dan, menurut staf dari ESDM Propinsi jawa Tengah, tidak
keseluruhan wajib pajak selalu dipantau melainkan hanya beberapa wajib pajak dengan sistem sampel.
Hal ini untuk mengatasi kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh Dinas ESDM Propinsi. Saat
ini hanya terdapat 11 orang personil di kantor Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah dibantu sekitar 10
orang di masing-masing balai ESDM yang harus melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan air tanah di tingkat Provinsi. Selain keterbatasan kuantitas, terdapat
7 Nugroho, Imam; Kebijakan Pengelolaan Air Tanah di Provinsi Jawa Tengah, dalam mendukung Potensi Sumber
daya Air di Kabupaten Klaten, makalah tidak diterbitkan dalam Seminar tentang Air Tanah di Kabupaten Klaten,
pada 27 Juni 2009
-
30
persoalan masih sedikitnya personil yang mempunyai kualifikasi menguasai kegiatan pelaksanaan
pengawasan. Hal ini kemudian diatasi dengan peningkatan kapasitas staf lewat pelatihan, pendidikan
lanjutan serta pendampingan lapangan oleh petugas yang lebih senior.
Kegiatan pengawasan yang dilakukan meliputi (1). Kegiatan Wasdal (Pengawasan dan Pengendalian)
yang dilakukan rutin per bulan dengan melibatkan aparat Kabupaten/Kota dan Dinas Pendapatan
Daerah. Karena keterbatasan personil maka kegiatan Wasdal hanya dilakukan karena ada kasus atau
laporan (misal ditemukan adanya kecurigaan terhadap laporan perusahaan atau karena ada laporan dari
masyarakat) dan secara rutin hanya mengambil beberapa perusahaan sebagai sampel; (2). Intensifikasi
perhitungan NPA dengan pencatatan penggunaan sumur; (3) Peningkatan pelayanan perijinan, terutama
yang berkaitan dengan laporan kajian.
Beliau juga menambahkan bahwa saat melakukan pengawasan ini ada beberapa kendala yang ditemui,
seperti wajib pajak yang tidak mau mengakui jumlah sumur yang masih aktif atau mengatakan bahwa
sumurnya sudah ditutup padahal masih aktif, pengambilan yang melebihi debit yang tertera dalam
perizinan, membuat seolah usaha sudah tutup padahal masih melakukan proses produksi, dan
sebagainya. Sebab ada prosedur khusus untuk menutup sumur bor. Sehingga keberadaan sumur pantau
menjadi penting untuk mengindikasikan adanya titik pengambilan lain di luar lokasi dalam perizinan
serta pengambilan melebihi debit dalam perizinan. Masyarakat juga berperan aktif untuk memberikan
informasi seputar kegiatan yang dilakukan perusahaan pemanfaat air atau terkait adanya sumur bor
baru.
Sedangkan saat ditemui di kantornya, staf BPLHD Propinsi DKI Jakarta menceritakan pengalamannya
yang ditinggal selama berjam-jam di basement suatu perusahaan besar saat akan melakukan
pengawasan terhadap beberapa sumur bor yang berada di kawasan industri tersebut padahal ia
membawa surat tugas resmi dari Dinas. Ia menyayangkan sikap pihak perusahaan yang seolah
meremehkan petugas pemerintah. Terkadang pihak perusahaan mempersulit kegiatan pengawasan,
dengan memperlama prosedur atau hanya membatasi area pengawasan sehingga petugas tidak bisa
dengan mudah menemukan bukti jika ada indikasi pelanggaran ketentuan dalam perizinan.
Setelah izin pemohon disetujui maka pemohon pemanfaat air tanah menjadi wajib pajak yang harus
membayar pajak air tanah sesuai ketentuan yang berlaku. Secara periodik, dinas yang berwenang atas
pengambilan air tanah akan membuat laporan pemanfaatan air untuk tiap wajib pajak dengan
mencantumkan volume pengambilan, untuk kemudian dilakukan perhitungan penetapan pajak. Salinan
dari daftar besaran pajak yang harus dibayar oleh para wajib pajak air tanah ini diberikan kepada Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) untuk penagihan.
Khusus untuk Kota Semaran