Laporan Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air

104
Laporan Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air (DKI Jakarta, Kabupaten Klaten, Kotamadya Semarang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Wonosobo) 2009

description

Laporan Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air di lima wilayah: DKI Jakarta, Kabupaten Klaten, Kotamadya Semarang, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Wonosobo, yang mengupas habis kebijakan pemerintah tentang sektor air terutama yang berkaitan dengan air, dan kondisi lingkungan terkait dengan air. Merupakan laporan hasil studi yang dilakukan oleh Amrta bekerjasama dengan Tifa.

Transcript of Laporan Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air

  • Laporan Penelitian

    Pendapatan dan Belanja

    Sektor Air

    (DKI Jakarta, Kabupaten Klaten, Kotamadya

    Semarang, Kabupaten Sukabumi,

    Kabupaten Wonosobo)

    2009

  • 2

    Daftar Isi

    HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... 1

    DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2

    BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3

    Manajemen Air Tanah Berkelanjutan .............................................................................. 3

    Pembangunan Berkelanjutan untuk Konteks Air .............................................................. 5

    Permasalahan ................................................................................................................. 8

    Metode Penelitian .......................................................................................................... 9

    BAB II. DAMPAK EKSTRAKSI AIR TANAH DI DAERAH PENELITIAN .......................................... 11

    Dampak Pengelolaan Air Tanah ..................................................................................... 12

    Pemulihan Lingkungan .................................................................................................. 20

    BAB III. PERATURAN DAN KELEMBAGAAN TENTANG AIR TANAH ........................................... 22

    Peraturan tentang Pajak Air Bawah Tanah .................................................................... 22

    Lembaga Sektor Sumber Daya Air ................................................................................. 25

    Perizinan Pengelolaan Air Tanah ................................................................................... 28

    BAB IV PENERIMAAN SEKTOR AIR DAN KEUANGAN DAERAH ................................................ 32

    Pendapatan Sektor Air .................................................................................................. 32

    Pajak Air Bawah Tanah/Pajak Air Permukaan .......................................................... 32

    Retribusi Pemanfaatan Air ....................................................................................... 38

    Laba Bumd Air ......................................................................................................... 39

    Lain-Lain Pendapatan Dari Air ................................................................................. 39

    Pendapatan dari Sumber Daya Air dan Sumbangannya bagi Pendapatan Asli Daerah .... 39

    Potensi yang Hilang ....................................................................................................... 43

    LAPORAN LEPAS PENDAPATAN DAN BELANJA SEKTOR AIR

    DKI Jakarta .................................................................................................................... 47

    Kabupaten Klaten ......................................................................................................... 60

    Kotamadya Semarang ................................................................................................... 74

    Kabupaten Sukabumi .................................................................................................... 87

    Kabupaten Wonosobo .................................................................................................. 99

  • 3

    BAB I.

    PENDAHULUAN

    Air mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan kehidupan ekosistem lainnya.

    Manusia membutuhkan air untuk pertanian, perkebunan, perumahan, industri, pertambangan,

    pariwisata, kebudayaan, keperluan rumah tangga dan air minum. Tidak hanya digunakan untuk

    memenuhi kebutuhan manusia, air juga memberi daya hidup bagi sistem alam, beragam spesies

    binatang, tumbuh-tumbuhan, serta tanah agar dapat memberikan jasa ekosistem alam seperti

    menyediakan makanan, bahan baku dan energi yang dibutuhkan manusia.

    Sumber utama air yang mengisi sekitar 2/3 bagian dari bumi adalah air hujan yang turun ke bumi yang

    sebagian mengalir sebagai air permukaan dan kemudian mengisi sungai, danau, rawa, dll. sementara

    sebagian lagi meresap ke dalam tanah, kemudian membentuk air tanah. Air tanah dianggap sebagai

    sumber daya terbarukan dan sekaligus tak terbarukan, hal ini dipengaruhi oleh lamanya waktu tempuh

    aliran air tanah hingga mencapai dan mengisi ulang sistem akuifer (lapisan pembawa air bawah

    permukaan). Dianggap sebagai sumber daya terbarukan jika periode pengisian ulang

  • 4

    Di daerah perkotaan, dari 23 kota megapolitan dengan penduduk lebih dari 10 juta orang di tahun 2000,

    12 kota sangat tergantung pada air tanah dimana 11 di antaranya ada di negara berkembang (Burke dan

    Moench, 2000, hal. 2). Lebih dari 75% penduduk Afrika mempergunakan air tanah sebagai sumber air

    bersih (Mwanza, 2003). Diperkirakan sekitar 50% penggunaan air di daerah perkotaan di seluruh dunia

    berasal dari sumur, mata air dan sumur dalam, dan lebih dari satu milyar penduduk perkotaan di Asia

    dan 150 juta penduduk di Amerika Latin tergantung pada air tanah (Clarke, Lawrence dan Foster, 1995

    dalam Foster, 2001, hal. 185).

    Air tanah merupakan sumber daya alam milik bersama. Keadaan ini mengarahkan pada situasi dimana

    pemilik tanah di atas akuifer tempat air tanah berada berlomba-lomba segera memompa sebanyak-

    banyaknya agar mereka dapat menikmatinya sebelum sumber air ini habis dipompa orang lain.

    Akibatnya terjadilah eksternalitas negatif, karena deplesi dan degradasi akibat pemompaan yang

    berlebihan akan berpengaruh pada seluruh sistem akuifer yang bersifat lintas daerah, lintas wilayah

    administratif dan bahkan lintas negara.

    Pemompaan yang berlebihan akan merusak kantong-kantong air tanah. Akibat lainnya muka air tanah

    turun. Pemompaan yang berlebihan juga akan berakibat pada intrusi air laut khususnya di daerah

    ekosistem pantai, yang sering kali tidak dapat diperbaiki (Hoekstra, 1998, hal. 608). Ekosistem pantai

    sangat tergantung pada keseimbangan antara asupan air tawar, pengambilan air tanah, dan salinasi air

    laut (Burke dan Moench, 2000, hal. 36). Jika keseimbangan terganggu, usaha untuk memperbaikinya

    selain membutuhkan teknologi yang tinggi juga biaya yang besar. Tidak seperti air permukaan, deplesi

    dan degradasi sistem air tanah tidak dapat atau sulit diperbaiki.

    Karena sifatnya yang lebih kompleks, sebaiknya manajemen air tanah dipisahkan dengan manajemen air

    permukaan. Manajemen air tanah sangat terkait dengan struktur geologis dan harus berbasiskan sistem

    akuifer (Burke dan Moench, 2000, hal. 1) dalam hal ini cekungan air tanah, yang bagi banyak orang

    merupakan hal yang sulit dibayangkan.

    Dengan karakteristik seperti tersebut di atas, air tanah harus dikelola secara berkelanjutan. Oleh karena

    itulah Manajemen Sumber Daya Air yang Terintegrasi (IWRM) menjadi sangat relevan untuk air tanah.

    IWRM didefinisikan sebagai pendekatan yang berkelanjutan terhadap sumber daya air yang

    mempertimbangkan sifatnya yang multi dimensional waktu, ruang, multi disiplin dan multi

    stakeholders (regulator, pemakai, penyedia) - dan pentingnya untuk menangani, memperhatikan dan

    mengaitkan semua dimensi tersebut secara holistik sehingga dapat dicapai solusi yang berkelanjutan

    (Thomas dan Durham, 2003, hal. 24). IWRM juga menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah

    permintaan dan ketersediaan air tawar. Jumlah air di bumi ini selama dua juta tahun terakhir relatif,

    tetap sebaliknya permintaan akan air tawar meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk,

    kemakmuran penduduk dan penggunaan industri.

    Legislasi dan regulasi dari pemerintah dan badan-badan lainnya diperlukan untuk mengatasi masalah-

    masalah tersebut (Burke dan Moench, 2000, hal. 3; Palma, 2003, hal. 89) dan menjamin manajemen air

    tanah yang terintegrasi. Pelibatan seluruh stakeholder dalam proses governance air tanah pada satu

    cekungan air tanah sangat diperlukan untuk menjamin selain keberlanjutan air tanah juga keadilan.

    Jangan sampai stakeholder yang memiliki kemampuan ekonomi dan teknologi yang lebih tinggi

    mendominasi ekstraksi air tanah dan meninggalkan masalah bagi mereka yang marginal dalam hal

    kemampuan ekonomi dan teknologi ekstraksi air tanah.

  • 5

    Selain faktor teknis dan governance seperti tersebut di atas, faktor pembiayaan juga perlu diperhatikan

    benar. Untuk membiayai kegiatan manajemen air tanah - pengelolaan, konservasi, serta pelestarian air

    tanah - yang terintegrasi diperlukan sistem pendanaan yang berkesinambungan dan dalam jumlah yang

    memadai. Yang penting untuk diperhitungkan adalah bagaimana sistem pendanaan tersebut mampu

    memberikan keadilan bagi warga di sekitar lokasi pemanfaatan air tanah. Sebab ekstraksi, terutama

    untuk kepentingan industri, tidak hanya berpengaruh pada jumlah dan kualitas air tanah namun juga

    bagi ekositem lainnya, seperti mengeringnya sumber-sumber air setempat, berkurangnya jumlah lahan

    produksi karena terjadi alih fungsi, tetapi juga berubahnya struktur sosial-budaya setempat.

    Pembangunan Berkelanjutan untuk Konteks Air

    Undang-Undang Pokok Agraria 1960 Bab I Pasal 1 tentang dasar-dasar dan ketentuan pokok agraria dan

    Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Sumber Daya Agraria merupakan

    sumber kekayaan alam yang terdiri atas bumi, tanah, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang

    terkandung di dalamnya (tambang, hutan, air termasuk di dalamnya air tanah, gas alam dll.). Kekayaan

    alam ini sepenuhnya dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran rakyat, termasuk juga di dalamnya

    sumber daya air. Dalam Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), Pasal 3

    menyebutkan bahwa Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan

    lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan SDA yang berkelanjutan untuk sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat.

    Masalah kebutuhan akan air untuk memenuhi keperluan rumah tangga sehari-hari khususnya di daerah

    perkotaan dan ekstraksi oleh industri telah menjadikan air sebagai barang komoditas. Konsekuensinya

    antara lain adalah terjadinya ekstraksi air tanah besar-besaran untuk kepentingan industri, munculnya

    kepemilikan atas air dan penjualan atasnya, tercabutnya kontrol masyarakat atas sumber daya air

    berganti kontrol korporasi atau pemilik modal besar, serta meluasnya masalah kelangkaan air.

    Sebagai perbandingan, banyaknya penggunaan air tahun 2007 di DKI Jakarta rata-rata adalah 1.850.446

    m3 /bln yang terdiri atas 1.630.142 m3 /bln air tanah dan 220.304 m3 /bln air permukaan. Sedangkan

    untuk Kota Semarang sekitar 624.310 m3 air tanah diekstraksi tiap bulannya pada tahun yang sama.

    Sedangkan di Kabupaten Sukabumi terdapat ekstraksi pada air tanah pada tahun 2006 rata-rata

    sebanyak 664.760 m3 /bln dan air permukaan sekitar 998.520 m3 /bln.

    Data di atas memberikan gambaran tingginya kebutuhan akan air yang dipenuhi dari ekstraksi air tanah

    dan pengolahan air permukaan. Penggunaan air yang tidak dengan cermat mempertimbangkan

    ketersediaan dan keterbaharuan sumber daya air akan mengarah pada masalah kelangkaan/kerawanan

    air. Sumber-sumber air semakin langka sementara kebutuhan akan air makin meningkat dan konflik

    antara berbagai komunitas dan pemanfaat air makin meluas.

    Perihal kerawanan sumber daya air terjadi pula di beberapa negara, sehingga mendorong

    dikeluarkannya deklarasi para menteri yang membidangi masalah air di Den Haag, Belanda pada Maret

    2000. Point 7 dari Deklarasi ini menyebutkan komitmen untuk membangun governance untuk

    mengelola air secara berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi

    kesempatan bagi generasi masa depan bisa memanfaatkan air. Hal senada kembali ditegaskan pada

    World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan, awal 2002 bahwa masalah

    air diangkat sebagai program prioritas dalam Rencana Implementasi guna mewujudkan pembangunan

    air yang berkelanjutan.

  • 6

    Membicarakan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, kita akan membicarakan mengenai etika

    lingkungan hidup, mengenai konsep cara pandang manusia terhadap ekosistem, dan bagaimana posisi

    manusia dalam relasi antara manusia dengan alam. Relasi yang terjalin antara manusia dengan alam

    begitu dekat, dan saling bergantung, selain itu manusia merupakan faktor pengaruh yang kuat bagi alam

    dan begitu pula sebaliknya serta mampu saling membentuk satu sama lain. Misalnya perubahan tata

    guna lahan akan berpengaruh pada kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air, hanya saja relasi

    manusia dengan alam tidak lagi bersifat langsung dan dekat terutama pada era globalisasi ekonomi

    seperti sekarang. Manusia masih melulu memikirkan alam sebagai penyedia kebutuhan, penyokong

    peningkatan kualitas hidup dan beranggapan bahwa alam mampu memperbaiki diri serta

    mempertahankan persediaan sumber dayanya, walaupun digunakan sebanyak dan semau manusia.

    Adanya kesadaran, yang kemudian muncul, bahwa individu tidak mungkin hidup sendiri lepas dari

    komunitas dan ekosistem, telah mengawali terbentuknya etika lingkungan hidup. Keberpihakan pada

    alam juga dapat dilihat sebagai suatu wujud kesadaran untuk peduli dan solider pada mereka yang tidak

    mampu serta mudah ditindas (misalnya komunitas/kelompok manusia lain yang lebih lemah, binatang

    dan alam) dalam suatu relasi ekosistem yang tidak adil. Dari etika lingkungan ini pula konsep right to

    water atau human right to water menjadi kuat. Yang menganggap bahwa air merupakan bagian dari hak

    asasi yang harus dapat diakses secara sama dan mudah oleh setiap manusia dan Negara harus menjamin

    distribusinya secara adil, merata serta bertanggung jawab atas pengelolaan konservasi sumber daya air.

    Sebagai sebuah alternatif, manajemen air tanah dapat dilakukan melalui pembuatan suatu kebijakan

    yang mendorong pemajuan teknologi untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan

    atau memulihkan kandungan sumber daya alam. Misalnya teknologi yang dapat mengurangi waktu

    pemulihan air tanah, agar terbaharui kembali dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek. Atau

    dengan menerapkan kebijakan yang mendorong pemanfaatan sumber daya alam yang membutuhkan

    waktu regenerasi lebih pendek. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan air didorong untuk penciptaan

    teknologi daur ulang air permukaan dengan biaya rendah agar dapat menekan pemanfatan air tanah.

    Tujuan dari kebijakan ini adalah melestarikan sumber daya alam dan menurunkan tekanan pada

    kemajuan teknologi yang berorientasi pada peningkatan efesiensi pemanfaatan sumber daya alam.

    Sehingga mampu menyeimbangkan peningkatan kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk serta

    regenerasi sumber daya alam.

    Dengan demikian, dalam kaitan air tanah Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan

    air tanah yang berbasis konservasi dengan memelihara dan melindungi keberadaan dan kondisi

    lingkungan air tanah guna mempertahankan kelestarian dan kesinambungan ketersediaannya.

    Pada PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, kegiatan konservasi air tanah meliputi perlindungan dan

    pelestarian air tanah, pengawetan air tanah serta pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran

    air tanah. Untuk menjamin pelaksanaan rangkaian kegiatan konservasi ini, dibutuhkan pembiayaan yang

    dialokasikan dari APBN, APBD Propinsi dan APBD Kota/Kabupaten.

    Anggaran Berdimensi Pembangunan Berkelanjutan

    Ketika seorang pemimpin wilayah mempunyai konsep etika lingkungan yang tidak mendorong

    konservasi dan keberlanjutan dalam melakukan perencanaan pembangunan kota maka persoalan-

    persoalan lingkungan tidak menjadi prioritas dan hal ini berimplikasi pada minimnya alokasi anggaran.

  • 7

    Sumber daya alam hanya diperlakukan sebagai penyedia bahan baku bagi industri yang tidak dipikirkan

    keberlanjutannya, serta tidak adanya keterpaduan pengelolaan sumber daya alam. Termasuk juga dalam

    hal ini adalah perlakuan terhadap air tanah.

    Contohnya di Kota Semarang, sektor air bawah tanah yang masuk dalam urusan energi dan sumber daya

    mineral ini tidak masuk di antara 26 urusan wajib yang menjadi prioritas pemerintah Kota Semarang

    tahun 2006 2009, sementara persoalan intrusi air laut, amblesan tanah sampai krisis air bersih begitu

    kasat mata dan dihadapi setiap hari oleh masyarakat kota pesisir ini.

    Ketiadaan keberpihakan terhadap konservasi sumber daya alam nampak misalnya pada Keputusan

    Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung

    Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah, terkait pemotongan tarif pajak sebesar 70% dengan dalih

    mendorong pengembangan dunia usaha. Kebijakan ini dikeluarkan tanpa memperhitungkan tingginya

    biaya konservasi sumber daya alam, terutama pemulihan air tanah.

    Pendekatan yang lebih menekankan eksploitasi seperti untuk alasan pertumbuhan ekonomi juga dapat

    dilihat pada dokumen Rencana Pembanguan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sukabumi

    Tahun 2006-2010 khususnya dalam pembahasan tentang Arah Kebijakan Ekonomi Daerah pada point 2

    yaitu : Menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi guna mendorong perkembangan sektor

    riil dan pariwisata. Meningkatkan investasi, merupakan kata kunci pada pendekatan pembangunan dan

    eksploitasi atas sumber daya alam dilakukan atas dasar ini.

    Minimnya keberpihakan pengambil kebijakan wilayah pada masalah konservasi sumber daya alam, akan

    berdampak pada proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. Hal ini menjadi sangat penting

    untuk disadari sebab anggaran merupakan instrumen terpenting pada pemenuhan hak. Sehingga

    melakukan pemantauan terhadap proses perencanaan hingga penetapan anggaran menjadi penting

    untuk dilakukan. Pemahaman akan tiap tahapan prosesnya akan menentukan strategi advokasi yang

    akan dipilih.

    Secara sederhana proses penganggaran daerah (Kabupaten/Kota) dimulai dengan penyusunan

    Rancangan Awal RKPD (Rencana Kerja Perangkat Daerah) oleh BAPPEDA, kemudian proses Musrenbang

    (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dari tingkat desa hingga Kabupaten/Kota sebagai media

    penyampaian usulan pembangunan dari masyarakat. Kemudian menjadi RKPD (Rencana Kerja

    Pembangunan Daerah) yang diberikan pada Walikota dan DPRD untuk penentuan prioritas program dan

    plafon anggaran. Dokumen tersebut menjadi acuan masing-bagi masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat

    Daerah) dalam menyusun RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) yang lebih rinci. Setelah proses teknokrasi

    ini selesai dilanjutkan dengan proses politik, dimana dokumen RKA tersebut dibahas di DPRD hingga

    kemudian disetujui Walikota dan menjadi APBD Kabupaten/Kota.

  • 8

    Gambar 1. Alur Proses Perencanaan Dan Penganggaran Daerah Menurut UU 17/2003 dan UU 25/2004

    2

    Permasalahan

    Berdasarkan hasil penelitian Amrta Institute tentang Pemantauan Pendapatan dari sektor Air di

    Kabupaten Klaten, Boyolali, Magelang dan Sleman. Menyatakan bahwa secara nasional peluang

    pemerintah daerah memperoleh pendapatan dari sumber daya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila

    dilakukan (i) perbaikan peraturan menyangkut aspek pemberian nilai perolehan air dan pajak air yang

    tepat yang sapat menyeimbangkan eksploitasi dan konservasi air tanah, (ii) penegakan hukum dan (iii)

    pembukaan akses bagi masyarakat, terkait dengan governance air tanah, terhadap informasi dan

    pengambilan keputusan.

    Saat ini PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah menetapkan sistem dan mekanisme penilaian

    perolehan air yang tidak menerapkan prinsip keberlanjutan. Berdasar data Pengambilan Air Tanah Kota

    Semarang tahun 2008, kurang lebih 635.000 m3

    air bawah tanah diekstraksi tiap bulannya oleh sekitar

    473 pemanfaat air bawah tanah mulai dari sektor non niaga hingga industri besar. Sedangkan pajak yang

    dikenakan hanya sebesar 10% untuk air permukaan dan 20% untuk air tanah dari Nilai Perolehan Air,

    ditambah dengan SK Gubernur Jawa Tengah No. 5 Tahun 2003 yang memberikan pengurangan

    2 Laporan Workshop Gender Budgeting, LRC-KJHAM Semarang, 2008, hal 50

  • 9

    pungutan sebesar 70 % dari tarif pajak guna mendorong pengembangan dunia usaha yang mengambil

    Air Bawah Tanah (ABT). Besarnya pendapatan pemerintah dari pajak ABT, misalnya, saat ini tidak

    sepadan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan air minum dalam kemasan dan juga tidak

    sepadan dengan biaya konservasi dan perbaikan kualitas dan kuantitas ABT. Belum lagi jika dihitung dari

    biaya eksternalitas yang ditanggung masyarakat kecil pengguna air lainnya. Sebagai gambaran PT Aqua

    Golden Missisipi Tbk di Kabupaten Sukabumi pada bulan Mei 2006 melakukan ekstraksi air tanah

    sebesar 215.319 m3 dimana perusahaan air minum dalam kemasan (botol plastik) ini dapat menjual

    produknya tersebut seharga Rp 430.638.000.000 (diperoleh dari volume ABT dikali harga jual per liter).

    Sementara tarif pajak yang dibayarkannya pada bulan yang sama tidak lebih dari 0,19 % dari nilai jual

    produk air minum dalam kemasan tersebut.

    Sementara tidak hanya nilai perolehan pajak air yang rendah, namun dampak dari ekstraksi seperti

    menurunnya muka air tanah sehingga masyarakat harus menambah kedalaman sumur tiap periode,

    keringnya sumber-sumber air yang menyebabkan krisis air, menurunnya produktivitas lahan karena alih

    fungsi, serta dampak sosial lainnya tidak mampu diberi bobot yang adil dari sistem penetapan pajak atas

    air.

    Melihat berbagai kondisi di atas Amrta Institute dan Yayasan TIFA, melakukan kerjasama untuk

    melanjutkan penelitian seputar pendapatan dari sumber daya air yaitu tentang Pengembangan

    Kapasitas Masyarakat Lokal dan Pemerintahan dalam Pengambilan Keputusan atas Pendapatan dari

    Sumber Daya Air. Penelitian ini mengumpulan data pendapatan dari sumber daya air di empat daerah

    yaitu Jakarta dan Semarang yang memiliki pengaruh pada skala nasional serta Kabupaten Sukabumi dan

    Kabupaten Klaten dimana ekstraksi air tanah dilakukan dalam skala besar oleh sektor industri. Hasilnya

    akan diintegrasikan dengan penelitian terdahulu di Kab. Sleman, Boyolali, Magelang dan Klaten. Hasil

    integrasi akan digunakan untuk advokasi baik di aras lokal maupun nasional.

    Metode Penelitian

    Penelitian dilakukan di lima daerah yang terletak di tiga Propinsi yaitu Propinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta,

    serta Jawa Barat. Kota Semarang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Klaten yang terletak di Propinsi

    Jawa Tengah, Kota Jakarta yang terletak di Propinsi DKI Jakarta serta Kabupaten Sukabumi yang terletak

    di Propinsi Jawa Barat.

    Beberapa pertanyaan penelitian kunci dari penelitian ini adalah 1) dari mana sajakah sumber-sumber

    pendapatan daerah dari sektor sumber daya air, 2) seberapa besar kontribusi pendapatan dari sektor

    sumber daya air, 3) sektor/dinas/kantor/badan apa saja yang mempunyai program yang berkaitan

    dengan air, 4) bagaimana alokasi belanja air dibanding total belanja daerah dan sektor/dinas pelaksana

    5) permasalahan sumber daya air yang muncul dan dialami masyarakat.

    Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengumpulan data atau

    dokumen pendapatan dan ekstraksi air tanah di Kota Semarang, Kabupaten Klaten, Kabupaten

    Wonosobo, DKI Jakarta dan Kabupaten Sukabumi. Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah hasil wawancara mendalam, hasil Focus Group Discussion, foto, dokumen-dokumen Anggaran

    Pendapatan dan Belanja Daerah, peraturan tentang sumber daya air baik tingkat nasional dan daerah,

    SOTK dan TUPOKSI, laporan bulanan Perhitungan Nilai Perolehan Air masing-masing daerah penelitian.

  • 10

    Sumber data utama penelitian ini adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Tengah,

    Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Barat, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup

    Daerah DKI Jakarta, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sukabumi, DPRD Kota Semarang, DPRD DKI

    Jakarta, Badan Geologi, Yayasan Fitra Jakarta dan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah eksploitasi

    sumber daya air. Sebagai catatan beberapa lembaga dan instansi pemerintah menunjukkan sikap

    defensif dan tidak bersedia memberikan akses terhadap dokumen publik yang menjadi kewenangannya

    sehingga diperlukan kesempatan berulang-ulang untuk mendapat kepercayaan serta mencoba

    mengakses dokumen-dokumen tersebut lewat lembaga non pemerintah atau instansi pemerintah

    lainnya yang juga mempunyai kewenangan terhadap dokumen-dokumen tersebut.

  • 11

    BAB II

    DAMPAK EKSTRAKSI AIR TANAH DI WILAYAH PENELITIAN

    Secara alami air bawah tanah tidak bisa dibatasi oleh batas wilayah administratif maupun batas

    kepemilikan lahan. Sebab pada prinsipnya air tanah tersimpan dalam cekungan air tanah, yang lebih

    dibatasi oleh batas-batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis yang mencakup proses

    pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air tanah berlangsung.

    Gambar 1. Cekungan Air Tanah3

    Terkadang, di suatu wilayah kabupaten/kota atau propinsi, tidak ditemukan setiap sisi batas cekungan

    air tanah karena berada di wilayah administratif lainnya. Sehingga pengelolaan air tanah bisa lintas

    kabupaten/kota, provinsi dan negara. Pendapat senada diungkapkan oleh Ir. Danaryanto, Kepala

    Lingkungan Badan Geologi Nasional, bahwa pengelolaan terhadap air tanah tidak bisa parsial melainkan

    harus dalam prinsip keterpaduan antar departemen/dinas/sektor. Permasalahan mengenai pengelolaan

    air tanah yang cenderung belum berbasis konservasi adalah karena cara pandang mengenai air tanah

    yang masih sangat berbeda-beda antar sektor yang satu dengan sektor yang lain. Misalnya pemahaman

    dari dinas energi sumber daya mineral dan dinas lingkungan hidup akan berbeda dengan pemahaman

    dari dinas pekerjaan umum. Sementara pemahaman yang diyakini oleh dinas tertentulah yang

    selanjutnya akan menentukan seperti apa kebijakan terkait pengelolaan air bawah tanah akan

    dirumuskan.

    3 Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Departemen ESDM, 2005, hlm 21

  • 12

    Dampak Pengelolaan Air Tanah

    Kebutuhan manusia pada umumnya akan air kira-kira sekitar 120 liter/hari. Maka kebutuhan suatu

    wilayah akan air akan didapat dari hasil kali jumlah penduduk dengan rata-rata kebutuhan harian akan

    air. Dan itu belum termasuk untuk kebutuhan pertanian, pariwisata, perkebunan, perumahan, industri,

    pertambangan, kebudayaan, serta keperluan lainnya. Dengan perkembangan kesejahteraan, konsumsi

    air global sekarang ini menjadi dua kali lipat tiap 20 tahun, melebihi dua kali jumlah pertumbuhan

    penduduk.

    Sementara kebutuhan akan air dapat terpenuhi dari sumber air berupa air permukaan, mata air dan air

    bawah tanah. Semula air permukaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia namun

    karena laju pertumbuhan penduduk yang pesat, maka kebutuhan masyarakat akan air tidak bisa

    dipenuhi lagi hanya dari pemanfaatan air permukaan, terlebih seiring pertumbuhan penduduk maka

    tumbuh pesat pula industri. Sedangkan air permukaan sangat rentan terpapar oleh limbah industri,

    limbah rumah tangga maupun pencemar lainnya.

    Manusia kemudian mulai menggunakan air bawah tanah untuk pemenuhan kebutuhannya. Hingga

    sekarang air bawah tanah menjadi favorit karena lebih bersih, lebih bebas bakteri dan lebih murah.

    Sedangkan untuk memanfaatkan air permukaan, terkendala oleh tingginya tarif yang dikenakan PDAM

    selaku penyedia layanan air bersih bagi masyarakat. Juga terkendala oleh kemampuan coverage area

    PDAM yang masih terbatas. Untuk sektor industri pun cenderung tidak terlalu memanfaatkan air

    permukaan karena air permukaan mudah tercemar, relatif tidak bersih dan untuk bisa digunakan dalam

    proses produksi perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Peralatan instalasi pengolahan air

    permukaan tersebut tidaklah murah, sementara pelaku industri akan selalu mencari upaya minimalisasi

    biaya produksi dan maksimalisasi pendapatan atau keuntungan.

    Dalam kenyataannya, air bersih terdistribusi hanya ke sebagian kecil masyarakat. Menurut penelitian

    Soetrisno (2002), seperti yang dikutip Heru Hendrayana4, bahwa dari sekitar 2.000 sumur bor di

    Bandung sebesar 0,2 juta m3 per hari air tanah kualitas prima dimanfaatkan untuk keperluan industri

    dan hanya sebesar 14.000 m3 per hari air tanah kualitas rendah dimanfaatkan oleh kaum miskin

    perkotaan. Jadi kaum miskin perkotaan hanya menikmati air tanah sebesar 7% dari yang digunakan oleh

    sektor industri. Sementara dalam Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2008 yang mengatur tentang Air

    Tanah, pada pasal 50 ayat (3) menegaskan bahwa penyediaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan

    pokok sehari-hari merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain.

    Namun faktanya beberapa kelompok masyarakat di sekitar daerah sumber air mengalami kekeringan,

    dan tidak mempunyai akses atas air bersih. Sementara penggunaan air tanah oleh sektor industri

    semakin meningkat, tanpa disertai upaya pemulihan kualitas dan kuantitas air tanah. Bahkan untuk

    memperoleh akses atas air bersih, masyarakat di daerah sumber air di Sukabumi harus membuat

    proposal yang diajukan kepada perusahaan dan setelah mendapat persetujuan perusahaan, baru air

    bagi kebutuhan harian masyarakat tersebut didistribusikan dari perusahaan ke perkampungan. Logika

    bahwa air sudah menjadi milik perusahaan semakin menegaskan adanya pergeseran nilai tentang air

    yang semula komoditas sosial menjadi komoditas sosial-komersial. Padahal dalam PP no 43 tahun 2008,

    tegas dinyatakan bahwa setiap pemegang izin pengusahaan air wajib menyediakan 10% dari batasan

    debit yang tercantum dalam perizinan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat.

    4 Hendrayana, Heru; Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah yang Berkelanjutan, kumpulan tulisan

    dalam buku Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia, P3-TPSLK BPPT, Jakarta, 2002, hlm 272

  • 13

    Konflik karena persoalan distribusi yang adil atas air, khususnya air tanah, yang terjadi di Sukabumi

    sebagai konflik antara penduduk sekitar mata air dan PT Aqua Tirta Investama serta beberapa

    perusahaan air minum botolan lain juga disebabkan oleh mengeringnya mata air serta sungai di daerah

    tersebut akibat ekstraksi air tanah yang masif sebagai air baku untuk produksi Air Minum dalam

    Kemasan. Konflik air di Klaten muncul karena PT Tirta Investama Aqua melakukan ekstraksi air tanah di

    sumber air di daerah hulu yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan air di daerah hilir. Dan untuk

    memenuhi kebutuhan irigasi, para petani mengupayakannya dengan membuat sumur bor yang

    disalurkan untuk mengairi persawahan dengan pompa disel yang berbiaya tinggi.

    Ekstraksi atau pemanfaatan yang terus-menerus terhadap sumber daya air bawah tanah dan mata air

    akan mengakibatkan penurunan kualitas atau kerusakan pada ekosistem yang lebih luas. Pada bagian

    berikutnya pada bab ini akan dipaparkan situasi ekstraksi atau pemanfaatan air bawah tanah di

    Kabupaten Klaten, Kota Semarang, Kabupaten Sukabumi dan DKI Jakarta, serta dampak-dampak yang

    diakibatkan dari pemanfaatan air yang berlebihan disertai perubahan lingkungan lain yang menyertainya

    pada daerah penelitian.

    Dampak-dampak di Kabupaten Klaten

    Sejak masuknya PT Tirta Investama Aqua Danone untuk melakukan eksploitasi mata air Sigedhang,

    terjadi beberapa perubahan baik di lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pemanfaat air besar di

    Kabupaten Klaten adalah PDAM Solo atas Umbul Inggas Cokro Tulung sejak tahun 1929, Aqua Farm

    dengan kontrak kerja selama 35 tahun atas Umbul Kepoh dan Gedhang serta Aqua Danone dengan

    sertifikasi penuh atas Umbul Sigedhang. Sumber mata air Sigedhang ini diperkirakan mampu

    memproduksi debit air sebesar 6.307.200.000 l/tahun yang sebelumnya difungsikan untuk irigasi.

    Pada kasus PT.TIA, izin eksploitasi yang diberikan adalah 23 l/detik namun kenyataan jauh melebihi

    batas yaitu sekitar 86 l/detik yang kemudian dikecilkan hingga 65 l/detik. Perubahan yang lingkungan

    fisik yang langsung terlihat adalah matinya beberapa sumber air yang mengakibatkan berkurangnya

    debit air Cokro yang difungsikan oleh PDAM Solo dan debit air kapiler untuk kebutuhan irigasi dan

    domestik di daerah hilir. Salah seorang petani saat diwawancara juga menggambarkan kondisi

    kekurangan air untuk irigasi dengan situasi air yang cepat habis. Sehingga air dari hulu serasa tidak

    pernah sampai ke hilir. Terkait dengan masalah irigasi, seorang anggota kelompok tani di daerah hilir

    menyatakan bahwa untuk mengairi sawah kini dipenuhi dari air sumur bor. Ongkos produksi menjadi

    mahal karena harus menyewa mesin pompa dan bahan bakar mesin. Dan apabila sebelumnya hanya

    membutuhkan satu mesin pompa, kini harus menggunakan dua sampai tiga mesin pompa untuk

    mengairi sawah.

    Perubahan sosial yang muncul adalah potensi konflik baik horisontal antara warga di daerah hulu dan

    hilir, internal kelompok-kelompok tani karena isu pembagian sumbangan dari PT.TIA serta konflik

    vertikal antara warga dengan pemerintah kabupaten dan desa serta PT.TIA karena ketiadaan

    transparansi mengenai sumbangan PT.TIA pada desa dan program Corporate Social Responsibility PT.TIA

    yang diharapkan bisa memperbaiki kesejahteraan warga.

  • 14

    Kota Semarang

    Beberapa dampak lingkungan fisik yang terjadi akibat pemanfaatan air bawah tanah yang melebihi

    kemampuan daya dukung lingkungan adalah rob atau intrusi air laut, amblesan tanah, turunnya muka

    air tanah dan turunnya kualitas air. Ringkasan hasil wawancara di Bandarharjo, Kemijen dan

    Tambaklorok memberikan gambaran nyata akan masalah-masalah yang terjadi di Kota Semarang akibat

    ekstraksi air tanah yang berlebihan.

    Air Rob

    Masalah yang selalu muncul baik di Bandarharjo, Kemijen, maupun Tambaklorok adalah air rob. Untuk

    mengatasinya, penduduk di daerah tersebut harus meninggikan rumah terus- menerus paling tidak satu

    tahun sekali dengan biaya sekitar lima juta rupiah. Sekali waktu sekitar 5 tahun sekali, rumah harus

    dibongkar dengan biaya sampai 15 juta rupiah. Situasi ini tentu sangat memberatkan karena kebanyakan

    bukanlah dari kelompok ekonomi kuat.

    Padahal, serangan rob bisa berakibat sangat parah. Sebagaimana yang dialami Ulfa (35), ketika suatu

    malam rob tiba-tiba masuk ke rumahnya. Ia dan keluarganya yang sedang tertidur lelap sama sekali

    tidak waspada terhadap kedatangan rob. Akibatnya, banyak barang-barangnya yang terseret rob dan

    hilang, termasuk alat-alat memasak dan buku pelajaran anak-anaknya. Rendaman rob bahkan bisa

    berlangsung selama berhari-hari. Dalam keadaan seperti itu tidak ada pilihan selain mengungsi ke rumah

    tetangga yang tidak terendam rob.

    Sahili mungkin lebih beruntung dibanding Ulfa karena ia bisa meninggikan rumahnya. Akan tetapi bukan

    berarti permasalahan rob selesai. Sekalipun tidak memasuki rumah, air rob yang terus menggenang di

    luar tetap membuat lingkungan tidak sehat. Sampah, misalnya, akan tersebar di mana-mana sehingga

    akan sulit menciptakan lingkungan yang bersih dan higienis.

    Ketersediaan air bersih

    Hampir semua narasumber mengungkapkan tidak ada masalah dengan ketersediaan air bersih,

    meskipun dengan modus operandi yang berbeda. Di Kemijen, keluarga yang lebih mampu secara

    ekonomi berlangganan air PDAM. Bagi yang tidak berlangganan, umumnya mereka membeli air dari

    pengecer (air gerobak) atau berbagi dengan tetangga yang berlangganan. Sama sekali tidak ada keluhan

    sulit mendapatkan air bersih.

    Di Bandarharjo dan Tambaklorok, kebanyakan warga menggunakan air sumur bor. Polanya, rata-rata

    setiap RT ada satu keluarga yang memiliki sumur bor, kemudian si pemilik menyalurkan air melalui pipa

    kepada tetangganya. Berdasarkan pengakuan Khotimah (48), biaya sambungan sekitar Rp. 125.0000,-

    termasuk pipa dan meteran untuk mengukur. Sedangkan tarifnya dihitung per meter kubik Rp. 3000

    (sebagai catatan tarif PDAM untuk kelompok rumah tangga yang sama hanya Rp. 600). Mereka mengaku

    sumur bor ini berkualitas dan lebih segar dibandingkan air PDAM. Tetapi belum ada bukti ilmiah tentang

    kesehatan air yang mereka gunakan.

    Ironis. Di daerah yang menderita akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan justru harus

    menggantungkan hidupnya dengan mengekstraksi air tanah yang akibatnya malah membuat mereka

    menderita akibat penurunan tanah, makin sulitnya mendapat air bersih karena muka air tanah turun

  • 15

    dan intrusi air laut, serta penurunan tanah membuat mereka yang tidak mampu menaikkan lantai

    rumahnya harus lebih menderita akibat rob yang menggenangi rumah mereka yang berlantai rendah.

    Sanitasi

    Kebanyakan warga di Kemijen dan Bandarharjo memiliki kakus sendiri di rumah masing-masing. Kakus

    tersebut harus ikut ditinggikan pada saat yang sama ketika rumah ditinggikan. Tidak ada masalah

    dengan septic tank, hanya pipa untuk jamban yang perlu ditinggikan. Air limbah rumah tangga dialirkan

    di selokan-selokan kecil di sekitar rumah, bercampur dengan rob sehingga sewaktu-waktu rob meninggi

    limbah rumah tangga akan terbawa masuk rumah.

    Di Tambaklorok berbeda. Kakus disediakan sebagai sarana umum. Limbah kakus dialirkan langsung ke air

    laut. Tidak jarang kakus terlihat berada di sekitar perahu-perahu yang ditambatkan yang sering

    digunakan untuk beraktivitas. Sementara untuk keperluan mandi, banyak yang memiliki kamar mandi

    masing-masing di rumah karena mereka memiliki sambungan air bersih sendiri.

    Sampah belum dikelola secara terencana. Sahili mengatakan sampah cukup dibuang di lahan-lahan

    kosong yang ada di sekitar rumah. Tentu saja ketika datang rob, sampah-sampah tersebut bisa tersebar.

    Keadaan ini justru membuat warga enggan untuk bersih-bersih lingkungan karena jika sewaktu-waktu

    rob kembali datang sampah akan tersebar kembali.

    Ekonomi

    Pekerjaan yang dianggap paling menjanjikan adalah sebagai pegawai di perusahaan garmen Glory.

    Penghasilan mereka yang bekerja di sana lebih dari satu juta rupiah. Bahkan anak sulung Ulfa, yang

    setelah menunggu tiga tahun baru bisa diterima di Glory, akhirnya bisa mewujudkan keinginannya untuk

    mengangsur pembelian motor.

    Di Bandarharjo, pekerjaan yang paling banyak ditekuni warga adalah di pengasapan ikan. Namun

    kesejahteraan mereka sangat minim. Gaji dihitung harian antara Rp. 20.000 Rp. 30.000, sudah bersih

    tanpa ada tunjangan lain. Belum lagi lingkungan kerja yang tidak sehat. Zawida (51) mengaku ia sering

    memakai sepatu boot saat bekerja karena air rob sering menggenangi. Masalah bau yang menyengat

    juga menjadi keluhan utama.

    Akan tetapi, mereka yang tinggal di daerah tepi laut tersebut tidak semuanya mencari nafkah berbasis

    laut. Suami Ulfa, misalnya, bekerja sebagai penjahit pada seorang kyai di Sampangan. Ulfa memang

    bekerja serabutan mengupas kerang, tetapi penghasilannya sangat minim. Mereka menempati rumah di

    daerah tersebut karena harganya yang murah, yaitu per tahun 750.000 rupiah. Hampir semua

    narasumber mengaku, jika ada pilihan, mereka tidak akan tinggal di tempat yang kini mereka tinggali.

    Dengan penghasilan yang tidak banyak, para narasumber tersebut masih harus terbebani dengan biaya

    peninggian rumah tiap lima tahun sekali. Akibatnya, keperluan makan sehari-hari dan biaya kesehatan

    menjadi ditekan. Zawida dan Sahili mengaku makanan sehari-hari mereka adalah nasi sambal dan

    krupuk. Jika sakit, mereka selalu enggan ke dokter. Bahkan anak-anak Ulfa yang sudah mentas masa

    balita belum pernah diimunisasi.

  • 16

    Kabupaten Sukabumi

    Di Kecamatan Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, setidaknya terdapat 12 mata air (32 titik

    sumber) yang telah dikuasai oleh sekitar 21 perusahaan pengguna air. Padahal fungsi mata air tersebut

    sangat penting untuk menjamin keberlanjutan hidup komunitas desa di kedua Kecamatan tersebut.

    Beberapa perubahan lingkungan fisik yang terjadi akibat ekstraksi air bawah tanah yang berlebihan

    adalah matinya beberapa sumber air, turunnya debit mata air, turunnya permukaan sungai. Secara rinci

    terdapat delapan dampak negatif akibat penguasaan dan pemanfaatan sumber air oleh 27 perusahaan

    yang beroperasi di Kecamatan Cidahu dan Cicirug, Kabupaten Sukabumi, yaitu

    (1). Warga tidak dapat/sulit memanfaatkan air secara langsung dari mata air yang telah

    dikuasai/dieksploitasi pihak perusahaan karena sumber tersebut telah ditutup oleh pihak perusahaan

    atau membatasi akses pihak lain ke mata air. Dari hasil observasi yang dilakukan tim peneliti, PT Aqua

    Golden Mississippi dan PT Tirta Investama melakukan pemagaran di sekeliling lokasi titik mata air

    dengan tembok yang tinggi serta melakukan pengamanan dengan menempatkan petugas Satpam untuk

    berjaga 24 jam.

    (2). Turunnya muka air tanah pada sumur gali milik warga dengan kisaran 1-8 meter serta keringnya

    sumur gali warga. Di kecamatan Cidahu dampak seperti ini ditemukan di enam desa yang mencakup 20

    kampung. Adapun di kecamatan Cicurug, dampak penurunan muka air tanah pada sumur gali warga

    ditemukan di empat desa.

    (3). Sumber-sumber air alternatif -seperti air pancuran dan air rembesan- yang biasa dimanfaatkan

    warga untuk MCK, mengalami kekeringan atau penurunan debit.

    (4). Mata air yang dieksploitasi perusahaan mengalami kekeringan/penurunan debit pada musim

    kemarau sehingga warga tidak dapat memanfaatkan sumber air tersebut.

    (5). Saluran air (selokan) yang melewati perkampungan warga mengalami kekeringan karena tidak

    ada/kecilnya pasokan air dari mata air.

    (6). Debit air sungai menurun secara drastis pada musim kemarau sehingga warga tidak dapat/sulit

    memanfaatkan air sungai untuk MCK.

    (7). Terhentinya aliran air yang menuju ke rumah warga akibat pembersihan (pengurasan) sumber air

    yang dilakukan perusahaan, dan

    (8). Jumlah debit air (mata air) yang tersedia atau yang dapat dimanfaatkan oleh warga desa, tidak

    cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga sehari-hari.

    Berdasarkan hasil studi Widarti (1995) di dalam Laporan Akhir Kegiatan Inventarisasi Pemanfaatan Jasa

    Lingkungan dan Wisata Alam (Balai TNGHS-JICA, 2006) disebutkan bahwa kebutuhan air bersih untuk

    setiap rumah tangga adalah sebesar 204,6 M/KK/tahun. Berdasarkan data penelitian dapat dihitung

    total jumlah kebutuhan air bersih untuk RT warga di ke-12 desa diatas adalah sebesar 4.519.203

    m3/tahun. Sementara total jumlah volume air yang dieksploitasi oleh 27 perusahaan yang beroperasi di

    Kecamatan Cidahu dan Cicurug selama tahun 2006 mencapai jumlah 5.960.671 m3. Hal ini menunjukkan

    bahwa jumlah volume air yang telah dieksploitasi pihak perusahaan (selama tahun 2006) lebih besar

    daripada jumlah kebutuhan air bersih untuk rumah tangga warga.

  • 17

    Kenyataan ini semakin mempertegas fakta terjadinya ketimpangan/ketidakadilan dalam pemanfaatan

    sumber daya air antar pihak (masyarakat/sektor publik vs perusahaan/sektor privat) dan antar sektor

    (sektor industri vs sektor pertanian).

    Dampak negatif lain yang dirasakan warga adalah yang berpengaruh langsung dengan pemenuhan air

    untuk irigasi pertanian, yaitu:

    (1). Sulit/berkurangnya akses warga dalam memanfaatkan sumber air (mata air) secara langsung yang

    mengalir melalui saluran irigasi atau sungai untuk irigasi lahan pertanian karena telah

    dikuasai/dieksploitasi pihak perusahaan dengan cara menutup sumber air tersebut.

    (2). Turunnya debit air sungai (sungai besar) secara drastis, karena sumber air (mata air) mengalami

    penurunan debit/kering setelah adanya eksploitasi air yang dilakukan pihak perusahaan. Akibatnya

    warga di daerah hilir tidak dapat/sulit memenuhi kebutuhan air untuk irigasi lahan pertanian (sawah).

    (3). Berkurangnya debit air saluran irigasi (selokan/sungai kecil) yang mengalirkan air ke lahan pertanian

    (sawah) karena sumber air (mata air) yang memasok air ke saluran tersebut telah dikuasai perusahaan

    dengan cara ditutup. Penutupan ini menyebabkan berkurangnya debit air yang keluar dari mata air yang

    menuju ke saluran irigasi di daerah hilir

    (4). Pada musim kemarau sebagian besar lahan sawah milik warga mengalami kekeringan dan

    ditelantarkan (tidak digarap) selama 4-5 bulan karena kekurangan air untuk irigasi lahan pertanian

    (sawah).

    (5). Meningkatnya alih fungsi pola tanam dari tanaman padi (sawah) menjadi tanaman palawija (lahan

    kebun) karena kekurangan air untuk irigasi lahan pertanian

    (6). Berkurangnya hasil produksi pertanian baik hasil produksi padi (sawah) maupun hasil produksi

    palawija (kebun) karena tanaman kekurangan air.

    (7). Pada musim kemarau sumber air (mata air) yang dieksploitasi perusahaan mengalami

    kekeringan/penurunan debit yang dikuti oleh upaya pengeboran dilokasi sumber air oleh perusahaan,

    sehingga debit air yang berasal dari sumber air melalui saluran irigasi dan sungai untuk keutuhan irigasi

    lahan pertanian mengalami kekeringan.

    (8). Keringnya sumber-sumber air alternatif -seperti air rembesan, kubangan air di sekitar area

    persawahan. Air tersebut merupakan salah satu satu sumber air alternatif yang biasa dimanfaatkan

    warga untuk irigasi lahan pertanian

    (9). Ketidakseimbangan antara debit (mata air) yang tersedia dengan kebutuhan air untuk memenuhi

    irigasi lahan pertanian yang semakin meningkat setiap tahun akibat adanya eksploitasi air secara besar-

    besaran oleh perusahaan.

    Sedangkan perubahan sosial yang terjadi adalah pergeseran nilai air atau cara pandang terhadap air

    yang semula adalah sumber hidup dan lebih bernilai sosial serta kultural. Kini sejak menjamurnya

    perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan beberapa industri lain yang mengekstraksi air

    bawah tanah, bergeser menjadi lebih bernilai ekonomi dan diperlakukan seperti komoditi. Hal ini

    berakibat pada beberapa lahan produktif atau yang mempunyai potensi air bawah tanah besar dijual ke

    perusahaan, sehingga air dimaknai sebagai hak milik. Kemudian terjadinya alih fungsi lahan, dari lahan

    produktif menjadi lahan tegalan karena tanah menjadi kering.

  • 18

    Kedua, terjadinya peralihan mata pencaharian yang semula di sektor pertanian menjadi ke sektor

    industri dan jasa. Bagi beberapa pemuda, pilihan menjadi tukang ojek terasa lebih memberikan

    keuntungan dibanding menekuni mata pencaharian sebagai petani. Dengan hadirnya perusahaan-

    perusahaan ini - perusahaan makanan dan minuman (mamin), perusahaan peternakan, perusahaan

    kimia (bahan kimia dan farmasi), perusahaan elektronik, perusahaan plastik, perusahaan wisata

    (hotel/restoran/taman rekreasi), perusahaan air bersih, perusahaan pertambangan, perusahaan garmen

    dan perusahaan perkebunan - semula warga berharap agar anak atau anggota keluarga mereka bisa

    direkrut menjadi tenaga kerja. Namun syarat pendidikan minimal SMA menjadi berat untuk dipenuhi

    warga, ditambah munculnya kelompok preman dimana warga yang ingin menjadi tenaga kerja harus

    membayar sejumlah uang sebagai pelicin namun tetap tidak menjadi jaminan diterima sebagai tenaga

    kerja.

    Ketiga, ternyata kemampuan serap tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan yang ada di dua

    Kecamatan di Kabupaten Sukabumi di atas yang menjadi lokasi penelitian, hanya sekitar 28% saja. Dan

    sebagian besar pemenuhan kebutuhan tenaga kerja perusahaan berasal dari tenaga kerja di luar daerah.

    Meskipun di beberapa desa sudah membuat kesepatan yang tertuang dalam Peraturan Desa tentang

    jaminan warga lokal untuk diprioritaskan menjadi tenaga kerja, namun hal ini tidak kunjung terwujud.

    Permasalahan yang menghambat adalah karena adanya pungutan uang dalam proses rekrutmen tenaga

    kerja yang tidak mampu dipenuhi sebagian besar penduduk lokal, sehingga mereka kemudian memilih

    tidak bekerja di perusahaan-perusahaan pemanfaaat air di daerah mereka tersebut.

    Keempat, adanya persyaratan administrasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja di perusahaan. Bagi

    penduduk yang rata-rata hanya lulusan SMP atau bahkan lebih rendah tentu dianggap tidak memenuhi

    persyaratan bekerja di perusahaan yang mensyaratkan minimal pendidikan adalah lulusan SMA.

    Masyarakat desa dimiskinkan karena tercerabutnya akses atas sumberdaya air di tempat mereka sendiri

    dan kembali disisihkan dalam proses ekonomi dengan adanya pembatasan akses untuk bekerja di

    perusahaan-perusahaan yang sudah mengeruk keuntungan dari daerah mereka.

    Dampak sosial politik yang terjadi adalah tidak dilibatkannya golongan masyarakat biasa dalam

    berbagai pengambilan keputusan strategis yang menyangkut soal air maupun aktivitas dan keberadaaan

    perusahaan. Sementara yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat biasa ini.

    Kedua, lahirnya golongan elite masyarakat yang mendukung keberadaan perusahaan. Aktor individu

    yang terlibat adalah oknum anggota masyarakat seperti tokoh masyarakat, oknum RT, Oknum kepala

    Desa, Tokoh pemuda, dll. Sedangkan organisasi sosial yang lahir dan dibentuk sejak adanya perusahaan

    terdiri atas berbagai kategori Organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, Yayasan Rekrutmen

    Tenaga kerja, Organisasi Preman Desa. Peran kelompok ini antara lain menjalankan fungsi pengamanan

    perusahaan serta menjaga stabilitas dari misalnya aksi protes warga, menjadi perantara dalam proses

    rekruitmen tenaga kerja, sebagai penyalur atau pelaksana berbagai proyek bantuan dari perusahaan

    kepada masyarakat. Potensi konflik horisontal pun cukup tinggi menyangkut penyaluran bantuan

    tersebut. Sedangkan bagaimana mekanisme yang berjalan dan aspek keadilan dalam distribusi tidak

    menjadi tanggung jawab perusahaan lagi, dengan dalih sudah melibatkan kelompok masyarakat dalam

    pendistribusian bantuan.

    Kelompok ini juga mengambil keuntungan dari isu eksploitasi air sebagai komoditas politik mereka.

    Sebagai contoh ada sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengatasnamakan kepentingan

    masyarakat melakukan aksi protes pada perusahaan hanya agar mereka memperoleh imbalan atau

    keuntungan lainnya dari perusahaan dan kepentingan masyarakat hanya merupakan kedok.

  • 19

    Relasi warga dengan perusahaan pun mencerminkan ketidakadilan, warga yang mengalami kekeringan

    karena ekstraksi berlebihan perusahaan hanya difasilitasi pembuatan kamar mandi umum yang jauh dari

    memadai untuk memenuhi kebutuhan warga. Beberapa desa yang lokasinya dekat sumber air namun

    jauh dari lokasi perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air karena tidak adanya

    fasilitas saluran air, sementara akses langsung ke sumber air yang terdapat di desanya tidak mungkin

    karena sudah diisolasi oleh perusahaan.

    Keberadaan perusahaan-perusahaan pengguna air secara umum tidak cukup mampu memberikan

    kontribusi yang signifikan bagi perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di mana perusahaan itu

    beroperasi atau mengeksploitasi air. Sebaliknya, keberadaan perusahaan di lokasi penyelidikan justru

    telah membawa kerugian secara ekonomi terhadap usaha produktif warga desa terutama di sektor

    pertanian, serta tidak cukup mampu membangun kesadaran dan keberdayaan politik warga desa untuk

    bersikap dan bertindak secara kritis terhadap pihak perusahaan.

    DKI Jakarta

    Pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang cenderung meningkat, khususnya air tanah pada sistem

    akuifer tertekan, menyebabkan terjadinya perubahan kedudukan muka air tanah. Empat daerah kerucut

    penurunan muka air tanah (cone of depression) utama yang merupakan bukti jumlah pengambilan dan

    pemanfaatan air tanah yang telah melebihi potensinya. Di daerah dataran bagian barat terdapat dua

    kerucut penurunan muka air tanah yakni di sekitar daerah Kamal (Jakarta Utara), Dadap, Jurumudi, dan

    Porisgaga (Kota Tangerang), Kebon Jeruk, Jelambar, Kali Deres, Cengkareng, dan Kapuk (Jakarta Barat),

    kedudukan muka air tanah antara 22,87 m 47,08 m bml, terdalam dijumpai di daerah Kamal (PT.

    Mundo). Kerucut penurunan muka air tanah lainnya meliputi daerah Tanah Abang, dan Senen (Jakarta

    Pusat), dengan kedudukan muka air tanah > 20 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT. Jakarta Land. Di

    daerah dataran bagian timur tedapat dua kerucut penurunan muka air tanah, yaitu, meliputi daerah

    Pulogadung, Cakung, Ujung Menteng (Jakarta Timur), Pejuang, dan Medan Satria (Kota Bekasi), muka air

    tanah berada pada kedudukan antara 21,42 m 44,06 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT.

    Bridgestone, Medan Satria, Kota Bekasi. Kerucut lainnya terdapat di daerah Sunter (Jakarta Utara), dengan

    kedudukan muka air tanah > 20 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT. Astra Motor.

    Amblesan tanah (land subsidence) secara umum terjadi karena proses pemampatan/konsolidasi baik karena

    faktor pembebanan maupun terkait dengan pengambilan air tanah. Penurunan muka air tanah pada sistem

    akuifer tertekan mengakibatkan penurunan tekanan hidrolika (hydraulic pressure), sementara tekanan

    antar butir (intergranular pressure) bertambah. Akibatnya terjadi penurunan permukaan tanah. Mengingat

    material lempung sebagai lapisan penutup (confining layer) sistem akuifer tertekan sangat mudah

    termampatkan, pertambahan tekanan antar butir akan menyebabkan lapisan lempung tersebut

    termampatkan. Hal ini berarti mengurangi kesarangan (porosity) lempung yang mengakibatkan air yang

    mengisi pori-pori lempung akan terperas ke bawah ke dalam akuifer.

    Indikasi adanya amblesan tanah di daerah Jakarta ini ditunjukkan antara lain oleh :

    - Retaknya bangunan gedung di kompleks kantor Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta

    kompleks toko Sarinah di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat.

    - Terjadinya genangan air laut pasang di daerah Kapuk, dan Cengkareng (Jakarta Barat) serta Kamal

    (Jakarta Utara) yang semakin meluas dan semakin tinggi air genangannya.

  • 20

    - Miringnya Menara Museum Bahari di daerah Pasar Ikan, Pademangan (Jakarta Utara).

    Hasil pengkajian amblesan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta, kecepatan amblesan tanah

    di wilayah Jakarta selama tahun 1982 - 1997 berkisar antara 0,7 12,0 cm/tahun. Adapun daerah yang

    mempunyai amblesan tertinggi terjadi di daerah Tegal Alur dan Cengkareng (Jakarta Barat), dengan

    kecepatan amblesan tanah mencapai 12,0 cm/tahun.

    Dari hasil wawancara dengan beberapa penduduk di daerah Muara baru, Jakarta Utara, diperoleh informasi

    bahwa setiap harinya mereka mengalami banjir air laut. Bahkan berbeda dengan banjir air laut di Semarang,

    banjir di wilayah Muara Baru merupakan banjir dengan arus gelombang tinggi. Seperti dikatakan salah

    seorang narasumber yang menyatakan rasanya seperti kena tsunami setiap hari. Bahkan karena arus

    gelombang yang tinggi tersebut, pernah di sepanjang gang dipasang tali tambang besar untuk membantu

    penduduk berjalan agar tidak terseret arus.

    Bahkan karena banjir yang datang tiba-tiba dan sering tidak bisa diperkirakan waktunya, beberapa warga

    menjadi kehilangan potensi penghasilan. Misal karena banjir yang datang pagi hari, penjual nasi uduk dan

    penjual jamu gendong tidak bisa berjualan karena rumahnya tergenang banjir. Bahkan seorang narasumber

    memilih memiliki persediaan baju hanya dua pasang, karena toh akan hanyut atau terendam ketika banjir.

    Kelompok perempuan menghadapi persoalan yang pelik karena bukan hanya harus bertanggung jawab atas

    kebersihan rumah yang setiap hari tergenang, atau air bersih untuk minum dan masak yang susah didapat,

    namun juga kerentanan kesehatan reproduksi karena buruknya sanitasi dan kualitas air untuk memenuhi

    kebutuhan pribadi. Terlebih karena buruknya saluran drainase, limbah rumah tangga dan limbah industri

    pengolahan ikan yang berada dekat wilayah itu menjadi tercampur baur dengan banjir air laut menggenangi

    rumah-rumah warga.

    Daerah Muara Baru memang sebuah kawasan industri yang tidak layak untuk menjadi tempat hunian,

    namun ketiadaan pilihan dan ketidakmampuan untuk pindah ke lokasi pemukiman yang lebih layak

    membuat masyarakat tetap bertahan dan beradaptasi dengan banjir.

    Pemulihan Lingkungan

    Berbagai masalah lingkungan seperti amblesan tanah, penurunan muka air tanah berlebihan, intrusi air laut

    serta penurunan kualitas air tanah atau pencemaran air tanah disebabkan salah satunya oleh pengambilan

    air tanah yang lebih besar dari usaha pemulihan. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Teknologi

    Bandung dalam Laporan Penilaian Atas Pajak Air Tanah Dalam Rangka Konservasi telah mengidentifikasi

    secara detil tentang kebutuhan biaya pemulihan lingkungan. Berikut adalah hasil analisis tim tersebut.

    Secara umum upaya pemulihan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara langsung dan tidak langsung.

    Cara langsung adalah dengan mengalihkan sebagian pemakaian air tanah kepada air permukaan. Cara

    langsung ini memerlukan infrastruktur yang memadai diantaranya provisi (pentarifan) air tanah dan air

    permukaan yang proporsional, adanya insentif terhadap penggunaan air permukaan dan insentif terhadap

    penggunaan teknologi daur ulang serta ditunjang oleh infrastruktur air bersih yang baik.

    Cara yang bersifat langsung dilakukan melaluui teknologi imbuhan buatan seperti sumur resapan, injeksi

    langsung serta teknologi ASR (aquifer storage and recovery). Sesungguhnya biaya yang telah diketahui

    untuk melakukan pemulihan yang bersifat langsung ini dapat dijadikan referensi bagi alokasi belanja untuk

    konservasi air tanah di wilayah-wilayah yang telah mengalami defisit air tanah.

  • 21

    1. Pembuatan sumur resapan

    Sumur resapan adalah adalah sistem resapan buatan yang berfungsi sebagai penampung air

    hujan, dapat berupa sumur, parit atau alur taman resapan, berguna untuk pemulihan akuifer dangkal. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat sumur resapan kapasitas 3 m3 adalah Rp 4.000.000.

    Dengan biaya sejumlah ini sumur resapan dapat bertahan sampai 5 tahun. Per tahun sumur resapan ini

    dapat meresapkan air hujan sebanyak 450m3. Apabila dihitung ongkos pemulihan lingkungan per m3 maka

    nilainya adalah Rp 1.700/m3 untuk kurun waktu lima tahun.

    2. Pembuatan sumur injeksi

    Merupakan teknologi imbuhan buatan dengan cara memasukkan air ke dalam akuifer

    (penampungan air) sampai kedalaman 80-100 meter, sebagai upaya mengembalikan

    ketersediaan air, teknologi ini berguna untuk pemulihan akuifer dalam. Sebagai gambaran biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan akuifer Cekungan Air Tanah Bandung adalah Rp 12.476/m3. Sementara

    menurut tim Badan (BPPT) pembuatan sumur injeksi membutuhkan biaya hingga Rp 1,5 juta untuk setiap

    satu meter kedalaman pengeboran. Pembuatan sumur injeksi karena berupaya untuk memulihkan akuifer

    dalam maka membutuhkan kualitas air yang prima sehingga tidak justru mencemari air tanah dalam.

    Kualitas air yang dibutuhkan minimum adalah setara dengan kualitas air bersih yang diproduksi oleh PDAM.

  • 22

    BAB III

    PERATURAN DAN KELEMBAGAAN TENTANG AIR TANAH

    Peraturan tentang Pajak Air Bawah Tanah

    Beberapa peraturan yang terkait dengan pengelolaan air tanah adalah UU no 33 tahun 2004 tentang

    Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menegaskan keleluasaan

    kepada daerah untuk menggali pendanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.

    Sedangkan mengenai sistem bagi hasil untuk sumber daya air diatur dalam UU No 34 tahun 2000

    tentang Pajak dan Retribusi Daerah menegaskan peran pemerintah propinsi dalam melakukan program

    konservasi air tanah berikut penarikan pajaknya. Dan mengatur pula sistem bagi hasil untuk sumber

    daya air sebanyak 30% untuk propinsi dan 70% untuk kabupaten/kota asal daerah pemanfaatan air. Bagi

    hasil untuk kabupaten/kota tersebut tidak hanya digunakan untuk program peningkatan kesejahteraan

    masyarakat di daerah-daerah sumber air yang mempunyai pendapatan di sektor air yang tinggi namun

    juga merupakan subsidi silang bagi daerah yang pendapatan di sektor air kecil namun punya masalah

    kelangkaan air. Namun dalam faktanya, 70% bagian dari bagi hasil ini masih hanya diberikan ke

    kabupaten/kota tempat pengusahaan air dan belum ke daerah yang mengalami kelangkaan air.

    Sesuai dengan PP No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, para pemanfaat air dikenakan tarif pajak

    sebesar 10% untuk pemanfaatan air permukaan dan sebesar 20% untuk pemanfaatan air bawah tanah5.

    Perhitungan nilai perolehan air tanah sendiri diatur berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1451

    tahun 2000. Beberapa konsep penting dalam keputusan ini adalah nilai perolehan air, harga dasar air,

    harga air baku, faktor nilai air, dan kompensasi. Satu-satunya nilai yang relatif dapat berubah adalah

    harga air baku. Harga air baku diperhitungkan dengan cara membagi nilai investasi untuk mendapatkan

    air tanah dengan volume produksinya. Nilai moneter investasi relatif dapat berubah dari satu periode ke

    periode berikutnya, meskipun demikian periode perubahannya relatif panjang sepanjang umur

    investasiya. Nilai lainnya sifatnya relatif tetap. Akibatnya harga perolehan air tanah selama satu periode

    investasi punya kecenderungan tetap, sementara nilai air alternatif bagi air tanah seperti air PDAM

    nilainya biasanya mengikuti nilai pasar yang perubahannya salah satunya ditentukan oleh nilai inflasi.

    Akibatnya nilai air tanah cenderung lebih murah dibandingkan dengan air PDAM. Hal inilah yang

    mengakibatkan orang cenderung memilih air tanah dibandingkan dengan air PDAM.

    Untuk komponen kompensasi pemulihan berlaku sistem progresif yaitu semakin besar besar volume

    pengambilan air tanah maka semakin besar pula risiko kerusakannya sehingga besarnya kompensasi

    ditentukan secara progresif tergantung besarnya pengambilan air tanah. Secara umum, pajak progresif

    adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang

    digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap

    kali naik.

    Di Indonesia contohnya tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi. Untuk penghasilan

    seribu sampai 25 juta dikenakan tarif pajak 5 persen. Untuk penghasilan 25 juta sampai 50 juta

    dikenakan tarif pajak 10 persen. Pada air tanah progresifitasnya terletak pada bobot komponen

    kompensasi, semakin besar volume air yang diektrasi bobot komponen kompensasinya semakin besar.

    5 Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, Pasal 36

  • 23

    Misalnya untuk kelas niaga kecil, apabila sebuah badan usaha memanfaatkan air tanah sebanyak kurang

    dari 50m3 maka bobot kompensasinya adalah 1, sementara bila menggunakan lebih dari 2.500 m3 maka

    bobot nya meningkat menjadi 1,4. Untuk industri besa yang mengambil kurang dari 50m3 bobot

    kompensasi kurang dari 5,dan untuk pengambilan lebih dari 2.500 m3 dikenakan bobot kompensasi 7.

    Hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan

    pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan air tanah, diatur dalam UU No 32 tahun 2004

    tentang Pemerintah Daerah. Salah satu syarat teknis pembentukan daerah otonom adalah faktor

    kemampuan ekonomi (Pasal 5 ayat 4). Urusan yang diserahkan kepada daerah otonom adalah sumber

    pendanaan otonomi daerah, sarana dan prasarana, dan kepegawaian. Yang menghantui bagi

    pemerintah daerah adalah bunyi pasal 6 ayat satu yang menyatakan bahwa daerah dapat dihapus dan

    digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan

    otonomi daerah. Pasal-pasal di atas mendorong pemerintah daerah berlomba-lomba untuk mencari

    dana pembiayaan termasuk di dalamya adalah pemberian ijin eksploitasi air tanah yang dapat

    menghasilkan tambahan pendapatan dari pajak air tanah.

    Dan dalam PP No 43 tahun 2008 pasal 26 ditegaskan bahwa rencana pengelolaan cekungan air tanah

    lintas provinsi dan negara menjadi kewenangan menteri (pemerintah), rencana cekungan air tanah lintas

    kabupaten/kota menjadi kewenangan Gubernur (pemerintah provinsi) sedangkan untuk pengelolaan

    cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/kota itu sendiri menjadi kewenangan Bupati/Walikota.

    Beberapa peraturan di atas memperlihatkan adanya desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan air

    tanah, sehingga pada masing-masing provinsi atau kabupaten/kota bisa memiliki kebijakan rencana

    pengelolaan air tanah yang berbeda. Hal ini, salah satunya, dipengaruhi oleh penekanan kepentingan

    dan keberpihakan pemangku kebijakan atas masalah pengelolaan air tanah.

    Namun perlu dicermati beberapa kelemahan pengelolaan air tanah oleh pemerintah, yaitu

    desentralisasi pengelolaan sampai tingkat Kabupaten/Kota yang cenderung mengabaikan prinsip

    pengelolaan akuifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom terbatas dalam lingkup

    wilayah administrasi pemerintahan, sehingga daerah cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya

    air yang ada di wilayahnya, sedangkan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut.

    Kedua, kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air tanah, tidak menjamin hak dasar

    masyarakat, terutama masyarakat miskin, dalam mendapatkan akses penyediaan air bersih, tidak

    mengakomodasi kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan partisipasi para

    pihak lain yang berkepentingan serta kurang memberdayakan sumberdaya lokal.

    Ketiga, masih banyak dijumpai kegiatan pengeboran dan pengambilan air tanah tanpa ijin (SIP, SIPPAT).

    Keempat, belum tertibnya pelaporan rencana pelaksanaan pengeboran berupa pemasangan saringan,

    uji pemompaan, pemasangan pompa dan pemasangan meter air; serta belum tertibnya laporan

    pelaksanaan pengeboran meliputi gambar penampang litologi, hasil logging, analisa uji pemompaan,

    penampang konstruksi sumur, analisa kimia dan fisika

    Serta kelima, adanya keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun

    daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.

    Beberapa peraturan tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota yang terkait dengan pengelolaan air tanah

    adalah :

  • 24

    (1). Perda Provinsi Jawa tengah No 6 tahun 2002 tentang Pengambilan Air Bawah Tanah. Aturan hukum

    ini masih belum sesuai dengan PP No 43 tahun 2008, dan saat ini sedang disusun Raperda Provinsi Jawa

    Tengah tentang Pemberian Rekomendasi Teknis terhadap Izin Pemakaian dan Pengusahaan Air Tanah

    pada Cekungan Air Tanah lintas Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Namun agar

    tidak terjadi kekosongan pelayanan perizinan air tanah maka masih diberlakukan Perda No 6 tahun 2002

    tersebut; Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga

    Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah; Keputusan Gubernur Jateng No.

    188.3/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan dan Harga Dasar ABT; Keputusan

    Gubernur Jateng No. 073/155 Tahun 2004 tentang Pemberian keringanan Pajak Pengambilan ABT

    kepada PDAM di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10-20%.

    (2). Perda kabupaten Sukabumi No 7 tahun 2002 tentang Pertambangan Umum; Perda Kabupaten

    Sukabumi no 8 tahun 2002 tentang Pengelolaan ABT; SK Gubernur No 29 tahun 2002 tentang Tata Cara

    Perhitungan Harga Dasar Air sebagai dasar penetapan Nilai Perolehan Air Air Bawah Tanah dan air

    Permukaan; Peraturan Bupati Sukabumi No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air

    Bawah Tanah Untuk Kepentingan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi.

    Perda Kabupaten Sukabumi No 7 tahun 2002 termasuk di dalam peraturan tentang pengelolaan air

    tanah sebab berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi tentang Pertambangan Umum ini,

    pengambilan air bawah tanah termasuk salah satu jenis usaha/kegiatan pertambangan umum. Pada

    pasal 1 Perda No. 7 Tahun 2002 disebutkan bahwa air bawah tanah termasuk salah satu jenis bahan

    galian yang terjadi secara alami dan mempunyai nilai ekonomis.

    Terkait dengan alokasi anggaran untuk konservasi, pemerintah Kabupaten Sukabumi mengeluarkan

    Peraturan Bupati No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air Bawah Tanah untuk

    Kepentingan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi, yang merupakan penjabaran dari Perda No 8 tahun

    2002 pasal 12 ayat 3 huruf F tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Dalam Perbup ini diatur mengenai

    alokasi 10% dari bagi hasil penerimaan pajak yang harus digunakan untuk program konservasi air bawah

    tanah. Kebijakan ini sudah sangat maju karena menjamin adanya program konservasi untuk pemulihan

    air bawah tanah.

    Dalam Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003 disebutkan adanya potongan pada wajib

    pajak air bawah tanah sebesar 70%, sehingga wajib pajak hanya perlu membayar 30% dari penetapan

    nilai pajak. Selain karena perbedaan dalam penetapan Harga Dasar Air sebagai dasar perhitungan Nilai

    Perolehan Air yang menentukan besaran Pajak Air Tanah yang harus dibayar wajib pajak ke kas daerah

    masing-masing, peraturan tingkat Provinsi semacam ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan Nilai

    Perolehan Air di tiap daerah.

    Seturut dengan prinsip pengelolaan air tanah bisa dibedakan menjadi tiga hal yaitu (1). Penekanan pada

    konservasi, (2). Penekanan pada keseimbangan, dan (3). Penekanan pada pertumbuhan ekonomi. Maka

    keberpihakan yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah lewat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah

    adalah pada konsep pengelolaan air tanah yang masih lebih menekankan pada aspek pertumbuhan

    ekonomi, dengan dalih untuk lebih mengembangkan dunia usaha. Sedangkan pada pemerintah daerah

    Kabupaten Sukabumi sudah ada jaminan anggaran untuk program konservasi dari pendapatan sektor

    air.

    Meskipun belum diatur dalam peraturan pelaksanaan untuk PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah,

    Pasal 84 ayat 5 PP tersebut menyatakan bahwa Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah

    sebagaimana dimaksud pada ayat 4 merupakan penerimaan negara bukan pajak. Sementara ayat 4-nya

  • 25

    berbunyi Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah ... merupakan dana yang dipungut oleh

    Pemerintah dari pemegang izin untuk biaya pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam

    kegiatan konservasi air tanah. Pada penjelasan Pasal 84 ayat 1 (c) dikatakan bahwa yang dimaksud

    dengan hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah adalah biaya jasa pengelolaan sumber daya

    air pada cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU No. 7 tahun 2004 tentang

    Sumber Daya Air. Sementara Penjelasan Pasal 77 ayat 3 huruf c UU No. 7 tahun 2004 berbunyi Hasil

    penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air diperoleh dari para penerima manfaat pengelolaan

    sumber daya air, baik untuk tujuan pengusahaan sumber daya air maupun untuk tujuan penggunaan

    sumber daya air yang wajib membayar. Tidak secara eksplisit dinyatakan apakah biaya jasa tersebut

    termasuk di dalamnya adalah pajak air tanah.

    Menurut UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 8 dinyatakan bahwa

    sebagian dana dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan

    Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Kegiatan tersebut meliputi, salah satunya

    adalah pelestarian sumber daya alam. Artinya ada jaminan, meskipun tidak seluruh dana pajak air tanah

    (itupun jika penerimaan biaya jasa identik dengan pajak air tanah saat ini), bahwa sebagian penerimaan

    pajak air tanah dapat digunakan langsung oleh instansi terkait dalam hal ini Departemen Energi dan

    Sumber Daya Mineral atau Dinas terkait untuk kegiatan yang salah satunya adalah konservasi. Hal ini

    berbeda jika kategorinya adalah penerimaan negara dari pajak. Seluruh dana masuk ke dalam APBN atau

    APBD dan instansi terkait tidak punya kewenangan langsung untuk memanfaatkan dana untuk

    kepentingan konservasi sumber daya seperti air tanah, misalnya.

    Lembaga di Sektor Sumber Daya Air

    Dinas yang berwenang untuk melakukan pengelolaan soal sumber daya air semula adalah Dinas

    Pertambangan dan Energi, namun karena restrukturisasi organisasi di kalangan pemerintah daerah atau

    adanya perubahan SOTK (Struktur Organisasi Tata Kelola) membuat kewenangan pengelolaan sumber

    daya air menjadi urusan dinas yang berbeda. Yaitu antara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral

    (ESDM) untuk kewenangan pengelolaan air bawah tanah dan Dinas Energi dan Sumber Daya Air (ESDA)

    untuk kewenangan pengelolaan air permukaan. Dan hal ini bisa berbeda di masing-masing daerah,

    tergantung pada kebijakan yang dibuat oleh pemimpin wilayah.

    Di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat terjadi perubahan struktur dimana yang semula Dinas

    Pertambangan dan Energi yang mempunyai kewenangan di sektor air bawah tanah, kemudian menjadi

    Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan untuk air permukaan menjadi wewenang Dinas

    Energi dan Sumber Daya Air.

    Karena luasnya wilayah yang menjadi kewenangannya maka untuk Provinsi Jawa Tengah dibantu oleh

    empat Unit Pelaksana teknis (UPT)/Balai ESDM Pati (wilayah Kendeng-Muria), Balai ESDM Solo, Balai

    ESDM Purworejo (Serayu Selatan) dan Balai ESDM Banyumas (Serayu Utara). Kewenangan untuk

    pengambilan air tanah di Kabupaten Klaten berada di bawah Balai ESDM Solo, sedangkan wilayah Kota

    Semarang berada di bawah Dinas ESDM Provinsi langsung, termasuk juga untuk di daerah Demak,

    Kendal, Kabupaten Semarang dan Salatiga.

    Sedangkan di DKI Jakarta, semula kewenangan pengelolaan air bawah tanah ada pada Dinas

    Pertambangan dan Energi namun kemudian Dinas ini dipecah menjadi beberapa Dinas. Dan

    kewenangan pengelolaan air bawah tanah menjadi urusan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah

  • 26

    (BPLHD). Hal ini tertuang dalam Perda Propinsi DKI Jakarta No 10 tahun 2008 tentang Organisasi

    Perangkat Daerah.

    Pada pasal 121, ayat 2 Perda tersebut dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas sebagaimana

    dimaksud pada ayat 1, Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah mempunyai fungsi (poin e)

    Pengelolaan limbah dan air permukaan, (poin g) pengoordinasian pelaksanaan pencegahan dan

    penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan, (poin p)

    pemantauan, pengawasan, pengendalian, dan penerbitan, pemanfaatan air bawah tanah, limbah

    industri, dan pemulihan sumber daya air permukaan.

    Terkait dengan berubahnya struktur lembaga yang mempunyai kewenangan atas pemanfaatan air yaitu

    dari Dinas menjadi Badan tentu ada beberapa kelemahan serta kelebihan. Namun terkait hal ini Ibu Dian

    Wiwekowati menyatakan bahwa masih terlalu cepat untuk menilai keefektifan struktur yang baru ini

    dan perlu dilihat nanti ke depan. Apakah dengan struktur yang baru ini, membuat BPLHD mampu

    membuat kebijakan yang lebih strategis bagi upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan

    perlindungan sumber daya air, itu merupakan salah satu parameter dalam menilai struktur yang baru

    ini.

  • 27

    Gambar 1. Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah (BPLHD) DKI Jakarta6

    6 Sumber diperoleh dari dokumen lampiran Perda No 10 tahun 2008, DKI Jakarta

  • 28

    Perizinan Pengelolaan Air Tanah

    Guna menjaga kelangsungan ketersediaan sumberdaya air tanah, maka diperlukan langkah-langkah

    sistematis untuk pelaksanaan pengelolaan air tanah. Sehingga pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan

    kebutuhan manusia yang makin meningkat dapat meminimalkan dampak negatifnya seperti penurunan

    muka air tanah, degradasi kualitas maupun terjadinya penurunan muka tanah/amblesan.

    Salah satu aspek penting dalam pengelolaan air tanah tersebut pengaturan tentang rekomendasi teknis

    sebagai dasar untuk penerbitan izin pengeboran eksplorasi air tanah, izin pengeboran eksploitasi air

    tanah (SIP), izin pemanfaatan air tanah (SIPA), izin penurapan dan izin pemanfaatan air mata air

    (SIPMA). Pemberian izin pengeboran eksplorasi air tanah, izin pengeboran eksploitasi, izin pemanfaatan

    air tanah, izin penurapan, dan izin pemanfaatan mata air diberikan oleh Kabupaten/Kota yang

    bersangkutan. Sedangkan rekomendasi teknis pada Cekungan Air Tanah lintas Provinsi atau lintas negara

    diberikan oleh Direktur Jenderal dan pada Cekungan Air Tanah lintas Kabupaten/Kota diberikan oleh

    Gubernur.

    Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksplorasi Air Tanah harus dilengkapi dengan proposal

    kegiatan yang mencantumkan maksud dan tujuan kegiatan, rencana kerja dan peralatan, peta topografi,

    daftar ahli bidang air tanah serta Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU)

    dan Sertifikat Juru Bor Air. Ketentuan lain yang harus dicantumkan dalam rekomendasi teknis ini adalah

    laporan uji pemompaan dan analisis fisika serta kimia air tanah, kewajiban pemohon untuk mengirimkan

    laporan hasil kegiatan pengeboran pada Bupati/Walikota dengan tembusan ke Direktur jenderal dan

    Gubernur, mengirimkan contoh batuan hasil pengeboran serta mengajukan permohonan izin

    pemanfaatan air tanah (SIPA) yang berlaku untuk tiga tahun.

    Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksploitasi Air Tanah (SIP) harus dilengkapi dengan peta

    situasi dan peta topografi; rencana pengeboran; salinan SIUJK, SBU dan Sertifikat Juru Bor Air; dokumen

    UKL dan UPL untuk pemanfaatan air tanah kurang dari 50 l/detik, jika lebih besar dari 50 l/detik di satu

    sumur atau lebih di areal pemanfaatan kurang dari 10 hektar harus dilengkapi dengan AMDAL; tanda

    bukti kepemilikan satu sumur pantau yang dilengkapi dengan alat perekam otomatis muka air/AWRL;

    serta adanya kewajiban Pemohon untuk mengirimkan laporan hasil kegiatan pada Bupati/Walikota

    dengan tembusan ke Direktur jenderal dan Gubernur, yang berisi gambar penampang litologi, gambar

    penampang penyelesaian konstruksi sumur, hasil analisis data uji pemompaan, dan data analisis fisika

    dan kimia air tanah.

    Rekomendasi teknis untuk Izin Pemanfaatan Air Tanah (SIPA) harus dilengkapi laporan penyelesaian

    pengeboran yang dilengkapi dengan SIP, berita acara pengawasan pemasangan konstruksi sumur, berita

    acara uji pemompaan beserta laporan hasilnya, hasiul analisis fifika dan kimia air tanah. Rekomendasi

    teknis ini mengikat Bupati/Walikota menyangkut jumlah maksimum air tanah yang boleh dimanfaatkan

    serta kapasitas dan kedudukan pompa. Kewajiban pemohon adalah memasang meter air standar PDAM,

    melaporkan jumlah pemanfaatan per bulan pada Bupati/Walikota dan menyediakan air tanah untuk

    masyarakat lokasi pemanfaatan air sebanyak-banyaknya 10 % dari batas debit yang ditetapkan dalam

    ijin.

    Persyaratan yang harus dilengkapi untuk mendapatkan Rekomendasi teknis untuk Izin Penurapan Mata

    Air sama dengan Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksploitasi Air Tanah (SIP) adalah peta

    situasi dan peta topografi, rencana penurapan mata air beserta gambar rancang bangunan, kajian

    hidrogeologi, dan dokumen UKL dan UPL ataupun dokumen AMDAL.

  • 29

    Di Provinsi Jawa Tengah Biaya, biaya Retribusi yang harus dibayarkan adalah Retribusi atas izin yaitu

    untuk sumur pertama sebesar 1 juta rupiah, untuk sumur kedua sebesar 1,5 juta rupiah, untuk sumur

    ketiga sebesar 2 juta rupiah, untuk sumur keempat sebesar 2,5 juta rupiah dan sumur kelima sebesar 3

    juta rupiah. Kemudian Retribusi untuk gali pasak pada sumur dangkal sebesar 250 ribu rupiah. Serta ada

    biaya tidak mengikat berupa biaya jasa untuk pembuatan Peta topografi sebesar 500 ribu rupiah/lembar

    dan biaya jasa Analisa laboratorium atas Air (sebagai lampiran untuk SIPA) sebesar 50 ribu

    rupiah/sampel.

    Pendapatan yang berasal dari retribusi Izin serta biaya Jasa/ Ketatausahaan yang sifatnya tidak mengikat

    akan dikelola oleh bendahara Dinas Kabupaten/Kota yang kemudian disetor ke kas daerah yaitu ke Dinas

    Pendapatan Daerah Provinsi. Pada tabel berikut dapat dilihat besarnya retribusi izin yang dipungut atas

    setiap pengeluaran izin.

    Tabel 1. Retribusi Izin Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi Jawa Tengah7

    No Jenis Izin Banyak Sumur Besar Retribusi (Rp.)

    1. Setiap pemberian SIP, SIPA, SIPMA

    a. Sumur gali/pasak Sumur I 250.000

    Sumur II 350.000

    Sumur III 450.000

    Sumur IV, dst 550.000

    b. Sumur bor Sumur I 1.000.000

    Sumur II 1.500.000

    Sumur III 2.000.000

    Sumur IV 2.500.000

    Sumur V, dst 3.000.000

    c. Mata air 1.500.000

    2. Setiap perpanjangan SIP, SIPA, SIPMA

    a. Sumur gali/pasak 250.000

    b. Sumur bor 1.000.000

    c. Mata air 1.500.000

    Setelah izin diberikan, langkah selanjutnya adalah pengawasan penggunaan air tanah. Pengawasan ini

    ditujukan untuk menjamin kesesuaian antara pelaksanaan penggunaan air tanah dengan ketentuan

    teknis yang tercantum dalam izin seperti pemasangan konstruksi sumur, uji pemompaan, pemasangan

    meter air, debit pengambilan air tanah kemudian pelaksanaan UKL, UPL dan AMDAL serta kemungkinan

    terjadinya pencemaran dan kerusakan air tanah.

    Pengawasan ini dilakukan secara periodik dan, menurut staf dari ESDM Propinsi jawa Tengah, tidak

    keseluruhan wajib pajak selalu dipantau melainkan hanya beberapa wajib pajak dengan sistem sampel.

    Hal ini untuk mengatasi kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh Dinas ESDM Propinsi. Saat

    ini hanya terdapat 11 orang personil di kantor Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah dibantu sekitar 10

    orang di masing-masing balai ESDM yang harus melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan

    pengelolaan dan pemanfaatan air tanah di tingkat Provinsi. Selain keterbatasan kuantitas, terdapat

    7 Nugroho, Imam; Kebijakan Pengelolaan Air Tanah di Provinsi Jawa Tengah, dalam mendukung Potensi Sumber

    daya Air di Kabupaten Klaten, makalah tidak diterbitkan dalam Seminar tentang Air Tanah di Kabupaten Klaten,

    pada 27 Juni 2009

  • 30

    persoalan masih sedikitnya personil yang mempunyai kualifikasi menguasai kegiatan pelaksanaan

    pengawasan. Hal ini kemudian diatasi dengan peningkatan kapasitas staf lewat pelatihan, pendidikan

    lanjutan serta pendampingan lapangan oleh petugas yang lebih senior.

    Kegiatan pengawasan yang dilakukan meliputi (1). Kegiatan Wasdal (Pengawasan dan Pengendalian)

    yang dilakukan rutin per bulan dengan melibatkan aparat Kabupaten/Kota dan Dinas Pendapatan

    Daerah. Karena keterbatasan personil maka kegiatan Wasdal hanya dilakukan karena ada kasus atau

    laporan (misal ditemukan adanya kecurigaan terhadap laporan perusahaan atau karena ada laporan dari

    masyarakat) dan secara rutin hanya mengambil beberapa perusahaan sebagai sampel; (2). Intensifikasi

    perhitungan NPA dengan pencatatan penggunaan sumur; (3) Peningkatan pelayanan perijinan, terutama

    yang berkaitan dengan laporan kajian.

    Beliau juga menambahkan bahwa saat melakukan pengawasan ini ada beberapa kendala yang ditemui,

    seperti wajib pajak yang tidak mau mengakui jumlah sumur yang masih aktif atau mengatakan bahwa

    sumurnya sudah ditutup padahal masih aktif, pengambilan yang melebihi debit yang tertera dalam

    perizinan, membuat seolah usaha sudah tutup padahal masih melakukan proses produksi, dan

    sebagainya. Sebab ada prosedur khusus untuk menutup sumur bor. Sehingga keberadaan sumur pantau

    menjadi penting untuk mengindikasikan adanya titik pengambilan lain di luar lokasi dalam perizinan

    serta pengambilan melebihi debit dalam perizinan. Masyarakat juga berperan aktif untuk memberikan

    informasi seputar kegiatan yang dilakukan perusahaan pemanfaat air atau terkait adanya sumur bor

    baru.

    Sedangkan saat ditemui di kantornya, staf BPLHD Propinsi DKI Jakarta menceritakan pengalamannya

    yang ditinggal selama berjam-jam di basement suatu perusahaan besar saat akan melakukan

    pengawasan terhadap beberapa sumur bor yang berada di kawasan industri tersebut padahal ia

    membawa surat tugas resmi dari Dinas. Ia menyayangkan sikap pihak perusahaan yang seolah

    meremehkan petugas pemerintah. Terkadang pihak perusahaan mempersulit kegiatan pengawasan,

    dengan memperlama prosedur atau hanya membatasi area pengawasan sehingga petugas tidak bisa

    dengan mudah menemukan bukti jika ada indikasi pelanggaran ketentuan dalam perizinan.

    Setelah izin pemohon disetujui maka pemohon pemanfaat air tanah menjadi wajib pajak yang harus

    membayar pajak air tanah sesuai ketentuan yang berlaku. Secara periodik, dinas yang berwenang atas

    pengambilan air tanah akan membuat laporan pemanfaatan air untuk tiap wajib pajak dengan

    mencantumkan volume pengambilan, untuk kemudian dilakukan perhitungan penetapan pajak. Salinan

    dari daftar besaran pajak yang harus dibayar oleh para wajib pajak air tanah ini diberikan kepada Dinas

    Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) untuk penagihan.

    Khusus untuk Kota Semaran