LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019
Transcript of LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019
1
LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
KEYAKINAN HAKIM
DALAM PERADILAN PIDANA INDONESIA
PENELITI
Dr. Ni Nengah Adiyaryani, S.H, M.H.
NIDN: 0014027203
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
2
ii
3
RINGKASAN
Keyakinan Hakim dalam penanganan perkara pidana dalam sistem
peradilan pidana Indonesia, yaitu diharapkan diterapkannya keyakinan Hakim
yang bersumber dari nurani Hakim sehingga keyakinan Hakim tersebut bersifat
objektif, tidak bernuansa subjektifitas. Tujuan penelitian ini, yakni: untuk
menemukan makna keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim dalam
pembuktian perkara pidana dikaji dari aspek filosofis dan untuk mengkonstruksi
keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus perkara pidana. dalam sistem
peradilan pidana Indonesia.
Mengenai metode penelitian, dilihat dari jenis penelitian, merupakan
penelitian hukum (legal research) dengan kualifikasi penelitian hukum normatif,
menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach) dan
pendekatan analisis konsep hukum (the analytical and conceptual approach).
Bahan hukumnya berupa bahan hukum primer dan sekunder. Teknik
pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan (library
research) dan metode sistematis. Bahan-bahan hukum kemudian dianalisis secara
kualitatif normatif.
Hasil penelitian ini, Bahwa makna keyakinan Hakim yang bersumber dari
nurani Hakim dalam pembuktian perkara pidana, secara filosofis, dikaji dari aspek
ontologis, merupakan unsur yang sangat prinsip, yakni keyakinan yang timbul
dari perasaan Hakim yang paling dalam. Keyakinan Hakim yang bersumber dari
nurani Hakim ini mengandung makna bahwa Hakim yakin terhadap fakta-fakta
yuridis yang ditemukan di dalam persidangan melalui proses pembuktian, dengan
mempertimbangkan kekuatan alat-alat bukti yang sah yang diajukan ke dalam
persidangan. Selanjutnya mengenai “keyakinan Hakim” yang ideal dalam
memutus perkara pidana, Bahwa keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani
Hakim hendaknya didasarkan pada argumentasi logis atas fakta-fakta yang
ditemukan di persidangan berdasarkan penilaian terhadap kekuatan alat-alat bukti
yang diajukan ke persidangan yang diintegrasikan dengan pemahaman dan
penguasaan Hakim terhadap berbagai aspek keilmuan baik ilmu hukum maupun
non hukum yang relevan dengan perkara pidana yang ditanganinya tanpa
mengabaikan nilai-nilai serta norma-norma hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat dan dipadukan pula dengan pengalaman Hakim dalam
menangani perkara pidana.
Kata Kunci: Keyakinan Hakim, Mengadili Perkara Pidana, Peradilan Pidana.
iii
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadapan Ida Shanghyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kertha wara nugraha-Nyalah maka
penelitian yang berjudul “KEYAKINAN HAKIM DALAM PERADILAN
PIDANA INDONESIA”, dapat terselesaikan.
Peneliti menyadari, bahwa penelitian ini belum sempurna, masih banyak
kekurangan sehingga peneliti akan sangat berterima kasih apabila ada keritik,
saran, masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penelitian ini .
Akhir kata, semoga penelitian ini memberikan manfaat, memberikan
kontribusi berupa sumbangan pemikiran ilmiah yang berguna bagi perkembangan
ilmu hukum, khususnya Hukum Acara Pidana, yakni terfokus pada isu yuridis
berupa “Keyakinan Hakim dalam penyelesaian perkara-perkara pidana dalam
praktek peradilan pidana Indonesia.
Denpasar, September 2019
Peneliti
iv
5
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
RINGKASAN ....................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6
2.1. Sistem Atau Teori Pembuktian .......................................................... 6
2.2. Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Pidana ...................... 10
2.3. Peradilan Pidana ................................................................................. 12
2.4. Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan (criminal justice process) .......... 13
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ......................................... 16
3.1. Tujuan Penelitian ................................................................................ 16
3.2. Manfaat Penelitian .............................................................................. 16
BAB IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 18
4..1. Jenis Penelitian .................................................................................. 18
4.2. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 19
4.3. Jenis Data / Bahan Hukum ................................................................. 22
4.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................. 24
4.5. Teknik Analisis Bahan Hukum .......................................................... 25
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 27
5.1. Makna Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Pidana
Dikaji Dari Aspek Filosofis .............................................................. 27
5.2. Keyakinan Hakim Yang Ideal Dalam Memutus Perkara Pidana .... 31
BAB VI. PENUTUP ............................................................................................. 52
6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 52
6.2. Saran ................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem Peradilan Pidana Indonesia mengakui ada 5 (lima) aparat penegak
hukum yang merupakan komponen sub sistem peradilan pidana, yakni: Polisi,
Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.
Hakim sebagai salah satu sub unsur struktur sistem peradilan pidana
memiliki berbagai fungsi atau tugas serta kewenangan yang harus diaplikasikan
dalam praktek peradilan pidana. Salah satu fungsi atau tugas Hakim, yaitu
menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana yang merupakan rangkaian
fungsi atau tugas Hakim dalam “mengadili” perkara pidana.
Makna “mengadili”, diformulasikan dalam Pasal 1, angka 9, (Bab I,
mengenai Ketentuan Umum), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lazim dikenal dengan sebutan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal tersebut
terdapat rumusan, “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”
Pada saat menjalankan fungsi atau tugas “mengadili” perkara pidana,
seorang Hakim dituntut untuk mendasarkan tindakannya dengan berpedoman
pada ketentuan yuridis formal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yakni sebagaimana diformulasikan dalam Pasal 183 Kitab
Undang Undang Hukum Acara Pidana, dengan redaksional, “Hakim tidak boleh
1
2
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Mencermati ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana tersebut dapat dipahami bahwa dalam pembuktian perkara pidana untuk
menentukan barsalah atau tidaknya terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya ditekankan harus dipenuhi syarat yuridis berupa terdapat minimal dua
alat bukti yang diakui sebagai alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim.
Pengertian alat bukti, yaitu,”Segala hal yang dapat digunakan untuk
membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan.”1
Alat bukti yang diakui sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian
perkara pidana, yakni alat bukti yang disusun secara limitatif dalam undang-
undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, yaitu:
“Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.”
Formulasi Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
memberikan pemahaman bahwa dalam peradilan pidana Indonesia hanya
mengakui lima jenis alat bukti sebagai alat bukti yang sah. Hanya alat bukti
tersebut yang dapat diajukan ke persidangan dalam pembuktian perkara pidana.
1 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Surabaya, h. 7.
3
Syarat yuridis lainnya dalam praktik peradilan pidana untuk dapat
dipergunakan sebagai pedoman dalam menentukan terbukti atau tidaknya
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, yakni harus
adanya “keyakinan Hakim”.
Terkait dengan fungsi atau tugas dan kewenangan Hakim dalam tahap
pemeriksaan perkara, masalah keyakinan Hakim lebih banyak diterapkan pada
tahap pembuktian. Tahapan ini menjadi dasar lahirnya kualifikasi atau jenis
putusan Hakim (vonnis) yang sangat menentukan nasib terdakwa untuk
selanjutnya, dalam arti, apakah terdakwa akan diputus bebas dari segala dakwaan
(vrijspraak), lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging)
atau dipidana (veroordeling).
Hakim yang menangani perkara akan menjatuhkan salah satu jenis putusan
tersebut setelah melalui proses pembuktian, yakni penilaian terhadap fakta-fakta
hukum yang muncul di persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan oleh
para pihak.
Makna pembuktian, dapat dipahami dari pendapat beberapa ahli:
“Pembuktian berasal dari kata kerja membuktikan. Secara etimologi,
membuktikan berasal dari kata kerja “bukti” yang berarti sesuatu yang
menyatakan kebenaran peristiwa. Membuktikan artinya, meyakinkan atau
memastikan sesuatu sebagai suatu yang benar. Di dalam hukum acara,
pembuktian diartikan sebagai usaha untuk memberi kepastian kepada
Hakim oleh karena itu, pembuktian hukum terjadi dalam proses
persidangan bukan di luar peradilan.”2
2 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2016, Hukum Pembuktian, Analisis Terhadap Kemandirian
Hakim Sebagai Penegak Hukum Dalam Proses Pembuktian, Nuansa Aulia, Bandung, h. 74.
4
Eddy O.S. Hiariej, menyatakan, “Dalam konteks hukum pidana,
pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam
hukum pidana adalah kebenaran materiil.”3
Kebenaran materiil dalam konteks kebenaran yang ingin dicari dan
ditemukan dalam pembuktian perkara pidana, yaitu bukan kebenaran formal akan
tetapi kebenaran hakiki, kebenaran yang sebenar-benarnya atas suatu perkara
pidana. Dalam kondisi ini sangat dibutuhkan kecakapan, kecermatan, kehati-
hatian, profesionalisme seorang Hakim berupa penguasaan materi ilmu hukum
maupun ilmu lain yang terkait serta harus didukung oleh moralitas Hakim yang
luhur. Hal ini merupakan faktor-faktor yang sangat prinsip untuk terciptanya
peradilan yang jujur (fair tribunal) dan putusan Hakim yang bermanfaat baik
bagi para pihak maupun masyarakat pada umumnya.
Berbicara mengenai “keyakinan Hakim” merupakan sesuatu yang sangat
pelik karena “keyakinan Hakim”, ini merupakan sesuatu yang abstrak tetapi
merupakan suatu criteria yuridis yang harus ada yang menjadi dasar lahirnya
putusan Hakim atau putusan pengadilan.
Keyakinan Hakim yang disyaratkan undang-undang dan diinginkan oleh
pihak-pihak yang berperkara, para pencari dan pecinta keadilan maupun
masyarakat luas yakni keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim dan
tentunya bernilai objektif.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan sebelumnya, ditemukan beberapa permasalahan,
yakni:
3 Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit, h. 7.
5
1. Apa makna keyakinan Hakim dalam penanganan perkara pidana dikaji dari
aspek filosofis?
2. Bagaimana keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus perkara pidana?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem atau Teori Pembuktian
Mengkaji salah satu hal mendasar dalam ranah ilmu hukum pidana formal
(hukum acara pidana) yaitu khusus terfokus mengenai “keyakinan Hakim”, secara
yuridis formal hal tersebut dirumuskan dalam ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang terkait erat dengan esensi Pasal 184 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tidak ada penjelasan lebih lanjut
dalam formulasi pasal-pasal lainnya maupun pada penjelasan umum Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai keyakinan Hakim tersebut.
Pada praktek peradilan pidana, keyakinan Hakim diaplikasikan dalam
tahap pembuktian melalui penerapan teori atau sistem pembuktian yang dianut.
Teori Pembuktian (Bewijstheorie), adalah, “Teori pembuktian yang dipakai
sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan.”4
Berdasarkan sejarah perkembangan hukum acara pidana, ada beberapa
sistem atau teori pembuktian, yakni:
1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie), yaitu:
“Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian
yang disebut undang-undang. Dikatakan secara positif, karena hanya
didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti
suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele
bewijstheorie).”
2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu,
yakni, “Teori yang berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori
4 Ibid., h. 15.
6
7
pembuktian menurut undang-undang secara positif. Teori ini disebut
juga conviction intime.”
3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan
Yang Logis (Laconviction Raisonnee), dengan esensi secara ringkas,
yakni:
“Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang
berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi ,
putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.”
4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk), yakni, “Pembuktian harus didasarkan kepada
undang-undang, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari
alat-alat bukti tersebut.”5
Mencermati esensi sistem atau teori pembuktian yang ada dalam sistem
peradilan pidana bahwa sistem pembuktian diterapkan sebagai dasar yuridis dalam
membuktikan seseorang bersalah atau tidak atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya.Terkait sistem pembuktian, peradilan pidana Indonesia menganut
sistem pembuktian negatif/teori pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Berikut pandangan beberapa ahli
mengenai sistem pembuktian negatif.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, menyatakan:
“ Di dalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu:
- Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
- Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan
bukti-bukti tersebut, hakim meyakini kesalahan terdakwa.”6
Wirjono Prodjodikoro menegaskan:
“Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief
wettelijke) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama
memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan
5 Andi Hamzah , 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 251-254.
6 Hari Sasangka, Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,
Bandung, h. 17.
8
terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah
hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat
hakim dalam menyusun keyakinan agar ada patokan-patokan tertentu yang
harus diatur oleh hakim dalam melakukan peradilan.”7
Djoko Prakoso berpendapat: “ Hukum acara pidana yang berlaku di
Indonesia menganut sistem pembuktian negatief wettelijke, yang hanya mengakui
adanya alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang yang berlaku.”8
Menurut Monang Siahaan, “Sistem pembuktian yang dianut KUHAP
adalah sistem pembuktian negatif atau negatief wettelijk stelsel, yaitu minimal dua
alat bukti dan Hakim yakin.”9
Tolib Effendi, mengemukakan, “Sistem pembuktian dalam sistem
peradilan pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif, dengan demikian syarat untuk menjatuhkan pidana selain harus
memenuhi alat bukti sebagaimana ditentukan oleh KUHAP juga ditambah dengan
keyakinan Hakim yang diperoleh pada saat pembuktian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 183 KUHAP. Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka
Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.”10
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, ‘Keyakinan Hakim/nurani (negatief)
tersebut, bukan diartikan perasaan Hakim pribadi sebagai manusia, bukan lagi
conviction intime ataupun conviction raissonnee, akan tetapi keyakinan Hakim
7 Wirjono Prodjodikoro, 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, h. 77.
8 Djoko Prakoso, 1987, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi Dalam Konteks KUHAP
Bina Aksara, Djakarta, h. 157. 9 Monang Siahaan, 2017, Falsafah Dan Filosofi Hukum Acara Pidana, PT. Grasindo, Anggota
IKAPI, Jakarta, h. 37-38. 10
Tolib Effendi (I), 2014, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Perkembangan Dan
Pembahasannya Di Indonesia, Setara Press, Malang, h. 172.
9
adalah keyakinan yang didasarkan atas bukti-bukti yang sah menurut undang-
undang.”11
Abdullah, berpendapat:
“Lahirnya keyakinan harus dilandasi oleh argumentasi hukum yang
merupakan bentuk penalaran yang melibatkan proses intelektual insan
hukum dalam menjustifikasi rasionalitas, konsistensi, logika dan
konsistensi doktrinal untuk mencapai kesimpulan dalam memutuskan
suatu problem atau permasalahan (perkara) yang dihadapi.”12
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin,
mengemukakan:
“Keyakinan tidak boleh tumbuh begitu saja dalam batin seorang hakim
tanpa ada landasan faktanya, begitu pula sebaliknya hakim tidak boleh
menyatakan dia tidak yakin akan bukti-bukti yang diajukan tanpa ada
alasan yang kuat sebagai pendukungnya, karena konsep keyakinan yang
diatur di dalam Pasal 183 KUHAP tidak bersifat otonom sebagaimana
keyakinan dalam konsep-konsep lain di luar hukum. Dilarang bagi
hakim untuk menyatakan suatu keyakinan sebelum diajukan bukti-bukti
atau tidak pula dibolehkan menurut perundang-undangan seorang hakim
yakin akan sesuatu hal yang ada di luar logika hukum, misalnya yang
berkaitan dengan konsep supranatural dan dunia metafisik.”13
Keyakinan Hakim yang dituntut untuk diaplikasikan oleh Hakim dalam
praktek peradilan pidana, yaitu keyakinan Hakim yang didasarkan pada kekuatan
alat-alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan yang diakui sebagai alat bukti
yang sah, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
11
Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta h. 130. 12
Abdullah, 2008, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pasca Sarjana Universitas
Sunan Giri, Surabaya, h. 83. 13
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim Sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung,
h. 202.
10
2.2. Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Pidana
Secara epistimologis keyakinan Hakim diaplikasikan melalui tahapan
pembuktian di persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang diyakini
kebenarannya oleh Hakim. Dikaji dari aspek pilosofis aplikasi “keyakinan
Hakim” dalam praktek peradilan pidana, harus mengakomodir nilai-nilai
Pancasila oleh karena Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan, dengan formulasi”, Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara.” Apabila dikaji lebih dalam, bahwa Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum di dalamnya mengakomodir nilai-nilai
luhur kepribadian bangsa Indonesia yang dituangkan dalam butir-butir Pancasila.
Terkait dengan fungsi dan tugas Hakim memeriksa dan memutus perkara pidana,
secara yuridis formal harus memenuhi syarat minimal adanya dua alat bukti yang
sah ditambah keyakinan Hakim.
Secara filosofis, keyakinan Hakim dalam konteks penanganan perkara
dalam peradilan pidana yakni keyakinan yang bersumber dari nurani Hakim tanpa
adanya intervensi, pengaruh, tekanan pihak lain yang secara filsafati
mengakomodir nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan
dan Keadilan.
Fungsi atau tugas serta kewenangan Hakim dalam menangani perkara
pidana dalam hubungannnya antara keyakinan Hakim dengan perwujudan nilai-
nilai Pancasila, dalam bahasan ini khusus terfokus pada tahapan pemeriksaan di
persidangan berupa tahapan “pembuktian” maka dalam tahap ini Hakim harus
11
mampu memperlakukan secara adil, sama, seimbang, tidak pilih kasih terhadap
pihak-pihak yang tersangkut perkara. Hal ini merupakan perwujudan sila kelima
Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila
dikorelasikan dengan asas-asas yang dianut dalam hukum acara pidana, sikap,
tindakan Hakim ini merupakan penerapan asas persamaan di depan hukum
(equality before the law). Dalam konteks ini semua pihak, baik terdakwa
maupun korban diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan alat-alat
bukti ke persidangan, memberikan dan didengar keterangannya di persidangan
dan untuk mendapatkan bantuan hukum. Implementasi asas persamaan di depan
hukum tersebut merupakan wujud adanya pengakuan dan penghargaan terhadap
hak-hak asasi manusia sebagai bukti penerapan nilai Pancasila, yakni sila kedua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab dan juga sebagai ciri bahwa Indonesia
merupakan sebuah negara hukum.
Kehadiran Hakim di tengah-tengah persidangan dalam konteks ini
khususnya dalam tahap pembuktian dapat dimaknai bahwa secara filosofis Hakim
merupakan wakil Tuhan di dunia. Hakim dipercaya untuk mengaplikasikan
ketentuan-ketentuan yuridis formal yang diformulasikan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila
sehingga dalam penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak di
persidangan dan puncaknya pada penjatuhan putusan (vonnis) Hakim harus
senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Keyakinan Hakim terhadap
kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di persidangan adalah hasil
pergulatan bhatin Hakim yang bersumber dari lubuk hati Hakim yang paling
12
dalam yang dapat dipertanggungjawabkan secara moril kepada Tuhan Yang Maha
Esa sebagai manifestasi implementasi nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan
dan didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan dengan
argumentasi logis yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara
maupun masyarakat luas sebagai implementasi penerapan nilai-nilai Pancasila,
yakni nilai kemanusiaan dan keadilan.
2.3. Peradilan Pidana
Mengenai variabel “peradilan” dan “peradilan pidana”, dapat dipahami
dari pendapat beberapa kalangan doktrinal.
Menurut Robert D. Pursley memberikan pengertian terhadap peradilan
pidana, “Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang
menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada
penentuan pidana.”14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, memberikan pencerahan, sebagai
berikut:
“Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak
memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan dan secara
keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukkan kepada suatu
proses, yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan.
Sedangkan “pidana”, yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific
by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi dan ataupun penderitaan yang
diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun psikis dari
orang yang terkena pidana itu.”15
Pendapat lainnya tentang “peradilan pidana” tersebut, yaitu, “Merupakan
mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses
14
Robert D. Pursley, Introduction to Criminal Justice, (New York: Macmillan Publishing Co.
Inc, 1977), p. 7. 15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, 1993, Alumni, Bandung
h. 4.
13
penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan pengadilan.”16
Terkait dengan keyakinan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
pidana dalam konteks ini esensi topik ini berarti mengarah pada suatu proses yang
dilaksanakan oleh Hakim sebagai aparatur inti kekuasaan kehakiman yang
diberikan tugas dan kewenangan sebagai salah satu aparatur pelaksana peradilan
untuk melaksanakan tugasnya mengadili perkara pidana berdasarkan
keyakinannya yang bersumber dari nurani hakim yang diaplikasikan dalam
peradilan pidana, yakni dalam tahapan persidangan yang dikenal dengan tahapan
pembiktian.
2.4. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Criminal Justice Process)
Ketentuan yuridis formal mengenai prosedur penyelenggaraan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam peradilan pidana Indonesia diatur dalam
Bab XVI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana yang lazim dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tahapan pemeriksaan perkara pidana di
persidangan ini baru dapat dilaksanakan setelah dilakukan serangkaian tahapan
yakni: Tahapan Pendahuluan, yang terdiri dari Tahap Penyelidikan, Penyidikan
dan Upaya Paksa.
Apabila Tahapan Pendahuluan ini telah selesai kemudian dilanjutkan
dengan Tahapan Penuntutan, yaitu pelimpahan perkara pidana ke pengadilan
16
Tolib Effendi (II), Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, 2013, Pustaka Yustisia, Jakarta, h. 23.
14
negeri yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut disertai
dengan surat dakwaan.
Pada intinya bahwa pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan,
yaitu:
“Setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan proses
akan masuk pada inti dari tujuan hukum acara pidana yaitu pemeriksaan
persidangan. Di dalam pemeriksaan persidangan ini hasil penyidikan
yang dikonkritkan dalambentuk surat dakwaan di tingkat penuntutan
akan diuji untuk memperoleh kebenaran materiil. Inti proses
pemeriksaan persidangan adalah pembuktian, di mana di dalam
pembuktian tersebut alat bukti akan dinilai oleh majelis hakim untuk
memperoleh kesimpulan, apakar terdakwa bersalah atau tidak bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut
umum.” 17
Mengenai acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan, ketua
pengadilan negeri menentukan majelis hakim pengadilan negeri (yang berjumlah
3 orang) untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana tersebut.
Selanjutnya ditetapkan mengenai tanggal dan hari sidang maka pemeriksaan
terhadap perkara pidana dapat diselenggarakan. Pemeriksaan perkara pidana di
sidang pengadilan ini menggunakan sistem pemeriksaan yang disebut dengan
sistem accusatoir, yaitu sistem pemeriksaan dengan menempatkan terdakwa
sebagai subjek pemeriksaan sehingga terdakwa benar-benar dihargai hak asasinya,
tidak dijadikan sebagai objek akan tetapi terdakwa dan penuntut umum diberikan
kesempatan yang sama untuk saling berargumen.
Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan diawali dengan
Pemanggilan/Surat Panggilan terhadap Terdakwa. Dalam tahap pemanggilan ini
termasuk juga pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk hadir memberikan
17
Tolib Effendi (I), Op. Cit, h. 150.
15
keterangan di persidangan berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dialami oleh
saksi itu sendiri.
Setelah dilakukan pemanggilan terhadap terdakwa dan saksi-saksi
kemudian dilakukan acara pemeriksaan perkara yang terdiri dari acara
pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat (sumir) dan acara pemeriksaan
cepat.
Selanjutnya pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut Umum yang
dijawab oleh terdakwa dengan pembacaan eksepsi atau tangkisan.
Tahap berikutnya, yaitu tahapan pembuktian, yakni suatu tahapan untuk
membuktikan apakah terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya atau tidak. Dalam tahapan pembuktian ini juga ditentukan
batasan-batasan tentang prosedur pembuktian yang diakomodir dalam sistem atau
teori pembuktian. Adapun sistem atau teori pembuktian yang dianut dalam
pembuktian perkara pidana dalam peradilan pidana Indonesia, yaitu menggunakan
sistem atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatief (negatief
wettelijk bewijs theorie). Berdasarkan sistem atau Teori Pembuktian Secara
Negatief bahwa pembuktian didasarkan pada alat-alat bukti yang ditentukan
secara limitatif dalam undang-undang disertai keyakinan Hakim. Tahap
pembuktian ini merupakan penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan para
pihak serta penilaian terhadap fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan,.
16
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Melalui penelitian ini ingin diwujudkan beberapa tujuan dan manfaat yang
dapat dipahami melalui pemaparan berikut:
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan, diantaranya:
1. Mengkaji makna keyakinan Hakim dalam penanganan perkara pidana
dikaji dari aspek filosofis.
2. Memberikan ide pemikiran mengenai keyakinan Hakim yang ideal dalam
memutus perkara pidana.
3.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
3.2.1. Manfaat Teoritis.
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan
pemikiran teoritis ilmiah terhadap keberadaan ilmu hukum, khususnya ilmu
Hukum Acara Pidana yang lebih terfokus lagi pada isu yuridis mengenai
keyakinan hakim dalam penanganan perkara pidana dalam sistem peradilan
pidana Indonesia.
3.2.2. Manfaat Praktis.
Adapun manfaat praktis penelitian ini, yakni hasil penelitian ini dapat
dipergunakan sebagai pedoman oleh penegak hukum, khususnya Hakim sebagai
aparatur pelaksana yang diberi kewajiban untuk mengadili perkara pidana dalam
arti menerima, memeriksa dan memutus perkara (pidana) agar dapat menerapkan
16
17
keyakinan hakim yang ideal, yang benar-benar bersumber dari hati nurani Hakim
itu sendiri sehingga putusan (vonis) Hakim memberikan rasa puas terhadap para
pihak maupun masyarakat luas.
18
BAB IV
METODE PENELITIAN
Sebuah karya tulis agar dapat dikualifikasikan sebagai suatu karya tulis
ilmiah harus menggunakan tata cara atau metode penulisan ilmiah sehingga karya
tulis tersebut memiliki nilai akademis serta dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah pula.
Terkait dengan metoda penelitian untuk merampungkan penelitian ini
terdiri dari komponen-komponen, sebagai berikut:
4.1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitian, karya tulis ini merupakan penelitian hukum
(legal research) dengan kualifikasi penelitian hukum normatif.
Berikut beberapa pendapat kalangan doktrinal mengenai pengertian
penelitian hukum (legal research) :
Soerjono Soekanto, menyatakan,
“Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisisnya. Di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan.”18
Soetandyo Wignyosoebroto berpendapat:
“Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan
jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-
kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan. Untuk
menjawab segala macam permasalahan hukum diperlukan hasil
penelitian yang cermat, berketerandalan, dan sahih untuk menjelaskan
dan menjawab permasalahan yang ada.”19
18
Soerjono Soekanto (I), Pengantar Penelitian Hukum, 1981, UI Press, Jakarta, h. 43. 19
H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2013, Sinar Grafika, Jakarta h. 18.
18
19
Selanjutnya menurut T. M. Radhie:
“Penelitian dalam ilmu hukum adalah keseluruhan aktivitas berdasarkan
disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis
dan menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum dan di
lapangan lain-lain yang relevan bagi kehidupan hukum, dan berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk menanggapi berbagai fakta dan
hubungan tersebut.”20
Pendapat berikutnya, yakni H. Zainuddin Ali, menyatakan:
“Penelitian hukum adalah segala aktivitas seseorang untuk menjawab
permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktis, baik yang
bersifat asas-asas hukum, norma-norma hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, maupun yang berkenaan dengan
kenyataan hukum dalam masyarakat.”21
Apabila penelitian ini dikaitkan dengan definisi-definisi diatas, maka
penelitian ini termasuk dalam kualifikasi jenis penelitian hukum (legal research)
yakni untuk menjawab permasalahan hukum berupa kekaburan norma (vague of
norm), yaitu tidak ditegaskannya (tidak dijelaskan secara eksplisit) mengenai
pengertian, hakekat keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim yang
diformulasikan Hakim dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4.2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan, yakni pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual
approach), Adapun pengertian masing-masing pendekatan tersebut, dapat
dipahami dari pendapat kalangan doktrinal berikut :
20
Ibid. 21
Ibid., h. 19.
20
a. Pendekatan Perundang-Undangan ( Statute Approach)
Menurut Johnny Ibrahim, “Suatu penelitian hukum normatif harus
menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
penelitian.”22
Peter Mahmud Marzuki berpendapat,”Pendekatan peraturan perundang-
undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.”23
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati menguraikan tentang
pendekatan perundang-undangan (The statute approach), yakni, “Pendekatan
‘statuta’ diawali dari suatu konstitusi dari segi aspek asas-asas hukum dan konsep-
konsep hukum dan undang-undang ikutannya atau peraturan organik.”24
Mengenai pendekatan statuta yang terfokus pada aspek asas-asas hukum,
konsep-konsep hukum dan undang-undang ikutannya H. M. Hadin Muhjad dan
Nunuk Nuswardani menegaskan:
“Mengingat pendekatan ini untuk memperjelas persoalan menyangkut
konsistensi dasar filosofis, dasar ontologis dan ratio legis/logika hukum
(konsistensi adalah sesuatu yang tetap (asas-asas hukum) dan kesesuaian
(kesesuaian adalah kesamaan atau kecocokan makna (asas hukum) antara
konstitusi-undang-undang, sesama undang-undang-Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian, pendekatan ini membutuhkan pula pendekatan
lainnnya.”25
Terkait dengan penelitian ini, dari perspektif pendekatan perundang-
undangan (statute approach), peneliti mengadakan penelitian awal, yakni dengan
22
Johnny Ibrahim, 2005, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 302. 23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2005, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
97. 24
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum 2005, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, h. 77. 25
H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 46-47.
21
meneliti mengenai konsep hukum dalam ranah hukum pidana formil berupa
konsep keyakinan Hakim dalam sistem peradilan pidana, yakni dalam tahapan
persidangan (criminal justice process) yang dilakukan khususnya dalam tahapan
pembuktian. Selanjutnya peneliti melakukan kajian terhadap beberapa pasal dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang mengatur tentang keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara
pidana.
b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual (conceptual approach), “Merupakan suatu
pendekatan yang digunakan untuk memperoleh kejelasan dan pembenaran
ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang bersumber dari prinsip-prinsip
hukum.”26
Peter Mahmud Marzuki menyatakan, “Pendekatan konseptual dilakukan
manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan
karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang
dihadapi.”27
Terkait dengan penelitian ini, yaitu mengenai konsep keyakinan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tahapan persidangan
(Criminal Justice Process) secara legalistik formal belum ada aturan yang dapat
dipakai sebagai pedoman untuk mendapatkan kejelasan secara eksplisit
mengenai konsep keyakinan Hakim dalam pelaksanaan wewenang mengadili
yang dimiliki oleh Hakim dalam peradilan pidana. Beranjak dari kondisi
26
Ibid., h. 47. 27
Peter Mahmud Marzuki., Op. Cit, h. 137.
22
demikian maka peneliti melakukan pendekatan konseptual untuk memperoleh
kejelasan ilmiah mengenai konsep keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara
pidana dalam tahapan persidangan (criminal justice process) berdasarkan
konsep-konsep hukum lainnya yang bersumber dari prinsip-prinsip hukum
terkait.
4. 3. Jenis Data/Bahan Hukum
Penelitian hukum yang bersifat normatif, secara umum menggunakan jenis
data yang terarah pada penelitian data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data
sekunder mencakup:
a. “Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri
dari:
1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu: Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Peraturan Dasar, yaitu: Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Peraturan Perundang-Undangan.
4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti, hukum adat.
5. Yurispridensi.
6. Traktat.
7. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku,
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang merupakan
terjemahan yang secara yuridis formal bersifat tidak resmi dari Wet boek
van Strafrecht).
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan bahan hukum primer,
seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum, dan seterusnya.
c. Bahan hukum tertier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya, adalah:
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.”28
28
Soerjono Soekanto Dan Sri mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 13.
23
Menurut H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani yang dimaksud
dengan bahan hukum primer, adalah “Peraturan perundang-undangan, selain itu
putusan pengadilan Indonesia.”29
Sumber lain mengkualifikasikan bahan hukum primer tersebut terdiri atas,
“ Asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa:
Peraturan Perundang-undangan dalam arti luas, Perjanjian Internasional, Konvensi
Ketatanegaraan, Putusan Pengadilan, Keputusan Tata Usaha Negara, Hukum Adat
(tertulis dan tidak tertulis).”30
Mengenai bahan hukum sekunder, yaitu, “Bahan-bahan yang mendukung
bahan hukum primer, seperti buku-buku teks, artikel dalam berbagai majalah
ilmiah atau jurnal hukum, makalah-makalah, dan literatur, pendapat para sarjana
(doktrin).”31
Selanjutnya bahan hukum sekunder lainnya yakni berupa bahan hukum
yang diperoleh dari internet dikualifikasikan sebagai bahan hukum sekunder,
sebagaimana dapat dipahami dari uraian berikut:
“Bahan hukum Sekunder terdiri atas:
- Buku-buku hukum (text book);
- Jurnal-jurnal hukum;
- Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media massa;
- Internet dengan menyebut nama situsnya.”32
Apabila direlevansikan dengan rencana penelitian ini, penulis
menggunakan beberapa sumber bahan hukum, yakni:
29
H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Op. Cit, h. 51. 30
Tim Penyusun Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Pedoman
Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar: Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2013, h.76. 31
H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Op, Cit. h. 46-47. 32
Tim Penyusun Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op. Cit, h. 76.
24
a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan (dalam arti
luas) yang terkait dengan konsep keyakinan Hakim dalam mengadili perkara
pidana, yakni dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tahapan
persidangan (criminal justice process), yakni: Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor. 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209
Tentang Hukum Acara Pidana.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penulisan ini penulis
mempergunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum (text book),
jurnal-jurnal hukum, karya tulis atau pandangan para ahli hukum yang dimuat di
media massa maupun media elektronik (website) yang terkait dengan substansi
keyakinan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam sistem
peradilan pidana Indonesia.
c. Bahan hukum tersier, dalam hubungan penelitian ini menyangkut,
kamus hukum atau ensiklopedia yang memberikan batasan pengertian secara
etimologi untuk istilah-istilah tertentu terutama yang terkait dengan komponen
variabel judul, yakni istilah-istilah yang berhubungan dengan isu yuridis
mengenai keyakinan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam
sistem peradilan pidana Indonesia.
4.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Rencana penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum
melalui studi kepustakaan (library research), yakni: pengumpulan bahan hukum
25
dari literatur-literatur hukum atau text book-text book hukum serta jurnal-jurnal
hukum dan juga dari beberapa media cetak berupa majalah dan koran serta media
elektronik (website dari media sosial/internet).
Selain metode kepustakaan (library research), juga digunakan metode
sistematis, yakni pengumpulan bahan peraturan perundang-undangan untuk
mencari keterkaitan suatu proposisi hukum yang menyangkut masalah keyakinan
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam system peradilan
pidana.
4.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan
metode analisis kualitatif normatif yang disajikan secara deskriptif analitis.
Yang dimaksud dengan metode analisis kualitatif, yakni, “Suatu tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu: apa yang dinyatakan
oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga prilaku yang nyata yang diteliti
dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.”33
Penelitian deskriptif analitis, yakni, “Suatu Penelitian yang berusaha
memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau
gejala yang diteliti.”34
Oleh karena penelitian ini adalah penelitian dalam bidang ilmu hukum
maka jenis penelitian deskriptif analitisnya, adalah berusaha menggambarkan
masalah hukum, dalam hal ini yakni mengenai masalah keyakinan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara pidana kemudian menganalisisnya sesuai
33
Soerjono Soekanto (I), Op. Cit, h. 250. 34
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, 1990, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h.58.
26
dengan rumusan masalah yang disajikan serta dikaji secara mendalam dari aspek
filosofis maupun yuridis ( ontologis, teoritis-praktis).
Apabila dikaitkan dengan rencana penelitian ini akan dilakukan analisis
dari aspek filosofis serta yuridis berdasarkan Hukum Acara Pidana Indonesia
yakni menganalisis beberapa permasalahan, diantaranya: Apa makna keyakinan
Hakim dikaji dari aspek filosofis, Bagaimana keyakinan Hakim yang ideal dalam
memutus perkara pidana dalam sistem peradilan pidana untuk masa yang akan
dating. Selanjutnya hasil analisis tersebut penulis sajikan secara deskriptif.
27
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Makna Filosofis Keyakinan Hakim dalam Penanganan Perkara Pidana
Dikaji Dari Aspek Ontologis
Mengkaji salah satu hal mendasar dalam ranah ilmu hukum pidana formal
(hukum acara pidana) yaitu khusus terfokus mengenai “keyakinan Hakim”, secara
yuridis formal hal tersebut dirumuskan dalam ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang terkait erat dengan esensi Pasal 184 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tidak ada penjelasan lebih lanjut
dalam formulasi pasal-pasal lainnya maupun pada penjelasan umum Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai keyakinan Hakim tersebut.
Pada praktek peradilan pidana, keyakinan Hakim diaplikasikan dalam
tahap pembuktian melalui penerapan teori atau sistem pembuktian yang dianut.
Teori Pembuktian (Bewijstheorie), adalah, “Teori pembuktian yang dipakai
sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan.”35
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, ‘Keyakinan Hakim/nurani (negatief)
tersebut, bukan diartikan perasaan Hakim pribadi sebagai manusia, bukan lagi
conviction intime ataupun conviction raissonnee, akan tetapi keyakinan Hakim
adalah keyakinan yang didasarkan atas bukti-bukti yang sah menurut undang-
undang.”36
Keyakinan Hakim yang dituntut untuk diaplikasikan oleh Hakim dalam
praktek peradilan pidana, yaitu keyakinan Hakim yang didasarkan pada kekuatan
35
Andi Hamzah, Op. Cit, h. 15. 36
Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 130.
27
28
alat-alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan yang diakui sebagai alat bukti
yang sah, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Secara epistimologis keyakinan Hakim diaplikasikan melalui tahapan
pembuktian di persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang diyakini
kebenarannya oleh Hakim. Dikaji dari aspek pilosofis, “keyakinan Hakim” dalam
praktek peradilan pidana, harus mengakomodir nilai-nilai Pancasila oleh karena
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan, dengan formulasi”, Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara.” Apabila dikaji lebih dalam, bahwa Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum di dalamnya mengakomodir nilai-nilai
luhur kepribadian bangsa Indonesia yang dituangkan dalam butir-butir Pancasila.
Terkait dengan fungsi dan tugas Hakim memeriksa dan memutus perkara pidana,
secara yuridis formal harus memenuhi syarat minimal adanya dua alat bukti yang
sah ditambah keyakinan Hakim.
Secara filosofis, keyakinan Hakim dalam konteks penanganan perkara
dalam peradilan pidana yakni keyakinan yang bersumber dari nurani Hakim tanpa
adanya intervensi, pengaruh, tekanan pihak lain yang secara filsafati
mengakomodir nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan
dan Keadilan.
29
Fungsi atau tugas serta kewenangan Hakim dalam menangani perkara
pidana dalam hubungannnya antara keyakinan Hakim dengan perwujudan nilai-
nilai Pancasila, dalam bahasan ini khusus terfokus pada tahapan pemeriksaan di
persidangan berupa tahapan “pembuktian” maka dalam tahap ini Hakim harus
mampu memperlakukan secara adil, sama, seimbang, tidak pilih kasih terhadap
pihak-pihak yang tersangkut perkara. Hal ini merupakan perwujudan sila kelima
Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila
dikorelasikan dengan asas-asas yang dianut dalam hukum acara pidana, sikap,
tindakan Hakim ini merupakan penerapan asas persamaan di depan hukum
(equality before the law). Dalam konteks ini semua pihak, baik terdakwa maupun
korban diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan alat-alat bukti ke
persidangan, memberikan dan didengar keterangannya di persidangan dan untuk
mendapatkan bantuan hukum. Implementasi asas persamaan di depan hukum
tersebut merupakan wujud adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia sebagai bukti penerapan nilai Pancasila, yakni sila kedua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab dan juga sebagai ciri bahwa Indonesia
merupakan sebuah negara hukum.
Kehadiran Hakim di tengah-tengah persidangan dalam konteks ini
khususnya dalam tahap pembuktian dapat dimaknai bahwa secara filosofis Hakim
merupakan wakil Tuhan di dunia. Hakim dipercaya untuk mengaplikasikan
ketentuan-ketentuan yuridis formal yang diformulasikan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila
sehingga dalam penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak di
30
persidangan dan puncaknya pada penjatuhan putusan (vonnis) Hakim harus
senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Keyakinan Hakim terhadap
kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di persidangan adalah hasil
pergulatan bhatin Hakim yang bersumber dari lubuk hati Hakim yang paling
dalam yang dapat dipertanggungjawabkan secara moril kepada Tuhan Yang Maha
Esa sebagai manifestasi implementasi nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan
dan didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan dengan
argumentasi logis yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara
maupun masyarakat luas sebagai implementasi penerapan nilai-nilai Pancasila,
yakni nilai kemanusiaan dan keadilan.
Dapat dipahami bahwa keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara
pidana merupakan keyakinan yang diperoleh oleh Hakim melalui alat-alat bukti
yang sah yang diajukan dalam proses pembuktian berdasarkan argumentasi yang
logis sebagai landasan yuridis terhadap kekuatan alat-alat bukti tersebut.
Dengan demikian dikaji dari aspek filosofis, bahwa secara ontologis
“keyakinan Hakim” dalam pembuktian perkara pidana merupakan keyakinan yang
timbul dari intuisi/perasaan Hakim yang paling dalam terhadap fakta-fakta yuridis
yang ditemukan di dalam persidangan melalui proses pembuktian, yakni dengan
mempertimbangkan kekuatan alat-alat bukti yang sah yang diajukan ke dalam
persidangan.
31
5.2. Keyakinan Hakim yang Ideal dalam Memutus Perkara Pidana
Keyakinan Hakim yang menjadi harapan para pihak yang berperkara,
pencari dan pecinta keadilan serta masyarakat luas sebagaimana diamanahkan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yakni keyakinan Hakim yang
didasarkan pada nurani Hakim itu sendiri.
Keyakinan Hakim berdasarkan nurani Hakim itu sendiri merupakan kajian
dalam ranah pilosofis yang sangat dilematis. Keyakinan Hakim yang diharapkan,
yaitu keyakinan Hakim yang bernilai objektif, dapat dipertanggungjawabkan
secara moral, baik kepada Tuhan, pihak yang berperkara maupun masyarakat pada
umumnya. Hal ini merupakan suatu tugas yang tidak gampang bagi Hakim. Ada
banyak aspek yang dapat menyebabkan dapat diaplikasikan atau tidak suatu
“keyakinan Hakim” yang bersumber dari nurani Hakim itu sendiri.
Pertama, untuk terwujudnya keyakinan Hakim yang menjadi dambaan
pecinta keadilan, hal ini tidak dapat dipisahkan dari unsur “moral” Hakim itu
sendiri. Moral yang tinggi, kepribadian luhur seorang Hakim sangat dibutuhkan
dalam arena ini. Paradigma, kerangka berpikir Hakim hendaknya menjunjung
tinggi, nilai-nilai Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Hal ini sangat penting dan dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan
Hakim dalam menghadapi berbagai tantangan, cobaan yang berupaya
mempengaruhi Hakim terkait tugas serta kewenangannya mengadili perkara
pidana.
Sikap, tindakan Hakim sebagai cermin kepribadian Hakim yang luhur
hendakya senantiasa mampu diterapkan oleh Hakim dalam menangani perkara
yang dipercayakan kepadanya. Hakim diharapkan memiliki moral yang tinggi.
32
Unsur moral ini harus didukung dengan kemampuan Hakim di bidang akademis,
yakni menguasai ilmu hukum serta memahami ilmu-ilmu lainnya yang relevan
yang terkait dengan perkara yang ditanganinya. Hakim harus mampu
menyelenggarakan peradilan sesuai ketentuan yuridis formal yang diformulasikan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disamping pula harus mampu
menyerap nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta
mempunyai pemikiran yang progresif menyikapi adanya perkembangan berupa
pembaharuan-pembaharuan dalam hukum acara pidana. Hakim dituntut untuk
menjunjung tinggi, menerapkan asas-asas yang diakui, dianut dalam hukum acara
pidana secara konsekuen agar dapat diwujudkannya nilai-nilai yang terakomodir
dalam asas tersebut, yakni berupa nilai-nilai kebenaran dan keadilan……lanjutkan
dengan profesionalisme Hakim…Kemudian lanjutkan dengan pengalaman
Hakim.
Hal prinsip lainnya bahwa keyakinan Hakim atas kekuatan alat-alat bukti
yang diajukan para pihak di persidangan harus didasarkan pada alasan yang logis
dan objektif, bukan atas dasar unsur subjektifitas Hakim.
Agar seorang Hakim dapat memberikan penilaian secara logis terhadap
kekuatan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, Hakim dituntut untuk
memiliki profesionalisme yang tinggi, memiliki penguasaan, pemahaman yang
maksimal terhadap ilmu hukum dan ilmu-ilmu terkait lainnya yang relevan yang
sangat dibutuhkan dalam menangani perkara pidana yang dipercayakan
kepadanya.
33
Hakim sebagai salah satu sub unsur struktur sistem peradilan pidana
diamanahkan untuk melaksanakan berbagai tugas dalam peradilan pidana. Salah
satu tugas Hakim, yakni memeriksa dan memutus perkara pidana.
Lahirnya suatu putusan Hakim atau putusan pengadilan (vonnis) berdasar
pada salah satu tahapan beracara pidana, yakni tahap pembuktian. Tahapan ini
dikatakan sebagai puncaknya beracara oleh karena hasil dari proses pembuktian
menjadi dasar penentu nasib terdakwa. Melalui pembuktian di persidangan
dengan menerapkan sistem pembuktian yang dianut merupakan landasan bagi
Hakim untuk menentukan kualifikasi atau jenis putusan atas perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa.
Pengertian putusan Hakim atau putusan pengadilan diformulasikan dalam
Pasal 1, angka 11 (Bab I, Tentang Ketentuan Umum) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, dengan redaksional, putusan pengadilan, yaitu, “Pernyataan
hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang telah diuraikan, dilihat
dari isi suatu putusan, nampak bahwa esensi putusan pengadilan dapat berupa
putusan pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Putusan bebas diformulasikan dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, dengan rumusan, “Jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
34
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas.”
Mencermati esensi pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, memberikan pemahaman bahwa Hakim menjatuhkan putusan bebas
kepada terdakwa sebab kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak dapat dibuktikan oleh Hakim. Tidak terbuktinya kesalahan
terdakwa dalam konteks ini oleh karena Hakim tidak yakin atas kekuatan alat-alat
bukti yang diajukan ke persidangan sehingga Hakim menjatuhkan putusan dengan
kualifikasi putusan bebas.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dirumuskan dalam Pasal 191
ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan redaksional,”Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Hal prinsip yang perlu digaris bawahi mengenai “putusan lepas dari segala
tuntutan hukum”, bahwa Hakim menjatuhkan jenis putusan lepas ini apabila
kesalahan atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti
akan tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan perbuatan pidana atau dapat
dikatakan bahwa kesalahan yang terbukti tersebut adalah perbuatan yang
merupakan pelanggaran dalam ranah ilmu hukum lain, selain hukum pidana.
Terakhir, berupa putusan pemidanaan (veroordeling), diatur dalam Pasal
193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan formulasi,”
35
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Mengenai putusan pemidanaan terlahir oleh karena terpenuhinya syarat
yuridis formal yang diamanahkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, yakni kesalahan atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan. Keyakinan Hakim dalam konteks ini
terbangun dari keyakinan Hakim terhadap kekuatan alat-alat bukti yang diajukan
ke persidangan.
Mencermati esensi masing-masing kualifikasi putusan dalam peradilan
pidana menunjukkan betapa berat tugas Hakim sebagai salah satu aparat penegak
hukum dalam sistem peradilan pidana. Tugas ini akan menjadi tugas mulia apabila
Hakim benar-benar mampu menegakkan hukum dan kebenaran secara ideal. Hal
ini dapat diaplikasikan melalui salah satu tugasnya memeriksa dan memutus
perkara pidana yang secara yuridis dituntut agar senantiasa didasarkan pada
ketentuan yuridis formal beracara sebagaimana diformulasikan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana tanpa mengabaikan nilai-nilai luhur
kepribadian bangsa Indonesia, yakni nilai-nilai Pancasila.
Berbicara mengenai putusan pengadilan terkait isu yuridis aplikasi
“keyakinan Hakim” yang ideal dalam memutus perkara pidana, dalam konteks ini
diperlukan adanya keterpaduan antara profesionalisme dengan moralitas serta
kemandirian Hakim itu sendiri.
Profesionalisme Hakim mencakup pemahaman, penguasaan Hakim
terhadap ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya yang relevan yang sangat
36
dibutuhkan oleh Hakim dalam penanganan kasus yang dipercayakan kepadanya.
Profesionalisme Hakim juga terbangun dari aspek pengalaman kerja Hakim.
Semakin lama Hakim menekuni profesinya hendaknya semakin banyak
pengalaman yang dimilikinya sehingga dapat dipergunakan sebagai pedoman
penyelesaian kasus-kasus yang serupa.
Hakim yang profesional mengandung arti Hakim yang menguasai ilmu
secara multidisipliner dan mempunyai banyak pengalaman. Profesionalisme
Hakim yang menjadi harapan semua insan tentunya harus ditunjang oleh moralitas
Hakim yang luhur sehingga Hakim benar-benar mampu menunjukkan
kemandiriannya dalam memeriksa dan memutus perkara pidana, tegar, tidak
mudah terpengaruh pihak lain. Hakim mampu memaknai fungsi atau tugas serta
kewenangannya memutus perkara berdasarkan asas-asas hukum acara pidana
yang dianut, diantaranya asas sederhana, bebas, jujur dan tidak memihak sehingga
keyakinan yang timbul benar-benar bersumber dari nurani Hakim yang terbangun
dari keterpaduan antara aspek keilmuan, moral, kemandirian berupa kebebasan
Hakim (bebas terbatas).
Terkait penentuan kualifikasi putusan atas suatu perkara pidana, Hakim
hendaknya mendasarkan putusannya pada beberapa aspek yang nantinya
dipergunakan sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan
sehingga putusan tersebut dari sisi filosofis dapat dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada pribadi Hakim itu sendiri serta
secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan kepada para pihak maupun
masyarakat luas.
37
“Keyakinan Hakim” dalam konteks penentuan kualifikasi putusan,
idealnya harus dilandasi oleh argumentasi yuridis yang dapat diterima akal sehat
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis maupun yuridis.
Terkait fungsi atau tugas serta kewenangan Hakim dalam memutus
perkara, menurut Mackenzie sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, ada
beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh Hakim sebagai
dasar pertimbangan dalam penjatuhan suatu putusan.37
Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, yakni: “Pendekatan seni yang
dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan yang lebih ditentukan
oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.”38
Mengenai Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, Ahmad Rifai menegaskan:
“Dalam praktik peradilan, kadangkala teori ini dipergunakan hakim dimana
pertimbangan akan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dalam
perkara pidana atau pertimbangan yang digunakan hakim dalam
menjatuhkan putusan dalam perkara perdata, disamping dengan minimum
2 (dua) alat bukti, harus ditambah dengan keyakinan hakim.”39
Berdasarkan Teori Pendekatan Seni dan Intuisi bahwa intuisi atau bisikan
hati (nurani) Hakim dipergunakan sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam
penjatuhan suatu putusan. Dalam upaya memutus suatu perkara, penggunaan
intuisi ini benar-benar diserahkan kepada diri pribadi Hakim. Di sisi lain dengan
diberikannya kewenangan penggunaan intuisi kepada Hakim maka tidak tertutup
kemungkinan adanya penggunaan intuisi yang tidak objektif. Apabila hal ini
terjadi maka akan menimbulkan dampak yuridis yakni munculnya putusan hakim
37
Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Jakarta: IKAHI, Majalah Hukum Varia Peradilan, Edisi
No. 249, Bulan Agustus 2006, h. 7-12. 38
Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 107. 39
Ibid.
38
yang menimbulkan problema dalam masyarakat. Para pihak yang tersangkut suatu
perkara dan masyarakat luas tentunya sangat berharap agar Hakim menjalankan
intuisi (nuraninya) secara objektif.
Teori berikutnya yang dapat dipergunakan oleh Hakim sebagai
pertimbangan dalam penyusunan suatu putusan pengadilan, yakni pendekatan
keilmuan, dengan esensi:
“Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam
memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi
atau instink semata tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan
hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu
perkara yang harus diputuskannya.”40
Pemahaman serta penguasaan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya
yang relevan merupakan suatu keharusan bagi Hakim yang sangat bermanfaat
dalam proses pembuktian. Penguasaan aspek keilmuan ini hendaknya
diintegrasikan dengan aspek intuisi (nurani) Hakim sehingga terbangun
“keyakinan Hakim” yang objektif, dapat dipertanggungjawabkan secara logis
berdasarkan argumentasi yuridis yang kuat.
Pengintegrasian antara “keyakinan Hakim” dengan pendekatan keilmuan
dalam konteks ini seorang Hakim dituntut pula untuk mempertimbangkan,
mengakomodir nilai-nilai dan norma-norma hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat yang merupakan implementasi kepribadian luhur bangsa
Indonesia yang dituangkan dalam nilai-nilai Pancasila.
Unsur “pengalaman kerja” Hakim merupakan kontribusi yang sangat
berarti bagi Hakim dalam menyusun dasar pertimbangan serta putusan yang
40
Ibid.
39
menjadi cita masyarakat. Hakim yang telah menekuni profesinya dalam kurun
waktu yang cukup lama tentu memiliki banyak pengalaman dalam menyelesaikan
suatu kasus. Dengan menangani berbagai macam kasus tentunya seorang Hakim
mendapat pengalaman yang sangat berharga dalam melakukan proses pembuktian,
menilai alat-alat bukti yang diajukan para pihak ke persidangan, menilai fakta-
fakta yuridis yang ditemukan dalam persidangan dan segala sesuatu yang terkait
dengan proses pembuktian pada tahapan persidangan perkara pidana.
Berbicara mengenai putusan Hakim (vonis) apabila dikaitkan dengan
keberadaan putusan tersebut dalam masyarakat maka putusan hakim yang
merupakan cita masyarakat adalah putusan Hakim yang dapat berfungsi sebagai
hukum. Dalam hal ini tentunya merujuk pada putusan Hakim yang mampu
memberikan terobosan-terobosan dalam kehidupan masyarakat menuju pada arah
perbaikan dan penegakan hukum (law enforcement). Putusan Hakim seperti ini
tentunya harus integral, mengakomodir nilai-nilai normatif yuridis serta nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
Nuansa holistik tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta
profesionalisme Hakim sebagai unsur struktur yang mempunyai tugas dan
wewenang tidak saja sebagai pelaksana hukum akan tetapi juga dituntut untuk
berperan sebagai pembuat hukum (judge made law).
Hakim tidak hanya sebagai corong atau mulutnya undang-undang yang
hanya menerapkan formulasi pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-
undangan akan tetapi melalui kreatifitasnya Hakim dituntut untuk mampu
membuat hukum, yakni melalui putusannya atas suatu kasus yang ditanganinya.
40
Dalam konteks ini putusan yang dihasilkan oleh Hakim tentunya harus membumi,
merefleksikan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Adanya harapan terobosan-terobosan melalui kreatifitas putusan Hakim
sebagai kinerja Hakim yang profesional direfleksikan oleh Satjipto Rahardjo,
sebagai berikut:
Para hakim merupakan orang-orang profesional yang bekerja dengan
diam-diam. Lingkungan dan suasana kerja hakim adalah suasana yang
tenang dan tenteram, sangat berbeda dengan komponen peradilan yang
lain, seperti Polisi. Pekerjaan memeriksa dan mengadili lebih banyak
mengerahkan kemampuan intelektual daripada otot. Tetapi ternyata
kelirulah kita jika berpendapat, bahwa pekerjaan profesional yang penuh
dengan ketenangan itu tidak dapat menghasilkan suatu kegoncangan besar,
suatu perubahan sosial, bahkan ... suatu “revolusi”.41
Dapat dipahami bahwa untuk terciptanya putusan Hakim yang kreatif
tentunya harus didukung oleh kemampuan atau profesionalisme Hakim dalam
penguasaan substansi hukum maupun kemampuan untuk mengakomodir dan
mengaplikasikan unsur-unsur non yuridis yang terkait dengan kasus tersebut.
Kemampuan Hakim ini sangat dimungkinkan untuk diaplikasikan dalam putusan
Hakim (pidana) Indonesia, yakni dengan dimilikinya suatu posisi yang
independen (kebebasan) dan impartial (tidak memihak) dari Hakim pidana
tersebut dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Putusan Hakim yang diharapkan berfungsi sebagai hukum yang dapat
melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat tentunya adalah
putusan yang berkualitas yang dapat dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan.
Suatu revolusi peradilan yang diharapkan dapat tercipta melalui putusan
Hakim, tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia itu sendiri, dalam arti
41
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.151.
41
bahwa dalam proses penyusunan putusan tersebut Hakim dituntut untuk
mempertimbangkan hal-hal lainnya yang ada di luar hukum, yakni segala sesuatu
yang terkait dengan masyarakat sebagai komunitas manusia yang saling
mengadakan interaksi. Hal ini erat kaitannya dengan pendapat Satjipto Rahardjo
yang dituangkan dalam Teori Hukum Progresif, bahwa ,”Pemikiran hukum perlu
kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.”42
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan:
Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi
hukum. Hukum melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu,
hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan
manusia. Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi
pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut
‘idiologi’: hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.”43
Jadi esensi konseptual dari Teori Hukum Progresif, yakni: bahwa hukum
itu ada untuk kepentingan manusia, tidak semata terpaku pada peraturan yang
tersusun secara sistematis, logis akan tetapi memperhitungkan keberadaan dunia
di luarnya, seperti: masyarakat, keadilan, dan lain-lain. Di sinilah akan diuji
kualitas dari hukum (putusan) tersebut apakah dapat berfungsi untuk rakyat atau
masyarakat luas atau sebaliknya.
Kondisi ini sangat tepat sebagaimana yang diilustrasikan oleh Gerald
Tukel tentang eksistensi dari hukum tersebut dalam kaitannnya dengan kreatifitas
manusia untuk memaknai hukum tersebut, dalam pernyataannya yang dapat
disimak, antara lain:
Bahwa hukum adalah suatu roman yang dapat menembus dari kehidupan
sosial yang sangat dalam mempengaruhi kita. Hukum membentuk
42
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Makalah disampaikan pada
acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 4 September 2004. 43
Ibid.
42
kehidupan kita mulai sejak kita dilahirkan hingga kita meninggal dan
segala sesuatu yang terjadi diantaranya. Hukum seharusnya dipelajari,
dikritik dan diubah bagi orang-orang untuk mereka realisasi dengan
kapasitas penuh selaku warga negara, sebagai warga masyarakat yang
produktif dan sebagai kreator bagi identitas mereka dan pranata sosial
melalui yang mereka buat bagi kehidupan mereka.44
Pemaknaan terhadap fungsi hukum tersebut, dalam hal ini fungsi dari
suatu putusan yang diakui sebagai hukum adalah tergantung kepada manusianya
yang berperan sebagai aktor untuk melakukan kreatifitas-kreatifitas sehingga
hukum atau putusan tersebut benar-benar melayani kepentingan manusia dan hal
ini dapat tercapai apabila manusia yang menjadi penentu hukum (putusan ) itu
sendiri benar-benar bertindak kreatif, mempertimbangkan unsur yuridis maupun
non yuridis yang terkait dengan kasus tersebut.
Senada dengan pendapat Satjipto Rahardjo dan Gerald, Bernard L. Tanya,
Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage menyampaikan pandangannya,
sebagai berikut:
Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang
utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut
mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.
Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang
dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan
kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum.”45
Adanya idiologi: hukum yang pro keadilan dan yang pro-rakyat, dalam hal
ini aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam praktek peradilan pidana kita
tidak hanya sekedar sebagai terompet atau corong undang-undang belaka (the
judge as la bouche de la looi, as the mouthpiece of the law) yang tertutup sama
44
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op. Cit, hlm. 173. 45
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 190.
43
sekali untuk segala sesuatu yang ada di luar undang-undang tersebut. Akan tetapi
melalui putusan-putusan hakim diharapkan adanya terobosan-terobosan terhadap
kekakuan dan ketertinggalan undang-undang tersebut sehingga melahirkan
putusan-putusan hakim yang responsif dan progresif. Harapan para pencari dan
pecinta keadilan melalui proses peradilan dalam hal ini adalah terwujudnya
keadilan substansial serta keadilan non substansial dengan tetap berpijak pada
norma-norma yang ada serta tetap mempertimbangkan unsur-unsur di luar hukum
tersebut.
Terkait adanya perubahan pandangan mengenai perubahan peran hakim
dalam praktek peradilan, Achmad Ali menegaskan, “Sejak kita meninggalkan
pandangan logis yang hanya memandang hakim sekadar “terompet undang-
undang”, maka sejak itu kita tidak lagi memandang hakim sebagai pelaksana
hukum, tetapi hakim sudah membuat hukum (judge made law) yaitu putusannya.
Dengan kata lain, putusan hakim adalah hukum.”46
Untuk tercapainya putusan-putusan hakim yang responsif dan progresif
tersebut, lebih lanjut Achmad Ali menyatakan, “Bahwa yang merupakan
“desiderata” (kebutuhan utama) untuk melakukan reformasi di dunia peradilan,
adalah mengubah paradigma legalistik menjadi paradigma yang lebih memihak
pada “social justice.”47
Apabila dikaitkan dengan lahirnya sebuah putusan pidana maka hal ini erat
relevansinya dengan hal-hal yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam
46
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op. Cit, h. 151. 47
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h. 479.
44
memutus suatu perkara, yakni bahwa hakim hendaknya tidak hanya
mempertimbangkan aspek legal justice saja akan tetapi hendaknya
mempertimbangkan pula aspek-aspek selain aspek legal justice, yakni: aspek
moral justice dan social justice sebagaimana dikemukakan oleh Lilik Mulyadi
dalam pernyataanya, sebagai berikut:
Hendaknya putusan hakim juga menguraikan pertimbangan selain faktor
yuridis seperti faktor-faktor non yuridis. Faktor-faktor non yuridis
tersebut, seperti faktor psikologis terdakwa, apakah menderita
kleptomania, sosiopatik, gejala skizofrenia atau depresi mental; faktor
kejiwaan pada umumnya; kemudian juga dipertimbangkan faktor sosial
ekonomi terdakwa; faktor edukatif; faktor lingkungan terdakwa bertempat
tinggal dan dibesarkan; faktor religius; dan sebagainya.48
Dengan demikian bahwa, “Putusan hakim tidak dapat dilihat dari sudut
yuridis-formalnya saja, tetapi harus dilihat sebagai sesuatu yang otonom dan
berdasarkan pada berbagai faktor non hukum.”49
Putusan hakim yang didasarkan pada minimal sekurang-kurangnya dua
alat bukti ditambah keyakinan Hakim yang muncul dari nurani Hakim diharapkan
dapat berfungsi sebagai sarana kesejahteraan dan membahagiakan masyarakat.
Putusan hakim sebagai hukum seyogyanya merupakan putusan yang merupakan
refleksi dari keadilan (moral justice) baik berupa keadilan substansial maupun
keadilan non substansial yang bersandar pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku (legal justice) maupun nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
(social justice) sehingga putusan hakim tersebut dapat berfungsi sebagai
48
Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 147. 49
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op. Cit, h.153.
45
pemelihara ketertiban masyarakat, mendorong perbaikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk terciptanya putusan Hakim yang berfungsi sebagai hukum yang
mensejahterakan dan membahagiakan masyarakat tersebut memang dituntut
adanya keserasian hubungan antara empat faktor, sebagaimana diuraikan oleh
Soerjono Soekanto, sebagai berikut:
Bahwa agar hukum dapat berfungsi dengan baik, diperlukan keserasian
dalam hubungan antara 4 (empat faktor ini, yakni: (a) hukum atau
peraturan itu sendiri, (b) mentalitas petugas yang menegakkan hukum, (3)
fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum, dan (4)
kesadaran hukum. Mengenai faktor hukumnya itu sendiri beberapa
kemungkinan bisa terjadi, seperti ketidak cocokan dalam peraturan
perundang-undangan mengenai bidang tertentu (baik secara horizontal
maupun vertikal); ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan
dengan hukum tidak tertulis atau kebiasaan; atau ketidakserasian antara
hukum tercatat dengan hukum kebiasaan. Berkaitan dengan mentalitas
petugas, seperti hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan,
dan seterusnya ini, dapat dinyatakan bahwa meskipun faktor peraturan
hukumnya sudah baik, jika mental penegak hukum kurang baik, maka
akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum. Jika faktor
peraturan hukum dan mentalitas penegak hukum sudah baik, tetapi
fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), maka penegakan hukum
tidak akan berjalan dengan semestinya. Faktor yang terakhir adalah faktor
kesadaran hukum. Kesadaran hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah
kesadaran hukum ataupun kepatuhan hukum masyarakat.50
Terkait dengan unsur struktur dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
yakni Hakim sebagai aparat penegak hukum yang mengemban kewajiban dan
wewenang untuk menciptakan sebuah putusan yang sesuai dengan dambaan
masyarakat luas, titik penentunya adalah bahwa dalam hal ini sangat dibutuhkan
adanya mentalitas Hakim yang baik sehingga terjadi keharmonian dengan unsur
substansi (peraturan hukumnya) yang memang sudah tersusun dengan baik. Jadi
50
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, 2005, Membangun Teori Hukum Indonesia, Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h. 31.
46
betapapun baiknya peraturan hukum yang ada kalau tidak didukung oleh
mentalitas yang baik dari unsur aparatur penegak hukumnya (Hakim) maka
peraturan hukum yang sebaik apapun tidak akan dapat menciptakan penegakan
hukum yang maksimal sesuai dengan dambaan masyarakat luas.
Satjipto Rahardjo juga menekankan pada unsur struktur (aparatur
pelaksana) untuk terwujudnya penegakan hukum yang maksimal, yang dapat
dicermati dari pernyataannya,sebagai berikut:
Bahwa UUD 1945 menolak digunakannya begriffsjurisprudenz, yaitu yang
sangat mengandalkan teks dan kata-kata undang-undang. Aliran atau
pikiran yang semacam ini dapat juga dimasukkan ke dalam-legistis
positivistis yang berpendirian bahwa undang-undang adalah segalanya.
Bahwa UUD 1945 menekankan efektivikasi hukum pada manusia-
manusia pelaku atau para aktor dalam hukum. Undang-undang
ditempatkan pada baris kedua, sedangkan yang lebih penting adalah
semangat dan kemauan para pelaku dalam hukum. 51
Dedikasi unsur struktur (aparat pelaksana/ manusia pelaku hukum)
menjadi titik penentu keberhasilan upaya penegakan hukum dalam hal ini upaya
penciptaan putusan yang berkualitas dan bermanfaat bagi semua lapisan
masyarakat pencari keadilan.
Dalam penjatuhan putusannya hendaknya hakim tidak hanya
melaksanakan (sebagai pelaksana) aturan-aturan yang tersusun dalam teks-teks
undang-undang. Sebagai contoh dalam pengambilan putusan pemidanaan
(veroordeling) misalnya hanya didasarkan pada fakta dan keadaan yang
ditemukan di persidangan saja yang dijadikan dasar penentuan kesalahan
terdakwa tanpa mempertimbangkan unsur-unsur non yuridis lainnya.
51
Ibid.
47
Pada kondisi tersebut yang dilakukan oleh Hakim hanyalah penerapan
terhadap ketentuan-ketentuan yuridis normatif yang diformulasikan dalam
undang-undang saja atau hanya menerapkan ketentuan-ketentuan teks undang-
undang saja. Hal ini merupakan implementasi dari peranan Hakim yang hanya
berfungsi sebagai mulut atau corong undang-undang saja yang dikenal dengan
analityc process, sebagaimana yang diungkapkan oleh Edgar Bodenheimer,
sebagai berikut:
The process or reasoning underlying this theory of the judicial function is
analytical because it involves a deductive subsumption of litigated facts
under major premise pre existing the decision. This deductive subsumption
is not necessarily automatic or self evident. The words appearing in the
major premise or rulr may be ambiguous, so tha the jidge will have to
clarify or construe them before appllying the rule to the facts of the case.
This clarification may take it necessary for him to delve in to the legislative
intent or policy behind the rule in order to determine it proper meaning and
scope.52
Apabila diterjemahkan secara bebas dari kalimat Edgar Bodenheimer
tersebut maka peranan Hakim meliputi:
1. Hakim nasional tidak lebih dari mulut yang membunyikan undang-
undang;
2. Hakim bersifat pasif;
3. Hakim tidak bisa merubah kekakuan undang-undang;
4. Hakim tidak mampu bertindak sebagai moderator bagi kekuasaan ataupun
kekerasan.
5. Kehendak Hakim harus sebangun dengan kehendak hukum.
52
Edgar Bodenheimer, 1978, Seventy Five Years of Evolution In Legal Philosophy , Journal Of
Jurisprudence, American, Volume 23.
48
Pada praktek peradilan pidana dalam pengambilan putusan terhadap kasus
pidana yang ditanganinya, Hakim tidak diharapkan untuk melakukan perannya
secara analityc process akan tetapi dituntut keterampilan Hakim untuk
mengaplikasikan kemampuannya di bidang hukum pidana baik secara matriil
maupun formil yang tentunya harus ditunjang dengan dedikasi, mentalitas Hakim
yang benar-benar menerapkan idealismenya sebagai aparat penegak hukum yang
memiliki kedudukan independen (bebas) dan impartial (tidak memihak).
Independensi (kebebasan) dan impartialitas (ketidakberpihakan) yang
diberikan kepada Hakim, secara filsafati merupakan suatu asas yang sangat
menentukan dapat tidaknya Hakim mengadili perkara pidana untuk memunculkan
keyakinan Hakim itu sendiri yang memang keyakinan Hakim tersebut benar-
benar bersumber dari nurani Hakim. Apabila direnungkan secara mendalam
dibalik kedua asas ini terakomodasi nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang harus
diwujudkan oleh Hakim melalui penanganan perkara pidana dalam peradilan
pidana. Tugas, fungsi Hakim apabila dihayati, dijalankan secara ideal oleh Hakim,
merupakan tugas, fungsi yang amat berat oleh karena dalam praktek peradilan
pidana banyak tantangan yang muncul yang berseberangan bahkan berupaya
mengikis, merongrong eksistensi kebebasan dan ketidakberpihakan Hakim. Hal
ini tentu merupakan sesuatu yang dilematis. Betapapun adanya berbagai
tantangan, gangguan dalam pelaksanaan tugas Hakim dalam mengadili perkara
pidana hal itu akan teratasi apabila Hakim dapat menjadi dirinya sendiri, tetap
tegar, teguh, tidak terpengaruh oleh intervensi, campur tangan pihak lain.
Kuncinya, yakni kembali pada moralitas Hakim itu sendiri, yakni sangat
49
ditentukan oleh faktor moral Hakim yang agung, luhur, memegang teguh nilai-
nilai Pancasila, terutama nilai Ketuhanan. Dalam konteks ini bahwa segala sesuatu
yang dilakukan oleh Hakim dalam mengadili perkara pidana harus adanya suatu
pemikiran bahwa apapun yang dilakukan Hakim dalam penanganan perkara
pidana nantinya akan dan harus mampu dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adanya rambu-rambu yang membatasi moralitas
Hakim tersebut, bahwa apa yang diputus Hakim di sidang pengadilan perkara
pidana nantinya akan ada yang menilai lagi, yakni Tuhan Yang Maha Adil.
Penilaian Tuhan terhadap perbuatan, sikap Hakim dalam penanganan perkara
pidana yang berpuncak pada vonis (putusan) Hakim tersebut adalah penilaian
yang paling adil, paling fair, sehingga sangat tepat apabila dalam vonis (putusan)
Hakim ada irah-irah putusan dengan formulasi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila semua Hakim memegang kepercayaan
tersebut, bahwa Hakim adalah perpanjangan Tuhan di dunia, segala yang diputus
oleh Hakim nantinya akan dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
niscaya ketidak adilan, ketidakpuasan para pihak maupun masyarakat umum
terhadap putusan atas suatu perkara pidana tentu dapat diminimalisir.
Bahwa keyakinan Hakim yang ideal dalam penanganan perkara pidana
dalam peradilan pidana Indonesia hendaknya merupakan keyakinan Hakim yang
muncul dari lubuk hati Hakim yang paling dalam, yang merupakan
pengintegrasian dari unsur kepercayaan terhadap pertanggungjawaban putusan
secara moral kepada Tuhan, unsure kecakapan akademis, pengalaman dan
moralitas Hakim. Bagaimana idealnya keyakinan Hakim yang bersumber dari
50
nurani Hakim yang paling dalam tersebut. Hal ini seharusnya merupakan
integrasi dari profesionalisme Hakim yang didasarkan pada penguasaan Hakim
terhadap berbagai jenis ilmu baik ilmu hukum maupun ilmu-ilmu pembantu yang
terkait dengan kasus yang ditangani. Hal tersebut juga hendaknya merupakan
keyakinan Hakim yang bersinergi dengan pengalaman kerja Hakim serta
moralitas Hakim itu sendiri sehingga putusan yang dihasilkan dapat berfungsi
sebagai hukum yang tentunya putusan tersebut dapat memberikan kepuasan pada
para pihak maupun masyarakat luas. Putusan Hakim yang didasarkan pada
keyakinan Hakim yang muncul dari nurani Hakim tersebut idealnya bahwa
putusan tersebut dapat berfungsi sebagai hukum oleh karena dapat menciptakan
keteraturan, kedamaian dalam masyarakat. Kondisi ini juga tidak terlepas dari
sikap Hakim yang mampu bersikap bebas, tidak memihak dalam menilai fakta-
fakta yuridis yang ditemukan dalam proses pembuktian di persidangan, mampu
menyatukan unsur-unsur yuridis dan non yuridis dalam pertimbangan putusannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa idealnya Hakim harus memiliki
kemampuan secara akademis, menguasai ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lain
yang merupakan ilmu pembantu yang relevan dengan kasus yang ditanganinya.
Hakim harus jeli, cermat, hati-hati, pintar, cakap dalam menilai fakta-fakta yuridis
yang ditemukan di persidangan selama proses pembuktian. Hakim harus memiliki
pengalaman kerja yang memadai yang dapat dipergunakan sebagai pedoman
dalam menyelesaikan kasus-kasus sejenis berikutnya. Hakim harus memiliki
keluhuran moral, taat terhadap ajaran agama. Hakim harus teguh, tegar, tidak
terpengaruh oleh bujukan, rayuan, iming-iming pihak lain. Hakim harus
51
mendasarkan perbuatan, sikap, prilaku dalam menangani perkara pidana
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
52
BAB VI
PENUTUP
6. 1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pemaparan sebelumnya dan direlevansikan
dengan permasalahan yang tersaji maka dapat disimpulkan hal-hal, sebagai
berikut:
1. Makna keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara pidana, bahwa secara
filosofis, dikaji dari aspek ontologis, keyakinan Hakim dalam pembuktian
perkara pidana merupakan unsur yang sangat prinsip, yakni keyakinan yang
timbul dari perasaan Hakim yang paling dalam (nurani) Hakim. Keyakinan
Hakim yang bersumber dari nurani Hakim ini, mengandung makna bahwa
Hakim yakin terhadap fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan
melalui proses pembuktian, yakni dengan mempertimbangkan kekuatan alat-
alat bukti yang sah yang diajukan ke dalam persidangan. Dengan kata lain
bahwa keyakinan Hakim yang bersumber dari intuisi/nurani Hakim atas
kekuatan alat-alat bukti tersebut bukan didasarkan pada perasaan Hakim
semata akan tetapi keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim
tersebut didasarkan pada argumentasi logis, objektif atas fakta-fakta yuridis
yang ditemukan selama pembuktian di persidangan, bukan atas dasar
tekanan, intervensi, pengaruh dari pihak lain serta bukan atas dasar unsur
subjektifitas Hakim.
2. “Keyakinan Hakim” yang ideal dalam memutus perkara pidana, yakni:
keyakinan Hakim tersebut harus didasarkan pada profesionalisme Hakim,
52
53
yaitu pemahaman serta penguasaan Hakim atas ilmu hukum dan ilmu-ilmu
lainnya yang relevan dengan perkara pidana yang ditanganinya yang
dipadukan dengan pengalaman Hakim dalam praktik peradilan pidana serta
disinergikan pula dengan penerapan asas bebas dan tidak memihak Hakim
dalam persidangan sehingga Hakim mampu bersikap netral, bebas, tidak
pilih kasih, yang nantinya putusan (vonis) Hakim dapat berfungsi sebagai
hukum yang memberikan rasa puas bagi para pihak maupun masyarakat luas
dan mampu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan
masyarakat.
6.2. Saran
Terkait dengan keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara pidana serta
keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus perkara pidana, terdapat beberapa
rekomendasi, diantaranya:
1. Mengenai makna keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara pidana
maka untuk dapat tetap terwujudnya keyakinan Hakim yang bersumber
dari nurani Hakim atas dasar argumentasi logis dan objektif, bukan atas
dasar perasaan subjektif Hakim, dalam konteks ini Hakim hendaknya tetap
mampu menjaga kewibawaan proses peradilan dengan menunjukkan
integritas, kredibilitasnya sebagai aplikasi keluhuran moralitas Hakim
serta Hakim hendaknya mampu tetap tegar, tidak terpengaruh bujukan,
rayuan, tekanan pihak-pihak lain dalam mewujudkan keyakinannya atas
pembuktian perkara pidana yang ditanganinya.
54
2. Agar dapat diterapkannya keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus
perkara pidana hendaknya Hakim senantiasa meningkatkan
profesionalitasnya dengan terus mengisi diri dalam upaya menambah
wawasan, penguasaan serta kemampuannya dalam ranah ilmu hukum
maupun ilmu-ilmu lainnya yang relevan.
55
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU:
Abdullah, 2008, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pasca
Sarjana Universitas Sunan Giri, Surabaya.
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim, dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y, Hage, 2013, Teori Hukum,
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi
Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam
Perkara-Perkara Pidana, Alfa Beta, Bandung.
Djoko Prakoso, 1987, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologis Dalam
Konteks KUHAP, Bina Aksara, Djakarta.
Eddy, O.S. Hiariej, 2012, Teori&Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta.
Elisabeth Nurhaini Butar Butar, 2016, Hukum Pembuktian, Analisis Terhadap
Kemandirian Hukum Sebagai Penegak Hukum Dalam Proses Pembuktian,
Nusa Aulia, Bandung.
Hamzah Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Hari Sasangka, Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung.
Hadin Muhjad, H.M. dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta.
Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Media Publishing, Malang.
56
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia Perspektif Teoritis Praktis, Teknik Membuat dan
Permasalahannya, 2010, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Monang Siahaan, 2017, Falsafah dan Filosofi Hukum Acara Pidana, PT.
Grafindo Anggota IKAPI, Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1993, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung.
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, 2005, Membangun Teori Hukum Indonesia
Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Robert D. Pursley, Introduction to Criminal Justice , 1977, Mac Millan
Publishing, Co. Inc, New York.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Tim Penyusun Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013,
Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana , Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Tolib Effendi, 2014, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan
Pembahasannya di Indonesia, Setara Press, Malang.
___________, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan, Komponen dan
Proses Sistem Peradilan Pidana Di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia,
Jakarta.
57
Wirjono Prodjodikoro, 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur,
Bandung.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2003, Sinar Grafika, Jakarta.
B. ARTIKEL:
Edgar Bodenheimer, 1978, Seventy Five Years of Evolution in Legal Philosophy,
American Journal of Jurisprudence, 1978, volume 23.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan). Makalah
Disampaikan pada Acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum
Undip, Semarang, 4 September, 2004.
Bagir Manan, 2006, Hakim dan Pemidanaan, IKAHI, Jakarta, Majalah Hukum
Varia Peradilan, Edisi Nomor 249, Bulan Agustus, 2006.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.