LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

62
1 LAPORAN PENELITIAN MANDIRI KEYAKINAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA INDONESIA PENELITI Dr. Ni Nengah Adiyaryani, S.H, M.H. NIDN: 0014027203 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2019

Transcript of LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

Page 1: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

1

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

KEYAKINAN HAKIM

DALAM PERADILAN PIDANA INDONESIA

PENELITI

Dr. Ni Nengah Adiyaryani, S.H, M.H.

NIDN: 0014027203

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019

Page 2: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

2

ii

Page 3: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

3

RINGKASAN

Keyakinan Hakim dalam penanganan perkara pidana dalam sistem

peradilan pidana Indonesia, yaitu diharapkan diterapkannya keyakinan Hakim

yang bersumber dari nurani Hakim sehingga keyakinan Hakim tersebut bersifat

objektif, tidak bernuansa subjektifitas. Tujuan penelitian ini, yakni: untuk

menemukan makna keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim dalam

pembuktian perkara pidana dikaji dari aspek filosofis dan untuk mengkonstruksi

keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus perkara pidana. dalam sistem

peradilan pidana Indonesia.

Mengenai metode penelitian, dilihat dari jenis penelitian, merupakan

penelitian hukum (legal research) dengan kualifikasi penelitian hukum normatif,

menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach) dan

pendekatan analisis konsep hukum (the analytical and conceptual approach).

Bahan hukumnya berupa bahan hukum primer dan sekunder. Teknik

pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan (library

research) dan metode sistematis. Bahan-bahan hukum kemudian dianalisis secara

kualitatif normatif.

Hasil penelitian ini, Bahwa makna keyakinan Hakim yang bersumber dari

nurani Hakim dalam pembuktian perkara pidana, secara filosofis, dikaji dari aspek

ontologis, merupakan unsur yang sangat prinsip, yakni keyakinan yang timbul

dari perasaan Hakim yang paling dalam. Keyakinan Hakim yang bersumber dari

nurani Hakim ini mengandung makna bahwa Hakim yakin terhadap fakta-fakta

yuridis yang ditemukan di dalam persidangan melalui proses pembuktian, dengan

mempertimbangkan kekuatan alat-alat bukti yang sah yang diajukan ke dalam

persidangan. Selanjutnya mengenai “keyakinan Hakim” yang ideal dalam

memutus perkara pidana, Bahwa keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani

Hakim hendaknya didasarkan pada argumentasi logis atas fakta-fakta yang

ditemukan di persidangan berdasarkan penilaian terhadap kekuatan alat-alat bukti

yang diajukan ke persidangan yang diintegrasikan dengan pemahaman dan

penguasaan Hakim terhadap berbagai aspek keilmuan baik ilmu hukum maupun

non hukum yang relevan dengan perkara pidana yang ditanganinya tanpa

mengabaikan nilai-nilai serta norma-norma hukum yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat dan dipadukan pula dengan pengalaman Hakim dalam

menangani perkara pidana.

Kata Kunci: Keyakinan Hakim, Mengadili Perkara Pidana, Peradilan Pidana.

iii

Page 4: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

4

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadapan Ida Shanghyang Widhi Wasa/

Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kertha wara nugraha-Nyalah maka

penelitian yang berjudul “KEYAKINAN HAKIM DALAM PERADILAN

PIDANA INDONESIA”, dapat terselesaikan.

Peneliti menyadari, bahwa penelitian ini belum sempurna, masih banyak

kekurangan sehingga peneliti akan sangat berterima kasih apabila ada keritik,

saran, masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penelitian ini .

Akhir kata, semoga penelitian ini memberikan manfaat, memberikan

kontribusi berupa sumbangan pemikiran ilmiah yang berguna bagi perkembangan

ilmu hukum, khususnya Hukum Acara Pidana, yakni terfokus pada isu yuridis

berupa “Keyakinan Hakim dalam penyelesaian perkara-perkara pidana dalam

praktek peradilan pidana Indonesia.

Denpasar, September 2019

Peneliti

iv

Page 5: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

5

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

RINGKASAN ....................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6

2.1. Sistem Atau Teori Pembuktian .......................................................... 6

2.2. Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Pidana ...................... 10

2.3. Peradilan Pidana ................................................................................. 12

2.4. Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan (criminal justice process) .......... 13

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ......................................... 16

3.1. Tujuan Penelitian ................................................................................ 16

3.2. Manfaat Penelitian .............................................................................. 16

BAB IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 18

4..1. Jenis Penelitian .................................................................................. 18

4.2. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 19

4.3. Jenis Data / Bahan Hukum ................................................................. 22

4.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................. 24

4.5. Teknik Analisis Bahan Hukum .......................................................... 25

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 27

5.1. Makna Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Pidana

Dikaji Dari Aspek Filosofis .............................................................. 27

5.2. Keyakinan Hakim Yang Ideal Dalam Memutus Perkara Pidana .... 31

BAB VI. PENUTUP ............................................................................................. 52

6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 52

6.2. Saran ................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55

v

Page 6: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem Peradilan Pidana Indonesia mengakui ada 5 (lima) aparat penegak

hukum yang merupakan komponen sub sistem peradilan pidana, yakni: Polisi,

Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.

Hakim sebagai salah satu sub unsur struktur sistem peradilan pidana

memiliki berbagai fungsi atau tugas serta kewenangan yang harus diaplikasikan

dalam praktek peradilan pidana. Salah satu fungsi atau tugas Hakim, yaitu

menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana yang merupakan rangkaian

fungsi atau tugas Hakim dalam “mengadili” perkara pidana.

Makna “mengadili”, diformulasikan dalam Pasal 1, angka 9, (Bab I,

mengenai Ketentuan Umum), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lazim dikenal dengan sebutan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal tersebut

terdapat rumusan, “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk

menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur

dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.”

Pada saat menjalankan fungsi atau tugas “mengadili” perkara pidana,

seorang Hakim dituntut untuk mendasarkan tindakannya dengan berpedoman

pada ketentuan yuridis formal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, yakni sebagaimana diformulasikan dalam Pasal 183 Kitab

Undang Undang Hukum Acara Pidana, dengan redaksional, “Hakim tidak boleh

1

Page 7: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

2

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Mencermati ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana tersebut dapat dipahami bahwa dalam pembuktian perkara pidana untuk

menentukan barsalah atau tidaknya terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya ditekankan harus dipenuhi syarat yuridis berupa terdapat minimal dua

alat bukti yang diakui sebagai alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim.

Pengertian alat bukti, yaitu,”Segala hal yang dapat digunakan untuk

membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan.”1

Alat bukti yang diakui sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian

perkara pidana, yakni alat bukti yang disusun secara limitatif dalam undang-

undang, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, yaitu:

“Alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.”

Formulasi Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

memberikan pemahaman bahwa dalam peradilan pidana Indonesia hanya

mengakui lima jenis alat bukti sebagai alat bukti yang sah. Hanya alat bukti

tersebut yang dapat diajukan ke persidangan dalam pembuktian perkara pidana.

1 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori & Hukum Pembuktian, Erlangga, Surabaya, h. 7.

Page 8: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

3

Syarat yuridis lainnya dalam praktik peradilan pidana untuk dapat

dipergunakan sebagai pedoman dalam menentukan terbukti atau tidaknya

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, yakni harus

adanya “keyakinan Hakim”.

Terkait dengan fungsi atau tugas dan kewenangan Hakim dalam tahap

pemeriksaan perkara, masalah keyakinan Hakim lebih banyak diterapkan pada

tahap pembuktian. Tahapan ini menjadi dasar lahirnya kualifikasi atau jenis

putusan Hakim (vonnis) yang sangat menentukan nasib terdakwa untuk

selanjutnya, dalam arti, apakah terdakwa akan diputus bebas dari segala dakwaan

(vrijspraak), lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging)

atau dipidana (veroordeling).

Hakim yang menangani perkara akan menjatuhkan salah satu jenis putusan

tersebut setelah melalui proses pembuktian, yakni penilaian terhadap fakta-fakta

hukum yang muncul di persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan oleh

para pihak.

Makna pembuktian, dapat dipahami dari pendapat beberapa ahli:

“Pembuktian berasal dari kata kerja membuktikan. Secara etimologi,

membuktikan berasal dari kata kerja “bukti” yang berarti sesuatu yang

menyatakan kebenaran peristiwa. Membuktikan artinya, meyakinkan atau

memastikan sesuatu sebagai suatu yang benar. Di dalam hukum acara,

pembuktian diartikan sebagai usaha untuk memberi kepastian kepada

Hakim oleh karena itu, pembuktian hukum terjadi dalam proses

persidangan bukan di luar peradilan.”2

2 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2016, Hukum Pembuktian, Analisis Terhadap Kemandirian

Hakim Sebagai Penegak Hukum Dalam Proses Pembuktian, Nuansa Aulia, Bandung, h. 74.

Page 9: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

4

Eddy O.S. Hiariej, menyatakan, “Dalam konteks hukum pidana,

pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam

hukum pidana adalah kebenaran materiil.”3

Kebenaran materiil dalam konteks kebenaran yang ingin dicari dan

ditemukan dalam pembuktian perkara pidana, yaitu bukan kebenaran formal akan

tetapi kebenaran hakiki, kebenaran yang sebenar-benarnya atas suatu perkara

pidana. Dalam kondisi ini sangat dibutuhkan kecakapan, kecermatan, kehati-

hatian, profesionalisme seorang Hakim berupa penguasaan materi ilmu hukum

maupun ilmu lain yang terkait serta harus didukung oleh moralitas Hakim yang

luhur. Hal ini merupakan faktor-faktor yang sangat prinsip untuk terciptanya

peradilan yang jujur (fair tribunal) dan putusan Hakim yang bermanfaat baik

bagi para pihak maupun masyarakat pada umumnya.

Berbicara mengenai “keyakinan Hakim” merupakan sesuatu yang sangat

pelik karena “keyakinan Hakim”, ini merupakan sesuatu yang abstrak tetapi

merupakan suatu criteria yuridis yang harus ada yang menjadi dasar lahirnya

putusan Hakim atau putusan pengadilan.

Keyakinan Hakim yang disyaratkan undang-undang dan diinginkan oleh

pihak-pihak yang berperkara, para pencari dan pecinta keadilan maupun

masyarakat luas yakni keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim dan

tentunya bernilai objektif.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan sebelumnya, ditemukan beberapa permasalahan,

yakni:

3 Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit, h. 7.

Page 10: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

5

1. Apa makna keyakinan Hakim dalam penanganan perkara pidana dikaji dari

aspek filosofis?

2. Bagaimana keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus perkara pidana?

Page 11: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem atau Teori Pembuktian

Mengkaji salah satu hal mendasar dalam ranah ilmu hukum pidana formal

(hukum acara pidana) yaitu khusus terfokus mengenai “keyakinan Hakim”, secara

yuridis formal hal tersebut dirumuskan dalam ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang terkait erat dengan esensi Pasal 184 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tidak ada penjelasan lebih lanjut

dalam formulasi pasal-pasal lainnya maupun pada penjelasan umum Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai keyakinan Hakim tersebut.

Pada praktek peradilan pidana, keyakinan Hakim diaplikasikan dalam

tahap pembuktian melalui penerapan teori atau sistem pembuktian yang dianut.

Teori Pembuktian (Bewijstheorie), adalah, “Teori pembuktian yang dipakai

sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan.”4

Berdasarkan sejarah perkembangan hukum acara pidana, ada beberapa

sistem atau teori pembuktian, yakni:

1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara

Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie), yaitu:

“Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian

yang disebut undang-undang. Dikatakan secara positif, karena hanya

didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti

suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh

undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele

bewijstheorie).”

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu,

yakni, “Teori yang berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori

4 Ibid., h. 15.

6

Page 12: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

7

pembuktian menurut undang-undang secara positif. Teori ini disebut

juga conviction intime.”

3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan

Yang Logis (Laconviction Raisonnee), dengan esensi secara ringkas,

yakni:

“Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah

berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar

pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang

berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi ,

putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.”

4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif

(Negatief Wettelijk), yakni, “Pembuktian harus didasarkan kepada

undang-undang, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari

alat-alat bukti tersebut.”5

Mencermati esensi sistem atau teori pembuktian yang ada dalam sistem

peradilan pidana bahwa sistem pembuktian diterapkan sebagai dasar yuridis dalam

membuktikan seseorang bersalah atau tidak atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya.Terkait sistem pembuktian, peradilan pidana Indonesia menganut

sistem pembuktian negatif/teori pembuktian menurut undang-undang secara

negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Berikut pandangan beberapa ahli

mengenai sistem pembuktian negatif.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, menyatakan:

“ Di dalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu:

- Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

- Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan

bukti-bukti tersebut, hakim meyakini kesalahan terdakwa.”6

Wirjono Prodjodikoro menegaskan:

“Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief

wettelijke) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama

memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan

5 Andi Hamzah , 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 251-254.

6 Hari Sasangka, Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,

Bandung, h. 17.

Page 13: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

8

terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah

hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat

hakim dalam menyusun keyakinan agar ada patokan-patokan tertentu yang

harus diatur oleh hakim dalam melakukan peradilan.”7

Djoko Prakoso berpendapat: “ Hukum acara pidana yang berlaku di

Indonesia menganut sistem pembuktian negatief wettelijke, yang hanya mengakui

adanya alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang yang berlaku.”8

Menurut Monang Siahaan, “Sistem pembuktian yang dianut KUHAP

adalah sistem pembuktian negatif atau negatief wettelijk stelsel, yaitu minimal dua

alat bukti dan Hakim yakin.”9

Tolib Effendi, mengemukakan, “Sistem pembuktian dalam sistem

peradilan pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif, dengan demikian syarat untuk menjatuhkan pidana selain harus

memenuhi alat bukti sebagaimana ditentukan oleh KUHAP juga ditambah dengan

keyakinan Hakim yang diperoleh pada saat pembuktian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 183 KUHAP. Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka

Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.”10

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, ‘Keyakinan Hakim/nurani (negatief)

tersebut, bukan diartikan perasaan Hakim pribadi sebagai manusia, bukan lagi

conviction intime ataupun conviction raissonnee, akan tetapi keyakinan Hakim

7 Wirjono Prodjodikoro, 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, h. 77.

8 Djoko Prakoso, 1987, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi Dalam Konteks KUHAP

Bina Aksara, Djakarta, h. 157. 9 Monang Siahaan, 2017, Falsafah Dan Filosofi Hukum Acara Pidana, PT. Grasindo, Anggota

IKAPI, Jakarta, h. 37-38. 10

Tolib Effendi (I), 2014, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Perkembangan Dan

Pembahasannya Di Indonesia, Setara Press, Malang, h. 172.

Page 14: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

9

adalah keyakinan yang didasarkan atas bukti-bukti yang sah menurut undang-

undang.”11

Abdullah, berpendapat:

“Lahirnya keyakinan harus dilandasi oleh argumentasi hukum yang

merupakan bentuk penalaran yang melibatkan proses intelektual insan

hukum dalam menjustifikasi rasionalitas, konsistensi, logika dan

konsistensi doktrinal untuk mencapai kesimpulan dalam memutuskan

suatu problem atau permasalahan (perkara) yang dihadapi.”12

Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin,

mengemukakan:

“Keyakinan tidak boleh tumbuh begitu saja dalam batin seorang hakim

tanpa ada landasan faktanya, begitu pula sebaliknya hakim tidak boleh

menyatakan dia tidak yakin akan bukti-bukti yang diajukan tanpa ada

alasan yang kuat sebagai pendukungnya, karena konsep keyakinan yang

diatur di dalam Pasal 183 KUHAP tidak bersifat otonom sebagaimana

keyakinan dalam konsep-konsep lain di luar hukum. Dilarang bagi

hakim untuk menyatakan suatu keyakinan sebelum diajukan bukti-bukti

atau tidak pula dibolehkan menurut perundang-undangan seorang hakim

yakin akan sesuatu hal yang ada di luar logika hukum, misalnya yang

berkaitan dengan konsep supranatural dan dunia metafisik.”13

Keyakinan Hakim yang dituntut untuk diaplikasikan oleh Hakim dalam

praktek peradilan pidana, yaitu keyakinan Hakim yang didasarkan pada kekuatan

alat-alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan yang diakui sebagai alat bukti

yang sah, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

11

Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta h. 130. 12

Abdullah, 2008, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pasca Sarjana Universitas

Sunan Giri, Surabaya, h. 83. 13

Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim Sebuah

Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung,

h. 202.

Page 15: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

10

2.2. Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Pidana

Secara epistimologis keyakinan Hakim diaplikasikan melalui tahapan

pembuktian di persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang diyakini

kebenarannya oleh Hakim. Dikaji dari aspek pilosofis aplikasi “keyakinan

Hakim” dalam praktek peradilan pidana, harus mengakomodir nilai-nilai

Pancasila oleh karena Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum diatur dalam Pasal 2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Perundang-Undangan, dengan formulasi”, Pancasila merupakan sumber dari

segala sumber hukum negara.” Apabila dikaji lebih dalam, bahwa Pancasila

sebagai sumber dari segala sumber hukum di dalamnya mengakomodir nilai-nilai

luhur kepribadian bangsa Indonesia yang dituangkan dalam butir-butir Pancasila.

Terkait dengan fungsi dan tugas Hakim memeriksa dan memutus perkara pidana,

secara yuridis formal harus memenuhi syarat minimal adanya dua alat bukti yang

sah ditambah keyakinan Hakim.

Secara filosofis, keyakinan Hakim dalam konteks penanganan perkara

dalam peradilan pidana yakni keyakinan yang bersumber dari nurani Hakim tanpa

adanya intervensi, pengaruh, tekanan pihak lain yang secara filsafati

mengakomodir nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan

dan Keadilan.

Fungsi atau tugas serta kewenangan Hakim dalam menangani perkara

pidana dalam hubungannnya antara keyakinan Hakim dengan perwujudan nilai-

nilai Pancasila, dalam bahasan ini khusus terfokus pada tahapan pemeriksaan di

persidangan berupa tahapan “pembuktian” maka dalam tahap ini Hakim harus

Page 16: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

11

mampu memperlakukan secara adil, sama, seimbang, tidak pilih kasih terhadap

pihak-pihak yang tersangkut perkara. Hal ini merupakan perwujudan sila kelima

Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila

dikorelasikan dengan asas-asas yang dianut dalam hukum acara pidana, sikap,

tindakan Hakim ini merupakan penerapan asas persamaan di depan hukum

(equality before the law). Dalam konteks ini semua pihak, baik terdakwa

maupun korban diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan alat-alat

bukti ke persidangan, memberikan dan didengar keterangannya di persidangan

dan untuk mendapatkan bantuan hukum. Implementasi asas persamaan di depan

hukum tersebut merupakan wujud adanya pengakuan dan penghargaan terhadap

hak-hak asasi manusia sebagai bukti penerapan nilai Pancasila, yakni sila kedua,

Kemanusiaan yang adil dan beradab dan juga sebagai ciri bahwa Indonesia

merupakan sebuah negara hukum.

Kehadiran Hakim di tengah-tengah persidangan dalam konteks ini

khususnya dalam tahap pembuktian dapat dimaknai bahwa secara filosofis Hakim

merupakan wakil Tuhan di dunia. Hakim dipercaya untuk mengaplikasikan

ketentuan-ketentuan yuridis formal yang diformulasikan dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila

sehingga dalam penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak di

persidangan dan puncaknya pada penjatuhan putusan (vonnis) Hakim harus

senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Keyakinan Hakim terhadap

kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di persidangan adalah hasil

pergulatan bhatin Hakim yang bersumber dari lubuk hati Hakim yang paling

Page 17: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

12

dalam yang dapat dipertanggungjawabkan secara moril kepada Tuhan Yang Maha

Esa sebagai manifestasi implementasi nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan

dan didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan dengan

argumentasi logis yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara

maupun masyarakat luas sebagai implementasi penerapan nilai-nilai Pancasila,

yakni nilai kemanusiaan dan keadilan.

2.3. Peradilan Pidana

Mengenai variabel “peradilan” dan “peradilan pidana”, dapat dipahami

dari pendapat beberapa kalangan doktrinal.

Menurut Robert D. Pursley memberikan pengertian terhadap peradilan

pidana, “Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang

menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada

penentuan pidana.”14

Muladi dan Barda Nawawi Arief, memberikan pencerahan, sebagai

berikut:

“Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak

memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan dan secara

keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah menunjukkan kepada suatu

proses, yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan.

Sedangkan “pidana”, yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific

by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi dan ataupun penderitaan yang

diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun psikis dari

orang yang terkena pidana itu.”15

Pendapat lainnya tentang “peradilan pidana” tersebut, yaitu, “Merupakan

mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses

14

Robert D. Pursley, Introduction to Criminal Justice, (New York: Macmillan Publishing Co.

Inc, 1977), p. 7. 15

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, 1993, Alumni, Bandung

h. 4.

Page 18: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

13

penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan pengadilan.”16

Terkait dengan keyakinan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara

pidana dalam konteks ini esensi topik ini berarti mengarah pada suatu proses yang

dilaksanakan oleh Hakim sebagai aparatur inti kekuasaan kehakiman yang

diberikan tugas dan kewenangan sebagai salah satu aparatur pelaksana peradilan

untuk melaksanakan tugasnya mengadili perkara pidana berdasarkan

keyakinannya yang bersumber dari nurani hakim yang diaplikasikan dalam

peradilan pidana, yakni dalam tahapan persidangan yang dikenal dengan tahapan

pembiktian.

2.4. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Criminal Justice Process)

Ketentuan yuridis formal mengenai prosedur penyelenggaraan

pemeriksaan di sidang pengadilan dalam peradilan pidana Indonesia diatur dalam

Bab XVI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana yang lazim dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tahapan pemeriksaan perkara pidana di

persidangan ini baru dapat dilaksanakan setelah dilakukan serangkaian tahapan

yakni: Tahapan Pendahuluan, yang terdiri dari Tahap Penyelidikan, Penyidikan

dan Upaya Paksa.

Apabila Tahapan Pendahuluan ini telah selesai kemudian dilanjutkan

dengan Tahapan Penuntutan, yaitu pelimpahan perkara pidana ke pengadilan

16

Tolib Effendi (II), Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem

Peradilan Pidana di Beberapa Negara, 2013, Pustaka Yustisia, Jakarta, h. 23.

Page 19: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

14

negeri yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut disertai

dengan surat dakwaan.

Pada intinya bahwa pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan,

yaitu:

“Setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan proses

akan masuk pada inti dari tujuan hukum acara pidana yaitu pemeriksaan

persidangan. Di dalam pemeriksaan persidangan ini hasil penyidikan

yang dikonkritkan dalambentuk surat dakwaan di tingkat penuntutan

akan diuji untuk memperoleh kebenaran materiil. Inti proses

pemeriksaan persidangan adalah pembuktian, di mana di dalam

pembuktian tersebut alat bukti akan dinilai oleh majelis hakim untuk

memperoleh kesimpulan, apakar terdakwa bersalah atau tidak bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut

umum.” 17

Mengenai acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan, ketua

pengadilan negeri menentukan majelis hakim pengadilan negeri (yang berjumlah

3 orang) untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana tersebut.

Selanjutnya ditetapkan mengenai tanggal dan hari sidang maka pemeriksaan

terhadap perkara pidana dapat diselenggarakan. Pemeriksaan perkara pidana di

sidang pengadilan ini menggunakan sistem pemeriksaan yang disebut dengan

sistem accusatoir, yaitu sistem pemeriksaan dengan menempatkan terdakwa

sebagai subjek pemeriksaan sehingga terdakwa benar-benar dihargai hak asasinya,

tidak dijadikan sebagai objek akan tetapi terdakwa dan penuntut umum diberikan

kesempatan yang sama untuk saling berargumen.

Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan diawali dengan

Pemanggilan/Surat Panggilan terhadap Terdakwa. Dalam tahap pemanggilan ini

termasuk juga pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk hadir memberikan

17

Tolib Effendi (I), Op. Cit, h. 150.

Page 20: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

15

keterangan di persidangan berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dialami oleh

saksi itu sendiri.

Setelah dilakukan pemanggilan terhadap terdakwa dan saksi-saksi

kemudian dilakukan acara pemeriksaan perkara yang terdiri dari acara

pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat (sumir) dan acara pemeriksaan

cepat.

Selanjutnya pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut Umum yang

dijawab oleh terdakwa dengan pembacaan eksepsi atau tangkisan.

Tahap berikutnya, yaitu tahapan pembuktian, yakni suatu tahapan untuk

membuktikan apakah terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya atau tidak. Dalam tahapan pembuktian ini juga ditentukan

batasan-batasan tentang prosedur pembuktian yang diakomodir dalam sistem atau

teori pembuktian. Adapun sistem atau teori pembuktian yang dianut dalam

pembuktian perkara pidana dalam peradilan pidana Indonesia, yaitu menggunakan

sistem atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatief (negatief

wettelijk bewijs theorie). Berdasarkan sistem atau Teori Pembuktian Secara

Negatief bahwa pembuktian didasarkan pada alat-alat bukti yang ditentukan

secara limitatif dalam undang-undang disertai keyakinan Hakim. Tahap

pembuktian ini merupakan penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan para

pihak serta penilaian terhadap fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan,.

Page 21: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

16

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Melalui penelitian ini ingin diwujudkan beberapa tujuan dan manfaat yang

dapat dipahami melalui pemaparan berikut:

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan, diantaranya:

1. Mengkaji makna keyakinan Hakim dalam penanganan perkara pidana

dikaji dari aspek filosofis.

2. Memberikan ide pemikiran mengenai keyakinan Hakim yang ideal dalam

memutus perkara pidana.

3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis.

3.2.1. Manfaat Teoritis.

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan

pemikiran teoritis ilmiah terhadap keberadaan ilmu hukum, khususnya ilmu

Hukum Acara Pidana yang lebih terfokus lagi pada isu yuridis mengenai

keyakinan hakim dalam penanganan perkara pidana dalam sistem peradilan

pidana Indonesia.

3.2.2. Manfaat Praktis.

Adapun manfaat praktis penelitian ini, yakni hasil penelitian ini dapat

dipergunakan sebagai pedoman oleh penegak hukum, khususnya Hakim sebagai

aparatur pelaksana yang diberi kewajiban untuk mengadili perkara pidana dalam

arti menerima, memeriksa dan memutus perkara (pidana) agar dapat menerapkan

16

Page 22: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

17

keyakinan hakim yang ideal, yang benar-benar bersumber dari hati nurani Hakim

itu sendiri sehingga putusan (vonis) Hakim memberikan rasa puas terhadap para

pihak maupun masyarakat luas.

Page 23: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

18

BAB IV

METODE PENELITIAN

Sebuah karya tulis agar dapat dikualifikasikan sebagai suatu karya tulis

ilmiah harus menggunakan tata cara atau metode penulisan ilmiah sehingga karya

tulis tersebut memiliki nilai akademis serta dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah pula.

Terkait dengan metoda penelitian untuk merampungkan penelitian ini

terdiri dari komponen-komponen, sebagai berikut:

4.1. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis penelitian, karya tulis ini merupakan penelitian hukum

(legal research) dengan kualifikasi penelitian hukum normatif.

Berikut beberapa pendapat kalangan doktrinal mengenai pengertian

penelitian hukum (legal research) :

Soerjono Soekanto, menyatakan,

“Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisisnya. Di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

timbul di dalam gejala yang bersangkutan.”18

Soetandyo Wignyosoebroto berpendapat:

“Penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan

jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-

kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan. Untuk

menjawab segala macam permasalahan hukum diperlukan hasil

penelitian yang cermat, berketerandalan, dan sahih untuk menjelaskan

dan menjawab permasalahan yang ada.”19

18

Soerjono Soekanto (I), Pengantar Penelitian Hukum, 1981, UI Press, Jakarta, h. 43. 19

H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2013, Sinar Grafika, Jakarta h. 18.

18

Page 24: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

19

Selanjutnya menurut T. M. Radhie:

“Penelitian dalam ilmu hukum adalah keseluruhan aktivitas berdasarkan

disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis

dan menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum dan di

lapangan lain-lain yang relevan bagi kehidupan hukum, dan berdasarkan

pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan prinsip-prinsip ilmu

pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk menanggapi berbagai fakta dan

hubungan tersebut.”20

Pendapat berikutnya, yakni H. Zainuddin Ali, menyatakan:

“Penelitian hukum adalah segala aktivitas seseorang untuk menjawab

permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktis, baik yang

bersifat asas-asas hukum, norma-norma hukum yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat, maupun yang berkenaan dengan

kenyataan hukum dalam masyarakat.”21

Apabila penelitian ini dikaitkan dengan definisi-definisi diatas, maka

penelitian ini termasuk dalam kualifikasi jenis penelitian hukum (legal research)

yakni untuk menjawab permasalahan hukum berupa kekaburan norma (vague of

norm), yaitu tidak ditegaskannya (tidak dijelaskan secara eksplisit) mengenai

pengertian, hakekat keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim yang

diformulasikan Hakim dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

4.2. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan, yakni pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual

approach), Adapun pengertian masing-masing pendekatan tersebut, dapat

dipahami dari pendapat kalangan doktrinal berikut :

20

Ibid. 21

Ibid., h. 19.

Page 25: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

20

a. Pendekatan Perundang-Undangan ( Statute Approach)

Menurut Johnny Ibrahim, “Suatu penelitian hukum normatif harus

menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah

berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu

penelitian.”22

Peter Mahmud Marzuki berpendapat,”Pendekatan peraturan perundang-

undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.”23

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati menguraikan tentang

pendekatan perundang-undangan (The statute approach), yakni, “Pendekatan

‘statuta’ diawali dari suatu konstitusi dari segi aspek asas-asas hukum dan konsep-

konsep hukum dan undang-undang ikutannya atau peraturan organik.”24

Mengenai pendekatan statuta yang terfokus pada aspek asas-asas hukum,

konsep-konsep hukum dan undang-undang ikutannya H. M. Hadin Muhjad dan

Nunuk Nuswardani menegaskan:

“Mengingat pendekatan ini untuk memperjelas persoalan menyangkut

konsistensi dasar filosofis, dasar ontologis dan ratio legis/logika hukum

(konsistensi adalah sesuatu yang tetap (asas-asas hukum) dan kesesuaian

(kesesuaian adalah kesamaan atau kecocokan makna (asas hukum) antara

konstitusi-undang-undang, sesama undang-undang-Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian, pendekatan ini membutuhkan pula pendekatan

lainnnya.”25

Terkait dengan penelitian ini, dari perspektif pendekatan perundang-

undangan (statute approach), peneliti mengadakan penelitian awal, yakni dengan

22

Johnny Ibrahim, 2005, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, h. 302. 23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2005, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.

97. 24

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum 2005, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, h. 77. 25

H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia

Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 46-47.

Page 26: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

21

meneliti mengenai konsep hukum dalam ranah hukum pidana formil berupa

konsep keyakinan Hakim dalam sistem peradilan pidana, yakni dalam tahapan

persidangan (criminal justice process) yang dilakukan khususnya dalam tahapan

pembuktian. Selanjutnya peneliti melakukan kajian terhadap beberapa pasal dari

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang mengatur tentang keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara

pidana.

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual (conceptual approach), “Merupakan suatu

pendekatan yang digunakan untuk memperoleh kejelasan dan pembenaran

ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang bersumber dari prinsip-prinsip

hukum.”26

Peter Mahmud Marzuki menyatakan, “Pendekatan konseptual dilakukan

manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan

karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang

dihadapi.”27

Terkait dengan penelitian ini, yaitu mengenai konsep keyakinan Hakim

dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tahapan persidangan

(Criminal Justice Process) secara legalistik formal belum ada aturan yang dapat

dipakai sebagai pedoman untuk mendapatkan kejelasan secara eksplisit

mengenai konsep keyakinan Hakim dalam pelaksanaan wewenang mengadili

yang dimiliki oleh Hakim dalam peradilan pidana. Beranjak dari kondisi

26

Ibid., h. 47. 27

Peter Mahmud Marzuki., Op. Cit, h. 137.

Page 27: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

22

demikian maka peneliti melakukan pendekatan konseptual untuk memperoleh

kejelasan ilmiah mengenai konsep keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara

pidana dalam tahapan persidangan (criminal justice process) berdasarkan

konsep-konsep hukum lainnya yang bersumber dari prinsip-prinsip hukum

terkait.

4. 3. Jenis Data/Bahan Hukum

Penelitian hukum yang bersifat normatif, secara umum menggunakan jenis

data yang terarah pada penelitian data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data

sekunder mencakup:

a. “Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri

dari:

1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu: Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945.

2. Peraturan Dasar, yaitu: Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945,

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

3. Peraturan Perundang-Undangan.

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti, hukum adat.

5. Yurispridensi.

6. Traktat.

7. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku,

seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang merupakan

terjemahan yang secara yuridis formal bersifat tidak resmi dari Wet boek

van Strafrecht).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan bahan hukum primer,

seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum, dan seterusnya.

c. Bahan hukum tertier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya, adalah:

kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.”28

28

Soerjono Soekanto Dan Sri mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 13.

Page 28: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

23

Menurut H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani yang dimaksud

dengan bahan hukum primer, adalah “Peraturan perundang-undangan, selain itu

putusan pengadilan Indonesia.”29

Sumber lain mengkualifikasikan bahan hukum primer tersebut terdiri atas,

“ Asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa:

Peraturan Perundang-undangan dalam arti luas, Perjanjian Internasional, Konvensi

Ketatanegaraan, Putusan Pengadilan, Keputusan Tata Usaha Negara, Hukum Adat

(tertulis dan tidak tertulis).”30

Mengenai bahan hukum sekunder, yaitu, “Bahan-bahan yang mendukung

bahan hukum primer, seperti buku-buku teks, artikel dalam berbagai majalah

ilmiah atau jurnal hukum, makalah-makalah, dan literatur, pendapat para sarjana

(doktrin).”31

Selanjutnya bahan hukum sekunder lainnya yakni berupa bahan hukum

yang diperoleh dari internet dikualifikasikan sebagai bahan hukum sekunder,

sebagaimana dapat dipahami dari uraian berikut:

“Bahan hukum Sekunder terdiri atas:

- Buku-buku hukum (text book);

- Jurnal-jurnal hukum;

- Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam

media massa;

- Internet dengan menyebut nama situsnya.”32

Apabila direlevansikan dengan rencana penelitian ini, penulis

menggunakan beberapa sumber bahan hukum, yakni:

29

H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Op. Cit, h. 51. 30

Tim Penyusun Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Pedoman

Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar: Fakultas Hukum

Universitas Udayana, 2013, h.76. 31

H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Op, Cit. h. 46-47. 32

Tim Penyusun Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op. Cit, h. 76.

Page 29: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

24

a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan (dalam arti

luas) yang terkait dengan konsep keyakinan Hakim dalam mengadili perkara

pidana, yakni dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tahapan

persidangan (criminal justice process), yakni: Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor. 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209

Tentang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penulisan ini penulis

mempergunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum (text book),

jurnal-jurnal hukum, karya tulis atau pandangan para ahli hukum yang dimuat di

media massa maupun media elektronik (website) yang terkait dengan substansi

keyakinan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam sistem

peradilan pidana Indonesia.

c. Bahan hukum tersier, dalam hubungan penelitian ini menyangkut,

kamus hukum atau ensiklopedia yang memberikan batasan pengertian secara

etimologi untuk istilah-istilah tertentu terutama yang terkait dengan komponen

variabel judul, yakni istilah-istilah yang berhubungan dengan isu yuridis

mengenai keyakinan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam

sistem peradilan pidana Indonesia.

4.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Rencana penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum

melalui studi kepustakaan (library research), yakni: pengumpulan bahan hukum

Page 30: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

25

dari literatur-literatur hukum atau text book-text book hukum serta jurnal-jurnal

hukum dan juga dari beberapa media cetak berupa majalah dan koran serta media

elektronik (website dari media sosial/internet).

Selain metode kepustakaan (library research), juga digunakan metode

sistematis, yakni pengumpulan bahan peraturan perundang-undangan untuk

mencari keterkaitan suatu proposisi hukum yang menyangkut masalah keyakinan

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana dalam system peradilan

pidana.

4.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan

metode analisis kualitatif normatif yang disajikan secara deskriptif analitis.

Yang dimaksud dengan metode analisis kualitatif, yakni, “Suatu tata cara

penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu: apa yang dinyatakan

oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga prilaku yang nyata yang diteliti

dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.”33

Penelitian deskriptif analitis, yakni, “Suatu Penelitian yang berusaha

memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau

gejala yang diteliti.”34

Oleh karena penelitian ini adalah penelitian dalam bidang ilmu hukum

maka jenis penelitian deskriptif analitisnya, adalah berusaha menggambarkan

masalah hukum, dalam hal ini yakni mengenai masalah keyakinan Hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara pidana kemudian menganalisisnya sesuai

33

Soerjono Soekanto (I), Op. Cit, h. 250. 34

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, 1990, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h.58.

Page 31: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

26

dengan rumusan masalah yang disajikan serta dikaji secara mendalam dari aspek

filosofis maupun yuridis ( ontologis, teoritis-praktis).

Apabila dikaitkan dengan rencana penelitian ini akan dilakukan analisis

dari aspek filosofis serta yuridis berdasarkan Hukum Acara Pidana Indonesia

yakni menganalisis beberapa permasalahan, diantaranya: Apa makna keyakinan

Hakim dikaji dari aspek filosofis, Bagaimana keyakinan Hakim yang ideal dalam

memutus perkara pidana dalam sistem peradilan pidana untuk masa yang akan

dating. Selanjutnya hasil analisis tersebut penulis sajikan secara deskriptif.

Page 32: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

27

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Makna Filosofis Keyakinan Hakim dalam Penanganan Perkara Pidana

Dikaji Dari Aspek Ontologis

Mengkaji salah satu hal mendasar dalam ranah ilmu hukum pidana formal

(hukum acara pidana) yaitu khusus terfokus mengenai “keyakinan Hakim”, secara

yuridis formal hal tersebut dirumuskan dalam ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang terkait erat dengan esensi Pasal 184 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tidak ada penjelasan lebih lanjut

dalam formulasi pasal-pasal lainnya maupun pada penjelasan umum Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai keyakinan Hakim tersebut.

Pada praktek peradilan pidana, keyakinan Hakim diaplikasikan dalam

tahap pembuktian melalui penerapan teori atau sistem pembuktian yang dianut.

Teori Pembuktian (Bewijstheorie), adalah, “Teori pembuktian yang dipakai

sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan.”35

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, ‘Keyakinan Hakim/nurani (negatief)

tersebut, bukan diartikan perasaan Hakim pribadi sebagai manusia, bukan lagi

conviction intime ataupun conviction raissonnee, akan tetapi keyakinan Hakim

adalah keyakinan yang didasarkan atas bukti-bukti yang sah menurut undang-

undang.”36

Keyakinan Hakim yang dituntut untuk diaplikasikan oleh Hakim dalam

praktek peradilan pidana, yaitu keyakinan Hakim yang didasarkan pada kekuatan

35

Andi Hamzah, Op. Cit, h. 15. 36

Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 130.

27

Page 33: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

28

alat-alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan yang diakui sebagai alat bukti

yang sah, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Secara epistimologis keyakinan Hakim diaplikasikan melalui tahapan

pembuktian di persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang diyakini

kebenarannya oleh Hakim. Dikaji dari aspek pilosofis, “keyakinan Hakim” dalam

praktek peradilan pidana, harus mengakomodir nilai-nilai Pancasila oleh karena

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Pancasila sebagai

sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Perundang-Undangan, dengan formulasi”, Pancasila merupakan sumber dari

segala sumber hukum negara.” Apabila dikaji lebih dalam, bahwa Pancasila

sebagai sumber dari segala sumber hukum di dalamnya mengakomodir nilai-nilai

luhur kepribadian bangsa Indonesia yang dituangkan dalam butir-butir Pancasila.

Terkait dengan fungsi dan tugas Hakim memeriksa dan memutus perkara pidana,

secara yuridis formal harus memenuhi syarat minimal adanya dua alat bukti yang

sah ditambah keyakinan Hakim.

Secara filosofis, keyakinan Hakim dalam konteks penanganan perkara

dalam peradilan pidana yakni keyakinan yang bersumber dari nurani Hakim tanpa

adanya intervensi, pengaruh, tekanan pihak lain yang secara filsafati

mengakomodir nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan

dan Keadilan.

Page 34: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

29

Fungsi atau tugas serta kewenangan Hakim dalam menangani perkara

pidana dalam hubungannnya antara keyakinan Hakim dengan perwujudan nilai-

nilai Pancasila, dalam bahasan ini khusus terfokus pada tahapan pemeriksaan di

persidangan berupa tahapan “pembuktian” maka dalam tahap ini Hakim harus

mampu memperlakukan secara adil, sama, seimbang, tidak pilih kasih terhadap

pihak-pihak yang tersangkut perkara. Hal ini merupakan perwujudan sila kelima

Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila

dikorelasikan dengan asas-asas yang dianut dalam hukum acara pidana, sikap,

tindakan Hakim ini merupakan penerapan asas persamaan di depan hukum

(equality before the law). Dalam konteks ini semua pihak, baik terdakwa maupun

korban diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan alat-alat bukti ke

persidangan, memberikan dan didengar keterangannya di persidangan dan untuk

mendapatkan bantuan hukum. Implementasi asas persamaan di depan hukum

tersebut merupakan wujud adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak

asasi manusia sebagai bukti penerapan nilai Pancasila, yakni sila kedua,

Kemanusiaan yang adil dan beradab dan juga sebagai ciri bahwa Indonesia

merupakan sebuah negara hukum.

Kehadiran Hakim di tengah-tengah persidangan dalam konteks ini

khususnya dalam tahap pembuktian dapat dimaknai bahwa secara filosofis Hakim

merupakan wakil Tuhan di dunia. Hakim dipercaya untuk mengaplikasikan

ketentuan-ketentuan yuridis formal yang diformulasikan dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila

sehingga dalam penilaian terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak di

Page 35: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

30

persidangan dan puncaknya pada penjatuhan putusan (vonnis) Hakim harus

senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Keyakinan Hakim terhadap

kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di persidangan adalah hasil

pergulatan bhatin Hakim yang bersumber dari lubuk hati Hakim yang paling

dalam yang dapat dipertanggungjawabkan secara moril kepada Tuhan Yang Maha

Esa sebagai manifestasi implementasi nilai-nilai Pancasila, yakni nilai Ketuhanan

dan didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan dengan

argumentasi logis yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara

maupun masyarakat luas sebagai implementasi penerapan nilai-nilai Pancasila,

yakni nilai kemanusiaan dan keadilan.

Dapat dipahami bahwa keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara

pidana merupakan keyakinan yang diperoleh oleh Hakim melalui alat-alat bukti

yang sah yang diajukan dalam proses pembuktian berdasarkan argumentasi yang

logis sebagai landasan yuridis terhadap kekuatan alat-alat bukti tersebut.

Dengan demikian dikaji dari aspek filosofis, bahwa secara ontologis

“keyakinan Hakim” dalam pembuktian perkara pidana merupakan keyakinan yang

timbul dari intuisi/perasaan Hakim yang paling dalam terhadap fakta-fakta yuridis

yang ditemukan di dalam persidangan melalui proses pembuktian, yakni dengan

mempertimbangkan kekuatan alat-alat bukti yang sah yang diajukan ke dalam

persidangan.

Page 36: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

31

5.2. Keyakinan Hakim yang Ideal dalam Memutus Perkara Pidana

Keyakinan Hakim yang menjadi harapan para pihak yang berperkara,

pencari dan pecinta keadilan serta masyarakat luas sebagaimana diamanahkan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yakni keyakinan Hakim yang

didasarkan pada nurani Hakim itu sendiri.

Keyakinan Hakim berdasarkan nurani Hakim itu sendiri merupakan kajian

dalam ranah pilosofis yang sangat dilematis. Keyakinan Hakim yang diharapkan,

yaitu keyakinan Hakim yang bernilai objektif, dapat dipertanggungjawabkan

secara moral, baik kepada Tuhan, pihak yang berperkara maupun masyarakat pada

umumnya. Hal ini merupakan suatu tugas yang tidak gampang bagi Hakim. Ada

banyak aspek yang dapat menyebabkan dapat diaplikasikan atau tidak suatu

“keyakinan Hakim” yang bersumber dari nurani Hakim itu sendiri.

Pertama, untuk terwujudnya keyakinan Hakim yang menjadi dambaan

pecinta keadilan, hal ini tidak dapat dipisahkan dari unsur “moral” Hakim itu

sendiri. Moral yang tinggi, kepribadian luhur seorang Hakim sangat dibutuhkan

dalam arena ini. Paradigma, kerangka berpikir Hakim hendaknya menjunjung

tinggi, nilai-nilai Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa

Indonesia. Hal ini sangat penting dan dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan

Hakim dalam menghadapi berbagai tantangan, cobaan yang berupaya

mempengaruhi Hakim terkait tugas serta kewenangannya mengadili perkara

pidana.

Sikap, tindakan Hakim sebagai cermin kepribadian Hakim yang luhur

hendakya senantiasa mampu diterapkan oleh Hakim dalam menangani perkara

yang dipercayakan kepadanya. Hakim diharapkan memiliki moral yang tinggi.

Page 37: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

32

Unsur moral ini harus didukung dengan kemampuan Hakim di bidang akademis,

yakni menguasai ilmu hukum serta memahami ilmu-ilmu lainnya yang relevan

yang terkait dengan perkara yang ditanganinya. Hakim harus mampu

menyelenggarakan peradilan sesuai ketentuan yuridis formal yang diformulasikan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disamping pula harus mampu

menyerap nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta

mempunyai pemikiran yang progresif menyikapi adanya perkembangan berupa

pembaharuan-pembaharuan dalam hukum acara pidana. Hakim dituntut untuk

menjunjung tinggi, menerapkan asas-asas yang diakui, dianut dalam hukum acara

pidana secara konsekuen agar dapat diwujudkannya nilai-nilai yang terakomodir

dalam asas tersebut, yakni berupa nilai-nilai kebenaran dan keadilan……lanjutkan

dengan profesionalisme Hakim…Kemudian lanjutkan dengan pengalaman

Hakim.

Hal prinsip lainnya bahwa keyakinan Hakim atas kekuatan alat-alat bukti

yang diajukan para pihak di persidangan harus didasarkan pada alasan yang logis

dan objektif, bukan atas dasar unsur subjektifitas Hakim.

Agar seorang Hakim dapat memberikan penilaian secara logis terhadap

kekuatan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, Hakim dituntut untuk

memiliki profesionalisme yang tinggi, memiliki penguasaan, pemahaman yang

maksimal terhadap ilmu hukum dan ilmu-ilmu terkait lainnya yang relevan yang

sangat dibutuhkan dalam menangani perkara pidana yang dipercayakan

kepadanya.

Page 38: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

33

Hakim sebagai salah satu sub unsur struktur sistem peradilan pidana

diamanahkan untuk melaksanakan berbagai tugas dalam peradilan pidana. Salah

satu tugas Hakim, yakni memeriksa dan memutus perkara pidana.

Lahirnya suatu putusan Hakim atau putusan pengadilan (vonnis) berdasar

pada salah satu tahapan beracara pidana, yakni tahap pembuktian. Tahapan ini

dikatakan sebagai puncaknya beracara oleh karena hasil dari proses pembuktian

menjadi dasar penentu nasib terdakwa. Melalui pembuktian di persidangan

dengan menerapkan sistem pembuktian yang dianut merupakan landasan bagi

Hakim untuk menentukan kualifikasi atau jenis putusan atas perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa.

Pengertian putusan Hakim atau putusan pengadilan diformulasikan dalam

Pasal 1, angka 11 (Bab I, Tentang Ketentuan Umum) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, dengan redaksional, putusan pengadilan, yaitu, “Pernyataan

hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang telah diuraikan, dilihat

dari isi suatu putusan, nampak bahwa esensi putusan pengadilan dapat berupa

putusan pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas

dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Putusan bebas diformulasikan dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, dengan rumusan, “Jika pengadilan berpendapat

bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang

Page 39: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

34

didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa

diputus bebas.”

Mencermati esensi pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, memberikan pemahaman bahwa Hakim menjatuhkan putusan bebas

kepada terdakwa sebab kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak dapat dibuktikan oleh Hakim. Tidak terbuktinya kesalahan

terdakwa dalam konteks ini oleh karena Hakim tidak yakin atas kekuatan alat-alat

bukti yang diajukan ke persidangan sehingga Hakim menjatuhkan putusan dengan

kualifikasi putusan bebas.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dirumuskan dalam Pasal 191

ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan redaksional,”Jika

pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa

diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Hal prinsip yang perlu digaris bawahi mengenai “putusan lepas dari segala

tuntutan hukum”, bahwa Hakim menjatuhkan jenis putusan lepas ini apabila

kesalahan atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti

akan tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan perbuatan pidana atau dapat

dikatakan bahwa kesalahan yang terbukti tersebut adalah perbuatan yang

merupakan pelanggaran dalam ranah ilmu hukum lain, selain hukum pidana.

Terakhir, berupa putusan pemidanaan (veroordeling), diatur dalam Pasal

193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan formulasi,”

Page 40: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

35

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana

yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Mengenai putusan pemidanaan terlahir oleh karena terpenuhinya syarat

yuridis formal yang diamanahkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, yakni kesalahan atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan. Keyakinan Hakim dalam konteks ini

terbangun dari keyakinan Hakim terhadap kekuatan alat-alat bukti yang diajukan

ke persidangan.

Mencermati esensi masing-masing kualifikasi putusan dalam peradilan

pidana menunjukkan betapa berat tugas Hakim sebagai salah satu aparat penegak

hukum dalam sistem peradilan pidana. Tugas ini akan menjadi tugas mulia apabila

Hakim benar-benar mampu menegakkan hukum dan kebenaran secara ideal. Hal

ini dapat diaplikasikan melalui salah satu tugasnya memeriksa dan memutus

perkara pidana yang secara yuridis dituntut agar senantiasa didasarkan pada

ketentuan yuridis formal beracara sebagaimana diformulasikan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana tanpa mengabaikan nilai-nilai luhur

kepribadian bangsa Indonesia, yakni nilai-nilai Pancasila.

Berbicara mengenai putusan pengadilan terkait isu yuridis aplikasi

“keyakinan Hakim” yang ideal dalam memutus perkara pidana, dalam konteks ini

diperlukan adanya keterpaduan antara profesionalisme dengan moralitas serta

kemandirian Hakim itu sendiri.

Profesionalisme Hakim mencakup pemahaman, penguasaan Hakim

terhadap ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya yang relevan yang sangat

Page 41: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

36

dibutuhkan oleh Hakim dalam penanganan kasus yang dipercayakan kepadanya.

Profesionalisme Hakim juga terbangun dari aspek pengalaman kerja Hakim.

Semakin lama Hakim menekuni profesinya hendaknya semakin banyak

pengalaman yang dimilikinya sehingga dapat dipergunakan sebagai pedoman

penyelesaian kasus-kasus yang serupa.

Hakim yang profesional mengandung arti Hakim yang menguasai ilmu

secara multidisipliner dan mempunyai banyak pengalaman. Profesionalisme

Hakim yang menjadi harapan semua insan tentunya harus ditunjang oleh moralitas

Hakim yang luhur sehingga Hakim benar-benar mampu menunjukkan

kemandiriannya dalam memeriksa dan memutus perkara pidana, tegar, tidak

mudah terpengaruh pihak lain. Hakim mampu memaknai fungsi atau tugas serta

kewenangannya memutus perkara berdasarkan asas-asas hukum acara pidana

yang dianut, diantaranya asas sederhana, bebas, jujur dan tidak memihak sehingga

keyakinan yang timbul benar-benar bersumber dari nurani Hakim yang terbangun

dari keterpaduan antara aspek keilmuan, moral, kemandirian berupa kebebasan

Hakim (bebas terbatas).

Terkait penentuan kualifikasi putusan atas suatu perkara pidana, Hakim

hendaknya mendasarkan putusannya pada beberapa aspek yang nantinya

dipergunakan sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan

sehingga putusan tersebut dari sisi filosofis dapat dipertanggungjawabkan secara

moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada pribadi Hakim itu sendiri serta

secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan kepada para pihak maupun

masyarakat luas.

Page 42: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

37

“Keyakinan Hakim” dalam konteks penentuan kualifikasi putusan,

idealnya harus dilandasi oleh argumentasi yuridis yang dapat diterima akal sehat

sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis maupun yuridis.

Terkait fungsi atau tugas serta kewenangan Hakim dalam memutus

perkara, menurut Mackenzie sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, ada

beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh Hakim sebagai

dasar pertimbangan dalam penjatuhan suatu putusan.37

Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, yakni: “Pendekatan seni yang

dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan yang lebih ditentukan

oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.”38

Mengenai Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, Ahmad Rifai menegaskan:

“Dalam praktik peradilan, kadangkala teori ini dipergunakan hakim dimana

pertimbangan akan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dalam

perkara pidana atau pertimbangan yang digunakan hakim dalam

menjatuhkan putusan dalam perkara perdata, disamping dengan minimum

2 (dua) alat bukti, harus ditambah dengan keyakinan hakim.”39

Berdasarkan Teori Pendekatan Seni dan Intuisi bahwa intuisi atau bisikan

hati (nurani) Hakim dipergunakan sebagai dasar pertimbangan Hakim dalam

penjatuhan suatu putusan. Dalam upaya memutus suatu perkara, penggunaan

intuisi ini benar-benar diserahkan kepada diri pribadi Hakim. Di sisi lain dengan

diberikannya kewenangan penggunaan intuisi kepada Hakim maka tidak tertutup

kemungkinan adanya penggunaan intuisi yang tidak objektif. Apabila hal ini

terjadi maka akan menimbulkan dampak yuridis yakni munculnya putusan hakim

37

Bagir Manan, Hakim dan Pemidanaan, Jakarta: IKAHI, Majalah Hukum Varia Peradilan, Edisi

No. 249, Bulan Agustus 2006, h. 7-12. 38

Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 107. 39

Ibid.

Page 43: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

38

yang menimbulkan problema dalam masyarakat. Para pihak yang tersangkut suatu

perkara dan masyarakat luas tentunya sangat berharap agar Hakim menjalankan

intuisi (nuraninya) secara objektif.

Teori berikutnya yang dapat dipergunakan oleh Hakim sebagai

pertimbangan dalam penyusunan suatu putusan pengadilan, yakni pendekatan

keilmuan, dengan esensi:

“Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam

memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi

atau instink semata tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan

hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu

perkara yang harus diputuskannya.”40

Pemahaman serta penguasaan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya

yang relevan merupakan suatu keharusan bagi Hakim yang sangat bermanfaat

dalam proses pembuktian. Penguasaan aspek keilmuan ini hendaknya

diintegrasikan dengan aspek intuisi (nurani) Hakim sehingga terbangun

“keyakinan Hakim” yang objektif, dapat dipertanggungjawabkan secara logis

berdasarkan argumentasi yuridis yang kuat.

Pengintegrasian antara “keyakinan Hakim” dengan pendekatan keilmuan

dalam konteks ini seorang Hakim dituntut pula untuk mempertimbangkan,

mengakomodir nilai-nilai dan norma-norma hukum yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat yang merupakan implementasi kepribadian luhur bangsa

Indonesia yang dituangkan dalam nilai-nilai Pancasila.

Unsur “pengalaman kerja” Hakim merupakan kontribusi yang sangat

berarti bagi Hakim dalam menyusun dasar pertimbangan serta putusan yang

40

Ibid.

Page 44: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

39

menjadi cita masyarakat. Hakim yang telah menekuni profesinya dalam kurun

waktu yang cukup lama tentu memiliki banyak pengalaman dalam menyelesaikan

suatu kasus. Dengan menangani berbagai macam kasus tentunya seorang Hakim

mendapat pengalaman yang sangat berharga dalam melakukan proses pembuktian,

menilai alat-alat bukti yang diajukan para pihak ke persidangan, menilai fakta-

fakta yuridis yang ditemukan dalam persidangan dan segala sesuatu yang terkait

dengan proses pembuktian pada tahapan persidangan perkara pidana.

Berbicara mengenai putusan Hakim (vonis) apabila dikaitkan dengan

keberadaan putusan tersebut dalam masyarakat maka putusan hakim yang

merupakan cita masyarakat adalah putusan Hakim yang dapat berfungsi sebagai

hukum. Dalam hal ini tentunya merujuk pada putusan Hakim yang mampu

memberikan terobosan-terobosan dalam kehidupan masyarakat menuju pada arah

perbaikan dan penegakan hukum (law enforcement). Putusan Hakim seperti ini

tentunya harus integral, mengakomodir nilai-nilai normatif yuridis serta nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat.

Nuansa holistik tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta

profesionalisme Hakim sebagai unsur struktur yang mempunyai tugas dan

wewenang tidak saja sebagai pelaksana hukum akan tetapi juga dituntut untuk

berperan sebagai pembuat hukum (judge made law).

Hakim tidak hanya sebagai corong atau mulutnya undang-undang yang

hanya menerapkan formulasi pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-

undangan akan tetapi melalui kreatifitasnya Hakim dituntut untuk mampu

membuat hukum, yakni melalui putusannya atas suatu kasus yang ditanganinya.

Page 45: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

40

Dalam konteks ini putusan yang dihasilkan oleh Hakim tentunya harus membumi,

merefleksikan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Adanya harapan terobosan-terobosan melalui kreatifitas putusan Hakim

sebagai kinerja Hakim yang profesional direfleksikan oleh Satjipto Rahardjo,

sebagai berikut:

Para hakim merupakan orang-orang profesional yang bekerja dengan

diam-diam. Lingkungan dan suasana kerja hakim adalah suasana yang

tenang dan tenteram, sangat berbeda dengan komponen peradilan yang

lain, seperti Polisi. Pekerjaan memeriksa dan mengadili lebih banyak

mengerahkan kemampuan intelektual daripada otot. Tetapi ternyata

kelirulah kita jika berpendapat, bahwa pekerjaan profesional yang penuh

dengan ketenangan itu tidak dapat menghasilkan suatu kegoncangan besar,

suatu perubahan sosial, bahkan ... suatu “revolusi”.41

Dapat dipahami bahwa untuk terciptanya putusan Hakim yang kreatif

tentunya harus didukung oleh kemampuan atau profesionalisme Hakim dalam

penguasaan substansi hukum maupun kemampuan untuk mengakomodir dan

mengaplikasikan unsur-unsur non yuridis yang terkait dengan kasus tersebut.

Kemampuan Hakim ini sangat dimungkinkan untuk diaplikasikan dalam putusan

Hakim (pidana) Indonesia, yakni dengan dimilikinya suatu posisi yang

independen (kebebasan) dan impartial (tidak memihak) dari Hakim pidana

tersebut dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

Putusan Hakim yang diharapkan berfungsi sebagai hukum yang dapat

melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat tentunya adalah

putusan yang berkualitas yang dapat dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan.

Suatu revolusi peradilan yang diharapkan dapat tercipta melalui putusan

Hakim, tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia itu sendiri, dalam arti

41

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.151.

Page 46: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

41

bahwa dalam proses penyusunan putusan tersebut Hakim dituntut untuk

mempertimbangkan hal-hal lainnya yang ada di luar hukum, yakni segala sesuatu

yang terkait dengan masyarakat sebagai komunitas manusia yang saling

mengadakan interaksi. Hal ini erat kaitannya dengan pendapat Satjipto Rahardjo

yang dituangkan dalam Teori Hukum Progresif, bahwa ,”Pemikiran hukum perlu

kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.”42

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan:

Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi

hukum. Hukum melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu,

hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan

manusia. Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi

pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut

‘idiologi’: hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.”43

Jadi esensi konseptual dari Teori Hukum Progresif, yakni: bahwa hukum

itu ada untuk kepentingan manusia, tidak semata terpaku pada peraturan yang

tersusun secara sistematis, logis akan tetapi memperhitungkan keberadaan dunia

di luarnya, seperti: masyarakat, keadilan, dan lain-lain. Di sinilah akan diuji

kualitas dari hukum (putusan) tersebut apakah dapat berfungsi untuk rakyat atau

masyarakat luas atau sebaliknya.

Kondisi ini sangat tepat sebagaimana yang diilustrasikan oleh Gerald

Tukel tentang eksistensi dari hukum tersebut dalam kaitannnya dengan kreatifitas

manusia untuk memaknai hukum tersebut, dalam pernyataannya yang dapat

disimak, antara lain:

Bahwa hukum adalah suatu roman yang dapat menembus dari kehidupan

sosial yang sangat dalam mempengaruhi kita. Hukum membentuk

42

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Makalah disampaikan pada

acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 4 September 2004. 43

Ibid.

Page 47: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

42

kehidupan kita mulai sejak kita dilahirkan hingga kita meninggal dan

segala sesuatu yang terjadi diantaranya. Hukum seharusnya dipelajari,

dikritik dan diubah bagi orang-orang untuk mereka realisasi dengan

kapasitas penuh selaku warga negara, sebagai warga masyarakat yang

produktif dan sebagai kreator bagi identitas mereka dan pranata sosial

melalui yang mereka buat bagi kehidupan mereka.44

Pemaknaan terhadap fungsi hukum tersebut, dalam hal ini fungsi dari

suatu putusan yang diakui sebagai hukum adalah tergantung kepada manusianya

yang berperan sebagai aktor untuk melakukan kreatifitas-kreatifitas sehingga

hukum atau putusan tersebut benar-benar melayani kepentingan manusia dan hal

ini dapat tercapai apabila manusia yang menjadi penentu hukum (putusan ) itu

sendiri benar-benar bertindak kreatif, mempertimbangkan unsur yuridis maupun

non yuridis yang terkait dengan kasus tersebut.

Senada dengan pendapat Satjipto Rahardjo dan Gerald, Bernard L. Tanya,

Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage menyampaikan pandangannya,

sebagai berikut:

Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang

utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut

mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.

Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang

dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan

kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir

penyelenggaraan hukum.”45

Adanya idiologi: hukum yang pro keadilan dan yang pro-rakyat, dalam hal

ini aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam praktek peradilan pidana kita

tidak hanya sekedar sebagai terompet atau corong undang-undang belaka (the

judge as la bouche de la looi, as the mouthpiece of the law) yang tertutup sama

44

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op. Cit, hlm. 173. 45

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum Strategi Tertib

Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 190.

Page 48: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

43

sekali untuk segala sesuatu yang ada di luar undang-undang tersebut. Akan tetapi

melalui putusan-putusan hakim diharapkan adanya terobosan-terobosan terhadap

kekakuan dan ketertinggalan undang-undang tersebut sehingga melahirkan

putusan-putusan hakim yang responsif dan progresif. Harapan para pencari dan

pecinta keadilan melalui proses peradilan dalam hal ini adalah terwujudnya

keadilan substansial serta keadilan non substansial dengan tetap berpijak pada

norma-norma yang ada serta tetap mempertimbangkan unsur-unsur di luar hukum

tersebut.

Terkait adanya perubahan pandangan mengenai perubahan peran hakim

dalam praktek peradilan, Achmad Ali menegaskan, “Sejak kita meninggalkan

pandangan logis yang hanya memandang hakim sekadar “terompet undang-

undang”, maka sejak itu kita tidak lagi memandang hakim sebagai pelaksana

hukum, tetapi hakim sudah membuat hukum (judge made law) yaitu putusannya.

Dengan kata lain, putusan hakim adalah hukum.”46

Untuk tercapainya putusan-putusan hakim yang responsif dan progresif

tersebut, lebih lanjut Achmad Ali menyatakan, “Bahwa yang merupakan

“desiderata” (kebutuhan utama) untuk melakukan reformasi di dunia peradilan,

adalah mengubah paradigma legalistik menjadi paradigma yang lebih memihak

pada “social justice.”47

Apabila dikaitkan dengan lahirnya sebuah putusan pidana maka hal ini erat

relevansinya dengan hal-hal yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam

46

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op. Cit, h. 151. 47

Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, h. 479.

Page 49: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

44

memutus suatu perkara, yakni bahwa hakim hendaknya tidak hanya

mempertimbangkan aspek legal justice saja akan tetapi hendaknya

mempertimbangkan pula aspek-aspek selain aspek legal justice, yakni: aspek

moral justice dan social justice sebagaimana dikemukakan oleh Lilik Mulyadi

dalam pernyataanya, sebagai berikut:

Hendaknya putusan hakim juga menguraikan pertimbangan selain faktor

yuridis seperti faktor-faktor non yuridis. Faktor-faktor non yuridis

tersebut, seperti faktor psikologis terdakwa, apakah menderita

kleptomania, sosiopatik, gejala skizofrenia atau depresi mental; faktor

kejiwaan pada umumnya; kemudian juga dipertimbangkan faktor sosial

ekonomi terdakwa; faktor edukatif; faktor lingkungan terdakwa bertempat

tinggal dan dibesarkan; faktor religius; dan sebagainya.48

Dengan demikian bahwa, “Putusan hakim tidak dapat dilihat dari sudut

yuridis-formalnya saja, tetapi harus dilihat sebagai sesuatu yang otonom dan

berdasarkan pada berbagai faktor non hukum.”49

Putusan hakim yang didasarkan pada minimal sekurang-kurangnya dua

alat bukti ditambah keyakinan Hakim yang muncul dari nurani Hakim diharapkan

dapat berfungsi sebagai sarana kesejahteraan dan membahagiakan masyarakat.

Putusan hakim sebagai hukum seyogyanya merupakan putusan yang merupakan

refleksi dari keadilan (moral justice) baik berupa keadilan substansial maupun

keadilan non substansial yang bersandar pada peraturan perundang-undangan

yang berlaku (legal justice) maupun nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat

(social justice) sehingga putusan hakim tersebut dapat berfungsi sebagai

48

Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 147. 49

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op. Cit, h.153.

Page 50: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

45

pemelihara ketertiban masyarakat, mendorong perbaikan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Untuk terciptanya putusan Hakim yang berfungsi sebagai hukum yang

mensejahterakan dan membahagiakan masyarakat tersebut memang dituntut

adanya keserasian hubungan antara empat faktor, sebagaimana diuraikan oleh

Soerjono Soekanto, sebagai berikut:

Bahwa agar hukum dapat berfungsi dengan baik, diperlukan keserasian

dalam hubungan antara 4 (empat faktor ini, yakni: (a) hukum atau

peraturan itu sendiri, (b) mentalitas petugas yang menegakkan hukum, (3)

fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum, dan (4)

kesadaran hukum. Mengenai faktor hukumnya itu sendiri beberapa

kemungkinan bisa terjadi, seperti ketidak cocokan dalam peraturan

perundang-undangan mengenai bidang tertentu (baik secara horizontal

maupun vertikal); ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan

dengan hukum tidak tertulis atau kebiasaan; atau ketidakserasian antara

hukum tercatat dengan hukum kebiasaan. Berkaitan dengan mentalitas

petugas, seperti hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan,

dan seterusnya ini, dapat dinyatakan bahwa meskipun faktor peraturan

hukumnya sudah baik, jika mental penegak hukum kurang baik, maka

akan terjadi gangguan pada sistem penegakan hukum. Jika faktor

peraturan hukum dan mentalitas penegak hukum sudah baik, tetapi

fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), maka penegakan hukum

tidak akan berjalan dengan semestinya. Faktor yang terakhir adalah faktor

kesadaran hukum. Kesadaran hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah

kesadaran hukum ataupun kepatuhan hukum masyarakat.50

Terkait dengan unsur struktur dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

yakni Hakim sebagai aparat penegak hukum yang mengemban kewajiban dan

wewenang untuk menciptakan sebuah putusan yang sesuai dengan dambaan

masyarakat luas, titik penentunya adalah bahwa dalam hal ini sangat dibutuhkan

adanya mentalitas Hakim yang baik sehingga terjadi keharmonian dengan unsur

substansi (peraturan hukumnya) yang memang sudah tersusun dengan baik. Jadi

50

Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, 2005, Membangun Teori Hukum Indonesia, Mitra

Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h. 31.

Page 51: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

46

betapapun baiknya peraturan hukum yang ada kalau tidak didukung oleh

mentalitas yang baik dari unsur aparatur penegak hukumnya (Hakim) maka

peraturan hukum yang sebaik apapun tidak akan dapat menciptakan penegakan

hukum yang maksimal sesuai dengan dambaan masyarakat luas.

Satjipto Rahardjo juga menekankan pada unsur struktur (aparatur

pelaksana) untuk terwujudnya penegakan hukum yang maksimal, yang dapat

dicermati dari pernyataannya,sebagai berikut:

Bahwa UUD 1945 menolak digunakannya begriffsjurisprudenz, yaitu yang

sangat mengandalkan teks dan kata-kata undang-undang. Aliran atau

pikiran yang semacam ini dapat juga dimasukkan ke dalam-legistis

positivistis yang berpendirian bahwa undang-undang adalah segalanya.

Bahwa UUD 1945 menekankan efektivikasi hukum pada manusia-

manusia pelaku atau para aktor dalam hukum. Undang-undang

ditempatkan pada baris kedua, sedangkan yang lebih penting adalah

semangat dan kemauan para pelaku dalam hukum. 51

Dedikasi unsur struktur (aparat pelaksana/ manusia pelaku hukum)

menjadi titik penentu keberhasilan upaya penegakan hukum dalam hal ini upaya

penciptaan putusan yang berkualitas dan bermanfaat bagi semua lapisan

masyarakat pencari keadilan.

Dalam penjatuhan putusannya hendaknya hakim tidak hanya

melaksanakan (sebagai pelaksana) aturan-aturan yang tersusun dalam teks-teks

undang-undang. Sebagai contoh dalam pengambilan putusan pemidanaan

(veroordeling) misalnya hanya didasarkan pada fakta dan keadaan yang

ditemukan di persidangan saja yang dijadikan dasar penentuan kesalahan

terdakwa tanpa mempertimbangkan unsur-unsur non yuridis lainnya.

51

Ibid.

Page 52: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

47

Pada kondisi tersebut yang dilakukan oleh Hakim hanyalah penerapan

terhadap ketentuan-ketentuan yuridis normatif yang diformulasikan dalam

undang-undang saja atau hanya menerapkan ketentuan-ketentuan teks undang-

undang saja. Hal ini merupakan implementasi dari peranan Hakim yang hanya

berfungsi sebagai mulut atau corong undang-undang saja yang dikenal dengan

analityc process, sebagaimana yang diungkapkan oleh Edgar Bodenheimer,

sebagai berikut:

The process or reasoning underlying this theory of the judicial function is

analytical because it involves a deductive subsumption of litigated facts

under major premise pre existing the decision. This deductive subsumption

is not necessarily automatic or self evident. The words appearing in the

major premise or rulr may be ambiguous, so tha the jidge will have to

clarify or construe them before appllying the rule to the facts of the case.

This clarification may take it necessary for him to delve in to the legislative

intent or policy behind the rule in order to determine it proper meaning and

scope.52

Apabila diterjemahkan secara bebas dari kalimat Edgar Bodenheimer

tersebut maka peranan Hakim meliputi:

1. Hakim nasional tidak lebih dari mulut yang membunyikan undang-

undang;

2. Hakim bersifat pasif;

3. Hakim tidak bisa merubah kekakuan undang-undang;

4. Hakim tidak mampu bertindak sebagai moderator bagi kekuasaan ataupun

kekerasan.

5. Kehendak Hakim harus sebangun dengan kehendak hukum.

52

Edgar Bodenheimer, 1978, Seventy Five Years of Evolution In Legal Philosophy , Journal Of

Jurisprudence, American, Volume 23.

Page 53: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

48

Pada praktek peradilan pidana dalam pengambilan putusan terhadap kasus

pidana yang ditanganinya, Hakim tidak diharapkan untuk melakukan perannya

secara analityc process akan tetapi dituntut keterampilan Hakim untuk

mengaplikasikan kemampuannya di bidang hukum pidana baik secara matriil

maupun formil yang tentunya harus ditunjang dengan dedikasi, mentalitas Hakim

yang benar-benar menerapkan idealismenya sebagai aparat penegak hukum yang

memiliki kedudukan independen (bebas) dan impartial (tidak memihak).

Independensi (kebebasan) dan impartialitas (ketidakberpihakan) yang

diberikan kepada Hakim, secara filsafati merupakan suatu asas yang sangat

menentukan dapat tidaknya Hakim mengadili perkara pidana untuk memunculkan

keyakinan Hakim itu sendiri yang memang keyakinan Hakim tersebut benar-

benar bersumber dari nurani Hakim. Apabila direnungkan secara mendalam

dibalik kedua asas ini terakomodasi nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang harus

diwujudkan oleh Hakim melalui penanganan perkara pidana dalam peradilan

pidana. Tugas, fungsi Hakim apabila dihayati, dijalankan secara ideal oleh Hakim,

merupakan tugas, fungsi yang amat berat oleh karena dalam praktek peradilan

pidana banyak tantangan yang muncul yang berseberangan bahkan berupaya

mengikis, merongrong eksistensi kebebasan dan ketidakberpihakan Hakim. Hal

ini tentu merupakan sesuatu yang dilematis. Betapapun adanya berbagai

tantangan, gangguan dalam pelaksanaan tugas Hakim dalam mengadili perkara

pidana hal itu akan teratasi apabila Hakim dapat menjadi dirinya sendiri, tetap

tegar, teguh, tidak terpengaruh oleh intervensi, campur tangan pihak lain.

Kuncinya, yakni kembali pada moralitas Hakim itu sendiri, yakni sangat

Page 54: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

49

ditentukan oleh faktor moral Hakim yang agung, luhur, memegang teguh nilai-

nilai Pancasila, terutama nilai Ketuhanan. Dalam konteks ini bahwa segala sesuatu

yang dilakukan oleh Hakim dalam mengadili perkara pidana harus adanya suatu

pemikiran bahwa apapun yang dilakukan Hakim dalam penanganan perkara

pidana nantinya akan dan harus mampu dipertanggungjawabkan secara moral

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adanya rambu-rambu yang membatasi moralitas

Hakim tersebut, bahwa apa yang diputus Hakim di sidang pengadilan perkara

pidana nantinya akan ada yang menilai lagi, yakni Tuhan Yang Maha Adil.

Penilaian Tuhan terhadap perbuatan, sikap Hakim dalam penanganan perkara

pidana yang berpuncak pada vonis (putusan) Hakim tersebut adalah penilaian

yang paling adil, paling fair, sehingga sangat tepat apabila dalam vonis (putusan)

Hakim ada irah-irah putusan dengan formulasi “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila semua Hakim memegang kepercayaan

tersebut, bahwa Hakim adalah perpanjangan Tuhan di dunia, segala yang diputus

oleh Hakim nantinya akan dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan

niscaya ketidak adilan, ketidakpuasan para pihak maupun masyarakat umum

terhadap putusan atas suatu perkara pidana tentu dapat diminimalisir.

Bahwa keyakinan Hakim yang ideal dalam penanganan perkara pidana

dalam peradilan pidana Indonesia hendaknya merupakan keyakinan Hakim yang

muncul dari lubuk hati Hakim yang paling dalam, yang merupakan

pengintegrasian dari unsur kepercayaan terhadap pertanggungjawaban putusan

secara moral kepada Tuhan, unsure kecakapan akademis, pengalaman dan

moralitas Hakim. Bagaimana idealnya keyakinan Hakim yang bersumber dari

Page 55: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

50

nurani Hakim yang paling dalam tersebut. Hal ini seharusnya merupakan

integrasi dari profesionalisme Hakim yang didasarkan pada penguasaan Hakim

terhadap berbagai jenis ilmu baik ilmu hukum maupun ilmu-ilmu pembantu yang

terkait dengan kasus yang ditangani. Hal tersebut juga hendaknya merupakan

keyakinan Hakim yang bersinergi dengan pengalaman kerja Hakim serta

moralitas Hakim itu sendiri sehingga putusan yang dihasilkan dapat berfungsi

sebagai hukum yang tentunya putusan tersebut dapat memberikan kepuasan pada

para pihak maupun masyarakat luas. Putusan Hakim yang didasarkan pada

keyakinan Hakim yang muncul dari nurani Hakim tersebut idealnya bahwa

putusan tersebut dapat berfungsi sebagai hukum oleh karena dapat menciptakan

keteraturan, kedamaian dalam masyarakat. Kondisi ini juga tidak terlepas dari

sikap Hakim yang mampu bersikap bebas, tidak memihak dalam menilai fakta-

fakta yuridis yang ditemukan dalam proses pembuktian di persidangan, mampu

menyatukan unsur-unsur yuridis dan non yuridis dalam pertimbangan putusannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa idealnya Hakim harus memiliki

kemampuan secara akademis, menguasai ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lain

yang merupakan ilmu pembantu yang relevan dengan kasus yang ditanganinya.

Hakim harus jeli, cermat, hati-hati, pintar, cakap dalam menilai fakta-fakta yuridis

yang ditemukan di persidangan selama proses pembuktian. Hakim harus memiliki

pengalaman kerja yang memadai yang dapat dipergunakan sebagai pedoman

dalam menyelesaikan kasus-kasus sejenis berikutnya. Hakim harus memiliki

keluhuran moral, taat terhadap ajaran agama. Hakim harus teguh, tegar, tidak

terpengaruh oleh bujukan, rayuan, iming-iming pihak lain. Hakim harus

Page 56: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

51

mendasarkan perbuatan, sikap, prilaku dalam menangani perkara pidana

berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Page 57: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

52

BAB VI

PENUTUP

6. 1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada pemaparan sebelumnya dan direlevansikan

dengan permasalahan yang tersaji maka dapat disimpulkan hal-hal, sebagai

berikut:

1. Makna keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara pidana, bahwa secara

filosofis, dikaji dari aspek ontologis, keyakinan Hakim dalam pembuktian

perkara pidana merupakan unsur yang sangat prinsip, yakni keyakinan yang

timbul dari perasaan Hakim yang paling dalam (nurani) Hakim. Keyakinan

Hakim yang bersumber dari nurani Hakim ini, mengandung makna bahwa

Hakim yakin terhadap fakta-fakta yuridis yang ditemukan di persidangan

melalui proses pembuktian, yakni dengan mempertimbangkan kekuatan alat-

alat bukti yang sah yang diajukan ke dalam persidangan. Dengan kata lain

bahwa keyakinan Hakim yang bersumber dari intuisi/nurani Hakim atas

kekuatan alat-alat bukti tersebut bukan didasarkan pada perasaan Hakim

semata akan tetapi keyakinan Hakim yang bersumber dari nurani Hakim

tersebut didasarkan pada argumentasi logis, objektif atas fakta-fakta yuridis

yang ditemukan selama pembuktian di persidangan, bukan atas dasar

tekanan, intervensi, pengaruh dari pihak lain serta bukan atas dasar unsur

subjektifitas Hakim.

2. “Keyakinan Hakim” yang ideal dalam memutus perkara pidana, yakni:

keyakinan Hakim tersebut harus didasarkan pada profesionalisme Hakim,

52

Page 58: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

53

yaitu pemahaman serta penguasaan Hakim atas ilmu hukum dan ilmu-ilmu

lainnya yang relevan dengan perkara pidana yang ditanganinya yang

dipadukan dengan pengalaman Hakim dalam praktik peradilan pidana serta

disinergikan pula dengan penerapan asas bebas dan tidak memihak Hakim

dalam persidangan sehingga Hakim mampu bersikap netral, bebas, tidak

pilih kasih, yang nantinya putusan (vonis) Hakim dapat berfungsi sebagai

hukum yang memberikan rasa puas bagi para pihak maupun masyarakat luas

dan mampu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan

masyarakat.

6.2. Saran

Terkait dengan keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara pidana serta

keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus perkara pidana, terdapat beberapa

rekomendasi, diantaranya:

1. Mengenai makna keyakinan Hakim dalam pembuktian perkara pidana

maka untuk dapat tetap terwujudnya keyakinan Hakim yang bersumber

dari nurani Hakim atas dasar argumentasi logis dan objektif, bukan atas

dasar perasaan subjektif Hakim, dalam konteks ini Hakim hendaknya tetap

mampu menjaga kewibawaan proses peradilan dengan menunjukkan

integritas, kredibilitasnya sebagai aplikasi keluhuran moralitas Hakim

serta Hakim hendaknya mampu tetap tegar, tidak terpengaruh bujukan,

rayuan, tekanan pihak-pihak lain dalam mewujudkan keyakinannya atas

pembuktian perkara pidana yang ditanganinya.

Page 59: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

54

2. Agar dapat diterapkannya keyakinan Hakim yang ideal dalam memutus

perkara pidana hendaknya Hakim senantiasa meningkatkan

profesionalitasnya dengan terus mengisi diri dalam upaya menambah

wawasan, penguasaan serta kemampuannya dalam ranah ilmu hukum

maupun ilmu-ilmu lainnya yang relevan.

Page 60: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

55

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:

Abdullah, 2008, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pasca

Sarjana Universitas Sunan Giri, Surabaya.

Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap

Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim, dalam Perspektif Hukum

Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y, Hage, 2013, Teori Hukum,

Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,

Yogyakarta.

Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi

Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam

Perkara-Perkara Pidana, Alfa Beta, Bandung.

Djoko Prakoso, 1987, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologis Dalam

Konteks KUHAP, Bina Aksara, Djakarta.

Eddy, O.S. Hiariej, 2012, Teori&Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta.

Elisabeth Nurhaini Butar Butar, 2016, Hukum Pembuktian, Analisis Terhadap

Kemandirian Hukum Sebagai Penegak Hukum Dalam Proses Pembuktian,

Nusa Aulia, Bandung.

Hamzah Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Hari Sasangka, Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,

Mandar Maju, Bandung.

Hadin Muhjad, H.M. dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia

Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta.

Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu

Media Publishing, Malang.

Page 61: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

56

Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana

Indonesia Perspektif Teoritis Praktis, Teknik Membuat dan

Permasalahannya, 2010, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita,

Jakarta.

Monang Siahaan, 2017, Falsafah dan Filosofi Hukum Acara Pidana, PT.

Grafindo Anggota IKAPI, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1993, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,

Alumni, Bandung.

Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, 2005, Membangun Teori Hukum Indonesia

Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta.

Robert D. Pursley, Introduction to Criminal Justice , 1977, Mac Millan

Publishing, Co. Inc, New York.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Tim Penyusun Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013,

Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana , Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Tolib Effendi, 2014, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan

Pembahasannya di Indonesia, Setara Press, Malang.

___________, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan, Komponen dan

Proses Sistem Peradilan Pidana Di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia,

Jakarta.

Page 62: LAPORAN PENELITIAN MANDIRI ADIYARYANI 2019

57

Wirjono Prodjodikoro, 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur,

Bandung.

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2003, Sinar Grafika, Jakarta.

B. ARTIKEL:

Edgar Bodenheimer, 1978, Seventy Five Years of Evolution in Legal Philosophy,

American Journal of Jurisprudence, 1978, volume 23.

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan). Makalah

Disampaikan pada Acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum

Undip, Semarang, 4 September, 2004.

Bagir Manan, 2006, Hakim dan Pemidanaan, IKAHI, Jakarta, Majalah Hukum

Varia Peradilan, Edisi Nomor 249, Bulan Agustus, 2006.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.