Laporan Pendahuluan Sci
-
Upload
nurul-husna -
Category
Documents
-
view
73 -
download
5
Transcript of Laporan Pendahuluan Sci
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Spinal Cord Injury
a. Anatomi vertebra dan spinal cord
Tulang vertebrata yang di sertai dengan syaraf tulang belakang berfungsi
untuk menyokong kepala. Tulang vertebra terdiri dari 33 bagian,
diantaranya : 7 tulang servical di leher, 12 tulang torakal yang berada pada
bagian atas punggung belakang yang sesuai dengan pasangan pada tulang
rusuk, 5 tulang lumbal yang berada pada bagian belakang bawah, 5 tulang
sacral dimana 1 tulangnya di sebut sacrum, 4 tulang coccigis.
Penomoran dan penamaan pada tulang servikal mengacu pada penamaan
“C” dimana c adalah cervical. Penomoran di mulai pada C1,C2,C3,C4,C5…
C7. Pada tulang torakal, penamaan dan penomoran dimulai dengan T1… T12,
Penomoran pada lumbal dimulai dengan L1..l5. penomoran pada tulang
vertebra tersebut di mulai dari kepala.
Syaraf Tulang belakang merupakan perpanjangan dari otak yang
terakumulasi dan telindungi oleh tulang vertebral coloumn. Tulang belakang
juga terdiri dari cairan yang bertindak sebagai buffer untuk melindungi
jaringan syaraf yang halus. Syaraf tulang belakang juga terdiri dari serabut
syaraf yang berfungsi untuk mengirimkan informasi dari dan ke tungkai
hingga organ lain. Serabut syaraf cervical yang berda di leher berfungsi
mengatur pergerakan, perasaan pada lengan, leher, dan tubuh bagian atas.
Syaraf torakal berfungsi mensupplay tubuh dan perut, syaraf lumbal dan
sacrum berfungsi untuk mensupplay kaki, bladder, bowel dan organ seksual.
b. Sistem Syaraf Otonom
Sistem syaraf manusia terdiri menjadi dua bagian diantaranya sistem
syaraf otonom dan sistem syaraf somatic. Sistem syaraf somatic berfungsi
untuk lengan dan kaki, serta otot, persa pada kulit. Sistem syaraf otonom
bertanggung jawab terhadap aktifitas yang tidak disadari yang terjadi dalam
tubuh seperti sirkulasi darah, bernafas, bowel dan bllader serta fungsi seksual,
mengatur suhu tubuh. Masalah yang paling penting terjadi ketika terjadi
kerusakan sistem syaraf otonom yang disertai dengan cidera tulang belakang
autonomic disreflexya.
c. Spinal Cord injury
Spinal Cord Injury (SCI) atau cedera sumsum tulang belakang adalah
kerusakan atau trauma pada sumsum tulang belakang yang dapat mengenai
elemen tulang, jaingan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis
dan lumbalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) sehingga mengakibatkan
gangguan/defisit fungsi neurologis.
1. Etiologi
a) Kecelakaan lalu lintas/jalan raya
b) Injuri atau jatuh dari ketinggian.
c) Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena
menyelam pada air yang sangat dangkal
d) Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
e) Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih,
stress
f) lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.
g) Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan
saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla
spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun
noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada
vertebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan
penyakit vaskuler.
2. Tanda dan Gejala
a) Nyeri pada area spinal atau paraspinal
b) Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan dan kaki
c) Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan,
paralisis)
d) Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku,
parestesis, hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)
e) Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafragma
f) Shock dengan kecepatan jantung menurun
g) Priapismus
h) Kerusakan kardiovaskuler
i) Kerusakan pernapasan
j) Kesadaran menurun
k) Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi:
Flaccid paralisis di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas
luka, hilangnya reflek-reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya
tonus vasomotor (hipotensi), inkontinensia urine dan retensi feses
(apabila berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis
spastic)
3. Jenis/Klasifikasi (Model) Level Kerusakan dan dampak masing-
masing level kerusakan
a) Berdasarkan klasifikasi ASIA (American Spinal injury Association)
ASIA A : Complete (kehilangan fungsi motoris dan sensoris termasuk
pada segmen sacral S4-S5 )
ASIA B : Incomplete (kehilangan fungsi motoris, namun fungsi
sensoris tidak hanya dibawah level lesi dan termasuk segmen
sacral S4-S5)
ASIA C : Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara
tetapi tidak fungsional dengan kekuatan otot < 3)
ASIA D: Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara
dan fungsional dengan kekuatan otot > 3)
ASIA E : Normal (fungsi sensoris dan motoris normal)
b) Berdasarkan lokasi cedera, antara lain :
1) Cedera Cervikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot
platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal
mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara
fisik maupun fungsional). Kehilangan sensori pada tingkat C1-
C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien dengan quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan
perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator
mekanis dan semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya
membutuhkan pertolongan. Pasien dengan quadriplegia pada C4
mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat
dilepas sehingga penggunaannya secara intermitten saja.
Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan,
fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma
akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai
dengan depresi pernapasan. Quadriplegia pada C5 biasanya
mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti
mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai
koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernapasan dapat terjadi
karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla
spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep, trisep,
deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi
lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas
higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan
melepaskan baju.
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot
diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen
dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika
kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi
hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian
melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan
rumah yang ringan dan memasak.
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada
posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi
postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara
bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien
biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup
mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian,
mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.
2) Cedera Torakal
Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernapasan
dengan diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai
tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya
muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici,
interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori
sentuhan, nyeri, dan suhu.
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks
abdomen. Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual
berfungsi, dan pada tingkat T12, semua refleks abdominal ada.
Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan
lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri. Batas
atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah :
T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
T3 Aksilla
T5 Putting susu
T6 Prosesus xifoid
T7, T8 Margin kostal bawah
T10 Umbilikus
T12 Lipat paha
3) Cedera Lumbal
Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu :
L1 : Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha &
bagian belakang dari bokong.
L2 : Ekstremitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek
anterior paha
L3 : Ekstremitas bagian bawah dan daerah sadel.
L4 : Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.
L5 : Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstremitas
bawah dan area sadel.
4) Cedera Sakral
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa
perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat
paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel,
skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga
aspek posterior paha.
Berdasarkan lengkap dan tidak nya cedera adalah Ada dua jenis cedera
tulang belakang. cedera tulang belakang lengkap mengacu pada jenis cedera yang
mengakibatkan hilangnya fungsi yang lengkap di bawah tingkat cedera, sementara
tidak lengkap cedera tulang belakang adalah mereka yang menghasilkan sensasi
dan perasaan bawah titik cedera. Tingkat dan derajat fungsi dalam luka yang tidak
lengkap sangat individu, dan tergantung pada cara di mana sumsum tulang
belakang telah rusak.
1. Cedera Spinal Cord Lengkap
Cedera lengkap berarti bahwa tidak ada fungsi di bawah tingkat cedera,
tidak ada sensasi dan tidak ada gerakan sukarela. Kedua sisi tubuh sama-sama
terpengaruh. Cedera tulang belakang lengkap menyebabkan paraplegia lengkap
atau tetraplegia lengkap. Paraplegia Lengkap digambarkan sebagai kerugian
permanen fungsi motorik dan saraf pada tingkat T1 atau bawah, yang
mengakibatkan hilangnya sensasi dan gerakan di kaki, usus, kandung kemih, dan
wilayah seksual. Lengan dan tangan mempertahankan fungsi normal. Sebuah
cedera tulang belakang yang lengkap berarti bahwa tidak ada gerakan atau sensasi
di bawah tingkat cedera. Dalam cedera yang lengkap, kedua sisi tubuh sama-sama
terpengaruh. Cedera tulang belakang lengkap jatuh di bawah lima klasifikasi yang
berbeda:
o Kabel sindrom anterior: dicirikan oleh kerusakan pada bagian depan tulang
belakang, mengakibatkan gangguan suhu, sentuhan, dan sensasi nyeri di bawah
titik cedera. Beberapa gerakan nantinya dapat dipulihkan.
o Kabel pusat sindrom: ditandai oleh kerusakan di tengah dari sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan hilangnya fungsi dalam pelukan tetapi beberapa
gerakan kaki. Pemulihan Beberapa mungkin.
o Kabel posterior sindrom: ditandai oleh kerusakan bagian belakang sumsum tulang
belakang, sehingga kekuatan otot yang baik, rasa sakit, dan sensasi suhu, tetapi
koordinasi yang buruk.
o Brown-Sequard sindrom: dicirikan oleh kerusakan pada satu sisi tulang belakang,
mengakibatkan hilangnya gangguan pergerakan tapi sensasi diawetkan pada satu
sisi tubuh, dan diawetkan gerakan dan hilangnya sensasi di sisi lain tubuh.
o Cauda equina lesi: ditandai dengan cedera pada saraf yang terletak antara wilayah
lumbalis pertama dan kedua tulang belakang, mengakibatkan hilangnya sebagian
atau lengkap dari sensasi. Dalam beberapa kasus, saraf tumbuh kembali.
Paraplegia lengkap adalah suatu kondisi yang menyebabkan kerugian permanen
gerakan dan sensasi di tingkat T1 atau bawah. Pada tingkat T1 ada fungsi tangan
normal, dan sebagai tingkat bergerak ke bawah kolom tulang belakang
meningkatkan kontrol perut, fungsi pernapasan, dan keseimbangan duduk
mungkin terjadi.
Beberapa orang dengan paraplegia lengkap memiliki gerakan batang parsial, yang
memungkinkan mereka untuk berdiri atau berjalan jarak pendek dengan peralatan
bantu. Pada kebanyakan kasus, paraplegics lengkap memilih untuk mendapatkan
sekitar melalui self-propelled kursi roda.
2. Cedera Spinal Cord Tidak Lengkap
Dalam cedera tidak lengkap, pasien sering dapat memindahkan satu
anggota gerak lebih daripada yang lain, mungkin memiliki fungsi yang lebih pada
satu sisi dari yang lain, atau mungkin memiliki beberapa sensasi di bagian tubuh
yang tidak dapat dipindahkan.
Efek dari cedera tidak lengkap tergantung pada apakah bagian depan, belakang,
samping, atau pusat sumsum tulang belakang terpengaruh. Ada lima klasifikasi
cedera tulang belakang lengkap: kabel sindrom anterior, sindrom kabel pusat,
sindrom serabut posterior, Brown-Sequart sindrom, dan cauda equina lesi.
o Kabel Sindrom Anterior: Cedera terjadi pada bagian depan tulang belakang,
meninggalkan orang dengan hilangnya sebagian atau lengkap dari kemampuan
untuk nyeri akal, suhu, dan sentuhan di bawah tingkat cedera. Beberapa orang
dengan jenis cedera kemudian memulihkan beberapa gerakan.
o Sindrom Kabel Tengah: Cedera terjadi di pusat sumsum tulang belakang, dan
biasanya mengakibatkan hilangnya fungsi lengan. Beberapa kaki, usus, dan
kontrol kandung kemih dapat dipertahankan. Beberapa pemulihan dari cedera ini
dapat mulai di kaki, dan kemudian bergerak ke atas.
o Sindrom Kabel posterior: Cedera terjadi ke arah belakang sumsum tulang
belakang. Biasanya listrik otot, nyeri, dan sensasi suhu diawetkan. Namun, orang
tersebut mungkin mengalami kesulitan dengan koordinasi ekstremitas.
o Sindrom Brown-Sequard: Cedera ini terjadi pada satu sisi dari sumsum tulang
belakang. Nyeri dan sensasi suhu akan hadir di sisi yang terluka, tetapi kerusakan
atau kehilangan gerakan juga akan menghasilkan. Sisi berlawanan dari cedera
akan memiliki gerakan yang normal, tetapi rasa sakit dan sensasi suhu akan
terpengaruh atau hilang.
o Cauda lesi kuda: Kerusakan pada saraf yang keluar dari kipas sumsum tulang
belakang pada daerah lumbal pertama dan kedua tulang belakang bisa
menyebabkan hilangnya sebagian atau lengkap dari gerakan dan perasaan.
Tergantung memperpanjang kerusakan awal, kadang-kadang saraf dapat tumbuh
kembali dan melanjutkan fungsi.
d. Definisi
Tetraplegia
Tetraplegia merupakan cidera tulang belakang bagian leher yang
disebabkan karena kerusakan pada C1 dan T1. Tetraplegia merupakan
suatu kondisi kelihangan sensasi pada empat bagian tubuh, bladder,
bowel dan organ seksual.
Paraplegia
Merupakan cidera pada bagian bawah leher yang disebabkan karena
kerusakan pada bagian bawah T1. Paraplegia merupakan suatu kondisi
yang menyebabkan kelemahan dan kehilangan sensasi pada bagian
tubuh, kaki, bowel, bladeer dan organ seksual namun lengan dan tangan
normal.
e. Akibat Spinal Cord Injury
a. Spinal Shock
Pada waktu tertentu setelah terjadi cidera, individu akan
memperlihatkan kondisi spinal shock. Kondisi tersebut seperti “blackout
effect” yang terjadi karena kehilangan seluruh fungsi tulang belakang
dekat area yang terjadi injury. Kondisi tersebut dapat terjadi selama
beberapa hari ataupun beberapa minggu. Sulit untuk menentukan sejauh
mana kondisi spinal shock yang dialami.
b. Bagi Tubuh
Cedera tulang belakang akan mengakibatkan paralysis dibawah level
injury, kehilangan sensasi pada kulit untuk merasakan sensasi nyeri,
sentusan, perbedaan dingin dan panas, perubahan bowel dan blader,
perubahan fungsi seksual,fertilitas pada laki laki.
Tindakan Rehabilitatif
Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk
stabilisasi sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan alignment
yang baik, dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder. Setelah
transportasi dan evaluasi awal telah lengkap, extended-external fixation atau
intervensi bedah dapat dikerjakan. Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat
direhabilitasi.
A. Imobilisasi dan Traksi
Halo vest (Gambar 2) sering digunakan sebagai alat definitif untuk cedera
spina servikal. Philadelphia collar bersifat semirigid, sintetik foam brace dimana
pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-J
collar bersifat mi Brace yang secara adekuat melakukan imobilisasi fraktur spina
servikal adalah thermoplastic Minerva body jaket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ
lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan
halo vest sedangkan halo vest lebih bagus dalam membatasi rotasi dibandingkan
TMBJ.
B. Farmakoterapi
Farmakoterapi standar pada SCI berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB secara
bolus intravena, dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi
tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi
tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4
mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat
dikerjakan pada waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut
dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4
mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif dimana terjadi
peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara signifikan dalam waktu 6 minggu
pada cedera parsial dan 6 bulan pada cedera total. Efek dari metilprednisolon ini
kemungkinan berhubungan dengan efek inhibisi terhadap peroksidasi lipid
dibandingkan efek glukokortikoid.
Antasid atau H2 antagonis ditujukan untuk mencegah iritasi atau ulkus lambung.
a) Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
- Kesadaran : GCS.
- Fungsi saraf kranial : Trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
- Fungsi sensori-motor : Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
- Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien
sadar : Tanyakan pola makan?
- Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
- Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik : hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan : disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
3. Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
3. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret yang menumpuk.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.
5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
6. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau
kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder
terhadap cedera medulla spinalis.
7. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder
terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang
terlibat (S2-S4).
8. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan
alat traksi
9. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf
simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
10. Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk menelan.
11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.
12. Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan
paralisis.
13. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit dan
prosedur perawatan
rip tetapi lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran.
2. Bladder Training, Bowel training; , pengkajian, tindakan rehabilitatif
1. Bladder Neck
Otot detrusor melanjutkan perjalanannya ke arah uretra membentuk suatu
"pipa" yang disebut bladder neck.
2. Sfingter uretra
Sfringter uretra dibentuk oleh serat-serat otot lurik. Peranannya ialah untuk
menahan miksi untuk sementara waktu atau segera menghentikan proses
miksi bila dikehendaki
3. Trigonum
Daerah ini merupakan kelanjutan otot ureter dan tak mempunyai peranan
dalam proses miksi. Fungsinya adalah memperlancar arus urin dari ureter
ke arah kandung kemih.
4. Hubungan ureter-vesika
Struktur ini merupakan katup yang membuka saat pengisian kandung
kemih dan menutup saat kontraksi otot detrusor.
a. Persarafan Motorik
Terdapat 3 macam persarafan motorik katup yang mengatur otot- otot
kandung kemih yaitu detrusor, sfingter uretra dan trigonum.
b. Persarafan Sensorik
Serabut-serabut sensorik mengikuti serabut-serabut motorik dalam
perjalanannya menuju ke medula spinalis setinggi sakral 2-3-4 (somatik dan
parasimpatik) dan torakal 11- lumbal (simpatik). Sensorik kandung kemih
terdiri dari dua jenis : eksteroseptif mukosa dan proprioseptif otot detrusor
(stretch receptor)
c. Fisiologi Miksi
Kandung kemih adalah organ penampung urin; di samping itu berfungsi
pula mengatur pengeluarannya. Proses miksi dimulai oleh tekanan intramural
otot detrusor. Tekanan ini dahulu dianggap semata-mata akibat persarafan;
akan tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa tekanan intramural otot detrusor
lebih ditentukan oleh keadaan fisik kandung kemih (berisi penuh atau tidak).
Jika kandung kemih terisi, karena sifatnya ia mampu mengembang;
sementara itu tekanan intravesika tetap, sehingga sesuai dengan hukum
Laplace, tekanan intramural otot detrusor akan meningkat. Peningkatan ini
sampai titik tertentu akan merangsang stretch receptor. Timbullah impuls ke
arah pusat refleks miksi di medulla spinalis S 2-3-4. Dalam keadaan normal
impuls tidak akan segera terjawab. Impuls diteruskan ke pusat-pusat yang
lebih tinggi, yakni inti-inti dalam talamus yang bertindak sebagai relay untuk
girus sentral-belakang, tempat keinginan untuk miksi disadari. Selain ke arah
kortikal, impuls juga dikirim ke daerah-daerah lain yang berkaitan, seperti
ganglia basal, serebelum, pons serta hipotalamus. Daerah-daerah ini masing-
masing mempengaruhi pusat refleks miksi, baik bersifat inhibisi maupun
aktivasi. Berarti proses miski belum terlaksana bila belum ada perintah dari
pusat-pusat lebih tinggi tersebut. Walaupun refleks miksi terutama diatur oleh
susunan saraf otonom, miksi adalah proses yang dapat ditunda atau
dihentikan mendadak, dapat diatur oleh kemauan. Jika pusat-pusat
mengijinkan miksi terlaksana maka impuls aktivasi akan disalurkan secara
desenden melalui berkas-berkas parasimpatik splanknikus. Miksi dimulai
oleh kontraksi detrusor, diikuti oleh pembukaan bladder neck dan relaksasi
sfingter uretra.Diketahui pula bahwa kontraksi otot detrusor secara reflektoris
mengakibatkan inhibisi impuls tonik ke arah sfingter uretra sehingga sfingter
uretra menjadi kendur. Sebaliknya, kontraksi tonik sfingter uretra secara
reflektoris akan menghambat kontraksi otot detrusor. Di samping itu
kontraksi otot detrusor akan menambah rangsangan terhadap stretch receptor
sehingga menambah kekuatan kontraksi otot detrusor, Jadi, suatu proses
miksi normal secara keseluruhan berlangsung sekunder terhadap kontraksi
otot detruso
d. Terminasi Miksi
Berakhirnya suatu miksi dimulai oleh penutupan sfingter uretra. Kemudian
kontraksi otot-otot perineum mengembalikan kedudukan kandung kemih ke
posisi semula. Setelah itu bladder neck menutup. Terakhir relaksasi otot
detrusor.
e. Rehabilitasi Neurogenic Bladder
Bladder Training atau latihan kandung kemih adalah salah satu upaya
mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan, ke
keadaan normal atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan
kondisi.Mencegah/mengurangi infeksi saluran kemih, mencegah komplikasi
saluran kemih lebih lanjut akan menurunkan angka kematian, terutama pada
penderita cedera medula spinalis.
Gagal ginjal merupakan penyebab utama kematian pada pasien cedera medula
spinalis. Untuk mencegah komplikasi tersebut, diupayakan mempertahankan
fungsi pengosongan kandung kencing dengan residu urine seminimal
mungkin, mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam sistem saluran
kemih, serta eradiksi dini terhadap infeksi saluran kemih yang mungkin
terjadi. Ketiga upaya tersebut tercakup dalam penatalaksanaan neuro genic
bladder yang akan dibahas, yang bertujuan mempertahankan fungsi ginjal
secara efektif sehingga penderita cedera medula spinalis dapat mandiri
mengatur kandung kencingnya.
Tujuan Rehabilitasi:
1. Kelancaran aliran urine mulai dari ginjal
a. bebas kateter kandung kemih dan uretra
b. menghilangkan obstruksi uretra
2. Keadaan abakterial
a. sterile intermittent catherization
b. pengosongan kandung kemih secara sering dan teratur
3. Pengosongan kandung kemih secara tuntas pada setiap masa
pengosongan dengan cara mengembangkan/ meningkatkan kekuatan
ekspulsi pada waktu yang cukup, sesuai dengan yang dibutuhkan.
Hal-hal yang tercakup dalam pengertian bladder training
1. Kateterisasi intermiten
2. Pengaturan dan pengontrolan masuknya cairan ke dalam tubuh
3. Refleks stimulasi terhadap kandung kemih
4. Crede manuever
5. Bantuan medikamentosa yang dapat mempunyai efek terhadap kandung
kemih.
Hal tersebut dapat diatur kombinasinya sesuai kondisi neruogenic bladder.
Kontra indikasi bladder training
1. Sistitis berat
2. Pielonefritis
3. Gangguan/kelainan uretra
4. Hidronefrosis
5. Vesicourethral reflux
6. Batu traktus urinarius
7. Penderita tidak kooperatif
Program kateterisasi kontinyu
Kateterisasi kontinyu tidaklah fisiologis karena kandung kemih selalu kosong,
sehingga kehilangan potensi sensasi miksi; terjadi atrofi serta penurunan tonus
otot kandung kemih; ditambah lagi dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu
dianjurkan program kateterisasi intermiten. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai keadaan bebas kateter berkisar antara 3 - 278 hari atau sekitar 8-10
minggu, jika tidak ada obstruksi.
Paremeter keberhasilan
1. Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar, baik secara
spontan, dengan bantuan stimulasi refleks ataupun dengan crede/valsava
manuever secara mudah.
2. Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml.Tak didapat perubahan
patologis pada saluran kemih.
3. Penderita bebas kateter.
1. Bowel training
Bowel training adalah membantu pasien untuk melatih bowel terhadap
evakuasi interval yang spesifik, dengan tujuan untuk melatih bowel secara
rutin pada pasien yang mengalami gangguan pola bowel, dilakukan pada
pasien yang mengalami masalah eliminasi bowel tidak teratur.
Program bowel training didasarkan pada faktor dalam kontrol klien dan
didesain untuk membantu klien mendapatkan kembali defekasi normal. Secara
garis besar program ini adalah sebagai berikut :
1. Tentukan kebiasaan defekasi klien dan faktor yang membantu dan
menghambat defekasi normal.
2. Desain suatu rencana dengan klien yang meliputi :
a. Asupan cairan sekitar 2500 – 3000 cc/hari
b. Peningkatan diit tinggi serat
c. Asupan air hangat, khususnya sebelum waktu defekasi
d. Peningkatan aktivitas / latihan
3. Pertahankan hal-hal berikut secara rutin harian selama 2 – 3 minggu :
a. Berikan suppository katarsis (seperti dulcolax) 30 menit sebelum
waktu defekasi klien untuk merangsang defekasi.
b. Saat klien merasa ingin defekasi, bantu klien untuk pergi ke toilet /
duduk di Commode. Catat lamanya waktu antara pemberian
suppository dan keinginan defekasi.
c. Berikan klien privacy selama defekasi dan batasi waktunya, biasanya
cukup 30 – 40 menit.
d. Ajarkan klien cara-cara meningkatkan tekanan pada kolon, tetapi
hindari mengejan berlebihan, karena dapat mengakibatkan hemorrhoid.
4. Berikan umpan balik positif kepada klien yang telah berhasil defekasi.
Hindari negatif feedback jika klien gagal. Banyak klien memerlukan waktu
dari minggu sampai bulan untuk mencapai keberhasilan.
Langkah-langkah bowel training :
stimulasi digital untuk memicu buang air besar:
Masukkan jari pelumas kedalam anus dan membuat gerakan melingkar
sampai sphincter berelaksasi. Ini mungkin memakan waktu beberapa
menit.
Setelah melakukan rangsangan, duduk dalam posisi normal untuk buang
air besar.
Jika dapat berjalan, duduk di toilet atau toilet samping tempat tidur. Jika
terbatas pada tempat tidur, gunakan pispot. Masuk ke sebagai dekat
dengan posisi duduk mungkin, atau menggunakan posisi berbaring sebelah
kiri jika tidak mampu untuk duduk.
Cobalah untuk mendapatkan privasi sebanyak mungkin. Beberapa orang
menemukan bahwa membaca sambil duduk di toilet membantu mereka
bersantai cukup untuk memiliki gerakan usus.
Jika rangsangan digital tidak menghasilkan buang air besar dalam waktu
20 menit, ulangi prosedur.
Cobalah untuk kontrak otot-otot perut dan menanggung turun sementara
melepaskan tinja. Beberapa orang merasa terbantu dengan membungkuk
ke depan sementara bantalan bawah. Hal ini meningkatkan tekanan
abdominal dan membantu usus kosong.
Lakukan stimulasi digital setiap hari sampai membangun pola buang air
besar teratur.
merangsang gerakan usus dengan menggunakan supositoria (gliserin atau
Dulcolax) atau enema kecil. Beberapa orang minum jus prune hangat atau
nektar buah untuk merangsang gerakan usus.
3. ICP (intermeten cateter program) ; kenapa perlu dilakukan bagaiman
prosedurnya.
Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui
uretra. Kateter memungkinkan mengalirnya urine yang berkelanjutan pada pasien
yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi.
Terdapat dua tipe kateterisasi, kateterisasi indweling atau intermiten untuk retensi
yang merupakan dua bentuk insersi kateter. Pada teknik intermiten, kateter lurus
yang sekali pakai, dimasukkan cukup panjang untuk mengeluarkan urine pada
kandung kemih (5-10 menit). Pada saat kandung kemih kosong, kateter dapat
segera ditarik. Kateter intermiten dapat diulang jika diperlukan, tapi pengunaan
yang berulang meningkatkan risiko. Tujuan diagnosis untuk tindakan sebagai
berikut :
1) Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urine guna
pemeriksaan kultur urine. Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi resiko
terjadinya kontaminasi sample urine oleh bakteri komensal yang terdapat di
sekitar kulit vulva dan vagina
2) Mengukur residu (sisa) urine yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi.
3) Untuk menilai produksi urine pada saat dan setelah oprasi besar.
Tujuan terapi untuk tindakan kateterisasi antara lain adalah:
1) Mengeluarkan urine dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal baik
yang disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing.
2) Mengeluarkan urine pada disfungsi buli-buli
3) Diversi urine setelah tindakan oprasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu
pada prostatektomi, vesikolitotomi
4) Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi
uretra.
Adapun Indikasi Kateterisasi
A. Kateterisasi intermiten
1. Meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih.
2. Ketentuan untuk menurunkan distensi.
3. Mengambil spesimen urine yang steril.
4. Mengkaji residu urine setelah pengosongan kandung kemih
5. Penatalaksanaan jangka panjang pasien, yang mengalami cedera medula
spinalis, degenerasi neuromuskular, atau kandung kemih yang tidak
kompeten.
B. Kateterisasi menetap jangka pendek
1. Obstruksi pada aliran urine misalnya pembesaran prostat.
2. Perbaikan kandung kemih, uretra, dan struktur disekelilingnya melalui
pembedahan.
3. Mencegah obstruksi uretra akibat adanya bekuan darah.
4. Mengukur keluaran urine pada pasien yang menderita penyakit kritis.
5. Irigasi kandung kemih secara intermiten atau secara berkelanjutan.
C. Kateterisasi menetap jangka panjang
1. Retensi urine yang berat disertai episode ISK yang berulang.
2. Ruam kulit, ulkus, atau luka iritasi akibat kontak dengan urine.
3. Penderita penyakit terminal yang merasa nyeri ketika linen tempat tidur
diganti
Langkah –langkah menginsersi kateter:
Kaji status pasien:
o Waktu terakhir kali pasien berkemih, dapat mengindikasikan derajat
kepenuhan kandung kemih.
o Tingkat kesadaran atau tahap perkembangan pasien: menunjukkan
kemampuan pasien untuk bekerjasama selama prosedur
o Keterbatasan mobilisasi dan fisik: mengetahui cara memposisikan pasien
o Usia : menentukan ukuran kateter yang akan digunakan. Nomor 8 sampai 10
biasanya digunakan untuk anak-anak dan nomor 14 sampai 16 untuk wanita.
Nomor 12 dapat dipertimbangkan untuk wanita muda. Nomor 16 sampai 18
digunakan untuk pria.
o Kondisi patologis yang dapat merusak jalan masuk kateter (misalnya
pelebaran prostat)
o Alergi: menentukan alergi terhadap antiseptik, plester, atau karet (lateks)
• Menyiapkan peralatan:
1. Sarung tangan steril
2. Duk steril, satu duk berlubang
3. Lubrikan steril : Meminimalkan trauma uretra
4. Larutan pembersih antiseptik
5. Bola kapas atau kasa berbentuk bujur sangkar
6. Forsep
7. Spuit yang sudah diisi dengan air steril: Digunakan untuk menggembungkan
balon kateter menetap
8. Kateter dengan ukuran dan tipe yang benar untuk prosedur (intermiten atau
menetap)
9. Lampu senter atau lampu gooseneck: Membantu melihat meatus urinarius
pada pasien wanita
10. Selimut mandi
11. Alas penyerap yang kedap air
12. Sarung tangan sekali pakai, baskom berisi air hangat, sabun, lap badan, dan
handuk: Pemeliharaan kebersihan perineum sebelum memasang kateter akan
mengurangi risiko ISK.
13. Selang drainase steril dan kantung penampung (dapat belum ditempel
dikateter), plester, peniti, pengaman pita elastic
14. Wadah atau baskom steril: Wadah aliran urine jika kateter intermiten
digunakan
15. Wadah spesimen steril: untuk menampung spesimen urine
• Tutup gorden atau bilik ruangan: Memberikan privasi dan meningkatkan
relaksasi
• Letakkan alas kedap air
• Atur posisi pasien:
o Wanita: Bantu untuk mengambil posisi dorsal rekumben (terlentang dengan
lutut ditekuk). Minta pasien untuk merelaksasi paha sehingga paha dapat
dirotasi ke arah luar (tungkai dapat ditopang dengan bantal) atau posisikan
pasien dengan posisi berbaring miring (Sims’) dengan menekuk lututnya,
apabila pasien tidak mampu mengambil posisi terlentang : posisi tersebut
memungkinkan untuk melihat struktur perineum dengan baik. Ubah posisi
jika pasien tidak dapat mengabduksi tungkai pada sendi pinggul (mis, sendi
atritis.)
o Pria: Bantu untuk mengambil posisi paha untuk sedikit diabduksi : Posisi
terlentang mencegah ketegangan otot abdomen dan panggul
• Selimuti pasien:
o Wanita: Selimuti pasien dengan selimut mandi. Tempatkan selimut dalam
bentuk limas diatas pasien. Satu sudut pada bagian leher, satu sudut pada
setiap lengan dan sudut terakhir diatas perineum. Tinggikan gaun diatas
panggul.
o Pria: Selimuti bagian atas dengan selimut mandi dan tutupi ektremitas bagian
bawah dengan seprei tempat tidur sehingga hanya bagian genetalia yang
terpajan.
• Kenakan sarung tangan sekali pakai. Bersihkan daerah perineum dengan air
dan sabun sesuai kebutuhan
• Lepas dan buang sarung tangan yang telah dipakai. Cuci tangan.
• Posisikan lampu untuk menyinari daerah perineum
• Buka peralatan kateterisasi dan kateter
• Kenakan sarung tangan steril
• Atur suplai diatas daerah yang steril. Buka bagian dalam kemasan steril
yang berisi kateter. Tuangkan larutan antiseptik steril kedalam wadah yang
berisi bola kapas steril. Buka paket yang berisi lubrikan. Pindahkan wadah
spesimen (penutup harus dipasang longgar diatasnya) dan spuit yang sudah
terlebih dahulu diisi, dari kompartemen pengumpul pada troli ke lapangan
yang steril : Semua ini harus dilakukan sebelum membersihkan meatus uretra
• Sebelum menginsersi kateter menetap, tes balon dengan menginjeksi cairan
dari spuit yang telah berisi cairan, ke dalam katup balon. balon harus
mengembung maksimal tanpa bocor. Tarik kembali cairan dan tinggalkan
spuit di pintu masuk kateter, jika memungkinkan.
• Pasang duk steril:
o Wanita: Buat sisi bagian atas duk membentuk manset diatas kedua tangan
perawat. Tempatkan duk diatas tempat tidur diantara paha pasien. Selipkan
ujung yang dibentuk manset tepat dibawah bokong, berhati-hatilah supaya
sarung tangan tidak menyentuh permukaan yang terkontaminasi. Angkat duk
steril bolong dan biarkan duk tetap tidak terlipat tanpa menyentuh objek
nonsteril. Tempatkan duk pada sehingga labia terlihat dan pastikan untuk
tidak menyentuh permukaan yang terkontaminasi.
o Pria: Tempatkan duk diatas paha tepat di bawah penis. Angkat duk bolong.
Buka lipatan duk dan pasang diatas penis dengan celah yang bolong
ditempatkan diatas penis.
• Tempatkan peralatan steril dan isinya pada duk steril diantara para pasien
dan buka wadah spesimen urin (jika diperlukan), menjga permukaan bagian
dalam tetap steril.
• Oleskan lubrikan sepanjang sisi ujung kateter:
o Wanita : 2,5 sampai 5 cm
o Pria : 7,5 sampai 12,5 cm
• Bersihkan meatus uretra
o Wanita:
1. Dengan tangan yang dominan, retraksi labia dengan hati-hati sehingga
keseluruhan meatus uretra terlihat. Pertahankan posissi tangan yang tidak
dominan ini selama pelaksanaan prosedur.
2. Dengan tangan yang dominan, ambil bola kapas dengan forsep dan bersihkan
daerah perineum, menghapusnya dari arah depan kebelakang dari klitoris ke
anus. Gunakan bola kapas yang baru utuk setiap apusan: Pada sepanjang
daerah yang dekat dengan lipatan labia, sepanjang daerah yang jauh dari
liptan labia, dan secara langsung pada meatus
o Pria:
1. Apabila pasien tidak disirkmsisi, retraksi prepusium dengan tangan yang
tidak dominan. Pegang batang penis, tepat dibawah glans. Retraksi meatus
uretra dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. Pertahankan tangan
yang tidak dominan pada posisi ini selama insersi kateter.
3. Dengan tangan yang dominan ambil bola kapas dengan forsep dan bersihkan
penis. Mulai dari meatus. Lanjutkan sampai ke arah bawah batang penis
dengan menggunakan gerakan melingkar. Ulangi proses ini tiga kali, dengan
mengganti bola kapas setiap kali proses.
• Ambil kateter dengan tangan dominan yang telah mengenakan sarung
tangan sekitar 5 cm dari ujung kateter. Pegang ujung kateter dan lekuk
dengan longgar, ditelapak tangan yang tidak dominan. Letakkan ujung distal
kateter di wadah penampang urin (jika kateter belum dipasang ke saluran atau
kantung urin)
• Insersi kateter:
o Wanita : pegang kateter ditangan yang dominan dan tangan yang tidak
dominan melanjutkan tindakan meretraksi labia.
1. Minta pasien mengambil nafas dalam, insersi kateter melalui meatus secara
perlahan (apabila tidak ada urine yang muncul setelah selang diinsersi
beberapa sentimeter, kateter mungkin masuk ke dalam vagina. Apabila
kateter masuk ke dalam vagina, biarkan ditempat; kemudian ambil insersi
kateter lain kemudian lepaskan kateter yang pertama).
2. Masukkan kateter sekitar 5 cm sampai 7,5 cm pada orang dewasa, 2,5cm pada
anak, atau sampai urine keluar. Apabila insersi kateter menetap, masukkan
lagi 5 cm setelah urine keluar. Apabila ada tahanan, jangan memaksa kateter
untuk masuk.
3. Lepaskan labia dan pegang kateter dengan aman menggunakan tangan yang
tidak dominan.
o Pria: tinggikan penis ke posisi perpendikular terhadap tubuh pasien dan
berikan sinar kearah atas penis yang telah ditarik:
1. Minta pasien untuk berusaha keras untuk mengedan kebawah seperti pada
saat berkemih, untuk relaksasi sfinter eksterna, insersi kateter melalui meatus
secara perlahan
2. Masukkan kateter 17,5 sampai 22,5 cm pada orang dewasa, 5-7,5 cm pada
anak kecil, atau sampai urine keluar. Apabila ada tahanan, tarik kateter dan
jangan memaksanya masuk ke uretra. Apabila menginsersi kateter menetap,
masukkan lagi sepanjang 5 cm setelah urine keluar
3. Lapaskan penis dan tahan kateter dengan kuat menggunakan tangan yang
tidak dominan.
• Lepaskan kateter intermiten sekali pakai.Tarik kateter dengan perlahan
dengan lembut sampai terlepas.
• Lapaskan peralatan sarung tangan dan buang peralatan, duk, serta urine
diwadah yang tepat.
• Instruksikan posisi berbaring ditempat tidur pada pasien yang menggunakan
kateter: Berbaring miring menghadap ke sistem drainase dengan posisi kateter
dan selang diletakkan pada paha bagian bawah atau berbaring miring
membelakangi sistem drainase dengan posisi kateter dan selang terletak
diantara tungkai.
• Peringatkan pasien untuk tidak menarik kateter.
• Cuci tangan
• Palpasi kandung kemih dan tanyakan kenyamanan pasien
• Observasi karakter dan jumlah urine di dalam sistem drainase.
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
Vol. 3 . Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
www.Asia-spinalinjury.org
www.Spinalcord . org