laporan pemetaan H2

41
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemetaan geologi (geological mapping) secara sederhana dapat diartikan sebagai keseluruhan kegiatan atau proses yang dijalankan dalam rangka membuat peta geologi dari suatu daerah yang menjadi objek pemetaan. Perlu diketahui bahwa istilah pemetaan geologi dalam pengertian sempit sering hanya diartikan sebagai kegiatan atau proses penelitian lapangan yang dilakukan untuk membuat peta geologi. Walau demikian, menurut hemat penulis, sebaiknya kita memandang pemetaan geologi dalam pengertian yang luas mengingat dalam kenyataannya kita tidak mungkin akan dapat membuat peta geologi yang utuh tanpa melibatkan proses analisis yang biasanya hanya dapat dilakukan secara terbatas di lapangan. Peta geologi (geological map) secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah peta yang menampilkan informasi geologi seperti khuluk, penyebaran, dan hubungan antar satuan peta; struktur deformasi (sesar, lipatan, kekar); serta lokasi endapan mineral atau fosil tertentu. Perlu ditekankan disini bahwa satuan peta yang biasa ditampilkan dalam peta geologi adalah satuan litostratigrafi satuan tersebut sering disebut sebagai 1

description

laporan

Transcript of laporan pemetaan H2

BAB IPENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pemetaan geologi (geological mapping) secara sederhana dapat diartikan

sebagai keseluruhan kegiatan atau proses yang dijalankan dalam rangka membuat

peta geologi dari suatu daerah yang menjadi objek pemetaan. 

Perlu diketahui bahwa istilah pemetaan geologi dalam pengertian sempit

sering hanya diartikan sebagai kegiatan atau proses penelitian lapangan yang

dilakukan untuk membuat peta geologi. Walau demikian, menurut hemat penulis,

sebaiknya kita memandang pemetaan geologi dalam pengertian yang luas mengingat

dalam kenyataannya kita tidak mungkin akan dapat membuat peta geologi yang utuh

tanpa melibatkan proses analisis yang biasanya hanya dapat dilakukan secara terbatas

di lapangan.

Peta geologi (geological map) secara sederhana dapat diartikan sebagai

sebuah peta yang menampilkan informasi geologi seperti khuluk, penyebaran, dan

hubungan antar satuan peta; struktur deformasi (sesar, lipatan, kekar); serta lokasi

endapan mineral atau fosil tertentu.

Perlu ditekankan disini bahwa satuan peta yang biasa ditampilkan dalam peta geologi

adalah satuan litostratigrafi satuan tersebut sering disebut sebagai satuan dasar dalam

pemetaan geologi. Walaupun demikian, hal itu tidak berarti bahwa satuan peta

geologi adalah satuan litostratigrafi. Sebagai contoh, dalam Peta Geologi Jawa Barat

yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) dan

Geologic Map of the United States kita akan menemukan bahwa satuan-satuan peta

itu didasarkan pada jenis batuan dan umur, misalnya "Batuan Beku Miosen" atau

"Sedimentary Rocks of Cambrian Age". Di Amerika Serikat, satuan-satuan seperti itu

dinamakan map units. Dengan alasan seperti itulah dalam pengertian di atas penulis

menggunakan kata "satuan peta" (map units) dalam pengertian luas yang

pengertiannya lebih luas daripada istilah map units yang dikenal di Amerika Serikat.

1

Untuk yang disebut terakhir ini, penulis menamakannya map units dalam pengertian

terbatas. Masalah satuan peta ini akan dibahas lebih jauh.

Berbeda dengan apa yang mungkin diperkirakan oleh banyak orang, pemetaan

geologi tidak dimaksudkan untuk menghasilkan peta geologi. Tujuan pemetaan yang

sebenarnya adalah untuk memahami tatanan geologi daerah yang dipetakan.

Pembuatan peta geologi hanyalah tahap pertama dari usaha untuk memperoleh

pemahaman tersebut. Peta geologi merupakan sarana untuk memahami tatanan

geologi daerah yang dipetakan.

I.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi

permukaan secara umum sebagai salah satu upaya untuk menyajikan informasi

geologi yang ada dengan menggunakan peta dasar skala 1: 12.500, serta melakukan

suatu analisis berdasarkan atas data pada daerah telitian, kemudian dibuat suatu

laporan penelitian untuk melengkapi persyaratan akademik yang sudah ditentukan

oleh Program Studi Teknik Geologi , Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains &

Teknologi Akprind Yogyakarta untuk mendapatkan gelar sarjana program pendidikan

strata-1 (S1) dengan topik sesuai dengan teori yang didapatkan di bangku perkuliahan

serta aplikasinya.

Tujuan utama dari pemetaan ini yaitu membuat peta Geologi yang

menjelaskan kondisi geologi yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur

geologi, dan sejarah geologi.

2

I.3. Lokasi, Luas, dan Kesampaian Daerah

Lokasi Pemetaan Geologi terletak di Desa Banjararum dan sekitarnya,

kabupaten Kulonprogo, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lokasi Pemetaan Geologi

Gambar 1. Lokasi daerah Pemetaan Geologi(sumber : peta Rupa Bumi Indonesi lembar Sendangagung)

Lokasi Pemetaan Geologi terletak pada 7 42’ 30”- 07 44’ 00’’ dan 110 11’

30” – 110 14’ 00”. Merupakan bagian dari lembar peta RBI SENDANGAGUNG,

dengan nomor lembar peta ¼ SENDANGAGUNG 123-4A37.

Luas daerah pemtaan adalah 57750 m2. Lokasi pemetaan mempunyai jarajk

45 km dari kampus II IST Akprind Yogyakarta. dapat ditempuh dengan sepeda motor

dengan waktu 1 jam.

I.4. Metode dan Peralatan Yang Digunakan

Metode yang dilakukan dalam pemetaan ini dilakukan dengan beberapa tahap

yaitu diawali dengan studi pustaka dari beberapa peneliti terdahulu, dilanjutkan

dengan survey lokasi pemetaan untuk menentukan lokasi-lokasi yang bias dibuat

lokasi pengamatan, setelah itu dilakukan pemetaan untuk mencari data-data geologi

3

yang diperlukan untuk membuat peta geologi, setelah itu dilakukan analisis data yang

didapatkan, dan yang terakhir pembuatan laporan.

Dalam pemetaan ini kami menggunakan beverapa alat geologi untuk

membantu dalam pemetaan ini. Alat-alat yang dugunakan adalah :

a. Kompas Geologi

b. GPS

c. HCL

d. Loop

e. Catatan lapangan

f. Peta dasar (peta topografi daerah penelitian)

I.5. Peneliti Terdahulu

Daerah perbukitan Kulonprogo sudah banyak diteliti oleh ahli geologi antara

lain, yaitu Van Bemmelen (1949), Marka (1975), Raharjo, dkk. (1977), Pangluar dan

Najoan (1989), dan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat UGM (1994).

4

BAB IIGEOMOROFOLOGI

II.1. Geomorfologi Regional

Menurut penelitian Van Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa Tengah

dibagi menjadi 3 zona, yaitu :

a. Zona Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona Lipatan

b. Zona Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona Depresi

c. Zona Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona Plato

Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah

bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang sangat luas

yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948). Daerah ini

merupakan daerah uplift yang memebentuk dome yang luas. Dome tersebut relatif

berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah

utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20 km pada arah barat - timur. Oleh Van

Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome.

Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi

menjadi beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu :

a. Satuan Pegunungan Kulon Progo

Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 –

1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160.

Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan

dan menempati bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi

kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini

sebagian besar digunakan sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan

tegalan.

b. Satuan Perbukitan Sentolo

Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan

terpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan

5

Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50 – 150 meter diatas permukaan

air laut dengan besar kelerengan rata – rata 15 0. Di wilayah ini, satuan perbukitan

Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.

c. Satuan Teras Progo

Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan

disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan

dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo

d. Satuan Dataran Alluvial

Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke timur,

daerahnya meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah.

Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk pemukiman

dan lahan persawahan.

e. Satuan Dataran Pantai

Terbagi menjadi 2 yaitu Subsatuan, yaitu Subsatuan Gumuk Pasir dan subsatuan

Dataran Alluvial. Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di sepanjang

pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di

pantai selatan ini adalah kali Serang dan kali Progo yang membawa material

berukuran besar dari hulu. Akibat dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan

tersebut menjadi batuan berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan aktivitas

angin, material tersebut diendapkan di dataran pantai dan membentuk gumuk –

gumuk pasir.

Subsatuan Dataran Alluvial Pantai. Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di

sebelah utara subsatuan gumuk pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir

halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin. Pada subsatuan

ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga digunakan untuk persawahan dan

pemukiman penduduk.

6

II.2. Geomorfologi Daerah Penelitian

Satuan Geomorfik daerah penelitian dibagi menjadi dua satuan yaitu, perbukitan

terdenudasi dan dataran fluvial dengan subsatuan masing-masing.

II.2.1 Satuan Geomorfik Fluvial

Satuan Geomorfik ini dibagi menjadi 2 subsatuan yaitu subsatuan tubuh sungai

dan dataran fluvial. Subsatuan ini memiliki slope 2-8°, memiliki ketinggian 75-118

meter diatas permukaan laut. Subsatuan ini mempunyai morfologi datar, digunakan

warga sebagai lahan pertanian, dan sebagi jalan. Untuk morfogenesa, subsatuan ini

dipengaruhi oleh morfo struktur pasif dan struktur aktif.

Gambar 2. Foto subsatuan dataran fluvial pada LP 1(Sumber : kamera praktikan)

II.2.2 Satuan Geomorfik Denudasional

Satuan Geomorfik ini dibagi menjadi 2 subsatuan yaitu subsatuan perbukitan

terdenudasi dan dataran nyaris.. Subsatuan Perbukitan terdenudasi ini memiliki slope

20-50°. Subsatuan ini mempunyai morfologi datar, digunakan warga sebagai lahan

pertanian, dan perkebunan. Untuk morfogenesa, subsatuan ini dipengaruhi oleh

morfologi struktur pasif dan struktur aktif.

7

Gambar 3. Perbukitan terdenudasi. Foto diambil dari lokasi pengamatan 2(sumber : kamera praktikan)

II.3. Pola Aliran

Pola aliran sungai merupakan pola dari organisasi atau hubungan keruangan dari

lembah-lembah, baik yang dialiri sungai maupun lembah yang kering atau tidak

dialiri sungai. Pola aliran dipengaruhi oleh lereng, kekerasan batuan, struktur, sejarah

diastrofisme, sejarah geologi dan geomerfologi dari daerah alairan sungai. Dengan

demikian pola aliran sangat berguna dalam interpretasi kenampakan geomorfologis,

batuan dan struktur geologi. Macam-macam Pola Aliran :

1. Dendritik: seperti percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan arah

dan sudut yang beragam. Berkembang di batuan yang homogen dan tidak

terkontrol oleh struktur, umunya pada batuan sedimen dengan perlapisan

horisontal, atau pada batuan beku dan batuan kristalin yang homogen.

2. Rectangular : Aliran rectangular merupakan pola aliran dari pertemuan antara

alirannya membentuk sudut siku-siku atau hampir siku-siku. Pola aliran ini

berkembang pada daerah rekahan dan patahan.

3. Paralel: anak sungai utama saling sejajar atau hampir sejajar, bermuara pada

sungai-sungai utama dengan sudut lancip atau langsung bermuara ke laut.

Berkembang di lereng yang terkontrol oleh struktur (lipatan monoklinal,

8

isoklinal, sesar yang saling sejajar dengan spasi yang pendek) atau dekat

pantai.

4. Trellis: percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus,

sungai-sungai utama sejajar atau hampir sejajar. Berkembang di batuan

sedimen terlipat atau terungkit dengan litologi yang berselang-seling antara

yang lunak dan resisten.

5. Deranged : pola aliran yang tidak teratur dengan sungai dengan sungai

pendek yang arahnya tidak menentu, payau dan pada daerah basah

mencirikan daerah glacial bagian bawah.

6. Radial Sentrifugal: sungai yang mengalir ke segala arah dari satu titik.

Berkembang pada vulkan atau dome.

7. Radial Centripetal: sungai yang mengalir memusat dari berbagai arah.

Berkembang di kaldera, karater, atau cekungan tertutup lainnya.

8. Annular: sungai utama melingkar dengan anak sungai yang membentuk

sudut hampir tegak lurus. Berkembang di dome dengan batuan yang

berseling antara lunak dan keras.

9. Pinnate : Pola Pinnate adalah aliran sungai yang mana muara anak sungai

membentuk sudut lancip dengan sungai induk. Sungai ini biasanya terdapat

pada bukit yang lerengnya terjal.

10. Memusat/Multibasinal: percabangan sungai tidak bermuara pada sungai

utama, melainkan hilang ke bawah permukaan. Berkembang pada topografi

karst.

9

Gambar 4. Pola Aliran()

Pola aliran pada daerah penelitian adalah pola aliran subdendritik yang diketahui

dari analisis peta topografi.

Gambar 5. Pola aliran daerah penelitian(sumber : hasil analisis melalui peta topografi)

10

II.4. Stadia Daerah dan Stadia Erosi

Stadia daerah penelitian adalah stadia muda menuju ke dewasa. Diketahui dari

pengamatan dilapangan. Untuk stadia erosinya adalah stadia muda karena dilihat dari

penampang sungai yang ada di daerah penelitian yang berbentuk V.

Gambar 6. Stadia sungai berbentuk V pada LP 34(sumber : kamera praktikan)

11

BAB IIISTRATIGRAFI

III.1. Stratigrafi Regional

Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan

tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan

Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi wilayah

Jawa Tengah bagian selatan. Yang mencirikan tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya

gunung api purba yang timbul dan tumbuh di atas batuan paleogen, dan ditutupi oleh

batuan karbonat dan napal yang berumur neogen.

Dalam stratigrafi regional dibahas umur batuan berdasarkan batuan penyusunnya,

untuk itu perlu diketahui sistem umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut

antara lain:

1. Sistem eosen

Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal

pasiran, batu gamping, serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun moluska.

Sistem eosen ini disebut “Nanggulan group”. Tipe dari sistem ini misalnya di desa

Kalisongo, Nanggulan Kulon Progo, yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai

300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat yaitu “Yogyakarta beds”, “Discoclyina”,

“Axiena Beds” dan Napal Globirena, yang masing - masing sistem ini tersusun oleh

batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung. Di sebelah timur ”Nanggulan

group” ini berkembang facies gamping yang kemudian dikenal sebagai gamping

eosen yang mengandung fosil foraminifera, colenterata, dan moluska

2. Sistem oligosen – miosen

Sistem oligosen – miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang memuncak

dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan dan

dikeluarkannya material – material piroklastik dari kecil sampai balok yang

berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian material ini disebut formasi andesit tua,

karena material vulkanik tersebut bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava

12

andesit dan tuff andesit. Sedang pada sistem eosen, diendapkan pada lingkungan laut

dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan dan perlipatan yang

dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem oligosen

– miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem eosen yang ada

dibawahnya. Diperkirakan ketebalan istem ini 600 m. Formasi andesit tua ini

membentuk daerah perbukitan dengan puncak – puncak miring.

3. Sistem miosen

Setelah pengendapan formasi andesit tua daerah ini mengalami penggenangan air

laut, sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang lebih muda secara tidak selaras.

Fase pengendapan ini berkembang dengan batuan penyusunnya terdiri dari batu

gamping reef, napal, tuff breksi, batu pasir, batu gamping globirena dan lignit yang

kemudian disebut formasi jonggrangan, selain itu juga berkembang formasi sentolo

yang formasinya terdiri dari batu gamping, napal dan batu gamping konglomeratan.

Formasi Sentolo sering dijumpai kedudukannya diatas formasi Jonggrangan. Formasi

Jonggrangan dan formasi Sentolo sama – sama banyak mengandung fosil

foraminifera yang beumur burdigalian – miosen. Formasi – formasi tersebut memilik

ipersebaran yang luas dan pada umumnya membentuk daerah perbukitan dengan

puncak yang relative bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini mengalami

pengangkatan dan pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik dimana

pembentukan tersebut berlangsung terus – menerus hingga sekarang yang letaknya

tidak selaras diatas formasi yang terbentuk sebelumnya.

Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi

regional menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac

Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :

a. Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir,

sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu

gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300

m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi

13

nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di

daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan

dibagi menjadi 3, yaitu

- Axinea Beds

Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri

dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya

berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.

- Yogyakarta beds

Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara

selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag

mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds

mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.

- Discocyclina beds

Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas

Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang

terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi

lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah

discocyclina.

b. Formasi Andesit Tua

Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,

tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang

tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras

dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini

formasi ini berumur oligosen – miosen.

c. Formasi Jonggrangan

Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal,

breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian

atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu

gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak

14

selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan berumur

miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera, pelecypoda dan

gastropoda.

d. Formasi Sentolo

Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir

napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan.

Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi

jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai

pleistosen.

Sedangkan menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo

dikelompokkan menjadi beberapa formasi berdasarkan batuan penyusunnya.

Formasi tersebut dimulai dari yang paling tua yaitu sebagai berikut :

a. Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir,

sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu

gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300

m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi

nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di

daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan

dibagi menjadi 3, yaitu

- Axinea Beds

Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri

dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies

litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.

- Yogyakarta beds

Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara

selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag

mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds

mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.

15

- Discocyclina beds

Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas

Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang

terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi

dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah

discocyclina.

b. Formasi Andesit Tua

Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili

tuff, tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang

tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras

dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini

formasi ini berumur oligosen – miosen.

c. Formasi Jonggrangan

Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal,

breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian

atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan

batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini

tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan

berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,

pelecypoda dan gastropoda.

d. Formasi Sentolo

Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir

napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan.

Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi

jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai

pleistosen

e. Formasi Alluvial dan gumuk pasir

Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan yang

umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik merapi yang

16

juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri dari pasir – pasir

baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan endapan alluvialnya terdiri dari

batuan sediment yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan lempung secara

berselang – seling.

Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk

dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya

berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari

penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton

seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan applin

dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka batuan berumur Oligosen

atas. Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pada bagian terbawah gunung

berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit tua diperkirakan berumur

oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan 660 m.

III.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

III.2.1 Satuan Breksi Andesit

Satuan ini memiliki struktur massif di lapangan, warna coklat kehitaman,

sortasi buruk, kemas terbuka, bentuk butir menyudut tanggung-menyudut, ukuran

butir 64-128 mm (small couble), memiliki fragmen andesit, semen silika, matrix

pasir, dan menempati 42,56 % dari seluruh daerah penelitian.

17

Gambar 7. Litologi Breksi Andesit di LP 9Sumber : kamera praktikan

Pada satuan Breksi Andesit ini terdapat sisipan litologi lainnya seperti Beksi

Polimik, Lapili tuff, dan batupasir tufan.

III.2.2 Satuan Batugamping

Satuan Batugamping ini dilapangan memiliki struktur massif, dengan warna

putuih kecoklatan, warna lapuk coklat kehitaman, memiliki tekstur kristalin dengan

ukuran butir sedang-kasar. Satuan ini menempati 22,4 % darisluruh daerah penelitian.

18

Gambar 8. litologi Batuagamping pada LP 30, foto menghadap barat(sumber : kamera praktikan)

III.2.3 Satuan Endapan Aluvial

Endapan aluvial ini berupa material lepas yang berukuran lempung- bungkah.

Merupakan hasil pelapukan dari batuan lainnya seperti breksi andesit, batugamping

dan tuff. Satuan ini menempati 35,05 % dari seluruh daerah penelitian.

19

Gambar 9. litologi material lepas LP 8, foto menghadap barat(sumber : kamera praktikan)

Dari hasil pemetaan dilapangan didapatkan 3 satuan yaitu Breksi andesit,

batugamping dan endapan alluvial

Gambar 10. Stratigrafi daerah penelitian(sumbetr : hasil analisis kelompok H)

20

BAB IVSTRUKTUR GEOLOGI

IV.1. Struktur Geologi Regional

Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang

dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja adalah

sebagai berikut :

1. Struktur Dome

Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan

merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE – SW dan

20 km mengarah SE – NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas

disebut jonggrangan plateu. Kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong

dibagian utaranya oleh sesar yang berarah tenggara – barat laut dan tertimbun oleh

dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome. Pemotongan ini menandai

karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona tengah jawa. Bentuk kubah

tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah mempunyai puncak yang relative

datar dan sayap – sayap yang miring dan terjal. Dalam kompleks pegunungan Kulon

Progo khususnya pada lower burdigalian terjadai penurunan cekungan sampai di

bawah permukaan laut yang menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki selatan

pegunungan Menoreh dan sesar dengan arah timur – barat yang memisahkan gunung

Menoreh denagn vulkan gunung Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon Progo

merupakan dataran rendah dan pada puncak Menoreh membentang pegunungan sisa

dengan ketinggian sekitar 400 m. secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon

Progo terkubahkan selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial

yang memotong breksi gunung ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong

batu gamping Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.

21

Gambar 11. Skema blok diagram dome Pegunungan Kulon Progo yang digambarkan Van Bemmelen (1945, hlm. 596).

2.      Unconformity

Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan (disconformity)

antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah dijelaskan dalam stratigrafi

regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan tidak selaras di atas formasi

Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak selaras diatas formasi

Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan secara tidak selaras diatas formasi

Jonggrangan.

IV.4. Struktur Daerah Penelitian

Pada daerah penelitian ditemukan struktur geologi berupa kekar tarik, sesar

normal, dan ada ketidakselarasan.

a. Kekar Tarik

Gambar 12. Kekar tarik di LP 12(Sumber : kamera praktikan)

Struktur geologi kekar tarik ini mempunyai kedudukan N 51° E/ 25°. Didapatkan dengan pengukuran langsung di lapangan dengan kompas geologi.

22

b. Sesar Normal/Sesar turun

Gambar 12. Sesar normal LP 27(Sumber : kamera praktikan)

Dari pengamatan di lapangan terdapat gores-garis dan struktur penyerta lainnya seperti breksiasi, gash fracture dan shear fracture. Dari hasil pengukuran didapatkan :

a. Bidang sesar : N9 90° E/ 60°b. Plunge : 55°,c. Bearing : N 140° Ed. Rake : 55°

Didapatkan adalah jenis sesar : Left Normal Slip Fault (Rickard, 1972))

IV.3. Mekanisme Pembentukan Struktur

Pembentukan struktur Geologi di daerah penelitian dipengaruhi oleh

tumbukan antar lempeng hindia-australia dengan Eurasia pada permulaan Oligosen.

Terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase pertama terjadi pada Eosen-Oligosen yaitu

23

tumbukan antara lempeng hindia-australia dan lempeng Eurasia. Fase kedua terjadi

pada Pleistose yang ditandai dengan proses pengangkatan gunung sehingga

mengakibatkan terbentuknya struktur geologi di daerah penelitian berupa kekar tarik

dan kekar gerus, dan terbentuknya sesar turun di daerah penelitian.

24

BAB VSEJARAH GEOLOGI

Sejarah Geologi di daerah penelitian di daerah penelitian tidak terlepas dari

aktifitas dan perkembangan tektonik pulau jawa yang berlangsung pada Oligosen

akhir sampai Miosen atas. Pada permulaan Oligosen akhir lempeng Hindia-Australia

menumbuk lempeng Eurasia dan menghasilkan aktifitas vulkanisme yang membentuk

satuan batuan gunung api. Pada daerah penelitian terbentuk satuan Breksi dengan

fragmen batuan gunung api yaitu fragmen andesit. Breksi Andesit ini terbentuk pada

lingkungan pengendapan cekungan muka busur.

Setelah itu pada Miosen tengah aktifitas vulkanisme mulai berkurang dan

adanya pengangkatan pada kala miosen tengah yang mengakibatkan batugamping

terangkat keatas dengan adanya sisipan.

25

26

BAB VIPOTENSI GEOLOGI

VI.1 SESUMBER

Pada daerah penelitian banyak aspek geologi yang sangat bermanfaat bagi

warga yang tinggal di sekitar daerah penelitian.

VI.1.1 Sumberdaya Air

Pada daerah penelitian sumberdaya air sangat digunakan untuk keperluan

sehari-hari warga. Sumberdaya air ini digunakan untuk keperluan rumah tangga,

digunakan untuk keperluan pertanian juga.

VI.1.2. Tanah

Pada daerah penelitian tanah sangat berguna untuk kehidupan warga sehari-

hari. Tanah dominan digunakan warga sebagai lahan perkebunan dan lahan

pertanian.

Gambar 15. Lahan pertanian berupa sawah. Foto LP 2(SUMBER : kamera praktikan)

27

VI.2 Bahaya Geologi

Bahaya geolgi yang sering terjadi di daerah penilitian adalah dominan gerakan

masa. Gerakan masa sering terjadi di beberapa tempat pada daerah penelitian.

Gambar 16.Gerakan masa di LP 34(sumber : kamera praktikan)

28

BAB VIIKESIMPULAN DAN SARAN

VII.1. Kesimpulan

Lokasi Pemetaan Geologi terletak di Desa Banjararum dan sekitarnya,

kabupaten Kulonprogo, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lokasi Pemetaan Geologi terletak pada 7 42’ 30”- 07 44’ 00’’ dan 110 11’ 30” – 110

14’ 00”. Merupakan bagian dari lembar peta RBI SENDANGAGUNG, dengan

nomor lembar peta ¼ SENDANGAGUNG 123-4A37.

Tujuan utama dari pemetaan ini yaitu membuat peta Geologi yang menjelaskan

kondisi geologi yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan

sejarah geologi. Satuan Geomorfik daerah penelitian dibagi menjadi dua satuan

yaitu, perbukitan terdenudasi dan dataran fluvial dengan subsatuan masing-masing.

Stratigafi daerah peneitian dibagi menjadi 3 satuan yaitu satuan Breksi Andesit,

satuan Batugamping, dan satuan Endapan alluvial. Pada daerah penelitian ditemukan

struktur geologi berupa kekar tarik, sesar normal, dan ada ketidakselarasan.

VII.2. Saran

Saran untuk praktikum Pemetaan Geologi kedepannya agar dari asissten dosen

lebih banyak lagi memberikan referensi kepada praktikan tentang bagaimana

Pemetaan Geologi agar praktikan lebih dengan mudah memahami dalam praktikum

Pemetaan Geologi.

29

30