Laporan Patgul

46
Laporan Praktikum Hari/tanggal : Selasa/ 14 April 2015 Teknologi Pati, Gula, dan Gol : P1 Sukrokimia Dosen : Dr. Ir. Titi Candra S., M.Si Asisten : 1. Choirul May Affandi (F34110002) 2. Muti’atul Chosyi’ah (F34110017) KARAKTERISTIK KOMODITAS PATI DAN GULA, PEMBUATAN GULA MERAH CETAK, GULA SEMUT, GULA INVERT, PRODUK HIDROLISAT PATI DAN ANALISIS PRODUK GULA Disusun oleh: Dewi Ayu W. (E14120031) Ananta Eka J. (F34120014) Amalia Afifah (F34120024)

description

patgul

Transcript of Laporan Patgul

Laporan PraktikumHari/tanggal: Selasa/ 14 April 2015Teknologi Pati, Gula, danGol: P1SukrokimiaDosen: Dr. Ir. Titi Candra S., M.SiAsisten:1. Choirul May Affandi (F34110002)2. Mutiatul Chosyiah (F34110017)

KARAKTERISTIK KOMODITAS PATI DAN GULA, PEMBUATAN GULA MERAH CETAK, GULA SEMUT, GULA INVERT, PRODUK HIDROLISAT PATI DAN ANALISIS PRODUK GULA

Disusun oleh:

Dewi Ayu W. (E14120031)Ananta Eka J. (F34120014)Amalia Afifah (F34120024)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR2015

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang berperan sebagai pemanis dansumber kalori dalam struktur konsumsi masyarakat selain bahan pangan. Pentingnya gula bagi masyarakat di Indonesia tercermin pada kebijakan pemerintah yang menetapkan bahwa gula pasir adalah salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan rakyat secara global. Sebagai komoditi strategis, gula senantiasa dicermati oleh pemerintah terutama dalam hal pergerakan harganya dan pemerintah pun berkewajiban untuk menjamin ketersediaan gula di pasar domestik pada tingkat harga yang terjangkau bagi seluruh masyarakat. Diantara komoditi pokok lainnya seperti beras, tepung terigu, minyak goreng, dan kedelai; komoditi gula ini paling unik. Harga gula terus meningkat dari waktu ke waktu dan hampir tidak pernah terjadi penurunan harga gula. Ketersediaan gula domestik sangat penting dalam menentukan harga gula. Karena musim giling produksi gula tebu hanya terjadi pada periode tertentu yaitu sekitar bulan Mei hingga November (masa giling diperkirakan terjadi enam hingga tujuh bulan tergantung kapasitas masing-masing pabrik gula1). Data dari BPS, 2011 menunjukkan bahwa kebutuhan gula skala nasional pada tahun 2011 diperkirakan sekitar3 juta ton sedangkan produksi gula diperkirakan hanya 2,6 juta ton.Peningkatan produksi gula tebu untuk meningkatkan pasokan gula (pemanis) dalam negeri dapat pula dilakukan dengan cara diversifikasi pangan, khususnya gula. Selain tebu, ada beberapa alternatif komoditas penghasil gula lainnya seperti tanaman famili palma (kelapa, aren, siwalan dan nipah), sweet sorgum, dan bit. Beberapa bahan tersebut juga dapat menghasilkan gula dengan karakteristiknya dan keunggulannya masing-masing. Jenis gula yang sering ditemukan di pasaran adalah gula pasir (tebu) dan gula merah cetak (aren, kelapa). Namun, saat ini sudah berkembang produk turunan gula seperti gula semut (palm suiker), gula cair, dan HFS (high fructose syrup). Gula semut merupakan versi simple gula merah yang lebih mudah digunakan. Gula cair dan HFS banyak digunakan untuk sirup dan juga pemanis pengganti gula pasir. Berbeda dengan gula pasir, gula cair lebih fleksibel terhadap bahan baku produksinya. Pati juga dapat digunakan menjadi maltodekstrin. Maltodekstrin diproduksi dengan cara menginversi pati menjadi maltodekstrin menggunakan asam atau enzim. Maltodekstrin juga merupakan produk turunan pati yang juga mengandung karbohidrat dan berfungsi penting pada industri-industri pangan khususnya. Beberapa aplikasi maltodekstrin ialah sebagai bahan pengisi, pengikat, dan pengental produk pangan, contohnya adalah bumbu mie instan dan kaldu instan.Pengetahuan mengenai gula dan sumber karbohidrat (pati) akan dapat membantu menghasilkan produk-produk turunan pati dan gula. Sebab itu, diperlukan pengetahuan mengenai gula, produk-produk turunannya, sumber bahan bakunya, hingga bahan baku alternatif dan produk turunan alternatif lainnya. Selain itu, pengetahuan tersebut dapat meningkatkan produktivitas gula di dalam negeri dengan teknik-teknik yang lebih baik dan efisien serta memenuhi keinginan konsumen. Pembelajaran produk-produk gula ini dimulai dari mengetahui karakteristik komoditas pati dan gula, produk gula seperti gula merah, gula invert dan gula semut. Dalam praktikum pati gula ini dipelajari bagaimana cara pembuatan dan menganalisis produk sehingga dapat diketahui bagaimana mutu gula yang dihasilkan. Analisis produk gula untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia dari masing-masing produk gula. Dengan mengetahui sifat-sifat tersebut, dapat diketahui syarat mutu produk gula yang layak untuk dipasarkan.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik komoditas pati dan gula, mempelajari proses pembuatan gula merah dari nira tebu, membuat neraca massa proses pembuatan gula merah dari nira tebu, mempelajari proses pembuatan gula semut dari gula kelapa dan gula aren, membandingkan karakteristik gula semut dari gula kelapa dan aren, mempelajari proses pembuatan gula invert dengan metode asam tartarat dan metode HCl, membandingkan karakteristik gula invert dengan metode asam tartarat dan metode HCl serta menganalisis sifat fisik dan kimia produk gula merah, gula semut dan gula invert.

METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat-alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain gelas piala, pengaduk, thermometer, sendok, pemanas atau komppor listrik, saringan, pisau, nampan, penggiling tebu, indicator pH, Erlenmeyer, autoklaf, hot stirrer, pipet tetes, incubator goyang, corong, penyaring vakum, kompor, pengaduk, cetakan gula, Bahan-bahan yang diperlukan seperti gula pasir, gula kelapa, asam tartarat, HCl, sodium bikarbonat dan air. (beras, jagung), umbi-umbian (Ubi kayu, Ubi Jalar, Talas, Kimpul), kacang-kacangan (kacang hijau), buah (pisang, sukun, labu),tebu, nira, kapur, minyak goring, pati, CaCO3, termamil, amiloglukosidase.

Metode

Karakterisasi Sifat Fisik Serealia

Karakteristik Umbi-umbian dan Buah

Karakteristik Nira

Proses Produksi Gula Merah

Proses Produksi Gula Semut

Proses Pembuatan Gula Invert Metode Asam Tartarat

Proses Pembuatan Gula Invert Metode HCL

Proses Pembuatan Maltodekstrin dengan Katalis Asam

Proses Pembuatan Maltodekstrin dengan Katalis Enzim

Proses Pembuatan Sirup Glukosa dengan Katalis Asam

Proses Pembuatan Sirup Glukosa dengan Katalis Enzim

Uji Warna Gula Merah Cetak

Uji Kekerasan Gula Merah Cetak

Gula Pereduksi (Metode Luff Schroll)

Gula Pereduksi (Metode DNS)

Uji Kadar Sukrosa

Uji Total Gula (Metode fenol-asam sulfat)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

(Terlampir)

Pembahasan

Starch atau pati merupakan polisakarida hasil sintesis dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Pati memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan yang memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada jenis tanamannya. Pati digunakan sebagai pengental dan penstabil dalam makanan. Pati alami (native) menyebabkan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan retrogradasi, kestabilan rendah, dan ketahanan pasta yang rendah. Hal tersebut menjadi alasan dilakukan modifikasi pati (Fortuna, Juszczak,andPalansinski, 2001).Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji-bijian atau umbi-umbian. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Salah satu contoh bahan berpati adalah karbohidrat. Karbohidrat merupakan komponen hasil pertanian yang berperan penting dalam menyediakan pangan, pakan, energi sandang dan papan. Karbohidrat memberi kontribusi terbesar dalam penyediaan energi bagi manusia. Di Indonesia, umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang penting setelah beras dan jagung. Tanaman umbi-umbian yang sudah biasa dijadikan sebagai sumber pangan dan bahan baku industri adalah ubi kayu dan ubi jalar. Selain bahan berpati, sumber energi dapat berasal dari gula. Gula sebagi bahan pemanis dapat berasal dari tebu, bit, nira palma, dan hidrolisat pati.Serealia merupakan jenis biji-bijian dari famili rumput- rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat sehingga dapat menjadi makanan pokok manusia, pakan ternak, dan industri yang menggunakan karbohidrat sebagai bahan baku (Muchtadi 2010). Kebanyakan serealia merupakan anggota dari suku padi-padian dan disebut sebagai serealia sejati. Anggota yang paling dikenal dan memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga dikenal sebagai serealia utama adalah padi, jagung, gandum, gandum durum, jelai, haver, dan gandum hitam. Beberapa tanaman penghasil bijian yang bukan padi-padian juga sering disebut serealia semu (pseudocereals) mencakup buckwheat, bayam biji (seed amaranth), dan kinoa. Beberapa serealia juga dikenal sebagai pakanburung berkicau, seperti jewawut dan berbagai jenis milet. Serealia dibudidayakan secara besar-besaran di seluruh dunia, melebihi semua jenis tanaman lain dan menjadi sumber energi bagi manusia dan ternak. Di sebagian negara berkembang, serealia seringkali merupakan satu-satunya sumber karbohidrat.Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, yaitu Amilosa yang merupakan fraksi yang terlarut dalam air panas yang mempunyai struktur lurus dengan ikatan -1,4-D-glukosa serta Amilopektin, merupakan fraksi yang tidak larut dalam air panas dan mempunyai struktur bercabang dengan ikatan -1,6-D-glukosa. Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat dalam serealia seperti beras. Semakin kecil kandungan amilosanya atau semakin tinggi amilopektinnya maka semakin lekat nasi tersebut (Winarno 2002). Pati jagung mengandung 28% (w/w) amilosa dan 72% (w/w) amilopektin. Pati jagung berbentuk bulat (polihedral) dan granulanya berukuran kurang lebih 15 m. Granula pati yang berukuran lebih kecil relatif kurang tahan terhadap perlakuan panas dan air dibandingkan dengan granula pati yang lebih besar. Karakteristik sifat fisik serelia dapat dilakukan dengan menentukan jumlah biji per kilogram, dimensi biji dan warna biii degan menggunakan metode Hunter (1999), chalkiness, presentase beras kepala, dan densitas kamba. Dimensi beras ditentukan dengan mengukur panjang, lebar dan tebal biji beras. Ukuran beras adalah panjang butiran beras yang diukur antara dua ujung butiran beras utuh. Chalkiness yaitu penentuan adanya bagian yang mengapur pada bagian beras. Chalky pada padi merupakan bagian dari biji yang berwarna lebih putih karena ada pati yang tidak berkembang secara sempurna, dan hal ini yang menyebabkan biji mudah hancur ketika digiling sehingga menurunkan perolehan beras kepala. Beras kepala adalah jumlah biji untuh setalh penggilingan. Densitas kamba menurut Syarief (1988) adalah perbandingan bobot bahan dengan volume yang ditempatinya, termasuk ruang kosong diantara butiran bahan.merupakan salah satu karakterisitik fisik biji-bijian yang seringkali digunakan untuk merencakan suatu gudang penyimpanan, volume alat pengolahan atau saran transportasi, mengkonversikan harga satuan dan sebagainya.Densitas kamba juga untuk menghitung kadar air dalam serealia.Umbi umbian adalah bahan nabati yang diperoleh daridalam tanah dengan jumlah produksi yang besar, misalnya ubi kayu, ubi jalar,kentang, garut, kunyit, gadung, bawang, jahe , kencur, kimpul, talas, gembili,ganyong, bengkuang, dan lain - lain. Pada umumnya umbi umbian mengandung sumber karbohidrat terutama pati yang cukup baik untuk menggantikan beras sebagai bahan makanan pokok dan sebagai sumber cita rasa dan aroma karena mengandung oleoresin. Selain itu umbi kaya akan kandungan prebiotik, serat dana ntioksidan. Umbi umbian dapat dibedakan berdasarkan asalnya yaitu umbi akardan umbi batang. Umbi akar atau umbi batang sebenarnya merupakan bagian akaratau batang yang dijadikan sebagai tempat menyimpan cadangan makanan. Yang termasuk umbi akar yaitu ubi kayu dan bengkuang. Yang termasuk umbi batangyaitu ubi jalar, kentang, dan gadung. Karakteristik umbi-umbian dan buah ditentukan dengan menggunakan densitas kamba, reaksi enzimatis dan pengaruh pemasakan.Proses pencokelatan atau browning sering terjadi pada buah-buahan seperti pisang, peach, salak, pala, dan apel. Buah yang memar juga mengalami proses pencokelatan. Pada umumnya proses pencokelatan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu proses pencokelatan yang enzimatik dan yang nonenzimatik (Winarno 2002).Pencoklatan pada buah apel dan buah lain setelah dikupas disebabkan oleh pengaruh aktivitas enzim Polypenol Oxidase (PPO), yang dengan bantuan oksigen akan mengubah gugus monophenol menjadi O-hidroksi phenol, yang selanjutnya diubah lagi menjadi O-kuinon. Gugus O-kuinon inilah yang membentuk warna coklat.Pencokelatan enzimatik terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung substrat senyawa fenolik.Senyawa fenolik dengan jenis ortodihidroksi atau trihidroksi yang saling berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses pencoklatan. Proses pencoklatan enzimatik memerlukan adanya enzinm fenol oksidase dan oksigen yang harus berhubungan dengan substrat tersebut.Pengaruh pemasakan dilakukan untuk mengetahui perubahan bentuk tektur, warna dan rasa umbi kukus. Karotenoid mudah rusak oleh pemanasan kering dan oksidasi, antosianin sangat mudah larut dalam air dan dapat bereaksi dengan logam-logam yang terdapat pada air pencuci atau perendam ataupun pada saat pemasakan, antoxantin akan kehilangan warnanya bila dimasak dalam air yang pHnya lebih dari enam atau bila bereaksi dengan logam atau tanin. Tanin akan teroksidasi oleh aktifitas enzim pada buah atau sayuran yang terpotong dan akan terjadi gumpalan yang berwarna coklat kemerahan cairan bila tanin direndam dalam air sadah (alkalis).Tekstur yang menentukan kekerasan dan kelunakan suatu bahan dapat berubah akibat pemanasan antara lain terdegradasinya protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut dalam air oleh pemanasan atau asam dan terhidrolisisnya makromolekul menjadi mikromolekul (polisakarida menjadi gula sederhana, protein menjadi protein sederhana atau turunanya dan lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas).Beberapa vitamin terutama yang sangat larut dalam air dan yang peka terhadap pemanasan seperti vitamin C, vitamin B kompleks akan rusak akibat pemanasan.Berdasarkan hasil yang didapatkan untuk hasil serealia kelompok 1 dengan sampel kacang merah memiliki jumlah biji 2240, dimensi biji 14,88 mm; 7,49 mm; 5,74 mm, bobot 0,482 g, bobot 1000 biji 446,43 g, densitas kamba untuk kacang merah 0,842, kacang putih 0,7551, warna L 2069,67; a 2754,33; b 6327,33, chalkiness 97,52%, beras kepala 87,26%. Kelompok 2 dengan sampel jagung memiliki jumlah biji 6860, dimensi biji 7,87 mm; 5,993 mm; 4,72 mm, bobot 0,146 g, bobot 1000 biji 145,77 g, densitas kamba untuk jagung 0,794, beras1 0,78, warna L 1992; a 2693; b 6193,67, chalkiness 26,04%, beras kepala 47,68%. Kelompok 3 dengan sampel milet putih memiliki jumlah biji 149800, dimensi biji 0,046mm; 0,034mm; 0,021mm, bobot 0,0066g, bobot 1000 biji 6,676g, densitas kamba untuk beras2 0,85, milet putih 0,6923, warna L 2193,33; a 2840,33; b 6541,33, chalkiness 5,14%, beras kepala 77,93%. Kelompok 4 dengan sampel milet merah memiliki jumlah biji 121600, dimensi biji 0,287mm; 0,224mm; 0,187mm, bobot 0,0077g, bobot 1000 biji 7,7 g, densitas kamba untuk milet merah 0,71, beras3 0,83, warna L 2252; a 2876; b 6642, chalkiness 8,76%, beras kepala 71,82%. Kelompok 5 dengan sampel ketan hitam memiliki jumlah biji 48255, dimensi biji 5,90 mm; 2,60 mm; 1,93 mm, bobot 0,021 g, bobot 1000 biji 20,273 g, densitas kamba untuk beras4 0,825, ketan hitam 0,784, warna L 2038,67; a 2728; b 6274,33, chalkiness 12,80%, beras kepala 68,13%. Kelompok 6 dengan sampel beras memiliki jumlah biji 54100, dimensi biji 2,58 mm; 1,75 mm; 6,05 mm, bobot 0,073 g, bobot 1000 biji 73,96 g, densitas kamba untuk ketan putih 0,821, ketan hitam 0,112, warna L 2152; a 2799; b 646,6, chalkiness 0,725%, beras kepala 88,632 %.Berdasarkan data yang dihasilkan untuk umbi-umbian kelompok 1 dengan sampel ubi ungu dan sukun miliki bobot per buah/umbi untuk ubi ungu 18,45 dan sukun18,88; volume ubi ungu 15,82 dan volume sukun 20,03; densitas kamba ubi ungu 1,166 dan sukun 0,94; reaksi enzim terjadi di ubi ungu dan sukun; pengaruh pemanasan terhadap tekstur sama yaitu lunak; warna ubi ungu menjadi ungu tua dan sukun pucat; rasa ubi ungu manis dan sukun agak manis. Kelompok 2 dengan sampel ubi cilembu dan sukun miliki bobot per buah/umbi untuk ubi cilembu 24,12 dan sukun10,88; volume ubi cilembu 25 dan volume sukun 18,3; densitas kamba ubi cilembu 0,965 dan sukun 0,59; reaksi enzim terjadi di ubi cilembu dan sukun; pengaruh pemanasan terhadap tekstur sama yaitu lunak; warna ubi cilembu menjadi coklat dan sukun pucat; rasa ubi cilembu manis dan sukun sedikit manis. Kelompok 3 dengan sampel ubi jalar putih dan pisang memiliki bobot per buah/umbi untuk ubi jalar putih 146,695 dan pisang 76,39; volume ubi jalar putih 25 dan volume ppisang 55; densitas kamba ubi jalar putih 5,86 dan pisang 1,385; reaksi enzim terjadi di ubi jalar putih dan pisang; pengaruh pemanasan terhadap tekstur sama yaitu lunak; warna ubi jalar putih menjadi kuning dan pisang putih kekuningan; rasa ubi jalar putih agak manis dan pisang pahit. Kelompok 4 dengan sampel singkong dan pisang memiliki bobot per buah/umbi untuk singkong 73,02 dan pisang 50,94; volume singkong 70 dan volume pisang 48; densitas kamba singkong 1,04 dan pisang 1,06; reaksi enzim tidak terjadi pada singkong tapi terjadi pada pisang; pengaruh pemanasan terhadap tekstur sama yaitu lunak; warna singkong menjadi kuning dan pisang putih kekuningan; rasa singkong agak manis dan pisang pahit.Kelompok 5 dengan sampel talas belitung dan kentang memiliki bobot per buah/umbi untuk talas belitung 93,07 dan kentang 155,8; volume talas belitung 90 dan volume kentang 150; densitas kamba talas belitung 1,034 dan kentang 1,039; reaksi enzim tapi terjadi pada kedua sampel; pengaruh pemanasan terhadap tekstur sama yaitu lunak; warna talas belitung menjadi kuning gelap dan kentang putih opak; rasa talas belitung agak manis gurih dan kentang gurih.Kelompok 6 dengan sampel talas dan kimpul memiliki bobot per buah/umbi untuk talas 31,41 dan kimpul 31,65; volume talas 19,22 dan volume kimpul 23,47; densitas kamba talas 1,63 dan kimpul 1,35; reaksi enzim tapi terjadi pada kedua sampel; pengaruh pemanasan terhadap tekstur sama yaitu lunak; warna talas menjadi cream, abu ungu dan kimpul putih bening; rasa talas gurih dan kimpul gurih.Pembuatan gula merah cetak dilakukan dengan cara menampung nira dari penggilingan tebu dan pastikan nira tersebut belum rusak dan belum mengalami fermentasi. Pembuatan gula merah dilakukan dalam kondisi kadar gula diatas 12% dan pH 6-7. Pengawet berupa kapur diberikan untuk menghindari kerusakan nira. Kemudian nira dituang kedalam wajan dan dimasak pada suhu 110-1200C lalu terus menerus dilakukan pengadukan agar nira tidak meluap. Selama pemasakan harus dilakukan pengadukan secara terus menerus agar nira masak secara merata serta tidak menjadi gosong terutama pada bagian bawah dan dapat mengurangi buih yang terbentuk. Ketika sudah mendidih nira mengeluarkan buih dan tampak bercampur dengan kotoran halus, maka ditambahkan minyak. Penambahan minyak dilakukan untuk menghilangkan buih jika selama pemasakan buih yang muncul cukup banyak. Nira yang telah masak biasanya apabila diteteskan ke dalam air akan mengeras. Nira yang telah masak diaduk terus agar cepat dingin lalu nira dituangkan kedalam cetakan yang telah dibasahi dengan air bersih agar mudah dilepaskan. Gula merah yang sudah dingin dikeluarkan dari cetakan untuk dikemas (Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) 2010).Proses pembuatan gula merah cetak pada praktikum dilakukan dengan dua perlakuan yaitu perlakuan dengan penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Tebu yang digunakan pun berbeda , ada tiga bagian tebu yang berbeda yaitu abgian atas, bawah, dan tengah. Berdasarkan data yang dihasilkan terdapat perbedaan pada hasil aroma dan warna, namun terdapat kesamaan pada semua nilai pH. Kelompok satu dengan tebu atas ditambah penambahan kapur memiliki kadar gula 12 brix, berwarna coklat muda, aroma tebu, rasa manis sedikit asam, dan pH 5. Kelompok dua dengan tebu bawah ditambah penambahan kapur memiliki kadar gula 18 brix, berwarna coklat kehijauan, aroma tebu, rasa asam manis, dan pH 5. Kelompok tiga dengan tebu campur ditambah penambahan kapur memiliki kadar gula 9 brix, berwarna coklat tua, aroma karamel, rasa asam manis, dan pH 5. Kelompok empat dengan tebu atas memiliki kadar gula 11 brix, berwarna coklat tua, aroma tebu mentah, manis sedikit asam, dan pH 5. Kelompok lima dengan tebu bawah memiliki kadar gula 13 brix, berwarna coklat muda, aroma tebu dan daun, rasa manis asam dan daun, dan pH 5. Kelompok enam dengan tebu campur memiliki kadar gula 10 brix, berwarna coklat tua, aroma tebu, rasa manis sedikit asam, dan pH 5. Kelompok dengan penambahan kapur yaitu kelompok 1, 2 dan 3 seharusnya memiliki warna lebih jernih dan rasa tidak terlalu asam. Penambahan kapur dilakukan untuk meemurnikan nira serta penambahan kapur berfungsi untuk menghambat atau menghentikan aktifitas mikroorganisme dan mengatur agar pH nira menjadi 6,0 sampai 7,0 karena akan berpengaruh terhadap kualitas gula merah cetak yang akan dihasilkan. Nira yang telalu asam susah mengalami pengentalan cairan atau tidak dapat dicetak. Selain itu, penambahan kapur pada saat pemasakan nira bertujuan untuk memperoleh hasil nira yang jernih, namun penambahan kapur yang berlebihan dapat menyebabkan rasa gula merah cetak menjadi kurang enak sehingga akan berpengaruh pada kualitasnya (Setyamidjaja 1984). Warna coklat yang terjadi setelah pemasakan disebabkan rekasi browning atau karamelisasi. Reaksi karamelisasi dan reaksi browning dapat terjadi ketika pemasakan nira. Hal ini karena apabila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsentrasinya akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Apabila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan,maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang akan menjadi lebur. Apabila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui titik leburnya, maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa. Warna coklat karamel didapat dari pemanasan larutan sukrosa dengan amonium bisulfat seperti yang digunakan pada minuman cola, minuman asam lainnya, (Fennema 1996). Reaksi browning (pencoklatan) pada gula apabila dipanaskan bersama protein akan bereaksi membentuk gumpalan-gumpalan berwarna gelap yang disebut melanoidin. Gula semut adalah gula merah yang berbentuk serbuk atau tepung yang dikenal dengan nama Palm Sugar. Bahan dasar peembuatan gula semut antara lain nira dari pohon kelapa, aren/enau, nipah, lontar maupun tebu. Gula semut memiliki beberapa kelebihan dari gula merah yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat. Kelebihan gula semut antara lain lebih mudah larut, daya simpan lebih lama karena kadar air kurang dari 3%, bentuknya lebih menarik, pengemasan dan pengangkutan lebih mudah, rasa dan aroma lebih khas, serta harga yang lebih tinggi daripada gula kelapa cetak biasa. Pemanfaatan gula semut sama dengan gula pasir (tebu) yakni dapat digunakan sebagai bumbu masak, pemanis minuman(sirup, susu, soft drink) dan untuk keperluan pemanis untuk industri makananseperti adonan roti, kue, kolak, dan lain-lain (Mustaufik dan Karseno, 2004).Pembuatan gula semut menggunakan bahan nira atau dapat juga menggunakan gula merah yang dileburkan kembali. Penggunaan gula merah sebagai bahan baku gula semut memiliki kelebihan dibandingkan menggunakan nira kelapa langsung. Proses pembuatan gula semut dari gula merah kelapa tidak memerlukan waktu yang lama karena kadar air gula merah kelapa tidak sebesar kadar air nira kelapa sehingga tidak memerlukan waktu yang lama dalam proses evaporasi. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan gula semut pada umumnya menggunakan kain saring untuk menyaring nira sebelum dimasak, wajan sebagai tempat memasak nira, tungku atau kompor sebagai sumber panas, ember atau wadah lain untuk menampung nira, serok untuk mengambil buih atau kotoran ketika nira mendidih, pengaduk kayu berbentuk garpu atau jangkar untuk proses granulisasi atau kristalisasi, kertas lakmus untuk mengontrol pH nira dan termometer untuk mengukur suhu serta ayakan yang celah-celahnya cukup rapat untuk menyeragamkan ukuran partikel gula semut (Soetanto, 1998).Sukrosa digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan gula semut bertujuan untuk meningkatkan kandungan sukrosa pada gula merah sehingga dapat mempercepat proses pembuatan gula semut, diperlukan sukrosa sebanyak 5-15% dalam bentuk gula kristal putih/sukrosa (bibit gula) untuk membuat gula semut dari gula merah. Sukrosa merupakan suatu disakarida yang dibentuk dari monomer-monomernya yang berupa unit glukosa dan fruktosa, dengan rumus molekul C12H22O11. Sukrosa diperoleh dari gula tebu atau gula bit. Struktur ini mudah dikenali karena mengandung enam cincin glukosa dan lima cincin fruktosa (Winarno, 1997).Sukrosa dalam bentuk gula kristal putih adalah hasil penguapan nira tebu,berbentuk kristal bewarna putih dan memiliki rasa yang manis (Suparmo dan Sudarmanto, 1991).Prosespembuatan gula semut dapat dilakukandengandua cara yaitu gula semutyang dibuat dari nira cair dan yang dibuat dari gula cetak yang sudahjadi dengan proses peleburan kembali. Pada prinsipnya proses produksi gulasemut meliputi: persiapan bahan baku, pemasakan, pendinginan dan kristalisasi, pengeringan dan pengayakan serta pengemasan (Mustaufik dan Haryani, 2006). Bahan baku berupa nira dengan kualitas baik yaitu nira yang tidak berbuih tidakasam dengan pH 5,5-6. Selain menggunakan nira, pembuatan gula semut dapat menggunakan bahan baku gula merah cetak yang dileburkan kembali dengan menambahkan sedikit air dan pemanasan. Bahan baku nira atau gula merah cetak yang telah dileburkan kemudian dipanaskan. Pemanasan dilakukan sampai nira yang telah masak membentuk benang-benang putih jika diteteskan dan akan mengerasjika nira dimasukkan ke dalam air dingin. Nira yang telah dipanaskan didiamkan beberapa saat sekitar 5-10 menit, kemudian dilakukan pengadukan untuk menghasilkan butiran kristal, jika butiran kristalmulai terlihat maka pengadukan dipercepat. Semakin cepat proses pengadukannya, maka akan semakin kecil kristal yang akan dihasilkan. Butiran kristal dikeringkan dengan cara penjemuran matahari atau dapatmenggunakan ovenpada suhu 600C. Selanjutnya butiran kristal yang telah keringdiayak sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Gula semut siap dikemas menggunakan pengemas seperti plastik ataupun daun pisang.Gula semut memiliki syarat mutu layaknya produk pangan lainnya. Syarat mutu ini ditetapkan agar konsumen terlindungi dari penipuan mutu produk. Syarat mutu gula semut tercantum di dalam SNI SII 0268-85 yang dapat dilihat pada Tabel 1. berikut:

Tabel 1. Persyaratan Mutu Gula Semut SNI (SII 0268-85).KomponenKadar

Gula (jumlah sukrosa dan gula reduksi) (%)Minimal 80,0

Sukrosa (%)Minimal 75,0

Gula reduksi (%)Maksimal 6,0

Air (%)Maksimal 8,0

Abu (%)Maksimal 2,0

Bagian-bagian tidak larut air (%)Maksimal 1,0

Zat warnaYang diijinkan

Logam-logam berbahaya (Cu, Hg, Pb, As)Negatif

PatiNegatif

BentukKristal atau bubuk

Pengamatan dan percobaan mengenai pembuatan gula semut diketahui bahwa pembuatan gula semut menggunakan gula kelapa lebih banyak menghasilkan rendemen dibandingkan dengan pembuatan gula semut dengan bahan nira aren. Penambahan bibit atau pancingan juga membuat pembentukan kristalnya lebih baik dan sempurna. Percobaan yang dilakukan menggunakan dua sumber nira yang berbeda, yaitu nira atau leburan gula cetak aren dan kelapa. Perlakuan yang digunakan untuk masing-masing sampel yaitu tanpa pancingan (bibit), menggunakan pancingan (bibit) 5%, dan menggunakan pancingan (bibit) 10%. Bibit yang digunakan yaitu gula kristal putih (gula pasir). Penggunaan pancingan (bibit) akan mempengaruhi bentukan kristal pada masing-masing sampel. Apabila proses pemanasan dan konsentrasi gulanya mencapai lewat jenuh, maka dengan atau tanpa penambahan pancingan tidak akan berpengaruh terhadap bentukan kristal yang dihasilkan. Akan tetap apabila, proses pemanasan dan konsentrasi gulanya tidak jenuh (masih terdapat air) maka penambahan pancingan akan sangat berpengaruh agar pembentukan kristalnya dapat lebih sempurna. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, rendemen gula semut kelompok 1 (nira kelapa dengan pancingan 10%) menghasilkan jumlah yang paling banyak yaitu 480 gram dibandingkan dengan kelompok lain yang tanpa pancingan atau dengan pancingan yang lebih rendah.Warna yang dihasilkan oleh masing-masing sampel dipengaruhi oleh lamanya proses pemanasan. Kandungan protein yang terdapat didalam nira akan mengalami proses Maillard atau Browning, sehingga semakin lama proses pemanasannya maka warna yang dihasilkan oleh sampel akan semakin gelap (coklat gelap). Nira kelapa akan menghasilkan warna coklat yang lebih terang dibandingkan dengan nira aren. Sampel yang memiliki warna paling gelap yaitu sampel kelompok 4 dan 5, serta sampel yang memiliki warna paling muda yaitu sampel kelompok 6. Dimana, ketiga sampel tersebut adalah sampel dari nira kelapa. Dari data data tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan (lama pemanasan) sangat berpengaruh terhadap pembentukan warna produk gula semut dari berbagai macam sumber nira yang digunakan. Aroma dan rasa juga dapat dipengaruhi oleh proses pemanasan ini. Berdasarkan data yang diperoleh, rasa dan aroma produk gula semut kelompok 1, 2, 4 dan 5 sudah mendekati standar yaitu memili aroma dan rasa yang khas gula merah (sesuai sumber niranya) dan manis (tidak asam atau pahit). Gula invert adalah Sebuah campuran bagian yang sama dari glukosa dan fruktosa yang dihasilkan dari hidrolisis sukrosa. Hal ini ditemukan secara alami dalam buah-buahan dan madu dan diproduksi secara buatan untuk digunakan dalam industri makanan. Dibandingkan dengan prekursor, sukrosa, gula invert lebih manis dan produk-produknya cenderung tetap lembab dan kurang rentan terhadap kristalisasi.Oleh karena itu dipakai oleh tukang roti , yang mengacu pada sirup sebagai atausirup invert trimoline.Campuran glukosa dan fruktosa yang diproduksi oleh hidrolisis sukrosa, 1,3 kali lebih manis daripada sukrosa. Disebut demikian karena aktivitas optik terbalik dalam proses. Hal ini penting dalam pembuatan kembang gula, dan terutama permen direbus , sejak kehadiran 10-15% gula invert maka dapat mencegah kristalisasi sukrosa. Gula invert dibuat dengan menggabungkan suatu sirup gula dengan sedikit asam (seperti cream of tartar atau jus lemon) dan pemanasan. Apabila ikatan rusak, maka sukrosa menjadi dua komponen, glukosa dan fruktosa, sehingga mengurangi ukuran kristal gula. Karena struktur kristal halus, gula inversi menghasilkan produk yang lebih halus dan digunakan dalam membuat permen seperti fondant , dan beberapa sirup. Proses pembuatan selai dan jeli otomatis menghasilkan invert gula dengan menggabungkan asam alami dalam buah dengan gula pasir dan pemanasan campuran. Gula invert biasanya dapat ditemukan dalam stoples di toko-toko pasokan kue-dekorasi (Kirk 1954).Dalam istilah teknis, sukrosa adalah disakarida yang berarti bahwa itu adalah molekul yang berasal dari dua gula sederhana monosakarida. Dalam kasus sukrosa, monosakarida blok bangunan ini adalah fruktosa dan glukosa. Pemecahan sukrosa adalah reaksi hidrolisis yang dapat diinduksi hanya dengan pemanasan larutan sukrosa, tetapi lebih umum, katalis ditambahkan untuk mempercepat konversi. Secara biologis katalis yang ditambahkan disebut sucrases (pada hewan) dan invertases (pada tumbuhan). Sucrases dan invertases adalah jenis hidrolase glikosida enzim. Acid, seperti terjadi di jus lemon atau cream of tartar , juga mempercepat konversi sukrosa untuk membalikkan. Gula invert merupakan campuran ekuimolar antara -D-glukosa dan -D-fruktosa yang dihasilkan dari hidrolisa sukrosa dengan asam maupun enzim. Persamaan stoikiometri reaksinya adalah

C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6Sukrosa air dektrosa fruktosa(sukrosa dan fruktosa yang terbentuk merupakan gula invert)Dalam persamaan diatas menunjukkan bahwa dari 100% sukrosa apabila terhidrolisis sempurna, setelah hidrolisis dihasilkan 52,63% dektrosa dan 52,63% fruktosa. Sehingga, dari hasil reaksi ada tambahan pedatan terlarut sekitar 5%. Hal ini tergantung dari derajat inversinya. Gula invert akan mengkatalis proses inversi sehingga proses kehilangan gul aberlangsung dengan cepat. Laju inversi sukrosa akan semakin besar pada kondisi pH rendah dan temperatur tinggi. Laju inversi yang paling cepat adalah pada kondisi pH asam (pH 5) (Winarno 1986). Gula invert yang banyak mengandung gula pereduksi akan lebih mudah mengalami proses pencoklatan. Gula pereduksi merupakan gula dengan gugus aldehid berperan dalam proses pencokelatan nira tebu dan mempengaruhi tingkat kemanisan dimana kandugan fruktosa dan glukosa memiliki kemanisan yang lebih rendah sehingga gula invert memiliki tngkat kemanisan yang lebih rendah pula.Terdapat tiga cara dalam memproduksi gula invert yaitu dengan enzim inverase, hidrolisis asam kuat dan lemah serta penggunaan resin penukar ion, asam kemudian basa. Dalam praktikum kali ini, metode yang digunaka adalam hidrolisis asam kuat dan asam lemah. Asam yang digunakan adalah asam kuat HCl dan asam lemah asam tartarat. Kondisi asam menyebabkan putusnya ikatan glikosidik yang terjadi antara glukosa dan fruktosa sehingga dengan adanya bantuan air sukrosa terurai menjadi glukosa dan fruktosa. Proses inversi dengan asam pekat akan menghasilakan gula invert yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan asam encer.Berdasarkan data yang dihasilkan kelompok 1 dengan sampel gula pasir dan menggunakan metode HCl didapatkan bobot akhir 114 g. Kelompok 2 dengan sampel gula aren dengan metode HCl didapatkan bobot akhir 125,4 g. Kelompok 3 dengan sampel gula kelapa dan metode HCl didapatkan bobot akhir 122,07 g. Kelompok 4 dengan sampel gula pasir dan menggunakan metode asam tartarat didapatkan bobot akhir 116,86 g. Kelompok 5 dengan sampel gula aren dan menggunakan metode asam tartarat didapatkan bobot akhir 92,17 g. Kelompok 6 dengan sampel gula kelapa dengan metode asam tartarat didapatkan bobot 114,91 g. Pada pembuatan gula invert tersebut metode menggunakan HCl menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan literature bahwa daya inverse asam klorida lebih tinggi daripada daya inverse asam tartarat (Junk dan Pancoast 1980)Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa (Rindit et al 1998). Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: Enzim, ukuran partikel, temperatur, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan. Terdapat beberapa cara hidrolisis pati yaitu hidrolisis dengan asam dan hidrolisis dengan enzim amylase.Metode kimiawi yang dilakukan dengan hidrolisis asam dilakukan dengan cara menggunakan asam-asam organik, yang sering digunakan adalah H2SO4, HCl, dan HNO3. Pemotongan rantai pati oleh asam lebih tidak teratur dibandingkan dengan hasil pemotongan rantai pati oleh enzim. Hasil pemotongan oleh asam adalah campuran dekstrin, maltosa dan glukosa, sementara enzim bekerja secara spesifik sehingga hasil hidrolisis dapat dikendalikan (Assegaf 2009).Enzim merupakan senyawa protein kompleks yang dihasilkan oleh sel-sel organisme dan berfungsi sebagai katalisator suatu reaksi kimia (Harwati dkk 1997). Kerja enzim sangat spesifik, karena strukturnya hanya dapat mengkatalisis satu tipe reaksi kimia saja dari suatu substrat, seperti hidrolisis, oksidasi dan reduksi. Ukuran partikel mempengaruhi laju hidrolisis. Ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta meningkatkan kelarutan dalam air (Saraswati 2006). Temperatur hidrolisis berhubungan dengan laju reaksi. Makin tinggi temperatur hidrolisis, maka hidrolisis akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan konstanta laju reaksi meningkat dengan meningkatnya temperatur operasi. Enzim dapat diisolasi dari hewan, tumbuhan dan mikroorganisme (Azmi 2006).Pati merupakan cadangan karbohidrat pada tanaman berbentuk granula-granula tak larut yang tersusun dari dua macam molekul polisakarida yaitu amilosa dan amilopektin, umumnya ditemukan pada umbi, akar dan biji. Gula reduksi terutama dalam bentuk glukosa diperoleh dari hidrolisis pati oleh enzim amilase yang terdapat pada kapang Rhizopus. Selain dari pati, glukosa dapat diperoleh dari hidrolisis isoflavon glikosida oleh kapang Rhizopus (Septiani dkk 2004). pH un1tuk enzim acid fungal amilase optimum pada 4 5 dan untuk enzim glukoamilase pada 3,5 5 (Novo 1995).Sirup glukosa adalah cairan kental dan jernih dengan komponen utama glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H12O6)n menjadi unit-unit monosakarida (C6H12O6) (Nuri 2012). Sirup glukosa sering disebut juga dengan gula cair dan merupakan monosakarida, yang terdiri atas satu monomer yaitu glukosa, sedangkan gula pasir atau sukrosa merupakan disakarida, yang terdiri atas ikatan glukosa dan fruktosa. Proses pembuatan sirup glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis asam atau dengan cara enzimatis. Pembuatan sirup glukosa ini menggunakan bahan baku yang berasal dari pati umbi-umbian seperti pati dari ubi jalar, ubi ganyong, garut, kimpul, ataupun suweg, yang kurang dimanfaatkan dan dikembangkan di Indonesia. Pembuatan sirup glukosa (gula cair) ini diharapkan menjadi alternatif pengganti gula pasir (sukrosa) untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan penduduk Indonesia. Pada saat proses pembuatan sirup glukosa, pemilihan sumber pati harus mempertimbangkan kandungan amilosa dan amilopektinnya. Sumber pati yang mempunyai amilopektin tinggi lebih baik karena memiliki pati ISP (Insoluble Starch Particles) yang dapat dihidrolisis secara asam maupun enzimatik (Nuri 2012). Bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatan sirup glukosa adalah enzim alfa amilase, glukoamilase, karbon aktif, resin, bahan kimia NaOH dan HCl untuk pengatur pH dan NaHCO3 untuk menstabilkan pH. Proses produksi sirup glukosa meliputi likuifikasi, sakarifikasi, penjernihan, penetralan, dan evaporasi. Tahap likuifikasi adalah proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh a-amilase pada suhu di atas suhu gelatinisasi dan pH optimum aktivitas a-amilase, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap jenis enzim. Proses likuifikasi berlangsung pada suhu 95oC (aktivitas enzim termofilik), karena itu suhu gelatinisasi pati yang akan dihidrolisis sebaiknya kurang dari 95oC. Di bawah suhu gelatinisasinya, pati tidak akan terurai atau terhidrolisis secara enzimatis maupun asam. Sesudah itu tangki diusahakan pada suhu 105oC dan pH 4,0-7,0 untuk pemasakan sirup sampai semua amilosa dapat terdegradasi menjadi dekstrin. Setiap dua jam, sirup pada tangki dianalisis kadar amilosanya dengan uji iod untuk mengetahui nilai DE (Dextrose Equivalen). Bila iod sudah menunjukkan warna coklat berarti amilosa sudah terdegradasi (nilai DE sekitar 8,0-14,0) maka proses likuifikasi sudah selesai (Nuri 2012).Pada proses sakarifikasi, dekstrin didinginkan sampai 60oC, pH diatur pada angka 4,0-4,6. Proses ini biasanya berlangsung selama 72 jam dengan pengadukan secara terus-menerus. Proses sakarifikasi dianggap selesai bila sirup telah mencapai nilai DE minimal 94,5%, nilai warna 60%, transmiten dan Brix 30-36. Selanjutnya dilakukan proses pemucatan, penyaringan dan penguapan. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan bau, warna, kotoran, dan menghentikan aktivitas enzim. Proses hidrolisa pati menjadi molekul glukosa secara kimia dapat ditulis (C6H10O5)n n (C6H12O6) (pati). Maltodekstrin dan sirup glukosa pada saat pembuatannya juga rentan mengalami kegagalan. Faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan pembuatan maltodekstrin dan sirup glukosa adalah perbedaan konsentrasi asam klorida dalam perlakuan, asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat mendegradasi polisakarida dalam bahan, pengaruh pengadukan pada saat memasak maltodekstrin dan sirup glukosa, pengadukan yang tidak merata pada saat pemasakan menyebabkan larutan pati yang akan diolah menjadi maltodekstrin dan sirup glukosa akan gosong pada bagian bawah. Selain itu, mutu bahan yang digunakan mungkin sudah tidak bagus lagi karena dalam pembuatan bahan dengan analisis mutu memiliki waktu yang relatif lama. Penggunaan asam sebagai penghidrolisa menghasilkan biaya produksi yang sedikit, namun produk yang dihasilkan tidak seragam dan banyak senyawa pati yang rusak oleh asam tersebut, sedangkan penggunaan enzim sebagai penghidrolisa menghasilkan produk yang seragam, lebih terkontrol, namun biaya produksi lebih tinggi karena harga dari enzim sendiri lebih mahal jika dibandingkan dengan asam. Proses pembuatannya ada dua, yaitu maltodekstrin dengan hidrolisat asam dan maltodekstrin dengan hidrolisat enzim. Maltodekstrin dengan hidrolisat asam prosesnya cukup sederhana yang pertama larutkan tapioka kedalam air hingga konsentrasi 30%. Kemudian, tambahkan asam (HCL) kedalamnya dan dipanaskan pada suhu antara 80-90C. dalam pemanasan harus selalu diaduk untuk menghindari proses gelatinisasi dari pati. proses berikutnya adalah mengeringkan suspensi tersebut dengan drum drier atau spray drier. jika telah dikeringkan, produk yang masih dalam bentuk kerak digiling menggunakan blander hingga halus. Produk selanjutnya dengan kemasan kering dan disimpan pada tempat kering. Untuk maltodekstrin dengan hidrolisat enzim caranya hampir sama dengan pembuatan maltodekstrin dengan hidrolisat asam hanya mengganti asam yang telah ditambahkan dengan enzim. jika dibandingkan proses pembuatan malto dekstrin dengan hidrolisat enzim akan lebih mudah dengan biaya yang murah daripada pembuatan maltodekstrin dengan hidrolisat enzim.Berdasarkan hasil praktikum hidrolisat pati terdapat beberapa nilai minus pada DE, DP dan total gula. Kelompok 1 dengan sagu metode HCl memiliki total gula -12,4924 ppm, gula pereduksi 264320,6 ppm, DE -4,72623, dan DP -2115851,2. Kelompok 2 dengan tapioka metode HCl memiliki total gula 9,641679 ppm, gula pereduksi 264895,1 ppm, DE 3,63981, dan DP -2115851,2. Kelompok 3 dengan maizena metode HCl memiliki total gula -26,0651 ppm, gula pereduksi 205142,2 ppm, DE -0,000127, dan DP -787037,84. Kelompok 4 dengan sagu metode enzim memiliki total gula 35,11673 ppm, gula pereduksi 270927,9 ppm, DE 0,0001296, dan DP 771506,629. Kelompok 5 dengan tapioka metode enzim memiliki total gula 9,432867 ppm, gula pereduksi 221229,5 ppm, DE 4,26384, dan DP 2345304,99. Kelompok 6 dengan maizena metode enzim memiliki total gula 25,929 ppm, gula pereduksi 210025,9 ppm, DE 0,000123456, dan DP 810003,857. Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. DE berhubungan dengan Derajat Polimerisasi (DP) (Lynn A. Kuntz 1997). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. DE= 100/DP Unit monomer dalam pati adalah glukosa, sehingga dengan demikian maltose memiliki DP 2 dan DE 50. Secara komersial penggunaan pati dipengaruhi oleh nilai DE. Semakin besar DE berarti semakin besar juga persentase pati yang berubah menjadi gula pereduksi. Harga DE mempengaruhi karakteristik maltodekstrin (Lynn A. Kuntz 1997). Berdasarkan literature tersebut maka hasil yang didapatkan sesuai dengan literatur. Namun untuk nilai masih belum sesuai karena ada nilai yang negatif. Hal ini disebabkan karena kurang telitinya perhitunga ketika analisis. Serta kesalahan dalam analisis.Metode pengukuran warna ada dua jenis yang banyak digunakan, yaitu metode pengukuran warna secara objektif maupun subjektif. Warna merupakan sifat produk pangan yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (objektif) dan sifat organoleptik (subjektif). Warna dapat dianalisa secara objektif dengan instrumen fisik dan secara organoleptik atau subjektif dengan indera manusia. Pengukuran objektif dapatdilakukan dengan spektrophotometer, colorimeter atau chromameter, dan kameraCCD. Sedangkan pengukuran subjektif dapat dilakukan dengan menggunakandiagram warna Chromaticity CIE 1931, Munsell, dan Hunter (Lika, 2013)Prinsip kerja colorimeter atau chromameter adalah mengukur parameter atau tristimulus warna XYZ menggunakan tiga buah filter X (merah), Y (hijau), dan Z (biru). Selain tiga buah filter, chromameter memiliki beberapa komponen penting antara lain adalah sumber cahaya, sensor, penguat, pengolah data dan display. Chromameter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur warna dari permukaan suatuobjek. Prinsip dasar dari alat ini ialah interaksi antara energi cahaya diffus denganatom atau molekul dari objek yang dianalisis. Setiap cromameter dengan tipe berbeda memiliki ruang pengukuran dengan diameter yang berbeda pula. Sumber cahaya yang digunakan yaitu lampu xenon. Lampu inilah yang akan menembak permukaan sampel yang kemudian dipantulkan menuju sensor spektral. Selain itu,enam fotosel silikon sensitifitas tinggi dengan sistem sinar balik ganda akanmengukur cahaya yang direfleksikan oleh sampel.Cahaya diffus yang mengenai sampel dipantulkan pada sudut tertentu, kemudian diteruskan ke sensor spektral, lalu dihitung menggunakan komputer mikro. Data hasil pengukuran dapat berupa YXY (CIE 1931), L*a*b*(CIE 1976), Hunter Lab atau nilai tristimulus XYZ, yang sebelumnya diolahmelalui pengolah data. Sistem pengukuran yang paling sering digunakan ialahsistem CIE L*a*b* atau CIELAB. Sistem warna CIELAB merupakan suatu skalawarna-warna yang seragam dalam dimensi warna. Dimana, nilai L menunjukkan tingkat kecerahan semakin tinggi nilai L maka warna produk semakin cerah. Nilai a menunjukkan kecenderungan warna merah apabila bertanda positif dan akan menunjukkan kecenderungan warna kuning yang ditunjukkan oleh nilai b yang bertanda positif dan biru apabila bertanda negatif. Nilai a dan b digunakan untuk menghitung 0hue(H) berdasarkan persamaan: 0H = tan-1(b/a).Pengujian yang dilakukan terhadap warna gula cetak menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai hue pada masing-masing sampel tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Nilai hue kelompok 5 lebih tinggi dibandingkan dengan nilai hue kelompok lainnya yaitu sebesar 66,70. Sedangakan nilai hue kelompok 2 adalah yang paling rendah yaitu sebesar 66,44. Kejanggalan nilai hue terlihat pada hasil data kelompok 4 yaitu sebesar 36,47. Kejanggalan ini dapat terjadi oleh beberapa faktor, diantaranya kesalahan paralaks pratikan atau kesalahan kalibrasi yang dilakukan pratikan terhadap alat colorimeter.Penetrometer merupakan suatu alat yang digunakan dalam bidang perminyakan atau bidang yang berhubungan dengan bidang pertanahan. Alat ini digunakan untuk menetukan resistansi tanah, tetapi dalam bidang industri yang laiin alat ini digunakan untuk menentukan nilai kekenyalan atau kekerasan dari sejumlah bahan. Nilai kekerasan dan kekenyalan ini disebut dengan konsistensi bahan. Konsistensi bahan didapatkan dengan menekan sampel pada penetrometer dengan menggunakan penekan standar seperti cone(jarum berbentuk kerucut), jarum atau batang yang ditenggelamkan pada sampel tersebut. Hasil pengukuran dari penekanan sampel menunjukan tingkat kekerasan atau kelunakan suatu bahan serta tergantung pada kondisi sampel tersebut seperti ukuran, berat penekan, geometri, dan waktu. Semakin lunak sampel, penekan penetrometer akan tenggelam makin dalam dan menunjukkan angka yang semakin besar (Suwanto, 2012).Pengujiaan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan masing-masing sampel produk gula cetak setiap kelompok. Berdasarkan pengujian diperoleh data tingkat kekerasan dari alat penetrometer. Nilai yang diperoleh memiliki perbedaan yang signifikan. Produk gula merah cetak kelompok 3 menunjukkan nilai yang paling kecil yaitu sebesar 0. Hal ini menunjukkan tingkat kekerasannya sangat rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk gula cetak kelompok 3 telah mengalami pencairan hingga tidak dapat dianalisis menggunakan alat penetrometer. Perbedaan tingkat kekerasan terjadi pada produk gula cetak kelompok 4 yaitu sebesar 289. Tingkat kekerasannya adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan produk gula cetak kelompok lainnya. Sedangakan tingkat kekerasan gula cetak milik kelompok 1,2,5 dan 5 menunjukkan nilai rata-rata. Nilai yang ditunjukkan tersebut (terlampir) disebabkan adanya pengaruh kadar air (kelembaban) yang dapat mengurangi tingkat kekerasan sampel. Produk pangan yang baik adalah produk pangan yang memiliki kandungan murni tanpa adanya zat pengotor atau kontaminasi di dalamnya. Produk gula cetak yang dihasilkan juga perlu dilakukan pengujian bagian tidak larut air, agar dapat diketahui zat-zat yang mungkin ada di dalam gula cetak. Pengujian ini berdasar pada SNI SII 0268-85 yang mengatur bahwa benda asing bahkan logam berat di dalam gula kistal atau gula cetak itu adalah negatif atau tidak ada sama sekali.Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah zat tidak terlarut didalam sampel atau zat pengotor didalam sampel, sehingga mutunya dapat disesuaikan dengan mutu SNI SII 0268-85 yang menyatakan bahwa jumlah padatan yang tidak larut didalam air minimal sebesar 0,1-0,2%. Berdasarkan pengujian diperoleh data jumlah padatan tidak terlarut di dalam air untuk masing-masing sampel lebih dari jumlah minimal standar yang telah ditentukan. Sehingga untuk produk gula merah cetak masing-masing sampel tidak memenuhi persyaratan mutu SNI. Nilai zat tidak terlarut di dalam air milik kelompok 5 adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya yaitu sebesar 24,6%. Sedangkan kelompok 3 adalah yang paling rendah yaitu sebesar 1,4%. Hasil pengujian kelompok 3 dan kelompok 4 masih dapat diterima, karena nilainya masih aman untuk dikonsumsi (SNI SII 0268-85), yaitu masing-masing 1,4% dan 1,5%. Prinsip analisa ini adalah gula dalam contoh direaksikan dengan luff schoorl berlebih. Kelebihan luff dititrasi dengan larutan baku Na-tiosulfat. Pada penentuan gula cara luff schoorl yang ditentukan bukan kuprooksida yang mengendap tetapi dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan gula reduksi (titrasi sample). Penentuanya dengan titrasi menggunakan Na-tiosulfat. Selisih titrasi blangko dengan titrasi sample ekuivalen dengan kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada di dalam bahan atau larutan. Reaksi yang terjadi selama penentuan karbohidrat cara ini,mula-mula kuprooksida yang ada dalam reagen akan membebaskan iod dari garam K-iodida. Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan titrasi menggunakan Na-tiosulfat. Untuk mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka diperlukan indikator amilum. Apabila larutan sudah berubah warnanya dari biru menjadi putih berarti titrasi sudah selesai. Agar perubahan warna dari biru menjadi putih dapat tepat maka penambahan amilum diberikan pada saat titrasi blangko dan titrasi sample kemudian dikonsultasikan dengan tabel yang sudah tersedia yang menggambarkan hubungan antaara banyaknya Na thiosulfat dan banyaknya gula reduksi.Berdasarkan percobaan diketahui bahwa inversi gula pasir menggunakan asam tartarat mengasilkan gula inversi yang lebih besar (86%) dibandingkan dengan inversi gula lainnya. Hasil inversi gula kelapa menggunakan asam tartarat menunjukkan angka yang paling kecil diantara nilai gula inversi lainnya yaitu sebesar 13,2%. Jumlah gula setelah inversi merupakan hasil penambahan komposisi gula total dan sukrosa yang dititrasi menggunakan Na-tiosulfat. Penambahan Na-tiosulfat pada titrasi mempengaruhi nilai gula total dan sukrosa pada perhitungan gula inversi. Hasil yang diperoleh menunjukkan kejanggalan. Beberapa kelompok memperoleh nilai titrasi yang sama dengan nilai blanko atau bahkan lebih tingg dari nilai titrasi blanko. Sehingga hasil yang diperoleh dari masing-masing perhitungan menunjukkan nilai nol (0) atau bahkan minus (-).Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi. Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keto bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa,maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi. Umumnya gula pereduksi yang dihasilkan berhubungan erat dengan aktivitas enzim, yaitu semakin tinggi aktivitas enzim maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan. Jumlah gula pereduksi yang dihasilkan selama reaksi diukur dengan menggunakan pereaksi asam dinitro salisilat/dinitrosalycilic acid (DNS) pada panjang gelombang 540 nm (Lehninger AL. 1982). Semakin tinggi nilai absorbansi yang dihasilkan, semakin banyak pula gula pereduksi yang terkandung. Hal ini dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas.Pengujian ini dilakukan untuk menentukan dan mengetahui jumlah gula pereduksi masing-masing sampel. Nilai yang diperoleh dari pengujian yaitu nilai transmittan (y) dan konsentrasi/ppm (x). Kurva standar dibuat menggunakan larutan DNS dengan penambahan air. Persamaan yang diperoleh yaitu y=-0,3481x+102,31. Nilai transmittan kelompok 3 menunjukkan nilai yang paling tinggi diantara sampel lainnya yaitu sebesar 30,9. Sedangkan nilai transmittan kelompok 4 menunjukkan nilai yang paling rendah, yaitu 8. Hasil data ini tidak dapat dibandingkan terhadap garis regresinya karena tidak terdapat kurva yang menunjukkan tingkat perubahan transmittan dari hasil data.Metode ini disebut juga dengan metode TS (total sugar) yang digunakan untuk mengukur total gula. Metode ini dapat mengukur dua molekul gula pereduksi. Gula sederhana, oligosakarida, dan turunannya dapat dideteksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat yang akan menghasilkan warna jingga kekuningan yang stabil.Pengujian ini dilakukan untuk menentukan dan mengetahui jumlah total gula yang terdapat didalam sampel sirup glukosa. Nilai yang diperoleh dari pengujian yaitu nilai absorbansi (Y) dan nilai ppm (X). Kurva standar fenol juga dibuat dan digunakan untuk membandingkan nilai uji yang telah dilakukan. Data pengujian menunjukkan nilai (hasil grafik) yang fluktuatif. Nilai kelompok 3 (maizena dengan metode HCL) menujukkan nilai yang paling kecil atau dibawah nilai rata-rata (regresi), sedangkan kelompok 4 (sagu dengan metode enzim) menunjukkan nilai yang paling tinggi atau diatas nilai rata-rata (regresi). Hasil data milik kelompok 2 dan kelompok 5 adalah yang paling baik karena berada paling presisi pada garis regresi. Sehingga tingkat ketepatan datanya paling tinggi.

PENUTUP

Simpulan

Karakteristik sifat fisik serelia dapat dilakukan dengan menentukan jumlah biji per kilogram, dimensi biji dan warna biii degan menggunakan metode Hunter. Umbi umbian adalah bahan nabati yang diperoleh daridalam tanah dengan jumlah produksi yang besar, misalnya ubi kayu, ubi jalar,kentang, garut, kunyit, gadung, bawang, jahe , kencur, kimpul, talas, gembili,ganyong, bengkuang, dan lain - lain. Pada umumnya umbi umbian mengandungsumber karbohidrat terutama pati yang cukup baik untuk menggantikan berassebagai bahan makanan pokok dan sebagai sumber cita rasa dan aroma karenamengandung oleoresin. Proses pencokelatan atau browning sering terjadi pada buah-buahan seperti pisang, peach, salak, pala, dan apel. Buah yang memar juga mengalami proses pencokelatan. Proses pembuatan gula merah cetak pada praktikum dilakukan dengan dua perlakuan yaitu perlakuan dengan penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Tebu yang digunakan pun berbeda , ada tiga bagian tebu yang berbeda yaitu abgian atas, bawah, dan tengah. Berdasarkan data yang dihasilkan terdapat perbedaan pada hasil aroma dan warna, namun terdapat kesamaan pada semua nilai pH. Kelompok dengan penambahan kapur yaitu kelompok 1, 2 dan 3 seharusnya memiliki warna lebih jernih dan rasa tidak terlalu asam. Penambahan kapur dilakukan untuk meemurnikan nira serta penambahan kapur berfungsi untuk menghambat atau menghentikan aktifitas mikroorganisme dan mengatur agar pH nira menjadi 6,0 sampai 7,0 karena akan berpengaruh terhadap kualitas gula merah cetak yang akan dihasilkan.Gula semut adalah gula merah yang berbentuk serbuk atau tepung yang dikenal dengan nama Palm Sugar. Bahan dasar peembuatan gula semut antara lain nira dari pohon kelapa, aren/enau, nipah, lontar maupun tebu.Kelebihan gula semut antara lain lebih mudah larut, daya simpan lebih lama karena kadar air kurang dari 3%, bentuknya lebih menarik, pengemasan dan pengangkutan lebih mudah, rasa dan aroma lebih khas, serta harga yang lebih tinggi daripada gula kelapa cetak biasa. Sukrosa digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan gula semut bertujuan untuk meningkatkan kandungan sukrosa pada gula merah sehingga dapat mempercepat proses pembuatan gula semut, diperlukan sukrosa sebanyak 5-15% dalam bentuk gula kristal putih/sukrosa (bibit gula) untuk membuat gula semut dari gula merah.Prosespembuatan gula semut dapat dilakukandengandua cara yaitu gula semutyang dibuat dari nira cair dan yang dibuat dari gula cetak yang sudahjadi dengan proses peleburan kembaliGula semut memiliki syarat mutu layaknya produk pangan lainnya. Syarat mutu gula semut tercantum di dalam SNI SII 0268-85.Proses pemanasan (lama pemanasan) sangat berpengaruh terhadap pembentukan warna produk gula semut dari berbagai macam sumber nira yang digunakan. Aroma dan rasa juga dapat dipengaruhi oleh proses pemanasan ini. Berdasarkan data yang diperoleh, rasa dan aroma produk gula semut kelompok 1, 2, 4 dan 5 sudah mendekati standar yaitu memili aroma dan rasa yang khas gula merah (sesuai sumber niranya) dan manis (tidak asam atau pahit). Pada pembuatan gula invert tersebut metode menggunakan HCl menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan literature bahwa daya inverse asam klorida lebih tinggi daripada daya inverse asam tartarat.Berdasarkan hasil praktikum hidrolisat pati terdapat beberapa nilai minus pada DE, DP dan total gula. Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. DE berhubungan dengan Derajat Polimerisasi (DP). Semakin besar DE berarti semakin besar juga persentase pati yang berubah menjadi gula pereduksi. Harga DE mempengaruhi karakteristik maltodekstrin. Berdasarkan literature tersebut maka hasil yang didapatkan sesuai dengan literatur. Namun untuk nilai masih belum sesuai karena ada nilai yang negatif. Hal ini disebabkan karena kurang telitinya perhitunga ketika analisis. Serta kesalahan dalam analisis.Analisis produk gula sangat penting dilakukan agar mutu dari prodik gula dapat terjaga. Analisis ini meliputi uji warna, uji kekerasn, uji bagian tidak larut air, uji gula pereduksi, uji kadar sukrosa, dan uji total gula. Seluruh pengujian ini harus berlandaskan SNI yang telah ditetapkan, sehingga jaminan terhadap kualitas mutu dan keamanan pangan konsumen dapat terjaga. Uji yang dilakukan juga harus steril dan benar berdasarkan metode yang digunakan. Semua uji yang dilakukan pada dasarnya sangat perlu untuk dilakukan tanpa adanya pengecualian.

Saran

Pratikum mengenai Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia telah memiliki metode dan prosedur yang sangat baik, sehingga proses pengerjaannya baik dan tepat waktu. Akan tetapi, seharusnya perekapan data dilakukan secara berkala untuk tiap minggunya agar meminimalisir kerancuan atau kehilangan data.

DAFTAR PUSTAKA

Assegaf F. 2009. Prospek Produksi Bioetanol Bonggol Pisang (Musa paradisiaca L.) Menggunakan Metode Hidrolisis Asam Dan Enzimatis. Purwokerto: Ilmu Pengetahuan Teknologi dan SeniAzmi. 2006. Penentuan Kondisi Optimum Fermentasi Aspergillus oryzae Untuk Isolasi Enzim Amilase Pada Medium Pati Biji Nangka (Arthocarphus heterophilus Lmk), Jurnal Biogenesis Vol. 2(2), PekanbaruBalai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP). 2010. Teknologi Gula Cetak dan Gula Semut Dari Nila Kelapa. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/slut0403.pdf. (diakses pada tanggal 13/13/2015)Fennema, OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc. Fortuna T, Juszczak L, and Palasiski M, Properties of Corn and Wheat Starch Phosphates Obtained from Granules Segregated According to Their Size. EJPAU, Vol. 4. 2001. Harwati Usa dkk. 1997. Biologi Untuk SMU. Jakarta : Fajar Agung.Junk W R dan H Pancoast. 1980. Handbook of Sugar.Westport, Connecticut: Teh AV Publishing Co Inc.Kirk RE dan Othmer OF. 1954. Encyclopedia of Chemical Technology. New York (NYC): The Interscience Encyclopedia Inc.Lehninger, A.L., 1982. Principle of Biochemistry. Worth Publishing Inc.Lika Yusa. 2013. Pengkodisian Sinyal Pengukuran Warna. [Makalah] Program Studi Teknik Elektonika, Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Semarang, Semarang.Lynn A. Kuntz, 1997. Making the Most of Maltodextrins. www. Foodproduct design.com. [terhubung] diakses pada 13/13/2015.Muchtadi RT. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung (ID): Alfabeta. Mustaufik dan Karseno. 2004. Penerapan dan Pengembangan Teknologi Produksi Gula Kelapa Kristal Berstandar Mutu SNI untuk Meningkatkan Pendapatan Pengrajin Gula Kelapa di Kabupaten Banyumas. Laporan Pengabdian Masyarakat. Program Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.Mustaufik dan P. Haryanti.2006. Evaluasi Mutu Gula Kelapa Kristal yang Dibuat dari Bahan Baku Nira dan Gula Kelapa Cetak. Laporan Penelitian. Peneliti Muda Dikti Jakarta. Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.Novo. 1995. Novos Hand Book. Kopenhagen. Denmark. Radinal, Indra, arliah, 2008,Karbohidrat, DarussalamNuri.2012.Pembuatan Sirup Glukosa. http://pustakanuri.com/2012/10/ sirup-glukosa.html. [terhubung] diakses pada 13/13/2015.Rindit Pambaylun dkk. 1998. Laporan Penelitian : Mempelajari Hidrolisis Pati Gadung (Dioscoreahispida Dernst) dengan Enzim -amilase dan Gluko amilase untuk Pembuatan Sirup Glukosa. Palembang: Fakultas Pertanian UNSRI.Saraswati. 2006. The Problems to be Solved in Starch Processing Technologies in Indonesia. Jakarta: BPPTSeptiani Y., Purwoko T., Pangastuti A., 2004, Kadar Karbohidrat, Lemak, dan Protein pada Kecap dari Tempe, Bioteknologi 1 (2), SurakartaSetyamidjaja, Djoehana. 1984. Bertanam Kelapa: Budidaya dan Pengolahannya. Yogyakarta : Penerbit Kanisisus. [SNI]. 1995. SNI: Gula Kelapa Krital SII 0268-85. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.Soetanto, N. Edy. 1998. Teknologi Tepat Guna MEMBUAT GULA KELAPA KRISTAL. Kanisius: Jakarta. Suparmo dan Sudarmanto, 1991. Proses Pengolahan Tebu. UGM: Yogyakarta.Suwanto, E.P., Yanurita D.H. 2012. Studi dan Perancangan Penetrometer Digital sebagai Alat Uji Konsistensi Bahan Berbasis Mikrokontroler. [Paper] Jurusan Fisika, Universitas Sepuluh Nopember, Surabaya.Syarief, R dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.Jakarta (ID): Mediyatama Sarana Perkasa.Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID). PT. Gramedia Pustaka Utama.Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.Winarno FG. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama