Laporan Manajemen Kasu1
-
Upload
putri-nurhayati -
Category
Documents
-
view
18 -
download
1
description
Transcript of Laporan Manajemen Kasu1
Laporan Manajemen Kasus
Spinal Anestesi 1
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
RSUD dr. Soeroto Ngawi
Disusun oleh:
Putri Nurhayati (10711222)
Pembimbing :
dr. Bambang Triyono, Sp.An., Msi.Med
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
RSUD DR. SOEROTO NGAWI
2016
Manajemen Kasus Spinal Anestesi
Sectio Caesarea (SC)
IDENTITAS
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 30 tahun
Alamat : Mantingan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
No.RM : 154543
Tgl Operasi : 05 Januari 2016
ANAMNESIS
Autoanamnesis dan pengambilan data sekunder dari status pasien pada
tanggal 05 Januari 2016.
a. Keluhan Utama
OS dikirim dari dokter Sp. OG karena diindikasi untuk melahirkan melalui
operasi SC.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 05 Januari 2016 pasien datang kerumah sakit membawa rujukan
dari Puskesmas dengan diagnosis G3P2A0 hamil 39 minggu 3 hari dengan Observasi
Inpartu + BSC 3 tahun yang lalu + KPD Mekonial. Kemudian pasien direncanakan
untuk dilakukan operasi Sectio Caesarea secepatnya pada tanggal 05 Januari 2016.
c. Anamnesis Sistem
- Cerebrospinal : pusing (-), demam (-), kejang (-)
- Kardiovaskular : berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
- Respirasi : sesak nafas (-), batuk (-)
- Digesti : BAK normal
- Integumentum : gatal-gatal (-), kemerahan di kulit (-)
- Muskuloskeletal : bengkak pada ekstremitas kaki (-)
d. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat asma : (-)
- Riwayat diabetes mellitus : (-)
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat alergi : (-)
e. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat asma : (-)
- Riwayat diabetes mellitus : (-)
- Riwayat hipertensi : (-)
- Riwayat alergi : (-)
PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan Umum
- Keadaan umum : tampak kesakitan
- Kesadaran : compos mentis
- Berat badan : 71 kg
- Tinggi badan : 157 cm
- IMT : 28,12 (Overweight)
- Vital sign
TD : 125/75 mmHg RR : 18 x/menit
HR : 117 x/menit Suhu : 36,7 C
- Kepala : bentuk kepala normal, mesosefal
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Leher : simetris, massa (-), deviasi trakea (-), nyeri tekan (-)
- Thoraks : dada simetris kanan dan kiri, retraksi dinding dada (-)
- Abdomen : perut membuncit (+), straie gravidarum (+)
- Ekstremitas : edema pada ekstremitas bawah (-), akral teraba hangat
b. Pemeriksaan Lokalis (Regio Abdominal)
- Inspeksi : perut buncit (+), striae gravidarum (+)
- Auskultasi : DJJ (+) 140x/menit
- Palpasi : TFU 31 cm, his (+)
- Genitalia : pembukaan 2 cm
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 05 Januari 2016 jam 09.02 WIB
WBC
LYM%
MID%
GRAN%
LYM#
GRAN#
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW_CV
RDW_SD
PLT
MPV
PDW
PCT
6.2
0.9
0.5
4.8
14.9
77.5
3.81
9.6
31.5
82.7
25.1
304
18.8
54.8
150
8.7
15.7
0.133
10*9/L
%
%
%
10*9/L
10*9/L
10*12/L
g/dL
%
fL
pg
g/dL
%
fL
10*9/L
fL
fL
%
Pemeriksaan Serologi
- Rapid test : negatif
- HBSAg : negatif
DIAGNOSIS
G3P2A0 hamil 39 minggu 3 hari dengan Observasi Inpartu + BSC 3 tahun yang lalu +
KPD Mekonial
TERAPI
Terapi non farmakologi : -
Terapi farmakologi : -
Terapi pembedahan : Sectio Caesarea (SC)
PENATALAKSANAAN ANESTESI
Pasien Ny. S usia 30 tahun dengan G3P2A0 hamil 39 minggu 3 hari dengan
Observasi Inpartu + BSC 3 tahun yang lalu + KPD Mekonial. BB : 71 kg, TB : 157
cm, TD : 125/75 mmHg, HR : 117 x/menit, RR : 18 x/menit.
a. Anamnesis
Riwayat hipertensi (-), asma (-), kejang (-), penyakit jantung (-), alergi obat (-)
, gigi goyang (-), MMT jam 06.00 WIB.
b. Konsul ke dokter Spesialis Anestesi jenis anestesi spinal, obat Bupivacain
dan Lidokain
- Teknik : anestesi spinal dengan posisi duduk membungkuk
- Premedikasi : infus WIDA HES 500 cc
- Induksi : Bupivacain spinal 0,5% + Fentanyl
- Maintenance : O2 2 lpm
- Monitoring : tanda vital selama operasi setiap 5 menit, kedalaman
anestesi, cairan dan perdarahan
c. Langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal antara lain :
1. Setelah di monitor, pasien duduk dengan posisi membungkuk, agar posisi
tulang belakang stabil. Pasien dibungkukkan maksimal agar prosesus
spinosus mudah teraba.
2. Menentukan tempat tusukan, yaitu L4-L5 (perpotongan antara garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung).
3. Berikan tanda pada tempat tusukan.
4. Tempat tusukan disterilkan dengan betadine dan alkohol.
5. Diberi anestetik lokal pada tempat tusukan, dengan lidokain 2 % sebanyak
2 ml. Jarum spinal besar ukuran 25G dapat langsung digunakan. Lakukan
penusukan jarum spinal pada tempat yang telah ditentukan, dengan sudut
10-30˚ terhadap bidang horizontal kearah kranial. Setelah resistensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan cairan jernih serebrospinal
akan menetes keluar, pasang spuit berisi Bupivacain spinal 0,5 % dan
dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik.
JAM 10.10 10.15 10.20 10.25 10.30 10.35 10.40 10.45 10.50 10.55 11.00
TD
(mmHg)
119/
60
128/
77
125/
79
118/
70
100/
60
110/
78
115/
68
121/
77
119/
75
116/
79
127/
70
HR
(x/menit)
121 118 1112 116 101 104 108 105 102 105 108
Cairan masuk : RL ± 1100cc
WIDA HES 500 cc
Cairan keluar : Perdarahan ± 300 cc
Urine ± 150 cc
11.05 11.10 11.15 11.20
112/70 118/74 120/72 126/70
96 105 105 107
Hasil pemantauan tanda vital (tekanan darah dan frekuensi nadi), cairan masuk dan
cairan keluar selama dilakukan anestesi sebagai berikut :
d. Selama operasi berlangsung tidak terjadi hipotensi maupun kenaikan tekanan
darah yang bermakna :
- cairan yang masuk selama operasi 1600 cc
- perdarahan selama operasi : ± 300 cc
- operasi berlangsung 1 jam 10 menit
e. Post operasi
- post operasi rawat di RR (Recovery Room)
- beri oksigen 3 lpm nasal canule
- awasi vital sign setiap 15 menit sampai stabil
- posisi tidur head up (30) sampai 24 jam post op
- bila sistole ≤ 90 mmHg beri ephedrin 10 mg IV
- bila nadi ≤ 60 x/menit beri SA 0,5 mg IV
- bila nyeri kepala hebat lapor dokter Spesialis Anestesi
PEMBAHASAN ANESTESI
Persiapan pra anestesi yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kecelakaan anetesia. Sebelum dilakukannya tindakan
pembedahan setidaknya harus melakukan kunjungan pasien yang dapat mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Persiapan pra bedah meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, serta klasifikasi status fisik yang biasa menggunakan
klasifikasi ASA (The American Society of Anaesthesiologists).
Anamnesis meliputi apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan
perhatian khusus misalnya alergi, riwayat asma, diabetes melitus, hipertensi, mual,
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
menentukan anestesi berikutnya dengan baik. Pemeriksaan fisik meliputi keadaan
gigi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar yang akan mempengaruhi untuk tindakan
laringoskopi intubasi. Keadaan status fisik yang diukur dengan menggunakan
klasifikasi ASA sebagai berikut :
- ASA I : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
- ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
- ASA III : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
- ASA IV : pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
- ASA V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
- ASA VI : pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Pada pembedahan cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
Pasien Ny.S 30 tahun, dengan diagnosis G3P2A0 hamil 39 minggu 3 hari dengan
Observasi Inpartu + BSC 3 tahun yang lalu + KPD Mekonial. Dari hasil anamnesis,
tidak didapatkan adanya riwayat hipertensi, riwayat asma, alergi obat, kejang dan
tidak terdapat adanya gigi yang goyang. Sehingga pasien dapat diklasifikasikan dalam
ASA 2 E, yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang dan pembedahan
bersifat emergency.
Pada pasien ini akan dilakukan tindakan anestesi dengan teknik spinal
anestesi. Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang
intratekal yang menghasilkan analgesia.Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5,
untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi
dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di
ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan
terjadinya blok anestesi spinal.
Indikasi anestesi spinal antara lain adalah bedah ekstremitas bawah, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi,
bedah abdomen bawah dan pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri yang
dikombinasikan dengan anastesia umum ringan. Pada pasien ini akan dilakukan
tindakan pembedahan uretroplasty yang termasuk dalam indikasi dilakukannya teknik
spinal anestesi. Kontra indikasi absolut/mutlak anestesi spinal meliputi pasien
menolak, infeksi pada tempat suntikan, riwayat alergi terhadap anestetik lokal,
hipovolemia berat, syok, mendapat terapi antikoagulan, gangguan perdarahan,
tekanan intrakranial meningkat, fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman tanpa
didampingi konsulen anestesi. Sedangkan kontra indikasi relatif meliputi infeksi
sistemik (sepsis, bakteremi), infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis,
kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, nyeri punggung
kronis.
Sebelum dilakukan tindakan anestesi terdapat langkah yang harus dilakukan
yaitu premedikasi. Tindakan premedikasi dengan memberikan cairan infus WIDA
HES sebanyak 500 cc yang bertujuan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Komplikasi dari tindakan spinal anestesi adalah sebagai berikut :
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai
T-2.
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma pembuluh darah
e. Trauma saraf
f. Mual dan muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi, atau spinal total
Adapun komplikasi pasca tindakan diantaranya :
a. nyeri tempat suntikan
b. nyeri punggung
c. nyeri kepala karena kebocoran likuor
d. retensio urin
e. meningitis
Program pergantian cairan pada Ny. S dengan berat badan 71 kg, lama puasa 4
jam, jumlah perdarahan (JP) 300 cc :
Maintenance (M) = 2 cc/kgBB/jam = 2 x 71 = 142 cc
Stress Operasi (SO) = 6 cc/kgBB/jam = 6 x 71 = 426 cc
Pengganti puasa (PP) = M x jam puasa = 142 x 8 = 1.136 cc
EBV = 70 cc/kgBB = 70 x 71 = 4.900cc
UBL = EBV x 20% = 4.900 x 20%= 980 cc
Kebutuhan cairan
M + SO + ½ PP + 3 (JP) = 142 + 426 + 568 + 900 = 2036 cc
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian cairan selama operasi masih kurang dan dapat ditambahkan saat pasien
berada di ruang pemulihan.
SPINAL ANESTESI
a. Persiapan spinal anestesi
Pada dasarnya persiapan untuk spinal anestesi seperti persiapan pada anestesi
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomi tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga
tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-
lainnya
3. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin, hamtokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial
thromboplastine time).
b. Peralatan spinal anestesi
- peralatan monitor meliputi tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse
oximeter) dan EKG
- peralatan resusitasi/anestesia umum
- jarum spinal
jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, Quincke-Babcock)
atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point, Whitecare).
c. Teknik spinal anestesi
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu
dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2. Posisi pasien :
1. Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm,
lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
2. Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi
mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang
pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila
diinginkan sadle block.
3. Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum,
semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi
komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran puncture headache),
dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan
menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi
dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang
keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-
nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi
bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor
harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat
menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
4. Obat yang digunakan
1. Bupivacain spinal
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali
lebih kuat daripada asalnya. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya
menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg,
sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume
2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri
tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan,
takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan lidokain. Salah
satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang
adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama
dengan tetrakain. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang
dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat
protein. Dosis maksimal yang aman digunakan adalah 2 mg/kgBB dengan atau
tanpa adrenalin. Durasi 3-8 jam. Pada kasus ini, digunakan bupivacain 0,5%
yang berarti dalam 100 cc pelarut, terdapat 0,5 gram bupivacain. Sediaan yang
digunakan adalah bupivacain ampul yang berisi 4 ml, yang berarti dalam satu
ampul tersebut terdapat 200 mg bupivacain. Jika dilihat dari berat badan pasien
yaitu 72 kg, maka dosis bupivacain yang diperlukan pada pasien ini adalah 144
mg.
2. Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan meperidin.
Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin. Mempunyai
onset dan durasi yang lebih cepat jika dibandingkan dengan morfin hal ini
dikarenakan kelarutan lemak fentanyl yang tinggi. Fentanyl dimetabolisme
dengan cara metilasi menjadi norfentanyl, hydroksipropionil-fentanyl dan
hidroksinorpropionil-fentanyl. Diekskresi melalui urin dan dapat dideteksi 72
jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak termetabolisme dan
diekskresikan melalui urin. Setelah pemberian bolus iv, fentanyl tersebar
terutama pada organ yang kaya vaskularisasi seperti otak, paru-paru dan
jantung. Dosis fentanyl 2-20 µg/kgBB seringkali diberikan sebagai adjuvant
anestesi inhalasi pada saat operasi. Pada pasien diberikan Fentanyl sebanyak 1
cc.
Pada pasien dengan anestesi spinal, sebelum keluar dari recovery room harus
dilihat dahulu Bromage Scorenya, dimana jika Bromage Score ≤ 2 dapat
dipindahkan ke bangsal.
Bromage Score
Kriteria Score
Gerak penuh dari tungkai 0
Tidak mampu ekstensi tungkai 1
Tidak mampu fleksi lutut 2
Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3
PEMBAHASAN SECTIO CAESAREA
1. Definisi
Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan insisi pada
abdomen dan uterus.
2. Indikasi
Berdasarkan waktu dan pentingnya dilakukan sectio caesarea, maka
dikelompokkan 4 kategori (Edmonds,2007) :
Kategori 1 atau emergency
Dilakukan sesegera mungkin untuk menyelamatkan ibu atau janin. Contohnya
abrupsio plasenta, atau penyakit parah janin lainnya.
Kategori 2 atau urgent
Dilakukan segera karena adanya penyulit namun tidak terlalu mengancam jiwa
ibu ataupun janinnya. Contohnya distosia.
Kategori 3 atau scheduled
Tidak terdapat penyulit.
Kategori 4 atau elective
Dilakukan sesuai keinginan dan kesiapan tim operasi
a. Indikasi Ibu : panggul sempit absolut, tumor yang dapat mengakibatkan
obstruksi, plasenta previa, rupture uteri, disfungsi uterus, solutio plasenta.
b. Indikasi janin : kelainan letak janin, gawat janin, ukuran janin (giant baby).
c. Indikasi ibu dan janin : bayi kembar, pre eklamsia dan eklamsia.
3. Jenis operasi section caesarea
a. Sayatan melintang
Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim (SBR). Sayatan
melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan (simphysisis) di atas
batas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14 cm. Keuntunganya adalah parut
pada rahim kuat sehingga cukup kecil resiko menderita rupture uteri (robek
rahim) di kemudian hari. Hal ini karna pada masa nifas, segmen bawah rahim
tidak banyak mengalami kontraksi sehingga luka operasi dapat sembuh lebih
sempurna.
b. Sayatan memanjang (bedah caesar klasik)
Meliputi sebuah pengirisan memanjang dibagian tengah yang memberikan suatu
ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi. Namun, jenis ini kini jarang
dilakukan karena jenis ini labil, rentan terhadap komplikasi
4. Komplikasi
a. Infeksi puerpeural (nifas)
1. Ringan, dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
2. Sedang, dengan kertaikan suhu lebih tinggi, disertai dehidrasi, perut sedikit
kembung.
3. Beral, dengan peritonitis dan sepsis, hal ini sering dijumpai pada partus
terlantar, dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartal karena ketuban
yang teah pecah terlalu lama, penanganannya adalah pemberian cairan,
elektrolit dan antibiotik yang ada dan tepat.
b. Perdarahan, disebabkan karena
1. Banyak pembuIuh darah terputus dan terbuka.
2. Antonia uteri
3. Perdarahan pada placenta bed
c. Luka kandung kemih
d. Kemungkinan ruptura uteri spontanea pada kehamilan mendatang.
KESIMPULAN
Langkah-langkah anestesi dan obat-obatan yang digunakan pada kasus ini sudah
sesuai dengan yang seharusnya.