LAPORAN KELOMPOK

download LAPORAN KELOMPOK

of 26

Transcript of LAPORAN KELOMPOK

LAPORAN KELOMPOK BLOK RESPIRASI SKENARIO 3 TUBERCULOSIS

OLEH : KELOMPOK 9 ACHMAD SYARIF AGUNG WAHYU HIDAYAT ANGGIE HERWANLISTANTO ASTARI RINDU ASTUTI FERNANDO FELIZ C GRESMITA RINDI WINARTI ISNA NOOR RAKHMAWATI NURLATIFAH FEBRIANA W. RATNA PRABAWATI N. SISKA DEWI AGUSTINA G0010009 G0010019 G0010033 G0010079 G0010087 G0010103 G0010143 G0010159 G0010179 G0010001

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerob dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme pathogen maupun saprofit. Ada beberapa mikobakteri pathogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3x2 sampai 4mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah. Berikut ini skenario pada kasus ini: Seorang laki-laki 30 tahun, datang ke IGD dengan keluhan utama batuk darah sebanyak 250 cc sejak 1 hari yang lalu. Penderita mengeluh batuk dengan dahak sulit keluar sejak 2 bulan diikuti demam hilang timbul dan keringat malam. Tidak mau makan 2 hari ini. Berat badan menurun 4 kg. Penderita adalah perokok. Tiga tahun yang lalu penderita pernah sakit paru dengan suara serak dan telah mendapat pengobatan paket dari Puskesmas selama 6 bulan. Saat mendapat pengobatan tersebut penderita pernah dirawat di rumah sakit karena muntah-muntah dan mata kuning. Penderita memiliki 2 anak yang masih balita. Ayah penderita meninggal karena penyakit paru menular dan jantung 6 tahun yang lalu. Tekanan darah: 100/60 mmHg. Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva pucat, auskultasi suara amforik pada paru kanan dan didapatkan pembesaran kelenjar leher. Pemeriksaan darah belum ada hasil. Foto thorak tampak gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan. Gambaran sarang tawon pada apeks paru kiri. Direncanakan pemeriksaan sputum, biopsy jarum halus (BJH) dan bila perlu bronkoskopi diatas meja operasi. Penderita ditenangkan, diajarkan agar tidak takut untuk membatukkan. Batuk darah ditampung dan dimonitor volumenya.

B. Rumusan masalah Adapun rumusan masalah dalam skenario ini: 1. Mengapa bisa terjadi batuk darah dan mengapa sputum darah harus dikeluarkan? 2. Apa sajakah patofisiologi penyakit berdasarkan skenario? 3. Apakah ada hubungannya dengan riwayat merokok? 4. Apakah ada hubungannya dengan riwayat penyakit dulu dan keluarga? 5. Apakah ada riwayat kontak yang berhubungan? 6. Bagaimanakah riwayat gizi dan sosial-ekonominya? 7. Bagaimanakah pemeriksaan fisik dan apa saja pemeriksaan penunjangnya? 8. Bagaimanakah penegakan diagnosis tuberkulosis? 9. Apa sajakah differential diagnosis tuberkulosis berdasarkan skenario? 10. Apa sajakah komplikasi yang ditimbulkan dari tuberkulosis? 11. Apa sajakah usaha penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit tuberkulosis berdasarkan skenario? C. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai antara lain: 1. Menjelaskan mengapa bisa terjadi batuk darah dan mengapa sputum darah harus dikeluarkan. 2. Mengetahui patofisiologi penyakit berdasarkan skenario. 3. Menjelaskan hubungannya dengan riwayat merokok. 4. Menjelaskan hubungannya dengan riwayat penyakit dulu dan keluarga. 5. Menjelaskan apa ada riwayat kontak yang berhubungan. 6. Menjelaskan bagaimana riwayat gizi dan sosial-ekonominya. 7. Menjelaskan bagaimana pemeriksaan fisik dan apa saja pemeriksaan penunjangnya. 8. Menjelaskan bagaimana penegakan diagnosis tuberkulosis. 9. Menjelaskan differential diagnosis tuberkulosis. 10. Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan dari tuberkulosis. 11. Menjelaskan usaha penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mencegah

penyakit tuberkulosis. D. Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh: 1. Mahasiswa memahami mengapa bisa terjadi batuk darah dan mengapa sputum darah harus dikeluarkan. 2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi penyakit berdasarkan skenario. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungannya dengan riwayat merokok. 4. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungannya dengan riwayat penyakit dulu dan keluarga. 5. Mahasiswa mampu menjelaskan riwayat kontak yang berhubungan. 6. Mahasiswa mampu menjelaskan riwayat gizi dan sosial-ekonominya. 7. Mahasiswa mampu menjelaskan bagaimana pemeriksaan fisik dan apa saja pemeriksaan penunjangnya. 8. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis tuberkulosis. 9. Mahasiswa mampu menjelaskan differential diagnosis tuberkulosis. 10. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan dari tuberkulosis. 11. Mahasiswa mampu menjelaskan usaha penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit tubekulosis. E. Hipotesis Pasien dalam skenario menderita Tuberkulosis.

BAB II PEMBAHASAN A. Patofisiologi Tekanan darah pasien (100/60mmHg) dinyatakan berada di bawah standar tekanan darah tekanan darah. Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva pucat, yang merupakan tandatanda dari anemia hemoragik, yang dapat terjadi akibat dari defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Hal ini dimunkinkan terkait adanya anoreksia/ penurunan nafsu makan yang dialami oleh pasien. Suara napas amforik adalah bunyi suara napas menyerupai bunyi tiupan di atas mulut botol yang kosong. Suara ini didapatkan karena terjadi pembentukan kavitas di paru. Pembesaran kelenjar leher terjadi karena basil telah menyebar melalui aliran limfe (secara limfogen). Karena jumlah bakteri lebih banyak, terjadi pembengkakan sebagai kompensasi dari tubuh untuk mencapai kondisi normal/ seimbang. B. Tabel Diagnosis Berdasarkan Gejala Gejala Batuk darah Demam Keringat malam Anoreksia BB turun Konjungtiva pucat TB Bronkiektasis Ca Paru normal yaitu 120/80mmHg pada pemeriksaan dalam keadaan sehat. Pada umumna, infeksi pada saluran respirasi menyebabkan penurunan

Auskultasi suara amforik Pembesaran kel. Limfe Fibroinfiltrat Kavitas paru Sarang tawon

-/+ -/+

-

C. Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar dari kasus TB (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. (Amin dan Bahar, 2007; Mahanani dkk, 2006) Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tubeculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. (Amin dan Bahar, 2007) Secara patologi, tuberkulosis diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu : tuberkulosis primer dan tuberkulosis pasca primer (tuberkulosis sekunder). a. Tuberkulosis Primer Tuberkulosis primer merupakan tuberkulosis paru pada orang yang terinfeksi pertama kali, sering bersifat asimptomatis, dan menunjukkan hasil positif pada uji tuberkulin. Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam. Bila infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada

saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel lebih dari 5 m. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. b. Tuberkulosis Pascaprimer (Tuberkulosis Sekunder) Tuberkulosis pascaprimer adalah tuberkulosis paru yang merupakan bentuk khas infeksi paru, namun sebenarnya orang tersebut pernah mengalami infeksi sebelumnya. Penyakit ini ditandai dengan adanya perkejuan dan kavitas dengan penyembuhan yang mengakibatkan fibrosis. Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis pascaprimer ini dimulai dengan saranag dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikalposterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim parur-paru dan tidak ke nodus hiler paru. TB pascaprimer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). (Amin dan Bahar, 2007; Hartanto dkk, 2006) Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis bermacam-macam atau banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan terbanyak adalah : demam, batuk darah, sesak napas, nyeri dada, dan malaise. a. Demam biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadangkadang panas badan dapat mencapai 40C-41C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga

pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. b. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkn saja batuk baru ada setelah beberapa minggu atau beberapa bulan setelah peradangan dimulai. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. c. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. d. Nyeri dada agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya. e. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. (Amin dan Bahar, 2007) Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subsferis), badan kurus atau berat badan menurun. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yng redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suar napas tambahan berupa bronki basah, kasar, dan nyaring. Pada tuberkulosis paru yang

lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila tuberkulosis mengenai pleura, seperti terbentuk efusi pleura dimana pada perkusi memberikan suara pekak. Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apek paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial). Pada foto dada sering ditemukan bermacammacam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema. Pada pemeriksaan CTscan, pemeriksaan dilakukan lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan daat dibuat transversal. Pemeriksaan MRI dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital, dan koronal. (Amin dan Bahar, 2007) Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam menegakkan kasus TB antara lain, pemeriksaan darah, pemeriksaan serologis, pemeriksaan sputum, dan tes tuberkulin. Pemeriksaan darah kurang mendapat perhatian karena hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan sputum penting dilakukan pada kasus TB karena dengan ditemukannya kuman BTA diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemuka 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum. Tes tuberkulin masih banyak dipakai untuk membantu

menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yaitu dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculose, M. bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen lainnya. (Amin dan Bahar, 2007)

D. Karsinoma Bronkogenik Karsinoma bronkogenik merupakan penyebab nomor satu kematian akibat kanker di negara industri. Terdapat 3 faktor yang bertanggung jawab dalam peningkatan insidensi penyakit ini yaitu merokok (paling penting yaitu pada 85% kasus), bahaya industri, dan polusi udara. Suatu karsinogen (bahan yang menimbulkan kanker) yang ditemukan dalam asap rokok dan polusi udara adalah 3,4 benzpiren. Dari berbagai bahaya industri yang menyebabkan karsinoma bronkogenik, yang paling penting adalah asbes. Risiko kanker paru pada para pekerja asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum. Selain asbes, juga terdapat peningkatan risiko diantara mereka yang bekerja dengan uranium, kromat, arsen, besi dan oksida besi. Risiko kanker paru meningkat kalau orang tersebut juga merokok. Dua faktor lain yang berperan dalam peningkatan risiko terjadinya kanker paru adalah makanan dan kecenderungan familial. (Mahanani dkk, 2006; Wulandari dkk, 2007) Karsinoma bronkogenik biasanya dibagi menjadi kanker paru kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (Non small cell lung cancer, NSCLC) untuk menentukan terapi. Termasuk di dalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar atau campuran dari ketiganya. Pada umumnya, SCLC terutama ditangani dengan kemoterapi, dengan atau tanpa radiasi, sedangkan NSCLC, jika pada diagnosis terlokalisasi, diatasi dengan reseksi bedah. Perkiraan frekuensi dari berbagai tipe histologi adalah sebagai berikut : epidermoid (30%), adenokarsinoma (33%) karsinoma sel besar (10%), dan karsinoma sel kecil (18%). Sembilan puluh persen

dari karsinoma bronkogenik adalah perokok dan 10 % sisanya yang bukan perokok menderita kanker paru yang biasanya berupa adenokarsinoma. (Mahanani dkk, 2006) Karsinoma bronkogenik adalah lesi yang berkembang perlahan, asimptomatik, dan umunya telah menyebar sehingga tidak lagi dapat direseksi sebelum menimbulkan gejala. Penyakit ini menyerupai banyak jenis penyakit paru dan tidak mempunyai awitan yang khas. Karsinoma ini seringkali menyerupai pneumonitis yang tidak dapat ditanggulangi. Batuk merupakan gejala umum yang seringkali diabaikan dan dianggap sebagai akibat merokok atau bronkitis. Bila karsinoma bronkus berkembang pada pasien bronkitis kronik, maka batuk lebih sering atau volume sputum bertambah. Hemoptisis merupakan gejala umum lainnya. Gejala-gejala awal adalah mengi lokal dan dispnea ringan yang mungkin diakibatkan oleh obstruksi bronkus. Nyeri dada dapat timbul dalam berbagai bentuk tetapi biasanya dialami berbagai perasaan sakit atau tidak enak akibat penyebaran neoplastik ke mediastinum. Nyeri pleuritik dapat pula timbul bila terjadi serangan sekunder pada pleura akibat penyebaran neoplastik atau pneumonia. Pembengkakan jari yang timbul cepat merupakan penanda penting penyakit ini (30% kasus biasanya NSCLC). Gejala-gejala seperti anoreksia, lelah dan penurunan berat badan merupakan gejala lanjutan. Jika sudah timbul suara yang sesak, nyeri dada, sindrom vena kava superior, efusi pericardium atau pleura, atau pneumonitis atau atelektasis segmental persisten, maka prognosisnya suram. Secara keseluruhan, prognosis NSCLC memiliki prognosis lebih baik dari pada SCLC. (Mahanani dkk, 2006; Wulandari dkk, 2007)

E. Bronkiektasis Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis, persisten dan berjalan kronik yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Perubahan ini disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikan kronis. Bronkus yang terkena umumnya

adalah bronkus kecil (bronkiolus) dan bronkus sedang, sedangkan bronkus besar jarang terkena. Penyakit ini dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini juga tidak memandang usia dan dapat timbul pada orang dewasa maupun anak-anak anak-anak. (Rahmawati dkk, 2008; Wulandari dkk, 2007) Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Penyakit ini dapat timbul secara kongenital maupun didapat. 1. Kelainan kongenital Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital ini mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru. Penyakit ini sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya, misalnya: mukoviskidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener (bronkiektasis kongenital, sinusitis paranasal dan situs inversus), hipo atau agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut: tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, kifoskoliosis kongenital. 2. Bronkiektasis Didapat Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan terjadi akibat proses infeksi dan akibat proses obstruksi bronkus. Proses infeksi ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. Sedangkan obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab yaitu korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus. Selain itu, masih terdapat faktor intrinsik ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis. (Rahmawati dkk, 2008) Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu: Bentuk tabung (tubular, cilindrical, fusiform bronchiectasis) merupakan bentuk paling ringan dan sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronis.

Bentuk kantong (saccular bronchiectasis) merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (cystic bronkiektasis). Varicose bronchiectasis merupakan bentuk antara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises pembuluh vena. (Rahmawati dkk, 2008) Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala: 1. Batuk Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada sakular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali, purulen dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: (a) Lapisan teratas agak keruh terdiri atas mukus, (b) Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan (c) Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak. 2. Hemoptisis Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari peredaran darah sistemik).

Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan gejala satusatunya, karena jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila kita menemukan kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini. Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada tuberkulosis paru, bronkiektasis (sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi hemoptisis. 3. Sesak nafas (dispnea) Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis kronis yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang bisanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan sesak nafas tadi. Kadang-kadang ditemukan wheezing, akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat lokal atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya. 4. Demam berulang Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (Rahmawati dkk, 2008) Pada saat pemeriksaan fisis, mungkin pasien sedang mengalami batukbatuk dengan pengeluaran sputum, sesak nafas demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisis umum yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis. Pada kasus yang berat dan lebih lanjut dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun payah jantung kanan. Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta tempat kelainan bronkiektasis terjadi dan kelainannya apakah lokal atau difus. Pada pemeriksaan fisis paru, tempat predisposisi kelainanya. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronkhi basah yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke waktu, atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien

mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut: terjadi retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat komplikasi pneumonia akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezing sering ditemukan bila terjadi obstruksi bronkus. (Rahmawati dkk, 2006) F. KOMPLIKASI TUBERKULOSIS PARU 1. Limfadenitis Lokasi tersering penyakit ekstraparuPenyakit dapat timbul dari infeksi primer, penyebaran dari lokasi jauh, atau reaktivasi infeksi. Kelenjar servikal dan mediastinum paling sering terkena, diikuti oleh aksiladan ingunal. Kelenjar getah bening biasanya tidak nyeri dan pada awalnya dapat digerakkan (mobile) namun menjadi terfiksasi sejalan dengan waktu. Saat terjadi perkejuan dan pencairan (liquefaction), pembengkakan menjadi berfluktuasi dan dapat mengeluarkan sekret melalui kulit dengan pembentukan abses collarstud dan pembentukan sinus. Selama atau sesudah pengobatan pembesaran paradoksial, perkembangan kelenjar getah bening baru atau supurasi dapat terjadi, eksisi bedah jarang diperlukan. 2. Penyakit gastrointestinal Tuberkulosis dapat mengenai semua bagian usus dan pasien dapat mengalami berbagai variasi gejala dan tanda. Penyakit ileosekal menyebabkan separuh kasus tuberkulosis abdominal. Demam, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan biasanya jelas terjadi dan masa fossa iliaka kanan dapat teraba,. Scan abdomen dapat menunjukkan penebalan dinding usus, limfadenopati, penebalan mesentrik, atau asites. Barium enema dan enema usus halus dapat menunjukkan penyempitan, pemendekan, dan distorsi usus dengan keterlibatan sekum yang dominan. Peritonitis tuberkulosis berhubungan dengan demam, nyeri, dan distensi perut. Asites eksudatif sering terjadi, atau mungkin terdapat massa omentum yang memadat dan lingkaran usus yang teraba. Diagnosis tuberkulosis abdominal ditegakkan dengan mengambil histologi

melalui kolonoskopi, laparoskopi, atau manilaparotomi. Disfungsi hepatik derajat rendah sering ditemukan pada tuberkulosis milier dan kriptik, yang sering bermanifestasi sebagai demam yang tidak diketahui penyebabnya, saat biopsi menunjukkan granulomata. Kadang kadang terdapat ikterik dengan gambaran campuran hepatik/kolestatik. 3. Penyakit perikardial Penyakit terjadi dalam dua bentuk utama: efusi perikardial dan perikarditis konstriktif. Demam dan keringat malam jarang terjadi dan manifestasinya bersifat perlahan dengan sesak nafas dan pembengkakan abdomen. Pulsus paradoksus, tekanan vena jugularis yang sangat meningkat, hepatosplenomegali, asites masif, dan tidak adanya edema perifer umum terjadi pada kedua bentuk tersebut. Efusi perikardial berkaitan dengan bunyi pekak yang meningkat pada daerah perikardial dan pembesaran jantung berbentuk globular pada rontgen toraks, sementara konstriksi dikaitkan dengan fibrilasi atrium, bunyi jantung ketiga awal, dan kalsifikasi perikardial. Diagnosis ditegakkan secara klinis, radiologis, dan ekokardiografik. Efusi perikardial bercampur darah pada kebanyakan kasus. 4. Penyakit sistem saraf pusat Hingga saat ini bentuk paling penting dari tuberkulosis sistem saraf pusat adalah penyakit meningeal. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi pada tuberkulosis primer atau post primer. Penyakit ini dapat mengancam nyawa dan menjadi fatal dengan cepat bila tidak didiagnosa sejak awal. Onset penyakit ini perlahan dengan muntah, nyeri kepala, demam, dan keringat malam yang terjadi satu sampai dua minggu. Terjadi perubahan mental dan kepribadian dengan rasa mengantuk yang progresif, meningismus, palsi saraf kranial. Tanda tanda fokal traktus panjangdan bahkan koma pada minggu ketiga sampai keempat. Hiponatremia sering terjadi. Pungsi lumbal menunjukkan renspon selular limfositik dengan peningkatan protein dan penurunan rasio glukosa. 5. Penyakit tulang dan sendi Semua tulang dan sendi dapat terinfeksi namun yang paling sering terjadi adalah tulang belakang dan panggul. Tuberkulosis tulang belakang biasanya timbul dengan gejala nyeri punggung kronik dan biasanya mengenai tulang

belakang torakal bagian bawah dan lumbal. Keterlibatan diskus merupakan manifestasi pertama yang diikuti oleh penyebaran sepanjang ligamen spinal untuk mengenai korpus vertebra anterior di dekatnya sehingga menyebabkan angulasi vertebrae dan kifosis. Pembentukan abses paravertebra dan psoas sering terjadi. CT Scan membantu mendapatkan informasi perluasan penyakit, jumlah kompresi medula spinalis, dan lokasi untuk biopsi jarum atau eksplorasi terbuka bi\la diperlukan. Diagnosis banding pertama adalah keganasan yang cenderung untuk mengenai korpus vertebrae dan meninggalkan diskus tetap intak. Manifestasi penyakit sendi bersifat perlahan dengan nyeri dan pembengkakan demam dan keringat malam jarang terjadi. Perubahan radiologis sering tidak spesifik namun sejalan dengan perkembangan penyakit, timbul reduksi rongga sendi dan erosi. 6. Penyakit saluran kemih dan kelamin Penyakit ginjal jarang terjadi dan seringkali sangat perlahan dengan gejala konstitusional minimal. Hematuria dan disuria seringkali timbul, dengan piuria steril yang ditemukan pada mikroskopi dan kultur urin. Pada pria tuberkulosis saluran kemih dapat terjadi sebagai epididimitis atau prostatitis. Pada wanita infertilitas akibat endometritis atau nyeri pembengkakan pelvis akibat salpingitis atau abses tuboovarium dapat terjadi. G. Pemeriksaan fisik Kelainan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di Lobus Superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1, S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan Fisik dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah dan tanda tanda penarikan paru diafragma mediastinum. Pada pleuritis tuberculosis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura, auskultasi suara napas melamah sampai tidak terdengar. Pada limfadenitis TB terlihat pembesaran kelenjar getah kuning di leher, ketiak.

H. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan mikroskopis bakteri: cara SPS (sewaktu pagi sewaktu) atau setiap pagi 3 hari berturut turut. Metode pengecatan Ziehl Nellsen, pembacaan skala IUATLD (Int.Union Dis) atau skala Bronkhorst 2. Uji Tuberkulin ( Mantoux ) Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux ( pernyuntikan intrakutan ) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaandilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm ( pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi , penyakit sangat berat pemberian imunosupresif, dll ). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang. 3. Reaksi Cepat BcG Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat ( dalam 3-7 hari ) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis. 4. Foto Rontgen dada Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilu atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah: milier, atelektasis kolaps konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi ( lobus ), reaksi pleura dan atau efusi pleura, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. kalsifikasi, Against TB & Lung

Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA ( postero- Anterior ) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja. I. Penatalaksanaan TBC Penatalaksanaan TB dibagi menjadi empat fase yaitu fase pencegahan (preventif), pengobatan, rehabilitative, dan fase promotif. 1. Fase Pencegahan a. Vaksinasi BCG Meskipun keberhasilan vaksinasi BCG hanya 0-80% proteksi pada anak-anak, tetapi vaksinasi BCG masih diyakini dapat mencegah TB yang lebih berat seperti meningitis, TB miller dll serta tuberculosis extra paru. b. Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis adalah terapi pencegahan TB dengan terapi medikamentosa TB dengan jangka waktu tertentu. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya yang murah dan efek samping yang lebih sedikit. Kemudian Rifampisin, penelitian pada 1 DAT (International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insiden tuberculosis sampai 55-83%, dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan hingga 90%. Sedangkan yang tidak teratur efektivitasnya masih cukup baik.. Lama profilaksis optimal belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 bulan. Pada Negara-negara dengan populasi TB tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadapa semua pasien HIV positif dan pasien yg mendapat imunosupresan. 2. Fase Pengobatan atau Kuratif TB Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya

kekebalan terhadap OAT, serta mengurangi dampak secara social dan ekonomi. Prinsip-prinsip pengobatan TB, antara lain: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. d. Tahap awal (intensif) dan tahap Lanjutan Jenis OAT, Sifat, dan Dosis first line Jenis OAT Sifat Dosis yang (mg/kg) Harian Bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama, sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang. bakterisid, dapat membunuh kuman persister yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam 5 (4-6) 10 (8-12) 25 (20-30) direkomendasikan 3 kali seminggu 10 (8-12) 10 (8-12) 35 (30-40)

ISoniazid (H)

Rifampisin (R) Pyrazinamide (Z)

Streptomycin (S)

bakterisid.

15 selama (12-18). umur 60th 15 = 0,75kg/hari (12-18) umur > 60 th = 0,50 kg/hari

Paduan OAT Indonesia a. Kategori I : 2RHZE/4R3H3 Paduan OAT ini diberikkan pada pasien baru TB paru yang BTA positif atau BTA negative foto thorak positif, dan TB extra paru. Jumlah hari/kali menelan obat Pirazinamid @ 500 mgr 3 Etambutol @ 250 mgr 3 56 48

Tahap Lama Pengobatan Pengobatan

Dosis per hari/kali Isoniasid @ 300 mgr 1 2 Rifampisin @ 450 mgr 1 1

Intensif Lanjutan

2 bulan 4 bulan

b. Kategori II : 2RHZES/RHZE/5 R3H3E3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Jumlah hari/kali menelan obat

Tahap Pengobata n

Lama Pengobata n

Isoniasi Rifampisi Pirazinami d @ 300 n @ 450 d @ 500 Etambutol mgr mgr mgr Tablet Tablet @ 250 @400 mgr mgr

Streptomisy n injeksi

Tahap intensif 2 bulan (dosis 1 bulan harian) Tahap lanjutan 4 bulan (dosis 3x seminggu )

1 1

1 1

3 3

3 3

-

0,75 gr -

56 28

2

1

-

1

2

-

60

c. Kategori III : 2RHZE/4R3H3 Pasien TBP dengan sputum BTA negative tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori 1). Pengobatan

fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3 d. Kategori IV : INH seumur hidup Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB)). e. Kategori anak : 2HRZ/4HR f. Disamping kategori 1 dan 2 terdapat kategori sisipan (HRZE) Tahap pengobatan Lamanya Pengobatan Tablet Isoniazid @ 300 mgr 1 Kaplet Rifamfisin @ 450 mgr 1 Tablet Tablet Pirazinami Etambutol d @ 500 @ 250 mgr mgr 3 3 Jumlah hari/kali menelan obat 28

Tahap intensif 1 bulan (dosis harian)

Tipe Pasien Uraian TB Pasien baru BTA (+) dengan Akhir tahap intensif pengobatan kategori 1

Hasil BTA

Tindak Lanjut

Negatif

Tahap Lanjutan dimulai Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan Sembuh Gagal, ganti dengan OAT Kategori 2 dimulai dari awal Berikan pegobatan tahap lanjutan sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap.

Positif Sebulan sebelum akhir Pengobatan Negatif atau Akhir keduanya pengobatan (AP) Positif Pasien baru Akhir intensif BTA (-) & Ront (+) dengan Negatif

pengobatan kategori 1 Positif Penderita baru BTA (+) dengan Akhir intensif pengobatan ulang kategori 2 Ganti dengan Kategori 2 mulai dari awal Teruskan pengobatan sengan tahap lanjutan Berikan sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan obat Sembuh Belum ada pengobatan, disebut kasus kronik, jika mungkin, rujuk kepada unit pelayanan spesialistik.

Negatif

Positif Sebulan sebelum Akhir pengobatan Negatif atau Akhir keduanya Pengobatan (AP) Positif 3. Fase Rehabilitatif/Pemulihan kembali

Untuk penderita TBC fase rehabilitasinya meliputi latihan pernapasan saat beraktivitas seperti jalan santai, duduk santai (yoga) dan latihan untuk membatukkan sputum supaya tidak tertahan di dalam. 4. Fase promotif atau peningkatan kondisi fisik selama masa terapi Fase promotif ini diberikan sebagai upaya peningkatan kesehatan si penderita, keluarga, dan lingkungan melalui edukasi terhadap pasien dan keluarga dan masyarakat melalui penyuluhan kesehatan sesuai kebutuhan masing-masing penyakit TB. Meningkatkan gizi penderita melalui pengaturan pola makan dan bahan makanan yang dikonsusmsi serta pengawasan sanitasi lingkungan. PAsien juga dianjurkan untuk melakukan olahraga teratur yang selain dapat dijadikan terapi rehabilitative juga dapat untuk pemulihan pikiran yang mungkin selama beberapa hari jenuh karena terus di dalam ruangan.

BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN Simpulan yang dapat diambil antara lain: 1. Penyakit TBC timbul karena infeksi bakteri Tubercolosis. TB bias terjadi di beberapa tempat selain Pulmo. Namun yang paling membahayakan adalah TB di pulmo 2. Penyakit seperti broniektasis, Ca Pulmo, dan sebagainya dapat d hindari denagn tidak merokok baik aktif maupun pasif.

B. SARAN Diskusi kali ini sudah cukup baik, namun ada beberapa hal yang harus ditingkatkan. Antara lain: 1. Keaktifan dari masing-masing peserta ditingkatkan lagi 2. Pendapat yang dikemukakan hendaknya disertai sumber yang jelas

serta dapat dipertanggungjawabkan

DAFTAR PUSTAKA Amin, Z. dan Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. pp: 988-993 Dermawan, R. 2010. Sistem Pernapasan. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal 20 November 2011. Hartanto, H., Koesoemawati, H., Salim, I.N., Setiawan, L., Valleria, Suparman, W. (eds). 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC. pp: 2307, 2306 Mahanani, D.A., Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P. (eds). 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC. Mandal, B.K, et all. 2008.Lecture Notes; Penyakit Infeksi Edisi Keenam.Jakarta:Erlangga Rahmawati, A. Dkk. 2008. Bronkiektasis. fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=1495&page=Aktifitas Rahajoe, N.N. dkk (eds). 2005. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak. Jakarta : Unit Koordinasi Kerja Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Reviono. 2011. Kuliah Penunjang Blok Respirasi: TBC. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.