LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

29
LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA TRAKEOESOFAGEAL FISTULA dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.MSi DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH 2018

Transcript of LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

Page 1: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA TRAKEOESOFAGEAL

FISTULA

dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.MSi

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH

2018

Page 2: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

BAB I

PENDAHULUAN

Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas

pada lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu

lumen penghubung antara bagian proksimal dan atau distal esofagus dengan jalan napas

(trakea). Pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Gibson pada tahun 1967. Terjadi pada 2500-

3000 kelahiran hidup, dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar.1,2,3

Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan

jelas. Adanya hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya,

menunjukkan bahwa lesi ini terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang

penyebab pastinya belum teridentifikasi.2

Bayi dengan atresia esofagus akan menunjukkan gejala hipersalivasi dan sesak napas

yang ditimbulkan akibat aspirasi pneumonia. Ketika selang nasogastrik tidak dapat melewati

esofagus maka dapat diduga adanya atresia. Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam

mendiagnosis atresia esofagus, menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau tanpa fistula dan

mendiagnosis anomali lainnya yang terkait dengan VACTERL.4,5 Pengetahuan dan kemampuan

seorang anestesiologis dalam menangani pasien-pasien dengan kelainan tersebut saat akan

sangat memainkan peranan penting dalam keberhasilan durante operasi. Pemahaman terhadap

komplikasi yang mungkin terjadi dan hasil jangka panjang serta gejala sisa yang muncul setelah

operasi, akan menentukan prognosis dari pasien tersebut1

BAB II

Page 3: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan tabung muskuler yang menghubungkan faring dengan gaster.

Panjang esofagus saat lahir bervariasi antara 8- 10 cm dan pada usia 15 tahun sekitar 19 cm.

Esofagus memanjang dari batas bawah kartilago cricoid (setinggi corpus vertebra servikal 6)

hingga ke orifisium kardiak gaster setinggi corpus vertebra thorakal 11. Batas atas pada bayi

baru lahir terletak setinggi corpus vertebra servikal 4 atau 5 dan berakhir lebih tinggi yaitu

setinggi corpus vertebra thorakal 9.6

Berdasarkan regio yang dilewati, esofagus dapat dibagi menjadi esofagus servikal,

esofagus thorakal dan esofagus abdominal. Esofagus servikal di mulai dari ujung orofaring

hingga corpus vertebra cervical 6. Esofagus thorakal berada di sepanjang mediastinum mulai

setinggi corpus vertebra thorakal 10 melintasi diafragma yang merupakan jaringan muskuler kuat

dan membatasi thorax dengan abdomen. Esofagus abdominal mulai setinggi corpus vertebra

thorakal 11, masuk kedalam lambung, membentuk sudut yang tajam disebut cardiac angle.1,6

Esofagus memiliki pembuluh darah yang kompleks sesuai dengan pembagian anatomi

esofagus. Esofagus cervical mendapatkan aliran darah dari arteri tiroid inferior. Esofagus

thorakal mendapat aliran darah dari cabang aorta thorakal dan arteri brakhial. Esofagus

abdominal mendapatkan darah dari artei gastrika sinistra dan aorta abdominal cabang phrenik

sinistra inferior. Begitu juga dengan aliran darah vena.1

II. Epidemiologi

Atresia esofagus merupakan malformasi kongenital yang terjadi pada 2500-3000

kelahiran hidup. Dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar. Angka kejadian

atresia esofagus di amerika serikat sekitar satu pada 4500 kelahiran. Di finlandia memiliki

angka kejadiaan yang tinggi yaitu satu pada 2440 kelahiran.2,4

Atresia esofagus lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Walaupun

beberapa kasus bersifat sporadik, adanya riwayat keluarga dengan atresia esofagus telah

dilaporkan. Sekitar 6% bayi dengan atresi esofagus merupakan anak kembar. Orang tua yang

memiliki satu bayi dengan atresia esofagus , anak selanjutnya beresiko 0,5-2 % memiliki atresia

Page 4: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

esofagus. Jika terdapat lebih satu orang keluarga dengan atresia esofagus angka resiko memiliki

kelainan yang sama sekitar 20%.4

III. Etiologi

Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan

jelas. Kelainan kromosom seperti trisomi 18 dan 21, adanya agen infektif seperti

kekurangan vitamin A dan penggunaan dosis tinggi pil kontrasepsi yang mengandung

progesteron selama kehamilan diduga sebagai penyebab atresia esofagus. 2,4,7

Limapuluh persen anak dengan AE/TEF akan mengalami anomali tambahan lainnya.

Seringkali muncul dalam spektrum yang dikenal sebagai VACTERL (dulunya dikenal

dengan VATER):

V : vertebra anomalies (10%)

A : anal canal defect (14%)

C : cardiac malformation (29%), termasuk ventricular septal defect, atrial septal

defect, tetralogy of Fallot, right sided arch, patent ductus arteriosus)

TE : TEF

R : renal dysplasia

L : limb defect (radial aplasia)

Seorang pasien dipertimbangkan mengalami VACTERL dengan adanya tiga atau lebih

dari lesi tersebut. Hampir sepertiga pasien TEF mengalami lesi VACTERL tambahan dan

seperlima lainnya mengalami dua masalah VACTERL. Kemungkinan masalah gastrointestinal

lainnya adalah malrotasi midgut, dan atresia duodenum. Masalah renal dapat mencakup

malposisi, hidronefrosis, dan abnormalitas uretra.

IV. Patofisologi

Esofagus dan trakea berasal dari foregut primitif. Terjadi selama minggu ke empat dan

kelima perkembangan embrio. Pemisahan struktur tubular terjadi pada minggu keempat

kehamilan dan lengkap pada 34-36 hari. Trakhea sebagai divertikulum ventral dari faring

Page 5: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

primitif yaitu bagian kaudal dari foregut. Septum trakheoesofaeal berkembang pada tempat

dimana lipatan tracheoesofageal bersatu. Septum ini membagi foregut menjadi bagian ventral

yaitu tabung laringotrakheal dan bagian dorsal (esofagus). Atresia esofagus terjadi jika septum

trakea menyimpang ke posterior. Penyimpangan ini menyebabkan pemisahan yang tidak lengkap

dari esofagus dari tabung laringotracheal dan menghasilkan fistula tracheoesofageal secara

bersamaan.4,8

Pada abnormalitas ini, trakea distal terhubung dengan esofagus bawah melalui fistula.

Hal ini menyebabkan tiga masalah. Pertama, udara yang terhirup dapat melewati paru dan

membuat distensi lambung, yang kemudian akan menghambat ventilasi dan menyebabkan

atelektasis. Kedua, kandungan asam lambung berisiko mengalir secara terus menerus ke paru dan

merusak jaringan. Ketiga, sekresi oral cenderung tertampung pada kantong esofagus proksimal

yang menyebabkan aspirasi intermiten, batuk dan sianosis.

Atresia esofagus selalu mempengaruhi motalitas esofagus. Kelainan peristaltik biasanya

terjadi di esofagus segmen distal. Apakah kelainan motalitas merupakan kelainan primer akibat

inervasi abnormal seperti kejadian pada abnormalitas distribusi neuropeptida atau akibat

sekunder kerusakan nervus vagal yang terjadi selama operasi perbaikan belum jelas. Tekanan

saat relaksasi di seluruh esofagus secara signifikan lebih tinggi dari pasien normal dan tekanan

pada spinkter esofagus distal berkurang.2

Pada atresia esofagus juga terdapat kelainan pada trakea berupa berkurangnya kartilago

trakea dan peningkatan panjang muskulus transversus pada dinding posterior trakea. Pada

kondisi lanjut dapat menimbulkan trakeomalasia dengan kolaps trakea sekitar 1-2 cm dari

fistula. Meskipun beberapa teori embriologi telah mengungkapkan proses pembentukan

malformasi trakea, tidak semuanya dapat menjelaskan variasi anomali anatomi. Terdapat

kejadian cukup tinggi yang menunjukaan adanya kerusakan jaringan mesenkimal selama

minggu ke empat kehamilan.2,4

V. Klasifikasi

Terdapat lima tipe TEF berdasar pada klasifikasi mayor klasik. Tipe A merupakan

Atresia Esofagus murni tanpa keterlibatan saluran pernapasan, hal ini terjadi pada 8% kasus.

Tipe B memiliki atresia esofagus dan fistula yang menghubungkan kantong esofagus proksimal

ke trakea; hal ini terjadi kurang dari 1% kasus. Tipe C adalah yang paling umum, dimana atresia

Page 6: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

esofagus dan fistula menghubungkan esofagus distal dengan trakea; terjadi pada 75 hingga 80%

kasus. Tipe D yang paling jarang dijumpai yaitu dengan dua fistula yang menghubungkan baik

esofagus proksimal dan distal ke trakea (2%). Tipe E yang juga dikenal dengan fistula tipe H,

tidak memiliki atresia. Melainkan, esofagus intak yang memiliki hubungan dengan trakea

melalui sebuah fistula dan terjadi pada 4% kasus.

Gambar 2. Klasifikasi atresia esofagus oleh Gross dan Vogt

VI. Presentasi Klinis

Gejala yang dapat terlihat dalam hari pertama setelah kelahiran berupa tidak bisa minum

ASI, tersedak atau muntah dan tidak dapat menelan air liur sehingga terjadi hipersalivasi.

Jika disertai dengan fistula trakeoesofagus proksimal (tipe B) dapat terjadi aspirasi ASI ke

paru-paru karena seluruh ASI yang ditelan bayi akan berakhir di paru-paru sehingga bayi tampak

sesak napas dan sianosis. Adanya ASI (makanan/benda asing) di paru-paru dapat menyebabkan

pneumonia. Distensi abdomen dapat terjadi jika terdapat aliran udara dari trakea ke lambung

melalui fistula trakeoesofagus distal (tipe C dan D). Atresia esofagus tipe D selain adanya fistula

trakeoesofagus distal juga terdapat fistula di bagian proksimal dan merupakan salah satu tipe

yang sulit terdiagnosis. Gejala klinisnya dapat berupa asthma atau batuk yang persisten karena

Page 7: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

aspirasi dalam beberapa tahun. Namun, pada tipe D dengan adanya fistula memberikan jalan

bagi ASI dan makanan mencapai lambung melalui fistula proksimal ke trakea dan melalui fistula

distal kembali ke esofagus dan akhirnya ke lambung.

Atresia esofagus tipe E atau disebut juga tipe H merupakan tipe yang sulit didiagnosis

dini dan dapat terdiagnosis setelah bayi tumbuh menjadi anak- anak atau dewasa. Pada tipe ini

tidak terdapat atresia esofagus sehingga makanan dapat mencapai lambung namun, makanan

juga dapat masuk ke paru-paru melalui fistula. Begitu juga sebaliknya udara dari trakea

dapat masuk ke lambung melalui fistula sehingga terdapat udara dalam jumlah yang banyak di

abdomen dan tampak distensi abdomen. Gejala tipikal lainnya berupa sering tersedak ketika

makan dan minum, dan pneumonia aspirasi yang berulang. Untuk itu, Bayi dengan atresia

esofagus baik dengan fistula atau tidak memiliki mortalitas yang tinggi

VII. Diagnosis

Pasien mengalami atresia esofagus (AE) dengan TEF, hal ini terjadi pada 1 dalam 4.000

kelahiran hidup. Diagnosis dicurigai pada masa prenatal dengan adanya polihidramnion yang

disebabkan oleh kegagalan fetus untuk menelan cairan amnion (terjadi secara sekunder akibat

AE). Polihidramnion juga dapat diakibatkan karena defek lainnya, termasuk atresia duodenum,

anencephaly, hernia diafragma kongenital, dan Trisomy 18, serta 10 hingga 20% bayi dengan

polihidramnion mengalami anomali lainnya. Akan terjadi hilangnya gambaran fluid-filled

stomach bubble pada ultrasound prenatal. Setelah persalinan, neonatus akan meneteskan air liur

secara berlebih. Usaha untuk memberi minum bayi akan menyebabkan batuk dan sianosis.

Orogastric tube (OGT) akan tergulung pada kantong esofagus atas dan bukan masuk ke dalam

lambung.

Diagnosis atresia esofagus sebaiknya ditegakkan sedini mungkin untuk meminimalkan

komplikasi paru, dapat ditegakkan baik pada prenatal maupun postnatal. Diagnosis prenatal

dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi pada ibu. Adanya temuan polihidramnion,

berkurangnya cairan intraluminal usus bayi dan ketidakmampun mendeteksi lambung janin pada

pemeriksaan ultrasonografi dapat memberikan petunjuk awal atresia esofagus. Adanya pouch

sign yang tampak sebagai bayangan echoik di tengah janin pada usia 26 minggu kehamilan juga

menunjukkan adanya atresia esofagus, tetapi dalam pemeriksaan membutuhkan pengalaman.

Nilai diagnosis prenatal ini sangat rendah kecuali ditemukan pouch sign dan polihidramnion

Page 8: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

secara bersamaan. Polihidramnion tanpa pouch sign merupakan indikasi yang lemah atresia

esofagus. Hanya 1 dari 12 pasien dengan polihidramnion dengan atresia esofagus. Begitu juga

dengan tidak adanya udara gaster, hal ini dapat ditemukan di kelainan lainnya. 1,10

Diagnosis postnatal atresia esofagus dapat dibuat ketika terjadi kesulitan atau

ketidakmampuan selang nasogastrik atau orogastrik melewati esofagus. Normalnya kardiak

lambung pada bayi terletak 17 cm dari gusi bayi, tetapi pada kasus atresia esofagus, selang

berhenti ketika masuk sepanjang 10-12 cm. Foto sinar X babygram memperlihatkan selang

nasogatrik melingkar dalam kantung esofagus proksimal. Untuk memperkirakan celah atau jarak

antara segmen esofagus, selang nasogastrik dimasukkan semaksimal mungkin. Jarak antara

ujung selang dengan karina memperkirakan celah. Jika jarak kurang dari 2-2,5 cm corpus

vertebra merupakan sesuatu yang menguntungkan dalam tindakan operasi.1,4

Radiografi thorax dan abdomen penting dilakukan untuk mendapatkan diagnosis yang

tepat dari atresia esofagus. Selain mengevaluasi letak dari selang nasogastrik, juga dapat menilai

letak distribusi udara usus, arkus aorta, pneumonia aspirasi, kelainan bawaan jantung dan

anomali tulang belakang. 1,10

Pemeriksaan dengan barium tidak diindikasikan dalam penegakan diagnosis atresia

esofagus karena adanya resiko tinggi terjadinya tracheobronchitis aspirasi kimia1,4 Penilaian

kardiologi termasuk echocardiografi merupakan rutinitas sebelum dilakukan operasi untuk

mengetahui adanya kelainan jantung bawaan.9

VIII. EVALUASI PREOPERATIF DAN PERSIAPAN

Pertama kali, pasien harus dinilai ada atau tidaknya penyakit paru, khususnya pneumonia

aspirasi, dan distress pernapasan yang berhubungan dengan prematuritas. Foto polos X-ray dapat

menunjukkan infiltrat. Hal tersebut juga dapat menunjukkan adanya suatu kegagalan jantung

kongestif pada kasus penyakit jantung yang berkaitan, yang dapat dioptimalisasi dengan

pemberian diuretik. OGT radioopaque dapat tergulung pada kantong esofagus proksimal, dimana

X-ray abdomen akan menunjukkan gambaran udara pada usus masuk melalui fistula. Karena

risiko aspirasi, penggunaan pewarnaan kontras untuk menggambarkan fistula sebaiknya hanya

digunakan bila ada keraguan diagnosis. Idelanya, kontras akan diberikan pada fluoroscopy,

sehingga bila terjadi aspirasi dapat segera terdeteksi. Hal ini sebaiknya hanya dilakukan apabila

bayi cukup stabil untuk dipindahkan ke ruangan fluoroscopy. Perlu diingat bahwa sebuah OGT

Page 9: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

yang tampak memasuki lambung juga dapat menunjukkan perforasi esofagus yang disebabkan

oleh trauma karena percobaan pemasangan berulang.

Kedua, sebuah pemeriksaan echocardiogram harus dilakukan karena kelainan jantung

mayor sangat mempengaruhi survival dan dapat berdampak pada manajemen anestesi. Apabila

anak menderita tetralogy of Fallot berat, ia mungkin membutuhkan pemasangan shunt temporer

pada sirkulasi arteri sistemik dan pulmoner sebelum perbaikan TEF. Sebagai tambahan, ada

tidaknya right-sided aortic arch perlu diketahui, karena hal ini akan membutuhkan posisi bayi

yang terbalik dari posisi pada umumnya.

Foto polos tulang belakang sebaiknya dilakukan untuk eksklusi anomali vertebra,

khususnya bila dipertimbangkan pemberian manajemen nyeri epidural. Ultrasound renal

sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan abnormalitas, khususnya hidronefrosis. Sebagai

tambahan, darah lengkap, analisis gas darah, dan elektrolit sebaiknya dilakukan dan setidaknya

satu unit packed red blood cell dipersiapkan.

Survival dari bayi TEF semakin membaik setiap tahunnya karena perbaikan perawatan

intensive care unit, anestesi, dan teknik pembedahan. Waterston mengembangkan klasifikasi

pertama dari prognosis TEF pada tahun 1962 seperti berikut:

Kelompok A : berat badan lahir lebih dqari 2.5 kg, sehat, survival 95%

Kelompok B : berat badan lahir 1.8 hingga 2.5 kg, sehat atau lebih dari 2.5kg dengan

pneumonia sedang atau anomali lainnya, survival 68%

Kelompok C : berat badan lahir kurang dari 1.8 kg atau lebih dari 1.8 kg dengan pneumonia

berat atau anomali kongenital berat, survival 6% dengan perbaikan di perawatan neonatus

Survival di kelompok A dan B keduanya mendekati 100% sehingga sistem klasifikasi

baru telah dikembangkan untuk memberikan informasi yang lebih bermanfaat, seperti berat

badan lahir lebih dari 1.5 kg tidak lagi menjadi indikator penentu mortalitas secara independen.

Dari hal tersebut, kemungkinan yang paling bermanfaat adalah klasifikasi Spitz, dimana

memprediksi berdasar temuan penyakit jantung sebagai faktor risiko penentu dan/ atau penyebab

mortalitas pada kelompok TEF.

Page 10: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

Spitz kelompok I : berat badan lahir lebih dari 1.5 kg, tanpa penyakit jantung mayor,

survival 97%

Spitz kelompok II : berat badan lahir kurang dari 1.5 kg atau tanpa penyakit jantung mayor,

survival 59%

Spitz kelompok III : berat badan lahir kurang dari 1.5 kg dan penyakit jantung mayor, survival

22%

Data tersebut berdasar pada review 372 bayi dari tahun 1980 hingga 1992. Dengan

peningkatan dalam perawatan, review terkini dari 188 kasus tahn 1993 hingga 2004 menemukan

angka survival Spitz kelompok I 99%, kelompok II 82% dan kelompok III 50%. Sebagian besar

kasus TEF terjadi secara sporadik, dan angka rekurensi adalah 1% pada saudara kandung.

Sebagian besar anak dengan TEF secara rutin dilakukan gastrostomy (dengan anestesi

lokal) diikuti dengan perbaikan bertahap. Pada awal era 80, manajemen konservatif ini mulai

dipertanyakan, dan kini perbaikan primer dipertimbangkan sebagai standar perawatan. Namun,

terdapat sebagian neonatus dengan pneumonia berat atau sindrom distres pernapasan yang

digolongkan memiliki risiko anestesi dan pembedahan yang buruk (Waterston tipe C). Apabila

anak diintubasi karena penyakit pernapasan, satu teknik untuk mengoptimalkan ventilasi disertai

dengan minimalisir distensi gaster (melalui fisstula) adalah dengan adalah menggunakan

ventilasi osilator frekuensi tinggi untuk meminimalkan peak inspiratory pressure.

Apabila hal tersebut belum cukup, gastrostomy sederhana dapat dilakukan untuk

memungkinkan drainase cairan gaster (untuk minimalisir aspirasi) dan mencegah atau

mengurangi distensi gaster yang dapat terjadi dengan ventilasi tekanan positif dalam kondisi TEF

tipe C. Prosedur ini dapat dilakukan dengan anestesi lokal dan menyingkirkan kebutuhan

thoracotomy. Masalah dengan pendekatan ini adalah dengan dekompresi gaster, udara dari trakea

kini dapat masuk dari paru dan keluar melalui lambung. Hal ini menjadi perhatian apabila paru

bayi non compliant akibat pneumonia atau sindrom distress pernapasan. Hal ini dapat membuat

kesulitan atau bahkan tidak memungkinkan dalam ventilasi bayi secara adekuat. Untungnya hal

ini dapat dikurangi apabila gastrostomy tube diletakkan dalam water seal sehingga

memungkinkan perpindahan gas apabila tercapai ambang batas tertentu. Ratan dkk menjabarkan

teknik penyelamatan lainnya, yang melibatkan oklusi fistula secara retrograde melalui

Page 11: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

gastrostomy. Anak diberi anestesi lokal pada area insisi dan styletted no 10 French Foley

catheter dimasukkan melalui gastrostomy hingga posisi sedikit di atas gastroesophageal junction

menggunakan fluoroscopy. Balon kemudian diinflasi dan kateter dapat di clamp atau diletakkan

dalam water seal. Dengan cara ini bayi dapat diberi ventilasi dengan tekanan positif dan dapat

menghindari distensi gaster atau ventilasi yang tidak adekuat akibat bypass udara. Teknik ini

memiliki risiko ruptur esofagus dan pneumothorax fatal apabila kateter tidak diletakkan dengan

benar.

Setelah diagnosis TEF ditegakkan dan anomali lain diperiksa, bayi sebaiknya segera

diletakkan pada NPO (nothing by mouth). Ia sebaiknya dijaga dalam ruangan isolasi yang hangat

dengan elevasi kepala setidaknya 30 derajat untuk minimalisir refluks melalui fistula.

Nasogastric tube dapat dipasang pada kantong esofagus proksimal dan dilakukan suction

intermiten untuk menghindari aspirasi sekresi oral. Antibiotik untuk terapi pneumonia aspirasi

sebaiknya diberikan apabila ada inidiaksi. Ampicillin dan gentamicin sebaiknya diberikan pada

pasien tersebut yang memiliki penyakit jantung signifikan sebagai profilaksis. Pastikan bahwa

darah tersedia dari bank darah. Karena pasien akan membutuhkan thoracotomy dengan retraksi

paru dan kompresi intermiten pada trakea dan pembuluh darah besar, infus arteri harus dilakukan

pada kasus tersebut. Idealnya diletakkan pada ruangan NICU. Infus arteri umbilikal dapat

dipasang oleh ahli neonatus yang berkualifikasi. Dua akses vena sebaiknya dipasangkan, karena

pasien dalam kondisi NPO. Hindari pemasangan pada tangan kanan, karena tangan ini lebih

mungkin dilakukan elevasi pada saat right thoracotomy dan akses akan menjadi terbatas.

Anak sebaiknya tidak diintubasi secara rutin preoperatif untuk meminimalisir

kemungkinan distensi gaster dari VTP melalui fistula. Perlu diingat bahwa intubasi tidak

melindungi anak dari aspirasi cairan gaster melalui fistula.

Interfensi dengan ventilasi merupakan masalah yang paling umum dan dapat disebabkan

banyak hal. Retraksi paru dengan atelektasis sering menyebabkan desaturasi. Mungkin sulit

bahkan tidak mungkin untuk mempertahankan nomocarbia. PCO2 dapat meningkat 70 hingga 80

mmHg disamping seluruh upaya optimalisasi ventilasi. Bila pasien terpasang Fogarty catheter di

fistula, alat tersebut dapat bergeser ke dalam trakea sehingga menyebabkan obstruksi saluran

napas total. Manipulasi pembedahan dari trakea lunak membuat distal ETT mudah tertekuk atau

salah penempatan (ke dalam bronkus kanan) atau proksimal (di atas fistula). Kompresi berulang

Page 12: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

pada struktur vital di mediastinum dapat menyebabkan gangguan hemodinamik yang cukup

besar. Darah dan sekresi merupakan masalah konstan, yang merupakan risiko obstruksi tube.

ETT sebaiknya dilakukan suction secara berkala, terlebih apabila terlihat darah. (Tidak

membutuhkan banyak darah untuk menyumbat ETT 3.0). Paru yang mengalami retraksi

membutuhkan re-ekspansi segera untuk menghindari hipoksia. Distensi gaster derajat berat

sebelum ligasi TEF membutuhkan dekompresi gaster menggunakan jarum dengan segera.

Penting untuk mempertahankan komunikasi ketat dengan ahli bedah. Hindari hipotermia.

IX. Terapi

Apabila pasien akan tetap diintubasi postoperatif, yang paling dipilih adalah analgrtika

narkotika. Fentanyl dengan dosis 10 - 20 mcg per kilogram berat badan dengan muscle relaxant

akan memberikan stabilitas hemodinamik dan memungkinkan analgesia dilanjutkan hingga

periode postoperatif. Untuk praktisi yang berpengalaman, epidural juga dapat dipasang. Kateter

epidural dimasukkan melalui caudal space dapat mencapai dermatom thorakal. Pastikan

penempatan catheter dengan menggunakan fluoroscopy sebelum menggunakannya. Teknik ini

sebaiknya dilakukan oleh dokter yang sangat berpengalaman dalam anestesi regional anak,

dengan kesadaran penuh akan risiko dan kemampuan menangani komplikasi.

Bayi dengan atresia esofagus memerlukan resusitasi awal. Jika terjadi gangguan

pernapasan maka bayi membutuhkan ventilator. Bayi yang menggunakan ventilator harus

segera di operasi karena terdapat resiko memburuknya gangguan pernapasan dan perforasi

lambung. Operasi dilakukan kurang dari 8 jam setelah pemakaian ventilator.7

Hal yang paling penting pada bayi dengan atresia esofagus tanpa ventilator adalah

pencegahan aspirasi sekresi faring dan refluks isi lambung melalui fistula. Yang pertama

diperlukan adalah pengisapan secara berkala atau aspirasi dari kantong proximal esofagus

menggunakan kateter double lumen bertekanan rendah. Bayi diletakkan dengan kepala lebih

tinggi untuk meminimalkan refluks lambung.7

Sebelum operasi dilakukan tes darah seperti hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa

darah, pembekuan darah dan cross match. Jika kelainan yang berhubungan telah teridentifikasi,

kemudian dinilai tingkat keparahan sebelum operasi dilakukan. Bedah dilakukan dengan anastesi

umum dengan pemasangan pipa endotrakeal. Tujuan prosedur bedah yaitu untuk memisahkan

fistula dan menutupnya pada sisi trachea serta menyambung ujung- ujung segmen esofagus.9

Page 13: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

X. Penatalaksanaan Anestesia

Setidaknya satu IV perifer sebaiknya dipasang sebelum induksi. Yang kedua dapat

dipasangkan setelah pasien terbius. Apabila ahli bedah cenderung memberikan nutrisi total

parenteral postoperatif pada anak, akses sentral dapat dipasangkan. Pemasangan akses arteri

untuk monitoring gas darah dan hemodinamik sebaiknya dipasang sebelum insisi apabila belum

terpasang di NICU. Apabila peripheral A-line tidak memungkinkan, akses arteri umbilikal dapat

dipasangkan oleh personil ahli. Electrokardiogram, saturasi oksigen, dan end-tidal CO2 serta

temperatur rektal sebaiknya dimonitoring. Stetoskop prekordial sebaiknya diletakkan pada aksila

kiri untuk akses suara napas pada kasus pergerakan endotracheal tube (ETT) yang tidak

disengaja selama retraksi pembedahan atau positioning. Stetoskop prekordial kedua diletakkan

pada perut yang dapat bermanfaat untuk menilai apabila fistula mengalami ventilasi.

Apabila terdapat gastrostomy tube, ujungnya dapat diletakkan dalam water seal. Adanya

gelembung udara mengindikasikan ventilasi melalui fistula, yang akan terjadi apabila ujung ETT

terletak proksimal pada ujung fistula. Kapnografi dimasukkan ke dalam gastrostomy dapat

mengindikasikan hal serupa.

Neonatus dengan TEF memiliki kecendrungan mengalami distensi gaster dan

pneumoperitoneum. Penatalaksanaan anestesia dan bedah akan memberikan fokus utama pada

ventilasi paru tanpa tanpa ventilasi dari fistula. Teknik anestesia yang digunakan meliputi

intubasi trakeal sadar (awake tracheal intubation) dan menghindari penggunaan pelumpuh otot

serta tekanan ventilasi positif yang berlebihan hingga fistula yang ada dapat diidentifikasi dan

dikendalikan7,16. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan suction pada proksimal

esophagus, lalu bayi akan diberikan preoksigenasi selama 3 menit dengan ventlasi spontan.

Selanjutnya, dilakukan awake intubation dengan menggunakan endotrakeal tube no 3.0-3.5 mm

(internal diameter) endotracheal tube dengan cuff karena cuff dapat menguntungkan untuk

menutup fistula. Asisten dibutuhkan untuk mendengarkan suara nafas. Intubasi biasanya

dilakukan dengan memasukkan endotrakeal tube sedalam dalamnya hingga ke bronkus kanan,

lalu ditarik pelan pelan kira kira0.5-1.0 cm hingga suara nafas terdengar sama, bevel lubang tube

juga diarahkan ke anterior untuk menghindari intubasi pada fistula.

Tujuannya intubasi bayi adalah untuk memungkinkan pertukaran udara yang adekuat

dengan tekanan inspirasi yang dibutuhkan seminimal mungkin untuk mengembangkan paru,

Page 14: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

menghindari atelektasis, dan menghindari distensi abdomen. Positive pressure mask ventilation

sebaiknya dihindari. Terdapat beberapa pilihan. Pertama adalah untuk menjaga anak bernapas

secara spontan hingga fistula di ligasi. Hal ini membutuhkan teknik inhalasi dalam dengan

bantuan minimal pada setiap napas untuk meminimalisir atelektasis. Intubasi dapat dilakukan

pada saat sadar atau setelah induksi inhalasi. Dengan cara ini, dibutuhkan tekanan inspirasi

terendah dan meminimalisir distensi gaster. Intubasi pada saat sadar lebih umum dilakukan,

namun perhatian sebaiknya diberikan pada kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial atau

perdarahan intraventrikuler pada bayi prematur, serta ketidaknyamanan pada bayi. Kondisi

intubasi yang baik dapat dicapai dengan agen deep volatile, namun mempertahankan ventilasi

yang adekuat serta kondisi pembedahan selama thoracotomy tanpa relaksan dapat menjadi

kondisi yang menantang. Induksi IV secara cepat dan intubasi (untuk meminimalisir ventilasi

face-mask) merupakan pilihan lain yang tersedia sehingga perhatian dapat dialihkan untuk

minimalisir tekanan inspirasi.

Hal penting selain intubasi adalah posisi ETT yang benar. Tujuannya adalah untuk

memposisikan ujung distal ETT pada fistula namun proksimal terhadap karina. Apabila tube

dengan sengaja diposisikan lebih dalam (ke dalam bronkus kanan) dengan bevel menghadap ke

atas, tarik perlahan hingga suara napas muncul secara seimbang pada area kanan dan kiri,

mengindikasikan bahwa tube berada pada posisi yang tepat. Apabila pasien memiliki riwayat

gastrostomy sebelumnya, ETT sebaiknya ditarik hingga udara mulai bergelembung dari ujung

gastric tube (yang telah diletakkan dalam water seal), kemudian dimasukkan kembali hingga

gelembung berhenti. Apabila tube berada dalam posisi yang baik, anak dapat dilumpuhkan dan

VTP dapat dipertahankan. Kesulitan terletak pada mempertahankan posisi ETT yang baik selama

manipulasi pembedahan dan memiringkan pasien ke arah lateral.

Pencegahan distensi lambung dapat tercapai dengan penempatan yang tepat dari selang

endotrakea, atau dengan pembuatan lubang gastrostomy terlebih dahulu pada periode preoperatif

dengan anestesia lokal maupun sesaat setelah induksi dilakukan dimana hal ini akan mengurangi

tekanan lambung7.

Pasien kemudian akan diposisikan lateral decubitus kiri atau kanan. Suara nafas harus

diperiksa ulang untuk mendeteksi adanya endobronkial intubasi yang ditandai dengan hilangnya

suara nafas pada paru kiri, sianosis, bradikardia, dan hipotensi.

Page 15: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

Seperti seluruh neonatus yang menjalani pembedahan, perhatian khusus dalam manajemen

cairan dan temperatur merupakan hal penting. Anak sebaiknya dipindahkan ke ruang operasi

(OR) (dengan posisi kepala tegak) dalam inkubator yang telah dihangatkan, dengan topi pada

kepala untuk mengurangi perpindahan suhu. OR sebaiknya dihangatkan sebelumnya setidaknya

85˚F. Irigasi pembedahan dan cairan kristaloid IV sebaiknya dihangatkan, serta kantong darah

yang disimpan sebelumnya dalam es. Penggunaan forced-air convective warming system sangat

direkomendasikan. Heat-moisture exchanger dengan ukuran sesuai diletakkan pada saluran napas

sangat bermanfaat. Perlu diingat bahwa neonatus lebih rentan mengalami hipotermia karena

sejumlah alasan termasuk lemak subkutan yang terbatas. Salah satu cara bayi untuk kompensasi

adalah dengan brown fat nonshivering thermogenesis. Saat memilih teknik anestesi, perlu diingat

bahwa gas anestesi yang mudah menguap seperti halothane dan isoflurane dapat menurunkan

thermogenesis hingga 70%.

Dengan mempertimbangkan pasien yang telah dalam kondisi NPO sejak lahir dan apapun

yang telah dikonsumsi sebelumnya tidak mencapai lambung karena atresia esofagus, disarankan

untuk memberikan cairan yang mengandung dekstrosa dengan laju terkontrol selama operasi.

D1/2NS diberikan melalui akses IV dengan kecepatan maintenance menggunakan controlled-

infusion pump merupakan cara cerdas untuk menghindari hipoglikemia. Insensible losses

sebaiknya diperkirakan 3 hingga 4mL/kg/jam dan digantikan dengan cairan isotonik. Urine

output (idealnya 1mL/kg/jam) akan sulit dinilai secara akurat pada bayi dengan berat badan lahir

rendah.

Pelumpuh otot diberikan setelah fistula berhasil diidentifikasi dan dilakukan ligasi,

Induksi inhalasi adalah alternatif dari intubasi sadar. Setelah neonatus ter-anestesi dalam,

intubasi dapat dilakukan tanpa pelumpuh otot yang diikuti dengan ventilasi tekanan positif yang

ringan. Narkotik merupakan pilihan untuk agen analgesia, yang diberikan bersamaan anestesi

volatile untuk pemeliharaan anestesia. Desaturasi akan terjadi saat dokter bedah menahan

pengembangan paru guna guna menarik bagian distal esofagus untuk proses anastamosis. Paru

perlu dikembangkan kembali guna mengembalikan saturasi ke nilai normal, hal ini dapat

dilakukan dengan pemberian PEEP ( positive end expiratory pressure) atau pemberian ventilasi

tekanan positif yang besar sesekali untuk pengembangan paru.16,17,18

Page 16: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

Setelah operasi yang tanpa komplikasi maka bayi akan diberikan reverse dengan

neostigmine methylsulfate (0.06 mg/kg) and atropine sulfate (0.2 mg/kg) IV dan diekstubasi

dengan bersamaan melakukan suction pada trakea dan esophagus. Pasien pasien dengan penyulit

preoperative sebelumnya maupun perioperative durante operasi akan dilakukan kontrol ventilasi

dengan ventilasi mekanik terlebih dahulu hingga fungsi respirasi berfungsi normal kembali.16,17

Meskipun beberapa ahli bedah lebih memilih bayi dilakukan ekstubasi segera di ruang

operasi untuk meminimalisir tekanan pada garis penjahitan, hal ini dapat berisiko. Banyak bayi

dengan TEF mengalami defisiensi kartilago trakea pada level fistula sehingga memiliki

kecenderungan tracheomalacia. Hal ini dapat memicu obstruksi saluran napas yang

membutuhkan reintubasi segera. Banyak anak yang memiliki penyakit paru akibat prematuritas

atau pneumonia aspirasi; setelah menerima narkotika untuk penanganan nyeri mereka rentan

mengalami hipoventilasi. Bila ekstubasi dini direncanakan, teknik epidural dapat bermanfaat.

Namun apabila bayi tetap diintubasi, perhatian khusus sebaiknya diberikan untuk membatasi

tekanan inspirasi dan untuk menjaga area yang telah dilakukan perbaikan.

Page 17: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

BAB III

LAPORAN KASUS

EVALUASI PRAANESTESIA

Identitas Penderita

Nama : Bayi Ika Rafika

No Rekam Medis : 17016764

Umur : 2 hari (17 Januari 2018)

Umur kehamilan : 36 minggu

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku : Bali

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Kedonganan Badung

Masuk Rumah Sakit : 18 Januari 2018 pkl 16 : 55 WITA

Diagnosis : Atresia esophagus + trakeoesophageal fistula distal dan

proksimal

Jenis Operasi : Thoracotomy + anastomose esophagus

Tanggal operasi : 20 Januari 2018

1. Anamnesis/ heteroanamnesis

Pasien dikeluhkan air liur selalu menetes sejak lahir. Pasien riwayat lahir spontan di

puskesmas, langsung menangis. Setelah lahir pasien sempat diberi air susu ibu, namun

langsung dimuntahkan. Riwayat kelainan kongenital lainnya tidak ditemukan. Pasien

merupakan anak pertama dan Berat badan lahir pasien 2270 gram. Pasien akhirnya

dirujuk ke RSUP sanglah untuk dilakukan tindakan lebih lanjut. Riwayat konsumsi obat

obatan selama kehamilan disangkal ibu pasien, riwayat infeksi selama kehamilan juga

disangkal. Riwayat antenatal care rutin dibidan puskesmas setiap bulan dan USG sempat

dilakukan sebanyak tiga kali di spesialis kandungan. Saat lahir, pasien dikatakan

langsung menangis dan ketuban berwarna jernih. Pasien dikatakan tubuhnya berwarna

kekuningan sehingga kini harus menjalani fototerapi. Terapi saat ini di ruangan Neonatal

Page 18: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

internsive care berupa IVFD Dextose 12,5% 123 ml; nacl 3% 10 ml; ca glukonas 2,5 ml;

kcl 2,5 ml, aminofusin 46 ml; ampicilin 120 mg tiap 12 jam; amikacin 18 mg tiap 12 jam,

vit K 2 mg tiap 24 jam intramuscular. Management pernafasan dilakukan dengan

pemasangan CPAP ( continuous positive airway pressure ) karena ditemukan adanya

retraksi subcostal pada bayi.

Status Present

Kesadaran : ATR cukup

Respirasi : 58 x / menit

Nadi : 138 x / menit

Suhu Axilla : 37,1 oC

Berat Badan : 2300 gram

Saturasi oksigen : 93-94% room air

Neonatal pain scale : 0

2. Status Fisik

1. Sistem Saraf Pusat : Normal , konjungtiva Ikterik +/+

2. Sistem Sirkulasi : bunyi jantung s1 s2 tunggal tanpa murmur

3. Sistem Respirasi : RR 58x/menit bronkovesikular tanpa ronki wheezing,

retraksi subcostal

4. Sistem Hematologi : Normal

5. Sistem Gastro Intestinal : BU (+) normal, distensi (-), terpasang OGT

6. Sistem Hepatobilier : Tampak jaundice hingga ke pangkal paha kramer III

7. Sistem Urogenital : buang air kecil spontan

8. Sistem Metabolik : Normal

9. Sistem Otot Rangka : Akral hangat, capillary refiil time dibawah 2 detik

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Hematologi (19/1/2018) :

WBC 9,8 x103/µL; HGB 19,7 g/dL; HCT 60,4 %; PLT 246 x103µL

Page 19: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

2. Faal Hemostasis (19/1/2018) :

PT 20,3 detik ( 10,8 – 14,4); APTT 50,9 detik ( 24 - 36); INR 1,8

3. Kimia darah (19/1/2018) :

SGOT 70 U/L; SGPT 16,5 U/L; alb 3,7 g/dL; bilirubin total 11,24 mg/dl; bilirubin

dirrek 0,5 mg/dl; bilirubin indirek 10,74 mg/dL; BUN 8,6 mg/dL; Na 30 mmol/L; K

4,2 mmol/L; Cl 92,4 mmol/L; GDS 72 mg/dL.

4. Thorax foto (18/1/2018) : tampak insersi NGT setinggi CV Th3 suspect TEF.

Jantung normal. Tidak tampak gambaran pneumonia.

4. Kesimpulan : Status Fisik ASA 3

MASALAH :

Permasalahan Aktual

- Ikterus neonatorum suspect breastfeeding jaundice dengan bilirubin total 11,24 mg/dl;

bilirubin direk 0,5 mg/dl; bilirubin indirek 10,74 mg/dL.

- Suspect pneumonia aspirasi

- Sepsis neonatorum awitan dini

- Pemanjangan Faal hemostasis dengan INR 1,8

- Permasalahan Potensial

- Gangguan hemodinamik

- Spasme

- Aspirasi

- Bradikardia

- Hipotermia

5. PERSIAPAN PRAANESTESIA

• Informed consent mengenai tindakan operasi dan anestesi, resiko anestesi dan

rencana anestesi yang akan dilakukan dan menandatangani surat perjanjian

persetujuan operasi dan anestesi

Page 20: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

• Persiapan fisik berupa puasa tetap dilanjutkan sejak awal kelahiran

• Persiapan optimalisi keadaan umum pasien di ruangan (telah dilakukan oleh TS

pediatri)

• Persiapan darah PRC 2 kolf masing-masing 25 mL

6. MANAJEMEN ANESTESIA

Pra anestesia :

Pasien disiapkan untuk dilakukan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa

endotrakeal nafas kendali dengan persiapan sevoflurane, fentanyl, atrakurium, alat-alat

untuk persiapan anestesi umum serta obat-obat emergensi.

Di ruang persiapan :

Pukul 08.30 WITA pasien diterima masuk di ruang persiapan didalam inkubator dengan

infuse line central yang telah terpasang pada femoral dextra, dilakukan pemeriksaan

kelancaran infus dan pemasangan mikroburet, lalu diberi cairan Ringerfundin sesuai

kebutuhan cairan perjam.

Pukul 09.00 WITA pasien didorong masuk ke kamar operasi

Di kamar operasi :

Penderita tiba di kamar operasi pukul 09.00 WITA dan dilakukan pemasangan monitor,

didapatkan nadi 148-160 kali permenit, saturasi didapatkan 95%. Setelah semua alat-alat

anestesi dan resusitasi serta obat-obat anestesi dan resusitasi siap, pasien diberikan

preoksigenasi dengan oksigen 6 liter/menit. Pasien diberikan premedikasi berupa sulfas

atropine 0,1 mg intravena pada pkl 09.10 WITA. Dilakukan pemberian ko-induksi

dengan fentanyl 3 mcg secara perlahan-lahan dan Induksi dengan sevoflurane sambil

tetap mempertahankan nafas spontan pasien dan sesekali dibantu dengan assisted

ventilation. Tiga menit kemudian didapatkan nadi 130 x/menit dengan saturasi 97%,

dilakukan laringoskopi intubasi tanpa pemberian obat pelumpuh otot dengan pipa

endotrakea no 2,5 tanpa cuff. Setelah dievaluasi pengembangan paru kanan dan kiri

simetris, dilakukan fiksasi lalu diikuti pemasangan packing di daerah supraglotis.

Pemeliharaan anestesi dengan compressed air, Oksigen, sevoflurane. Kendali nafas

Page 21: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

dilakukan dengan assisted nafas spontan dengan pemberian PEEP ( positive end

expiratory pressure ) untuk mencegah kolapsnya paru. Fraksi oksigen diatur hingga

mencapai target saturasi diatas 88%. Dilakukan posisi pasien durante operasi lateral

dekubitus kiri. Prinsip-prinsip pencegahan hipotermia dilakukan dengan blanket warmer

dan infus warmer. Dilakukan tindakan thorakotomi dan anastomose esophagus pada pkl

09.55. Operasi berlangsung selama 3 jam 10 menit dengan perdarahan (± 15 cc). Saturasi

selama durante operasi didapatkan 89 – 94% dengan fraksi oksigen 50-80%. Sesaat

setelah operasi berakhir, pasien diposisikan dalam keadaan supine, pasien mengalami

desaturase hingga ke angka terendah 76% walaupun telah diberikan fraksi oksigen 80%,

dilakukan ventilasi manual dengan pemberian PEEP, perlahan saturasi perifer naik ke

97% dengan fraksi oksigen 60%. Pasien tidak diekstubasi dan direncakan dibawa ke

NICU dengan controlled ventilation. Pemeliharaan kecukupan cairan durante operasi

dengan cairan kristaloid 120 ml. Produksi urin didapatkan 0,8 ml/kgbb/jam. Analgetika

pasca operasi dengan fentanyl 15 mcg via syringe pump dan parasetamol 250 ml tiap 6

jam intravena. pasien dirawat pasca operasi di NICU. Pada durante operasi ditemukan

fistula terdapat hanya pada bagian distal trakea.

7. Follow Up NICU

Hari I

Status fisik

Terapi Laboratorium

SSP : DPO

Resp : On ventilator PC

Bipap FiO2 60% Peep 8

SpO2 95%

KV : Nadi 156x/menit

GIT : distensi –

UG : produksi urin : 0,3

ml/kgbb/jam

Suhu : 38,7

IVFD Dextose 12,5% 123

ml; nacl 3% 10 ml; ca

glukonas 2,5 ml; kcl 2,5 ml,

aminofusin 46 ml; ampicilin

120 mg tiap 12 jam;

amikacin 18 mg tiap 12 jam,

vit K 2 mg tiap 24 jam

intramuscular;

Fentanyl 15 mcg/24 jam;

parasetamol 30 mg IV tiap 6

AGD : pH 7,41; PO2 128; PCO2

35; HCO3- 21; SO2C 98%

Kimia : bilirubin 9,36; bilirubin

direk 0,69; bilirubin indirek 8,67;

BUN 16; SC 1,09

DL : WBC 17,69; HB 17,5; HCT

54; PLT 87

Faal hemostasis : PT 20,2; APTT

Page 22: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

jam 46,2; INR 1,8

Hari II

Status fisik

Terapi Laboratorium

SSP : DPO

Resp : On ventilator PC

Bipap FiO2 60% Peep 8

SpO2 86%

KV : Nadi 177x/menit

GIT : distensi –

UG : produksi urin : 0,2

ml/kgbb/jam

Suhu : 39,8

IVFD Dextose 12,5% 123

ml; nacl 3% 10 ml; ca

glukonas 2,5 ml; kcl 2,5 ml,

aminofusin 46 ml; ampicilin

120 mg tiap 12 jam;

amikacin 18 mg tiap 12 jam,

vit K 2 mg tiap 24 jam

intramuscular;

Fentanyl 15 mcg/24 jam;

parasetamol 30 mg IV tiap 6

jam

AGD : pH 7,31; PO2 53; PCO2

49; HCO3- 24; SO2C 84,8%

Kimia : bilirubin 9,36; bilirubin

direk 0,69; bilirubin indirek 8,67;

BUN 16; SC 1,09

DL : WBC 17,69; HB 17,5; HCT

54; PLT 87

Faal hemostasis : PT 20,2; APTT

46,2; INR 1,8

Hari III :

Pkl 01.00 WITA pasien ditemukan desaturasi dan bradikardia, telah dilakukan resusitasi namun

pasien meninggal pkl 03.10 WITA.

Page 23: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

BAB IV

PEMBAHASAN

Atresia diartikan sebagai kelainan kongenital berupa tidak adanya pembukaan normal

dari suatu saluran di tubuh. Fistula berarti hubungan abnormal antara dua struktur epitelial pada

tubuh. Atresia esofagus dan fistula trakeoesofageal merupakan kelainan kongenital yang

dicirikan dengan formasi yang tidak lengkap dari tubuler esofagus atau adanya hubungan yang

abnormal antara esofagus dan trakhea.

Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam mendiagnosis atresia esofagus,

menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau tanpa fistula dan mendiagnosis anomali lainnya

yang terkait dengan VACTERL. Pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah foto thorax

proyeksi AP dan lateral serta foto abdomen proyeksi AP atau foto babygram. Dipastikan leher

dan trakea terlihat baik. Kantong proximal esofagus tampak terisi udara atau sekresi yang

tampak sebagai massa di posterior trakea, melengkung di anterior trakea. Jika terdapat hubungan

antara trakea dan esofagus, maka lambung akan terisi udara. Jika tidak terdapat hubungan maka

sistema usus tak terisi udara. Lima persen bayi dengan atresia esofagus memiliki kelainan

lainnya yang melibatkan jantung, sistema usus, vertebra yang juga dapat terlihat pada

pemeriksaan foto polos.

Pada kasus ini bayi berusia 2 hari dengan kecurigaan atresia esofagus dengan fistula

proksimal dan distal. Pada bayi didapatkan Bayi hipersalivasi, muntah ketika diberi air susu ibu

dan ketika di masukkan selang nasogastrik nomor 8, selang hanya masuk sepanjang 9 cm. Foto

polos thorax tampak ujung selang nasogastrik berada di proyeksi corpus vertebra thorakal 3

dengan ujung melurus dan tampak adanya udara gaster.

Menentukan klasifikasi atresia esofagus dapat dinilai dengan letak selang nasogastrik,

adanya udara di lambung dan adanya aspirasi pneumonia. Klasifikasi yang paling sering

digunakan dalam atresia esofagus adalah kalsifikasi gross-vogt. Berdasarkan letak ujung selang

nasogastrik yang berada di proyeksi corpus vertebra thorakal 3, maka atresia esofagus yang

mungkin adalah tipe A, tipe B, tipe C dan tipe D. Tipe E dapat disingkirkan karena pada tipe ini

selang nasogastrik dapat melewati esofagus dan berada di gaster. Pada tipe F selang masih

mungkin melewati stenosis hingga ke gaster. Ujung dari selang nasogastrik yang baik dalam

menilai atresia esofagus adalah ujung dalam posisi melingkar. Kemudian di nilai adanya udara di

Page 24: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

dalam gaster. Pada kasus ini terdapat udara di dalam gaster sehingga tipe atresia esofagus yang

mungkin adalah tipe C, tipe D, tipe E dan tipe F. Atresia tipe E pada kasus ini telah disingkirkan

berdasarkan letak ujung selang nasogastrik. Pada kasus ini tidak didapatkan gambaran aspirasi

pneumonia pada rontgen thorak, namun pada klinis didapatkan nilai saturasi perifer room air 90-

95% sehingga tipe atresia esofagus yang mungkin adalah tipe C dan tipe D.

Atresia esofagus tipe C angka kejadiannya paling sering dibanding tipe lainnya.

Gambaran foto polos akan tampak selang nasogastrik tidak dapat masuk ke lambung dan tampak

lambung terisi udara. Tidak didapatkan gambaran aspirasi pneumonia. Dengan menganalisa foto

polos dapat menentukan tipe dari atresia esofagus dengan tepat. Pada kasus ini didapatkan

proyeksi nasogastric tube setinggi Thorakal 3 hal ini sesuai dengan adanya kemungkinan tipe

atresia esophagus tipe C atau tipe D. tetapi karena dari gambaran thorak tidak didapatkan

gambaran aspirasi pneumonia tetapi klinis menunjukkan adanya gejala distress nafas maka

belum dapat dipastikan tipe C atau D.

Beberapa kesulitan ditemukan selama manajemen anestesi termasuk ventilasi yang tidak

efektif karena pipa endotrakea ditempatkan di fistula, dilatasi lambung, komorbid penyakit

kelaianan kongenital lainnya terutama jantung dan aspirasi paru sebelumnya. Manajemen

anestesi berfokus pada ventilasi paru paru tanpa ventilasi fistula. Prinsip ventilasi pada pasien ini

adalah dengan memberikan frekuensi pernafasan yang sedikit lebih tinggi dengan volume tidal

yang lebih kecil. Hal ini agar ventilasi semenit tetap tercapai sesuai kebutuhan tanpa memberikan

tekanan yang berlebih sehingga tidak menghalangi pandangan lapangan operasi operator. Teknik

ini meliputi intubasi trakea dan menghindari pelumpuh otot dan ventilasi positif yang berlebihan

sampai fistel terkoreksi seperti yang dikerjakan pada pasien ini. Pada pasien ini pasien diberikan

sungkup oksigen 100% dengan mempertahankan nafas spontan dan ventilasi tekanan positif

diberikan minimal karena distensi lambung akan memperberat kompresi paru ipsi maupun

kontralateral. Intubasi dilakukan tanpa pemberian pelumpuh otot. pasien diinduksi dengan

sevoflurane hingga terhipnosis maka sebelum induksi pasien telah dipremedikasi dengan sulfas

atropine untuk menekan respon vagal. Induksi anestesia pada pasien ini dilakukan dengan obat

anestesi inhalasi sevoflurane pada konsentrasi 2,5 % sesuai dosis konsentrasi pasien infant.

Induksi pada pasien pediatrik lebih baik menggunakan agen inhalasi dikarenakan ventilasi

semenit yang tinggi sehingga distribusi obat akan lebih baik serta klirens yang cepat karena

melalui proses difusi di paru. Sevoflurane dipilih karena tidak merangsang peningkatan produksi

Page 25: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

sekresi saluran nafas, sehingga tidak semakin memperbesar kemungkinan terjadinya aspirasi

pada pasien ini.

Kontrol nafas dipertahankan hingga target saturasi diatas 95%, pada pasien ini saturasi

ditargetkan saturasi diatas 88% dikarenakan dengan modal saturasi 90-95% room air

kemungkinan telah terjadi pneumonia aspirasi pada pasien. Pemberian cairan infus sebaiknya

diberikan cairan yang mengandung glukosa, namun pada pasien ini diberikan kristaloid dengan

pertimbangan kristaloid merupakan cairan utama untuk resusitasi pada durante operasi, terutama

pada operasi dengan insensible water loss yang besar yaitu gastrointestinal..1,6 Operasi ini

dilakukan dengan posisi lateral dekubitus kiri melalui torakotomi di celah iga keempat kanan.

Waktu yang dibutuhkan untuk pembedahan kurang lebih 2-4 jam dengan perkiraan perdarahan

10 ml/kg. Pasca operasi pasien akan dirawat di ruang intensif.

Hipotermia akan meningkatkan konsumsi oksigen, maka temperature lingkungan

dihangatkan hingga 30 -40 celcius karena neonates sangat berisiko terjadi hipotermia. Nyeri juga

dapat meningkatkan konsumsi oksigen, penatalaksaan pasien ini sudah tepat dengan pemberian

blanket warmer, infus warmer dan memasang monitor suhu. Untuk penanganan nyeri dipilih

penggunaan opioid fentanyl untuk mengurangi rangsangan simpatis. Fentanyl merupakan

analgetik opioid pilihan karena fentanyl tidak menurunkan aliran darah ke hepar atau

menurunkan suplai oksigen jika diberikan dengan dosis yang sedang.

Selama operasi paru akan diretraksi untuk memudahkan lapangan pandang operasi. Hal

ini menyebabkan desaturasi terutama bila paru dependen memiliki fungsi yang kurang optimal.

Jika pasien tidak mentolerir manipulasi operator, maka penghentian sementara operasi

dibutuhkan untuk mengembalikan ventilasi dan oksigenasi. Pada pasien ini, desaturasi terjadi

saat pasien diposisikan ke supine, hal ini dapat terjadi karena terjadi atelectasis pada paru

dependen, hal ini dapat diantisipasi dengan pemberian PEEP pada pasien.

Monitor seperti elektrokardiogram, saturasi oksigen, end tidal CO2 dan temperature harus

dipasang. Stetoskop precordial diletakkan disebelah kiri untuk memastikan dan monitoring suara

nafas dan adanya kenungkinan pipa trakea tergeser selama operasi. Pada kasus dimana

bronkoskopi tidak dikerjakan, maka untuk konfirmasi pipa trakea dapat digunakan cara lain yaitu

setelah induksi intubasi mainstream kanan lalu diikuti withdrawal perlahan pipa trakea hingga

suara nafas terdengar disisi kiri, teknik ini yang dikerjakan pada pasien. Pada pasien dengan

fistel, pipa dengan cuff memiliki keuntungan untuk menutup fistula, tetapi pada kasus ini

Page 26: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

dikarenakan keterbatasan alat, maka tidak dikerjakan. Bevel lubang pipa tetap diarahkan ke sisi

anterior untuk menghindari intubasi pada fistula.

Apabila pasien akan tetap diintubasi postoperatif (yang paling dipilih) adalah teknik

narkotika. Fentanyl dengan dosis 10 hingga 20 mikrogram per kilogram berat badan dengan

muscle relaxant akan memberikan stabilitas hemodinamik dan memungkinkan analgesia

dilanjutkan hingga periode postoperatif. Untuk praktisi yang berpengalaman, epidural juga dapat

dipasang. Kateter epidural dimasukkan melalui caudal space dapat mencapai dermatom thorakal.

Pastikan penempatan catheter dengan menggunakan fluoroscopy sebelum menggunakannya.

Teknik ini sebaiknya dilakukan oleh dokter yang sangat berpengalaman dalam anestesi regional

anak, dengan kesadaran penuh akan risiko dan kemampuan menangani komplikasi.

Meskipun beberapa ahli bedah lebih memilih bayi dilakukan ekstubasi segera di ruang

operasi untuk meminimalisir tekanan pada garis penjahitan, hal ini dapat berisiko. Banyak bayi

dengan TEF mengalami defisiensi kartilago trakea pada level fistula sehingga memiliki

kecenderungan tracheomalacia. Hal ini dapat memicu obstruksi saluran napas yang

membutuhkan reintubasi segera. Banyak anak yang memiliki penyakit paru akibat prematuritas

atau pneumonia aspirasi, setelah menerima narkotika untuk penanganan nyeri mereka rentan

mengalami hipoventilasi. Bila ekstubasi dini direncanakan, teknik epidural dapat bermanfaat.

Namun apabila bayi tetap diintubasi, perhatian khusus sebaiknya diberikan untuk membatasi

tekanan inspirasi dan untuk menjaga area yang telah dilakukan perbaikan.

Page 27: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

BAB V

KESIMPULAN

Seorang bayi laki laki, 2 hari datang kerumah sakit dengan keluhan muntah setiap kali diberi air

susu ibu. Pasien didiagnosis dengan atresia esophagus dengan fistula distal dan proksimal.

Koreksi anastomse pada pasien ini merupakan tantangan yang besar bagi seorang

anesthesiologist. Manajemen anestesi yang baik menggunakan teknik sleep non apnea tanpa

pelumpuh otot dan mempertahankan nafas spontan dengan assisted ventilation dapat menjadi

pilihan pada kasus ini. Operasi berlangsung lancar dengan hemodinamik stabil durante operasi.

Page 28: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

DAFTAR PUSTAKA

1. Boia ES. Mittal A. Esophageal atresia and tracheoesopahgeal malformation. Jurnalul

Pediatrului. 2005; 8: 41-9.

2. Spitz L. Oesophageal atresia. Orphanet Journal of Rare Disease. 2007; 2: 24.

3. Tandon RK. Sharma S. Shinha SK. Esophageal atresia: factors influencing survival-

experience at Indian tertiary center. Journal Indian Association Pediatric Surgery. 2008;

13: 1-6.

4. Bambini DA. Tracheoesophageal Fistula and Esophageal Atresia. In: Arensman RM,

Bambini DA, Almond PS, editors. Pediatric surgery. Landes Bioscience; 2000. pp 318-

24.

5. Beale P. Lakho K. Oesophageal atresia. Available from : www.global-

help.org/.../books/help_pedsurgeryaf

6. Viswanatha B. Esophagus Anatomy. Medscape (Updated: Oct 14,2011, Cited: 2013 Nov

23). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1948973-overview

7. Johnson PR. Oesophageal atresia. Infant. 2005; 1: 163-7.

8. Clark DC. Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula. American Family

Physician (Updated: Feb 15,1999, Cited: 2013 Nov 23). Available from :

http://www.aafp.org/afp/1999/0215/p910.html.

9. Hollwarth M. Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula. In: Puri P, Hollwarth

M, editors. Pediatric surgery. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2009. pp 329-338.

10. Gupta KA. Guglani B. Imaging of congenital anomalies of the gastrointestinal tract.

Indian Journal Pediatric. 2005; 72 (5) : 403-14.

11. Berocal T. Tores I. Guiterezz J. Congenital anomaly of the upper gastrointestinal tract.

Radiographic; 1999: 855-72.

12. Vogel S. Paediatric gastrointestinal radiology. Auckland Distric Health Board. 2012; 1-7.

13. Serrao E. Santos A. Gaivao A. Congenital esophageal stenosis: a rare case of dysphagia.

Journal of Radiology Case Report. 2010; 4(6): 8-14.

14. Broemling N, Campbell F. Anesthetic management of congenital tracheoesophageal

fistula. Pediatric Anesthesia21(2011) 1092–1099.

Page 29: LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA ...

15. Robins et al. Anesthetic Management of Acquired Tracheoesophageal Fistula : A Brief

Report. Anesthesia & Analgesia : October 2001 p 903-905

16. Gayle et al. Anesthetic Considerations For The Neonate with Tracheoesophageal Fistula.

M.E.J. Anesth 19 (6) 2008.

17. Diego MG, Manolo RL. Anesthetic management of Esophageal Atresia Tipe III with

Tracheoesophageal Fistula in Premature Infant without Invasive Monitoring : A Case

Report.. 2015. Journal of Anesthesia & Critical Care 2(4) : 00063.

18. Wong et al. Airway and Ventilatory Management Options in Congenital

Tracheoesophageal Fistula Repair. 2015. Journal of Cardiothoracic and vascular

anesthesia. April : pp 515 – 520