Laporan Kasus Kusta

43
1 LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN PENDAHULUAN Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam. Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Namun, kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae, ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab kusta tersebut. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar melalui perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan Kusta masuk ke Indonesia ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang India. DEFINISI

description

Laporan Kasus Kusta

Transcript of Laporan Kasus Kusta

Page 1: Laporan Kasus Kusta

1

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN

PENDAHULUAN

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh

peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.

Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu

dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan

dunia, seperti India dan Vietnam.

Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejala-

gejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600

Sebelum Masehi. Namun, kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae,

ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873,

maka dari itu Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu

kuman penyebab kusta tersebut.

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar

melalui perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut

umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan Kusta masuk

ke Indonesia ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang

India.

DEFINISI

Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit

infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.[1] Penyakit ini adalah tipe

penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi

pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat

progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.

Page 2: Laporan Kasus Kusta

2

ETIOLOGI

Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

leprae (M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μ,

lebar 0,2 – 0,5 μ, sifatnya tahan asam sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M.leprae

biasanya berkelompok dan ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel

terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.

Masa belah diri kuman kusta ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan

dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2–

5 tahun.

Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,

otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta yang merupakan penyakit

menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya.

Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak

membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai

mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan

basil “cepat asam” (Brooks, 453:2005). Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada

lepra. Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae

atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium

lainnya (Isselbacher, 808:1999).

Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,

bentuk pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan

bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata,

dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya

terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular,

dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk

globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan

atau berkelompok – kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60

BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk

Page 3: Laporan Kasus Kusta

3

clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya

lebih dari 500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).

EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah

pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan

jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak

116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena

kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara

dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan

9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah

penderita sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI,

Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140

penderita, dengan 74 pasien dengan tipe multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler

(Erlan. J.S. et all, 21:2003).

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat

karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama

kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma

dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama:

kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau

India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak

menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).

Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta.

Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi,

maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara

tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan

kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena

tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).

Page 4: Laporan Kasus Kusta

4

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur

berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya

penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur

pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data

prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan

resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai

umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia

muda dan produktif (Depkes RI, 8:2006).

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar

negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih

banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan

kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit

menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya

(Depkes RI, 8:2006).

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN TERJADINYA PENYAKIT KUSTA

a. Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus

yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).

b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung

dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-

10. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous

merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006).

c. Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga

bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh

penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara

Page 5: Laporan Kasus Kusta

5

penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang

lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak

menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).

d. Cara Masuk ke Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat

dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan

melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).

e. Pejamu

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal

ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan

sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti

pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan

perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik

mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat

ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30%

yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).

PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting

Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah

tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh

molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan

ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan

sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan

berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi

To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis

makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan

Page 6: Laporan Kasus Kusta

6

C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan

proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit,

fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion

superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal

membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak

jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan

organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel

epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari

eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk

menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni,

7:2009).

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak

teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid

Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan

pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni,

7:2009).

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan

melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang

paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen

asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik

dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan

diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya

molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC

akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari

CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae

mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated

lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya

kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni, 8:2009).

PATOGENESIS KERUSAKAN SARAF PADA PASIEN KUSTA

Page 7: Laporan Kasus Kusta

7

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang

akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan

MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2

dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae

akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan

makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF

yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga

akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga

terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni,

8:2009).

PATOGENESIS REAKSI KUSTA

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang

dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe

reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering

disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type

Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler

yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana

terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya

terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah

lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi

(Wahyuni, 8:2009).

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.

Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi

pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan

mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan

merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel

(Wahyuni, 8:2009).

GAMBARAN KLINIS

Page 8: Laporan Kasus Kusta

8

Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat

berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit

kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa

kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.

Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat

berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi

yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,

bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan

saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya

kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman

kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering

disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran

hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf

Page 9: Laporan Kasus Kusta

9

tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf

perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan

jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi

dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu,

suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar

ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi

yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi

bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti

punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,

berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.

Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;

sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan,

dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping

telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung,

pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan

saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut

serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan

anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling

Sifat Lepromatous

Leprosy (LL)

Borderline

Lepromatous (BL)

Mid Borderline

(BB)

Lesi

Page 10: Laporan Kasus Kusta

10

Bentuk Makula, Infiltrat

Difus, Papul, Nodul

Makula, Plakat,

Papul

Plakat, Dome

Shaped (Kubah),

Punched Out

Jumlah Tidak terhitung,

praktis tidak ada

kulit sehat

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Dapat dihitung, kulit

sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir Simetris Asimetris

Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Kasar/berkilat

Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas

Anastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas

BTA

Lesi Kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak

Sekret Hidung Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,

tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya

berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi

biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf.

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu

primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang

terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan

disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah.

Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan

keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior

kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot

interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung

jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing

ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot

lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari

telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan

Page 11: Laporan Kasus Kusta

11

tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum

pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah

anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada

N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang

bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan

mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva

mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder

disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis

palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,

menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama

akan menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe

lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh

karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan

adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat

juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse

sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah

menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena

kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik

dosis maupun lama pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu

tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular

skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan

dan berat.

Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ

tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.

Page 12: Laporan Kasus Kusta

12

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan

nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi

yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi

ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan

banyak basil M.leprae di endotel kapiler.

Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan

meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu

tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.

PEMERIKSAAN PASIEN

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus

diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan

alat – alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi

masing – masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk

melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan

sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat

membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk

menentukannya.

Pemeriksaan Saraf Tepi

Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.

Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.

Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi

dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran

reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau

tidak (Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan

menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf

mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).

Page 13: Laporan Kasus Kusta

13

Cara pemeriksaan saraf tepi

Aurukularis magnus. Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin,

maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah

bisa terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan

jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara

seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa

membandingkan antara yang kiri dan yang kanan (Daili, 21:2003).

N. Ulnaris. Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya

diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di

bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu

dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau

tidak (Daili, 22:2003).

N. Paroneus lateralis. Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di

sebelah lateral dari capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).

Tes Fungsi Saraf

Tes Sensoris. Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

Rasa Raba. Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa

perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus

duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa

bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang

disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini

telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong

Page 14: Laporan Kasus Kusta

14

kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat.

Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).

Rasa Nyeri. Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum

yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan

tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).

Rasa Suhu. Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas

(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau

menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit

yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah

tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di

daerah tersebut terganggu (Daili, 22:2003).

Tes Otonom. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit

kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

Tes dengan pensil tinta. Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang

dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.

Tes pilokarpin. Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan

pilokarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat,

sedangkan daerah lesi tetap kering.

Tes Motoris (Voluntary muscle test)

Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:

Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari

telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari

kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari

kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien

mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.

Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat

ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya

Page 15: Laporan Kasus Kusta

15

lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian

telapaknya.

Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan

tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.

Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi

pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai

kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.

PEMERIKSAAN BAKTERIOSKOPIS

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa

hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama – tama harus

ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu

menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain

yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping

telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman,

pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila

tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Page 16: Laporan Kasus Kusta

16

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid

dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %

Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak

perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai

10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel

dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe

lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah

langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow

dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak

dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

PEMERIKSAAN SEROLOGIS

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis

merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk

antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah

MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

PEMERIKSAAN LEPROMIN

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak

untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap

M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan

intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu

( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang

Page 17: Laporan Kasus Kusta

17

menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini

seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :

0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm

+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm

+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

DIAGNOSIS

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala

yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada

penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:

1.Bercak kulit yang mati rasa

Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka

akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi

(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu,

dan rasa nyeri.

2.Penebalan saraf tepi

Page 18: Laporan Kasus Kusta

18

Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf

yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi

b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang

terganggu.

3.Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang

aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda

kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan

tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai

diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.

DIAGNOSIS BANDING

Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,

Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll.

Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris,

neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung

sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula

putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun,

hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.

Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa

dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest

maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan

katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak

melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon

transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah

Page 19: Laporan Kasus Kusta

19

DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik

terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada

sarung tangan dan fenol pada detergen.

Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling

sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata,

mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau

simetris. Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu,

bibir dan ginggiva.

Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi

tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo

segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan

mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu

vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta

merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi

tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau

hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.

Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat

flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat

atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi

ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya

imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.

Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh

Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai

efek sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna –

warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan

menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi

jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and

meat ball).

Page 20: Laporan Kasus Kusta

20

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) .

Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di

pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak

– bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.

Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan

konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku –

siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat

gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi

virus.

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya

bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan

disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru

terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema

yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada

akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan

dapat konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada

remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari

berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif

tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang

terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala

ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala

kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan

jari – jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi

ereksi dll.

Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis,

mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan

vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.

Page 21: Laporan Kasus Kusta

21

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin

( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly

neuropathy dan demensia.

PENGOBATAN

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden

penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk

mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan

pengobatan penderita.

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau

menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-

aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh

bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea,

muntah, sakit kepala, dan vertigo.

Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.

Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek

sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan

kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara

menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada

subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk

penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan

bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Page 22: Laporan Kasus Kusta

22

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment. Kegunaan MDT untuk

mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita

dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat

mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal

diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung

RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak

di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen

pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen

pengobatan PB lesi (2-5).

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)

bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti

minum obat.

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di

rumah

Page 23: Laporan Kasus Kusta

23

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18

bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment

yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe

PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari diminum

di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari diminum

di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50 mg

selang sehari

diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka

dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot ,

claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan

“Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan

sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-

obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan

MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan

sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti

reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti

reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis

3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml

Page 24: Laporan Kasus Kusta

24

secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena

toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400

mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan

prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik

walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)

setelah terjadi respon maksimal.

PENGOBATAN KUSTA UNTUK SITUASI KHUSUS

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert

committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:

a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin

Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau

resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:

Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis6 Bulan Klofazimin

Ofloksasin

Minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg.hariDiikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan

Ofloksasin atau

Minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan

klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di

atas.

b.Penderita yang menolak kofazimin

Page 25: Laporan Kasus Kusta

25

Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu

klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan

atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen

MDT-MB alternatis selama 24 bulan:

-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,

-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan

-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan

c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS

Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB,

obat ini harus dihentikan.

Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:

Rifampisin Klofazimin

Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan

Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

KOMPLIKASI

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi

kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal.

Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada

pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah

vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder.

Page 26: Laporan Kasus Kusta

26

PROGNOSIS

Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen

dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan

tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical

medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal

ginjal dapat mejadi komplikasi

Page 27: Laporan Kasus Kusta

27

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI PASIEN

NAMA : Suhaimi

UMUR : 35 tahun

JENIS KELAMIN : laki-laki

ALAMAT : Kediri

TANGGAL PEMERIKSAAN : 7 Juni 2012

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : bercak putih pada kulit

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh bercak putih pada kulit sejak 2 bulan yang lalu

awalnyaterdapat bercak kemerahan kecil di daerah lengan kanan bawah semakin

lama semakin membesar dan meluas dan menyebar ke lengan atas, dada, perut,

punggung, wajah dan lutut.

Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb, pasien

mengeluh terasa tebal pada bercak-bercak tsb. Pasien merasakan tebal tapi tidak

terlalu jelas dengan daerah kulit normal yang dirasakan. Pasien mengatakan bila

terbentur sesuatu terasa lebih sakit dari pada sebelum pasien muncul bercak-

bercak ini. Pada malam hari pasien merasakan kulit seperti di tarik-tarik. Pasien

menyangkal adanya rontok bulu mata, alis, dan demam.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat asma, kencing manis,

darah tinggi di sangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal ada keluarga atau teman pasien yang mengalami keluhan

yang serupa. Riwayat alergi makanan dan obat pada keluarga di sangkal.

Riwayat Alergi

Pasien mengaku memiliki alergi makanan laut, apabila pasien makananan laut

maka akan timbul bintik-bintik yang gatal. Riwayat alergi obat, cuaca, debu,

disangkal.

Page 28: Laporan Kasus Kusta

28

Riwayat Pengobatan

Pasien mengaku meminum paracetamol pada saat pasien merasakan nyeri

pada kulitnya.

Riwayat Sosial

Pasien adalah petugas rumah sakit yang bertugas mengantar oksigen, pasien

mengaku pada saat bertugas di RS terdapat penderita yang mengalami gejala kulit

yang sama seperti pasien. Pasien tiap hari bertemu dengan penderita tersebut

selama 2 minggu.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmentis

Status lokalis kulit :

Pada regio thorak, abdomen, wajah, lutut, punggung, Tampak Plaque > 5

Eritema dengan tepi meninggi, batas tegas multiple, skuama (-), erosi (-),

ekskroisi (-), pada regio brachialis tampak patch hiperpigmentasi batas tidak

jelas pada telapak tangan. Madorosis (-), facies leohiro (-), saddle nose (-),

claw hand(+).

Pemeriksaan saraf :

o N.Auricularis magnus sinistra mengalami pembesaran, konsistensi

kenyal, nyeri tekan (+)

o N. Ulnaris sinistra mengalami pembesaran konsistensi kenyal, nyeri

tekan (+)

o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari

pada kulit normal.

o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari

pada kulit normal

Page 29: Laporan Kasus Kusta

29

o Pemeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan

suhu panas dingin pada tempat lesi.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

BTA: Tidak ditemukan kuman BTA

V. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen MultiBasiler reaksi kusta tipe 1

VI. DIAGNOSIS DIFFRENSIAL

Vitiligo, Ptiriasis Versikolor, Ptiriasis Alba, Tinea korporis

VII. PENATALAKSANAAN

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18

bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From

Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan

secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampicin : 600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan

Dapson : 100 mg/hari diminum di rumah

Lamprene : 300mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan

dgn 50 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan

obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-

5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.