Laporan Kasus Gigi

33
BAB I REKAM MEDIK 1.1 Identifikasi Pasien Nama : An. Lia Audina Umur : 6 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Status Perkawinan : Belum kawin Agama : Islam Alamat : Air Bening, Rawas Ilir, Kab. Musi Rawas Kebangsaan : Indonesia No. Rekam Medis : 903931 1.2 Anamnesis a. Keluhan Utama : Pasien mengeluh gusi bengkak sejak 1 bulan yang lalu. Pasien dikonsulkan dari bagian anak RSMH untuk dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut. b. Keluhan Tambahan : Gusi berdarah. c. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien dirawat di bagian Anak RSMH dan didiagnosis dengan AML (Acute Myeloblastic Leukemia). Pasien direncanakan untuk dilakukan kemoterapi sehingga dilakukan pemeriksaan terhadap adanya fokal infeksi. Pasien juga mengeluh sering terasa ngilu apabila makan, terutama makanan panas atau dingin. Pasien mengaku jarang menyikat gigi dan senang makan permen. 1

description

laporan kasus gigi

Transcript of Laporan Kasus Gigi

Page 1: Laporan Kasus Gigi

BAB I

REKAM MEDIK1.1 Identifikasi Pasien

Nama : An. Lia Audina

Umur : 6 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Belum kawin

Agama : Islam

Alamat : Air Bening, Rawas Ilir, Kab. Musi Rawas

Kebangsaan : Indonesia

No. Rekam Medis : 903931

1.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama : Pasien mengeluh gusi bengkak sejak 1 bulan yang lalu. Pasien

dikonsulkan dari bagian anak RSMH untuk dilakukan pemeriksaan gigi dan

mulut.

b. Keluhan Tambahan : Gusi berdarah.

c. Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien dirawat di bagian Anak RSMH dan didiagnosis dengan AML (Acute

Myeloblastic Leukemia). Pasien direncanakan untuk dilakukan kemoterapi

sehingga dilakukan pemeriksaan terhadap adanya fokal infeksi. Pasien juga

mengeluh sering terasa ngilu apabila makan, terutama makanan panas atau dingin.

Pasien mengaku jarang menyikat gigi dan senang makan permen.

d. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik

Penyakit atau Kelainan Sistemik Ada Disangkal

Alergi : debu, dingin √

Penyakit Jantung √

Penyakit Tekanan Darah Tinggi √

Penyakit Diabetes Melitus √

1

Page 2: Laporan Kasus Gigi

Penyakit Kelainan Darah √

Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H √

Kelainan Hati Lainnya √

HIV/ AIDS √

Penyakit Pernafasan/paru √

Kelainan Pencernaan √

Penyakit Ginjal √

Penyakit / Kelainan Kelenjar ludah √

Epilepsy √

e. Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya

- Penderita belum pernah melakukan pemeriksaan gigi sebelumnya

- Riwayat trauma (-)

1.3 Pemeriksaan Fisik

a. Status Umum Pasien

1. Rujukan : dari teman sejawat bagian Anak RSMH

2. Keadaan Umum Pasien : Kompos Mentis

3. Berat Badan : 15 kg

4. Tinggi Badan : 109 cm

5. Vital Sign

- Tekanan Darah : 90/60 mmHg

- Nadi : 90x/menit

- RR : 24x/menit

- T : 36,7 C

- Pupil mata : normal

b. Pemeriksaan Ekstra Oral

- Wajah : Simetris

- Bibir : Tidak ada kelainan

- KGB : Pembesaran di regio colii (Ukuran multiple 1-2 cm. Nyeri tekan (-))

Pembesaran KGB inguinal (+) ukuran 1 cm

- Kelenjar lainnya : Tampak normal

c. Pemeriksaan Intra Oral

2

Page 3: Laporan Kasus Gigi

- Debris : ada, di semua regio

- Plak : tidak ada

- Kalkulus : ada, di semua regio

- Perdarahan Papilla Interdental : tidak ada

- Gingiva : Hiperplasia, di semua regio

- Mukosa : tidak ada kelainan

- Palatum : tidak ada kelainan

- Lidah : tidak ada kelainan

- Dasar Mulut : tidak ada kelainan

- Hubungan Rahang : tidak ada kelainan

- Kelainan Gigi Geligi : lihat status lokalis

- Lain-lain : tidak ada

d. Status Lokalis

Gigi Lesi Sondase CE Perkusi Palpasi Diagnosis/ ICD Terapi

5.1 D5 + Td - - Karies dentin Pro konservasi

5.2 D5 + Td + + Karies dentin Pro konservasi

6.1 D5 + Td + + Karies dentin Pro konservasi

6.2 D5 + Td + + Karies dentin Pro konservasi

6.4Persi

sten- Td - - Persistensi Pro ekstraksi

6.5 GR - Td - - Gangren radix Pro ekstraksi

7.4 D5 + Td + + Kariess dentin Pro konservasi

7.5 D5 + Td + + Karies dentin Pro konservasi

8.4 GP - Td - - Gangren pulpa Pro ekstraksi

8.5 GP - Td - - Gangren pulpa Pro ekstraksi

Td: Tidak dilakukan

e. Temuan Masalah

a. Debris di semua regio

3

Page 4: Laporan Kasus Gigi

b. Kalkulus di semua regio

c. Karies dentin 5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5

d. Gigi susu persisten 6.4

e. Gangren radix 6.5

f. Gangren pulpa 8.4, 8.5

g. Hiperplasi gingiva di semua regio

f. Perencanaan Terapi

1. Kalkulus di semua regio pro scaling

2. Karies dentin 5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5 Pro konservatif

3. Gigi susu persisten 6.4 Pro ekstraksi

4. Gangren radix 6.5 Pro ekstraksi

5. Gangren pulpa 8.4, 8.5 Pro ekstraksi

6. Hiperplasi gingiva di semua regio pro scaling

g. Diagnosa

a. AML

b. Kalkulus di semua regio

c. Karies dentin 5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5

d. Gigi susu persisten 6.4

e. Gangren radix 6.5

f. Gangren pulpa 8.4, 8.5

g. Hiperplasi gingiva marginalis

4

Page 5: Laporan Kasus Gigi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Acute Myeloblastic Leukemia (AML)

2.1.1 Definisi AML

Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering juga dikenal

dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan

penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk

hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga

menyebabkan penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal.

Pada kebanyakan kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang

disebut myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel

darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit (yang

dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan

segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang. 1

2.1.2. Klasifikasi

AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi, diferensiasi

dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta penelitian sitokimia.

Mengetahui subtipe AML sangat penting, karena dapat membantu dalam memberikan terapi

yang terbaik.2

Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat oleh French

American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia mieloid akut menjadi 7 subtipe

yaitu sebagai berikut 2

Tabel 1. Klasifikasi AML menurut FAB 2

Subtipe Menurut FAB(French American British)

Nama Lazim( % Kasus)

MO Leukimia Mieloblastik Akut dengan diferensiasi Minimal (3%)

M1 Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi (15-20%)

M2 Leukimia Mieloblastik Akut dengan maturasi granulositik (25-30%)

M3 Leukimia Promielositik Akut (5-10%)

M4 Leukimia Mielomonositik Akut (20%)

5

Page 6: Laporan Kasus Gigi

M4Eo Leukimia Mielomonositik Akut dengan eosinofil abnormal (5-10%)

M5 Leukimia Monositik Akut (2-9%)

M6 Eritroleukimia (3-5%)

M7 Leukimia Megakariositik Akut (3-12%)

2.1.3. Epidemiologi

Kejadian AML berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, hal ini berkaitan

dengan cara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua kelompok usia, tetapi

kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. AML merupakan 20% kasus leukemia

pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita AML setiap tahunnya di seluruh dunia. AML pada

anak berjumlah kira-kira 15% dari leukimia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai

umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4

per 100.000 penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun

menderita leukemia mielositik akut dan insiden ini meningkat sejalan dengan umur,

puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih. Yayasan

Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus leukemia di seluruh

Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis AML.3

Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan AML biasanya menderita AML

subtipe M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3 tahun, terutama

dengan Sindrom Down. Penelitian sitogenetik mengidentifikasi adanya keabnormalan

kromosom pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih dari 70% anak yang baru

didiagnosis LMA. Keabnormalan itu terletak pada t (8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi

pita 11q23, dan trisomi 8.2

2.1.4. Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini.14-18 Menurut hasil

penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit

leukemia. Faktor risiko tersebut adalah4

Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom atom di

Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden penyakit ini.

Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber radiasi dosis tinggi.

Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih rendah dan

tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian leukemia.

6

Page 7: Laporan Kasus Gigi

Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida, pestisida

Obat – obatan : golongan alkilasi (sitostatika), kloramfenikol, fenilbutazon,

heksaklorosiklokeksan

Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat menderita

leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating agents. Namun

pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan pertimbangan rasio

manfaat-risikonya.

Faktor keluarga / genetik : pada kembar identik bila salah satu menderita AML maka

kembarannya berisiko menderita leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden leukemia pada

saudara kandung meningkat 4 kali bila salah satu saudaranya menderita AML.

Sindrom Down : Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang disebabkan

oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker.

Kondisi perinatal : penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplementasi oksigen, asfiksia

post partum, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil dan ibu hamil yang

mengkonsumsi alkohol.

Human T-Cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan leukemia T-cell

yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat menimbulkan leukemia adalah

retrovirus dan virus leukemia feline.

Sindroma mielodisplastik : sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan

pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel (hiposelularitas) pada

sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai pre-leukemia. Orang dengan

kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia.

2.1.5. Patofisiologi

AML merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon sel-

sel hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa berkembang

menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel induk hematopoesis pluripoten

yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk limfoid dan induk mieloid (non limfoid)

multipoten. Sel induk limfoid akan membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan

berdiferensiasi menjadi sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap

stadium diferensiasi dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum

diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga jumlah sel

muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel darah normal dalam sumsum tulang.

7

Page 8: Laporan Kasus Gigi

Sel leukemik tersebut dapat masuk kedalam sirkulasi darah yang kemudian menginfiltrasi

organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ.2

AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid dan berasal

dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami neoplastik sel yang mengalami

transformasi yang sebenarnya telah digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis

bersifat intrinsik dan dapat diturunkan melalui progeni sel.5 Defek kualitatif dan kuantitatif

pada semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan menggantikan

sel normal. 5

Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan

menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal.

Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ lainnya,

dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri. Mereka bisa membentuk

tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit dan bisa menyebabkan meningitis,

anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya.4

Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan

sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel

leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.3

2.1.6. Gejala Klinis

Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah

yang normal dalam jumlah yang memadai. Gejala pasien leukemia bevariasi tergantung dari

jumlah sel abnormal dan tempat berkumpulnya sel abnormal tersebut. Adapun gejala-gejala

umum yang dapat ditemukan pada pasien AML antara lain 1

a. Kelemahan Badan dan Malaise

Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata

mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan. Sekitar 90 %

mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-rata didapati

keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau diagnosis AML dapat

ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga beratnya gejala kelemahan badan ini

sebanding dengan anemia.

b. Febris

8

Page 9: Laporan Kasus Gigi

Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya febris juga

didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap AML. Umumnya demam ini timbul

karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia. Pada waktu febris juga

didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-tanda infeksi lain.

c. Perdarahan

Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan, dimana penderita

mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae, epitaksis, purpura dan lain-lain.

Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat dengan beratnya trombositopenia. 1

d. Penurunan berat badan

Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan berat badan

ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama. Penurunan berat badan juga

sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise atau kelemahan badan.

e. Nyeri tulang

Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita AML. Rasa nyeri ini

disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang

mengakibatkan terjadi infark tulang.

Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien AML1

a. Kepucatan, takikardi, murmur

Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah pucat karena

adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan simptom kaardiorespirasi

seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope dan angina.

b. Pembesaran organ-organ

Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa abnomen atau

limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita AML. Splenomegali

lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali jarang memberikan gejala

begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark.

c. Kelainan kulit dan hipertrofi gusi

Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe AML tertentu, misalnya

leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4). Kelainan kulit yang

didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu, multiple dan general, dan

biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi gusi akibat infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa

dilihat pada 15 % penderita varian M5b, 50 % M5a dan 50 % M4. Namun hanya didapatkan

sekitar 5 % pada subtipe AML yang lain.3

2.1.7. Diagnosis9

Page 10: Laporan Kasus Gigi

Diagnosis AML dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin, sediaan darah tepi

dan dibuktikan aspirasi sumsum tulang belakang, pemeriksaan immnunophenotype, karyotype,

atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). 7,29,30 Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone

Marrow Aspiration) merupakan syarat mutlak untuk menegakkan diagnosa definitif dan

menentukan jenis leukemia akut.6

Pemeriksaan immunophenotypic sangat penting untuk mendiagnosis acute

megakaryoblastic leukemia (AMLK), leukemia myeloid dengan diferensiasi minimal dan

leukemia myeloid/limpoid (mixed, biphenotype). Keabnormalan genetik pada pasien AML

terlihat dalam tabel berikut :6

Tabel . Keabnormalan Genetik pada Berbagai Subtipe AML

2.1.8. Terapi10

Page 11: Laporan Kasus Gigi

Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simptomatis dan kausatif.

Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar

Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak menunjukkan hasil yang

memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis diberikan untuk meringankan gejala klnis yang

muncul seperti pemberian penurun panas. Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana

tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien AML. Terapi kausatif

yang dilakukan yaitu kemoterapi. 4

Penatalaksanaan terapi AML pada anak telah digunakan sejak tahun 1970an. Angka

Five years survival meningkat dari kurang dari 5% pada tahun 1970 menjadi 43% sekarang

ini. Hal ini merupakan manfaat dari pengobatan intensif, gabungan dari transplantasi stem sel

sebagai terapi primer dan adanya perawatan suportif.1

Anak yang menderita AML memerlukan terapi intensif dengan menekan produksi

sumsum tulang dan perawatan di rumah sakit. Terapi yang pertama kali dilakukan adalah

menangani keadaan seperti demam, infeksi, perdarahan, leukositosis dan sindrom tumor lisis.

Kemajuan terapi juga ditentukan oleh penggunaan antibiotik spektrum luas segera dan

transfusi trombosit sebagai profilaksis juga memegang peranan penting dalam upaya

survival. 1

Berdasarkan terapi yang sesuai protokol, penderita AML pada anak dapat mengalami

angka remisi total sebesar 75-90%. Pada beberapa pasien yang tidak berhasil mengalami

remisi, setengah populasinya akan mengalami leukemia resistan dan separuhnya lagi akan

meninggal akibat komplikasi penyakit tersebut atau akibat efek samping pengobatan itu

sendiri. Terapi AML merupakan kombinasi antara cytarabine dan daunorubicin. Biasanya

regimen terapi untuk anak digunakan cytarabine dan anthracyclin yang dikombinasikan

dengan agen lain seperti etoposide dan atau thioguanine. Anthracycline yang paling banyak

digunakan untuk terapi AML pada anak adalah daunorubicin. 1 Berbagai penelitian

mengungkapkan bahwa Regimen Cytosine arabinase, Daunorubicin, & Etoposide (ADE)

lebih memberikan hasil yang memuaskan daripada regimen Daunorubisin, Cytosine arabinase

& Thioguanine (DAT).4

Tantangan paling besar dalam terapi AML pada anak adalah untuk memperpanjang

durasi remisi inisial dengan kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang. Pada prakteknya,

kebanyakan pasien yang diterapi dengan kemoterapi intensif setelah remisi dicapai karena

hanya sebagian subset yang cocok dengan donor keluarga.4

Setelah tercapai remisi, diberikan kemoterapi tambahan (kemoterapi konsolidasi)

beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kemoterapi induksi. Kemoterapi konsolidasi 11

Page 12: Laporan Kasus Gigi

jangka pendek telah membuktikan bahwa terapi dosis tinggi dan ASCT (Autologous Stem Cell

Transplantation) cukup efektif.36 Pencangkokan tulang bisa dilakukan pada penderita yang

tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada

awalnya memberikan respon terhadap pengobatan.37 Pada AML terapi rumatan tidak

menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan, yang apabila diberikan

kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan (untolerable side effect).

Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut5:

1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status

penampilan ≤ 2

2. Jumlah lekosit ≥ 3000/ml

3. Jumlah trombosit ≥120.0000/ul

4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10

5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit  (dalam 24 jam)

6. Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal

7. Elektrolit dalam batas normal.

8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas

70 tahun.

Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping yang bervariasi tiap

individu antara lain rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut (stomatitis), susah atau

sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare, konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih

mudah terkena infeksi, infertilitas, hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati.38 Pasien AML

hanya memberikan respon terhadap obat tertentu dan pengobatan seringkali membuat

penderita lebih sakit sebelum mereka membaik. Penderita menjadi lebih sakit karena

pengobatan menekan aktivitias sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin

sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi.39

2.1.9. Prognosis

Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3 kelompok

berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable), menengah (intermediate)

dan buruk (unfavorable). Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun

atau > 2 tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar

leukosit < 20.000/mm3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten

terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia

12

Page 13: Laporan Kasus Gigi

sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini

adalah 50-85% 5

Tabel 4. Prognosis AML5

13

Page 14: Laporan Kasus Gigi

Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60 tahun atau < 2

tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel blas pada banyak organ, 14

Page 15: Laporan Kasus Gigi

kadar leukosit > 20.000/mm3, respon yang buruk terhadap kemoterapi induksi, resisten

terhadap multidrug therapy, serta ditemukannya leukemia ekstramedullar dan leukemia

sekunder.11,29 Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok

ini adalah 10-20%.6 Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari

baik dan buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok

prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup dua tahun kedepan (two years

survival rate) sekitar 40-50% .6

2.2 Infeksi Fokal2

Fokus infeksi merupakan area jaringan berbatas tegas yang terinfeksi oleh mikroorganisme

patogen eksogen yang biasanya terletak dekat permukaan kulit atau mukosa. Infeksi fokal

adalah metastasis dari fokus infeksi, organisme, atau produknya yang memiliki kemampuan

untuk merusak jaringan.

2.2.1 Mekanisme Infeksi Fokal

Metastasis mikroorganisme–dapat menyebar secara hematogen atau limfogen.

Mikroorganisme ini kemudian akan menetap pada jaringan. Organisme tertentu memiliki

predileksi untuk mengisolasi dirinya pada daerah tertentu pada tubuh.

Toksin dan produk toksin–menyebar melalui aliran darah atau saluran limfatikus, dari

fokus yang jauh di mana dapat terjadi reaksi hipersensitivitas pada jaringan. Contoh:

scarlet fever, akibat toksin eritrosit yang berasal dari streptokokus.

2.2.2 Fokus Infeksi Oral

Lesi periapikal terinfeksi–khususnya, pada kasus kronik, daerah terinfeksi akan

dikelilingi oleh kapsul fibrosa, yang akan melindungi area bebas infeksi dari area

terinfeksi, tetapi tidak dapat mencegah absorpsi bakteri atau toksin. Granuloma periapikal

dideskripsikan sebagai manifestasi pertahanan tubuh dan reaksi penyembuhan, sementara

kista adalah bentuk lanjut dari granuloma. Abses terjadi ketika fase penyembuhan dan

pertahanan tubuh rendah.

Gigi dengan saluran akar yang terinfeksi – merupakan sumber potensial dari penyebaran

mikroorganisme dan toksin. Sering kali terjadi akibat streptokokus hemolitikus; yang

merupakan penyebab penting dari artritis reumatoid dan demam rematik.

Penyakit periodontal – merupakan sumber infeksi potensial yang signifikan. Organisme

yang sering ditemukan adalah Streptococcus viridans. Masase ringan pada gusi dapat

15

Page 16: Laporan Kasus Gigi

menyebabkan bakteremia transitori. Menggoyangkan gigi dari soketnya dengan

menggunakan forsep sebelum melakukan ekstraksi dapat menyebabkan bakteremia pada

pasien dengan penyakit periodontal. Profilaksis oral dapat diikuti dengan bakteremia.

Sehingga dianjurkan untuk memberikan antibiotik pada anak dengan penyakit jantung

kongenital atau penyakit jantung rematik untuk mencegah terjadinya endokarditis

bakterialis.

2.2.3 Dampak Penyebaran Fokus Infeksi Oral

Ada beberapa laporan bahwa fokus infeksi oral dapat menyebabkan atau memperparah

penyakit-penyakit sistemik. Contoh yang paling sering adalah:

Artritis–termasuk artritis rematoid dan demam rematik. Artritis rematoid merupakan jenis

yang tidak diketahui etiologinya. Pasien ini memiliki titer antibodi terhadap streptokokus

hemolitikus yang tinggi. Ini merupakan reaksi hipersensitivitas jaringan.

Penyakit katup jantung–endokarditis bakterialis subakut berkaitan dengan infeksi oral.

Ada kemiripan antara keduanya, yaitu antara agen penyebab penyakit dan

mikroorganisme pada lesi di rongga mulut, pulpa, dan periapikal gejala endokarditis

bakterialis subakut ditemukan pada beberapa kasus segera setelah ekstraksi gigi.

Bakteremia transien terjadi segera setelah ekstraksi gigi. Streptokokus jenis viridan

merupakan sebagian besar penyebab endokarditis bakterialis subakut. Setelah kestraksi

gigi, terjadi bakteremia streptokokus, sehingga kejadian endokarditis bakterialis subakut

dapat terjadi setelah operasi dan ekstraksi gigi.

Penyakit gastrointestinal–beberapa pekerja menyatakan bahwa menelan mikroorganisme

secara spontan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit gastrointestinal. Ulkus

gaster dan ulkus duodenum dapat diakibatkan oleh penetrasi streptokokus.

Penyakit mata–faktor-faktor mendukung hipotesis Woods tentang peranan fokus infeksi

pada penyakit mata

Penyakit ginjal – mikroorganisme yang sering ditemukan pada infeksi saluran kemih

adalah E.coli, stafilokokus, dan streptokokus. Streptokokus hemolitikus tampaknya

merupakan mikroorganisme yang paling sering. Streptokokus merupakan inhabitan

saluran akar gigi atau area periapikal dan gingiva yang jarang. Karena mikroorganisme

ini sering berhubungan dengan infeksi renal, tampaknya hubungan antara fokus infeksi

oral dan penyakit ginjal sedikit.

2.3. Penyakit Pulpa9 16

Page 17: Laporan Kasus Gigi

Pulpa Normal

Gigi dengan pulpa normal tidak menunjukkan gejala spontan. Pulpa akan respon

terhadap tes pulpa, dan gejala yang timbul akibat tes tersebut bersifat ringan, tidak

mengganggu pasien, dan bersifat sementara dan hilang dalam beberapa detik. Dari

pemeriksaan radiografi, dapat ditemukan berbagai derajat kalsifikasi pulpa, tetapi tidak

ditemukan adanya tanda-tanda resorpsi, karies, atau paparan pulpa mekanik. Pada kasus

seperti ini tidak diperlukan terapi endodontik.9

2.3.1 Pulpitis Reversibel

Ketika pulpa di dalam gigi mengalami iritasi, hal ini menyebabkan stimulasi sehingga

pasien merasa tidak nyaman, tetapi apabila iritan atau stimulus dihilangkan, nyeri akan hilang,

menandakan keterlibatan serabut saraf Aδ. Kondisi ini dinamakan dengan pulpitis reversibel.

Etiologi pulpitis reversibel antara lain karies, atrisi, abrasi, erosi, atau defek perkembangan

yang menyebabkan dentin yang terekspos, serta terapi gigi yang baru dilakukan.9,10 Apabila

iritan dihilangkan secara konservatif maka gejala akan hilang. Dapat terjadi kebingungan

apabila terdapat dentin yang terekspos, tanpa adanya bukti patosis pulpa yang terkadang

respon dengan nyeri tajam dan reversibel secara cepat ketika diberikan rangsangan suhu,

evaporatif, taktil, mekanik, osmotik, atau kimiawi. Hal ini disebut dengan sensitivitas dentin

(atau hipersensitivitas dentinal). Dentin yang terekspos pada area servikal gigi pada

kebanyakan kasus didiagnosis sebagai sensitivitas dentin. Perpindahan cairan di dalam tubulus

dentin menstimulasi odontoblas dan serabut saraf A-delta konduksi cepat, sehingga

menyebabkan nyeri tajam dan reversibel cepat dari dentin (Gambar 1).9

Gambar 1. Perpindahan cairan dalam saluran dentin9

Semakin terbuka tubulus dentin (akibat dekalsifikasi dentin, scaling periodontal, material

pemutih gigi, atau fraktur koronal gigi), semakin besar pergerakan cairan tubulus dan

sensitivitas akan lebih jelas. Anamnesis rinci mengenai perawatan gigi terakhir akan

membantu membedakan antara sensitivitas dentin dengan kelainan pulpa lainnya.9

Terapi pulpitis reversibel meliputi ekskavasi karies, restorasi, atau sealing dentin. Apabila

gejala terjadi setelah prosedur terapi seperti placement, restorasi, atau scaling, maka 17

Page 18: Laporan Kasus Gigi

dibutuhkan waktu agar gejala reda. Jaringan periradikular tampak normal.10 Pemeriksaan

radiologis dapat membuktikan adanya karies atau restorasi defektif; semetara jaringan

periapikal normal. Dengan menghilangkan faktor kausal, umumnya gejala inflamasi pulpa

akan berkurang.11

2.3.2 Pulpitis Ireversibel

Adalah keadaan penyakit pulpa yang berlanjut, dan diperlukan pembuangan jaringan

yang sakit. Etiologi pulpitis ireversibel sama seperti pulpitis reversibel, kecuali gejalanya

yang lebih berat dan konsisten akibat stimulasi serabut saraf C. ABE menyarankan untuk

mengklasifikasikan pulpitis ireversibel menjadi simptomatik dan asimptomatik.9

a. Pulpitis Ireversibel Simptomatik

Gigi ini mengimbulkan nyeri spontan atau intermiten. Paparan gigi terhadap

perubahan suhu yang dramatis akan meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri bahkan

setelah stimulus telah dihilangkan. Tanda khas pulpitis ini adalah nyeri terhadap panas yang

berkurang dengan dingin. Nyeri pada kasus ini dapat timbul sebagai nyeri tajam atau tumpul,

lokal, difus, atau referred. Pada pulpitis ireversibel simptomatik biasanya tidak ada perubahan

atau ditemukan perubahan minimal pada pemeriksaan radiografi pada tulang periradikular.

Pada pulpitis ireversibel lanjut dapat ditemukan penebalan ligamen periodontal dan dapat

menandakan adanya iritasi pulpa oleh kalsifikasi ruang kanalis akar dan pulpa ekstensif.

Apabila pulpitis ireversibel simptomatik tidak diterapi, pulpa akan menjadi nekrotik. Terapi

meliputi perawatan saluran akar, vital pulp therapy, atau ekstraksi.3 Umumnya, jaringan

periradikular tampak normal, kecuali pada beberapa kasus lamina dura tampak melebar atau

menunjukkan adanya condensing osteitis.9,10

b. Pulpitis Ireversibel Asimptomatik

Pada beberapa keadaan, karies dalam tidak akan menyebabkan gejala apapun,

meskipun secara klinis atau radiografi karies dapat mencapai pulpa. Apabila dibiarkan, maka

akan menimbulkan gejala atau nekrosis pulpa. Pada kondisi pulpitis ireversibel asimptomatik,

perawatan endodontik harus dilakukan sedini mungkin sehingga kondisi ini tidak menjadi

simptomatik yang menyebabkan nyeri hebat dan mengganggu kenyamanan pasien.9

2.3.3 Nekrosis pulpa

Terdapat dua bentuk nekrosis pulpa: kering dan likuefaktif. Nekrosis kering ditandai

dengan sistem saluran akar devoid of tissue elements. Nekrosis jenis ini sering menyebabkan

kelainan periradikular. Nekrosis likuefaktif ditandai dengan jaringan pulpa berstruktur tetapi

18

Page 19: Laporan Kasus Gigi

kurang elemen pembuluh darah. Nekrosis likuefaktif lebih sering menimbulkan gejala dan

lebih jarang melibatkan kelainan periradikular.9,10

Apabila terjadi nekrosis pulpa, aliran darah pulpa tidak ada dan serabut saraf pulpa

tidak berfungsi. Kondisi ini merupakan klasifikasi klinis yang digunakan untuk

menggambarkan kondisi histologis pulpa. Kondisi ini terjadi setelah pulpitis ireversibel

asimptomatik atau simptomatik. Setelah seluruh pulpa menjadi nekrotik, gigi akan menjadi

asimptomatik sampai akhirnya proses ini akan berlanjut mencapai jaringan periradikular. Pada

kasus nekrosis pulpa, gigi tidak respon terhadap tes listrik pulpa atau stimulasi dingin. Tetapi,

apabila panas diaplikasikan dalam rentang waktu tertentu, gigi dapat respon terhadap stimulus

ini. Hal ini dapat terjadi akibat sisa dari cairan atau gas di dalam ruang kanalis pulpa yang

meluas hingga jaringan periapikal. Nekrosis pulpa dapat terjadi parsial atau komplit dan dapat

hanya belibatkan sebagian kanal pada gigi dengan akar lebih dari satu. Oleh karena itu, gigi

dapat menimbulkan gejala yang membingungkan dan pemeriksaan pada satu akar dapat tidak

menimbulkan gejala dan pada akar lainnya dapat memberikan respon vital. Gigi dapat juga

menimbulkan gejala seperti pada pulpitis ireversibel simptomatik.9,10

Setelah pulpa mengalami nekrosis, pertumbuhan bakteri dapat terhambat di dalam

kanal. Ketika infeksi ini meluas ke ruang ligamen periodontal, gigi dapat menjadi

simptomatik terhadap perkusi atau menimbulkan nyeri spontan. Gigi dengan akar tunggal

umumnya tidak respon terhadap tes sensitivitas. Tetapi pada gigi dengan akar ganda, sebagian

dari pulpa masih mungkin vital; sehingga pemeriksaan sensitivitas dapat menimbulkan respon

negatif atau positif, tergantung dari keadaan suplai saraf pada permukaan gigi yang

diperiksa.9,10,11 Perubahan radiografi dapat terjadi, berkisar dari penebalan ruang ligamen

periodontal hingga adanya lesi radiolusen periapikal. Gigi dapat menjadi hipersensitif

terhadap panas, bahkan terhadap kehangatan kavitas oral, dan seringkali berkurang dengan

aplikasi dingin. Hal ini dapat membantu melokalisir gigi yang nekrosis apabila nyeri beralih

atau tidak terlokalisir. Perawatan saluran akar diperlukan pada kasus nekrosis pulpa.9,10,11

BAB III

ANALISIS KASUS

An. LA, perempuan berusia 6 tahun dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH

Palembang dengan leukemia myeloblastik akut dikonsulkan ke bagian poliklinik gigi dan

mulut RSMH untuk dilakukan pemeriksaan adanya fokal infeksi pada gigi untuk persiapan

kemoterapi. Pasien sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan ke dokter gigi. Pasien

19

Page 20: Laporan Kasus Gigi

mengeluhkan gusinya bengkak dan sering berdarah, pasien juga mengeluhkan ngilu saat

makan makanan panas atau dingin. Hal ini disebabkan iritasi pulpa pada gigi yang mengalami

pulpitis reversibel. Rasa panas atau dingin mengiritasi serabut saraf Aδ sehingga rasa nyeri

timbul seketika, tetapi akan hilang dalam waktu beberapa detik setelah stimulasi hilang. Pada

gigi yang mengalami nekrosis atau gangren pulpa, gigi tidak akan merasakan nyeri atau ngilu

akibat serabut saraf yang telah mati..

Saat dikonsulkan ke Poli Gigi dan Mulut keadaan umum penderita tampak kompos

mentis, nadi 90 x/menit, pernapasan 24 x/menit, suhu 36,7°C, dan tekanan darah 90/60

mmHg. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan intraoral

ditemukan kalkulus di semua regio. Pada status lokalis ditemukan adanya karies dentin pada

5.1, 5.2, 6.1, 6.2, 7.4, 7.5, persisten 6.4, gangren radix 6.5, dan gangren pulpa 8.4, 8.5.

Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pro scaling untuk kalkulus dan

hiperplasi pada semua regio, pro konservasi pada karies dentin dan pro ekstraksi pada gigi

persisten, gangren radix dan gangren pulpa. Edukasi juga diberikan kepada pasien dalam

pemilihan makanan seperti menghindari makan makanan yang keras dan yang mengandung

banyak sukrosa seperti permen. Pasien juga diajarkan cara menyikat gigi yang benar dan

teratur. Pasien juga diberi konseling mengenai pentingnya kunjungan teratur ke dokter gigi

setiap 6 bulan.

Pada pasien ini penyebab dari karies dentin, gangren radix, dan gangren pulpa diduga

adalah karena oral hygiene yang buruk, dan riwayat pasien yang tidak pernah berobat ke

dokter gigi sehingga karies yang dialaminya terus berlanjut hingga menjadi nekrosis pulpa.

Karies dentin dan gangren radiks harus secepatnya ditatalaksana sebelum tindakan kemoterapi

karena kemoterapi akan menurunkan daya tahan tubuh pasien, sehingga fokal infeksi akan

dapat menyebar ke organ tubuh lain melalui penyebaran sistemik.

DAFTAR PUSTAKA1. Supriyadi E, Widjajanto PH, Purwanto I, Cloos J, Veerman AJ, Sutaryo S. Incidence of

childhood leukemia in Yogyakarta, Indonesia, 1998-2009. Pediatr Blood Cancer

2011;57:588-93, Epub ahead of print.

20

Page 21: Laporan Kasus Gigi

2. Bhatia S, Ross JA, Greaves MF, Robinson LL. Epidemiology and etiology. Dalam: Pui

CH, penyunting. Childhood Leukemias. Cambridge: Cambridge University Press; 1999.

h. 38-49.

3. Golub TR, Arceci RJ. Acute Myelogenous Leukemia. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG,

penyunting. Princples and Practice of Pediatric Oncology. Edisi ke-4. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins;2002.h. 545-89.

4. Margolin JF, Steuber CP, Poplack DG. Acute Lymphoblastic Leukemia. Dalam: Pizzo

PA, Poplack DG, penyunting. Principles and practice of pediatric oncology. Edisi ke-5.

Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins; 2002.h. 1605-16.

5. Shah M, Agarwal B. Recent advances in management of acute myeloid leukemia (AML).

Indian J Pediatr 2008;75:831-7.

6. Rubnitz JE, Gibson B, Smith FO. Acute myeloid leukemia. Hematol Oncol Clin North

Am 2010;24:35-63.

7. Ghom, AG. Infections of Oral Cavity. Textbook of Oral Medicine, 2nd ed. New Delhi:

Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. Hal.484-486.

8. Priantoro D, HA Sjakti. Leukemia Akut. Dalam: Tanto C, F Liwanag, S Hanifati, EA

Pradipta, penyunting. Kapita Selekta Kedokteran: essentials of medicine edisi IV. Jakarta:

Media Aesculapicus. 2014: hal. 55-57.

9. Berman LH, GR Hartwell. Pulpal Disease. Dalam: Hargreaves KM, S Cohen,

penyunting. Cohen’s Pathway of The Pulp, 10th ed. China: Elsevier Mosby. 2011:

hal.36-37.

10. Johnson, WT. Diagnosis of Pulpal and Periradicular Pathosis. Dalam: Color Atlas of

Endodontics. Philadelphia: Saunders. 2002: hal. 9-10.

11. Patel S, BS Chong. Differential Diagnosis. Dalam: BS Chong, penyunting. Harty’s

Endodontics in Clinical Practice, 6th ed. Edinburgh: Elsevier Churcill Livingstone. 2010:

hal.26-27.

21