Laporan K3 Pertambangan Pasir Teratak Buluh
-
Upload
herfi-rahmi -
Category
Documents
-
view
332 -
download
23
description
Transcript of Laporan K3 Pertambangan Pasir Teratak Buluh
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam khususnya pertambangan kepada
masing-masing daerah. Kewenangan untuk pengelolaan pertambangan dari tingkat pusat
hingga kabupaten/kota telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan adanya dua peraturan tersebut seharusnya
semakin memperkuat posisi pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah tingkat
Kabupaten/Kota. Namun, sangat disayangkan pemerintah Kabupaten/Kota belum
memaksimalkan kekuatan hukum ini dalam penegakan upaya pengelolaan pertambangan
yang ramah lingkungan maupun yang memenuhi standar kesehatan dan keselamatan bagi
pekeja pertambangan.
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia secara
umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi yang
buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Padahal kemajuan
perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian
perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh,
merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Dalam
penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan
antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi
gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Kecelakaan kerja banyak terjadi di berbagai sektor pekerjaan. Salah satunya sektor
pertambangan. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga terjadi pada pertambangan pasir
sungai di Desa Teratak Buluh, Kabupaten Kampar, Riau. Sistem keamanan yang begitu
rendah dan sikap tak acuh para pekerja terhadap alat pelindung diri dapat meningkatkan
potensi kecelakaan kerja. Upaya pencegahan dan pengendalian bahaya kerja yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan
penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana peran badan
usaha pertambangan milik masyarakat menyediakan perlengkapan keselamatan kerja bagi
pekerjanya dan kepedulian tenaga kerja dalam menggunakan alat pelindung diri sebagai
upaya pencegahan kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kompetensi mata kuliah
Kesehatan dan Keselamatan Kerja serta untuk mengetahui kondisi eksisting terkait upaya
keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan pertambangan pasir sungai Desa Teratak
Buluh, Kabupaten Kampar, Riau berikut perencanaan sistem kesehatan dan keselamatan
kerja yang tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertambangan
2.1.1 Definisi Pertambangan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
2.1.2. Usaha pertambangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam
rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa usaha pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 (delapan)
macam yaitu:
Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas:
1. Pertambangan mineral; dan
2. Pertambangan batubara.
Salah satu karakteristik kegiatan pertambangan adalah padat modal, padat teknologi
dan memiliki risiko yang besar. Kemudian sebagai aktivitas ekstraktif, banyak aktivitas
dilakukan pada kondisi ekstim sehingga potensi terjadinya kecelakaan sangat besar.
Kemudian salah satu acuan utama dalam praktek penambangan yang baik dan benar
termasuk di dalamnya pelaksanaan budaya keselamatan dan kesehatan kerja adalah
Kepmentamben No. 555K/MPE/1995 tentang Pedoman Kesehatan Keselamatan Kerja di
Wilayah Pertambangan.
Sesuai dengan arahan untuk pelaksanaan good mining practice, salah satu hal yang
diutamakan adalah memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja untuk seluruh
karyawannya. Dan cara memberikan jaminan itu adalah denga memberikan pemahaman
tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara terus menerus sehingga
akan mampu membentuk safety culture.
2.2 Kecelakaan Kerja
2.2.1 Konsep Sebab Kecelakaan
Sebab kecelakaan merupakan landasan dari manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, karena usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja diarahkan untuk
mengendalikan sebab terjadinya kecelakaan. Untuk dapat memahami dengan baik
tentang konsep sebab kecelakaan kerja maka manajemen dituntut memahami sumber
penyebab terjadinya kecelakaan.
Dalam kaitannya dengan manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
sebab kecelakaan dapat bersumber dari empat kelompok besar, yaitu:
a. Faktor Lingkungan
Faktor ini berkaitan dengan kondisi fisik ditempat kerja yang meliputi :
- Keadaan lingkungan kerja
- Kondisi proses produksi
- Proses Produksi
b. Faktor Alat Kerja
Dimana bahaya yang ada dapat bersumber dari peralatan dan bangunan tempat
kerja yang salah dirancang atau salah pada saat pembuatan serta terjadinya
kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh salah rancang. Selain itu kecelakaan
juga bisa disebabkan oleh bahan baku produksi yang tidak sesuai dengan
spesifikasi yang ditetapkan, kesalahan dalam penyimpanan, pengangkutan dan
penggunaan.
c. Faktor Manusia
Faktor ini berkaitan dengan perilaku dan tindakan manusia didalam melakukan
pekerjaan, meliputi :
- Kurang pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang kerjanya maupun dalam
bidang keselamatan kerja.
- Kurang mampu secara fisik (karena cacat atau kondisi yang lemah) atau secara
mental.
- Kurang motivasi kerja dan kurang kesadaran akan keselamatan kerja.
- Tidak memahami dan menaati prosedur kerja secara aman.
Bahaya yang ada bersumber dari faktor manusianya sendiri yang sebagian besar
disebabkan tidak menaati prosedur kerja.
d. Kelemahan Sistem Manajemen
Faktor ini berkaitan dengan kurang adanya kesadaran dan pengetahuan dari pucuk
pimpinan untuk menyadari peran pentingnya masalah Keselamatan dan Kesehatan
Kerja, meliputi :
- Sikap manajemen yang tidak memperhatikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
di tempat kerja.
- Organisasi yang buruk dan tidak adanya pembagian tanggung jawab dan
pelimpahan wewenang bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara jelas.
- Sistem dan prosedur kerja yang lunak atau penerapannya tidak tegas.
- Tidak adanya standar atau kode Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dapat
diandalkan.
- Prosedur pencatatan dan pelaporan kecelakaan atau kejadian yang kuang baik.
- Tidak adanya monitoring terhadap sistem produksi.
Kelemahan Sistem manajemen ini mempunyai peranan yang sangat besar sbagai
penyebab kecelakaan, karena sistem manajemenlah yang mengatur ketiga unsur
produksi (manusia, peralatan, dan tempat kerja). Ketimpangan yang terjadi pada
sistem manajemen akan menimbulkan ketimpangan pada ketiga unsur sistem
produksi yang lain. Sehingga sering dikatakan bahwa kecelakaan merupakan
manifestasi dari adanya kesalahan manajemen dalam sistem manajemen yang
menjadi penyebab timbulnya masalah dalam proses produksi.
2.2.2 Konsep Akibat Kecelakaan
Pengertian terjadinya kecelakaan sering dikaitkan dengan akibat yang
ditimbulkan, untuk memahami dengan baik tentang kecelakaan maka hal yang harus
dipertimbangkan adalah konsepsi akibat yang ditimbulkan.
Didalam penerapannya, para manager harus bepandangan bahwa suatu
kejadian yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan tidak hanya terbatas pada
keadaan didalam lingkungan pengolahan saja,akan tetapi lingkungan luar
pengolahan juga harus dipertimbangkan. Karena pada dasarnya kejadian di dalam
berdampak negatif terhadap lingkungan luar.
Demikiian pula terhadap pengertian kecelakaan tersebut tidak harus selalu
dikaitkan dengan akibat yang ditimbulkan atau kerugian yang dialami. Maksud
pengertian ini menekankan bahwa suatu kejadian baru dikatakan kecelakaan apabila
mengakibatkan cedera, korban jiwa, penyakit akibat kerja atau kerugian-kerugian
lainnya.
2.2.3. Prinsip Pencegahan Kecelakaan
Pencegahan kecelakaan dalam kaitannya dengan masalah Keselamatan dan
Kesehatan Kerja harus mengacu dan bertitik tolak pada konsep sebab akibat
kecelakaan, yaitu dengan mengendalikan sebab, dan mengurangi akibat kecelakaan.
Upaya ini dilandasi dengan kenyataan bahwa suatu kecelakaan terjadi bila
adanya bahaya tidak dapat terkendali dan penanganan bahaya akan lebih mudah bila
dilakukan sejak tahap awal. Demikian pula terhadap akibat yang terjadi dapat
ditekan seminimal mungkin.
Berdasarkan prinsip pencegahan kecelakaan tersebut maka fungsi dasar
manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja memegang peranan penting terhadap
upaya pengenalian kecelakaan sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
2.3 Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan suatu ilmu yang membahas
tentang kesehatan dan keselamatan pekerja, lingkungan kerja, dan hasil kerja. Produktivitas
suatu perusahaan salah satunya sangat bergantung pada peran yang dilakukan oleh tenaga
kerjanya. Kemampuan tenaga kerja untuk melakukan produksi memerlukan dukungan dan
jaminan keselamatan dalam melakukan pekerjaannya.
Pada kondisi kesehatan yang baik, kondisi lingkungan kerja yang sehat, proses kerja
yang aman, dan hubungan kerja yang damai (Peaceful Industrial Relations), maka tenaga
kerja dapat mengerjakan tugas dan tanggung jawab dengan kemampuan terbaik mereka.
Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan K3 ditempat-tempat kerja masih jauh dari
harapan, hal ini disebabkan karena masih rendahnya pengetahuan akan K3 dan umumnya
manajemen masih menganggap K3 sebagai pemborosan (ferliest post). Sementara dengan
kemajuan teknologi permesinan yang semakin canggih dan proses produksi yang semakin
kompleks akan menghasilkan berbagai faktor polutan yang semakin beragam bentuknya,
serta tingkat paparannya yang dapat berbahaya bagi tenaga kerja. Untuk penangan bahaya
industri tersebut diperlukan pengetahuan dan keterampilan personalia K3 di setiap tempat
kerja industri atau perusahaan.
Gangguan kesehatan dan kecelakaan pada tenaga kerja dapat ditimbulkan oleh
faktor–faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dan bukan pekerjaan. Kejadian kecelakaan
kerja baik terjadi pada tenaga kerja maupun pada peralatan kerja merugikan perusahaan
karena dapat menurunkan produksi dan menjadi beban ekonomi yang mungkin tidak sedikit
bagi perusahaan. Dengan demikian perusahaan memerlukan upaya yang dapat menciptakan
tenaga kerja yang sehat dengan cara membuat program pengobatan, dan pencegahan secara
dini bagi tenaga kerja. Begitupula dengan lingkungan kerja perlu disehatkan dengan cara;
memberikan pengaman bagi peralatan yang berbahaya bagi pekerjanya, melindungi tenaga
kerja dengan APD, dan menggunakan bahan baku yang aman, dan proses kerja yang
ergonomis. Pembinaan dan perlindungan kesehatan kerja terhadap tenaga kerja dapat
dilakukan melalui penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Keselamatan kerja berasal dari kata selamat artinya terhindar dari bahaya, karena
ini berhubungan dengan pekerjaan maka keselamatan kerja adalah keselamatan yang
berhubungan atau berkaitan erat dengan :
1. Mesin
2. Pesawat
3. Alat Kerja
4. Bahan dan prosesnya
5. Tempat dan lingkungan kerja
6. Cara melakukan pekerjaan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1970).
Budaya K3 di suatu perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi perusahaan
bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu:
1. Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological aspects, what people feel,
what is believe)
Aspek pertama, apa yang dirasakan seseorang sangat terkait dengan aspek Pribadi
(PERSON), seperti misalnya cara pikir, nilai, pengetahuan, motivasi, harapan, dan
lain-lain.
2. Aspek perilaku K3 pekerja (Behavioral aspects, what people do, what is done)
Aspek kedua berkaitan erat dengan perilaku sehari-hari (BEHAVIOUR), seperti
misalnya perilaku sehari-hari di perusahaan, kebiasaan-kebiasaan dalam K3 dan
sebagainya.
3. Aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (Situational aspects, what
organizational has, what is said)
Aspek ketiga berkaitan erat dengan situasi lingkungan kerja (ENVIRONMENT)
seperti apa yang dimiliki perusahaan/organisasi mengenai K3, contohnya Sistem
Manajemen K3, SOP, Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan sebagainya.
Keselamatan Kerja bertujuan untuk :
1. Melindungi Kesehatan dan keselamatan pekerja
2. Meningkatkan kesejahteraan dan kenerja
3. Menjamin kesehatan dan keselamatan orang lain dalam lingkungan kerja
4. Mengamankan sumber polutan
5. Menyehatkan lingkungan kerja
6. Mengefisienkan kegiatan
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan kecelakaan kerja di Industri.
a. Teori Domino
Dalam buku Industrial Safety, David Colling, mendefiniskan kecelakaan kerja
(selanjutnya akan ditulis kecelakaan saja) sebagai berikut “Kejadian tak terkontrol
atau tak direncanakan yang disebabkan oleh faktor manusia, situasi, atau
lingkungan, yang membuat terganggunya proses kerja dengan atau tanpa berakibat
pada cedera, sakit, kematian, atau kerusakan properti kerja.”
Ada beberapa teori yang berkembang untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan
ini. Salah satu yang ternama adalah yang diusulkan oleh H.W. Heinrich dengan
teorinya yang dikenal sebagai Teori Domino Heinrich. Dalam Teori Domino
Heinrich, kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan: 1. Kondisi
kerja; 2. Kelalaian manusia; 3. Tindakan tidak aman; 4. Kecelakaan; 5. Cedera.
Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika satu
kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh
secara bersama. Ilustrasi ini mirip dengan efek jatuhnya kartu blok domino, jika satu
blok kartu domino roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang
menyebabkan robohnya kartu blok domino yang berikutnya.
Gambar 1. Teori Domino Oleh Heinrich
Jadi teori ini menegaskan adanya hubungan antara factor penyebab kecelakaan
yang satu dengan factor yang berikutnya. Efek yang ditimbulkannya dapat sangat
besar dan merupakan potential accident
Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan
menghilangkan tindakan tidak aman sebagai poin ketiga dari lima faktor penyebab
kecelakaan. Menurut penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini
menyumbang 98% penyebab kecelakaan di lokasi kerja.
Jika kita menganalogikan dengan kondisi di tambang bawah tanah, teori ini
sangat tepat untuk merepresntatifkan potensi kecelakaan yang mungkin terjadi.
Kondisi tidak aman sebagai kartu domino awal jika tidak di handling dengan tepat
tentunya akan menyebabkan potensi kecelakaan. Potensi kecelakaan ini akan tetap
tersimpan sampai benar-benar terjadi kelalaian manusia. Dan kelalaian manusia ini
akan juga menyebabkan adanya tindakan tidak aman (unsafe act) sehingga akan
memicu terjadinya kecelakaan.
b. Teori Swiss Cheese
Teori swiss Cheese adalah teori lain tentang kecelakaan kerja yang
menekankan penyebab kecelakaan pada kelalaian/kesalahan manusia (human errors).
Teori ini dikenalkan oleh James Reason dan membagi penyebab kelalaian/kesalahan
manusia menjadi 4 tingkatan: 1. tindakan tidak aman (unsafe acts); 2. pra-kondisi
yang dapat menyebabkan tindakan tidak aman (preconditions for unsafe acts); 3.
pengawasan yang tidak aman (unsafe supervision); 4. pengaruh organisasi
(organizational influences).
Teori ini memberikan informasi bagaimana suatu tindakan tidak aman dapat
terjadi. Informasi berikut, menunjukkan bagaimana terjadinya suatu tindakan tidak
aman itu. Dalam Swiss Cheese Model, berbagai macam types of human errors ini
merepresentasikan lubang pada sebuah keju. Jika keempat keju ini (unsafe act,
preconditions for unsafe acts, unsafe supervisions, and organizational influences)
sama-sama mempunyai lubang, maka kecelakaan menjadi tak terhindarkan.
Gambar 2. Teori Swiss Cheese, Tiap Lubang Akan Berpotensi Menimbulkan Bahaya
Dalam berbagai aspek, teori ini mampu memberi banyak sumbangan atas
pencegahan kecelakaan kerja . Agar kecelakaan dapat dicegah, manajemen mesti
mengenali secara spesifik kemungkinan terjadinya kelalaian/kesalahan manusia pada
tiap tahapan pekerjaan yang dilakukan karyawan. Melalui pendekatan ini, karyawan
tidak lagi menjadi pihak yang melulu dipersalahkan jika suatu kecelakaan terjadi.
Melalui Swiss Cheese Model, manajemen yang justru dituntut untuk melakukan
segala upaya yang diperlukan untuk melindungi karyawannya.
c. Teori Gunung Es
Teori gunung es adalah salah satu teori yang sangat sesuai dengan kondisi
kecelakaan di pertambangan. Teori Kecelelakaan itu dapat diibaratkan sebagai gunung
es, artinya hanya bagian puncaknya saja yang terlihat. Padahal di bawah permukaan
laut, justru terdapat gunung es besar yang lebih berbahaya, karena dapat menjadi
bahaya laten.
Gambar 3. Gunung Es, Terlihat Aman di Permukaan, Tetapi Tidak Di bawah
Permukaan
Teori ini juga sangat terkait dengan biaya yang dikeluarkan akibat timbulnya
suaut kecelakaan. Biaya yang ditimbulkan oleh suatu kecelakaan umumnya hanya
terlihat dari bagian atas saja yaitu biaya pengobatan, asuransi dan biaya kecelakaan.
Padahal di bawah itu, aka nada banyak kerugian yang ditimbulkan, mulai dari
kerusakan alat, perkakas, delay produksi, pengeluaran untuk penyediaan biaya
perawatan, biaya investigasi, biaya legal dan lainnya. Jadi akan muncul biaya lain lagi
yang dapat lebih besar namun tak terlihat di permukaan.
Gambar 4. Dampak Biaya yang Dikeluarkan Akibat Suatu Kecelakaan
BAB III
KONDISI EKSISTING DAN PERENCANAAN
3.1 Kondisi Eksisting Sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pertambangan Pasir
Sungai Desa Teratak Buluh, Kabupaten Kampar, Riau.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam khususnya pertambangan kepada
masing-masing daerah. Sehingga usaha pertambangan pasir dan batu yang tersebar di sungai
…. Desa Teratak Buluh, Kabupaten Kampar didominasi dengan usaha milik masyarakat
dengan izin yang dikantongi dari lembaga-lembaga pemerintahan terkait. Usaha
pertambangan pasir dan batu ini telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sehingga dampak
terhadap pendalaman sungai sangat jelas terlihat. Menurut pengakuan pekerja dahulunya
kedalaman sungai hanya berkisar 2-3 meter. Namun sekarang kedalaman sungai bisa
mencapai 20 meter akibat penyedotan pasir dan batu yang kontinu dilakukan di daerah ini.
Pertambangan pasir dan batu dilakukan dengan penyedotan pasir dan batu dari dasar sungai
yang terletak di bagian tengah sungai kemudian diangkut ke pinggiran sungai dengan
menggunakan pompong-pompong dengan bak berkapasitas tertentu.
Gambar 5. Tempat Bak Penampungan Pasir
Sistem pemindahan muatan dari kapal pompong-pompong ke tempat penimbunan
pasir sebagiannya masih dengan cara manual. Pasir hasil tambang dipindahkan dengan
sekop pekerja ke dalam peti pengangkut yang kemudian diangkut ke tempat penimbunan
pasir atau batu dengan menggunakan katrol.
Gambar 6. Proses pemindahan pasir ke tempat penimbunan dengan menggunakan
katrol
Ironisnya pekerjaan berat yang mayoritas dilakukan secara manual atau dengan
tenaga pekerja ini sangat tidak didukung dengan sistem kesehatan dan keselamatan kerja
bagi pekerja. Kecelakaan kerja pernah terjadi akibat putusnya rel peti pengangkut pasir dan
batu yang menimpa pekerja dan menyebabkan luka berat bahkan kematian pekerja. Hal ini
terjadi beberapa kali pada beberapa pertambangan pasir di kawasan Teratak Buluh.
Tentunya ini merupakan akibat sistem kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak
memadai. Sistem dan alat keselamatan kerja bukan hanya tidak disediakan oleh pemilik-
pemilik atau juragan pertambangan pasir dan batu, tetapi para pekerja juga tidak
menggunakan dan tidak mempedulikan kesehatan dan keselamatannya. Terbukti dengan
tidak seorangpun dari pekerja yang menggunakan alat pelindung diri, bahkan mayoritas dari
pekerja tidak menggunakan baju sama sekali. Mereka tidak menggunakan alat pelindung
diri karena menganggap kemampuan berenang mereka cukup untuk menyelesaikan masalah
kecelakaan kerja yang berpotensi dapat terjadi. Pemilik usaha pertambangan ini atau hanya
mengganti rugi atas kehilangan nyawa pekerja sebesar Rp 20.000.000,-
Gambar 7. Pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri
Selain itu tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh mesin pompong maupun mesin
penambangan diduga telah melebihi nilai ambang batas yang dibenarkan dalam durasi
waktu paparan sebesar 8 jam, yaitu 85 dB. Kondisi mesin tanpa peredam yang terbuka
begitu saja tersebut tentu berpengaruh buruk terhadap pendengaran dari pekerja. Dari
kegiatan tambang pasir dan batu ini dipastikan akan meningkatkan kebisingan di areal
tambang dan pemukiman masyarakat di Desa Teratak Buluh. Tingkat kebisingan akan
semakin bertambah ketika operasional pertambangan mulai berjalan normal ketika mesin
tambang mengerjakan tugasnya maupun kebisingan yang dihasilkan dari mesin-mesin kapal
pompong penambang. Kegiatan penambangan pasir dan batu dengan pompa yang
digunakan para pekerja sangat berpotensi menimbulkan polusi suara. Suara yang dihasilkan
dari pompa penambangan pasir atau mesin pompong pekerja telah melebihi ambang batas
yang semestinya. Berdasarkan teori, suara yang dihasilkan dari mesin-mesin operasional
penambangan berkisar…. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi ketenangan warga disekitar
daerah penambangan dan juga memperburuk kondisi pendengaran dari pekerja itu sendiri.
Aktifitas penambangan yang menghasilkan kebisingan ini terus berlangsung selama waktu
operasional bekerja sekitar 8 jam.
Aktifitas mesin pompong dan mesin pertambangan menghasilkan banyak asap-asap
hitam yang mengepul di sekitar daerah penambangan maupun pada kapal pompong yang
dioperasikan. Polusi udara yang dihasilkan dapat menyebabkan gangguan pernapasan bagi
pekerja pada khususnya. Karena gas-gas yang dihasilkan dari mesin-mesin ini diantaranya :
Sox, NOx, COx, dan Pb, Namun pekerja penambangan tidak mempertimbangkan keadaan
ini. Terlihat tidak ada seorang pekerja pun yang menggunakan alat pelindung pernapasan.
Gas-gas ini dapat menyebabkan penyakit pernapasan atau infeksi pada saluran pernapasan.
Eksploitasi pasir dan batu di sepanjang sungai ini dengan menggunakan pompong
sebagai alat transportasi dan mesin-mesin pompong maupun mesin pertambangan tentu
menggunakan solar sebagai bahan bakar. Akibatnya terjadi kasus pencemaran air sungai
oleh tumpahan solar. Pada dasarnya pencemaran tersebut disebabkan oleh kesalahan
manusia.
Dari kegiatan ini perairan sungai Desa Teratak Buluh mengalami kerusakan yang
cukup parah. Air sungai memiliki tingkat kekeruhan yang cukup tinggi akibat aktifitas
penambangan pasir dan batu. Pasir sebagai zat tersuspensi yang melayang di air sungai
diduga memiliki nilai yang cukup tinggi sebagai Total Suspended Solid. Hal ini akan
mempengaruhi kehidupan biota bawah laut dan dapat mengganggu aktifitas makhluk hidup
di dalam sungai sehingga keseimbangan lingkungan perairan tersebut akan terganggu.
3.2 Perencanaan Sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pertambangan Pasir Sungai
Desa Teratak Buluh, Kabupaten Kampar, Riau.
Perencanaan sistem kesehatan dan keselamatan kerja di pertambangan pasir sungai
Desa Teratak Buluh dinilai perlu untuk mencegah kecelakaaan kerja, menjaga kesehatan
pekerja, melindungi hak-hak pekerja yang juga berpengaruh dalam meningkatkan potensi
dan efisiensi dalam pekerjaan. Namun desain atau perencanaan alat pelindung diri yang
terlalu rumit akan mempengaruhi ruang gerak atau ergonomis dari pekerja. Pekerjaan
penambangan pasir tentu membutuhkan ruang gerak yang fleksibel dimana pekerja dapat
melakukan pekerjaannya tanpa terganggu oleh alat pelindung diri. Sehingga alat pelindung
diri yang direncanakan harus mampu memenuhi kebutuhan pekerja secara tepat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dinas Perikanan Provinsi Riau tahun 1995 di
wilayah perairan Riau terdapat 160 spesies ikan dan ketika penelitian dilakukan kembali
tahun 2003 jumlah jenis jenis ikan local spesifik se-provinsi Riau tinggal 83 spesies ( Dinas
Perikanan dan Kelautan 2003 ). Data ini cukup menakutkan dimana dalam jangka waktu 8
tahun jumlah spesies ikan yang tercatat berkurang 52 %. Melihan eksploitasi dan
pencemaran sungan yang semakin meningkat, bisa dibayangkan kondisi ikan dimasa yang
akan datang.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan suatu ilmu yang membahas tentang
kesehatan dan keselamatan pekerja, lingkungan kerja, dan hasil kerja.
Pertambangan pasir dan batu di sungai ……… Desa Teratak Buluh, Kabupaten Kampar,
Riau tidak memenuhi peraturan terkait prinsip Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Aktifitas pertambangan pasir dan batu di sungai… Desa Teratak Buluh, Kabupaten
Kampar, Riau tidak merujuk pada perlindungan lingkungan sebagai salah satu fokus
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Ganti rugi terkait kecelakaan kerja tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan,
sehingga hak pekerja dan tidak terpenuhi dan keselamatan pekerja terabaikan.
Sistem Pengendalian pada pertambangan pasir dan batu
Pengendalian dari sumber
1. Substitusi mesin-mesin dengan kebisingan tinggi
2. Isolasi mesin dengan penggunaan peredam
3. Penggunaan filter pada saluran pembuangan hasil pembakaran pada
mesin.
Pengendalian di penerima
1. Reduksi waktu pekerja
2. Rotasi pekerja
3. Penggunaan APD
Pakaian…..
Helm
Sarung tangan
Sepatu