Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

29
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIK MENGENAL DRUG RELATED PROBLEMS (DRP) INDIKASI BELUM DITERAPI DAN GAGAL MENDAPATKAN OBAT KELOMPOK 2A 1. NISSA SUSANTI (M3510054) 2. NITA WAHYU (M3510055) 3. NOFI TRI (M3510056) 4. NOVA KARLINA (M3510057) 5. NOVERIMA (M3510058) 6. NUGRAENI BUDI (M3510059) 7. OKSA SETYA (M3510060) 8. PRAKHAS (M3510061) 9. PUTRI K (M3510062) 10. QURROTUL A’YUN (M3510063) TANGGAL PRAKTIKUM : 05 MARET 2012

Transcript of Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Page 1: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIK

MENGENAL DRUG RELATED PROBLEMS (DRP)

INDIKASI BELUM DITERAPI DAN GAGAL MENDAPATKAN OBAT

KELOMPOK 2A

1. NISSA SUSANTI (M3510054)

2. NITA WAHYU (M3510055)

3. NOFI TRI (M3510056)

4. NOVA KARLINA (M3510057)

5. NOVERIMA (M3510058)

6. NUGRAENI BUDI (M3510059)

7. OKSA SETYA (M3510060)

8. PRAKHAS (M3510061)

9. PUTRI K (M3510062)

10. QURROTUL A’YUN (M3510063)

TANGGAL PRAKTIKUM : 05 MARET 2012

PROGRAM STUDI D3 FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

Page 2: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

ACARA I

MENGENAL DRUG RELATED PROBLEMS (DRP)

INDIKASI BELUM DITERAPI DAN GAGAL MENDAPATKAN OBAT

I. TUJUAN PRAKTIKUM

Dapat mengenal dan mengidentifikasi DRP kategori indikasi tidak terapi dan

gagal mendapatkan obat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Drug related problem’s merupakan masalah yang terkait dengan

pengobatan yang dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal,

bahkan dapat menyebabkan kejadian yang merugikan bagi pasien. Drug

related problem dibagi menjadi 7 macam antara lain :

1. Terapi tanpa indikasi

2. Indikasi belum diterapi

3. Sub dosis

4. Dosis berlebih

5. Terapi obat salah

6. Reaksi obat merugikan

7. Gagal menerima obat (Kundarto,2011).

DRP merupakan kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman

pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya potensial

mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Kategori DRP

meliputi indikasi yang tidak diterapi, obat dengan indikasi yang tidak sesuai,

obat salah, interaksi obat, overdosis, dosis subterapi, Adverse Drug

Reactions dan kegagalan dalam menerima obat (Yasin dan Supriyanti,

2009).

Page 3: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Indikasi tidak diterapi dimungkinkan disebabkan oleh :

1. Kondisi medis baru

2. Butuh terapi kombinasi

3. Penyakit kronis

Gagal mendapatkan Obat kemungkunan disebabkan oleh :

1. Obat Mahal atau produk tidak tersedia

2. Efek samping obat membuat tidak patuh

3. Aturan pakai obat tidak tepat

4. Pasien belum mengerti konsep pengobatannya

5. Pasien merasa sudah sembuh

(Farida , 2012).

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang

beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui

(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat

disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan

persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai

hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen

maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,

hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Tim

penyusun, 2006).

Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan JNC

VII, 2003.

Klasifikasi Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi

Page 4: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Tingkat 1 140 – 159 90 – 99

Tingkat 2 >160 >100

(Anonim b, 2009)

Pedoman umum terapi hipertensi

Keputusan untuk memulai pengobatan hipertensi tidak hanya

ditewntukan oleh tingginya tekanan darah (TD), tetapi juga oleh adanya

faktor resiko kardiovaskular lainnya, dan adanya TOD. Makin tinggi TD,

adanya faktor resiko kardiovaskular yang lain, dan/atau sudah adanya TOD,

makin tinggi resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.

Bagi mereka ini, manfaat pengobatan hipertensi makin besar. Sebaliknya,

pada hipertensi ringan tanpa disertai resiko lain atau TOD, manfaat

pengobatan hipertensi kecil sekali, sehingga penderita mungkin lebih

dirugikan oleh adanya efek samping yang ditimbulkan oleh antihipertensi.

Berdasarkan pertimbangan manfaat dan kerugian ini, maka JNC-V

menggunakan rekomendasi berikut untuk memulai pengobatan hipertensi

pada orang dewasa (Anonim a, 2001).

TD yang meningkat pada pengukuran pertama harus dipastikan dengan

pemeriksaan ulang selang satu sampai beberapa minggu sebelum diputuskan

untuk diobati. Kecuali bila TD sangat tinggi atau disertai TOD, maka

penderita perlu segera diobati (Anonim a, 2001)..

Rekomendasi untuk memulai pengobatan hipertensi berdasarkan pengukuran TD

pertama.

Pengukuran PertamaFollow-up yang dianjurkan

TDD TDS

< 85 < 130 Periksa ulang dalam 2 tahun

85 – 89 130 - 139 Periksa ulang dalam 1 tahun.

bila TD menetap, terapkan modifikasi pola hidup.

Page 5: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

90 – 99 140 - 159 Pastikan dalam 2 bulan :

 

- TDD 90 - 94 dan/atau TDS 140 - 149 tanpa faktor

resiko utama lain : terapkan modifikasi pola hidup

sehat dan periksa ulang setiap 3 - 6 bulan.

 

- TDD 90 - 94 dan/atau TDS 140 - 149 dengan

faktor resiko utama lain : TDD 95 - 99 dan/atau

TDS 150 - 159 tanpa/dengan faktor resiko lain :

terapkan modifikasi pola hidup selama 3 - 6 bulan

dan berikan antihipertensi bila TD menetap.

100 - 109 160 - 179 Pastikan dan obati dalam 1 bulan.

110 - 119 180 - 209 Pastikan dan obati dalam 1 minggu.

Modifikasi pola hidup

Modifikasi pola hidup berikut berguna untuk menurunkan TD pada

hipertensi, meningkatkan efek antihiprtensi, mencegah penignkatan TD pada

mereka dengan TD normal tinggi, dan/atau mengurangi resiko

kardiovaskular secara keseluruhan :

1. Menurunkan berat badan bila gemuk.

2. Latihan fisik/beolahraga secara teratur.

3. Mengurangi makan garam menjadi < 2,3 g natrium atau < 6 g NaCl

sehari.

4. Makan K, Ca, Mg yang cukup dari diet.

5. Membatasi minum alkohol (maksimal 20-30 ml etanol sehari).

6. Berhenti merokok serta mengurangi makan kolesterol dan lemak jenuh

untuk kesehatan kardiovaskular secara keseluruhan.

Kombinasi (1), (2), (3) dan (5) yang diterapkan pada penderita hipertensi

ringan selama rata-rata 4,4 tahun ternyata dapat menurunkan TD sekitar 9/9

mmHg (Anonim a, 2001).

Terapi Farmakologi

Tujuan utama dari pengobatan farmakologi untuk hipertensi adalah

menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dengan memelihara

Page 6: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

tekanan darah sistolik dibawah 140 mmHg, tekanan diastolic dibawah 90

mmHg disamping mencegah resiko penyakit kardiovaskuler lainnya

(Budisetyo, 2001).

Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat

enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin

(ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama.

Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk

mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan

keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya

diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan

yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis

atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat

adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-

pasien tertentu disamping obat utama (Tim penyusun, 2006).

Secara umum, efek samping beta-bloker (termasuk labetolol) berupa

bronkospasme, karena itu beta-bloker (termasuk labetolol) tidak boleh

diberikan pada penderita asma (Anonim a, 2001).

Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakanpasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontroltekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelasdiuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium,dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yanglemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasidengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikankalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonisaldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton).

1. DESKRIPSI KASUS

Seorang pasien datng ke Apotek untuk memeriksaan tekanan darahnya

atas saran dari tetangganya, dan hasil pengukuran darah adalah 140/95

mmHg. Seminggu yang lalu pasien datang k Puskesmas dan mengeluhkan

pusing berat otot pundak terasa tegang dan menggigil. Kemudian pasien

mendaatkan terapi Sumagesic 4x sehari dan Diazepam 2mg 2x sehari.

Page 7: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Namun sampi saat pasien memeriksakan tekanan darahnya pasien masih

sering mengeluhkan pusing khususnya kepala belakang tetai tidak seberat

sebelumnya.

2. ANALISA KASUS

Bapak A ini mengalami gatal-gatal yang belum diketahui

penyebabnya, dimungkinkan gatal-gatal ini karena adanya penyakit kulit

yang disebabkan karena biang keringat, adanya infeksi jamur atau mikroba,

atau bisa juga karena alergi. Maka dari itu sebelum dilakukan

pengobatan/terapi untuk mengurangi/mengobati rasa gatal tersebut,

sebaiknya perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada pasien apakah pasien

tersebut memiliki riwayat alergi atau tidak. Jika pasien tidak memiliki

riwayat alergi maka sebaiknya diberikan antiseptik ekstern (bedak salicyl,

herocyn, caladine lotion, dsb).

Jika ternyata pasien memang memiliki riwayat alergi maka

pemakaian obat CTM sebagai obat untuk mengurangi rasa gatal sudah tepat

karena CTM termasuk dalam obat anti histamin. Namun, karena bapak A ini

berprofesi sebagai sopir angkot, maka perlu dipertimbangkan kembali

pemakaian CTM. Hal ini disebabkan, mengingat efek samping CTM yaitu

sedasi (menyebabkan rasa kantuk). Maka, hal ini dapat mengganggu profesi

beliau sebagai sopir angkot dan dapat membahayakan diri Bapak A dan

orang lain. Oleh sebab itu, perlu adanya terapi obat lain dengan indikasi

yang sama, tapi efek samping lebih ringan.

Alternatif antihistamin yang dapat digunakan adalah loratadin, dimana

loratadine merupakan antihistamin generasi II yang memiliki efek

nonsedative (tidak menyebabkan mengantuk) dan efek sampingnya relatif

lebih kecil.

Dapat disimpulkan bahwa bila bapak A mengalami gatal-gatal yang

disebabkan bukan karena alergi melainkan ada penyebab lain (biang

keringat, infeksi jamur/mikroba, dsb) maka penggunaan CTM untuk

Page 8: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

menghilangkan rasa gatal tersebut termasuk ke dalam DRP’s jenis terapi

obat salah. Namun bila ternyata penyebab gatal adalah karena alergi maka

penggunaan CTM bukan termasuk kedalam terapi obat salah.

Sedangkan tekanan darah Bapak A sebesar 165/105 mmHg ( tekanan

sistole 165 mmHg, tekanan diastole 105 mmHg), menurut JNC VII tekanan

darah untuk bapak A terklasifikasikan dalam hipertensi tingkat II, dalam

kasus ini untuk terapi digunakan obat antihipertensi yang berupa captopril

12,5 mg yang diambil dari kotak obat, karena si bapak A malas berobat dan

bapak A juga mengikuti istrinya yang cocok minum captopril. Sedangkan

efek samping dari captopril ini adalah batuk kering hal ini termasuk dalam

DPR yaitu reaksi obat yang merugikan. Selain itu, bapak A juga memiliki

riwayat asma, dimana penggunan obat ACE-bloker tidak dianjurkan karena

efek sampingnya dapat menyebabkan edema angioneurotik, yaitu pada

pasien terjadi pembengkakan pada hidung, bibir, tenggorokan, laring, dan

sumbatan jalan napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini terjadi

beberapa jam setehah pemberian ACE-inhibitor (ACE-bloker), sehingga

pada pasien dengan riwayat asma akan semakin susah bernafas (mengalami

sesak napas).

Oleh karena itu, untuk terapi ini diganti obat hipertensi yang bersifat

antagonis kalsium. Katopril diganti dengan amlodipin dengan pertimbangan

obat antagonis kalsium. Namun idealnya untuk hipertensi tingkat

Iipengobatan dilakukan dengan kombinasi, namun menurut kelompok kami

digunakan terapi bertahap hal ini dikarenakan agar tidak terjadi hipotensi.

Obat antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan

mekanisme yang benar-benar berbeda yaitu dengan menghambat masuknya

ion kalsium melewati slow channel yang terdapat pada membran sel

(sarkolema).

3. EVALUASI OBAT TERPILIH

1. Bedak salisilat

Page 9: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Mekanisme kerja : Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi

membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek

langsung pada sel dermis. Setelah pemakaian beberapa hari akam

menimbulkan lapisan-lapisan kulit baru(keratolitikum).

Dosis dan penggunaan : Taburkan setelah habis mandi atau bila

berkeringat.

Efek samping : iritasi ringan

Contoh produk :

Caladine ( yupharin) harga Rp. 5200 / 100 gram powder

Verina ( Graha Farma) harga Rp. 5900 / 100 gram powder

Bedak Salisilat Cap Gajah (Usaha Sekawan Farmasi Indonesia)

harga Rp. 3000 / 100 gram powder (Anonim c, 2010).

2. Loratadine (bila ternyata pasien memiliki riwayat alergi dan penggunaan

bedak salicyl tidak mengurangi/menghilangkan rasa gatal)

Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai

aktivitas yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang

minimal pada dosis yang direkomendasikan, merupakan antihistamin

yang mempunyai masa kerja yang lama. Metabolik utamanya,

deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya .

Mekanisme kerja : loratadine merupakan derivat klor dari azatadin tanpa

efek sedative maupun antikolinergis pada dosis biasa. Plasma t ½ nya

lebih panjang 12 jam, sedangkan metabolit aktifnya 12 jam. Digunakan

pada rhinitis dan konjungtivitis alergis juga pada urtikaria kronis .

Dosis dan aturan pakai : 1 x sehari 10 mg.

Efek samping : insomnia dan mulut kering, lelah, pusing, sakit kepala.

Contoh produk : Clatatin (molex ayus) : Rp. 33.000 (box 100 tablet),

Rp. 330/tablet.

Hislorex (konimex) : Rp. 39.600 (box 5 x 4 tablet),

Rp. 1980/tablet (Anonim c, 2010).

3. Amlodipin

Page 10: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Mekanisme kerja : Amlodipine merupakan antagonis kalsium yang

menghambat masuknya ion kalsium transmembran ke dalam jantung dan

otot polos muskular. Mekanisme antihipertensi amlodipine karena efek

relaksasi langsung pada otot polos vaskular. Karena onset amlodipine

sangat lambat, hipotensi akut bukan merupakan keistimewaan

amlodipine. Amlodipine tidak berhubungan dengan efek samping

metabolik atau perubahan lipid dalam plasma dan sesuai untuk

digunakan pada pasien asma, diabetes, goutt.

Dosis dan Aturan pakai :

Anak-anak : Hipertensi : 2.5-5 mg sekali sehari.

Dewasa : Hipertensi : dosis awal 5 mg sekali sehari, dosis maksimum 10

mg sekali sehari. Pada umumnya dilakukan titrasi dosis dengan kenaikan

2,5 mg selama 7-14 hari. Angina : dosis pemeliharaan 5-10 mg, gunakan

dosis yang lebih rendah pada pasien lanjut usia dan pasien dengan

gangguan hati, umumnya diperlukan dosis 10 mg untuk mencapai efek

yang mencukupi. Pasien usia lanjut : digunakan dosis yang rendah untuk

mencegah  terjadinya insiden kerusakan hati, ginjal atau jantung. Pasien

usia lanjut juga mempunyai klirens amlodipin yang rendah. Hipertensi :

2.5 mg sekali sehari. Angina : 5 mg sekali sehari. Dialisis : hemodialisis

dan peritoneal dialysis tidak merubah eliminasi. Tambahan dosis tidak

diperlukan. Penyesuaian dosis pada gangguan fungsi hati : berikan 5 mg

sekali sehari. Hipertensi : 2.5 mg sekali sehari.

Efek samping : Efek pada kardiovaskuler : edema perifer (2-5%

tergantung dosis).

Kardiovaskuler : flushing (1-3%), palpitasi (1-4%); SSP: sakit kepala

(7,3%), pusing (1-3%)fatigue (4%), palpitasi (1-4%); Dermatologi : rash

(1-2%), pruritus (1-2%);

Page 11: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Endokrin dan metabolisme : disfungsi seksual pada pria (1-2%);

Gastrointestinal : mual (2,9%), sakit perut (1-2%), dyspepsia (1-2%),

hiperplasia gingival ;

Gastrointestinal : mual (2,9%), sakit perut (1-2%), dyspepsia (1-2%),

hiperplasia gingival ;

Neuromuskular dan skeletal : kram otot (1-2%), lemah (1-2%);

pernapasan : dyspnea (1-2%), edema pulmonary (15%) , gangguan tidur,

agitasi alopesia, amnesia, ansietas, apathy, aritmia, ataksia, bradikardi,

gagal jantung, depersonalisasi, depresi, eritema multiforma,dermatitis

eksfoliatif, symptom ekstrapiramidal, gastritis,ginekomastia, hipotensi,

leukositoclastik vaskulitis, migrain, purpura non trombositopenik ,

parasthesia,iskemik periferal, fotosensitivitas, hipotensi postural,

purpura, rash, perubahan warna kulit, sindrom Stevens-Johnson,

sinkope, trombositopenia, tinnitus, urtikaria, vertigo, xerophtalmia.

Contoh produk : Actapin ( Actavis) harga Rp.3500 / tablet 5 mg

Amlodipine ( Hexpharm) harga Rp. 2200 / tablet 5 mg

Normoten ( soho) harga Rp. 3500 / tablet 5 mg.

(Anonim c, 2010).

IV. MONITORING

Tujuan monitoring pada terapi pengobatan ini tidak lain yaitu untuk

memaksimalkan efek terapi serta meminimalkan efek samping obat.

Adapun untuk hipertensi yang dialami oleh bapak A ini diperlukan

pemantauan secara berkala terhadap tekanan darahnya untuk mengetahui

apakah terapi obat yang diberikan sudah memberikan respon atau belum,

kemudian apakah obat yang digunakan memberikan efek samping seperti

pada pemakaian obat awal atau tidak, apakah obat antihipertensi yang

Page 12: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

digunakan berpengaruh pada riwayat penyakit asma yang diderita pasien

atau tidak.

Selain itu untuk alerginya yang perlu dipantau ialah apakah pasien

masih merasa gatal-gatal atau tidak dan mengenai sensitivitas pasien

terhadap obat yang diberikan tersebut apakah menimbulkan reaksi alergi

yang lain atau tidak. Sebenarnya pengobatan yang telah diberikan ini akan

menjadi lebih optimal bila didukung dengan gaya hidup sehat yaitu selalu

menjaga kebersihan badan bila alergi yang ditimbulkan yaitu seperti gatal-

gatal itu dari faktor luar misalnya saja karena pengaruh udara yang kotor

di lingkungan sekitarnya. Terapi farmakologi dan non farmakologi ini

akan memberi efek lebih optimal dengan adanya faktor kepatuhan dari

pasien dalam menjalankan terapi oleh karenanya diharapkan pasien

memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi obat yang diberikan ,hal ini

tentu saja juga memerlukan perhatian dari keluarga pasien yang setiap saat

dapat memantau perkembangan terapi pada pasien.

Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor :

a.tekanan darah

b. kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak

c.interaksi obat dan efek samping

d. kepatuhan (adherence)

a.Monitoring tekanan darah

Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk

pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di

evaluasi 2 sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya

perubahan terapi.

Pada kebanyakan pasien target tekanan darah < 140/90 mmHg,

dan pada pasien diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik <

130/80 mmHg.

b. Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak

Page 13: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-

tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah

sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit

kepala, penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-

bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk

menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular.

Parameter klinis lainnya yang harus di monitor untuk menilai penyakit

target organ termasuk perubahan funduskopik, regresi LVH pada

elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan

fungsi ginjal. Tes laboratorium harus diulangi setiap 6 sampai 12

bulan pada pasien yang stabil

c.Monitoring interaksi obat dan efek samping obat

Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat

harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4

minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis.

Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau

substitusi dengan obat antihipertensi yang lain.

Monitoring yang intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat;

misalnya apabila pasien mendapat diuretik tiazid atau loop dan pasien

juga mendapat digoksin; yakinkan pasien juga dapat supplemen kalium

atau ada obat-obat lain menahan kalium dan yakinkan kadar kalium

diperiksa secara berkala.

Monitoring tambahan mungkin diperlukan untuk penyakit lain yang

menyertai bila ada (misalnya diabetes, dislipidemia, dan gout).

d. Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke pasien

Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan

pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang

dinginkan. Paling sedikit 50 % pasien yang diresepkan obat

antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan yang di

rekomendasikan.

Page 14: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Satu studi menyatakan kalau pasien yang menghentikan terapi

antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan terkena stroke.

Strategi yang paling efektif adalah dengan kombinasi beberapa

strategi seperti edukasi, modifikasi sikap, dan sistem yang mendukung.

V. KOMUNIKASI, INFORMASI, EDUKASI

Informasi yang sebaiknya diberikan pada bapak A adalah antara lain

bapak A disarankan untuk menggunakan bedak biang keringat , seperti

bedak salicyl. Bedak salicyl yang dapat ditawarkan antara lain bedak

salicyl cap gajah , caladine powder, serta bedak novarin. Pemakaian bedak

ini dapat mengurangi rasa gatal pada kulit.

Namun bila setelah penggunaan bedak salicyl rasa gatal tidak

kunjung sembuh maka dapat direkomendasikan kepada pasien untuk

mengkonsumsi loratadine karena dimungkinkan penyebab gatal adalah

karena alergi. Loratadine ini digunakan bersama-sama dengan bedak

salicyl agar efek terapinya bisa maksimal. amlodipin. Diinformasikan

pula, bahwa loratadine disini berfungsi untuk mengurangi gatal-gatal yang

dialaminya,yang diduga dikarenakan alergi. Aturan pemakaiannya adalah

diminum satu kali sehari 10 mg.

Diinfokan pula pada pasien bahwa efek samping dari pemakaian

loratadine adalah insomnia dan mulut kering, lelah, pusing, sakit kepala.

Namun,efek samping ini jarang terjadi , tergantung dari keadaan tubuh

masing-masing individu. Untuk mengatasi efek samping mulut kering ,

maka pasien bisa memperbanyak dengan minum air putih. Selain itu,

diberikan informasi pula bahwa bapak A disarankan untuk lebih menjaga

kesehatan dan kebersihan kulitnya. Karena , mungkin saja gatal-gatal yang

dialaminya disebabkan karena kulitnya yang sering berkeringat dan

menyebabkan biang keringat dan menimbulkan gatal-gatal.

Konsumsi loratadine dapat diminum sebelum makan karena tidak

mengiritasi lambung. Pemakaian loratadine dapat dihentikan , apabila

gatal-gatal yang dialaminya sudah tidak timbul lagi. Ditawarkan pada

Page 15: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

pasien obat-obat paten dari loratadine antara lain, Clatatin (molex ayus)

Rp. 330/tablet, Hislorex (konimex) Rp. 1980/tablet dan disarankan pada

pasien agar membeli clatatin yang harganya paling murah dari obat paten

yang lain.

Untuk hipertensi yang dialaminya, kita dapat menawarkan obat

golongan antagonis kalsium yaitu amlodipin. Amlodipin diminum 1x

sehari 5 mg, sekali minum maksimal 1 tablet yang berisi 10 mg amlodipin.

Diinfokan juga pada pasien bahwa amlodipin dalam sediaan ada 3 dosis

yaitu 10 mg,5 mg,2.5 mg serta disarankan pada pasien untuk

mengkonsumsi tablet yang 5 mg karena harganya lebih hemat , dan

apabila belum ada penurunan tekanan darah maka pemakaian dapat

ditingkatkan. Efek samping dari amlodipin ini tidak menyebabkan batuk

kering seperti pada captopril sehingga lebih aman unutk penderita

penyakit asma seperti Bapak A.

Disamping pemberian terapi farmakologi , disampaikan juga

mengenai terapi non farmakologi untuk menunjang pengobatan

farmakologi. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan

mengurangi konsumsi garam ataupun makanan yang mengandung garam ,

kopi , makanan berlemak atau yang mengandung kolesterol tinggi, serta

melukan olahraga secara teratur , istirahat cukup, serta menjaga pikiran

agar tidak mudah stress. Dan disarankan pula pada Bapak A agar rutin

mengecek tekanan darahnya sewaktu masa mengkonsumsi obat ini , hal ini

dilakuakn untuk memonitoring, apakah tekanan darahnya sudah turun atau

belum dan mengantisipasi terjadinya shock yang merupakan akibat dari

turunnya tekanan darah secara drastis.

Edukasi ke Pasien

Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan

hipertensi:

• Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan

• Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri

• Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik)

Page 16: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

• Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol

• Pentingnya kontrol teratur

• Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan

menyembuhkannya

• Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak diinginkan

• Efek samping obat dan penanganannya

• Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan

tekanan darah

• Pentingnya peran terapi nonfarmakologi

• Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang

mengandung ginseng, nasal decongestan, dll).

VI. DISKUSI

a. Asti : Mengapa obat golongan ACE Blocker tidak boleh digunakan

untuk penderita asma, dan contoh obatnya apa?

Jawab : Karena golongan ACE-Bloker dapat menyebabkan edema

angioneurotik yaitu pembengkakan pada hidung bibir tenggorokan laring

dan sumbatan jalan nafas yang bisa berakibat fatal jadi akan

memperparah penyakit asma. Contoh : captopril dan lisinopril (bekerja

secara langsung), enalapril dan quinapril serta perindopril (prodrug)

b. Titis : Perbedaan obat yang berpengaruh sedasi dan non sedasi itu apa?

Jawab : Sedasi merupakan obat yang dapat melewati sawar otak

sehingga menekan susunan syaraf pusat sehingga menimbulkan efek

sedasi, sedangkan dapat tidaknya menembus sawar otak dapat ditinjau

pada strukturnya.

c. Mega : Mana yang digunakan antara bedak salisil dan loratadin?

Jawab : Bapak A ini mengalami gatal-gatal yang belum diketahui

penyebabnya, dimungkinkan gatal-gatal ini karena adanya penyakit kulit

Page 17: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

yang disebabkan karena biang keringat, adanya infeksi jamur atau

mikroba, atau bisa juga karena alergi. Jika pasien tidak memiliki riwayat

alergi maka sebaiknya diberikan antiseptik ekstern (bedak salicyl,

herocyn, caladine lotion, dsb). Jika ternyata pasien memang memiliki

riwayat alergi maka alternatif antihistamin yang dapat digunakan adalah

loratadin, dimana loratadine merupakan antihistamin generasi II yang

memiliki efek nonsedative (tidak menyebabkan mengantuk) dan efek

sampingnya relatif lebih kecil.

d. Riska : Dalam kasus dijelaskan bahwa termasuk dalam klasifikasi

hipertensi tingkat II, mengapa digunakan obat tunggal dan kenapa tidak

digunakan obat kombinasi ?

Jawab : Karena pada hipertensi pengobatanya harus bertahap, jika

langsung digunakan obat kombinasi dikhawatirkan dapat menyebabkan

hipotensi atau tekanan darahnya langsung drop, namun idealnya untuk

hipertensi tingkat II dianjurkan untuk obat kombinasi.

e. Duta : Dalam efek samping loratadine disebutkan dapat menyebabkan

pusing, sakit kepala, mual, hal ini dapat membahayakan kerja bapak A

karena dia sebagai sopir, apakah ada alternatif obat lain?

Jawab : efek samping pada loratadin memang seperti yang disebutkan,

namun efek samping yang ditimbulkan termasuk dalam efek samping

minor dan frekuensinya relatif kecil.

f. Rizki : Captopril efek sampingnya dapat merusak ginjal, apakah perlu

dilakukan monitoring?

Jawab : Karena pada ekresinya obat ini dieksresikan melalui ginjal,

sehingga filtrasi glomerolus akan berkurang.

g. Brigita : Apakah hanya perlu terapi farmakologi saja, kenapa tidak

diberikan terapi non farmakologi?

Page 18: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

Jawab : pada kasus ini terapi yang dianjurkan adalah terapi farmakologi,

sedangkan pada kelanjutannya perlu didampingi dengan terapi non

farmakologi sebagai penunjang terapi farmakologi

h. Wulan : Kenapa digunakan amlodipin sebagai antihipertensi, sedangkan

harganya relatif mahal? Kenapa tidak antagonis Ca yang lain?

Jawab : harga amlodipin relatif lebih murah dibandingkan dengan

nifedipin dan verapamil

4. DAFTAR PUSTAKA

Agusni, yono hadi, dr SpKK.no date.Antihistamin H1Non Sedatif.

Diakses tanggal 21 Maret 2011

Anonim a. 2001. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4 Cetak Ulang. Jakarta :

FK UI Press.

Anonim b. 2009. Farmakologi Dan Terapi Edisi V. Jakarta : FK UI Press.

Anonim c. 2010. ISO Indonesia volume 45. Jakarta : PT. ISFI

Aziza, L. 2007. “Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan

Hipertensi”. Majalah Kedokteran Indonesia Vol.57(8): 259-254.

Budisetio, muljadi.2001. “Pencegahan dan pengobatan hipertensi pada usia

dewasa”. Jurnal Kedokteran Trisakti 20(2): 101-107

Kundarto, W. 2011. Materi Farmasi Klinik D3 FARMASI. Surakarta :

UNS press

Tim penyusun. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Page 19: Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat

5. LAMPIRAN