Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat
-
Upload
dinnadinun -
Category
Documents
-
view
146 -
download
2
Transcript of Laporan Indikasi Belum Diterapi Dan Gagal Mendapatkan Obat
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIK
MENGENAL DRUG RELATED PROBLEMS (DRP)
INDIKASI BELUM DITERAPI DAN GAGAL MENDAPATKAN OBAT
KELOMPOK 2A
1. NISSA SUSANTI (M3510054)
2. NITA WAHYU (M3510055)
3. NOFI TRI (M3510056)
4. NOVA KARLINA (M3510057)
5. NOVERIMA (M3510058)
6. NUGRAENI BUDI (M3510059)
7. OKSA SETYA (M3510060)
8. PRAKHAS (M3510061)
9. PUTRI K (M3510062)
10. QURROTUL A’YUN (M3510063)
TANGGAL PRAKTIKUM : 05 MARET 2012
PROGRAM STUDI D3 FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
ACARA I
MENGENAL DRUG RELATED PROBLEMS (DRP)
INDIKASI BELUM DITERAPI DAN GAGAL MENDAPATKAN OBAT
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Dapat mengenal dan mengidentifikasi DRP kategori indikasi tidak terapi dan
gagal mendapatkan obat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Drug related problem’s merupakan masalah yang terkait dengan
pengobatan yang dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal,
bahkan dapat menyebabkan kejadian yang merugikan bagi pasien. Drug
related problem dibagi menjadi 7 macam antara lain :
1. Terapi tanpa indikasi
2. Indikasi belum diterapi
3. Sub dosis
4. Dosis berlebih
5. Terapi obat salah
6. Reaksi obat merugikan
7. Gagal menerima obat (Kundarto,2011).
DRP merupakan kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman
pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya potensial
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Kategori DRP
meliputi indikasi yang tidak diterapi, obat dengan indikasi yang tidak sesuai,
obat salah, interaksi obat, overdosis, dosis subterapi, Adverse Drug
Reactions dan kegagalan dalam menerima obat (Yasin dan Supriyanti,
2009).
Indikasi tidak diterapi dimungkinkan disebabkan oleh :
1. Kondisi medis baru
2. Butuh terapi kombinasi
3. Penyakit kronis
Gagal mendapatkan Obat kemungkunan disebabkan oleh :
1. Obat Mahal atau produk tidak tersedia
2. Efek samping obat membuat tidak patuh
3. Aturan pakai obat tidak tepat
4. Pasien belum mengerti konsep pengobatannya
5. Pasien merasa sudah sembuh
(Farida , 2012).
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen
maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Tim
penyusun, 2006).
Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan JNC
VII, 2003.
Klasifikasi Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi
Tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Tingkat 2 >160 >100
(Anonim b, 2009)
Pedoman umum terapi hipertensi
Keputusan untuk memulai pengobatan hipertensi tidak hanya
ditewntukan oleh tingginya tekanan darah (TD), tetapi juga oleh adanya
faktor resiko kardiovaskular lainnya, dan adanya TOD. Makin tinggi TD,
adanya faktor resiko kardiovaskular yang lain, dan/atau sudah adanya TOD,
makin tinggi resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
Bagi mereka ini, manfaat pengobatan hipertensi makin besar. Sebaliknya,
pada hipertensi ringan tanpa disertai resiko lain atau TOD, manfaat
pengobatan hipertensi kecil sekali, sehingga penderita mungkin lebih
dirugikan oleh adanya efek samping yang ditimbulkan oleh antihipertensi.
Berdasarkan pertimbangan manfaat dan kerugian ini, maka JNC-V
menggunakan rekomendasi berikut untuk memulai pengobatan hipertensi
pada orang dewasa (Anonim a, 2001).
TD yang meningkat pada pengukuran pertama harus dipastikan dengan
pemeriksaan ulang selang satu sampai beberapa minggu sebelum diputuskan
untuk diobati. Kecuali bila TD sangat tinggi atau disertai TOD, maka
penderita perlu segera diobati (Anonim a, 2001)..
Rekomendasi untuk memulai pengobatan hipertensi berdasarkan pengukuran TD
pertama.
Pengukuran PertamaFollow-up yang dianjurkan
TDD TDS
< 85 < 130 Periksa ulang dalam 2 tahun
85 – 89 130 - 139 Periksa ulang dalam 1 tahun.
bila TD menetap, terapkan modifikasi pola hidup.
90 – 99 140 - 159 Pastikan dalam 2 bulan :
- TDD 90 - 94 dan/atau TDS 140 - 149 tanpa faktor
resiko utama lain : terapkan modifikasi pola hidup
sehat dan periksa ulang setiap 3 - 6 bulan.
- TDD 90 - 94 dan/atau TDS 140 - 149 dengan
faktor resiko utama lain : TDD 95 - 99 dan/atau
TDS 150 - 159 tanpa/dengan faktor resiko lain :
terapkan modifikasi pola hidup selama 3 - 6 bulan
dan berikan antihipertensi bila TD menetap.
100 - 109 160 - 179 Pastikan dan obati dalam 1 bulan.
110 - 119 180 - 209 Pastikan dan obati dalam 1 minggu.
Modifikasi pola hidup
Modifikasi pola hidup berikut berguna untuk menurunkan TD pada
hipertensi, meningkatkan efek antihiprtensi, mencegah penignkatan TD pada
mereka dengan TD normal tinggi, dan/atau mengurangi resiko
kardiovaskular secara keseluruhan :
1. Menurunkan berat badan bila gemuk.
2. Latihan fisik/beolahraga secara teratur.
3. Mengurangi makan garam menjadi < 2,3 g natrium atau < 6 g NaCl
sehari.
4. Makan K, Ca, Mg yang cukup dari diet.
5. Membatasi minum alkohol (maksimal 20-30 ml etanol sehari).
6. Berhenti merokok serta mengurangi makan kolesterol dan lemak jenuh
untuk kesehatan kardiovaskular secara keseluruhan.
Kombinasi (1), (2), (3) dan (5) yang diterapkan pada penderita hipertensi
ringan selama rata-rata 4,4 tahun ternyata dapat menurunkan TD sekitar 9/9
mmHg (Anonim a, 2001).
Terapi Farmakologi
Tujuan utama dari pengobatan farmakologi untuk hipertensi adalah
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dengan memelihara
tekanan darah sistolik dibawah 140 mmHg, tekanan diastolic dibawah 90
mmHg disamping mencegah resiko penyakit kardiovaskuler lainnya
(Budisetyo, 2001).
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat
enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin
(ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama.
Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk
mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan
keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya
diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan
yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis
atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat
adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-
pasien tertentu disamping obat utama (Tim penyusun, 2006).
Secara umum, efek samping beta-bloker (termasuk labetolol) berupa
bronkospasme, karena itu beta-bloker (termasuk labetolol) tidak boleh
diberikan pada penderita asma (Anonim a, 2001).
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakanpasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontroltekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelasdiuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium,dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yanglemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasidengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikankalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonisaldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton).
1. DESKRIPSI KASUS
Seorang pasien datng ke Apotek untuk memeriksaan tekanan darahnya
atas saran dari tetangganya, dan hasil pengukuran darah adalah 140/95
mmHg. Seminggu yang lalu pasien datang k Puskesmas dan mengeluhkan
pusing berat otot pundak terasa tegang dan menggigil. Kemudian pasien
mendaatkan terapi Sumagesic 4x sehari dan Diazepam 2mg 2x sehari.
Namun sampi saat pasien memeriksakan tekanan darahnya pasien masih
sering mengeluhkan pusing khususnya kepala belakang tetai tidak seberat
sebelumnya.
2. ANALISA KASUS
Bapak A ini mengalami gatal-gatal yang belum diketahui
penyebabnya, dimungkinkan gatal-gatal ini karena adanya penyakit kulit
yang disebabkan karena biang keringat, adanya infeksi jamur atau mikroba,
atau bisa juga karena alergi. Maka dari itu sebelum dilakukan
pengobatan/terapi untuk mengurangi/mengobati rasa gatal tersebut,
sebaiknya perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada pasien apakah pasien
tersebut memiliki riwayat alergi atau tidak. Jika pasien tidak memiliki
riwayat alergi maka sebaiknya diberikan antiseptik ekstern (bedak salicyl,
herocyn, caladine lotion, dsb).
Jika ternyata pasien memang memiliki riwayat alergi maka
pemakaian obat CTM sebagai obat untuk mengurangi rasa gatal sudah tepat
karena CTM termasuk dalam obat anti histamin. Namun, karena bapak A ini
berprofesi sebagai sopir angkot, maka perlu dipertimbangkan kembali
pemakaian CTM. Hal ini disebabkan, mengingat efek samping CTM yaitu
sedasi (menyebabkan rasa kantuk). Maka, hal ini dapat mengganggu profesi
beliau sebagai sopir angkot dan dapat membahayakan diri Bapak A dan
orang lain. Oleh sebab itu, perlu adanya terapi obat lain dengan indikasi
yang sama, tapi efek samping lebih ringan.
Alternatif antihistamin yang dapat digunakan adalah loratadin, dimana
loratadine merupakan antihistamin generasi II yang memiliki efek
nonsedative (tidak menyebabkan mengantuk) dan efek sampingnya relatif
lebih kecil.
Dapat disimpulkan bahwa bila bapak A mengalami gatal-gatal yang
disebabkan bukan karena alergi melainkan ada penyebab lain (biang
keringat, infeksi jamur/mikroba, dsb) maka penggunaan CTM untuk
menghilangkan rasa gatal tersebut termasuk ke dalam DRP’s jenis terapi
obat salah. Namun bila ternyata penyebab gatal adalah karena alergi maka
penggunaan CTM bukan termasuk kedalam terapi obat salah.
Sedangkan tekanan darah Bapak A sebesar 165/105 mmHg ( tekanan
sistole 165 mmHg, tekanan diastole 105 mmHg), menurut JNC VII tekanan
darah untuk bapak A terklasifikasikan dalam hipertensi tingkat II, dalam
kasus ini untuk terapi digunakan obat antihipertensi yang berupa captopril
12,5 mg yang diambil dari kotak obat, karena si bapak A malas berobat dan
bapak A juga mengikuti istrinya yang cocok minum captopril. Sedangkan
efek samping dari captopril ini adalah batuk kering hal ini termasuk dalam
DPR yaitu reaksi obat yang merugikan. Selain itu, bapak A juga memiliki
riwayat asma, dimana penggunan obat ACE-bloker tidak dianjurkan karena
efek sampingnya dapat menyebabkan edema angioneurotik, yaitu pada
pasien terjadi pembengkakan pada hidung, bibir, tenggorokan, laring, dan
sumbatan jalan napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini terjadi
beberapa jam setehah pemberian ACE-inhibitor (ACE-bloker), sehingga
pada pasien dengan riwayat asma akan semakin susah bernafas (mengalami
sesak napas).
Oleh karena itu, untuk terapi ini diganti obat hipertensi yang bersifat
antagonis kalsium. Katopril diganti dengan amlodipin dengan pertimbangan
obat antagonis kalsium. Namun idealnya untuk hipertensi tingkat
Iipengobatan dilakukan dengan kombinasi, namun menurut kelompok kami
digunakan terapi bertahap hal ini dikarenakan agar tidak terjadi hipotensi.
Obat antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan
mekanisme yang benar-benar berbeda yaitu dengan menghambat masuknya
ion kalsium melewati slow channel yang terdapat pada membran sel
(sarkolema).
3. EVALUASI OBAT TERPILIH
1. Bedak salisilat
Mekanisme kerja : Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi
membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek
langsung pada sel dermis. Setelah pemakaian beberapa hari akam
menimbulkan lapisan-lapisan kulit baru(keratolitikum).
Dosis dan penggunaan : Taburkan setelah habis mandi atau bila
berkeringat.
Efek samping : iritasi ringan
Contoh produk :
Caladine ( yupharin) harga Rp. 5200 / 100 gram powder
Verina ( Graha Farma) harga Rp. 5900 / 100 gram powder
Bedak Salisilat Cap Gajah (Usaha Sekawan Farmasi Indonesia)
harga Rp. 3000 / 100 gram powder (Anonim c, 2010).
2. Loratadine (bila ternyata pasien memiliki riwayat alergi dan penggunaan
bedak salicyl tidak mengurangi/menghilangkan rasa gatal)
Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai
aktivitas yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang
minimal pada dosis yang direkomendasikan, merupakan antihistamin
yang mempunyai masa kerja yang lama. Metabolik utamanya,
deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya .
Mekanisme kerja : loratadine merupakan derivat klor dari azatadin tanpa
efek sedative maupun antikolinergis pada dosis biasa. Plasma t ½ nya
lebih panjang 12 jam, sedangkan metabolit aktifnya 12 jam. Digunakan
pada rhinitis dan konjungtivitis alergis juga pada urtikaria kronis .
Dosis dan aturan pakai : 1 x sehari 10 mg.
Efek samping : insomnia dan mulut kering, lelah, pusing, sakit kepala.
Contoh produk : Clatatin (molex ayus) : Rp. 33.000 (box 100 tablet),
Rp. 330/tablet.
Hislorex (konimex) : Rp. 39.600 (box 5 x 4 tablet),
Rp. 1980/tablet (Anonim c, 2010).
3. Amlodipin
Mekanisme kerja : Amlodipine merupakan antagonis kalsium yang
menghambat masuknya ion kalsium transmembran ke dalam jantung dan
otot polos muskular. Mekanisme antihipertensi amlodipine karena efek
relaksasi langsung pada otot polos vaskular. Karena onset amlodipine
sangat lambat, hipotensi akut bukan merupakan keistimewaan
amlodipine. Amlodipine tidak berhubungan dengan efek samping
metabolik atau perubahan lipid dalam plasma dan sesuai untuk
digunakan pada pasien asma, diabetes, goutt.
Dosis dan Aturan pakai :
Anak-anak : Hipertensi : 2.5-5 mg sekali sehari.
Dewasa : Hipertensi : dosis awal 5 mg sekali sehari, dosis maksimum 10
mg sekali sehari. Pada umumnya dilakukan titrasi dosis dengan kenaikan
2,5 mg selama 7-14 hari. Angina : dosis pemeliharaan 5-10 mg, gunakan
dosis yang lebih rendah pada pasien lanjut usia dan pasien dengan
gangguan hati, umumnya diperlukan dosis 10 mg untuk mencapai efek
yang mencukupi. Pasien usia lanjut : digunakan dosis yang rendah untuk
mencegah terjadinya insiden kerusakan hati, ginjal atau jantung. Pasien
usia lanjut juga mempunyai klirens amlodipin yang rendah. Hipertensi :
2.5 mg sekali sehari. Angina : 5 mg sekali sehari. Dialisis : hemodialisis
dan peritoneal dialysis tidak merubah eliminasi. Tambahan dosis tidak
diperlukan. Penyesuaian dosis pada gangguan fungsi hati : berikan 5 mg
sekali sehari. Hipertensi : 2.5 mg sekali sehari.
Efek samping : Efek pada kardiovaskuler : edema perifer (2-5%
tergantung dosis).
Kardiovaskuler : flushing (1-3%), palpitasi (1-4%); SSP: sakit kepala
(7,3%), pusing (1-3%)fatigue (4%), palpitasi (1-4%); Dermatologi : rash
(1-2%), pruritus (1-2%);
Endokrin dan metabolisme : disfungsi seksual pada pria (1-2%);
Gastrointestinal : mual (2,9%), sakit perut (1-2%), dyspepsia (1-2%),
hiperplasia gingival ;
Gastrointestinal : mual (2,9%), sakit perut (1-2%), dyspepsia (1-2%),
hiperplasia gingival ;
Neuromuskular dan skeletal : kram otot (1-2%), lemah (1-2%);
pernapasan : dyspnea (1-2%), edema pulmonary (15%) , gangguan tidur,
agitasi alopesia, amnesia, ansietas, apathy, aritmia, ataksia, bradikardi,
gagal jantung, depersonalisasi, depresi, eritema multiforma,dermatitis
eksfoliatif, symptom ekstrapiramidal, gastritis,ginekomastia, hipotensi,
leukositoclastik vaskulitis, migrain, purpura non trombositopenik ,
parasthesia,iskemik periferal, fotosensitivitas, hipotensi postural,
purpura, rash, perubahan warna kulit, sindrom Stevens-Johnson,
sinkope, trombositopenia, tinnitus, urtikaria, vertigo, xerophtalmia.
Contoh produk : Actapin ( Actavis) harga Rp.3500 / tablet 5 mg
Amlodipine ( Hexpharm) harga Rp. 2200 / tablet 5 mg
Normoten ( soho) harga Rp. 3500 / tablet 5 mg.
(Anonim c, 2010).
IV. MONITORING
Tujuan monitoring pada terapi pengobatan ini tidak lain yaitu untuk
memaksimalkan efek terapi serta meminimalkan efek samping obat.
Adapun untuk hipertensi yang dialami oleh bapak A ini diperlukan
pemantauan secara berkala terhadap tekanan darahnya untuk mengetahui
apakah terapi obat yang diberikan sudah memberikan respon atau belum,
kemudian apakah obat yang digunakan memberikan efek samping seperti
pada pemakaian obat awal atau tidak, apakah obat antihipertensi yang
digunakan berpengaruh pada riwayat penyakit asma yang diderita pasien
atau tidak.
Selain itu untuk alerginya yang perlu dipantau ialah apakah pasien
masih merasa gatal-gatal atau tidak dan mengenai sensitivitas pasien
terhadap obat yang diberikan tersebut apakah menimbulkan reaksi alergi
yang lain atau tidak. Sebenarnya pengobatan yang telah diberikan ini akan
menjadi lebih optimal bila didukung dengan gaya hidup sehat yaitu selalu
menjaga kebersihan badan bila alergi yang ditimbulkan yaitu seperti gatal-
gatal itu dari faktor luar misalnya saja karena pengaruh udara yang kotor
di lingkungan sekitarnya. Terapi farmakologi dan non farmakologi ini
akan memberi efek lebih optimal dengan adanya faktor kepatuhan dari
pasien dalam menjalankan terapi oleh karenanya diharapkan pasien
memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi obat yang diberikan ,hal ini
tentu saja juga memerlukan perhatian dari keluarga pasien yang setiap saat
dapat memantau perkembangan terapi pada pasien.
Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor :
a.tekanan darah
b. kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
c.interaksi obat dan efek samping
d. kepatuhan (adherence)
a.Monitoring tekanan darah
Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk
pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di
evaluasi 2 sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya
perubahan terapi.
Pada kebanyakan pasien target tekanan darah < 140/90 mmHg,
dan pada pasien diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik <
130/80 mmHg.
b. Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-
tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah
sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit
kepala, penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-
bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk
menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular.
Parameter klinis lainnya yang harus di monitor untuk menilai penyakit
target organ termasuk perubahan funduskopik, regresi LVH pada
elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan
fungsi ginjal. Tes laboratorium harus diulangi setiap 6 sampai 12
bulan pada pasien yang stabil
c.Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat
harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4
minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis.
Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau
substitusi dengan obat antihipertensi yang lain.
Monitoring yang intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat;
misalnya apabila pasien mendapat diuretik tiazid atau loop dan pasien
juga mendapat digoksin; yakinkan pasien juga dapat supplemen kalium
atau ada obat-obat lain menahan kalium dan yakinkan kadar kalium
diperiksa secara berkala.
Monitoring tambahan mungkin diperlukan untuk penyakit lain yang
menyertai bila ada (misalnya diabetes, dislipidemia, dan gout).
d. Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang
dinginkan. Paling sedikit 50 % pasien yang diresepkan obat
antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan yang di
rekomendasikan.
Satu studi menyatakan kalau pasien yang menghentikan terapi
antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan terkena stroke.
Strategi yang paling efektif adalah dengan kombinasi beberapa
strategi seperti edukasi, modifikasi sikap, dan sistem yang mendukung.
V. KOMUNIKASI, INFORMASI, EDUKASI
Informasi yang sebaiknya diberikan pada bapak A adalah antara lain
bapak A disarankan untuk menggunakan bedak biang keringat , seperti
bedak salicyl. Bedak salicyl yang dapat ditawarkan antara lain bedak
salicyl cap gajah , caladine powder, serta bedak novarin. Pemakaian bedak
ini dapat mengurangi rasa gatal pada kulit.
Namun bila setelah penggunaan bedak salicyl rasa gatal tidak
kunjung sembuh maka dapat direkomendasikan kepada pasien untuk
mengkonsumsi loratadine karena dimungkinkan penyebab gatal adalah
karena alergi. Loratadine ini digunakan bersama-sama dengan bedak
salicyl agar efek terapinya bisa maksimal. amlodipin. Diinformasikan
pula, bahwa loratadine disini berfungsi untuk mengurangi gatal-gatal yang
dialaminya,yang diduga dikarenakan alergi. Aturan pemakaiannya adalah
diminum satu kali sehari 10 mg.
Diinfokan pula pada pasien bahwa efek samping dari pemakaian
loratadine adalah insomnia dan mulut kering, lelah, pusing, sakit kepala.
Namun,efek samping ini jarang terjadi , tergantung dari keadaan tubuh
masing-masing individu. Untuk mengatasi efek samping mulut kering ,
maka pasien bisa memperbanyak dengan minum air putih. Selain itu,
diberikan informasi pula bahwa bapak A disarankan untuk lebih menjaga
kesehatan dan kebersihan kulitnya. Karena , mungkin saja gatal-gatal yang
dialaminya disebabkan karena kulitnya yang sering berkeringat dan
menyebabkan biang keringat dan menimbulkan gatal-gatal.
Konsumsi loratadine dapat diminum sebelum makan karena tidak
mengiritasi lambung. Pemakaian loratadine dapat dihentikan , apabila
gatal-gatal yang dialaminya sudah tidak timbul lagi. Ditawarkan pada
pasien obat-obat paten dari loratadine antara lain, Clatatin (molex ayus)
Rp. 330/tablet, Hislorex (konimex) Rp. 1980/tablet dan disarankan pada
pasien agar membeli clatatin yang harganya paling murah dari obat paten
yang lain.
Untuk hipertensi yang dialaminya, kita dapat menawarkan obat
golongan antagonis kalsium yaitu amlodipin. Amlodipin diminum 1x
sehari 5 mg, sekali minum maksimal 1 tablet yang berisi 10 mg amlodipin.
Diinfokan juga pada pasien bahwa amlodipin dalam sediaan ada 3 dosis
yaitu 10 mg,5 mg,2.5 mg serta disarankan pada pasien untuk
mengkonsumsi tablet yang 5 mg karena harganya lebih hemat , dan
apabila belum ada penurunan tekanan darah maka pemakaian dapat
ditingkatkan. Efek samping dari amlodipin ini tidak menyebabkan batuk
kering seperti pada captopril sehingga lebih aman unutk penderita
penyakit asma seperti Bapak A.
Disamping pemberian terapi farmakologi , disampaikan juga
mengenai terapi non farmakologi untuk menunjang pengobatan
farmakologi. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan
mengurangi konsumsi garam ataupun makanan yang mengandung garam ,
kopi , makanan berlemak atau yang mengandung kolesterol tinggi, serta
melukan olahraga secara teratur , istirahat cukup, serta menjaga pikiran
agar tidak mudah stress. Dan disarankan pula pada Bapak A agar rutin
mengecek tekanan darahnya sewaktu masa mengkonsumsi obat ini , hal ini
dilakuakn untuk memonitoring, apakah tekanan darahnya sudah turun atau
belum dan mengantisipasi terjadinya shock yang merupakan akibat dari
turunnya tekanan darah secara drastis.
Edukasi ke Pasien
Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan
hipertensi:
• Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan
• Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri
• Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik)
• Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol
• Pentingnya kontrol teratur
• Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan
menyembuhkannya
• Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak diinginkan
• Efek samping obat dan penanganannya
• Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan
tekanan darah
• Pentingnya peran terapi nonfarmakologi
• Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang
mengandung ginseng, nasal decongestan, dll).
VI. DISKUSI
a. Asti : Mengapa obat golongan ACE Blocker tidak boleh digunakan
untuk penderita asma, dan contoh obatnya apa?
Jawab : Karena golongan ACE-Bloker dapat menyebabkan edema
angioneurotik yaitu pembengkakan pada hidung bibir tenggorokan laring
dan sumbatan jalan nafas yang bisa berakibat fatal jadi akan
memperparah penyakit asma. Contoh : captopril dan lisinopril (bekerja
secara langsung), enalapril dan quinapril serta perindopril (prodrug)
b. Titis : Perbedaan obat yang berpengaruh sedasi dan non sedasi itu apa?
Jawab : Sedasi merupakan obat yang dapat melewati sawar otak
sehingga menekan susunan syaraf pusat sehingga menimbulkan efek
sedasi, sedangkan dapat tidaknya menembus sawar otak dapat ditinjau
pada strukturnya.
c. Mega : Mana yang digunakan antara bedak salisil dan loratadin?
Jawab : Bapak A ini mengalami gatal-gatal yang belum diketahui
penyebabnya, dimungkinkan gatal-gatal ini karena adanya penyakit kulit
yang disebabkan karena biang keringat, adanya infeksi jamur atau
mikroba, atau bisa juga karena alergi. Jika pasien tidak memiliki riwayat
alergi maka sebaiknya diberikan antiseptik ekstern (bedak salicyl,
herocyn, caladine lotion, dsb). Jika ternyata pasien memang memiliki
riwayat alergi maka alternatif antihistamin yang dapat digunakan adalah
loratadin, dimana loratadine merupakan antihistamin generasi II yang
memiliki efek nonsedative (tidak menyebabkan mengantuk) dan efek
sampingnya relatif lebih kecil.
d. Riska : Dalam kasus dijelaskan bahwa termasuk dalam klasifikasi
hipertensi tingkat II, mengapa digunakan obat tunggal dan kenapa tidak
digunakan obat kombinasi ?
Jawab : Karena pada hipertensi pengobatanya harus bertahap, jika
langsung digunakan obat kombinasi dikhawatirkan dapat menyebabkan
hipotensi atau tekanan darahnya langsung drop, namun idealnya untuk
hipertensi tingkat II dianjurkan untuk obat kombinasi.
e. Duta : Dalam efek samping loratadine disebutkan dapat menyebabkan
pusing, sakit kepala, mual, hal ini dapat membahayakan kerja bapak A
karena dia sebagai sopir, apakah ada alternatif obat lain?
Jawab : efek samping pada loratadin memang seperti yang disebutkan,
namun efek samping yang ditimbulkan termasuk dalam efek samping
minor dan frekuensinya relatif kecil.
f. Rizki : Captopril efek sampingnya dapat merusak ginjal, apakah perlu
dilakukan monitoring?
Jawab : Karena pada ekresinya obat ini dieksresikan melalui ginjal,
sehingga filtrasi glomerolus akan berkurang.
g. Brigita : Apakah hanya perlu terapi farmakologi saja, kenapa tidak
diberikan terapi non farmakologi?
Jawab : pada kasus ini terapi yang dianjurkan adalah terapi farmakologi,
sedangkan pada kelanjutannya perlu didampingi dengan terapi non
farmakologi sebagai penunjang terapi farmakologi
h. Wulan : Kenapa digunakan amlodipin sebagai antihipertensi, sedangkan
harganya relatif mahal? Kenapa tidak antagonis Ca yang lain?
Jawab : harga amlodipin relatif lebih murah dibandingkan dengan
nifedipin dan verapamil
4. DAFTAR PUSTAKA
Agusni, yono hadi, dr SpKK.no date.Antihistamin H1Non Sedatif.
Diakses tanggal 21 Maret 2011
Anonim a. 2001. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4 Cetak Ulang. Jakarta :
FK UI Press.
Anonim b. 2009. Farmakologi Dan Terapi Edisi V. Jakarta : FK UI Press.
Anonim c. 2010. ISO Indonesia volume 45. Jakarta : PT. ISFI
Aziza, L. 2007. “Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan
Hipertensi”. Majalah Kedokteran Indonesia Vol.57(8): 259-254.
Budisetio, muljadi.2001. “Pencegahan dan pengobatan hipertensi pada usia
dewasa”. Jurnal Kedokteran Trisakti 20(2): 101-107
Kundarto, W. 2011. Materi Farmasi Klinik D3 FARMASI. Surakarta :
UNS press
Tim penyusun. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
5. LAMPIRAN