Laporan Hasil Kajian Add Ksb

216
Legitimid KSB __________________________________________________________________________1 KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA (ADD) DIKABUPATEN SUMBAWA BARAT ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Penulis Syahrul Mustofa, S.H.,MH Dipublikasikan Oleh : Lembaga Penelitian Dan Advokasi Masyarakat Desa (Legitimid) Office : Jl. Lingkar Selatan, RT 07 Desa Sekongkang Atas Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat-NTB 84355 Email : [email protected] /[email protected] (Kontak : 085253830001) Atas Dukungan Kerjasama The Asia Foundation & Pemda KSB Tahun 2010

Transcript of Laporan Hasil Kajian Add Ksb

KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA (ADD) DIKABUPATENSUMBAWA BARATANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Penulis

Syahrul Mustofa, S.H.,MH

Dipublikasikan Oleh :

Lembaga Penelitian Dan Advokasi Masyarakat Desa (Legitimid)Office : Jl. Lingkar Selatan, RT 07 Desa Sekongkang Atas Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat-NTB 84355 Email : [email protected] /[email protected](Kontak : 085253830001) Atas Dukungan Kerjasama

The Asia Foundation & Pemda KSBTahun 2010

Legitimid KSB __________________________________________________________________________1

RINGKASANKabupaten Sumbawa Barat adalah Kabupaten pertama yang menetapkan adanya Alokasi Dana Desa, dimulai sejak tahun 2006. Pada tahun 2009 Pemerintah Daerah telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penetapan Alokasi Dana Desa. Proses iniasi kebijakan tersebut merupakan proses yang panjang, muncul pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pelaksanaan ADD telah berjalan 5 tahun. Selama 5 tahun tersebut muncul pertanyaan, apakah kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa telah meningkat?. Apakah kebijakan dan implementasi kebijakan ADD sudah sejalan dengan semangat dan tujuan ADD serta berjalan sesuai dengan koridor hukum yang telah ditetapkan? Bagaimanakah pengelolaan ADD di desa? Apa faktor-faktor pendorong dan penghambat pengelolaan ADD? Bagaimanakah kecendrungankecendrungan yang muncul dalam pengalokasikan ADD selama kurun waktu lima tahun? Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan diatas dengan melakukan pengumpulan data-data kuantitatif maupun kualitatif, dilakukan evaluasi atas implementasi kebijakan ADD yang dilakukan secara partisipatif, dengan metode Tehknologi of partisipatoris (TOP), RRA, dan metode partisipatif lainnya. Seluruh data-data kuantitatif dikumpulkan, diolah dan dianalisis serta dalam proses pengembangan analisis dilakukan dengan cara melibatkan para stakeholders para pemegang kebijakan serta kelompok masyarakat sipil yang mengetahui dan selama ini peduli terhadap tatakelola pengelolaan ADD Desa. Hasil studi ini selain memberikan gambaran mengenai perjalanan pelaksanaan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat selama lima tahun juga memerbikan gambaran secara lengkap mengenai data-data dan informasi secara menyeluruh atas penetapan kebijakan ADD di KSB selama ini, serta perkembangan dan kecendrungan yang muncul, distribusi pemanfaatan maupun peta alokasi ADD pada masing-masing kecamatan dan desa dipotret secara keseluruhan terhadap desa yang ada di Kabupaten Sumbawa barat. Sedangkan mengenai gambaran secara mendalam bagaimana desa mengelola ADD dan keuangan desa selama ini kajian memfokuskan pada ADD dan pengelolaan keuangan desa dalam APBDesa Tahun 2009 karena tahun 2009 merupakan ADD tertinggi selama kurun waktu 5 tahun, sehingga cukup tepat jika dijadikan sebagai entry point untuk melihat bagaimana keuangan desa, khususnya terkait dengan pendapatan desa dari ADD dan pendapatan lainnya serta bagaimana desa membelanjakan uangnya selama ini. Manfaat dari studi ini selain sebagai bahan untuk perbaikan kebijakan dan penyusunan agenda program pengembangan ADD di KSB bagi para pemegang kebijakan, diharapkan pula dapat mendukung upaya masyarakat sipil dalam melakukan intervensi dalam pengelolaan ADD. Bagi Pemerintahan desa diharapkan hasil studi ini dapat menjadi otokritik sekaligus referensi untuk perbaikan pengelolaan ADD di masa mendatang.

Legitimid KSB __________________________________________________________________________2

KATA PENGANTAR

Program Civil Society Inisiatif Againts Poverty (CSIAP) di Kabupaten Sumbawa Barat-NTB adalah sebuah program yang berusaha untuk mengentaskan kemiskinan di daerah. Salah satu agenda kegiatan pada Tahun ke II program CSIAP II adalah mendorong kebijakan dan pengembangan pengelolaan ADD yang pro-poor. LEGITIMID sebagai Mitra The Asia Foundation telah melaksanakan evaluasi pelaksanaan pengelolaan ADD di KSB selama kurun waktu 5 Tahun dan telah melakukan kajian di 20 desa mengenai bagaimana pengelolaan ADD berlangsung. Hasil studi ini telah dipresentasikan dihadapan Pemerintah Daerah (para pemagang kebijakan) Pada bulan September 2010 dan telah memperoleh feedback dari para stakeholders di daerah. Dalam buku ini memberikan gambaran tentang trend kebijakan dan perkembangan ADD, proporsi keberpihakan ADD dimasing-masing desa, permasalahan dan tantangan Pengelolaan ADD. Dari hasil studi ini, kami berharap dapat bermanfaat bagi Pemerintah Daerah, Para Pegiat Advokasi ADD/Kebijakan, Akademisi, Pemerintah Desa, dan para stakeholder lainnya. Kami ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Alam Surya, Hanna Satrio, Hari Kusdaryanto, dan rekan-rekan dari The Asia Foundation dan DFID 2. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Ir.H. Amri Rahman, Msi serta seluruh jajaran Bappeda KSB yang telah membantu memberikan ketersediaan data dan informasi, serta para Kepala Desa dan BPD serta Toga, Toma dan Topa dari seluruh Desa di KSB serta Para narasumber, yang telah banyak membantu selama proses penelitian hingga akhir studi ini. 3. Seluruh rekan-rekan pekerja Program CSIAP II-TAF di seluruh Indonesia yang juga telah banyak memberikan masukan, saran dan kritik untuk penyempurnaan hasil kajian ini, khususnya rekan-rekan jaringan NTB (DPA NTB, Lensa, LSBH, Somasi, dan YPKM), serta teman-teman dari Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara Barat (LBH-NTB)

kami menyadari dengan sepenuhnya bahwa substansi hasil kajian ini masih jauh dari yang diharapkan, karenanya kritik dan saran demi kesempurnaan kajian ini sangat diharapkan. Semoga setitik karya ini dapat bermanfaat. KSB, September 2010 Team Pengkaji/Peneliti LEGITIMID KSB

Legitimid KSB __________________________________________________________________________3

BAB I PENDAHULUAN1. 1. Latar Belakang Kelahiran UU No.32/2004 yang kemudian diperkuat dengan PP.72/2005 memberikan kepastian hukum terhadap perimbangan keuangan desa dan kabupaten/kota. Berdasarkan PP. 72/2005 pasal 68 ayat 1 huruf c, desa memperoleh jatah Alokasi Dana Desa (ADD). ADD yang diberikan ke desa merupakan hak desa. Sebelumnya, desa tidak memperoleh kejelasan anggaran untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa. Saat ini, melalui ADD desa berpeluang untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa secara otonom. Menteri Dalam Negeri tertanggal 17 Agustus 2006 mengeluarkan Surat Kawat bernomor 140/1841/SJ yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk segera merealisasikan ADD, terutama kepada kabupaten/kota yang sama sekali belum melaksanakan ADD. Dalam Surat Kawat tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan jelas menyebutkan bahwa percepatan ADD dilakukan untuk mendukung peningkatan kinerja pemerintahan desa. Pengelolaan keuangan dan ekonomi desa yang senantiasa

berorientasi pada pemerataan pembangunan dalam memenuhi prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan akuntabilitas tidaklah mudah. Sekalipun demikian, dengan tersusunnya formula ADD, misalnya, maka pembangunan di setiap desa ke depan diharapkan berimplikasi penting terhadap beberapa hal, yaitu: (a) terwujudnya hubungan pemerintahan yang lebih harmonis antara Pemerintah Kabupaten dengan Pemerintah desa (terutama dalam kaitannya dengan pembagian kewenangan); (b) terjaminnya kepastian sumber-sumber pendanaan untuk pembangunan desa yang bertanggungjawab; dan (c) terjaminnya kepastian pembangunan desa secara mandiri dan dapat dipertanggungjawabkan. Tiga implikasi tersebut di atas selanjutnya diperkirakan akan dapat memacu peningkatan kinerja pembangunan pemerintah kabupaten dan pemerintah desa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan

Legitimid KSB __________________________________________________________________________4

partisipasi

mereka

dalam

pembangunan.

Ke

depan,

dampak

yang

diharapkan, adalah: (a) frekuensi dan beban tuntutan pemerintah desa kepada pemerintah kabupaten tentang alokasi dana pembangunan desa semakin berkurang, (b) intensitas kegiatan ekonomi produktif masyarakat desa (terciptanya multiplier effect) meningkat bersamaan dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang antara lain diwujudkan melalui pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), retribusi, dan pajak lainnya. Dalam konteks penyelenggaraan pembangunan ekonomi di tingkat desa, pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi multi-sta/certo/der telah mengalami fase yang stagnan. Hal ini tampak erat hubungan dengan "good will maupun political will". Selama ini, pembangunan dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang terangkai dalam bingkai relasi sosial, menjadi sebuah rutinitas yang dijalankan oleh Pemerintah Desa dengan sangat minimnya dukungan partisipasi publik (terutama anggota masyarakat lokal). Dalam kacamata makro, kondisi ini belum menawarkan suatu relasi kohesifitas yang erat antara masyarakat dan Pemerintah Desa maupun Pemerintah Kabupaten. Secara lebih mendalam, partisipasi masyarakat luas di era desentralisasi merupakan unsur mutlak bagi pelaksanaan pembangunan desa. Rakyat mestinya tidak lagi ditempatkan dalam posisi sebagai obyek pembangunan, namun sebagai subyek yang secara aktif turut merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan, disamping menikmati hasilnya. Konsekuensinya, sekali lagi, masih diperlukan adanya political will dari pengambil kebijakan (pemerintah) yang sesuai dengan misi perubahan yang demikian pesat. Sehubungan dengan itu, ketika perubahan yang dimaksud dimaknai secara positif, maka harus diimbangi pula dengan perubahan dalam tata kelola pemerintahan lokal yang baik (good local governance) - dalam konteks desa - yang lebih demokratis, transparan dan akuntabel. "Ketergantungan" pemerintah desa kepada pemerintah kabupaten yang demikian mengakar, telah membentuk suatu budaya ketergantungan struktural, sehingga potensi-potensi ekonomi daerah tidak sepenuhnya dapat dikenali, sehingga tidak termanfaatkan secara optimal. Bahkan, sebagai

Legitimid KSB __________________________________________________________________________5

akibat sentralisasi perencanaan pembangunan oleh pusat, seringkali kesulitan dalam melakukan "distribusi" sumberdaya secara adil dan merata. 1.2. Tujuan dan Ruang lingkup Kajian Tujuan kajian Evaluasi Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Sumbawa Barat adalah pertama, mengetahui dinamika, perkembangan dan trend kebijakan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sumbawa Barat selama kurun waktu lima tahun serta pengelolaan ADD di masing-masing desa. Kedua, sebagai bahan untuk mendorong adanya perubahan kebijakan di daerah sekaligus bahan evaluasi, refleksi dan referensi untuk pengembangan kebijakan dan pengelolaan ADD bagi para stakeholders di daerah. Ruang lingkup kajian meliputi ; Pertama, Dinamika inisiasi dan perkembangan kebijakan ADD ; ide/gagasan, perjalanan dan tantangan pelaksanaan kebijakan. Kedua, proporsi keberpihakan ADD selama kurun waktu lima tahun serta perkembangannya di masing-masing kecamatan dan desa. Ketiga, pengelolaan keuangan desa (ADD) serta arah keberpihakan desa dalam mengalokasikan ADD bagi warga miskin. Keempat, rekomendasi perbaikan kebijakan ADD di KSB di masa mendatang. 1.4. Metode Penyusunan dan Sistematika Penyusunan Sistematika Penulisan Penyusunan Kajian Pelayanan Publik di Bidang Pemerintahan Evaluasi Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Sumbawa Barat adalah sebagai berikut : Cover Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran PENDAHULUAN

BAB I

1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Ruang Lingkup dan Sumber Dana

Legitimid KSB __________________________________________________________________________6

1.4. Sistematika Penulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Sumbawa Barat 1.2. Landasan Teori BAB III METODOLOGI

1.1. Hasil Kajian Pelayanan Publik di Bidang Pemerintahan Evaluasi

1.1. Desaign Penelitian 1.2. Lokasi dan Subyek Penelitian 1.3. Metode Pengumpulan Data 1.4 Metode Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.1. Hasil Penelitian 1.2. Pembahasan BAB V PENUTUP

1.1. Kesimpulan 1.2. Rekomendasi Daftar Pustaka Lampiran-lampiran

Legitimid KSB __________________________________________________________________________7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu Yayasan Serikat Serikat Tani Pembangunan (YSTP) telah melakukan penelitian t pada tahun (2006) dan 2007 untuk melihat implementasi pengelolaan ADD Tahun 2006 dan 2007 di Kabupaten Sumbawa Barat. Penelitian ini menemukan bahwa penyusunan kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun2005 tentang Desa dan Surat Edaran Mendagri No. 140/640/SJ tentang Pedoman Alokasi Dana Desa (ADD). Penyusunan kebijakan ADD di Kabupaten Sumbawa Barat masih menggunakan beberapa produk hukum Kabupaten Sumbawa Tahun 2001. Penggunaan dasar hukum yang bersumber dari Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa (Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 6 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa; Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 8 Tahun 2001 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa; dan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 9 Tahun 2001 tentang Sumber-Sumber Pendapatan Desa) dalam penetapan kebijakan ADD tidak relevan karena sesungguhnya Kabupaten Sumbawa Barat telah menjadi daerah yang otonom termasuk dalam menyusun peraturan daerah sejenis yang dirujuknya. Selain itu, dasar hukum penyusunan kebijakan ADD yang bersumber dari peraturan daerah Kabupaten Sumbawa masih didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah. Fenomena ini menunjukkan bahwa aparatur Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat tidak mempunyai kapasitas yang cukup dan telah berlaku lalai dalam menyusun kebijakan ADD. Penetapan regulasi penyelenggaraan ADD di Sumbawa Barat dengan

Keputusan Bupati Sumbawa Barat Nomor 219 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana Bantuan Kepada Desa masih kurang strategis. Status hukum surat keputusan sewaktu-waktu dapat berubah tergantung pada selera bupati dan elit kabupaten lainnya. Ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ tertanggal 22 Maret 2005 TentangLegitimid KSB __________________________________________________________________________8

Pedoman Alokasi Dana Desa (ADD) yang menegaskan bahwa pengaturan ADD dilakukan setidak-tidaknya melalui peraturan bupati/walikota. Pemikiran untuk memperkuat status hukum ADD dengan peraturan daerah sebenarnya sudah ada yang dapat ditemukan dalam dokumen RPJM Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2006-2010 yang menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dalam Program SKPD bidang Pemerintahan dan Pelayanan Umum adalah Program Pembuatan Peraturan Daerah (Perda), Keputusan Bupati dan Peraturan Lainnnya. Salah satu kegiatan yang direncanakan dalam bidang ini adalah Pembuatan Perda tentang dana abadi desa. Pemerintah kabupaten Sumbawa Barat belum mempunyai rumusan yang jelas tentang penetapan besarnya ADD proporsional untuk setiap desa. Sehingga ADD setiap desa dilakukan penyeragaman dan tidak memenuhi asas keadilan anggaran. Dalam hal kelembagaan ADD di Sumbawa Barat belum menyentuh aspek tata kerja pengelolaan. Pemanfaatan ADD di Sumbawa Barat diperuntukkan untuk 3 jenis bantuan, meliputi: a. Dana Abadi Desa (DAD); b. ADD Rutin (ADDr) yang terdiri dari TPAPD, Biaya Operasional dan Biaya Barang; c. ADD Pembangunan (ADDp) yang merupakan biaya pembangunan fisik untuk prasarana Pemerintahan Desa, Prasarana Produksi, Prasarana Sosial, Prasarana Pemasaran, Prasarana Perhubungan dan pembangunan Lain-lain. Pengelolaan DAD sebagai salah satu komponen bantuan ADD yang telah diputuskan dikelola oleh KJKS tidak sejalan dengan ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa khususnya Pasal 68 ayat (2) dan (3) dan berarti Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat telah merenggut wewenang desa dalam mengelola ADD sebagai salah satu sumber Anggaran pendapatan dan belanja Desa (APBDes). Selain itu wewenang desa untuk mentukan secara mandiri mitra kerjanya dalam mengelola Dana Abadi Desa telah dipangkas. Ini merupkan bentuk pemaksaan kepada desa yang berbenturan dengan ide dasar otonomi desa dalam hal desentralisasi fiskal dan desentralisasi ekonomi desa. Penyaluran keseluruhan ADD di Sumbawa Barat dilakukan melalui rekening desa yang terdaftar di PT. Bank NTB sudah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Mekanisme penyaluran secara teknis yang menyangkut penyimpanan, nomor rekening, tranfer, Surat Permintaan

Legitimid KSB __________________________________________________________________________9

Pembayaran, mekanisme pengajuan dan lain-lain di Sumbawa Barat telah berjalan baik dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pengawasan terhadap ADD beserta kegiatan pelaksanaanya belum dilakukan secara fungsional oleh pejabat yang berwenang dan oleh masyarakat sehingga belum mampu mewujudkan akuntabilitas publik. Pengelolaan ADD belum dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik. Monitoring pengelolaan ADD belum dilakukan secara maksimal dengan melibatkan partisipasi masyarakat. 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Demokrasi Modern, Lokal dan Desa Demokrasi modern berkembang seiring terbentuknya negara modern setelah diterimanya Perdamaian Westphalia tahun 1648.1 Demokrasi modern lahir sebagai reaksi atas kekuasaan raja yang absolut, raja sebagai representasi negara cenderung bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kehadiran kelas menengah serta meningkatnya kesadaran rakyat, mendorong kritik atas kekuasaan raja yang absolut selama ini. Rakyat mulai berani menunjukkan sikap berlawanan dengan kekuasaan raja yang yang dianggap tidak sah dan penuh dengan manipulasi. Sebab, rakyat merasakan adanya hak mereka sebagai manusia yang tidak dilaksanakan oleh raja, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Rakyat menuntut agar kekuasaan raja menjalankan negara itu dibatasi, dengan cara melibatkan masyarakat dalam menyelenggarakan kekuasaan negara. Rakyat beranggapan kekuasaan negara yang dilaksanakan itu, seharusnya berada di tangan rakyat dan bukannya di tangan raja yang cenderung menyalahgunakan untuk kepentingannya sendiri. Munculnya kesadaran rakyat ini mencetuskan lahirnya revolusi Perancis tahun 1789. Dari segi konsep, demokrasi modern dan demokrasi lokal tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama mempunyai pengertian pemerintahan dari rakyat (demos-cratos/cratein), perbedaanya lebih terletak pada waktu, jika demokrasi modern merujuk kepada waktu pelaksanaan terutama sejak lahirnya

1 Sebelum terjadinya Perdamaian Westphalia berlaku perang selama 30 tahun yang terkait dengan munculnya isu-isu agama. Perang ini termasuk sejarah perang yang paling buruk berlaku dan dianggap telah menghancurkan peradaban manusia yang melibatkan Kerajaan Suci Roma dengan raja Perancis beserta sekutu-sekutunya. Untuk keterangan lanjut lihat Shimko (2005).

Legitimid KSB __________________________________________________________________________10

revolusi Perancis, maka demokrasi lokal terkait dengan cakupan atau batas pelaksanaannnya. Praktik demokrasi lokal yang dilaksanakan sekarang ini adalah bentuk penyelenggaraan demokrasi modern yang memperluas ruang masyarakat untuk terlibat. Malah masyarakat dapat melaksanakan demokrasi sebagai sebuah proses pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan mereka. Lalu apa yang dimaksud dengan demokrasi lokal itu? Gellner & Hachhethu (2007:14) menjelaskan, demokrasi lokal adalah sebuah proses dan sekaligus sebuah nilai dalam kehidupan sosial masyarakat. Gambaran demokrasi sebagai sebuah proses dan nilai ini sebenarnya bisa dilihat dalam kepemerintahan (governance) yang tidak hanya terkait dengan negara, tetapi juga kewujudan masyarakat lokal. lokal. Bagaimanapun, salah satu aspek penting dalam membahas eksistensi masyarakat lokal ini adalah keberadaan sistem sosiobudaya masyarakat Biasanya pelaksanaan demokrasi lokal ini terkait dengan sistem sosiobudaya ini. Namun, bukanlah hal mudah melaksanakan demokrasi lokal ini karena praktiknya bergantung kepada sikap masyarakat. Artinya, pelaksanaan demokrasi lokal ini dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakatnya. Kecenderungan ini digambarkan dalam kajian Almond & Verba tentang The civic culture (1963), yaitu adanya budaya kewargaan (civic culture) dalam mendukung terwujudnya sistem demokrasi yang dilaksanakan di seluruh negara.2 Hasil kajian Almond & Verba ini seolah-olah mengilhami sarjana lain untuk mengetahui lebih jauh hubungan budaya politik dengan demokrasi ini. Misalnya, kajian yang dilakukan oleh Inglehart (1988), Putnam (1993), La Palombara (1993), dan Laitin (1995). Inglehart (1988) menjelaskan kelangsungan proses demokrasi dalam masyarakat dalam jangka panjang dipengaruhi oleh perubahan yang berlangsung dalam budaya masyarakat. Inglehart menulis, these cultural factors have an important bearing on the durability of democracy, which seems to result from a complex interplay of economic, cultural, and institutional factors (1988:1229).

Kajian Almond & Verba (1963) ini berangkat dari pertanyaan, mengapa demokrasi dapat dilaksanakan di sebuah negara, namun ia menemui kegagalan di negara lain? Kajian ini dilakukan di negara yang mereka asumsikan memiliki sistem politik yang demokratis seperti Amerika Serikat dan Inggris, negara dengan sistem politik yang semi-demokratis, yaitu Italia dan Jerman, serta negara dengan sistem politik yang otoriter, yaitu Mexico. Kesimpulan kajian mereka mendapatkan bahwa terlaksananya sistem demokrasi yang baik di Amerika Serikat dan Inggris ini karena didukung oleh budaya politik masyarakatnya yang partisipatif. Sebaliknya, Italia dan Jerman cenderung bersifat semi demokratis karena budaya kewargaannya tidak mencukupi terbentuknya sistem demokrasi yang baik. Mexico sama sekali tidak memiliki civic culture sehingga cenderung otoriter. Jadi, budaya partisipasi ini wujud karena adanya budaya kewargaan (civic culture). Legitimid KSB __________________________________________________________________________11

2

Putnam (1993) juga menjelaskan budaya masyarakat merupakan faktor yang sangat menentukan kinerja institusi pemerintahan. Menurut Putnam, masyarakat yang memiliki modal sosial (social capital)manifestasi kebajikan warga (civic virtue) yang tinggi dapat membantu terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Modal sosial ini meliputi adanya nilai-nilai saling percaya, toleransi, kerja sama, saling menghormati, dan tanggung jawab bersama sehingga membantu terwujudnya pemerintahan yang lebih demokratis. Pertanyaannya sekarang, bagaimana hubungan modal sosial ini dengan fungsi pemerintahan yang demokratis? Menurut Putnam (1993:175-176), melalui melalui modal sosial, yang merupakan manifestasi budaya kewargaan individuindividu, dapat mendorong mereka terlibat secara bersama mewujudkan pemerintahan yang baik. Malah, dengan terbentuknya infrastruktur yang kuat berdasarkan sikap saling percaya dan rasa tanggung jawab bersama, dapat mendorong terbentuknya kerja sama antara individu-individu masyarakat, dan antara masyarakat dengan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang ada. Dalam praktiknya, demokrasi lokal yang dilaksanakan dapat menjadi mekanisme penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang melibatkan etnik, agama dan kepentingan. Misalnya, dengan menguatkan rasa saling percaya, toleransi, dan kerja sama dan masyarakat, maka ketegangan dalam masyarakat dapat dikurangi. Namun yang terpenting dalam praktik demokrasi lokal itu adalah bagaimana masyarakat bisa mendesain sistem demokrasi (lokal) yang lebih kondusif melalui keberagaman yang masyarakat yang ada (cf. Sisk 2002). Menurut Sisk (2002), demokrasi lokal memiliki ciri-ciri adanya

pemerintahan yang otonom (self-government) dan demokratis, dimana dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut masyarakat mendapatkan hak dan tanggungjawabnya untuk membuat kebijakan untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, akan terjalinlah hubungan yang kuat antara demokrasi lokal dengan pemerintahan lokal. Praktik demokrasi lokal akan memperkuat penyelenggaraan pemerintahan lokal yang efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Secara teori, pemerintahan yang dekat dengan masyarakat cenderung lebih responsif karena ia dapat memenuhi aspirasi warganya secara langsung (Stoker, 1988; Morphet, 2008). Sejalan dengan itu, Gellner & Hachhethu (2008:15) menjelaskan demokrasi lokal sebagai bentuk penglibatan kelompok sosial yang berbeda dalam struktur politik yang diikuti oleh partisipasi aktif

Legitimid KSB __________________________________________________________________________12

masyarakat dalam tata kelola pemerintahan di tingkat lokal. Menurut mereka, demokrasi memerlukan ruang promosi untuk warganya berpartisipasi. It is local government which is more likely than centralized structures to provide citizens with the opportunity to participate actively and directly in the decisions that affect them closely. Bahkan Sisk (2002:15) juga mengingatkanyang terpenting dalam pelaksanaan demokrasi lokal tersebut adalah munculnya budaya masyarakat setempat yang dapat mendorong mereka terlibat dalam proses politik. Bagaimanakah dengan otonomi dan demokrasi desa? Menurut Suhartono W.Parnoto perkembangan otonomi desa dapai dilihat dari 3 periode perkembangan sejarah desa (Suhartono W. Parnoto ,2000 : 19). Pertama, Kedudukan Desa di Jaman Feodal. Pada masa ini rakyat dibawah sistem feodal, pada dasarnya hanya sebagai hamba sahaya. Posisi yang demikian, berkait erat dengan teori milik raja (voestendomein), dimana dikatakan bahwa raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan, dan dalam pemerintahannya dibantu oleh birokrat yang terdiri dari sentana dan narapraja. Mereka diangkat oleh raja berdasarkan status dan askripsi. Mereka diberi tanah apanege atau tanah lungguh sebagai gaji yang merupakan jasanya3. pada masa feodal, warga desa (petani) tidak cukup memiliki akses terhadap hasil produksi, karena hasil produksi sebagain besar diserahkan pada raja dan pejabat kerajaan. Pada umumnya para petani menyewa tanah dari bangsawan atau raja, mereka bekerja bukan berdasarkan kebutuhan dan selera mereka melainkan atas dasar selera dan kebutuhan raja yang menguasai tanah desa. Dalam hal ini, rakyat harus mempunyai kepatuhan yang tinggi, sebab raja adalah pemilik kehidupan mereka. Agar rakyat bisa patuh ( menuruti apa yang dikehendaki raja) dan tidak memberontak akibat ketidakadilan yang ditanggungnya, Raja membentuk penguasa lokal (elite lokal), sampai ketingkat desa (Kepala desa atau Lurah), berfungsi sebagai organ kontrol untuk mengawasi petani, agar setia dan bersedia membayar pajak. Fungsi Kepala Desa bukan saja pengumpul pajak (tax collector), tetapi juga power holder. Kepala desa berhak mengeluarkan petani dari desa.Kepala Desa berhalk mengeluarkan petani dari desa. Desa merupakan wilayah kekuasaan raja yang berfungsi sebagai : pertama, penyedia kebutuhan material, sebagai penyetor pajak-dari hasil kerja petani. Kedua, sebagai penyedia tenaga kerja dan sekaligus pasukan, bila sewaktu-waktu3

Tanah untuk gaji Kepala Desa di Lombok dikenal dengan tanah pecatu.

Legitimid KSB __________________________________________________________________________13

raja membutuhkan. Elite lokal, bukan berfungsi sebagai wahana penyalur kehendak rakyat, sebaliknya menjadi kaki tangan penguasa (raja), yang justru menekan rakyat4. Kedua, di Masa Kolonial. Perkembangan desa dimasa kolonial, tentu saja tidak lepas dari watak kolonial sendiri. Ciri pokok hubungan kolonial pada dasarnya berpangkal pada prinisip dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan depedensi. Pokok pikiran yang dibawa oleh penjajah adalah penduduk jajahan, khususnya desa, adalah komunitas yang memiliki watak statis, yang perkembangannya akan sangat tergantung pada adanya intervensi pihak eksternal. Masuknya penguasa kolonial tentu tidak menjadi momentum pembaruan desa, terutama mengangkat tata hidup yang lebih baik, justeru sebaliknya. Dibawah penguasa Vereeninging Oost Indsche Companie (V.O.C) dibungkus dalam bentuk perdagangan. Dalam menjalankan misinya V.O.C.menggunakan strategi menyesuaikan diri atau tidak mengadakan konfrontasi dengan sistem lokal yang ada baik dalam soal perdagangan, maupun pemerintahan. Akar feodal dalam masyarakat (lokal), dimanfaatkan sebaik mungkin oleh V.O.C, dengan menjalin hubungan harmonis dengan elit lokal-raja atau bupati, dengan maksud agar dapat mengendalikan desa. Dalam rangka produksi rempah-rempah oleh V.O.Cpengaturan dan pengendalian desa dilakukan dengan memanfaatkan struktur kekuasaan yang ada. V.O.C. memberikan semacam kewenangan bagi kepala desa, untuk menetapkan kebijakan pajak dan kerja, namun dengan target tertentu untuk keperluan V.O.C. Model ini menekan elit lokal, dan akibatnya elit lokal melakukan tekanan pada rakyat. Sehingga rakyat mengenyam penderitaan ganda. Pada masa V.O.C, tidak terlalu mencampuri urusan internal masyarakat (pribumi), kecuali pada sejumlah kewajiban yang dibebankan untuk keperluan perdagangan. Kondisi ini memungkinkan berbagai macam bentuk sistem pemerintahan desa, sesuai dengan relasi desa dengan kekuatan supra desa. Struktur feodal tidak mengalami transformasi, bahkan terjadi intensifikasi. Ketiga, Desa di Masa Pemerintah Belanda. Bila sebelumnya penguasa berasal dari organisasi ekonomi (V.O.C), maka sekarang (masa belanda) adalahStudi yang dilakukan Lapera Yogyakarta menunjukan bahwa pertumbuhan dan perkembangan desa sangat dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Lihat, Suhartono, 2000, Parlemen Desa Dinamika DPR Kalurahan dan DPRK Gorong Royong, Lapera Pusata, Yogyakarta.4

kerangka penjajahan

Legitimid KSB __________________________________________________________________________14

merupakan organisasi politik. Elit lokal yang pada masa feodal mendapatkan gaji berupa lungguh, telah digantikan dengan gaji tetapdalam mana gaji tersebut lebih rendah dari hasil pemungutan pajak, hasil tanah lungguh, upeti dan lain-lain. Pola hubungan yang baru ini, membuat elit lokal lebih bergantung pada penguasa kolonial, dan berjarak dengan rakyat-terutama juga karena ikatan tradisionalnya telah diputuskan melalui ideology liberal. Kedudukan pemerintah desa, khususnya Kepala desa, tidak lebih sebagai perantara antara pemerintah kolonial dengan rakyat pribumi. rakyat desa dijadikan alat kekuasaan. Karenanya, masyarakat desa mengalami kemunduran, khsusunya sesudah tahun 1830, rakyat tidak mempunyai waktu lagi untuk mengerjakan tanahnya dengan baik, karena harus melakukan pekerjaan paksa (culturstelsel,1825-1830) untuk keperluan pemerintah kolonial. Meski demikian, dipenghujung masa jajahannya pada tahun 1941 pemerintah kolonial Beanda mempertinggi status dengan mengeluarkan sebuah Ordonantie atau dikenal dengan sebutan Desa Ordonantie. Dimasa penjajahan Belanda pula otonomi desa diperkenalkan, berdasarkan konsitusi Kerajaan Belanda tahun 1848 diterbitkanlah Indische Staatsregeling yang berlaku mulai tahun 1854. Adapun ketentuan mengenai desa diatur dalam pasal 128. Dimana desa-desa bumiputera dibiarkan memilih anggota pemerintahan desanya sendiri, dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk untuk itu menurut ordonansi. Gubernur Jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggarannya. Dengan ordonansi itu dapat ditentukan keadaan dimana Kepala desa dan anggota pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu. Kepala Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau pemerintah otonom yang ditunjuk dengan ordonansi. Namun, bila hal tersebut diatas, tidak sesuai dengan lembaga masyarakat atau dengan hak-hak yang diperkenankan dimiliki, maka berlakunya ditangguhkan. dengan ordonansi Kepala desa bumiputera memiliki wewenang untuk (a) memungut pajak dibawah pengawasan tertentu didalam batas-batas tertentu menatapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh desa. Kleintjes (sebagaimana dikutip Surianingrat, 1992) menuliskan :.Desa dibiarkan mempunyai wewenang untuk mengurus rumah tangga menurut kehendaknya, dibidang kepolisian maupun pengaturan tetapi dalam penyelenggaraannya Desa tidak bebas sepenuhnya. Desa diberi otonomi dengan memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal, Kepala Wilayah atau pemerintah dari kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yang ditunjuk dengan ordonansi...

Legitimid KSB __________________________________________________________________________15

Dapat dikatakan bahwa penghujung kekuasaan kolonial, terdapat proses otonomisasi desa. Dalam mana desa tidak lagi ditempatkan sebagai sub-ordinat dari kekuasaan diatasnya, melainkan diakui haknya untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Namun demikian, pengaturan tersebut tidak bersifat umum, melainkan parsial, legalistik dan untuk keperluan menjaga status quo, bukan dalam arti menstransformasi desa melalui proses demokratisasi. Oleh sebab itu realisasi proses otonomi tidak atau belum berjalan sepenuhnya, sampai kemudian kekuatan Jepang masuk. Keempat, Desa di masa Pemerintahan Jepang. Pada masa Pemerintahan Jepang, desa ditempatkan sebagai institusi diatas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Sebuah desa dibagi dalam beberapa kampung. Jika pada masa pemerintah Belanda, desa berusaha dibebaskan dari berbagai intervensi dan diberikan hak otonomnya, maka dibawah kekuasaan Jepang justeru sebaliknya, seperti masa feodal, pengaturan dan pengendalian desa. Rakyat desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang. Pemerintah desa terdiri dari 9 (sembilan) pejabat : luarh, carik, 5 (lima) orang mandor, polisi desa dan amir (mengerjakan urusan agama). Dimasa Jepang, Perangkat desa hanya menjalankan fungsi pengawasan dan tidak mengandung unsure pembangunanperbaikan nasib rakyat. Posisi penguasa lokal yang demikian, menjadikan ketegangan antara rakyat dan penguasa lokal menjadi sangat tinggi. Berbagai perubahan yang dijalankan oleh penguasa kolonial, dari model penjajahan yang konservatif ke liberal, hingga penjajahan Jepang pada dasarnya hanya merupakan perubahan dalam pendekatan, pola dan pelaku, akan tetapi esensi dasarnya tidak berubah : eksploitasi penduduk pribumi. Hal ini dapat ditunjukkan dari kenyataan hidup rakyat yang tidak banyak bergeser : tetap menderita. Dari uraian singkat sejarah diatas ada tiga (tiga) pelajaran penting. Pertama, situasi dan kondisi desa, sangat ditentukan oleh sistem kekuasaan negeri (institusi supra desa). Bentuk dan struktur pemerintahan, hubungan antara perangkat desa dan rakyat, dan hubungan antara desa dengan kalangan penguasa, ditentukan pula oleh kepentingan dari pihak penjah. meskipun ada nuansa otonomi, namun hal tersebut tidak lepas dari (skenam) eksploitasi.

Legitimid KSB __________________________________________________________________________16

Kedua, elit desa atau penguasa desa, pada dasarnya lebih menunjukkan kedekatannya dengan penguasa supra desa ketimbang dengan rakyat desa. Hal ini menunjukkan bahwa elit lokal lebih berfungsi sebagai mediator, perantara atau bahkan alat politik dari penguasa jajahan, dan tidak menjaankan fungsi memberikan perlindungan ataupun sebagai wahana memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketiga, dikalangan rakyat sendiri menghadapi skema kekuasaan yang demikian, dan mengalami kondisi kehidupan yang tidak menguntungkan sebagai akibat dari struktur kekuasaan yang menampatkan rakyat dalam posisi subordinat, pada dasarnya tidak dapat berbuat banyak. Kalaupun gerakan untuk melawan struktur keadilan, dibeberapa tempat, maka hal tersebut tidak lepas dari peran elit lokal yang menjadi elemen penggerak. Perubahan skema kekuasaan sendiri, tidak disebabkan oleh desakan arus bawah, melainkan sebagai akibat dari pergeseran atau perubahan konfigurasi kekuasaan. Dengan demikian, ketergantungan rakyat desa dengan kekuatan supra desa, elit, pada dasarnya sangat besar ( Suhartono, 2000 : 55)

2.2.2. Pengertian Desa dan Desentralisasi Desa, atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat yang tergabung berdasarkan garis keturunan (genealogi) yang mendiami wilayah (teritori) tertentu. Orang tidak bisa mengukur berapa luas wilayah yang mereka diami, tetapi selalu ada kearifan lokal untuk mengukur batas-batas wilayah berdasarkan prinsip sejauh mata memandang atau sejauh batu dilempar. Semuanya merupakan organisasi masyarakat lokal yang mempunyai kepemerintahan atau kepengurusan sendiri (self governing community) yang berdasar pada adat-istiadat setempat. Adat mengandung jati diri, norma, nilai dan tata aturan untuk mengelola tanah, sumberdaya alam, warga maupun hubungan-hubungan sosial (pernikahan, kematian, sengketa, pembagian tanah, dan sebagainya). Setiap masyarakat adat mempunyai tatacara adat untuk mengelola (merawat dan membagi) tanah (kekayaan) secara komunal (bersama) dengan prinsip kesejahteraan (welfare society), keseimbangan dan berkelanjutan. Pemimpin adat ditentukan secara turun-temurun melalui jalan musyawarah tanpa pergolakan kekuasaan (politik) di dalam lingkup keluarga atau masyarakat. Pemimpin adat bukanlah jabatan yang sarat dengan kekuasaan dan kekayaan, tetapi posisi kehormatan yang sarat dengan

Legitimid KSB __________________________________________________________________________17

tanggungjawab untuk mengurus dan melindungi tanah, penduduk, keamanan, hubungan-hubungan sosial, dan sebagainya (Sutoro, 2006). Di Sumatera Barat, nagari mempunyai aturan hukum adat yang sangat kuat dalam hal pengelolaan (terutama aturan tentang pembatasan penjualan) tanah pusako. Masyarakat adat Atoin Meto di Timur Tengah Selatan (NTT) mempunyai aturan yang kuat dalam mengelola kayu cendana. Kayu cendana boleh ditebang kalau umurnya sudah tua dan harus melalui upacara adat. Suku Amungme di Timika (Papua) juga mempunyai hukum adat untuk merawat secara seimbang dan keberlanjutan terhadap S-3 (sungai, sampan dan sagu). Sungai tidak boleh dikotori, sagu tidak boleh ditebang sembarangan. Demikian juga dengan suku Dayak Kanayatn yang mendiami binua. Mereka memiliki sejumlah norma, kearifan lokal dan kesantunan yang menjunjung tinggi prinsip keteladanan, keadilan, kebersamaan, keseimbangan dan keberlanjutan dalam mengelola warga, sumberdaya alam dan hubungan sosial. Desentralisasi dapat dimaknai sebagai suatu bentuk transfer kewenangan dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada level pemerintahan yang lebih rendah, atau sektor privat untuk menjalankan fungsi-fungsi publik. Pengertian desentralisasi menurut Rondinelli dalam Adnan (2001) adalah transfer tanggungjawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat, unit yang berada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba. Berdasarkan konsep tersebut, Rondinelli (dalam Litvack et al, 1999) membagi desentralisasi dalam empat bentuk yaitu Desentralisasi Politik (Political Decentralization); Desentraliasi Administratif (Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Desentralisasi politik merupakan pemberian hak kepada warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan publik. Dengan kata lain desentralisasi politik memberikan ruang kewenangan yang lebih luas kepada lembaga perwakilan rakyat untuk lebih berperan dalam memformulasikan dan melaksanakan kebijakan publik. Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-

Legitimid KSB __________________________________________________________________________18

sumber keuangan dalam upaya penyediaan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut berkaitan dengan perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di level administratif yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu. Tiga bentuk desentralisasi administratif, yaitu (i) Dekonsentrasi (Deconcentration), pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan Pemerintah Pusat di daerah; (ii) Devolusi (Devolution), pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahandan pihak Pemerintah Daerah mendapat keleluasaan yang tidak terkontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Pusat akan memberikan suvervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam pelaksanaan tugasnya, Pemerintah daerah memiliki daerah administratif yang jelas dan legal, serta diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumbersumber penerimaan serta mengukur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari konsepsi pemikiran hierarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization; dan (iii) Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yang merupakan pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelagasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan dalam penyelenggaraan pendelagasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pemberi wewenang (sovereign-authority). Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang kepada level pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan self financing atau cost recovery dalam pelayanan publik terutama melalui pemungutan pajak dan retribusi daerah. Dalam Desentralisasi fiskal pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja yang dikenal dengan istilah cofinancing atau coproduction. Peleimpahan kewenangan fiskal berimplikasi pula terhadap peningkatan PAD, dimana daerah dapat memungut pajak properti, pajak penjualan, pajak penghasilan perorangan, dan berbagai jenis retribusi. Selain itu desentralisasi fiskal mengenai adanya trasnfer dari pemerintah pusat yang berupa sumbangan umum, sumbangan khsusus, sumbangan darurat, dan bagi hasil pajak atau penghasilan negara bukan pajak. Daerah juga memperoleh kewenangan untuk melakukan pinjaman.

Legitimid KSB __________________________________________________________________________19

Desentralisasi ekonomi merupakan pelimpahan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dari pemerintah kepada sektor privat melalui liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi dengan tujuan menciptakan efisiensi ekonomi dalam hal penyediaan barang publik. Desentralisasi, menurut Sidik (2002), dapat menjadi alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (provinsi/kabupaten/kota/desa) untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi (taxing power), terbentuknya DPRD/BPD yang diplih oleh rakyat, Kepala daerah atau kepala desa yang dipilih langsung oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi merupakan suatu bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang dan sumber daya antara lain keuangan, personil dan aset dari Pemerintah Pusat kepada level Kata pemerintahan kunci dari yang lebih rendah adalah (provinsi/kabupaten/kota/desa). desentralisasi

memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Dasar pemikirannya adalah karena masyarakatlah yang akan merasakan langsung dampak program pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Gerakan kebangkitan otonomi dalam wujud desentralisasi di Indonesia lebih sebagai respon atas kegagalan model pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik dan otoritarian. Walaupun ide-ide federalisme ditolak banyak pihak, ide-ide otonomi diadopsi sebagai salah satu agenda penting reformasi. Kebijakan pemerintah otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah (Mardiasmo, 2004). Desentralisasi menyangkut berbagai bentuk dimensi yang beragam, terutama aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan, dan pembangunan sosial dan ekonomi. Dengan demikian prinsip-prinsip utama desentralisasi adalah mempromosikan otonomi daerah/desa, perencanaanLegitimid KSB __________________________________________________________________________20

bottom-up, partisipasi penuh seluruh masyarakat dalam proses yang demokratis, kendali pemerintahan yang lebih rendah yang lebih besar terhadap sumbersumber keuangan, serta pembagian sumberdaya yang lebih berimbang antar pemerintahan secara vertikal. Desentralisasi telah menawarkan suatu kesadaran (consiousness) kepada kita bahwa ke depan, pembangunan harus dijiwai dan mengakomodasikan nilainilai lokal, kultural, dan sejarah masyarakat setempat ke dalam bentuk partisipasi yang seluas-luasnya. Proses percepatan desentralisasi dan otonomi daerah hingga hari ini masih dihadapkan banyak kendala yang menjadi beban bagi pemerintah, hingga menyentuh pada tataran pemerintahan di tingkat desa. Dalam memahami desentralisiasi desa sebagai sebuah proses untuk menemukan dan merumuskan langkah-langkah konkrit yang harus ditempuh agar pemahaman desentralisiasi desa dengan berbagai konsekwensinya (keuntungan dan kerugian) dapat dipahami dan segera diantisipasi oleh seluruh lapisan masyarakat (Maryunani, 2006). Desentralisasi desa pada prinsipnya merupakan pelimpahan sebagian urusan atau kewenangan pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi kepada desa yang diikuti pula dengan adanya pembiayaan. Desa sesungguhnya telah memiliki kewenangan berdasarkan asal usul desa, namun demikian saat ini desa juga mempunyai kewenangan tambahan yang merupakan bagian dari desentralisasi pemerintahan, antara lain: a. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; b. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan c. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. Kewenangan yang beragam dimiliki desa bukan tidak menimbulkan permasalahan. Dengan adanya masalah-masalah tersebut, maka desa sesungguhnya membutuhkan kejelasan ruang lingkup kewenangan yang nyata dalam hal pengelolaan keuangan dan ekonomi. Ketersediaan regulasi atau kebijakan yang berpihak kepada upaya realisasi desentralisasi desa akan sangat membantu.

2.2.3. Pengertian Angggaran

Legitimid KSB __________________________________________________________________________21

Secara umum anggaran dapat diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu institusi atau lembaga tertentu untuk suatu periode di masa yang akan datang. Anggaran juga dipahami sebagai pernyataan yang berisi perincian penerimaan dan belanja operasional maupun belanja modal, bersama dengan rencana untuk tahun yang akan datang (Tony Byrne dalam Rinusu, 2003:1). Menurut Syamsi dalam Basri (2003:33) mendefiniskan, anggaran adalah hasil perencanaan yang berkaitan dengan bermacam-macam kegiatan secara terpadu yang dinyatakan dalam satuan uang dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan Munandar (2001:1) mengatakan bahwa anggaran (budget) adalah suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan datang. Pengertian anggaran negara sebagaimana dikemukakan oleh John F Due dalam Rinusu (2003:1), yaitu: Anggaran Negara adalah suatu pernyataan tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu. Sedangkan menurut Sabeni dan Gozali dalam Burhanuddin (1999:13) anggaran pemerintah atau negara didefinisikan sebagai pedoman bagi segala tindakan yang akan dilaksanakan dan di dalam anggaran disajikan rencana-rencana penerimaan dan pengeluaran dalam satuan rupiah yang disusun menurut klasifikasinya secara sistematis. Masih berkaitan dengan anggaran negara Suparmoko dalam Basri (2003:33) mendefiniskan, anggaran (budget) adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu satu tahun. Sedangkan pengertian mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, Pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, selanjutnya disingkat APBDesa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa, dan ditetapkan dengan peraturan desa. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 disebutkan dalam Pasal 1 ayat 15 bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APB Desa adalah rencana keuangan tahunan

Legitimid KSB __________________________________________________________________________22

Pemerintahan Desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan BPD yang ditetapkan dengan Peraturan Desa. Sedangkan yang dimaksud dengan Keuangan desa dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik desa yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan desa merupakan hak dan sekaligus kewajiban desa sebagai konsekuensi adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota kepada desa. Pelimpahan kewenangan kepada desa yang disertai dengan pembiayaan ini berkaitan dengan prinsip money follow functions yang tercermin dalam undangundang tentang perimbangan keuangan pusat daerah atau di beberapa daerah dikuatkan dengan peraturan daerah tentang perimbangan keuangan kabupatendesa. Prinsip money follow function mengacu pada prinsip bahwa setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut (Bahl dalam Saragih, 2003). Dalam konteks Indonesia, realisasi prinsip ini tampak dalam kebijakan sumber pembiayaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan desa. Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Untuk penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Wewenang pengelolaan keuangan desa berada di tangan kepala desa yang perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan dan pelaporannya dapat dilimpahkan kepada perangkat desa. Pengelolaan keuangan desa dapat diatur dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan bupati/walikota yang tersedia. Berbagai aspek pengelolaan keuangan desa diwujudkan dalam bentuk anggaran yaitu estimasi atau rencana penggunaan sejumlah uang oleh suatu institusi untuk mendukung kinerja kegiatan yang terpilih dengan sumber tertentu dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Anggaran mempunyai nilai strategis dalam penyelenggaraan pemerintah.Legitimid KSB __________________________________________________________________________23

Terutama dalam anggaran pemerintah ini, nilai strategis ini terkandung dalam fungsinya. Menurut Mardiasmo (2004) anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu pertama, sebagai alat perencanaan; kedua, sebagai alat pengendalian, ketiga, sebagai alat kebijakan fiskal, keempat, sebagai alat politik, kelima, sebagai alat koordinasi dan komunikasi, keenam, sebagai alat penilaian kinerja, ketujuh, sebagai alat motivasi, dan ke delapan, sebagai alat menciptakan ruang publik. Sebagai alat perencanaan, anggaran dibuat untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. Sebagai alat pengendalian, anggaran memberikan rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Tanpa anggaran, pemerintah tidak dapat mengendalikan pemborosan-pemborosan pengeluaran. Anggaran sebagai instrumen pengendalian digunakan untuk menghindari adanya overspending, underspending dan salah sasaran (misapropriation) dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas. Sebagai alat kebijakan fiskal, anggaran digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran publik tersebut dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk mendorong, memfasilitasi dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sebagai alat politik, anggaran digunakan untuk memutuskan prioritasprioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Pada sektor publik, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legialatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. Sebagai alat koordinasi dan komunikasi, anggaran merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan. Anggaran publik disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Disamping itu anggaran juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja dalam lingkungan eksekutif, anggaran harus dikomunikasikan seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan. Sebagai alat penilaian kinerja, anggaran merupakan wujud komitmen dariLegitimid KSB __________________________________________________________________________24

budget holder (eksekutif) kepada pemberi wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik dinilai berdasarkan berapa yang berhasil ia capai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kinerja. Sebagai alat motivasi, anggaran dapat digunakan untuk memotivasi manajer dan stafnya agar bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Agar dapat memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but achievable. Maksudnya adalah target anggaran hendaknya jangan terlalu tinggi sehingga dapat dipenuhi, namun juga jangan terlalu rendah sehingga terlalu mudah untuk dicapai. Sebagai alat menciptakan ruang publik, anggaran tidak boleh diabaikan oleh stakeholders yang terlibat dalam anggaran. Kelompok masyarakat yang terorganisir akan coba mempengaruhi anggaran pemerintah untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang terorganisasi akan mempercayakan aspirasinya melalui proses politik yang ada. dengan disusunnya anggaran, yaitu: a. sebagai suatu bantuan dalam membuat dan mengkoordinasikan perencanaan jangka pendek; b. sebagai suatu alat untuk mengkomunikasikan rencana-rencana kepada berbagai manajer pusat pertanggungjawaban; c. sebagai suatu cara pemberian motivasi kepada manajer untuk mencapai tujuan pusat pertanggungjawaban; d. sebagai tolok ukur untuk mengendalikan kegiatan secara kontiniu; e. sebagai suatu pedoman untuk mengevaluasi prestasi pusat pertanggungjawaban dan manajernya; f. sebagai suatu cara mendidik manajer. Dari keenam butir di atas dapat diketahui bahwa keberadaan anggaran mampu memberikan dampak positif bagi semua pihak. Hal ini tampak pula dari manfaat-manfaat yang disebutkan oleh Garrison (1985:298) yang menyatakan manfaat penyusunan anggaran adalah: 1. Manajer diharuskan untuk lebih memprioritaskan penyusunan rencana dari pada kewajiban lainnya; 2. Memungkinkan manajer untuk memformulasikan upaya perencanaannya; 3. Menyajikan sasaran dan tujuan dengan pasti yang berfungsi sebagai benchmarks, untuk mengevaluasi prestasi berikutnya; 4. Dapat menemukan gejala kemacetan yang potensial sebelum kemacetan tersebut terjadi; Menurut Anthony and Reece (1979:819) menyebut enam manfaat yang dapat diperoleh perusahaan

Legitimid KSB __________________________________________________________________________25

5. Dapat mengkoordinasikan aktivitas organisasi secara menyeluruh melalui integrasi rencana dan sasaran berbagai bagian dalam organisasi. Sedangkan menurut Agus Ahyarai (1988:5-7) penggunaan anggaran di dalam perusahaan mendapatkan beberapa manfaat yang cukup besar, antara lain sebagai berikut: a. b. c. d. e. terdapatnya perencanaan terpadu; terdapatnya pedoman pelaksanaan kegiatan perusahaan; terdapatnya alat koordinasi dalam perusahaan; terdapatnya alat pengawasan yang baik; dan terdapatnya alat evaluasi kegiatan perusahaan. Sementara itu, bagi negara menurut Djamaluddin (1982:15) paling tidak

ada dua manfaat yang bisa diambil dari anggaran, yaitu: a. sebagai alat dan media bagi pemerintah untuk membangun peri kehidupan masyarakat yang tuntutannya semakin berkembang dan dinamis sepanjang masa yang tercermin dalam jenis-jenis kegiatan yang dianggarkan; b. sebagai alat atau media untuk mendorong rakyat dalam memenuhi kewajibannya sebagai warga negara yang baik yang tercermin dalam kegiatan penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak-pajak dan retribusi di samping sumber-sumber penerimaan lainnya. Anggaran daerah menurut Rinusu (2003:3), paling tidak memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu: (1). Sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerah, terutama keuangan daerah untuk satu periode di masa yang akan datang; (2). Sebagai instrument pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah; dan (3). suatu anggaran yaitu: a. Fungsi alokasi, mengandung arti kegiatan penyusunan anggaran merupakan sarana untuk penyediaan barang dan jasa sosial dalam rangka pemenuhan pelayanan publik. b. Fungsi distribusi, yaitu penyusunan anggaran merupakan mekanisme pembagian secara merata dan berkeadilan atas berbagai sumber daya dan pemanfaatannya. c. Fungsi stabilisasi, pajak dan pengeluaran akan mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Untuk pengaturan pajak dan pengeluaran tersebut sangat penting artinya untuk menjaga stabilitas ekonomi, seperti penciptaan lapangan kerja dan pengendalian laju inflasi. Sebagai instrument untuk menilai kinerja

pemerintah.Sedangkan menurut Musgrave (1991:6-12) ada 3 fungsi utama dari

Anggaran negara/daerah (desa) pada hakikatnya bersumber dari rakyat dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Karena itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus miskin dan responsif gender. bercermin pada kebutuhan riil dan keadilan. Berkeadilan dimaknai sebagai berpihak pada orang

Legitimid KSB __________________________________________________________________________26

2.2.4. Struktur Anggaran dan APBDesa Pada umunya di Indonesia, struktur anggaran pemerintah merupakan satu kesatuan yang terdiri atas pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Oleh karena itu, berdasarkan PP 72 Tahun 2005 maka struktur APBDesa juga merupakan satu kesatuan yang terdiri atas (1) pendapatan desa, (2) belanja desa, dan (3) pembiayaan. Bagian pertama yang menjadi komponen APBDes adalah pendapatan, yaitu semua penerimaan desa baik dalam bentuk uang dalam periode anggaran tertentu yang maupun barang yang menjadi hak desa. Adapun sumber pendapatan desa menurut Undang-undang 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, terdiri dari: a. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong-royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah; b. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa; c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa; d. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Bagian kedua dari APBDes adalah belanja desa yang pada prinsipnya merupakan semua pengeluaran kas dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban desa. Bagian ketiga dari APBDes adalah pembiayaan, yaitu transaksi keuangan yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan dan belanja desa. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun berikutnya.

2.2.5. Proses Penganggaran di Desa Penganggaran adalah suatu proses menyusun rencana keuangan yaitu pendapatan dan pembelanjaan, dan pendapatan tersebut dialokasikan kepada masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai. Di dalam pemerintahan tahap-tahap penganggaran atau lebih dikenal sebagai siklus anggaran menurut Sabeni dalam Burhanuddin (1999:24) merupakan masa atau jangka waktu mulai saat disusun sampai dengan saat perhitungan anggaranLegitimid KSB __________________________________________________________________________27

disahkan dengan undang-undang. Selanjutnya dikatakan bahwa siklus anggaran terdiri dari beberapa tahap, yaitu: a. b. c. d. e. Tahap penyusunan anggaran; Tahap pengesahan anggaran; Tahap pelaksanaan anggaran; Tahap pengawasan pelaksanaan anggaran; Tahap pengesahan perhitungan anggaran.

Senada dengan pendapatan di atas, Menurut Mardiasmo (2004) siklus anggaran terdiri dari beberapa tahap, yaitu (a) Tahap persiapan anggaran (preparation), (b) Tahap ratifikasi (approval/ratification), (c) Tahap implementasi (implementation) dan Tahap pelaporan dan evaluasi (reporting and evaluation). Senada dengan pendapat di atas, Rinusu (2003) mengatakan bahwa proses penganggaran untuk pemerintah daerah terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, tahap pembahasan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengawasandan evaluasi. Tahap perencanaan merupakan penyiapan seperangkat rujukan yang ingin dicapai pada masa yang akan datang atau pada waktu tertentu. Tahap ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

1. Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbang Desa) yang dikikutipeserta dari Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), tokoh masyarakat. Musrenbang Desa adalah forum musyawarah tahunan stakeholders desa (pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalahan desanya dan pihak yang akan terkena dampak hasil musyawarah) untuk menyepakati rencana kegiatan tahun anggaran berikutnya. Dalam Surat Edaran Bersama Kepala BAPPENAS/Menteri Koordinator Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 Nomor 1181/M.PPN/02/2006-050/244/SJ/2006 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Tahun 2006 dikatakan bahwa Musrenbang Desa dilaksanakan dengan memperhatikan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM Desa), kinerja implementasi rencana tahun berjalan serta masukan dari nara sumber dan peserta yang menggambarkan permasalahan nyata yang sedang dihadapi. Musrenbang Desa diselenggarakan dengan tujuan antara lain sebagai berikut: a. Menampung dan menetapkan prioritas kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari musyawarah perencanaan pada tingkat di bawahnya.Legitimid KSB __________________________________________________________________________28

b. Menetapkan prioritas kegiatan desa yang akan dibiayai melalui Alokasi Dana Desa yang berasal dari APBD Kabupaten maupun sumber pendanaan lainnya. c. Menetapkan prioritas kegiatan yang akan diajukan untuk dibahas pada Musrenbang Kecamatan. Salah satu hasil Musrenbang Desa adalah prioritas kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah desa pada tahun berikutnya. Prioritas kegiatan tersebut menjadi pertimbangan pemerintah desa dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). RKPDesa dijadikan bahan acuan oleh pemerintah desa untuk menyusun Rancangan APBDesa.

2. Rancangan APBDesa yang disusun oleh pemerintah desa kemudian diajukankepada BPD untuk dibahas dalam Musyawarah Badan Permusyarawatan Desa (BPD). Selama proses pembahasan ini BPD diperbolehkan untuk mencari masukan dari masyarakat melalui mekanisme hearing.

3. RAPBDesa kemudian ditetapkan menjadi APBDesa dengan Peraturan Desa. 4. Tahap terakhir adalah tahap pengawasan dan evaluasi. Pengawasan keuangandesa adalah segala tindakan untuk menjamin agar pengelolaan keuangan desa berlangsung sesuai dengan rencana, aturan-aturan, dan tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan ini penting untuk mendeteksi penyimpangan anggaran. Adanya partisipasi masyarakat akan sangat membantu mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa dalam pelaksanaan peraturan desa tentang APBDesa.

2.2.6. Prinisip-prinisip penyusunan anggaran

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dalam pasal 2 disebutkan bahwa Keuangan desa dikelola berdasarkan azas-azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Menurut Rinusu (2003:4-6), ada beberapa prinsip dasar yang harus diakomodir, dalam penyusunan anggara yaitu: a. Transaparan Anggaran hendaknya dapat memberikan informasi tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Oleh karena itu, dalam setiap proses penganggaran harus dilakukan secara transparan.

Legitimid KSB __________________________________________________________________________29

b. Partisipatif Masyarakat harus dilibatkan dalam setiap proses penganggaran, demi menjamin adanya kesesuaian antara kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan peruntukan anggaran. Selain itu juga untuk memainkan peran kontrol masyarakat sehingga dapat mencegah dan menemukan praktek korupsi. c. Disiplin Penyusunan anggaran harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat, tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Disiplin penting untuk mencegah terjadinya pencampuradukan dan duplikasi anggaran di samping juga berkaitan dengan ketepatan waktu dalam pengimplementasian untuk menghindari kebocoran maupun pemborosan. d. Keadilan Pembiayaan pemerintah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dibebankan kepada segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil sehingga bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan. e. Efisiensi dan Efektivitas Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menghasilkan peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Untuk itu dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari setiap proyek yang diprogramkan. f. Rasional dan Terukur Dalam menyusun anggaran baik menyangkut sisi pendapatan maupun pengeluaran harus memperhatikan aspek rasionalitas anggaran dan dapat diukur, yaitu (1). Jumlah pendapatan yang dianggarkan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan; (2). Jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Latar Belakang dan Kedudukan ADD dalam APBDesa Pada prinsipnya kebijakan ADD merupakan upaya yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam mewujudkan adanya desentralisasi desa yang luas, nyata dan bertanggungjawab sesuai dengan spirit Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Desentralisasi desa ini pada prinsipnya juga merupakan pelimpahan sebagian urusan atau kewenangan pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi kepada desa. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Desa mendapatkan kembali kewenangannya yang tidak hanya sebatas pada kewenangan yang bersumber dari asal usul, tetapi desa juga memperoleh kewenanganLegitimid KSB __________________________________________________________________________30

2.2.7.

tambahan yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berbagai kewenangan tersebut tentunya akan berjalan baik jika diikuti pula dengan adanya pengalokasian pembiayaan. Oleh sebab itulah, maka Menteri Dalam negeri melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 140/537/SJ tanggal Jakarta, 17 Maret 2006 perihal Pemantapan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa meminta perhatian gubernur, bupati/walikota, dan pimpinan DPRD seluruh Indonesia agar mengupayakan peningkatan dan pemantapan sumber-sumber keuangan Desa melalui penetapan kebijakan Alokasi Dana Desa, dengan berpedoman pada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 140/640/SJ tanggal 22 Maret 2005 perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa. Secara ekplisit setidaknya ada lima alasan atau dasar pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan ADD secara nasional, , antara lain: 1. Melaksanakan amanat Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakankebijakan tentang desa, terutama dalam memberi pelayanan, peningkatan peranserta, peningkatan prakarsa dan pemberdayaan masyarakat desa yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat. 2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa keseluruhan belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah. 3. Hasil penelitian Tim Studi Alokasi Dana Desa di beberapa Kabupaten menunjukkan bahwa pelaksanaan alokasi dana desa dapat meningkatkan peran pemerintah desa dalam memberikan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. 4. Dalam rangka meningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, desa mempunyai hak untuk memperoleh bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. 5. Pemberian Alokasi Dana Desa merupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa otonomi itu asli, sendiri berdasarkan dan keanekaragaman, partisipasi, demokratisasi

pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil Penelitian FPPD, menyebutkan bahwa ada lima faktorLegitimid KSB __________________________________________________________________________31

yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan ADD, yakni ;(1) Romantisme dan semangat mengisi OTDA, (2) Kebijakan memanfaatkan UU No. 22/1999 sebagai landasan mewujudkan OTDES yang ideal, (3) Merespon tuntutan proposal pembangunan desa yang banyak, (4) Tuntutan dari masyarakat sipil dan LSM, dan (5) Kebijakan populis bupati. Kelima faktor itu tidak muncul semuanya di setiap kabupaten dan setiap kabupaten mempunyai memiliki konteks kelahiran yang khas (Hudayana, 2005). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pasal 68 ayat 1 poin c dikatakan bahwa alokasi dana desa adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah kabupaten/Kota untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Alokasi Dana desa pasal 1 ayat 15 disebutkan bahwa Alokasi Dana Desa yang selanjutnya disingkat ADD adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah untuk Desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Daerah. Dalam struktur APBDesa, ADD merupakan salah satu sumber pendapatan desa. ADD merupakan bagian dari sumber pendapatan desa yang cukup memberikan sumbangan yang signifikan terhadap APBDesa. Selain karena ketersediannya bersifat pasti, ADD juga merupakan komponen utama dari belanja rutin dan belanja pembangunan desa. 2.2.8. Arah dan Tujuan ADD dalam Pembangunan Desa Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Sumbawa Barat, pasal 2 disebutkan bahwa Alokasi Dana Desa dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintahan Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Adapun tujuan dari Alokasi Dana Desa (ADD), pasal 3 adalah ; a. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintah, pembangunan dan kemasyaratan sesuai dengan kewenangan ; b. meningkatkan kemampuan lembaga kemasyaratan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa ; c. memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat di desa ; d. mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.

Legitimid KSB __________________________________________________________________________32

Pada prinsipnya kebijakan ADD merupakan bentuk komitmen pemerintah pusat dalam upaya mewujudkan otonomi desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Sedangkan yang dimaksud dengan Pembangunan adalah merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinu dan terus menerus dari suatu keadaan tertentu kepada suatu keadaan yang dianggap lebih baik. Dan di negara-negara baru berkembang usaha pembaharuan ini pada umumnya dilakukan dengan peranan pemerintah yang aktif dan dengan usaha secara berencana. Pembangunan yang meliputi segala segi kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh masyarakat. Tidak saja dari pengambil kebijakan tertinggi, perencana, pemimpin pelaksanaan operasional, tetapi juga dari petani-petani yang masih tradisional, nelayan, buruh dan pedagang kecil (Tjokroamidjojo, 1996 :206). Pemikiran tersebut dapat dimaknai bahwa bahwasanya partisipasi masyarakat setempat sangat menentukan keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan, termasuk didalamnya pembangunan desa. Ndraha (1990 : 100) mengungkapkan bahwa pembangunan masyarakat pedesaan lazim disebut pembangunan pedesaan (rural development) atau pembangunan desa (village development). Namun demikian perlu ditarik perbedaan antara permbangunan di pedesaan (desa) dengan pembangunan pedesaan. Pengertian yang pertama berarti pembangunan nasional yang berlokasi di desa, sedangkan pengertian yang kedua berarti pembangunan desa yang diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip dan jiwa pembangunan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan, bahwa kendatipun pembangunan masyarakat di Indonesia diberi nama pembangunan masyarakat desa, yang dilaksanakan baik di pedesaan maupun di daerah perkotaan. Namun yang dimaksud dengan masyarakat desa atau desa di dalam pembangunan masyarakat desa adalah community juga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan desa dimulai dengan membangun masyarakat. Pembangunan masyarakat yang berpusat pada sumber daya manusia (SDM) dengan pendekatan derivatifnya yang berbentuk pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas, diharapkan dapat ikut mewujudkan sustainable development (pembangunan yang berkelanjutan). Namun hal ini tidaklah mudah, karena menyangkut reformasi struktur, reorientasi nilai dan perubahan sikap, prilaku birokrasi dan masyarakat. Sumodiningrat (1999) menjelaskan bahwa pembangunan masyarakat merupakan program sektoral yang umumnya berorientasi pada peningkatan produksi dan pembangunan prasarana serta sarana fisik yang secara langsungLegitimid KSB __________________________________________________________________________33

menunjang pemenuhan kebutuhan dasar : pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Pelaksanaan program sektoral pada umumnya dikelola secara terpusat yang dimasukkan dalam program daerah. Salah satu program pembangunan daerah itu sendiri adalah pembangunan desa. Pembangunan desa ini diarahkan pada perluasan kesempatan kerja, pengembangan potensi desa dan peningkatan kemampuan masyarakat dan warga desa. Pemerintah dalam hal ini masih memberikan bantuan dalam bentuk bantuan pembangunan yang diberikan kepada suatu desa sebagai stimulan untuk meningkatkan kemampuan desa dalam pengerahan sumber daya yang dimilikinya. Bantuan pembangunan ini dilakukan untuk mempercepat upaya pemberdayaan masyarakat yang pada gilirannya akan dapat mewujudkan pembangunan desa itu sendiri. Dalam kebijakan pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Maka pembangunan desa oleh Mubyarto (1988) didefinisikan sebagai pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong royong. Secara empirik pembangunan desa menggunakan tiga model, yaitu : pembangunan desa berbantuan, pembangunan desa sektoral, dan pembangunan desa berswadaya. Pembangunan desa berbantuan adalah pembangunan desa yang diarahkan untuk pembangunan prasarana desa dengan mendapat bantuan dana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan mendorong partisipasi masyarakat, baik dalam bentuk dana, bahan dan tenaga maupun dalam bentuk pemikiran. Pembangunan sektoral adalah pembangunan yang dibiayai dan dilaksanakan oleh instansi vertikal dengan mengikutsertakan masyarakat secara terbatas. Sedangkan pembangunan desa berswadaya adalah pembangunan desa yang dilaksanakan berdasarkan swadaya masyarakat dan pemerintah desa melalui LKMD atau sebutan lainnya. Pembangunan desa adalah pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip dan jiwa pembangunan masyarakat serta diarahkan pada perluasan kesempatan kerja, pengembangan potensi desa dan peningkatan kemampuan masyarakat desa. Paradigma pembangunan berwawasan manusia harus dimaknai bahwa manusia (rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan dan kapasitas manusia merupakan sumber daya yang paling penting. Penempatan manusia sebagai subyekLegitimid KSB __________________________________________________________________________34

pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya (Kuncoro, 1997:168). Menurut Tampubolon (2005:7) bahwa pembangunan masyarakat

(community development) adalah sebagai berikut: a. Pembangunan masyarakat merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganiser dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi (follow-up activity and evaluation). b. Pembangunan masyarakat bertujuan memperbaiki (to improve) kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. c. Pembangunan masyarakat memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhankebutuhan mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan. d. Pembangunan masyarakat memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama (group action) di dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat. Kawasan pedesaan sendiri selama ini dicirikan oleh rendahnya

produktivitas tenaga kerja, tingginya tingkat kemiskinan serta rendahnya kualitas permukiman. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat 60 persen penduduk Indonesia tinggal di pedesaan. Rendahnya produktivitas tenaga kerja ditunjukkan besarnya tenaga kerja yang ditampung sektor pertanian (46,26 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja), padahal sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional menurun menjadi 15,9 persen. Sementara tingginya tingkat kemiskinan ditunjukkan dengan jumlah penduduk miskin (head count) (Tahun 2003 jumlah penduduk miskin 37,3 juta jiwa, 20,2 persen diantaranya ada di pedesaan) (RPJM Nasional 2004-2009, 2005:252). Beberapa masalah yang dihadapi pedesaan dan perlu segera direspons oleh para pemegang kebijakan saat ini diantaranya: (1) Terbatasnya lapangan kerja; (2) Lemahnya kegiatan ekonomi; (3) Hambatan distribusi dan perdagangan; (4) Kerentanan petani dan pelaku usaha di pedesaan; (5) Rendahnya penguasaan aset oleh masyarakat pedesaan; (6) Rendahnya pelayanan sarana dan prasarana; (7) Rendahnya kualitas SDM; (8) Meningkatnya konversi lahan pertanian subur bagi peruntukan lain; (9) Degradasi SDA dan lingkungan hidup; (10) Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat; (11) Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan pedesaan.

Legitimid KSB __________________________________________________________________________35

Mencermati berbagai persoalan yang muncul sebagaimana di atas, maka pilihan pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat menjadi sangatlah penting. Wahyono et. al. (2001:8) menyatakan bahwa pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self-reliant communities) sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan memberikan peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku (aktor) yang menentukan hidup mereka. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people-centered development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal (community-based resources management) yang merupakan mekanisme perencanaan people-centered development yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan program. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya (empowernment). Soegijono dkk dalam Soekamto (2004) menyatakan: Terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin, (1) pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni berpihak kepada orang miskin, (2) pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi, dan (3) pendekatan pendampingan, artinya selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu didampingi oleh pendamping yang profesional sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian.

Dalam Prijono dan Pranarka (1996:3), kata empowerment dan empower diterjemahkan menjadi pemberdayaan dan memberdayakan yang harus diucapkan secara hati-hati, agar tidak terpeleset menjadi memperdayakan. Menurut Webster dan Oxford English Dicyionery kata empower mengandung dua arti yaitu (1) to give power or authority to, diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, dan (2) to give ability to or enable, diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat khususnya yang kurang memiliki akses kepada sumber dayaLegitimid KSB __________________________________________________________________________36

pembangunan

didorong

untuk

meningkatkan

kemandirian

dalam

mengembangkan perikehidupan mereka. Terdapat empat strategi yang dapat ditawarkan dalam memberdayakan masyarakat di tingkat kelurahan/desa, yaitu (1) memberdayakan masyarakat dengan mensosialisasikan peran masyarakat sebagai subyek, (2) mendayagunakan mekanisme penyelenggaraan pembangunan/ pemberdayaan masyarakat secara lebih aspiratif/demokratis, efektif dan efisien, (3) mobilisasi sumber daya manusia seperti tenaga, pikiran dan kemampuan sesuai dengan profesionalismenya, dan (4) memaksimalkan peran pemerintah khususnya pemerintahan kelurahan dalam memfasilitasi dan mengatur guna kelancaran penyelenggaraan pembangunan/pemberdayaan masyarakat. (Prasojo: 2004).

Selanjutnya untuk memberdayakan masyarakat tentunya harus melalui proses pendekatan yang tidak membuat aneh dan kaget serta curiga masyarakat sehingga pemberdayaan dapat diterima oleh masyarakat. Seperti yang dikemukakan tokoh gerakan pembangunan masyarakat China, Y.C. Yen (1920) dalam Islamy (2004) yang mengatakan bahwa setiap penggerak pembangunan yang akan memberdayakan masyarakat harus: 1) 2) Go to people, mendatangi masyarakat yang hendak diberdayakan; Live among the people, hidup dan tinggallah dengan mereka agar kita mengenal dengan baik kepentingan dan kebutuhannya; Learn from the people, belajarlah dari mereka supaya dapat dipahami apa yang ada di benak mereka, potensi apa yang mereka miliki; Plan with the people, ajak dan ikutkan masyarakat dalam proses perencanaan; Work with the people, ajak dan libatkan mereka dalam proses pelaksanaan rencana; Start with what the people know, mulailah dari apa yang masyarakat telah tahu dan pahami; Build on what the people have, bangunlah sesuatu dari modal apa yang masyarakat punyai; Teach by showing, learn by doing, ajarilah masyarakat dengan contoh konkrit/nyata; Not a showcase, but a pattern, jangan dipameri mereka dengan sesuatu yang menyilaukan, tetapi berikanlah kepada mereka suatu pola;

3)

4)

5)

6)

7)

8)

9)

Legitimid KSB __________________________________________________________________________37

10) Not odds and ends, but a system, jangan tunjukkan kepada mereka sesuatu yang aneh dan akhir dari segalanya, tetapi berikanlah kepada mereka suatu sistem yang baik dan benar; 11) Not piecemeal, but integrated approach, jangan menggunakan pendekatan yang sepotong-sepotong, tetapi pendekatan menyeluruh dan terpadu; 12) Not to conform, but to transform, bukan penyesuaian cara/model, tetapi transformasi model; 13) Not relief, but release, jangan berikan penyelesaian akhir kepada mereka, tetapi beri kebebasan kepada mereka sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan biasanya selalu dikaitkan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Craig dan Mayo dalam Prasojo (2004) menyatakan: Partisipasi merupakan komponen terpenting dalam upaya pertumbuhan kemandirian dan proses pemberdayaan. Strategi pemberdayaan menempatkan partisipasi masyarakat sebagai isu utama pembangunan saat ini. Partisipasi aktif masyarakat di Dunia Ketiga dinilai sebagai strategi aktif untuk meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Dengan partisipasi, pembangunan dapat menjangkau masyarakat terlemah melalui upaya membangkitkan semangat hidup untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini, partisipasi aktif masyarakat terkait dengan efektivitas, efisiensi, kemandirian dan jaminan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Adapun bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat penerima program pembangunan, menurut Cohen dalam Syamsi (1986:114) terdiri dari partisipasi dalam pengambilan keputusan (decision making), implementasi, pemanfaatan (benefit) dan evaluasi program pembangunan. Keempat macam partisipasi tersebut merupakan suatu siklus yang dimulai dari decision making, implementasi, benefit dan evaluasi, kemudian merupakan umpan-balik bagi decision making yang akan datang. Namun dapat pula dari decision making langsung ke benefit atau pada evaluasi, begitu pula mengenai umpan baliknya. Di samping keempat bentuk partisipasi dari Cohen tersebut, Conyers (1992:154) perlu menambahkan satu lagi, yaitu masyarakat sebagai penerima program perlu dilibatkan dalam identifikasi masalah pembangunan dan dalam proses perencanaan program pembangunan. Sementara Ndraha (1990:103-104) membagi bentuk atau tahap partisipasi menjadi 6 (enam) bentuk/tahapan, yaitu:

Legitimid KSB __________________________________________________________________________38

a. partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial; b. patisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaa