Laporan Bulanan - kiblat.net · peristiwa yang dicatat sejarah, meski tampaknya remang-remang,...

36
1 SYAMINA SYAMINA Edisi X/ Maret 2014 Laporan Bulanan APAKAH ARAB SPRING SAMA DENGAN SykeS-Picot’S Autumn? Apakah Arab Spring Sama Dengan Sykes- Picots’s Autumn? 1 Menggeser Musuh 14 Genosida Muslim Republik Afrika Tengah 27 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: [email protected]. Seluruh laporan kami bisa didownload di website: www.syamina.org P erang Dunia I yang terjadi pada rentang tahun 1914- 1918 dipandang berbagai kalangan sebagai satu penanda penng perubahan sosial, peta perpolikan, perekonomian, militer, dan diplomak global di awal abad 20. Dalam rentang masa itu, banyak periswa-periswa yang dampaknya terus berlanjut hingga kini. Baik yang berskala internasional, regional maupun lokal. Salah satu periswa yang dicatat sejarah, meski tampaknya remang- remang, adalah diadakannya Perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian ini sangat menentukan bagi perjalanan negara- negara Arab yang ada sekarang ini sekaligus berdampak signifikan terhadap berbagai pergolakan di Timur Tengah di alam modern.

Transcript of Laporan Bulanan - kiblat.net · peristiwa yang dicatat sejarah, meski tampaknya remang-remang,...

1

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

ApAkAh ArAb Spring SAMA dENgAN

SykeS-Picot’S Autumn?

Apakah Arab Spring Sama dengan Sykes-picots’s Autumn? 1Menggeser Musuh 14genosida Muslim Republik Afrika Tengah 27

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: [email protected].

Seluruh laporan kami bisa didownload di website: www.syamina.org

Perang Dunia I yang terjadi pada rentang tahun 1914-1918 dipandang berbagai kalangan sebagai satu

penanda penting perubahan sosial, peta perpolitikan, perekonomian, militer, dan diplomatik global di awal abad 20. Dalam rentang masa itu, banyak peristiwa-peristiwa yang dampaknya terus berlanjut hingga kini. Baik yang berskala internasional, regional maupun lokal. Salah satu peristiwa yang dicatat sejarah, meski tampaknya remang-remang, adalah diadakannya Perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian ini sangat menentukan bagi perjalanan negara-negara Arab yang ada sekarang ini sekaligus berdampak signifikan terhadap berbagai pergolakan di Timur Tengah di alam modern.

2

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

perang dunia I

Ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian untuk membantu memahami terjadinya Perang Dunia I. Ketiga poin ini melibatkan kekuatan-kekuatan raksasa Eropa pada masa itu: Britania Raya (Inggris), Perancis, dan Rusia dalam satu kubu the Entente powers atau Allied Powers (Kekuatan Sekutu), sedangkan di kubu lainnya Jerman dan Austria-Hongaria dengan sebutan the central powers (Kekuatan Sentral). Italia, Bulgaria, Amerika Serikat (saat itu belum menjadi ‘Super Power’), Iran dan Khilafah Turki Utsmani, yang awalnya netral, pada perkembangannya ikut terseret dalam perang.

Pertama, negara-negara kuat Eropa itu terlibat persaingan untuk saling memperluas kawasan jajahan luar negeri mereka dengan tujuan memperkuat pengaruh politik dan kondisi perekonomian negara. Turki Utsmani, yang pada saat itu tengah mengalami masa-masa kemerosotan—hingga mereka juluki “the Sick Man of Europe—merupakan sasaran empuk yang siap mereka perebutkan.

Wilayah-wilayah Turki Utsmani yang dibidik antara lain: Selat Turki karena letaknya yang sangat strategis, negeri-negeri di Jazirah Arab karena kekayaan alam sekaligus letak strategisnya sebagai penghubung tiga benua, wilayah sepanjang Mediterania, dan Semenanjung Balkan yang terletak di daratan Eropa.

kedua, dua di antara negara-negara kuat Eropa tersebut—Austria-Hongaria dan Rusia—merupakan imperium yang berkomposisi multi-bangsa yang mana tren nasionalisme modern yang tengah berkembang saat itu cukup menjadi ancaman berarti bagi struktur politik dan kewilayahan mereka. Austria secara khusus merasa sangat terancam oleh nasionalisme Serbia.

Sebab, di dalam wilayah kekuasaan Austria hidup jutaan rakyat yang menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa Serbia-Kroasia. Saat itu mulai mencuat isu pemisahan diri untuk bergabung dengan Serbia.

Oleh karena itu, sangat beralasan bagi Austria untuk berusaha menguasai wilayah-wilayah kekuasaan Turki Utsmani yang berada di Eropa, seperti Bosnia. Alasannya agar Serbia tidak bertambah luas dengan bergabungnya orang-orang Bosnia—yang berbahasa Serbia—menjadi bagian dari Serbia. Rusia, yang mengklaim diri sebagai pelindung Kristen Ortodoks, tentunya mem-back up Serbia beserta kepentingan-kepentingannya. Akibatnya, jika peristiwa kecil saja terjadi di kawasan Balkan maka perang antara Rusia dan Austria akan tersulut dengan mudahnya.

Poin di atas membawa dampak pada poin ketiga; sistem aliansi yang baru terbentuk—the Central Power dan the Entente—berkonsekuensi bahwa jika Rusia dan Austria berperang, maka sekutu-sekutu mereka harus turut terlibat perang. Singkat kata, semua orang tahu bahwa di tahun 1914, jika bara satu peristiwa kecil menyala, maka perang besar akan berkobar.

Pembunuhan putra mahkota Austria, Franz Ferdinand, oleh beberapa orang pemuda pelajar Bosnia saat parade di jalanan Sarajevo pada 28 Juni 1914 adalah faktor meletusnya Perang Dunia I sebagaimana dicatat sejarah. Di balik itu, berbagai tangan yang berkepentingan bermain. Kalangan nasionalis Bosnia1 salah satunya. Mereka ingin lepas dari cengkeraman Austria yang sejak 1908 secara resmi menganeksasi Bosnia dimana sejak 1870-an Austria telah mulai menjajah wilayah kekuasaan Turki Utsmani tersebut.

1 Orang-orang nsionalis Bosnia yang beragama Kristen Ortodoks mengganggap diri mereka sebagai orang Serbia, berbeda dengan orang-orang Bosnia yang Muslim. Sehingga, mereka ingin bergabung dengan Serbia.

3

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Bagi kaum nasionalis, tidak ada cara lain selain melibatkan kekuatan besar seperti Inggris dan Rusia untuk hadir menciptakan krisis di Balkan sehingga memunculkan peluang terjadinya perubahan politik dan sosial di Bosnia. Sebab dalam pandangan mereka, revolusi pemuda tanpa senjata—unsur yang tidak mereka miliki—tidak akan mungkin bisa membuat perubahan berarti.

Namun, di balik itu semua mereka tidak sadar bahwa sebetulnya itu adalah rangkaian upaya panjang dari kolonialis Eropa untuk menyeret Turki Utsmani dalam kancah perang besar untuk mengantarnya pada kematian. Kekuatan-kekuatan kolonialis Eropa menyadari bahwa the Sick Man of Europe akan segera runtuh setelah 600 tahun berdiri kokoh. Untuk alasan itu, mereka menyiapkan berbagai perangkat untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan Turki Utsmani yang membentang dari kawasan utara Afrika, Timur Tengah hingga kawasan Balkan ke dalam kontrol mereka.

peta wilayah kekuasaan Turki Utsmani hingga akhir abad ke-17

Turki Utsmani dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan mereka masuk dalam perang dengan bergabung kepada salah satu pihak. Dalam upaya penjajakan kemungkinan aliansi dengan pihak Sekutu, Utsmani melihat harga untuk itu terlalu mahal. Rusia tidak bersedia menghentikan

tuntutannya agar Turki Utsmani mengaku kalah karena kondisinya yang telah terisolasi akibat perang Balkan dan Italia sebelumnya. Selain itu, Rusia juga sangat menginginkan untuk memiliki Istanbul beserta selatnya yang membuka jalan ke Laut Mediterania, dan Blok Entente juga menekan tentara Utsmani dengan penuh hina.

Akhirnya, beberapa petinggi militer Utsmani

mengusulkan agar Turki bergabung dengan Blok

Sentral. Mereka yakin bahwa blok pimpinan Jerman

itu akan segera memenangi perang. Akhirnya, pada

2 Agustus 1914, Turki menandatangani aliansi

dengan Jerman untuk melawan Blok Sekutu.

Fakta yang terjadi adalah Blok Sentral menelan

kekalahan dalam Perang Dunia I. Hal ini jelas

merupakan sinyal kuat akan tercabik-cabiknya

wilayah kekuasaan Utsmani di kemudian hari.

Bahkan, ketika perang belum usai pun kekuatan

imperialis calon pemenang perang sudah ‘ribut-

ribut’ soal pembagian wilayah jajahan baru bekas

kekuasaan Utsmani.

Selain faktor luar negeri yang demikian kuat menekan, problem-problem internal juga menyumbang saham retaknya Turki Utsmani. Misalnya sekularisasi Turki yang dimotori oleh Gerakan Turki Muda dan juga merebaknya faham nasionalisme modern secara masif cukup berpengaruh besar pada keinginan sebagian wilayah Turki untuk memisahkan diri dari pusat.

Seruan sultan kepada kaum Muslim untuk berjihad melawan kaum imperialis Perancis di Afrika Utara, melawan Inggris di Mesir, Sudan dan India, melawan Rusia di Asia Tengah ditanggapi dingin dengan tidak adanya gerakan perlawanan yang signifikan. Salah satu alasan gagalnya seruan jihad ini adalah karena sultan Utsmani melakukan aliansi dengan kekuatan Kristen Jerman dan Austria-Hongaria.

4

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Sementara itu, di Jazirah Arab, sikap rakyat terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama memandang bahwa merebaknya perang merupakan kesempatan untuk memberontak terhadap Utsmani dan mendirikan sebuah negara kebangsaan Arab yang independen. Kelompok kedua, terdiri dari mayoritas keluarga-keluarga bangsawan Arab, menilai bahwa ini adalah kesempatan untuk mendirikan kerajaan Arab yang independen. Kelompok ketiga orang-orang Utsmani Arab memandang Khilafah Utsmani sebagai pelindung utama kaum Muslim terhadap imperialisme Eropa, oleh karenanya, mereka terus berjuang bersama Turki Utsmani sampai akhir peperangan.

peta ekspansi kolonialis Eropa hingga tahun 1914

perjanjian Sykes-picot

Lahirnya negara-negara Arab modern adalah sebuah proses panjang yang sangat rumit. Satu abad silam, wilayah jazirah Arab merupakan bagian dari Khilafah Turki Utsmani, sebuah imperium multi-etnis yang berbasis di Istanbul. Pada hari ini, peta politik dunia Arab tampak seperti suatu puzzle yang sangat acak. Suatu perjalanan yang kompleks dari peristiwa-perristiwa yang terjadi di tahun 1910-an yang mengakhiri Turki Utsmani dan bangkitnya negeri-negeri baru dengan perbatasan artifisial, yang memecah kaum Muslim satu sama lain.

Sudah jamak diketahui bahwa sebelum pertempuran militer dalam Perang Dunia I berakhir—ditandai dengan penandatanganan pernyataan kalah perang oleh Turki Utsmani pada bulan November 1918—sebenarnya Turki Utsmani sudah mengalami kekalahan. Wilayahnya di Eropa telah menyusut, wilayahnya di Arab mulai jatuh ke tangan lawan, jumlah tentara dan rakyatnya juga menurun drastis akibat perang.

pilihan Menu Serba Lezat

Setelah masuknya Khilafah Turki Utsmani ke dalam perang di kubu Blok Sentral, pada bulan April 1915, Inggris mendirikan sebuah komisi antar-departemen, diketuai oleh Sir Maurice de Bunsen, untuk mempertimbangkan kepentingan mereka di Asiatik Turki. Komite de Bunsen menganggap ada empat opsi solusi yang bisa diambil terkait dengan Turki Utsmani:

1. Pembagian wilayah tanpa syarat, hanya menyisakan negara kecil Utsmani di Anatolia;

2. Membiarkan wilayah Utsmani seperti apa adanya, namun tunduk pada zona kontrol Kekuatan Raksasa atas pengaruh perdagangan dan politik;

3. Melestarikan Utsmani sebagai negara merdeka di Asia;

4. Menciptakan negara Utsmani federal dan terdesentralisasi di Asia.

Panitia tersebut akhirnya menerbitkan British Desiderata in Turkey and Asia pada 30 Juni 1915 dan merekomendasikan pilihan keempat sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan pertahanan Kerajaan Inggris itu.

Bersamaan dengan itu pula berbagai perjanjian rahasia digelar di antara para pihak calon pemenang perang. Bahkan, hal itu dipandang lebih

5

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

penting dibandingkan operasi militer dalam perang itu sendiri. Yang intinya adalah merancang draft ‘bagi-bagi’ kekuasaan hasil pampasan perang.

Perjanjian Konstantinopel (the Constantinople Agreement, Maret-April 1915) adalah serangkaian proses tawar-menawar diplomatik yang berakhir dengan kesepakatan antara negara Sekutu (Inggris, Perancis dan Rusia) untuk menyingkirkan kebijakan Barat yang mencegah Rusia masuk ke kawasan kekuasaan Utsmani tersebut.

Penjanjian tersebut menjamin bahwa Inggris dan Perancis akan mendukung aneksasi Rusia atas kawasan perairan Konstantinopel dan wilayah di sekitarnya, asalkan Tsar Rusia menjadikan Istanbul sebagai pelabuhan bebas dan menjamin kebebasan pelayaran dagang melintasi area selat tersebut.

Kemudian, terkait dengan Italia, diadakan pula pernjanjian rahasia di London (the Treaty of London, 1915). Iming-iming Blok Sekutu kepada Italia agar bersedia ikut berperang membantu kubu mereka adalah:

Inggris, Perancis dan Rusia mengakui kepentingan Italia di Laut Mediterania dan menyetujui Italia akan mendapat bagian di wilayah tersebut.

Di Libia, dimana hak dan privilese masih berada di tangan Sultan Utsmani, akan diserahkan kepada Italia.

Wilayah Eritrea, Somalia, dan Libia akan ditambahkan lagi kepada koloni Italia jika Inggris dan Perancis berhasil memperluas imperium mereka di wilayah Afrika.

Setelah Inggris dan Perancis selesai ‘memuaskan’ keinginan Rusia dan Italia, kini tiba giliran mereka berdua untuk mengukir batas pengaruh di atas pasir Timur Tengah yang amat luas dan strategis. Perancis, khususnya, sangat berantusias untuk segera melakukan pembagian karena mereka tahu bahwa Inggris telah melakukan negosiasi dengan pihak lain.

gambar kartun yang mengilustrasikan proses bagi-bagi wilayah jajahan di antara negara-negara imperialis

6

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

hussein-McMahon Correspondence

Syarif2 Husain, yang memegang kendali atas Hijaz semasa kekuasaan Turki Utsmani, menjelang pecah Perang Dunia I, berkeinginan untuk memisahkan diri dari Utsmani dengan mendirikan negara Arab. Inggris menangkap peluang bagus untuk melemahkan kekuatan Utsmani. Sir Henry McMahon, komisioner tinggi Inggris yang berkedudukan di Mesir, mengadakan komunikasi dengan Husain. Surat-menyurat antara keduanya melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan Hussein-McMahon Correspondence. Yang intinya, jika Husain bersedia melakukan revolusi melawan Utsmani, maka selepas perang—yang hampir dimenangkan oleh Blok Sekutu—Inggris akan memberikan keleluasaan kepada Husain untuk mendirikan negara Arab merdeka.

dari kiri: T.E. Lawrence3 (1888-1935), Syarif husain4 (1854-1931) dan Sir henry McMahon5 (1862-1949)

Wilayah yang diinginkan Husain sebagai calon negara Arab merdeka mencakup wilayah yang kini menjadi negara Syria, Lebanon, Palestina (yang kemudian dianeksasi oleh Israel), Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Saudi Arabia (termasuk wilayah Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Negara-negara Teluk). Sebenarnya ada keraguan di hati Husain terhadap Inggris atas pemenuhan janji itu kelak. Meski demikian, ia tetap melanjutkan misinya melawan Utsmani dengan dibantu seorang pejabat militer Inggris, Thomas Edward Lawrence (Lauwrence of Arabia).

Pada akhir Perang Dunia I, barulah Syarif Husain mengerti bahwa pemerintah Inggris membuat perjanjian rahasia—Perjanjian Sykes-Picot—dengan sekutu lainnya di waktu bersamaan ketika ia bernegosiasi dengan Henry McMahon. Wilayah yang diminta Husain, ternyata dalam Perjanjian Sykes-Picot menempatkan wilayah Syira dan Lebanon di bawah kontrol Perancis, sementara Irak, Yordania dan Palestina di bawah kontrol Inggris sendiri.

Husain sadar sepenuhnya bahwa Inggris tidak ada niatan sama sekali untuk memegang perjanjian sebagaimana disebut dalam Hussein-McMahon Correspondence sebelumnya dan bahwa kekuatan Barat akan tetap menancapkan kukunya di Timur Tengah meski perang telah usai.2 Syarif adalah sebuah gelar yang disematkan kepada orang yang diberi kepercayaan untuk mengelola dan menjaga Dua Tanah Suci umat Islam: Mekah dan Madinah.3 http://en.wikipedia.org/wiki/File:Te_lawrence.jpg4 http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/c/c9/Sherif-Hussein.jpg5 http://en.wikipedia.org/wiki/File:Henry_McMahon.jpeg

7

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Perjanjian Sykes-Picot—yang bernama resmi The 1916 Asia-Minor Agreement—adalah sebuah perjanjian rahasia yang dilaksanakan pada 16 Mei 1916 sebagai akhir dari serangkaian negosiasi selama 1915-1916. Sebutan Perjanjian Sykes-Picot merujuk pada nama Sir Marks Sykes (wakil Inggris, 1879-1919) dan Francois Georges-Picot (wakil Perancis, 1870-1950).

Sir Mark Sykes6 (kiri) dan Francois georges-picot7

Perjanjian yang melibatkan pemerintah Inggris dan Prancis ini membahas persoalan pembagian wilayah Turki Utsmani di antara kekuatan yang bersekutu tersebut. Sebagai bagian dari the Entente, Rusia juga diberi informasi tentang pembahasan perjanjian itu.

Namun, tak ada satu pun penguasa Arab yang dilibatkan. Padahal, pada saat itu, Inggris juga memiliki perjanjian dengan Syarif Husain, penguasa Hijaz (kawasan barat Jazirah Arab yang meliputi Mekah dan Madinah), terkait pembagian wilayah Hijaz atas jasanya dalam mengobarkan revolusi Arab melawan Turki Utsmani.

Perjanjian ini ditandatangani selang hanya beberapa bulan setelah dirumuskannya perjanjian yang termuat dalam Hussein-McMahon Correspondence. Tepatnya pada 16 Maret 1916.

6 http://en.wikipedia.org/wiki/Mark_Sykes7 http://www-personal.umich.edu/~sarhaus/MapsAndTimelines/Fall2007/Gryniewicz/Picot.html

peta pembagian wilayah kontrol atas Timur Tengah sesuai perjanjian Sykes-picot, 16 Mei 19168

Poin-poin pokok dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut:

1. Rusia akan mendapatkan provinsi-provinsi di wilayah Armenia, yaitu Erzurum, Van, Trebizond (Trabzon), dan Bitlis, serta sebagian wilayah tenggara wilayah bangsa Kurdi.

2. Perancis akan mendapatkan Lebanon dan kawasan pantai Syria, Adana, Cicilia, dan daerah pedalaman (termasuk Aintab, Urfa, Mardin, Diyarbakir, dan Mosul) berdampingan dengan bagian Rusia.

3. Inggris akan mendapatkan Mesopotamia selatan, termasuk Baghdad, dan juga pelabuhan Haifa dan Akka (Acre) di Laut Mediterania.

4. Di antara jatah yang diperoleh Inggris dan Perancis harus ada sebuah konfederasi negara-negara Arab atau sebuah negara Arab independen, yang dibagi ke dalam pengaruh Inggris dan Perancis.

8 http://www.icsresources.org/content/keymaps/SykesPicotAgreement.pdf

8

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

5. Alexandretta (Iskanderun), yang berada di pantai Levant (Syria Raya, Syam) harus dijadikan sebagai pelabuhan bebas.

6. Palestina akan berada di bawah pengawasan internasional. Rusia menuntut internasionalisasi Palestina karena di sana terdapat banyak peninggalan agama Kristen Ortodoks, di samping Islam dan Yahudi.9

Wilayah Palestina sesuai Perjanjian Sykes-Picot

Perjanjian ini tidak hanya bergesekan dengan Hussein-McMahon Correspondence saja. Setelah mempelajari isi Perjanjian Sykes-Picot, Italia, yang ternyata tidak mendapatkan bagian sebanyak yang dijanjikan di awal masuk perang, meminta jatah lebih banyak sebagaimana dijanjikan sebelumnya. Pada 1917, akhirnya Inggris, Perancis dan Italia sepakat bahwa Italia akan mendapatkan bagian 9 http://marxist.cloudaccess.net/mideast/261 dan Western Civilization: World War I and Secret Agreements in the Middle East oleh Michael D. Berdine, Ph.D., University of Arizona, 2004.

tambahan yaitu distrik Izmir, Antalya, dan Konya, serta seluruh kawasan barat daya Anatolia.

Selain itu, perjanjian rahasia ini juga berbenturan dengan isi Deklarasi Balfour yang dideklarasikan tahun 1917 yang menyatakan dukungan Inggris atas pembentukan negara Yahudi di Palestina. Yang mana, sebelumnya kawasan itu sudah dijanjikan akan diberikan kepada Syarif Husain. Terlebih, sembilan puluh persen lebih penduduk Palestina adalah Arab.

Ambiguitas dalam kebijakan Inggris itu muncul karena adanya konflik internal antara pemerintah kolonial Inggris yang berada di India—yang lebih dulu ada—dengan Dinas Luar Negeri Inggris yang berkantor pusat di Kairo, Mesir. Pada awalnya, Inggris India memfokuskan diri untuk mengontrol kepentingan mereka di kawasan Teluk Persia dan Irak. Sementara, Dinas Luar Negeri di Kairo bergeser visi dengan lebih berfokus pada kontrak-kontrak perjanjian dengan para penguasa Arab di Hijaz dan Levant (Syam).

Pada Maret 1917, menjelang setahun dari penandatanganan perjanjian rahasia Sykes-Picot, pecah revolusi di Rusia. Pemerintah sementara, yang menggulingkan otokrasi Tsar, pada bulan April menerbitkan sebuah deklarasi yang mencela kebijakan-kebijakan sarat penaklukan dan pencaplokan wilayah yang digagas oleh pemerintahan Tsar.

Kemudian pada revolusi kedua, yang pecah pada Oktober 1917, Vladimir Lenin dengan Partai Bolsheviks-nya memegang kendali pemerintahan. Kaum Bolsheviks mengumumkan penolakan mereka terhadap semua klaim Tsar atas Istanbul, Selat Bosporus dan Selat Dardanella. Mereka juga mempublikasikan teks utuh dari Perjanjian Sykes-Picot, bersama dengan perjanjian-perjanjian rahasia lainnya yang pernah dilakukan oleh Tsar.

9

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Tahun-tahun kemerdekaan negeri-negeri di Timur Tengah dan Afrika Utara

Implikasi Negatif

Berbagai kalangan menilai bahwa Perjanjian Sykes-Picot merupakan titik penting yang akan menentukan perjalanan Timur Tengah di kemudian hari yang penuh dengan ketidakstabilan. Perjanjian ini berpengaruh besar pada perjanjian-perjanjian berikutnya terkait dengan pembagian wilayah di TImur Tengah. Perjanjian ini membawa ketidakateraturan (disorder), bukannya keteraturan (order); itu adalah ‘dosa orisinal’ bagi Timur Tengah kontemporer, energi penggerak di balik mayoritas kekacauan yang terjadi di sana.10

Garis lurus mudah dibuat dan tidak merumitkan batas wilayah. Itu kemungkinan besar yang muncul dalam benak Sykes dan Picot ketika membagi-bagi wilayah Timur Tengah dalam peta. Pembagian wilayah pengaruh itu menguntungkan Inggris dan Perancis di awal abad 20, namun tidak demikian bagi rakyat yang mendiaminya.

Secara geo-politik, ada beberapa persoalan yang muncul dari Perjanjian Sykes-Picot.11

Pertama, perjanjian ini berlangsung secara rahasia, tanpa pengetahuan yang memadai

10 Lihat: http://nationalinterest.org/commentary/good-riddance-sykes-picot-986811 Lihat: http://www.bbc.com/news/world-middle-east-25299553

tentang Arab dan menegasikan janji Inggris yang telah dibuat kepada bangsa Arab pada kurun 1910-an—Hussein-McMahon Correspondence: jika mereka memberontak melawan Utsmani, jatuhnya Khilafah Utsmani akan mengantar mereka menuju kemerdekaan.

Ketika janji kemerdekaan itu tidak kunjung tiba pasca-Perang Dunia I, dan kekuatan kolonial terus berlanjut hingga kurun 1920-1940-an, maka dorongan politik bangsa Arab—di Afrika Utara dan di Mediterania timur—secara perlahan namun pasti, begeser dari membangun sebuah sistem negara konstitusional liberal (seperti pernah dialami oleh Mesir, Syria, dan Irak di awal-awal dekade abad 20) menuju kepada nasionalisme agresif yang tujuan utamanya adalah mengusir kaum kolonialis dan mengeliminasi sistem-sistem berkuasa yang bekerja melayani kepentingan mereka.

Kedua, terletak pada tendensi dalam membuat garis lurus. Sykes-Picot bermaksud membagi kawasan Levant (Syam) ke dalam basis-basis sektarian:

ശ Lebanon diproyeksikan sebagai wadah bagi umat Kristen (khususnya kaum Maronit) dan Druze.

ശ Palestina diperuntukkan bagi komunitas Yahudi.

ശ Lembah Bekaa, yang berlokasi di antara Lebanon dan Palestina, akan dipersiapkan untuk kaum Syiah.

ശ Sementara kawasan Syria akan ditempati oleh penduduk Muslim yang merupakan mayoritas.

Pembagian secara geografis memang membantu mengurai persoalan. Dalam rentang periode sejak Perang Salib berakhir hingga kedatangan kekuatan Eropa di abad 19, berbagai kelompok berbeda sekte dan agama hidup secara terpisah satu sama lain di sana. Kendati demikian, kultur perdagangan di wilayah itu tetap harmonis dan sehat.

10

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Sayangnya, pemikiran Sykes-Picot tidak

terefleksikan dalam kenyataan hingga menjadi

beban geografis. Itu artinya bahwa garis-garis

lurus batas kontrol yang dibuat Inggris-Perancis

tidak sesuai dengan realitas keragaman sektarian,

agama, suku, atau etnis yang ada di lapangan.

Bahkan, Sykes-Picot tidak hanya memberi

beban persoalan geografis semata namun juga

problem sosial. Sebelum datangnya kekuatan

politik imperialis, Khilafah Utsmani telah berhasil

mengembangkan sebuah sistem kehidupan bersama

yang penuh kedamaian. Kalangan Barat kerap

mendeskripsikannya sebagai ‘diskriminasi tanpa

penindasan (discrimination without persecution)’.

Yaitu, sebuah sistem yang mengupayakan

tercapainya perdamaian sejauh yang bisa dicapai

di tengah daerah kekuasaannya yang komposisinya

sangat beragam. Dinamika historis seperti

kebangkitan nasionalisme setelah

Revolusi Perancis berdampak pada

pemisahan Serbia, Yunani dan

Bulgaria.

Namun, Timur Tengah belum pernah menyaksikan adanya upaya-upaya pemisahan diri semacam itu hingga hasutan Inggris pada Revolusi Arab Pertama—yang dipimpin oleh Syarif Husain. Jika ditarik lebih luas lagi, konflik etnis, agama, dan sektarian yang terjadi di Timur Tengah dewasa ini, semua itu belum pernah terjadi hingga datang kekuatan kolonial Barat yang menciptakannya.

Problem ketiga, sistem negara yang tercipta setelah Perang Dunia I semakin memperburuk kegagalan bangsa Arab untuk mengatasi

dilema krusial yang mereka hadapi sejak satu setengah abad sebelumnya—perjuangan identitas antara, di satu sisi nasionalisme dan sekularisme, dan di sisi lain Islamisme (dan pada kasus-kasus tertentu Kristianisme).

Orang-orang yang bertanggung jawab atas era liberal Arab—dari akhir abad 19 hingga kurun 1940-an—menciptakan institusi negara (misalnya, konstitusi sekular di Tunisia pada 1861 dan permulaan demokrasi liberal di Mesir pada periode antar-perang), dan mengajukan argumen bahwa banyak kelompok-kelompok sosial (khususnya di kalangan menengah) memberikan dukungan. Namun, kenyataannya mereka telah gagal menganyam nilai-nilai dari frame religius, konservatisme, dan kesalehan yang ada di tengah masyarakat Arab ke dalam modernisasi sosial penuh ambisi yang mereka pimpin.

Krisis Palestina

11

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Krisis Palestina adalah satu hal yang juga timbul dari Sykes-Picot. Ini termasuk ke dalam problem kategori dua sebagaimana disebut di atas. Dalam rangkaian waktu yang berdekatan, Inggris menjanjikan Palestina akan diberikan kepada tiga pihak: Perancis (Sykes-Picot Agreement, 1916), Syarif Husain (Hussein-McMahon Correspondence, menjelang meletus PD I), dan Yahudi (The Balfour Declaration, 1917).

Kemudian, berdasarkan Deklarasi Balfour—yang bertentangan dengan Sykes-Picot Agreement dan Hessein-McMahon Correspondence—dan ‘sistem mandat’ yang diberikan Liga Bangsa-Bangsa kepada Inggris atas Palestina, lahirlah negara Israel pada tahun 1948 di atas tanah mayoritas rakyat Muslim Palestina. Akibatnya, konflik Palestina-Israel tidak kunjung usai hingga hari ini.

Padahal, pada awalnya, mandat yang diberikan kepada Inggris konon adalah untuk secara obyektif membantu proses pembangunan dan perkembangan Palestina. Sehigga, diharapkan akan lahir sebuah negara independen bagi rakyat pribumi yang mendiami daerah tersebut. Namun, karena pengaruh lobi Yahudi, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Inggris untuk menjalankan Mandat Palestina berat sebelah dengan sangat menguntungkan populasi minoritas Yahudi.12

Persoalan Palestina tersebut menimbulkan rasa ketidakpercayaan Timur Tengah kepada Barat yang hingga kini belum juga mereda.

Etnis kurdi

Sykes-Picot juga mengakibatkan jutaan suku Kurdi kehilangan negeri mereka. Dalam pembagian batas wilayah negara-negara modern yang ada sekarang ini—meskipun tidak dibentuk secara

12 Alysa L. Ambrose, An Historical Survey of the British Mandate in Palestine 1920-1948: Policies Contributing to the Jewish/ Arab Conflict, NAVAL POST GRADUATE SCHOOL, Monterey, California, December 2001. Hal. 1.

langsung oleh Perjanjian Sykes-Picot—jelas sekali imbas yang dirasakan akibat perjanjian rahasia tersebut. Suku Kurdi yang dulunya hidup tenang bersama saudara Muslim mereka lainnya di bawah kekuasaan Utsmani, kini harus hidup terombang-ambing tak menentu. Konflik terus berlanjut dengan hilangnya hak mereka untuk tinggal di tanah sendiri, tempat mereka hidup tenteram semasa pemerintahan Utsmani.

Wilayah yang pernah didiami Suku kurdi sebelum Sykes picot13

kekacauan pembacaan ‘peta Nubuwah’

Bagi internal umat Islam, Sykes-Picot

menimbulkan persoalan baru. Sejak wilayah Timur

Tengah dikotak-kotakkan seperti keberadaan

negara-negara Arab modern saat ini, umat Islam

mengalami kesulitan dalam memahami dan

membaca ‘peta-peta’ nubuwah yang disampaikan

oleh Nabi Muhammad dalam pesan-pesan yang

disampaikannya. Terutama, terkait dengan

persoalan akhir zaman yang memang akan terus

berpusat di kawasan Timur Tengah.

Istilah-istilah nubuwah yang menjadi acuan umat

Islam dalam menyikapi peristiwa-peristiwa akhir

zaman akan cukup sulit dipahami dengan adanya 13 http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/58/Kurdish-inhabited_area_by_CIA_%281992%29.jpg

12

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

pembagian wilayah Timur Tengah yang sedemikian

rupa. Sebagai contoh yaitu istilah Syam. Kawasan

itu, kini telah berubah wujud dengan terpecah-

pecah menjadi beberapa negara: Palestina (yang

mayoritas wilayahnya telah dianeksasi oleh Israel),

Lebanon, Yordania dan Syria. Itupun, menurut

beberapa kajian masih belum cukup mewakili

Syam. Sebab, seharusnyaa wilayah Syam lebih luas

lagi mencakup kawasan Sinai, dan sebagian wilayah

Turki.

Arab Springs: akhir Sykes-picot?

Relevansi Sykes-Picot kembali dipertanyakan

dengan munculnya Arab Springs. Konflik-konflik

yang terus merebak ini, untuk mencari akarnya,

tampaknya tidak mungkin untuk tidak mengatakan

bahwa Sykes-Picot Agreement tidak turut andil di

dalamnya.

Telah banyak tulisan tentang apakah

ketidakstabilan di Irak, peperangan di Syria dan

krisis Lebanon, Turki, Yordania, Palestina, bangsa

Kurdi yang mendesak untuk meminta wilayah

otonomi di—paling tidak—sebagian wilayah Irak

dan Turki, hingga titik tertentu berakumulasi dan

menjadi alasan untuk melepaskan ikatan Perjanjian

Sykes-Picot. Dengan kata lain, akankah batas-batas

negara yang ada sekarang ini, yang dibuat dalam

konteks Perang Dunia I mampu terus bertahan?

Jawabannya adalah: sebetulnya batas-batas

itu telah lenyap, baik ada maupun tiada secara

hukum. Betapapun, ketika Iran bisa mengirimkan

berapapun jumlah senjata melalui Syria dan Irak

kepada sekutu dan perpanjangan tangan mereka

di Lebanon—dengan mengabaikan pemerintah

Lebanon dan perbatasannya—apa yang tersisa dari

arti garis-garis perbatasan itu?

Seakan Iran memiliki kawasan terbuka yang

membentang dari perbatasan Afghanistan

sampai ke Mediterania, di mana mereka bisa

menempatkan senjata beserta pasukannya hampir

di setiap tempat yang mereka inginkan. Sudah

menjadi rahasia umum pula bahwa pasukan Iran’s

Revolutionary Guard Corps berada di Syria, dan

pasukan Hezbullah Lebanon juga bertempur di

sana. Diketahui pula bahwa dulu para pejuang

13

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

jihadi dari berbagai belahan dunia menyeberang ke

Irak dari Syria, mengabaikan perbatasan itu, untuk

memerangi Amerika. Hari ini, mereka melintasi

perbatasan sampai ke Syria, untuk berperang

melawan rezim Assad.

Contoh lainnya, perbatasan antara Gaza dan Sinai Mesir dilanggar dan diperolok-olokkan oleh ratusan terowongan penyelundupan. Gelombang raksasa pengungsi Syria, yang mencapai jutaan jiwa lebih, bergerak menyeberangi perbatasan untuk mencari perlindungan.

Tampaknya, satu-satunya perbatasan negara di kawasan itu yang masih nyata dan stabil hingga kini hanyalah perbatasan Israel. Dan itu pun karena Israel membangun ‘benteng’ keamanan yang ketat mulai bagian utara, timur, hingga hampir seluruh bagian selatan negaranya untuk mempertahankan diri. Bahkan, isu terbaru, Israel merencanakan untuk membangun ‘benteng’ demarkasi di perbatasan Sinai.

Perbatasan Israel betul-betul riil di lapangan. Ironisnya, perbatasan itu adalah satu-satunya perbatasan di kawasan itu yang tidak tercantum dalam peta dan dianggap hanya bersifat sementara hingga perjanjian damai dengan Syria dan Palestina dapat tercapai.

Garis-garis perbatasan yang dibuat oleh Sykes-Picot memang masih ada di atas peta, namun realitanya tidak demikian di lapangan. Mengubah batas negara secara formal, dengan persetujuan berbagai pihak beserta PBB, tampaknya sangat kecil kemungkinannya. Namun, mengabaikan perbatasan-perbatasan itu, melanggarnya, dan menghapusnya di lapangan—dimana secara nyata manusia tinggal di sana, mencari suaka, berperang, bertahan hidup, atau mati—itulah yang terjadi hingga pada tingkat yang sangat kentara.14

14 Lihat: http://blogs.cfr.org/abrams/2013/05/17/erasing-sykes-picot/

Sementara di sisi lain, pergerakan kaum jihadi

semakin masif dan semakin memperlihatkan

kemajuan yang signifikan, terutama di wilayah

perang seperti Irak dan Syria. Dan itu, jelas akan

mengancam hegemoni Barat di Timur Tengah

karena mereka membawa ide-ide perlawanan

trans-nasional.

Jika batas-batas artifisial yang mengkotak-

kotakkan umat Islam itu sudah tidak memiliki

pengaruh apapun, bukan tidak mungkin hal itu

akan membangkitkan kesadaran dan sentimen

umat Islam untuk bersatu dan melakukan

perlawanan global menuju kejayaannya kembali

setelah absen sejak Khilafah Turki Utsmani

terkoyak oleh perjanjian gelap Sykes-Picot dan

batas-batas geografis artifisial yang menjadi

derivasinya. Ditambah lagi, fakta bahwa setelah

berumur hampir satu abad, Sykes-Picot dinilai tidak

mampu menunjukkan keberhasilan pembangunan

dan penjagaan keamanan regional Timur Tengah

sesuai yang diharapkan. Justeru yang terjadi adalah

timbulnya pergolakan dan ketidakstabilan politik

dan keamanan yang berkelanjutan. Apakah musim

semi Arab (Arab Spring) saat ini merupakan musim

gugur bagi Perjanjian Sykes-Picot (Sykes-Picot’s

Autumn)?*(Herliawan Setiabudi)

14

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Upaya untuk mencegah eskalasi konflik di Suriah mulai mendapat perhatian internasional setelah kelompok jihadi secara mengejutkan menguasai medan lapangan di Suriah. Gelagat hasrat negara-negara besar untuk mengubah orientasi sejak Konferensi Jenewa I untuk mengalihkan tujuan mencegah tragedi kemanusiaan dan mengganti rezim Basyar Asad, menjadi upaya mencegah kelompok jihadi berkuasa. Naiknya jihadi ke panggung kekuasaan di Suriah dikhawatirkan bisa mengancam kepentingan internasional. Setidaknya dari dua sisi: (1) mengancam integritas batas-batas wilayah negara-negara tetangga; dan (2) bisa menjadi basis persemaian jihad dan mujahidin.

Menurut riset RAND Corp. yang berjudul “How Terrorist Groups End: Lessons for Countering al-Qa’ida” (2008) http://www.rand.org/pubs/monographs/MG741-1.html, bukti-bukti sejak tahun 1968 menandakan bahwa kebanyakan kelompok teroris berakhir karena: (1) mengikuti proses politik, atau (2) polisi lokal dan agen intelijen memenjarakan atau membunuh semua anggotanya. Karena, Revolusi Suriah sudah bertransformasi menjadi “perang saudara” (civil war), yangmana rezim Asad sendiri belum berhasil menumpas perlawanan meski dengan mengerahkan seluruh kekuatan militer, maka proses politik pun menjadi pilihan “murah” dan prioritas untuk ditempuh.

Konferensi Jenewa I untuk Mencari Solusi Politik

Pada 30 Juni 2012, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) dan Liga Arab, Menteri Luar Negeri Cina, Prancis, Rusia, Inggris Raya dan Irlandia Utara, Amerika Serikat (AS), Turki, Irak (Ketua KTT Liga Arab), Kuwait (Ketua Dewan Menteri Luar Negeri Liga Arab), dan Qatar (Ketua Komite Tindak Lanjut Arab/Komite Suriah dari Liga Arab) serta Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan bertemu di Kantor PBB di Jenewa sebagai kelompok Aksi untuk Suriah. Pertemuan Kelompok Aksi ini kemudian dikenal sebagai Konferensi Jenewa I untuk Suriah.

Kofi Annan—utusan perdamaian PBB untuk Suriah—memimpin konferensi tersebut. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, wakil dari Cina, dan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague menjadi tokoh-tokoh kunci dalam pertemuan tersebut. Annan juga mengeluarkan komunike

MENggESER MUSUh“yang lebih penting: memerangi pihak yang ingin mengubah Suriah menjadi sebuah khilafah.”

(Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia)

Tulisan ini hendak menyoroti bagaimana ada upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian dari isu kemanusiaan menjadi isu politik sesuai kepentingan negara-negara besar.

Isu yang diangkat kemudian adalah upaya penumpasan terorisme. Isu ini pula coba dijual oleh rezim Basyar Asad dan

sekutu-sekutunya—seperti Rusia dan Cina—sebagai alat bargaining terhadap kepentingan politik Barat.

15

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

yang mengatakan bahwa konferensi setuju pada keperluan untuk “mewujudkan transisi badan pemerintah dengan kekuasaan eksekutif penuh” yang bisa meliputi anggota rezim Suriah saat ini dan oposisi. William Hague juga mengatakan bahwa semua dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB—AS, Rusia, Cina, Prancis, dan Inggris—mendukung upaya Annan. Clinton sempat menyarankan agar Asad tidak memegang kekuasaan dalam pemerintahan transisi tersebut, namun segera ditentang oleh Lavrov yang merupakan sekutu Asad.

Komunike akhir menyatakan bahwa setiap penyelesaian politik harus memberikan transisi yang:

ശ Menawarkan perspektif untuk masa depan yang bisa dibagi oleh semua di Suriah.

ശ Menetapkan langkah-langkah yang jelas menurut sebuah menuju terwujudnya perspektif itu.

ശ dapat diimplementasikan dalam iklim keselamatan untuk semua, stabilitas dan tenang.

ശ Tercapai dengan cepat tanpa pertumpahan darah lebih lanjut dan kekerasan dan kredibel.

Langkah-langkah kunci yang disepakati dalam transisi harus mencakup:

ശ pembentukan badan transisi dengan kekuasaan eksekutif penuh yang dapat mencakup anggota pemerintah dan oposisi, dan harus dibentuk atas dasar kesepakatan bersama.

ശ Partisipasi dari semua kelompok dan lapisan masyarakat di Suriah dalam proses dialog nasional yang bermakna.

ശ Ulasan dari tatanan konstitusional dan sistem hukum.

ശ pemilu multipartai yang bebas dan adil bagi

lembaga baru dan kantor yang telah ditetapkan.

ശ perwakilan penuh dari perempuan dalam

semua aspek transisi.

Intinya, para anggota Kelompok Aksi bersama-

sama bertekad untuk keluar dari lubang jarum

situasi sulit di Suriah. Mereka sangat mengutuk

pelanggaran terus meningkat dan pembunuhan,

perusakan dan hak asasi manusia. Mereka sangat

prihatin dengan kegagalan untuk melindungi warga

sipil, intensifikasi kekerasan, potensi konflik yang

lebih dalam di dalam negeri dan dimensi regional

masalah. Sifat kondisi yang “tidak dapat diterima”

dan besarnya krisis menuntut posisi umum dan

aksi internasional bersama.

Para anggota Kelompok Aksi berkomitmen untuk

kedaulatan, kemerdekaan, persatuan nasional

dan integritas wilayah Suriah. Mereka bertekad

untuk bekerja segera dan intensif untuk membawa

mengakhiri kekerasan dan pelanggaran hak asasi

manusia, dan untuk memfasilitasi peluncuran

proses politik Suriah yang dipimpin mengarah ke

transisi yang memenuhi aspirasi rakyat Suriah dan

memungkinkan mereka mandiri dan demokratis

untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Pada bulan Agustus 2012, Lakhdar Brahimi—

politisi dan diplomat internasional asal Aljazair—

ditunjuk sebagai utusan perdamaian baru untuk

Suriah yang mewakili PBB sekaligus Liga Arab. Ia

mulai menawarkan inisiatif untuk mempersiapkan

sebuah konferensi internasional lanjutan untuk

mengakhiri perang saudara di Suriah, dalam

konteks kerja sama yang erat dengan Rusia dan

Amerika Serikat. Dua delegasi asal Suriah, baik

pemerintah dan oposisi, akan dibawa bersama-

sama pada pembicaraan lebih lanjut.

16

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Tujuan dari konferensi lanjutan—yang kelak dikenal sebagai Konferensi Jenewa II—adalah untuk membawa satu delegasi yang mewakili pemerintah Suriah dan satu delegasi yang mewakili oposisi Suriah, kemudian bersama-sama membahas bagaimana menerapkan komunike bersama dari Konferensi Jenewa I, yaitu pembentukan “pemerintahan transisi”, mengakhiri perang, dan memulai proses menuju sebuah Republik Suriah Baru.

Ada berapa hal penting yang diperkirakan akan menjadi masalah besar dalam konferensi lanjutan. Ini terkait arahan teknis untuk mewujudkan tujuan yang disepakati dalam Konferensi Jenewa I:

(1) Kurangnya perhatian terhadap isu krisis kemanusiaan, di mana poin ini sedikit sekali disinggung pada konferensi awal. Poin pertama ini cukup sulit mengingat tensi kedua belah pihak saling menuduh telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan.

(2) Demiliterisasi kedua belah pihak sebagai jaminan tercapainya solusi politik. Poin kedua ini sulit diterapkan mengingat Koalisi Nasional Suriah—sebagai perwakilan oposisi yang akan dilibatkan dalam konferensi—memiliki pengaruh yang lemah di lapangan.

(3) Perbedaan sikap antara Suriah dan oleh AS dan Rusia terhadap peran Presiden Basyar Asad dalam masa transisi. Poin ketiga ini juga sulit untuk diterapkan, mengingat tekad rezim Asad untuk mempertahankan entitas politiknya.

Dalam rangka untuk mengamankan tujuan-tujuan umum Konferensi Jenewa I, para anggota Kelompok Aksi menyepakati hal-hal sebagai berikut sebelum terselenggaranya konferensi lanjutan:

(a) langkah-langkah dan tindakan oleh para pihak untuk mengamankan implementasi penuh dari rencana enam poin dan resolusi-resolusi

Dewan Keamanan 2042 (2012) dan 2043 (2012), termasuk mengidentifikasi penghentian segera kekerasan dalam segala bentuknya,

( b ) menyepakati prinsip-prinsip dan pedoman untuk transisi politik yang memenuhi aspirasi sah rakyat Suriah, dan

( c ) menyetujui tindakan yang mereka akan ambil untuk melaksanakan tujuan dalam mendukung upaya bersama Utusan Khusus untuk memfasilitasi proses politik Suriah yang diharapkan. Mereka yakin bahwa hal ini dapat mendorong dan mendukung kemajuan di lapangan serta akan membantu untuk memfasilitasi dan mendukung transisi Suriah.

Road map Menuju konferensi Jenewa II

Pada Mei 2013, Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov setuju untuk mencoba “membawa kedua belah pihak ke meja perundingan” untuk mengakhiri pertumpahan darah. Pada bulan Mei itu juga, Duta Besar Iran untuk PBB Mohammad Khazaee mengatakan bahwa Iran akan memutuskan keikut-sertaannya dalam konferensi, tergantung “pada detail yang kita akan mempertimbangkan ketika kita menerima mereka.”

Konferensi ini awalnya diusulkan untuk akhir Mei 2013 dengan partisipasi yang diharapkan oleh perwakilan dari Koalisi Nasional Suriah, Presiden Basyar Asad dari Suriah, Amerika Serikat, dan Rusia, serta koordinasi dengan Lakhdar Brahimi selaku utusan perdamaian PBB untuk Suriah.

Namun, hingga akhir Juni 2013, Amerika Serikat masih menunda konferensi karena melihat timing belum tepat. Pada tanggal 22 Juli 2013 Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan bahwa Pemerintah Suriah siap untuk terlibat dalam konferensi tanpa prasyarat. Pada pertengahan

17

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Agustus 2013, diplomat PBB sementara mengusulkan pertengahan Oktober 2013 untuk tanggal konferensi.

Sementara Brahimi sempat mengatakan pada bulan Agustus 2013, bahwa yang masih menjadi masalah utama adalah “bagaimana menyamakan perspektif” kelompok-kelompok yang berbeda di Suriah serta pendukung internasional mereka untuk menerima”prinsip dasar solusi politik.” Dia mengatakan bahwa ini menjadi inti pendekatan PBB untuk perang saudara di Suriah sejak pecah perang. Brahimi mengatakan bahwa pesan utamanya kepada pihak-pihak di Suriah, “...[adalah] bahwa tidak ada solusi militer terhadap konflik yang menghancurkan.Hanya solusi politik yang akan mengakhirinya.”

Sayangnya, dasar untuk solusi tersebut dianggap kurang memadai. Yang ada hanya komunike yang dikeluarkan pada 30 Juni 2012,setelah pertemuan, di Jenewa, dari apa yang disebut ‘Kelompok Aksi’ yang terselenggara atas inisiatif Kofi Annan. Karenanya, mereka menargetkan konferensi tingkat lanjut dapat memberikan dasar bagi dirumuskannya pijakan hukum yang kuat. Inilah alas an mendasar perlunya Konferensi Jenewa II. Dalam perkembangannya, hasil Konferensi Jenewa II tersebut juga dijadikan dasar oleh DK PBB untuk mengeluarkan resolusi lanjutan terkait masalah Suriah.

Menguatnya inisiatif untuk Konferensi Jenewa II semakin tak terbendung karena adanya dorongan besar setelah serangan kimia di Ghouta, pinggiran Damaskus, yang menewaskan ratusan orang (21/8/2013). Peristiwa ini menjadi titik buntu bagi banyak pihak.

Melalui Menteri Luar Negeri John Kerry, AS mengancam untuk melakukan serangan untuk melumpuhkan kemampuan nuklir rezim Asad

karena khawatir akan jatuh ke kelompok jihadi sehingga membahayakan Israel. Pemerintah Suriah menanggapi pada 3 November 2013, bahwa komentar Menlu Kerry bisa menyebabkan pembicaraan damai gagal, karena di mata pihak rezim pernyataan tersebut adalah”agresi terhadap hak rakyat Suriah untuk memutuskan masa depan mereka.” Akhirnya, jalan tengah yang diambil adalah “menyerahkan” nuklir Suriah ke Iran.

Jalan buntu di depan mata. Pada 5 November 2013, Lakhdar Brahimi mengatakan bahwa AS dan Rusia tidak bisa mencapai kesepakatan atas tanggal untuk konferensi, dan musyawarah lebih lanjut selama konferensi dikejar akan berlangsung 25 November 2013. Pelaksanaan pada bulan November 2013 tidak bisa disepakati, meski Brahimi masih berharap untuk mendapatkan pertemuan sebelum akhir tahun 2013.

Kepastian soal konferensi lanjutan ini baru diperoleh sekitar tiga pekan kemudian. Akhirnya pada 25 November 2013, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon mengumumkan bahwa konferensi akan diadakan pada tanggal 22 Januari 2014, dan itu merupakan tanggal final. Ban Ki-moon juga mengumumkan bahwa perwakilan pemerintah Suriah dan oposisi akan hadir.

Menyusul penerbitan daftar peserta pada tanggal 20 Desember 2013, ada reaksi beragam dari pihak-pihak yang diharapkan terlibat. Hassan Abboud, pemimpin Ahrar Asy-Syam sekaligus aliansi Jabhah Islamiyah, mengatakan bahwa mereka tidak terikat oleh hasil dari pembicaraan. Jabhah Islamiyah telah menolak terlibat pembicaraan. Dewan Nasional Suriah telah menarik dari Koalisi Nasional Suriah sebagai protes atas keputusan koalisi untuk menghadiri pembicaraan. Pada tanggal 20 Desember 2013, Uni Demokrat Kurdi, salah satu pihak yang diminta delegasi ke konferensi, mengutip fakta bahwa pasukan Kurdi

18

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

telah menciptakan negara semiotonom di Suriah Utara. Sementara delegasi oposisi dari pihak Koalisi Nasional Suriah pimpinan Ahmad Jarba diwakili oleh Louay Safi.

konspirasi untuk Menumpas kelompok Jihadi

Bagaimana tanggapan media dan kelompok islamis atas inisiatif Konferensi Jenewa II? Abdel Bari Atwan, Jurnalis Senior dan Editor in Chief, al-Quds al-Arabiyya, menyampaikan sebuah analisis yang menarik di situs Ra’iah Al-Yaum (www.raiaalyoum.com/?p=38432) (6/1/2014) menjelang Konferensi Jenewa II. Jurnalis yang pernah tidur di gua-gua Afghanistan bersama Usamah bin Ladin itu mengungkapkan bahwa negara Timur Tengah sedang berkomplot dengan Barat untuk menyingkirkan kelompok jihadi—khususnya Daulah Islam Irak dan Syam —menjelang Konferensi Jenewa II.

Caranya dengan menggerakkan pion-pion mereka di Suriah dari kelompok-kelompok yang mereka danai. Atwan menyebutkan di antaranya adalah FSA (Free Syrian Army) di bawah pengaruh SNC, Jaisyul Mujahidin, Front Revolusioner Suriah (SRF) yang dipimpin Jamal Ma’ruf, dan—yang cukup mengejutkan—ia juga memasukkan Jabhah Islamiyah atau Front Islam. “Mereka (Barat dan rezim Timur Tengah—edt) menyatukan semua faksi dan batalion tempur di lapangan Suriah, bukan untuk melawan rezim Basyar Asad, tetapi melawan Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS). Tujuan menyatakan perang terhadap ISIS adalah untuk menyingkirkan mereka dan para pejuangnya tanpa belas kasihan dan iba secepat mungkin,” kata Abdel Bari Atwan.

“Sudah banyak yang menyadari sejak lama bahwa AS dan sekutunya di Dunia Arab akan mengulang kembali Proyek Irak, membentuk

pasukan ‘Shahawat’ di mana bertujuan untuk menumpas Al-Qaeda dan semua kelompok yang memiliki kesamaan ideologi dengannya. Dalam hal ini Jabhatun Nushrah dan ISIS,” imbuhnya. Prioritas semula pertempuran yang berfokus untuk membebaskan wilayah-wilayah yang dikuasai rezim Asad, beralih menuju pembebasan dan penaklukan berbagai wilayah yang dikendalikan kelompok jihadi.

Abdel Bari Atwan menuturkan, operasi mengganyang ISIS datang dari instruksi seseorang untuk melikuidasinya secepat mungkin dari Suriah sebelum tanggal diadakannya Konferensi Jenewa II guna mencari solusi politik antara Asad dengan oposisi. Menurutnya, proses ini telah dimulai sejak akhir Desember 2013 dengan melontarkan “bola panas” isu bahwa ISIS adalah boneka buatan rezim Asad dan Iran. Pelaksanaan propaganda jahat ini disusun dan didanai oleh Koalisi Nasional Suriah (SNC).

Siapa di belakang SNC? Abdel Bari Atwan mengatakan, Arab Saudi dan negara-negara sekutu oposisi sekuler Suriah di Barat, terutama AS. “Pada bulan lalu (Desember 2012), Departemen Luar Negeri AS—dalam sebuah pernyataan panjang—telah memerintahkan para pemimpin di Timur Tengah untuk memotong aliran pendanaan dan kaderisasi Daulah Islam Irak dan Syam dengan cara menghentikan aliran mujahid asing ke Suriah,” terang Atwan. Ia menambahkan, “Daulah Islam adalah musuh bersama Amerika Serikat dan Republik Irak serta merupakan ancaman bagi kawasan Timur Tengah yang lebih luas.”

Jika serangan tak secara spesifik menyerbu ISIS, maka tujuannya adalah untuk menumpas Al Qaeda dan semua kelompok yang memiliki kesamaan ideologi dengannya. Penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Suriah bisa secara lebih luas menargetkan kelompok-kelompok mujahidin

19

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

pendatang, seperti Suqurul Izz dan Jundul Aqsha. Tujuannya jelas, untuk menghalau muhajirin dari luar Suriah yang ingin ikut berjuang di sana. Atwan menjelaskan, “Bukanlah merupakan suatu kebetulan serangan pada ISIS itu bertepatan dengan serangan paralel terhadap cabangnya di Irak. Pertama, kelompok-kelompok aliansi ‘Shahawat’ yang didukung oleh Saudi dan Amerika. Kedua, musuh Ahlussunnah, yaitu rezim Nuri Al-Maliki—Perdana Menteri Syiah Irak yang bersekutu dengan Iran—serta rezim Suriah yang bersekutu dengan milisi Hizbullah di Libanon.”

Bagaimana cara memahami kerja sama antara pihak-pihak yang selama ini dikenal bertolak-belakang? Bagaimana bisa terjadi persekutuan antara Arab Saudi dengan Syiah Iran yang diikuti kaki tangannya (rezim Al-Maliki) di Irak untuk bertempur berdampingan melawan Al Qaeda, sementara di Suriah dan Libanon, Arab Saudi mendukung militan Sunni untuk melawan Hizbullah, kemudian juga di Suriah? “Itu karena kebijakan mereka yang didasarkan pada permusuhan dan kecenderungan balas dendam, membentuk aliansi dengan ‘setan’ dalam banyak kasus...,” terang Atwan.

Strategi ”perang” Melawan Upaya penguasaan Teritorial

Setelah 11 September 2001, strategi melawan al Qaeda dipusatkan pada kekuatan militer. Sesungguhnya, pembuat kebijakan AS dan kata kunci dokumen-dokumen keamanan nasional menyebutkan operasi melawan al Qaeda sebagai perang melawan terorisme. Alat-alat yang lain juga digunakan, seperti memutus pembiayaan para teroris, menyediakan pendampingan asing, menarik dengan diplomasi, sharing informasi dengan pemerintah asing. Tetapi, pasukan militer tetap menjadi alat utama untuk strategi menumpas pemberontakan.

Kajian tahun 2008 menunjukkan bahwa strategi

AS tidak berhasil menundukkan al Qaeda. Hasil

risetmenyimpulkan bahwa al Qaeda masih kuat

dan organisasi yang kompeten. Tujuan mereka kini

adalah mempersatukan muslimin untuk melawan

AS dan sekutunya dan menjatuhkan rezim yang

bersahabat dengan Barat yang berada di Timur

Tengah dan mendirikan khilafah untuk seluruh

umat Islam.

Modus operandi alQaeda berkembang, termasuk

pembuatan bahan peledak canggih (IEDs) dan

meningkatkan penggunaan serangan pemusnah,

dan ini menjadi alasan AS untuk melucuti senjata

nuklir rezim Asad sebagai garis merah (redIine)

penggunaan kekuatan militer. Struktur organisasi

al Qaeda yang terus berubah—dengan networking-

nya—membuat al Qaeda semakin berbahaya.

Ini termasuk pendekatan bottom-up (memberi

semangat pada aksi-aksi individual dari level bawah

yang berpengaruh) dan top-down (melancarkan

strategi dan operasi dari pusat kota).

Kebangkitan al Qaeda menjadi pemicu pemikiran ulang yang mendasar terhadap strategi AS melawan terorisme. Berdasarkan analisa terhadap cara kelompok teroris berakhir, solusi politik adalah tidak mungkin. Selama tujuan alQaeda masih mendirikan Khilafah, maka akan masih ada sedikit alasan untuk berharap bernegosiasi untuk kesepakatan dengan pemerintah di Timur Tengah. Menurut riset RAND Corp. yang berjudul “How Terrorist Groups End: Lessons for Countering al-Qa’ida” (2008), pendekatan yang lebih efektif adalah mengadopsi dua strategi depan.

Pertama, kepolisian dan intelijen seharusnya menjadi penyangga usaha-usaha AS. Di Eropa, Amerika Utara, Afrika Utara, Asia dan Timur Tengah, al Qaeda terdiri atas jaringan individu yang harus dilacak dan ditangkap. Hal ini membutuhkan kerja

20

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

teliti yang tersebar dari organisasi seperti CIA dan FBI, begitu pula kerja sama dengan polisi dan agen intelijen asing.

Kedua, pasukan militer. Walaupun tidak membutuhkan pasukan AS, negara-negara tersebut akan membutuhkan alat-alat ketika al Qaeda ikut campur dalam pemberontakan. Pasukan militer lokal secara berulang-ulang memiliki keabsahan yang lebih untuk bertindak daripada AS, dan mereka lebih memahami lingkungan operasi, bahkan jika harus meningkatkan kapasitas (jumlah) untuk membagi dengan kelompok-kelompok pemberontak yang telah lama. Militer AS bisa bermain dengan peranan yang penting pada kapasitas bangunan asli, tetapi secara umum harus menahan diri untuk ikut campur pada pertempuran di masyarakat Muslim, selama hal ini muncul untuk meningkatkan rekrutmen teroris.

Dari sini terlihat bahwa peran pasukan khusus AS akan tetap penting. Kemungkinan pelibatan mereka untuk operasi militer AS melawan kelompok teroris yang ikut campur dalam pemberontakan seperti di Suriah masih terbuka. Namun, untuk saat ini pasukan AS masih berhitung karena mereka masih berharap pada keuntungan yang muncul dari pada “pertempuran internal (infighting) di antara masyarakat Muslim” sehingga masih menahan diri untuk ikut campur.

Analisis dari riset RAND Corp. di atas menyimpulkan bahwa probabilitas kesuksesan al Qaeda untuk menjatuhkan beberapa pemerintahan mendekati nol. Seluruh kelompok beragama yang telah berakhir sejak 1968, tidak ada yang berakhir dengan mendapatkan kemenangan. Al Qaeda sesungguhnya tidak akan bisa menjatuhkan rezim-rezim di Timur Tengah. Sedangkan Usamah bin Ladin mendapatkan dukungan di banyak Dunia Islam, tetapi dukungan ini bukan berarti dukungan massa seperti yang didapatkan Hizbullah di Lebanon.

Namun, yang dikhawatirkan, saat ini popularitas kelompok jihadi yang berafiliasi atau memiliki kesamaan ideologi dengan al Qaeda sedang berada di puncak. Hal ini tidak mengejutkan, sejak muncul fasilitas pelayanan masyarakat milik al Qaeda, seperti rumah sakit atau klinik. Sebagai tambahan, alQaedakini tidak meneruskan perluasan daftar musuhnya. Sekarang ini mereka tidak secara langsung menyatakan semua pemerintah Timur Tengah, pemerintah Asia (termasuk Afghanistan, India dan Pakistan), AS dan organisasi internasional nonpemerintah sebagai “musuh”.

Sepertinya al Qaeda telah belajar bahwa membuat seluruh dunia sebagai musuh adalah tujuan yang sulit tercapai dan bukan strategi kemenangan. Kebijakan stratejik al Qaeda yang lebih bisa dinalar masyarakat ini menjadi sangat dikhawatirkan oleh Barat karena Al Qaeda pun berpeluang kuat untuk memiliki homeground dan safehouse yang kuat. Dengan demikian, konflik Suriah bisa menjadi momentum bagi al Qaeda untuk meraih kemenangan politik yang bersifat penguasaan teritorial sekaligus pertaruhan bagi banyak kepentingan internasional.

khilafah Islamiyah: Ancaman yang Sesungguhnya?

Pada tanggal 24 Desember 2013, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memberikan wawancara panjang dengan saluran berita pro-Kremlin Russia Today (http://rt.com/news/lavrov-west-syria-jihadists-714). Dalam diskusi tersebut, Lavrov menegaskan dan menguraikan bagian utama dari strategi Moskow menjelang “konferensi perdamaian” Jenewa II yang diusulkan, akankah berjalan ke depan sesuai yang diharapkan Rusia ataukah tidak. Lavrov mengungkapkan, salah satu keprihatinan utama Moskow menjelang upayanya untuk mengadakan konferensi di Swiss pada 22

21

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Januari adalah ketika: “AS telah berusaha untuk berkomunikasi dengan pemberontak blok Jabhah Islamiyah.“

Dia kemudian menyindir promosi demokrasi Amerika, khususnya di Timur Tengah. Dia mengatakan bahwa, selain adopsi sejumlah standar universal, “demokrasi” tidak dengan sendirinya menjadi konsep yang universal, sehingga negara karena itu harus bebas untuk mengadopsi versi mereka sendiri demokrasi, seperti memiliki Federasi Rusia. Kemudian Lavrov menghubungkan kehadiran para pejuang asing di Suriah dengan invasi AS ke Irak dan dengan intervensi militer multinasional di Libia pada tahun 2011.

Ada tanda tanya besar, apakah Konferensi Jenewa II benar-benar akan menghasilkan kemajuan. Bahkan, jika konferesi tersebut tidak dilanjutkan, itu akan menjadi tontonan menarik dan sandiwara, karena tanpa kehadiran yang berarti (real) dari oposisi Suriah, sementara Asad tetap dalam kekuasaan dan pertempuran terus berkecamuk di lapangan.

Jadi, Lavrov meiliki tantangan untuk tetap mempertahankan “garis Moskow” bahwa itu adalah kekuatan konstruktif, serta berusaha untuk membawa resolusi dalam rangka mengantisipasi “teroris” yang didukung asing. Poin-poin penting yang disampaikan Lavrov sebagai berikut: 1. “Teroris internasional “ telah mengambil alih pemberontakan Suriah.

Ia mengatakan bahwa fokus utama dari Jenewa II harus “memerangi terorisme internasional”, Lavrov telah terkooptasi bahasa dan tema penting dalam pers Barat yang telah memperingatkan “kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda” telah memainkan peran dalam pemberontakan. Dia mengulang-ulang dan selanjutnya melebih-lebihkan anggapa yang kurang tepat bahwa kelompok seperti

Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) telah “mengambil alih” kelompok oposisi bersenjata. Kemudian ia berusaha untuk membentuk opini publik yang mendukung skenario di mana Asad tetap berkuasa. Ada sisi praktis dari taktik Lavrov, yaitu membuat konferensi tentang “melawan teror” yang akan membantu menghindari masalah utama dari konsekuensi ketika Asad terus memerintah.

2. Pemberontakan bersenjata tidak mewakili kehendak rakyat Suriah karena “kelompok bersenjata “ mampu untuk terus melakukan pertempuran hanya karena campur tangan dari luar.

Moskow telah mengatakan, dan Lavrov terus mengulanginya di sini, bahwa pertempuran di Suriah sedang dilancarkan oleh faksi-faksi non-Suriah atau kelompok-kelompok lokal bersenjata dan termotivasi oleh provokasi dari luar. Karenanya, orang-orang Suriah “moderat” dari kalangan pemberontak, dan Pemerintah Suriah harus bersatu untuk melawan kekuatan-kekuatan luar.

Lavrov dengan cerdik mengooptasi bahasa media Barat tentang beberapa fraksi yang bertentangan, yang oleh Pemerintah AS digambarkan sebagai kelompok oposisi “moderat” (biasanya mengacu dan menggunakan istilah FSA/Tentara Pembebasan Suriah ) dan “kelompok ekstrimis” (biasanya menggunakan istilah teroris atau jihadis). Menurut Lavrov, dunia internasional harus mampu mengatasi ganjalan bersama-sama, yaitu kelompok-kelompok seperti Daulah Islam Irak dan Syam dan kekuatan baru dari Jabhah Islamiyah yang ia gambarkan sebagai “Al Qaeda”.

3. Orang-orang Suriah dan Pemerintah Suriah harus memutuskan masa depan mereka bersama-sama

4. Oposisi Suriah tidak bisa memaksakan prasyarat yang harus Asad mundur

22

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Tujuan utama Moskow adalah skenario jangka pendek dan menengah di mana sekutunya, Asad, tetap berkuasa, dan skenario jangka panjang bahwa rezim, atau setidaknya elemen penting darinya, tetap memiliki kewenangan sehingga peran Rusia sendiri dalam wilayah ini tetap terjaga.

Kesimpulannya, Lavrorv menekankan bahwa Asad menjadi agenda utama pada Konferensi Jenewa I, dan bahwa Asad adalah bagian alami dan intrinsik dari setiap diskusi tentang masa depan Suriah. Rusia mencoba untuk mengawal tujuan tersebut.

Poin Penting dalam Wawancara bersama LavrovPertanyaan: Sejauh mana (di negara-negara Arab Spring) adalah keseimbangan dalam mempertahankan antara demokrasi dan keamanan? Pelajaran apa yang bisa dipetik dari apa yang disebut “ Revolusi Musim Semi Arab “, dan apa bahaya mengancam wilayah tersebut hari ini? Lavrov : Saat ini, ada lebih sedikit dan lebih sedikit negara-negara yang menolak demokrasi sebagai cara untuk mengatur masyarakat dan Pemerintah. Rusia telah lama membuat pilihan ini untuk dirinya sendiri. Ini adalah jelas dan tidak tunduk pada revisi. Tapi karena kami yakin tidak ada alternatif untuk pengembangan demokrasi dunia dan setiap negara, kami yakin bahwa setiap negara harus mempertimbangkan tradisi, sejarah dan nilai-nilai dalam memilih model khusus pembangunan dan lembaga-lembaga demokratis. Tentu saja, ada beberapa kriteria umum yang dengan suara bulat disetujui pada tingkat universal—Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia— yang ditandatangani oleh seluruh anggota PBB.

Tapi, ketika satu kelompok dari negara-negara, di samping apa yang telah diterima secara universal,

upaya untuk memaksakan sistem mereka nilai sangat diragukan, yang telah muncul dalam dua atau tiga dekade terakhir, seperti berada di kelas yang sama seperti kewajiban-kewajiban universal, ini mengarah pada konflik dan beberapa yang tergoda untuk memaksakan demokrasi dengan kekuatan dari luar. Dan kemudian kita sudah tidak berbicara tentang demokrasi, tetapi demokratisasi yang menjadi dalam banyak kasus alasan untuk destabilisasi masyarakat.

Jadi, ketika Amerika menginvasi Irak, dan jadi ketika NATO terlalu melanggar mandat Dewan Keamanan PBB, membom Libya, itulah apa yang terjadi di banyak negara lain di wilayah ini, di mana ada gangguan luar.

Konflik Suriah juga contoh di mana sejumlah besar pejuang dari “teroris internasional “, dari seluruh dunia—termasuk Eropa, Amerika Serikat dan Federasi Rusia—telah bergegas ke medan perang untuk menciptakan kekhalifahan di Suriah dan seluruh daerah. Oleh karena itu, “demokratisasi” yang mencoba untuk memaksakan diri dengan kekuatan dari luar dapat merusak stabilitas dan mengarah ke ancaman baru. Dan sebaliknya stabilitas, menurut pendapat saya, memberikan kondisi terbaik untuk rekonsiliasi dan untuk mempromosikan proses reformasi demokrasi.

Berbicara tentang Suriah, saya tidak ragu bahwa pada konferensi, yang, tampaknya, masih akan pergi ke depan - Saya sangat berharap bahwa tidak ada yang akan membantah 22 Januari 2014, dan oposisi tidak akan mengajukan alternatif kondisi yang tidak dapat diterima yang bertentangan dengan Rusia-Amerika inisiatif. Saya yakin bahwa konferensi harus menempatkan perang melawan terorisme di bagian atas agenda - ini sekarang merupakan ancaman terbesar bagi Suriah dan negara-negara lain di wilayah ini.

23

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Tentu saja, akan ada isu-isu lain dalam agenda,

termasuk menyikapi masalah kemanusiaan yang

serius, koordinasi kerangka kerja untuk proses

politik, pemilu, jalan ke depan untuk membentuk

struktur transisi. Tapi semua ini harus dengan

kesepakatan bersama dari Pemerintah dan oposisi,

seperti yang tercantum dalam komunike dari

Konferensi Jenewa I. Dalam hal ini, saya memiliki

harapan tinggi bahwa kami mitra Barat, dan mitra

dari daerah yang memiliki dampak terbesar pada

oposisi akan mampu melakukan segala sesuatu

yang diperlukan untuk memastikan bahwa oposisi

di konferensi akan berada di perwakilan tempat

pertama, dan kedua, bahwa itu akan datang tanpa

prasyarat.

Semua jalur dari inisiatif Rusia-Amerika terletak pada kenyataan bahwa solusi Suriah ada sendiri, tanpa campur tangan luar, tanpa prasyarat, telah sepakat tentang bagaimana menerapkan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam komunike Jenewa tanggal 30 Juni 2012. Namun sejauh ini, sayangnya, rasa takut tetap alih posisi akhir dari para penentang rezim, yang kini bersatu dalam “Koalisi Nasional”. Hal ini mengkhawatirkan bahwa koalisi menunjukkan tanda-tanda kurangnya persatuan lengkap dan yang masih mengatakan bahwa satu-satunya hasil dari konferensi tersebut, jika tidak prasyaratnya, harus ada perubahan rezim. Tap,i tak seorang pun pernah setuju untuk ini. Hal ini mengkhawatirkan juga bahwa koalisi, menurut perkiraan kami, sangat lemah dan jauh tidak di kontrol atas semua yang berjuang melawan rezim “ di lapangan.

Penyebab lain keprihatinan adalah bahwa di

antara mereka yang berjuang ada lebih dan lebih

jihadis yang mengerucut pada tujuan ekstremis—

penciptaan kekhalifahan, pengenalan hukum

syariah, dan—pada kenyataannya— mereka sudah

meneror minoritas. Aliansi seperti Jabhah Islamiyah

juga telah dibuat, dengan mana rekan-rekan kami

Barat bahkan mencoba untuk menggoda, sejauh

dapat dipahami dari kontak rahasia, meskipun

diketahui bahwa struktur Jabhah Islamiyah tidak

jauh dari orang-orang dari Jabhatun Nushrah dan

ISIS. Hal ini mengganggu kita.

Ada insiden biasa terhadap umat Kristen. Di

Suriah, sebelum krisis ada 2 juta orang Kristen.

Sekarang, itu akan baik jika ada hanya satu

jutaan. Statistik tidak dapat diandalkan, tapi saya

pikir bahwa setidaknya satu juta orang menjadi

pengungsi. Penyebab terbesar ini - yang channel

Anda menunjukkan - adalah ketika teroris

mengambil sandera suster dari Biara St. Fekly dekat

kota Maalula (satu-satunya tempat di dunia di

mana penduduk berbicara bahasa Aramaik, bahasa

Yesus Kristus).

Semua kontak kami dengan komunitas Kristen

di wilayah tersebut dan di Suriah berbicara tentang

keprihatinan mereka sangat dalam - apa yang

dipertaruhkan, jika Anda suka, adalah dua ribu

tahun orang Kristen yang hidup di Timur Tengah.

Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk setuju, di

atas semua, tentang apa yang akan terjadi dengan

Suriah.

Tugas utama adalah perang melawan terorisme. Dari sudut pandang proses politik, maka perlu bagi Pemerintah dan oposisi untuk mulai menetapkan visi bersama tentang masa depan Suriah, bahwa itu harus berdaulat, negara yang merdeka, negara yang integritas teritorial dihormati oleh semua, dan yang menjamin hak-hak semua kelompok etnis, agama, dan politik, sehingga semua merasa aman, merasa bahwa mereka memiliki keterlibatan dalam sistem politik dan kehidupan politik negara.

24

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Ini adalah tujuan utama. Siapa saja (personal yang terlibat) dan yang datang sesudah, dan bagaimana mengatur pemilu, semua ini adalah sekunder. Sekarang ancaman utama berasal dari mereka yang berusaha untuk mengalahkan pemerintah di medan perang dan menciptakan keadaan yang sama sekali berbeda.

Menjelang dan pasca konferensi Jenewa II

Pada tanggal 19 Januari 2014, Koalisi Nasional Suriah mengancam akan meninggalkan pembicaraan pada menit-menit terakhir (dengan ukuran hari) setelah ada undangan kepada pemerintah Iran oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon untuk berpartisipasi dalam konferensi di Montreux, 22 Januari. Amerika Serikat memandang,undangan ke Iran untuk menghadiri Konferensi Jenewa II sebagai dikondisikan pada dukungan eksplisit dan publik Iran untuk implementasi penuh dari komunike Jenewa I. Setelah hampir 24 jam kebingungan, Ban Ki -moon membatalkan undangan ke Iran, yang Koalisi Nasional Suriah mengumumkan bahwa mereka akan menghadiri konferensi tersebut tak lama kemudian.

Seperti yang sudah diperkirakan oleh banyak pihak, Konferensi Jenewa II (22-31/1/14) tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Memang ada agenda untuk kembali melanjutkan negosiasi pada 10 Februari, tetapi proses negosiasi selama sepekan tersebut telah memperlihatkan lebarnya jurang perbedaan persoalan inti bagi kedua belah pihak. Sungguh tinggi pesimisme untuk melanjutkan kembali konferensi tersebut, dan hingga kini belum ada rencana konferensi lanjutan.

Pesimisme atas kegagalan konferensi kedua ini didukung fakta yang memperlihatkan bahwa konferensi awal pun gagal menghasilkan kesepakatan terbatas, berupa: (i) pembebasan

sebagian tahanan, (ii) gencatan senjata lokal sementara guna memberi jalan bagi distribusi bantuan kemanusiaan, dan (iii) evakuasi sebagian korban. Tiga masalah itu dianggap memiliki perbedaan ‘’ringan’’ sehingga didahulukan dalam agenda perundingan. Tapi itu pun gagal menemukan titik temu. Bahkan, bantuan internasional baru bisa masuk ke wilayah Suriah dari Turki pada tanggal.

Kedua pihak sama-sama kekeuh pada posisi masing-masing. Kubu oposisi bersikeras Asad harus turun, serta tak terlibat dalam pemerintahan transisi dan proses demokrasi di Suriah ke depan. Tuntutan itu hampir tak banyak berubah sejak menjelang konferensi damai Jenewa I hingga akhir perundingan Jenewa II. Tuntutan ini jelas tak masuk akal menilik paritas kekuatan kedua pihak di lapangan.

Kubu Asad yang masih cukup kuat, mudah

ditebak, menolak mentah-mentah, sebagaimana

berulang kali disampaikan, dan hampir tanpa

perubahan. Menerima tuntutan itu bagi mereka

bukan hanya berarti kehilangan kekuasaan

melainkan juga ancaman. Mereka bukan hanya

akan diseret ke pengadilan dengan tuntutan

kejahatan kemanusiaan, melainkan juga menjadi

antagonis baru di Suriah. Sebuah hal yang sangat

tidak mereka inginkan.

Namun, penyebab kegagalan sejauh ini bukan

karena semata alotnya sikap oposisi melainkan juga

kekakuan sikap kubu Asad. Mereka menginginkan

Asad sepenuhnya masih memimpin transisi dan

berhak ikut dalam proses demokrasi. Ini tentu sama

dengan bohong bagi kubu oposisi. Apa pun konsesi

lain yang diberikan kepada mereka, tak banyak

membawa arti jika hal itu tak dinegosiasikan.

Pasalnya, tujuan politik dari gerakan rakyat dan

militer oposisi Suriah adalah menjatuhkan rezim

Asad.

25

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Kondisi di lapangan sebenarnya sudah sangat memaksa untuk berdamai. Mereka pasti sadar tak bakal memperoleh kemenangan telak, sekalipun dengan pengorbanan lebih besar lagi. Tetapi, ada faktor lain yang memperkuat keteguhan dua kubu itu, yakni peranan aktor-aktor luar yang mendukung mereka.

Beberapa negara Teluk seperti menyediakan bantuan yang sangat besar kepada oposisi (nasionalis), baik sayap politik maupun militer, asalkan mereka mati-matian menjatuhkan rezim Asad. Ini membuat logistik mereka begitu kuat sehingga bisa bertahan sangat lama. Beberapa negara Eropa dan AS, kendati tidak sengotot negara-negara Teluk, juga terus mendorong agar perjuangan mereka bisa menjatuhkan Asad. Minimal hingga saat ini, oposisi berpikir bahwa mereka tetap mampu melanjutkan perang sebab logistik cukup tersedia. Bagi para rezim Timur Tengah, pilihan ini lebih logis daripada dukungan kepada kelompok jihadi.

Sementara pendukung Asad, seperti Iran dan Hizbullah, menunjukkan sikap konsisten seolah-olah siap mati bersama andai rezim Asad dihancurkan. Ada faktor ideologis kesamaan Syiah dan ancaman Sunni yang melatarbbelakangi. Ini membuat rezim ini merasa lebih tenang menghadapi pasukan militer oposisi dan juga di meja perundingan. Dukungan politik dan militer Rusia yang makin naik daun di bawah Putin juga membuat rezim ini tak mau memberikan konsesi besar dalam perundingan.

Upaya pengalihan Isu

Selanjutnya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan kepada media (11/2/2014) bahwa rancangan resolusi PBB pada akses bantuan di Suriah adalah “terlepas dari kenyataan” dan mendesak Barat untuk menahan diri dari apa yang

disebut tuduhan sepihak terhadap Damaskus. Sebelumnya, beberapa negara, yaitu Australia, Luksemburg, dan Yordania, menyajikan rancangan resolusi mereka untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan ke Suriah.

Namun, Moskow bergerak cepat untuk mengajukan resolusi yang betul-betul mewakili kesamaan kepentingan (commonsense). “Mitra Barat kami di Dewan Keamanan... mengusulkan agar kami bekerja sama dalam mengerjakan sebuah resolusi. Ide-ide mereka terbagi dengan kami, yang benar-benar berada di satu sisi dan terpisah dari kenyataan, “ kata Lavrov yang dikutip kantor berita Interfax setelah pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Aljazair Ramtane Lamamra. Lavrov mengatakan bahwa Rusia akan siap untuk mempertimbangkan draf hanya jika itu “tidak tentang tuduhan ditujukan pada rezim di satu sisi saja.” Lebih jelasnya, tuduhan kriminal juga perlu diarahkan kepada pihak oposisi, yaitu terorisme.

Selama ini Rusia telah menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan untuk memblokir tiga resolusi yang didukung Barat, yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Suriah selama konflik tiga tahun. Lavrov juga menyerukan kepada Dewan Keamanan untuk menyetujui resolusi yang mengutuk “kegiatan teroris” di Suriah. Pemerintah Presiden Basyar Asad menggambarkan semua mereka yang berjuang untuk mengusir pejuang asing sebagai teroris dan telah mendorong upaya untuk memerangi “terorisme” menjadi fokus utama pembicaraan damai sejak di Jenewa.

Rusia, yang selama ini menjadi pemasok senjata lama ke Damaskus, telah menjadi pelindung internasional utama Asad sepanjang perang sipil. Moskow menolak tuduhan Barat bahwa itu melindungi Presiden Suriah dan mengatakan rakyat Suriah, bukan kekuatan asing, harus memutuskan masa depan Asad. Sementara, bukti-bukti lapangan

26

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

yang diperoleh dari pihak pejuang sebagian menunjukkan keterlibatan personel militer Rusia dan Iran di tengah konflik.

Ringkasan Resolusi pBB No.

Pesan politik Sergei Lavrov untuk mengangkat

isu terorisme di Suriah akhirnya terakomodasi

dalam kesepakatan internasional. Pada tanggal 22

Februari 2014, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan

Resolusi 2139 (2014) dalam pertemuan ke-7116.

Pada poin ke-14, resolusi tersebut menyatakan:

ശ mengutuk keras serangan teroris yang meningkat

sehingga banyak korban dan kehancuran yang

dilakukan oleh organisasi dan individu yang terkait

dengan Al Qaeda, afiliasinya, dan kelompok teroris

lainnya;

ശ mendesak kelompok oposisi untuk

mempertahankan penolakan mereka terhadap

organisasi dan individu-individu yang bertanggung

jawab atas pelanggaran serius terhadap hukum

humaniter (kemanusiaan) internasional di daerah

yang dikuasai oposisi;

ശ menyerukan kepada pemerintah Suriah

dan kelompok oposisi untuk berkomitmen

memerangi dan mengalahkan organisasi serta

individu yang terkait dengan Al-Qaeda, yang

berafiliasi, serta kelompok teroris lainnya;

ശ menuntut agar semua pejuang asing segera

menarik diri dari Suriah; dan

ശ menegaskan kembali bahwa terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap perdamaian dan keamanan internasional, dan bahwa setiap tindakan terorisme adalah kejahatan dan tidak dapat dibenarkan, terlepas dari motivasi mereka, di manapun, kapan pun, dan siapa pun yang melakukannya.

krisis kemanusiaan, Sampai kapan?

Berhasil atau gagalnya perundingan damai sepertinya tidak berarti banyak dengan keberlanjutan perang. Faktanya, perang berkobar begitu perundingan ini tak menghasilkan kesepakatan. Hasil ini mudah diduga, apalagi sebagian besar pihak bertikai utama dari pihak oposisi justru tidak diwakili oleh pihak yang diajak berunding.

Setelah perundingan, pasukan rezim justru menabuh genderang perang besar di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi, terutama di kota Aleppo. Korban kemanusiaan semakin tak terhindarkan akibat bom birmil (barel) dari pihak rezim. Ketika wartawan Reuters bertanya kepada Kepala HAM PBB Navi Pillay, apakah ia pikir sudah waktunya untuk Resolusi DK PBB untuk memaksa Pemerintah Suriah memenuhi kewajibannya? Ia menjawab, “Kami pasti tidak akan keberatan dengan tindakan oleh Dewan Keamanan.”

Rupert Colville, juru bicara kantor HAM PBB di Jenewa, juga mengatakan bahwa Pemerintah Suriah telah melanggar kewajibannya di bawah hukum internasional, yang mengharuskan negara untuk menjamin pasokan makanan minimum, obat dasar, dan air bersih. “Hampir tidak ada kewajiban ini setelah bertemu di Homs lama, dan berbagai daerah lainnya, yang terkepung dalam beberapa bulan terakhir, “ kata Colville.

Banyaknya korban nyawa yang jatuh, korban terluka, destruksi masif, dan penderitaan panjang jutaan warga Suriah cukup membuat para pemimpin dari pihak-pihak yang berseteru untuk berhitung ulang. Entah sampai kapan perang ini akan berakhir menilik paritas kedua pihak yang relatif seimbang. Yang mengkhawatirkan adalah perang akan berlangsung lama dan berisiko makin destruktif. Jika perang sipil di Suriah (civil war) digeser menjadi “war on terror”, maka Revolusi Suriah bisa menjadi perang yang tak kunjung usai. (F. Irawan)

27

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

gENOSIdA MUSLIM REpUBLIk AFRIkA TENgAh

“anti-Balaka datang, mengambil anakku Abdel dan ditembak mati di pasar. Saya melihat sekelompok anti-Balaka datang ke rumah saya dan saya berjongkok menghadap dinding untuk menunjukkan kepada mereka bahwa saya bukan ancaman. Salah satu dari mereka menembak saya tiga kali, dua kali di perut dan sekali di lengan kanan saya, dan meninggalkan

saya.”

Imam Mahajir, 76, yang selamat bentrokan antara anti-Balaka dan bersenjata warga sipil dan sisa-sisa pasukan Seleka Muslim di Bossemptele pada tanggal 18 Januari.

“Ayah saya, Soba tibati, tidak bisa berjalan dan tidak bisa melarikan diri ketika anti-Balaka menyerang desa kami. mereka memenggal kepalanya di depan mata saya saat ia duduk di atas tikar jerami di bawah pohon di luar gubuk kami. Dua belas anggota keluarga saya juga dibantai dalam serangan yang sama. yang termuda adalah seorang bayi perempuan yang baru berusia enam bulan. “

Dairu Soba, selamat dari serangan anti-Balaka di Boyali pada tanggal 8 Januari.

“saat itu waktu sholat ketika sekelompok pemuda bersenjatakan parang menyerbu kompleks kami. Semuanya terjadi sangat cepat. mereka tidak mengatakan apa-apa, mereka mulai memukul kami dengan parang. mereka menyerang ayah saya, Sanu, dan menghancurkan kepalanya, membunuhnya di tempat, dan melukai ibuku, Fatimah, dan adiknya Aichatu, yang meninggal karena luka-lukanya. Dia meninggalkan seorang bayi perempuan berusia delapan bulan, Ramatu”

Relatif beberapa orang yang dibunuh oleh anti-Balaka di Bouali, 100 km sebelah utara dari Bangui pada tanggal 17 Januari.

horor di Afrika Tengah1

1 Dikutip dari laporan Amnesti Internasional berbahasa Inggris http://www.amnesty.org/en/news/central-african-republic-ethnic-cleansing-sectarian-violence-2014-02-12

28

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Amnesti Internasional Rabu (12/2/2014), dalam laporannya, menyatakan bahwa saat ini sedang terjadi genosida terhadap umat Islam di Republik Afrika Tengah (Central Africa Republic/CAR). Pembersihan itu mengakibatkan ketakutan dan mendorong eksodus yang massif kalangan Muslim dari negara itu.

“Milisi Anti-Balaka sedang melakukan serangan kekerasan dalam upaya untuk membersihkan etnis Muslim dari Republik Afrika Tengah,” kata Joanne Mariner, penasihat senior di Amnesty International.1

Human Right Watch juga mendukung fakta ini dan menyatakan bahwa, milisi anti-Balaka (“anti-parang”) semakin terorganisir dan menggunakan bahasa yang menunjukkan niat mereka untuk menghilangkan penduduk minoritas Muslim dari Republik Afrika Tengah.

Human Right Watch menyoroti pilihan bahasa yang digunakan milisi Anti-Balaka. Menurut organisasi itu, dari bahasa tersebut terlihat niat mereka untuk menghilangkan Muslim dari negara itu. “Pada tingkat ini, dengan kekerasan yang ditargetkan, tidak akan ada Muslim tersisa di Republik Afrika Tengah,” kata Peter Bouckaert, Direktur Kondisi Darurat Human Right Watch.1 http://www.amnesty.org/en/news/central-african-republic-ethnic-cleansing-sectarian-violence-2014-02-12

“Orang-orang yang keluarganya telah tinggal di

negara itu dengan damai selama berabad-abad,

dipaksa meninggalkan kampung atau melarikan

diri dari ancaman kekerasan yang sangat nyata atas

mereka,” imbuh Bouckaert..2

Serangan paling mematikan didokumentasikan

oleh Amnesty International terjadi pada tanggal

18 Januari di Bossemptele, di mana sedikitnya 100

Muslim tewas. Korban tewas mencakup perempuan

dan lelaki tua, termasuk imam setempat yang

berusia lebih dari 70 tahun.3

Kota-kota dengan populasi Muslim di dalamnya

yang mendapatkan serangan gencar bersenjata

adalah Bouali, Boyali, dan Baoro. Para pengamat

mengkhawatirkan perkembangan situasi di Afrika

Tengah akan mengulang tragedi genosida di

Rwanda, sekitar dua dasawarsa silam.

Sepanjang Januari 2014 dan minggu pertama

bulan Februari, ribuan keluarga

Muslim dari kota-kota dengan

populasi Muslim yang cukup besar -

Bossangoa, Bozoum, Bouca, Yaloké,

Mbaiki, Bossembélé, dan lain-lain

di barat laut dan barat daya - melarikan diri dari

serangan anti-Balaka mengerikan.

Anak-anak sengaja dibantai

Menurut monitor organisasi internasional, anak-anak dan perempuan Muslim sengaja ditargetkan oleh milisi Kristen anti-Balaka.

“Saya melihat ibu-ibu yang anak-anaknya telah tewas atau terluka” Dr Jean Chrysostome Gody, direktur rumah sakit anak satu-satunya di negara itu, yang didukung oleh Unicef.

2 http://www.hrw.org/news/2014/02/12/central-african-republic-muslims-forced-flee 3 http://www.amnesty.org/en/news/central-african-republic-ethnic-cleansing-sectarian-violence-2014-02-12

“kita harus membunuh semua umat islam”

Banda Crisostom, Milisi Kristen

29

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

“Ada peluru di kepala dan dada anak-anak yang tewas. Tidak mungkin mereka ada di sana karena kecelakaan. Seolah-olah orang yang mencoba untuk membersihkan ras lain.

“Ini adalah balas dendam yang ekstrim dan brutal,” tambah Gody.4

keberhasilan genosida

Yaloké, pusat perdagangan emas terbesar, yang

memiliki penduduk Muslim

sekitar 30.000 dan mempunyai

8 Masjid sebelum konflik.

Ketika Human Rights Watch

mengunjungi pada tanggal 6

Februari, hanya menyisakan

kurang dari 500 Muslim dan satu

masjid saja. Warga Muslim berkumpul di masjid,

dilindungi oleh pasukan penjaga perdamaian

Perancis, sementara milisi Kristen dan warga

menjarah dan menghancurkan rumah dan masjid

mereka.5

4 Christian militias take bloody revenge on Muslims in Central African Republic, Children are reportedly targeted by Christian anti-balaka gangs set up in wake of attacks by Muslim Seleka rebels http://www.theguardian.com/world/2014/mar/10/central-african-republic-christian-militias-revenge5 http://www.hrw.org/news/2014/02/12/central-african-republic-muslims-forced-flee

PBB mengatakan awal Maret lalu bahwa sekitar 130.000 sampai 145.000 Muslim biasanya tinggal di ibukota, Bangui, kini penduduk muslim telah berkurang menjadi sekitar 10.000 pada bulan Desember dan sekarang hanya tinggal 900.

Di lingkungan yang sebagian Muslim, PK12, beberapa keluarga berkemah di rumput dan lumpur dengan dengan rasa was-was dan ketakutan terus-menerus. Konvoi yang mencoba untuk keluar dari sini harus menghadapi massa Kristen. Dalam satu insiden, seorang Muslim yang jatuh dari kendaraan langsung digantung. Dalam insiden lain, lima anak tercekik dalam truk yang penuh sesak dan ditemukan tewas ketika konvoi tiba di bandara militer Bangui ini.

Ibrahim Alawad, seorang pengacara berusia 55 tahun, menunjuk ke parit dan gundukan pemakaman segar dan mengatakan ia telah memakamkan mahasiswa 22 tahun 1 jam sebelumnya. Populasi daerah tersebut telah menyusut dari 25.000 orang enam bulan yang lalu menjadi 2.700 hari

ini, katanya, sementara empat masjid telah dihancurkan. “Mereka tidak hanya membunuh kaum muslimin, mereka ingin membersihkan mereka. Bayangkan seseorang ingin membunuh Anda, Anda dipanggang di atas api dan

Anda dimakan. Ini adalah neraka neraka. Tidak ada kondisi hidup di sini.”

Lingkungan Bangui seperti PK5, yang berkembang dengan bisnis Muslim, sekarang menyerupai kota hantu. Pada Selasa sore (4/3), ratusan kios pasar dan toko-toko kecil yang kosong dan sepi bagai tubuh berbaring di jalan dan pasukan penjaga perdamaian Afrika memikul senjata berpatroli di sebuah kendaraan lapis baja. Di jalan-jalan ada kendaraan dengan tumpukan tinggi barang-

Seorang gadis bersembunyi di bagasi mobil saat dicari milisi Kristen ‘anti-Balaka’

di pos pemeriksaan daerah PK12 Bangui.Photograph: Sia Kambou/AFP/Getty Images

“Pada tingkat ini, jika kekerasan terus berlangsung, tidak akan ada muslim

yang tersisa di Republik Afrika Tengah”

Peter Bouckaert, direktur keadaan darurat

Human Right Watch

30

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

barang pribadi. Diperkirakan populasi Muslim telah menurun dari sekitar 7.000 menjadi hanya 1.000 di sini. 6

Organisasi Bantuan Medis, Doctors Without Borders, awal februari lalu juga menyatakan bahwa, “Telah terjadi kekerasan pada tingkat ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya atas warga Muslim oleh milisi Kristen.”

Doctors Without Borders mengatakan, konflik di Afrika Tengah memang kompleks dengan dampak yang dirasakan semua komunitas. Namun, ujar mereka, minoritas Muslim lebih ditargetkan menjadi sasaran kekerasan itu.

“Di banyak kota, kelompok-kelompok Muslim terisolasi dan terancam oleh kekuatan-kekuatan Anti-Balaka, sementara puluhan ribu umat Islam telah meninggalkan negara itu ke pengungsian di Chad atau Kamerun.” 7

Pada hari Jumat (7/3), seorang pejabat PBB atas untuk pengungsi memperingatkan bahwa seluruh populasi Muslim dari bagian barat Republik Afrika Tengah telah dibersihkan oleh milisi Kristen.

Lebih dari 650.000 orang telah mengungsi di CAR akibat konflik, lebih dari 232.000 di ibukota Bangui saja, menurut kepala kemanusiaan PBB.8

penghancuran Masjid dan penjarahan

Dari 36 masjid yang awalnya berdiri di Bangui, “sekarang jumlahnya kurang dari sepuluh,” ujar Imam Oumar Kobine Layama, seorang pemimpin komunitas Muslim di CAR, kepada Anadolu Agency.

6 David Smith in Bangui, Christian militias take bloody revenge on Muslims in Central African Republic, Theguardian word news 10 Maret 2014 http://www.theguardian.com/world/2014/mar/10/central-african-republic-christian-militias-revenge7 http://edition.cnn.com/2014/02/12/world/africa/central-african-republic-muslims/index.html?iref=allsearch 8 Christian Militias Sweep CAR Muslims, http://www.onislam.net/english/news/africa/470163-christian-militias-sweep-car-muslims-.html 11 March 2014

Laporan PBB mengungkapkan, milisi Kristen anti-Balaka sweeping dari pintu ke pintu, menggerebek setiap rumah Muslim, membunuh anak-anak dan perempuan, menjarah dan merusak properti.

Namun, selama beberapa hari terakhir, masjid menjadi target terbaru mereka. Massa Kristen menyerang sebuah masjid Bangui Selasa (18/2) lalu.

“Mereka menjarah seng masjid, kusen dan jendela,” Sherif Wadi, seorang saksi mata Muslim menggambarkan serangan sebagaimana laporan Amnesty Internasional.

Menurut Imam Layama, setidaknya 67 masjid telah dihancurkan di seluruh negara yang dilanda perselisihan. Serangan itu bertujuan untuk memaksa umat Islam meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke luar negeri.

“Kami muak dengan umat Islam di sini dan ingin mereka semua pergi,” teriah warga setempat Hubert Ndho.

“Itu sebabnya kami menghancurkan mesjid mereka.”

“Kami tidak tahu siapa yang meracuni pikiran mereka untuk memulai pembunuhan ini.

“Ini adalah negara kami, tapi mereka mengatakan kepada kita untuk meninggalkan Negara ini atau mereka akan membunuh kami,” tambah Marriam sambil menangis.

Pindah dari daerah ke daerah lain, massa Kristen telah menargetkan tempat-tempat ibadah Muslim di Afrika Tengah.

31

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

“Kami melarikan diri dan mereka menjarah

segalanya.” Mahamat, tambahnya.

Pada hari Selasa, Amnesty International

memperingatkan bahwa para pejuang Anti-Balaka

di Republik Afrika Tengah yang mencoba untuk

“membersihkan etnis Muslim”.

Organisasi hak asasi manusia menambahkan

bahwa serangan terhadap umat Islam dilakukan

dengan restu pemerintah yang berniat untuk

“secara paksa menggusur” umat Islam dari negara

tersebut.9

keterlibatan pasukan perancis

“Setelah Seleka mundur, pasukan internasional

memungkinkan milisi Anti-Balaka untuk mengambil

kendali di setiap kota. Hasilnya, kekerasan dan

pengusiran paksa terhadap komunitas Muslim.”

Ujar Amnesti Internasional dalam laporannya.

Republik Afrika Tengah adalah bekas koloni

Perancis. Negara itu terjebak dalam kekacauan

politik sejak beberaa tahun yang lalu. Puncaknya

kekacauan pada Maret 2013 lalu ketika koalisi oposisi

yang didominasi Muslim, Seleka, menggulingkan

Pemerintah Presiden Fancois Bozize, dan berkuasa

selama 10 bulan sampai Januari 2014.

Kubu oposisi Saleka muslim kemudian mundur dari kekuasaan karena tekanan Internasional dan dari kubu oposisi Kristen yang dikenal sebagai “Anti-Balaka” yang didukung pasukan Perancis dan Uni Afrika, yang kemudian mengisi kekosongan kekuasaan. Transisi kekuasaan ini, kata Amnesty Internasional, menjadi awal dari konsekuensi mengerikan bagi para Muslim pada periode sesudahnya.

9 Christians Militias Looting Mosques and Killing Muslims in CAR, http://jafrianews.com/2014/02/17/christians-militias-looting-mosques-and-killing-muslims-in-car/

Dalam laporannya Amnesty International mengkritik kurangnya respon masyarakat internasional terhadap krisis, pasukan penjaga perdamaian internasional telah enggan untuk menghadapi milisi anti-Balaka, dan lambat untuk melindungi minoritas Muslim yang terancam.

”Mereka telah merestui kekerasan dalam beberapa kasus dengan memungkinkan tindak kekerasan milisi anti-Balaka untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh Seleka.”

Dalam beberapa pekan terakhir, Amnesty International telah mengambil lebih dari 100 kesaksian tangan pertama dari serangan anti-Balaka skala besar terhadap warga sipil Muslim di kota-kota barat laut CAR dari Bouali, Boyali, Bossembele, Bossemptele, dan Baoro. Pasukan internasional telah gagal untuk menyebar ke kota-kota tersebut meninggalkan masyarakat sipil tanpa perlindungan.10

Saat ini ada 1.600 tentara Perancis di negara itu, bersama sekitar 6.000 tentara dari pasukan penjaga perdamaian di bawah bendera Uni Afrika yang dikenal sebagai MISCA.

Menurut Amnesty International Kekerasan, kebencian, dan ketidakstabilan saat ini adalah akibat langsung dari krisis hak asasi manusia yang dimulai pada Desember 2012, ketika pasukan Seleka yang sebagian besar Muslim melancarkan serangan bersenjata yang memuncak dalam perebutan kekuasaan pada Maret 2013. Berkuasa selama hampir sepuluh bulan, Seleka bertanggung jawab atas pembantaian, eksekusi di luar hukum, pemerkosaan, penyiksaan, dan penjarahan, serta pembakaran besar-besaran dan penghancuran desa-desa Kristen.11

10 http://www.amnesty.org/en/news/central-african-republic-ethnic-cleansing-sectarian-violence-2014-02-1211 ibid

32

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Tentara Prancis menangkap seorang pria yang diduga anggota Seleka, dekat bandara Bangui, 9 Desember 2013 (Source Getty Images/TM)

Milisi Kristen Anti-Balaka bukan satu-satunya ancaman yang dihadapi Muslim CAR. Pasukan penjaga perdamaian Perancis yang dikerahkan untuk menghentikan pertempuran yang sedang berlangsung di CAR, telah melucuti pemberontak ex-Seleka, memungkinkan milisi Kristen untuk menghabisi komunitas Muslim yang telah dilucuti.

“Masalah kita adalah Perancis,” kata Alawad, seorang pengacara,

“Mereka adalah putih anti-Balaka. Ini seperti Rwanda, mereka ingin melakukannya lagi, tapi kami tidak akan membiarkan mereka, “tambahnya.

Reaksi dunia Islam

Palestina mengorganisir protes di Jalur Gaza pertengahan februari lalu, sementara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) memutuskan untuk segera mengirim misi pencari fakta.

Sekretaris Jenderal OKI Iyad Madani Ameen mengatakan seluruh lingkungan di Republik Afrika Tengah telah dikosongkan dari populasi Muslim mereka, dengan properti dan masjid hancur.

Dia mengatakan pengunduran paksa presiden Muslim pertama di negara itu hanya menguntungkan milisi Kristen, yang digambarkan sebagai kelompok kriminal yang perlu diperangi.12

Sementara itu Emirat Islam Afghanistan memberikan pernyataan melalui situs resminya. Dalam situsnya Taliban menyerukan pada masyarakat internasional dan dunia Islam khususnya untuk memberikan bantuan kemanuasiaan pada muslim Afrika Tengah. Taliban juga mengutuk pembunuhan tanpa ampun tersebut di tangan 12 OnIslam & News Agencies, 23 February 2014: France Fails CAR Muslims http://www.onislam.net/english/news/africa/469529-france-fails-car-muslims.html

milisi yang haus darah. Selain itu menyerukan Organisasi Konferensi Islam, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Komite Hak Asasi Manusia Internasional, Uni Afrika dan pemimpin agama tertinggi Kristen di Vatikan (Paus Francis) untuk mengambil langkah-langkah dalam mencegah pembunuhan massal umat Islam di CAR dan untuk memenuhi tugas etis dan kemanusiaan mereka.13

Al-Qaeda di Maghreb Islam (AQIM) juga

membuat pernyataan terhadap kekerasan terhadap

Muslim di Republik Afrika Tengah (CAR) yang

dilakukan oleh milisi kristen anti-Balaka sebagai

“episode baru dalam rangkaian Perang Salib dan

kedengkian terhadap Islam dan orang-orangnya.”14

AQIM menggambarkan pasukan perdamaian

internasional yang dikirim ke CAR, “hanya untuk

meningkatkan penderitaan umat Islam.” Perancis

datang sebagai “tentara salib kolonial yang jahat

... untuk terus memainkan peran mengontrol

benua Afrika. Mereka memicu konflik dan

penjarahan dalam rangka menjaga kepentingan

mereka dan memuaskan arogansi mereka.” AQIM

memperingatkan Prancis: “kejahatan tidak akan

luput dari hukuman dan perang antara kami dan

kamu terus berlanjut”.

Gerakan Islam itu juga mengutuk aksi “diam

yang memalukan” dari masyarakat Islam “umat

satu miliar”, terhadap penderitaan umat Islam di

Afrika Tengah.15

13 http://shahamat-english.com/index.php/paighamoona/42397-statement-of-islamic-emirate-regarding-the-genocide-of-the-muslims-of-car14 Al-Qaeda in the Islamic Maghreb, “Central African Tragedy… Between Crusader Deceit and Muslim Betrayal,” February 26, 2014, https://www.ansar1.info/showthread.php?t=47761.15 Terrorism Monitor Publication, Volume XII, Issue 5 u March 6, 2014, p.2 http://www.jamestown.org/programs/tm/single/?tx_ttnews[tt_news]=42048&tx_ttnews[backPid]=757&no_cache=1

33

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Sekilas tentang Republik Afrika Tengah (Central African Republic/CAR)

Republik Afrika Tengah merupaka Negara

di tengah benua afrika yang tidak mempunyai

wilayah perairan. Negara bekas jajahan perancis ini

memiliki luas 623,000 km² dan dihuni oleh sekitar

5 juta jiwa, menurut data statistik pada 2011.16

Agama nenek moyang atau keyakinan adat dan

Kristen menjadi agama mayoritas penduduk, dan

muslim menjadi minoritas dengan jumlah hanya 15

% dari populasi. Pemeluk Islam umumnya tinggal di

daerah utara Negara tersebut.

Indigenous beliefs 35%, protestant 25%, Roman Catholic 25%, Muslim 15%.17

Republik Afrika Tengah (CAR) tidak stabil sejak kemerdekaannya dari Perancis pada tahun 1960 dan merupakan salah satu negara kurang berkembang di dunia.

Negara ini telah mengalami beberapa kudeta

dan periode, Jean-Bedel Bokassa, yang memimpin

rezim diktator. Era Bokassa berakhir pada tahun

1979, ketika ia digulingkan dalam kudeta yang

dipimpin oleh David Dacko dan didukung oleh

pasukan Perancis yang berbasis di negara itu.

16 Central African Republic, contry profile http://www.nationsonline.org/oneworld/central_african_republic.htm17 https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ct.html

Setelah dua tahun berkuasa Mr Dacko digulingkan

oleh Andre Kolingba, yang melaksanakan pemilihan

presiden multi-partai tetapi ditolak di babak

pertama.

Penerus Mr Kolingba, Ange-Felix Patasse

harus bersaing dengan kerusuhan serius yang

memuncak dan penjarahan pada tahun 1997 oleh

tentara yang belum dibayar. Ketika pada tahun

itu Perancis ditarik keluar, ada kekhawatiran

kekosongan kekuasaan, sehingga Paris dibiayai

sekelompok orang berbahasa Perancis di Afrika

untuk menciptakan pasukan penjaga perdamaian.

Kekuatan yang kemudian berubah menjadi Misi

PBB untuk Republik Afrika Tengah, atau Minurca.

Pada tahun 1999 Mr Patasse mengalahkan

sembilan kandidat lainnya untuk menjadi presiden

lagi, tapi ada tuduhan kecurangan pemilu. Ia

digulingkan dalam kudeta tahun 2003 dan pergi ke

pengasingan di Togo.

Senjata ilegal berkembang biak di CAR, warisan

saat kerusuhan. Kerusuhan telah membuat puluhan

ribu penduduk Afrika Tengah mengungsi, banyak

dari mereka telah menyeberangi perbatasan Chad.

Beberapa kemajuan dalam menstabilkan

negara itu dibuat antara tahun 2008 dan 2012.

Aliansi Seleka kemudian merangsek ke selatan dan

merebut ibukota pada Maret 2013, dan mendepak

Presiden Francois Bozize.

CAR memiliki sumber daya pertanian, air dan

mineral yang cukup. Tapi korupsi merajalela

dan merusak industri kayu dan berlian. Negara

ini dikaruniai dengan hutan hujan perawan

dan memiliki beberapa hutan dataran rendah kepadatan tertinggi gorila dan gajah18 18 Central African Republic profile, Country profiles compiled by BBC Monitoring, http://www.bbc.com/news/world-

34

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Politik di Republik Afrika Tengah

Negara digambarkan sebagai negara yang gagal dalam krisis permanen, menghadapi pemberontakan demi pemberontakan.

Ekonomi di Republik Afrika Tengah

Puluhan ketidakstabilan telah merusak perekonomian. Berlian merupakan sumber pendapatan penting - dan persaingan

Siapakah Seleka?

Seleka (yang dalam bahasa Sango berarti “aliansi”) adalah aliansi kelompok oposisi bersenjata yang menandatangani kesepakatan damai tahun 2008 yang mengakhiri Republik Afrika Tengah Bush War (2004-2007). Dari Agustus 2012, beberapa insiden terjadi di Republik Afrika Tengah di mana kelompok mantan tentara yang tidak puas kelompok oposisi bersenjata terlibat. Mereka telah bergabung di bawah nama Koalisi Seleka dan pada bulan Desember 2012 mereka sudah mulai serangan sukses di utara Republik Afrika Tengah (CAR), dilanjutkan ke arah Selatan di ibukota Bangui, kemudian mengambil kendali beberapa kota di seluruh negeri. Mereka ingin Presiden CAR Francois Bozize untuk mundur.

Koalisi Seleka telah berhasil menggulingkan Bozize dan Djotodia menjadi Presiden baru Republik Afrika Tengah sampai januari 2014. Meskipun sukses, oposisi bersenjata Seleka dituduh melakukan kekerasan ketika mereka berusaha mengontrol seluruh wilayah Afrika Tengah. Jumat (13-09-2013) Djotodia mengumumkan bahwa Seleka Koalisi akan segera dibubarkan. Sejak itu kalangan Kristen mulai menyusun kekuatan untuk menjatuhkan Djotodia dari Seleka di bawah nama anti-Balaka. Walaupun secara resmi dibubarkan pada tahun 2013, namun mantan pejuang Séléka masih berjuang dalam CAR. 19

Michel Djotodia, Pemimpin Seleka, Muslim pertama yang menjadi Presiden di Afrika Tengah yang akhirnya dipaksa mundur oleh pasukan Koalisi di bawah pimpinan Perancis. AFP Photo

Didirikan 2012Negara Asal Republik Afrika TengahType GerilyawanTujuan Menghormati perjanjian damai yang disepakati antara tahun 2007 dan 2011 dan

pengunduran diri Presiden CAR Francois BozizePemimpin Michel DjotodiaJumlah Kekuatan 1,000-2,000, Seleka mengklaim 3.000Persenjataan Senjata kecil dan RPGWilayah operasional Semua tengah CAR, dari Utara ke SelatanLawan Tentara CAR pemerintah (4.500), Masyarakat Ekonomi Negara Afrika Tengah

(ECCAS) dengan tentara dari Angola, Chad, Kamerun, Republik Kongo dan Gabon (760), pasukan Afrika Selatan (400) dan beberapa pasukan Perancis

Siapakah pembantai itu?

Pada tanggal 10 Februari, Gen Francisco Soriano, komandan Sangaris, misi penjaga perdamaian Prancis di Republik Afrika Tengah (CAR), mengutuk milisi anti-Balaka sebagai musuh utama perdamaian di negara itu, dan bersumpah bahwa misi akan berkonsentrasi pada upaya terhadap mereka. Pernyataan tersebut dilontarkan tepat sebelum Amnesty International menyatakan penjaga perdamaian internasional telah gagal untuk mencegah pembersihan etnis terhadap warga sipil Muslim di CAR. anti-Balaka.africa-1315004019 http://worldwideconflicts.wordpress.com/2013/01/09/profile-seleka-coalition/

35

SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014Laporan Bulanan

Identitas pemimpin, rantai komando mereka dan program politik mereka tidak diketahui, hal itu terungkap dalam pertemuan perwakilan masyarakat di Bangui. Pada pertemuan yang sama, perwakilan Uni Afrika, Kamerun Gen Martin Tumenta (komandan MISCA, misi AU di CAR), menyatakan frustrasi bahwa warga Bangui belum memberikan informasi lebih lanjut tentang anti-Balaka.

“Balaka” adalah bahasa Sango yang berarti parang. Beberapa sumber mengatakan balaka juga berhubungan dengan Perancis yang mengacu pada peluru senapan otomatis (“balle AK”). “anti-Balaka” kira-kira berarti “tak terkalahkan”, kekuatan konon diberikan oleh jimat yang menggantung di leher sebagian besar anggota. Nama ini muncul lima atau enam tahun yang lalu pada unit pertahanan diri - dengan tidak adanya aparat keamanan negara yang efektif - untuk melindungi masyarakat dari serangan bandit jalan raya atau perampok ternak.

Beberapa kelompok pemberontak bergabung di bawah bendera pasukan Seleka (“aliansi” Sango) pada akhir 2012, dan merebut kekuasaan pada bulan Maret. “Anti-Balaka” disebut sebagai istilah umum bagi mereka yang menentang Seleka. Bentrokan pada Desember 2013 antara anti-Balaka dan mantan Seleka menyebabkan serangan yang menyebabkan sekitar 1.000 orang tewas di Bangui.

hubungan agama

Sebagian besar anggota Seleka adalah Muslim,

terutama karena Islam adalah agama yang lebih

lazim di daerah utara yang terpinggirkan di mana

kelompok-kelompok pemberontak bermunculan.

Anggota Seleka diberitakan telah melakukan

kekejaman yang meluas setelah merebut kekuasaan

Maret 2013, termasuk pembunuhan, skala besar

pembakaran dan pemerkosaan.

Banyak umat Islam yang tidak ada hubungannya dengan seleka telah ditargetkan dalam serangan balas dendam oleh anti-Balaka dan massa kristen.

Seorang yang mengaku juru bicara anti-Balaka, Sebastien Wenezoui, mengatakan bahwa gerakan ini berjuang untuk membela orang-orang Kristen. Sebagian rekrutan berasal dari komunitas Kristen dan animis. Tapi orang Kristen dan para pemimpin Muslim telah menegaskan bahwa anti-Balaka dan ex-Seleka tidak dapat mengklaim mewakili agama mereka.

Hubungan anti-Balaka dengan tentara

Setelah kudeta, banyak anggota mantan tentara pemerintah, yang dikenal dengan singkatan bahasa Prancis, FACA, bergabung dengan anti-Balaka. Dalam prefektur Lobaye, semua komandan anti-Balaka berasal dari FACA.

Orang-orang dan keluarganya yang telah tinggal dengan damai di negara itu selama berabad-abad dipaksa untuk meninggalkan, atau melarikan diri dari ancaman yang sangat nyata dan kekerasan terhadap mereka pada 14 Januari 2014. Beberapa hari setelah presiden Michel Djotodia mundur, ratusan orang, yang disebut sebagai anti-Balaka, muncul di markas FACA. Banyak dari mereka adalah tentara bonafide sebelum kudeta, dan banyak yang masih menganggap dirinya anggota anti-Balaka. Juru bicara anti-Balaka telah menyerukan anggotanya agar diintegrasikan ke dalam tentara atau diberikan paket demobilisasi.

Awal bulan Februari, ketika penobatan presiden sementara, Catherine Samba-Panza, diadakan konferensi pers yang meluncurkan kembali FACA, puluhan orang yang diduga mantan Seleka dihajar sampai mati, di hadapan media internasional.

Di Lobaye, anti-Balaka banyak mengenakan seragam militer tetapi tanpa lambang FACA.

36

Laporan Bulanan SYAMINASYAMINA Edisi X/ Maret 2014

Amnesty International melaporkan bahwa anti-Balaka menempati barak FACA di beberapa negara bagian. Ditanya pendapat mereka tentang anti-Balaka, sekelompok tentara FACA mengatakan: “Mereka adalah saudara-saudara Kami yang bersama-sama melawan Seleka..”

Struktur anti-Balaka

Dua menteri dalam pemerintahan presiden terguling Francois Bozize, Patrice Edouard Ngaissona dan Joachin Kokate, masing-masing mengklaim sebagai koordinator politik dan militer anti-Balaka tingkat nasional. Bozize telah membantah memiliki kendali atas kelompok itu.

Ngaissona kembali ke Bangui dari pengasingan pada Desember 2013. Baik dia dan Ngaissona telah mengatakan kepada media bahwa mereka adalah perwakilan anti-Balaka dalam pemerintahan baru.

Setelah kecaman Soriano terhadap anti-Balaka, Ngaissona mengatakan mereka berkomitmen “untuk pengamanan dan normalisasi CAR”.

pelaku genosida terhadap Muslim

Menurut HRW, anti-Balaka menargetkan Muslim dalam “gelombang kekerasan tanpa henti dan terkoordinasi yang memaksa seluruh masyarakat untuk meninggalkan negara itu.”

”Di Bangui, pejuang anti-Balaka, dipersenjatai dengan AK-47, roket berpeluncur granat dan granat menyerang berbagai daerah Muslim, memaksa penduduk untuk mengungsi,” laporan HRW.

“PK12, PK13, Miskine, dan Kilo 5 - kantong Muslim di Bangui - sekarang seperti kota hantu, tanpa penduduk Muslim. Beberapa militan anti-Balaka telah mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka akan membunuh Muslim yang tersisa di lingkungan ini..”

“Hasil akhirnya jelas: hilangnya komunitas Muslim” kata Bouckaert dari HRW.

Menurut para pekerja bantuan, sebagian besar jalan-jalan utama di barat negara itu dikendalikan oleh anti-Balaka. Ratusan truk pengiriman bantuan terjebak di perbatasan Kamerun, sopirnya takut untuk melanjutkan ke CAR, di mana ketahanan pangan yang serius sedang mengancam.

Bagaimana sikap pemerintah?

Presiden Samba-Panza telah menolak tekanan dari anti-Balaka untuk memasukkan mereka di pemerintahan, terlepas dari menteri olahraga. Sebaliknya ada tiga menteri mantan Seleka dalam 20 orang kabinetnya.

Di hadapan publik, dia telah berbicara secara terbuka tentang perlunya untuk meletakkan parang dan senjata lain agar masyarakat hidup dalam harmoni. Tapi dia juga mengatakan bahwa tidak semua anti-Balaka dan tidak semua mantan Seleka adalah penjahat.

Presiden telah meminta dunia internasional untuk membantu CAR menyusun kembali pasukan keamanan. Sejauh ini, Prancis akan menambah kekuatan militernya di sana.20

Namun penambahan kekuatan pasukan Perancis nampaknya tidak akan menjadi angin segar bagi muslim di Afrika Tengah. Sejarah operasi Militer Perancis di Rwanda tahun 1993 menjadi buktinya. Ketika itu pasukan perancis banyak dikritik karena membiarkan Genosina dan bahkan dituduh membantu melakukan genosida. Kala itu Perancis tidak berusaha menghentikan genosida, sesuatu yang mampu dilakukan dan memungkinkan dilakukan pasukan Perancis.21 Dan sekarang sejarah Rwanda terulang di Afrika Tengah. (K. Subroto)

20 http://www.refworld.org/docid/52fe11b84.html21 Terrorism Monitor Publication, Volume XII, Issue 5 March 6, 2014, p.7 http://www.jamestown.org/programs/tm/single/?tx_ttnews[tt_news]=42048&tx_ttnews[backPid]=757&no_cache=1