GOYAHNYA - kiblat.netsebagai Kekhalifahan Islam. Pada masa-masa awal kekuasaan Utsmani (abad ke...
Transcript of GOYAHNYA - kiblat.netsebagai Kekhalifahan Islam. Pada masa-masa awal kekuasaan Utsmani (abad ke...
K.�MUSTAROM Edisi 2 / Februari 2018
GOYAHNYATATA DUNIA LIBERAL
Goyahnya Tata Dunia Liberal
K. Mustarom
Laporan Edisi 2 / Februari 2018
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
A. Pendirian Peradaban Barat — 6Sejarah Pendirian Barat — 7
Permulaan Kolonialisme Eropa — 8
Bangkitnya Ideologi Baru Eropa — 10
Revolusi Liberal dan Negara Modern — 11
Proyek Liberalisme Sekuler terhadap Dunia & Islam — 14
B. Pembangunan Tata Dunia Liberal — 16
C. Realita Tata Dunia Liberal — 19Fitur liberalisme — 19
Liberalisme Intoleran — 21
Sekulerisme yang Menetralisir — 24
Kebebasan Beragama, Ide Universal ataukah Kepentingan Politik? — 26
Kedaulatan di tangan rakyat ataukah di tangan para manipulator? — 27
Ketimpangan Ekonomi — 28
D. Akhir dari Tata Dunia Liberal? — 31Tren Geopolitik — 31
Tren Ideologi — 32
E. Kesimpulan — 36
DAFTAR PUSTAKA — 36
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
4
Dahulu, pada tahun 1990-an, banyak orang percaya bahwa tatanan politik
liberal adalah gelombang masa depan dan akan melingkupi sebagian
besar dunia. Amerika Serikat dan sekutu-sekutu demokratisnya telah
mengalahkan fasisme dan kemudian komunisme, dan membawa manusia menuju
"akhir sejarah."
Namun kini, optimisme yang memabukkan pada tahun 1990-an berubah menjadi
rasa pesimisme yang semakin meningkat—bahkan kekhawatiran—akan tatanan
liberal yang ada saat ini. Kekuatan disintegrasi sedang berlangsung dan dasar-dasar
dunia pascaperang sedang bergetar.
Hari ini, tatanan tersebut mendapatkan tantangan, dengan munculnya kekuatan
baru yang tidak menjalankan norma-norma liberal Barat, mulai dari kelompok Islam
hingga negara seperti China dan Rusia.
Banyak pakar menilai bahwa demokrasi liberal yang mengarah pada kapitalisme
telah menjadi juara tatanan dunia. Mereka percaya tidak ada sistem lain yang tepat
untuk saat ini kecuali demokrasi liberal. Barat banyak mengeskpor konsep negara
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
5
bangsa ke seluruh dunia, bersama dengan prinsip-prinsip yang menyertainya, seperti
sekularisasi dan demokrasi. Nilai-nilai Barat pun menjadi mata uang intelektual yang
menjadi standar kebenaran. Tidak hanya dengan pendekatan lunak, kekerasan dan
pemaksaan pun mereka lakukan, demi terpeliharanya tatanan.
Kini, revolusi melawan tatanan internasional liberal yang dibentuk pasca Perang
Dunia II mulai berlangsung. Mulai dari kelompok fundamentalis Islam, kelompok
etno nasionalis yang melawan Uni Eropa, hingga munculnya demokrasi illiberal di
Eropa Timur.
Bagaimana semua itu bisa terjadi? Meningkatnya ketidakadilan, ketimpangan
ekonomi, menurunnya kepercayaan pada demokrasi, menguatnya identitas politik
dan agama diduga menjadi penyebab.
Dari semua penyebab tersebut, agama memainkan peran besar. Agama menjadi
ancaman terbesar tatanan liberal saat ini. Ia memberikan sense of identity kepada
pemeluknya. Mengapa orang memerlukan sense of identity? Mereka memerlukannya
untuk mengetahui siapa mereka, di mana mereka berada, dan apa tujuan hidup
mereka. Sense of identity tersebut lah yang selama ini gagal diberikan oleh dunia
liberal hari ini. Mereka juga gagal memperhatikan kepentingan rakyat kecil dan masa
depan mereka. Meaningless, begitulah kehidupan di bawah demokrasi liberal. Ada
harapan keselamatan abadi yang tidak bisa diberikan oleh demoktrasi liberal. Pada
akhirnya, orang membutuhkan lebih dari sekadar kesejahteraan ekonomi.
Banyak orang, dari berbagai latar belakang kelompok, merasa bahwa identitas
kelompok mereka saat ini sedang diserang, diabaikan, dan bahkan dihinakan. Mereka
mungkin berasal dari orang-orang yang merasakan ketidakadilan, ketimpangan
ekonomi, mereka yang mendapatkan tekanan dari imigrasi, dan mereka yang merasa
dikhianati oleh para penguasanya yang berselingkuh dengan pihak lain dengan
keyakinan yang berbeda. Dan kini, mereka ingin melawan itu semua.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
6
Goyahnya Tata Dunia Liberal
A. PENDIRIAN PERADABAN BARATIstilah 'Barat', 'Dunia Barat' dan 'Budaya Barat' banyak digunakan oleh para
politisi, media, dan akademisi 'Barat' untuk merujuk pada fenomena yang sangat
spesifik dari 'Peradaban Barat'. Kebanyakan orang yang menggunakan istilah 'Barat',
melakukannya secara intuitif, dan umumnya menyetujui siapa yang dimaksud
dengan negara Barat.
Namun, ada kalanya beberapa orang menantang label 'Barat', dan berusaha untuk
mengabaikan penggunaannya—terutama ketika berhadapan dengan argumen yang
mengkritik 'Barat' karena sejarah kelam kolonialisme mereka, intervensi militernya
ke negara lain yang terus berlangsung, dan ekspor produk budaya yang dilakukan
secara agresif ke seluruh dunia.
Umumnya, kebanyakan orang akan setuju bahwa Inggris, Prancis, Jerman,
Amerika Serikat, Kanada dan Australia adalah negara-negara Barat. Tapi apa arti
'Barat', dari mana asalnya, dan kriteria definitif apa yang bisa digunakan untuk
menentukan apa itu 'Barat', 'kebarat-baratan' dan 'non-Barat'?
Pemahaman tentang asal usul Barat, dan apa yang mendefinisikannya, akan
membantu menentukan dan memprediksi karakter dan perilaku mereka.
Untuk bisa memahami apa yang terjadi saat ini, kita harus melihat ke masa
lalu. Untuk memahami kondisi dunia Islam saat ini, serta kebijakan politik terhadap
dunia Islam dari kekuatan eksternal, kita harus melihat bagaimana kondisi politik
saat ini diciptakan.
Apa yang disingkapkan dalam sejarah kepada kita adalah sebuah pola yang
konsisten mengenai intervensi Barat, manipulasi dan eksploitasi atas dunia Islam
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
7
sejak abad 16. Negara-negara Barat sangat konsisten dalam menjalankan formula
yang sukses dalam melakukan ekspansi, kolonisasi dan penyebaran pengaruh ke
seluruh dunia, tidak hanya dunia Islam.
Sejak revolusi sekuler pada abad 17, Barat tidak lagi diarahkan dan diatur oleh
tujuan berlatar pandangan dunia Kristen, tetapi termotivasi oleh hal yang lebih
materialistik—meski bukan berarti mereka jadi berhenti berperang karenanya.
Kekristenan digantikan oleh liberalisme sekuler sebagai sudut pandang dominan
dan motivasi untuk melakukan ekspansi.
Dulu, Barat menaklukkan suatu wilayah untuk mendapatkan harta dan
menyebarluaskan Kristen, sekarang mereka melakukannya untuk mendapatkan
harta dan menyebarluaskan liberalisme sekuler.
Ketika Liberalisme sekuler diharapkan dapat mengambil alih dan mengubah
dunia, Islam sebagai pola pandang saingan dan kekuatan yang melawan ketidakadilan
ekonomi hadir sebagai batu halangan terhadap ideologi liberal sekuler, sebagaimana
dulunya Islam menjadi batu halangan bagi Kristen.
Untuk memahami secara objektif kebijakan Barat modern terhadap
kebangkitan Islam atau potensi bangkitnya Islam di negara mayoritas Muslim, kita
perlu mempelajari respon dan strategi Barat dalam menghadapi Islam dan negara
mayoritas Muslim dalam sejarah.
Sejarah Pendirian BaratSetelah runtuhnya kekaisaran Roma Barat di abad kelima, Eropa terdiri dari
suku barbar yang memenuhi reruntuhan peradaban Roma dan saling berperang satu
sama lain. Suku-suku tak berpendidikan ini tidak dapat melanjutkan pembelajaran
yang dilakukan oleh orang Roma, ataupun memperbaiki pembangunan dan
teknologi Roma. Dari situ, Eropa memasuki “masa kegelapan” (Dark Ages). Yang
tersisa dari masa Roma adalah kepercayaan Kristen—yang kebanyakan suku
telah mengadopsinya pada abad kelima, dan institusi keagamaan gereja Katolik—
yang telah diadopsi oleh Roma sebagai agama resmi kekaisaran sesaat sebelum
kejatuhannya.
Dari abad ketujuh hingga kesembilan, jatuhnya kerajaan suku Eropa oleh
tentara muslim menyebabkan suku-suku Eropa di sekitar area kekuasaan Islam mulai
bersatu di bawah kekuasaan satu suku yang kuat. Gereja Katolik mengadopsi strategi
ini untuk memperkuat pengaruhnya dan mengembalikan Eropa kepada puncak
kekuatan. Gereja mulai menawarkan kepada para kepala suku pengangkatan resmi
dari Gereja sebagai 'Raja', untuk menjadikan para anggota suku di bawah mereka
lebih loyal. Timbal baliknya, gereja dan para pendeta bisa memberikan pengaruh
dalam kekuasaan dan mendapatkan perlindungan.
Dengan bangkitnya kerajaan Eropa, dan dengan masuknya barang-barang
dengan teknologi tinggi dari dunia Islam ke pasar Eropa—yang meningkatkan
perkembangan materiil dari kerajaan-kerajaan baru ini—Gereja Katolik menyerukan
perang ideologi, atau "perang salib", terhadap tanah Eropa yang dikuasai oleh
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
8
Muslim. Hal ini membantu Gereja meraih kekuatan dan pengaruhnya di bidang
politik domestik kerajaan-kerajaan baru tersebut. Pada saat yang sama mereka
juga menciptakan aliansi negara-negara kristen Eropa yang kemudian disebut
Christendom. Hal ini disebut oleh banyak ahli sejarah sebagai saat lahirnya kesadaran
dasar "Pra-Barat".
Akan tetapi, singgungan dan asimilasi Eropa dengan pembelajaran dan sains
Muslim sepanjang abad ke 11-12, terutama metode saintifik dalam mengamati
fenomena alam dan pengambilan kesimpulan atas hukum alam melalui eksperimen,
mengubah kebudayaan Eropa selamanya. Singgungan tersebut menghasilkan
sebuah kebangkitan intelektual dalam berpikir—yang kemudian disebut oleh ahli
sejarah sebagai the Renaissance.
Pada saat yang sama, kekuatan Utsmani naik di dunia Islam pada abad ke-
14, dan mengambil kekuasaan di seluruh dunia Islam dan mendeklarasikan dirinya
sebagai Kekhalifahan Islam. Pada masa-masa awal kekuasaan Utsmani (abad ke
13-16), Christendom terus melancarkan dan mengobarkan peperangan melawan
Utsmani. Namun, seluruhnya berakhir dengan kegagalan.
Permulaan Kolonialisme EropaPada abad ke-16, kekuatan Eropa, dilengkapi dengan teknologi baru dan
keilmuan baru, melihat celah dengan biaya yang murah untuk meneruskan serangan
terhadap kekhalifahan Utsmani yang masih kaya dan memiliki kekuatan besar.
Penjelajah Eropa memutuskan untuk melewati musuh historisnya, dan menemukan
kesempatan baru untuk berdagang ke kepulauan yang jauh. Dulunya, mereka harus
melewati wilayah Utsmani dan membayar pajak.
Penemuan tanah-tanah baru yang kebanyakan ditinggali oleh suku-suku yang
inferior secara teknologi dan memiliki sumber daya alam yang kaya namun lemah
dalam pertahanan—yang mereka sebut sebagai 'tanah primitif'—membuat orang
Eropa berlomba-lomba untuk mendapatkan kontrol di seluruh dunia dalam upaya
untuk mendapatkan harta dan melakukan eksploitasi ekonomi.
Semua kekuatan Eropa, setiap kali menaklukkan tanah primitif baru,
seringkali fokus pada ekstraksi massal ataupun memproduksi sumber daya dengan
'memberdayakan' (lebih tepatnya memaksa) para pribumi untuk bekerja. Jika
penduduk pribumi melawan, mereka akan membawa tenaga kerja dari wilayah lain
yang tidak melawan atau dari penduduk Eropa untuk menjadi tenaga kerja loyal yang
bisa diandalkan.
Kolonial Barat berusaha menanamkan keyakinan Kristen kepada para pribumi
di daerah jajahan untuk meredam keinginan mereka memberontak. Mereka berusaha
memperkecil perbedaan antara pribumi dengan tuannya. Dari situ mereka berharap
bahwa para pribumi akan mempraktekkan kebudayaan Barat dalam mengelola diri
mereka sendiri, meskipun dalam kondisi ekonomi yang sangat menguntungkan
kepentingan tuan koloni mereka.
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
9
Kristen dianggap sebagai pondasi dasar bagi para pribumi untuk berkembang
secara intelektual menjadi seperti Barat. Hal ini berdasarkan pengalaman orang
Eropa, di mana renaissance dimulai dari akar Kristen. Dengan kebijakan tersebut,
para pribumi diajari oleh para misionaris, bangunan gereja strategis digunakan
secara ofensif untuk membuat markas misionaris. Jika tidak berhasil, beberapa
pribumi dipaksa untuk masuk Kristen di bawah todongan senjata. Cara yang paling
berhasil yang digunakan oleh banyak penjajah Eropa adalah dengan menyekolahkan
mereka di sekolah-sekolah yang mengajarkan nilai-nilai Barat dan Kristen.1
Kebangkitan intelektual dan pemikiran, serta besarnya harta dan sumber
daya dari tanah jajahan, mendorong perkembangan teknologi yang semakin maju
di Barat, hingga Barat mencapai kesetaraan dengan saingan terberatnya, peradaban
Islam, pada abad ke-17.
Besarnya sumber daya yang diambil dari tanah jajahan semakin mempercepat
perkembangan teknologi Eropa, sehingga teknologi militer Eropa dan jumlah
populasinya mulai melampaui kekhilafahan Utsmani pada abad 18.
Kontak Eropa dengan peradaban Islam melalui Perang Salib di Syam dan
umat Islam di Andalusia telah membangkitkan semangat belajar di Barat melalui
penerjemahan tulisan-tulisan Yunani dan Arab. Antara abad ke-13 dan ke-16, banyak
pemikir Barat menghabiskan tenaga dan waktu mereka mempelajari ilmu alam, yang
menghasilkan perkembangan di bidang sains dan teknologi.
Semangat belajar dan meneliti ini memicu banyak peninjauan ulang terhadap
asumsi filosofis, keyakinan Kristen, dan kekuatan Eropa yang berdasar dari
kepercayaan tersebut. Hal ini memunculkan beragam bentuk Kristen yang menantang
dan menentang pengaruh politik dan teologis Paus Katolik. Maka muncullah Kristen
Protestan, atau yang lebih spesifik, Lutheranism.
Perbedaan pendapat ini mulai mengacaukan struktur kekuatan yang ada—
terutama pengaruh Paus terhadap kerajaan-kerajaan Eropa. Hal ini mendorong
Paus untuk memerintahkan negara-negara Katolik agar mereka menekan pendapat-
pendapat teologis ini. Namun masalah muncul ketika suatu kerajaan mengadopsi
Lutheranism. Dampaknya adalah munculnya perang saudara dalam kerajaan, yang
terjadi selama abad ke-16 hingga 17.
Untuk mengakhiri peperangan ini, kesepakatan pragmatis antara dua faksi
utama, Kerajaan Katolik dan Protestan menghasilkan perjanjian Westphalia.
Perjanjian antar negara Eropa selama abad ke-17 bertujuan untuk menciptakan
kehidupan berdampingan yang damai, dan menggeser perselisihan keagamaan ke
alam intelektual. Pemerintah Eropa setuju untuk menghilangkan pertimbangan
agama dalam kebijakan luar negeri diantara mereka. Namun, hal ini bukanlah
sekulerisme. Seluruh kerajaan Eropa masih berdasarkan hukum Kristen. Apa yang
diberikan oleh perjanjian Westphalia terhadap setiap Raja Kristen adalah hak penuh
bagi mereka untuk menentukan Kristen aliran apa (antara Katolik, Lutheranism, dan
1 Contohnya adalah kebijakan pengambilan anak Aborigin dalam Aborigine Protection Act 1869 di Australia, the American Indian Boarding Schools, dan sistem pendidikan baru yang dipaksakan oleh the English Education Act 1835 di India.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
10
Calvinism) yang digunakan di dalam kerajaan mereka, dan untuk menoleransi aliran
Kristen minoritas lain di dalam negara mereka.
Raja Inggris yang terkenal King Henry VIII memisahkan diri dari Gereja Katolik,
namun hal ini bukan disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap interpretasi Injil,
melainkan karena King Henry ingin menjadi pemimpin tertinggi di Inggris dan tidak
menginginkan adanya campur tangan dari Paus Katolik. Dari sini lahirlah sempalan
baru Kristen Protestan—Kristen Anglikan.
Bangkitnya Ideologi Baru EropaHingga saat itu, para filsuf dan peneliti Eropa fokus pada pengembangan
matematika, mendiskusikan metafisika dan teologi, serta mengimplementasikan
metode sains yang mereka pelajari dari Muslim, untuk mengembangkan
pengetahuan mereka mengenai sains fisika. Hingga akhirnya, beberapa pemikir
Eropa seperti Thomas Hobbes dan John Locke di pertengahan hingga akhir abad ke-
17 mulai mempelajari manusia secara sosial dan politik. Dengan dasar kepercayaan
bahwa politik Eropa tidak stabil karena perang antara Katolik dan Lutheran, mereka
mencari cara agar mendasarkan sistem politik di atas sesuatu yang bukan merupakan
hukum yang berasal dari otoritas gereja. Ini merupakan permulaan pembelajaran
Barat akan pandangan baru mengenai posisi manusia di dalam dunia materiil ini,
untuk menemukan tujuan baru dan organisasi politik baru bagi kemanusiaan. Oleh
sejarawan Barat, periode disebut Age of Enlightenment. Sejarawan Barat masing-
masing berbeda pendapat kapan tepatnya era ini dimulai dan berakhir.
Para pemikir Barat, yang terkesima dengan metode ilmiah dan semua ilmu yang
diberikannya mengenai alam, mulai mengimplementasikannya untuk mempelajari
bagaimana manusia seharusnya berorganisasi secara sosial dan politik, dan tujuan
apa yang harusnya mereka kejar di dunia ini.
Masalahnya adalah, sains mempelajari hal yang tangible, sementara organisasi
sosial dan politik manusia adalah hal yang intangible—yang didasari oleh hal-hal
non-material seperti pikiran, imajinasi, gagasan, perasaan, keterikatan emosional,
dan, yang paling penting, tujuan hidup. Sains bisa menerangkan manusia terbuat
dari apa, bagaimana badan manusia bekerja, dan kebutuhan biologis manusia,
namun sains tidak dapat menerangkan tujuan hidup manusia, dan dari situ sains
tidak bisa mengatakan kepada kita bagaimana manusia seharusnya diatur, atau apa
yang seharusnya mereka percaya atau pikirkan. Implementasi yang salah dari sains,
yang dilakukan oleh kebanyakan pemikir Kristen ketika mempelajari organisasi
sosial dan politik manusia menghasilkan kesimpulan pseudo-ilmiah—pandangan
materialistik yang didasarkan atas moralitas 'hukum alam'. Hal ini di kemudian hari
akan menjadi sekulerisme dan Liberalisme.
Gagasan sekulerisme dilahirkan dari pertimbangan Thomas Hobbes yang
sepenuhnya materialistik dalam dunia politik dan ekonomi, di mana keamanan
materiil diajukan sebagai tujuan tertinggi dari suatu negara, bukan kebajikan
atau moralitas.
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
11
Dalam pandangan kaum sekuler, negara harus hanya memiliki satu pemimpin,
bukan kepemimpinan yang terbagi bersama rohaniawan yang tidak punya kekuasaan.
Artinya pihak yang bisa memberikan keamanan secara fisik adalah Raja, tuan tanah,
atau kepala suku. Konsep ini diajukan untuk menghalangi campur tangan Paus
dalam urusan Kerajaan Kristen Barat, sebagaimana yang biasa terjadi di masa lalu.
Dalam konsep awal negara Sekuler, hukum yang berdasarkan ajaran
Kristen secara teori adalah opsional. Hukum yang berdasarkan agama hanya
diimplementasikan sesuai dengan kebijakan penguasa, yaitu jika mereka lihatnya
cocok untuk meningkatkan perdamaian dan moralitas masyarakat. Di masa
awal, sekulerisme tidak melarang hukum yang berdasarkan agama, selama yang
memutuskan adalah Raja, bukan pihak gereja.
Argumen dan kesimpulan Hobbe adalah bahwa pemerintah berdasarkan
tujuan material lebih disukai karena lebih stabil, dan bahwa orang Kristen tidak
memerlukan pemerintahan yang didasarkan oleh hukum Injil.
John Locke mengambil konsep dasar Hobbe dan menempelkannya pada
pandangan baru, yaitu individualisme (keunggulan individual di atas semuanya).
Paham individualisme membawa kepada bentuk politik bernama Libertarianism
(kemudian disebut Liberalisme). Locke mengajukan konsep bahwa negara tidak
hanya berdasarkan kekuasaan semena-mena dari pemimpin yang memberikan
keamanan, namun bahwa negara bertujuan untuk melindungi dan 'membebaskan'
setiap individu untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Hal ini pada akhirnya
memiliki hasil yang berbeda-beda ketika diimplementasikan.2
Revolusi Liberal dan Negara ModernNegara yang pertama kali jatuh dalam revolusi liberal adalah pemerintahan
Inggris di tahun 1668. Meskipun revolusi ini tidak langsung menciptakan negara
liberal, ia dianggap permulaan gerakan liberal yang secara progresif mengubah
Inggris menjadi negara sekuler liberal. Kemudian revolusi Amerika tahun 1776—
yang ironisnya melawan imperium liberal Inggris, dan Revolusi Perancis tahun 1799.
Negara Eropa lainnya kemudian mengalami revolusi liberal selama abad ke-19.
Hingga saat itu, Eropa terdiri dari banyak Kerajaan Monarki atau Oligarki
(aturan dibuat oleh kelompok aristokrat atau bangsawan). Sebuah Kerajaan adalah
pemerintahan dan penjagaan oleh pemimpin (Raja, Pangeran, Bangsawan) dan
dinastinya, terhadap orang-orang yang hidup di area yang dikuasainya. Rakyat adalah
2 Libertarianisme awalnya memahami bahwa pemerintah hanya hadir untuk memberikan keamanan bagi rakyat dari gangguan satu sama lain, dan karena itu menyediakan sebuah masyarakat yang membebaskan setiap individu untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, diharapkan kekerasan akan berkurang. Namun, pada pertengahan abad ke-19, banyak negara semacam itu gagal, karena 'individu' yang lebih kuat dalam masyarakat (yaitu orang kaya) mengeksploitasi individu yang lebih lemah, dan berujung pada masalah ekonomi dan turbulensi. Menyikapi masalah tersebut, para pemikir Barat bukannya membubarkan proyek Libertarian, namun justru memutuskan untuk mengamandemennya. Pemerintah melakukan intervensi di bidang ekonomi dan masyarakat untuk membatasi kebebasan rakyat, meningkatkan pajak untuk memberi makan orang miskin, dan memastikan keseimbangan yang lebih baik dalam perilaku sosial dan transaksi ekonomi. Ironisnya, hal ini adalah penegasian terhadap kepercayaan asli kaum Liberal tentang pemerintahan. Namun karena tidak adanya teori politik alternatif lainnya, sebagian besar negara menerima begitu saja amandemen tersebut. Tipe Libertarianisme baru ini, disebut 'Liberalisme Sosial', atau singkatnya disebut Liberalisme.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
12
'subyek' dari pemimpinnya. Mereka adalah 'subyek' dari otoritas dan kekuasaan
pemimpin. Loyalitas mereka harus kepada pemimpin mereka. Raja dari kerajaan
lain bisa saling menaklukkan satu sama lain dan mendapatkan tambahan subyek.
Loyalitas masyarakat diarahkan kepada siapa saja yang menguasai tanah tersebut.
Oligarki pada dasarnya sama, hanya berbeda di pemimpinnya saja. Dalam oligarki,
pemimpinnya bukanlah Raja, namun kelompok bangsawan—koalisi tuan tanah
yang masing-masing mempunyai subyek. Kondisi ini berubah dengan bangkitnya
'Nasionalisme'.
Nasionalisme adalah produk lain dari 'Pencerahan' Barat dan diinspirasi
langsung oleh pikiran Sekuler Liberal. Menurut kepercayaan Liberalisme Sekuler,
yaitu Individualisme, masyarakat tidak lagi merupakan subyek dari Raja atau
kelompok bangsawan, namun setiap individu memiliki kedaulatan dalam diri
mereka masing-masing. Menurut teori ini, pemerintahan dibentuk oleh individu
yang berkumpul, membentuk perjanjian dan persetujuan, demi terwujudnya
keamanan dan kepemimpinan sesuai dengan tujuan dan keinginan bersama
masyarakat. Para individu tersebut adalah setara. Mereka menjadi warga negara,
bukan subyek dari Raja.
Konsep 'tujuan bersama' yang dibawa oleh Sekuler Liberal kemudian
mengarahkan pada pertanyaan mengenai apa itu komunitas individu? Ketika
memberikan jawaban terhadap pertanyaan mengenai apa yang dimiliki bersama
oleh sekumpulan individu yang akan membawa mereka menuju kepentingan
bersama, Johann Gottfried Herder—penemu istilah nasionalisme—berpendapat
bahwa kesamaan bahasa menjadi basis kepentingan bersama dari sekumpulan
individu, untuk menjadi satu 'bangsa'.
Setiap bangsa kemudian diasumsikan akan memiliki kepentingan bangsa, yang
merupakan penggabungan dari banyak individu yang berdaulat. Kepentingan bangsa
tersebut kemudian menjadi otoritas kedaulatan tertinggi atas mereka. Orang-orang
dengan bahasa yang sama dikotakkan menjadi 'bangsa'. Meski demikian, terdapat
banyak pendapat lain yang diajukan oleh para pemikir Liberal, yaitu mengenai apa
yang membuat satu bangsa berbeda dengan yang lain. Masalah ini masih menjadi
perdebatan hingga saat ini.
Orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang sama hidup di banyak bangsa,
bahkan beberapa memiliki kultur, agama serta sejarah yang sama. Konsep bangsa
(atau Nasionalisme) dari dulu hingga sekarang masih merupakan konsep buatan
yang berubah-ubah, hasil dari pemikiran Sekuler Liberal.
Masalah yang dihadapi oleh pemikir Liberal tentunya adalah bagaimana orang-
orang memahami kepentingan nasional tersebut. Dan apa yang terjadi jika ada
dari individu tersebut yang memiliki kepentingan dan keinginan berbeda dengan
kepentingan dan keinginan bangsanya. Untuk menjawab hal ini, beberapa pemikir
Sekuler Liberal meminjam solusi dari teks Yunani Kuno, Demokrasi. Demokrasi
Yunani melibatkan rakyat (tidak termasuk wanita dan budak) untuk memilih dan
secara langsung menentukan hukum yang ada. Namun konsep ini tidak diambil
oleh para pemikir Eropa. Mereka mengubah konsepnya, sehingga rakyat hanya akan
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
13
memilih sekumpulan manusia (biasanya dari pejabat tinggi) untuk menentukan
hukum. Tidak ada satu pun pemikir Liberal terkemuka yang menganjurkan rakyat
untuk secara langsung menentukan hukum pemerintahan, mereka hanya bisa
menyetujui pemerintahan yang mengatur mereka, dengan berpartisipasi dalam
pemilihan umum, atau memilih perwakilan di bawah Raja. Inilah mengapa negara
Sekuler Liberal Modern terganggu dengan turunnya jumlah pemilih dalam pemilihan
umum, karena tidak penting partai mana yang pilih, tapi jumlah partisipasi rakyat
dalam pemilihan umum melegitimasi sistem tersebut, bukan masalah siapa yang
dipilihnya. Jika kebanyakan orang tidak memilih, maka seluruh sistemnya menjadi
tidak legitimate.
Tipe negara baru ini, yang memerintah sebuah 'bangsa', tidak lagi disebut
kerajaan namun disebut 'negara bangsa'.
Revolusi liberal melawan struktur kekuasaan tradisional Eropa mengubah
persepsi diri Eropa secara radikal. Gagasan mengenai Christendom surut dan
digantikan dengan pikiran baru di seluruh bangsa Eropa—sesuatu yang selanjutnya
akan disebut 'Barat'.
Setelah kemunculan pemerintahan Liberal Sekuler, politik internasional dan
domestik Eropa semakin mengarah ke arah materialistik. Namun ironisnya, perang
tanpa henti masih terjadi diantara negara Eropa, bahkan mungkin memperparah
perang tersebut. Tetapi, sejak perjanjian Westphalia, perang yang murni berdasarkan
ideologi agama tidak lagi terjadi antar orang Eropa. Perang antara Eropa dan
kekhilafahan Utsmani juga berkurang.
Penting dicatat bahwa Liberalisme Sekuler hanya muncul sebagai sistem
politik di kalangan bangsa Barat di akhir abad ke-18. Sejak permulaan renaissance
Barat di abad ke-12, selama 600 tahun bangsa Eropa berkembang secara teknologi,
kebudayaan dan material tanpa sistem politik Liberal, atau bahkan Demokrasi
modern. Contohnya Inggris, yang dulunya adalah negara superpower global dan
memimpin inovasi teknologi dari abad ke-18, tidak mengadopsi Demokrasi secara
penuh hingga 1918 (200 tahun setelahnya).
Karenanya, pernyataan bahwa Liberalisme Sekuler dan Demokrasi menciptakan
perkembangan dan kemajuan sains hanyalah mitos yang disebarkan oleh Liberal
modern. Faktanya, Liberal adalah pewaris dari perkembangan material Barat dan
penelitian ilmiah yang dimulai dari masa renaissance, bukan penemunya. Dunia
Barat mencapai supremasi global sebagian besar melalui penaklukan militer, bukan
inovasi teknologi. Perkembangan teknologi bukan berarti supremasi—sebagaimana
dibuktikan oleh Jepang saat ini. Penggunaan kekerasan untuk menyebarkan ideologi
Barat—dan memfasilitasi eksploitasi ekonomi terhadap ‘tanah primitif’—adalah
faktor yang menciptakan supremasi Barat. Supremasi yang masih mereka miliki
hingga saat ini dengan menggunakan kekuatan dan kekerasan terhadap negara non-
Barat.
Samuel Huntington menulis:
“Barat menaklukkan dunia tidak dengan superioritasnya dalam hal gagasan atau
nilai-nilai atau agama, namun [mereka menaklukkannya] dengan superioritasnya
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
14
dalam mengimplementasikan kekerasan terorganisir. Orang Barat seringkali lupa
fakta ini, tapi kaum non-Barat tidak pernah lupa.”3
Proyek Liberalisme Sekuler terhadap Dunia & Islam
Sekulerisme liberal muncul pertama kali dari negara protestan, dan lebih
lambat menyebar di negara Katolik—karena adanya perlawanan dari Gereja Katolik.
Liberalisme muncul dari negara Kristen Protestan, yang kemudian menciptakan
intoleransi mendalam negara liberal terhadap Katolik. Banyak perang terjadi antara
negara Katolik dengan Liberal. Bahkan negara Liberal saling berperang satu sama
lain, yang menyebabkan terjadinya perang Napoleonic antara Perancis dan Inggris,
serta perang tahun 1812 antara AS dan Inggris.
Negara-negara di bawah pengaruh Katolik sedikit demi sedikit mendapatkan
kebebasan dari kontrol Gereja, namun mereka masih mempertahankan beberapa
pengaruh Gereja Katolik dalam kebijakan dalam dan luar negerinya. Dengan adanya
revolusi Liberal di banyak negara Katolik pada pertengahan abad ke-18, Gereja Katolik
dipaksa untuk menerima peran terbatasnya dalam masalah politik. Konsekuensinya,
pemerintahan dan negara Liberal mulai toleran terhadap Katolik.
Kekuatan Barat tidak lagi mengobarkan perang untuk menyebarkan Kristen
demi Kristen, sekarang mereka mengobarkan perang untuk menyebarkan Liberalisme
Sekuler dalam misi yang lahir dari persepsi mereka sendiri, yaitu 'membawa peradaban
pada dunia'. Dari sini Liberalisme Sekuler menggantikan Kristen dalam kebijakan luar
negeri Barat, dan akhirnya menggantikan hampir seluruh hukum domestik Kristen
di setiap negara Eropa. Keinginan Liberal untuk 'membuat dunia beradab' bukanlah
sebuah keinginan bagi Liberal, tapi sebuah kebutuhan. Sebagaimana Katolik ingin
menyebarkan Kristen untuk 'menyelamatkan manusia dari neraka', Liberalism
percaya bahwa nilai yang mereka anut adalah universal, dan karenanya wajib dianut
oleh semua manusia—dengan menggunakan slogan 'kebebasan'. Karena itu, secara
ideologis, Liberalisme sejatinya sama agresifnya dengan Katolik dan juga cenderung
untuk perang ekspansif, sebagaimana Katolik sebelumnya.
Samuel Huntington menulis:
“Kepercayaan Barat mengenai universalnya kultur Barat memiliki
tiga masalah: Hal tersebut salah; hal tersebut immoral; dan berbahaya ...
Imperialisme adalah konsekuensi logis dari universalisme.”4
Sebelumnya, Barat di bawah gerakan Christendom, menyebabkan Perang Salib
berdarah-darah terhadap tanah Muslim, mereka berperang untuk mendapatkan
kontrol strategis, yaitu harta, namun yang paling penting, untuk menghentikan
persebaran Islam. Tetapi, dengan hilangnya Kristen dari mindset Barat dan
munculnya Liberalisme Sekuler, Islam sekali lagi ditaksir oleh pemikir dan politisi
Barat untuk menentukan putusan Liberalisme Sekuler terhadapnya.
3 Samuel P. Huntington,"The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order", London, Touchstone Books, 1996, h. 51
4 Idem, h. 310
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
15
Pendiri Liberalisme Sekuler, John Locke menyimpulkan bahwa Muslim tidak
punya hak untuk ditolerir di tatanan dunia Liberal, karena ideologi Khalifah mereka
merupakan ancaman politik bagi negara Liberal sebagaimana negara Katolik dulunya.
Pejabat pemerintahan Inggris dan penyair, serta penggagas konsep kebebasan
berpendapat, John Milton, berpendapat bahwa Katolik seharusnya dimusnahkan
karena ancaman 'kepausan', dan menganggap Islam tidak berbeda dengan Katolik.5
Filsuf liberal terkemuka pada abad ke-19, John Stuart Mill, pemilik British
East India company, menegaskan bahwa penjajahan dan penggunaan kontrol yang
sewenang-wenang dan kejam adalah legitimate sampai mereka menjadi Liberal.6
Dalam bukunya, Mill menganggap orang Aljazair dan India sebagai bangsa barbar
yang harus ditaklukkan, yang dari situ aturan-aturan antar negara 'beradab' tidak
perlu diimplementasikan terhadap mereka.7
Charles-Louis Montesquieu, filsuf dan politisi Prancis mengatakan: "Adalah
sebuah malapetaka terhadap sifat manusia, ketika agama diberikan oleh seorang
penakluk. Agama Mahometan (Islam), yang hanya berbicara dengan pedang, masih
bertindak terhadap manusia dengan spirit destruktif yang dengannya ia didirikan."
Filsuf liberal dan pemikir politik Perancis, Alex de Tocqueville, yang secara
terbuka mendukung metode penjajahan brutal Perancis di Aljazair, mengatakan
bahwa Islam, tidak seperti Kristen, tidak cocok dengan gagasan Liberal dan akan
hilang dari kehidupan politik orang Islam.8
Presiden keenam AS, John Quincy Adams mengatakan pada perang Rusia-
Utsmani: “Karena prinsip utama dari kepercayaan Muslim adalah menaklukkan
orang lain dengan perang; maka hanya dengan kekuatanlah doktrin palsu mereka
bisa dihapuskan, dan kekuatan mereka dimusnahkan.”9
Gubernur Inggris ketika British menduduki Mesir, Lord Cromer mengatakan:
“Sangat tidak masuk akal jika kita menganggap Eropa akan menjadi penonton pasif
ketika pemerintahan terbelakang yang murni berasaskan prinsip Mohammedan dan
gagasan oriental [Islam] berdiri di Mesir. Kepentingan materiil yang dipertaruhkan
terlalu penting... Generasi baru Mesir harus dibujuk atau dipaksa untuk menyerap
semangat dari peradaban Barat.”
Dr. William Hunter, hakim di Bengal, dan anggota dewan gubernur jenderal di
wilayah jajahan Inggris, India, mengatakan 'Kita harusnya mengembangkan generasi
baru dari Mohammedan agar tidak lagi belajar dengan pikiran sempit mereka atau
terilhami... oleh doktrin pahit dari hukum-hukum kuno mereka, namun [seharusnya
mereka] dipoles dengan pengetahuan yang waras dan ramah dari Barat.”10
William Muir, anggota komite gubernur Inggris untuk India, dan sejarawan
orientalis dari kehidupan Muhammad SAW mengatakan: “Pedang Muhammad dan
5 https://www.dartmouth.edu/~milton/reading_room/areopagitica/text.html6 John Stuart Mill, On Liberty, Boston, Atlantic Monthly Press, 19217 http://www.thelatinlibrary.com/imperialism/readings/mill.html8 Alexis de Tocqueville, ‘Democracy in America’, volume 2, Chapter 59 Essai yang ditulis oleh John Quincy Adam terkait dengan perang Russo-Turki di The American Annual Register
for 1827-28-29, New York, 1830, h. 274-27510 Dr William Hunter, ‘Our Indian Musalmans: Are They Bound in Conscience to Rebel against the Queen?’, 1871
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
16
Quran adalah musuh yang paling fatal dari peradaban, kebenaran, dan kebebasan
yang dunia masih belum ketahui.”11
Dari awal hadirnya pemikiran Liberal, hingga masa mekarnya pada saat
terjadinya revolusi Liberal dan proyek penjajahan dunia, kebutuhan dunia liberal
untuk menaklukkan dan 'membuat dunia beradab'—dalam arti mengubah
cara hidup mereka—secara langsung meletakkan Liberalisme dan Islam dalam
pertentangan alami. Islam mengandung cara hidup yang menyeluruh sehingga
secara alami menjadi antitesis dari proyek politik Liberal. Karenanya filsuf, pemikir
dan politisi liberal sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap dunia
Islam—mereka akan diinvasi atau dipengaruhi secara kultur dan politik hingga
mereka memperturutkan paradigma Liberal.
Ancaman Islam menurut gagasan Liberal Sekuler bukan karena Islam akan
memaksa dunia untuk berpindah agama, namun bahwa ia menjadi kompetitor
terhadap liberalisme dalam menawarkan cara hidup. Islam dianggap sebagai halangan
dan saingan terhadap tatanan dunia baru Liberal—tatanan dunia yang diklaim oleh
Liberal sebagai tatanan yang universal. Karena itu Islam harus dikalahkan, namun
tidak dengan menghancurkan langsung sumber ajarannya, karena hal itu pastinya
tidak akan mungkin. Liberalisme menggunakan cara intelektual, kultural dan
serangan militer, menciptakan perubahan dalam sistem politik di dunia Islam, dan
memandang Islam sebagai hal yang usang untuk dipakai dalam kehidupan politik.
Sebagaimana dikatakan Alex de Tocqueville, terlepasnya ikatan Islam dari
kehidupan politik akan melemahkannya dan menyebabkan kematiannya. Pemikir
Liberal awal tidak memiliki masalah dengan keberadaan Islam yang hanya terbatas
dalam kepercayaan spiritual—karena kebanyakan Liberal adalah Kristen Protestan,
dan percaya bahwa apa yang telah mereka lakukan untuk Krisen dan Katolik bisa
diulang terhadap Islam. Namun langkah awalnya, mereka tetap harus mendapatkan
kontrol politik dan pengaruh budaya di dunia Islam, sebelum bisa mengeksekusi
program Liberal.
B. PEMBANGUNAN TATA DUNIA LIBERALTatanan Internasional didefinisikan sebagai aturan, norma, dan institusi
yang mengatur hubungan antar pemain kunci di pentas internasional. Ikenberry
mendefinisikan tatanan sebagai sekumpulan “susunan aturan antar negara, termasuk
aturan, prinsip, dan institusi fundamentalnya.”12
Internasionalisme liberal muncul setelah Perang Dunia Kedua, sebagai visi
untuk sebuah tatanan yang dipimpin Barat. Setelah tahun 1945, Amerika Serikat
menggunakan posisinya untuk memimpin pembangunan tatanan pascaperang.
Sepanjang perjalanannya, internasionalisme liberal mengalami perubahan bentuk
dan karakter. Di era Woodrow Wilson, internasionalisme liberal adalah visi yang
11 “The life of Mahomet” vol 4, pg 322 186112 John G. Ikenberry, “After Victory: Institutions, Strategic Restraint, and the Rebuilding of Order After Major
Wars”, Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2001, hal. 23
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
17
relatif sederhana, tatanan internasional diatur di seputar sistem keamanan kolektif,
di mana negara-negara berdaulat akan bertindak bersama untuk menegakkan sistem
perdamaian teritorial. Namun dengan munculnya Perang Dingin, sebuah tatanan
hegemonik liberal pimpinan AS muncul.
Visi Wilsonian didasari oleh perdagangan terbuka, kemerdekaan suatu
bangsa untuk menentukan nasib sendiri, dan harapan akan terus tersebarnya
demokrasi liberal. Seperti yang dikatakan Wilson sendiri: 'Yang kita inginkan adalah
pemerintahan berdasarkan hukum, berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
dan didukung oleh pendapat umat manusia yang terorganisir.'13 Saat itu, belum
ada institusi yang mampu menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial global, serta
pengaturan tentang hubungan antar Kekuatan Besar. Tatanan saat itu belum begitu
kuat, mereka hanya bergabung dalam sebuah persamaan prinsip, yaitu ide dan
prinsip liberal. Perwujudan terbesar dari internasionalisme liberal Wilsonian adalah
Liga Bangsa-Bangsa .
Gejolak yang ditimbulkan akibat Great Depression, Perang Dunia II, dan Perang
Dingin memberi panggung bagi Amerika untuk membangun tatanan liberal. Sebuah
momen baru untuk menata ulang dunia telah tiba. Franklin Delano Rosevelt menjadi
tokoh sentral dari pembuatan tatanan baru ini. Dalam tatanan baru ini, nilai-nilai
liberal Barat coba diuniversalkan. Hegemoni Amerika dalam tatanan ini pun terasa
kental sekali. Universalisme dapat dilihat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia.
Pada 1940-an, internasionalisme liberal dibingkai ulang. Internasionalisme
liberal era Woodrow Wilson dibangun di sekitar hierarki peradaban, rasial dan
budaya. Dalam tatanan tersebut, kulit putih Barat dianggap paling superior.
Internasionalisme liberal era Wilson tidak menantang imperialisme Eropa atau
hierarki rasial. Liberal Inggris secara eksplisit membela imperialisme, dan terus
melihat dunia dalam bingkai rasial dan benturan peradaban.
Pada 1940-an mulai dilakukan pergeseran atau perumusan ulang gagasan
ini. Mulai diciptakan nilai-nilai dan hak-hak universal sebagai visi ideologis,
sebagaimana dalam pidato terkenal FDR tentang empat kebebasan: kebebasan
berbicara, kebebasan beragama, bebas dari kekurangan, dan bebas dari ketakutan.
Ringkasnya, tatanan pascaperang identik dengan hegemoni AS dan penyebaran ide
liberal sebagai nilai universal. Setelah Perang Dunia II, tatanan dunia internasional
dikuasai oleh tatanan liberal (liberal world order), yang diciptakan oleh AS dan
Inggris dan kemudian didukung oleh Eropa Barat. Tatanan tersebut dimulai dengan
didirikannya Bank Dunia, IMF, dan PBB pada tahun 1944 dan 1945, kemudian
dipertajam dengan dibangunnya NATO.
Tatanan ini dibangun oleh dan untuk Barat dan, terutama sejak Perang Dunia
II, dimaksudkan untuk melayani dan menyebarkan nilai dan praktik liberal. Fitur
utama dari tatanan ini adalah demokrasi liberal, kapitalisme industri, nasionalisme
sekuler, dan perdagangan terbuka. Untuk mempertahankan dan memperluas
13 Woodrow Wilson, pidato di Mount Vernon, Virginia, 4 Juli 1918, https://archive.org/details/addressofpreside00wilsonw.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
18
demokrasi, penegakan hukum, dan pasar bebas, Amerika Serikat dan sekutunya di
Barat melembagakan tatanan internasional liberal ini, dan kemudian bekerja keras
untuk memperluas jangkauan institusi Barat.
Tatanan ini mencakup banyak elemen: institusi global seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO); organisasi
keamanan bilateral dan regional; dan norma politik liberal.14 NATO, Uni Eropa, WTO
dan lembaga lainnya, yang lahir dari inisiatif Barat, menjadi pilar utama dari tatanan
ini.
Salah satu karakteristik khas tatanan internasional pasca perang (post-war
international order) adalah penghormatan pada norma dan nilai-nilai liberal, seperti
hak asasi manusia (kebebasan berekspresi dan berbicara, termasuk kebebasan untuk
mengkritik agama, kebebasan pers, kebebasan beragama, dll), perdagangan bebas,
hingga penyebaran demokrasi liberal ke seluruh dunia. Memajukan nilai-nilai liberal
adalah salah satu prinsip inti dari tatanan ini. Itulah kenapa tata dunia internasional
saat ini seringkali disebut juga tata dunia liberal (liberal world order).
Ada dua komponen utama dari tatanan ini. Pertama, liberalisasi ekonomi
global. Mesin utama dari tatanan ini adalah keyakinan bahwa kemakmuran
bangsa memerlukan partispasi dalam tatanan liberal. Kedua, dalam hal keamanan.
Fungsi dari tatanan keamanan adalah untuk membatasi penggunaan kekuatan dan
mencegah agresi. Untuk mencapai itu, tatanan ini mendorong kekuatan regional dan
menengah untuk mematuhi “aturan main”, meminimalisir penggunaan kekuatan
sebagai alat untuk mengatur hubungan antar negara.
Gambar 1 menunjukkan elemen operasi dari tatanan liberal, serta mesin
utama atau kekuatan pendukungnya. Seperti yang terlihat dalam gambar, elemen
tersebut meliputi hubungan, pola, jaringan, norma, nilai dan kepercayaan, institusi,
organisasi, dan perjanjian. Elemen liberal dari tatanan tersebut muncul di ketiga
komponen: ekonomi, politik-militer, dan lainnya.
Gambar 1. Elemen dan Mesin dalam Tatanan Internasional Liberal
14 Michael J. Mazarr et.al, “Measuring the Health of the Liberal International Order”, Rand Corporation, September 2017, hal. 4
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
19
C. Realita Tata Dunia Liberal
Fitur liberalisme
Menurut Dr. Sherman Jackson, fondasi dasar dari liberalisme adalah komitmen
terhadap kebebasan. Berdasarkan tujuan ini, setidaknya ada tiga karakteristik dasar
liberalisme saat ini.15
Pertama adalah penolakan teoritis terhadap semua sumber otoritas di luar
individu atau kolektif sebagai dasar moralitas dan/atau organisasi sosio-politik. Ini
bisa dilihat di awal munculnya liberalisme modern di Eropa pada abad ke 17 dan
18. Awalnya, objek utama dari penolakan ini adalah Gereja Katolik dan otoritas
lembaga keagamaan pada umumnya, yang bisa dilihat dari sebuah proklamasi
Immanuel Kant yang terkenal: "Miliki keberanian untuk menggunakan akalmu
sendiri!" Awalnya, posisi ini tidak berarti penolakan terhadap Tuhan atau agama; tapi
lebih diarahkan pada otoritas institusi agama. Mereka lebih menghargai keyakinan
pribadi dibanding institusi sebagai sumber otoritas agama. Selain itu, mereka juga
mengosongkan tatanan sosial budaya dari elemen agama, yang kemudian membawa
pada berkuasanya perspektif sekuler.16 Pada akhirnya, liberalisme akan berkembang
menjadi identitas yang lebih sekuler, dengan komitmennya pada otonomi individu
dan penolakannya terhadap otoritas di luar individu atau kepentingan kolektif.
Komitmen ini lah yang terus menerus berkonflik dengan agama, terutama Islam.
Fitur kedua dari liberalisme adalah komitmennya terhadap individualisme.
Liberalisme berfokus pada hak istimewa individu, bukan pada keterikatannya pada
kolektivitas yang lebih besar, seperti keluarga, masyarakat atau agama. Titik tolak
liberalisme, dengan kata lain, adalah kesucian keinginan individu, yang diasumsikan
dapat dipuaskan tanpa ketergantungan dengan orang lain. Bukan berarti bahwa
liberalisme tidak memperhatikan hubungan kolektif, tapi liberalisme hanya
menegaskan bahwa individu, bukan kelompok, adalah pusat keputusan utama
tentang apa dan seberapa besar kewenangan hubungan ini. Seperti yang dikatakan
oleh feminis liberal Martha Nussbaum, "setiap orang adalah satu dan tidak lebih dari
satu ... masing-masing merasakan sakit di tubuhnya sendiri ... makanan yang diberikan
kepada A tidak sampai di perut B." Dengan demikian, liberalisme "bertentangan ...
dengan bentuk organisasi politik yang bersifat korporatis dan terorganisir secara
organik—yang mencari kebaikan kelompok secara keseluruhan tanpa memusatkan
perhatian sepenuhnya pada kesejahteraan anggota kelompok individual."17
15 https://www.alimprogram.org/articles/impact-of-liberalism-secularism-atheism-on-american-mosque/16 P. Berger, “The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion 3rded”, New York: Anchor Books,
1990, 110-25.17 M. Nussbaum, “The Feminist Critique of Liberalism,” Political Philosophy: The Essential Texts 3rd ed., ed.
Steven M. Cahn, New York: Oxford University Press, 2015, 1033.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
20
Fitur ketiga berkaitan dengan bagaimana kita menegosiasikan konflik. Karena
basis ideologis yang mendasari pandangan dan tindakan masyarakat mungkin
berbeda secara substansial, dikhawatirkan bahwa orang mungkin tidak dapat
menemukan cukup kesamaan untuk menyelesaikan perbedaan mereka. Jika A
dapat memaksakan ideologinya melawan B, B akan khawatir bahwa ia tidak dapat
memperoleh persidangan yang adil dan akhirnya meninggalkan perundingan,
membiarkan konflik terjadi, dan bahkan melakukan kekerasan.
Sebagai solusi, John Rawls mengusulkan agar semua pihak diberi ruang
untuk memperdebatkan posisi mereka atas dasar apa yang dia sebut "nalar publik"
(public reason).18 Nalar publik tidak didasarkan pada komitmen ideologis pihak yang
berkompetisi. Sebaliknya, mereka mengacu pada apa yang disetujui secara umum.
Misalnya, Yahudi dan atheis mungkin tidak setuju dengan otoritas Al-Qur'an, tapi
mereka semua setuju untuk melarang kokain, dengan alasan kesehatan.
Terlepas dari potensi "nalar publik" untuk memperbaiki konflik di tengah
masyarakat, hal itu membawa sejumlah efek samping yang signifikan: ia menyangkal
hak orang untuk menggunakan keyakinan mereka saat menegosiasikan konflik
publik; menyangkal hak untuk berdebat tentang komitmen terhadap apa yang
dianggap sebagai kebenaran; dan tatanan ini juga secara keliru mengasumsikan
bahwa matriks budaya yang berlaku saat ini tidak akan membentuk struktur yang
secara tidak adil mengistimewakan beberapa argumen (kepentingan orang kaya, dan
berkuasa) dan menghukum argumen lain (orang miskin atau kelompok yang tidak
populer).
Liberalisme mengklaim hanya bercita-cita menjadi teori politik, bukan
filosofi kehidupan secara keseluruhan. Dengan kata lain, tujuan utamanya adalah
mengatur hubungan antara individu dan negara, dan hubungan antara individu
dan sesamanya dalam ranah politik. Oleh karena itu, secara teori, komitmen liberal
tidak perlu mengatur kehidupan di luar wilayah politik, misalnya dalam keluarga,
organisasi kemasyarakatan atau kelompok agama.
Namun kenyataannya, masyarakat liberal mengkalibrasi institusi dasarnya
(misalkan di dunia pendidikan, pemerintahan, hukum, hiburan) untuk menanamkan,
mengatur, dan memaksakan nilai-nilai liberal. Bahkan, meski liberalisme politik
mengklaim bukan sebagai filosofi kehidupan secara keseluruhan, realitanya mereka
memerankan diri seperti itu. Tidak hanya di bidang politik, tapi juga bidang lainnya.
Bahkan, kini mereka mencoba masuk ke ranah privat tentang bagaimana seseorang
harus menjalankan agamanya.
Hal yang sama juga terjadi dalam sekularisme. Secara teori, sekularisme tidak
akan mengatur agama apa yang seharusnya dianut, mereka hanya berusaha mengatur
18 Public reason (nalar publik) adalah sebuah frasa yang pertama kali diucapkan oleh Immanuel Kant dalam tajuk rencana yang ia tulis pada tahun 1784. Frasa ini juga digunakan oleh seorang filsuf Amerika, John Rawls, dan dapat diartikan sebagai "alasan seluruh warga negara di dalam masyarakat yang pluralis". Public Reason atau nalar publik bisa juga disebut dengan istilah lainnya yang lebih diplomatis yaitu kepentingan umum.
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
21
dampak agama pada kehidupan kolektif. Tapi, sebagaimana liberalisme, sekulerisme
politik secara kumulatif berubah menjadi pandangan hidup yang lebih sekuler secara
keseluruhan. Agama, dalam pandangan sekuler, dianggap sebagai urusan pribadi.
Karenanya, ia dianggap sebagai tersangka atau bahkan berbahaya jika melampaui
batas ini, tidak hanya di ranah publik tetapi juga di lingkungan sub-negara seperti
keluarga atau kelompok agama. Dilihat dari perspektif ini, sekularisme memberikan
pengaruh yang jauh melampaui wilayah politik murni. Mereka mempromosikan dan
menopang pola pikir sekuler secara keseluruhan.
Kebohongan terbesar yang pernah diciptakan Barat, adalah dengan
meyakinkan dunia bahwa nilai-nilainya bersifat universal dan 'netral'. Namun,
tanpa sepengetahuan kebanyakan orang, nilai-nilai mereka sebenarnya didasarkan
pada pandangan dunia mereka sendiri, yang sangat berbeda dan berlawanan dengan
kebanyakan sistem kepercayaan atau hukum (orisinil) di dunia. Jadi, sebagaimana
AS mempromosikan dolar, Barat mencetak mata uang intelektualnya, dan meminta
semua orang untuk menggunakannya sebagai standar universal untuk transaksi
moral dan intelektual. Sebagaimana dolar dikaitkan dengan ekonomi AS, maka nilai-
nilai Barat terkait dengan kepercayaan dan pandangan dunia mereka.
Karena alasan inilah, 'nilai-nilai' Barat tentang 'Hak Asasi Manusia', 'Kebebasan',
'Demokrasi', 'legitimasi demokratis', dan 'Kesetaraan' begitu banyak digunakan
secara global. Sekarang, di mana pun kita bepergian, jika kita menyanyikan kata-
kata 'suci' dan 'sakral' tersebut, kita bisa langsung mendapatkan mata uang moral
karenanya.
Liberalisme IntoleranDengan kekuatan dan kekerasan, Barat mencoba mengkampanyekan
humanisme, pluralisme, demokrasi, dan sekulerisme sebagai ideologi pemandu bagi
umat manusia.
Ada dua pikiran dasar yang melandasi para pemikir humanis Barat. Yang
pertama adalah kepercayaan bahwa manusia bebas dan bertanggung jawab untuk
menentukan tindakan mereka sendiri, dan karena itu, Tuhan seharusnya hanya
memiliki tempat dalam ranah pribadi dan marjinal dalam kehidupan mereka. Kedua,
titik penting yang menjadi acuan kebijakan Barat adalah keyakinan bahwa pendapat
mayoritas harus bertindak sebagai kriteria utama manusia dalam membentuk
perilaku dan undang-undang.
Barat berasumsi bahwa dunia Islam enggan untuk mengadopsi dua prinsip
tersebut. Dampaknya, sebagian dari mereka menggunakan kekerasan untuk
menyebarkan prinsip tersebut di dunia Islam, dan sebagian yang lain menggunakan
taktik yang lebih lunak dengan harapan memenangkan hati umat Islam.
Apapun metodenya, pesan yang disampaikan sama: Muslim harus mengubah
keyakinannya dan pada akhirnya menerima nilai-nilai humanis tersebut.
Mereka menjajakan konsep tentang kebebasan, keragaman, dan toleransi.
Meski demikian, banyak jurnalis dan intelektual Barat yang mampu untuk merasakan
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
22
bahwa ideologi liberal tersebut pada hakikatnya penuh dengan intoleransi. Saat
mendiskusikan tentang konsep kebebasan memilih dan toleransi, Madeleine
Bunting menulis bahwa fundamentalisme Barat “toleran kepada budaya lain sampai
batas bahwa mereka masih merefleksikan nilai-nilai Barat. Mereka seringkali sangat
tidak toleran kepada keyakinan agama dan tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan
penghinaan dan prasangkanya."19
Sejarah liberalisme Barat menunjukkan bahwa tangan mereka penuh dengan
darah. Mereka mengeksekusi, membasmi, dan mengebiri keyakinan lain yang
melawan tatanan dan nilai-nilai mereka.
Liberal sekuler telah mendeklarasikan permusuhan, ketidakpercayaan, dan
secara aktif mempersekusi berbagai keyakinan yang dianut oleh minoritas di masa
lalu, dari Katolik hingga Islam. Menggunakan label ekstremis, radikal, militan,
anarkis, mereka menekan pihak lain agar menyesuaikan diri dengan keyakinan dan
nilai-nilai liberal.
Pada awalnya mereka tampak menolerir muslim yang masih berpegang pada
keyakinan konservatif namun tidak ingin menerapkannya di dunia modern (yang
biasa mereka sebut sebagai Muslim moderat). Namun, pada akhirnya, mereka pun
bernasib sama seperti mereka yang dituduh radikal. Kalangan liberal tidak akan
membiarkan keyakinan yang bertentangan dengan pandangannya bisa mempunyai
tempat sembunyi, yang membuat mereka bisa bangkit kembali di masa depan. Sikap
ini terlihat jelas dari pernyataan David Cameron, mantan perdana menteri Inggris.
“Masyarakat toleran yang pasif mengatakan kepada warganya: selama
Anda mematuhi hukum, kami akan membiarkan Anda. Ia berdiri netral
di antara nilai yang berbeda. Namun, sebuah negara yang benar-benar
liberal melakukan lebih daripada itu. Ia percaya pada nilai tertentu dan
secara aktif mempromosikannya .... Dikatakan kepada warganya: inilah
nilai yang mendefinisikan kita sebagai sebuah masyarakat. Jika Anda ingin
masuk dalam komunitas ini, maka Anda harus percaya pada nilai-nilai
tersebut.”20
Fenomena tersebut diungkapkan dalam sebuah laporan Amnesty International:
"Di beberapa negara Eropa, secara luas dipelihara bahwa Islam dan Muslim
akan baik-baik saja selama mereka tidak terlalu nampak."21
Hal yang sama terjadi saat European Court of Human Rights memberikan
penilaian atas larangan yang dilakukan oleh pemerintah Turki terhadap Partai Refah
pada tahun 2003.
“Perlu dipahami bahwa partai politik yang para pemimpinnya ...
mengajukan sebuah program politik yang tidak menghormati satu atau
lebih peraturan demokrasi, atau yang ditujukan untuk penghancuran
demokrasi dan pencabutan hak dan kebebasan yang diakui dalam sebuah
19 https://www.theguardian.com/world/2001/oct/08/afghanistan.politics120 https://www.newstatesman.com/blogs/the-staggers/2011/02/terrorism-islam-ideology21 https://www.amnesty.org/en/latest/news/2012/04/muslims-discriminated-against-demonstrating-their-
faith/
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
23
demokrasi, tidak dapat mengajukan klaim atas perlindungan Konvensi
terhadap hukuman yang dijatuhkan atas dasar tersebut ... Pengadilan
menemukan bahwa tindakan dan pidato anggota dan pemimpin Refah
yang dikutip oleh Mahkamah Konstitusi ... mengungkapkan kebijakan
jangka panjang Refah untuk membentuk sebuah rezim berdasarkan
Syariah... rencana ini tidak sesuai dengan konsep "masyarakat demokratis"
... hukuman yang dikenakan pada pemohon oleh Mahkamah Konstitusi...
dapat dipertimbangkan secara wajar telah memenuhi "kebutuhan sosial
yang mendesak".22
Pelajaran dari cerita ini adalah, jika ada umat Islam memohon dengan dogma
'kebebasan' untuk mendapatkan perlindungan bagi diri mereka dan kepercayaan
mereka; mereka harus menyadari bahwa Liberalisme Sekuler menyebut 'kebebasan'
untuk mewujudkan penghancuran terhadap keyakinan mereka.
Gambar 2. Islam moderat dan Islamis dalam pandangan Barat.23
Salah satu hal yang paling akut dalam liberalisme adalah klaimnya tentang
toleransi dan universalitas nilai-nilainya. Klaim ini bisa dilihat dari ungkapan mantan
perdana menteri Italia, Silvio Berlusconi, yang pernah mengatakan bahwa “kita
harus sadar akan superioritas peradaban kita (Barat), sebuah sistem yang menjamin
kesejahteraan, penghormatan pada hak asasi manusia, dan—berbeda dengan negara
Islam—menghormati hak beragama dan berpolitik, sebuah sistem yang mempunyai
22 http://www.legislationline.org/documents/action/popup/id/1582723 Sumber: Abdullahandalusi.com
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
24
nilai-nilai yang memahami kebhinnekaan dan toleransi.”24 Ia mengklaim superioritas
peradaban Barat karena mereka memiliki “kebebasan” sebagai nilai terhebat mereka,
satu hal yang menurutnya bukan merupakan warisan Islam.25
Pikiran semacam ini tidak hanya dimiliki oleh Berlusconi, tapi mayoritas
tokoh-tokoh Barat, namun mereka terlalu malu untuk mengatakannya. Saat Barat
membawakan tentang konsep kebebasan, keragaman dan toleransi, maksudnya
adalah kebebasan, keragaman dan toleransi untuk mengikuti budaya dan nilai-nilai
Barat. Jika melawan, maka mereka akan ditaklukkan. Berlusconi mengatakan: "Barat
akan terus menaklukkan orang-orang seperti itu (yang menolak peradaban Barat—
pen) seperti ia telah menaklukkan Komunisme," bahkan jika itu berarti konfrontasi
dengan "peradaban lain, yaitu Islami, yang stagnan seperti 1.400 tahun yang lalu."26
Kontradiksi ini telah menyebabkan banyak bangsa menderita.
Inilah sisi gelap liberalisme. Secara periodik, ia mendatangkan malapetaka di
seluruh dunia selama lebih dari 150 tahun. Hal ini dapat dideteksi dalam tulisan-
tulisan pemikir liberal besar seperti John Stuart Mill, yang muncul dalam bentuk
arogansi imperium Inggris. Tapi akar dari semua itu, kata Bunting, bermula dari
warisan Kekristenan yang mengklaim sebagai satu-satunya keyakinan yang benar.
Hal yang sama juga dilakukan AS, yang begitu meyakini bahwa nilai-nilai mereka
secara moral baik. Rasa superioritas ini, bersekutu dengan kekuatan ekonomi dan
teknologi, telah menciptakan kolonialisme yang sangat mengerikan. Perasaan yang
sama juga mendasari kegiatan korporasi multinasional IMF, PBB, dan Bank Dunia.
Realita ini dirangkum oleh pernyataan Huntington: “Barat menaklukkan dunia
tidak dengan superioritasnya dalam hal gagasan atau nilai-nilai atau agama, namun
[mereka menaklukkannya] dengan superioritasnya dalam mengimplementasikan
kekerasan terorganisir. Orang Barat seringkali lupa fakta ini, tapi kaum non-Barat
tidak pernah lupa.”27
Sekulerisme yang MenetralisirDemokrasi dan sekulerisme selama ini dianggap sebagai tatanan netral
yang bisa mengakomodir semua agama, hidup berdampingan dalam sebuah
iklim yang harmonis. Menurut salah seorang tokoh sekuler, sekulerisme memang
tidak sempurna, tapi ia adalah satu-satunya sistem yang membuat semua orang
diperlakukan sama, semua orang bisa memiliki nilai suara yang sama. One law for all,
satu hukum untuk semua, begitu slogan yang selama ini diteriakkan kaum sekuler.
Dalam sekulerisme, agama dilarang dibawa-bawa dalam ranah politik.
Alasannya, akan menggangu keharmonisan dan kerukunan di tengah masyarakat.
Bahkan, kampanye yang menggunakan agama pun dianggap lebih buruk dibanding
politik uang.28 Dalam demokrasi, politik identitas, terutama agama, tidak boleh
terjadi. Para pemuka agama pun diminta untuk membimbing umatnya bahwa
24 http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/3041288.stm25 http://old.themoscowtimes.com/news/article/tmt/251296.html26 idem27 Samuel P. Huntington,"The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order", h. 5128 http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42484006
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
25
pilihan politik adalah hak pribadi warga negara dan tidak boleh dikaitkan dengan
agama.
Jika ada seorang Muslim atau Kristen, dan orang tersebut patuh pada etika dan
hukum agamanya, maka sudah sepantasnya nilai-nilai itu mempengaruhi partisipasi
politiknya. Jika orang tersebut memilih, misalnya, atas dasar nilai-nilai tersebut,
maka agama akan memengaruhi apa yang ia pilih. Dan jika ia memilih dalam hal
undang-undang, maka itu berarti agamanya berpotensi menjadi sumber hukum.
Jika kita ingin mempercayai klaim sekularisme dan liberalisme politik, yaitu
bahwa mereka menyediakan sebuah sistem di mana orang-orang dari berbagai
agama dapat hidup di bawah satu pemerintahan dan diatur oleh seperangkat
undang-undang, maka seharusnya seorang Muslim dapat memilih menurut
keyakinannya dan seorang Kristen dan Yahudi dapat melakukan hal yang sama.
Namun, kebanyakan orang yang berada dalam keyakinan sekulerisme tidak ingin
keyakinan agama dikaitkan dengan pemerintahan.
Pertanyaan berikutnya, jika ada seorang yang mengaku Muslim, misalnya, dan
ia tidak memilih sesuai dengan keyakinan religiusnya, lalu kepercayaan dan nilai lain
apa yang mempengaruhi suara dan partisipasi politiknya secara umum? Jika bukan
agama, dapatkah dikatakan bahwa sekularisme membawa orang-orang dari berbagai
agama menuju sebuah keyakinan bersama yang baru? Atau sekularisme telah
menyatukan orang-orang yang mengebiri diri mereka sendiri dengan memotong diri
dari keyakinan dan sumber identitas mereka? Lalu, partisipasi masyarakat macam
apa yang hanya diijinkan untuk suara yang sudah dikebiri?
Sekularisme ingin memisahkan agama dari politik. Jika demikian, apakah itu
masuk akal? Bagaimana mungkin tujuan hidup manusia dipisahkan dari urusan
hidupnya?
Sekularisme secara aktif berusaha mengalihkan perhatian manusia dari tujuan.
Karena tujuan adalah domain agama.
Sekularisme akan memberi tahu kita tentang pentingnya tindakan, tetapi tidak
banyak memberikan pernyataan tentang hasil. Karena hasil adalah domain agama.
Sekularisme akan memberi tahu bahwa kita harus mencoblos, tetapi tidak akan
memberi pandangan etis yang substantif yang mendasari kenapa kita mencoblos.
Karena pandangan etis yang substantif adalah domain agama.
Sekularisme akan memberitahu kita untuk menghormati semua secara sama,
tetapi tidak akan memberi tahu kita apa artinya menjadi terhormat. Karena inti dari
rasa hormat dan kehormatan adalah domain agama.
Mungkin kita berpikir bahwa ketika orang menjadi lebih sekuler, mereka
menjadi lebih netral, terlepas dari materi etika apa pun, terputus dari makna apa
pun.
Tapi, hati tidak pernah bisa kosong. Kekosongan yang diciptakan oleh
sekuler liberal segera terisi dengan artefak dasar budaya yang diproduksi oleh
konglomerat perusahaan dan disebarluaskan oleh media massa untuk menyiarkan
dan menstandarisasi norma dan nilai baru. Setelahnya, ia akan menjadi agama
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
26
masyarakat, yang memberi isi karakter mereka. Inilah tujuan yang ingin diproduksi
sekularisme: untuk menjadikan kita seorang budak yang patuh.
Kebebasan Beragama, Ide Universal ataukah Kepentingan Politik?Salah satu nilai utama yang dibawa oleh tatanan liberal adalah kebebasan
beragama. Penghargaan atas keragaman dan hak individu untuk memilih agama
menjadi nilai-nilai universal yang baik bagi umat manusia. Tapi, benarkah ide
kebebasan beragama lahir dari daya tarik nilai liberal?
Dalam sebuah esainya, Mark Koyama menjelaskan bahwa munculnya
gagasan kebebasan beragama di dunia Barat bukanlah disebabkan oleh daya tarik
atau kebajikan yang dibawanya. Sebaliknya, menurut Koyama, toleransi terhadap
kelompok agama yang berbeda murni muncul sebagai masalah praktis secara politik
dan ekonomi.29
Bagaimana ini bisa terjadi?
Koyama berpendapat bahwa negara-negara Eropa semakin tidak bergantung
pada Gereja untuk mendapatkan legitimasi politik. Sebelumnya, negara-negara
tersebut perlu bersekutu dengan Gereja untuk mendapatkan legitimasi di mata
masyarakat Kristen, yang kemudian diharapkan akan membawa pada stabilitas
politik—sesuatu yang sangat berharga bagi penguasa negara. Negara-negara yang
bersekutu dengan Gereja buruk bagi toleransi, karena Gereja menuntut negara untuk
menghukum mereka yang sesat.
Selain itu, negara mengandalkan lembaga keagamaan untuk berkontribusi
pada ketertiban umum. Dibanding institusi negara yang lemah, Gereja dianggap
berada pada posisi yang lebih baik untuk membantu orang miskin, memberikan
pendidikan, dan memberikan pelayanan publik lainnya. Selain itu, undang-undang
dan peraturan sosial zaman itu bergantung pada identitas agama, bukan pada
identitas nasionalistik umum (misal: Kewarganegaraan) yang berlaku sama untuk
semua orang. Semua ini menyebabkan munculnya intoleransi terhadap keragaman
agama. Saat itu, kebebasan beragama adalah hal yang tidak terbayangkan.
Lalu, apa yang berubah?
Lembaga negara mulai banyak memungut pajak dan menjadi lebih kuat, kata
Koyama. Hal ini memungkinkan mereka untuk melepaskan diri dari Gereja. Dengan
meningkatnya kekuasaan, undang-undang dan peraturan sosial dapat diterapkan
secara lebih luas tanpa bergantung pada identitas keagamaan. Sejauh menyangkut
negara, orang Yahudi, Protestan, dan Katolik merupakan sumber pajak yang sama.
Pada akhirnya, "karena mereka tidak lagi bergantung pada otoritas agama, negara-
negara cenderung tidak lagi memaksakan kesamaan agama."
Hasilnya?
Kebebasan beragama lahir dari "kenyamanan negara", dan bukan karena
prinsip.
29 https://aeon.co/amp/essays/the-modern-state-not-ideas-brought-about-religious-freedom
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
27
Jika kita melihat dengan jujur, dari awal sampai akhir, tujuan negara adalah
untuk mengatur rakyat agar mau mengikuti kehendaknya, yaitu menarik kekayaan
dari mereka. Pada awalnya, Gereja adalah media yang nyaman untuk misi ini, namun
kemudian, cara yang lebih efektif ditemukan yang membuat Gereja menjadi usang.
Seperti yang ditulis oleh Koyama, institusi negara yang paling tangguh adalah militer,
yang kekuasaan, ukuran, dan kemampuan teknologinya semakin tumbuh sepanjang
sejarah. Alat apa yang lebih canggih dalam rangka mengendalikan populasi daripada
kekuatan militer? Bagi negara modern sekuler, tidak perlu gagasan tentang murka
Allah untuk memaksakan kehendak negara. Cukup gunakan infrastruktur militer
negara untuk melakukannya.
Pertanyaannya, apakah ini semua adalah sebuah perbaikan bagi umat manusia?
Apakah berkurangnya peran institusi keagamaan benar-benar mengarah pada
"otonomi" dan "kebebasan" bagi rakyat? Atau apakah ini hanya sekadar pergantian
sumber otoritas?
Bagi orang Yahudi dan Kristen yang merasakan represi Gereja di masa lalu,
mungkin negara militer yang brutal itu lebih baik daripada Gereja yang brutal. Jadi,
pilihan ide "kebebasan beragama" masih menarik bagi mereka.
Tapi, itu semua tidak terjadi dengan Islam. Secara historis, kita tidak menemukan
kebrutalan dan penindasan dari institusi keagamaan di dunia Muslim, sebagaimana
yang terlihat dari Gereja-gereja Eropa. Brutalitas, penindasan, dan kekerasan massal
di dunia Muslim biasanya dilakukan bertentangan langsung dengan Syariat Islam
dan pendapat ulama. Sejarah membuktikan tradisi para ulama yang menolak untuk
dikooptasi oleh elit penguasa. Mereka menentang karena pelanggaran Syariat yang
dilakukan oleh penguasa. Artinya, jika Syariat adalah sumber keadilan, hanya tiran
yang ingin menyingkirkannya.
Kedaulatan di tangan rakyat ataukah di tangan para manipulator?Demokrasi adalah sistem sosial kuno yang selalu dimodifikasi oleh para ahli
dan penguasa untuk menjadi sistem modern. Demokrasi didasarkan pada aturan
rakyat yang memiliki kekuatan untuk mengatur keseluruhan sistem negara. Sistem
ini menjadikan hak asasi manusia dan kebebasan sebagai inti kebajikan bagi
masyarakat. Perkembangan demokrasi mengarah pada liberalisme dalam isu politik
dan kapitalisme dalam isu ekonomi.
Demokrasi diyakini sebagai sistem politik dan pemerintahan yang lengkap
yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan. Namun
praktiknya, demokrasi dikemudikan oleh sedikit orang kapitalis. Ada beberapa pihak
dan korporat yang berusaha menjaga sistem ini, demi melindungi dan memperbesar
kepentingan mereka.
Pertanyaannya, dimanakah idealita demokrasi berhasil didapatkan? Kenapa
idealita demokrasi dianggap begitu menarik? Ide bahwa setiap orang mempunyai
pengaruh yang sama dalam mengatur masalah sosial kemasyarakatan adalah
sebuah utopia. Kapan pembuatan keputusan yang dilakukan oleh massa kondusif
pada tercapainya keadilan? Bukankah massa sangat rentan terhadap manipulasi?
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
28
Jika demikian, bukankah kekuatan sejati terletak di tangan para manipulator,
bukan massa? Jika sekelompok manipulator memegang sejumlah kekuasaan yang
tidak seimbang, apa yang membedakan mereka dengan rezim otoriter? Faktanya,
bukankah itu semua adalah kepentingan manipulator yang berlindung di balik
topeng demokrasi?
Gambaran selama ini, masyarakat dianggap berdaulat dan mendapatkan
kekuasaan, tapi praktik yang terjadi justru sebaliknya, segelintir pemilik kekuatan lah
yang berkuasa. Sistem ini dimanipulasi oleh para pemegang kekuasaan yang diberi
wewenang, demi mempertahankan kekuasaannya sebagai wakil rakyat.
Sistem demokrasi dianggap sebagai perbaikan dari sistem aristokrasi, namun
secara praktis demokrasi justru condong ke sistem oligarki. Demokrasi memberi lebih
banyak kesempatan kepada para pemegang modal, pemilik sumber daya, kekuatan
dan popularitas. Pada akhirnya, demokrasi pun menuju sebuah hukum bahwa "yang
kuatlah yang akan bertahan."
Demokrasi juga membawa masalah yang melekat pada dirinya, berusaha
untuk memastikan kedaulatan rakyat, namun pada saat bersamaan membatasi
aturan mayoritas sehingga tidak melanggar hak individu atau minoritas. Dengan kata
lain, demokrasi tidaklah mengejar satu tujuan bersama, tapi justru dua tujuan yang
terpisah dan terkadang saling berkompetisi. Demokrasi pun mengalami ketegangan
dengan dirinya sendiri.
Ketimpangan EkonomiAda beberapa faktor yang menyebabkan hancurnya demokrasi: ketimpangan
ekonomi, polarisasi yang ekstrem di tengah masyarakat, bencana alam, kebencian,
tumbuhnya dukungan pada fasisme, serta adanya perang atau revolusi.
Hari ini, kita hidup di dunia yang penuh dengan ketidakadilan: kesenjangan
kekayaan dan pendapatan, kesenjangan pengaruh dan kekuasaan. Kondisi
ini berpotensi menyebabkan ketegangan sosial, perpecahan masyarakat, dan
penderitaan jutaan manusia.
Kesenjangan antara orang-orang kaya yang minoritas dan milyaran orang yang
hidup dalam kemiskinan mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hari ini, 10% orang paling kaya menguasai 85% kekuasaan global. Menurut data
UC Atlas of Global Inequality, “3 orang paling kaya di dunia memiliki aset lebih dari
total Produk Domestik Bruto 47 negara dengan Produk Domestik Bruto terendah.”30
Laporan lain menyatakan bahwa “1% orang paling kaya di dunia memiliki lebih dari
50% kekayaan dunia.”31
Oxfam juga menunjukkan bahwa kekayaan “8 orang terkaya di dunia sama
dengan 50% orang termiskin di dunia atau 3,6 miliar orang.”32
30 http://ucatlas.ucsc.edu/income.php31 https://www.theguardian.com/inequality/2017/nov/14/worlds-richest-wealth-credit-suisse32 https://www.oxfam.org/en/pressroom/pressreleases/2017-01-16/just-8-men-own-same-wealth-half-world
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
29
Gambar 3. Ketimpangan Kekayaan Global
Global Issues melaporkan bahwa: hampir separuh penduduk dunia (lebih dari
3,5 miliar) hidup dengan pendapatan kurang dari $ 2,50 per hari; dan 80% masyarakat
dunia hidup dengan pendapatan kurang dari $ 10 per hari.33
Membahas kemungkinan perubahan ke dunia yang lebih adil, UNICEF
memberikan gambaran yang agak suram; Dengan mengasumsikan penggunaan
model ekonomi saat ini, mereka memperkirakan bahwa "dibutuhkan lebih dari 800
tahun bagi miliaran rakyat terbawah untuk mencapai sepuluh persen pendapatan
global."
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi ini; Siapa
yang mendapatkan manfaat dari model pembangunan saat ini?
33 http://www.globalissues.org/article/26/poverty-facts-and-stats
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
30
Dalam laporannya, Oxfam menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan
fenomena tersebut.34 Diantaranya adalah:
1. Korporasi bekerja untuk mereka yang di atas
Korporasi terus bekerja untuk mereka yang kaya, keuntungan pertumbuhan
ekonomi tidak didapatkan oleh mereka yang paling membutuhkan. Untuk
memuaskan mereka yang di atas, korporasi menekan pekerjanya semakin keras.
2. Menekan para pekerja
Di seluruh dunia, korporasi berusaha menekan biaya pekerja—dan memastikan
bahwa para pekerja mendapatkan porsi yang semakin rendah dalam kue ekonominya.
Hal ini memicu lah yang kemudian ketidaksetaraan.
3. Menghindar dari pajak
Korporasi memaksimalkan keuntungannya dengan berusaha membayar pajak
sekecil mungkin. Hal ini dilakukan dengan membuat negara berkompetisi untuk
menyediakan pembebasan pajak atau menurunkan nilai pajak.
4. Kroni kapitalisme
Korporasi dari berbagai sektor menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya
yang besar untuk memastikan bahwa regulasi dan kebijakan nasional maupun
internasional dibentuk sesuai dengan kepentingan mereka untuk memaksimalkan
keuntungan.
5. Membeli kebijakan
Orang-orang kaya di dunia tidak ragu untuk membeli kebijakan dan memastikan
bahwa aturan dibuat sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka juga membeli hasil
politik sesuai dengan yang mereka inginkan, dengan mempengaruhi pemilu dan
kebijakan publik. Miliarder di Brazil melakukan lobi untuk mengurangi pajak; Koch
Brothers, dua orang terkaya di Amerika Serikat memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap kebijakan konservatif di Amerika dan memberi dukungan kepada think
tanks berpengaruh.35 Upaya untuk mempengaruhi politik yang dilakukan orang-
orang kaya dan para wakilnya ini secara langsung menyebabkan ketidakadilan dan
kesenjangan yang semakin besar.
Dari fenomena tersebut, mengapa miliaran orang tidak melakukan perlawanan
menuntut keadilan dan kehidupan yang setara sebagaimana yang diimpikan? Graham
Peebles, direktur The Create Trust menyimpulkan bahwa masyarakat mengalami
kelelahan fisik, ketegangan emosional, dan tertidur secara mental. Mereka tidak
memiliki waktu atau energi untuk melawan.36
34 https://d1tn3vj7xz9fdh.cloudfront.net/s3fs-public/file_attachments/bp-economy-for-99-percent-160117-en.pdf
35 J. Mayer, “Dark Money: The Hidden History of the Billionaires Behind the Rise of the Radical Right‟, New York, Doubleday, 2016
36 http://www.globalpolicyjournal.com/blog/21/02/2014/worldwide-inequality
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
31
D. AKHIR DARI TATA DUNIA LIBERAL?Kematian sebuah tatanan dapat terjadi baik melalui bencana besar, seperti
perang, atau melalui akumulasi gradual dari seribu sayatan kecil.
Dalam sebuah tatatan, penyokong terbesarnya adalah ide dan keyakinan,
serta dukungan geopolitik. Ide dan keyakinan adalah kesepakatan atas norma dan
nilai kunci. Kesepakatan atas nilai bersama mampu menghalangi keinginan untuk
menggulingkan tatanan internasional. Penyokong lainnya adalah adanya kekuatan,
atau keseimbangan geopolitik yang mendukungnya. Jika keduanya menurun, maka
legitimasi tatanan akan terguncang. Pedersen menambahkan satu variabel lagi,
yaitu kekuatan institusi yang menjaga tatanan.37
Gambar 4. Komponen Kesehatan Tatanan Internasional
Hampir setengah abad tatanan saat ini tidak banyak mendapatkan tantangan
berarti. Namun, saat ini alternatif tatanan mulai mengemuka. Tatanan Islam berbasis
Syariat, tatanan negara non liberal seperti China, atau tatanan berbasis nasionalisme
adalah salah satunya.
Tren GeopolitikDalam geopolitik, ada tren yang mengancam stabilitas tatanan, yaitu
bergesernya keseimbangan kekuatan dan meningkatnya ambisi China dan Rusia
untuk melakukan dominasi regional.
Menurut teori stabilitas hegemonik dan transisi kekuatan, sangat sulit untuk
mempertahankan norma dan institusi dari sebuah tatanan jika keseimbangan
kekuatan dan pengaruh dari negara-negara penguasa bergeser secara signifikan.
37 Susan Pedersen, “The Guardians: The League of Nations and the Crisis of Empire”, New York: Oxford University Press, 2015, hal. 293, 296–297, 394–407.
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
32
Sebagaimana yang banyak terjadi sebelumnya, keruntuhan tatanan sangat terkait
dengan munculnya kekuatan baru, atau terjadinya pergeseran kekuatan diantara
negara penguasa dalam sebuah tatanan. Dunia hari ini bergeser ke arah multipolar,
dan ini dianggap berbahaya bagi Amerika Serikat.
Kini, tampaknya sedang terjadi proses transisi historis yang serupa, pergeseran
dari dunia pasca-Perang Dingin yang didominasi Amerika Serikat ke situasi
multipolar yang jauh lebih banyak. Terjadi pergeseran keseimbangan kekuatan, dan
ada banyak bukti yang mendukung hal tersebut, baik dari sudut pandang ukuran
obyektif, seperti PDB (Produk Domestik Bruto) dan kemampuan militer regional,
maupun dari persepsi tentang kekuatan.38
Kebangkitan Cina hanyalah satu dari beberapa faktor yang berkontribusi
terhadap persepsi ini. Dalam sebuah makalah tahun 2017, Komisi Eropa mencatat
bahwa "posisi Eropa di dunia saat ini sedang menyusut, sedang bagian lain dari
dunia sedang tumbuh." Pada tahun 2060, makalah tersebut mencatat, Eropa hanya
akan mewakili kurang dari 5 persen populasi dunia. Pada 2030, pangsa Uni Eropa
dalam ekonomi global akan turun menjadi antara 15 dan 20 persen, dari sebelumnya
26 persen pada tahun 2004 dan 22 persen pada tahun 2015. Bahkan antara 2015
dan 2017, laporan tersebut memperkirakan, dolar AS dan euro akan turun, dari
sebelumnya menguasai 60 persen cadangan mata uang global menjadi 51 persen.
Dan tren ini cenderung berlanjut.39
Secara umum, pergeseran kekuasaan ini mencerminkan perubahan zaman—
sebuah gerakan yang menjauh dari tatanan internasional yang didominasi Barat
dalam 200 tahun terakhir dan menuju sistem internasional yang lebih seimbang di
mana kekuatan dan pengaruhnya setara dengan Timur (ke China dan negara-negara
lain yang sedang tumbuh di Asia) dan juga para pemain kunci di belahan Selatan.7
Implikasi pergeseran kekuatan tersebut bisa menjadi masalah bagi masa
depan tatanan liberal saat ini. Dunia multipolar akan menuntut pergeseran tentang
bagaimana negara-negara kuat (baik yang baru maupun yang lama) diwakili dalam
tatanan, dan bagaimana kepentingan mereka diakomodir. Jika tidak disikapi dengan
tepat, itu semua berpotensi menjadi landasan bagi munculnya ketidakstabilan dunia.
Jika tatanan tersebut tidak dapat menyesuaikan dan tidak mampu memberikan
kepada negara anggota pengaruh yang menurut mereka layak, maka akan lebih
banyak negara yang menentang norma dan aturan tatanan yang ada, dan bahkan
berpotensi menciptakan institusi alternatif. Tren ini sedang berjalan, dengan
meningkatnya tuntutan negara-negara terkemuka untuk mendapatkan suara yang
lebih signifikan dalam tatanan saat ini.
Tren IdeologiBagi sebuah tatanan, bahaya yang ditimbulkan oleh perubahan ideologis lebih
mendasar daripada yang ditimbulkan oleh tren geopolitik. Semua tatanan bergantung
pada nilai bersama yang dipegang anggota terdepannya. Kekuatan terdepan harus
38 National Intelligence Council, “Global Trends 2030,” Washington, D.C.: Director of National Intelligence, 2012, hal. 15–19
39 European Commission, “White Paper in the Future of Europe,” Maret 2017, hal. 8.
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
33
memiliki pengertian yang sama tentang dunia macam apa yang ingin mereka ciptakan
dan apa tujuan dari tatanan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh dua ilmuwan
terkemuka, "Tidak ada tatanan politik yang bisa terus berjalan tanpa adanya rasa
memiliki komunitas dan tanpa adanya identitas bersama yang substansial. Identitas
politik, struktur masyarakat dan politik saling bergantung." Secara khusus, inti dari
tatanan pascaperang adalah semacam identitas kewarganegaraan kosmopolitan
yang ada di luar "identitas nasional, etnis, dan agama." Identitas ini dibangun di
atas sebuah konsensus tentang norma dan prinsip, terutama demokrasi politik,
pemerintahan konstitusional, hak individu, sistem ekonomi berbasis kepemilikan
pribadi, dan toleransi akan keragaman.
Dalam tatanan yang dikuasai Barat saat ini, liberalisme menjadi pondasi utama,
baik di bidang politik maupun ekonomi.40 Liberalisme menjadi way of thinking
tentang Barat dan tata dunia. Tata dunia liberal (liberal world order) dibangun
di atas nilai-nilai demokrasi liberal, seperti sekularisme dan kesetaraan. Dan kini,
dalam hal ideologi, konsensus liberal mendapatkan tantangan dari banyak front.
Dahulu kala—yaitu, pada tahun 1990an—banyak orang percaya bahwa tatanan
politik liberal adalah gelombang masa depan dan akan melingkupi sebagian besar
dunia. Amerika Serikat dan sekutu-sekutu demokratisnya telah mengalahkan fasisme
dan kemudian komunisme, dan membawa manusia menuju "akhir sejarah." Uni
Eropa membawa pendekatan "kekuatan sipil" dalam menjajakan tatanan tersebut,41
memberi keseimbangan pada Amerika Serikat yang menggunakan "kekuatan keras".
Dalam menjalankan perannya, Amerika Serikat berkomitmen untuk "memperluas
lingkup pemerintahan demokratis, menyingkirkan otokrat yang mengganggu, dan
memperkuat "perdamaian demokratis", demi terpeliharanya tatanan dunia liberal
yang mereka kuasai saat ini.42
Namun kini, optimisme yang memabukkan pada tahun 1990-an berubah
menjadi rasa pesimisme yang semakin meningkat—bahkan kekhawatiran—akan
tatanan liberal yang ada saat ini. Roger Cohen dari New York Times meyakini bahwa
"kekuatan disintegrasi sedang berlangsung" dan "dasar-dasar dunia pascaperang...
sedang gemetar."43 Sebuah makalah dari World Economic Forum memperingatkan
bahwa tatanan dunia liberal sedang "ditantang oleh berbagai kekuatan—oleh
pemerintah otoriter yang kuat dan gerakan fundamentalis anti-liberal."44 Dan di
majalah New York, Andrew Sullivan memperingatkan bahwa Amerika Serikat sendiri
mungkin terancam karena telah menjadi "terlalu demokratis."45
Hari ini, tatanan tersebut mendapatkan tantangan, dengan munculnya
kekuatan baru yang tidak menjalankan norma-norma liberal Barat, mulai dari
kelompok Islam hingga negara seperti China dan Rusia.
40 Michael J. Mazarr et.al, “Measuring the Health of the Liberal International Order”, Rand Corporation, September 2017, hal. 169
41 http://www.atlantic-community.org/app/webroot/files/articlepdf/Fabian%20Krohn.pdf42 http://nssarchive.us/NSSR/1994.pdf43 http://www.nytimes.com/2016/06/11/opinion/europe-and-the-unthinkable.html44 http://www3.weforum.org/docs/WEF_US_GAC_Strengthening_Liberal_World_Order_White_Paper_US.pdf45 http://nymag.com/daily/intelligencer/2016/04/america-tyranny-donald-trump.html
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
34
Ketakutan seperti itu bisa dimengerti. Di Rusia, Cina, India, Turki, Mesir—
dan bahkan Amerika Serikat sendiri, banyak orang yang merindukan "pemimpin
kuat" yang dengan tindakan beraninya akan menyingkirkan ketidakpuasan saat ini.46
Menurut pakar demokrasi Larry Diamond, "antara tahun 2000 dan 2015, demokrasi
runtuh di 27 negara."47 Banyak rezim otoriter yang menjadi kurang terbuka, kurang
transparan, dan kurang responsif terhadap warganya. Inggris sekarang lebih memilih
untuk meninggalkan Uni Eropa; Polandia, Hongaria, dan Israel menuju ke arah
yang tidak liberal; dan Amerika kini dipimpin oleh presiden yang secara terbuka
meremehkan toleransi yang penting bagi masyarakat liberal, dengan berulang kali
mengungkapkan keyakinan rasis dan teori konspirasi yang tidak berdasar.
Banyak pakar menilai bahwa demokrasi liberal yang mengarah pada kapitalisme
telah menjadi juara tatanan dunia. Mereka percaya tidak ada sistem lain yang tepat
untuk saat ini kecuali demokrasi liberal. Namun, realita sekarang menunjukkan
banyaknya kesenjangan kemakmuran, praktik oligarki, ekonomi borjuis yang
mengendalikan negara, pengangguran, krisis energi dan perubahan radikal iklim
global.
Dalam tiga dekade terakhir, ketidaksetaraan mengalami percepatan yang luar
biasa. Negara-negara bangsa kehilangan kedaulatan mereka, terkikis oleh kekuatan
transnasional yang tidak tampak. Akibatnya, sejumlah besar orang merasa tersingkir,
terpinggirkan, dicemooh, bahkan dipermalukan oleh mereka yang banyak mendapat
manfaat dari pertumbuhan ekonomi.
Sejak akhir abad ke-19, ekonomi kapitalis global mulai muncul, menyebabkan
gangguan berskala besar dalam kehidupan banyak orang di Eropa dan Amerika. Rakyat
pun banyak yang kehilangan pekerjaan, pengangguran meningkat, tersingkirkan
oleh dunia yang banyak mengutamakan pertumbuhan teknologi.
Barat banyak mengeskpor konsep negara bangsa ke seluruh dunia, bersama
dengan prinsip-prinsip yang menyertainya, seperti sekulerisasi dan demokrasi.
Kini, revolusi melawan tatanan internasional liberal yang dibentuk pasca
Perang Dunia II mulai berlangsung. Mulai dari kelompok fundamentalis Islam,
kelompok etno nasionalis yang melawan Uni Eropa, hingga munculnya demokrasi
illiberal di Eropa Timur. Rezim-rezim otoriter pun mulai menguat, seperti di Rusia,
China, dan bahkan Filipina.
Bagaimana semua itu bisa terjadi? Meningkatnya ketidakadilan, ketimpangan
ekonomi, menurunnya kepercayaan pada demokrasi, menguatnya identitas politik
dan agama diduga menjadi penyebab.
Dari semua penyebab tersebut, agama memainkan peran besar. Agama
menjadi ancaman terbesar tatanan liberal saat ini. Ia memberikan sense of identity
kepada pemeluknya. Mengapa orang memerlukan sense of identity? Mereka
memerlukannya untuk mengetahui siapa mereka, di mana mereka berada, dan apa
tujuan hidup mereka. Untuk itu, mereka mungkin akan bergabung dengan kelompok
46 http://foreignpolicy.com/2016/03/03/its-time-to-abandon-the-pursuit-for-great-leaders-clinton-trump-sanders/
47 https://www.foreignaffairs.com/articles/world/2016-06-13/democracy-decline
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
35
yang memberikan mereka kekuatan dan sense of identity. Jack A. Goldstone, profesor
kebijakan publik dari George Mason University, menyimpulkan bahwa banyak orang
yang merasa terkatung-katung di dunia hari ini, melihat begitu cepatnya perubahan.
Dan sense of identity memberi mereka jangkar dan kekuatan untuk menghadapi
perubahan yang sangat dahsyat tersebut. Di dalam kelompok tersebut, mereka
menemukan kekuatan dan kedamaian.48
Sense of identity tersebut lah yang selama ini, dalam pandangan Goldstone,
gagal diberikan oleh dunia liberal hari ini. Mereka juga gagal memperhatikan
kepentingan rakyat kecil dan masa depan mereka. Meaningless, begitu ungkapan
yang diberikan oleh Shadi Hamid tentang kehidupan di bawah demokrasi liberal.49
Ada harapan keselamatan abadi yang tidak bisa diberikan oleh demoktrasi liberal.
Pada akhirnya, kata Hamid, orang membutuhkan lebih dari sekadar kesejahteraan
ekonomi.
Banyak orang, dari berbagai latar belakang kelompok, merasa bahwa identitas
kelompok mereka saat ini sedang diserang, diabaikan, dan bahkan dihinakan. Mereka
mungkin berasal dari orang-orang yang merasakan ketidakadilan, ketimpangan
ekonomi, mereka yang mendapatkan tekanan dari imigrasi, dan mereka yang merasa
dikhianati oleh para penguasanya yang berselingkuh dengan pihak lain dengan
keyakinan yang berbeda. Dan kini, mereka ingin melawan itu semua.
Demokrasi diklaim dibangun di atas kompromi. Namun, jika rakyat merasa
bahwa musuh mereka tidak lagi bisa berbagi kepentingan yang sama, demokrasi tidak
akan berjalan. Identitas politik yang membawa kepada polarisasi, ketidakpercayaan,
dan kemarahan akan membawa pada runtuhnya efektivitas demokrasi. Dan
demikianlah kondisi dunia hari ini.
Dalam hal ideologi, Islam dianggap memberikan tantangan ideologis paling
kuat. Visi global Islam dianggap mengancam tatanan. Upaya sekuritisasi Islam di
dunia, terutama sejak peristiwa 11 September semakin mempertajam benturan ini.
Islam dipandang hanya dalam sudut pandang keamanan. Dalam sepuluh tahun
terakhir, tingkat kontrol negara pada agama, terutama Islam, naik secara signifikan.
Islam dipandang sebagai sumber masalah dan ancaman keamanan. Bahkan, dalam
tingkatan prosedural, baik dalam bentuk aturan maupun tindakan administratif,
ada upaya untuk mendelegitimasi Islam sebagai sebuah agama, dan memadangnya
hanya sebagai sebuah ideologi.
Sejak lahirnya sistem negara bangsa pada abad ketujuh belas, ada dua dasar
untuk memahami identitas kolektif: 1) nasionalisme sekuler yang berhubungan
dengan negara-bangsa liberal; dan 2) agama yang berhubungan dengan jaringan
lintas perbatasan. Dengan kata lain, ada dua kekuatan yang menjadi rival abadi:
dunia negara bangsa dan dunia agama transnasional.
48 https://www.cfr.org/event/rise-ethnonationalism-and-future-liberal-democracy49 https://www.theatlantic.com/international/archive/2016/06/the-meaningless-politics-of-liberal-
democracies/486089/
SYAMINAEdisi 2 / Februari 2018
36
Hari ini, kita hidup di dunia yang penuh dengan benturan ideologi yang
berpotensi mengubah tatanan dunia. Legitimasi elit politik dan bisnis digoyang.
Media pun mulai kehilangan kredibilitasnya.
Selama ini Barat terlalu nyaman hidup di tengah sebuah fiksi tentang diri
mereka sendiri dan superioritas moral mereka, tentang kebebasan individu dan
nilai-nilai liberal lainnya. Jika ada masalah, mereka selalu menyalahkan agama atau
komunitas tertentu. Kini, mereka terpaksa mengakui sebuah realita bahwa banyak
orang yang tidak menerima gagasan tersebut, sebagaimana yang disampaikan dalam
sebuah diskusi di Council on Foreign Relations.50
E. KesimpulanDahulu kala, Mesir kuno percaya bahwa agama, filsafat, kepercayaan mereka
tentang manusia dan budaya adalah standar universal dan ukuran kebenaran.
Sekarang, mereka hanyalah peradaban masa lalu yang sudah tidak ada lagi.
Pandangan intelektualnya tidak memiliki pengaruh apapun, kecuali dalam film
'Mummy'.
Peradaban yang paling menonjol saat ini adalah peradaban Barat, yang
memiliki filosofi dan kepercayaan tentang manusia dan budaya, dan menganggap
nilai mereka sebagai standar universal dan ukuran kebenaran.
Peradaban Barat, hanyalah salah satu dari sekian banyak peradaban yang
dihadapi umat Islam. Sebagaimana yang lainnya, mereka juga percaya bahwa mereka
adalah wasit dan penentu kebenaran. Namun sebagaimana yang lain, pada akhirnya
mereka terbuang dari sejarah. Keyakinan dan dogma mereka tentang individualisme
akan berubah menjadi mitos, dan budaya mereka akan berubah menjadi cerita kuno
dari masyarakat yang terlupakan.
DAFTAR PUSTAKA
Haneef Oliver, Sacred Freedom, Toronto: Troid Publications, 2013
John Stuart Mill, On Liberty, Boston: Atlantic Monthly Press, 1921
John G. Ikenberry, After Victory: Institutions, Strategic Restraint, and the Rebuilding of
Order After Major Wars, Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2001
J. Mayer, Dark Money: The Hidden History of the Billionaires Behind the Rise of the
Radical Right, New York: Doubleday, 2016
M. Nussbaum, The Feminist Critique of Liberalism, Political Philosophy: The Essential
Texts 3rd ed., ed. Steven M. Cahn, New York: Oxford University Press, 2015
Michael J. Mazarr et.al, Understanding the Current International Order, Santa Monica,
Calif.: Rand Corporation, 2016
50 idem
SYAMINA Edisi 2 / Februari 2018
37
Michael J. Mazarr et.al, Measuring the Health of the Liberal International Order, Santa
Monica, Calif.: Rand Corporation, 2017
Michael J. Mazarr et.al, Testing the Value of the Postwar International Order, Santa
Monica, Calif.: Rand Corporation, 2018
Patrick Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion 3rded,
New York: Anchor Books, 1990
Patrick Deneen, Why Liberalism Failed, New Haven: Yale University Press, 2018
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order,
London: Touchstone Books, 1996
Susan Pedersen, The Guardians: The League of Nations and the Crisis of Empire, New
York: Oxford University Press, 2015
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity's Moral
Predicament, Columbia University Press, 2012