Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

218

description

Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Transcript of Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Page 1: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan
Page 2: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

G. Geulis

Page 3: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

G. Geulis

Page 4: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

G. Geulis

Page 5: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan
Page 6: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan
Page 7: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan
Page 8: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 1

BABIPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan yang berada di

Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor sebagai kota

pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai dengan

konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan

tersebut membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan

bernuansa pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota

yang dipadati oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.

Secara hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre)

yang mempunyai fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat

pendidikan dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk

mendukung fungsi tersebut, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan

tinggi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa

Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan kebijakan tersebut, dipindahkan

empat perguruan tinggi dari Bandung ke Jatinangor yaitu : Institut Koperasi

Indonesia (IKOPIN), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi

Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas Winaya Mukti

(UNWIM).

Selanjutnyan “Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang

sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten

Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta

Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan Desa dan

Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumedang. Pergantian

nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001 sehubungan dengan

pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan

menjadi 26 kecamatan.

Page 9: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 2

Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan (RUTRK)

Perguruan Tinggi Jatinangor Tahun 2000 – 2010, kawasan pendidikan tinggi

Jatinangor adalah kawasan yang meliputi delapan desa dari duabelas desa yang

termasuk Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang yaitu:

1. Desa Cikeruh 5. Desa Sayang

2. Desa Hegarmanah 6. Desa Cipacing

3. Desa Cilayung 7. Desa Jatiroke

4. Desa Cibeusi 8. Desa Cileles,

serta dua desa yang termasuk Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, yaitu:

1. Desa Cileunyi Wetan

2. Desa Cileunyi Kulon.

Penetapan fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi

mempengaruhi perkembangan kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan

masyarakat. Perubahan yang terjadi bukan hanya karena masuknya sivitas

akademika tetapi juga karena migrasi pelaku kegiatan perdagangan dan jasa.

Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan perdesaan yang didominasi oleh

pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke arah ekonomi yang lebih

beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain pertanian, berkembang pula

industri dan kerajinan rumah tangga.

Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun

1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan

kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung

cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut

yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun

1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Adapun kegiatan perkuliahan berturut-turut

dimulai pada tahun 1982, 1987, 1989, dan 1991. Perubahan fisik Kawasan

Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai

kawasan relokasi perguruan tinggi di atas.

Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan

mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan.

Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di

sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi

mahasiswa.

Page 10: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 3

Perkembangan Kawasan Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah,

karena tidak adanya lembaga yang secara khusus mengelolanya. Lembaga

pemerintah yang terdekat adalah Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi

lembaga ini tidak diberikan kewenangan untuk mengelola kota. Hal ini

menyebabkan belum diterapkannya konsep tata ruang kota yang ada secara

konsisten, meskipun kawasan Jatinangor telah memiliki beberapa rencana tata

ruang sejak tahun 1987. Kebijakan Penataan ruang terbaru adalah Rencana

Detail Tata Ruang Pusat Kecamatan Cikeruh 1995-2005, kemudian Rencana

Umum Tata Ruang Kawasan Pendidikan Jatinangor 1999- 2010.

Menurut Revisi Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan Jatinangor

(2002), rencana-rencana tata ruang yang ada mempunyai kesamaan dalam

fungsi utama yaitu sebagai lokasi perguruan tinggi dan pusat rekreasi. Untuk

fungsi umum, ada sedikit perbedaan yaitu dalam pelayanan sosial, terminal, jasa

dan distribusi, pusat pemasaran barang dan jasa, pusat pelayanan kesehatan,

kegiatan industri, permukiman dan perkantoran. Disamping itu terdapat

beberapa perbedaan prinsip seperti penetapan jalan tol, TPA, sumber air baku,

pemakaian air tanah, sumber pelayanan listrik, telepon dan lain-lain.

Kondisi lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi

akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari

pembangunan rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat,

ketidakteraturan tempat kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet,

penumpukan sampah yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.

Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan dalih pembangunan

mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir, longsor serta

udara terasa panas. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air

karena hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak.

Kawasan Jatinangor yang terbuka bagi para pendatang, baik sivitas

akademika, pedagang dan lainnya telah mengubah kondisi masyarakat.

Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal. Hal ini semakin

menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Secara

sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh

interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman

Page 11: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 4

terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal

(Bapeda, 2002).

Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa selain etnis Sunda, etnis

lainnya mempunyai jumlah yang signifikan yaitu sekitar 18% dari total 83.206

penduduk yang tinggal di Jatinangor. Beberapa kelurahan yang berbatasan

langsung dengan kawasan pendidikan bahkan mempunyai etnis non Sunda

kurang lebih 20% antara lain Kelurahan Cintamulya, Cibeusi, Hegarmanah serta

Cikeruh.

Pada umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang

terkait dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah,

pemilik/penghuni rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah

warga pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda)

tersingkir ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh

terhadap kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap

Jatinangor.

Perubahan struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang

signifikan. Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian

(petani dan buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya

sektor non pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti

buruh/karyawan (23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk

dengan mata pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta

adalah 70%. Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi

12 desa menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah

penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari

struktur pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya

4,1% lulusan perguruan tinggi.

Secara umum struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan

ekonomi perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang

lebih besar dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan

pertanian yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota

Jatinangor, lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non

pertanian. Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan

toko, foto kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain.

Page 12: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 5

Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju

mahasiswa, pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.

Empat perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap

kehidupan masyarakat di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa

keberadaan perguruan tinggi di Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata

pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor jasa dan perdagangan.

Penduduk yang kehilangan mata pencaharian karena lahan pertaniannya terjual

dan tidak bisa masuk ke sektor lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk

mempertahankan hidup. Namun, perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah

tingkat pendidikan penduduk. Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi

mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar.

Mardianta (2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang

perguruan tinggi lebih banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada

penduduk lokal (31,5%). Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat

mengurangi tingkat pengangguran bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh

manfaat ekonomi lebih besar justru para pendatang.

Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa,

menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur

atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para

pekerja memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan

perguruan tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan

bahwa kawasan Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan

kualitas tenaga kerja yang rendah.

Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri perkotaan

selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke non

pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh

munculnya pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.

Besar tumpukan sampah di Kecamatan Jatinangor yang bersumber dari

perumahan, industri, fasilitas perdagangan, fasilitas perkantoran dan fasilitas

pendidikan yang mencakup sekolah-sekolah dan dan perguruan tinggi mencapai

96 m3/hari. Menurut proyeksi pada tahun 2005 meningkat menjadi 116,31

m3/hari, tahun 2010 sebesar 135,52 m3/hari, tahun 2015 menjadi 157,78

m3/hari, serta pada tahun 2020 mencapai 182,76 m3/hari.

Page 13: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 6

Ketersediaan air di Kawasan Jatinangor memiliki karakteristik yang

berbeda antara air tanah tengah dan air tanah dangkal. Potensi air tanah dangkal

di Jatinagor sebesar 18.890.649 m3/tahun, pengambilannya sebesar 2.619.933,5

m3tahuni Untuk air tanah tengah sebesar 2.000.000 m3/tahun, sedangkan

pengambilannya sebesar 4.600.000 m3/tahun. Dari data tersebut terjadi

ketidakseimbangan dalam pengambilan air tanah tengan yang dilakukan oleh

kegiatan industri pada kedalaman 40 s.d 150 meter di dalam tanah. Pengambilan

air tahan tengah secara berlebihan mengakibatkan penurunan muka air tanah di

Jatinangor sebesar 3.5 meter per tahun (Diponegoro, 2004). Hal ini didukung

oleh pencatatan hidrografi di PT Coca Cola yang menunjukkan bahwa telah

terjadi penurunan muka air tanah sebesar 20 meter selama enam bulan terakhir

(www.pikiranrakyat.com)

Dari aspek transportasi, Jalan Raya Jatinangor merupakan jalan arteri

primer yang memiliki intensitas kegiatan di sepanjang jalan yang banyak

membangkitkan pergerakan. Karakterisrik pergerakan ideal di Jalan Raya

Jatinangor adalah pergerakan kendaraan yang relatif cepat dan bebas hambatan.

Namur sepanjang jalan dari Kampus IPDN s.d UNPAD banyak pejalan kaki,

serta banyaknya angkutan umum yang menunggu dan menaik-turunkan

penumpang sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas.

Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama

bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

sosial, dan kegiatan ekonomi.

Secara sosiologis maupun geografis, kawasan Jatingangor merupakan

kawasan pinggiran (periphery), yaitu kawasan yang dilihat aspek jaraknya jauh

dari pusat kota bahkan ada di perbatasan dengan wilayah juridiksi kabupaten

lain. Sementara itu, dari aspek hubungan politik personal ataupun kelompok,

kawasan ini cukup jauh dari kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Oleh

karena itu, sejumlah permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan

bahwa Jatinangor seolah-olah tidak bertuan karena memang secara sadar

ataupun tidak, kawasan ini terkategorikan kawasan pinggiran.

Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi

masyarakat yang kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri

Page 14: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 7

perkotaan (urbanized area), karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola

kota yang unsur-unsurnya berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian,

berdasarkan Peraturan Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup

punya kewenangan dan kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai

penyelesaian masalah di daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan

politik dan finansial dari pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh

karena itu, keberadaan lembaga demikian sebaiknya perlu dikombinasakan

dengan lembaga pemerintahan lokal yang ada (kecamatan dan kelurahan), yang

secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat, tetapi secara fungsional tidak

mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah fisik dan sosial perkotaan.

Kawasan Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciri-

ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan

kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor

1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan

mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan

baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan.

1.2 Perumusan Masalah

Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor secara planologis telah

berubah menjadi kawasan terbangun (urbanized area), mengalami

perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum

berstatus sebagai kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.

Untuk menetapkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan tidak cukup hanya

dengan menetapkan dari aspek fisik saja tetapi diperlukan kajian bagaimana

kelayakan kawasan Jatinangor dari aspek lain seperti kependudukan, ekonomi,

kelembagaan/ pemerintahan, lingkungan serta aspek tata ruang dan

pengembangan wilayahnya.

1.3 Maksud, Tujuan dan Sasaran

Maksud dilakukannya studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan

menganalisis tingkat kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan,

sedangkan tujuannya adalah :

Page 15: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 8

1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan Jatinangor sebagai kawasan

perkotaan dari aspek aspek sosia ekonomi, kelembagaan, lingkungan, serta

aspek tata ruang..

2. Memberikan rekomendasi secara umum tenteng kebutuhan-kebutuhan

kawasan Jatinangor untuk dapat memenuhi persyaratan sebagai kawasan

perkotaan.

3. Merumuskan saran-saran studi lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka

persiapan untuk menjadikan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan.

Adapun sasaran dari kegiatan studi ini yaitu :

1. Terdeliniasi kawasan perkotaan dengan perumusan fungsi kawasan sesuai

dalam karakteristik dan arahan kebijakan yang telah ditetapkan pada

perencanaan yang lebih .

2. Terumuskannya tipologi kota dan memetakan standar kebutuhan kota

sesuai tipologinya.

3. Terumuskannya suatu strategi untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang

mampu mendorong pengembangan kawasan perkotaan yang diharapkan.

4. Terumuskannya model lembaga pengelola perkotaan yang sesuai dengan

kebutuhan.

1.4 Keluaran

Sesuai dengan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup maka

keluaran yang diharapkan dari Penyusunan Study Kelayakan Kawasan

Perkotaan Jatinangor adalah: Tersusunnya dokumen study kelayakan (feasibility

study) kawasan perkotaan Jatinangor dari aspek sosial budaya, ekonomi,

kelembagaan, lingkungan serta tata ruang.

1.5 Manfaat Studi

Manfaat dari studi ini adalah:

Pemerintah Kabupaten Sumedang memiliki bahan masukan untuk

menetapkan strategi dan kebijakan perencanaan dan pengembangan

Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung.

Pemerintah Kabupaten Sumedang mempunyai bahan acuan guna penetapan

program pengembangan kawasan perkotaan di Kawasan Jatinangor.

Page 16: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 9

1.6 Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan

Kawasan Perkotaan;

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman

Perencanaan Kawasan Perkotaan;

4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang;

5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten

Sumedang Tahun 2005-2025;

6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten

Sumedang Tahun 2009-2013;

1.7 Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika dari laporan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor

sebagai Kawasan Perkotaan ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, maksud, tujuan,

serta sasaran. Selain itu, juga berisi keluaran, manfaat studi serta

sistematika pembahasan.

Bab 2 Kajian Teori dan Normatif

Bab ini berisi teori-teori dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan

studi kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor. Aspek normatif yang

diacu antara lain terdiri dari PP No 34 Tahun 2009, Permendagri No 1

Tahun 2008 serta Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 tentang

standar pelayanan minimal perkotaan.

Bab 3 Metode Penelitian

Bab ini berisi metode penelitian yang digunakan dalam kajian, ruang

lingkup studi, sumber data serta operasionalisasi indicator yang

digunakan dalam menilai kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor,

Teknik pengumpulan dan Analisis Data, organisasi pelaksana dan

jangka waktu penelitian

Page 17: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab I - 10

Bab 4 Arahan Kebijakan Kawasan Perkotaan

Bab ini menjelaskan mengenai Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan

Jatinangor pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten

Sumedang 2005-2025, Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan

Jatinangor pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang

Bab 5 Analisis Kelayakan Kawasan Perkotaan

Bab ini menjelaskan tentang Karakteriktik dan Potensi Kawasan

Perkotaan Jatinangor-Cimanggung, Pengukuran Indikator Kawasan

Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang dan Lingkungan,

Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan, Arahan Pengembangan

Kawasan Perkotaan

.Bab 6 Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan

Bab ini menjelaskan tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Model-

model Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” di

Kabupaten Sumedang, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan

“Jatinangor”

Bab 7 Kebijakan Dan Strategi Kawasan Perkotaan

Bab ini menjabarkan kebijakan dan strategi dalam pengembangan

kawasan perkotaan pada kawasan perkotaan Jatinangor setelah

ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.

Bab 8 Pengendalian Pemanfaatan Ruang Perkotaan

Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil

kajian dan rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan dalam

menindaklanjuti penetapan kawasan perkotaan Jatinangor

Page 18: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 1

BABIIKAJIAN TEORI DAN NORMATIF

2.1 Konsep Perkotaan

Hoselitz (dikutip oleh Widiarto: 1995) berpendapat bahwa pertumbuhan kota yang

senantiasa diharapkan adalah pertumbuhan yang “generative” dan bukan “parasitic’.

Sebagai pertumbuhan yang generatif, kegiatan di kota tersebut harus dapat memberi

kesempatan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya, dan mampu menarik kawasan

sekitarnya (hinterland) untuk tumbuh berkembang bersama-sama.

Jika dilihat dari sudut pandang teori ini, tampaknya Jatinangor belum dapat

berperan seperti apa yang digambarkan Hoselitz tersebut, padahal jika kota tumbuh sebagai

parasit akan berakibat terjadinya disorganisasi sosial. Fenemena yang terjadi di kawasan ini

nampaknya menjadi indikasi penguatan apa yang dikatakan dalam teori ini. Terjadi

gentrifikasi sosial, yakni tergesernya penduduk asli oleh pendatang merupakan indikasi

bahwa kota tidak tumbuh secara generatif, dimana kesempatan usaha dan kerja yang ada

banyak dinikmati oleh orang luar.

Sementara itu disorganisasi sosial pada kawasan ini diindikasikan dengan

melonggarnya norma-norma sosial. Kajian sosial oleh Bappeda (2002) memperlihatkan

bahwa secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh

interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman terhadap agama,

degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal.

Jatinangor walaupun dalam konsep Tata Ruang Bandung Raya

(MBUDP/Metropolitan Bandung Urban Development Project) telah ditetapkan sebagai

kota “counter magnet” yang kegiatannya didominasi oleh perguruan tinggi, namun

kenyataannya tetap sebagai daerah pinggiran/ Periphery.

Terhadap kenyataan ini John Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata

ruang, lokasi serta persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah.

Page 19: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 2

Di daerah perencanaan biasanya terdapat daerah inti (centre) dan daerah pinggiran atau

periphery regions. Daerah pinggiran sering disebut daerah pedalaman atau daerah

sekitarnya. Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar metropolis atau

megapolis, dikategorikan sebagai daerah daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis

sisanya merupakan sub sistem-sub sistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh

lembaga-lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam

satu hubungan ketergantungan substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-

sama membentuk sistem spasial yang lengkap.

Daerah inti pada umumnya dikategorikan sebagai daerah metropolitan

(metropolitan region), dan poros pembangunan (development axes). Sedangkan daerah

pinggiran dapat dikategorikan sebagai daerah perbatasan (frontier region), dan daerah

tertekan (depresed region).

Jadi jika dilihat dari kacamata analisis Friedman di atas, Jatinangor merupakan

daerah pinggiran yang kekuatannya hanya kecil karena hanya merupakan sub-sistem

pemerintahan dan ekonomi, yang pusatnya berada di Kota Bandung. Oleh karena itu

walaupun masalah sudah begitu kompleks, namun lembaga-lembaga formal yang ada tidak

mempunyai kekuatan sendiri untuk menata dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Akses terhadap sumber-sumber kekuatan dan kekuasaan juga relatif kecil.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Peraturan Pemerintah Nomor 34, tahun 2009, jika dua daerah mempunyai masalah

yang tidak dapat diselesaikan keduabelah pihak, maka pemerintah yang ada di atasnya

harus dapat menjadi mediator. Dalam banyak kasus, akhirnya pihak-pihak yang

berkepentingan membentuk lembaga pengelola atau disebut juga sekretariat bersama

(sekber) yang bertugas untuk merumuskan penyelesaian masalah. Namun eksekusinya

biasanya diserahkan kepada masing-masing pihak, kecuali jika ada proyek khusus yang

menangani masalah yang bersangkutan, misalnya MBUDP yang memberikan bantuan

infrastruktur dasar seperti drainase induk, sanitasi (sewerage), jalan, dsb.

Studi mengenai Konflik Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh

Puslitbang Permukiman Dep. PU (2007) menunjukkan ke arah fenomena tersebut.

Pembangunan Regional Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi),

Kartamantul (Jogyakarta, Sleman, Bantul), Gerbangkartasusila (Gersik, Jombang,

Page 20: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 3

Majakerta, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan sebagainya pada dasarnya bertujuan untuk

mereduksi konflik-konflik perbatasan. Dalam kasus tersebut selalu dibentuk lembaga atau

sekretaiat bersama yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari daerah yang berkonflik.

Kajian Puslitbang Permukiman (2006) tentang Pengembangan Lembaga Lokal

dalam Pembangunan Perumahan menunjukkan bahwa ada Lembaga Pemerintahan Desa

(Kabupaten Sleman dan Kabupaten bandung) yang diberi kewenangan untuk memberikan

izin konversi lahan untuk perumahan dengan skala yang kecil (di bawah 10 rumah). Hal ini

disebabkan tidak mampunya lembaga yang berkompeten untuk menangani seluruh

permasalahan yang dihadapi, sehingga dipandang perlu untuk memberdayakan lembaga

pemerintahan desa. Fenomena ini mengindikasikan dimungkinkannya suatu lembaga

diberikan kewenangan yang lebih untuk mengurusi masalah-masalah yang dipandang urgen

untuk dicarikan secara cepat solusinya.

Alternatif lain yang hampir sama antara lain mengangkat camat di daerah

perkotaan sebagai manajer kota (city manager). Kebijakan (“what”) tentang arah

pengembangan kota tingkat kecamatan tetap diatur dan diputuskan pada tingkat kabupaten

dalam bentuk Peraturan Daerah dan atau Peraturan Bupati, sedangkan camat sebagai

manajer kota lebih banyak menjalankan (“how”), dari kebijakan yang telah ditetapkan pada

tingkat kabupaten. (Sadu Wasistiono, 2007).

Bentuk lain dari penyelesaian konflik antar wilayah, tetapi ke arah pengembangan

ekonomi adalah konsep Local Economic Development (LED) dan Pengembangan Lembah

Silikon (Silicon Valley) di Amerika Serikat. LED yang mengedepankan kekuatan lembaga

yang ada (lembaga-lembaga ilmiah, pemerintahan, swasta), dan memanfaatkan potensi

lokal yang ada untuk mengembangkan ekonomi rakyat dapat menjadi lembaga yang

berpengaruh untuk dapat menekan kekuatan inti yang ada di Pusat. LED dapat

memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah untuk dikembangkan demi kesejahteraan

masyarakat sekitarnya, sekaligus menyelesaikan konflik lintas wilayah. Hal ini pula

sebenarnya pemikiran yang mengilhami berkembangnya Lembah Silikon di Amerika,

dimana masyarakat sekitar lembah memanfaatkan secara bersama-sama hasil penelitian

lembaga riset dan perusahaan swasta yang ada di lembah, dengan cara yang legal dan

terorganisasi dengan baik.

Page 21: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 4

Dari telaah pustaka di atas, kiranya perlu dikaji lebih dalam bahwa penangan

kawasan Jatinangor memerlukan sebuah lembaga. Saat ini sudah ada lembaga yang

memikirkan masalah tersebut, namun tidak mempunyai kekuatan politik dan finansial

untuk melakukan tindakan operasional. Di sisi lain terdapat lembaga pendidikan tinggi

yang mempunyai kekuatan moril dan ilmiah pada kawasan ini, namun tidak mempunyai

domain mengurusi masalah perkotaan. Terdapat lembaga yang legal mengurusi masalah

perkotaan, namun hanya sebatas administrasi dan pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan

kombinasi kekuatan-kekuatan tersebut untuk membentuk lembaga yang berpengaruh.

Model-model pembangunan regional antar kota, lembah silikon, LED, atau kajian lembaga

lokal untuk pembangunan perumahan di atas dapat menjadi referensi kajian ini.

Mengikuti amanat Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009, dan Permendagri

Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, bahwa dalam

pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan:

hasil studi kelayakan

rencana induk pembangunan perkotaan baru

rencana pembebasan lahan

Untuk itu pada studi ini akan dilakukan kajian yang dipersyaratkan oleh kedua

peraturan di atas, yakni studi kelayakan yang ditinjau dari beberapa aspek. Kajian lebih

lanjut pada bagian ini akan menelaah difinisi dan kriteria kelayakan untuk menilai tingkat

kekotaan suatu kawasan

Di dalam Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu pembangunan wilayah

merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu:

geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu

lingkungan dan sebagainya. Dalam pengembangan wilayah termasuk pengembangan

kawasan perkotaan setidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar analisis, yaitu

(http://staff.blog.unnes.ac.id/oktavilia atau http://www.slideshare.net/oktavilia):

(1) analisis biogeofisik;

(2) analisis ekonomi;

(3) analisis sosiobudaya;

(4) analisis kelembagaan;

(5) analisis lokasi;

Page 22: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 5

(6) analisis lingkungan

Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1

Tahun 2008, tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan bahwa perencanaan

kawasan perkotaan baru diprioritaskan untuk:

memecahkan permasalahan kepadatan penduduk akibat urbanisasi

menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan dan jasa; dan

menyediakan ruang bagi kepentingan pengembangan wilayah di masa depan.

Persyaratan penetapan lokasi perencanaan kawasan perkotaan baru meliputi:

sesuai dengan sistem pusat permukiman perkotaan berdasarkan Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten

termuat dalam RPJMD

memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi

perkotaan dan bukan kawasan yang rawan bencana alam

terletak di atas tanah yang bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis

maupun yang direncanakan beririgasi teknis

memiliki kemudahan untuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan;

tidak mengakibatkan terjadinya pembangunan yang tidak terkendali. dengan kawasan

perkotaan disekitarnya

mendorong aktivitas ekonomi, sesuai dengan fungsi dan perannya

mempunyai luas kawasan budi daya paling sedikit 400 hektar dan merupakan satu

kesatuan kawasan yang bulat dan utuh, atau satu kesatuan wilayah perencanaan

perkotaan dalam satu daerah kabupaten.

Rencana pembangunan kawasan perkotaan baru ditetapkan oleh kepala daerah

dan dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru. Kawasan

perkotaan baru yang berlokasi pada bagian dari dua atau lebih kabupaten yang berbatasan

langsung dilakukan atas dasar kerjasama antar daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pelaksanaan kerjasama antar daerah dapat dibentuk Badan Pengelola

Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru yang bertanggung jawab kepada masing-masing

bupati. Masa tugas Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru sesuai dengan

jangka waktu rencana pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan baru. Keanggotaan

Page 23: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 6

Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru terdiri atas unsur Pemerintah

Kabupaten, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat setempat, dan

unsur pengembang.

Struktur Organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan Kawasan

Perkotaan Baru ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Keanggotaan, struktur organisasi,

tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan kawasan perkotaan baru yang berlokasi

di dua atau lebih daerah Kabupaten yang berbatasan langsung diatur dengan Keputusan

Bersama Bupati.

Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru melaporkan

pelaksanaan tugasnya secara berkala dan atau sewaktu-waktu jika diperlukan kepada bupati

dan terbuka bagi masyarakat.Bupati melaksanakan evaluasi, pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan baru.

2.2 Visi dan Misi Perkotaan

A. Visi Dan Misi Pengembangan Perkotaan

Visi dan misi pengembangan perkotaan didasarkan pada Peraturan Menteri PU

no. 494/PRT/M/2005. Secara rinci visi dan misi pengembangan perkotaan adalah sebagai

berikut:

Visi

Untuk mencapai kehidupan perkotaan yang aman, damai, dan sejahtera, perlu

dirumuskan visi tentang kondisi kota yang ingin dicapai di masa depan. Kota-kota di masa

depan adalah kota yang dapat memberikan kehidupan yang sejahtera, nyaman dan aman

bagi warganya, yang layak huni bagi seluruh warganya tanpa terkecuali. Secara umum

kriteria kota yang ingin dicapai, yaitu :

1. Tempat dimana anak-anak, orang tua, dan bahkan para penyandang cacat dapat

berjalan-jalan, dan bermain-main bersama;

2. Tempat dimana kebersamaan dan canda dapat memecahkan permasalahan yang muncul

dalam lingkungan bertetangga;

Page 24: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 7

3. Tempat dimana kita tidak hanya melindungi kawasan bersejarah, tetapi juga ruang

terbuka hijau dan hutanhutan kota memberikan nilai tambah tersendiri bagi kehidupan

dan keindahan permukiman;

4. Tempat dimana tingginya kualitas hidup dapat menarik kegiatan usaha dan tenaga kerja

yang berbakat dan dengan demikian menghidupkan perekonomian kota;

5. Tempat dimana kita dapat menghabiskan lebih banyak waktu bagi keluarga dan bukan

memboroskannya karena terjebak dalam kemacetan lalu-lintas;

6. Tempat dimana seluruh masyarakatnya dapat menyelenggarakan aktivitasnya sehari-

hari dengan aman dan tenang, yang terbebas dari kriminalitas serta kerusahan-

kerusahan sosial, dan ancaman terorisme.

Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka visi pengembangan pembangunan

perkotaan nasional dapat dijabarkan sebagai berikut:

”Terwujudnya kawasan perkotaan yang layak huni,berkeadilan sosial sejahtera,

berbudaya, produktif, dan berkembang secara berkelanjutan serta saling memperkuat,

dilaksanakan oleh para petaruh (stakeholders) secara partisipatif, responsif, transparan

dan akuntabel dalam mewujudkan pengembangan wilayah”.

Perwujudan visi akan lebih optimal apabila terdapat kerjasama yang sinergis antar

stakeholders dari seluruh kegiata-kegiatan.

Dalam kerjasama ini pemerintah bertindak sebagai enabler dan masyarakat sebagai

doer. Untuk itu dibutuhkan perumusan misi sebagai terjemahan dari visi atau kondisi yang

diharapkan untuk mengidentifikasi arah kebijakan yang akan ditempuh.

Misi

Upaya penacapaian Visi tersebut diatas dilakukan beberapa misi berikut ini :

1. Mengembangkan Kota yang layak huni

a. Lingkungan kota yang nyaman

Tingkat kepadatan penduduk yang optimal (efisiensi pelayanan, sesuai dengan

daya dukung kota)

Ketersediaan prasarana dan sarana dasar dengan kulaitas yang memadai.

Memiliki tingkat pelayanan dan jumlah fasilitas umum yang memadai.

Memiliki penataan kawasan dan bangunan yang serasi dan terpelihara.

Page 25: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 8

Lingkungan sosial budaya yang mendukung keharmonisan kehidupan masyarakat.

b. Lingkungan Kota yang aman

Tingkat polusi udara yang rendah dan terkontrol;

Tingkat pencemaran air dan tanah yang rendah dan terkontrol;

Keamanan (tingkat kriminalitas yang rendah) dan ketertiban kota yang terjaga;

Tingkat pelayanan dan fasilitas kebakaran yang baik (berfungsi dan mencukupi);

Stabilitas sosial, ekonomi, politik.

2. Mengembangkan kota yang sejahtera

Tersedianya segala kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan dan permukiman)

yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhan

masing- masing (orang tua, anak-anak, diffable people, dst);

Tersedianya lapangan pekerjaan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tidak adanya kesejangan pendapatan yang besar antar seluruh lapisan

masyarakat.

3. Mengembangkan lingkungan yang berkeadilan sosial, sejahtera dan berbudaya.

Kesamaan dan keadilan dalam pelindungan hukum;

Setiap individu, kelompok masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap

kesempatan berperan serta dan mengaktualisasikan aspirasinya dalam kehiduan

kota;

Setiap individu atau kelompok masyarakat memilki akses yang sama terhadap

kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha;

Kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangan

budaya lokal.

4. Mengembangkan pembangunan kota yang berkelanjutan

Pengembangan kota yang berkelanjutan secara umum terwujud apabila ekonomi

kota berkembang, berdaya saing global, pendapatan mayarakat dan pemeritah

bertambah dan tetap dapat mempertahankan kualitas sumber daya alam dan lingkungan.

Hal ini antara lain mencakup;

a. Aspek ekonomi

Daya saing kota; faktor – faktor penentu daya saing adalah keunggulan sumber

daya dan kemampuan pengelolaan kota. Dalam hal ini pengefektifan keterkaitan

Page 26: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 9

kota dan desa menjadi sangat penting alam upaya meningkatkan daya saing kota

dan mencegah menurunnya ekonomi perdesaan;

Pengembangan ekonomi kota;

1. Pengembangan produk unggulan kota melalui pengembangan iklim usaha

yang kondusif;

2. Menggali potensi kota melalui pelibatan seluruh stakeholder dalam

pembangunan

3. Mengembangkan inovasi untuk mempertahankan kualitas produk dan jasa;

4. Pengelolaan sektor informal agar mandiri dan sinergis dengan sektor

informal ;

5. Pemecahan masalah pengangguran dan semi pengangguran;

Kemampuan kota unutk siaga dan siap mengatasi bencana dan bankit dari

bencana.

b. Aspek sosial budaya

Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya sedemikian rupa sehingga

dapat meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial , dan juga mengurangi

gangguan- gangguan sosial. Upaya mencapai masyarakat madani dilaksanakan

melalui;

Pemeliharaan keanekaragaman budaya Kesamaan hak bagi setiap individu

ataupun kelompok masyarakat untuk memenuhi aspirasi budayanya;

Peningkatan peran serta masyarakat dalam kehidupan perkotaan;

Penyelesaian masalah ’dislokasi’ penduduk perkotaan berkaitan dengan masalah

lahan.

c. Aspek lingkungan

Pengelolaan sumber daya secara efsien dan berkelanjutan;

Pembangunan kota dilakukan dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.

Pengendalian dampak lingkungan dengan tetap menjaga kulaitas lingkungan.

Pengendalian dampak lingkungan akibat pembangunan

Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.

Page 27: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 10

5. Mengembangkan pola pengelolaan kota berdasar tata pemerintah yang baik.

a. Pengembangan serta peningkatan mekanisme pelibatan masyarakat dan dunia

usaha; antara lain melalui forum diskusi dan koordinasi, pengembangan pola- pola

kemitraan , dan sebagainya.

b. Pengembangan struktur kelembagaan pengelolaan kota; penyesuaian struktur dan

kewenangan kelembagaan dalam rangka paradigma pembangunan perkotaan yang

baru yaitu transparan, partisipatif, terdesentralisir serta efsien dan efektif.

c. Pengembangan sistem informasi; untuk medukung pola pengelolaan perkotaan

dengan penerapan tata pemerintaha yang baik maka diperlukan sistem informasi

yang interaktif dari pemerintah,masyarakat dan dunia usaha yang mudah diakses

dan dimengerti semua pihak terkait;

d. Pengembangan potensi pendanaan; upaya- upaya peningkatan kemampuan kota

unutk memperoleh dana bagi pengelolaan dan pembangunannya antara lain melalui

peningkatan daya tarik bagi investor, pengeloalaan atau manajemen perusahaan

daerah serta peningkatan penerapan konsep kewirausahaan dalam pengelolaan

pembangunan kota.

6. Mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa.

a. Keterkaitan desa- kota

Pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan

soaial ekonomi antara kota dan desa ( Wilayah hinterlandnya) agar saling

menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan;

Pembangunan kota hendakya dipadukan dengan perkembangan daerah

perdesaan di pinggirnya, karena daerah pinggiran tersebut juga terkena dampak

pembangunan dan urbanisasi.

Peningkatan kemampuan perdesaan dalam pembangunan.

b. Keterkaitan antar kota

Pengembangan sistem perkotaan dengan memperhatikan pemantaan fungsi,

peran dan hirarki kota sesuai dengan potensi dan kedudukannya dalam

pengembangan wilayah;

Pengembangan kebijakan perkotaan sebagai upaya mencegah terjadinya

ketimpangan antar wilayah dan antar kota, terutama antara kota-kota besar yang

Page 28: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 11

sangat potensial terintegrasi dalam sistem perekonomian global, dengan kota-

kota menengah dan kecil lainnya.

2.3 Landasan Kebijakan Pengembangan Perkotaan

Landasan kebijakan ini adalah suatu kondisi dasar yang ingin dicapai (policy

driver) dalam pembangunan perkotaan. Landasan kebijakan tersebut adalah :

1) Terlaksananya desentralisasi secara efektif dan efisien, dilandasi dengan penerapan tata

pemerintahan yang baik (good governance).

2) Terciptanya pola pembangunan yang berkelanjutan termasuk pola pemanfaatan,

perlindungan dan pelestarian sumber daya alam.

3) Terwujudnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan meliputi penyedian lapangan kerja,

akses pada perumahan dan modal/ sumber-sumber keuangan, serta akses pelayanan

dasar yang adil dan merata.

4) Terwujudnya kesadaran dan upaya-upaya penanganan masalah sosial budaya.

5) Terwujudnya bentuk-bentuk dukungan kota pada pembangunan nasional.

Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan pada dasarnya

diarahkan kepada sasaran pelaksanaan Pembangunan Perkotaan agar dapat :

a. Mengevaluasi pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan yang selama ini

dilakukan;

b. Mengkaji dan menganalisis program Pembangunan Perkotaan yang lalu dan yang akan

datang;

c. Menyesuaikan antara pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan di pusat dan

daerah;

d. Sehingga dapat menilai efektifitas pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan

dengan cermat sesuai ketentuan yang berlaku, agar memberikan hasil yang optimal bagi

negara dan masyarakat.

Dengan tersedianya kriteria dan ukuran-ukuran atau indikator-indikator

kinerja pembangunan perkotaan dalam pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan,

akan dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan

secara efesien dan efektif, dan peningkatan produktifitas secara umum bagi

terwujudnya Pembinaan dan Pengendalian Prasarana dan Sarana Dasar Perkotaan yang

Page 29: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 12

produktif, handal dan bermanfaat, dalam pengembangan wilayah dan ekonomi dalam

Pembangunan Perkotaan.

Namun demikian, Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan

dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable), apabila adanya kerjasama antara

Departemen Pekerjaan Umum dengan Dinas Pekerjaan Umum di Propinsipropinsi

wilayah kajian baik dipusat maupun didaerah. Peran serta masyarakat untuk ikut dalam

Pengembangan Indikator kinerja Pembangunan Perkotaan pelaksanaan program

Pembangunan Perkotaan secara lebih transparan sesuai kriteria dan ukuran-ukuran

dalam menilai dan mengevaluasi serta mengetahui untuk mengetahui kinerja

penyedian, pengelolaan, dan penyampaian pelayanan prasarana dan sarana suatu kota

sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan :

a. Perubahan Paradigma Pembangunan

Otonomi daerah : menggeser kekuasaan regulasi, program, anggaran dan

kewenangan untuk kebijakan dari Departemen Sektoral di Pusat ke

Pemerintahan Kabupaten/Kota

Pembangunan dari pendekatan sektoral ke pendekatan kewilayahan dengan

pemberdayaan masyarakat yang bersifat partisipatoris.

b. Semangat dan Orientasi Pembangunan

Masyarakat madani, manajemen modern dan terbuka

Ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak, unggul dan adaptif terhadap

globalisasi

c. Semangat Privatisasi

Ada trend yang menuntut bahwa pengusahaan dan pembangunan tidak lagi

dilakukan oleh Pemerintah Pusat tetapi lebih banyak dilakukan atas dasar korporasi

di daerah, dengan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota sebagai “Enabler” dan

masyarakat dan swasta sebagai pelaku utama.

d. Paradigma Baru Pembangunan

1. Paradigma Lama Pembangunan (Dahulu)

Top Down (Sentralistik)

Pemerintah menyiapkan, melaksanakan, mengendalikan dan

Pemerintah/Kota pasif.

Page 30: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 13

Kebijakan pembangunan tertutup, diketahui sekelompok orang dan

Pemerintah/Kota pasif . Tidak melalui mekanisme yang seharusnya

partisipasif

2. Paradigma Baru

Bottom Up (Desentralistik)

Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat menyiapkan, melaksanakan

dan mengendalikan/mengevaluasi

Kebijakan pembangunan transparan, rasional dan evaluatif serta

partisipatif

Sesuai dengan mekanisme penyusunan berpartisipatif

3. Dampak Otonomi Daerah (OTDA) pada pengembangan indikator efektifitas

pelaksanaan program pembangunan perkotan. Adanya OTDAmenjadikan

pengambil keputusan di daerah harus:

Lebih proaktif dalam meberi arah dan peluang bagi dunia usaha untuk

kiprah (lokal action)

Menentukan pendekatan pegembangan indikator efektivitas pelaksanaan

program pembangunan perkotaan sebagai suatu incorporated dimana

masing-masing stakeholder peduli

4. Sosialisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan

Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan.

a. Sosialisasi

Mengupayakan agar prinsip keterbukaan dalam pengembangan

Indikator pembangunan

Secara aktif mengupayakan agar proses Pengembangan Indikator

Kinerja Pembangunan Perkotaan dapat sampai kepada yang

berkepentingan (stakeholder)

Mengupayakan agar proses keikutsertaan masyarakat dalam semua

tingkat proses Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan

Perkotaan makin lama makin terwujud, sehingga dalam tahap

implementasinya sudah dipahami alasan-alasan dilakukannya

kegiatan-kegiatan yang ada.

Page 31: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 14

b. Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Indikator Kinerja

Pembangunan Perkotaan

Pemanfaatan

(1) Bantuan pemikiran/pertimbangan

(2) Penyelenggaraan kegiatan pelaksanaan program Pembangunan

Perkotaan

(3) Bantuan teknis

Pengendalian

(1) Pengawasan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan

(2) Pemberian informasi / pelaksanaan program Pembangunan

Perkotaan menjelaskan atas hak masyarakat

(3) Menjaga konsistensi dengan daerah secara komprehensif

(4) Peningkatan peran serta masyarakat menjadi salah satu prioritas.

Fungsi dan peranan pemerintah sudah harus bergeser dari peranan sebagai

”provider” dengan tingkat otoritas yang besar ke arah peranan sebagai ”enabler” sebagai

pendorong bagi tumbuhnya peran serta masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian

program Pembangunan Perkotaan yang direncanakan akan dapat tepat pada sasaran, lebih

efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya serta lebih sustainable bagi kepentingan

masyarakat dan negara, serta, Departemen Pekerjaan Umum Khususnya.

Pengalaman selama ini masih menunjukan bahwa antara program Pembangunan

Perkotaan dipusat dan di daerah yang ada dirasa belum optimal dan tepat sasaran. Sering

terjadi ketidaksinkronan dalam kebijakan Pembangunan Perkotaan itu sendiri.

Untuk itulah pengembangan indikator efektifitas pelaksanaan program

Pembangunan Perkotaan perlu dilakukan, untuk selanjutnya dapat memberikan bahan

masukan teknis bagi perumusan indikator untuk keperluan penentuan kinerja

Pembangunan Perkotaan.

Page 32: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 15

2.3 Tipologi Kota

Penetapan tipologi didasarkan pada:

a. Asumsi bahwa tingkat perkembangan suatu kota dapat dicerminkan oleh jumlah

penduduk yang tinggal di kota tersebut (berdasarkan kondisi empiris, semakin tinggi

jumlah penduduk suatu kota, ketersediaan prasaranaperkotaan, semakin kental sifat

kekotaan dari kota tersebut);

b. Fungsi utama kota ditentukan berdasarkan kelengkapan prasarana yang dimiliki suatu

kota yang dapat berfungsi sebagai outlet aliran barang atau orang, dan fungsi kota yang

telah ditetapkan dalam PP 47 tahun 1997.

c. Dominasi kegiatan wilayah kota ditentukan menurut peranan subsektor yang ada dalam

perhitungan PDRB kabupaten/kota terhadap kontribusinya dalam pembentukan nilai

PDRB regional (Provinsi).

Pengelompokan kota berdasarkan kesamaan dapat diartikan menyatukan tipe- tipe

kota dalam tipologi. Penentuan tipologi kota dapat dilakukan sesuai dengan skala kota

(magnitute) karakter kota, maupun fungsi kota. Pengelompokan kota berdasarkan skala

(magtitute) dapat dilihat dari berbagai segi, antar lain dari luas kota atau jumlah penduduk,

besar kawasan pusat kota, dan sebagainya. Sedangkan pengelompokan berdasar karakter

kota dapat didasarkan pada sifat kota sebagai daerah pesisir, daerah daratan ( secara letak

geografis), atau didasarkan pada fungsi (sesuai PP 47/1997), dimana kota dilihat dari

kelengkapan prasarana dalam upaya mendukung pergerakan ekonomi wilayah, dimana kota

dapat diklasifikasikan sebagai PKW, PKL, PKN.

Dalam penentuan dan pengukuran kinerja pembangunan perkotaan, salah satu aspek

yang dinilai harus dapat dilakukan dalam kelas yang sama. Dalam artian, bahwa penilaian

terhadap skala kota tidak dapat dibedakan kota dengan skala pelayanan nasional dengan

kota skala pelayanan lokal, demikian sebaliknya. Oleh karena itu dalam mengukur indikator

yang digunakan akan tergantung dengan skala kota (baik ditinjau dari fungsi dan karakter).

Penentuan tipologi kota dalam penilaian kota skala yang paling signifikan apabila

diuji adalah skala kota terhadap penduduk yang dilayaninya. Kota ditinjau dari skalanya

dapat dibedakan menjadi;

Kota Metro;

Kota Besar;

Page 33: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 16

Kota Sedang;

Kota Kecil.

Pada UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang pasal …. dan penjelasannya

Tipologi kota berdasarkan jumlah penduduk, dapat dirinci sebagai berikut:

1. Kawasan Perkotaan Kecil yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang

dilayani sebesar 20.000 hingga 100.000 jiwa;

2. Kawasan Perkotaan Sedang yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang

dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;

3. Kawasan Perkotaan Besar yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang

dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa;

4. Kawasan Perkotaan Metropolitan yaitu Kawasan Perkotaan atau kota dengan penduduk >

1.000.000 jiwa.

2.4 Indikator Perkotaan

2.4.1 Konsep Dasar Indikator Perkotaan

A. Pengertian dan Fungsi Indikator perkotaan

Indikator perkotaan adalah ukuran kuantitatif maupun kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran pengembangan perkotaan yang telah

ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung

dan diukur serta dipergunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja

pengembangan perkotaan. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan

bahwa kinerja hari demi hari dari sebuah kota dapat menunjukan perubahan, terutama

untuk menuju sasaran yang telah ditentukan.

Secara umum indikator perkotaan memiliki beberapa fungsi, yaitu:

a. Memperjelas tentang aspek yang akan diukur

b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak tertentu untuk menghindari

kesalahan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan serta dapat pengukur kinerja secara

menyeluruh.

c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi guna peningkatkan

efektivitas dan effisiensi di masa datang

Page 34: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 17

B. Penetapan kriteria indikator perkotaan

Penetapan kriteria indikator perkotaan (urban indicator) dengan mempertimbangkan:

a) Comprehensiveness berbagai faset kinerja perkotaan. Indikator harus mampu

digunakan sebagai alat analisis yang lengkap dan menyeluruh diberbagai aspek

pelayanan kota.

b) Applicability dan simplicity kriteria. Kriteria indikator harus bisa diterapkan

disemua wilayah Indonesia oleh semua pelaku. Oleh karena itu pertimbangan

kesederhanaan pada alat ukur sangat perlu dikedepankan.

c) Universalitas kriteria. Mengingat keragaman wilayah Indonesia maka kriteria

indikator harus bisa diterapkan disemua wilayah secara umum tanpa kecuali.

d) Fleksibilitas dan kemungkinan untuk disesuaikan dari waktu ke waktu termasuk

penyesuaian prioritas kajian.

C. Syarat-syarat Indikator Perkotaan

Penentuan indikator kinerja harus mempertimbangkan beberapa sendi sendi,

agar indikator yang ada dapat diaplikasikan secara tepat dan bermanfaat. Syarat-

syarat indikator kinerja antara lain:

a) Jelas. Artinya dapat dipahami oleh banyak aktor

b) Spesifik. Artinya untuk memperoleh penilaian yang tidak menimbulkan salah

persepsi

c) Dapat diukur. Artinya indikator harus dapat diukur baik secara kuantitaif

maupun secara kualitatif

d) Relevan. Artinya indikator dapat menangani dan menilai segala hal yang

berhubungan dengan kinerja

e) Fleksibel. Artinya indikator yang ditentukan harus cukup mampu

mengakomodasikan perubahan yang terjadi didalam penilaiaian dan tuntutan

lingkungan sekitar

f) Sensitif. Artinya dapat mengakomodasikan perubahan yang ada, sehingga tidak

menimbulkan kesalahan penilaian berkaitan dengan perubahan lingkungan

g) Obyektif. Artinya indikator harus dapat diukur oleh berbagai pihak dan

menghasilkan nilai yang relatif sama

Page 35: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 18

h) Efektif. Hal ini terutama berkaitan dengan data dan informasi yang dibutuhkan

dalam penilaian kinerja AB III - 3

Selain itu dalam pengukuran kinerja harus dilakukan dalam waktu yang singkat

dan tepat waktu, mudah diimplementasikan, serta dapat didefinisikan dengan jelas.

Kecepatan merupakan hal penting dalam pengumpulan dan pendistribusian data. Tugas

pengumpalan data pada penilaian kinerja merupakan kegiatan utama. Seringkali penilaian

kinerja dianggap sederhana, sehingga pada tahap pengumpulan data, banyak terjadi

kesalahan dan kurangnya validitas data. Oleh karena itu untuk mengurangi kesalahan dan

meningkatkan validitas pengukuran perlu dilakukan bersama dengan stakeholder kota

yang menjadi obyek penilaian kinerja.

2.4.2 Lingkup Obyek Penilaian Indikator Perkotaan

Pada dasarnya penilaian kinerja pengembangan perkotaan ini menilai bagaimana

operasional pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan penyediaan/pembangunan

perkotaan kepada masyarakat yang berada pada wilayah administratif dari kota tersebut.

Secara umum pendekatan ini memang menjadi salah satu pembatasan dalam penilaian

kinerja pemerintahan,

dikarenakan secara umum pertumbuhan kota sudah barang tentu akan berdampak

pada area disekitar kota (urban periphery). Pendekatan ini dilakukan dengan dasar bahwa

pelayanan minimal yang harus disampaikan oleh pemerintah Kota minimal dapat

mencakup seluruh wilayah administrasi. Penilaian kinerja kota di dalam kegiatan ini lebih

ditekankan pada lingkup batas administrasi.

2. 4.3. Kriteria Penilaian Indikator Pengembangan Perkotaan Yang Ada.

A. Indikator Perkotaan (Urban Indikator) menurut UNHCS

Selain indikator good urban governance, UNHCS juga mengembangkan sistem

indikator yang terdiri atas 23 indikator kunci dan 9 daftar data kulitatif. Pengembangn

indikator ini didasarkan pada Habitat agenda dan Resolution 15/6 and 17/1 UNHCS.

Indikator dan data tersebut merupakan data minimum yang diperlukan untuk mengukur

sejauh mana komitmen dan konsistensi dalam pengembangan kota dan pemukiman.

Page 36: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 19

Indikator yang dimaksud diklasifikasi ke dalam 5 bab dan disubklasifikasikan

menjadi 20 area kunci dari Istanbul +5 Universal Reporting Format. Selengkapnya dapat

dilihat pada tabel 2.1. berikut :

Tabel 2.1

Daftar Indikator Kota sebagai respon terhadap 20 Habitat genda Key Areas Of Commitment

Page 37: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 20

Indikator-indikator dalam Urban Indicator versi UNHCS ini memerlukan data

yang cukup banyak dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Data tersebut

dibagi dua, yaitu data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil

konsultasi dengan kelompok pakar dalam skala kecil untuk memberikan penilaian yang

merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk itu, diperlukan :

(a) Pakar dengan kualifikasi tinggi di masing-masing Negara yang menjadi narasumber

untuk melakukan penilaian mengenai indikator-indikator tersebut.

(b) Pakar tersebut harus berkomunikasi langsung dengan UNHCS dan pekerjaannya harus

dikaji dan dikomentari melalui beberapa tahapan.

Dalam hal ini, kompleksitas perolehan data yang memenuhi persyaratan sangat

tinggi. Untuk semua data, prinsip utamanya adalah bahwa data tersebut adalah data terbaik

yang ada, termutakhir dan sepenuhnya terdokumentasi. Selain itu, yang perlu digarisbawahi

adalah bahwa penialian terhadap indikatorindikator tersebut tidak dilakukan secara

terfragmentasi mengingat adanya hubungan sistematik antar indikator untuk memperoleh

gambaran total mengenai setiap sektor dan setiap kota yang dinilai kinerjanya.

Permasalahan yang dihadapi di sini adalah bahwa data-data tersebut dimiliki oleh

dinas-dinas pemerintah yang berbeda-beda khususnya per sektor. Untuk mengantisipasi

adanya inkonsistensi pendataan, perlu koordinasi in timely manner. Untuk data pada

aspek-aspek yang relatif stabil dalam arti tidak mengalami perubahan yang signifikan dari

tahin ke tahun, data lama dapat digunakan dengan dilengkapi proses ekstrapolasi.

Sementara data yang menyangkut aspek yang berubah secara cepat, diharuskan

menggunakan data yang terbaru.

Indikator Perkotaan untuk manajemen Lingkungan Menurut UNHCS

Dalam skala internasional, UNHCS bekerja sama dengan World Bank,

mengembangkan satu perangkat indikator perkotaan untuk membantu negara-negara

menghadapi Konferensi Habitat II tahun 1996. indikator-indikator yang dimaksud,

dirangkum pada Tabel 2.2.

Page 38: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 21

Tabel 2.2

Indikator Perkotaan Untuk Manajemen Lingkungan menurut UNHCS

Page 39: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 22

B. Indikator perkotaan (urban indikators) menurut Asian Development Bank

Lebih spesifik daripada UNHCS, yang indikatornya berlaku untuk kota-kota

dalam skala internasional, Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 meluncurkan

sekaligus melakukan pengukuran kinerja 18 kota di Asia. Pengukuran kinerja ini dilakukan

dengan mengangkat isu kemiskinan perkotan di negara-negara di Asia sebagai isu utama.

ADB menekankan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya diindikasikan oleh

pendaatan yang rendah semata, melainkan juga menyangkut aspek human capital

development, gender equity, social protection, good governance, lack of discrimination

dan geograic location.

Pengukuran kinerja tersebut didasarkan pada 140 indikator kota yang

dikelompokkan ke dalam 13 divisi utama, yaitu :

(a) Populasi, migrasi dan urbanisasi :

Menggambarkan karakteristik kependudukan suatu kota melalui indikator-indikator

seperti jumlah penduduk (bertempat tinggal dan bekerja), angka migrasi, komposisi

penduduk menurut umur, jumlah rumah tangga, jumlah anggota keluarga rata-rata dan

jumlah rumah tangga yang tingal di pemukiman ilegal.

(b) Kesenjangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan :

Menggambarkan kondisi perekonomian suatu kota melalui indikator-indikator seperti

distribusi pendapatan, kemiskinan, tenaga kerja anak, tenaga kerja informal, dan

penganguran

(c) Kesehatan dan pendidikan

Menggambarkan kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat suatu kota dilihat dari

indikator seperti jumlah orang per tempat tidur rumah sakit, angka kematian bayi. Hasil

pengukuran dirangkum dalam Cities Data Book for Asian and Pasific Region.

Sementara ringkasannya dipaparkan oleh Peter Hall dalam Urban Indicators for Asia’s

Cities : From Theory to Practise, 2000 angka harapan hidup, angka kematian

diakibatkan oleh penyakit menular, tingkat keluarga berencana, angka buta huruf untuk

orang dewasa, tingkat pnerimaan murid sekolah, jumlah siswa yang lulus perguruan

tinggi, rata-rata tingkat pendidikan akhir dan jumlah murid per kelas.

Page 40: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 23

(d) Produktivitas dan daya saing kota :

Menggambarkan perkembangan perekonomian kota melalui penilaian terhadap

indikator-indikator seperti PDRB per kapita, struktur mata pencaharian, pengeluaran

rumah tangga pada item utama, tingkat investasi menurut sector (infrastruktur,

perumahan dan layanan publik lainnnya), tingkat pariwisata, daftar investasi utama,

biaya hidup sehari dan jumlah corporate headquarters.

(e) Teknologi dan Connectivity :

Masih berkaitan dengan perkembangan perekonomian perkotaan yang dinilai dari

tingkat pengeluaran pemerintah untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, tingkat

penggunaan telepon (lokal, interlokal, internasional dan mobile) serta tingkat koneksi

internet (jumlah dan pertumbuhan).

(f) Perumahan :

Merepresentasikan pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Namun

dalam hal ini, ukuran dan kualitas rumah tidak perlu dipentingkan, melainkan lebih

menekankan pada guna lahan dan harga lahan. Oleh karena itu, indikator-indikator yang

digunakan antara lain tipe hunian, tipe kepemmilikan, harga jual dan sewa rumah,

pembiayaan kepemilikan rumah, tingkat produksi perumahan, perlakuan terhadap

pemukiman liar, pengeluaran pemerintah dan jumlah penduduk yang tidak memiliki

rumah.

(g) Lahan kota :

Menggambarkan sejauh mana tingkat penggunaan lahan perkotaan, apakah banyak lahan

tidur atau tidak serta apakah hal itu berkaitan dengan tingkat permintaan terhadap lahan

atau tidak, dan seterusnya.

(h) Pelayanan Umum :

Terdiri atas air, listrik, saluran air kotor/limbah, telepon dan sarana pengumpulan

sampah (TPA/TPS). Indikator yang digunakan antara lain jumlah koneksi, investasi per

kapita, pengeluaran untuk operasional dan pemeliharaan, cost recovery, tingkat

produtivitas karyawan dalam melayani publik, penyedia, tingkat kekurangan dan

gangguan dalam pelayanan, tingkat konsumsi serta tarif berlaku.

Page 41: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 24

(i) Lingkungan Perkotaan :

Dinilai dengfan indikator seperti volume sampah yang dihasilkan, pengelolaan sampah,

pengolahan limbah/air kotor, tingkat polusi udara, tingkat penggunaan energi, tingkat

kebisingan dan tingkat kerusakan akibat bencana alam.

(j) Transportasi Perkotaan :

Kelompok indikator ini pada dasarnya mengukur lalu lintas barang dan jasa. Termasuk di

dalamnya, indicator-indikator seperti moda yang digunakan dari rumah ke tempat kerja,

waktu melakukan perjalan (median), tingkat kepemilikan kendaraan, tingkat aktivitas

pelabuhan dan udara, serta jumlah barang yang diangkut menurut jenis kendaraan. Selain

itu, pengukuran ini dilakukan pula terhadap aspek kebijakan seperti tingkat pengeluaran

pemerintah untuk pembangunan jalan, tingkat kemacetan, cost recoovery from fees dan

tingkat kecelakaan lalu lintas.

(k) Budaya :

Hanya diukur dari jumlah pengunjung pada setiap atraksi utama yang diselenggarakan

oleh kota.

(l) Keuangan Pemerintah Daerah :

Kelompok ini mengukur berbagai jenis indikator input dan output, antara lain sumber

pendapatan daerah, pengeluaran rutin pemerintah daerah, tingkat efisiensi penarikan

pajak, debt service charge, employment, tingkat upah dan sejauh mana komputerisasi

dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

(m) Pemerintahan dan Manajemen Perkotaan :

Kelompok yang terakhir ini relatif besar dan sangat heterogen, yaitu termasuk data-data

mengenai fungsi pemerintah daerah, tingkat partisipasi, kebebasan dari pemerintah pusat,

anggota dewan, representasi, aplikasi perencanaan, berbagai indeks yang secara langsung

berkaitan dengan kualitas hidup (kepuasan pelanggan, persepsi kota sebagai tempat

hidup, tingkat kejahatan) serta indeks-indeks mengenai akses terhadap informs perkotaan,

hubungan antara administrasi kota dengan masyarakat dan eksistensi unit distrik yang

terdesentralisasi. Sayangnya, dalam pengukuran di lapangan, indikator mengenai kulaitas

hidup sulit diperoleh dan tidak memungkinkan untuk melakukan survei terhadap persepsi

secara langsung.

Page 42: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 25

Metoda pengukuran ADB secara umum jauh lebih mudah dan feasible dalam hal

perolehan data daripada metoda pengukuran yang dikemukakan oleh UNDP dan

UNHCS sebelumnya. Dalam hal ini, ADB lebih banyak menggunakan data kuantitatif

dan menekankan pada proses pengolahan data statistik yang pada umumnya dimiliki oleh

instansi-instansi di negara-negara di Asia.

Formulasi Lingkup dan Kriteria Penilaian per-Kotaan

Indikator penilaian kinerja pembangunan perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks,

yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas Hidup, serta beberapa aspek,yaitu:

1. Aspek Penduduk

Indikator yang digunakan:

- Tingkat pertumbuhan penduduk;

- Tingkat migrasi; dan

- Tingkat kepadatan penduduk.

2. Aspek Produktifitas Perkotaan

Indikator yang digunakan:

Tingkat kemiskinan;

Tingkat pengangguran;

Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional;

Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa;

Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan

Tingkat ketergantungan penduduk.

3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan

Indikator yang digunakan:

Tingkat kematian ibu;

Tingkat kematian bayi;

Angka Prevelensi Penyakit Diare;

Rata-rata usia harapan hidup warga;

Ketersediaan fasilitas Puskesmas;

Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan

Ketersediaan apotek;

Page 43: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 26

Angka melek huruf;

Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD);

Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan

Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).

4. Aspek Permukiman dan Lingkungan

Indikator yang digunakan:

Rasio penduduk kumuh per penduduk total;

Persentase permukiman kumuh;

Luasan permukiman kumuh;

Rasio Ruang Terbuka Hijau;

Pengaduan polusi/pencemaran;

Jumla kejadian kebakaran; dan

Tindak kejahatan per 1000 penduduk.

5. Aspek Ekonomi

Indikator yang digunakan:

Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB)

Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB

Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir

Analisis ICOR

Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita

Rata-rata pendapatan penduduk perkapita

Disparitas Pendapatan Antarsektor

Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Elastisitas kesempatan Kerja

Tingkat Kemiskinan

6. Aspek Budaya

Indikator yang digunakan:

Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs,

benda arkeologis dan kawasan bersejarah)

Page 44: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 27

Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan

budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan)

Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang

melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)

7. Aspek Sosial

Kependudukan, Indikator yang digunakan:

Kepadatan Penduduk Kota

Kepadatan Penduduk Kelurahan

Angka Migrasi

Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk

Tingkat kematian bayi

Rata-rata usia harapan hidup warga

Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan)

Ketersediaan jumlah tenaga medis

Ketersediaan Apotek

8. Aspek Spasial

Indikator yang digunakan:

Konversi Lahan

Ketersediaan Ruang Publik

Keberadaan lingkungan kumuh

9. Aspek Prasarana

1) Sektor Air Bersih

Aset, meliputi :

a. Sumber Air

b. Kualitas Air

c. Kebocoran Air

d. Pelayanan

Cakupan Pelayanan

Cakupan Pelanggan

Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik)

Page 45: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 28

Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik)

Tingkat penggunaan air

Tarif Air

2). Sektor Transportasi

Aset, meliputi :

a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi

b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan

c. Kondisi Jalan

d. Terminal Angkutan Darat

e. Terminal Udara

3). Sektor Sanitasi

Aset, meliputi :

a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system)

b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system)

4). Sektor Persampahan

Aset, meliputi :

a. Pengumpulan

b. Pengangkutan

c. Kapasitas Pembuangan

d. Metoda Pembuangan

e. Kepemilikan Lahan TPA

f. Pelayanan, meliputi :

- Cakupan Pelayanan

- Retribusi Sampah

- Kerjasama dengan Masyarakat

10. Aspek Pengelolaan Pemerintah

a. Pewujudan Rencana Tindakan

b. Ketergantungan Dengan Pemerintah Pusat

c. Kepuasan Masyarakat

d. Akses Informasi Publik

e. Aspek Pengelolaan Prasarana air bersih

Page 46: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 29

f. Aspek Pengelolaan Prasarana Persampahan

g. Aspek Pengelolaan Prasarana Air Limbah

h. Aspek Pengelolaan Prasarana Drainase

i. Aspek Pengelolaan Prasarana Jalan dan Transportasi

C. Standar Pelayanan Minimal (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana

Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001

Didalam upaya untuk menilai kualitas pelayanan suatu prasarana dan sarana

perkotaan ada baiknya kita mengulas terlebih dahulu tentang pelayanan yang minimal

harus diberikan oleh prasarana dan sarana perkotaan tersebut.

Di negara kita, khususnya di lingkungan kimpraswil, kajian tentang standar

pelayanan minimal yang harus diberikan untuk masing-masing sektor prasrana dan

sarana perkotaan telah ditetapkan standarnya.

Kajian tentang Standar Pelayanan Minimal Prasarana dan Sarana Perkotaan ini

didasarkan pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan

Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001.

Di bawah ini akan dikaji Standar Pelayanan Minimal untuk sektor Air Bersih,

Drainase, Air Kotor, Persampahan dan Jalan dan Angkutan Kota, yaitu;

A. Sektor Air Bersih

Standar Pelayanan Minimal Air Bersih yang diatur dalam Kepmen Kompraswil

No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut :

1. Indikator Pelayanan: penduduk terlayani, tingkat debit pelayanan/orang dan tingkat

kualitas air minum

2. Cakupan Pelayanan: 55-75% penduduk terlayani

3. Tingkat Pelayanan: 60-220 lt/org/hari, untuk permukiman dikawasan perkotaan, 30-

50 lt/org/hari, untuk lingkungan perumahan pedesaan

4. Kualitas Pelayanan: Memenuhi standar air bersih Beberapa ukuran penilaian

kualitas pelayanan dari sumber yang lain adalah:

� Kadar garam dalam air bersih:

1000-3000 ppm slightly saline

Page 47: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 30

3000-10000 ppm moderately saline

10000-35000 ppm very saline

lebih dari 35000 ppm brine

� Ph Air Bersih normal: 6 – 8

� Kekerasan air karena mengandung calcium dan magnesium:

0 – 60 ppm soft

61 – 120 ppm moderately hard

121 – 180 ppm hard

lebih dari 180 ppm very hard

� Faktor biologis yang terkait dengan kualitas air : BOD (Biochemical Oxygen

Demand)

� Kualitas umum air : tidak berbau, berasa, berwarna dan tidak mengandung

sesuatu yang menyebabkan menurunnya kualitas air.

� Kemenerusan pelayanan (jam pelayanan): jam/hari

B. Drainase

Standar Pelayanan Minimal Drainase yang diatur dalam Kepmen Kompraswil

No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut :

1. Indikator Pelayanan : Luas genangan banjir tertangani di daerah perkotaan dan

kualitas penangangan

2. Cakupan Pelayanan : Tidak ada genangan banjir di daerah kota / perkotaan > 10 Ha

3. Tingkat Pelayanan: Di lokasi genangan dengan tinggi genangan rata-rata > 30 cm;

lama genangan > 2 jam; frekuensi kejadian banjir > 2 kali setahun

4. Kualitas Pelayanan: Tidak terjadi lagi genangan banjir, bila terjadi genangan; tinggi

genangan rata-rata < 30 cm, lama genangan < 2 jam; frekuensi kejadian banjir < 2

kali setahun.

Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk drainase juga menyediakan

informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni :

Genangan < 10 Ha, penanganan drainase mikro

Genangan > 10 Ha, penanganan drainase makro

Kriteria Disain/Perencanaan meliputi:

Page 48: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 31

Saluran Primer/ Makro drainase untuk kawasan strategis, perdagangan, industri,

permukiman untuk penanganan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun

Saluran sekunder untuk penanganan genangan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun

Saluran Tersier, untuk penanganan genangan < 10 Ha, PUH 2-5 tahun

Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah:

Penanganan kualitas limbah, apabila saluran drainase terpadu dengan saluran limbah

rumah tangga. Dalam hal ini pengenceran air limbah kotor diperlukan untuk dapat

dibuang secara langsung ataupun dengan diolah terlebih dahulu.

Debit saluran pengglontor yang direncanakan harus mampu mendorong limbah air kotor

yang ada di jaringan bersangkutan.

C. Air Kotor/ Limbah

Standar Pelayanan Minimal Air Kotor/ Limbah yang diatur dalam Kepmen

Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:

1. Indikator Pelayanan: Tingkat penyediaan sarana sanitasi terhadap jumlah penduduk kota/

perkotaan dan kualitas penanganan

2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan

3. Tingkat Pelayanan:

Sarana sanitasi individual dan komunal (sistem onsite): Toilet RT/ Jambang/MCK,

Septik Tank, Truk tinja, IPLT

�Sistem off-site: Modular/full Sewerage System terdiri dari jaringan sewer dan IPAL

4. Kualitas Pelayanan:

� Sistem On-site:

- Separasi antara grey water (mandi, cucian) terhadap black water (kakus)

- Penyaluran black water yang baik ke septik tank, tanpa ada kebocoran dan baru

- Tidak ada rembesan langsung/ pencemaran air tinja dari septik tank ke air tanah

- Efisien removal BOD dan SS > = 85%

- Tidak ada komplain terhadap permintaan penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja,

pengolahan lumpur tinja selanjutnya di IPLT

� Sistem Off-site:

- Tidak ada separasi antara grey water terhadap black water, tetapi disain sewerage

dapat bersatu dengan storm sewer

Page 49: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 32

- Tidak ada blokade dan/ atau kebocoran sewerage

- Efisiensi removal BOD, SS IPAL > 90% dan E-Coli > = 99%

Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/limbah juga menyediakan

informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni:

� Indikasi Penanganan

- System on-site lebih diarahkan untuk kota sedang kecil dengan kepadatan rata-rata = 200

jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah > 2 m dan potensi cost recovery yang belum

mendukung untuk full sewerage system

- Sistem off-site lebih diarahkan untuk kota metro besar dengan kepadatan rata-rata > = 200

jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah < 2m, dan potensi cost-recovery yang mendukung

untuk full sewerage system.

� Kriteria Desain/ Perencanaan

- Debit air buangan= 70 - 80% konsumsi air bersih

- Pengendapan lumpur tinja 0,2-0,3 lr/or/hari

- Sarana sanitasi individual untuk satu KK

- Sarana sanitasi komunal untuk lebih dari satu KK

- MCK ditempat umum u/100-250 ribu orang

- Truk tinja @3 m3 u/10.000 KK

- Modul IPLT disiapkan untuk 100.000 jiwa: kolam lumpur, oxydation dite / ponds, sludge

thickener, digester dan sludge drying bed; keb lahan = 2ha / 100.000 jiwa

- Sistem off-site sesuai dengan rekomendasi FS dan hasil DED, perhitungan debit air,

jaringan dan dimensi sewer, dan sistem IPAL.

Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah:

� Debit yang dihasilkan serta kualitas limbahnya.

Indikator debit yang dihasilkan berpengaruh langsung terhadap usaha pengadaan saluran

pengglontor. Indikator kualitas limbah berkaitan dengan tingkat pengenceran limbah air

kotor yang diperlukan untuk dapat dibuang langsung atau harus diolah terlebih dahulu.

� Indikator limbah rumah tangga meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen

demand (COB) dan bahan ikutan yang berupa padatan. Sedang indikator limbah industri

Page 50: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 33

meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen demand (COB), logam berat dan

bahan ikutan yang berupa padatan.

D. Persampahan

Standar Pelayanan Minimal Persampahan yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No

534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:

1. Indikator Pelayanan: Tingkat penangganan bangkitan sampah terhadap jumlah penduduk

kota/perkotaan dan kualitas penanganan

2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan dilayani oleh Sistem

DK/PDK dan sisanya 20% dapat ditangani secara saniter (on-site system)

3. Tingkat Pelayanan: Prioritas penanganan system persampahan:

� 100% untuk kawasan pusat kota / CBD dan pasar

� 100% untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 jiwa/ha

� Rata-rata 80% untuk kawasan permukiman perkotaan

� 100% untuk penanganan limbah industri

� 100% untuk penanganan limbah B3/ medical waste

4. Kualitas Pelayanan:

- Penanganan sampah on-site dilakukan secara saniter: individual cora-posting, separasi

sampah

- untuk diambil pemulung

- Penanganan sampah oleh sistem DK/PDK dilakukan secara terintegrasi (Pewadahan-

Pengumpulan-Pengangkutan/Transfer-Penanganan Akhir).

- Tempat/kapasitas pewadahan tersedia

- Pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan secara reguler

- Tidak ada penanganan akhir sampah secara open dumping

- Tidak ada pembuangan sampah secara liar

- Tingkat composting dan daur ulang sampah minimal 10%

- Penanganan akhir sampah setidaknya dengan controlled landfill

- Konsep 3R sudah diterapkan di industri

- Medical waste ditangani secara swakelola oleh RS

Page 51: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 34

Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/ Limbah juga menyediakan

informasi tentang indikasi penanganan dan criteria desain yakni:

� Indikasi Penanganan: Pembakaran sampah on-site harus dihindari.

� Kriteria Desain/ Perencanaan:

- Bangkitan sampah 2,5-3 lt atau 0,5-0,6 kg/org/hari, Bin sampah 50 lt/ 200 m sidewalk

- jalan protokol atau 50 lt/ 100 m ditempat keramaian umum.

- Gerobak 1 m3/200 KK

- Kontainer 1 m3/200 KK

- Transfer Depo 25-200 m2 untuk 400-4000 KK

- Truk sampah 6 m3/700 KK 8 m3/1000 KK

- Arm Roll Truck + kontainer 8 m3/1000 KK

- Compactor truck 8 m3/ 1200 KK

- Steet Sweeper

- Ritasi pengankutan 2-5 rit/hari

- 1 TPA/ 100.000 penduduk, membutuhkan peralatan berat: 1 buldozer, 1 wheel loader,

dan 1 excavator

- Composting: individual, vermi kompos, UDPK

- Daur ulang diarahkan untuk perkuatan jaringan konsumen, pemulung, lapak dan industri

daur ulang

- Opsi penanganan medical waste incinerator

Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan persampahan

adalah:

- pengangkutan dan penanganan limbah akhir limbah B3 (berbau, beracun dan berbahaya)

dilakukan secara terpisah

- pembuangan sampah dari rumah tangga atau tempat lain sudah dipisahkan minimal

dalam dua kategori: bisa diolah lagi dan tidak bisa diolah lagi.

E. Jaringan Jalan dan Angkutan Kota

Standar Pelayanan Minimal Jalan dan Angkutan Kota yang diatur dalam Kepmen

Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut:

Page 52: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 35

� Jalan Kota:

1. Indikator Pelayanan: Panjang jalan/ jumlah penduduk;

2. Kecepatan rata-rata (waktu tempuh);

3. Luas jalan/luas kota, Cakupan Pelayanan: Panjang jalan 0,6 km/1.000 penduduk;

4. Ratio luas jalan 5% dari luas wilayah

5. Tingkat Pelayanan: Kecepatan rata-rata 15 s.d 20 km/jam

6. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan mudah

� Jalan Lingkungan

1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah

2. Cakupan Pelayanan: Panjang 40-60 m/Ha dengan lebar 2-5 m

� Jalan Setapak

1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah

2. Cakupan Pelayanan: Panjang 50-11 m/Ha dengan lebar 0,8-2 m

Dalam perkembangan pembangunan kota menuju kota yang sehat, jalan untuk sepeda

merupakan suatu kebutuhan penting, mengingat bercampurnya sepeda dan kendaran

bermotor lainnya dapat membahayakan keselamatan pengguna sepeda. Oleh karena itu

indikator untuk jalan kota dapat ditambahkan sebagai berikut:

� Total panjang jalan untuk sepeda / luas kota (km/km2)

� Pedoman Standar Pelayanan Minimal di atas tidaklah mencakup Pelayanan untuk Angkutan

Kota.

Di bawah ini disajikan Standard Pelayanan Minimal untuk Angkutan Kota yang disarikan dari

berbagai sumber.

1. Indikator Pelayanan:

� Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum per 1000 penduduk

� Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas yang ada (kongesti)

� Rasio panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota dengan panjang jalan kota

2. Cakupan Pelayanan:

� Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum/penduduk kota X 1000

� Panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota/panjang jalan kota

3. Tingkat Pelayanan: Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas jalan tidak melebihi dari 0.80

Page 53: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 36

4. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan menggunakan angkutan umum

relatif mudah

Badan Pusat Statistik memberikan kriteria penilaian suatu kawasan menjadi kota

sebagai berikut:

a. Kegiatan utama bukan pertanian : rumah tangga pertanian kurang dari 25%

b. Kepadatan penduduk > 5000/jiwa/km2

c. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas berikut:

1. SD dan sederajad 9. Pesawat Telepon/Kantor Pos/Kantor Pos Pembantu

2. SLTP dan sederajad 10. Pasar dengan bangunan

3. SLTA dan sederajad 11. Kelompok Pertokoan (Pusat Perdagangan)

4. Gedung Bioskop 12. Bank

5. Rumah Sakit 13. Pabrik

6. Rumah Sakit Bersalin 14. Restoran/Rumah Makan

7. Puskesmas/Klinik/Balai Pengobatan

15. Listrik Umum (PLN/Non PLN)

8. Jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda tiga dan empat

16. Unit penyewaan alat-alat untuk keperluan pesta, dll.

Kriteria lain diberikan oleh National Urban Development Study (NUDS II), yaitu bahwa

kawasan perkotaan harus memperhatian aspek-aspek adalah sebagai berikut:

1. Luas wilayah 9. Poliklinik

2. Jumlah penduduk 10. Puskesmas

3. Sumber mata pencaharian penduduk

11. Kantor Pos

4. Subsektor sumber mata pencaharian penduduk

12.

13.

Bangunan

Pertanian (ekonomi

5. SMP 14. Jumlah rumah tangga

6. SMA 15. Pasar permanen

Page 54: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab II - 37

Berdasarkan Kepmen Kimpraswil No. 327/KPTS/2002, kawasan perkotaan

diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani

sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa.

2. Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang

dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa.

3. Kawasan Perkotaan Besar, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani

lebih besar dari 500.000 jiwa.

4. Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang

dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.

7. Akademi/Universitas 16. Pasar non permanen

8. Rumah Sakit 17. Pertokoan

Page 55: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 1

BABIIIMETODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Untuk mengevaluasi kelayakan Kawasan Jatinganor sebagai kawasan perkotaan

maka digunakan metode penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif.

Menurut Kidder (dalam Riduwan, 2005):Penelitian evaluasi dapat dinyatakan juga sebagai evaluasi, tetapi dalam hal lain juga dapat dinyatakan sebagai penelitian. Sebagai evaluasi dalam hal ini merupakan bagian dari proses pembuatan keputusan, yaitu membandingkan suatu kejadian, kegiatan, produk dengan standar dan program yang telah ditetapkan. Evaluasi sebagai penelitian berarti akan berfungsi untuk menjelaskan fenomena.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) peneliti

merupakan instrumen kunci dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada

generalisasi. (Sugiono, 2005).

Sedangkan menurut Cronbach yang dikutip Rahayaan (2005) :Pendekatan metode penelitian kualitatif dapat menggambarkan secara menyeluruh mengenai hasil evaluasi, serta pemahaman terhadap program dengan situasi lingkungannya, sehingga lebih bersifat leluasa dan fleksibel, karena terfokus kepada obyek yang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Selain itu pendekatan kualitatif yang berdasar naturalistik memungkinkan peneliti berinteraksi dalam suasana yang lebih humanis, dinamis dan intensif.

Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap,

lebih mendalam, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.

Page 56: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 2

3.2 Ruang Lingkup Studi :

A. Lingkup Wilayah Studi

Lingkup wilayah studi adalah Kecamatan Jatinangor sebagai fokus utama adalah

Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung sebagai wilayah yang sebagian besar

desanya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor. Lingkup wilayah dapat

dikembangkan pada Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor

yang dimungkinkan sebagai pengembangan kawasan perkotaan ke depan (Kecamatan

Tanjungsari, Kecamatan Sukasari dan Kecamatan Pamulihan).

B. Lingkup Pelaksanaan Studi

Tahapan kegiatan dalam penyusunan studi kelayakan kawasan Jatinangor sebagai

kawasan perkotaan adalah :

1. Pengumpulan Data dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan dan analisa data baik primer maupun skunder yang sahih

yang dan dapat dipercaya untuk digunakan dalam tahap analisa data.

a. Tahap Persiapan

Pada tahap pendahuluan dilakukan persiapan pelaksanaan yang menyangkut

program kegiatan, penyusunan instrumen pendataan (kuesioner, peralatan, bahan,

dan tenaga)

b. Tahap pengumpulan dan kompilasi data

Pada prinsipnya kegiatan pada Pengumpulan dan kompilasi data adalah

sebagai berikut:

Persiapan Survey

- Pembuatan cheklist pengumpulan data dan instrumen pengumpul data

(kuesioner, lembar wawancara, dll) yang memuat kebutuhan data yang

diperlukan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.

- Pembuatan program kerja yang akan dilakukan dalam pelaksanaan

kegiatan survey.

- Penyiapan personil (surveyor)

Page 57: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 3

Pelaksanaan Survey

Dalam pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan utama,

yakni:

a. Survey instansional, merupakan pengumpulan data skunder yang biasanya

data-data sudah diolah dalam bentuk deskripsi, tabel, peta dan diagram.

b. Survey lapangan, merupan pengumpulan data langsung di lapangan

(kawasan studi) dalam rangka menemukenali dan mengidentifikasi

karakteristik kawasan studi. Kegiatan ini dapat berupa observasi lapangan,

wawancara langsung dengan masyarakat atau tokoh masyarakat,

penyebaran kuesioner, dan lain sebagainya.

c. Data-data yang dibutuhkan dalam kegiatan penyusunan studi kelayakan

ini secara garis besar meliputi :

1. Data kondisi fisik dasar.

2. Data kondisi sosial-budaya.

3. Data kondisi ekonomi.

4. Data kondisi lingkungan.

5. Data kondisi kelembagaan.

6. Data kondisi tata ruang.

c. Tahap analisa dan justifikasi potensi dan permasalahan

Dalam penyusunan studi kelayakan kawasan perkotaan ini, analisa yang

dilakukan meliputi :

1. Analisis kelayakan sosial budaya

2. Analisis kelayakan ekonomi

3. Analisis kelayakan kelembagaan

4. Analisis kelayakan lingkungan

5. Analisis kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah

d. Tahap penyusunan skenario (alternatif konsep), kesimpulan dan rekomendasi

Sebagai hasil akhir dari studi ini adalah tersusunnya skenario (alternatif

konsep) kawasan perkotaan jatingaor yangtermuat dalam suatu laporan yang

sekurang-kurangnya memuat :

Konsep kawasan perkotaan Jatinangor

Page 58: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 4

Kesimpulan dan rekomendasi terhadap kelayakan kawasan perkotaan

Jatinangor yang meliputi :

a. Kelayakan sosial budaya

b. Kelayakan ekonomi

c. Kelayakan lingkungan

d. Kelayakan kelembagaan

e. Kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah

2. Metode Analisa

Metode analisa merupakan penguraian secara rinci atas berbagai masalah dari

seluruh aspek yang dikaji, kemudian mencari alternatif solusinya secara terinci.

3. Metode Sintesa

Metode sintesa adalah mengaitkan (mensntesakan) problem dan solusi hasil

analisa yang ada untuk mendapatkan alternatif rancangan yang optimal, terpadu dan

komprehensif.

3.3 Sumber Data

Dalam penelitian kualitatif ini, sumber data dipilih secara purposive sampling dan

bersifat snowball sampling. Purposive sampling ialah teknik sampling yang digunakan

peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam

pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan, 2005).

Menurut Sugiono (2005) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber

data dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan Snowball sampling adalah teknik

pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama

menjadi besar.

3.4 Operasionalisasi Indikator perkotaan (urban indicators) yang digunakan (versi Asian

Development Bank dan Standar Pelayanan Perkotaan PU dan Kimpraswil)

Indikator perkotaan untuk mengukur sejauhmana kondisi Kawasan Perkotaan

Jatinangor memenuhi kriteria sebagai kawasan perkotaan. Indikator yang digunakan

indicator yang dikembangkan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 dan pada

beberapa aspek terutama sarana dan prasarana perkotaan digabungakan dengan didasarkan

Page 59: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 5

pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan Ruang, Perumahan

dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan Menteri Permukiman

dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001. Indikator penilaian pembangunan

perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks, yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas

Hidup, serta beberapa aspek,yaitu:

1. Aspek Penduduk

Indikator yang digunakan:

Tingkat pertumbuhan penduduk;

Tingkat migrasi; dan

Tingkat kepadatan penduduk.

2. Aspek Produktifitas Perkotaan

Indikator yang digunakan:

Tingkat kemiskinan;

Tingkat pengangguran;

Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional;

Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa;

Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan

Tingkat ketergantungan penduduk.

3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan

Indikator yang digunakan:

Tingkat kematian ibu;

Tingkat kematian bayi;

Angka Prevelensi Penyakit Diare;

Rata-rata usia harapan hidup warga;

Ketersediaan fasilitas Puskesmas;

Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan

Ketersediaan apotek;

Angka melek huruf;

Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD);

Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan

Page 60: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 6

Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).

4. Aspek Permukiman dan Lingkungan

Indikator yang digunakan:

Rasio penduduk kumuh per penduduk total;

Persentase permukiman kumuh;

Luasan permukiman kumuh;

Rasio Ruang Terbuka Hijau;

Pengaduan polusi/pencemaran;

Jumla kejadian kebakaran; dan

Tindak kejahatan per 1000 penduduk.

5. Aspek Ekonomi

Indikator yang digunakan:

Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB)

Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB

Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir

Analisis ICOR

Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita

Rata-rata pendapatan penduduk perkapita

Disparitas Pendapatan Antarsektor

Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Elastisitas kesempatan Kerja

Tingkat Kemiskinan

6. Aspek Budaya

Indikator yang digunakan:

Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs,

benda arkeologis dan kawasan bersejarah)

Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan

budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan)

Page 61: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 7

Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang

melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)

7. Aspek Sosial

Kependudukan, Indikator yang digunakan:

Kepadatan Penduduk Kota

Kepadatan Penduduk Kelurahan

Angka Migrasi

Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk

Tingkat kematian bayi

Rata-rata usia harapan hidup warga

Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan)

Ketersediaan jumlah tenaga medis

Ketersediaan Apotek

8. Aspek Spasial

Indikator yang digunakan:

Konversi Lahan

Ketersediaan Ruang Publik

Keberadaan lingkungan kumuh

9. Aspek Prasarana

1) Sektor Air Bersih

Aset, meliputi :

a. Sumber Air

b. Kualitas Air

c. Kebocoran Air

d. Pelayanan

Cakupan Pelayanan

Cakupan Pelanggan

Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik)

Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik)

Tingkat penggunaan air

Page 62: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 8

Tarif Air

2. Sektor Transportasi

Aset, meliputi :

a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi

b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan

c. Kondisi Jalan

d. Terminal Angkutan Darat

e. Terminal Udara

3). Sektor Sanitasi

Aset, meliputi :

a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system)

b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system)

4). Sektor Persampahan

Aset, meliputi :

a. Pengumpulan

b. Pengangkutan

c. Kapasitas Pembuangan

d. Metoda Pembuangan

e. Kepemilikan Lahan TPA

f. Pelayanan, meliputi :

- Cakupan Pelayanan

- Retribusi Sampah

- Kerjasama dengan Masyarakat

Asumsi yang digunakan di dalam pembobotan adalah setiap variabel atau kriteria

mempunyai bobot yang berbeda sesuai peran dan urgensinya dalam pengelolaan kawasan

perkotaan.

Kategori penilaian berdasarkan skala tertentu dan ditetapkan menurut kategori

baik, sedang maupun kurang. Hal tersebut berdasarkan pada jumlah skor tertentu yang

representatif, yaitu kategori penilaian menjadi dasar pilihan tindakan untuk untuk

mengukur tingkat tingkat kelayakan kawasan perkotaan. Secara rinci gambaran indicator

Page 63: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 9

dan bobot penilaian dapat dilihat pada tabel berikut (untuk Kawasan Perkotaan Jatinangor

sesuai dengan lingkup wilayah digunakan indikator Kota Sedang):

Page 64: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 10

Tabel 3.1 Indikator Pengukuran Kelayakan Kawasan Perkotaan Sedang

No Aspek Indikator Bobot @Baik Sedang Buruk

Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai1 Penduduk Tingkat Pertumbuhan penduduk

103 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1

Tingkat Migrasi 2 > 1.5 % 3 1 - 1.5 % 2 < 1 % 1Tingkat Kepadatan penduduk (jiwa/ha) 5 > 75 jiwa/ha 3 50-75 jiwa/ha 2 < 50 jiwa/ha 1

2 Produktivitas Perkotaan

Tingkat Kemiskinan (%)

10

2 < 20 % 3 20 - 30 % 2 > 30 % 1Tingkat Pengangguran (%) 1 < 5 % 3 5 - 10 % 2 > 10 % 1Tingkat Pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional 2 Tinggi 3 Sedang 2 Rendah 1Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa 2 > 4 % 3 2 - 4 % 2 < 2 % 1Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB 2 > 40 % 3 20 - 40 % 2 < 20 % 1Tingkat ketergantungan penduduk 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1

3 Kesehatan dan Pendidikan

Tingkat kematian ibu

10

1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1Tingkat kematian bayi 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1Angka Prevalensi Penyakit Diare 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1Rata-rata usia harapan hidup warga (thn) 0.5 > 55 Tahun 3 45 - 55 thn 2 < 45 Tahun 1Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1ketersediaan fasilitas rumah sakit (unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1Ketersediaan apotik (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1Angka melek huruf 0.5 > 90 % 3 80 - 90 % 2 < 80 % 1Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD) (unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP) (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU) (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1

4 Permukiman dan Lingkungan

Rasio penduduk kumuh per penduduk total 1.43 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1Persentase Permukiman Kumuh (unit) 1.43 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1Luasan Permukiman Kumuh 1.43 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1Rasio ruang terbuka hijau 10 1.43 > 40 % 3 40 - 30 % 2 < 30 % 1Pengaduan polusi/pencemaran 1.43 Tidak 3 Ada 2 Ada 1Jumlah kejadian kebakaran 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1Tindak kejahatan per 1000 penduduk 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1

Page 65: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 11

No Aspek Indikator Bobot @Baik Sedang Buruk

Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai5 Pelayanan Kota5.1 Air Kapasitas produksi (l/det)

10

1 > 150 3 130 - 150 2 < 130 1Jenis sumber air 1 air tanah 3 air permukaan 2 air hujan 1Rasio sambungan rumah 1 > 50 % 3 30 -50 % 2 < 30 % 1Rasio kebutuhan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1Tingkat kebocoran rata-rata per tahun 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1Tingkat pelayanan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1Konsumsi air per pelanggan (domestic) 1 > 80 % 3 75 - 80 % 2 < 75 % 1Konsumsi air bersih konsumsi lain (non domestik) 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1Tinggkat penggunaan air 1 > 80 % 3 40 - 80 % 2 < 40 % 1Sistem distribusi

1Gabungan dengan 3 Perpompaan 2 Gravitasi 1

reservoir5.2 Sanitasi Kondisi pengolahan setempat(on site system)

10

1. Jumlah rumah yang menggunakan septic tank (%) 5 > 60 % 3 40 - 60 % 2 <40 % 12. Jumlah penduduk terlayani fasilitas komunal 5 < 30 % 3 30 - 50 % 2 > 50 % 1 (MCK umum) (%)

5.3 Sampah Cakupan pengangkutan sampah (m3/hr)

10

1 > 75 % 3 50 - 75% 2 < 50 % 1Cakupan penduduk terlayani 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1Cakupan layanan (ha) 1 > 50 % 3 25 - 50 % 2 < 25 % 1Sarana pengangkutan sampah- Pick up sampah (unit) 1 > 20 3 15- 20 2 < 15 1- Truk sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1- Arm-roll sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 < 5 1- Compactor truck (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1- Status tanah TPA 1 Milik Pemkot 3 2 sewa 1- Jarak ke pembuangan terdekat 1 > 1 km 3 0.5 - 1 km 2 < 0.5 km 1

Metoda pembuangan 1 Metode sanitaryland fill

3 Metode controlled

land fill

2Metode open

Dumping 1

Page 66: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 12

No Aspek Indikator Bobot @Baik Sedang Buruk

Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai5.4 Drainase Topografi kota

10

1 Dataran 3 2 Perbukitan 1Rasio panjang saluran primer 1 > 30 % 3 20 -30 % 2 < 20 % 1Tinggi genangan 1 < 0.25 m 3 0.25 - 0.5 m 2 > 0.5 m 1Lama genangan 1 < 1 jam 3 1-2 jam 2 < 2 jam 1Frekuensi genangan 1 Tidak ada 3 1-2/tahun 2 > 2x/tahun 1Kerugian material genangan 1 Tidak ada 3 2 ada 1Luas genangan dari area urban 2 < 5 % 3 5-15 % 2 > 20 % 1Cakupan pelayanan 2 > 80 % 3 >60-80% 2 < 40 % 1

6 Listrik dan Telpon

Cakupan pelanggan listrik5

2.5 > 75 % 3 50 - 75 % 2 < 50 % 1Cakupan pelanggan telpon 2.5 > 40 % 3 20 -40 % 2 < 20 % 1

7 Transportasi Perkotaan Rasio panjang jalan per 100 penduduk

10

1.43> 0.4/1000

km/jiwa 30.2 - 0.4/1000

km/jiwa 2< 0.2/1000

km/jiwa 1V/C Ratio rata-rata 1.43Panjang jalan sesuai kewenangan 1.43 > 20 % 3 10 -20 % 2 < 10 % 1Kerusakan jalan 1.43 < 10 % 3 10 - 25 % 2 > 25 % 1Kecepatan tempuh rata-rata 1.43 > 60 km/jam 3 30 - 60 km/jam 2 < 30 km/jam 1Panjang jalan mantap 1.43 > 85 % 3 75 - 85 % 2 < 75 % 1Integrasi antar kota 1.43 3 2 1

8 Pemerintahan Kota

Kontribusi pendapatan dari pajak

5

1.67 > 50 % 3 25-50 % 2 < 25 % 1kemandirian kota (keuangan daerah/pendapatan 1.67 > 75 % 3 25 - 75 % 2 < 25 % 1daerah)ketersediaan dokumen perencanaan pembangunan 1.67 Ada 3 2 Tidak 1

Page 67: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 13

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif yang

didasarkan atas kriteria kawasan perkotaan ditinjau dari kondisi demografi, arus migrasi,

aktifitas penduduk, fasilitas perkotaan, pemerintahan, lingkungan serta aspek lain yang

merupakan fokus pengamatan. Data yang diperoleh sebagian besar menggunakan data

dokumen dengan teknik dokumentasi yang berasal dari berbagai sumber. Untuk

memvalidasi data tersebut dilakukan teknik observasi dan wawancara dengan pejabat

struktural instansi terkait yang memahami yang dilaksanakan secara gabungan (triangulasi).

Data yang diperlukan dalam studi ini adalah data kuantitatif dan kualitatif yang

didasarkan atas yang dibedakan atas :

a. Data Primer, diperoleh dengan penelitian lapangan, dilakukan dengan jalan melihat,

mengamati, mencatat serta mewawancarai secara langsung pejabat politik, aparatur

daerah, kecamatan, kelurahan serta desa, masyarakat dan kelompok sasaran lainnya.

b. Data Sekunder, dikumpulkan untuk melengkapi data primer, baik yang tersedia di BPS

setempat, Sekretariat Daerah, Bappeda, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten,

Monografi Kecamatan, Desa/Kelurahan dan instansi lain yang mempunyai

informasinya berkaitan dengan topik penelitian ini. Data sekunder ini diperoleh dengan

penelitian terhadap dokumen, laporan, brosur, surat kabar dan bahan kepustakaan

lainnya.

Adapun teknik pengumpulan data yang dipilih dalam riset lapangan adalah:

a. Observasi, suatu teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan cara

mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala, peristiwa

dan aspek-aspek yang diteliti di lokasi penelitian.

b. Wawancara, mengumpulkan data dengan komunikasi langsung berdasarkan kerangka

atau pedoman yang telah disusun sebelumnya dengan pihak yang berkompeten dan

berwenang terhadap masalah yang diteliti

c. Kuesioner, penyebaran angket atau daftar pertanyaan yang telah tersedia yang relevan

dengan masalah yang diteliti. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang

obyektif dan merupakan salah satu pengumpulan data yang diketahui dan dipahami

oleh responden sehingga hasilnya obyektif

Page 68: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 14

d. Studi Literatur, mengumpulkan data dengan mempelajari, menelaah dan menganalisa

literatur, dokumen, peraturan serta menelaah dan menganalisa literatur, dokumen,

peraturan serta referensi lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

3.6 Pengolah dan Analisis Data

Data kualitatif akan dianalisa melalui pendekatan isi dan kedalaman menterjemahkan

suatu fenomena dalam menganalisa kriteria kawasan perkotaan Jatinangor yang dapat

membantu pihak-pihak terkait dalam menangani kawasan Jatinangor serta dapat membantu

masyarakat berperan dalam pengelolaan kawasan Jatinangor

Dari daftar struktur pertanyaan terbuka, kemudian dilengkapi dengan kompilasi

hasil wawancara secara mendalam, kemudian dengan pengamatan di lapangan kemudian

variabel itu akan dikompilasi melalui file terstruktur. Sedangkan data kuantitatif akan

dikategorikan, diklasifikasikan dan diolah sebagai dasar pengukuran dan analisis untuk

memberikan penjelasan dan penilaian terhadap tingkat kelayakan

3.7 Organisasi Pelaksana

Studi dilakukan oleh 4 (empat) orang tenaga ahli dengan rincian sebagai berikut :

1) 1 orang tenaga ahli di bidang Bidang Otonomi Daerah (Guru besar) sebagai Ketua Tim.

2) 1 orang ahli dalam bidang sosial ekonomi sebagai Sekretaris Tim

3) 1 orang ahli dalam bidang tata ruang, sebagai Anggota Tim.

4) 1 orang ahli dalam bidang lingkungan hidup, sebagai Anggota Tim.

3.8 Jangka Waktu Penelitian

Penelitian ini memerlukan waktu selama (tiga) bulan atau 12 (dua belas)

minggu, terhitung sejak ditandatanganinya naskah kerjasama penelitian. Alokasi

penggunaan waktu, sebagai berikut :

Page 69: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab III - 15

NO.

KEGIATAN PELAKSANAANKET

Sept Okt Nop Des

1. Ekspose

2. Penyusunan design penelitian

3. Pengumpulan & Pengolahan data & informasi

4. Penelitian & Penulisan laporan sementara

5. Lokakarya Laporan Sementara

6. Penulisan Laporan Akhir

Page 70: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 1

BABIVARAHAN KEBIJAKAN KAWASAN PERKOTAAN

4.1 Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025

Berdasarkan PP No 34 tahun 2009 tentang Pedomana Pengelolaan Kawasan

Perkotaan, Pasal 16 menyebutkan bahwa : Substansi rencana pembangunan Kawasan

Perkotaan tertuang dalam dokumen :

a. rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten/kota;

b. rencana tata ruang Kawasan Perkotaan;

c. rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota; dan

d. rencana kerja pembangunan daerah kabupaten/kota.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025 yang

dituangkan dalam Peraturan Daerah No 2 Tahun 2008, substansi yang terkait dengan

kegiatan studi ini adalah meliputi :

A. Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang

Berdasarkan kondisi sampai dengan saat ini dan tantangan yang akan dihadapi dalam

20 tahun mendatang serta dengan mempertimbangkan modal dasar yang dimiliki dan

berbagai masukan dari berbagai pihak pada saat proses penyusunan RPJPD, maka visi

pembangunan Kabupaten Sumedang Tahun 2005-2025 adalah “KABUPATEN SUMEDANG

SEJAHTERA, AGAMIS DAN DEMOKRATIS PADA TAHUN 2025”. Visi tersebut dapat

diringkas menjadi “SUMEDANG SEHATI”, yang dapat diartikan sebagai kabupaten yang

makin kokoh dan berdaya juang tinggi dalam membangun daerahnya dengan dilandasi

orientasi masyarakat berupa :

Page 71: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 2

1. Perilaku yang berpegang pada prinsip sauyunan, sareundeuk saigel, sabobot sapihanean.

Maknanya adalah dalam lingkungan kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat,

senantiasa mengedepankan kepuasaan dalam layanan pemerintahan dan pembangunan

di berbagai bidang melalui pola kemitraan, permusyawarahan, transparansi, saling

percaya serta senantiasa proporsional dalam mendistribusikan hak dan kewajiban

diantara stakeholder pemerintahan guna mewujudkan kemajuan pembangunan daerah

yang dikehendaki masyarakat daerah.

2. Masyarakat yang telah mengedepankan nilai-nilai kesetiakawanan sosial dalam

mengelola permasalahan dan kebutuhan masyarakat daerah.

3. Masyarakat yang makin kokoh dalam mewujudkan tanggungjawab untuk

meredistribusikan kemakmuran daerah, antara kelompok ekonomi lemah (kaum dhuafa)

atau miskin secara materi namun potensial untuk menopang kemajuan kelompok

ekonomi kuat (kaum agnia) yang terus menunjukkan kesetiakawanan sosio-ekonominya

untuk mengarahkan kaum ekonomi lemah menjadi produktif.

4. Meningkatnya pelayanan publik.

Kabupaten Sumedang yang sejahtera ditandai dengan kondisi kehidupan masyarakat

Sumedang yang memenuhi standar kelayakan dalam pemenuhan kebutuhan di bidang

pendidikan, kesehatan dan bermatapencaharian layak serta jaminan keamanan dengan

senantiasa mempertimbangkan kelestarian daya dukung lingkungan yang berkelanjutan.

Kondisi ideal di bidang pendidikan ditunjukkan dari :

1. Meningkatnya tingkat pendidikan formal masyarakat yang dilihat dari target pendidikan

dasar telah tuntas dan memasuki tahapan pendidikan menengah.

2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pendidikan di daerah yang berkualitas dan

menjangkau seluruh masyarakat yang makim mendorong kesetaraan gender dan

pemberdayaan perempuan.

3. Meningkatnya penguasaan keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan mampu

mengimplementasikan dalam perikehidupan masyarakat daerah yang makin produktif.

4. Terwujudnya pendidikan yang berdayaguna dan berhasilguna untuk memenuhi

kebutuhan hidup.

Kondisi ideal di bidang kesehatan ditunjukkan dari :

Page 72: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 3

1. Terciptanya kondisi lingkungan sehat sesuai standar kesehatan kehidupan individu,

keluarga dan masyarakat dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan sosial.

2. Terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang tinggi dengan tidak memilahkan lokasi

perdesaan dan perkotaan.

3. Terwujudnya sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang berkeadilan dan berdaya

saing.

4. Terwujudnya stabilitas kehidupan sosial yang mendukung terciptanya perikehidupan

masyarakat daerah yang makin tercermin dalam perilaku silih asah, silih asih dan silih

asuh.

5. Terwujudnya keluarga sebagai basis persemaian nilai-nilai budaya, pendidikan dan

kesehatan.

Kondisi ideal di bidang mata pencaharian layak dan berkesinambungan ditunjukkan dari :

1. Meningkatnya keterkaitan antara sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier dalam

suatu sistem yang produktif, bernilai tambah dan berdaya saing serta keterkaitan

pembangunan ekonomi antar wilayah baik di kawasan perdesan maupun perkotaan.

2. Makin kokohnya perekonomian daerah yang berdaya saing secara regional, nasional dan

internasional, dengan berbasis pada upaya mengembangkan keunggulan komparatif,

kompetitif dan kooperatif dalam mendayagunakan potensi agribisnis, pariwisata dan

industri.

3. Meningkatnya akses yang lebih berkeadilan terhadap sumberdaya ekonomi bagi seluruh

masyarakat Sumedang.

4. Terjaminnya ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat Sumedang dengan tingkat harga

yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

5. Meningkatnya perlindungan dan regulasi pemerintah terhadap pelaku sosio ekonomi

daerah dalam mendukung iklim investasi yang kondusif.

6. Meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat yang ditopang oleh makin

produktifnya pendayagunaan potensi agribisnis, pariwisata dan industri daerah.

7. Meningkatnya laju Pertuimbuhan Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto yang

berdampak terhadap penurunan kemiskinan.

8. Meningkatnya pendayagunaan dan pemanfaatan potensi agribisnis, pariwisata dan

industri daerah yang selaras dengan kearifan sosial.

Page 73: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 4

9. Meningkatnya ketersediaan dan kontribusi infrastruktur perekonomian daerah serta

infrastruktur transportasi, energi, komunikasi, sumberdaya air yang handal dan sejalan

dengan kebutuhan pembangunan skala regional dan nasional.

10. Meningkatnya kerjasama antar domain kepemerintahan dalam penyediaan infrastruktur

yang memadai.

11. Terwujudnya pembangunan pemeliharaan infrastruktur yang sejalan dengan

keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

12. Terwujudnya keseimbangan pemanfaatan ruang yang serasi dan berkelanjutan antara

kawasan lindung dan budidaya serta antara kawasan perkotaan dan perdesaan.

13. Meningkatnya penyediaan lapangan pekerjaan dan pendayagunaan tenaga kerja yang

berkualitas dan berdaya saing secara berkesinambungan berbasis pada keunggulan

potensi daerah guna mendukung pembangunan.

Kabupaten Sumedang yang agamis ditandai dengan kondisi lingkungan kehidupan

sosial yang makin dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa

sesuai keyakinan masyarakat yang diakui dalam sistem keagamaan nasional, kondisi ideal

kehidupan agamis ditunjukkan dari :

1. Meningkatkan jatidiri dan karakter masyarakat yang makin beriman dan bertakwa dalam

keragaman keyakinan beragama dan beribadat yang dijamin kelangsungannya oleh

pemerintah.

2. Menguatnya kemitraan dan tanggungjawab dalam pembangunan pendidikan keagamaan

serta sarana dan prasarana keagamaan di daerah.

3. Menguatnya kesalehan sosial masyarakat dan aparatur pemerintah serta memperkokoh

silaturahmi antar dan inter umat beragama untuk menguatkan pengamalan agama dalam

kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kabupaten Sumedang yang demokratis ditandai dengan kondisi lingkungan

kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat yang makin dijiwai oleh supremasi dan

kesadaran hukum, tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik,

partisipasi masyarakat berlandaskan kesetaraan gender yang makin dewasa dalam proses

penetapan dan penyelenggaraan kebijakan pemerintahan dan pembangunan daerah serta

pewarisan nilai nilai kejuangan bangsa dan kearifan lokal masyarakat. Kondisi ideal

kehidupan demokratis ditunjukkan dari :

Page 74: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 5

1. Terwujudnya penyelenggaraan akuntabilitas Pemerintahan daerah dan penyelenggaraan

otonomi daerah serta tugas pembantuan yang proporsional.

2. Meningkatnya aksesibilitas, transparansi, pengawasan masyarakat dalam penyusunan

kebijakan Pemerintah Daerah.

3. Meningkatnya penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang makin efisien dan efektif

dan peningkatan pelayanan prima pada setiap unit kerja di lingkungan Pemerintah

Daerah.

4. Meningkatnya profesionalisme aparatur dan efisiensi birokrasi dalam kerangka

reformasi birokrasi yang makin mantap.

5. Terwujudnya kemitraan yang serasi antara legislatif dengan eksekutif.

6. Terselenggaranya otonomi desa yang makin efektif.

7. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban masyarakat yang lebih baik.

Dengan visi di atas, menjadikan corak masyarakat dan daerah Kabupaten Sumedang

yang ingin diwujudkan pada tahun 2025 mendatang adalah daerah yang dihuni oleh

masyarakat yang makin sejahtera, yang senantiasa bersikap arif dan berkemampuan

produktif dan mempertimbangkan kesinambungan lingkungan hidup daerahnya, serta makin

mengindahkan prasyarat terbangunannya tatanan masyarakat berkesadaran hukum tinggi

guna mewujudkan sistem sosial dan politik yang demokratis. Untuk memperkuat kondisi

sejahtera dan demokratis tersebut, maka diperlukan pula kelangsungan kehidupan agama

yang akan menyeimbangkan kebutuhan ragawi dan ukhrowi, yang dibangun oleh

penghormatan yang makin baik terhadap kesalehan sosial dan keragaman dalam keyakinan

beragama dalam satu kesatuan sistem keagamaan nasional yang dilindungi Undang Undang

Dasar 1945.

Guna mewujudkan visi pembangunan daerah Kabupaten Sumedang jangka panjang

diperlukan pemahaman terhadap pergeseran paradigma dalam tata kelola pemerintahan

daerah dalam mengelola fungsi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan yang

kian variatif. Peletakkan tanggungjawab yang sepenuhnya terhadap para penyelenggara

pemerintahan daerah, diyakini tidak mungkin lagi mewujudkan masyarakat yang sejahtera,

agamis dan demokratis karena antar komponen tata kelola pemerintahan memiliki batas

batas potensi keperansertaan, kontribusi serta keterbatasan. Harus menjadi kecenderungan

positif bahwa mewujudkan masyarakat maju, yang ditandai kecerdasan (IQ, SQ, EQ),

Page 75: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 6

demokratisasi dan ketaatan dalam keyakinan agama dan kepercayaan dalam kehidupan

sosial, akan mampu berjalan efektif manakala masyarakat dan potensi sosio ekonominya

menjadi pencipta kemakmuran dan pemerintah daerah menjadi fungsi pemicu, penyeimbang

serta pemberi jaminan kepastian hukum.

Dengan meletakan paradigrama pemerintahan berlandasan keseimbangan potensi

elemen dalam tata kelola pemerintahan, maka fungsi stabilisasi, fungsi pertumbuhan

ekonomi serta distribusi hasil pembangunan, akan menjadi segitiga agenda yang resiprokal

antara pemerintah, dunia usaha serta komponen masyarakat daerah di Kabupaten Sumedang

dengan tetap memperhatikan kelangsungan hidup di daerah.

B. Misi Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang

Upaya perwujudan visi pembangunan jangka panjang Kabupaten Sumedang 2005-

2025 tersebut akan dicapai melalui 5 (lima) misi pembangunan sebagai berikut :

1. Misi Pertama, Mewujudkan masyarakat madani yang berpendidikan, berbudaya dan

berpola hidup sehat, adalah membangun masyarakat Sumedang yang berbudaya mulia

dan mandiri yang memiliki akses terhadap pendidikan formal yang berkualitas, dapat

dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan mendorong kesetaraan gender,

memiliki tingkat pendidikan dan kompetensi yang didasari ilmu pengetahuan dan

teknologi berdaya saing, mengutamakan pola hidup sehat sejahtera secara jasmani,

rohani dan sosial sehingga berada dalam kondisi stabil yang mendukung terciptanya

kehidupan masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, kesalehan sosial dengan

mencerminkan pola perilaku silih asah, silih asih, silih asuh sehingga tercipta keluarga

yang dapat menjadi tempat persemaian nilai budaya, pendidikan dan kesehatan.

2. Misi Kedua, Mewujudkan perekonomian daerah yang tangguh dan berkelanjutan yang

berbasis pada agribisnis, pariwisata dan industri, adalah mengembangkan dan

memperkuat keterkaitan antar sektor perekonomian daerah yang berdaya saing secara

regional dan internasional, dengan berbasis pada upaya mengembangkan keunggulan

komparatif, kompetitif, dan kooperatif dalam mendayagunakan potensi sosio ekonomi

lokal terutama dalam agribisnis, pariwisata dan industri yang mengindahkan kearifan

budaya lokal dan keseimbangan lingkungan hidup. Perkembangan ekonomi daerah

didukung oleh kerjasama antara domain kepemerintahan dalam penyediaan infrastruktur

Page 76: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 7

yang memadai, pemeliharaan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan

keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, keseimbangan

pemanfaatan ruang yang serasi antara kawasan lindung dan budidaya serta antara

kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, penciptaan dan pendayagunaan tenaga kerja

yang berkualitas dan berdayasaing serta perlindungan regulasi pemerintahan terhadap

pelaku sosio ekonomi daerah guna mendukung penciptaan iklim investasi yang

kondusif.

3. Misi Ketiga, Mewujudkan masyarakat daerah yang berakhlak mulia, yang berlandaskan

keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin toleran sesuai

dengan falsafah Pancasila, adalah meningkatnya jatidiri dan karakter masyarakat yang

makin beriman dalam keragaman keyakinan beragama dan beribadat yang dijamin

kelangsungannya oleh pemerintah, memperkuat kemitraan dan tanggung jawab dalam

pembangunan pendidikan keagamaan dan sarana dan prasarana keagamaan di daerah,

menguatnya kesalehan sosial masyarakat dan aparatur pemerintah serta memperkokoh

silaturahmi antar umat beragama dan intern umat beragama untuk menguatkan

pengamalan agama dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.

4. Misi Keempat, Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, adalah mewujudkan

penyelenggaraan akuntabilitas Pemerintahan daerah dan penyelenggaraan otonomi

daerah serta tugas pembantuan yang proporsional, meningkatkan aksesibilitas,

transparansi, pengawasan masyarakat dalam penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah,

meningkatkan penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang makin efisien dan efektif

dan peningkatan pelayanan prima pada setiap unit kerja di lingkungan Pemerintah

daerah, meningkatkan profesionalisme aparatur dan efisiensi birokrasi dalam kerangka

reformasi birokrasi yang makin mantap, merwujudkan kemitraan yang serasi antara

legislatif dengan eksekutif, menyelenggarakan otonomi desa yang makin efektif, serta

merwujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat yang lebih baik.

5. Misi Kelima, Mewujudkan masyarakat yang demokratis dalam kesetaraan gender

berlandaskan hukum dan hak asasi manusia, adalah mewujudkan penyelenggaraan

kelembagaan demokrasi daerah, baik pada supra struktur maupun infrastruktur politik

serta meningkatkan budaya hukum dan HAM, meningkatkan peran dan partisipasi

Page 77: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 8

masyarakat dalam penyusunan kebijakan, mewujudkan kemitraan dengan media dalam

bentuk penyampaian kepentingan masyarakat daerah serta meningkatkan penegakan

hukum secara adil dalam kesetaraan gender dan menghormati hak asasi manusia.

C. Arah Pembangunan Jangka Panjang

Pembangunan jangka panjang daerah membutuhkan tahapan dan skala prioritas

yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. Tahapan

dan skala prioritas yang ditetapkan merupakan pilihan yang paling memungkinkan

mendapatkan dukungan sumber daya daerah yang tersedia pada kurun waktu lima tahunan.

Namun demikian, untuk menstrukturkan penuangan fokus prioritas pada setiap sasaran

pokok pembangunan jangka panjang daerah, setiap misi yang telah dan ingin dicapai

ditetapkan prioritasnya dalam masing-masing tahapan dengan keberlanjutan, penataan

peningkatan, pemantapan dan mempertahankan keunggulan program pembangunan pada

setiap tahapan dan tahapan berikutnya yang satu sama lain saling menguatkan dan dapat

berjalan secara simultan. Pada setiap pentahapan tersebut dijelaskan bagaimana kedudukan

kawasan pendidikan Jatinangor dan kawasan industri Cimanggung untuk jangka waktu

perencanaan 20 tahun yaitu dari tahun 2005–2025 yang meliputi RPJMD ke-1 (2005-2008),

ke-2 (2009-2013), ke-3 (2014-2018) dan ke-4 (2019-2025).

Secara umum, jika mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 01

tahun 2008 yang pada intinya menyatakan bahwa perencanaan pembangunan kawasan

perkotaan harus tercantum dalam RPJP sudah bisa diakomodasi RPJP 2005-2025 Kabupaten

Sumedang. Ini mengindikasikan bahwa pengembangan kawasan perkotaan untuk kawasan

Jatinangor dan Cimanggung sudah direncanakan secara sistematis, walaupun secara tegas

disebutkan dalam RPJP Kabupaten tersebut bahwa pengembangan kawasan Jatinangor

untuk kawasan Perguruan Tinggi, dan Cimanggung sebagai Kawasan Industri.

Selain itu pula, dalam RPJP 2005-2025 kawasan Jatinangor dikelompokkan ke

dalam wilayah pertumbuhan (WP) Tanjungsari. WP Tanjungsari ini terdiri dari Kecamatan

Tanjungsari, Jatinangor, Rancakalong, Pamulihan, Sukasari dan Cimanggung dengan

pusatnya di Tanjungsari.

Seperti termaktub dalam RTRW Jawa Barat, Penetapan kawasan (Jatinangor)

sebagai kawasan andalan adalah untuk mendorong :

Page 78: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 9

• Terwujudnya suatu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan

ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mendukung struktur ruang Jawa Barat

sesuai dengan yang telah direncanakan

• Sinergisasi keselarasan pengembangan antarwilayah dan antarsektor

Dalam arah kebijakan pembangunan Kabupaten Sumedang juga disebukan bahwa

tujuan dari Pengembangan Kawasan adalah untu:

• Mengembangkan pusat kualitas sumberdaya manusia

• Meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi

• Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengantisipasi peluang kerja

di dalam dan luar negeri.

Jika dirinci kedalam pentahapan periodisasi jangka menengah, arah

pengembangan kawasan Jatinangor bisa dijelaskan berikut ini:

I. RPJMD ke-1 (2005-2008)

Berlandaskan pelaksanaan dan pencapaian pembangunan tahap sebelumnya, RPJMD

Ke-1 diarahkan untuk melanjutkan hasil hasil pembangunan daerah di segala bidang yang

ditujukan untuk menciptakan Sumedang yang sejahtera, agamis dan demokratis yang

semakin terasakan dampaknya bagi masyarakat daerah serta terus memberikan kontribusi

terhadap kualitas pembangunan regional Jawa Barat dan nasional.

Sumedang yang sejahtera ditandai dengan menurunnya angka pengangguran dan

jumlah penduduk miskin sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh

pengelolaan sumber daya alam dan mutu lingkungan hidup yang semakin berkualitas serta

berkurangnya kesenjangan antar perdesaan dan perkotaan. Kondisi itu dicapai dengan

mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan iklim investasi daerah yang kondusif,

termasuk membaiknya infrastruktur. Pembangunan infrastruktur terus didorong melalui

peningkatan peran swasta dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan investasi daerah yang

transparan serta reformasi dan restrukturisasi kelembagaan perijinan investasi daerah

terutama untuk sektor transportasi, perdagangan, agribisnis, industri kecil serta

kepariwisataan. Pembangunan infrastruktur diarahkan bagi percepatan pertumbuhan

perekonomian daerah antara lain melalui penajaman upaya persiapan pembangunan jalan

Tol Cisumdawu, bendungan Jatigede, zona industri Jatinangor-Cimanggung dan Ujungjaya,

Page 79: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 10

rencana induk pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang serta bandara internasional

Kertajati di Majalengka.

Dari tahapan dan prioritas pada RPJMD ke-1 ini, terdapat fokus yang menjadi

panduan untuk dapat dituntaskan pada kurun perencanaan tahap ini yang terkait dengan

kawasan Jatinangor yaitu yang terkait dengan misi: Mewujudkan perekonomian daerah yang

tangguh dan berkelanjutan yang berbasis pada agribisnis, pariwisata dan industri. Dalam

tahapan dan prioritas point ke-7 disebutkan: Peningkatan ketersediaan rencana tata ruang

kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, provinsi dan nasional (antara lain kawasan

perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan

koridor jalan tol Cisumdawu serta rencana induk pusat pemerintahan) termasuk kawasan

perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta

pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya

manusia.

Selain itu, di point ke-14 di misi yang sama, juga disebutkan bahwa arah dan

prioritas yang dilakukan pada RPJMD-1 ini adalah Pengembangan industri yang sinergis

dan berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung potensi ekonomi

daerah.

II. RPJMD ke-2 (2009-2013)

Arah pembangunan jangka panjang tahap kedua ini terdiri dari upaya-upaya untuk

meneruskan fokus pembangunan daerah yang belum tercapai pada RPJMD ke-1 yang dapat

memperkuat capaian RPJMD ke-2. Di dalamnya, terdapat upaya pemantapan infrastruktur

ekonomi dan sosial pada daerah daerah yang dijadikan sentra pengembangan industri

manufaktur dan perdagangan daerah serta sektor jasa lainnya. Selain itu, ditunjang pula

dengan upaya penguatan dalam fasilitasi kelembagaan-kelembagaan keuangan yang

menopang aktivitas usaha mikro dan kecil serta akses pelaku usaha terhadapnya.

Seperti di tahap pertama, juga dilakukan upaya untuk melanjutkan ketersediaan

rencana tata ruang kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional

(antara lain kawasan perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan

industri dan kawasan koridor jalan tol) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten

tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang

Page 80: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 11

yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan ini juga ditunjang

dengan upaya penguatan pengendalian tata ruang daerah yang makin sinergi dengan tata

ruang regional.

Upaya penataan moda transfortasi daerah untuk menopang pembangunan antar

wilayah juga diperkirakan akan terkait dengan upaya penataan kawasan Jatinangor sebagai

kawasan yang akan dikembangkan. dalam tahap ini, upaya pemantapan sinergisitas antara

Industi Besar dengan Industri Kecil Menengah (IKM) sehingga tercipta penguatan masing-

masing skala usaha juga akan terkait dengan daerah sekitar kawasan Jatinangor.

Upaya peningkatan kerja sama antar daerah dan peningkatan penegasan batas daerah

juga merupakan salah satu fokus pembangunan di tahap kedua ini. Langkah ini sangat

penting bagi proses pengembangan kawasan. Diharapkan dengan upaya ini, ke depannya

tidak terjadi perselisihan antar wilayah dikarenakan batas wilayah.

III. RPJMD ke-3 (2014-2018)

Sasaran pembangunan di tahap ketiga ini juga bertujuan untuk meneruskan fokus

pembangunan daerah yang belum tercapai pada RPJMD ke-2 yang dapat memperkuat

capaian RPJMD ke-3. Secara spesifik terkait dengan pengembangan kawasan Jatinangor,

upaya pengembangan kemitraan dalam penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan daerah

melalui corporate social responsibility (CSR) pada para pelaku usaha daerah akan terkait

dengan upaya pengembangan kawasan Jatinangor.

Penggunaan yang makin meluas pada ekonomi terbarukan yang semakin pro

kesinambungan lingkungan hidup juga akan terkait dengan upaya pengembangan kawasan

Jatinangor, yang mana dalam hal ini tertuju pada pengembangan kawasan sektor usaha di

sekitar Jatinangor. Selain itu, upaya penegakkan tata kelola ruang daerah dan pemberian

insentif sosial guna kelestarian lingkungan hidup di permukiman juga diharapkan mampu

memberikan keseimbangan pemeliharaan dan pelestrarian lingkungan.

Pengembangan infrastruktur lingkungan dan moda transformasi yang

menghubungkan semua pusat pusat perekonomian daerah yang makin terintegrasi dengan

moda transformasi regional dan nasional juga merupakan isu yang terkait erat dengan

pengembangan kawasan perkotaan Jatinangor.

Sasaran berikutnya yaitu upaya lebih memantapkan keterpaduan antara Industri

Page 81: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 12

Besar dengan IKM dalam pemanfaatan potensi ekonomi daerah dan keterkaitan antar rantai

bisnis juga merupakan isu terkait dengan pengembangan kawasan, yang nota bene kawasan

Jatinangor juga akan dikembangkan sebagai kawasan industri.

Di tahap ketiga ini, upaya untuk memantapkan ketersediaan rencana tata ruang

kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional (antara lain kawasan

perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan

koridor jalan tol) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi

rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti

dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi sasaran pembangunan.

Upaya peningkatan layanan prime di daerah perbatasan dan penguatan SDM

aparatur daerah diwilayah perbatasan juga merupakan sasaran strategis di tahap ketiga ini.

Kedua hal diatas sangat terkait erat dengan pengembangan kawasan Jatinangor sebagai

daerah yang merupakan berada di sisi luar dan bersinggungan dengan kabupaten lain.

IV. RPJMD ke-4 (2019-2025)

Di tahap terakhir ini, tahap 4, sasaran pembangunan jangka panjang pada umumnya

adalah berisikan langka-langkah untuk meneruskan fokus pembangunan daerah yang belum

tercapai pada RPJMD ke-3 yang dapat memperkuat capaian RPJMD ke-4.

Ada sasaran strategis yang akan dilakukan di tahap ini, yaitu pengembangan sistem

insentif daerah dalam penyelenggaraan kemitraan pembangunan di sektor swasta, terutama

pada bidang pendidikan, kesehatan. Ini tentu hal penting yang harus dipertimbangkan dalam

proses pengembangan kawasan Jatinangor. Selain itu, juga didukung dengan upaya

pengembangan tatanan sistem pemerintahan daerah yang menjadi supporting sistem bagi

aktivitas ekonomi kreatif.

Dalam tahap ini juga, upaya pemantapan ketersediaan rencana tata ruang kecamatan

dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional (antara lain kawasan perguruan

tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan koridor jalan tol)

termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang

telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti dengan peningkatan kualitas

sumber daya manusia tetap menjadi fokus pembangunan jangka panjang tahap ke 4.

Di tahap ini, juga dilakukan upaya pematangan reformasi birokrasi yang menopang

Page 82: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 13

pelayanan berorientasi customer satisfaction. Ini sangat penting guna mendukung

karakteristik masyarakat perkotaan yang diharapkan terkait dengan upaya pengembangan

kawasan Jatinangor.

4.2 Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang

Dalam Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat ada beberapa kawasan yang akan

dikembangkan sebagai kawasan andalan. Secara umum, penetapan beberapa wilayah di

Propinsi Jawa Barat sebagai kawasan andalan adalah untuk mendorong :

• Terwujudnya suatu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan

ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mendukung struktur ruang Jawa Barat

sesuai dengan yang telah direncanakan

• Sinergisasi keselarasan pengembangan antarwilayah dan antarsektor

Dalam hal ini, sebagian dari kecamatan Kabupaten Sumedang termasuk dalam

kawasan andalan Cekungan Bandung, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan

Jatinangor. Terkait dengan ini, berikut dijelaskan posisi Kabupaten Sumedang dalam

pengembangan kawasan andalan di Propinsi Jawa Barat.

TABEL 4.1Posisi Sumedang Dalam Kawasan Andalan Di Jawa Barat

(Sumber : RTRWP Jawa Barat 2010)

Kawasan Andalan Sektor Unggulan Arahan

Cekungan Bandung dsk (Sumedang)

Industri, perdagangan, jasa

Pertanian hortikultura

Pariwisata, Perkebunan

Kawasan pusat pengem-bangan SDM dlm rangka mendukung industri, agribisnis, pariwisata, jasa dan SDM.

Arahan pengembangan kawasan andalan Cekungan Bandung adalah sebagai pusat

pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung industri, agribisnis,

pariwisata, jasa, dan sumberdaya manusia

Tujuan pengembangan kawasan adalah :

• Mengembangkan pusat kualitas sumberdaya manusia

Page 83: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 14

• Meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi

• Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengantisipasi peluang kerja

di dalam dan luar negeri.

Sasaran pengembangan kawasan :

• Termanfaatkannya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan dengan melakukan

sinergisasi antar lembaga tersebut melalui pembentukan forum komunikasi lembaga

terkait.

• Meningkatnya kemampuan sumberdaya manusia daerah Cekungan Bandung dalam

pembuatan cenderamata khas daerah. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan

dengan mengadakan pelatihan-pelatihan.

• Meningkatnya prasarana komunikasi dan media dengan mendorong jasa telepon dan

internet dalam kegiatan bisnis dan menyediakan prasarana pendukung dan

komunikasi lainnya.

Rencana Tata Ruang Kawasan Andalan Perguruan Tinggi Jatinangor

Terkait dengan pengembangan kawasan Jatinangor, berikut adalah Rencana Tata

Ruang Kawasan Andalah Perguruan Tinggi Jatinangor.

• Wilayah perencanaan : Kecamatan Jatinangor 8 desa

• Konsep rencana/ Arahan Pengembangembangan:

• Meningkatkan akses dari dan ke luar Jatinangor

• Menghindari arus regional masuk bagian kawasan Perguruan Tinggi untuk

mendukung kawasan yang lebih terintegrasi

• Aktivitas yang ada diselaraskan dengan fungsi perguruan tinggi

Linieritas arah perencanaan pengembangan wilayah Kabupaten Sumedang dalam konteks

lingkup regional dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

Page 84: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 15

TABEL 4.2Arahan Pengembangan Wilayah Kabupaten Sumedang Dalam Lingkup Regional

RencanaWilayah

PerencanaanKonsep Rencana / Arahan

PengembanganEvaluasi Implementasi

Arahan Pengembangan Dalam RTRW Kab. Sumedang 2012

1 2 3 4 5RTRW Jawa Barat Propinsi Jawa Barat PKN : Bandung dan Cirebon

Kota Sumedang : PKL Kawasan lindung 45% dari luas

total Jawa Barat Mengendalikan alih fungsi lahan

sawah irigasi teknis Kabupaten Sumedang termasuk

dalam Kawasan Andalan Cekungan Bandung, dengan salah satu tugasnya adalah sebagai kawasan andalan Perguruan Tinggi di Kecamatan Jatinangor.

Kota Sumedang telah berfungsi sebagai PKL

Luas kawasan lindung Kabupaten Sumedang sekitar 23%

Terjadi alihfungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (-1,64%/ thn)

Pada kawasan andalan Jatinangor telah berdiri Perguruan tinggi yang 4 yaitu STPDN, UNWIM, UNPAD dan IKOPIN. Kawasan ini telah berkembangan menjadi kawasan perguruan tinggi dengan dilengkapi permukiman mahasiswa dan fasilitas penunjang pendidikan tinggi berlokasi di sekitar kampus dan koridor jalan Negara

Kawsan lindung 45% melalui beberapa tahapan realisasi

Mempertahankan sawah irigasi teknis yang ada

Peningkatan infrastruktur penghubung dengan kabupaten lain

Pengembangan Buffer Zone di sekitar kawasan lindung

Penataan kawasan andalan Jatinangor sebagai salah satu kawasan tertentu di wilayah Sumedang

Page 85: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 16

1 2 3 4 5Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah Metropolitan Bandung

Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cinajur dan Kabupaten Garut

Wilayah Kabupaten Sumedang yang termasuk dalam kawasan BMA, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung dan Jatinangor. Kota-kota kecamatan ini direncanakan untuk menjadi counter magnet dari perkembangan Kota Bandung dalam fungsi-fungsi tertentu.

Kecamatan Jatinangor dikembangkan untuk menampung limpahan fungsi pendidikan tinggi

Kecamatan Tanjungsari untuk menampung kebutuhan perumahan

Kecamatan Cimanggung serta sebagian Kecamatan Jatinangor yang berdekatan direncanakan untuk menampung kegiatan industri dan perumahan.

Skenario penyediaan air baku dari Gua Waled yang ada di Kecamatan Jatinangor juga direncanakan dalam rencana ini.

Sejalan dengan ergabungnya 3 kecamatan dalam wilayah Metropolitan Bandung, maka kecenderungan perkembangan ke-3 kecamatan tersebut menjadi kawasan perkotaan lebih cepat dibandingkankecamatan lainnya di Sumedang

Orientasi pergerakan penduduk ke-3 kecamatan tersebut adalah menuju Kota dan Kabupaten Bandung

Perbedaan orientasi pergerakan ke-3 kecamatan dengan kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Sumedang perlu diakomodir serta diupayakan pemanfaatan peluang dari kondisi tersebut. Misalkan ditangkapnya peluang pengembangan akibat limpahan kegiatan dari kota Bandung.

Page 86: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 17

1 2 3 4 5Kawasan Andalan Perguruan Tinggi Jatinangor

Kecamatan Jatinangor 8 desa

Meningkatkan akses dari dan ke luar Jatinangor

Menghindari arus regional masuk bagian kawasan Perguruan Tinggi untuk mendukung kawasan yang lebih terintegrasi

Aktivitas yang ada diselaraskan dengan fungsi perguruan tinggi

Perguruan tinggi yang 4 yaitu STPDN, UNWIM, UNPAD dan IKOPIN

Perkembangan permukiman mahasiswa dan fasilitas penunjang pendidikan tinggi di sekitar kampus dan koridor jalan negara

Pembangunan ke arah utara dibatasi

Pemisahan jalur regional dan jalur lokal perguruan tinggi dengan dibangun jalan elak

Pengembangan kecamatan Jatinangor sebagai kawasan khusus

Page 87: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 18

Dalam RUTR Kabupaten Sumedang, ada beberapa kawasan yang akan

dikembangkan di Kabupaten Sumedang. Adapun kawasan yang dikembangkan

adalah sebagai berikut:

• Wilayah pengembangan Kota Jatinangor yang mana sebagai kawasan

tumbuh cepat

• Wilayah pengembangan kawasan pendidikan tinggi

• Wilayah pengembangan kawasan kegiatan pemerintahan Kabupaten

• Wilayah pengembangan pusat-pusat pertumbuhan

• Wilayah pembangunan kawasan bendungan Jatigede

• Wilayah pengembangan kegiatan pertanian

Arahan kawasan perkotaan Jatinangor dan Cimanggung sebagai

kawasan perkotaan secara eksplisit di cantumkan pada arahan pengembangan

kawasan sebagaimana tercantum dalam revisi RTRW Kabupaten Sumedang dapat

dilihat pada gambar dibawah ini :

Page 88: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 19

Gambar 4.1 Kawasan Perkotaan di Kabupaten Sumedang

Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012

Page 89: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 20

Gambar 4.2 Pusat Pertumbuhan wilayah di Kabupaten Sumedang

Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012

Page 90: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab IV - 21

Gambar 4.3. Kawasan Perkotaan yang direncanakan di Kabupaten Sumedang

Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012

Page 91: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 1

BABVANALISIS KELAYAKAN KAWASAN PERKOTAAN

5.1 Karakteriktik dan Potensi Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung

Wilayah atau kawasan perkotaan dipahami sebagai daerah yang berkembang

sedemikian rupa menjadi daerah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri serta pelayanan

sosial (Nurmandi, 2006). Kawasan Perkotaan Jatinagor-Cimanggung sebagaimana yang

cirri dan karakteristik di atas telah diarahkan sebagai kawasan perkotaan pada RTRW

Kabupaten Sumedang (2002-2012 ).

Kriteria Kawasan Perkotaan Berdasarkan PP No 34 Tahun 2009 Pasal 1 butir 3

menyebutkan bahwa : Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama

bukan pertanian, sengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, perkotaan,

pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan

ekonomi. Sementara kriteria kawasan perkotaan berdasarkan Permendagri No 1 Tahun

2008 pasal 2 meliputi:

a. Memiliki karakteristik kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75 %

mata pencaharian penduduknya terutama di bidang industri, perdagangan, dan jasa; dan

b. Memiliki karakteristik sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa

didukung prasarana dan sarana termasuk pergantian moda transportasi dengan

pelayanan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.

Mengacu pada kriteria di atas maka Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung

yang dapat dianggap layak dan memenuhi sebagaimana digambarkan pada Tabel 5.1 berikut

Page 92: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 2

Tabel 5.1 Karakteristik dan Persentase Kegiatan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Penduduk terutama di Bidang Bukan pertanian

No DesaJenis Mata Pencaharian

Total Petani (%)

Non pertanian (%)Pertanian Non Pertanian

Petani/buruh Tani PNS/TNI/POLRI Swasta Pedagang Buruh Pensiunan1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

KECAMATAN JATINANGOR

1 Cipacing 158 304 3036 595 1492 5585 2.83 97.17

2 Sayang 173 174 906 427 885 2565 6.74 93.26

3 Mekargalih 85 885 174 509 1415 3068 2.77 97.23

4 Cintamulya 130 61 833 232 1415 2671 4.87 95.13

5 Cisempur 304 53 553 171 2013 3094 9.83 90.17

6 Jatimukti 397 43 559 185 1027 2211 17.96 82.04

7 Jatiroke 373 81 775 213 743 2185 17.07 82.93

8 Hegarmanah 170 201 1916 331 553 3171 5.36 94.64

9 Cikeruh 117 317 1034 343 364 2175 5.38 94.62

10 Cibeusi 117 304 3036 331 553 4341 2.70 97.30

11 Cileles 325 76 313 160 756 1630 19.94 80.06

12 Cilayung 362 32 453 204 521 1572 23.03 76.97

Page 93: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 3

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

KECAMATAN CIMANGGUNG

1 Cimanggung 2381 11 64 36 162 2654 89.71 10.29

2 Mangunarga 277 45 75 206 709 1312 21.11 78.89

3 Sawahdadap 697 44 53 101 593 1488 46.84 53.16

4 Sukadana 201 60 22 38 1009 1330 15.11 84.895 Cihanjuang 594 75 3950 109 2817 7545 7.87 92.136 Sindangpakuon 133 51 125 76 1021 1406 9.46 90.547 Sindanggalih 1364 15 159 123 199 1860 73.33 26.678 Tegalmanggung 2133 6 293 75 51 2558 83.39 16.619 Sindulang 2462 7 43 35 25 2572 95.72 4.28

10 Cikahuripan 719 12 70 92 301 1194 60.22 39.7811 Pasirnanjung 1615 12 9 251 62 1949 82.86 17.14

Sumber : Database Kecamatan (Jatinangor dan Cimanggung) Tahun 2008

Page 94: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 4

Berdasarkan karakteristik mata pencaharian penduduk di atas, secara sederhana

desa-desa yang dikategorikan telah memiliki ciri perkotaan seluruhnya pada desa-desa di

Kecamatan Jatinangor. Sementara desa-desa di Kecamatan Cimanggung meliputi 4 desa

dan 1 desa potensial bercirikan perkotaan mengingat pada desa tersebut sebagian besar

mata pencaharian petani adalah sebagai buruh atau petani penggarap. Kepemilikan lahan

pertanian justru dimiliki penduduk pendatang yang tidak memiliki keahlian bertani,

sehingga kemungkinan alih fungsi lahan menjadi semakin besar. Pada desa-desa tersebut

merupakan bagian dari zona industri Jatinangor-Cimanggung karena berlokasinya beberapa

jenis industri

Desa-desa pada kecamatan tersebut merupakan kawasan yang diarahkan menjadi

kawasan perkotaan, sehingga diperlukan suatu pengembangan yang sinergi dan terarah

untuk menciptakan suatu kawasan yang memiliki interst untuk berkembang.

Pengembangan kawasan perkotaan ini diarahkan dengan mengacu dari peraturan dan

rencana yang sudah ada.

Dengan demikian, dapat direncanakan tata ruang dan pengembangan kawasan

perkotaan sesuai dengan yang diharapkan. Kawasan perkotaan terbentuk berdasarkan

fungsi-fungsi desa-desa yang membentuk kawasan perkotaan yang akan dikembangkan,

sehingga terdapat keterkaitan antar kawasan perkotaan yang mendukung kegiatan yang

terdapat di dalamnya. Keterkaitan antar desa tersebut terjalin dengan adanya interaksi dan

saling membutuhkan satu desa dengan desa lainnya lainnya.

5.2 Pengukuran Indikator Kawasan Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang

dan Lingkungan

Indikator perkotaan sebagaimana telah diuraikan pada Bab II dan Bab III

dilakukan berdasarkan tipologi kawasan perkotaan. Kawasan Perkotaan Jatinagor

Cimanggung berdasarkan tipologi perkotaan dikategorikan pada Kawasan Perkotaan

Sedang.

Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 pasal 41 ayat (2) dan penjelasannya kawasan

perkotaan diklasifikasikan sebagai berikut:

Page 95: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 5

Kawasan perkotaan kecil adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang

dilayani paling sedikit 50.000 (lima puluh ribu) jiwa dan paling banyak 100.000

(seratus ribu) jiwa.

Kawasan perkotaan sedang adalah kawasan perkotaan dengan jumlah

penduduk yang dilayani lebih dari 100.000 (seratus ribu) jiwa dan kurang dari

500.000 (lima ratus ribu) jiwa.

Kawasan perkotaaan besar adalah perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani

paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.

Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan

perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan

di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan

sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara

keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.

Kawasan metropolitan yang saling memiliki hubungan fungsional dapat membentuk

kawasan megapolitan. Dengan demikian, kawasan megapolitan mengandung

pengertian kawasan yang terbentuk dari dua atau lebih kawasan metropolitan yang

memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem

Berdasarkan kriteria tipologi kawasan perkotaan di atas maka kawasan perkotaan

Jatinangor dikategorikan pada tipologi kawasan perkotaan sedang sebagaimana dapat

dilihat pada tabel berikut :

Page 96: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 6

Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Kawasan Perkotaan Jatinangor

No Nama Desa Jumlah Penduduk(Jiwa)

KECAMATAN JATINANGOR

1 Cipacing 13919

2 Sayang 8312

3 Mekargalih 6344

4 Cintamulya 9394

5 Cisempur 5728

6 Jatimukti 4630

7 Jatiroke 5900

8 Hegarmanah 8354

9 Cikeruh 11123

10 Cibeusi 10505

11 Cileleus 5054

12 Cilayung 4800

KECAMATAN CIMANGGUNG

1 Mangunarga 5685

2 Sawahdadap 5494

3 Sukadana 5143

4 Cihanjuang 9872

5 Sindangpakuon 7817

Total 128074

Sumber : Database Kecamatan Jatinangor dan Cimaggung Tahun 2008

Berdasarkan gambaran di atas maka indikator penilaian kelayakan kawasan

perkotaan Jatinangor menggunakan indikator perkotaan kota sedang sebagaimana dapat

dilihat pada Tabel dibawah ini :

Page 97: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 7

Tabel 5.3 Pengukuran Kondisi Eksisting Kawasan Perkotaan Jatinangor berdasarkan Indikator Perkotaan Sedang

No Aspek Indikator Bobot @Baik Sedang Buruk Nilai

Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai1 Penduduk Tingkat Pertumbuhan penduduk

103 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1 1

Tingkat Migrasi 2 > 1.5 % 3 1 - 1.5 % 2 < 1 % 1Tingkat Kepadatan penduduk (jiwa/ha) 5 < 50 jiwa/ha 3 50-75 jiwa/ha 2 > 75 jiwa/ha 1 1.7

2 Produktivitas Perkotaan

Tingkat Kemiskinan (%)

10

2 < 20 % 3 20 - 30 % 2 > 30 % 1 2Tingkat Pengangguran (%) 1 < 5 % 3 5 - 10 % 2 > 10 % 1 0.3Tingkat Pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional 2 Tinggi 3 Sedang 2 Rendah 1

2

Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa 2 > 4 % 3 2 - 4 % 2 < 2 % 1

2

Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB 2 > 40 % 3 20 - 40 % 2 < 20 % 1

1.3

Tingkat ketergantungan penduduk 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1 0.73 Kesehatan dan

PendidikanTingkat kematian ibu

10

1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1Tingkat kematian bayi 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1Angka Prevalensi Penyakit Diare 1 Rendah 3 Sedang 2 Tinggi 1 0.7Rata-rata usia harapan hidup warga (thn) 0.5 > 55 Tahun 3 45 - 55 thn 2 < 45 Tahun 1 0.5Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1

0.3

ketersediaan fasilitas rumah sakit (unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1

0.3

Ketersediaan apotik (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1 0.7Angka melek huruf 0.5 > 90 % 3 80 - 90 % 2 < 80 % 1 0.5Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD) (unit/jiwa 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1

1

Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP) (unit/jiwa) 1 memadai 3 cukup 2 kurang 1

1

ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU) (unit/jiwa)

1 memadai 3 cukup 2 kurang 1 1

Page 98: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 8

No Aspek IndikatorBobot @ Baik Sedang Buruk Nilai

Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai4 Permukiman

dan LingkunganRasio penduduk kumuh per penduduk total 1.43 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1Persentase Permukiman Kumuh (unit) 1.43 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1Luasan Permukiman Kumuh 1.43 < 1 % 3 1 - 2 % 2 > 2 % 1Rasio ruang terbuka hijau 10 1.43 > 40 % 3 40 - 30 % 2 < 30 % 1 0.5Pengaduan polusi/pencemaran 1.43 Tidak 3 Ada 2 Ada 1 0.95Jumlah kejadian kebakaran 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1 1.43Tindak kejahatan per 1000 penduduk 1.43 Rendah 3 sedang 2 Tinggi 1 1.43

5 Pelayanan Kota5.1 Air Kapasitas produksi (l/det)

10

1 > 150 3 130 - 150 2 < 130 1Jenis sumber air 1 air tanah 3 air permukaan 2 air hujan 1 1Rasio sambungan rumah 1 > 50 % 3 30 -50 % 2 < 30 % 1 0.3Rasio kebutuhan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1Tingkat kebocoran rata-rata per tahun 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1Tingkat pelayanan 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1Konsumsi air per pelanggan (domestic) 1 > 80 % 3 75 - 80 % 2 < 75 % 1Konsumsi air bersih konsumsi lain (non domestik) 1 < 20 % 3 20 - 25 % 2 > 25 % 1Tinggkat penggunaan air 1 > 80 % 3 40 - 80 % 2 < 40 % 1Sistem distribusi

1Gabungan de-ngan reservoir 3 Perpompaan 2 Gravitasi 1

5.2 Sanitasi Kondisi pengolahan setempat(on site system)

101. Jumlah rumah yang menggunakan septic tank (%) 5 > 60 % 3 40 - 60 % 2 <40 % 1 52. Jumlah penduduk terlayani fasilitas komunal (MCK umum) (%) 5 < 30 % 3 30 - 50 % 2 > 50 % 1

5.3 Sampah Cakupan pengangkutan sampah (m3/hr) 1 > 75 % 3 50 - 75% 2 < 50 % 1 0.3Cakupan penduduk terlayani 1 > 60 % 3 40 - 60 % 2 < 40 % 1 0.3Cakupan layanan (ha) 10 1 > 50 % 3 25 - 50 % 2 < 25 % 1 0.3Sarana pengangkutan sampah

- Pick up sampah (unit) 1 > 20 3 15- 20 2 < 151 0.3

Page 99: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 9

No Aspek IndikatorBobot @ Baik Sedang Buruk Nilai

Parameter Nilai Parameter Nilai Parameter Nilai- Truk sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1 0.3- Arm-roll sampah (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 < 5 1 0.3- Compactor truck (unit) 1 > 10 3 5 - 10 2 <5 1 0.3- Status tanah TPA 1 Milik Pemkot 3 2 sewa 1 0.3- Jarak ke pembuangan terdekat 1 > 1 km 3 0.5 - 1 km 2 < 0.5 km 1 0.3

Metoda pembuangan 1Metode sanitary 3

Metode controlled 2 Metode open 1

0.3

land fill land fill dumping5.4 Drainase Topografi kota

10

1 Dataran 3 Campuran 2 Perbukitan 1 0.3Rasio panjang saluran primer 1 > 30 % 3 20 -30 % 2 < 20 % 1Tinggi genangan 1 < 0.25 m 3 0.25 - 0.5 m 2 > 0.5 m 1 0.7Lama genangan 1 < 1 jam 3 1-2 jam 2 < 2 jam 1 0.3Frekuensi genangan 1 Tidak ada 3 1-2/tahun 2 > 2x/tahun 1 0.3Kerugian material genangan 1 Tidak ada 3 2 ada 1 0.3Luas genangan dari area urban 2 < 5 % 3 5-15 % 2 > 20 % 1 1.3Cakupan pelayanan 2 > 80 % 3 >60-80% 2 < 40 % 1 1.3

6 Listrik dan Telpon

Cakupan pelanggan listrik5

2.5 > 75 % 3 50 - 75 % 2 < 50 % 1 2.5Cakupan pelanggan telpon 2.5 > 40 % 3 20 -40 % 2 < 20 % 1 1.7

7 Transportasi Perkotaan Rasio panjang jalan per 100 penduduk

10

1.43> 0.4/1000

km/jiwa 30.2 - 0.4/1000

km/jiwa 2< 0.2/1000

km/jiwa 11.43

V/C Ratio rata-rata 1.43Panjang jalan sesuai kewenangan 1.43 > 20 % 3 10 -20 % 2 < 10 % 1 1.0Kerusakan jalan 1.43 < 10 % 3 10 - 25 % 2 > 25 % 1 0.5Kecepatan tempuh rata-rata 1.43 > 60 km/jam 3 30 - 60 km/jam 2 < 30 km/jam 1 1.0Panjang jalan mantap 1.43 > 85 % 3 75 - 85 % 2 < 75 % 1 1.0Integrasi antar kota 1.43 3 2 1

8Pemerintahan Kota

kemandirian kota (keuangan daerah/pendapatan daerah) 1.67 > 75 % 3 25 - 75 % 2 < 25 % 1ketersediaan dokumen perencanaan pembangunan 1.67 Ada 3

Ada/Tidak lengkap 2 Tidak 1

Page 100: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 10

Berdasarkan hasil pengukuran maka dapat diringkas hasil penilaian sebagai berikut :

Tabel 5.4. Hasil Penilaian terhadap kondisi eksisting Kawasan Perkotaan Jatinangor

Sumber : Hasil Analisis; Na = Not applicable (data tidak tersedia)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penilaian didasarkan terhadap 11 aspek yang

meliputi aspek penduduk, produktivitas perkotaan, kesehatan dan pendidikan, pemukiman

dan lingkungan, pelayanan kota/prasaranan (air bersih, sanitasi, sampah, drainase, listrik

dan telpon, transportasi kota dan pemerintah kota). Hasil penilaian dan pengukuran pada

aspek-aspek tersebut diperoleh hasil sebesar 49.22. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa

kawasan Jatinangor-Cimanggung layak bersyarat sebagai kawasan perkotaan terutama

dalam memenuhi aspek-aspek yang masih belum memenuhi kriteria dan standar yang

diharapkan

No Aspek NilaiTotal

Hasil Penilaian

Ketersediaan data (%)

% terhadap Nilai Total Kategori

I Sosial dan Ekonomi

1 Penduduk 10 2.7 66.7 27 Na

2 Produktivitas Perkotaan 10 8.3 100 83 Baik

3 Kesehatan dan Pendidikan 10 6 81.8 60 Sedang

II Spasial dan Lingkungan

4 Pemukiman dan Lingkungan 10 4.29 57.14 42.9 Sedang

III Pelayanan Kota/prasarana

5 Air 10 1.33 20 13.3 Buruk

6 Sanitasi 10 5 100 50 Sedang

7 Sampah 10 3.3 100 33 Buruk

8 Drainase 10 4.3 75 43 Sedang

9 Listrik dan Telpon 5 4.2 100 84 Baik

10 Transportasi Kota 10 4.8 71.4 48 Sedang

IV

11 Pemerintah Kota 5 0 0 0 Na

Total 100 49.22 49.22Sedang(Layak

Bersyarat)

Page 101: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 11

A. Aspek Sosial Ekonomi

Pada bidang sosial dan ekonomi ada 3 aspek utama yang diukur meliputi aspek

penduduk, produktivitas perkotaan serta aspek kesehatan dan pendidikan. Pengukuran

tidak dapat dilakukan secara optimal mengingat ketersediaan data yang relatif rendah

(cenderung tidak tersedia) pada beberapa indikator dari masing-masing aspek tersebut.

Pada aspek penduduk tidak diperoleh data tingkat pertumbuhan migrasi.

Pertumbuhan migrasi yang cepat akan menimbulkan tekanan pada infrastruktur dan

suumberdaya. Pertumbuhan migrasi di kawasan Jatinagor-Cimanggung terutama kawasan

pendidikan tinggi dan industri relatif besar. Jumlah civitas akademika yang tinggal di

Jatinangor turut diperhitungkan sebagai penduduk kecamatan ini walaupun mereka hanya

merupakan penduduk sementara (terutama para mahasiswa apabila telah selesai masa

kuliahnya akan kembali ke tempat asalnya). Demikian pula pendatang yang bekerja di zona

industri Jatinangor-Cimanggung semakin meningkatkan jumlah penduduk yang bermukim

di kawasan perkotaan Jatinangor.

Indikator pertumbuhan kepadatan penduduk menjadi satu sub bagian aspek

penduduk yang cukup penting untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran tingkat kepadatan

adalah perbandingan jumlah penduduk dengan luas area permukiman.

Perkotaan sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi akan selalu menjadi faktor

penarik para pendatang untuk melakukan segala bentuk aktivitas ekonomi. Petumbuhan

kepadatan yang tinggi berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, tingginya tekanan

terhadap lahan dan rendahnya kesehatan.

Kawasan perkotaan Jatinangor memiliki kepadatan relatif tinggi dibanding dengan

kawasan lain di Kabupaten Sumedang. Kepadatan penduduk bersih menunjukkan

kemacetan dan tekanan segala pelayanan yang terkait dengan kelangsungan hidup

penduduk. Nilai yang terlalu tinggi-padat berimbas pada masalah kesehatan dan tekanan

terhadap transportasi dan jasa. Namun jika terlalu rendah, penyediaan jasa akan menjadi

mahal.

Permukiman lama yang berlokasi dekat pusat kegiatan ekonomi dan jaringan jalan

utama tumbuh dan berkembang sangat cepat dengan makin bertambahnya rumah-rumah

baru, terutama di desa Cibeusi, Cikeruh, Sayang, dan Hegarmanah pada koridor jalan utama.

Page 102: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 12

Pertumbuhan rumah baru ini menyebabkan kondisi permukiman menjadi padat dan

memiliki prasarana maupun sarana lingkungan yang sangat kurang.

Rumah sewa dan kos-kos tumbuh di lokasi-lokasi dekat kegiatan utama perguruan

tinggi dan kegiatan industri tersebar ada di jaringan jalan utama dengan radius dari jalan

utama 300 meter. Rumah kos-kos ini tumbuh sangat padat padat tidak teratur dan prasarana

maupun sarana lingkungan juga sangat kurang. Untuk kos-kosan mahasiwa menyebar di

Desa-desa Cibeusi, Sayang, Cikeruh, dan Hegarmanah serta sebagian kecil di Desa Cileles.

Jumlah sampai tahun 2003 lebih dari 700 rumah kos-kosan dengan lebih dari 8.000 kamar.

Setiap tahun tidak kurang dari 3 rumah untuk kos-kosan dibangun.

Rumah sewa atau kos-kosan untuk para pekerja menyebar di Desa Mekargalih,

Cintamulya, Cipacing dan Cisempur di kecamatan Jatinangor serta pada beberapa desa di

zona industri Kecamatan Cimanggung seperti Sukadana, Cihanjuang, Sawahdadap,

Mangunarga dan Sindangpakuwon dengan pola pertumbuhan yang hampir sama dengan

kos-kosan untuk mahasiswa.

Sumbangan nilai terbesar pada bidang sosial ekonomi dari aspek produktivitas

perkotaan sebesar 8.3 atau sekitar 83 % dari nilai maksimal. Kondisi ini didukung oleh

tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif rendah, tingkat pertumbuhan PDRB

terhadap PDRB Kabupaten, pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa, serta kontribusi

perdagangan dan jasa terhadap PDRB relatif tinggi (perhitungan terlampir).

Pertumbuhan PDRB merupakan indikator yang mencerminkan produktivitas

perkotaan. Tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi

menunjukkan kegagalan pembangunan ekonomi di perkotaan.

Perkotaan ditopang sektor ekonomi perdagangan sektor perdagangan dan jasa,

karena sektor ini dianggap memberikan nilai tambah (pendapatan) yang lebih tinggi

daripada sektor pertanian. Perkembangan perkotaan akan dibarengi dengan semakin

tingginya jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian.

B. Aspek Tata Spasial

Pada aspek spasial (ruang), difokuskan pada pembahasan tentang permasalah

pemukiman kumuh di perkotaan. Semakin banyaknya penduduk yang tinggal di daerah

perkotaan, terutama disebabkan oleh tingginya arus migrasi dan urbanisasi penduduk. Dengan

Page 103: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 13

adanya tingkat perpindahan penduduk yang cepat maka akan mempercepat laju pertumbuhan

penduduk perkotaan.

Besarnya arus urbanisasi ini dapat disebabkan oleh adanya faktor lain , yaitu daya

tarik perkotaan sebagai penyedia lapangan kerja, fasilitas dan utilitas publik (pull factor)

dan adanya tekanan kawasan perdesaan yang mempunyai keterbatasan lapangan kerja,

faslilitas dan utilitas publik (push factor) mengingat kawasan perkotaan selain sebagai

kawasan pendidikan tinggi juga merupakan zona industri.

Pada pengukuran aspek aspek spasial, indikator yang diukur meliputi : rasio

penduduk kumuh, persentase pemukiman kumuh serta luasan permukiman kumuh namun

data tidak tersedia secara lengkap.

Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi

di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan kumuh umumnya

dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh

dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan

minuman keras.

Di berbagai kawasan kumuh, penduduk tinggal di kawasan yang sangat berdekatan

sehingga sangat sulit untuk dilewati kendaraan seperti ambulans dan pemadam kebakaran.

Kurangnya pelayanan pembuangan sampah juga mengakibatkan sampah yang bertumpuk-

tumpuk. Peningkatan kawasan kumuh juga berkembang seiring dengan meningkatnya

populasi penduduk.

Beberapa indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah sebuah kawasan

tergolong kumuh atau tidak adalah diantaranya dengan melihat : tingkat kepadatan

kawasan, kepemilikan lahan dan bangunan serta kualitas sarana dan prasarana yang ada

dalam kawasan tersebut.

C. Aspek Lingkungan

Pembangunan perkotaan harus mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan

untuk mewujudkan perkotaan yang berkelanjutan. Pada aspek lingkungan, indikator yang

diukur meliputi : rasio ruang tebuka hijau, pengaduan polusi atau pencemaran, jumlah

kejadian kebakaran dan tindak kejahatan per 1000 penduduk.

Penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau ditujukan untuk fungsi-fungsi wilayah

tangkapan air atau memiliki nilai penyerapan air (run in) sebesar mungkin dengan nilai

Page 104: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 14

koefisien lebih dari 0.5. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang diijinkan merupakan

kegiatan-kegiatan alam dengan pertimbangan nilai koefisien penyerapan air ke dalam tanah

sebesar mungkin.

Kepastian tentang kebutuhan yang disyaratkan untuk membangun Ruang Terbuka

Hijau belum ditetapkan secara definitif, Undang-undang tentang Tata Ruang menyebutkan

minimal 30% sementara peraturan menteri dalam negeri menyebutkan minimal 20%.

Namun untuk lebih jelasnya maka acuan dibawah ini dapat dipertimbangkan, yakni :

Berdasarkan proses netralisasi CO2, RTH membutuhkan kurang lebih 36% dari luas

area kota.

Berdasarkan kebutuhan air, RTH yang dibutuhkan setara dengan 24% ruang kota.

Berdasarkan jumlah penduduk berkisar antara 1.200 orang/Ha sampai 50 orang/Ha.

Berdasarkan luas kota, berkisar antara 10% - 30% tergantung dari lokasi.

Secara geografis wilayah untuk pemanfaatan ruang terbuka hijau berada pada

ketinggian di atas 750 meter di atas permukaan laut(dpl) saat ini digunakan untuk kegiatan

Pertanian Palawija, Bumi Perkemahan, Padang Olah Raga Golf, perkampungan Cilayung,

Cileles, Jatiroke, Cisempur, dan Jatimukti dan Bantaran Sungai yang sebagian berupa

bangunan rumah dan pekarangan.

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau yang berfungsi untuk konservasi air diarahkan

dengan kebijakan :

1. Areal Wisata Kiara Payung tetap berfungsi sebagai wisata perkemahan dengan

mengembangkan areal menjadi lebih alami untuk menjalankan fungsi resapan air.

Areal Wisata Kiara Payung yang masuk dalam wilayah administratif Jatinangor

seluas 25 Ha.

2. Areal Rekerasi Golf tetap dipertahankan dengan melarang untuk menambah

bangunan-bangunan penunjang perhotelan, rekreasi golf dan apapun sehingga fungsi

resapan akan dapat dipertahankan atau sangat dianjurkan untuk menata kawasannya

dengan tanaman dan pepohonan yang meningkatkan fungsi resapan air. Areal rekreasi

golf Bandung Giri Gahana seluas 125 Ha.

3. Gunung Geulis dibatasi dengan ketinggian lebih dari 750 meter dpl dialih fungsikan

dari tanaman pertanian palawija menjadi tanaman tahunan yang lebih banyak

berfungsi sebagai areal resapan air seperti hutan bambu atau lainnya. Disamping itu

Page 105: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 15

Gunung Geulis dengan fungsinya yang sekarang tetap diarahkan sebagai areal wisata

Gunung Geulis. Diperkirakan areal Gunung Geulis yang berfungsi sebagai resapan air

dan wisata seluas 315 Ha.

4. Areal sempadan sungai dari sungai-sungai yang ada di Jatinangor diarahkan sebagai

areal konservasi aliran sungai dengan lebar koridor ½ Lebar Sungai dari ukuran

terlebar ditambah 1 meter. Daftar lebar sungai dilihat pada data sungai di lembaga

berwenang. Pemanfaatan ruang koridor kiri – kanan sungai tetap untuk ruang terbuka

hijau dengan jalan inpeksi yang bahan material jalan yang tidak mengganggu fungsi

resapan air. Koridor kiri – kanan sungai seluas 88 Ha. Secara bertahap pemanfaatan

ruang di koridor sungai yang tidak sesuai harus dialihkan.

5. Taman Kota atau Hutan Kota adalah ruang publik yang berfungsi sebagai paru-paru

kota dan areal resapan air, direncanakan ada di tiap-tiap satuan lingkungan

permukiman. Luas tiap lingkungan permukiman disesuaikan, saat ini areal taman kota

masih digunakan sebagai areal pertanian atau permukiman lama. Secara bertahap

diarahkan untuk mengubah fungsi asal menjadi fungsi taman kota sebagai ruang

publik. Ruang publik taman kota diperkirakan luasnya 53 Ha, terbagi menjadi 14

Taman Kota. Pada pemanfaatan taman kota termasuk di dalamnya pemakaman.

Pada indikator pengaduan polusi/pencemaran menunjukkan tingkat kenyamanan

perkotaan terkait dengan kualitas lingkungan perkotaan. Pada kawasan perkotaan

Jatinangor, pemerintah Kabupaten Sumedang telah menyiapkan zona industri di

Cimanggung dan beberapa desa di Jatinangor seperti mekargalih, Cintamulya dan Cisempur.

Hal ini tentu akan berdampak pada peluang untuk terjadi polusi atau pencemaran yang

berasal dari pabrik. Apabila pabrik tidak melakukan pengolah limbah sebagaimana

dipersyarakatkan tentu akan berdampak pada lingkungan sekitarnya yang dekat dengan

lingkungan pemukiman. Hal ini tentu akan menimbulkan komplain masyarakat.

Tindak kejahatan dan kejadian kebakaran di kawasan perkotaan menunjukkan

tingkat keamanan perkotaan. Pada kawasan perkotaan Jatinangor relatif rendah.

D. Pelayanan Perkotaan atau Prasarana Perkotaan

Baik buruknya wajah suatu kawasan perkotaan bisa dilihat dari ketersediaan dan

pengelolaan sarana dan prasarana (infrastruktur ) yang ada di kota tersebut, semakin

Page 106: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 16

lengkap, tertata, terawat dan terpelihara menunjukan bahwa pengelolaan infrastruktur

dilakukan, secara baik, namun sebaliknya jika infrastruktur yang ada tidak tertata dan

terpelihara secara baik menunjukan bahwa pengelolaannya tidak dilakukan secara baik.

Pengukuran pada bidang ini difokuskan pada aspek prasarana perkotaan.

Dengan demikian dimungkinkan pemanfaatan keluaran dari penilaian ini untuk

bahan identifikasi fasilitasi dan tindakan dalam penyelenggaraan infrastruktur/prasarana

perkotaan.

Penilaian terhadap aspek pelayanan kota meliputi 6 aspek yaitu aspek air, sanitasi,

sampah, drainase dan transportasi serta listrik dan telpon. Hasil penilaian kelayakan pada

aspek ini cenderung masih belum baik.

1. Sampah

Kondisi yang masih memprihatinkan terutama pada pengelolaan atau pelayanan

sampah. Cakupan penduduk yang terlayani sistem persampahan masih sangat rendah.

Pelayanan publik pada sektor ini sangat terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana

pengelolaan sampah di Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung. Sarana dan

prasarana yang dimaksud adalah ketersediaan TPSS (tempat pembuangan sampah

sementara) dan TPAS (tempat pembuangan akhir sampah) ataupun berbagai kegiatan

pemberdayaan masyarakat terkait dengan permasalahan sampah.

Pengelolaan sampah dan kebersihan pada umumnya dilakukan sendiri-sendiri baik di

lingkungan PT, industri maupun rumah tangga.

Desa-desa di Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung (terutama yang masuk pada

kawasan perkotaan Jatinangor) menempatkan lokasi tempat pembuangan sampah sementara

(TPSS) belum sesuai dengan tata ruang yang ada. Hal ini diindikasikan dengan munculnya

tempat pembuangan sampah liar (illegal) yang biasanya berada di lahan-lahan kosong, lahan

tidur (tidak dimanfaatkan), bantaran sungai dll. Tempat pembuangan Akhir yang dimiliki oleh

Pemkab berada 60 Km dari Jatinangor sehingga pembuangan akhir oleh jasa pengangkut dibuang ke

TPAS milik Pemkab Bandung

Salah satu penyebab utama dari kondisi di atas adalah ketidakmampuan pemerintah

desa dan pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan karena ketidakmampuan dalam

menyediakan TPS (tempat pembuangan sementara), kontainer dan keterbatasan armanda

Page 107: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 17

pengangkut sampah dll, karena keterbatasan alokasi anggaran dalam APBD untuk

pengelolaan sampah.dengan segala keterbatasan tersebut tentu saja cakupan pelayanan

persampahan menjadi tidak maksimal.

2. Drainase

Permasalahan utama bidang drainase adalah masih tingginya genangan baik luasan

maupun frekuensinya di kawasan perkotaan Jatinangor serta minimnya sarana drainase.

Pada jalur utama kawasan perkotaan Crossing utilitas atau tumpang tindih

pemanfaatan saluran menjadi permasalahan tersendiri bagi sektor drainase antara lain

dengan utilitas lain seperti pipa air minum, pipa air limbah kabel telekomunikasi dll.

Hingga saat ini pada kawasan perkotaan Jatinangor belum mempunyai sistem

drainase yang memadai. Permukaan tanah yang rata pada beberapa bagian tertentu tidak

menjadi masalah tetapi pada bagian lain terjadi genangan.

Pemeliharaan dan pengawasan terhadap saluran yang ada serta pengawasan

pembangunan yang tidak ketat saluran drainase tidak terbentuk, rusak malah beberapa

disumbat atau dihilangkan. Sungai yang ada sebagai satu-satunya sistem drainase alami

juga tidak terpelihara sehingga sedimentasi dan pendangkalan, penyempitan saluran sampai

penghilangan sungai-sungai kecil terjadi terus-menerus. Kondisi ini terjadi pada sebagian

besar desa di Kecamatan Cimanggung yang akan menjadi bagian kawasan perkotaan

Jatinangor

Fungsi drainase yang dimaksud sebagai fasilitas pengatus jalan juga kadang berfungsi

ganda sebagai saluran irigasi yang pada akhirnya menimbulkan masalah tersendiri

perbedaan sistem, dimensi dan konstruksi.

3. Air Bersih

Permasalahan lain pada aspek pelayanan kota adalah penyediaan air bersih.

Masalah kualitas, kuantitas dan ketersedian air bersih di kawasan perkotaan Jatinangor

menjadi masalah yang menuntut perhatian yang ekstra karena terkait dengan pertumbuhan

penduduk dan proses urbanisasi dimana sampai dengan saat ini masih terdapat kesenjangan

antara kebutuhan dan tingkat pelayanan yang masih cukup besar.

Page 108: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 18

Sumber air baku yang semakin terbatas akibat konversi lahan yang terus meningkat

sehingga semakin mengganggu ketersediaan air baku. Sedangkan sumber air baku terutama

air permukaan mengalarni pencemaran yang semakin meningkat akibat domestik, industri

dan pertanian. Sehingga ketersediaan air baku semakin tidak bisa dijamin, baik kuantitas

dan kualitas.

Air minum perpipaan yang dikelola PDAM sebagai sistem pelayanan air minum

yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di

Kawasan Perkotaan Jatinangor.

Pengawasan/akuntabititas terhadap pengelolaan penyedia air minum masih lemah,

belum ada sanksi untuk penyelenggara air minum yang tidak memberikan pelayanan sesuai

dengan syarat yang diharapkan. Badan pengawas masih lemah/kurang berfungsi. Bagi

penduduk yang bermukim di sekitar lokasi pabrik, memiliki ketergantungan air bersih yang

tinggi, karena sumber air bersih masih di pasok oleh pabrik.

Keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum, masih rendah karena pemerintah daerah

belum siap dalam bermitra dengan swasta, belum terdapat aturan yang cukup mantap dan

komprehensif bagi kemitraan pemerintah swasta dalam penyediaan air minum.

4. Sanitasi atau pengelolaan limbah

Pengelolaan air limbah setempat berpengaruh pada kualitas lingkungan yang ada.

Permasalahan pada aspek sanitasi disebabkan pengolahan masih didominasi on site sistem

pengolahan setempat). Fasilitas pembuangan air limbah yang berada di daerah persil

pelayanan nya (batas tanah yang dimiliki). Idealnya system penangan untuk kota sedang dan

kecil diterapkan melalui 2 cara yaitu “on-site” tanpa IPLT (Instalasi pengolahan limbah

terpadu) dan “On-Site” dengan IPLT. Kedua sistem ini menggunakan truk tinja untuk

penyedotan lumpur septik dari tangki septik.

Sistem On-Site tanpa IPLT diterapkan apabila :

a) Penduduk kota < 100.000 jiwa dan bukan merupakan ibukota kabupaten

b) Jumlah tangki septic < 5000 unit dimana lumpur septic dibuang ke IPLT

terdekat.

Sistem On-Site dengan IPLT diterapkan apabila :

c) Penduduk kota > 100.000

Page 109: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 19

d) Jumlah tangki septic > 5000 unit dengan volume pengurasan lumpur 2-3

m3/hari.

e) Ibukota kabupaten/Kota

Pada kawasan perkotaan Jatinangor pembuangan air bekas cucian ke jaringan

drainase yang semestinya diperuntukan untuk pembuangan dan peresapan air hujan, karena

kapasitas jaringan drainasie tidak lagi sesuai dengan dimensi yang ada maka dampak yang

pada akhirnya muncul adalah luapan air dari dari jaringan drainase, genangan di badan jalan

dan berjangkitnya berbagai macam penyakit seperti diare, demam berdarah dll.

Pencemaran terkait dengan limbah domestik berpotensi tercemarnya air dengan

bakteri e-coly karena pesatnya perkembangan permukiman yang kadang sulit untuk

dikendalikan, Salah satu permasalahan air limbah di kawasan perkotaan Jatinangor adalah

pembangunan septiktank keluarga pada beberapa lokasi yang tidak lagi memenuhi syarat

teknis yang disyaratkan dalam rangka pengelolaan kesehatan lingkungan yang semestinya

berjarak minimal 10 m dari sumur tidak lagi bisa dipenuhi karena keterbatasan lahan

perkotaan.

Pencemaran limbah industri mempunyai dampak yang lebih buruk terhadap

lingkungan sekitar sehingga harus diolah secara sepesifik. Limbah cair industri dikelola oleh

masing-masing masing industri sesuai persyaratan yang ditetapkan peraturan lingkungan.

Beberapa kasus terjadi pihak industri membuang limbah cair yang tidak diolah atau hasil

olahannya tidak memenuhi syarat, pada tengah malam atau pada saat hujan besar dan pada

saat musim hujan dimana arus air sungai cukup besar. Atau pada saat hujan turun, limbasan

air hujan yang berasal dari tampungan limbah industri menggenangi atau membanjiri

pemukiman warga.

5. Transportasi

Pada aspek transportasi, pelayanan belum optimal. Dukungan pelayanan

transportasi yang relatif rendah diperparah banyaknya kondisi jalan lingkungan yang dalam

kondisi rusak. Kecepatan tempuh rata-rata relatif rendah juga disebabkan oleh kemacetan

yang sering terjadi pada kawasan-kawasan tertentu.

Jatinangor berada pada gerbang timur Kota Bandung yang menjadi titik

persimpangan pergerakan regional. Pengembangan sistem transportasi bukan hanya untuk

Page 110: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 20

kepentingan Jatinangor tetapi mencakup pengembangan sistem pergerakan Bandung Timur

bahkan regional antar kota.

Konflik pada sistem transportasi menjadi pengganggu utama pada kinerja seluruh

aktivitas terutama perguruan tinggi dan lokasi disekitar pabrik. Prasarana transportasi

menyimpang dari penggunaan dan fungsi hirarki jalan. Disamping itu, kualitas dan kuantitas

jalan yang tidak memenuhi standar sesuai dengan fungsinya.

Kemampuan Pemerintah Daerah dalam membangun prasarana baru sangat kecil,

sehingga hanya bisa melakukan pemeliharaan dan peningkatan saja.

D. Aspek Kelembagaan

Pelayanan pemerintahan adalah pelayanan untuk kebutuhan catatan sipil dan

kependudukan bagi masyarakat selama ini dilakukan dan dibutuhkan masyarakat, berupa

pelayanan kebutuhan catatan sipil seperti Kartu Tanda Penduduk(KTP), Akte Kelahiran,

Sertifikat Kepemilikan Tanah, Ijin mendirikan Bangunan(IMB), Rekomendasi Kegiatan

Usaha, dan lain-lain. Pelayanan ini dilayani oleh Pemerintah sesuai dengan jenjang dan

pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintah. Dalam rangkaian pelayanan yang

diberikan pemerintah tersebut terkait organisasi masyarakat yang dianggap pemerintah

seperti desa, dusun, RW, dan RT.

Di kawawan perkotaan Jatinangor sendiri kelembagaan yang melayani kebutuhan

masyarakat terdiri dari Kecamatan, Polisi Sektor, Komando Rayon Militer, dan Cabang

Dinas meskipun belum semua cabang dinas ada. Dalam pelayanan catatan sipil ini

dibutuhkan sarana pelayanan berupa kantor atau tempat pelayanan.

Pelayanan Pemerintahan yang disebutkan di atas tehadap kebutuhan catatan sipil

dan kependudukan terutama dilayani oleh pemerintah kecamatan, pemerintahan desa.,

Organisasi Rukun Warga, dan Organisasi Rukun Tetangga(RT), saat ini memiliki prasarana

kantor pelayanan masing-masing kecuali RT yang dilayani di rumah Ketua RT dan

pelayanan di luar jam kerja. Sedangkan pelayanan RW bervariasi ada yang memiliki kantor

pelayanan RW dan banyak yang tidak memiliki, pelayanan ini sama dengan pelayanan RT.

Pemerintahan Desa memberikan pelayanan seperti selayaknya organisasi pemerintah dan

semua Pemerintahan Desa memiliki kantor pelayanan Pemerintahan Desa, meskipun

beberapa desa tidak membuka pelayanannya setiap saat pada jam kerja.

Page 111: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 21

Pemerintah Kecamatan merupakan kepanjangan tangan Kepala Pemerintah Daerah

(Bupati) untuk pelayanan tingkat kecamatan, jenis pelayanan selama ini berjumlah sembilan

kewenangan pemerintah kecamatan yaitu : KTP, Akte Kelahiran, Sertifikat Tanah, IMB

dibawah 100 meter persegi dan di luar JaLan Negara, Perijinan Wisata/Keramaian, Perijinan

Gangguan(IG),

Kebijakan pelayanan catatan sipil dalam tata ruang ditujukan untuk membangun

kondisi kondusif terjadi kemudahan pelayanan oleh lembaga pelayanan catatan sipil dan

kemudahan mengakses pelayanan catatan sipil oleh masyarakat dalam tata ruang ditempuh

kebijakan sebagai berikut :

1. Mengarahkan ruang untuk membentuk struktur ruang yang memiliki hirarki pelayanan

dengan radius pelayanan yang seimbang dan memiliki aksesibilitas pelayanan tinggi.

2. Lokasi pusat pelayanan catatan sipil tingkat kecamatan berlokasi di jalan arteri

sekunder, sehingga mudah diakses oleh seluruh bagian wilayah pelayanan secara adil.

3. Pusat pelayanan pemerintahan desa berada di jalan kolektor sekunder dan berada di

tengah wilayah pelayanan yang mudah diakses oleh masyarakat desa yang dilayaninya

4. Pusat pelayanan organisasi rukun tetangga dengan upaya masyarakat setempat

diarahkan untuk berada di jalan lingkungan di tengah unit permukiman dengan prinsip

radius komunikasi yang mudah. Organisasi RT di atur sedemikian sehingga silaturahmi

antar warga lebih lancar.

Page 112: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 22

Disamping indikator perkotaan yang dikembangkan ADB tersebut, ada alternatif lain

mengukur standar perkotaan tipe sedang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri

(saat ini masih dalam bentuk rancangan Permendagri) sebagaimana dapat dilihat pada

Tabel 5.5 berikut:

Tabel 5.5 Matrik Standar Pelayanan Perkotaan Untuk Kawasan Perkotaan Sedang

No Fungsi Jenis Pelayanan Standar Pelayanan Penilaian

1 PERMUKIMAN PERKOTAAN

A. Air Bersih Jaringan Perpipaan Air bersih

65% Terbatas

B. Drainase dan penangulangan banjir

Sistem Drainase Drainase sistem tertutup untuk jaringan jalan arteri dan kolektor kota

sebagian

C. Persampahan TPA dengan sistem pembuangan tertutup

85% Belum ada

D. Air Limbah Sistem pembuangan air limbah domestik secara terpusat

60% Belum tersedia

E. Sarana dan Prasarana Transportasi

Darat

Terminal penumpang Terminal C Belum

Sarana angkutan umum angkutan umum Ada

Pemisahan Lalu Lintas Internal dan Eksternal Kota

tersedia Belum

Sistem Pengaturan Lalu lintas

tersedia Terbatas

Pedestrian tersedia Terbatas

Parkir Umum (Off Street)

Pelataran Parkir Terbatas

Halte tersedia Terbatas

Penerangan Jalan tersedia Tersedia

SPBU tersedia Tersedia

F. Energi Jaringan listrik bawah tanah

100% Belum

H. Komunikasi dan Telekomunikasi

Jaringan telepon bawah tanah

100% Terbatas

Telepon Umum tersedia Terbatas

Based tranmission System(BTS)

tersedia Tersedia

Stasiun Relay tersedia Ada

Kantor Pos tersedia Tersedia

Kotak Surat tersedia Terbatas

Page 113: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 23

No Fungsi Jenis Pelayanan Standar Pelayanan Penilaian

I. Ruang Terbuka Hijau Taman kota/ Hutan Kota /Jenis RTHKP lainnya

tersedia Tersedia

2 PELAYANAN JASA PEMERINTAHAN

A. Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pertanahan

tersedia Tersedia

B. Peizinan Berupa Pelayanan Pemberian

tersedia Tersedia/ Terbatas

C. Lingkungan Hidup Sarana monitoring polusi

tersedia Belum

D. Penanggulangan bencana Pos pemadam kebakaran

tersedia Belum

Hidran umum tersedia Tersedia

E. Ketentraman dan Ketertiban

tersedia Tersedia

3 PELAYANAN SOSIAL

A. Pendidikan Pendidikan Dasar

Sekolah Dasar Umum tersedia Tersedia

Sekolah Menengah Pertama Umum dan atau Sederajat

tersedia Tersedia

Pendidikan Menengah

SMU dan atau Sederajat tersedia Tersedia

Pendidikan Tinggi

Akademi atua Program Diploma

tersedia Tersedia

B. Kesehatan Pos Yandu tersedia Tersedia

BKIA/ Klinik Bersalin tersedia Tersedia

Puskesma Pembantu/ Balai pengobatan Lingkungan

tersedia Tersedia

Peskesman/ Balai pengobataan

tersedia Tersedia

Tempat Praktek Dokter tersedia Tersedia

Apotek/ Rumah Obat tersedia Tersedia

Rumah Sakit (RS) RS kelas B1 Belum

C. Rekreasi dan Olah raga Balai Pertemuan tersedia Tersedia

Tempat Rekreasi tersedia Tertentu

Gedung Olahraga Gedung Olahraga Tipe B -

Page 114: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 24

No Fungsi Jenis Pelayanan Standar Pelayanan Penilaian

D. Sarana Peribadan Sesuai dengan Penganut Agama

tersedia Tersedia

E. Tempat Pemakaman Umum

tersedia Tersedia

4 PUSAT KEGIATAN EKONOMI

A. Pusat Perdagangan dan Jasa

Pusat perdagangan (pasar)

Pusat perbelanjaan Ada

B. Jasa Kauangan Cabang Bank Umum Ada

C. Pusat Pelayanan Kepariwisataan

Penginapan Hotel Bintang Ada

Pelayanan Kepariwisataan

Pusat Informasi Pariwisata

Belum

Berdasarkan hasil pengukuran di atas dapat dilihat bahwa tidak semua standar

kebutuhan dan pelayanan yang dipersyaratkan sebagai kota sedang dapat dipenuhi kawasan

perkotaan Jatinangor. Sebagian sarana dan prasarana masih tersedia dalam kondisi yang

terbatas, bahkan pada beberapa item standar belum dipenuhi.

Dengan demikian meskipun kawasan Jatinangor-Cimanggung telah memiliki ciri

perkotaaan namun agar dapat berkembang menjadi kota yang layak huni, nyaman dan

berkelanjutan membutuhkan beberapa pesyaratan yang menjadi prioritas untuk dipenuhi

terutama yang terkait dengan aspek pelayanan perkotaan (prasarana perkotaan)

5.3 Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan

Berdasarkan hasil kajian terhadap arahan kawasan perkotaan pada berbagai

kebijakan dan pemenuhan kriteria yang telah dilakukan, maka deliniasi kawasan perkotaan

di wilayah studi diusulkan beberapa alternatif berikut :

A. Kawasan perkotaan Jatinangor-Cimanggung (alternatif 1)

Alternatif ini terdiri 2 (dua) bagian utama kawasan perkotaan yang saling terkait

yaitu Kecamatan Jatinangor sebagai pusat pengembangan kegiatan dan Desa-desa pada

sebagian Kecamatan Cimanggung yang merupakan zona industri.

1. Kawasan Perkotaan di kecamatan Jatinangor

Kawasan perkotaan Jatinangor terletak di seluruh desa Kecamatan Jatinangor. Hal ini

karena, kegiatan perkotaan pada desa-desa di Jatinangor sudah terlihat, serta terdapat

lahan yang berpotensi untuk pengembangan kegiatan perkotaan.

Page 115: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 25

Jatinangor sebagai wilayah kecamatan mempunyai luas 2.650 Ha dengan jumlah 12

meliputi : Desa Cibeusi, Cikeruh, Cipacing, Hegarmanah, Sayang, Cintamulya,

Megargalih, Cisempur, Jatiroke, Jatimukti, Cileles,dan Cilayung dengan perbatasan

adminitratif kecamatan yaitu :

Bagian Barat dengan Kecamatan Cileunyi Wetan, yang dibatasi oleh Sungai Cibeusi

Bagian Timur dengan Kecamatan Tanjungsari, yang dibatasi oleh Sungai Cikeruh dan

Puncak Gunung Geulis

Bagian Utara dengan Kecamatan Sukasari dengan batas alam tidak jelas tetapi secara

sosial di lapangan didapatkan kesepakatan batasan.

Bagian Selatan dengan Kecamatan Rancaekek, yang secara umum dibatasi oleh

beberapa selokan dan Jalan Raya Rancaekek. Meskipun tidak jelas tetapi secara sosial

di lapangan terjadi kesepakatan batas daerah administratif.

Fungsi Jatinangor sebagai Kawasan Perguruan Tinggi sangat dikenal luas dengan

kegiatan empat perguruan tinggi yang menampung lebih dari 30.000 Mahasiswa, belum

termasuk Akademi Informatika dan Komputer Al Maksoem sebagai salah salah satu

perguruan tinggi di Jatinangor tetapi tidak berada pada kawasan perguruan tinggi.

Luas kawasan Perguruan tinggi yang ditempati oleh empat perguruan tinggi 525

Ha. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan luas 285 Ha belum seluruhnya

difungsikan sebagai sarana dan prasarana perguruan tinggi, sebagain besar (200 Ha)

masih berupa lahan kosong yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian yang digarap

oleh penduduk sekitar atau sebagai tempat praktek pertanian praja.

Sedangkan Unversitas Pajajaran(Unpad) seluas 175 Ha memang dimanfaatkan

seluruhnya untuk bangunan tetapi sebagian untuk laboratorium pertanian, perteknakan,

perikanan dan lainnya. Sehingga Unpad meskipun bagian dari kawasan Perguruan Tinggi

tetapi pemanfaatan ruang sebagian besar pertanian dan ruang terbuka hijau.

Demikian juga Universitas Winaya Mukti (Unwim) yang luasnya 51 Ha, baru

sebagian lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan akademi, sisanya berupa ruang terbuka

dengan pemanfaatan ruang untuk pertanian yang digarap oleh penduduk.

Page 116: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 26

Hanya Institut Manajemen Ikopin(IMI) yang luasnya 17 Ha hampir termanfaatkan

seluruhnya untuk kegiatan akademi perguruan tinggi.

Masih satu hamparan dengan dalam Kawasan Perguruan Tinggi terdapat lahan

yang rencana akan digunakan untuk kegiatan Pendidikan dan Latihan Pegawai Negeri

Jawa Barat(Diklat Propinsi Jawa Barat) kurang lebih lahan 10 Ha dan sekarang

pemanfaatan ruangnya sebagai ruang terbuka hijau.

Kawasan Industri, yang dimaksud pemanfaatan ruang untuk hal tersebut lebih

ditujukan untuk menyebut sejumlah lahan seluas 76,5 Ha yang tersebar tidak satu

hamparan tetapi berada di Koridor Jalan Raya Rancakek masuk Desa Cipacing, Sayang,

Cintamulya dan Cisempur. Jumlah industri 16 Industri dengan jumlah tenaga kerja

hampir 32.000 Orang. Koridor Jalan Raya Rancaekek sendiri merupakan lahan dengan

pemanfaatan ruang campuran, tetapi didominasi kegiatan industri. Sepanjang Koridor

tersebut didapat pemanfaatan lain yaitu pertanian, perdagangan dan permukiman sendiri.

Lebih menonjol fungsi perdagangan.

Kawasan permukiman merupakan pemanfaatan ruang dominan hampir merata di

seluruh wilayah Jatinangor. Kawasan permukiman bersatu dengan pertanian sehingga sulit

dipisah secara tegas, karena sejarah pertumbuhan wilayah pertanian(Kawasan Pedesaan)

yang tumbuh menjadi Kawasan Perkotaan. Pemanfaatan fungsi pertanian dapat dibedakan

menjadi 3 bagian yaitu :

1. Kawasan Permukiman dengan ciri pertanian atau pedesaan berada menyebar di Desa

Cilayung, Cileles, Jatiroke, Jatimukti dan Cisempur.

2. Kawasan Permukiman dengan ciri campuran dengan tumbuhnya permukiman baru

berupa fungsi-fungsi permukiman sebagai rumah sewa dan kos-kosan. Kos-

kos/Pondokan mahasiswa di Desa-desa Cibeusi, Sayang, Cikeuruh, dan Hegarmanah.

Permukiman dengan ciri pondokan/kos-kosan pekerja industri berada menyebar di

Desa-desa Cipacing, Mekargalih, Cintamulya dan Cisempur.

3. Kawasan Permukiman dengan ciri permukiman pengrajin terutama menyebar di

Cipacing, sebagian Cibeusi dan Sayang maupun Cilayung.

Page 117: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 27

Kawasan Pertanian merupakan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertanian

menyebar hampir di seluruh desa-desa di Jatinangor. Sebagaimana disebutkan di atas hal

ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan Jatinangor yang semula sebagai wilayah

pertanian dan perkebunan(sebelum tahun 1970) kemudian terjadi pergeseran lahan

menjadi industri di wilayah selatan atau Koridor Jalan Raya Rancaekek dan kegiatan

perguruan tinggi di bagian utara dan penunjangnya di Koridor Jalan Raya Jatinangor.

Kondisi pemanfaatan ruang untuk pertanian dan juga permukiman lama atau

perkampungan menjadi tidak bisa dipisahkan secara tegas, sehingga data pemanfaatan

ruang tahun 1991, 1999 dan tahun 2001 menjadi seperti tidak masuk akal ketika jumlah

luas atau proporsi pemanfaatan ruang untuk permukiman menjadi berkurang padahal

kemungkinan data permukiman dan pertanian bisa tergabung pengukurannya.

Pemanfaatan Ruang yang lain yang sangat menonjol dari sisi kegiatannya adalah

pemanfaatan ruang wisata perkemahan dan olah raga golf yang dilengkapi fasilitas hotel

dan restoran. Kegiatan perkemahan di Bumi Perkemahan Kiara Payung dikelola oleh

kwarda Pramuka Jawa Barat, dengan luas lahan yang masuk wilayah administrasi

kecamatan Jatinangor kurang lebih 25 Ha, sebagian lagi masuk wilayah administrasi

Kecamatan Sukasari.

2. Kecamatan Cimanggung

Desa-desa di Kecamatan Cimanggung merupakan kawasan yang berbatasan dengan

Desa-desa di Kecamatan Jatinangor yang akan dikembangkan ke arah zona industri

terutama pada koridor jalan raya Bandung-Rancaekek-Cicalengka, perdagangan, dan jasa

yang sudah barang tentu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat dan

penyerapan tenaga kerja setempat. Dalam dekade dua puluh tahun terahir ini, kondisi

sosial ekonomi masyarakat di wilayah bagian barat (Jatinangor, Cimanggung) telah

berubah dengan cepat dari kawasan pedesaan menjadi kawasan kota-kota satelit sebagai

penyangga Kota Metropolitan Bandung.

Jika alternatif ini yang dipilih (batas deliniasi lihat gambar 5.1) maka kelebihan

dan kelemahannya adalah sebagai berikut :

Page 118: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 28

Kelebihan :

Luasan cakupan wilayah pengelolaan kawasan perkotaan yang tidak terlalu luas akan

memudahkan dalam pengelolaan dan penataan fungsi-fungsi kawasan perkotaan

(span of control terbatas)

Kawasan kecamatan Jatinangor merupakan arahan kawasan pendidikan tinggi,

merupakan fungsi kawasan yang telah jelas sesuai dengan RTRW provinsi maupun

RTRW Kabupaten sehingga memudahkan pengelola kawasan perkotaan dalam

menata fungsi-fungsi yang dibutuhkan dalam menunjang pengelolaan kawasan

pendidikan tinggi yang lebih baik.

Kawasan Jatinangor dan Cimanggung merupakan kawasan zona industri sebagaimana

ditetapkan pada RPJP Kabupaten Sumedang. Penetapan kawasan industri

berimplikasi pada kawasan yang relatif cepat berkembang.

Integrasi penyediaan sarana dan prasarana kawasan perkotaan lebih mudah

Luasan wilayah kawasan perkotaan yang kecil, potensi konflik sosial ekonomi

penduduk akan semakin kecil.

Kelemahan :

Kawasan relatif terbatas untuk pengembangan kawasan ke depan terutama dalam

mendukung pengembangan kawasan pemukiman penduduk dan aktivitas perkotaan.

Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang

mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi

terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih terbatas maka daya

tampung ruang menjadi sedikit.

Dengan daya tampung ruang yang terbatas maka penyediaan ruang terbuka hijau

menjadi semakin sulit diakomodasi sesuai dengan ketentuan (minimal 30 %).

B. Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung-Tanjungsari-Sukasari

(Alternatif 2)

Meskipun wilayah Jatinangor dan Cimanggung merupakan fokus utama wilayah

kawasan perkotaan Jatinangor karena telah memiliki ciri perkotaan dan memenuhi

standar-standar perkotaan sedang, namun dalam pengembangan wilayah ke depan tidak

Page 119: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 29

terelakkan pengembangan kawasan perkotaaan dapat melingkupi daerah-daerah yang

berbatasan di sekitarnya. Arah pengembangan pada wilayah terdekat kawasan perkotaan

Jatinangor yang memiliki akses baik mengikuti jalan arteri sepanjang koridor Bandung –

Cirebon. Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari merupakan bagian yang berpotensi dalam

mendukung pengembangan kegiatan Perkotaan Jatinangor.

Pada alternatif 2 ini kawasan perkotaan terdiri 4 (empat) bagian utama kawasan

perkotaan yang saling terkait yaitu Kecamatan Jatinangor sebagai pusat pengembangan

kegiatan, desa-desa pada sebagian Kecamatan Cimanggung yang merupakan zona

industri, desa-desa pada sebagian Kecamatan Tanjungsari yang diarahkan sebagai pusat

pemukiman dan desa-desa pada sebagian Kecamatan Sukasari. Berikut gambaran

kecamatan yang merupakan perluasan kawasan perkotaan pada alternatif 2.

1. Kecamatan Tanjung Sari.

Kecamatan ini berbatasan dengan kecamatan Jatinangor di barat daya, kecamatan

Cimanggu di selatan, kecamatan Pamulihan di timur, kecamatan Sukasari di barat laut

serta wilayah Kabupaten Subang di sebelah utara. Sebelum pemekaran, wilayah

Kecamatan Sukasari dan sebagian wilayah Kecamatan Pamulihan adalah bagian dari

Kecamatan Tanjungsari.

Kecamatan Tanjungsari memiliki beberapa produk andalan. Tanjungsari adalah

salah satu daerah penghasil susu sapi di Jawa Barat, selain Lembang dan Pangalengan.

Selain itu, daerah Tanjungsari sebelah utara (Desa Cijambu dan sekitarnya) merupakan

daerah penghasil sayur-mayur. Buah-buahan dan umbi-umbian juga merupakan produk

Tanjungsari yang cukup dikenal. Di kecamatan ini juga terdapat banyak tempat-tempat

yang memiliki panorama indah. Tanjungsari berada di dekat kawasan pendidikan

Jatinangor.

Kecamatan Tanjungsari dapat dijadikan bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor

sebagai bagian pengembangan wilayah perkotaan untuk menampung kebutuhan

perumahan atau pemukiman.

2. Kecamatan Sukasari

Kecamatan Sukasari dapat dijadikan bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor

sebagai bagian pengembangan wilayah perkotaan untuk menampung kebutuhan

perumahan atau pemukiman.

Page 120: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 30

Jika alternatif 2 ini (batas deliniasi lihat gambar 5.2) yang dipilih tentu akan

memiliki kelebihan dan kelemahan antara lain :

Kelebihan:

Wilayah untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih luas, sehingga pengelola

lebih leluasa dalam mendistribusikan fungsi-fungsi kawasan perkotaan.

Ketersediaan ruang yang lebih luas akan meningkatkan daya tampung aktivitas

perkotaan dan memungkinkan banyak pilihan alternatif lokasi bagi investasi.

Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang

mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi

terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih luas maka

penyediaan ruang terbuka hijau menjadi semakin besar luasannya.

Kelemahan :

Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan

antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan

perkotaan

Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi

penduduk akan semakin besar.

Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena

sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.

C. Kawasan Perkotaan Jatinagor-Cimanggung-Tanjungsari-Sukasari-Pamulihan

(Alternatif 3)

Pada alternatif 3 ini, kawasan perkotaan Jatinangor meliputi 5 kecamatan

sebagaimana yang direkomendasikan dalam RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012

revisi. Tambahan perluasan kawasan perkotaan meliputi beberapa desa di Kecamatan

Pamulihan. Kecamatan Pamulihan merupakan merupakan kecamatan yang berbatasan

dengan Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung. Beberapa desa pada

kecamatan ini berpotensi menjadi bagian kawasan perkotaan yang menjadi penyangga

Page 121: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 31

bagi pengembangan bagian kawasan perkotaan lainnya khususnya Kecamatan

Tanjungsari yang relatif telah berkembang lebih dahulu (Gambar 5.3).

Jika alternatif ini dipilih sebagai kawasan perkotaan maka maka kelebihan

dan kelemahannya :

Kelebihan:

Wilayah untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih luas, sehingga pengelola

lebih leluasa dalam mendistribusikan fungsi-fungsi kawasan perkotaan.

Ketersediaan ruang yang lebih luas akan meningkatkan daya tampung aktivitas

perkotaan dan memungkinkan banyak pilihan alternatif lokasi bagi investasi.

Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang

mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi

terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih luas maka

penyediaan ruang terbuka hijau menjadi semakin besar luasannya.

Kelemahan :

Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan

antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan

perkotaan

Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi

penduduk akan semakin besar.

Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena

sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.

A. Hierarki dan Fungsi Kawasan Perkotaan

Berdasarkan RTRW Kabupaten Sumedang, Jatinangor sebagai PKL-1 (pusat

Kegiatan Lokal), Cimanggung, Tanjungsari dan Sukasari sebagai sebagai PTK (Pusat

Kegiatan Tingkat Kecamatan. PKL merupakan Kota sebagai pusat jasa, pusat pengolahan

dan simpul transportasi yang mempunyai pelayanan satu kabupaten atau beberapa

kecamatan, dengan kriteria penentuan ditetapkan dengan kriteria:

Page 122: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 32

a. pusat jasa keuangan/ bank yang melayani satu kabupaten atau melayani beberapa

kecamatan,

b. pusat pengelolaan/pengumpul barang untuk beberapa kecamatan,

c. simpul transportasi untuk satu kabupaten atau untuk beberapa kecamatan,

d. bersifat khusus karena mendorong perkembangan sektor strategis atau kegiatan

khusus lainnya di wilayah kabupaten.

Berdasarkan fungsi PKL tersebut, Jatinangor dan Cimanggung memiliki

keterkaitan yang kuat, Jainangor berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa dengan

skala pelayanan lokal di tingkat Kabupaten Sumedang atau beberapa Kecamatan di

sekitarnya serta pintu masuk bagian barat ke Kabupaten Sumedang dari Bandung

sedangkan Cimanggung merupakan Pusat Kegitan Tingkat Kecamatan berfungsi sebagai

zona industri terutama di jalur koridor jalan raya Bandung-Rancaekek-Cicalengka

meliputi beberapa desa (Sukadana, Sawahdadap, Cihanjuang, Mangunarga dan Sindang

Pakuwon) dan juga beberapa desa di Kecamatan Jatinangor (Cintamulya, Megargalih,

Cisempur). Kecamatan Jatinangor juga sesuai dengan RTRW Provinsi dan Kabupaten

Sumedang ditetapkan sebagai kawasan tertentu yang memiliki pertumbuhan cepat untuk

mendorong pengembangan kawasan sekitarnya.

Sebagai pengembangan wilayah kawasan perkotaan beberapa desa di

Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari dapat dikembangkan menjadi bagian dari kawasan

perkotaan Jatinangor terutama diarahkan untuk mendukung pengembangan kebutuhan

kawasan permukiman bagi civitas akademika perguruan tinggi.

Disamping itu, 3 kecamatan di wilayah Kabupaten Sumedang yang termasuk

dalam kawasan Bandung Metropolitan Area, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung

dan Jatinangor. Kota-kota kecamatan ini direncanakan untuk menjadi counter magnet

dari perkembangan Kota Bandung dalam fungsi-fungsi tertentu. Kecamatan Jatinangor

dikembangkan untuk menampung limpahan fungsi pendidikan tinggi. Kecamatan

Tanjungsari untuk menampung kebutuhan perumahan. Kecamatan Cimanggung serta

sebagian Kecamatan Jatinangor yang berdekatan direncanakan untuk menampung

kegiatan industri dan perumahan.

Sejalan dengan bergabungnya 3 kecamatan dalam wilayah Metropolitan

Bandung, maka kecenderungan perkembangan ke-3 kecamatan tersebut menjadi

Page 123: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 33

kawasan perkotaan lebih cepat dibandingkan kecamatan lainnya di Sumedang. Orientasi

pergerakan penduduk ke-3 kecamatan tersebut adalah menuju Kota dan Kabupaten

Bandung.

Kemudian rencana pembangunan tol Cisumdawu yaitu pembangunan jalan

bebas hambatan yang membentang dari Cileunyi, Sumedang, dan Dawuan dengan jarak

52 km, secara kewilayahan melalui 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Sumedang,

dan Majalengka terdiri atas 12 kecamatan dan puluhan desa, namun lintasan terpanjang

berada pada Kabupaten Sumedang. Jika disimak berdasarkan sudut pandang

pengembangan wilayah, tol Cisumdawu diharapkan mampu mendongkrak perekonomian

Jawa Barat Timur termasuk Jatinagor yang direncanakan sebagai salah satu pintu gerbang

akses masuk tol menuju Cirebon dan Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati

Majalengka. Jatinangor akan menjadi kawasan potensial yang dalam membangkitkan

pelayanan kebutuhan terhadap penggunaan tol tersebut seperti penyediaan feeder road.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sistem pusat kegiatan kawasan

perkotaan dalam pada kawasan perkotaan Jatinangor terbagi menjadi 3 sub bagian

kawasan perkotaan yaitu sub kawasan perkotaan Jatinagor sebagai Kota Inti, sub kawasan

perkotaan Tanjungsari dan Sukasari sebagai pendukung (kota satelit) dan sub kawasan

perkotaan Cimanggung (kota satelit) yang memiliki peran dan fungsi masing-masing

yang saling terkait. Tiap sub kawasan perkotaan tersebut memiliki pusat kegiatan

perkotaan dan sub pusat kegiatan perkotaan. Penentuan struktur kawasan perkotan

berdasarkan kondisi eksisting dan kajian yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.

Untuk mengetahui struktur kawasan perkotaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6 Hierarki dan Fungsi Kawasan Perkotaan Jatinangor

No. Bagian Kawasan Perkotaan

Cakupan Desa Hierarki/Pusat Kegiatan Perkotaan

Fungsi Perkotaan

1 Sub Kawasan Perkotaan Bagian Barat

Kecamatan Jatinangor (Cikeruh, Cipacing, Cintamulya, Megargalih, Cisem-pur, Cileles, Jatiroke, Jati-mukti, Cilayung, Hegar-manah, Sayang, Cipacing)

Kota inti Kawasan Pendidikan Tinggi Pusat Perdagangan dan Jasa Kawasan industri Puseur Budaya Sunda Budaya Iptek

2 Sub. Kawasan Perkotaan Bagian Timur

Kecamatan Tanjungsari (Tanjung-sari, gudang, Jatisari, Gunung-manik, Margaluyu, Margajaya, Cinanjung, Raharja dan Kuta-mandiri) dan Sukasari (Sukarapih, Sukasari dan Mekarsari) serta

Kawasan Penyangga Pusat Perdagangan (Agribisnis) dan Jasa

Kawasan permukiman Kawasan Pariwisata Puseur Budaya Sunda

Page 124: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 34

No. Bagian Kawasan Perkotaan

Cakupan Desa Hierarki/Pusat Kegiatan Perkotaan

Fungsi Perkotaan

Kecamatan Pamulihan (Ciptasari, Citali, Pamulihan, Haurgombong, Cigendel, Mekarbakti dan Cilembu)

3 Sub Kawasan Perkotaan Bagian Tenggara

Kecamatan Cimanggung (Sindang Pakuwon, Cimanggung, Sawah-dadap, Cihanjuang, Sukadana, Sindanggalih, Mangunarga, Cikahuripan, Pasirnanjung)

Kawasan Penyangga Kawasan industri Pusat perdagangan dan jasa Kawasan Pemukiman

mendukung industri Puseur Budaya Sunda

Page 125: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 35

Gambar 5.1. Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 1)

Page 126: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 36

Gambar 5.2. Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 2)

Page 127: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 37

Gambar 5.3. Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 3)

Page 128: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 38

B. Penamaan Kawasan Perkotaan Jatinangor

Nama yang popular di kalangan masyarakat untuk kawasan perkotaan tersebut

yaitu “ Kawasan Perkotaan Jatinangor”. Nama Jatinangor digunakan sebagai pengganti

nama Kecamatan Cikeruh pada tahun 2000. Soal nama kawasan memang masih perlu

dibahas bersama para pemangku kepentingan. Tetapi nama Jatinangor sudah terkenal di

seluruh Indonesia karena di lokasi tersebut terdapat berbagai lembaga pendidikan berskala

nasional.

Beberapa alasan lain yang menjadi dasar penamaan kawasan perkotaan sebagai

Kawasan Perkotaan Jatinangor :

Sebagian besar luasan kawasan yang menjadi bagian kawasan perkotaan berada di

lingkungan adminisrasi Kecamatan Jatinangor (seluruh desa di Kecamatan Jatinangor

menjadi bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor)

Jatinagor merupakan daerah yang telah dikenal bukan hanya pada lingkup lokal

Kabupaten tapi juga pada lingkup Provinsi dan Nasional (karena merupakan pusat

kegiatan pendidikan tinggi). Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet

sudah sering berdatangan ke kawasan tersebut untuk menghadiri acara atau

meresmikan sesuatu yang berskala nasional

5.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Ekonomi Kawasan Perkotaan

Pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan Jatinangor selama ini dipacu oleh

kegiatan perguruan tinggi meskipun perguruan tinggi bukan kegiatan dominan satu-satunya

sebagai kegiatan basis yang diandalkan, namun keberadaan perguruan tinggi telah

mendorong kegiatan perdagangan dan jasa yang menunjang kegiatan perguruan tinggi.

Kegiatan lain yang juga dominan lain yang juga mendorong munculnya kegiatan

perdagangan dan jasa adalah kegiatan industri dan kegiatan kerajinan (handicraft).

Kegiatan pertanian sebagai basis ekonomi sampai saat ini belum hilang meskipun sudah

terdesak oleh kegiatan lain dengan semakin berkurangnya lahan pertanian.

Persoalan ekonomi kota saat ini berkaitan dengan ruang terutama menyangkut hal

sebagai berikut :

Page 129: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 39

1. Munculnya kegiatan pasar kaget yang semakin besar pada waktu-waktu tertentu dan

tempat-tempat tertentu. Di Unpad setiap minggu pagi, di gerbang-gerbang industri

seperti Kahatek, Wiska, dan lainnya.

2. Pelaku pasar kaget atau pedagang pada umumnya berasal dari luar Jatinangor bagian

sebagian di tempat asalnya bukan pedagang kaki lima atau memiliki toko. Pedagang ini

berpindah-pindah sesuai hari dan pasar dari para pekerja industri.

3. Pedagang kaki lima penunjang yang melayani mahasiwa maupun pekerja industri

menempati lahan yang memungkinkan di koridor Jalan Raya Jatinangor maupun jalan

Raya Rancaekek

4. Tumbuh dan berkembang kegiatan perdagangan dan jasa merubah fungsi bangunan dari

rumah menjadi toko, dan terbangunnya lahan kosong menjadi bangunan berfugsi

perdagangan di sepanjang koridor tersebut dan tempat yang cocok untuk kegiatan

perdagangan dan jasa

5. Kegiatan produksi kerajinan terus bertahan dengan beradaptasi pada kondisi ekonomi

yang terjadi, pola produksi kerajinan berkembang dengan membuat imitasi dari produks

terbaru. Kecuali produks-produks yang sudah membentuk imaj baik pada konsumen

seperti bedil angin dan gedek/geribik.

6. Kegiatan pertanian dari lahan pertanian produktif yang selama ini beralih ke lahan-

lahan kosong milik perguruan tinggi, industri maupun milik penduduk di luar Bandung

dan para petani yang bekerja sebagian besar berasal dari sekitar Jatinangor.

7. Kegiatan pertanian yang masih cukup bisa bertahan ada di desa-desa Cileles, Cilayung,

Jatimukti, Jatiroke dan sebagian Cisempur dan sawah dadap pada kawasan industri

Cimanggung

8. Dengan kecenderungan industri terus berkembang maka peluang tenaga kerja lebih

besar meskipun ada kemungkinan yang dibutuhka tenaga kerja wanita.

9. Tingkat pengangguran angkatan kerja masih cukup tinggi sampai hampi 20 % dan

peluang kerja industri lebih diperuntukkan untuk tenaga kerja wanita. Kondisi ini

mendorong angkatan kerja muda laki-laki berorientasi ke luar Jatinangor, ke sektor

perdagangan dan jasa, serta ke jasa transportasi atau ojeg.

10. Diperkirakan ke depan angkatan kerja akan tetap proposional dengan kondisi yang ada

dengan jumlah yang berbeda,

Page 130: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 40

Sebagaimana telah diuraikan bahwa kawasan perkotaan memiliki fungsi kegiatan

perkotaan yang sesuai dengan kebijakan dan potensi yang dimikinya terutama mendukung

aktivitas jasa dan perdagangan sebagai karakteristik utama yang mendukung kawasan

perkotaan. Untuk mengukur kebutuhan ruang yang terkait dengan pelayanan jasa

perkotaan dapat dapat diproyeksi dari proyeksi penduduk kota inti kawasan perkotaan

Jatinangor

A. Distribusi Penduduk

Distribusi penduduk di kawasan perkotaan inti dalam kurun waktu sampai dengan

tahun 2015 adalah 172145 jiwa. Persebaran jumlah penduduk ini masih terkonsentrasi di

Kawasan Perkotaan di Kecamatan Jatinangor dengan jumlah penduduk jiwa 97491 tahun

2015. Namun demikian, dengan diarahkannya pengembangan kawasan perkotaan ke wilayah

Tanjunsari dan Sukasari, maka terdapat distribusi penduduk yang tersebar di kawasan

tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.7. Proyeksi Penduduk Kawasan Perkotaan Jatinangor 2008-2015

Desa 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015KECAMATAN JATIANGOR

CIPACING 12800 15020 15105 15570 16445 17302 17928 18577SAYANG 8312 9754 9809 10111 10679 11236 11642 12064

MEKARGALIH 5939 6969 7009 7224 7630 8028 8319 8620CINTAMULYA 7197 8445 8493 8754 9247 9728 10081 10445

CISEMPUR 6484 7609 7652 7887 8331 8765 9082 9411JATIMUKTI 4501 5282 5312 5475 5783 6084 6304 6533JATIROKE 4429 5197 5227 5387 5690 5987 6204 6428

HEGARMANAH 9883 11597 11663 12021 12698 13359 13843 14344CIKERUH 8970 10526 10586 10911 11525 12125 12564 13019CIBEUSI 10505 12327 12397 12778 13497 14200 14714 15247CILELES 4824 5661 5693 5868 6198 6521 6757 7001

CILAYUNG 4440 5210 5240 5401 5704 6002 6219 6444

KECAMATAN CIMANGGUNGMANGUNARGA 5817 5946 6078 6213 6351 6492 6636 6783SAWAHDADAP 5077 5190 5305 5423 5543 5666 5792 5920

SUKADANA 4795 4901 5010 5121 5235 5351 5470 5591CIHANJUANG 8696 8889 9086 9288 9494 9705 9920 10140

SINDANGPAKUON 13359 13655 13959 14268 14585 14909 15240 15578TOTAL 126028 142177 143622 147700 154634 161460 166714 172145

Sumber : Hasil Analisis

Page 131: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 41

B. Kebutuhan Fasilitas Sarana Perniagaan

Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tersebut kemudian diproyeksikan

kebutuhan fasilitas jasa perdagangan dan ruang pada kawasan perkotaan seperti yang dapat di

lihat pada berikut :

Tabel 5.8. Proyeksi Kebutuhan Sarana Perniagaan di Kawasan Perkotaan Jatinangor Tahun 2015

No DesaJumlah

Penduduk (jiwa)

Sarana dan Ruang Perniagaan

Warung Luas (m2)

Toko Luas (m2)

Pusat Belanja

Luas (m2)

Pusat Belanja

Dan Niga

Luas (m2)

Kecamatan Jatinangor1 Cikeruh 13,019 52 5200 5 6,000 0 0 0 0

2 Cibeusi 15,247 61 6100 6 7,200 1 13500 0 0

3 Hegarmanah 14,344 57 5700 6 7,200 0 0 0 0

4 Cintamulya 10,445 42 4,200 4 4,800 0 0 0 0

5 Jatimukti 6,533 26 2600 3 3,600 0 0 0 0

6 Cisempur 9,411 38 3800 4 4,800 0 0 0 0

7 Jatiroke 6,428 26 2600 3 3,600 0 0 0 0

8 Cileles 7,001 28 2800 3 3,600 0 0 0 0

9 Cilayung 6,444 26 2600 3 3,600 0 0 0 0

10 Cipacing 18,577 74 7400 7 8,400 1 13500 0 0

11 Sayang 12,064 48 4800 5 6,000 0 0 0 0

12 Mekargalih 8,620 34 3400 3 3,600 0 0 0 0

Kecamatan Cimanggung 0

1 Mangunarga 6,783 27 2700 3 3,600 0 0 0 0

2 Sawahdadap 5,920 24 2400 2 2,400 0 0 0 0

3 Sukadana 5,591 22 2200 2 2,400 0 0 0 0

4 Cihanjuang 10,140 41 4100 4 4,800 0 0 0 0

5 Sindangpakuwon 15,578 62 6200 6 7,200 1 13500 0 0

Jumlah 172,145 689 68,900 69 82,800 6 81,000

1 36,000

Page 132: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 42

Berdasarkan proyeksi tersebut dapat diperkirakan kebutuhan fasilitas dan ruang

menyangkut sarana perniagaan pendukung perkotaan.

Pengembangan ekonomi dengan kondisi dan permasalahan yang ada serta kebutuhan

pengembangannya maka sampai dengan tahun 2015 mendatang kebijakan dapat diarahkan ke hal

sebagai berikut :

1. Menunjang sarana dan prasarana untuk kebutuhan pengembangan sektor ekonomi basis dan

penunjangnya yang menyerap tenaga kerja

2. Khusus untuk kegiatan ekonomi handicraft dipadukan dengan pengembangan wisata serta

tetap mempertahankan dan mengembangkan pola marketing yang ada. Kebutuhan sarana dan

prasarana pengembangan kerajinan dikembangkan melalui kerja sama khusus dengan

perguruan tinggi

3. Perkembangan kegiatan ekonomi penunjang diarahkan dengan membangun kawasan khusus

perdagangan dan jasa penunjang perguruan tinggi dan industri.

4. Mengakomodasi perkembangan pedagang kaki lima lokal sebagai proses sementara lapangan

kerja diarahkan dengan menyediakan tempat untuk perdagangan dan jasa yang sifatnya

pedagang kaki lima, lebih dikhususkan pedagang kaki lima penduduk lokal. Bagi pedagang

kaki lima yang bukan dari penduduk lokal diatur sedemikian dengan bekerja sama dengan

pemerintahan Kabupaten, Provinsi maupun pemerintahan pusat.

5. Penataan koridor penggunaan lahan campuran diarahkan untuk menampung perkembangan

kegiatan penunjang perguruan tinggi dan industri disamping kawasan khusus yang disiapkan.

6. Koridor penggunaan lahan campuran dengan titik simpul kegiatan saung budaya dijadikan

pusat perdagangan dan jasa penunjang kegiatan perguruan tinggi

7. Pusat lingkungan permukiman di bagian kawasan industri diarahkan untuk menjadi pusat

perdagangan dan jasa yang menunjang kegiatan kebutuhan pekerja industri.

8. Sektor kegiatan ekonomi yang dikembangkan adalah bersifat yang mendorong penyerapan

tenaga kerja lokal dan ramah lingkungan seperti : industri hemat air, kerajinan, dan produks

perguruan tinggi.

9. Melihat perkembangan industri dan kegiatan perguruan tinggi, diperkirakan perdagangan dan

jasa akan terus tertarik untuk berkembang terutama perdagangan jasa yang bersifat informal

atau pedagang kaki lima. Oleh karena khusus pedagang kaki lima diakomodasi pada tempat-

Page 133: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 43

tempat tertentu dan waktu-waktu tertentu. Misalnya pada waktu sore dan malam hari di

halaman kantor yang kegiatan pada siang hari dan pada sore dan malam hari tutup.

10. Perkembangan perdagangan skala modal besar seperti supermarket atau pun mini market

diarahkan sesuai ruang pelayanan

11. Sektor pertanian yang masih menjadi mata pencarian sebagian penduduk Jatinangor, tetap

dipertahankan dan dilindungi dengan peluang bahwa pemanfaatan ruang yang berfungsi

konservasi diantaranya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian baik pertanian untuk tanaman

tahunan maupun tanaman musiman.

12. Sejalan dengan pengembangan kawasan perkotaan, proses pergeseran lahan pertanian

menjadi fungsi lain yang non-pertanian masih akan berlangsung selama beberapa tahun ke

depan, oleh karena itu lahan tersebut diarahkan digarap oleh petani Jatinangor.

5.5 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan

Pasal 3 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan

bahwa “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah

nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan

Nusantara dan Ketahanan Nasional”. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan juga bahwa

kata “berkelanjutan” mengandung arti yaitu kondisi kualitas lingkungan fisik dapat

dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan

orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Pentingnya pengembangan suatu wilayah dengan memperhatikan keberlanjutannya,

tidak hanya untuk wilayah dengan luasan yang besar tetapi juga untuk wilayah kota yang

pada umumnya berbentuk suatu konsentrasi dari penduduk yang heterogen dalam suatu

lahan tertentu dengan berbagai aktivitas yang menyertainya yang bersifat non pertanian.

Adanya karakter-karakter pembentuk kota ini mengakibatkan dalam dinamisasi

kehidupannya kota akan mengalami berbagai macam kebutuhan dan kepentingan. Sangat

perlu disadari bahwa studi terakhir menunjukkan dalam kurun waktu 1980-2000 jumlah

penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan telah meningkat dari 22,3% menjadi 42%

(Gardiner & Mayling, 2006) hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan suatu kota harus

dapat memperhatkan keberlanjutan dari kota tersebut.

Page 134: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 44

Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi

kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi penerus untuk mencukupi

kebutuhannya “development that meets the needs of the present without compromising the

ability of future generations to meet their own needs” (WCED,1987).

Kota yang berkelanjutan adalah suatu daerah perkotaan yang mampu berkompetisi

secara sukses dalam pertarungan ekonomi global dan mampu pula mempertahankan vitalitas

budaya serta keserasian lingkungan. Keberlanjutan pada hakikatnya adalah suatu etik, suatu

perangkat prinsip-prinsip dan pandangan ke masa depan.

Tata ruang sebagai instrumen spasial dalam pembangunan kota, merupakan alat

yang tepat untuk mengkoordinasikan pembangunan perkotaan secara berkelanjutan untuk

mewujudkan kota lestari. Mengembangkan kota lestari sendiri berarti pembangunan

manusia kota yang berinisiatif dan bekerja sama dalam melakukan perubahan dan gerakan

bersama.

Terdapat beberapa syarat yang terkait dengan pembangunan kota yang

berkelanjutan, yaitu:

Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi di perkotaan

secara ekologis, benar;

Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi

potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya tak-terbarukan

(non-renewable resources);.

Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas

asimilasi pencemaran, dan

Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan

perkotaan (carrying capacity)

Berkaitan dengan syarat-syarat tersebut maka salah satu komponen dan aset penting

dalam kota berkelanjutan adalah keberadaan ruang terbuka hijau pada kota tersebut. Ruang

terbuka hijau merupakan ruang yang direncanakan yang penggunaannya lebih bersifat

terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja

ditanam. Selain itu ruang terbuka juga merupakan wadah yang dapat menampung aktivitas

tertentu dari masyarakat di wilayah tersebut. Karena itu, ruang terbuka mempunyai

kontribusi yang akan diberikan kepada manusia berupa dampak positif.

Page 135: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 45

Ketentuan mengenai pentingnya penyediaan ruang hijau pada kawasan perkotaan

diamanatkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu dalam segi perencanaan

ruang tertuang pada pasal 28,29, dan 30. Secara umum ketiga pasal tersebut menyatakan

untuk keberlanjutan suatu kota maka dipersyaratkan suatu kota memiliki luas RTH minimal

30% dari luas kota.

Terhadap kebutuhan 30% dari luas kota tersebut, UU Penataan Ruang juga telah

membagi bahwa pemerintah kota memiliki tanggung jawab untuk menyediakan 20% dari

ruang terbuka hijau yang bersifat publik sementara 10%-nya disedikan oleh privat.

Adanya ketentuan-ketentuan ini telah memperlihatkan bahwa penataan ruang pada

dasarnya telah mendorong kota untuk dapat berkelanjutan melalui penyediaan ruang terbuka

hijau baik yang menjadi tanggung jawab pemerintah maupun swasta dan/atau masyarakat.

Terkait dengan kebutuhan ruang terbuka hijau pada Kawasan Perkotaan Jatinangor

maka kebutuhan ruang terbuka hijau kedepan dapat diproyeksi sebagaimana ditampilkan

pada tabel 5.8 berikut :

Page 136: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 46

Tabel 5.9. PROYEKSI KEBUTUHAN RTH MINIMUM (Hektar)

DESATAHUN

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

CIPACING 10.67 12.52 12.59 12.97 13.70 14.42 14.94 15.48

SAYANG 6.93 8.13 8.17 8.43 8.90 9.36 9.70 10.05

MEKARGALIH 4.95 5.81 5.84 6.02 6.36 6.69 6.93 7.18

CINTAMULYA 6.00 7.04 7.08 7.30 7.71 8.11 8.40 8.70

CISEMPUR 5.40 6.34 6.38 6.57 6.94 7.30 7.57 7.84

JATIMUKTI 3.75 4.40 4.43 4.56 4.82 5.07 5.25 5.44

JATIROKE 3.69 4.33 4.36 4.49 4.74 4.99 5.17 5.36

HEGARMANAH 8.24 9.66 9.72 10.02 10.58 11.13 11.54 11.95

CIKERUH 7.48 8.77 8.82 9.09 9.60 10.10 10.47 10.85

CIBEUSI 8.75 10.27 10.33 10.65 11.25 11.83 12.26 12.71

CILELES 4.02 4.72 4.74 4.89 5.16 5.43 5.63 5.83

CILAYUNG 3.70 4.34 4.37 4.50 4.75 5.00 5.18 5.37

MANGUNARGA 4.85 4.96 5.07 5.18 5.29 5.41 5.53 5.65

SAWAHDADAP 4.23 4.32 4.42 4.52 4.62 4.72 4.83 4.93

SUKADANA 4.00 4.08 4.18 4.27 4.36 4.46 4.56 4.66

CIHANJUANG 7.25 7.41 7.57 7.74 7.91 8.09 8.27 8.45

SINDANGPAKUON 11.13 11.38 11.63 11.89 12.15 12.42 12.70 12.98

TOTAL 105.02 118.48 119.69 123.08 128.86 134.55 138.93 143.45

Page 137: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 47

Tabel 5.10. PROYEKSI KEBUTUHAN RTH MAXIMUM (Hektar)

DESATAHUN

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

CIPACING 256.00 300.40 302.11 311.39 328.91 346.05 358.57 371.55

SAYANG 166.24 195.07 196.18 202.21 213.58 224.71 232.85 241.27

MEKARGALIH 118.78 139.38 140.17 144.48 152.61 160.56 166.37 172.39

CINTAMULYA 143.94 168.90 169.86 175.09 184.93 194.57 201.61 208.91

CISEMPUR 129.68 152.17 153.04 157.74 166.61 175.29 181.64 188.21

JATIMUKTI 90.02 105.63 106.23 109.50 115.66 121.68 126.09 130.65

JATIROKE 88.58 103.94 104.53 107.75 113.81 119.74 124.07 128.56

HEGARMANAH 197.66 231.94 233.26 240.43 253.95 267.18 276.85 286.88

CIKERUH 179.40 210.51 211.71 218.22 230.49 242.50 251.28 260.37

CIBEUSI 210.10 246.54 247.94 255.56 269.93 284.00 294.28 304.93

CILELES 96.48 113.21 113.86 117.36 123.96 130.42 135.14 140.03

CILAYUNG 88.80 104.20 104.79 108.01 114.09 120.03 124.38 128.88

MANGUNARGA 116.34 118.92 121.56 124.26 127.02 129.84 132.72 135.66

SAWAHDADAP 101.54 103.79 106.10 108.45 110.86 113.32 115.83 118.41

SUKADANA 95.90 98.03 100.20 102.43 104.70 107.03 109.40 111.83

CIHANJUANG 173.92 177.78 181.73 185.76 189.88 194.10 198.40 202.81

SINDANGPAKUON 267.18 273.11 279.17 285.37 291.70 298.18 304.79 311.56

TOTAL 2,520.56 2,843.53 2,872.44 2,954.01 3,092.68 3,229.19 3,334.27 3,442.91

Page 138: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 48

Page 139: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab V - 49

Page 140: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 1

BABVIKELEMBAGAAN PENGELOLA KAWASAN PERKOTAAN

6.1. Pengelolaan Kawasan Perkotaan

Pada dasarnya pemerintah dibentuk untuk melayani masyarakat. Bentuk

organisasi pemerintah dan derivasinya mengikuti perkembangan masyarakat yang

dilayaninya. Pada masyarakat kota kecil di kecamatan maupun kawasan perkotaan skala

kecil yang merupakan gabungan dari bagian desa-desa yang berdekatan dalam satu

kabupaten, selama ini belum memperoleh pelayanan yang memadai dari pemerintah

kabupaten. Selain karena skala kepentingannya relatif kecil dibandingkan keseluruhan

kepentingan masyarakat kabupaten, juga karena belum ada peraturan perundang-

undangan yang memberikan kewenangan untuk mengelolanya secara khusus.

Perubahan paradigma otonomi dari keseragaman menjadi paradigma

keanekaragaman dalam kesatuan, memberi kesempatan yang luas kepada daerah otonom

kabupaten/kota untuk mengatur bentuk dan isi otonomi sesuai karakteristik wilayah dan

kebutuhan masyarakatnya. Termasuk pengaturan mengenai kecamatan yang ada

didalamnya.

Kebutuhan masyarakat pada satu sisi dan peluang kebebasan mengatur urusan

pemerintahannya sendiri pada sisi lain, belum dapat dipertemukan karena terkendala

tidak adanya dasar hukum yang mengatur mengenai kota-kota kecamatan serta kawasan

dalam wilayah kabupaten yang berciri perkotaan skala kecil. Kendala tersebut secara

minimal kemudian diharapkan akan dapat diatasi setelah lahirnya Peraturan Pemerintah

Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Melalui PP

tersebut, daerah kabupaten dapat mengambil inisiatif untuk mengelola kawasan

perkotaan diwilayahnya secara lebih professional, sehingga pelayanan kepada

masyarakat diharapkan dapat lebih meningkat.

Page 141: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 2

6.2. Model-model Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” di Kabupaten

Sumedang

Berdasarkan hasil kajian diperoleh gambaran bahwa seluruh wilayah

Kecamatan Jatinangor yang mencakup 12 desa, sebagian teritorial Kecamatan

Cimanggung (5 desa), satu desa di Kecamatan Tanjungsari serta satu desa di

Kecamatan Sukasari layak dikembangkan menjadi satu kawasan perkotaan. Pasal 1

butir ketiga PP Nomor 34 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : “ Kawasan Perkotaan

adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan

fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, perkotaan, pemusatan dan distribusi

pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”. Mengingat

kegiatan pemerintahan bersifat sah dan tertulis, maka cakupan kawasan perkotaan

Jatinangor perlu ditetapkan secara resmi dalam sebuah peraturan perundang-

undangan. Pada Pasal 3 ayat (1) yang berkaitan dengan Pasal 2 huruf (b) PP Nomor 34

tahun 2009 menyatakan bahwa pembentukan kawasan perkotaan yang berbentuk bagian

daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan diatur dengan peraturan daerah

kabupaten. Oleh karena itu, langkah strategis pertama yang perlu dilakukan oleh

Pemerintahan Kabupaten Sumedang dalam mengelola kawasan perkotaan Jatinangor

adalah menetapkan sebuah peraturan daerah tentang pembentukan kawasan perkotaan

Jatinangor.

Kawasan perkotaan semacam itu perlu dikelola oleh sebuah lembaga tersendiri

karena cakupan ciri-ciri perkotaannya bersifat lintas-kecamatan. Apabila ciri

perkotaannya hanya mencakup satu kota kecamatan, maka pengelolaan kotanya dapat

dilakukan oleh camat yang karena jabatannya (ex-officio) diangkat sebagai manajer

kota. Untuk kepentingan tersebut, camat dapat diberi delegasi wewenang tambahan dari

bupati.

Pada Pasal 1 butir no 8 PP Nomor 34 Tahun 2009 dikemukakan bahwa : “

Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disebut Lembaga Pengelola

adalah lembaga yang dibentuk dengan peraturan daerah untuk mengoptimalkan sumber-

sumber yang dimiliki dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan Kawasan

Perkotaan”.

Kawasan perkotaan dengan cakupan wilayahnya merupakan bagian dari

territorial beberapa kecamatan yang berdekatan, perlu dikelola secara intensif, baik oleh

pemerintah daerah dengan membentuk sebuah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Page 142: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 3

maupun oleh sebuah Lembaga Pengelola dengan keanggotaannya terdiri kelompok

nonpegawai negeri, nonpartisan serta dari kalangan masyarakat dan dunia usaha.

Lembaga ini sifatnya non-pemerintah daerah tetapi bertanggung jawab kepada

pemerintah daerah. Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : “

Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian daerah kabupaten dikelola oleh pemerintah

kabupaten atau Lembaga Pengelola yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada

pemerintah kabupaten”.

Dari ketentuan di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ada dua model

pengelola kawasan perkotaan dalam wilayah kabupaten yakni :

a) Model pengelolaan oleh Unit pemerintah daerah yang dibentuk khusus untuk

mengelola kawasan perkotaan;

b) Model pengelolaan oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat

non-pemerintah daerah.

Ad.a. Model pengelolaan oleh Unit pemerintah daerah yang dibentuk khusus untuk

mengelola kawasan perkotaan

Untuk mengelola kawasan perkotaan yang cakupan wilayahnya meliputi

empat kecamatan yang berdekatan seperti telah dikemukakan pada uraian

sebelumnya, maka Pemerintah Kabupaten Sumedang dapat membentuk unit

pemerintah daerah setara eselon IIIa sebagai sebuah SKPD (Satuan Kerja Perangkat

Daerah) guna mengkoordinasikan perencanaan pembangunan dan pelayanan

masyarakat perkotaan di kawasan tersebut. SKPD ini dapat diberi nama Unit, Satuan

atau Kantor Pengelolaan Kawasan Perkotaan “Jatinangor”. SKPD ini dibentuk dengan

Peraturan Daerah (lihat Pasal 8 ayat 1 PP Nomor 34 Tahun 2009). Pembentukan

Peraturan Daerahnya dapat digabung dengan pembentukan SKPD lainnya atau dibuat

Peraturan Daerah secara khusus.

Sebagai sebuah SKPD, unit ini mempunyai kedudukan, tugas, wewenang dan

tanggung jawab, pembiayaan dan pertanggungjawaban yang setara dengan eselon IIIa

lainnya.

Kelebihan dan Kekurangan Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Unit Pemerintah Daerah

Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Unit Pemerintah Daerah

memiliki kelebihan dan kekurangan dibanding model lainnya. Kelebihannya yaitu :

Page 143: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 4

a) mudah dalam hubungan kerja dengan bupati dan DPRD maupun SKPD lainnya

karena juga merupakan sebuah SKPD;

b) garis komando dan garis pertanggungjawabannya lebih jelas;

c) memudahkan dalam memperoleh anggaran melalui APBD Kabupaten Sumedang.

Adapun kelemahan model ini yaitu:

a) sangat birokratis karena diisi oleh PNS yang terikat pada struktur dan prosedur

yang kaku;

b) kurang demokratis dan kurang melibatkan pemangku kepentingan;

c) kurang luwes dalam menggali sumber-sumber pembiayaan di luar dana APBD

Kabupaten Sumedang;

d) hubungan kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah dapat berbenturan

dengan wewenang camat karena sama-sama eselon IIIa.

Ad.b. Model Pengelolaan Oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat

non-pemerintah daerah

Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 memberikan alternatif lain

dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari kabupaten, di luar

pengelolaan oleh sebuah SKPD khusus. Bentuknya adalah Lembaga Pengelola

Kawasan “Jatinangor” yang bersifat non- pemerintah daerah. Lembaga ini dibentuk

dengan peraturan daerah Kabupaten Sumedang (lihat Pasal 8 ayat 1 PP Nomor 34

Tahun 2009). Model ini dapat dikategorikan sebagai lembaga pemerintahan semu

(quasi government) atau lembaga daerah non-pemerintah daerah atau yang secara lebih

meluas disebut sebagai Quasi Autonomous Nongovernmental Organization

(QUANGO). Disebut demikian karena lembaga ini menjalankan sebagian fungsi

daerah dan diberi anggaran dari APBD tetapi bukan organ pemerintah daerah. Pada

tingkat nasional terdapat pula model seperti ini dengan nama lembaga negara non

pemerintah misalnya KPU, KPPU, KPK dan lembaga-lembaga lainnya yang sejenis.

Kelebihan dan Kekurangan Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat non-pemerintah daerah.

Sebagai sebuah model baru dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang

cakupan wilayahnya meliputi beberapa bagian dari kecamatan yang bersandingan,

model ini memiliki beberapa kelebihan maupun kekurangan. Kelebihannya yaitu :

Page 144: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 5

a) dalam hal pembiayaan, selain memperoleh dana dari APBD Kabupaten Sumedang,

lembaga ini lebih luwes dalam mengembangkan sumber-sumber pembiayaan yang

berasal dari masyarakat dan pihak swasta;

b) lebih luwes dalam proses penyusunan perencanaan karena melibatkan para

pemangku kepentingan;

c) lebih demokratis.

Adapun kelemahan model ini yaitu :

a) hubungan kerja dengan para camat yang masuk dalam kawasan perkotaan akan sulit,

apabila para camatnya masih sangat birokratis dan menggunakan paradigma lama;

b) dukungan dana dari APBD akan terbatas karena bukan merupakan sebuah SKPD,

sehingga skala prioritasnya berada di bawah;

c) apabila tidak didukung oleh Sekretariat Lembaga Pengelola yang andal, maka

lembaga ini akan mandeg.

Berdasarkan perbandingan kedua model di atas, maka pengelolaan kawasan

perkotaan “Jatinangor” nampaknya lebih cocok menggunakan model kedua yakni

dikelola oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat non-

pemerintah daerah.

Rincian lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan

“Jatinangor” yang bersifat non-pemerintah daerah yaitu sebagai berikut.

6.3 Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor”

1) Pembentukan

Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa berdasarkan ketentuan pada

Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2009, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan

dibentuk dengan peraturan daerah. Sesuai ketentuan yang termuat pada UU Nomor 10

Tahun 2004, penyusunan peraturan daerah didahului dengan naskah akademis yang

kemudian dilakukan konsultasi publik. Selanjutnya dibahas secara intensif antara

pemerintah daerah dengan DPRD. Melalui proses yang demokratis serta melibatkan

para pemangku kepentingan, peraturan daerah tentang pembentukan lembaga

pengelolaan kawasan perkotaan akan memperoleh dukungan dari masyarakat.

Pembentukan Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” mengikuti

ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas. Inisiatif pembentukan peraturan daerah

berasal dari Pemerintah Kabupaten Sumedang, yang selanjutnya dibahas dengan

Page 145: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 6

DPRD Kabupaten Sumedang. Ditetapkan demikian karena yang secara teknis

mengetahui dan memahami seluk beluk perkembangan masyarakat dan

pemerintahannya adalah pemerintah daerah.

2) Susunan Organisasi

Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa anggota

lembaga pengelola kawasan perkotaan paling sedikit berjumlah 5 (lima) orang dan

paling banyak berjumlah 7 (tujuh) orang. Untuk pengelola kawasan perkotaan “

Jatinangor” karena skala kotanya belum terlampau besar, maka disarankan pada tahap

pertama jumlah pengelolanya cukup lima orang. Pada tahap selanjutnya apabila

perkembangan kota sudah semakin maju dan kompleks, jumlah anggota pengelola

dapat ditambah menjadi tujuh orang.

Dari lima orang anggota, salah satunya dipilih oleh para anggota menjadi

koordinator. Pengelola kawasan perkotaan menjalankan organisasi secara kolektif,

sehingga keputusan tertinggi berada pada rapat seluruh anggota, serta tidak dimonopoli

oleh koordinator. Kelima orang pengelola kawasan perkotaan tersebut dapat

dinamakan dewan, karena sifatnya yang kolegial. Pengaturan mengenai susunan

organisasi dan tatakerjanya ditetapkan secara rinci dalam peraturan daerah

pembentukan lembaga pengelola kawasan perkotaan.

Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009, keanggotaan

Lembaga Perkotaan terdiri atas :

a) Pakar/ahli di bidang pengelolaan Kawasan Perkotaan; dan atau

b) Unsur masyarakat pemerhati Kawasan Perkotaan.

Untuk memenuhi syarat sebagai organisasi nonpemerintah yang bersifat

nonpartisan, maka pada Pasal 3 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2009 diatur ketentuan

bahwa anggota Lembaga Pengelola Perkotaan tidak berasal dari pegawai negeri sipil,

anggota Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia, dan anggota partai politik.

Tetapi mengingat orang yang mengerti dan memahami masalah perkotaan di Indonesia

jumlahnya tidak banyak, maka ketentuan Pasal 9 ayat (3) kemudian diperlonggar

dengan penjelasan Pasal dan ayat tersebut dengan ketentuan bahwa : “ Pegawai negeri

sipil yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk pejabat fungsional

antara lain peneliti, guru, dosen, widyaiswara dan perencana”.

Page 146: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 7

Di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur mekanisme pengisian

keanggotaan Lembaga Pengelola Perkotaan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan

untuk merekrut anggota LPP yakni :

a) Dilakukan penawaran secara terbuka kepada publik melalui media massa dengan

segala persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya, termasuk kategori

keahliannya, waktu kerjanya (penuhwaktu/fulltime atau paruhwaktu/parttime),

syarat domisili, sistem pemberian imbalannya dan lain sebagainya. Kemudian

dilakukan fit and proper test untuk mengetahui kecocokan dan kemampuan calon

anggota LPP. Setelah seleksi selesai mereka dianggkat dengan Keputusan Bupati

Sumedang.

b) Dipilih melalui suatu “beauty contest”, dihadapkan panel para ahli yang terdiri

dari ahli perkotaan, ahli pemerintahan serta ahli ekonomi. Calon anggota LPP

diminta untuk menyusun visi dan misi. Mekanisme pemilihan ini secara implisit

sejalan dengan bunyi Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 34 Tahun 2009.

c) Ditunjuk langsung oleh bupati, berdasarkan kriteria persyaratan yang telah

ditetapkan sebelumnya.

Masa jabatan anggota LPP adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali

untuk 1 (satu) periode masa jabatan berikutnya. Tetapi di dalam PP Nomor 34 Tahun

2009 tidak diatur mekanisme penggantian antarwaktu apabila ada seorang atau

beberapa orang anggota LPP berhalangan tetap (meninggal, sakit permanen,

menghilang), pindah tugas ke tempat lain, mengundurkan diri karena berbagai alasan

ataupun melakukan pelanggaran ketentuan yang mengikat anggota LPP. Oleh karena

itu, disarankan agar mekanisme pengisian anggota LPP, mekanisme kerjanya,

mekanisme pengelolaan keuangan, ketentuan masa jabatan dan penggantian

antarwaktu sebelum masa jabatannya berakhir serta mekanisme

pertanggungjawabannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

Dalam menjalankan tugasnya, Lembaga Pengelola dibantu oleh sekretariat

Lembaga Pengelola yang dibentuk oleh bupati (lihat ketentuan Pasal 10 ayat 1 PP

Nomor 34 Tahun 2009). Sekretariat Lembaga Pengelola diisi oleh PNS. Hal ini secara

implisit dapat ditangkap dari bunyi Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) PP Nomor 34 Tahun

2009. Mengingat pandangan pegawai negeri sipil masih sangat strukturalis,

pertanyaan pertama adalah berapa eselon untuk Sekretaris LPP? Eselonering suatu

jabatan sebenarnya dapat diukur dan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya serta

Page 147: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 8

kedudukan protokolernya dalam suatu acara. Mengingat fungsi sekretariat LPP

bersifat “back office” saja, maka eselon sekretaris LPP disarankan IVa. Sebaiknya

sekretaris LPP diisi oleh PNS yang memiliki latarbelakang pendidikan mengenai

perkotaan dan memahami manajemen, sehingga dapat mengkoordinasikan berbagai

masalah yang ditanganinya.

Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sekretaris LPP perlu dilengkapi

paling sedikit 3 (tiga) sub bagian yang masing-masing memiliki eselon Va. Ketiga sub

bagian tersebut yaitu sub bagian yang mengurus ketatausahaan meliputi surat-

menyurat, keuangan, dan logistik bagi kepentingan LPP, sub bagian yang mengurus

inventarisasi sumberdaya badan usaha swasta dan masyarakat, serta sub bagian yang

mengurus aspirasi masyarakat serta informasi kawasan perkotaan.

Secara resmi, struktur organisasi dan eselonering sekretariat LPP ditetapkan

oleh menteri dalam negeri dengan persetujuan menteri yang membidangi urusan

pemberdayaan aparatur Negara. (Lihat pada Pasal 10 ayat 5 PP Nomor 34 Tahun

2009). Tetapi mengingat sampai saat ini peraturan yang dimaksud belum terbit, maka

Pemerintah Kabupaten Sumedang dapat melakukan terobosan mendahuluinya,

sekaligus menjadi ujicoba pelaksanaan PP Nomor 34 Tahun 2009. Melalui ujicoba

tersebut akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan PP tersebut, sehingga terbuka

peluang untuk memperbaikinya.

Bentuk dan susunan organisasi LPP :Jatinangor” yang disarankan melalui

penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

DEWAN PENGURUS

(5 orang)

SEKRETARIS

SUB BAGIAN KETATAUSAHAAN

SUB BAGIAN INVENTARISASI SUMBER DAYA MASYARAKAT DAN SWASTA

SUB BAGIAN ASPIRASI MASYARAKAT DAN

INFORMASI KAWASAN PERKOTAAN

Page 148: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 9

Gambar 1. Bagan Susunan Organisasi Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan

“Jatinangor”.

3) Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas pokok LPP sudah diatur pada Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun

2009 yakni : “mengelola Kawasan Perkotaan dan mengoptimalkan peran serta

masyarakat serta badan usaha swasta”. Kata “mengelola” di sini berarti LPP

menjalankan fungsi manajemen, yang mencakup mulai dari perencanaan, pelaksanaan

serta pelaporannya. Kata “peran serta” di sini berarti LPP hanya mengelola berbagai

aktivitas masyarakat dalam mengurus kawasan perkotaan yang bersifat sukarela dan

volunteer. Sedangkan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan, tetap dikelola oleh pemerintah daerah.

Selanjutnya pada Pasal 8 ayat (3) dikemukakan mengenai fungsi LPP yakni :

a) Penggalian dan pendayagunaan sumber daya badan usaha swasta dan masyarakat;

b) Penjaringan aspirasi masyarakat dan badan usaha swasta Kawasan Perkotaan;

c) Pengembangan informasi Kawasan Perkotaan;

d) Pemberian pertimbangan kepada bupati dalam kebijakan operasional, implementasi

kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat, dan

e) Perumusan dan pemberian rekomendasi terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan

pengendalian pembangunan, serta isu-isu strategis Kawasan Perkotaan.

Berdasarkan uraian tugas pokok dan fungsi sebagaimana telah dijelaskan pada

uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa LPP mempunyai fungsi menggali dan

mendayagunakan sumber daya badan usaha swasta dan masyarakat yang ada di

kawasan perkotaan, tetapi yang bersifat sukarela. Sebab yang bersifat wajib seperti

pajak dan retribusi merupakan kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah.

Peluang untuk menggali potensi partisipasi masyarakat dan dunia usaha masih

terbuka lebar sepanjang anggota LPP kreatif. Prinsip dasar partisipasi adalah adanya

kesukarelaan, keterlibatan secara emosional serta memperoleh manfaat secara langsung

maupun tidak langsung dari keterlibatannya tersebut. Pada sisi lain, perlu dihindarkan

Page 149: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 10

pembebanan yang memaksa, sehingga menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi

(high cost economy). Hal tersebut akan menjadi disinsentif bagi masuknya investor ke

wilayah Kabupaten Sumedang.

4) Kewenangan

Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sebuah organisasi baik

pemerintah, semipemerintah ataupun swasta, memerlukan kewenangan (authority),

yakni “kekuasaan yang saha untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. Oleh

karena itu, kewenangan seringkali juga disebut sebagai kekuasaan yang sah (legitimate

power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power).

Di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur secara rinci mengenai

kewenangan dari LPP. Hal tersebut dalam implementasinya justru akan menimbulkan

masalah besar, karena akan bertabrakan dengan kewenangan yang sudah ada dan

dijalankan oleh instansi pemerintah lainnya. Pada prinsipnya, seluruh kewenangan

pemerintahan sudah terbagi habis pada unit-unit pemerintahan yang ada. Oleh karena

itu, apabila muncul entitas baru yang ikut menjalankan fungsi pemerintahan, perlu

dilakukan pengaturan ulang mengenai pembagian urusan pemerintahan dan

kewenangan yang melekat didalamnya.

Pengaturan secara rinci mengenai kewenangan yang dijalankan oleh LPP,

diatur dalam Peraturan Bupati mengenai LPP sebagai tindak lanjut ketentuan yang

termuat pada Pasal 13 PP Nomor 34 Tahun 2009.

Kewenangan tersebut mencakup :

a) Kewenangan untuk memutuskan sesuatu sesuai tugas dan fungsi LPP berkaitan

dengan penggalian sumberdaya masyarakat dan badan usaha swasta, misalnya

dalam menarik sumbangan dari pihak swasta, mencari sponsor untuk kegiatan dan

lain sebagainya.

b) Kewenangan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi tentang

kawasan perkotaan;

c) Kewenangan merumuskan rancangan kebijakan mengenai kawasan perkotaan

untuk disampaikan kepada Bupati Sumedang.

d) Kewenangan lainnya yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi LPP,

misalnya dalam menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun kawasan

perkotaan, pemeliharaan fasilitas dan utilitas kota.

Page 150: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 11

5) Hubungan kerja secara internal

Hubungan kerja secara internal yang dimaksudkan adalah antar anggota LPP

serta antara LPP dengan Sekretariat LPP. Hubungan antar anggota LPP bersifat sejajar

satu sama lainnya, karena kepemimpinan LPP bersifat kolegial. Kalaupun akan

diangkat ketua, posisinya adalah sekedar sebagai “juru bicara”. (spokeman). Berbagai

keputusan yang bersifat strategis harus diputuskan melalui rapat paripurna. Mekanisme

pengambilan keputusan perlu diatur secara rinci dalam Peraturan Bupati Sumedang.

Sekretariat LPP berkedudukan sebagai unsur staf dari LPP, dengan tugas dan

fungsi memberikan dukungan administrasi kepada LPP. Oleh karena itu secara teknis

operasional, sekretariat LPP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada LPP.

Sedangkan secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Sekretaris Daerah

melalui asisten yang membidangi ekonomi dan pembangunan. Hubungan kerja ini

diatur pada Pasal 10 ayat (4) PP Nomor 34 Tahun 2009.

6) Hubungan Kerja dengan Instansi terkait :

a) Dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang

LPP “Jatinangor” nantinya dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang

melalui peraturan daerah. Meskipun bentuknya adalah lembaga pemerintahan semu,

LPP tetap bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Mekanisme

pertanggungjawabannya perlu diatur secara rinci dalam peraturan bupati, dengan

prinsip dasar bertanggungjawab kepada Bupati Sumedang sebagai pejabat publik yang

dipilih dan memperoleh mandat dari rakyat untuk memimpin kabupaten. Hal tersebut

juga sudah diatur pada Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009.

Pada sisi lain, pemerintah daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab

untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tugas dan

fungsi LPP. Selain karena pembentukannya dilakukan oleh pemerintah daerah, sebagian

sumber pembiayaan LPP juga berasal dari APBD Kabupaten Sumedang.

Pembinaan dan pengendaliannya diwujudkan dalam bentuk penyampaian

laporan dari LPP kepada Bupati Sumedang, baik dalam bentuk laporan triwulanan,

laporan tahunan maupun laporan lainnya yang berkaitan dengan hal ikhwal pengelolaan

kawasan perkotaan yang dianggap perlu dilaporkan. Hal tersebut sudah diatur pada

Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP Nomor 34 Tahun 2009.

Page 151: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 12

b) Hubungan Kerja Dengan Kecamatan dan Instansi Vertikal Tingkat

Kecamatan

Kawasan perkotaan “Jatinangor” wilayahnya mencakup lintas empat

kecamatan, sehingga hubungan kerja paling intensif adalah dengan pihak pemerintah

kecamatan. Dalam hal ini diperlukan pembagian tugas, wewenang dan kewajiban yang

jelas antara kecamatan dengan LPP “Jatinangor” agar tidak timbul tumpangtindih,

konflik ataupun kekosongan pengurusan, sehingga kepentingan dan kebutuhan

masyarakat kawasan perkotaan tidak terlayani dengan baik.

Penyelarasan kecamatan dengan LPP “ Jatinangor” mencakup :

a) Jadual kegiatan yang melibatkan desa dan masyarakat yang sama;

b) Bentuk dan jenis kegiatan dengan obyek desa dan masyarakat yang sama;

c) Pihak swasta yang akan diminta partisipasinya;

LPP “Jatinangor” dibentuk bukan untuk mengambil alih sebagian kewenangan

ataupun menjadi pesaing kecamatan, melainkan mengisi kekurangan kecamatan dalam

mengelola wilayah atau bagian wilayahnya yang berciri perkotaan. Oleh karena itu,

LPP :Jatinangor” tidak boleh menjalankan berbagai fungsi pemerintahan yang selama

ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan.

7) Sumber pembiayaan

LPP “Jatinangor” dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang dengan tugas

mengelola kawasan perkotaan “Jatinangor” sebagai bagian tidak terpisahkan dari

wilayah Kabupaten Sumedang. Sehingga wajar apabila sebagian sumber biaya untuk

menjalankan roda lembaga berasal dari APBD Kabupaten Sumedang. Hal tersebut juga

sudah ditegaskan pada Pasal 11 PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa : “ Pendanaan

Lembaga Pengelola bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan

sumber pendanaan lainnya yang sah”.

Besarnya dana APBD Kabupaten Sumedang yang akan diberikan kepada LPP

“Jatinangor” akan sangat tergantung pada kesepakatan politik antara Bupati dengan

DPRD serta kemampuan LPP “Jatinangor” untuk meyakinkan pihak-pihak terkait

mengenai program dan kegiatan yang akan dijalankan.

Dari ketentuan Pasal 11 sebagaimana dikemukakan di atas, terbuka peluang

bagi LPP “Jatinangor” untuk mencari sumber-sumber lain di luar dana dari APBD

Page 152: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VI - 13

Kabupaten Sumedang, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan.. LPP jelas tidak memiliki kewenangan memungut pajak dan retribusi, karena

LPP bukan lembaga pemerintah yang diberi kewenangan untuk hal tersebut. Oleh

karena itu harus ada pembatasan yang jelas mengenai sumber dana yang akan diberikan

kepada LPP “Jatinangor”.

Semangat yang nampak dari PP Nomor 34 Tahun 2009 adalah agar LPP lebih

banyak menggalang dana dari nonpemerintah melalui partisipasi masyarakat maupun

pihak perusahaan swasta. Beberapa potensi yang dapat digarap LPP “Jatinangor” antara

lain dari:

1) Dana CSR (corporate social responsibility) dari berbagai perusahaan yang ada di

kawasan perkotaan;

2) Iuran warga kawasan perkotaan untuk kepentingan kebersihan dan keindahan

kota;

3) Sponsor dari perusahaan untuk berbagai kegiatan yang bertujuan memperindah

kota;

4) Sumbangan dari berbagai pihak yang sah dan tidak mengikat.

Page 153: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 1

BABVIISTRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

Dalam perumusannya, kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perkotaan

mengacu pada prioritas-prioritas program pembangunan pada lingkup Kabupaten, Provinsi

maupun Nasional. Secara khusus kebijakan dan strategi dimaksudkan untuk mengatasi

permasalahan yang dihadapi dalam penetapan dan pengembangan kawasan perkotaan, terutama

permasalahan yang timbul sebagai akibat masih kurangnya perhatian terhadap pelayanan

prasarana perkotaan; serta permasalahan internal kota, terutama masalah kemiskinan, kualitas

lingkungan hidup, serta keamanan dan ketertiban kota. Semua permasalahan tersebut akan

ditangani dengan berlandaskan pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Kebijakan pengembangan untuk kawasan perkotaan Jatinangor di antaranya adalah

sebagai berikut:

I. Membentuk kelembagaan yang mengkoordinasikan kegiatan terkait pengembangan

kawasan perkotaan. Strategi untuk mendukung kebijakan tersebut diantaranya adalah:

1. Pembentukan kelembagaan koordinasi kawasan perkotaan Jatinangor

2. Penyusunan struktur dan pembagian tugas pengembangan kawasan perkotaan

3. Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia

II. Pengembangan infrastruktur dasar perkotaan dan perhubungan (jaringan jalan, dsb).

Adapun strategi yang dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut diantaranya :

Page 154: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 2

1. Pembangunan dan peningkatan jaringan utilitas seperti persampahan, listrik,

telekomunikasi, air bersih, sistem limbah padat dan cair, sistem drainase dengan

strategi sebagai berikut :

a) Persampahan

Sistem pengelolaan sampah digunakan teknologi komposting semaksimal

mungkin, dan pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang untuk semua jenis

sampah dalam pengembangan kapisitas masyarakat untuk pengelolaan sampah

dengan prinsip 3R (Reuse, recycle, dan reduse) melalui kegiatan Community

Base Development (CBD)

Menetapkan lembaga yang memiliki kewenangan terhadap pengelolaan dan

pelayanan kebersihan, serta pengelola dan jasa kebersihan yang ada terlibat

dalam lembaga pengelola dan pelayanan kebersihan ini. Atau melibatan

organisasi dan kelembagaan swasta dalam pengelolaan infrastruktur

persampahan

Menetapkan restribusi khusus dalam pelayanan sampah untuk pembiayaan

peningkatan pelayanan sampah.

Lokasi pengelolaan sampah oleh lembaga terpusat di kawasan penelitian

sampah perguruan tinggi.

Melakukan kampanye kesadaran sampah dan pemisahan sampah berdasarkan

jenisnya kemudian memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat atau

lembaga yang melakukannya secara periodik bekerja sama dengan perguruan

tinggi Penarikan sampah dilakukan secara hirarkis dari rumah tangga ke

Tempat Penyimpanan Sampah Sementara(TPSS), kemudian ditarik ke Tempat

Pengolahan Sampah(TPS).

b) Pembuangan air limbah

Menetapkan kewenangan pengelolaan limbah pada lembaga tertentu dan lebih

baik tergabung dengan pengelolaan sampah padat, pengelola bersama

Page 155: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 3

masyarakat melakukan kontrol terhadap pelanggaran pembuangan limbah cair

yang dilakukan oleh industri dan mengajukan ke pengadilan.

Pengelolaan limbah yang berlandaskan “polluters pay” bahwa setiap

orang/badan yang mempunyai andil dalam mencemari lingkungan harus

berkontribusi untuk memberikan kompensasi terhadap pengelolaan

lingkungan (misal melalui pajak lingkungan)

Limbah cair yang berasal dari septiktank rumah tangga diarahkan agar

dikelola secara komunal atau kelompok yang dikelola oleh lembaga pengelola

limbah. Terutama untuk melayani penduduk perkotaan yang tidak terjangkau

oleh jaringan pipa air limbah baik induk, maupun lateral

Lembaga pengelola limbah mengkoordinir penyedia jasa penyedotan limbah

domestik agar bisa terjaga kualitas pelayanan dan memudahkan masyarakat

mengadu terhadap pelayanan yang buruk dari penyedia jasa.

Air buangan dari septiktank diupayakan diolah menjadi sumber air baku,

karena teknologi pengelohan tersebut sudah tersedia.

Alternatif lain sebagaimana pengelolaan sampah, hasil pengolahan air limbah

domestik pun juga masih mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Salahsatu hasil pengolahan berupa sludge (lumpur tinja) dapat dimanfaatkan

sebagai pupuk organik untuk taman-taman kota, tanaman hias ataupun bahkan

dimanfaatkan untuk pertanian.

Perlu diupayakan adanya deregulasi yang memberikan kemudahan dan

merangsang kemauan masyarakat untuk menyambung pipa septik tank rumah

tangga ke jaringan pipa air limbah. Bentuk regulasi yang dapat disiapkan

adalah terkait kewajiban masyarakat melakukan penyambungan didasarkan

atas kewajiban dan peran sertanya dalam pengelolaan lingkungan secara

berkelanjutan,tidak terbatas hanya masalah pengolahan instalasinya saja.

c) Drainase

Page 156: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 4

Penetapan fungsi drainase meliputi upaya mencegah terjadinya luapan air

hujan yang berakibat banjir, mengakibatkan munculnya genangan di badan

jalan dll melalui pembangunan, peningkatan dan rehabilitas drainase, meliputi

perencanaan, penetapan kebijakan.

Penetapan jaringan drainase yang meliputi jaringan drainase primer dan

sekunder yang di dasarkan atas besaran jumlah air hujan dan cathment area

daerah penangkapan air hujan

Menguatkan fungsi dan peranan sungai-sungai dan saluran alam menjadi

sistem drainase utama dengan menjadikan sungai sebagai kawasan lindung.

Sistem prasarana transportasi terpadu dengan sistem drainase buatan, dan

sistem drainase buatan ini menjadi bagian dari keseluruhan sistem drainase.

Melakukan upaya-upaya penyelamatan saluran drainase dengan pengerukan

sungai, penertiban sempadan sungai, penetapan saluran drainase jalan sesuai

standar, pengaturan pembangunan yang berkaitan dengan saluran–saluran

drainase dan penegakan aturan pembangunan yang ketat.

Melakukan upaya penyadaran penting drainase kota, termasuk disiplin

membuang sampah yang merusak sistem drainase.

Sistem drainase dikembangkan terpadu dengan pengelolaan sumber air baku

yang mengarah pada pemanfaatan air permukaan menjadi sumber air baku

untuk kebutuhan air bersih dan juga sebagai persiapan membangun sistem

“zero waste”

d) Air Bersih

Kampanye kesadaran untuk memanfaatkan air bersih sebaik mungkin dan

memanfaatkan air buangan maupun air permukaan sebagai sumber air baku,

demikian juga persiapan ke arah pengelolaan air dengan teknologi “zero

waste”

Page 157: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 5

Menguatkan pengelolaan air untuk berbagai kebutuhan dengan dilengkapi

perangkat hukum yang memadai.

Pengembangan sumber-sumber air baku diarahkan untuk bekerja sama dengan

wilayah lain untuk sumber-sumber mata air, tetapi tidak ditekankan sebagai

sumber utama.

Sumber mata air Gua Walet dipertahankan sebagai sumber air baku dengan

memberikan share pada penataan lingkungan dan perlindungan lingkungan,

memberi share pada desa setempat sebagai pendapatan desa sehingga desa

bisa menjaga sumber dayanya.

Memanfaatkan air hujan semaksimal mungkin sebagai sumber air baku

dengan berbagai teknologi yang memungkinkan. Terutama mengarahkan

industri untuk memanfaatkan sumber air hujan untuk sebagian besar

kebutuhan air.

Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang implemetatif lansung

untuk pemanfaatan air permukaan secara tepat guna.

Mengatur penggunaan sumber air baku untuk kebutuhan air bersih berbagai

kegiatan sesuai dengan sifatnya.

Pelayanan PDAM diprioritaskan untuk melayani kebutuhan air untuk

kebutuhan domestik dan kegiatan ekonomi potensial di wilayah yang tidak

memungkinkan menggunakan sumber lain.

Penggunaan sumber air tanah dangkal untuk kebutuhan domestik diarahkan

dikelola secara kelompok agar penggunaan air bertanggung jawab dan

terkontrol.

Kebutuhan air untuk kegiatan perdagangan dan jasa atau produktif diarahkan

untuk memakai sumber air tanah dalam secara berkelompok dengan pengelola

PDAM

Page 158: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 6

PDAM untuk melayani kebutuhan-kebutuhan air pelanggan disamping dengan

menggunakan sumber yang ada juga menggunakan berbagai sumber air secara

inovatif dengan teknologi yang tepat. Sumber air hujan, air permukaan, dan

air tanah dalam menjadi hal untuk dikelola oleh PDAM sebagai lembaga

pelayanan kebutuhan air bersih.

Para pengguna air diarahkan untuk share dalam pemeliharaan lingkungan

konservasi air, dengan kesepakatan yang dituangkan pada peraturan.

Kewajiban PDAM untuk menyediakan hidrant umum bagi kelompok

masyarakat berpendapatan rendah.

e) Sistem Energi

Sistem jaringan listrik sistem dialihkan secara bertahap dengan teknologi

jaringan listrik di bawah tanah terpadu dengan jaringan telepon maupun

utilitas lain.

Lahan yang berada di bawah jaringan listrik tegangan tinggi dimanfaatkan

untuk penggunaan yang efisien seperti ruang terbuka hijau dengan tanaman

pendek atau jaringan jalan. Dihindari untuk dimanfaatkan ruang permukiman

atau kegiatan manusia lainnya.

Lokasi Gardu Induk dipadukan dengan ruang terbuka hijau dan memiliki

radius bebas bangunan minimal sepanjang 3 meter.

SPBU dilokasi di jalan-jalan arteri sekunder dengan jumlah yang memadai.

Skala pelayanan SPBU diatur sesuai ketentuan selama ini.

Pergudangan Gas Elpiji diatur sedemikian sehingga aman bagi warga jika

terjadi kecelakaan. Radius ruang terbuka dari bangunan gudang/penyimpanan

elpiji minimal 10 meter.

Pelayanan elpiji dilakukan dengan diantar langsung kepada pembeli tidak

dilakukan dengan menjual di warung-warung atau toko-toko umum.

f) Sistem Telekomunikasi

Page 159: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 7

Sistem telekomunikasi dikembangkan dengan berbagai jenis telekomunikasi

dan berbagai teknologi untuk memenuhi kebutuhan komunikasi masyarakat.

Pengembangan komunikasi televisi dan radio lokal dengan teknologi

terjangkau untuk memenuhi komunikasi lokal antar warga.

Komunikasi lokal dikembangkan untuk mendukung terpenuhinya kepuasan

masyarakat terhadap berbagai pelayanan.

Komunikasi iklan diatur sedemikian sehingga berkembang keuntungan yang

adil antara pemasang iklan dengan pengelola kota sehingga pelayanan kota

menjadi semakin meningkat.

Sistem jaringan telepon kabel diarahkan secara bertahap dari jaringan tiang di

atas tanah menjadi jaringan di bawah tanah terpadu dengan jaringan kabel

listrik dan lainnya.

Tower atau sarana antene relay maupun pancar untuk berbagai jenis

telekomunikasi seperti telepon selullar, Televisi, Radio diatur dan disesuaikan

dengan tata ruang yang disepakati. Pada prinsipnya Tower tersebut harus

menempati lokasi geografis tinggi dan terbuka maka lokasi seperti Gunung

Geulis dan Kaki Gunung Manglayang disiapkan berbagai titik untuk tempat

Tower.

Tower yang sudah ada secara bertahap untuk dipindahkan kemudian radius

tower diamankan untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai tidak permanen seperti

permukiman atau kegiatan yang menyita waktu sepanjang hari.

Pemenuhan kebutuhan dilakukan bertahap dengan perkiraan kebutuhan sesuai

perhitungan masing-masing lembaga pelayanan.

g) Transpotasi/Jaringan Jalan

Memenuhi standar kualitas dan kuantitas jalan sesuai fungsinya, terutama

untuk yang berfungsi sebagai arteri primer.

Page 160: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 8

Jalan kolektor dalam sistem primer membangun jalan baru sesuai dengan

standar untuk mengganti jalan lama yang berfungsi kolektor, sementara jalan

lama jika jalan baru sudah ada dialihkan fungsinya menjadi jalan berfungsi

lokal.

Jalan yang berfungsi sebagai arteri primer, dikuatkan jalan yang ada sekarang

ditambah jalan tol yaitu Jalan Raya Jatinangor, Jalan Raya Rancaekek, dan

Rencana Jalan Tol Cileunyi – Dawuan.

Jalan Lokal(dalam sistem primer) atau kolektor sekunder dikembangkan dari

jalan lama maupun membangun jalan baru yang menghubungkan antar pusat-

pusat lingkungan dan lingkungan ke jalan kolektor atau arteri sekunder.

2. Pembangunan sarana perdagangan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian

3. Pembangunan permukiman yang layak huni dan memenuhi kesejahteraan dan keadilan

III. Meningkatkan kebijakan insentif penanaman modal (investasi). Adapun strategi yang

dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut diantaranya :

1. Meningkatkan akses dari dan ke kawasan perkotaan

2. Meningkatkan peran kelembagaan yang profesional dan mempermudah investasi dalam

dan luar negeri.

V. Percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adapun

strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

1. Strategi pengembangan sistem prasarana

2. Strategi pengembangan kegiatan perekonomian

II. Pemantapan peran dan fungsi kota dalam pengembangan kawasan pendidikan

tinggi. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

1. Strategi pengembangan sistem jaringan aksesibilitas terpadu dengan berorientasi pada

kepentingan akademis dan masyarakat

2. Strategi pengembangan sistem sarana dan prasarana pelayanan yang mendukung

kebutuhan khusus civitas akademika

Page 161: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 9

3. Strategi pemanfaatan kawasan perguruan tinggi dalam mendukung fungsi resapan air

dengan pemanfaatan ruang detailnya dominan kawasan ruang terbuka hijau .

4. Strategi pengembangan kegiatan ekonomi dan jasa penunjang terbatas berskala lokal

yang hanya melayani kampus

III. Pemantapan peran dan fungsi kota dalam pengembangan kawasan industri. Adapun

strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

1. Strategi pengembangan sistem prasarana yang mendukung kebutuhan industri

2. Strategi pembatasan pemanfaatan ruang kota sebagai kawasan industri yang tidak haus

terhadap kebutuhan air atau dapat menunjukkan teknologi baru untuk pengadaan air

yang tidak merusak cadangan air yang ada (missal mendaur ulang limbah)

3. Pengembangan industri berorientasi manufaktur dengan persyaratan khusus ramah

lingkungan.

4. Pemberian insentif kepada investor

IV. Peningkatan kapasitas manajemen pembangunan perkotaan. Adapun strategi yang

mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

1. Pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan

2. Pengembangan sistem prasarana

3. Pemanfaatan ruang kota

4. Pengembangan kawasan prioritas

IV. Membangun dan meningkatkan sistem transportasi darat yang memiliki interaksi

dalam aksesibilitas kegiatan. Adapun strategi yang mendukung kebijakan tersebut

diantaranya adalah:

a. Pembangunan dan peningkatan jaringan jalan pada kawasan permukiman

b. Penambahan rute dan penambahan sarana angkutan barang

c. Pembangunan terminal sesuai dengan arahan pengembangan kawasan perkotaan

V. Pengembangan sektor andalan jasa-perdagangan, dan industri. Adapun strategi yang

mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

Page 162: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 10

1. Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan

2. Strategi pengembangan sistem prasarana

VI. Pengendalian lingkungan hidup dan kelestarian hutan. Adapun strategi yang

mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

1. Strategi pemanfaatan ruang kota

2. Strategi pengembangan kawasan prioritas

VII. Mewujudkan Kawasan Perkotaan Jatinangor sebagai pusat budaya iptek. Adapun

strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

1. Strategi pengembangan dan peningkatan asset budaya dalam kerangka mendukung

Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda

2. Strategi peningkatan dan pelestarian nilai-nilai lama yang dapat dikembangkan

diimbangi dengan menggali nilai-nilai baru yang lebih inovatif

3. Strategi pemanfaatan iptek dalam mendukung pelestarian dan peningkatan budaya

yang telah berkembang di lingkungan kawasan perkotaan Jatinangor

VIII.Pengembangan perumahan, permukiman dan fasilitas penunjangnya. Adapun strategi

yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:

1. Strategi pengembangan sistem prasarana

2. Strategi pemanfaatan ruang kota

3. Strategi pengembangan kawasan prioritas

IX. Pelibatan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Adapun strategi yang

mendukung kebijakan ini diantaranya adalah :

1. Melibatkan masyarakat dalam tiap tahap pembangun kegiatan perkotaan

2. Memfasilitasi kegiatan perkotaan yang diadakan oleh masyarakat

3. Menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya kegotongroyongan dalam

kegiatan perkotaan

X. Revitalisasi Kota dan kawasan bersejarah. Adapun strategi yang mendukung kebijakan

ini diantaranya adalah:

Page 163: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan Bab VII - 11

1. Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan

2. Strategi pengembangan sistem prasarana

3. Strategi pemanfaatan ruang kota

4. Strategi pengembangan kawasan prioritas

Page 164: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

CAKUPAN DESA/KELURAHAN

PUSAT-PUSAT DI KABUPATEN SUMEDANG

No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009 No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009 No. Pusat Desa/Kel. Tercakup Pop.2009

1. JATINANGOR 1. Cikeruh 7,543 6. RANCAKALONG 1. Nagarawangi

4,814 16. CISITU 1. Situmekar 3,294

(12 dari 12 Desa/Kel) 2. Hegarmanah

8,584 (5 dari 10 Desa/Kel) 2. Cibunar

3,134 (3 dari 10 Desa/Kel) 2. Linggajaya 3,814

3. Cibeusi 11,232 3. Rancakalong

4,493 3. Cisitu 2,437

4. Cipacing 13,764 4. Pangadegan

5,312 9,545

5. Sayang 7,359 5. Sukahayu

4,290 17. DARMARAJA 1. Darmajaya 3,549

6. Mekargalih 5,528

22,043 (9 dari 16 Desa/Kel) 2. Darmaraja 3,973

7. Cintamulya 6,288 7. SUMEDANG UTARA 1. Kotakaler

11,702 3. Sukaratu 2,960

8. Jatimukti 4,392 (13 dari 13 Desa/Kel) 2. Situ

15,549 4. Jatibungur 1,717

9. Cisempur 6,160 3. Talun

5,719 5. Neglasari 2,463

10. Jatiroke 5,514 4. Padasuka

3,637 6. Cieunteung 4,461

11. Cileles 4,877 5. Mulyasari

3,743 7. Tarunajaya 3,521

12. Cilayung 4,587 6. Girimukti

5,977 8. Cikeusi 2,421

85,828 7. Mekarjaya

5,586 9. Karangpakuan 3,624

2. CIMANGGUNG 1.Sindang Pakuwon

7,934 8. Margamukti

4,664 28,689

(9 dari 11 Desa/Kel) 2. Cimanggung

9,947 9. Sirnamulya

4,415 18. CIBUGEL 1. Cibugel 3,185

3. Sindanggalih 9,055 10. Kebonjati

3,669 (2 dari 7 Desa/Kel) 2. Jayamekar 4,058

4. Cihanjuang 11,010 11. Jatihurip

8,239 7,243

5. Sukadana 5,643 12. Jatimulya

6,059 19. WADO 1. Wado 7,295

6. Swahdadap 6,136 13. Rancamulya

6,051 (4 dari 11 Desa/Kel) 2. Cikareo Utara 4,561

Page 165: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

7. Mangunagra 6,274

85,010 3. Cikareo Selatan 4,545

8. Cikahuripan 7,633 8.

SUMEDANG SELATAN 1. Pasanggrahanbaru

12,414 4. Cisurat 3,987

9. Pasirnanjung 6,538

(12 DARI 14 Desa/Kel) 2. Kotakulon

11,352 20,388

70,170 3. Regol Wetan

8,266

3. PAMULIHAN 1. Ciptasari 5,463 4. Cipameungpeuk

5,828 20. JATINUNGGAL 1. Tarikolot 4,093

(7 dari 11 Desa/Kel) 2. Citali

4,414 5. Sukagalih

2,945 (3 dari 9 Desa/Kel) 2. Sarimekar 6,216

3. Pamulihan 7,898 6. Baginda

4,508 3. Sirnasari 4,534

4. Haurngombong 4,700 7. Gunasari

5,518 14,843

5. Cigendel 7,939 8. Sukajaya

6,501 21. JATIGEDE 1. Cijeunjing 2,481

6. Mekarbakti 5,599 9. Margamekar

3,873 (2 dari 12 Desa/Kel) 2. Kadujaya 1,618

7. Cilembu 4,294 10. Ciherang

6,601 4,099

40,307 11. Mekarrahayu

2,565 22. TOMO 1. Tomo 3,823

4. TANJUNGSARI 1. Tanjungsari 5,689 12. Margalaksana

4,585 (2 dari 9 Desa/Kel) 2. Tolengas 5,218

(9 dari 12 Desa/Kel) 2. Gudang

5,403

74,956 9,041

3. Jatisari 5,928 9. GANEAS 1. Ganeas

4,498 23. UJUNGJAYA 1. Ujungjaya 6,994

4. Gunungmanik 7,886 (1 dari 7 Desa/Kel)

4,498 (1 dari 9 Desa/Kel) 6,994

5. Margaluyu 5,045

8,996 24. CONGGEANG 1. Conggeang Wetan 2,160

6. Margajaya 8,549 10. CISARUA 1. Cisarua

4,905 (5 dari 12 Desa/Kel) 2. Conggeang Kulon 3,536

7. Cinanjung 9,127 (2 dari 7 Desa/Kel) 2. Kebon Kalapa

4,575 3. Narimbang 3,424

8. Raharja 6,216

9,480 4. Cibeureuyeuh 1,266

9. Kutamandiri 7,901 12. PASEH 1. Paseh Kidul

3,767 5. Cacaban 1,886

61,744 (4 dari 10 Desa/Kel) 2. Paseh Kaler

4,806 12,272

Page 166: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

5. SUKASARI 1. Sukasari 5,781 3. Legok Kidul

3,871 25. BUAHDUA 1. Buahdua 3,737

(3 dari 7 Desa/Kel) 2. Sukarapih

6,511 4. Legok Kaler

4,594 (4 dari 14 Desa/Kel) 2. Panyindangan 1,934

3. Mekarsari 3,919

17,038 3. Nagrak 2,238

16,211 13. TANJUNGKERTA 1. Sukamantri

4,356 4. Cilangkap 3,009

11. CIMALAKA 1. Cimalaka 4,254 (1 dari 11 Desa/Kel)

4,356 10,918

(8 dari 14 Desa/Kel) 2. Licin

4,397 14. TANJUNGMEDAR 1. Jingkang

3,606 26. SURIAN 1. Surian 2,819

3. Serang 1,985 (1 dari 9 Desa/Kel)

3,606 (1 dari 8 Desa/Kel) 2,819

4. Galudra 3,094 15. SITURAJA 1. Situraja

3,472 Sumber: Hasil Rencana

5. Cimuja 2,460 (6 dari 14 Desa/Kel) 2. Situraja Utara

4,099

6. Mandalaherang 5,217 3. Malaka

2,642

7.Cibeureum Kulon

3,840 # 4. Mekarmulya

2,981

8.Cibeureum Wetan

4,019 5. Jatimekar

3,067

29,266 6. Cijati

2,832 19,093

Page 167: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

LAPORAN AKHIR

STUDI KELAYAKANKAWASAN JATINANGOR SEBAGAI KAWASAN PERKOTAAN

BAPPEDA KABUPATEN SUMEDANG

2009

Page 168: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

LA

PO

RA

N A

KH

IR

ST

UD

I KE

LA

YA

KA

N K

AW

ASA

N J

AT

INA

NG

OR

SE

BA

GA

I KA

WA

SA

N P

ER

KO

TA

AN

BA

PP

ED

A S

UM

ED

AN

G 2

009

LA

PO

RA

N A

KH

IR

ST

UD

I KE

LA

YA

KA

N K

AW

ASA

N J

AT

INA

NG

OR

SE

BA

GA

I KA

WA

SA

N P

ER

KO

TA

AN

BA

PP

ED

A S

UM

ED

AN

G 2

009

Page 169: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan
Page 170: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan
Page 171: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan
Page 172: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 1

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

1. B.F. Hoseliz. 1995. Generative and Parasitic cities, Economic Development and Cultural Change, Vol 3. Pp. 276-94.

2. Kajian Puslitbang Permukiman. 2007. Studi mengenai Konflik Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh Puslitbang Permukiman Departemen PU, Bamdung

3. Kajian Puslitbang Permukiman. 2006. Pengembangan Lembaga Lokal dalam Pembangunan Perumahan. Departemen PU, Bandung

4. Sadu Wasisitiono, Ismail N, dan M. Fahrurozi. 2009. Perkembangan Organisasi Kecamatan Dari Masa ke Masa. Fokusmedia. Bandung

5. UNHCS. 1996. Indicators Programme : Monitoring Human Settlements Vol 1. Introduction, Vol 2 Urban Indicators, Worksheet, Vol 3 Housing Indicators Worksheet.

6. Victoria de Villa and Matthew S.W. 2002. Urban Indicators for Managing Cities : Cities Data Book Asian Development Bank. http://www.adb.org/Documents/Books/Cities_Data_Book/default.asp. 12 Oktober 2009.

7. William Alonso and John Friedmann, eds. 1964. Regional Development and Planning: A Reader. Cambridge: The M.I.T. Press.. Out of print. An Urban Affairs Library Selection

II. Peraturan

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan;

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan;

4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan

Page 173: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 2

Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten SumedangPeraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang;

5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Sumedang Tahun 2005-2025;

6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sumedang Tahun 2009-2013.

7. Peraturan Menteri PU No. 494/PRT/M/2005 tentang kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KNSP Kota)

8. Keputusan Menteri permukiman dan Prasarna Wilayah No 534/PRT/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum

Page 174: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 0

LAMPIRAN

1. Pertumbuhan PDRB

2. Instrumen

3. Rekapitulasi Data (instrumen desa)

4. Penjaringan Aspirasi Masyarakat

Page 175: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 1

Tingkat Perkembangan PDRB Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung berdasarkan Harga Berlaku dan Harga Konstan

Tahun PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta) Perkembangan (%) PDRB ADH Konstan (Rp. Juta) Perkembangan (%)

2008 117,006,008 11.34 62,275,724 4.37

2009 138,144,567 18.07 65,444,945 4.90

2010 158,994,004 15.09 68,828,839 4.95

2011 178,850,597 12.49 72,406,076 5.04

2012 199,127,727 11.34 76,011,095 5.05

2013 235,102,574 18.07 79,795,603 5.06

2014 270,585,376 15.09 83,768,539 5.07

2015 299947087.1 12.49 88,031,532 5.08

CIMANGGUNG

Tahun PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta) Perkembangan (%) PDRB ADH Konstan (Rp. Juta) Perkembangan (%)

2008 102158942.3 11.12 54,857,134 4.82

2009 119,670,369 17.14 57,489,874 4.80

2010 137,516,203 14.91 60,309,989 4.91

2011 154,257,666 12.17 63,260,085 4.95

2012 171,412,361 11.12 66,354,487 4.82

2013 200,794,763 17.14 69,553,435 4.80

2014 230,738,265 14.91 72,891,490 4.91

2015 258,828,745 12.17 76,467,117 4.89

Page 176: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 2

Proyeksi Struktur Ekonomi di Kecamatan Cimanggung sd Tahun 2015

No. Lapangan Usaha PDRB (Jutaan Rupiah)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

1 Pertanian 4,623,611 5,246,488 6,408,540 7,344,496 8,206,733 86,206,976 10,098,402 11,604,325 13,017,056 14,464,658 16,944,096 19,470,883 21,841,302

2Pertambangan dan Penggalian 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 Industri Pengolahan 41,134,539 45,358,635 52,527,535 60,286,691 67,467,987 766,951,243 89,841,708 103,239,345 115,807,883 128,686,653 150,745,289 173,225,168 194,313,903

4Listrik, Gas dan Air bersih 1,138,839 1,375,037 1,639,698 1,955,269 2,395,605 21,233,591 2,487,332 2,858,255 3,206,224 3,562,782 4,173,491 4,795,862 5,379,719

5 Bangunan/Konstruksi 956,332 1,061,275 1,266,597 1,454,247 1,604,709 17,830,758 2,088,719 2,400,199 2,692,404 2,991,821 3,504,659 4,027,291 4,517,581

6Perdagangan, Hotel, dan Restoran 4,114,170 4,652,417 5,663,413 6,570,530 7,328,391 76,708,476 8,985,735 10,325,732 11,582,804 12,870,906 15,077,153 17,325,532 19,434,773

7Pengangkutan dan Komunikasi 388,984 438,067 599,436 710,133 799,686 7,252,586 849,578 976,271 1,095,124 1,216,910 1,425,505 1,638,084 1,837,507

8Keuangan, Persewaan, dan Jasa Persh. 1,034,368 1,175,527 1,347,078 1,493,291 1,663,460 19,285,735 2,259,157 2,596,054 2,912,102 3,235,951 3,790,637 4,355,915 4,886,212

9 Jasa-jasa 1,400,919 1,577,600 1,869,272 2,142,734 2,468,456 26,120,059 3,059,739 3,516,022 3,944,069 4,382,681 5,133,932 5,899,530 6,617,749

Total 54,791,762 60,885,046 71,321,569 81,957,391 91,935,027 102,158,942 119,670,369 137,516,203 154,257,666 171,412,361 200,794,763 230,738,265 258,828,745

Sumber : Hasil Analisis

Page 177: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 3

INSTRUMEN

STUDI KELAYAKAN KAWASAN JATINANGOR (KECAMATAN JATINANGOR DAN KECAMATAN CIMANGGUNG)

SEBAGAI KAWASAN PERKOTAAAN

BADAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG

Jl. Empang No 1

Sumedang-Jawa Barat 45311

Page 178: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 4

BADAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG

Kuesioner ini disusun untuk keperluan Pengkajian Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaaan Kuesioner ini

ditujukan kepada Kepala Desa atau perangkat desa yang ditugaskan. Pada pertanyaan/pernyataan yang disusun, Bapak/Ibu/Saudara

dapat mengisi sesuai dengan kondisi desa.

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

I. Aspek Penduduk

1. Jumlah Penduduk (jiwa) 4355 5490 5615 8158 9394

2. Luas desa (ha) 320.24 Ha

3. Penduduk yang bermigrasi

- Datang/masuk ke desa 5 3 10 15

- Keluar/pergi dari desa 1 1 1 13 23

II. Aspek Produktivitas

4. Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) 476 390 303 335 185

5. Jumlah Pengangguran (jiwa) 213 195 156 127 95

6. Jumlah penduduk

Usia 0-14 tahun 958 1262 1373 1653 1801

Usia > 55 tahun 827 1098 1125 1378 1719

Page 179: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 5

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

III. Aspek Kesehatan dan Pendidikan

7. Tingkat Kematian Ibu (Jiwa) 6 17 11 8 9

8. Tingkat Kematian Bayi (Jiwa) 1 1 2 1 4

9. Angka Prevalensi Penyakit Diare (%) 1 2 2 1 4

10 Penyakit infeksi lainnya : (5 teratas yang paling sering dialami penduduk desa)

1. ISPA………………………

2. GONDOK……………………….

3. ……………………………….

4. ……………………………….

5. ……………………………….

1 1

1

1

2

1

11. Jumlah tenaga medis :

- Dokter

- Bidan desa

- Mantri

- Perawat

- Lain-lain

- …………………….

- ……………………..

- ……………………..

1

4

1

4

1

4

1

4

1

4

12. Rata-rata usia harapan hidup warga (tahun)

Page 180: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 6

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

13. Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit)

- Puskesmas …………….. unit; Cakupan daerah yang dilayani ………… RT/RW

- Pustu ………………….. unit; Cakupan daerh yang dilayani ……………..RT/RW

- Polindes/Puskesdes 1.. unit; Cakupan daerh yang dilayani 33/9……..RT/RW termasuk desa tetangga

- Lain-lain sebutkan :

- …………………………………..

- ………………………………….

14. Ketersediaan Apotek/Toko Obat …………………(unit)

15. Penduduk yang tidak Melek Huruf /Buta huruf (jiwa)

50 50 35 32 28

16. Tingkat Pendidikan Masyarakat :

- Tidak/ Belum pernah sekolah

- Tidak/ Belum Tamat SD

- SD/MI/Paket A

- SLTP/MTs/Paket B

- SLTA/MA /Paket C

- Akademi/ Diploma

- Universitas

- Lain-lain .......................

63 58 50 47 40

325 310 290 225 273

1570 1640 1657 1686 1686

1360 1368 1392 1507 1507

1150 1100 1031 950 950

73 85 91 96 111

8 10 16 20 20

Page 181: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 7

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

17. Ketersediaan Fasilitas Pendidikan Dasar (perkembangan dari tahun 2005 sd. Tahun 2009)

- TK/RA

- SD

- MI

- Lain-lain (non formal)

- ……………………….

- ……………………….

18. Ketersedian Fasilitas Pendidikan Menengah (perkembangan jumlahnya dari tahun 2005 sd. Tahun 2009)

- MTs

- SMP

- SMU/SMK

- Lain-lain (non formal)

- ………………………….

- ………………………….

IV. Aspek Pemukiman dan Lingkungan

19. Jumlah Pemukiman kumuh (unit)

20. Luas pemukiman kumuh (ha)

21. Ruang terbuka hijau (ha)

Page 182: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 8

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

22. Tingkat pulusi/pencemaran (beri tanda sesuai kondisi desa)

� Ada/tinggi, sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….

� Ada/sedang, sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….

� Ada/rendah sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….

� Tidak ada, sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….

23. Jumlah kejadian kebakaran (… kali/tahun)

24. Tindak kejahatan yang pernah terjadi di desa (sebutkan banyak kejadian pada setiap jenis dari tahun 2005 jika memungkinkan) :

Jenis kejahatan/kriminal yang terjadi :

1. ………………………………….

2. …………………………………..

3. …………………………………..

4. …………………………………..

5. ……………………………………

6. …………………………………..

7. …………………………………..

8. …………………………………..

Page 183: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 9

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

V. Aspek Ekonomi

25. Mata pencaharian penduduk :

- PNS

- TNI

- Polri

- Swasta

- Petani

- Pedagang

- Buruh

- …………………

- …………………

26. Ketersediaan sarana penunjang perekonomian (jumlah yang ada di desa)

- Hotel

- Restoran

- Pasar

- Terminal

- Pertokoan

- Depot air isi ulang

- Bioskop

Page 184: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 10

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

- Bank

- Jasa Boga

- Tempat wisata

- Kolam renang

VI. Aspek Budaya

27. Potensi Fisik

Bangunan cagar budaya, situs, benda arkeologis dan kawasan bersejarah (jika ada sebutkan)

1. ………………………………………

2. ……………………………………….

3. ……………………………………….

4. ……………………………………….

28. Potensi Non Fisik

Peninggalan atau warisan budaya meliputi seni budy, ritual, adat dan kebiasaan (jika ada sebutkan):

1. ………………………………………

2. ……………………………………….

3. ……………………………………….

4. ……………………………………….

5. ……………………………………….

6. ……………………………………….

Page 185: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 11

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

30. Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)

1. ………………………………………

2. ……………………………………….

3. ……………………………………….

VII. Aspek Spasial

31. Pemanfaatan Lahan (ha)

- Perumahan/permukiman

- Pertanian

- Perkantoran

- Perdagangan dan jasa

- Industri

- Fasilitas umum dan fasilitas sosial

- Perguruan Tinggi

- Ruang campuran

- Kawasan lindung

32. Ketersediaan ruang publik (m2)

- Lapangan olah raga

- Taman bermain

- Taman Kota

- Jalur hijau

Page 186: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 12

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

VIII. Prasarana

33. Sektor Air Bersih

a. Sumber Air (sebutkan darimana saja air bersih diperoleh warga desa ) :…………………

b. Kualitas Air : ……………………………………………………………………………..

c. Kebocoran Air : …………………………………………………………………………..

d. Pelayanan : ……………………………………………………………………………….

Cakupan Pelayanan :

Cakupan Pelanggan :

Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik) :

Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik) :

Tingkat penggunaan air :

e. Tarif Air :

34. Sektor Transportasi

a. Panjang Jalan Utama ………………………. Lebar jalan …………………m

b. Panjang Jalan Lingkungan………………….. Lebar jalan …………………m

c. Panjang jalan setapak : ………………………. Lebar jalan …………………m

c. Kondisi Jalan :

d. Kecepatan rata-rata (waktu tempuh);

e. Angkutan Kota/desa (yang melalui desa) :

Page 187: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 13

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

35. Listrik dan Telpon

- Rumah tangga yang telah memiliki sambungan dengan jaringan listrik PLN :

- Rumah tangga yang telah memiliki sambungan telpon :

36. Sanitasi (pilih sesuai kondisi desa)

a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system) oleh desa

b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system) oleh kecamatan atau dinas kebersihan

c. Lain-lain sebutkan ……………………………………..

37. Persampahan

a. Pengumpulan :……………………….

b. Pengangkutan : ……………………..

c. Kapasitas Pembuangan : ……………………

d. Metoda Pembuangan :

e. Kepemilikan lahan TPS (Tempat Pembuangan sementara) :

f. Kepemilikan Lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) :

f. Pelayanan, meliputi :

Cakupan Pelayanan :

Retribusi Sampah :

Kerjasama dengan Masyarakat :

Page 188: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 14

No. Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

37. Drainase (saluran pembuangan)

- Panjang saluran pembuangan air (buatan) pada sepanjang jalan utama :……………….….. m, lebar…………..m

- Panjang saluran pembuangan air (buatan) pada sepanjang jalan lingkungan :…………………….m, lebar …………m

- Panjang saluran alam (jika ada) …………… m, lebar………………. m

- Sungai yang terdapat di (melalui) desa sungai :………………… Panjang …………….m, Lebar ……………….m

- Ketinggian air sungai dari permukaan : …………………….cm

- Lama air tergenang di lingkungan desa jika hujan (pada permukaan jalan atau lainnya):

- Ketinggian air tergenang : ………………… cm

- Frekuensi air tergenang dalam 1 tahun : …………………..

- Upaya pemeliharaan dan pengawasan terhadap saluran air yang dilakukan desa/masyarakat :

- …………………………………….

- ……………………………………..

- ……………………………………..

Desa ……………………….

Kepala Desa

(…………………………….)

Page 189: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 15

Tabel.

No Desa Tahun/Jiwa

2005 2006 2007 2008 2009Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar

KECAMATAN JATINANGOR1 Cipacing 28 17 27 16 26 15 24 15 14 242 Sayang 43 31 22 39 25 39 65 63 95 513 Mekargalih 4 9 1 24 Cintamulya 5 1 0 1 3 1 10 13 15 235 Cisempur 14 9 8 146 Jatimukti 21 5 18 13 34 8 26 14 33 207 Jatiroke 2 4 3 4 5 6 6 10 8 128 Hegarmanah 30 90 30 59 41 106 126 133 113 1399 Cikeruh 17 48 23 36 21 72 45 99 65 114

10 Cibeusi 10 15 10 1711 Cileleus - - - - - - - - - -12 Cilayung 3 1 3 2 2 - 5 5 6

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga 8 40 6 16 2 10 8 26 6 212 Sawahdadap3 Sukadana 18 11 29 5 42 6 41 2 58 94 Cihanjuang - - - - - - - - - 105 Sindangpakuon6 Sindanggalih - - 250 9 356 7 214 10 287 15

Page 190: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 16

Tabel. Sebaran Penduduk

No Desa Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Jumlah Pengangguran (jiwa) Jumlah penduduk usia ketergantungan (jiwa)

Tahun Tahun Tahun2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009

Kecamatan Jatinangor1 Cipacing 3192 3335 3464 3608 3758 793 831 866 92 940 3784 3941 4105 4276 4454

2 Sayang 780 945 1033 1360 1360 309 404 410 417 428 1161 1260 1573 1741 1966

3 Mekargalih 1388 1388 520 611 722 6325

4 Cintamulya 476 390 303 335 185 213 195 156 127 95 1785 2360 2498 3031 3520

5 Cisempur 686 1967 2380

6 Jatimukti 2434 2538 2557 2569 1343 4255 4347 4436 4548 4630

7 Jatiroke 1627 1627 1627 1627 1627 1657 1459 1460 1465 1567 1105 1112 1122 1153 1265

8 Hegarmanah 1802 1922 2047 2216 2216 3390 3571 3713 3953 4113

9 Cikeruh 1149 1149 1149 1149 1149 2751 2979 2973 3152 3276 -

10 Cibeusi 2016 - -

11 Cileleus 1455 1455 505 1224 1237 -

12 Cilayung 2272 2272 683 1317

Kecamatan Cimanggung

1 Mangunarga 326 359 486 421 386 296 328 342 252 192 3294 3623 4252 4426 4638

2 Sawahdadap

3 Sukadana 116 116 218 262 318 621 569 982 582 1039 1229 1497 1188 1344 1435

4 Cihanjuang - - - 1515 1515 - - - - - - - - 2043 2051

5 Sindangpakuon

6 Sidanggalih 871 800 757 575 575 - - - - - 5516 5527 5688 5718 5843

Page 191: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 17

Tabel

No Desa Tingkat kematian ibu Tingkat kematian Bayi Angka Prevalensi Penyakit Diare

Tahun Tahun Tahun2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009

KECAMATAN JATINANGOR1 Cipacing - - - - - - - 2 1 3 - - - - -2 Sayang 2 2 1 3 2 4 3 4 1 3 - - - - -3 Mekargalih - - - - - - - - - - - - - - -4 Cintamulya 6 17 11 - 9 1 1 2 1 4 1 2 2 1 45 Cisempur - - - 1 5 - - - 1 1 5% 10% 7% 5% 15%6 Jatimukti - 1 - - - 1 1 - - 17 Jatiroke 0.10% 0.10% 0.10% 0.10% 0.10% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 0.30% 0.30% 0.30% 0.30% 0.30%8 Hegarmanah 21 23 26 16 12 1 1 2 - - 20 (%?) 18 15 16 129 Cikeruh - - - - - - 1 2 2 4 2.5 1.5 0.5 0.5 0.5

10 Cibeusi - - - - - - - - - - - - - - -11 Cileleus - - - - - - - - 1 - - - - - -12 Cilayung - - - - - - - - 2 2 - - - - -

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga 18 15 14 12 10 4 5 3 3 3 20% 20% 10% 10% 10%2 Sawahdadap3 Sukadana - - 1 - - - 2 - - - - - - -4 Cihanjuang - - - - - - - - - - - - - - -5 Sindangpakuon6 Sindanggalih - - - - - - - - - - - - - - -

Page 192: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 18

Tabel.

No Desa Penyakit infeksi paling sering diderita

Tahun2005 2006 2007 2008 2009

KECAMATAN JATINANGOR1 Cipacing - - - - -2 Sayang Demam berdarah, penyakit kulit, diare, paru-paru dan demam3 Mekargalih - - - - -4 Cintamulya ISPA (0), Gondok (1) (0; 1) (1: 1) (0:0) (2:1)5 Cisempur iSPA, MAAG, Diare, Kulit dan rematik - - -6 Jatimukti ISPA7 Jatiroke Diare, muntaber, tipus, malaria dan paru28 Hegarmanah Demam(15) 21 18 17 149 Cikeruh ISPA dan TBC

10 Cibeusi - - - - -11 Cileleus - - - - -12 Cilayung Inluensa, ISPA, Diare, TB dan Variecella

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga Jantung, Lever, Paru-paru, Stroke, Diabetes2 Sawahdadap3 Sukadana Jantung, Struk,Darah Tinggi4 Cihanjuang ISPA, Gatal,Diare - - - -5 Sindangpakuon6 Sindanggalih - - - - -

Page 193: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 19

Tabel ……

No Desa Jumlah Tenaga Medis

Tahun2005 2006 2007 2008 2009

KECAMATAN JATINANGOR1 Cipacing dokter(1), bidan(2), mantri(2), Perawat(6) (1,2,2,2) (1,2,2,3) (2,3,2,4) (2,4,2,6)2 Sayang dokter(1), bidan(2), mantri(1), Perawat(3), refleksi(1), paraji(1) (2,2,1,2,4,1) (4,2,1,3,4,1) (4,3,1,4,4,1) (4,3,1,2,6,4,1)3 Mekargalih dokter(0), bidan(0), mantri (0) (0,1,0) (4,1,1) (4,1,1) (4,1,1)4 Cintamulya Bidan (1), Perawat (4) (1; 4) (1; 4) (1; 4) (1; 4)5 Cisempur dokter (0), Bidan(0), Mantri(0), Perawat(0) (1,1,1,1)6 Jatimukti Bidan desa (1) 1 1 1 17 Jatiroke bidan desa (1) 1 1 18 Hegarmanah dokter(4), Bidan(1), mantri(1), perawatan (5), paraji (2) (4,1,1,7,2) (4,1,1,9,2) (4,1,1,12,2) (4,1,1,12,2)9 Cikeruh dokter (1), Bidan(1), Mantri(1) (1; 1; 1) (2;1;1) (2;1;1) (3;1;1)

10 Cibeusi dokter(0), bidan(0), mantri (0), perawat(0) (2,1,1,8)11 Cileleus Bidan desa (0), mantri (0) (1,1)12 Cilayung Bidan desa (1) 1 1 1 1

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga dokter (1), Bidan Desa (1), Mantri (0), Perawat (0), Dukun Terlatih (1) (1,1,0,0,1) (1,1,0,0,1) (1,1,0,0,1) (1,1,0,0,1)2 Sawahdadap3 Sukadana Bidan Desa (1) 1 1 1 14 Cihanjuang Bidan Desa (1).Mantri (1), Perawat (3) (1,1,3) (1,1,3) (1,1,3) (1,1,3)5 Sindangpakuon6 Sindanggalih Bidan Desa,Mantri, Perawat, Dukun Bayi(Paraji), (2,5,2,2) (2,5,2,3) (2,5,3,3) (2,5,4,3) 2,5,4,3)

Page 194: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 20

Tabel …..

No Desa Ketersediaan Fasilitas Puskesmas

ApotikPuskesmas Pustu Polindes/Puskedes cakupannya lain-lain

KECAMATAN JATINANGOR1 Cipacing - 1 1 68/18 RT/RW -2 Sayang - - 1 53/13 RT/RW klinik 24 jam 33 Mekargalih - - - klinik 24 jam 4 bh 24 Cintamulya 1 33 /9 RT/RW -5 Cisempur - 1 - 31/10 -6 Jatimukti - - 1 26/7 RT/RW 37 Jatiroke - - - 30 RT/5 RW -8 Hegarmanah 1 - 53/14 RT/RW klinik Arrohmad 19 Cikeruh - - - - -

10 Cibeusi - - 1 53 RT - 211 Cileleus - 1 - 35/9 RT/RW - -12 Cilayung - - 1 -

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga - - 1 9/RW Balai pengobatan/Poliklinik (3), Tempat Dokter Praktek (1) 12 Sawahdadap - - - - -3 Sukadana - - 1 28/8 Rt/Rw pos yandu -4 Cihanjuang - - 1 49/15 Rt/Rw - -5 Sindangpakuon - - - - -6 Sindanggalih 1 1 1 68/15 RT/RW Tempat Bersalin (3unit) 5

Page 195: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 21

Tabel ……

No Desa Penduduk Tingkat Pendidikan masyarakatButa Huruf Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD/MI/PKT A SLTP/MTs/PKT B SLTA/MA/PKT C Akdi/diploma Univer Lain2

KECAMATAN JATINANGOR1 Cipacing - - 960 1625 1105 2417 465 4872 Sayang - - 1355 1345 2215 1330 15553 Mekargalih - - - 1684 1352 1256 249 -4 Cintamulya 28 40 273 1686 1507 950 111 205 Cisempur - 652 124 703 508 349 44 - -6 Jatimukti 53 141 98 895 899 130 25 217 Jatiroke - - 78 198 69 11 6 - -8 Hegarmanah 149 395 342 488 348 226 425 4559 Cikeruh 13 6593 2037 2953 2119 237 127

10 Cibeusi - 7 634 996 1998 5272 517 75111 Cileleus - 380 73 493 872 676 37 88 -12 Cilayung - 526 1870 1523 576 174 90 41

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga 30 778 996 1290 1392 1362 98 722 Sawahdadap3 Sukadana 102 284 532 706 800 32 11 - -4 Cihanjuang 1487 2440 4451 131 - -5 Sindangpakuon6 Sindanggalih 69 297 208 15 12 15 27 - -

Page 196: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 22

Tabel …………

No Desa Fasilitas Pendidikan Dasar Fasilitas Pendidikan Menengah

TK/RA SD MI Lain2 SMP MTs SMU/SMK Lain-lainKECAMATAN JATINANGOR

1 Cipacing 4 5 - 1 - 1 -2 Sayang 12 4 7 Paud (3) - 1 1 kur jahit (2), kur komp (3)3 Mekargalih 3 1 3 - - - -4 Cintamulya 3 2 15 Cisempur 1 2 6 1 - -6 Jatimukti - 2 - MDA (5) - - -7 Jatiroke 3 2 - - 1 - 1 -8 Hegarmanah 2 4 - 2 1 29 Cikeruh 3 4 2 - - 1

10 Cibeusi 3 1 1 paud(2) 2 1 1 Paket C (1)11 Cileleus 1 1 1 - - 1 1 Pesantren (2)12 Cilayung 2 1 2 Paud (1) 1 - -

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga 2 2 Pend.Keagamaan (7) - - - -2 Sawahdadap -3 Sukadana 1 2 - - - - -4 Cihanjuang 7 5 - - - 1 2 -5 Sindangpakuon -6 Sindanggalih 3 3 7 TPA(6) Paud(2) 2 7 2 -

Page 197: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 23

Tabel ……

No Desa Jumlah pemukiman kumuh (unit) Luas Pemukiman kumuh (ha) Ruang Terbuka Hijau (ha)

Tahun Tahun Tahun2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009

KECAMATAN JATINANGOR1 Cipacing 70 70 64 60 54 20 187 16 15 15 30 30 27 27 27

2 Sayang 120 - - - 65 10000m2 900m2 700m2 600m2 0.25 46 ha42 ha 30 ha 33 ha 28

3 Mekargalih - - - - - - - - - - - - - - -4 Cintamulya - - - - - - - - - - - - - - -5 Cisempur 44 0.2324 - - - - -6 Jatimukti 873 975 979 981 987 40 40 40 40 40 - - - - -7 Jatiroke 1294 186 - - - - -8 Hegarmanah 94 90 86 84 82 0.329 0.315 0.301 0.294 0.287 35 35 35 35 359 Cikeruh - - - - - - - - - - - - - - -

10 Cibeusi - - - - - - - - - - - - - - -11 Cileleus - - - - 1417 - - - - 60 2012 Cilayung - - - - - - - - - - 280 271 268 265 263

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga 61 75 58 55 43 1640m2 1,6 ha 800m2 600m2 200m2 1,57 ha 3 ha 2.5 ha 2,5 ha 2.52 Sawahdadap3 Sukadana 28 14 12 9 6 1 1 500m2 200m2 200m2 15 15 15 15 154 Cihanjuang - - - - - - - - - - - - - - -5 Sindangpakuon6 Sindanggalih 35 30 30 31 30 - - - - - 10 12 12 12 12

Page 198: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 24

Tabel ……

No Desa Tingkat Polusi/Pencemaran

Jumlah kejadian kebakaran (kali/tahun)Tahun

Tinggi/Jenis Sedang/Jenis Rendah/Jenis 2005 2006 2007 2008 2009KECAMATAN JATINANGOR

1 Cipacing - - - - - - - -

2 Sayang pencemaran lingkkendaraan

pabrik polusi udara - 1 2 - -3 Mekargalih asap batu bara - - - - - - -4 Cintamulya asap industri serapan limbah industri - - - - -5 Cisempur polusi udara - - - - -6 Jatimukti - - - - -7 Jatiroke - - - - - - - -8 Hegarmanah Asap kendaraan9 Cikeruh Kotoran ternak sapi sampah dan asap kendaraan - - - - -

10 Cibeusi - - - - - - - -11 Cileleus - - - - - - - -12 Cilayung - - - - 1 - - -

KECAMATAN CIMANGGUNG1 Mangunarga - - polusi udara hasil pembakaran batu bara - - - - -2 Sawahdadap - - - - -3 Sukadana Debu dari perusahaan - - - - - 2 14 Cihanjuang - - - - - - - -5 Sindangpakuon - - - - -6 Sindanggalih - - - - - - - -

Page 199: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 25

No Desa Tindak Kejahatan yang Pernah Terjadi

Tahun2005 2006 2007 2008 2009

KECAMATAN JATINANGOR1. Cipacing Curanmor - - - -

2. Sayang curanmor(3), pencurian di rumah (3), asusila(1), bunuh diri(0), narkoba(3), perjudian(1), perkelahian(1), penipuan(1) (5,0,2,0,2,1,2,1) (8,0,3,0,3,1,1,4) (6,0,5,1,4,2,2,3) (9,2,4,1,4,1,2,2)

3. Mekargalih Pencurian 1 1

4. Cintamulya - Curanmor (8), pencurian HP (12)

5. Cisempur -6. Jatimukti Pencri(6), Pembnhn(), penipuan(6) (7,0,4) (7,0,5) (8,0,5) (10,1,6)7. Jatiroke Pencurian motor (4) Penc mobil

8. Hegarmanah curanmor, pencurian hewan ternak, pencurian tabung gas, penipuan dan pencopetan

9. Cikeruh Pembongakaran (1), curanmor (0) (1,0) (0,1) (0,2) (9,2)10. Cibeusi curanmor 511. Cileleus -12. Cilayung Pencurian ternak (1) 1 1 1 1KECAMATAN CIMANGGUNG

1. Mangunarga Curanmor 4 3 3 22. Sawahdadap3. Sukadana Pencurian, Perkelahian Pemuda (2,1 ) (3,0) (2,2) (1,0) (2,1)4. Cihanjuang - - - - -5. Sindangpakuon6. Sindanggalih - - - - -

Page 200: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 26

Tabel……

No Desa

Mata Pencaharian Penduduk

PNS TNI POLRI Swasta Petani

2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009

KECAMATAN JATINANGOR

1 Cipacing 253 259 270 160 185 210 45 49 54 1454 1620 1810 126 119 110

2 Sayang 87 99 103 105 105 20 21 24 26 26 30 34 37 39 48 693 703 715 719 723 97 99 100 103 105

3 Mekargalih 59 4 10 881 10

4 Cintamulya 21 26 30 35 35 15 15 15 18 20 12 12 12 12 14 2015 2095 3156 3262 3780 115 98 75 75 75

5 Cisempur 56 67 6 6 10 10 464 524 54 50

6 Jatimukti 30 32 35 37 39 9 10 11 12 15 470 471 473 475 480 481 485 488 490 493

7 Jatiroke 130 130 130 130 130 4 5 7 7 7 5 5 5 6 6 18 18 18 18 18 160 165 175 180 185

8 Hegarmanah 745 758 767 787 791 15 18 25 31 31 12 12 14 16 16 721 741 734 738 731

9 Cikeruh 157 159 171 166 166 97 101 103 107 112 438 441 413 427 438 217 235 248 255 258

10 Cibeusi 2600 2600 4 5 412 412 94 94

11 Cileleus 50 3 4 400 441

12 Cilayung 47 - 1 375 830

KECAMATAN CIMANGGUNG

1 Mangunarga 63 66 73 85 90 22 23 45 49 55 - - - - - 1147 1539 1861 2000 2600 66 69 75 81 95

2 Sawahdadap

3 Sukadana - - - - - 7 7 9 11 84 2 3 6 7 19 - 1 4 6 11 421 514 617 781 788

4 Cihanjuang - - - 75 75 27 27 15 15 3950 3950 1334 1334

5 Sindangpakuon

6 Sindanggalig 10 13 13 13 21 4 4 5 6 8 2 2 2 3 3 351 395 459 734 765

Page 201: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 27

Tabel ……

No Desa

MATA PENCAHARIAN PENDUDUK

PNS Pedagang Buruh Dokter Pensiunan

2005 2006 2007 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009

KECAMATAN JATINANGOR

1 Cipacing 253 595 605 625 1600 1625 1785

2 Sayang 87 99 103 390 399 419 422 427 330 419 427 430 438 3 3 3 3 3 73 76 79 84 87

3 Mekargalih 193 336

4 Cintamulya 21 26 30 455 497 504 625 715 97 78 50 50 50

5 Cisempur 206 231 78 78

6 Jatimukti 48 49 51 54 58 310 313 315 317 321

7 Jatiroke 130 130 130 405 405 405 410 410 405 405 405 410 410 - - - - - - - - - -

8 Hegarmanah 79 76 68 63 51 1375 1381 1437 1438 1451

9 Cikeruh 233 246 265 287 323 118 123 127 127 131

10 Cibeusi 153 153 63 63

11 Cileleus 200 408 - -

12 Cilayung 550 1800

KECAMATAN CIMANGGUNG

1 Mangunarga 63 66 73 654 687 725 980 1085 606 636 676 710 740

2 Sawahdadap

3 Sukadana - - - 102 241 202 303 109 71 88 98 103 109 - - - - - - - - - -

4 Cihanjuang - - - 109 109 2817 2817

5 Sindangpakuon

6 Sindanggalig 451 462 527 567 750 1233 1252 1301 1323 1379

Page 202: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 28

NOTULENSIDISKUSI PUBLIK RENCANA STUDI KELAYAKAN

KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR

Jatinangor, 13 Oktober 2009

Acara dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan terlebih dahulu disampaikan

Laporan Panitia Pengelenggara, Sambutan Camat Jatinangor, Sambutan dari

Ketua DPRD Kabupaten Sumedang, dan penyampaian sepintas pandangan

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sumedang terkait Studi Kelayakan Kawasan

Perkotaan Jatinangor dan Sambutan Bupati Sumedang.

Pelaksanaan diskusi publik dipandu oleh Drs. Herman Suryatman, M.Si.

(Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Bappeda Kab. Sumedang).

Sekilas Pandang dari Perwakilan Masyarakat Jatinangor yang disampaikan

oleh Bapak Warson (Kepala Desa Jatinangor).

Jatinangor adalah penyumbang PAD terbesar bagi Kabupaten Sumedang.

Segenap komponen pemerintahan desa akan mendukung upaya yang

dilakukan pemerintah terhadap Jatinangor selama 2 tujuan utamanya dapat

diperjuangkan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Pubik dan Peningkatan

Kesejahteraan Masyarakat.

SESI TANYA JAWAB:

Bp. Dudi Supriadi: Politicall Will pemerintah sudah ada, tinggal Politicall

Action;

Kalau melihat Tata Ruang Provinsi Jawa Barat, Jatinangor bukan merupakan

kawasan perkotaan.

Jatinangor merupaka PKL Perdesaan.

Perencanaan di Jatinangor sangat kacau.

Bapak Odang (Tokoh Masyarakat Cipacing): Masalah pemeliharaan

kesehatan lingkungan, sampah (limbah) dan air bersih agar lebih

diperhatikan dalam studi ini.

Masalah keamanan juga harus dipersiapkan sedini mungkin.

Page 203: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 29

Untuk meningkatkan perekonomian masyarakat kedepan agar dikembangkan

desa wisata budaya di Jatinangor.

Atep Somantri : esensi diskusi publik pada kesempatan hari ini pada

dasarnya belum sampai kepada kesimpulan. Kawasan Jatinangor kami

pandang layak menjadi kawasan perkotaan.

Bapak Endin: Pelayanan pemerintah kepada masyarakat Jatinangor sangat

minim. Padahal Jatinangor merupakan penyumbang PAD terbesar. Yang

diperlukan saat ini adalah bukti nyata itikad Pemerintah Kabupaten Sumedang

untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Jatinangor.

Dede Rohanda (Cintamulya): program saat ini terkesan dipaksakan karena

mengantisipasi berbagai isu yang terkait dengan Jatinangor.

Konsistensi dari agenda yang dilaksanakan pada hari ini bagaimana.

Tatang (LPM Hegarmanah) : secara nomen klatur saat ini di Jatinangor masih

desa belum kelurahan, tapi pada dasarnya kami mendukung pengembangan

Jatinangor menjadi kawasan perkotaan.

Bapak Aoh (Kabag Tapem): Kawasan Jatinangor menjadi kawasan perkotaan

merupakan desakan kehendak masyarakat. Semangat ini murni merupakan

usulan dari masyarakat (Buttom Up).

Perlu ada dukungan politik dari semua pihak, sehingga semangat

pembentukan Jatinangor menjadi kawasan perkotaan tidak dikecilkan.

Bapak Edi Askari (DPRD): segenap stakeholder harus dilibatkan. Output dari

kegiatan ini diharapkan memunculkan beberapa rekomendasi bagi

Pemerintah daerah untuk pengembilan kebijakan selanjutnya. Sekiranya hasil

studi menyatakan Jatinangor layak menjadi kawasan perkotaan, karakteristik

seperti apa yang tepat bagi Jatinangor.

Bapak Ismet : Apakah peserta diskusi publik sudah terwakili pada acara ini

sehingga segenap komponen masyarakat memahami.

Hendrik Kurniawan (DPRD): Pada dasarnya masyarakat tidak peduli dengan

bentuk pemerintahan/pengelolaan kawasan yang seperti apa, tapi yang

penting adalah bagaimana kualitas pelayanan kepada masyarakat

ditingkatkan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Semangat mewujudkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan jangan

melenceng dari 2 esensi utama yang telah disebutkan diatas.

Page 204: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 30

TANGGAPAN NARASUMBER

Kepala Bappeda Kabupaten Sumedang: Menurut pola ruang pada Tata

Ruang Provinsi Jawa Barat, Jatinangor merupakan Kawasan Strategis.

Pada akhirnya seandainya Jatinagor dinyatakan layak menjadi kawasan

perkotaan, selanjutnya pasti akan ditetapkan dan diatur melalui peraturan

Daerah, tapi terlebih dahulu harus ada studi kelayakan sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

Kegiatan yang dilaksanakan pada hari ini bukan merupakan program yang

muncul tiba-tiba, tapi merupakan rangkaian dari upaya perjuangan

masyarakat Jatinangor pada waktu-waktu sebelumnya.

Komitmen yang dibuat pemerintah harus dibarengi dengan kesiapan

masyarakat.

Prof. Sadu: Tidak seluruh wilayah Jatinagor masuk kedalam kawasan

perkotaan, dan tidak semua kawasan wilayah Cimanggung masuk kedalam

kawasan perkotaan.

Pertemuan ini baru pada tahapan mengeksplorasi berbagai masukan dari

segenap komponen masyarakat, sedangkan pembentukan badan pengelola

kawasan perkotaan merupakan tahapan selanjutnya setelah mengkaji dan

menganalisa data yang ada dikaitkan dengan berbagai alternatif solusi yang

dimunculkan.

Untuk menuju daerah otonom masih jauh, sekarang bagaimana caranya

kawasan perkotaan ini dapat dimanaj lebih optimal.

Konsep kawasan perkotaan jatinangor akan menjadi percontohan kebijakan

nasional.

Page 205: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 31

NOTULENSIMUSYAWARAH PERENCANAAN

KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR

Jatinangor, 14 Desember 2009

Acara dimulai pada pukul 10.00 WIB dibuka langsung oleh Bapak Wakil Bupati

Sumedang.

Acara dihadiri oleh Anggota DPRD Kabupaten Sumedang terutama dari Dapil

I, Pimpinan OPD se Kabupaten Sumedang, tokoh masyarakat, tokoh prmuda

dan organisasi masyarakat di Jatinangor

LaPORAN paNITIA DISAMPAIKAN OLEH Kabid Pemsos Bappeda Kabupaten

Sumedang

Sambutan dari DPRD Kabupaten Sumedang disampaikan oleh Bapak Otong

Dartum (Anggota DPRD dari Dapil I): DPRD Kabupaten Sumedang siap

mendukung tindak lanjut musyawarah perencanaan Kawasan Perkotaan

Jatinangor dari sisi politik.

Sambutan Bupati Sumedang disampaikan oleh Bapak Wakil Bupati Sumedang

SESI PAPARAN NARASUMBER:

Paparan pertama disampaikan oleh Prof.Dr. Sadu Wasistiono terkait hasil studi

yang telah dilaksanakan terkait Kawasan Perkotaan Jatinangor.

Paparan kedua disampaikan oleh Ir. Ober Tua Butarbutar

Paparan ketiga disampaikan oleh Bapak H. Idam Rahmat (Kepala Bidang

Pemerintahan Bappeda Provinsi Jawa Barat)

Kawasan Jatingangor dilihat dari tata ruang provinsi Jawa Barat merupakan

kawasan spesifik, sehingga dalam perkembangannya harus memperlihatkan

ciri-ciri spesifik sebagaimana dimaksud.

Rencana pengaktifan jalur kereta apai akan turut mempengaruhi

perkembangan kawasan Jatinangor.

Pengembangan daerah di jawa akan lebih relefan diterapkan konsep

pengembangan fungsional daripada pengembangan administratif.

Page 206: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 32

SESI DISKUSI:

D. Rahmat (tokoh masyarakat): Usulan Namanya tetap jatinangor hanya

ditambahkan Kota Mandiri Jatinangor

Jatinangor diharapkan jadi tujuan objek wisata berbasis budaya lokal

Bapak Ismet Suparmat: Jatinangor menjadi korban produk perundang-

undangan yang ada.

Hari ini merupakan hari yang ditunggu2 masyarakat Jatinangor karena akan

menentukan langkah kedepan.

Ingin adanya konsistensi perencanaan

Berkenaan dengan alternatif : nama kawasan perkotaan jatinangor, lingkup

cukup 2 kecamatan dulu.

Peran provinsi Jabar merlu lebih proaktif dalam mendorong pembentukan

kawasan perkotaan Jatinangor.

LPM Desa Hegarmanah: ada ketidak konsistenan dari pihak pemerintah

Perlu ada koordinasi lontas sektor

Perlu ada berbagai upaya antisipasi terkait rencana pengembangan kawasan

Jatinangor.

Kadarrohim (Desa Sayang): Harus ada kejelasan kapan target minimal

kawasan Jatinangor dapat terwujud.

Rencana kedepan, mungkinkah Jatinangor jadi daerah otonom baru?

Bapak Saepudin (DPRD Kab. Sumedang): perjalanan Jatinangor selama ini

sangat memperihatinkan bagi masyarakat Jatinangor, sehingga muncul

berbagai isu daerah otonom.

Tujuannya bagaimana kesejahteraan masyarakat Jatinangor dapat

ditingkatkan, infrastruktur harus ditingkatkan.

Etos kerja harus ditingkatkan.

Sebagian masyarakat Jatinangor masih mengelola pertanian.

Masalah lingkungan harus menjadi perhatian .

Masalah tenaga kerja hendaknya juga dapat ditanggulangi dengan adanya

konsep pengembangan kawasan perkotaan.

Komitmen dunia usaha harus difasilitasi pemerintah dalam upaya turut

mengembangkan kawasan perkotaan Jatinangor.

DPRD siap memfasilitasi pembentukan PERDA terkait pengembangan

kawasan Perkotaan Jatinangor.

Page 207: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 33

Tim Ahli: dari sisi tata ruang konsistensi keberadaan kawasan Jatinangor

sebagai kawasan Pendidikan sudah jelas.

Data sebagai bahan kajian diperoleh dari pendataan langsung maupun dari

data-data sekunder yang diambil dari instansi atau lembaga terkait.

Pa Ober Tua Butarbutar: kawasan perkotaan harus dapat mempertimbangkan

kondisi desa-desa di sekitarnya.

Perlu ada penyusunan Rencana Detail Kawasan Perkotaan Jatinangor

Sebagian besar fungsi pengendalian ruang adalah ada di DPRD

Bappeda harus memfasilitasi dan mengoordinasikan integritas perencanaan di

Kabupaten Sumedang.

Pa Idam Rahmat: Pemprov mulai tahun depan akan mengawal secara intensif

terkait kawasan perkotaan Jatinangor ini.

Selain itu terkait Jatinangor, pemprov akan memperhatikan perkembangan

sekitar daerah perbatasan.

Awali dengan konsolidasi Renstra SKPD di Kabupaten Sumedang.

Harus ada wakil-wakil khusus yang mengawal upaya akselerasi pembentukan

kawasan perkotaan Jatinangor pada musyawarah-musyawarah perencanaan,

baik pra musrenbang musrenbang wilayah priangan maupun musrenbang

provinsi dan Nasional.

Keseriusan Pemda Sumedang dalam mengembangkan kawasan perkotaan

Jatinangor akan terlihat pada RKPD 2010.

SESI FGD (BIDANG PEMERINTAHAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH)

Diskusi dipandu oleh Pa Warson

Hasil kajian dinyatakan bahwa Kawasan Jatinangor layak untuk dikembangkan

menjadi Kawasan Perkotaan (type sedang)

Peran serta masyarakat termasuk berbagai sumbangan pemikiran segenap

komponen masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita

terbentuknya kawasan Perkotaan Jatinangor.

Pa Jayadi (warga Sukasari): Lingkup kawasan alternatif I hanya Kecamatan

Jatinangor dan Cimanggung, sementara Alternatif II melibatkan Jatinangor,

Cimanggung, sebagian Tanjungsari dan sebagian Sukasari.

Page 208: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 34

Banyak potensi di Kecamatan Sukasari mulai dari Bumi perkemahan, tempat

diklat, tapi mengapa desa Sindangsari di Kec. Sukasari yang berbatasan

dengan Cibeusi tidak masuk kedalam rencana kawasan.

Pengelola LPP sebaiknya merepresentasikan cakupan wilayah, sementara

untuk koordinator bisa dari Jatinangor.

Pembagian kewenangan LPP harus Jelas, untuk sementara dalam tahap

penyesuaian sebaiknya dikelola oleh birokrat baru kemudian diserahkan ke

LPP sepenuhnya.

Bp. H. Deden : secara umum kami menerima hasil kajian, namun yang menjadi

perhatian adalah cakupan wilayahnya.

Dengan terwujudnya kawasan perkotaan, sebagiknya ada wilayah tertentu

sebagai pusat perkantoran yang terintegrasi.

Perlu dikembangkan ruang publik yang terbuka.

Menurut PP 34 psl 7 ayat 2............... supaya lebih terbuka dimana masyarakat

lebih leluasa memberikan masukan sebaiknya yang dibentuk adalah

LEMBAGA PENGELOLA. Masalahnya bagaimana cara memilih orang-

orangnya yang diterima masyarakat, mempunyai integritas, dan mencintai

kawasan tersebut.

Komitmen disiplin waktu harus benar-benar ditegakkan dan harus diberikan

keteladanan dari pemimpin.

Pa Nia (Cimanggung): Nama yang akan dipakai harus sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ada baiknya nama Cimanggung dapat

terwakili.

Dalam membentuk organisasi pemerintahan jangan asal-asalan.

Keberadaan Pemerintahan Desa (SDM pemerintah desa) harus lebih

dimantapkan sebelum kawasan perkotaan benar-benar terbentuk.

Perlu dipertimbangkan seandainya kawasan perkotaan melibatkan 5 desa di

Cimanggung, bagaimana upaya memfasilitasi 6 desa lainnya yang tidak

masuk kawasan seandainya muncul ”kecemburuan”.

Sudah mampukan pemda Sumedang mewujudkan Kawasan Perkotaan baik

dari segi APBD, regulasi

Adang Rukmana (Ketua BPD Kutamandiri-Tanjungsari): bagaimana Tupoksi

Lembaga Pengelola sehingga tidak tumpang-tindih dengan kewenangan

kecamatan.

Page 209: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 35

Tanjungsari agar masuk ke dalam kawasan perkotaan Jatinangor.

Kutamandiri (Tanjungsari) yang letaknya di tengah, tapi tidak masuk kedalam

kawasan perkotaan.

Tokoh Masyarakat Sukasari: minta kejelasan batas wilayah, saat ini batas

sebagian desa di Sukasari dengan desa di Jatinangor ada yang belum jelas.

Jatinangor saat ini adalah kota yang dipaksakan sehingga pertumbuhan

kawasan pendidikan tidak seimbang dengan pertumbuhan industri.

Di Sindangsari ada tempat diklat, LAN, Bumi perkemahan yang sangat

terkenal tapi mengapa tidak masuk kedalam rencana wilayah kawasan

perkotaan.

Untuk nama sangat cocok menggunakan Jatinangor.

Perguruan tinggi di Jatinangor harus menciptakan SDM terampil yang siap

pakai.

Pa Warson: pembentukan wilayah suatu kawasan jangan sampai terhalang

oleh wilayah lain yang tidak masuk kedalam kawasan.

Pembentukan Kawasan tidak akan merubah sisi administratif wilayah

Kecamatan masing-masing.

Payung hukum di 2010 harus sudah terbentuk dalam bentuk Perda.

Pa Mahri: ”Palias Laas ku Mangsa” & Sumedang Kota Budaya

Fenomena yang ada di masyarakat sekarang ini tidak bisa dicegah. Kondisi

saat ini merupakan salah satu kelalaian birokrat Sumedang.

Yang dibutuhkan saat ini adalah pemerintahan yang bersih, berwibawa,

fleksibel dan kapabel.

Pertambahan penduduk saat ini melahirkan konsekwensi harus adanya

perluasan wilayah kawasan.

Kondisi wilayah kawasan saat ini sangat heterogen.

Upaya harus dilakukan secara bertahap tetapi target harus jelas

Pa Rohim (Jatinangor): Lembaga yang akan jadi Pengelola harus lembaga

husus

Pengelola harus betul-betul warga kawasan, jangan ada warga susupan

sebagai sayarat minimal

Harus ada yang mengawal mulai dari eksekutif sampai ke legislatif

Layanan kepada masyarakat harus lebih baik daripada sebelum adanya

kawasan.

Page 210: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 36

Pa Edi Wahyudin (BPD Jatisari-Tanjungsari): Menurut pertimbangan kami,

masih banyak desa-desa yang layak masuk kawasan perkotaan.

Dilihat dari transportasi dan berbagai gambaran masalah yang ada secara

umum hampir sama dengan Jatinangor.

Apakah ststus desa-desa yang masuk kawasan perkotaan menjadi berubah?

Pa Atep (Ormas Paguyuban Masy. Jatinangor): kawasan yang akan dibentuk

adalah kawasan perkotaan dalam lingkup Kabupaten Sumedang.

Keterlibatan beberapa desa di Luar Jatinangor tentu akan memunculkan

konflik di kecamatan tersebut.

Tanpa kajianpun Jatinagor layak jadi kawasan perkotaan.

Forum Masyarakat Perkotaan selama ini tidak disebut-sebut, padahal

merupakan unsur penting selain LPP.

Pa Nia: Desa Cikahuripan layak masuk kawasan perkotaan karena ada

kompleks industri. Desa yang masuk kawasan sebaiknya jadi kelurahan.

Harus ada validasi data

Harus ada pemisahan kewenangan antara pemerintah kecamatan dan LPP.

Payung hukum LPP harus jelas.

Partisipasi semua stakeholders harus terakomodir melalui peraturan

perundangan yang berlaku.

Hasil pembahasan ini harus di sosialisasikan ke masing-masing wilayah.

Pa Warson: perlu ada dukungan tokoh-tokoh masyarakat lintas kecamatan

untuk mendukung dan mengawal percepatan pembentukan kawasan

perkotaan.

Kawasan perkotaan tidak bertentangan dengan UU tapi justru dilindung UU.

Page 211: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 38

REKAPITULASI PERMASALAHAN DAN USULAN/SARAN PESERTA MUSYAWARAH PERENCANAAN

KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR

BIDANG SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN

NO IDENTIFIKASI PERMASALAHAN USULAN SOLUSI

1 Penduduk Jatinangor yang mayoritas petani akan terkena dampaknegatif pengembangan kawasan perkotaan Jatinangor

Antisipasi kebijakan yang dapat melindungi masyarakat petani Jatinangor

2 Masalah pengelolaan sampah Perlu menetapkan TPA, penanganan sampah, teknologi daur ulang

3 Ada kawasan kritis bekas perkebunan di bagian utara Jatinangor termasuk desa Cileles , potensial menjadi penyebab banjir di Jatinangor

Konservasi , penghijauan kembali lahan kritis

4 Kekurangan air bersiha. Konservasi daerah tangkapan airb. Pemanfaatan sumber air selain di kawasan utarac. Pembuatan sumur artesisd. Pembuatan sumur resapan

5 Pengangguran masyarakat lokal Perlu regulasi tentang proporsi rekruitmen tenaga kerja lokal dan pendatang

6 Desa Sindang Sari Manglayang timur akan kena dampak sebagai areal wisata seperti Dago nya Bandung

Antisipasi kebijakan di bidang pariwisata

7 Kekuarangan air bagi kegiatan pertanian akibat akibat eksploitasi besar-besaran bagi pasokan ke kawasan perkotaan Jatinangor

Perlu mencari dan memanfaatkan sumber-sumber air di tempat lain

8 Hilangnya kepribadian, krisis multi dimensi, penjajahan kultur lokal Perlu Langkah-langkah operasional untuk pelestarian budaya local dan budayawan diberdayakan

Page 212: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 39

NO IDENTIFIKASI PERMASALAHAN USULAN SOLUSI

9 Usaha-usaha kecil/warung sepanjang jalan di Jatinagor menjadi mati/kalah bersaing oleh toko-toko swalayan

Perlu kebijakan yang dapat melindungi pengusaha-pengusaha kecil dan pembatasan berkembangnya toko-toko swalayan/pasar modern

10 Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahPemilihan pemimpin Kawasan Perkotaan Jatinangor yang memiliki sifat kepemimpinan, perlu persyaratan cageur, bageur, bener, pinter; sidik, amanah, fatonah, tabligh)

11 Perkembangan kota ke arah kota yang semrawut Ketertiban dan keindahan kota libatkan peran serta masyarakat

Page 213: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 40

WAWANCARA TOKOH MASYARAKAT

Nara Sumber: Drs. Nandang/Penggiat Forum Jatinangor

1. Apakah perkembangan/perencanaan Jatinangor dari tahun ke tahun sudah

mengakomodasi asprirasi masyarakat?

Munculnya permintaan Jatinangor untuk dijadikan sebagai kawasan perkotaan ataupun

sebagai Kota administratif (dulu) semuanya berasal dari usulan/keinginan masyarakat.

Selama ini ’pergerakan’ masyarakat Jatinangor memang berasal dari bawah (grass root,

red) yang sama sekali tidak digerakkan oleh kekuatan ’atas’ ataupun dikendalikan oleh

kalangan tertentu. Keinginan masyarakat jatinangor memang didasari oleh aspirasi dan

keinginan murni masyarakat Jatinangor. Keinginan menjadikan Jatinangor sebagai kawasan

perkotaan sebetulnya mempunyai sejarah panjang dan bukan hanya timbul pada saat ini

saja. Pada pertemuan di IKOPIN (public hearing mengenai Pembentukan Kawasan

Perkotaan Jatinangor yang diselenggarakan Bappeda Kab. Sumedang tanggal 13 Oktober

2009) terlihat bahwa pertemuan dihadiri oleh penduduk asli dan terlihat bahwa keinginan

mereka sudah begitu kuat untuk melakukan perubahan di Jatinangor.Pertanyaan ini dapat

terjawab apabila melihat bagaimana antusiasme masyarakat Jatinangor terhadap kajian

yang dilakukan oleh IPDN, tidak ada lagi keraguan bahwa selama ini perkembangan

Jatinangor selalu didasari oleh keinginan/suara rakyat.Forum Jatinangor mempunyai

rekaman data-data otentik tentang aspirasi masyarakat terhadap pembangunan Jatinangor

dan apa yang seharusnya dirasakan oleh penduduk asli.

2. Selama ini langkah apa yang dilakukan untuk merangkul masyarakat

Munculnya Forum Jatinangor merupakan bukti bahwa masyarakat Jatinangor mempunyai

kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan/pembangunan wilayah Jatinangor. Kami

menyadari bahwa sejak jatinangor dijadikan sebagai kawasan pendidikan, secara perlahan

namun pasti Jatinangor mengalami perubahan yang sangat berarti.Di satu sisi terlihat

Page 214: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 41

perkembangan fisik yang jauh berbeda dengan Jatinangor masa lalu namun di sisi lain

kehadiran PT di jatinangor tidak membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat

Jatinangor sebagai penduduk asli. Terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara penduduk

asli dengan pendatang yang diakibatkan karena SDM penduduk asli yang masih rendah.

Oleh karena itu Forum jatinangor dibentuk sebagai upaya untuk menjembatani penduduk

asli agar dapat memperoleh dampak posistif terhadap pembangunan Jatinangor.Forum

Jatinagor merupakan institusi yang digagas oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian

terhadap pembangunan (terutama sosial-budaya-ekonomi)masyarakat Jatinangor. Institusi

ini berupaya untuk menyerap aspirasi masyarakat agar suara masyarakat mempunyai

kekuatan tawar (bargaining position, red) yang kuat. Kalaupun kemudian forum Jatinangor

tidak begitu berperan aktif di akhir-akhir tahun ini, itu menunjukan bahwa masyarakat

Jatinangor sudah semakin berdaya dan mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk

menggalang aspirasi masyarakat secara langsung.

3. Apa harapan masyarakat dari pembentukan kawasan Perkotaan Jatinangor?/fungsi kota

yang diharapkan?

Tidak banyak permintaan masyarakat terhadap pemerintah, karena masyarakat Jatinangor

memahami keterbatasan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Sumedang, masyarakat

Jatinangor hanya ingin mendapat perhatian yang lebih layak dari Pemkab Sumedang

terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan Masyarakat. Dan apabila PemKab Sumedang

tidak mempunyai kemampuan untuk itu maka Masyarakat jatinangor hanya minta difasilitasi

sesuai kewenangan yang dimiliki Pemerintah agar Masyarakat lebih berdaya sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki oleh Jatinangor. Hadirnya PP No 34 Tahun 2009 menjadi

momentum yang tepat bagi PemKab Sumedang sekaligus sarana bagi masyarakat

Jatinangor untuk mewujudkan keinginan yang telah lama diharapkan. Apabila aturan ini

bisa dimanfaatkan dengan baik makan akan menghasilkan solusi yang sama-sama

menguntungkan bagi masyarakat Jatinangor maupun Pemerintah kabupaten

Sumedang.Sebetulnya masyarakat Jatinangor tidak begitu perduli dengan

Page 215: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 42

format/kelembagaan yang akan nanti dihasilkan dari kajian ini, yang penting bagi mereka

adalah, masyarakat Jajtinangor dapat menikmati pembangunan yang giat dilakukan di

jatinangor, masyarakat Jatinangor tidak terpinggirkan dan hanya jadi penonton dari gegap

gempita pembangunan di Jatinangor.

Harapan utama dari pembentukan kawasan Perkotaan jatinangor adalah: Peningkatan

pelayanan publik (air, sampah, drainage) dan tata kawasan Jatinangor yang semakin

semrawut. Dan yang lebih penting adalah peningkatan kesejahteraan Masyarakat jatinangor

agar tidak terpinggirkan dan mendapat keuntungan positif dari pembangunan yang

dilakukan di Jatinangor.

4. Bagaimana harapan terhadap perubahan perilaku masyarakat?

Apabila dulu, masyarakat Jatinangor dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai tingkat

pendidikan yang rendah, maka dapat dilihat sekarang bahwa hal itu sudah berubah.

Kawasan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan telah mengubah pandangan masyarakat

tentang pentingnya pendidikan. Banyak penduduk asli jatinangor yang tergusur ke daerah

pinggiran karena pembangunan fisik yang hebat di Jatinangor, mereka adalah penduduk

yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi perkembangan Jatinangor. Di masa

depan diharapkan hal ini tidak terjadi lagi semoga Masyarakat Jatinangor mempunyai

kemampuan dan kekuatan untuk mengimbangi setiap kemajuan/pembangunan di Jatinangor.

5. Sejarah pertumbuhan kerajinan cipacing,kawasan industri, munculnya perguruan tinggi

dan pengaruhnya

Apabila pengrajin Cipacing masa lalu masih menjual produk di lokasi usaha, maka sekarang

pengrajin Cipacing memperluas wilayah pemasaran sampai ke Pulau Bali. Dan ada juga

yang sudah memanfaatkan kemajuan Iptek dengan melakukan order melalui pesanan

telepon. Itu semua disebabkan karena pengaruh kehadiran PT dan pendatang serta budaya

mahasiswa yang akrab dengan kemajuan zaman di Jatinangor yang secara perlahan

memberi dampak positif terhadap iklim usaha di Jatinangor.

6. Bagaimana kemampuan penduduk menguasai lapangan kerja yang berbasis Iptek?

Page 216: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 43

Ini yang masih harus ditingkatkan karena tingkat pendidikan masyarakat penduduk

jatinangor relatif masih rendah, masyarakat yang berpendidikan tinggi adalah masyarakat

usia muda yang mempunyai orang tua yang mengerti terhadap pendidikan. Sekarang sudah

banyak terlihat masyarakat Jatinangor usia muda mempunyai pekerjaan di luar pekerjaan

agraris maupun pekerjaan tidak terdidik (mayoritas sebagai ojeg), namun itu masih perlu

ditingkatkan agar masyarakat Jatinangor mampu bersaing sebagaimana masyarakat

pendatang.

Nara Sumber: Drs. Ismet/Mantan Ketua DPRD Kab Sumedang 2009-2014

1. Apakah perkembangan/perencanaan Jatinangor dari tahun ke tahun sudah

mengakomodasi asprirasi masyarakat?

Iya, Masyarakat Jatinangor mempunyai keterikatan yang kuat satu sama lain, apakah dalam

bentuk lembaga resmi seperti forum Jatinangor atau dalam bentuk hubungan informal

sebagai upaya untuk saling berbagi dan bertukan informasi terhadap perkembangan

Jatinangor. Dibandingkan dengan daerah lain, hubungan masyarakat Jatinangor jauh lebih

kental dan dekat karena mempunyai keinginan yang sama. Sampai saat ini masih banyak

masyarakat yang datang ke rumah (pada saat wawancara juga terlihat beberapa orang yang

datang ke rumah nara sumber dan dipersilahkan menunggu sampai wawancara usai)untuk

sekedar bertanya dan berdiskusi tentang berbagai hal.Apabila dulu, hubungan antar

masyarakat diwadahi oleh Forum jatinangor, maka sekarang masyarakat Jatinangor sudah

lebih maju dan mandiri sehingga forum lebih banyak dilakukan secara informal tapi dengan

hubungan yang jauh lebih erat, karena merasa senasib sepenanggungan.

2. Selama ini langkah apa yang dilakukan untuk merangkul masyarakat

Sebagai salah satu wakil masyarakat yang ’ditua kan’ pintu rumah selalu terbuka lebar dan

selalu memberikan waktu untuk masyarakat apabila ada yang ingin bertanya atau hanya

sekedar silaturahmi. Aspirasi masyarakat Jatinangor selalu dibawa ke forum yang resmi

agar mendapat perhatian yang lebih luas. Di luar itu, masyarakat sendiri secara mandiri

Page 217: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 44

melakukan beberapa upaya sebagai bentuk penyampaian aspirasi masyarakat di tingkat

daerah bahkan sampai ke tingkat nasional.

3. Apa harapan masyarakat dari pembentukan kawasan Perkotaan Jatinangor?/fungsi kota

yang diharapkan?

Masyarakat Jatinangor hanya ingin mendapat perhatian yang lebih layak dari pemerintah.

Walau masih ada ketidakmengertian masyarakat terhadap arti ’Kawasan Perkotaan’ karena

masih banyak yang beranggapan bahwa Jatinangor akan menjadi Kota otonom (banyak

masyarakat yang memanggil Pak Ismet sebagai walikota,red) tapi pada dasarnya

Masyarakat jatinangor ingin merasakan dampak pembangunan terhadap peningkatan

kesejahteraan masyarakat.Dari dua belas desa di kecamatan jatinangor diharapkan

semuanya masuk ke kawasan perkotaan karena perjuangan ini merupakan perjuangan

bersama seluruh masyarakat Jatinangor.

4. Bagaimana harapan terhadap perubahan perilaku masyarakat?

Apabila studi tentang Kawasan perkotaan Jatinangor disetujui, diharapkan masyarakat akan

jauh lebih perduli dan semakin meningkatkan pasrtispasinya terhadap pembangunan di

Jatinangor. Karena apabila ini disetujui maka maju dan tidaknya Jatinangor sangat

ditentukan oleh masyarakat Jatinangor sendiri.

5. Sejarah pertumbuhan kerajinan cipacing,kawasan industri, munculnya perguruan tinggi

dan pengaruhnya

Pada awalnya, masyarakat hanya mendapatkan keuntungan dari menyediakan fasilitas

pendukung mahasiswa (pondokan, warung nasi, ojeg, toko kelontong dan rental komputer)

itu pun dalam kondisi yang sangat sederhana, ada juga penduduk asli yang pindah ke

pinggiran karena tidak dapat beradaptasi dengan kemajuan jatinangor. Oleh karena itu

masyarakat jajtinangor berharap bahwa pembangunan akan lebih membawa kesejahteraan

kepada penduduk asli dan tidak kalah oleh pendatang.

6. Bagaimana kemampuan penduduk menguasai lapangan kerja yang berbasis Iptek?

Page 218: Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan

Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan 45

Masih perlu peningkatan karena belum banyak penduduk asli yang mengerti Iptek dan

memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Walaupun sekarang ini banyak

kemajuan yang dialami oleh penduduk asli, tapi belum merata. Dan ini yang perlu dilakukan

yaitu peningkatan kualitas SDM Jatinangor di bidang pendidikan.