LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM … · LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN...

26
Bidang Unggulan: Budaya dan Pariwisata Kode/ Nama Bidang Ilmu: 593/ Hubungan Internasional LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI TAHUN ANGGARAN 2015 Judul Penelitian : Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru Ketua Pelaksana : D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP.,M.A. Anggota : Sukma Sushanti, S.S.,M.Si Putu Titah Kawitri Resen, S.IP.,M.A. Dibiayai oleh Dana PNBP sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program Hibah Unggulan Program Studi, Nomor: 936A/UN14.47/PNL.01.03.00/2015 Tanggal 29 Mei 2015 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 2015

Transcript of LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM … · LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN...

  • Bidang Unggulan: Budaya dan Pariwisata

    Kode/ Nama Bidang Ilmu: 593/ Hubungan Internasional

    LAPORAN AKHIR

    HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI

    TAHUN ANGGARAN 2015

    Judul Penelitian : Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Warisan Budaya

    Dunia Catur Angga Batukaru

    Ketua Pelaksana : D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP.,M.A.

    Anggota : Sukma Sushanti, S.S.,M.Si

    Putu Titah Kawitri Resen, S.IP.,M.A.

    Dibiayai oleh Dana PNBP sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program

    Hibah Unggulan Program Studi, Nomor: 936A/UN14.47/PNL.01.03.00/2015

    Tanggal 29 Mei 2015

    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Udayana

    2015

  • HALAMAN PENGESAHAN

    Judul

    Peneliti/ Pelaksana

    Nama Lengkap :D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP., M.A.

    NIDN : 0030098207

    Jabatan Fungsional : Asisten Ahli

    Program Studi : Hubungan Internasional

    Nomor HP : 0815 5832 2447

    Alamat surel (e-mail) : [email protected]

    Anggota (1)

    Nama Lengkap : Sukma Sushanti, S.S., M.Si

    NIDN : 0018107908

    Perguruan Tinggi : Universitas Udayana

    Anggota (2)

    Nama Lengkap : Putu Titah Kawitri Resen, S.IP., M.A.

    NIDN : 9908419477

    Perguruan Tinggi : Universitas Udayana

    Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

    Biaya Tahun Berjalan : Rp. 25.000.000,00

    Biaya Keseluruhan : Rp. 25.000.000,00

    Denpasar, 9 November 2015

    Mengetahui,

    Pembantu Dekan I Ketua Peneliti,

    Tedi Erviantono, S.IP., M.Si. D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP., M.A.

    NIP. 19760502 2009 12 1 002 NIP. 19820930 2009 12 2 002

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Udayana

    Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa, M.Si.

    NIP. 19640708 1992 03 1 003

  • RINGKASAN

    Lanskap Budaya Provinsi Bali merupakan Situs Warisan Budaya Dunia yang diakui oleh

    UNESCO di tahun 2012. Situs tersebut terletak di Provinsi Bali dan terdiri dari empat kawasan

    yaitu Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Pura Taman Ayun, Daerah Aliran Sungai (DAS)

    Pakerisan, dan Catur Angga Batukaru. Keempat kawasan dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali

    dianggap mampu merefleksikan filosofi Tri Hita Karana dalam sistem pengairan tradisional,

    subak, pada sistem pertanian di Bali. Penerapan filosofi Tri Hita Karana dalam sistem pertanian

    di Bali telah berlangsung selama berabad-abad dan mampu menciptakan tidak saja keindahan

    bentang alam sawah berundak, tetapi juga kebudayaan pertanian yang kuat.Akan tetapi,

    derasnya arus pembangunan dan pariwisata di Bali mengancam keberadaan dan

    keberlangsungan sistem pengairan tradisional subak.Diakuinya Lanskap Budaya Provinsi Bali

    sebagai Situs Warisan Budaya Dunia merupakan salah satu upaya pemerintah untuk

    melindungi dan melestarikan sistem pengairan subak di Bali.Pemberian status Warisan Budaya

    Dunia menyebabkan Pemerintah Indonesia harus menerapkan ketentuan pengelolaan yang

    diberlakukan oleh UNESCO.Penelitian ini hendak melihat partisipasi petani dalam

    pengelolaan Situs Lanskap Budaya Provinsi Bali dengan memfokuskan penelitian pada

    kawasan Catur Angga Batukaru di Kabupaten Tabanan.Kawasan ini dipilih karena merupakan

    kawasan terluas dengan tingkat kompleksitas ekologi paling lengkap dibandingkan dengan

    kawasan lainnya dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali.Penelitian ini menggabungkan

    pendekatan kualitatif dan kuantitatif untuk melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan

    dalam memahami partisipasi petani dalam pengelolaan kawasan Catur Angga Batukaru.Data

    kuantitatif diperoleh dari kuesioner berisi pertanyaan dan wawancara terstruktur untuk

    memperoleh pendapat dan gagasan dari petani yang dapat dituangkan dalam perencanaan

    pengelolaan dan pelestarian Catur Angga Batukaru.Data kualitatif berasal dari observasi dan

    analisa informasi yang diperoleh dengan teknik perencanaan partisipatif (participatory

    planning).Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan pengelolaan berbasis masyarakat

    lokal dalam pengelolaan dan pelestarian Situs Warisan Budaya Dunia di Bali.

  • PRAKATA

    Puji syukur Peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya,

    penelitian dengan judul “Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur

    Angga Batukaru” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat peran serta petani

    sebagai pemilik dan pengelola lahan didalam kawasan Warisan Budaya Dunia, Catur Angga

    Batukaru.Catur Angga Batukaru merupakan kawasan yang masuk ke dalam Situs Warisan

    Budaya Dunia yang diakui oleh UNESCO di tahun 2012 dibawah nama Lanskap Budaya

    Provinsi Bali.

    Lanskap Budaya Provinsi Bali merupakan situs yang menggambarkan sistem pertanian

    tradisional di Bali yang dikenal dengan nama subak. Subak dianggap mampu merefleksikan

    nilai Tri Hita Karana, tiga hubungan harmonis yang menyebabkan kesejahteraan dan

    kebahagiaan, yang terdiri dari hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan

    manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Sistem subak sendiri mengalami ancaman

    kepunahan akibat derasnya arus pembangunan terutama dari sektor pariwisata yang terjadi di

    Bali.Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran partisipasi petani dalam

    perlindungan dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru sesuai

    dengan Petunjuk Pengelolaan Warisan Budaya Dunia UNESCO.Partisipasi petani sebagai

    pemilik dan pengelola lokal menjadi sangat penting dalam upaya perlindungan dan pengelolaan

    sistem subak di Bali. Keterlibatan petani akan menjamin keberlangsungan sistem subak dan

    pengelolaan pertanian yang lebih berkelanjutan di Bali.

    Terima kasih yang sebesar-besarnya Peneliti ucapkan kepada Rektor Universitas

    Udayana, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas

    Udayana, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Ketua Program

    Studi Hubungan Internasional Universitas Udayana, seluruh rekan kerja dan kerabat yang

    membantu terlaksananya penelitian ini.

    Denpasar, 9 November 2015

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN PENGESAHAN

    RINGKASAN

    PRAKATA

    DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL

    DAFTAR GAMBAR

    DAFTAR LAMPIRAN

    BAB 1. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    1.2. Penelitian

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

    BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

    BAB 4. METODE PENELITIAN

    3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif

    3.2. Unit Analisis

    3.3. Teknik Pengumpulan Data

    3.4. Penafsiran Data

    BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

    BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata dunia yang terkenal akan keindahan alam

    dan keunikan budaya masyarakatnya. Bentang alam Bali banyak dihiasi oleh pemandangan

    sistem sawah berundak yang merupakan hasil dari budaya pengairan tradisional Bali yang

    dikenal dengan nama subak. Badan Dunia yang menangani pendidikan dan kebudayaan, United

    Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahkan mengakui

    keunikan budaya pertanian Bali dengan mencantumkan Lanskap Budaya Bali ke dalam Daftar

    Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012. The Cultural Landscape of Bali Province: The

    Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy merupakan nama dari Situs

    Warisan Budaya Dunia di Bali yang terdiri dari empat kawasan, yaitu: Pura Ulun Danu Batur

    dan Danau Batur, Pura Taman Ayun, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, dan Catur Angga

    Batukaru. Keempat kawasan tersebut dianggap mampu merefleksikan filosofi Tri Hita Karana

    yang merupakan landasan dalam sisem pengairan tradisional yang diberlakukan dalam bidang

    pertanian di Bali.Akan tetapi, sistem pengairan tradisional yang sudah berlangsung selama

    berabad-abad di Bali tersebut terancam keberadaannya oleh derasnya arus pembangunan dan

    pariwisata di Bali.Masuknya sistem pengairan subak yang direpresentasikan oleh empat

    kawasan diatas ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO merupakan salah satu

    upaya untuk melindungi dan melestarikan budaya pertanian yang ada di Bali.

    Salah satu kawasan yang termasuk dalam Situs Warisan Budaya Dunia Lanskap Budaya

    Provinsi Bali adalah kawasan Catur Angga Batukaru.Kawasan yang terletak di Kabupaten

    Tabanan tersebut memiliki cakupan wilayah subak yang sangat luas dibandingkan dengan

    kawasan lainnya dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali. Catur Angga Batukaru meliputi 20

    subak dengan total luas wilayah kurang lebih 17.376,1 ha dengan luasan wilayah penyangga

    974,4 ha (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Bali, 2011).

    Luasnya cakupan wilayah Catur Angga Batukaru memberikan tantangan pengelolaan kawasan

    secara menyeluruh.Keterlibatan masyarakat lokal, terutama petani, dalam perlindungan dan

    pelestarian kawasan menjadi sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di

    wilayah tersebut.

    Dua tahun setelah diakuinya Lanskap Budaya Provinsi Bali oleh UNESCO sebagai Situs

    Warisan Budaya Dunia di tahun 2012, tidak terlihat pengelolaan yang menyeluruh di kawasan

    tersebut. Gencarnya alih fungsi lahan di kawasan Catur Angga Batukaru, terutama di wilayah

  • Subak Jatiluwih, menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan subak di kawasan

    tersebut. Ini tentu juga mengancam status Warisan Budaya Dunia yang baru disandang Lanskap

    Budaya Provinsi Bali tiga tahun terakhir. Awal tahun 2015, Pemerintah Indonesia mengundang

    ahli-ahli dari ICOMOS dan ICCROM untuk melihat dan memberi masukan kepada sistem

    pengelolaan kawasan dalam Lanskap Budaya Provinsi Bali sebagaimana yang disarankan oleh

    UNESCO (2014) pada sidangnya di Doha, Qatar.

    UNESCO (2012) dalam keputusannya saat memasukkan Lanskap Budaya Provinsi Bali

    ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia telah menyatakan kekhawatirannya terhadap

    kelestarian dan keberlangsungan sistem subak di Bali.Adapun tantangan yang dihadapi ialah

    serangkaian perubahan sosial dan ekonomi seperti perubahan praktek pertanian masyarakat dan

    tekanan pembangunan terutama dari sektor pariwisata.UNESCO kemudian menyarankan

    diberlakukannya sebuah sistem pengelolaan yang mampu mendukung pelaksanaan sistem

    pertanian tradisional dan meningkatkan kesejahteraan petani agar terus dapat tinggal dan

    bekerja sebagai petani di kawasan tersebut.Penelitian ini menjadi penting untuk melihat

    pandangan dan partisipasi masyarakat terutama petani dalam memaknai status Warisan Budaya

    Dunia pada wilayah mereka, sehingga mampu berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan

    kawasan.

    1.2. Penelitian

    Partisipasi aktif masyarakat lokal sangatlah penting dalam menentukan kebijakan-

    kebijakan, strategi, dan aksi yang tepat dan menyeluruh dalam pengelolaan kawasan Warisan

    Budaya Dunia.Penelitian ini dalam pelaksanaannya dibagi kedalam tiga tahapan. Adapun

    ketiga tahapan tersebut terdiri dari: sosialisasi penelitian dengan menjelaskan tujuan dari

    penelitian yang dilakukan, mengajak petani berpartisipasi secara langsung melalui perencanaan

    partisipatif (participatory planning), dan terakhir dengan menganalisa berbagai data dan

    informasi yang diperoleh untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah perencanaan

    pengelolaan dan pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia yang efektif.

    Penelitian ini menggunakan metode perencanaan partisipatif (participatory planning)

    yaitu langkah-langkah dalam pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia dengan pendekatan

    Stepping Stones for Heritage (selanjutnya dalam penelitian ini disebuh dengan SSH) (Bainton,

    et al, 2011:93). Ada sepuluh langkah yang diperkenalkan dalam SSH. Langkah-langkah

    tersebut diantaranya: (1) Vision for the future, (2) Who is involved, (3) What we know, (4) What

    is important, (5) What the issues are, (6) Strengths and weaknesses, (7) What the ideas are, (8)

  • What the objectives are, (9) Action Plan, (10) Making it happen. Penelitian ini memfokuskan

    pada langkah pertama dan kedua, yaitu vision for the future dan who is involved.

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    Budaya sebagaimana dijelaskan oleh UNESCO (2010) dalam pembukaan The Universal

    Declaration on Cultural Diversity adalah “… serangkaian bagian-bagian spiritual, intelektual,

    dan ikatan emosional masyarakat atau kelompok sosial yang meliputi selain seni dan sastra,

    yakni gaya hidup, cara hidup, sistem nilai, tradisi, dan keyanikan yang dianut”. Budaya

    memberikan solusi bagi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal dalam mengawasi

    pembangunan di suatu wilayah sehingga dapat memberikan hasil maksimal sebagaimana yang

    diharapkan oleh masyarakat tersebut.Pembangunan dewasa ini telah menerapkan pendekatan

    pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaannya.Dasar pemikiran dari pendekatan

    pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana menggunakan sumber daya-sumber daya yang

    ada secara bijak. Budaya membentuk hubungan antara manusia dalam kelompok sosialnya dan

    hubungannya dengan lingkungan disekitarnya yang kemudian akan mempengaruhi perilaku

    manusia itu sendiri (UNESCO, 2010). Oleh karenanya, budaya harus berperan sebagai pusat

    dalam strategi pembangunan berkelanjutan.

    Salah satu upaya yang dilakukan UNESCO dalam memperkenalkan pentingnya budaya

    dalam pembangunan berkelanjutan adalah dengan memberikan status Warisan Budaya

    Dunia.Status ini diberikan kepada kawasan-kawasan maupun bentuk-bentuk kebudayaan yang

    dianggap memiliki nilai luar biasa dan universal (Outstanding Universal Value) dan terancam

    hilang atau punah sehingga perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.Situs Warisan Budaya

    Dunia UNESCO (2010:5) mampu memberikan penghasilan tambahan dari kunjungan

    wisatawan, penjualan kerajinan tangan, musik, dan produk-produk budaya lokal, termasuk juga

    memberikan lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat setempat. Di Kolumbia misalnya,

    650.000 wisatawan memberikan penghasilan ekonomi sebesar USD 800 juta. Sebesar USD

    400 juta dari pendapatan Kolombia tersebut berasal dari penjualan kerajinan tangan (UNESCO,

    2010:8). Di Australia, 15 kawasan yang masuk ke dalam Situs Warisan Budaya Dunia mampu

    memberikan pendapatan sebesar lebih dari AUSD 12 trilyun dengan lebih dari 40.000 lapangan

    pekerjaan (UNESCO, 2010:8).

    Stepping Stones for Heritage (SSH) merupakan sebuah pendekatan berbasis partisipasi

    masyarakat lokal dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.Pendekatan SSH dilakukan

    oleh Stepwise Heritage and Tourism di Pulau Lihir di tahun 2007. Pulau Lihir yang terletak di

    New Ireland, Kepulauan Bismarch, Papua Nugini, merupakan sebuah wilayah yang kaya akan

    emas. Tahun 1995, Pulau Lihir berubah menjadi pusat pertambangan emas dengan

  • pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat setelah ditandatanganinya perjanjian antara

    masyarakat Lihir, pemerintah, dan Lihir Management Company (LMC) (Bainton, et al,

    2011:88). Akan tetapi, perjanjian yang ditandatangani di tahun 1995 tersebut tidak secara jelas

    memberikan pembagian hasil pertambangan untuk masyarakat Lihir, serta bagaimana bentuk

    tanggung jawab dari perusahaan pengelolaan tambang LMC dan Pemerintah Papua Nugini

    (Filler, 1997). Perjanjian tersebut juga tidak memberikan bentuk pengelolaan pelestarian

    kawasan dan warisan masyarakat Lihir yang akan dilakukan (Bainton, et al, 2010:89). Tahun

    2007, Stepwise Heritage and Tourism dikontrak oleh Lihir Gold Limited (LGL), yang

    menggantikan LMC di tahun 2005, untuk memfasilitasi workshop pengelolaan pelestarian

    kawasan dan budaya dengan masyarakat Lihir dan mendokumentasikan hasil yang diperoleh.

    Stepwise Heritage and Tourism menggunakan pendekatan SSH dan mendapatkan bahwa ada

    lima hal yang dipercaya oleh masyarakat setempat menjadi dasar dalam pengelolaan

    pelestarian warisan budaya lokal. Kelima hal tersebut terdiri dari: men’s house institutions,

    custom law, language, matrilineal clan system, danleadership. Semuanya dirangkum dalam

    sebuah Perencanaan Warisan Budaya Lihir yang dijadikan acuan dasar dalam pembuatan

    kebijakan pengelolaan pelestarian kawasan dan budaya di Pulau Lihir (Bainton, et al, 2011).

    Catur Angga Batukaru merupakan kawasan nominasi Situs Warisan Budaya Dunia

    UNESCO yang mencakup areal persawahan yang sangat luas. Sebagai kawasan yang meliputi

    20 wilayah subak, dibutuhkan sebuah bentuk perencanaan pengelolaan yang terintegrasi dan

    menyeluruh antara masyarakat, kelompok subak, dan pemerintah. Masuknya kawasan Catur

    Angga Batukaru sebagai Situs Warisan Budaya Dunia menarik minat wisatawan baik domestik

    maupun internasional untuk datang berkunjung.Sebuah perencanaan pengelolaan yang

    melibatkan gagasan dan partisipasi petani secara langsung dapat menentukan pola

    pembangunan bagi kawasan Catur Angga Batukaru yang lebih berkelanjutan.

  • BAB 3

    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

    3.1. Tujuan Penelitian

    Partisipasi masyarakat lokal sangat penting dan dibutuhkan dalam pengelolaan Situs

    Warisan Budaya Dunia. Kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat dipenuhi sembari

    mempertahankan keberlangsungan budaya dan proses ekologi di suatu kawasan. Penelitian ini

    menjadi sarana untuk meningkatkan dan melestarikan praktek-praktek, nilai-nilai, dan

    pengetahuan tradisional untuk melengkapi dan memajukan pengelolaan dan pelestarian Situs

    Warisan Budaya Dunia Lanskap Budaya Provinsi Bali.Pembuatan kebijakan pengelolaan

    kawasan yang seringkali tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal menyebabkan kurang

    efektifnya pengelolaan di suatu kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk:

    1. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelestarian

    kawasan Situs Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.

    2. Mengembangkan perencanaan pengelolaan (management plan) yang lebih efektif

    melalui berbagai gagasan dan pendapat yang diperoleh melalui kegiatan

    participatory planning dengan melibatkan petani setempat.

    3.2. Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai partisipasi masyarakat

    lokal dalam upaya perlindungan dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya

    Dunia.Keterlibatan masyarakat lokal penting dalam pengelolaan Situs Warisan Budaya Dunia

    sesuai dengan Petunjuk Pengelolaan yang dikeluarkan oleh UNESCO.Upaya pelestarian dan

    pengelolaan dapat dilakukan apabila terbentuk visi dan misi pengelolaan baik secara jangka

    pendek maupun jangka panjang, dan identifikasi pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang

    terlibat didalamnya.

  • BAB 4

    METODE PENELITIAN

    3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif

    Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dengan metode kualitatif yang

    memberikan perhatian pada data ilmiah dan data dalam hubungannya dengan konteks

    keberadaannya (Ratna, 2008:47-48). Ciri-ciri penelitian kualitatif adalah: (1) memberikan

    perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat obyek, yaitu sebuah studi

    kultural; (2) lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna

    selalu berubah; (3) tidak ada jarak antara subyek peneliti dan obyek peneliti, subyek peneliti

    sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung diantaranya; (4) desain dan

    kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka; dan (5) penelitian

    bersifat ilmiah, terjadi dalam konteks sosial budaya masing-masing (Ratna, 2008:47-48).

    Metode kualitatif pada dasarnya digunakan untuk menghasilkan data tentang pengalaman

    seseorang dan makna-makna tindakan yang dilakukan oleh aktor sosial.Penelitian kualitatif

    juga mengacu pada karakteristik, simbol, dan deskripsi unit analisa yang diteliti (Berg, 1989:3).

    Metode kuantitatif yang dipakai adalah untuk melihat praktek-praktek dan nilai-nilai

    petani dalam pengelolaan kawasan dan tantangan yang dihadapi dalam sistem pengelolaan

    tersebut.Metode ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan melakukan wawancara

    terstruktur kepada petani di kawasan Catur Angga Batukaru.Masukdan dan gagasan yang

    diperoleh dapat digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat dalam

    pengelolaan kawasan Catur Angga Batukaru dan untuk merumuskan rencana pengelolaan

    kawasan secara berkelanjutan.

    3.2. Unit Analisis

    Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam kelompok subak

    yang tersebar dalam kawasan Catur Angga Batukaru. Ada 20 subak yang termasuk kedalam

    kawasan Catur Angga Batukaru, yaitu: Subak Piling, Subak Kedampal, Subak Wongaya Betan,

    Subak Jatiluwih, Subak Bedugul, Subak Piak, Subak Keloncing, Subak Tengkudak, Subak

    Puakan, Subak Pancoran Sari, Subak Tingkih Kerep, Subak Penatahan, Subak Tegal Linggah,

    Subak Sangketan, Subak Anyar Sangketan, Subak Puring, Subak Pesagi, Subak Dalem, Subak

    Rejasa, dan Subak Sri Gumana. Jumlah informan dibatasi pada 20 pekaseh dan 2 orang petani

    dari masing-masing subak tersebut diatas.

  • 3.3. Teknik Pengumpulan Data

    Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh melalui perencanaan partisipatif

    masyarakat atau participatory planning dengan melibatkan petani secara langsung dan

    bersama-sama dalam mengisi pertanyaan yang diajukan.Pada tahap awal penelitian ini, peneliti

    dan asisten peneliti memperkenalkan tujuan penelitian secara menyeluruh dan bagaimana agar

    petani dapat berpartisipasi secara aktif. Selanjutnya, para petani diajak untuk mengisi langkah-

    langkah dalam SSH yang telah ditentukan peneliti yaitu vision for the future dan who is

    involved. Peneliti dan asisten peneliti dalam tahapan ini bertindak sebagai observer selama

    pengisian oleh masing-masing pekaseh dan perwakilan petani yang mewakili masing-masing

    subak dalam Catur Angga Batukaru. Adapun dua langkah dalam SSH yang dilakukan yaitu:

    Step 1. Vision for the future (visi masa depan)

    Tahapan ini membantu petani dalam menerjemahkan keinginan mereka dalam

    pelestarian dan pengelolaan kawasan. Pertanyaan umum yang ditanyakan:

    1. Apakah Anda pernah mendengar tentang Warisan Budaya Dunia Catur Angga

    Batukaru?

    2. Apakah Anda pernah mendengar pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga

    Batukaru?

    3. Menurut Anda, apa pentingnya Catur Angga Batukaru sehingga menjadi Warisan

    Budaya Dunia?

    4. Menurut Anda, apa tujuan pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga

    Batukaru?

    5. Menurut Anda, apa saja yang harus dilindungi dan diatur dalam pengelolaan

    kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

    6. Mengapa hal diatas perlu untuk dilindungi dan diatur dalam pengelolaan?

    7. Menurut Anda, hal apa saja yang dapat mengancam atau melanggar peraturan dalam

    pengelolaan demi melindungi hal-hal pada pertanyaan sebelumnya?

    8. Apakah sanksi perlu diberlakukan untuk memastikan perlindungan terhadap

    kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

    9. Pedoman apa yang Anda gunakan untuk mengelola lahan sawah untuk melindungi

    Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru selama ini?

    10. Apakah Anda merasa dilibatkan dalam usaha pengelolaan dan pelestarian kawasan

    Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

  • 11. Apakah Anda perlu untuk dilibatkan atau melakukan sesuatu dalam usaha

    pelestarian dan pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga

    Batukaru?

    12. Apakah Anda merasa memiliki peran dalam usaha pengelolaan dan pelestarian

    kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

    13. Apa visi Anda dalam pelestarian lahan dan budaya kawasan Catur Angga Batukaru?

    14. Apa tujuan jangka pendeknya (short term goals)?

    15. Apa tujuan jangka panjangnya (long term goals)?

    Step 2. Who is involved (pihak-pihak yang terlibat)

    Tahapan ini mengidentifikasi pihak-pihak yang telah terlibat, dapat terlibat, dan perlu

    untuk dilibatkan dalam pengelolaan kawasan Catur Angga Batukaru. Pertanyaan umum yang

    ditanyakan:

    1. Apakah Anda tahu siapa (pemangku kepentingan) atau institusi mana saja yang

    terlibat dalam pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru

    saat ini?

    2. Bagaimana keterlibatan dan peran mereka dalam pengelolaan kawasan Warisan

    Budaya Dunia Catur Angga Batukaru?

    3. Siapa yang membuat keputusan atau kebijakan setempat?

    4. Siapa yang mengatur dan mengelola kawasan selama ini?

    5. Bagaimana peran pekaseh, kelian tempek, dan petani dalam mengelola subak?

    6. Siapa atau institusi yang perlu untuk dilibatkan dalam pengelolaan kawasan?

  • 3.4. Penafsiran Data

    Peneliti menganalisa setiap informasi dan gagasan yang didapat dari dua langkah SSH

    yang diterapkan dalam penelitian ini. Berbagai permasalahan yang muncul dikelompokkan dan

    kemudian berbagai alasan untuk pengelolaan dirumuskan untuk dijadikan rancangan

    perencanaan pelestarian dan pengelolaan kawasan.Informasi dan gagasan yang didapat dari

    responden melalui pertanyaan vision for the future diterjemahkan menjadi visi dan misi

    pelestarian dan pengelolaan jangan pendek dan jangka panjang. Sementara informasi dan

    pendapat dari pertanyaan who is involved digunakan untuk mengidentifikasi pihak-pihak atau

    pemangku kepentingan yang terlibat dan perlu dilibatkan dalam upaya pelestarian dan

    pengelolaan kawasan. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini diserahkan kembali kepada

    masyarakat, terutama petani di Kawasan Catur Angga Batukaru untuk mendapatkan masukan

    (feedback).

  • BAB 5

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Catur Angga Batukaru merupakan kawasan yang masuk ke dalam situs Warisan Budaya

    Dunia Lanskap Budaya Bali. UNESCO menetapkan Lanskap Budaya Bali ke dalam Daftar

    Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012 di Saint Petersburg, Rusia. Lanskap Budaya

    Provinsi Bali terdiri dari kawasan Pura Luhur Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Daerah

    Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, Pura Taman Ayun, dan Lanskap Subak Catur Angga Batukaru.

    Keempat kawasan tersebut menggambarkan sistem pengairan tradisional Bali yang dikenal

    dengan nama subak. Subak dianggap mampu merefleksikan nilai filosofi Tri Hita Karana, tiga

    penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan menurut kepercayaan masyarakat Bali.Tri Hita

    Karana terdiri dari hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan),

    manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungannya (palemahan).

    Pembangunan yang berlangsung pesat terutama di sektor pariwisata mengancam

    keberlangsungan sistem subak di Bali.Pemerintah Daerah didukung oleh Pemerintah Pusat

    kemudian mengajukan Lanskap Budaya Provinsi Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya

    Dunia UNESCO sebagai salah satu upaya untuk melindungi dan melestarikan sistem subak di

    Bali. Pengakuan Lanskap Budaya Provinsi Bali sebagai Warisan Budaya Dunia menyebabkan

    Pemerintah Indonesia, terutama Pemerintah Daerah Bali, untuk mengikuti Petunjuk Pelaksana

    Pengelolaan Situs Warisan Budaya Dunia. Petunjuk Pelaksana Pengelolaan UNESCO

    mengharuskan agar pemilik dan pengelola asli kawasan dilibatkan dalam upaya perlindungan

    dan pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia.

    Penelitian ini melihat partisipasi petani, sebagai pemilik dan pengelola asli kawasan,

    dalam pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Catur Angga Batukaru

    dipilih karena merupakan kawasan yang paling luas dibandingkan dengan kawasan lainnya

    didalam Lanskap Budaya Provinsi Bali dan memiliki tingkat kompleksitas ekologi subak yang

    paling lengkap. Kawasan Catur Angga Batukaru terdiri dari hutan, danau, pura-pura yang

    terkait dalam sistem subak, desa, dan 20 subak yang termasuk didalamnya.Keterlibatan petani

    dalam perlindungan dan pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru oleh

    karenanya menjadi sangat penting.Subak berkembang dan bertahan selama ribuan tahun karena

    keterlibatan petani didalamnya.Penelitian ini melihat partisipasi petani dalam upaya

    perlindungan dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.

    Penelitian ini terbagi kedalam dua bagian yaitu vision for the future dan who is

    involved.Dua pertanyaan tersebut merupakan bagian dari Stepping Stones for Heritage yang

  • diperkenalkan oleh Stepwise Heritage and Tourism.Vision for the future digunakan untuk

    melihat pemahaman petani dalam memaknai Kawasan Catur Angga Batukaru sebagai Situs

    Warisan Budaya Dunia UNESCO. Pemahaman petani tersebut penting untuk menentukan visi

    dari pelestarian dan pengelolaan Kawasan Catur Angga Batukaru.Who is involved digunakan

    untuk dapat mengidentifikasi para pemangku kepentingan selain petani dalam pelestarian dan

    pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia di Bali.Identifikasi para pemangku kepentingan

    sangat penting dilakukan agar peran dan pembagian tanggung jawab pengelolaan dapat

    dilakukan.

    5.1. Vision for the future

    Penelitian ini dimulai dengan menanyakan status Warisan Budaya Dunia kepada para

    petani yang dijadikan responden. Proses untuk menjadikan Kawasan Catur Angga Batukaru

    sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO yang dimulai sejak tahun 2003 menyebabkan

    semua petani tahu akan status Warisan Budaya Dunia yang disandang subak mereka sejak

    tahun 2012. Selain karena mengikuti proses dari awal, para petani mendengar mengenai status

    Warisan Budaya Dunia dari sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali

    dan melalui media elektronik. Akan tetapi pengetahuan sebagai bagian dari Daftar Situs

    Warisan Budaya Dunia tidak serta merta memberikan sistem pengelolaan yang efektif dalam

    kawasan.

    Para petani melihat bahwa pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sangatlah

    penting untuk mengacu pada filosofi Tri Hita Karana.Berbagai ritual dalam sistem subak harus

    dilestarikan dan pengolahan lahan harus menggunakan pendekatan pertanian organik dan

    berkelanjutan.Para petani harus tetap bekerja sama dalam pengolahan lahan pertanian melalui

    keorganisasian subak. Adapun koordinasi dalam sistem subak yang harus dipertahankan

    diantaranya; pengolahan tanah, sistem bagi air seperti tembuku dan lainnya, pemilihan bibit

    lokal, penggunaan pupuk organik, dan pelestarian budaya bertani tradisional melalui berbagai

    ritual dan upacara.

    Beberapa tantangan yang ada dalam mempertahankan sistem subak di Bali saat ini,

    diantaranya; (1) Meningkatnya harga kebutuhan ritual dan upacara dalam pengolahan

    pertanian, (2) Persepsi anggota subak yang semakin berubah karena derasnya arus modernisasi,

    (3) Kondisi air dan lingkungan yang semakin tidak mendukung sistem pertanian tradisional

    karena alih fungsi lahan yang cukup tinggi di Bali, (4) Tingkat pendapatan sebagai petani yang

    masih sangat rendah sehingga pekerjaan menjadi petani mulai ditinggalkan, (5) Meningkatnya

    hama tanaman padi seperti tikus dan wereng, (6) Tidak semua lahan diketahui pemiliknya

  • karena banyak lahan pertanian yang digarap oleh orang lain atau pekerja musiman, (7)

    Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, (9) Polusi di saluran irigasi terutama dari sampah

    plastik dan kotoran dari peternakan-peternakan besar seperti ayam dan babi, (10) Kurangnya

    infrastruktur pertanian seperti perbaikan pura-pura yang berkaitan dengan subak, balai subak,

    jalan usaha tani, dan koperasi untuk petani, (11) Bantuan pemerintah yang kadang tidak sesuai,

    seperti misalnya bantuan traktor yang terlalu besar sehingga tidak sesuai dan tidak bisa

    digunakan. Petani memiliki keinginan untuk menjual dan membeli yang lebih kecil tapi tidak

    diperbolehkan sehingga akhirnya traktor tersebut dibiarkan saja (12) Rendahnya tingkat

    kepedulian generasi muda kepada kehidupan bertani di Bali karena dianggap pekerjaan kotor

    dan tidak menguntungkan.

    Beberapa tantangan yang dihadapi oleh petani diatas, alih fungsi lahan merupakan

    ancaman yang paling utama dalam melestarikan sistem subak di Bali. Tanpa lahan persawahan,

    maka subak dengan sendirinya akan hilang. Oleh karenanya, diperlukan upaya bersama dalam

    mengurangi dan mencegah alih fungsi lahan yang berlangsung sangat cepat di Bali.Pelestarian

    hutan sebagai daerah tangkapan air dan sumber mata air yang mengairi sawah-sawah dalam

    sistem subak sangatlah penting untuk dilakukan. Seringkali terjadi penyalahgunaan air oleh

    pihak-pihak lain selain petani, seperti untuk kebutuhan rumah tangga, pariwisata, dan

    perusahaan swasta seperti air kemasan, sehingga kebutuhan air pertanian menjadi sangat

    berkurang. Masyarakat yang tinggal dalam kawasan WBD merasa terbebani dengan

    tanggungjawab untuk menjaga hutan.Selain itu, mereka tidak berdaya menghadapi perilaku

    pihak luar kawasan seperti hotel, perusahaan air minum, dan lainnya yang tidak kontributif

    terhadap pelestarian hutan.Berbagai flora dan fauna yang ada dalam sistem subak juga patut

    dilestarikan untuk menjaga rantai makanan. Ini penting dilakukan untuk mengendalikan hama

    karena beberapa diantara jenis flora dan fauna tersebut merupakan predator hama yang

    menguntungkan petani dalam melakukan pengelolaan pertanian.

    Kerjasama dari berbagai pihak atau pemangku kepentingan, dari petani, pemerintah

    daerah dan pemerintah pusat, hingga pelaku industri lain yang memiliki pengaruh secara

    langsung maupun tidak kepada sektor pertanian perlu dilakukan. Petani saja tidak bisa

    dibebankan untuk melestarikan dan mempertahankan sistem subak di Bali. Pemerintah

    seharusnya memberikan dukungan kepada subak dalam melakukan rangkaian upacara

    pertanian karena harga upacara yang semakin mahal, mengakui dan membantu sosialisasi dan

    penerapan awig-awig, memberikan asuransi untuk petani sehingga pada saat panen raya harga

    tidak akan turun secara drastis dan jika terjadi gagal panen maka petani memiliki dana talangan

    dari asuransi tersebut, memberikan subsidi gabah dan bukan pupuk karena petani berharap agar

  • dapat kembali kepada sistem pertanian organik seperti dulu, melakukan reboisasi karena

    terjadinya penurunan debit air dan ini harus dilakukan secara sekala dan niskala melalui matur

    piuning, melakukan pembasmian hama dengan cara-cara tradisional dan bukan dengan bahan

    kimia seperti pestisida, membantu pengajuan proposal-proposal ke dinas-dinas terkait untuk

    mendukung kebutuhan pengolahan pertanian, membantu koordinasi antara subak dan desa,

    mendukung pengembangan teknologi pertanian dan memberikan inovasi pengolahan limbah,

    memberikan sanksi berupa teguran ataupun pidana dan perdata kalau terjadi pelanggaran, dan

    memberikan hak swa-kelola sistem subak dengan bantuan dana dari pemerintah.

    Subak sebagai sebuah ekosistem merupakan warisan dari leluhur untuk generasi

    sekarang dan mendatang.Sistem pengelolaan yang efektif dibutuhkan agar keberlangsungan

    subak terjamin.Upaya pelestarian dan pengelolaan yang dilakukan selama ini dirasa masih

    lemah karena hanya melibatkan petani dan pemerintah kurang terlibat didalamnya.Pedoman

    pengelolaan yang dipakai sejauh ini hanya pedolam Warisan Budaya Dunia yang diterbitkan

    oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.Beberapa upaya yang dapat

    dilakukan didalam pengelolaan yaitu; (1) Perlindungan terhadap hutan dan flora dan

    fauna.Masyarakat sebaiknya dihimbau agar tidak semena-mena menebang hutan. Keberhasilan

    pelestarian hutan akan menjamin penyimpanan air yang dibutuhkan dalam pertanian. Hutan

    merupakan daerah tangkapan air yang dapat menjaga tingkat debit air.Perlindungan dan

    pelestarian hutan juga penting untuk mencegah terjadinya bencana seperti kekeringan, longsor,

    dan banjir. (2) Pengenalan sistem pertanian organik. Petani berpendapat bahwa pengurangan

    penggunaan pupuk kimia dan peningkatan penggunaan pupuk organik dapat memperbaiki

    struktur kesuburan tanah dan meningkatkan kualitas hasil produksi padi. (3) Pelaksanaan

    berbagai ritual dan upacara dalam subak yang harus dilestarikan. Pemerintah memiliki peran

    disini untuk mendukung petani dalam menjalankan berbagai tradisi ritual yang diperlukan

    dalam pengolahan lahan pertanian.Tingkat kebutuhan yang tinggi dan pendapatan masyarakat

    tani yang masih rendah membutuhkan campur tangan pemerintah terutama dalam perlindungan

    harga hasil produksi.Jika pendapatan petani meningkat, maka berbagai ritual yang dibutuhkan

    dalam pengolahan pertanian dapat terus dilakukan.Ini dikarenakan biaya yang dibutuhkan

    dalam melakukan berbagai ritual semakin meningkat.(4) Pencegahan alih fungsi lahan.

    Pemerintah sebaiknya menghimbau masyarakat agar tidak menjual lahan atau mengalih-

    fungsikan lahan pertanian.Walaupun subak memiliki awig-awig yang mengatur alih fungsi

    lahan, seringkali pemerintah juga yang mengeluarkan ijin untuk jual-beli lahan maupun alih

    fungsi lahan.Petani menganggap pemerintah daerah, terutama pemerintah lokal, belum

  • memiliki keseriusan dalam pencegahan alih fungsi lahan baik melalui penetapan peraturan

    daerah maupun pengimplementasian peraturan tersebut.

    Pengelolaan yang efektif membutuhkan pengawasan didalamnya.Salah satu cara yang

    dapat dilakukan untuk mengatasi pelanggaran dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan

    Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah dengan mengusulkan agar ada sanksi

    tegas dari pemerintah baik secara pidana maupun perdata.Walaupun masing-masing subak

    memiliki awig-awig, peraturan tradisional, seluruh responden sepakat bahwa sulit melawan ijin

    yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertentangan dengan upaya pelestarian dan

    pengelolaan kawasan.Pekaseh merupakan kunci dalam pengelolaan dan pengawasan sistem

    pertanian dalam subak.Pekaseh sebagai ketua subak harus mampu mengkoordinasi krama

    (anggota) subaknya dan menjembatani komunikasi antara subak, desa, pemerintah, dan

    pemangku kepentingan lainnya. Berbagai tantangan yang ada dalam pelestarian dan

    pengelolaan subak bisa diatasi kalau melibatkan pemerintah daerah, desa (kepala desa), desa

    adat (bendesa adat), pekaseh, krama subak, pura (pemangku), puri, dan pihak lain yang harus

    dilibatkan.

    Harapan jangka pendek (short term goals) dalam upaya-upaya pelestarian dan

    pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah;

    1. Bantuan dari pemerintah daerah dalam pengelolaan pertanian baik dari bantuan

    teknologi maupun pengembangan pertanian organik.

    2. Harus tetap diakui sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Status tersebut

    telah memberikan keuntungan kepada pemilik lahan, walaupun berbagai kerja sama

    baik secara internal maupun eksternal masih sangat perlu untuk ditingkatkan.

    3. Pendidikan mengenai sistem subak agar kawasan pertanian menjadi lestari dan ajeg

    dan menarik minat generasi muda untuk menjadi petani.

    4. Bantuan pertanian perlu ditingkatan seperti subsidi harga padi, infrastruktur subak,

    alat pertanian sesuai kegunaan, pompa air, dan sebagainya.

    5. Rehabilitasi pura-pura yang terkait dengan subak seperti pura ulun suwi dan

    kelengkapannya.

    6. Meningkatkan kesejahteraan petani melalui pembangunan koperasi pertanian.

    7. Penataran kepada pekaseh dan krama subak lain akan pedoman pengelolaan Kawasan

    Warisan Budaya Dunia.

    Harapan jangka panjang (long term goals) dalam upaya-upaya pelestarian dan

    pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah;

  • 1. Tetap diakui sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Status tersebut telah

    memberi keuntungan kepada pemilik lahan, walapun kerja sama secara internal

    maupun eksternal masih perlu untuk ditingkatkan

    2. Tetap sebagai lahan pangan. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada

    kawasan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang

    3. Peningkatan insentif pertanian.

    4. Peningkatan kesejahteraan petani, melestarikan panca usaha tani yang meliputi

    pengolahan tanah, pemilihan bibit, pemupukan, panen, pemasaran.

    Visi jangka pendek dan jangka panjang dalam pelestarian dan pengelolaan sistem subak

    di Bali harus disepakati dan didukung oleh seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.

    5.2. Who is involved

    Upaya pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga

    Batukaru dapat dilakukan apabila pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang terlibat

    didalamnya dapat diidentifikasi.Identifikasi pemangku kepentingan dalam sistem subak oleh

    karenanya menjadi signifikan. Penelitian ini menemukan bahwa para pemangku kepentingan

    tersebut diantaranya; petani dan pekaseh, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Kebudayaan,

    Pemerintah Daerah, akademisi, puri, pemangku, Dinas Pekerjaan Umum, Desa Dinas, Desa

    Adat, Kecamatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas

    Pajak. Koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan tersebut dapat membantu

    keberlanjutan sistem subak melalui perbaikan saluran irigasi dan peningkatan hasil tani.

    Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pajak

    Kabupaten Tabanan dan dinas lainnya telah berkontribusi dalam memberikan keringanan

    pembayaran pajak sebesar 50 persen kepada petani-petani yang masuk dalam Kawasan Catur

    Angga Batukaru. Para petani di Kawasan Catur Angga Batukaru melihat bahwa semua

    pemangku kepentingan yang disebutkan diatas telah terlibat dalam pengambilan keputusan,

    akan tetapi peran Pemerintah Kabupaten dirasa masih sangat kurang. Pemerintah Daerah

    dilihat masih sering memberikan ijin dan berlaku lunak kepada pelaku pelanggaran alih fungsi

    lahan di Kawasan Catur Angga Batukaru.Pengurusan ijin penjualan tanah seharusnya melalui

    pekaseh dan desa.Akan tetapi, peraturan baru dari Dinas Agraria yang memperbolehkan

    penjualan atau perijinan hanya melalui desa tanpa melalui kesepakatan pekaseh membuat

    banyaknya terjadi alih fungsi lahan sawah.Hal ini sering menimbulkan masalah ketika tanah

    yang telah dijual pemilik yang baru meminta SPTT ke pekaseh.Petani juga melihat perlunya

  • untuk melibatkan Dinas Pariwisata karena terjadinya peningkatan kunjungan wisatawan baik

    domestik maupun internasional kedalam Kawasan Catur Angga Batukaru.Hal ini telah

    menimbulkan konflik kepentingan antara petani sebagai pemilik dan pengelola lokal dengan

    pelaku industri pariwisata yang banyak berasal dari luar kawasan.

    Peran pekaseh, kelian tempek, dan petani dalam pengelolaan subak adalah untuk

    pengaturan pembagian air, aci atau upakara serta pola tanam.Berdasarkan pada peran tersebut,

    hubungan pekaseh, kelian tempek, dan petani adalah merupakan satu kesatuan.Peran mereka

    dalam pengelolaan subak hanyalah sebatas koordinasi dan ini dilakukan dengan cara

    melakukan pertemuan rutin yang diadakan tiap kali musim tanam dan bila terjadi masalah yang

    perlu untuk didiskusikan bersama. Berikut adalah beberapa peran yang dilakukan oleh

    pemangku kepentingan dalam pengelolaan subak:

    1. Pekaseh berperan dalam memimpin subak, menjadi jembatan untuk menghubungkan

    kepentingan krama subaknya dengan pemerintah, menunjang segala kegiatan yang

    ada di subak seperti pembagian air dan upacara. Peran ini bertambah menjadi

    pelaksana ketentuan-ketentuan pengelolaan Warisan Budaya Dunia semenjak

    Kawasan Catur Angga Batukaru diakui oleh UNESCO.

    2. Petani bertugas untuk mengatur keberlangsungan sawah dan melaksanakan kegiatan

    sesuai dengan arahan pekaseh atau kelian tempek dan aci atau upakara.

    3. Kelian tempek mengerahkan tenaga untuk kegiatan gotong royong di subak, saling

    berkoordinasi, mendukung dengan kelian tempek lain, pekaseh, dan krama subaknya

    secara terintegrasi.

    4. Pura atau pemangku sebagai wadah untuk memohon keselamatan, pemimpin ritual

    keagamaan untuk subak.

    5. Puri sebagai pelindung di semua wilayah Tabanan dan juga ketika ada masalah hama

    di sawah, krama subak akan tangkil atau menghadap ke puri sebagai panutan

    termasuk dalam penentuan upakara.

    6. Desa adat dan desa dinas dianggap memiliki peran otonom sehingga tugasnya hanya

    untuk koordinasi atau penyampaian informasi saja. Secara khusus, desa adat ikut

    terlibat dalam kegiatan prastiti sedangkan desa dinas mengawal dana bantuan untuk

    subak, yaitu untuk menyatukan dan melestarikan subak.

    7. Pemerintah Kabupaten berperan dalam mendukung program pertanian dan sebagai

    penghubung masyarakat bawah. Peran ini dirasa belum optimal dilakukan.

    Lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk mensejahterakan pelaku usaha pertanian

  • seperti Badan Penyuluh Lapangan (BPL) masih belum memberikan manfaat. Slogal

    “Indah Serasi” hanya menjadi slogan dan tidak ada penerapannya.

    8. Pemerintah Provinsi berperan dalam monitoring dan sudah terlaksana secara intensif

    dan pemberian sumbangan pertanian yang juga sudah dilakukan. Pemerintah

    Provinsi juga sudah lebih tanggap apabila terjadi pelanggaran.

    9. Pemerintah Nasional berperandalam pengambil kebijakan untuk pelestarian

    kawasan. Namun terkadang peran ini dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan di

    lapangan, seperti subsidi pupuk dan bantuan irigasi yang terkadang kurang tepat

    sasaran.

    10. Akademisi seperti Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana memiliki peran

    dalam pengakuan Warisan Budaya Dunia dan hingga sekarang masih sering

    melakukan sosialisasi. Para akademisi telah memberikan dukungan terhadap

    terbentuknya Forum Pekaseh dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan

    Budaya Dunia Catur Angga Batukaru melalui berbagai penelitian dan fasilitasi.

    11. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) belum memiliki peran yang jelas, walaupun

    beberapa LSM terlibat dalam program pemetaan di dalam Kawasan Warisan Budaya

    Dunia Catur Angga Batukaru dan pelaksanaan musyawarah subak.

    12. Pelaku pariwisata masih belum terlibat dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan

    Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dan justru seringkali merusak

    sehingga menjadi ancaman bagi pelestarian kawasan.

    13. Lembaga asing yaitu UNESCO berperan dalam pemberian sertifikat Warisan

    Budaya Dunia dan pengawasan terhadap upaya pengelolaan situs. Akan tetapi petani

    berharap kedepannya UNESCO dapat memberikan bantuan sebagai penyalur

    aspirasi petani.

    Identifikasi pelaku atau pemangku kepentingan dan perannya akan memudahkan upaya-

    upaya pelestarian dan pengelolan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.

    Beberapa diantaranya yaitu;

    1. Pengelolaan mampu mendirikan koperasi yang berfungsi untuk memasarkan hasil

    panen para petani. Ini dilakukan untuk menghindari pemasaran hasil panen kepada

    para tengkulak yang merugikan petani. Para tengkulak biasanya membeli hasil panen

    petani dengan harga yang rendah.

    2. Pengelolaan dapat menciptakan skema jasa lingkungan bagi para petani selaku

    pengelola sumber daya air. Jasa lingkungan ini dibayar oleh pihak-pihak yang ikut

  • menggunakan sumber air yang sama seperti pengelola hotel, rumah tangga, villa,

    perusahaan air minum, dan sebagainya.

    3. Pengelolaan dengan melibatkan pengembangan pariwisata di Kawasan Warisan

    Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dapat menunjang perekonomian petani

    sekaligus melibatkan petani secara langsung dalam pariwisata, misalnya dengan

    wisata budaya tanam padi, membajak sawah, dan sebagainya. Pengelolaan pariwisata

    sebaiknya tidak dilakukan secara massif.

    4. Pengelolaan yang baik dan efektif dapat menunjang usaha pertanian berkelanjutan di

    masa depan. Penggunaan bibit lokal dan pupuk organik yang digabungkan dengan

    penggunaan teknologi pertanian terbaru akan dapat menunjang pengolahan tanah

    dengan tenaga dan waktu yang lebih efisien dengan hasil produksi yang lebih baik.

  • BAB 6

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani merupakan pemangku kepentingan yang

    memiliki peran utama sehingga harus dilibatkan dalam segala proses pembuatan kebijakan

    terkait pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Selain itu,

    pemerintah daerah harus meningkatkan perannya untuk mendukung petani sebagai pengelola

    kawasan.Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa visi pengelolaan WBD yang utama adalah

    untuk melestarikan budaya subak sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana serta penguatan

    peran pekaseh dalam mengawasi pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga

    Batukaru.Pengelolaan yang sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana penting dilakukan karena

    ketiganya saling terkait.

    Pengelolaan seharusnya melihat petani dan pekaseh sebagai ujung tombak dalam

    pelestarian sistem subak di Bali.Petani dan pekaseh membuat perarematau awig-awig atau

    aturan baru kemudian diusulkan kepada pemerintah menyesuaikan kebijakan

    pemerintah.Kalau pemerintah yang membuat kebijakan maka petani hanya bisa melakukan

    demo bila terjadi pelanggaran.Pemerintah harus mempertimbangkan awig-awig atau perarem

    dalam pengeluaran ijin.Kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan sesuai dengan perarem

    maka kecil kemungkinan terjadinya pelanggaran.Sanksi harus diberlakukan melalui peraturan

    daerah.Bila terjadi jual beli tanah tanpa syarat, maka itu seharusnya dibatalkan secara

    hokum.Bentuk sanksi disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan, misalnya dengan

    memberi teguran di tempat, teguran tertulis, penindakan hokum atau penangkapan.Penegak

    hokum tersebut bisa pekaseh melalui forum pekaseh, pemerintah daerah maupun pusat, dan

    penegak hukum yaitu polisi.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Bainton, Nicholas A., Chriss Ballard, Kirsty Gillespie, Nicholas Hall. (2011).

    “Stepping Stones Across the Lihir Islands: Developing Cultural Heritage Management

    in the Context of a Gold-Mining Operation” dalam International Journal of Cultural

    Property, No. 18, International Cultural Property Society.

    Berg, B. (1989). “Qualitative Research Methods for the Social Sciences”, Allyn & Bacon,

    Boston.

    Filler, Colin. (1997). “Compensation, Rent, and Power in Papua New Guinea” dalam

    Compensation for Resource Development in Papua New Guinea, editor: Susan Toft,

    Australian National University, Canberra.

    Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Bali. (2011). “Nomination

    for inscription on the UNESCO World Heritage List, Cultural Landscape of Bali

    Province”, Indonesia.

    Lansing, J. Stephen, Yunus Arbi, dan D.A. Wiwik Dharmiasih. (2011). “The Proposal to Create

    a UNESCO World Heritage Cultural Landscape: Celebrating the Subaks and Water

    Temples of Bali” dalam Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa, editor: I

    Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana, Pustaka Larasan, Denpasar.

    Ratna, Nyoman Kutha. (2008). “Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik”, Pustaka

    Pelajar, Yogyakarta.

    UNESCO. (2010). “The Power of Culture for Development”, Paris.

    UNESCO. (2012). “Decision 36 COM 8B.26. 36th Session of the World Heritage Committee,

    Saint Petersburg, Russian Federation.Diakses dari

    http://whc.unesco.org/en/decisions/4797 tanggal 10 April 2015.

    UNESCO. (2014). “38th COM 7B.14. 38th Session of World Heritage Conference, Doha, Qatar.

    Diakses dari http://whc.unesco.org/en/decisions/6002 tanggal 12 April 2015

    http://whc.unesco.org/en/decisions/4797http://whc.unesco.org/en/decisions/6002