LAPORAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI fileHIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI ... yang akan...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI fileHIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI ... yang akan...
Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi dan Bahasa
Kode/Nama Bidang Ilmu : 567/Notariat
LAPORAN PENELITIAN
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
HAK NOTARIS UNTUK MENGAJUKAN PENGUNDURAN
DIRI (THE RIGHT TO RESIGN/VERSCHONINGSRECHT)
SEBAGAI SAKSI DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA
DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR
TIM PENELITI
1. Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn (NIDN. 0028108202)
2. Nyoman Mas Aryani, SH., SE., MH. (NIDN. 0029087904)
3. Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH., MH. (NIDN. 0340222029412)
Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Badan Layanan Umum (BLU)
Satuan Kerja Unud No. SP DIPA 042.04.2.400107/2015 Dengan Kode MAK
5380.022.012525119 Tertanggal 04 Mei 2015
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lembaga Notaris merupakan lembaga yang memang dibutuhkan keberadaannya
ditengah-tengah masyarakat dalam perkembangan kehidupan yang semakin kompleks
terutama terkait dengan ilmu hukum sebagai ladang praktisnya.
Jabatan Notaris adalah jabatan yang menjalankan profesi dalam memberikan
pelayanan dan jasa di bidang hukum kepada masyarakat, sebelum diangkat dalam Jabatan
Notaris itu, diwajibkan baginya untuk berjanji di bawah sumpah yang salah satunya adalah
untuk merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan,
peraturan-peraturan. Point ke-5 Sumpah Jabatan Notaris menyatakan : “Bahwa saya akan
merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan
ini.” Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan lebih luas, bahwa kewajiban
merahasiakan ini juga meliputi keterangan yang diperoleh notaris dalam pelaksanaan
jabatannya. Hal ini lebih karena jabatan yang dipangku oleh notaris adalah jabatan
kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu
kepercayaan kepadanya.
Dalam Kode Etik Profesi Notarispun terdapat perihal wajib menyimpan atau
memegang kerahasiaan. Etika memberikan kewajiban bagi kaum profesional hukum sebagai
aparat atau pejabat untuk menyimpan rahasia, sehingga secara etis pula tidak dibenarkan
kaum profesional hukum membuka rahasia yang diberitahukan, dipercayakan dan
diperolehnya, dari klien.1 Menurut Ko Tjay Sing, rahasia pekerjaan notaris seperti rahasia
pekerjaan-pekerjaan kepercayaan lain sudah lama sebelum tahun 1950 dianggap berdasar
1 Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika profesi dan Profesi Hukum, CV Aneka Ilmu, Semarang, h. 80
2
untuk perkara perdata atas Pasal 1909 BW (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) dan Pasal
146 HIR (Het herziene Indonesisch Reglement) dan untuk perkara pidana atas Pasal 277 RIB
(Reglemen Indonesia diperbaharui), maka rahasia pekerjaan tersebut tidak terbatas pada isi
akta-akta, melainkanlah pekerjaan kepercayaan yang sebelumnya tidak diakui oleh hakim
sebagai pekerjaan demikian.2
Jabatan Notaris yang bermartabat inilah yang menimbulkan hubungan kepercayaan.
Kepercayaan yang diberikan dari seorang pengguna jasa (client) dalam memberitahukan
segala kepentingannya, yang akan dituangkan dalam akta sesuai dengan kewenangan Notaris
itu sendiri. Sebagai orang yang dipercaya, notaris wajib untuk merahasiakan semua yang
diberitahukan kepadanya dalam jabatan tersebut. Hal ini merupakan pelaksanaan dari
confidential profession (jabatan kepercayaan) yang telah diberikan oleh masyarakat,
khususnya pengguna jasanya (client). Rahasia ini tetap dijaga, meskipun hubungan Notaris
dengan pengguna jasa (client) telah berakhir.
Terkait dengan jabatan kepercayaan, sudah barang tentu harus merahasiakan apa
yang dipercayakan kepada Notaris. Manakala dihadapkan dengan perkara perdata maupun
perkara pidana, dimana Notaris dijadikan sebagai seorang saksi di Pengadilan, maka timbulah
suatu problematika, yang mana disatu sisi harus merahasiakan apa yang dipercayakan kepada
Notaris tersebut, disisi lain adalah upaya penegakan hukum melalui proses pemeriksaan
perkara di Pengadilan. Selain itu pasal 1909 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) mewajibkan setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi, untuk memberikan
kesaksian di muka pengadilan. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, akan tetapi
dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) juga mengatur beberapa pihak
yang tidak dapat menjadi saksi, yaitu dalam Pasal 168 KUHAP dan Pasal 170 KUHAP.
2Ko Tjay Sing, 1978, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, PT Gramedia, Jakarat, h. 4
3
Pasal 168 KUHAP memberikan pengecualian bagi saksi yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan terdakwa dan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHAP memberikan
verschoningsrecht (hak mengundurkan diri) dari pemberian kesaksian bagi mereka yang
karena jabatan, harkat martabat dan pekerjaannya wajib menyimpan rahasia. Baik menurut
Pasal 322 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maupun menurut Pasal 146 HIR
(Hetherzeine Indonesisch Reglement) dan 277 RBg (Rechtreglement vor de Buitengewesten)
ada kategori-kategori orang yang yang karena jabatan atau pekerjaannya dianggap sebagai
wajib penyimpan rahasia. Dalam Pasal 322 KUHP diadakan sanksi pidana terhadap mereka
dari kategori-kategori tersebut yang dengan sengaja membuka rahasia itu, sedangkan menurut
Pasal 146 HIR dan Pasal 277 RBg mereka boleh menolak untuk memberi kesaksian
mengenai rahasia tersebut.3
Ketika melihat ketentuan ketentuan seperti yang disebut diatas, apabila notaris
dipanggil menjadi saksi di muka persidangan pengadilan, maka ia berdasarkan Pasal 1909
ayat (2) KUHPerdata dan Pasal-pasal 146 HIR dan 227 RIB, dapat mempergunakan haknya
untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan menuntut penggunaan
Verschoningsrecht (dahulu hak ingkar). Verschoningsrecht (hak mengundurkan diri)
merupakan pengecualian terhadap ketentuan umum yang disebut tadi, yaitu bahwa setiap
orang yang dipanggil sebagai saksi, wajib memberikan kesaksian.
Namun ketika kita menilik pada Undang-Undang jabatan Notaris sebagai payung dari
Jabatan Notaris itu belum menentukan secara jelas mengenai hal tersebut. Seperti yang kita
ketahui, seiring dengan kebutuhan akan perlindungan dan kepastian hukum serta
perkembangan jaman, jumlah Notarispun meningkat dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan akan akta otentik. Dalam praktek kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak
mungkin dihindari adanya Notaris-Notaris yang dipanggil menjadi saksi untuk memberikan
3G.H.S Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, h.4
4
keterangan tentang akta yang dibuatnya di muka persidangan bahkan ada pula Notaris yang
dipaksa untuk memberikan keterangan di hadapan penyidik untuk melancarkan penyidikan.
Notaris adalah jabatan yang menjalankan profesi dalam pemberian pelayanan dan jasa
di bidang hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi
tercapainya kepastian hukum. Salah satunya adalah verschoningsrecht (hak mengundurkan
diri) yang belum diatur secara sempurna di dalam Undnag-Undang Jabatan Notaris.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui
berlakunya hak Notaris untuk mengajukan pengunduran diri (verschoningsrecht) sebagai
saksi dalam proses pemeriksaan perkara khususnya di Pengadilan Negeri Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan dua rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana pemberlakuan Hak Notaris untuk mengajukan pengunduran diri (right to
resign/verschoningsrecht) sebagai saksi pada proses pemeriksaan perkara di Pengadilan
Negeri Denpasar?
2. Dapatkah Pengadilan tetap memberikan perintah (memaksa) kepada notaris untuk
menjadi saksi pada proses pemeriksaan perkara?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui Hak Notaris untuk mengajukan pengunduran diri (right to
resign/verschoningsrecht) sebagai saksi pada proses pemeriksaan perkara.
2. Untuk mengetahui apakah dalam proses pemeriksaan perkara di Pengadilan, hakim dapat
memaksa/memberikan perintah agar Notaris tetap menjadi saksi dan apakah ada sanksi
apabila Notaris tetap mengajukan hak mengundurkan diri.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Notaris Sebagai Pejabat Umum
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Public Officials dalam Bahasa
Belanda disebut sebagai Openbare Amtbtenaren dan istilah tersebut juga dituangkan dalam
Peraturan Jabatan Notaris ( Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie, Staatblaad
1860:3) yang menunjuk istilah tersebut sebagai sebutan Pejabat Umum. 4Secara lengkap
dapat dilihat dari bunyi Pasal 1 Staatblaad 1860 : 3, yaitu :
De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op
te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene
algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek
geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te
houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover
het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren
of personen opgedragen of voorbehouden is.
(Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapanyang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
4Lihat istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op Het Notaris
Ambt in Nederlands Indie (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S.
Lumban Tobing, op.cit., h.5
6
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain).
Begitu pula dengan terjemahan yang dilakukan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio
seperti yang terdapat dalam pengertian akta otentik dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) (BW).5
Sudahlah jelas bahwasanya istilah Openbaar Ambtenaren merupakan batasan peristilahan
untuk menyebutkan Pejabat Umum seperti yang telah dijabarkan tersebut diatas. Mengenai
yang dimaksud dari pejabat publik, maka Boedi Harsono memberikan pemahaman bahwa
yang dimaksud Pejabat Umum adalah seorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan tugas
dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang tertentu.6Sejalan dengan
Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa pengertian pejabat umum mempunyai
karakter yuridis, yaitu selalu dalam kerangka hukum publik.Sifat publiknya tersebut dapat
dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan kewenangan.7
Pejabat umum selalu dikaitkan dengan pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian
dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai
Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai
Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik
yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.
Aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak
5 Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 SW diterjemahkan menjadi Pejabat
Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta.
6 Boedi Harsono, 2007, PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI, Edisi No. 8.44.
IV 03 Januari 2007, Jakarta, h. 11.
7 Sri Winarsi, 2002, Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Umum,
Majalah YURIDIKAVolume 17 No. 2, Maret 2002, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 186.
7
memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini yang diberi
kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), Pejabat Lelangpun juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang.
Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain didasarkan pada hak,
kewajiban, kewenangan yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan.
2.2 Pengertian Notaris
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan
definisi notaris, yaitu:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”
Notaris adalah pejabat umum yang diangkat, diberi wewenang dan kewajiban oleh
Negara (pemerintah) untuk melayani publik dalam hal tertentu. Jabatan Notaris bukanlah
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo
Undang-Undang No 43 tahun 1999 Tentang Pokok Pokok Kepegawaian, walaupun Notaris
diangkat dan disumpah oleh Negara (pemerintah). Notaris sebagai pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik, inilah kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang.
Notaris merupakan Pejabat Umum yang menjalankan profesi dalam pelayaanan hukum
kepada masyarakat, guna memberi perlindungan dan jaminan hukum demi tercapainya
kepastian hukum dalam masyarakat.Pejabat Umum yang dimaksud disini adalah orang yang
melaksanakan sebagian fungsi publik dari Negara, yang khususnya di bidang hukum perdata.
8
2.3 Kewenangan Notaris
Secara umum kewenangan yang dimiliki Notaris sudah barang tentu dalam hal
membuat akta otentik, karena hal ini merupakan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 1868
KUHPerdata yang mengatakan, bahwa:
“suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berkuasa untuk itu di tempat di
mana akta dibuatnya.” Dari pengertian ini harus dikorelasikan dengan Pengertian Notaris
yang ditentukan dalam Undang-Undang jabatan Notaris.
Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu, artinya
tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, semua pejabat lainnya hanya
mempunyai wewenang “tertentu”, artinya wewenang mereka tidak meliputi lebih daripada
pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang.
Apabila di dalam suatu perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan
adanya akta otentik maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta notaris, kecuali
oleh undang-undang dinyatakan secara tegas, bahwa selain notaris juga pejabat umum
lainnya berwenang.
Secara khusus dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, dalam Pasal 15 menentukan batasan
mengenai kewenangan Notaris secara komprehensif, sebagai berikut:
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-
undang.
9
2 Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
g. Membuat akta risalah lelang.
3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2.4 Kewajiban dan Hak Notaris
Disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa notaris
dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk:
1. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak
terkait dalam perbuatan hukum;
2. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari
Protokol Notaris;
3. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta
Akta;
10
4. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali
ada alasan untuk menolaknya;
5. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan
yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali
undang-undang menentukan lain;
6. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang membuat tidak
lebih dari 50 (limapuluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu
buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat lebih dari
satu minuta akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
7. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat
berharga;
8. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan
akta setiap bulan;
9. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud pada angka 8 di atas atau daftar nihil
yang berkenaan dengan surat wasiat ke Daftar Wasiat Departemen yang bersangkutan
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulannya;
10.Mencatat dalam Repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir
bulan;
11.Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada
ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
12.Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua)
orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris;
13.Menerima magang calon notaris.
11
Selain memiliki kewajiban sebagaimana disebutkan diatas notaries juga memiliki
beberapa hak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 Undang-Undang Jabatan Notaris,
bahwa notaris berhak untuk cuti dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Notaris mempunyai hak cuti;
2. Hak cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diambil setelah notaris
menjalankan jabatan selam 2 (dua) tahun;
3. Selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris Pengganti.
Selain itu, notaris juga berhak untuk menerima honor atas jasa hukum yang
dilakukannya, yang disebutkan dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Jabatan
Notaris:
1. Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan
kewenangannya;
2. Besarnya honorarium yang diterima oleh notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan
nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.
Dalam pembuatan akta terkadang terdapat masalah yang mungkin terjadi dan
menimbulkan sengketa hukum, hal ini tidak bisa dihindari sekalipun Notaris telah berhati-
hati. Notaris akan dipanggil sebagai saksi yang diharapkan dapat menjadi titik terang atas
sengketa hukum yang terjadi, akan tetapi Notaris sendiri mempunyai rahasia jabatan yang
harus dijaga dengan pengenaan sanksi apabila melakukan pelanggaran. Apabila terjadi
demikian, Notaris dapat menggunakan haknya untuk mengundurkan diri atau
verschoningsrecht. Hak tersebut dapat digunakan jika notaris dimintai keterangan oleh
pejabat penyidik (polisi, jaksa, hakim) dan /atau diminta menjadi saksi di muka pengadilan.
Sayangnya hak ini belum atau tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris. Ketika melihat Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa untuk
12
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim melalui persetujuan
Majelis Pengawas Daerah dapat memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Disinilah letak ketidak-jelasan mengenai hak tersebut.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisa dan
konstruksi terhadap data yang telahdikumpulkan dan diolah.8
1. Pendekatan Masalah
Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam
tujuan penyusunan bahan analisis, maka dalam penulisan penelitian ini menggunakan metode
pendekatan baik secara yuridis normatif maupun secara yuridis empiris. Sebagai suatu
penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, baik
hukum dalam arti Law as it is written in the books (dalam peraturan perUndang-Undangan),
maupun hukum dalam arti Law as it is decided by judge through judicial process (putusan-
putusan pengadilan).9 Secara yuridis normatif maka penelitian kepustakaan dilakukan dengan
menggunakan data yang bersumber dari data sekunder, seperti peraturan-peraturan baik
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah yang mengatur
tentang Notaris dan Hak Mengundurkan Diri dan buku literatur terkait. “Dalam melengkapi
data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, maka dilakukan pula penelitian lapangan
karena sasaran penelitian hukum disamping kaedah atau das Sollen (penelitian hukum
normatif), dapat berupa perilaku atau das Sein (penelitian lapangan)”.10
8Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat,Rajawali Press, Jakarta, h. 1.
9 Enid Campbell, et.al., 1988, legal Research, Materials and Methods, Sydney : The Law Book
Company Limited, h.1
10
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 30
14
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan mencari, mempelajari
dan mengumpulkan data sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian, dengan
bantuan buku, literatur, peraturan perundang undangan dan dokumen-dokumen yang terdiri
dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat.11
Bahan hukum primer dalam
penelitian ini terdiri atas :
1. Undang Undang No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
2. Kitab undang-Undang Hukum Perdata.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
4. Hetherzeine Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtreglement vor de
Buitengewesten (RBg)
b. Bahan Hukum Sekunder
“Bahan hukum sekunder ialah bahan hukum yang mejelaskan bahan hukum primer”.12
Terutama buku-buku hukum termasuk skripsi, thesis, disertasi hukum dan jurnal jurnal
hukum,(termasuk yang on-line). Bahan hukum sekunder berguna untuk meberikan
petunjuk kearah mana peneliti akan melangkah.13
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, h. 13
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, h. 14
13
Peter Mahmud Marzuki, 2005,Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 155
15
c. Bahan Hukum Tersier
“Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder”,14
yang terdiri
dari Kamus BesarBahasa Indonesia, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Kamus Inggris-
Indonesia.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian kepustakaan, maka
dilakukan studi dokumen yaitu mempelajari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendukung data sekunder yang diperoleh dari
bahan hukum primer, sekunder dan tersier guna memperoleh kajian yang lebih mendalam
mengenai permasalahan yang akan dihadapi.Lokasi penelitian dilaksanakan di Pengadilan
Negeri Denpasar dan Beberapa Kantor Notaris di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data
sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perUndang-Undangan, literatur-literatur,
tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, yang berkaitan dengan penelitian ini.15
Selain
itu dilakukan dengan studi lapangan melalui metode observasi dan wawancara.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan
dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan
dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas dasar pengertian-
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, loc.cit. 15
Riduan, 2004, Metode& Teknik Menyusun Tesis, Bina Cipta, Bandung, h. 97.
16
pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.16
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
dan studi lapangan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi)
yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan;
c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ;
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan
perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga
mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.
16
Soerjono Soekanto, op.cit, h. 225
17
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Pemberlakuan Hak Notaris untuk Mengajukan Penguduran Diri (right to
resign/verschoningrecht) sebagai Saksi pada Proses Pemeriksaan Perkara di
Pengadilan Negeri Denpasar
Berdasarkan ketentuan Pasal 139 HIR/165 RBg dan 1909 BW disebutkan bahwa
“Setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai sasi dan apabila telah
dipanggil oleh pengadilan wajib memberikan kesaksian”.Selain itu bagi yang mengingkari
kewajiban untuk bersaksi dapat dikenakan sansi apabila tidak memenuhinya. Meskipun
demikian terdapat pengecualian bagi sebagian orang untuk memberikan kesaksian di
Pengadilan; antara lain :
1. Pengecualian kepada orang-orang yang dianggap tidak mampu memberikan
kesaksian secara mutlak (absolut) sebagaimana diatur dalam Pasal 145 HIR/Pasal
172 RBg dan 1910 BW); kelompok orang tersebut meliputi :
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang harus
dari salah satu pihak;
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai.
2. Pengecualian kepada orang-orang yang dianggap tidak mampu memberikan
kesaksian secara nisbi (relatif) sebagaimana diatur dalam Pasal 145 HIR/173 RBg
dan 1912 BW; kelompok orang tersebut meliputi :
a. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun;
b. Orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
3. Pengecualian kepada orang-orang yang atas permintaan mereka sendiri
dibebaskan dari kewajibannya untuk member kesaksian. Adapun ketentuan ini
18
disebut dengan hak mengundurkan diri atau hak ingkar
(verschoningrecht)sebagaimana diatur dalam Pasal 146 HIR/174 RBg dan 1909
BW; kelompok orang tersebut meluputi :
a. Saudara laki-laki serta perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari
salah satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan
perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
c. Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah
diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal
yang diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan atau hubungan
kerja yang sah saja.
Mengacu kepada ketentuan pasal 145 HIR tersebut yang dapat mengajukan pengunduran diri
karena martabat, jabatan, dan hubungan yang sah antara lain diberikan kepada dokter,
advokat, notaris, dan polisi17
.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia rahasia jabatan didefinisikan sebagai:
sesuatu yang tersembunyi hanya diketahui oleh seseorang atau beberapa orang saja; atau yang
sengaja disembunyikan supaya orang lain jangan mengetahuinya; yang sengaja
disembunyikan atau dibuat supaya orang jangan mengetahuinya18
. Yahya Harahap kemudian
menyimpulkan bahwa rahasia jabatan adalah “suatu hal, keadaan, atau barang yang tidak
dibenarkan diketahui umum, tapi hanya diketahui secara terbatas oleh pejabat yang
17 Sudikno Mertokusumo, 2010, Hukum Acara Perdata di Indonesia Edisi Revisi, Cahaya
AtmaPustaka, Yogyakarta, h. 183.
18Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 668, dikutip dari WJS. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 790.
19
diwajibkan menyimpan kerahasiaannya”19
. Adapun tujuan dari rahasia jabatan disimpan
adalah untuk melindungi kepentingan umum dan bukan untuk melindungi kepentingan
individu yang bersangkutan. Sehingga tidak dibenarkan bilamana seorang Notaris
menggunakan hak mengundurkan diri sebagai saksi untuk melindungi dirinya ketika diminta
menjadi saksi dalam perkara dengan alasan melindungi rahasia jabatan padahal pokok
perkara tersebut tidak berkaitan atau tidak menyangkut rahasia jabatan yang ia pegang
sebagai notaris. Menurut Ko Tjay Sing terdapat 3 teori mengenai rahasia jabatan, yakni20
:
1. Teori Rahasia Mutlak
Menurut teori ini kewajiban menyimpan rahasia pekerjaan merupakan suatu
kewajiban yang harus dipatuhi yang mana dalam keadaan apapun baik biasa maupun
luar biasa rahasia pekerjaan wajib disimpan.
2. Teori Rahasia Nisbi
Menurut teori ini kewajiban menyimpan rahasia tidak merupakan suatu kewajiban
yang harus dijalankan. Bilamana pemegang rahasia dalam kondisi tertentu (terdapat
pertentangan kepentingan) diperbolehkan mengungkapkan rahasia dengan catatan
bahwa jika menyimpan rahasia mengakibatkan kepentingan yang lebih besar
dikorbankan. Sehingga kepentingan yang lebih besar ini harus dilindungi meskipun
dengan membuka rahasia yang telah dipercayakan kepadanya.
3. Teori yang hendak menghapuskan rahasia pekerjaan
Teori ini merupakan kebalikan dari Teori Rahasia Mutlak, dimana teori ini
menganggap atau menolak adanya pengakuan terhadap rahasia pekerjaan.
Profesi Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Umum bersumpah untuk
merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya sebagai
19 Ibid, h. 669.
20 Ko Tjay Sing, op.cit., h. 43.
20
mana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Juncto Undang-
Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.Perihal ketentuan mengenai menjaga
rahasia juga disebutkan dalam Pasal 16 dan Pasal 54 Undang-Undang tentang Jabatan
Notaris. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa, “untuk
kepentingan proses peradilanpenyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan
Majelis Kehormatan Notaris berwenang untuk memanggil notaris untuk hadir dalam
pemeriksaan yang berkaitan denganAkta atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris”. Berkaitan dengan wewenang perangkat peradilan untuk memanggil
notaris sebagai saksi memiliki dasar hukum yang kuat. Adapun maksud dari
dimungkinkannya penghadiran notaris sebagai saksi di pemeriksaan perkara adalah adanya
penerapan asas equality before the law yang mana menjelaskan kesamaan status seseorang
dimuka hukum, sehingga sekalipun Notaris berstatus sebagai Pejabat Umum Undang-undang
menyamaratakan kedudukannya bilamana dipanggil sebagai saksi, sehingga dapat didengar
keterangannya untuk kepentingan proses peradilan demi ditemukannya kebenaran. Menurut
Sudikno Mertokusumo ada tiga kewajiban bagi seseorang yang dipanggil sebagai saksi,
yaitu:21
1. Kewajiban untuk menghadap (Pasal 140-141 HIR), artinya bahwa jika seseorang
dipanggil sebagai saksi maka harus memenuhi panggilan tersebut sepanjang hal
tersebut tidak merupakan suatu pengecualian dan bahkan jika mereka menolak
tanpa alasan yang sah menurut hukum maka dapat dikenakan sanksi-sanksi.
2. Kewajiban untuk bersumpah (Pasal 147 HIR dan 1911 KUHPer), artinya bahwa
pada dasarnya semua orang sebelum memberikan keterangan di muka pengadilan
harus di sumpah terlebih dahulu tetapi ada juga yang tidak di sumpah dan
21
R. Wiryono Prodjodikoro, 1983, Asas-Asas Hukum Perdata, Cetakan Kesembilan, Sumur Bandung,
Bandung, h. 62
21
keterangannya semata-mata hanya menjadi sebuah keterangan biasa saja dan
kebenarannya dikembalikan kepada penilaian hakim yang memeriksa.
3. Kewajiban untuk memberikan keterangan, artinya bahwa setiap orang yang
menjadi saksi wajib memberikan keterangan yang sebenar-benarnya tidak
menyesatkan.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai hak mengundurkan diri sebagai saksi
dalamPraktek Peradilan Perdata akan diulas sedikit perbandingan mengenai pemberian
kesaksian dalam Praktek Peradilan Pidana mengenai saksi yang memiliki hubungan darah
dan orang yang mempunyai ikatan kerja dengan terdakwa.
Masalah ini sering menjadi pertanyaan apabila mengikuti proses on the spot judicial
monitoring di Pengadilan Negeri. terkadang menyaksikan dalam persidangan saksi disumpah
dan tidak disumpah. Bagaimanakah ketentuan mengenai saksi yang disumpah dan tidak
disumpah ini (dalam persidangan pidana), darimana asal muasalnya sehingga ada 2 model
saksi seperti ini. Saksi yang disumpah dan tidak disumpah berkaitan dengan adanya
hubungan antara saksi dengan terdakwa. Kalau disimak pertanyaan hakim sebelum meminta
keterangan saksi, setelah hakim menanyakan identitas saksi, lalu menanyakan hubungan saksi
dengan terdakwa: Apakah saksi kenal dengan terdakwa? Apakah saksi ada hubungan
saudara? Apakah saksi ada hubungan pekerjaan dengan terdakwa? Tindakan/pertanyaan
hakim selanjutnya tergantung pada jawaban saksi tersebut. Apabila saksi memiliki hubungan
famili dengan terdakwa, maka hakim akan menanyakan lebih lanjut mengenai bagaimana
hubungan famili tersebut. Misalkan atas pertanyaan hakim saksi mengatakan bahwa, “Saya
anak kandung terdakwa”, maka hakim harus memperhatikan Pasal 168 KUHAP dan Pasal
169 KUHAP.
22
Pasal 168 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari
anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
Sedangkan Pasal 169 KUHAP menyebutkan:
a. Dalam hal mereka sebagaimana dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut
umum serta tegas menyutujinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah;
b. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mereka diperbolehkan
memberikan keterangan tanpa sumpah;
Berarti hakim ketua sidang yang memeriksa anak kandung terdakwa sebagai saksi (dan
juga orang-orang lain seperti tersebut dalam Pasal 168 KUHAP):
a. Pertama kali Hakim ketua sidang harus menanyakan kepada anak kandung yang
menjadi saksi tersebut, apakah ia tetap akan menjadi saksi atau akan menggunakan
haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi.
b. Kalau anak kandung terdakwa tersebut menggunakan haknya untuk mengundurkan
diri dari menjadi saksi, maka anak kandung terdakwa tersebut tidak didengar sebagai
saksi dan dipersilakan meninggalkan kursi tempat memeriksa saksi;
c. Kalau anak kandung terdakwa tersebut tidak menggunakan haknya untuk
mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka Hakim Ketua sidang selanjutnya wajib
23
menanyakan kepada penuntut umum dan terdakwa, apakah penuntut umum dan
terdakwa setuju jika anak kandung terdakwa tersebut menjadi saksi.
d. Kalau penuntut umum dan terdakwa dengan tegas menyetujui anak kandung
terdakwa menjadi saksi, maka anak kandung terdakwa tersebut, sebelum memberikan
keterangannya harus disumpah terlebih dahulu (Vide Pasal 169 ayat (1) KUHAP);
e. Kalau penuntut umum dan atau terdakwa tidak menyetujui anak kandung terdakwa
menjadi saksi, maka anak kandung terdakwa tersebut didengar keterangannya di luar
sumpah.
Jadi, yang berhak menentukan apakah ia mau bersaksi atau tidak adalah si anak
kandung terdakwa sendiri, bukan terdakwa dan penuntut umum. Keberatan terdakwa atau
penuntut umum tidak membuat anak kandung terdakwa itu meninggalkan kursi saksi, tapi
mengakibatkan anak kandung terdakwa tidak perlu bersumpah.
Bahwa orang yang berhak mengundurkan diri dari menjadi saksi tidak sama dengan
orang boleh dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi, karena kalau orang yang boleh
mengundurkan diri dari menjadi saksi diatur dalam Pasal 168 KUHAP, maka orang yang
boleh dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi diatur dalam Pasal 170 KUHAP yang
berbunyi:
1. Mereka yang karena pekerjaannya, harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban menympan rahasia,
dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka;
2. Hakim menentukan sah tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut;
Dalam praktek kadang dijumpai karena saksi mempunyai ikatan/hubungan kerja
dengan terdakwa, langsung saja saksi tersebut didengar keterangannya di luar sumpah.
Praktek ini jelas tidak sesuai dengan KUHAP, maksud pertanyaan ini bukanlah karena saksi
24
mempunyai hubungan/ikatan kerja dengan terdakwa lalu saksi tersebut didengar
keterangannya di luar sumpah, melainkan maksudnya adalah untuk menjadi bahan
pertimbangan bagi Hakim, apakah saksi itu bisa dipercaya dan Hakim harus bisa memilah
dan menilai apakah keterangan saksi tersebut objektif atau tidak. Dan dalam menilai
keterangan saksi, Hakim harus berpedoman pada Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai
keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
Lalu saksi yang bagaimanakah yang bisa memberikan keterangan tanpa disumpah
terlebih dahulu?
1. a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin (Pasal
171 huruf a KUHAP);
.b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya
baik kembali (Pasal 1712 huruf b KUHAP);
2. Saksi yang berhak mengundurkan diri dari menjadi saksi, tetapi tidak mempergunakan
haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi, namun Penuntut Umum dan atau
terdakwa, tidak setuju (keberatan) orang tersebut menjadi saksi (diatur dalam Pasal 169
ayat (1) dan (2) KUHAP).
3. Saksi yang menolak untuk bersumpah/berjanji tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan
tetap dilakukan, hakim dapat mengeluarkan penetapan untuk mengenakan sandera di rumah
tahanan negara paling lama 14 hari, tetapi sampai masa sanderanya habis jika masih tetap
25
tidak mau bersumpah, maka dalam keadaan yang demikian, keterangan yang telah diberikan
oleh saksi yang menolak bersumpah/berjanji itu merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP).Mereka yang karena
pekerjaannya, harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban
Lebih lanjut dalam Praktek Peradilan Perdata berdasarkan ketentuan Undang-Undang
penghadiran notaris sebagai saksi di persidangan berdasarkan izin dari Majelis Kehormatan
Notaris. Hal ini berdasarkan wawancara dengan Hasoloan Sianturi pada hari, Senin 22 Juni
2015 selaku Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar dianggap sebagai suatu keistimewaan dan
bentuk perlindungan yang telah diberikan oleh undang-undang karena notaris merupakan
Pejabat Umum. Hal ini menjadi polemik dikalangan notaris karena disatu sisi ia harus
mempertahankan rahasia yang telah dipercayakan kepadanya selaku Pejabat yang membuat
Akta, disisi lain ia harus tunduk dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu
notaris memiliki hak ingkar atau hak pengunduran diri sebagai saksi dalam pemeriksaan
perkara.Meskipun dalam praktiknya pada penelitian ini tidak semua notaris menggunakan
hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Dari
6 (enam) notaris di daerah kerja denpasar yang dibagikan kuisioner hanya 2 (dua) orang
yang mau memberikan jawaban atas kuisioner tersebut. satu notaris yakni Vidi Dandi Yanta,
S.H.,M.Kn. menyatakan belum pernah mengajukan hak pengunduran diri sebagai saksi ketika
diperiksa di pengadilan karena memang belum pernah dipanggil sebagai saksi. Selain itu
responden notaris lain yakni Agung Satrya Wibawa Taira, S.H., MKn menyatakan bahwa
dirinya pernah beberapa kali dipanggil sebagai saksi dalam perkara perdata mengenai
pengangkatan anak dan juga perkara pidana. Kemudian lebih lanjut responden mengatakan
bahwa ia pernah juga mengajukan hak pengunduran diri sebagai saksi dalam pemeriksaan
perkara perdata di Pengadilan Negeri Denpasar. Pengunduran diri tersebut dikabulkan oleh
26
hakim yang memeriksa perkara dikarenakan relevansi keterangan notaris sebagai saksi dalam
pemeriksaan perkara tersebut tidak urgent untuk disampaikan. Selain itu notaris di daerah
kerja Badung yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang. Adapun
notaris tersebut yakni Ni Made Kariani, S.H., M.Kn. dan Chyntia Yuniati, S.H.,MKn;
keduanya menyatakan bahwa belum pernah dipanggil sebagai saksi dalam pemeriksaan
perkara di persidangan dan belum pernah pula menggunakan hak pengunduran diri sebagai
saksi.
Disamping keterangan responden yang menyatakan bahwa ada yang menggunakan
hak pengunduran diri tersebut, lebih lanjut Hasoloan Sianturi dalam wawancara tanggal 22
Juni di Pengadilan Negeri Denpasar tersebut menyatakan bahwa beberapa notaris tetap hadir
sebagai saksi ketika dipanggil untuk memberikan keterangan di pengadilan. Dalam
wawancara tersebut Hasoloan Sianturi berpendapat mengenai rahasia jabatan yang diemban
notaris sebagai hakim beliau menilai bahwa jika itu disampaikan di muka persidangan dengan
tujuan untuk kepentingan proses peradilan demi ditemukannya kebenaran maka notaris yang
bersaksi mengenai akta yang dibuat dikecualikan dari tindak pidana menyebarkan rahasia.
Dalam hal memberikan keterangan di muka persidangan bagi hal-hal yang tidak ingin
disampaikan dapat tetap disimpan jika memang tidak boleh diberitahukan. Apabila notaris
dipanggil sebagai saksi harus datang dan hadir pada persidangan itu dan pada waktu
kehadirannya itulah notaris akan menentukan apakah notaris akan menggunakan hak
ingkarnya, karena jika notaris tidak hadir sebagai saksi, bagaimana caranya untuk mengetahui
apakah ia akan mempergunakan hak ingkarnya atau tidak. Disini terlihat bahwa sebenarnya
rahasia jabatan yang ada pada notaris tidak merupakan hal yang mutlak adanya, melainkan
bersifat kasuistis atau dilihat dari konteks antara suatu perkara dikaitkan dengan notaris itu
sendiri. Adanya kontradiksi antara Pasal 16 huruf f, Pasal 54 ayat (1) dan Pasal 66 ayat (1)
UUJN merupakan alasan bahwa hak ingkar yang dimiliki notaris tidak mutlak. Dimana di
27
satu sisi aturan melarang notaris membuka rahasia jabatan berdasarkan sumpah, tetapi di sisi
lain untuk proses peradilan notaris wajib memberikan fotocopi minuta akta dan lain-lainnya.
Apabila hak ingkar notaris berlaku secara mutlak, maka notaris bisa dikatakan kebal hukum.
Karena tidak jarang terdapat oknum-oknum notaris yang melakukan pemufakatan tindak
pidana atau perbuatan melawan hukum dengan oknum-oknum dari pihak lain. Serta sangat
mungkin status saksi dari seorang notaris berubah menjadi tersangka sehingga tidak ada
alasan bagi seorang notaris untuk mangkir dari pemeriksaan baik itu sebagai tersangka
maupun saksi mahkota dalam perkara yang saling berkaitan.
Kejelasan makna dari bunyi Pasal 16 ayat (1) huruf f ini menjadi tolak ukur penting
untuk mengetahui jangkauan hak ingkar notaris yang dapat digunakan dalam persidangan.
Perihal keterangan yang hendak diketahui oleh hakim ketika meminta kesaksian notaris di
persidangan biasanya terkait kepastian bahwa memang notaris yang bersangkutanlah yang
membuat akta tersebut, kepastian terkait tempat kedudukan notaris, kepastian mengenai
bahwa memang akta ditandatangani oleh notaris yang bersangkuttan. Keterangan-keterangan
yang berkaitan dengan hal-hal itu hanya dapat diperoleh langsung dari notaris yang
bersangkutan, sehingga apabila pertanyaan-pertanyaan hakim hanya masih sebatas itu notaris
boleh memberikan keterangannya.
Mengutip pendapat Komar Andasasmita, bahwa di dalam menentukan sampai
seberapa jauh jangkauan hak ingkar notaris, harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para
notaris untuk tidak berbicara mengenai isi akta-aktanya maupun mengenai yang
diberitahukan kepadanya, dalam kedudukannya sebagai notaris kecuali dalam hal-hal dimana
untuk itu oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku membebaskannya secara
tegas dari sumpah jabatannya.22
Berdasarkan pada pendapat di atas dapat diketahui bahwa
22
Komar Andasasmita, 1983, Notaris Selayang Pandang, The Notary Public At a Galance, Alumni,
Bandung, h. 5
28
untuk menentukan seberapa jauh hak ingkar yang dimiliki oleh notaris harus dilihat dari
lahirnya hak ingkar tersebut. Sebagaimana dipahami bahwa hak ingkar notaris lahir dari
kewajiban ingkar notaris untuk merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperoleh
dalam pelaksanaan jabatan.
Menurut Lumban Tobing, bahwa hak mengundurkan diri notaris dapat
dikesampingkan dalam hal terdapat kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi yang
mengharuskan notaris untuk memberikan kesaksian.23
Hak ingkar yang dimiliki seorang
notaris tidaklah tepat jika digunakan dalam hal yang menyangkut kepentingan yang lebih
tinggi atau mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan individu. Dalam
teori rahasia relatif, kalau wajib penyimpan rahasia dapat atau harus membuka rahasianya
kalau dengan menyimpan rahasianya harus dikorbankan kepentingan yang dianggap lebih
besar. Dengan demikian kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan harus
dibandingkan yang satu dengan yang lain. Yang dianggap lebih besar harus dilindungi, yang
lain harus dikorbankan. Penggunaan hak ingkar relatif dikembalikan kepada diri notaris yang
bersangkutan. Apabila dirasakan terdapat kepentingan yang lebih tinggi, seperti kepentingan
peradilan dapat melepaskan hak ingkarnya. Namun disini notaris wajib meneliti secara
cermat dan hati-hati agar keputusannya tersebut tidak menjadi boomerang untuk dirinya
sendiri karena dianggap telah melanggar kewajibannya menjaga rahasia jabatan. Begitupun
sebaliknya, apabila notaris memilih untuk tetap mempertahankan kewajiban ingkarnya dapat
menggunakan hak ingkarnya dalam persidangan, dan notaris wajib memberikan alasan-alasan
yang rasional serta dapat dinyatakan secara tegas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 170 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa, “hakim
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan pengunduran diri seseorang
23
G.H.S. Lumban Tobing, 1986, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, h. 127
29
sebagai saksi”. Kemudian beranjak dari ketentuan pasal tersebut dan hasil wawancara dengan
Hakim Hasoloan Sianturi diterangkan bahwa prosedur seorang notaris untuk mengajukan
pengunduran diri sebagai saksi disampaikan secara tertulis oleh notaris kepada Hakim yang
memeriksa perkara disertai dengan alasan-alasan pengajuan pengunduran diri sebagai saksi.
Disini Majelis Hakim yang memeriksa perkara menilai sah atau tidak nya alasan
pengunduran diri tersebut untuk kemudian dikabulkan atau ditolak. Hakim karena
jabatannnya sebelum mengambil keterangan dari saksi , terlebih dahulu hakim akan
memberikan penjelasan kepada saksi tentang maksud dan kedudukan notaris dipanggil
sebagai saksi dan hak-hak yang akan dipakainya sebagai saksi selama jalannya persidangan.
Karena tugas hakim itu adalah untuk menegakan hukum, kebenaran dan keadilan serta
menggali kebenaran formil dan materiil. Contohnya dalam perkara tindak pidana korupsi,
seorang notaris tidak boleh menggunakan hak ingkarnya. Dalam perkara pidana, pemanggilan
seseorang baik sebagai saksi maupun tersangka, wajib dilakukan oleh pengadilan, sedangkan
dalam perkara perdata, bahwa saksi diajukan oleh para pihak yang berperkara akan tetapi
terhadap orang-orang tertentu karena jabatannya, maka para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk menggunakan hak ingkar sebagai saksi. Ada
beberapa perkara yang melibatkan notaris dipanggil sebagai saksi di pengadilan, misalnya
akta itu memuat tanggal akta yang berlaku mundur, membuat perjanjian tanpa hadirnya salah
satu pihak, dan perjanjian itu seharusnya hutang-piutang tetapi dibuat akta jual beli. Ada dua
keterangan yang harus dibedakan terdapat dalam suatu akta, yaitu:
1. Keterangan notaris sendiri yang membuat akta yang bersangkutan. Yang
dimaksud dalam hal ini adalah mengenai hari dan tanggal para pihak menghadap
serta bahwa akta telah dibacakan di hadapan saksi-saksi.
2. Keterangan para pihak yang dicantumkan dalam akta.
30
Memang dalam undang-undang tidak mengatur secara jelas mengenai bagaimana
tolak ukur seorang hakim dalam menilai sah tidaknya pengunduran diri seseorang, akan tetapi
hakim diharapkan mampu memberikan alasan yang tepat dalam menentukan patut atau
tidaknya seseorang sebagai saksi dalam persidangan tidak terkecuali notaris. Yahya Harahap
menyebutkan bahwa tidak semua pejabat memiliki hak pengunduran diri dan dapat
dibebaskan menjadi saksi. Untuk mendapatkan hak tersebut ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi yakni :
1. Kedudukan, pekerjaan, atau jabatan yang diembannya berdasar undang-undang
atau jabatan yang sah menurut hukum;
2. Ketentuan perundang-undangan yang menjadi dasar landasan pekerjaan,
kedudukan atau jabatan itu memikulkan kewajiban hukum kepadanya untuk
menyimpan rahasia jabatan yang bersangkutan dengan tugas pekerjaannya;
3. Kewajiban menyimpan rahasia itu berkaitan langsung dengan fungsi kedudukan
pekerjaan, atau jabatan yang dimaksud;
4. Hanya terbatas semata-mata mengenai hal yang diketahuinya yang dipercayakan
kepada saksi24
.
Dengan demikian tidaklah dibenarkan bilamana Notaris dengan tameng memegang atau
memiliki kewajiban menyimpan rahasia jabatannya mangkir sebagai saksi dalam perkara
yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan rahasia jabatan yang ia pegang sebagai orang
yang membuat akta. Ia diperbolehkan mengundurkan diri bilamana dipanggil sebagai saksi
dalam perkara yang berkaitan dengan akta yang ia buat, namun pengunduran diri tersebut
bersifat opsional atau pilihan dengan mempertimbangkan kepentingan untuk dilindungi yang
mana lebih besar. Bilamana notaris tersebut mengajukan pengunduran diri maka sekarang
tugas hakimlah yang menilai apakah layak untuk dikabulkan ataukah ditolak. Adapun yang
24
Yahya Harahap, opcit, h. 668
31
dapat menjadi pertimbangan hakim untuk menentukan diterima atau ditolaknya pengunduran
diri notaris sebagai saksi dijelaskan oleh Yahya Harahap bahwa dapat didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut :
a. Sejauh mana terlindunginya kepentingan umum bilamana pejabat tersebut
menggunakan hak mengundurkan diri; atau
b. Seberapa besar bahaya yang mengancap kepentingan umum bilamana pejabat
tersebut menjadi saksi25
.
Disinilah letak peranan pengadilan negeri atau hakim yang memeriksa perkara untuk
menentukan sah atau tidaknya penggunduran diri seseorang sebagai saksi. Hak pengunduran
diri sebagai saksi diterima bila memang yang bersangkutan memiliki alasaan yang relevan
atau dalam hal ini memang perkara yang diperiksa akan mengakibatkan orang yang bersaksi
membeberkan rahasia jabatannya, namun bilamana perkara yang diperiksa tidak berkaitan
dengan rahasia jabatan dari pejabat tersebut maka hak pengunduran diri tersebut tidak dapat
diterima atau ditolak. Namun melihat pada pendapat Yahya Harahap teresbut, dengan melihat
tolak ukur kepentingan umum yang dilindungi dari rahasia jabatan tersebut, maka mungkin
saja dengan dengan pejabat tersebut bersaksi malah akan lebih melindungi kepentingan
umum. Contoh kasus yang diambil oleh Yahya Harahap yaitu seorang notaris sebagai PPAT
menemukan sertifikat HGB palsu atau ganda. Sehingga dalam hal ini hak mengundurkan diri
merupakan pilihan bagi notaris tersebut, apakah ia akan mengundurkan diri menjadi saksi
atas alasan menyimpan rahasia atau menjadi saksi untuk mengungkapkan fakta kasus
tersebut. Tolak ukur yang harus dilihat adalah lebih bermanfaat bila notaris tersebut bersaksi
di persidangan sehingga fakta hukum mengenai adanya sertifikat HGB yang palsu akan
terungkap dibandingkan ia menutup rahasia tersebut dan mempergunakan hak mengundurkan
25 Yahya Harahap, op.cit, h. 669.
32
dirinya26
. Disamping itu Djoko Sukisno menyatakan bahwa, pemanggilan Notaris sebagai
saksi bukan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Notaris, melainkan suatu bentuk
perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap Notaris untuk mencegah
agar dalam persidangan tidak terjadi pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh pihak-pihak
berperkara yang justru malah membuat Notaris berada dalam posisi yang sulit.
Oleh karena itu meskipun berkaitan dengan rahasia jabatan yang timbul akibat
pekerjaan, bilamana hakim yang memeriksa perkara memerlukan keterangan Notaris tersebut
dalam pemeriksaan di persidangan maka ia memiliki wewenang untuk memanggil Notaris
tersebut untuk bersaksi di muka persidangan atau menolak bila yang bersangkutan
mengajukan pengunduran diri. Penggunaan hak mengundurkan diri seorang Notaris bersifat
tidak mutlak, karena dilihat dari beberapa sudut panddan yakni: pertama ada tidaknya
relevansi rahasia jabatan yang disimpannya dengan perkara yang diperiksa; kedua meskipun
ada hubungannya dengan rahasia jabatan namun dilihat kembali urgensitas keterangan yang
ia berikan pada pemeriksaan di persidangan untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa
meskipun harus membuka rahasia jabatan, dan ketiga pertimbangan hakim yang memeriksa
perkara apakah akan mengabulkan atau menolak pengunduran diri tersebut.
4.2 Upaya Hakim dalam Menghadirkan Notaris yang Mengundurkan Diri sebagai
Saksi dalam Pemeriksaan Perkara
Saksi merupakan salah satu alat bukti, yang keterangannya dibutuhkan untuk
keperluan proses pembuktian di muka Hakim, dalam suatu perkara di persidangan. Seorang
saksi tentunya memiliki hak dan kewajiban. Hukum sebagai suatu aturan bukanlah sesuatu
yang datang begitu saja, akan tetapi hukum tersebut berasal dari masyarakat, yang kemudian
oleh masyarakat dipergunakan untuk mengatur bentuk-bentuk hubungan antar manusia.
26 Ibid,h. 670
33
Masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang ada ditengah-tengahnya, oleh
sebab itu maka merupakan suatu kenyataan yang harus diakui bahwa: ”Dimana ada
masyarakat, maka disitu pula pasti ada hukum”. Hukum haruslah ditegakkan. Dalam
kerangka penegakan hukum (law enforcement) di Pengadilan, khususnya dalam hal
pembuktian, saksi merupakan salah satu alat bukti yang telah diatur dalam undang-undang.
“Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG, dan Pasal 1866 KUH Perdata menentukan bahwa alat-alat
bukti itu terdiri dari bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.”
Istilah ”saksi” tentu bukan merupakan istilah yang baru dalam dunia ilmu hukum, khususnya
pada hukum acara.”Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian di depan
Pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri atau alami
sendiri, yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara.”
Siapa saja yang bisa dikatakan sebagai saksi harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian;
2. Orang yang memberikan keterangan di muka Pengadilan untuk kepentingan pendakwa
atau terdakwa;
3. Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami
sendiri.
Menurut sifatnya, saksi dapat dibagi atas, sebagai berikut:
1. Saksi kebetulan. Yang dimaksud dengan saksi kebetulan adalah saksi yang secara
kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang
menjadi perkara. Saksi demikian misalnya para tetangga, orang yang secara kebetulan
melihat, ataupun mendengar peristiwa itu;
34
2. Saksi sengaja. Saksi demikian adalah saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu
dilakukan sengaja telah diminta untuk menyaksikan. Misalnya: Kepala Desa, Camat,
Notaris, dan lain-lain.
Adapun yang dilarang menjadi saksi itu, sebagai berikut:
1. ”Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu
pihak;
2. Suami atau istri salah satu pihak, meskipun telah bercerai;
3. Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan jelas bahwa mereka sudah berumur
15 (lima belas) tahun;
4. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang”.
Pasal 1909 ayat (1) KUH Perdata, menentukan bahwa: ”Semua orang yang cakap
untuk menjadi saksi, wajib memberikan kesaksian di muka Hakim”. ”Keterangan yang
diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang
pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian.
“Hak adalah benar; sungguh ada; kekuasaan yang besar untuk menuntut sesuatu (karena
telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya); kekuasaan yang benar atas
sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; derajat atau martabat”. Pendapat lain mengenai hak,
sebagaimana ditegaskan bahwa: “Hak adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki
seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu”.
“Secara umum hak dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu hak mutlak atau hak absolut
(absolute rechten, onpersoonlijke rechten), dan hak relatif (nisbi, relative rechten,
persoonlijke rechten). Hak mutlak atau hak absolut merupakan setiap kekuasaan yang
diberikan oleh hukum kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau untuk bertindak
dalam memperhatikan kepentingannya, hak ini berlaku secara mutlak terhadap subjek hukum
lain, dan wajib dihormati oleh setiap subjek hukum. Hak mutlak atau hak absolut terdiri dari
35
Hak Asasi Manusia, hak publik absolut, dan sebagian dari hak privat. Sedangkan hak relatif
(nisbi) merupakan setiap kekuasaan/kewenangan yang oleh hukum diberikan kepada subjek
hukum lain/tertentu supaya ia berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau memberi sesuatu.
Hak ini timbul akibat terjadinya perikatan. Hak relatif (nisbi) terdiri dari hak publik relatif,
hak keluarga relatif, dan hak kekayaan relatif.”
Dalam hal memberikan keterangan di persidangan, saksi juga mempunyai hak.
Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa yang menjadi hak saksi dalam perkara
perdata, antara lain sebagai berikut:
1. Hak untuk tidak diajukan pertanyaan yang bersifat menjerat oleh Hakim;
2. Hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi apabila mempunyai hubungan sedarah
atau semenda, mempunyai hubungan perkawinan, ataupun tidak mempunyai
hubungan perkawinan lagi karena sudah bercerai;
3. Hak untuk mendapatkan juru bahasa, apabila saksi tidak paham bahasa Indonesia;
4. Hak untuk mengangkat penterjemah, apabila saksi bisu.
Selain memiliki hak, seorang saksi tentunya juga memiliki kewajiban. Secara umum
kewajiban dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang harus dilaksanakan, untuk atau setelah
mendapatkan hak. ”Kewajiban adalah sesuatu yang wajib diamalkan, dilakukan, keharusan;
tugas kewajiban; tugas pekerjaan, perintah yang harus dilakukan”.
Dapat diketahui bahwa yang menjadi kewajiban saksi dalam perkara perdata, antara lain
sebagai berikut:
1. Kewajiban untuk memberikan kesaksian di persidangan;
2. Kewajiban untuk melakukan sumpah sebelum memberikan keterangan;
3. Kewajiban untuk tidak bercakap-cakap selama jalannya persidangan, kecuali pada
saat memberikan keterangan.
36
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan rumusan masalah pertama
bahwa seorang notaris memiliki hak untuk mengajukan pengunduran diri namu bersifat tidak
mutlak untuk diterapkan karena dilihat dari beberapa sudut panddan yakni: pertama ada
tidaknya relevansi rahasia jabatan yang disimpannya dengan perkara yang diperiksa; kedua
meskipun ada hubungannya dengan rahasia jabatan namun dilihat kembali urgensitas
keterangan yang ia berikan pada pemeriksaan di persidangan untuk membuktikan kebenaran
suatu peristiwa meskipun harus membuka rahasia jabatan, dan ketiga pertimbangan hakim
yang memeriksa perkara apakah akan mengabulkan atau menolak pengunduran diri tersebut.
Adapun prosedur pengunduran diri itu diajukan secara tertulis disertai dengan alasan
pengunduran diri kepada Hakim yang memeriksa perkara yang kemudian dinilai sah atau
tidaknya alasan tersebut. Menurut Hasoloan Sianturi dalam wawancara tanggal 22 Juni 2015
pertimbangan yang dilakukan hakim untuk menilai sah atau tidaknya alasan tersebut untuk
kemudian dikabulkan atau ditolaknya pengunduran diri notaris sebagai saksi yakni adanya
relevansi dan urgensi untuk dihadirkannya notaris tersebut sebagai saksi dalam persidangan.
Bilamana dirasa perlu oleh hakim untuk dihadirkannya notaris tersebut sebagai saksi karena
keterangannya dianggap memiliki relevansi dan penting untuk didengarkan maka
pengunduran diri notaris akan ditolak, namun bilamana keterangan notaris dalam persidangan
tersebut tidak memiliki relevansi maka alasan pengunduran diri tersebut dapat diterima. Ini
dikarenakan akta yang dibuat oleh notaris sudah dirasa cukup untuk mewakilkan keterangan
notaris tersebut dalam pemeriksaan perkara di persidangan.
Peraturan perundang-undangan menentukan bahwasanya setiap orang dipanggil oleh
pengadilan untuk menjadi saksi dalam suatu perkara, wajib memenuhi panggilan tersebut.
Untuk terwujudnya negara hukum yang tercantuk dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, setiap warga negara Indonesia sudah seyogyanya mempunyai kewajiban
37
untuk menjadi saksi.Ada beberapa peraturan yang mewajibkan setiap orang wajib
memberikan kesaksian. Adapun pasal-pasal yang dimaksud sebagai berikut:
a. Pasal 36 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan bahwa kewajiban memberikan kesaksian yang dimaksud dalam
Pasal 35 berlaku juga bagi mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat
atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali pejabat agama yang
menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
b. Pasal 224 KUHP yang menyatakan bahwa siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau
juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu
kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhinya
diancam dalam perkara pidana, dengan pidana paling lama sembilan bulan dan
dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
c. Pasal 522 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa menurut undang-undang
dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa, tidak datang secara melawan
hukum diancam dengan denda paling banyak Rp. 900,-
d. Pasal 161 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa dalam hal saksi atau ahli tanpa
alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan
sandra di tempat rumah tahanan negara paling lama 14 hari.
e. Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal saksi tidak hadir
meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup
alasan untuk menyangka bahwa saksi tidak akan mau hadir, maka hakim ketua
dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
38
Namun bila Notaris hadir sebagai saksi baik dalam persidangan perkara Perdaata
maupun Pidana dihadapkan pada kondisi adanya rahasia jabatan yang ia pegang. Dalam hal
ini, Notaris yang membuka rahasia tidak perlu kawatir karena ia melakukan perintah hakim
dalam membantu proses penegakan hukum, pada diri notaris yang bersangkutan tidak dapat
dikenakan Pasal 322 KUHP yang menyatakan bahwa “barang siapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang
sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Karena secara implisit sebenarnya notaris
dilindungi oleh ketentuan Pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa “barang siapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.” Seorang notaris
yang dipanggil sebagai saksi merupakan perintah undang-undang dalam proses penegakan
hukum. Demi kepentingan justicianotaris haruslah melepaskan hak ingkarnya terlebih dahulu
karena ada kepentingan yang lebih tinggi.
Apabila notaris membuka rahasia yang disimpannya berdasarkan suatu ketentuan
umum, dan ketentuan umum tersebut merupakan ketentuan eksepsional dari Pasal 16 huruf f
UUJN, maka Pasal 322 KUHP tidak dapat diterapkan, karena kewajiban merahasiakan
tersebut telah digugurkan oleh ketentuan eksepsional tadi dan terhadap perbuatan yang
dilakukan oleh notaris berdasarkan ketentuan eksepsional tersebut adalah perbuatan yang
tidak ada unsur perbuatan melawan hukumnya.
Bagi seorang notaris yang dipanggil untuk menjadi saksi baik dalam lingkup
penyidikan maupun di muka pengadilan hendaknya tidak perlu mengajukan hak ingkar atau
takut untuk hadir memenuhi panggilan tersebut. Menghadapi panggilan dari pihak kepolisian,
kejaksaan, ataupun hakim harusnya seorang notaris bersikap profesional. Apabila notaris
merasa tidak melakukan kesalahan dalam pembuatan akta, maka notaris tidak perlu takut atau
39
mangkir dari panggilan. Ini berkaitan dengan moral seorang notaris dalam menjalankan suatu
profesi, dimana harus selalu berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keterangan saksi diperlukan dalam proses peradilan guna menemukan kebenaran
formil dalam perkara perdata dan kebenaran materiil jika dalam perkara pidana. Karena itu
pembuktian dalam hukum pidana jauh lebih hati-hati dibanding dengan pembuktian dalam
hukum perdata. Sehingga kita sering mendengar adagium yaitu “lebih baik membebaskan
seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Oleh karena
itu,yang paling urgensi sebenarnya keterangan saksi dalam perkara pidana karena saksi
merupakan alat bukti utama dalam sistem peradilan pidana. Menurut Pasal 184 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
Esensi dari urutan alat bukti yang dibentuk oleh legislator kita bukan tanpa arti melainkan
saksi merupakan hal yang penting karena saksi adalah orang yang melihat, mendengar, dan
mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Dalam proses persidangan keterangan saksi
diperlukan sebagai alat bukti untuk membuktikan sesuatu dalam perkara yang sedang
diperiksa, sehingga dapat membantu hakim dalam memberikan pertimbangan yang terbaik
untuk kemudian memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam perkara pidana tersebut.
Jika ingin membandingkan dengan hukum acara perdata, karena hanya mencari
kebenaran dalam arti formil yakni kebenaran dari apa yang diperoleh berdasarkan apa yang
dikemukakan oleh para pihak yang berperkara. Sehingga dalam pembuktian perkara perdata
alat bukti yang paling utama adalah surat/ bukti tertulis atau pembuktian tertinggi adalah
40
bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan dan
yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris. Untuk itu negara mendelegasikan tugas
itu kepada notaris seperti tertera dalam Pasal 1868 KUHPer mengenai adanya pejabat umum,
yaitu pejabat yang diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta
otentik. Kemudian menurut Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
(KUHPer) bahwa alat bukti meliputi:
a. Bukti tertulis
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Dalam pembuktian pada perkara perdata, saksi tidak merupakan alat bukti utama tetapi dalam
pembuktian tersebut tetap diperlukan guna mencari kebenaran formil. Konsekuensinya adalah
notaris yang dipanggil untuk memberikan keterangan saksi dalam perkara perdata sebenarnya
tidaklah terlalu urgensi berbeda dengan perkara pidana. Karena notaris secara tidak langsung
sudah diwakilkan oleh akta otentik yang mereka buat sebagai pejabat umum. Sehingga hak
ingkar notaris dalam perkara perdata lebih mungkin dikabulkan oleh hakim daripada perkara
pidana. Walaupun demikian, bukan berarti notaris tidak dapat dipanggil sebagai saksi tetapi
tetap dapat dipanggil dan hanya menjelaskan atau menerangkan keadaan riil misalkan adalah
bahwa benar para pihak telah menghadap kehadapannya sebagaimana tercantum dalam akta
tersebut. Di samping itu, notaris mungkin dikatakan sebagai saksi kunci dalam perkara yang
sedang terjadi di mana keterangan-keterangan yang akan diberikan oleh notaris tersebut akan
membantu kelancaran pemeriksaan di muka persidangan dan tidak ada ruginya apabila
notaris tersebut mau memenuhi panggilan sebagai saksi karena kembali yang diharapkan
dalam masalah ini adalah penegakan keadilan dan kepastian hukum. Disamping itu kehadiran
41
Notaris sebagai saksi dalam pemeriksaan di Persidangan dapat dijadikan suatu tindakan
prefentif yang setidak-tidaknya dapat menguntungkan notaris karena dapat menghindari
adanya pemutarbalikan fakta riil yang terjadi oleh para pihak yang berperkara sehingga malah
menempatkan notaris pada posisi yang bersalah.
Dalam perkembangannya terdapat 3 macam kedudukan notaris dalam menggunakan hak
ingkar, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai saksi
Pilihan menggunakan hak ingkar yang dimiliki notaris merupakan pilihan yang
subjektif tetapi tidak mutlak sifatnya. Jika berkaitan dengan akta yang dibuatnya,
notaris dapat menggunkan hak ingkar, jika tidak berkaitan dengan akta yang
dibuatnya, tergantung kepada notaris untuk menggunakan hak ingkar atau tidak.
b. Sebagai ahli
Notaris dapat sebagai ahli dengan menerangkan sesuai keahlian yang dimilikinya
yang diperlukan oleh hakim. Sebenarnya disini hak ingkar tidaklah diperlukan, karena
notaris tidak sebagai saksi melainkan ahli, bahkan menjadikan kebanggan kepada
notaris dapat menggunakan keahlian untuk membantu proses penegakan hukum
dengan catatan tidak membuka rahasia kliennya yang tidak ada hubungannya dengan
perkara dimana notaris sebagai ahli.
c. Sebagai terdakwa
Notaris dinyatakan sebagai tersangka kemudian terdakwa tidak bisa lagi berlindung
dari hak ingkar yang dimilikinya. Perbuatan notaris sudah sepantasnya diberikan
sanksi yang tegas agar dirinya menjadi jera sekaligus juga memberikan peringatan
kepada notaris-notaris yang lain agar tidak mengulangi perbuatan yang sama.
42
Seorang notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan
perannya, apakah sebagai saksi, ahli, atau tersangka terutama mengenai akta-akta yang
dibuatnya sebagai alat bukti pemeriksaan.
Walaupun undang-undang tidak mengatur secara jelas mengenai bagaimana tolak
ukur seorang hakim dalam menilai sah tidaknya pengunduran diri seorang notaris, akan tetapi
hakim diharapkan mampu memberikan alasan yang tepat dalam menentukan patut atau
tidaknya seorang notaris menjadi saksi dengan mempertimbangkan berbagai hal. Terhadap
notaris yang mengundurkan diri sebagai saksi, hakim dapat mengeluarkan dua keputusan
yakni menerima dan menolak pengunduran diri tersebut. Bilamana diterima oleh hakim
pengunduran diri notaris sebagai saksi maka secara langsung tanggal kewenangan hakim
untuk menghadapkan Notaris sebagai saksi serta tidak dapat dikenakan Pasal 139 s/d 142
HIR berkaitan dengan sanksi bagi saksi yang tidak hadir memenuhi panggilan persidangan27
.
Namun bilamana pengunduran diri Notaris tersebut ditolak oleh hakim yang memeriksa
perkara bagaimanakah upaya pengadilan untuk menghadapkan notaris tersebut sebagai saksi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 159 ayat (2) KUHAP seperti yang telah dijelaskan di atas,
kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 139-141 HIR maka saksi dapat dipanggil secara paksa
untuk memberikan keterangan di muka persidangan. Artinya saksi notaris yang telah ditolak
pengunduran dirinya sebagai saksi dalam pemeriksaan suatu perkara di pengadilan namun
tidak hadir memenuhi panggilan pengadilan sebagai saksi dapat dikenakan upaya paksa oleh
ketua pengadilan atau hakim yang memeriksa perkara untuk hadir secara memberikan
kesaksian. Sanksi yang dapat dikenakan kepada notaris jika tetap menggunakan hak ingkar
sekalipun majelis hakim menolak permohonan notaris menggunakan hak ingkar adalah
pembayaran biaya ganti rugi atas pemanggilan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal
139-141; sanksi penyanderaan sebagaimana diatur dalam 148 HIR maupun sanksi
27
Yahya Harahap, op,cit., h. 667.
43
pemidanaan berupa pidana penjara selama 9 (Sembilan) bulan dalam Perkara Pidana dan 6
(enam) bulan dalam perkara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 224 KUHP serta pidana
denda paling banyan Sembilan ratus rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 522 KUHP.
44
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Notaris yang dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi di pengadilan
negeri khusunya Pengadilan Negeri Denpasar dalam peraturan perundang-undangan
baik HIR/RBg; KUHPer memiliki hak untuk mengajukan pengunduran diri sebagai
saksi. Namun pengajuan hak pengunduran diri tersebut bersifat opsional dan tidak
berlaku secara mutlak dengan beberapa kondisi serta alasan yakni :
a. didasarkan pada ada tidaknya hubungan rahasia jabatan notaris dengan perkara
yang diperiksa ;
b. ada tidaknya kepentingan yang lebih tinggi untuk dilindungi sehingga rahasia
jabatan tersebut boleh dikesampingkan dan Notaris bersaksi di Persidangan; dan
c. pertimbangan hakim yang memeriksa perkara untuk menolak atau mengabulkan
hak pengunduran diri Notaris sebagai saksi.
5.1.2 Dalam Hal Notaris mengajukan Pengunduran diri sebagai saksi Hakim yang memeriksa
perkara dapat menerima atau menolak pengunduran diri tersebut. bila hakim
mengabulkan atau menerima maka wewenang hakim unutk menghadapkan notaris
sebagai saksi di pengadilan menjadi hilang dan kepada Notaris tersebut tidak dapat
dikenakan sanksi. Namun apabila hakim yang memeriksa perkara menolak
pengunduran diri Notaris sebagai saksi dan Notaris tersebut tetap mangkir dari
pemeriksaan di Persidngan maka hakim dapat memanggil notaris tersebut sebagai
saksi secara paksa serta kepada Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi baik secara
perdara sebagaimana diatur dalam HIR dan dikenakan ancaman pidana penjara
45
sebagaimana diatur dalam Pasal 224 KUHP serta denda sebagaimana diatur dalam
Pasal 522 KUHP.
5.2 Saran
Melalui penelitian ini adapun saran yang dapat diberikan khususnya kepada Notaris
dan Hakim yang memeriksa perkara yakni :
1. Bagi Notaris yang dipanggil sebagai saksi oleh Pengadilan hendaknya memberikan
keterangan di persidangan meskipun memiliki hak untuk mengajukan pengunduran
diri. Hal ini bertujuan agar hakim yang memeriksa perkara menemukan kebenaran
dalam proses pembuktian sehingga pemeriksaan perkara dapat memenuhi asas trilogi
peradilan. Selama notaris menjalankan jabatanya sesuai dengan prosedur yang berlaku
maka ia tidak perlu takut untuk menjadi saksi baik dalam perkara perdata maupun
pidana. disamping itu hal ini dapat menjadi suatu keuntungan bagi Notaris karena
dapat memberikan keterangan secara gamblang dan mencegah adanya pemutarbalikan
fakta oleh para pihak yang berperkara.
2. Bagi hakim yang memeriksa perkara agar lebih mencermati alasan-alasan
pengunduran diri Notaris sebagai saksi tersebut. bilamana memang keterangannya
diperlukan agar tidak segan-segan menghadirkan Notaris tersebut dalam pemeriksaan
di Persidangan demi ditemukannya suatu kebenaran dalam rangka penegakan hukum
sehingga menjamin kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi para pihak yang
berperkara.
46
Daftar Pustaka
Buku
Andasasmita, Komar 1983, Notaris Selayang Pandang, The Notary Public At a Galance,
Alumni, Bandung.
Campbell, Enid, et.al., 1988, legal Research, Materials and Methods,: The Law Book
Company Limited., Sydney.
Harahap, Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 668, dikutip dari
WJS. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005,Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.
-----------------------, 2010, Hukum Acara Perdata di Indonesia Edisi Revisi, Cahaya
AtmaPustaka, Yogyakarta.
Prodjodikoro, R. Wiryono , 1983, Asas-Asas Hukum Perdata, Cetakan Kesembilan, Sumur
Bandung, Bandung.
Riduan, 2004, Metode& Teknik Menyusun Tesis, Bina Cipta, Bandung.
Sing, Ko Tjay, 1978, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, PT Gramedia, Jakarat.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat,Rajawali Press, Jakarta.
Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika profesi dan Profesi Hukum, CV Aneka Ilmu, Semarang.
Tobing, G.H.S Lumban, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.
-----------------------, 1986, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta.
47
Majalah
Harsono,Boedi, 2007, PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI, Edisi
No. 8.44. IV 03 Januari 2007, Jakarta.
Winarsi, Sri, 2002, Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat
Umum, Majalah YURIDIKAVolume 17 No. 2, Maret 2002, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya.
Peraturan Perundang-Undangan
Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Het herziene Indonesisch Reglement (HIR)
Rechtreglement vor de Buitengewesten (RBg)
Wetboek van Strafrecht (Wvs)/ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang Undang No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.