LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam...
Transcript of LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAYA SAING … · 7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam...
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
DAYA SAING BEBERAPA KOMODITAS PANGAN STRATEGIS
Oleh
Adang Agustian Hermanto
Supena Friyatno Ahmad Makky Ar-Rozi
Achmad Suryana
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
xii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional adalah pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Pada masa mendatang, peran ini semakin berat dilakukan karena semakin terbatasnya kapasitas
produksi pangan yang diakibatkan antara lain oleh konversi lahan, kompetisi pemanfaatan serta degradasi sumberdaya lahan dan air, serta dampak
perubahan iklim global. Di sisi lain, kebutuhan pangan terus meningkat dalam jumlah, kualitas, dan keragamannya. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang
besar (tahun 2014 sebesar 252 juta orang) dengan tingkat pertumbuhan yang masih tinggi (1,35%/ tahun).
2) Kabinet Kerja telah menetapkan salah satu sasaran di bidang pangan yaitu
mencapai swasembada padi/beras, jagung dan kedelai dalam tiga tahun ke depan, atau pada tahun 2017. Dalam rangka pencapaian sasaran tersebut,
Kementerian Pertanian sudah mulai mengambil langkah-langkah konkrit, diantaranya perbaikan irigasi, penyediaan pupuk dan benih dengan enam tepat, dan kebijakan insentif berproduksi lainnya.
3) Dalam rangka pencapaian swasembada tiga komoditas pangan penting tersebut dalam tiga tahun ke depan, diperlukan berbagai informasi mengenai
kinerja produksi selama ini dan tingkat daya saing komoditas, agar pencapaian sasaran tersebut dapat dilaksanakan dengan memenuhi prinsip efisiensi dan
efektivitas dalam pemanfaatan sumberdaya, sehingga pembangunan pangan dapat berkelanjutan dan menghemat alokasi sumberdaya pembangunan. Untuk itu, perlu diperoleh informasi dari sisi kelayakan ekonomi, termasuk tingkat
daya saing komoditas.
4) Untuk mengetahui daya saing komoditas pangan padi, jagung dan kedelai
digunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Pada dasarnya metode PAM menganalisis secara menyeluruh variabel-variabel kebijakan mengenai
penerimaan, biaya usahatani, tingkat perbedaan pasar, sistem pertanian, investasi pertanian, dan efisiensi ekonomi. Metode PAM mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: (1) memberikan informasi bagi pengambilan kebijakan pertanian
dalam tiga isu sentral, yaitu daya saing suatu usahatani pada tingkat harga dan teknologi yang diterapkan, dampak investasi publik dalam bentuk
pembangunan infrastruktur yang berpengaruh pada kinerja usaha tani, dan dampak investasi baru dalam bentuk riset dan teknologi terhadap efisiensi usaha tani; (2) menghitung tingkat keuntungan sosial suatu usaha tani yang
dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisien (social opportunity costs); dan (3) menghitung transfer effects, sebagai dampak dari
sebuah kebijakan.
5) Adapun indikator yang dipakai pada analisis ini meliputi: DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio). Nilai DRCR digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas pertanian suatu negara, sedangkan PCR merupakan indikator untuk mengukur keunggulan kompetitif
suatu komoditas pertanian suatu negara. Nilai DRCR dan PCR kurang dari 1
xiii
mengindikasikan komoditas tersebut mempunyai keunggulan kompetitif, dan semakin semakin kecil nilai DRCR dan PCR maka semakin baik keunggulan
komparatif dan kompetitif suatu komoditas (Monke dan Pearson,1995).
6) Data yang digunakan untuk menghitung daya saing usaha tani pangan berupa
struktur usaha tani yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011/2012. Terhadap data tersebut dilakukan penyesuaian pada harga output
agar dapat mencerminkan kondisi pasar tahun 2014. Untuk mengevaluasi perkembangan produksi, luas panen, dan produktivitas selama 10 tahun terakhir ( 2004-2013) digunakan data yang dipublikasikan oleh BPS.
Hasil dan Pembahasan
Keuntungan Finansial dan Ekonomi serta Daya Saing Usahatani Padi
7) Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk
mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan padi, jagung, dan kedelai. Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang
petani sebagai pemilik. Hasil analisis finansial sering juga disebut private returns. Adapun analisis ekonomi adalah analisis usahatani yang melihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Hasil analisis ekonomi disebut the social returns atau the economic returns, berarti keuntungan ekonomi yang dilihat dari sudut kepentingan makro. Pada analisis finansial harga aktual yang
terjadi di pasar digunakan sebagai nilai variabel analisis, sedangkan pada analisis ekonomi digunakan harga sosial yang dihitung berdasarkan harga
paritas ekspor. Harga sosial tersebut merupakan harga yang sudah tidak ada lagi pengaruh intervensi pemerintah (seperti subsidi atau bantuan langsung) dan pengaruh struktur pasar tidak bersaing sempurna (monopoli, monopsoni
dan lain-lain). Artinya, harga sosial dapat dinilai sebagai pencerminan dari tingkat harga yang terjadi di pasar persaingan sempurna atau mendekati harga
dunia, dan hanya dibedakan oleh biaya transportasi dari/ ke lokasi usahatani.
8) Hasil analisis finansial menunjukkan penerimaan dan biaya usaha tani padi
masing-masing sebesar Rp. 30,80 juta/ha dan Rp. 12,64 juta/ha, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 18,16 juta/ha atau nilai R/C sebesar 2,43. Hasil analisis ekonomi memperlihatkan penerimaan dan biaya usaha tani padi per
hektar per tahun masing-masing sebesar Rp. 19,51 juta/ha dan Rp. 13,49 juta/ha dengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 6,01 juta/ha atau nilai R/C
sebesar 1,45. Dari kedua hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha tani padi baik pada tingkat usahatani maupun secara nasional cukup layak untuk diusahakan.
9) Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi padi menunjukkan perolehan nilai keuntungan finansial per tahun usaha tani padi tertinggi terdapat di Jawa Barat
(Rp 13,61 juta/ha), kemudian diikuti oleh Jawa Tengah (Rp 5,09 juta/ha) dan NTB (Rp 3,98 juta/ha). Nilai keuntungan usahatani yang cukup tinggi dan
motivasi untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi faktor pendorong bagi petani untuk terus meningkatkan usaha taninya. Selain itu, ketersediaan infrastruktur irigasi sebagai sumber pengairan utama
xiv
usaha tani dan kemampuan menerapkan teknologi usahatani yang baik juga menjadi faktor yang mendorong peningkatan usahatani padi. Gambaran yang
sama diperoleh dari analisis ekonomi, yaitu keuntungan secara sosial tertinggi juga terdapat di Jawa Barat (Rp 17,13 juta/ha), kemudian diikuti oleh NTB (Rp
13,40 juta/ha) dan Jawa Tengah (11,25 juta/ha).
10) Komoditas padi secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini
ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) yang kurang dari satu. Nilai Rasio DRCR dan PCR untuk usaha tani padi secara nasional lebih kecil dari satu (DRCR <1), yaitu 0,65. Nilai DRCR sebesar 0,65
berarti untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp 1.000.000,- diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 650.000,-. Angka ini menunjukkan
bahwa usahatani padi secara nasional cukup efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi domestik, yang berarti pula memiliki keunggulan komparatif.
11) Pada beberapa sentra produksi padi, analisis ini juga menunjukkan bahwa
usahatani padi cukup efisien dengan kisaran nilai DRCR antara 0,50–0,77.
Dengan demikian, sumberdaya faktor domestik yang harus dikorbankan untuk menghemat atau memperoleh devisa dari usahatani padi lebih kecil dari
sumberdaya domestik yang tersedia dalam sistem ekonomi secara keseluruhan. Hal ini berarti pula bahwa usahatani padi efisien secara ekonomi dalam
pemanfaatan sumberdaya faktor domestik. Selanjutnya bila dilihat sebaran usahatani padi per provinsi sentra produksi, maka dapat diketahui bahwa usahatani padi yang paling efisien (memiliki keunggulan komparatif tertinggi)
terdapat di Lampung (DRCR=0,50), kemudian disusul di Jawa Timur (0,60), Jawa Barat (0,62), Sumatera Barat (0,62) dan Sulawesi Selatan (0,62). Adapun
Provinsi yang memiliki keunggulan komparatif terendah adalah di NAD (DRCR=0,77) dan Sumatera Utara (0,73), namum di kedua provinsi ini pun
tetap layak dilaksanakan usaha tani padi, karena nilai DRCR <1.
12) Sementara itu, nilai Private Cost Ratio (PCR) usaha tani padi secara nasional sebesar 0,38. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi efisien secara
finansial dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,38 memiliki arti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output padi sebesar Rp.
1.000.000,-, diperlukan tambahan biaya faktor domestik atas harga privat sebesar Rp. 380.000; yang mempunyai makna penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk diusahakan.
13) Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi padi juga menunjukkan bahwa usaha tani padi cukup memiliki keunggulan kompetitif dengan ditunjukkan oleh
kisaran nilai PCR antara 0,36–0,57. Bila dilihat sebaran usaha tani padi per
provinsi sentra produksi, maka dapat diketahui bahwa usaha tani yang paling
efisien (memiliki keunggulan kompetitif tertinggi) terdapat di Jawa Barat (PCR=0,36) dan Sulawesi Selatan (36), kemudian disusul oleh usaha tani padi
di Lampung (0,37) dan Sumatera Barat (0,37). Adapun provinsi yang memiliki keunggulan komparatif relatif rendah di banding provinsi lainnya adalah di NAD (PCR=0,57) dan Sumatera Utara (0,48).
xv
Keuntungan Finansial dan Ekonomi serta Daya Saing Usahatani Jagung
14) Secara finansial usaha tani jagung di Indonesia menguntungkan, hal ini
dicirikan oleh tingkat keuntungan finansial per tahun sebesar Rp 6,7 juta/ha, dengan tingkat penerimaan sebesar Rp 15,9 juta/ha dan total biaya sebesar Rp
9,2 juta/ha. Berdasarkan kinerja tersebut, nilai R/C usaha tani jagung tingkat nasional sekitar 1,73. Sementara itu, berdasarkan analisis ekonomi, usaha tani jagung di Indonesia diketahui lebih menguntungkan dari nilai finansialnya.
Secara ekonomi, usaha tani jagung memberikan keuntungannya sebesar Rp 8,7 juta/ha, dengan penerimaan sebesar Rp 18,2 juta/ha dan biaya sebesar Rp 9,6
juta/ha, yang berarti R/C rasio mencapai 1,90.
15) Dari hasil analisis pada masing-masing provinsi sentra produksi jagung, diketahui keuntungan finansial per tahun yang paling tinggi terdapat di Provinsi
Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan tingkat keuntungan masing-masing adalah Rp 13,6 juta/ha dan Rp 5,1 juta/ha. Sementara pada provinsi lain
seperti Lampung, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan berkisar antara Rp 3,0 juta - Rp 3,9 juta/ha. Di Sulawesi Utara tingkat keuntungan sangat rendah yaitu
hanya Rp 343 ribu/ha bahkan di Sumatera Utara rugi (negatif) sebesar Rp 657 ribu/ha. Hal yang menarik adalah di Jawa Timur yang merupakan sentra produksi jagung yang relatif besar, ternyata tingkat keuntungan fianansialnya
lebih rendah dibandingkan dengan provinsi sentra produksi lainnya, yakni hanya Rp 2,3 juta/ha. Hal ini disebabkan oleh harga jagung yang rendah di
saat panen raya yang melimpah, sedangkan di petani Sumatera Utara dan Sulawesi Utara juga menghadapi rendahnya harga jagung yang disebabkan
oleh kondisi infrastruktur usaha tani dan pemasaran dari sentra produksi yang kurang baik, yang menyebabkan biaya angkut relatif tinggi.
16) Kondisi yang sama, kecenderungan tingkat keuntungan ekonomi pada semua
provinsi sentra produksi jagung lebih tinggi dan lebih menguntungkan dibanding dengan keuntungan pada analisis finansial. Keuntungan ekonomi
jagung yang paling rendah adalah di NTT yaitu Rp 3 juta /ha, sedangkan pada provinsi lain berkisar antara Rp 4 juta - Rp 17,3 juta/ha.
17) Komoditas jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) yang kurang dari satu. Nilai koefisien DRCR secara nasional adalah 0,48
artinya bahwa untuk memperoleh nilai tambah output komoditas jagung sebesar Rp 1.000.000 dibutuhkan tambahan biaya sumber daya domestik
sebesar Rp 480.000. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani jagung memiliki keunggulan komparatif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Berdasarkan analisis keunggulan kompetitif, komoditas jagung secara nasional
memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh koefisien PCR sebesar 0,54. Hal ini menujukkan bahwa usaha tani jagung di Indonesia memiliki
keunggulan kompetitif.
18) Berdasarkan analisis di provinsi sentra produksi jagung, diketahui bahwa
keunggulan komparatif tertinggi terdapat pada usaha tani jagung di NTB (DRCR=0,33), kemudian diikuti Jawa Barat (0,35) dan Sulawesi Selatan (0,39).
xvi
Sementara keunggulan komparatif usahatani jagung untuk provinsi lainnya seperti Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki nilai DRCR yang berkisar
antara 0,40–0,45, dan di Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara, nilai DRCnya sebesar 0,70 (mendekati 1). Dengan demikian, usaha tani jagung di
provinsi sentra produksi juga memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi.
19) Sejalan dengan keunggulan komparatif, pada sentra produksi Jagung di Provinsi Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara juga memiliki keunggulan kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang hampir mendekati 1. Bahkan
untuk di Sumatera Utara sama sekali tidak memiliki keunggulan kompetetif dengan PCR 1,07. Sementara di provinsi lainnya masih memiliki keunggulan
kompetitif dengan nilai PCR berkisar antara 0,40–0,67, yang artinya bahwa
pada provinsi-provinsi tersebut usahatani jagung memiliki tingkat efisiensi yang
baik.
Keuntungan Finansial dan Ekonomi serta Daya Saing Usahatani
Kedelai
20) Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa penerimaan dan biaya usaha tani
kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,95 juta/ha dan Rp. 10,20 juta/ha dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 750 ribu/ha dan nilai R/C sebesar
1,05,-. Sementara itu, dari analisis ekonomi diperoleh informasi penerimaan dan biaya usahatani kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,38 juta/ha dan Rp. 10,20 juta/ha dengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 177
ribu/ha dan nilai R/C sebesar 1,02. Dari kedua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha tani kedelai pada saat ini masih layak
diusahakan, namun tidak memberikan keuntungan atau pendapatan bersih yang seimbang dengan upaya petani.
21) Dengan mengacu pada analisis finansial usaha tani di beberapa provinsi sentra produksi kedelai, diperoleh informasi bahwa keuntungan finansial usaha tani kedelai paling tinggi diterima petani di Sumatera Selatan, kemudian diikuti oleh
petani di Sulawesi Utara dan NAD; dengan nilai R/C finansial masing-masing sebesar 2,04; 1,97 dan 1,37. Kondisi inilah yang menjadi faktor pendorong bagi
petani, khususnya di daerah tersebut masih berpartisipasi dalam mengusahakan kedelai.
22) Berdasarkan nilai DRCR dan PCR, usaha tani kedelai secara nasional tidak
memiliki daya saing. Nilai DRCR usahatani kedelai secara nasional lebih besar dari satu, tepatnya 1,05. Artinya untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp
1,000,000,- diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp 1,050,000. Angka ini menunjukkan bahwa usaha tani kedelai secara nasional tidak efisien
dalam menggunakan sumberdaya ekonomi dan tidak memiliki keunggulan komparatif.
23) Meskipun demikian di beberapa sentra produksi kedelai seperti di Provinsi NAD,
Sumatera Selatan, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara, masih diperoleh nilai DRCR usaha tani kedelai lebih kecil dari satu (DRC <1) dengan kisaran antara
0,55-0,89. Provinsi yang memiliki keunggulan komparatif usaha tani kedelai
xvii
adalah Sumatera Selatan (DRC=0,55) dan Sulawesi Utara (0,55). Adapun usaha tani kedelai yang tidak efisien dan tidak memiliki keunggulan komparatif
terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa Timur, dengan nilai DRCR lebih besar dari satu.
24) Nilai Private Cost Ratio (PCR) usaha tani kedelai secara nasional sebesar 0,92. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha tani kedelai masih efisien secara
finansial dan masih memiliki keunggulan secara kompetitif. Hal ini berarti untuk meningkatkan nilai tambah dari usahatani kedelai sebesar satu juta rupiah dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah, namun dengan
keuntungan relatif kecil. Di Provinsi NAD, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sulawesi Utara tercatat nilai PCR yang lebih kecil dari satu. Dari ke empat
daerah tersebut, Sumatera Selatan merupakan daerah dengan nilai PCR terkecil, yaitu sebesar 0,44, berarti provinsi ini merupakan daerah yang paling efisien dalam penggunaan faktor domestik sehingga komoditi kedelai yang
diusahakan memiliki keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Sebaliknya, Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur merupakan daerah dengan nilai PCR lebih besar dari satu. Dengan demikian, usaha tani kedelai di daerah tersebut tidak memiliki keunggulan
komptetitif. Sementara, usahatani kedelai di NTB hanya mencapai break even point, yang ditunjukkan dengan nilai PCRnya sama dengan satu.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Kesimpulan
25) Berdasarkan analisis finansial dan ekonomi menggunakan metoda PAM, diketahui bahwa secara nasional usahatani padi memiliki daya saing yang baik,
ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) yang rendah, yaitu masing-masing 0,65 dan 0,38. Artinya, usaha tani padi dan yang dilakukan oleh petani efisien secara finansial dan ekonomi serta memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi menunjukkan usaha tani padi yang paling efisien terdapat di
Lampung, kemudian secara berurutan di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Selanjutnya untuk keunggulan kompetitif, provinsi
sentra produksi padi yang memiliki keunggulan kompetitif tertinggi adalah Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, kemudian secara berurutan diikuti oleh Lampung, Sumatera Barat, NAD serta Sumatera Utara.
26) Komoditas jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,48, dan nilai PCR 0,54. Dengan
demikian, usaha tani jagung efisien secara ekonomi dan finansial serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada masing-masing provinsi sentra produksi jagung, secara berurutan yang memiliki keunggulan komparatif
tertinggi adalah usaha tani jagung di NTB, kemudian diikuti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, usaha tani jagung di Sumatera Utara, NTT
dan Sulawesi Utara, nilai DRCnya mendekati 1, yang berarti masih memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak memberikan keuntungan yang memadai
bagi petani. Sejalan dengan keunggulan komparatif, di ketiga provinsi terakhir,
xviii
usaha tani jagung juga memiliki keunggulan kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang hampir mendekati 1. Bahkan untuk di Sumatera Utara sama
sekali tidak memiliki keunggulan kompetetif dengan PCR sebesar 1,07.
27) Usaha tani kedelai secara nasional tidak memiliki daya saing, hal ini ditunjukkan
oleh nilai DRCR sebesar 1,05, serta nilai PCR mendekati 1,0 (tepatnya 0,92). Di beberapa provinsi sentra produksi kedelai seperti di NAD, Sumatera Selatan,
Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara diperoleh nilai DRCR lebih kecil dari satu, yang berarti masih memiliki daya saing, namun dengan keuntungan yang tidak memadai bagi petani. Adapun bagi petani di Provinsi Sumatera Utara,
Lampung, dan Jawa Timur usaha tani kedelai tidak memiliki daya saing. Berdasarkan nilai PCR, Propinsi Sumatera Selatan dinilai paling efisien dalam
penggunaan faktor domestik, disusul oleh Lampung dan Sulawesi Utara.
28) Bila hasil analisis finansial dan ekonomi ini dikaitkan dengan upaya pencapaian sasaran swasembada padi/beras, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun,
pemerintah mempunyai modal dasar yang baik untuk pencapaian sasaran swasembada tersebut untuk komoditas padi dan jagung; namun akan sangat
berat untuk pencapaian sasaran swasembada untuk komoditas kedelai. Berdasarkan pengalaman rata-rata tiga tahun sebelumnya (20011-2013),
neraca pangan (produksi domestik dikurangi kebutuhan pangan dan lainnya) untuk padi dan jagung sudah di atas 100 persen, sementara untuk kedelai masih 39 persen tingkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan
domestik. Dengan permintaan yang akan terus meningkat, maka perlu ada terobosan yang sangat signifikan bila swasembada kedelai ingin benar-benar
tercapai dalam tiga tahun.
Implikasi kebijakan
29) Berdasarkan hasil analisis kebijakan ini dapat disampaikan rekomendasi alternatif kebijakan sebagai berikut:
a) Swasembada padi/beras dalam tiga tahun ke depan, melanjutkan prestasi yang sudah diraih tahun-tahun sebelumnya, dapat dicapai/dipertahankan
walaupun dalam keadaan total permintaan beras yang terus meningkat karena peningkatan jumlah penduduk setiap tahun. Dalam jangka pendek
langkah-langkah penting yang diperlukan diantaranya adalah:
(i) Perbaikan irigasi untuk meningkatkan ketersediaan air sepanjang tahun sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertamanan (IP). Perbaikan
irigasi ini harus sinergis dan terintegrasi mulai dari saluran primer, sekunder, sampai tertier dan di petak sawah petani;
(ii) Penyediaan benih unggul bermutu yang tepat varietas sesuai pilihan petani dan sesuai dengan karakteristik agroekosistem, termasuk memperhatikan peta endemis hama dan penyakit tanaman padi. Benih
harus sampai tepat waktu dan tepat kualitas/bersertifikat;
(iii) Penyediaan pupuk berimbang sesuai dengan karakteristik lahan petani.
Penggunaan Alat Uji Tanah di lahan sawah petani akan sangat membantu penentuan dosis pemupukan berimbang secara sepsifik
xix
lokasi. Penyediaan pupuk tepat waktu, tepat kualitas, tepat jumlah sesuai rekomendasi mutlak diperlukan. Selain itu, pupuk seyogyanya
dapat diperoleh petani pada harga yang disubsidi, mengingat daya beli riil petani dapat menurun karena inflasi akibat kenaikan harga BBM;
(iv) Penerapan paket teknologi usaha tani terpadu seperti PTT (pengelolaan sumberdaya dan pertanian terpadu) atau SRI (Sistem of Rice Intensification) sesuai dengan disain awal yang tujuannnya meningkatkan keberdayaan (empowerment) petani melakukan usaha tani yang baik melalui peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan
kemampuan petani melakukan usahatani; bukan dengan pemberian bantuan sarana produksi sebagai komponen utama, apalagi tanpa
pendampingan yang memadai dalam pemanfaatannya; dan
(v) Penyuluhan dan pendampingan yang intensif kepada kelompok tani dalam memecahkan permasalahan sosial, ekonomi, dan teknis produksi
padi yang dihadapi kelompok tani dalam melaksanakan usaha taninya.
b) Untuk komoditas jagung, dari data BPS diketahui sasaran swasembada
jagung telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, sehingga langkah selanjutnya adalah tetap mempertahankan swasembada secara
berkelanjutan. Upaya untuk meningkatkan produksi jagung dan pendapatan petani dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usaha tani dengan mengarahkan pada peningkatan produktivitas, penekanan biaya
produksi dan insentif harga output. Secara rinci beberapa upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan antara lain melalui:
(i) Penerapan teknologi tepat guna melalui penyebarluasan benih unggul hibrida di atas 80% dari luas tanam dan peningkatan penguasaan dan
penerapan teknik budidaya jagung spesifik lokasi oleh petani;
(ii) Menjamin ketersediaan benih unggul dengan kualitas terjamin serta tersedia tepat waktu;
(iii) Pendampingan kepada petani secara intensif dan kontinyu oleh aparat pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti) dalam rangka penerapan
teknologi sesuai anjuran;
(iv) Pengaturan dalam pengadaan dan distribusi sarana produksi lainnya
(pupuk dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat petani pada saat dibutuhkan;
(v) Pemberian rangsangan harga output kepada petani jagung terutama
pada saat panen raya; dan
(vi) Pengembangan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam
rangka menjamin kepastian harga dan pasar jagung yang dihasilkan petani.
c) Untuk komoditas kedelai, permintaan untuk industri berbahan baku kedelai
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat. Total kebutuhan kedelai tahun 2013 sekitar 2,2
juta ton dan hanya dapat dipenuhi sekitar 39 % dari produksi domestik. Dengan mencermati kondisi produksi dan teknologi budidaya kedelai yang
xx
diaplikasikanoleh petani saat ini, maka cukup berat untuk mencapai sasaran swasembada kedelai dalam tiga tahun ke depan. Namun demikian,
peningkatan produksi kedelai dengan pertumbuhan yang sangat tinggi masih mungkin dicapai apabla dilakukan langkah-langkah terobosan secara
sungguh-sungguh, diantaranya:
(i) Perluasan areal tanam dan areal panen yang cukup luas (target di atas
100.000 ha/tahun) dengan memanfaatkan pola tanam pada lahan sawah, lahan terlantar, lahan perkebunan peremajaan tanaman, lahan Perhutani, baik sebagai tanaman utama atau tanaman sela. Pengunaan
lahan yang secara tradisional sudah dimanfaatkan untuk usaha tani jagung tidak dianjurkan dipakai usaha tani kedelai, karena akan
menurunkan produksi jagung dan keuntungan dari usaha tani kedelai masih lebih rendah dari jagung;
(ii) Identifikasi hasil pemuliaan varietas unggul kedelai yang berpotensi
hasil tinggi (di atas 2,5 ton/ha) yang dilakukan oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Varietas unggul ini segera dimanfaatkan
dan disebarkan kepada petani melalui percepatan produksi benih, pengadaan, dan distribusinya, disertai pendampingan dalam
pemanfaatannya;
(iii) Penerapan teknologi budidaya sesuai dengan rekomendasi. Teknologi budiaya yang diterapkan mulai dari pengolahan lahan, penambahan
bahan organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap dan berimbang (NPK), pengendalian organisme pengganggu tanaman
(hama dan penyakit) secara terpadu, serta panen dan penanganan pasca panen dengan tepat sehingga mengurangi kehilangan
hasil. Dalam upaya ini termasuk penyiasatan terhadap dampak perubahan iklim ekstrim yang sangat berpengaruh pada penurunan produktivitas kedelai;
(iv) Perbaikan harga jual kedelai petani. Peningkatan harga jual kedelai di tingkat petani merupakan salah satu kunci utama dalam
mengembalikan minat petani untuk menanam kedelai, seperti halnya yang telah terjadi tahun 1992 dengan luas panen mendekati 1,9 juta
hektar. Implementasi kebijakan ini dapat dilakukan dengan penerapan harga dasar kedelai lengkap beserta instrument untuk implementasinya, termasuk pembatasan impor dan/atau penerapan
tarif impor yang relatif tinggi, agar usaha tani kedele dapat memberikan keuntungan yang setara dengan usaha tani jagung; dan
(v) Peningkatan kualitas intensifikasi di daerah sentra produksi kedelai, khususnya yang mempunyai keunggulan kompetitif tinggi seperti di Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan NAD.
xxi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
EXECUTIVE SUMMARY ............................................................................. iii
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................... xii
DAFTAR ISI ............................................................................................. xxii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxiv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Dasar Pertimbangan ........................................................................ 3
1.3. Tujuan ........................................................................................... 4 1.4. Keluaran yang diharapkan ................................................................ 5
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak ....................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6
2.1. Tinjauan Teori Daya Saing dan Konsep Policy Analysis Matrix ............ 6 2.2. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya .................................................... 12
III. METODOLOGI ....................................................................................... 14
3.1. Kerangka Teoritis ......................................................................... 14 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan ................................................................ 15 3.3. Data, Lokasi dan Responden Penelitian ........................................... 16
3.4. Metode Analisis ............................................................................. 16 3.5. Analisis Resiko dan Solusinya ........................................................ 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 23
4.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis Nasional .......................... 23 4.2. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Pangan
strategis ....................................................................................... 26
4.2.1. Usahatani Padi .................................................................... 27 4.2.2. Usahatani Jagung ............................................................... 28
4.2.3. Usahatani Kedelai ............................................................... 29 4.3. Analisis Daya Saing Komoditas pangan Strategis .............................. 30
4.3.1. Daya Saing Usahatani Padi .................................................. 30
4.3.2. Daya saing Usahatani Jagung .............................................. 34 4.3.3. Daya Saing Usahatani Kedelai ............................................. 37
4.4. Alternatif Kebijakan Peningkatan Daya Saing Komoditas Pangan Strategis ....................................................................................... 41
4.5. Kinerja Perkembangan dan Analisis Daya Saing Komoditas Pangan strategis: Kasus Jawa Barat ............................................... 44
xxii
4.5.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis di Jawa Barat .......... 44 4.5.2. Analisis Daya Saing Komoditas Pangan Strategis di
Jawa Barat .......................................................................... 53
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .............................................. 70 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 70
5.2. Implikasi Kebijakan ....................................................................... 71 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 75
xxiii
DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Halaman
1. Policy Analysis Matrix (PAM) ................................................................. 18
2. Rumus DRCR, PCR dan Indikator Lainnya sesuai Matrik PAM ..................... 21
3. Daftar Risiko dan Penanggulangannya ..................................................... 22
4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi
di Indonesia, 2004-2013 ....................................................................... 23
5. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung
di Indonesia, 2004-2013 ....................................................................... 25
6. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai
di Indonesia, 2004-2013 ....................................................................... 26
7. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Padi
di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 ...................................... 27
8. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Jagung
di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 ...................................... 29
9. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kedelai
di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 ...................................... 30
10. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas
Padi di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 .............................. 31
11. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas
Jagung di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 .......................... 35
12. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas
Kedelai di Indonesia di Beberapa Sentra Produksi, 2014 .......................... 38
13. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi
di Jawa Barat, 2004-2014 .................................................................... 45
14. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di
Lokasi Kajian Kab. Garut, Cianjur dan Bandung, 2009-2013 ..................... 46
15. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung
di Jawa Barat, 2004-2014 .................................................................... 48
16. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di
Lokasi Kajian Kab. Garut, Cianjur dan Bandung, 2009-2013 ..................... 50
17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai
di Jawa Barat, 2004-2014 .................................................................... 51
xxiv
18. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di
Lokasi Kajian Kab. Garut, Cianjur dan Bandung, 2009-2013 .................... 53
19. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Padi
di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 54
20. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Padi
di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 54
21. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Jagung
di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 57
22. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas
Jagung di Jawa Barat, 2014 ................................................................. 59
23. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kedelai
di Jawa Barat, 2014 ............................................................................. 60
24. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di
Kabupaten Cianjur Tahun 2010-2013 .................................................... 65
25. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di
Kabupaten Bandung Tahun 2010-2013 .................................................. 66
26. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas
Kedelai di Jawa Barat, 2014 ................................................................. 69
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu peran strategis sektor pertanian adalah dalam pemenuhan
kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya begitu besar yaitu 252
juta (tahun 2014). Sesuai Rencana Strategis Kementerian Pertanian (2010-2014),
terdapat lima komoditas pangan utama dan strategis yaitu beras, jagung, kedelai,
daging sapi dan gula. Kelima komoditas pangan tersebut tetap diletakkan sebagai
komoditas pangan strategis dalam Kabinet Kerja yang dimulai pada tanggal 20
Oktober 2014.
Upaya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu peran strategis
pertanian, mengingat adanya jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan laju
pertumbuhan penduduk cukup tinggi (1,35 persen per tahun) dan tingkat
konsumsi beras yang tinggi pula (139,15 kg/kapita/tahun). Dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pangan utama tersebut, target Kementerian Pertanian
selama 2010-2014 adalah pencapaian swasembada dan swasembada
berkelanjutan. Pencapaian swasembada ditujukan untuk kedelai, daging sapi dan
gula dengan target sasaran produksi adalah kedelai 2,70 juta ton, daging sapi
0,55 juta ton, dan gula 5,7 juta ton pada tahun 2014. Karena padi dan jagung
sudah pada posisi swasembada, maka target pencapaian selama 2010-2014
adalah swasembada berkelanjutan dengan sasaran produksi padi sebesar 75,7
juta ton GKG dan jagung 29 juta ton jagung pipilan kering pada tahun 2014.
Pada lima tahun terakhir, telah terjadi peningkatan harga pangan dunia.
Kondisi harga-harga pangan diperkirakan akan terus meningkat di masa
mendatang seiring dengan perubahan iklim global. Momentum kenaikan harga
pangan tersebut selayaknya dapat menjadi pangkal tolak akan kebangkitan dan
peningkatan produksi komoditas pangan yang menjadi pilihan petani sebagai
sumber pendapatan penting dalam usaha taninya (Kompas, 2009).
Dengan menyikapi isu permintaan dan ketersediaan maka upaya
peningkatan produksi pangan perlu mendapat perhatian dengan intensitas yang
lebih tinggi lagi. Pembangunan pertanian secara umum ke depan menghadapi
banyak tantangan yang tidak mudah, antara lain bagaimana meningkatkan
produktivitas dan nilai tambah produk dengan sistem pertanian yang ramah
2
lingkungan, membudayakan penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara
berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki
dan membangun infrastruktur lahan dan air serta perbenihan dan perbibitan,
membuka akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga rendah bagi
petani/peternak kecil, mengupayakan pencapaian Millenium Development Goals
(MDG’s) yang mencakup pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan rawan
pangan, menciptakan kebijakan harga (pricing policies) yang proporsional untuk
produk-produk pertanian khusus, memperkuat kemampuan untuk bersaing di
pasar global serta mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi akibat krisis
global, memperbaiki citra petani dan pertanian agar kembali diminati generasi
penerus, memperkokoh kelembagaan usaha ekonomi produktif di perdesaan,
menciptakan sistem penyuluhan pertanian yang efektif, dan memenuhi kebutuhan
pangan, serta mengembangkan komoditas unggulan nasional.
Untuk menghadapi tantangan tersebut tentu diperlukan berbagai informasi
mengenai kinerja produksi dan daya saing beberapa komoditas pangan strategis
nasional seperti jagung dan kedelai agar senantiasa terus dapat memenuhi
permintaan dalam negeri. Pembangunan pertanian perlu didasarkan pada
kekuatan pasar dan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Pengembangan
komoditas pertanian memerlukan pemahaman tentang kondisi daya saing
sumberdaya domestik, kemampuan sumberdaya dan potensi teknologi.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka pengembangan komoditas
pangan strategis perlu diketahui secara akurat kondisi terkini mengenai daya saing
di level usahataninya. Informasi yang diperoleh akan menjadi bahan masukan
bagi pengambil kebijakan untuk memetakan pengembangannya baik mengenai
wilayah maupun kebijakan atau strategi yang akan ditempuhnya terutama pada
era pemerintahan baru kedepan.
3
1.2. Dasar Pertimbangan
Upaya peningkatan produksi pangan strategis seperti Padi, Jagung dan
Kedelai saat ini terus diupayakan dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan
dan kedaulatan pangan nasional. Untuk mencapai kondisi tersebut masih terdapat
tantangan berat. Sejalan dengan transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke
nonpertanian, tekanan terhadap pemanfaatan lahan pertanian semakin
meningkat. Hal ini itu mengancam eksistensi sektor pertanian dalam hal
ketahanan pangan nasional. Dalam lingkup mikro, dengan semakin berkurangnya
lahan usahatani sementara jumlah rumahtangga usahatani semakin meningkat,
maka jumlah petani tidak berlahan yang berstatus sebagai penggarap dan buruh
tani semakin meningkat dan cenderung mengubah sistem kelembagaan
pengelolaan lahan usahatani di perdesaan yaitu meningkatnya sistem sewa dan
bagi hasil/sakap.
Saat ini juga telah terjadi perubahan iklim global yang juga berdampak pada
sektor pertanian. Pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang
paling rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim yaitu meningkatnya risiko
turunnya produksi dan produktivitas usahatani. Lebih lanjut meningkatnya faktor
risiko usahatani juga berpotensi mengubah sistem kelembagaan pengusahaan
lahan ke arah bentuk bagi hasil atau sakap dalam rangka berbagi risiko,
sementara pergeseran pola pengusahaan lahan dari pemilik penggarap ke
penyakap menyebabkan usahatani padi menjadi kurang efisien dan program
penyuluhan tidak akan berlangsung dengan baik.
Pada tataran mikro, tekanan terhadap lahan usahatani padi serta
keterbatasan infrastruktur pertanian (terutama irigasi) juga berpotensi
melemahnya daya saing usahatani padi relatif terhadap usahatani pangan lainnya
yang tidak memerlukan pengairan secara intensif (Jagung dan Kedelai) seperti
halnya pada usahatani padi. Dalam konteks diversifikasi pangan, meningkatnya
daya saing usahatani pangan non padi akan bersifat positif dalam mendorong
peningkatan produksi pangan non padi dan peningkatan diversifikasi pangan
sepanjang pola konsumsi karbohidrat masyarakat dapat dengan mudah bergeser
dari beras ke komoditas pangan lokal lainnya. Namun hasil kajian menunjukkan
4
bahwa tidak mudah mengubah pola pangan masyarakat dari beras ke non beras.
Dalam lingkup makro, tanpa perlindungan yang memadai dari pemerintah
terhadap usahatani padi, maka dampak globalisasi perdagangan akan
menghilangkan daya saing komoditas pangan lokal (khususnya Beras) di pasar
internasional.
Berdasarkan kajian Daryanto (2009), secara umum status daya saing
komoditas pertanian ditinjau dari DRCR maupun PCR menunjukkan kondisi yang
cukup mengkawatirkan terutama untuk komoditas Padi (Beras), Kedelai, dan Tebu
(Gula) di mana nilai DRCR dan PCR mendekati satu (0,80-1,00). Sementara untuk
komoditas Jagung dan Kacang Tanah, serta peternakan memiliki daya saing yang
moderat di mana nilai koefisien DRCR dan PCR antara 0,50-70. Adapun untuk
produk-produk Hortikultura (Sayuran) dan Tembakau memiliki daya saing yang
cukup tinggi dengan DRCR dan PCR jauh (0,30-0,60).
Atas dasar informasi tersebut, gambaran kondisi eksisting atas daya saing
komoditas pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai) diperlukan untuk
menyusun beberapa alternatif kebijakan pengembangan komoditas tersebut
dalam rangka meningkatkan daya saingnya. Dalam konteks tersebut, kajian ini
akan menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani padi,
jagung dan kedelai, menganalisis daya saing melalui perhitungan keunggulan
komparatif dan kempetitif beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung,
dan Kedelai), serta mencoba merumuskan alternatif saran kebijakan peningkatan
daya saing beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai).
Pertimbangan memilih komoditas padi, jagung dan kedelai pada kajian ini
adalah mengingat ketiga komoditas tersebut merupakan bagian dari komoditas
pangan strategis nasional. Komoditas tersebut dalam pemenuhannya bersifat
strategis karena memiliki dimensi ekonomi, politik, dan sosial. Ketidak cukupan
pangan terutama padi/beras akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik dan
sosial nasional. Komoditas tersebut pada hakekatnya telah diusahakan oleh para
petani nasional, namun khusus untuk jagung dan kedelai masih diperlukan upaya
ekstra untuk lebih menggenjot peningkatan produksinya mengingat kondisi saat
ini permintaannya melebihi dari produksi dalam negeri.
5
1.3. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis Keuntungan Finansial dan
Ekonomi Usahatani beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan
Kedelai), (2) Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing)
beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan Kedelai, dan (3)
Merumuskan alternatif saran kebijakan peningkatan daya saing beberapa
komoditas pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai).
1.4. Keluaran
Keluaran dari kajian ini adalah: (1) Hasil analisis Keuntungan Finansial dan
Ekonomi Usahatani beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan
Kedelai), (2) Hasil analisis keunggulan komparatif dan kempetitif (daya saing)
beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan Kedelai), dan (3)
Rumusan alternatif saran kebijakan peningkatan daya saing beberapa komoditas
pangan strategis (Padi, Jagung dan Kedelai).
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk bahan perumusan kebijakan
peningkatan daya saing khususnya untuk komoditas padi, jagung dan kedelai
nasional. Selain itu, informasi dan rumusan kebijakan yang diperoleh juga akan
sangat bermanfaat bagi pengembangan ketiga komoditas tersebut khususnya
pada lokasi kajian di Provinsi Jawa Barat.
Adapun dampak yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Hasil analisis
Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani beberapa komoditas pangan
strategis (Padi, Jagung, dan Kedelai) sebagai bahan perbaikan usahatani
komoditas padi, jagung dan kedelai, (2) Hasil analisis keunggulan komparatif dan
kompetitif (daya saing) beberapa komoditas pangan strategis (Padi, Jagung, dan
Kedelai) sebagai bahan peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif
usahatani ketiga komoditas tersebut, dan (3) Beberapa rumusan alternatif
kebijakan peningkatan daya saing beberapa komoditas pangan strategis (Padi,
Jagung dan Kedelai) berguna mendukung peningkatan produksi dan daya saing
ketiga komoditas tersebut.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori Daya Saing dan Konsep Policy Analysis Matrix
Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang
diperkenalkan oleh Ricardo pada tahun 1823, yang selanjutnya dikenal dengan
Model Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative
Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien
dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih
tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua
belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi
dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki
keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian
absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif.
Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh Haberler
yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan Teori
Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler menyatakan bahwa biaya
dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus
dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memperoleh satu
unit tambahan komoditas pertama.
Konsep keunggulan kompetitif (Revealed Competitive Advantage) digunakan
untuk mengukur kebijakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung
berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis
finansial. Suatu negara akan menghasilkan komoditi yang memilki keunggulan
kompetitif apabila biaya produksi komparatif, bermutu, berdesain, dan
berkemampuan. Keunggulan kompetitif timbul didasarkan pada kenyataan bahwa
perekonomian yang tidak mengalami distorsi sulit sekali ditemui di dunia nyata,
yang menyebabkan keunggulan komparatif tidak dapat digunakan untuk
mengukur daya saing suatu kegiatan ekonomi pada kondisi perekonomian aktual.
Keunggulan kompetitif bukan merupakan konsep yang sifatnya menggantikan
konsep keunggulan komparatif, tetapi merupakan konsep yang bersifatnya
melengkapi (Warr, 1994 dalam Hartati, 2001). Konsep keunggulan komparatif
7
dianggap menpunyai dua aplikasi yang berbeda yaitu; (1) Sebagai dasar untuk
menjelaskan pola spesialisasi internasional dalam produksi dan perdagangan, (2)
Sebagai petunjuk pemerintah dalam menentukan kebijaksanaan yang
berhubungan dengan sumber-sumber dan perdagangan. Dalam matrik PAM
keunggulan komparatif diterangkan melalui Domestic Resources Cost Ratio
(DRCR) yaitu merupakan rasio antara biaya input domestik dengan nilai.
Menurut Simatupang (2002), daya saing suatu usaha dalam hal ini dapat
didefinisikan sebagai kemampuan suatu usaha untuk tetap layak secara privat
(finansial) pada kondisi teknologi usahatani, lingkungan ekonomi dan kebijakan
pemerintah yang ada. Pada sistem perekonomian terbuka, daya saing untuk
komoditas perkebunan rakyat berarti kemampuan usaha komoditas perkebunan
rakyat domestik untuk tetap layak secara finansial pada kondisi harga input
maupun output tradable sesuai dengan harga paritas impornya.
Analisis terhadap daya saing produk agroindustri dapat digunakan sebagai
informasi awal untuk komoditas kopi. Penganalisisan dalam hal ini akan mencakup
estimasi nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Privat Cost Ratio).
Nilai DRCR digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas
pertanian suatu negara, sedangkan PCR merupakan indikator untuk mengukur
keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian suatu negara. Monke dan
Pearson (1995) mengemukakan bahwa untuk mengukur keunggulan kompetitif
dapat didekati dengan cara menghitung profitabilitas privat, sedangkan untuk
mengukur keunggulan komparatif dapat dilakukan dengan menghitung
profitabilitas sosial.
Menurut Hadi et al. (2002) bahwa DRCR menggambarkan daya saing pada
kondisi pasar yang efisien (tidak terdistorsi), sedangkan nilai PCR menggambarkan
daya saing pada kondisi pasar aktual. Kondisi pasar aktual bisa merupakan pasar
yang terdistorsi atau pasar yang efisien. Jika kondisi pasar aktual adalah efisien,
maka nilai DRCR dan PCR adalah kurang dari satu. Dalam kenyataannya, pasar
tidak dalam kondisi efisien. Pasar domestik dan pasar internasional masih
terdistortif yang ditandai oleh adanya kebijaksanaan protektif, misalnya adanya
pengenaan tarif impor oleh suatu negara sehingga barang dari negara lain sulit
masuk ke negara yang bersangkutan. Contoh lainnya adalah pemberian subsidi
8
domestik dan subsidi ekspor yang menyebabkan barang asal negara yang
bersangkutan sangat murah sehingga mudah masuk ke negara-negara lain.
Policy Analysis Matrix (PAM) digunakan untuk menganalisis secara
menyeluruh dan konsisten terhadap kebijakan mengenai penerimaan, biaya
usahatani, tingkat perbedaan pasar, sistem pertanian, investasi pertanian, dan
efisiensi ekonomi. Metode PAM mempunyai 3 tujuan utama, yaitu: (1)
Memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambilan kebijakan
pertanian dalam tiga isu sentral; (2) Menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah
usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga
efisien (social opportunity costs); dan (3) Menghitung transfer effects, sebagai
dampak dari sebuah kebijakan. Matrik PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas
tingkat keuntungan (profittability) dan identitas penyimpangan (divergences
identity). Identitas keuntungan ada dua yaitu keuntungan privat dan keuntungan
sosial. Keuntungan privat merupakan selisih antara penerimaan dan biaya yang
dihitung berdasarkan harga privat.
Perhitungan keuntungan privat dari data usahatani dan pengolahan hasil
dilakukan untuk mengukur daya saing. Keuntungan sosial sama dengan
keuntungan privat, perbedaannya hanya terletak pada dasar penggunaan harga
yaitu harga sosial atau ekonomi. Identitas penyimpangan timbul karena adanya
distorsi kebijakan atau kegagalan pasar (market failure), pasar dikatakan gagal
apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif yang dapat
mencerminkan social opportunity cost yang menciptakan alokasi sumberdaya
maupun produk yang efisien.
Beberapa analisis yang dapat dijelaskan berdasarkan Matrik PAM yang
disarikan dari Monke dan Pearson (1995) adalah :
(1) Kebijakan terhadap input.
Kebijakan pada input tradable dapat berupa pajak, subsidi, dan hambatan
perdagangan. Dampak kebijakan tersebut dapat dijelaskan melalui IT (Input
Transfer), NPCI (Nominal Protection On Input) dan TF (Transfer Faktor). Input
Transfer (IT) merupakan selisih antara biaya input tradable privat dengan biaya
input tradable sosial. Nilai IT menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan
pada input tradable privat dan sosial. Nilai IT negatif menunjukkan kebijakan
9
pemerintah memberikan subsidi pada input tradable, subsidi yang diberikan
pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih kecil
dibandingkan jika tanpa adanya kebijakan, hal sebaliknya akan terjadi jika IT
bernilai positif.
Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio biaya input tradable
berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial.
Perbedaan antara kedua biaya tersebut menunjukkan adanya proteksi pemerintah
yang mengakibatkan harga privat input tradable berbeda dengan harga sosial
input tradable. Nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input
tradable, jika NPCI > 1, berarti tidak ada kebijakan subsidi terhadap input
tradable. Kebijakan terhadap input non tradable dapat dilihat dari Transfer Faktor
(FT) adalah nilai perbedaan harga input non tradable privat dengan harga input
non tradable sosial yang diterima oleh produsen. Campur tangan pemerintah
terhadap input non tradable dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi atau pajak,
karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi didalam negeri,
sehingga intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak tampak.
Nilai FT > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada
produsen input non tradeable, hal sebaliknya akan terjadi jika FT < 0.
(2) Kebijakan terhadap output.
Kebijakan terhadap output akan menyebabkan harga bayangan barang,
jumlah barang, surplus konsumen dan surplus produsen berubah, hal ini dapat
dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (OT) dan Nominal Protection
Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output merupakan selisih antara
penerimaan privat (finansial) dengan penerimaan sosial (ekonomi).
Transfer Output (OT) menunjukkan kebijakan yang diterapkan pada output
mengakibatkan harga output privat dan harga output sosial berbeda. Nilai OT
positif menunjukkan besarnya insentif masyarakat atau konsumen harus membeli
dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima, sebaliknya
jika OT bernilai negatif maka besarnya insentif masyarakat atau konsumen harus
membeli dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima.
Koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah harga privat dibagi dengan
harga sosial yang dapat dibandingkan. NPCO dapat digunakan untuk mengukur
10
dampak insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan
nilai output yang diukur dengan harga privat dan harga sosial. Nilai NPCO < 1
menunjukkan bahwa akibat kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil dari
harga sosial sehingga dapat dikatakan bahwa produsen output memberikan
transfer kepada pemerintah.
(3) Kebijakan tehadap input-output
Dampak kebijakan secara keseluruhan terhadap input-output dilihat dari nilai
Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC),
dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Analisis EPC tidak memperhitungkan dampak
kebijakan yang mempengaruhi harga input non tradable, sedangkan NT, PC, dan
SRP memperhitungkan dampak kebijakan terhadap harga input tradable dan non
tradable. Koefisien Proteksi (EPC) adalah analisis gabungan koefisien proteksi
output (NPCO) dengan koefisien proteksi input nominal (NPCI). Nilai EPC
menggambarkan arah kebijakan pemerintah terhadap input tradable apakah
bersifat melindungi atau menghambat produksi secara efektif. Nilai EFC
merupakan rasio perbedaan antara penerimaan dan biaya input tradable dalam
harga privat dengan harga sosial. Rasio ini merupakan indikator pengaruh insentif
atau disinsentif dari kebijakan secara keseluruhan terhadap harga input atau
output tradable. Nilai EPC > 1 menunjukkan bahwa keuntungan privat lebih besar
daripada tanpa kebijakan, yang berarti kebijakan yang ada memberikan insentif
untuk berproduksi. Sedangkan EFC < 1 berarti kebijakan pemerintah menghambat
produksi.
Nilai Transfer Bersih (NT) dapat digunakan untuk melihat ketidakefisienan
dalam sistem pertanian. NT adalah selisih antara keuntungan bersih yang benar-
benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. Nilai NT juga
menggambarkan selisih antara transfer output dengan transfer input dan transfer
faktor. Jika nilai NT > 0 maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus
produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input
dan output. Jika nilai NT < 0 maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih
privat dengan keuntungan bersih sosial. Nilai PC < 1 menunjukkan kebijakan
pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil bila
11
dibandingkan tanpa ada kebijakan, artinya produsen harus mengeluarkan
sejumlah dana kepada masyarakat atau konsumen. Jika nilai PC < 1 maka yang
terjadi adalah sebaliknya. Rasio Subsidi Produsen (SRP) menunjukkan persentase
subsidi atau insentif bersih atas peneriman yang dihitung dengan biaya bayangan.
Nilai SRP negatif menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini
membuat produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besardari biaya imbangan
untuk berproduksi. Jika nilai SRP positif maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Menurut Monke dan Pearson (1995) ada tiga bahasan pokok yang dapat
dijelaskan melalui pendekatan PAM, yaitu;
1. PAM dapat digunakan untuk mengukur dampak kebijakan terhadap tingkat
persaingan pada berbagai tingkat keuntungan (finansial dan ekonomi),
pengaruh efisiensi ekonomi dan keunggulan komperatif terhadap kebijakan
investasi dan efek dari perubahan teknologi terhadap pengembangan
pertanian.
2. Efisiensi ekonomi atau keunggulan komparatif dalam investasi pertanian
berdasarkan kesesuaian atau keunggulan teknologi dan kondisi alam
(agroklimat). Berdasarkan keunggulan tersebut kebijakan penggunaan
sumberdaya alam layak atau tidak dikembangkan melalui investasi dalam
negeri atau luar negeri. Daya tarik investasi akan berdampak kepada
peningkatan efisiensi dan percepatan pertumbuhan pendapatan nasional.
3. PAM erat kaitannya dengan rangkaian persoalan atau masalah, dalam
pengalokasian dana penelitian atau riset dibidang pertanian. Dengan PAM
seorang peneliti dapat menentukan kebijakan utama terhadap peningkatan
produksi pertanian dan mengurangi biaya sosial atau peningkatan
keuntungan.
Tahapan yang digunakan dalam perhitungan analisis PAM adalah sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasikan input yang digunakan dan output yang dihasilkan
dalam kegiatan yang akan dianalisis (evaluation of input and output ).
2. Memisahkan seluruh biaya kegiatan tersebut ke dalam komponen domestik
dan asing atau tradable dan non tradable (disaggregating input cost into
domestic faktor and tradable input component).
12
3. Menentukan harga pasar dan menaksir harga bayangan input dan output
(estimating private and social prices).
2.2. Hasil-Hasil penelitian Sebelumnya
Desliana (2005) melakukan kajian analisis daya saing dan efisiensi
usahatani Padi Organik di Lampung. Penelitian tersebut mengkaji dampak
kebijakan padi organik terhadap usahatani Padi Organik dan mengetahui daya
saing dan efisiensi usahatani padi organik di Provinsi Lampung. Hasil kajian
menunjukkan bahwa dampak kebijakan yang diterapkan pada usahatani padi
organik menyebabkan timbulnya pajak, tingginya biaya input, dan tidak
memberikan insentif ekonomi bagi produsen. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa daya saing dan efisiensi tidak peka terhadap perubahan
harga output, biaya pupuk kandang, biaya tenaga kerja, dan biaya sewa lahan.
Selanjutnya Studi tentang daya saing usahatani jagung telah dilakukan
Simatupang (2002) yang menguraikan bahwa: (1) Usahatani Jagung Hibrida layak
secara sosial (ekonomi) dengan kisaran laba antara 747 ribu rupiah per hektar (di
lahan sawah Provinsi Lampung) sampai 1.9 juta rupiah per hektar (di lahan kering
Provinsi Sumatera Utara), (2) Rasio sumberdaya domestik (DRCR) komoditas
Jagung berkisar antara 0.58 (pada usahatani di lahan kering Provinsi Sumatera
Utara) sampai 0.82 (pada usahatani di lahan sawah Provinsi Lampung). Artinya
usahatani Jagung Hibrida memiliki keunggulan komparatif atau daya saing baik di
lahan sawah maupun di lahan kering atau tetap memiliki daya saing walaupun
pada era pasar bebas (tanpa campur tangan pemerintah dan tidak ada distorsi
pasar), dan (3) Titik impas sosial produktivitas bervariasi dari 3.9 ton/ha (pada
lahan kering di Sumatera Utara) dan 5.82 ton/ha (pada lahan sawah di Jawa
Timur), serta daya toleransi berkisar antara 13 persen (pada lahan sawah di Jawa
Timur) sampai 35 persen (pada lahan kering di Sumatera Utara).
Rosegrant, et al., (1987) telah melakukan studi keunggulan komparatif
dengan analisis DRC untuk komoditas tanaman pangan termasuk Jagung. Hasil
studi menyimpulkan bahwa usahatani Jagung memiliki keunggulan komparatif
dengan orientasi subtitusi impor dan perdagangan interregional (antar regional di
Indonesia), hal ini di tunjukkan oleh rata-rata nilai DRC masing-masing sebesar
0.81 dan 0.80. Selain itu, Ilham dan Rusastra (2009) mengelaborasi berbagai hasil
13
penelitian yang menyimpulkan bahwa selama hampir satu dekade (1986-2008)
nilai DRC dan PCR komoditas Jagung bervariasi menurut lokasi, agroekosistem,
dan musim. Besaran nilai DRC jagung berkisar antara 0.21 – 0.99 (DRC < 1), dan
nilai PCR berkisar antara 0.48 – 0.85 (PCR < 1). Hal ini berarti bahwa usahatani
Jagung di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
Hasil penelitian lainnya yaitu Swastika (2006), mengemukakan usahatani
Jagung Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif, karena rendahnya
efisiensi sebagai akibat dari kecilnya skala usaha dan terpencar di wilayah yang
luas. Kurangnya sarana-sarana pendukung menyebabkan agribisnis Jagung
Indonesia tidak berkembang. Pengadaan sarana produksi serta pengolahan dan
pemasaran hasil menjadi kendala utama. Namun, di beberapa sentra produksi
usahatani Jagung (terutama Hibrida) mempunyai keunggulan komparatif efisien
dan berkelanjutan. Tantangan yang masih dihadapi adalah bahwa penggunaan
Jagung Hibrida masih relatif rendah, karena selain benihnya mahal juga varietas
ini hanya baik untuk kondisi lahan subur dan memerlukan input tinggi, sehingga
tidak terjangkau oleh sebagian besar petani Jagung yang miskin sumberdaya.
Selanjutnya berdasarkan hasil kajian Firdaus (2007) dikemukakan bahwa: (1)
Usahatani Kedelai, baik yang ada di Jember maupun Banyuwangi Jawa Timur
secara privat efisien, tetapi usahatani Kedelai di Jember memiliki keuntungan
yang lebih tinggi daripada usahatani Kedelai di Banyuwangi. Sedangkan secara
sosial, usahatani Kedelai di Jember efisien, tetapi usahatani Kedelai di Banyuwangi
tidak efisien; (2) Usahatani Kedelai di Jember masih memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif (DRC = 0,9477 dan PCR =0,8733), sedangkan
usahatani Kedelai di Banyuwangi tidak memiliki keunggulan komparatif (DRC =
1,3731), tetapi memiliki keunggulan kompetitif (PCR = 0,9621); (3) Kebijakan
pemerintah memberikan dampak positif atau berpihak pada usahatani Kedelai baik
dari segi output dan input tradable, hal ini ditunjukkan dengan nilai NPCO, EPC
dan PC lebih besar dari satu; NPCI kurang dari satu dan NPT dan SRP positif; (4)
Skenario perubahan harga input berupa penurunan harga input tradable sebesar
5%, kenaikan harga input tradable sebesar 10% dan penentuan batas maksimum
kenaikan input tradable. Selain itu, ditentukan pula batas maksimum penurunan
harga kedelai dan batas maksimum penurunan produksi Kedelai; (5) Perubahan
14
kebijakan dengan menurunkan harga input tradable 5% mengakibatkan
peningkatan keunggulan kompetitif dari usahatani kedelai di Jember dan
Banyuwangi.
15
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Teoritis
Daya saing didefinisikan sebagai “the sustained ability to profitability gain
and maintained market share” (Martin, Westgren and van Duren, 1991 dalam
Rahman et al., 2002). Jelas bahwa usaha suatu komoditas mempunyai daya saing
jika ia mampu mempertahankan profitabilitasnya dan pangsa pasarnya. Faktor
pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, input dan biaya, struktur
industri dan kondisi permintaan.
Menurut Simatupang (2002), daya saing suatu usaha dalam hal ini dapat
didefinisikan sebagai kemampuan suatu usaha untuk tetap layak secara privat
(finansial) pada kondisi teknologi usahatani, lingkungan ekonomi dan kebijakan
pemerintah yang ada. Pada sistem perekonomian terbuka, daya saing untuk
komoditas perkebunan rakyat berarti kemampuan usaha komoditas perkebunan
rakyat domestik untuk tetap layak secara finansial pada kondisi harga input
maupun output tradable sesuai dengan harga paritas impornya.
Analisis terhadap daya saing komoditas pangan strategis dapat digunakan
sebagai informasi untuk pengembangan komoditas tersebut. Penganalisisan dalam
hal ini akan mencakup estimasi nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan
PCR (Privat Cost Ratio). Nilai DRCR digunakan untuk mengukur keunggulan
komparatif suatu komoditas pertanian suatu negara, sedangkan PCR merupakan
indikator untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian suatu
negara. Monke dan Pearson (1995) mengemukakan bahwa untuk mengukur
keunggulan kompetitif dapat didekati dengan cara menghitung profitabilitas privat,
sedangkan untuk mengukur keunggulan komparatif dapat dilakukan dengan
menghitung profitabilitas sosial.
Menurut Hadi et al. (2002) bahwa DRCR menggambarkan daya saing pada
kondisi pasar yang efisien (tidak terdistorsi), sedangkan nilai PCR menggambarkan
daya saing pada kondisi pasar aktual. Kondisi pasar aktual bisa merupakan pasar
yang terdistorsi atau pasar yang efisien. Jika kondisi pasar aktual adalah efisien,
maka nilai DRCR dan PCR adalah kurang dari satu.
16
Dalam kenyataannya, pasar tidak dalam kondisi efisien. Pasar domestik dan
pasar internasional masih terdistortif yang ditandai oleh adanya kebijaksanaan
protektif, misalnya adanya pengenaan tarif impor oleh suatu negara sehingga
barang dari negara lain sulit masuk ke negara yang bersangkutan. Contoh lainnya
adalah pemberian subsidi domestik dan subsidi ekspor yang menyebabkan barang
asal negara yang bersangkutan sangat murah sehingga mudah masuk ke negara-
negara lain.
Dalam kondisi pasar terdistortif, analisis keunggulan kompetitif akan
memberikan gambaran tentang keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian
dari suatu negara. Private Cost Ratio (PCR) berdasarkan kondisi pasar yang ada
dapat digunakan sebagai salah satu indikator keunggulan kompetitif suatu
komoditas pertanian dari negara tertentu. Keunggulan kompetitif dalam arti luas
tidak hanya ditentukan oleh rendahnya biaya per satuan hasil, tetapi juga oleh
kualitas komoditas yang menyangkut aspek rasa, ukuran, warna, bentuk,
kemudahan untuk digunakan, kesehatan, keamanan dan daya simpan.
Keunggulan komparatif merupakan indikator sangat baik untuk mengukur
daya saing komoditas pertanian dari suatu negara jika pasar dalam kondisi efisien,
yaitu pasar tanpa distorsi. Dari analisis keunggulan komparatif dapat diperoleh
informasi lainnya yang sangat berguna bagi penentuan kebijaksanaan pemerintah,
yaitu simpul-simpul atau subsistem-subsistem mana dalam sistem agribisnis yang
masih dalam kondisi tidak efisien, sehingga dapat ditetapkan langkah-langkah
menuju proses produksi, pengolahan dan pemasaran yang lebih efisien
Keunggulan komparatif suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor,
terutama yang membentuk biaya produksi per satuan hasil, yaitu: Pertama,
struktur biaya, yaitu perimbangan antara biaya input domestik dan biaya input
asing. Makin besar pangsa biaya tersebut, berarti makin rendah keunggulan
komparatif komoditas yang bersangkutan. Kedua, besaran biaya produksi per
satuan hasil. Makin besar biaya ini, berarti harga komoditas yang bersangkutan
harus dijual makin mahal (agar produsen tidak rugi), sehingga keunggulan
komparatifnya makin rendah. Untuk memperkecilnya harus dilakukan upaya
peningkatan efisiensi biaya produksi di segala bidang, mulai dari produksi bahan
mentah, pengolahan hingga pemasaran (dalam dan luar negeri).
17
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Lingkup kajian ini adalah analisis daya saing untuk beberapa komoditas
pangan strategis yaitu: Padi, Jagung dan Kedelai. Metode analisis yang digunakan
adalah analisis dengan menggunakan Matrik Analisis Kebijakan (PAM), khususnya
untuk indikator: DRC, PCR, NPCI, NPCO dan EPC. Data yang digunakan bersumber
dari data Struktur Ongkos Usahatani Padi, Jagung, Kedelai dari BPS tahun
2011/2012. Selanjutnya dilakukan penyesuaian harga-harga output dan input
usahatani menggunakan data tahun 2013/2014. Selain data BPS, juga akan
dilakukan pendalaman data-data produksi di Provinsi Jawa Barat sebagai salah
satu sentra produksi pangan nasional.
3.3. Data, Lokasi dan Sampel Penelitian
Data yang digunakan pada kajian ini bersumber dari data Struktur Ongkos
Usahatani Padi, Jagung, Kedelai dan Tebu dari BPS tahun 2011/2012. Selanjutnya
dilakukan penyesuaian harga-harga output dan input usahatani menggunakan
data tahun 2013.
Selain data BPS, Selain data BPS, juga dilakukan pendalaman data-data
produksi di Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi pangan
nasional. Kabupaten yang dipilih sebagai sampel kajian adalah Kabupaten Garut,
Bandung dan Cianjur. Pada Kabupaten tersebut diharapkan dapat memperoleh
gambaran perkembangan komoditas Padi, Jagung dan Kedelai di Jawa Barat.
3.4. Analisis data
Untuk mengetahui sejauh mana keunggulan komparatif dan kompetitif
komoditas pangan strategis dilakukan pendekatan analisis penggunaan
sumberdaya domestik dan input tradabel. Metode analisis yang digunakan adalah
Matrik Analisis Kebijakan (PAM). Model matriks analisis kebijakan (PAM) yang
dikembangkan oleh Monke and Person (1995) merupakan sebuah model matriks
yang selain dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif tetapi juga
dapat mengukur intervensi pemerintah serta dampaknya terhadap sistem
agribisnis komoditas secara sistematis dan menyeluruh.
Hasil analisis PAM menginformasikan bahwa keunggulan kompetitif dan
komparatif serta dampak kebijakan terhadap usahatani jagung. Dalam PAM
terdapat asumsi bahwa suatu kegiatan ekonomi dapat dipandang sebagai sisi
18
privat dan sisi sosial. Kenyataannya pelaksanaan asumsi pertama merupakan
analisis finansial dimana keuntungan dilihat dari pihak yang terlibat dalam aktivitas
tersebut. Asumsi kedua merupakan analisis ekonomi, yaitu analisis yang dilihat
dari masyarakat secara keseluruhan baik yang terlibat dalam aktivitas ekonomi
maupun yang tidak.
Dengan kedua asumsi diatas maka dalam analisis PAM terdapat perbedaan
perlakuan terhadap input dan output serta harga yang digunakan dari suatu
kegiatan ekonomi. Analisis finansial mengunakan harga privat, yaitu harga yang
diterima/dibayar oleh pelaksana ekonomi setelah ada kebijakan pemerintah atau
distorsi pasar. Dalam analisis ekonomi digunakan harga bayangan, yaitu harga
yang terbentuk sebagai akibat mekanisme pasar dalam pasar persaingan
sempurna.
Tahapan dalam mengunakan metode PAM adalah: (1) Identifikasi input
secara lengkap dari usahatani Jagung, (2) Menentukan harga bayangan (shadow
price) dari input dan output usahatani Jagung, (3) Memilah biaya kedalam
kelompok tradabel dan domestik, (4) Menghitung penerimaan dari usahatani
Jagung, dan (5) Menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa
dihasilkan oleh PAM.
Pada analisis ini hanya 2 indikator yang akan dihitung yaitu DRCR (Domestic
Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio). Rasio Biaya Sumberdaya
Domestik (DRCR) merupakan perbandingan antara biaya ekonomi faktor domestik
dengan nilai tambah dalam harga ekonomi. DRC pada keuntungan ekonomi
sedangkan PCR pada keuntungan finansial. Rasio DRC merupakan indikator daya
saing ekonomi atau ukuran keunggulan komparatif. Meminimumkan DRC berarti
memaksimumkan keuntungan ekonomi. Sementara Rasio Biaya Finansial (PCR)
merupakan ukuran efisiensi atau daya saing dalam nilai finansial, atau juga dapat
dikatakan sebagai ukuran keunggulan kompetitif dari sisi harga privat. PCR ini
merupakan rasio antara biaya finansial faktor domestik dengan nilai tambah dalam
harga finansial. Nilai tambah adalah perbedaan antara nilai output dengan biaya
input-input tradabel. Hal ini menunjukan seberapa besar sistem ini dapat berusaha
untuk membayar faktor-faktor domestik dan masih tetap bersaing. Seorang
pengusaha untuk meminimumkan PCR dengan menekan biaya faktor domestik
19
dan input tradabel atau memaksimumkan nilai tambah sehingga keuntungan yang
akan diperoleh maksimum.
Menurut Rosegrant et al., (1987) bahwa analisis keunggulan komparatif
dengan indikator DRC pada komoditas pertanian dapat dikerjakan pada berbagai
level regional. Analisis komparatif regional mengasumsikan 3 rejim dasar
perdagangan regional yaitu: substitusi impor, perdagangan interregional, dan
promosi ekspor. Dalam penelitian ini, untuk komoditas Jagung karena dalam
rangka pemenuhan kebutuhannya masih cukup dominan melakukan impor maka
analisis akan difokuskan pada analisis sebagai substitusi impor.
Terdapat dua pendekatan untuk mengalokasikan biaya dalam analisis PAM
yaitu pendekatan total dan pendekatan langsung. Pendekatan total diasumsikan
bahwa setiap biaya input yang diperdagangkan (tradable) produksi domestik
terdiri dari kelompok biaya domestik dan asing. Pendekatan ini untuk mengetahui
dampak suatu kebijakan. Pendekatan langsung adalah bahwa seluruh biaya input
tradabel baik yang di impor maupun produksi domestik dinilai sebagai kelompok
biaya asing. Pendekatan ini dipakai bila tambahan input tradabel baik impor
maupun produksi domestik dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.
Untuk harga bayangan nilai tukar uang dalam penelitian ini adalah harga
nilai tukar uang yang berlaku saat ini. Hal ini mengingat nilai tukar yang ada saat
ini bersifat mengambang sesuia perubahan ekonomi yang terjadi. Alokasi biaya
usahatani dipilah atas komponen domestik dan tradable. Setelah pengalokasian
biaya input dan output kedalam kelompok tradable dan domestik, baik secara
finansial maupun ekonomi, maka tahap pertama menghitung tingkat keuntungan,
berdasarkan atas biaya input dan harga output. Data pada matrik PAM merupakan
dasar untuk menganalisis keuntungan dan dampak atas kebijakan pemerintah.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode PAM (Policy
Analysis Matrix) yang telah kembangkan oleh Monke dan Pearson sejak tahun
1987 dengan pendekatan keunggulan kompetitif dan komparatif model PAM.
Secara sistematis struktur PAM dapat dilihat pada Tabel 1.
20
Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM)
Uraian (description)
Pendapatan
(Revenue) Rupiah
Biaya (Costs) Rupiah Keuntungan
(Profit) Rupiah
Yang dapat diperdagangkan
(Tradable)
Domestik (domestic)
Private A B C D
Sosial E F G H
Divergence I J K L
Sumber: Monke dan Pearson (1995).
Dimana:
A = penerimaan individu yaitu jumlah produksi dikalikan harga pasar (Rp)
B = biaya input yang dapat diperdagangkan dikalikan harga pasar (Rp)
C = biaya dari input faktor domestik dikalikan harga pasar (Rp)
D = pendapatan individu = A-(B+C) (Rp)
E = penerimaan sosial yaitu jumlah produksi dikalikan harga sosial (Rp)
F = input yang dapat diperdagangkan dikali harga sosial (Rp)
G = input faktor domestik dikalikan harga sosial (Rp)
H = pendapatan sosial = E-(F+G) (Rp)
Baris pertama matriks PAM adalah perhitungan menggunakan harga privat
atau harga yang benar-benar diterima atau dibayarkan oleh petani. Data harga
privat diperoleh melalui wawancara terhadap pelaku usahatani pangan. Baris
kedua merupakan perhitungan berdasarkan harga sosial yaitu nilai ekonomi yang
sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya ataupun hasil, dengan kata lain harga sosial
adalah harga yang berlaku pada kondisi pasar persaingan sempurna. Data harga
sosial diperoleh dari literatur-literatur yang menunjang dan data sekunder yang
bersumber dari BPS.
Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial.
Keuntungan privat (KP) menunjukan selisih antara penerimaan dengan biaya yang
sesungguhnya diterima atau dibayarkan petani. Nilai KP > 0 berarti secara
finansial menguntungkan, yaitu kondisi adanya kebijakan pemerintah atau
komoditi menguntungkan untuk diusahakan. Jika nilai KP ≤ 0 maka yang terjadi
adalah sebaliknya, yaitu kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi
adanya intervensi pemerintah terhadap input dan output.
21
Keuntungan sosial (KS) menunjukkan selisih antara penerimaan dengan
biaya yang dihitung dengan harga sosial. Jika nilai KS > 0 maka secara ekonomi,
yaitu pada kondisi pasar persaingan sempurna, kegiatan pengusahaan komoditi
dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau komoditi tersebut memiliki
keunggulan komparatif, dan jika nilai KS ≤ 0 nol maka kegiatan usaha tidak
menguntungkan secara ekonomi atau pada kondisi pasar persaingan sempurna.
Untuk mengevaluasi daya saing usahatani Padi, Jagung dan Kedelai juga
menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis usahatani dilakukan
untuk mengetahui tingkat keuntungan dan pengembalian yang diperoleh petani
terhadap input dan output usahatani Padi, Jagung dan Kedelai nasional. Analisis
data menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) dilakukan untuk mengevaluasi
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif usahatani Padi, Jagung dan
Kedelai nasional dengan melihat harga privat dan harga sosial yang ada.
Pada baris ketiga tabel PAM merupakan selisih dari harga privat dan harga
sosial sebagai akibat dari kebijakan. Selanjutnya akan dihitung keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif dari usahatani Padi, Jagung dan Kedelai
dengan menghitung rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources
Cost Ratio (DRCR) dan Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR).
DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan
jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan suatu unit
devisa. Sementara Private cost ratio (PCR) merupakan indikator profitabilitas
privat yang menunjukkan kemampuan sistem komoditi untuk membayar biaya
sumberdaya domestik dan tetap kompetitif. Suatu komoditas dapat dikatakan
memiliki keunggulan komparatif jika memiliki nilai DRCR < 1 dan memiliki
keunggulan kompetitif jika memiliki nilai PCR < 1. Rumus DRCR, PCR dan
indikator lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.
22
Tabel 2. Rumus DRCR, PCR dan Indikator Lainnya Sesuai Matrik PAM.
Kriteria (criteria) Rumus
Rasio biaya sumerdaya domestik (Domestic Resource Cost Ratio)
DRCR G/(E-F)
Rasio biaya privat (Private Cost Ratio) PCR C/(A-B)
Transfer output (Output Transfer) OT A-E
Transfer input (Input Transfer) IT B-F
Transfer bersih (Net Transfer) NT D-H
Koefisien proteksi output nominal
(Nominal Protection Coefficient on Output) NPCO
A/E
Koefisien proteksi input nominal
(Nominal Protection Coefficient on Input) NPCI
B/F
Koefisien proteksi efektif (Effective Protection Coefficient)
EPC (A-B)/(E-F)
Koefisien keuntungan (Profitabillity Coefficient) PC D/H
Rasio subsidi (Subsidy Ratio to Producer) SRP L/E
Setelah dilakukan analisis nilai keunggulan komparatif (DRC) dan kompetitif
(PCR) dari matrik PAM dilakukan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk melihat
bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam
perhitungan biaya. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur
atau mengkombinasikan unsur-unsur serta menentukan pengaruh dari perubahan
tersebut pada hasil analisis semula.
Analisis sensitivitas pada penelitian ini terutama dilakukan pada usahatani
Padi, Jagung, Kedelai dan Tebu terkait perubahan produktivitas dan harga output
terhadap keunggulan komparatif dan kempetitif komoditas pangan strategis
tersebut (Padi, Jagung, dan Kedelai).
3.5. Analisis Risiko dan Solusinya
Pelaksanaan penelitian ini diduga akan mengalami hambatan yang menjadi
risiko kegiatan. Tabel berikut menunjukkan beberapa risiko yang diperkirakan
dialami dalam penelitian ini, namun upaya penanggulangannya akan ditempuh
melalui berbagai cara. Akses terhadap data dan informasi kemungkinan akan
menjadi masalah utama yang akan berdampak pada keterbatasan analisis. Cara
23
penanggulangan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan
mengintensifkan menggali sumber data dan informasi dengan pihak-pihak terkait.
Tabel 3. Daftar Risiko dan Penanggulangannya
No. Risiko Penyebab Dampak Penanggulangan
1. Akses untuk
konsultasi dan
akses terhadap
sumber data
(sekunder)
Instansi diluar
Kementan: BPS
Keterbatasan
akses dan
kehilangan waktu
Berupaya secara
intensif
memperoleh data
BPS dan berbagai
instansi terkait
penelitian lainnya
2. Kelengkapan data Struktur Ongkos
Usahatani BPS
Tidak terdoku-
mentasi atau
tidak dapat
diakses karena
berbagai kendala
Analisis tidak
lengkap
Mengindentifikasi
data yang
dibutuhkan dan
mengusahakan
ketersediaannya
3. Cakupan kajian Keterbatasan
waktu
Cakupan analisis
terbatas pada
komoditas
tanaman pangan
(Padi, Jagung
dan Kedelai)
Fokus kepada data
komoditas
tanaman pangan
strategis nasional.
Pendalaman di
Jawa Barat.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis Nasional Padi/Beras
Perkembangan luas panen padi di Indonesia pada periode 10 tahun terakhir
(2004-2013) cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata 1,89 %/tahun
yaitu dari 11,92 juta ha pada tahun 2004 menjadi 13,84 juta ha pada tahun 2013.
Seiring dengan peningkatan luas panen, produksi padi nasional meningkat sebesar
3,43 %/tahun, yaitu dari 54,09 juta ton tahun 2004 menjadi 71,28 juta ton tahun
2013. Sementara produktivitasnya meningkat sebesar 1,54 %/tahun yaitu dari
4,54 ton/ha tahun 2004 menjadi 5,15 ton/ha tahun 2013 (Tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia,
2004 – 2013.
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton)
2004 11.922.974 4,54 54.088.468
2005 11.839.060 4,57 54.151.097
2006 11.786.430 4,62 54.454.937
2007 12.147.637 4,71 57.157.436
2008 12.309.155 4,89 60.251.072
2009 12.883.576 5,00 64.398.890
2010 13.253.450 5,02 66.469.394
2011 13.201.316 4,98 65.740.946
2012 13.445.524 5,14 69.056.126
2013 13.835.253 5,15 71.279.709
(r %/thn) 1,89 1,54 3,43 Sumber: BPS (2004-2014).
Terdapatnya peningkatan areal panen dan produksi padi nasional seiring
dengan dicanangkannya program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional).
Dengan adanya program P2BN telah memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap peningkatan produksi padi nasional. Namun demikian, tambahan
peningkatan luas panen padi cenderung semakin mengecil akibat adanya
perubahan pola tanam dari tanaman padi ke komoditas lain, konversi lahan, dan
anomali iklim yang dapat berupa kekeringan atau kebanjiran. Data ini
menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi lebih besar dipengaruhi oleh
peningkatan produktivitas.
25
Jagung
Untuk komoditas Jagung, selama kurun waktu 2004-2013 produksi
meningkat cukup pesat, yaitu sekitar 6,32%, yang dihasilkan dari peningkatan
produktivitas sebesar 4,61% dan luas panen sekitar 1,71%. Sama halnya dengan
Padi, pada kasus Jagung juga peran peningkatan produktivitas terhadap produksi
cukup signifikan. Peningkatan produktivitas yang relatif tinggi salah satunya
disebabkan oleh pemanfaatan benih Jagung Hibrida unggul bermutu yang cukup
meluas (lebih dari 60%) dari total luas pertanaman dan harga yang
menguntungkan petani. Pada tahun 2013 produksi jagung sebesar 18,51 juta ton,
dengan luas panen 3,82 juta ha dan tingkat produktivitas 4,84 ton/ha (Tabel 5).
Dengan demikian, selama periode tersebut peningkatan produksi jagung nasional
lebih dominan terdorong oleh peningkatan produktivitas melalui penggunaan
benih Jagung Hibrida dan penerapan teknologi usaha tani Jagung yang lebih baik.
Peningkatan produksi Jagung selama periode tersebut dapat dipahami mengingat
introduksi benih Jagung Hibrida telah berjalan sejak tahun 1985 yang menjadi
pendorong peningkatan produksi Jagung nasional.
Meskipun trend peningkatan Jagung cukup tinggi, akan tetapi produksi
Jagung nasional saat ini masih belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan
Jagung nasional. Untuk itu, produksi Jagung domestik terus ditingkatkan dengan
berbagai kebijakan yang dilakukan. Dalam rangka meningkatkan produksi Jagung
nasional telah dikembangkan teknologi produksi Jagung Hibrida. Namun realisasi
pengembangan Jagung Hibrida sampai tahun 2009 baru mencapai 50 persen.
Menurut Rusastra dan Kasryno (2007) bahwa keengganan petani untuk
memanfaatkan teknologi produksi Jagung Hibrida ini disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain: (1) Harga benih Jagung Hibrida mahal dan hanya dapat ditanam
sekali, (2) Kebutuhan pupuk lebih banyak, sehingga biaya produksinya menjadi
tinggi, (3) Umurnya lebih panjang, (4) Menghendaki lahan yang relatif subur, (5)
Lemahnya permodalan petani sehingga tidak tersedia modal yang cukup untuk
membeli benih, pupuk dan obat-obatan yang dibutuhkan, (6) Sering terlambatnya
suplai benih sehingga tidak tepat waktu tanamnya, dan (7) Kurangnya
rangsangan produksi yang diberikan oleh pasar kepada petani Jagung. Akibatnya
produksi Jagung yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
26
Tabel 5. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di
Indonesia, 2004 – 2013.
Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton)
2004 3.356.914 3,34 11.225.243
2005 3.625.987 3,45 12.523.894
2006 3.345.805 3,47 11.609.463
2007 3.630.324 3,66 13.287.527
2008 4.003.313 4,08 16.323.922
2009 4.160.659 4,24 17.629.740
2010 4.131.676 4,44 18.327.636
2011 3.861.433 4,57 17.629.033
2012 3.957.595 4,90 19.387.022
2013 3.821.504 4,84 18.511.853
(r %/thn) 1,71 4,61 6,32 Sumber: BPS (2004-2013).
Kedelai
Untuk Kedelai, perkembangan luas panen selama kurun waktu 2004-2013
mengalami fuktuasi yang tinggi, namun masih mempunyai tren yang meningkat
sekitar 0,43%/tahun. Sampai tahun 2009 tren luas panen menunjukkan
peningkatan. Luas panen Kedelai pada tahun 2004 sebesar 565 ribu ha, pada
tahun 2009 menjadi 723 ribu ha. Sejak 2009 berlanjut sampai lima tahun
kemudian (2013) luas panen menurun, dan menjadi 551 ribu ha tahun 2013.
Produktivitas Kedelai dalam periode 10 tahun terakhir meningkat dari 1,28 ton/ha
menjadi 1,42 ton/ha, atau naik 1,44%/tahun. Mengikuti pola luas panen, produksi
Kedelai meningkat sampai tahun 2009, kemudian menurun lagi sesudahnya,
menjadi 780 ribu ton pada tahun 2013, atau rata-rata pertumbuhan produksi
sebesar 1,87%/tahun (Tabel 6). Terjadinya dinamika luas panen Kedelai yang
fluktuatif berkaitan dengan adanya kompetisi pemanfaatan lahan, terutama pada
lahan kering dengan komoditas Jagung, yang memberikan keuntungan usahatani
yang jauh lebih baik. Harga Kedelai yang selalu berfluktuasi sering menjadi
pertimbangan petani untuk beralih dari tanaman Kedelai ke tanaman lainnya yang
lebih menguntungkan.
Berbagai hasil penelitian lapangan menunjukan bahwa luas panen Kedelai
seringkali berfluktuasi disebabkan karena kompetisi pertanaman terutama pada
lahan kering dengan komoditas lainnya seperti dengan Jagung. Harga Kedelai
27
yang selalu berfluktuasi sering menjadi pertimbangan petani untuk beralih dari
tanaman Kedelai ke tanaman lainnya yang lebih menguntungkan.
Tabel 6. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai di Indonesia, 2004 – 2013.
Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton)
2004 565.155 1,28 723.483
2005 621.541 1,30 808.353
2006 580.534 1,29 747.611
2007 459.116 1,29 592.634
2008 591.899 1,31 776.491
2009 722.791 1,35 974.512
2010 660.823 1,37 907.031
2011 620.928 1,36 843.838
2012 567.624 1,50 843.153
2013 550.793 1,42 779.992
(r %/thn) 0,43 1,44 1,87 Sumber : Data BPS, 2004-2013
4.2. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Pangan
Strategis
Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk
mempelajari kelayakan usaha tani tamanan pangan Padi, Jagung, dan Kedelai.
Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang petani
sebagai pemilik. Hasil analisis finansial sering juga disebut private returns. Adapun
analisis ekonomi adalah analisis usahatani yang melihat dari sudut perekonomian
secara keseluruhan. Hasil analisis ekonomi disebut the social returns atau the
economic returns, berarti keuntungan ekonomi yang dilihat dari sudut
kepentingan makro. Pada analisis finansial harga aktual yang terjadi di pasar
digunakan sebagai nilai variabel analisis, sedangkan pada analisis ekonomi
digunakan harga sosial yang dihitung berdasarkan harga paritas ekspor. Harga
sosial tersebut merupakan harga yang sudah tidak ada lagi pengaruh intervensi
pemerintah (seperti subsidi atau bantuan langsung) dan pengaruh struktur pasar
tidak bersaing sempurna (monopoli, monopsoni dan lain-lain). Artinya, harga
sosial dapat dinilai sebagai pencerminan dari tingkat harga yang terjadi di pasar
persaingan sempurna atau mendekati harga dunia, dan hanya dibedakan oleh
biaya transportasi dari/ke lokasi usahatani.
28
4.2.1. Usahatani Padi
Hasil analisis finansial menunjukkan penerimaan dan biaya usaha tani Padi
masing-masing sebesar Rp. 30,80 juta/ha dan Rp. 12,64 juta/ha, dengan nilai
keuntungan sebesar Rp. 18,16 juta/ha atau nilai R/C sebesar 2,43. Hasil analisis
ekonomi memperlihatkan penerimaan dan biaya usaha tani Padi per hektar per
tahun masing-masing sebesar Rp. 19,51 juta/ha dan Rp. 13,49 juta/ha dengan
tingkat keuntungan sebesar Rp. 6,01 juta/ha atau nilai R/C sebesar 1,45 (Tabel
7). Hasil dari kedua hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan
usaha tani Padi baik pada tingkat usahatani maupun secara nasional cukup layak
untuk diusahakan.
Tabel 7. Analisis Finansial (Privat) dan Ekonomi (Social) Usahatani Padi di Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.
Provinsi
Penerimaan (Rp. 000/ha/thn)
Biaya (Rp. 000/ha/thn)
Keuntungan (Rp. 000/ha/thn)
Private Sosial Private Sosial Private Sosial 1. NAD 21.991 17.189 13.136 13.783 8.855 3.406
2. Sumatera Utara 26.957 18.809 13.718 14.248 13.239 4.562
3. Sumatera Barat 29.133 18.453 11.618 12.057 17.515 6.396
4. Lampung 23.414 19.114 9.907 11.020 13.507 8.094
5. Jawa Barat 35.276 22.344 13.785 14.899 21.491 7.445
6. Jawa Tengah 29.468 20.819 13.764 14.989 15.704 5.830
7. Jawa Timur 29.469 22.094 13.365 14.671 16.103 7.423
8. NTB 29.812 18.883 12.187 12.913 17.625 5.970
9. Sulawesi Selatan 29.974 18.986 11.821 12.493 18.154 6.493
Indonesia 30.798 19.507 12.637 13.493 18.161 6.014 Sumber: Data BPS (2011/2012, diolah).
Analisis pada tingkat provinsi sentra produksi Padi menunjukkan perolehan
nilai keuntungan finansial per tahun usaha tani Padi tertinggi terdapat di Jawa
Barat (Rp. 13,61 juta/ha), kemudian diikuti oleh Jawa Tengah (Rp 5,09 juta/ha)
dan NTB (Rp. 3,98 juta/ha). Nilai keuntungan usahatani yang cukup tinggi dan
motivasi untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi
faktor pendorong bagi petani untuk terus meningkatkan usaha taninya. Selain itu,
ketersediaan infrastruktur irigasi sebagai sumber pengairan utama usaha tani dan
kemampuan menerapkan teknologi usahatani yang baik juga menjadi faktor yang
mendorong peningkatan usahatani Padi. Gambaran yang sama diperoleh dari
analisis ekonomi, yaitu keuntungan secara sosial tertinggi juga terdapat di Jawa
29
Barat (Rp. 17,13 juta/ha), kemudian diikuti oleh NTB (Rp. 13,40 juta/ha) dan
Jawa Tengah (11,25 juta/ha).
4.2.2. Usahatani Jagung
Secara finansial usaha tani Jagung di Indonesia menguntungkan, hal ini
dicirikan oleh tingkat keuntungan finansial per tahun sebesar Rp. 6,7 juta/ha,
dengan tingkat penerimaan sebesar Rp. 15,9 juta/ha dan total biaya sebesar Rp.
9,2 juta/ha. Berdasarkan kinerja tersebut, nilai R/C usaha tani Jagung tingkat
nasional sekitar 1,73. Sementara itu, berdasarkan analisis ekonomi, usaha tani
Jagung di Indonesia diketahui lebih menguntungkan dari nilai finansialnya. Secara
ekonomi, usaha tani Jagung memberikan keuntungannya sebesar Rp. 8,7 juta/ha,
dengan penerimaan sebesar Rp. 18,2 juta/ha dan biaya sebesar Rp. 9,6 juta/ha,
yang berarti R/C rasio mencapai 1,90 (Tabel 8).
Hasil analisis pada masing-masing provinsi sentra produksi Jagung,
diketahui keuntungan finansial per tahun yang paling tinggi terdapat di Provinsi
Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan tingkat keuntungan masing-masing adalah
Rp. 13,6 juta/ha dan Rp. 5,1 juta/ha. Sementara pada provinsi lain seperti
Lampung, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan berkisar antara Rp. 3,0 – Rp. 3,9
juta/ha. Di Sulawesi Utara tingkat keuntungan sangat rendah yaitu hanya Rp. 343
ribu/ha bahkan di Sumatera Utara rugi (negatif) sebesar Rp. 657 ribu/ha. Hal yang
menarik adalah di Jawa Timur yang merupakan sentra produksi jagung yang
relatif besar ternyata tingkat keuntungan fianansialnya lebih rendah dibandingkan
dengan provinsi sentra produksi lainnya, yakni hanya Rp. 2,3 juta/ha. Hal ini
disebabkan oleh harga Jagung yang rendah di saat panen raya yang melimpah,
sedangkan di petani Sumatera Utara dan Sulawesi Utara juga menghadapi
rendahnya harga Jagung yang disebabkan oleh kondisi infrastruktur usaha tani
dan pemasaran dari sentra produksi yang kurang baik, yang menyebabkan biaya
angkut relatif tinggi.
Kondisi yang sama, kecenderungan tingkat keuntungan ekonomi pada
semua provinsi sentra produksi jagung lebih tinggi dan lebih menguntungkan
dibanding dengan keuntungan pada analisis finansial. Keuntungan ekonomi
Jagung yang paling rendah adalah di NTT yaitu Rp. 3 juta /ha, sedangkan pada
provinsi lain berkisar antara Rp. 4 juta – Rp. 17,3 juta/ha.
30
Tabel 8. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di Indonesia dan di
Beberapa Sentra Produksi, 2014
No. Provinsi
Penerimaan
(Rp. 000/ha/thn)
Biaya
(Rp. 000/ha/thn)
Keuntungan
(Rp. 000/ha/thn)
Private Sosial Private Sosial Private Sosial
1. Sumatera Utara 11.495 17.753 12.153 12.938 -657 4.816
2. Lampung 12.445 19.331 8.828 9.700 3.617 9.631
3. Jawa Barat 23.649 27.362 10.037 10.231 13.612 17.131
4. Jawa Tengah 14.894 21.250 9.807 10.004 5.088 11.246
5. Jawa Timur 11.069 18.308 8.793 9.095 2.277 9.213
6. Nusa Tenggara
Barat
11.751 21.565 7.770 8.165 3.980 13.400
7. Nusa Tenggara Timur
10.175 10.004 7.051 7.054 3.125 2.949
8. Sulawesi Utara 10.201 13.907 9.858 10.105 343 3.802
9. Sulawesi Selatan 10.552 17.339 7.458 7.834 3.094 9.505
Indonesia 15.865 18.240 9.203 9.566 6.662 8.674 Sumber : Data BPS (diolah)
4.2.3. Usahatani Kedelai
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa penerimaan dan biaya usaha
tani Kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,95 juta/ha dan Rp. 10,20
juta/ha dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 750 ribu/ha dan nilai R/C sebesar
1,05. Sementara itu, dari analisis ekonomi diperoleh informasi penerimaan dan
biaya usahatani Kedelai per tahun masing-masing sebesar Rp. 10,38 juta/ha dan
Rp. 10,20 juta/ha dengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 177 ribu/ha dan nilai
R/C sebesar 1,02 (Tabel 9). Dari kedua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa
kegiatan usaha tani Kedelai pada saat ini masih layak diusahakan, namun tidak
memberikan keuntungan atau pendapatan bersih yang setimpal dengan upaya
petani.
Dengan mengacu pada analisis finansial usaha tani di beberapa provinsi
sentra produksi Kedelai, diperoleh informasi bahwa keuntungan finansial usaha
tani Kedelai paling tinggi diterima petani di Sumatera Selatan, kemudian diikuti
oleh petani di Sulawesi Utara dan NAD; dengan nilai R/C finansial masing-masing
sebesar 2,04; 1,97 dan 1,37. Kondisi inilah yang menjadi faktor pendorong bagi
petani, khususnya di daerah tersebut masih berpartisipasi dalam mengusahakan
Kedelai.
31
Tabel 9. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Kedelai di Indonesia dan di
Beberapa Sentra Produksi, 2014.
Provinsi
Penerimaan
(Rp. 000/ha/thn)
Biaya
(Rp. 000/ha/thn)
Keuntungan
(Rp. 000/ha/thn)
Private Sosial Private Sosial Private Sosial
1. NAD 11.501 10.504 8.417 8.417 3.084 2.087
2. Sumatera
Utara
7.415 7.313 11.553 11.553 -4.138 -4.239
3. Sumatera Selatan
12.758 10.903 6.239 6.239 6.519 4.664
4. Lampung 10.696 8.780 8.957 8.957 1.739 -177
5. Jawa Tengah 9.969 11.643 10.791 10.791 -822 852
6. Jawa Timur 9.745 11.365 11.088 11.088 -1.343 278
7. NTB 7.238 8.075 7.267 7.267 -28 809
8. Sulawesi Utara 11.436 10.105 5.807 5.807 5.628 4.298
Indonesia 10.948 10.376 10.198 10.198 750 177 Sumber : Data BPS (diolah)
4.3. Analisis Daya Saing Komoditas Pangan Strategis
4.3.1. Daya Saing Usahatani Padi
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Daya saing dan dampak kebijakan terhadap komoditas Padi akan dianalisis
dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan
(MAK). Analisis PAM tersebut dihitung berdasarkan data penerimaan dan biaya
produksi yang keseluruhannya terbagi dalam dua bagian, yaitu harga private dan
harga ekonomi (Social Opportunity Cost). Berikut ini akan dijelaskan hasil analisis
daya saing dan dampak kebijakan berdasarkan hasil perhitungan dari Matriks
Analisis Kebijakan, seperti terlihat pada Tabel 10.
Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa Rasio Biaya Sumberdaya Domestik
atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC) pada usahatani Padi secara nasional
lebih kecil dari satu (DRC < 1) atau 0,65. Nilai DRC sebesar 0,65 berarti untuk
memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 1.000.000 diperlukan tambahan biaya
faktor domestik sebesar Rp. 650.000. Angka ini menunjukkan bahwa komoditi
Padi secara nasional cukup efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi
domestik. Artinya, usahatani Padi yang dilakukan oleh petani efisien secara
ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif.
32
Tabel 10. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Padi di
Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.
Provinsi Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan
DRC PCR NPCO NPCI EPC
1. NAD 0,77 0,57 1,28 0,72 1,36 2. Sumatera Utara 0,73 0,48 1,43 0,76 1,52
3. Sumatera Barat 0,62 0,37 1,58 0,75 1,66 4. Lampung 0,50 0,37 1,22 0,63 1,33
5. Jawa Barat 0,62 0,36 1,58 0,63 1,72 6. Jawa Tengah 0,66 0,42 1,42 0,67 1,57
7. Jawa Timur 0,60 0,41 1,33 0,63 1,46 8. NTB 0,64 0,38 1,58 0,68 1,69 9. Sulawesi Selatan 0,62 0,36 1,58 0,69 1,69
Indonesia 0,65 0,38 1,58 0,67 1,71
Sumber: Hasil perhitungan PAM yang diolah, 2014.
Pada beberapa sentra produksi Padi, juga menunjukkan bahwa usahatani
Padi cukup efisien dengan kisaran nilai DRC antara 0,50 – 0,77. Hal ini berarti
untuk memperoleh nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.0000, hanya dibutuhkan
biaya faktor domestik pada harga sosial antara Rp. 550.000 – Rp. 770.000.
Artinya, tiap satu satuan output Padi yang dihasilkan dapat dihemat antara 0,50 –
0,23 satuan atau untuk menghasilkan nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.000
dapat dihemat sebesar Rp. 230.000 – Rp. 450.000. Nilai tersebut diperoleh
berdasarkan asumsi nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp. 12.000. Dengan
demikian, sumberdaya faktor domestik yang harus dikorbankan untuk menghemat
atau memperoleh devisa dari usahatani Padi lebih kecil dari sumberdaya domestik
yang tersedia dalam sistem ekonomi secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa
uahatani Padi efisien secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya faktor
domestik. Selanjutnya bila dilihat sebaran usahatani Padi per provinsi sentra
produksinya maka dapat diketahui bahwa usahatani yang paling efisien (memiliki
keunggulan komparatif) terdapat di Lampung, kemudian disusul pada usahatani di
Provinsi Lampung, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, untuk nilai Private cost ratio (PCR) secara nasional sebesar
0,38. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani Padi efisien secara finansial
dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,38 memiliki arti bahwa
untuk mendapatkan nilai tambah output Padi sebesar Rp. 1.000.000, diperlukan
33
tambahan biaya faktor domestik atas harga privat sebesar Rp. 380.000. Hal ini
berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk
diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah Padi sebesar satu juta rupiah
dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah. Dengan demikian
semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan
kompetitif yang dimiliki oleh komoditas Padi.
Pada beberapa sentra produksi Padi, juga menunjukkan bahwa usahatani
Padi cukup memiliki keunggulan kompetitif dengan kisaran nilai PCR antara 0,36 –
0,57. Hal ini berarti untuk menghasilkan satu satuan tambahan output hanya
dibutuhkan biaya faktor domestik pada harga private antara 0,36 – 0,57 atau
untuk menghasilkan nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.000 dapat dihemat
sebesar Rp/ 430.000 – Rp. 540.000. Bila dilihat sebaran usahatani Padi per
provinsi sentra produksinya, maka dapat diketahui bahwa usahatani yang yang
paling efisien (memiliki keunggulan kompetitif) terdapat di Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan, kemudian disusul pada usahatani di Provinsi Lampung dan
Sumatera Barat.
Apabila nilai PCR dibandingkan dengan DRC, maka diperoleh nilai PCR lebih
kecil dari DRC atau DRC lebih besar dari PCR (DRC > PCR). Kondisi ini
mengindikasikan terdapatnya kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan
efisiensi produsen dalam memproduksi Padi. Kebijakan yang banyak dilakukan
selama ini meliputi: (1) Peningkatan produktivitas, (2) Peningkatan luas areal
panen, (3) Pengamanan produksi, dan (4) Pengembangan kelembagaan dan
pembiayaan. Dalam optimalisasi pertananaman Padi masih terkendala dengan
infrastruktur pengairan yang masih perlu perbaikan. Demikian pula penggunaan
benih Padi unggul dan adopsi teknologi lainnya di tingkat petani masih harus terus
ditingkatkan.
Dampak Kebijakan
Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat
memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam
sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan
produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Pada bahasan ini
dampak kebijakan terhadap usahatani Padi akan dibahas meliputi kebijakan input
34
dan output. Secara lengkap nilai NPCO NPCI dan EPC yang merupakan indikator
kebijakan disajikan pada Tabel 10.
NPCO adalah indikator dampak kebijakan yang menunjukkan seberapa besar
harga padi (pada harga privat) berbeda dengan harga sosial (harga dunia). NPCO
juga merupakan indikator proteksi output akibat suatu kebijakan usahatani. NPCO
usahatani padi memiliki nilai > 1 yaitu sebesar 1,58 yang menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap output usahatani. Dengan
demikian usahatani Padi menerima revenue sebesar 58% lebih besar dari yang
seharusnya, di sisi lain konsumen mengalami disinsentif. Pada beberapa sentra
produksi Padi, juga menunjukkan bahwa kisaran nilai NPCO antara 1,28 – 1,58.
Hal ini berarti bahwa usahatani Padi menerima penerimaan sebesar 28% – 58%
lebih besar dari yang seharusnya.
Untuk Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan
adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input tradable selain terdapat pajak
pada input tersebut. Sementara sektor yang menggunakan input tersebut
dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil
dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan bahwa adanya subsidi atas input tersebut.
Nilai NPCI yang diperoleh dari penelitian ini secara nasional adalah 0,67. Nilai ini
menunjukkan adanya subsidi pada para petani atas input tradable, sehingga dapat
mengurangi biaya usahatani. Hal ini berarti bahwa pengaruh dari kebijakan
pemerintah dengan penerapan mekanisme pasar input seperti sekarang,
berdampak positif terhadap total biaya produksi padi nasional, dimana petani
produsen padi menerima harga input sekitar 67% lebih rendah daripada harga
sosial yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, produsen padi nasional saat ini
telah menerima insentif dari pemerintah yaitu berupa subsidi harga input,
sehingga harga input yang diterima petani lebih murah daripada harga sosial atau
harga input di tingkat pasar global.
Hal yang sama pada beberapa sentra produksi Padi nasional dimana kisaran
nilai NPCI antara 0,63 – 0,76. Artinya petani produsen Padi menerima harga input
sekitar 63 – 76% lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya diterima.
Selanjutnya nilai EPC atau Koefisien proteksi efektif merupakan indikator dari
dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem usahatani Padi di
35
Nusa Tenggara Barat. EPC adalah rasio antara selisih penerimaan dan biaya input
tradable yang dihitung pada tingkat harga bayangan. Nilai EPC menggambarkan
sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat
produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC > 1)
mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan
efektif. Sementara nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan
kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai EPC secara nasional adalah 1,71
(> 1), yang berarti bahwa kebijakan output dapat melindungi petani lokal atau
berjalan efektif. Petani lokal dalam hal ini memperoleh fasilitas proteksi karena
harga privat output lebih besar dari harga bayangannya. Semakin besar nilai EPC
menunjukkan semakin besar kebijakan proteksi pemerintah terhadap beras. Hal
yang sama pada beberapa sentra produksi Padi nasional dimana kisaran nilai EPC
antara 1,33 – 1,72. Artinya petani lokal di sentra-sentra produksi tersebut
memperoleh fasilitas proteksi karena harga privat output lebih besar dari harga
bayangannya.
4.3.2. Daya Saing Usahatani Jagung
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Komoditas jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini
ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR)
yang kurang dari satu. Nilai koefisien DRCR secara nasional adalah 0,48 artinya
bahwa untuk memperoleh nilai tambah output komoditas Jagung sebesar
Rp. 1.000.000 dibutuhkan tambahan biaya sumber daya domestik sebesar
Rp. 480.000. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani Jagung memiliki keunggulan
komparatif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Berdasarkan
analisis keunggulan kompetitif, komoditas Jagung secara nasional memiliki
keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh koefisien PCR sebesar 0,54. Hal ini
menunjukkan bahwa usaha tani Jagung di Indonesia memiliki keunggulan
kompetitif (Tabel 11).
Berdasarkan analisis di provinsi sentra produksi Jagung, diketahui bahwa
keunggulan komparatif tertinggi terdapat pada usaha tani Jagung di NTB
(DRCR=0,33), kemudian diikuti Jawa Barat (0,35) dan Sulawesi Selatan (0,39).
36
Sementara keunggulan komparatif usahatani Jagung untuk provinsi lainnya seperti
Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki nilai DRCR yang berkisar antara
0,40 – 0,45, dan di Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara, nilai DRCnya
sebesar 0,70 (mendekati 1). Dengan demikian, usaha tani Jagung di provinsi
sentra produksi juga memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi.
Sejalan dengan keunggulan komparatif, pada sentra produksi Jagung di
Provinsi Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi Utara juga memiliki keunggulan
kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang hampir mendekati 1. Bahkan untuk
di Sumatera Utara sama sekali tidak memiliki keunggulan kompetetif dengan PCR
1,07. Sementara di provinsi lainnya masih memiliki keunggulan kompetitif dengan
nilai PCR berkisar antara 0,40 – 0,67, yang artinya bahwa pada provinsi-provinsi
tersebut usahatani Jagung memiliki tingkat efisiensi yang baik.
Tabel 11. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Jagung di
Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.
No. Provinsi DRCR PCR NPCO NPCI EPC
1. Sumatera Utara 0.69 1.07 0.65 0.69 0.64
2. Lampung 0.40 0.64 0.64 0.75 0.62
3. Jawa Barat 0.35 0.40 0.86 0.84 0.87
4. Jawa Tengah 0.43 0.63 0.70 0.86 0.69
5. Jawa Timur 0.45 0.77 0.60 0.81 0.59
6. Nusa Tenggara Barat 0.33 0.62 0.54 0.78 0.53
7. Nusa Tenggara Timur 0.69 0.96 1.02 0.99 1.02
8. Sulawesi Utara 0.70 0.96 0.73 0.81 0.73
9. Sulawesi Selatan 0.39 0.67 0.61 0.78 0.59
Indonesia 0.48 0.54 0.87 0.78 0.88
Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.
37
Dampak Kebijakan
Pada sistem ekonomi, peranan pemerintah senantiasa harus melindungi
semua pihak baik produsen maupun konsumen melalui kebijakan yang
ditetapkannya. Namun adakalanya kebijakan tersebut sulit untuk membuat suatu
dampak yang seimbang kepada kedua belah pihak, disatu sisi ada pihak yang
menerima dampak positifnya tetapi terkadang satu sisi lainnya menerima dampak
negatifnya, sehingga upaya yang paling memungkinkan yang diambil adalah suatu
kebijakan yang memberikan dampak negatif paling kecil.
Pada sisi output, tampak bahwa pemerintah tidak atau belum memberikan
kebijakan yang bersifat protektif terhadap sistem usahatani komoditas Jagung, hal
ini diindikasikan oleh indikator NPCO yang keseluruhannya < 1 yakni untuk
nasional sebesar 0,87. Sementara pada provinsi sentra produksi, nilai NPCO
berkisar antara 0,54 – 0,86. Hal ini dapat diartikan bahwa sistim pengusahaan
Jagung di Indonesia, dimana petani menerima harga output yang lebih rendah
dari harga sosial karena tidak diproteksi oleh Pemerintah. Kecuali yang terjadi di
Provinsi NTT, dimana nilai NPCO > 1, yang artinya bahwa di NTT terdapat
kebijakan yang bersifat protektif terhadap harga output Jagung. Hal diduga
karena komoditas Jagung di NTT merupakan komoditas pangan utama.
Sementara dari sisi input, baik secara nasional maupun pada masing-masing
provinsi sentra produksi Jagung nilai NPCI pada umumnya < 1. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap faktor
input, sehingga petani membayar harga input lebih rendah dari harga sosialnya.
Secara nasional nilai NPCI bernilai 0,78, artinya petani membayar nilai faktor input
usahatani Jagung hanya 78% dari banding nilai sosialnya atau lebih rendah
sebesar 22%. Adapun nilai NPCI pada sentra produksi Jagung yang paling rendah
adalah di Sumatera Utara yaitu sebesar 0.69, di Lampung sebesar 0,75 dan di
NTB serta Sulaweai Selatan sebesar 0,78. Sementara di NTT hampir mendekati 1
(0,99), hal ini diduga karena terdapatnya kebijakan pada sisi input yang tidak
efektif yang disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti biaya transport,
aksesibilitas sehingga menyebabkan harga input menjadi lebih tinggi dibanding
dengan dari daerah lain.
38
Sementara dampak kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung (input dan
output) secara umum bersifat tidak protektif, atau pemerintah tidak melakukan
proteksi kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung di Indonesia yang
diindikasikan oleh nilai EPC 0,88 untuk tingkat nasional. Adapun pada masing-
masing provinsi sentra Jagung, nilai EPC berkisar antara 0,53 – 0,87, kecuali di
Provinsi NTT komoditas Jagung tampaknya terdapat kebijakan yang bersifat
protektif, karena di wilayah ini Jagung merupakan sumber pangan utama. Secara
lengkap nilai NPCO NPCI dan EPC yang merupakan indikator kebijakan disajikan
pada Tabel 11.
4.3.3. Daya Saing Usahatani Kedelai
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Berdasarkan nilai DRCR dan PCR, usaha tani Kedelai secara nasional tidak
memiliki daya saing. Nilai DRCR usahatani Kedelai secara nasional lebih besar dari
satu, tepatnya 1,05. Artinya untuk memperoleh nilai tambah sebesar
Rp. 1.000,000 diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 1.050.000.
Angka ini menunjukkan bahwa usaha tani Kedelai secara nasional tidak efisien
dalam menggunakan sumberdaya ekonomi dan tidak memiliki keunggulan
komparatif (Tabel 12).
Meskipun demikian di beberapa sentra produksi Kedelai seperti di Provinsi
NAD, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara, masih diperoleh
nilai DRCR usaha tani Kedelai lebih kecil dari satu (DRC < 1) dengan kisaran
antara 0,55 – 0,89. Provinsi yang memiliki keunggulan komparatif usaha tani
Kedelai adalah Sumatera Selatan (DRC=0,55) dan Sulawesi Utara (0,55). Adapun
usaha tani Kedelai yang tidak efisien dan tidak memiliki keunggulan komparatif
terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa Timur, dengan nilai
DRCR lebih besar dari satu.
Nilai Private Cost Ratio (PCR) usaha tani Kedelai secara nasional sebesar
0,92. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usaha tani Kedelai masih efisien secara
finansial dan masih memiliki keunggulan secara kompetitif. Hal ini berarti untuk
meningkatkan nilai tambah dari usahatani Kedelai sebesar satu juta rupiah
dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah, namun dengan
39
keuntungan relatif kecil. Di Provinsi NAD, Sumatera Selatan, Lampung, dan
Sulawesi Utara tercatat nilai PCR yang lebih kecil dari satu. Dari ke empat daerah
tersebut, Sumatera Selatan merupakan daerah dengan nilai PCR terkecil, yaitu
sebesar 0,44, berarti provinsi ini merupakan daerah yang paling efisien dalam
penggunaan faktor domestik sehingga komoditas Kedelai yang diusahakan
memiliki keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibanding dengan daerah
lainnya. Sebaliknya, Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
merupakan daerah dengan nilai PCR lebih besar dari satu. Dengan demikian,
usaha tani Kedelai di daerah tersebut tidak memiliki keunggulan komptetitif.
Sementara, usahatani Kedelai di NTB hanya mencapai break even point, yang
ditunjukkan oleh nilai PCRnya sama dengan satu.
Tabel 12. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Kedelai di
Indonesia dan di Beberapa Sentra Produksi, 2014.
Provinsi Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan
DRC PCR NPCO NPCI EPC
1. NAD 0,79 0,71 1,09 0,93 1,11 2. Sumatera Utara 1,94 1,85 1,01 0,95 1,05
3. Sumatera Selatan 0,55 0,44 1,17 0,69 1,26 4. Lampung 1,11 0,81 1,22 0,77 1,37 5. Jawa Tengah 0,95 1,10 0,86 0,84 0,86
6. Jawa Timur 1,06 1,17 0,86 0,73 0,90 7. NTB 0,89 1,00 0,90 0,95 0,89
8. Sulawesi Utara 0,55 0,47 1,13 0,83 1,17
Indonesia 1,05 0,92 1,06 0,78 1,14
Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.
Dampak Kebijakan
Bentuk distorsi atau campur tangan pemerintah pada input dapat berupa
penetapan pajak atau subsidi. Pengukuran dampak kebijakan pemerintah
terhadap input dalam penelitian ini akan digunakan Nominal Protection Coefficient
on Tradable Inputs (NPCI) atau nilai Koefisien Proteksi Input Nominal, yang
merupakan rasio antara biaya tradable inputs yang dihitung berdasarkan harga
private dengan harga sosial. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi
yang dibebankan pemerintah pada tradable inputs bila dibandingkan tanpa adanya
kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan
adanya kebijakan proteksi terhadap produsen tradable inputs selain terdapat
40
pajak pada input tersebut, sedangkan sektor yang menggunakan input tersebut
dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil
dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan adanya subsidi atas input tersebut (Pearson
et al., 2005).
Dampak kebijakan input seperti yang terlihat pada Tabel 12
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpihak kepada petani Kedelai
dengan nilai NPCI yang kurang dari satu (NPCI < 1). Artinya harga input yang
benar-benar dibayar oleh petani Kedelai secara nasional lebih rendah dari
seharusnya, yaitu sebesar 78%. Demikian pula untuk tiap provinsi yang dianalisis
(NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur,
NTB, dan Sulawesi Utara) menunjukkan nilai NPCI lebih kecil dari satu (NPCI < 1),
yang nilainya berkisar antara 0,69 – 0,95. Hal ini berarti adanya kebijakan subsidi
tradable inputs pada usahatani Kedelai, khususnya terkait dengan komponen
sarana pupuk kimia (urea dan SP-36). Meskipun demikian nilai subsidi tersebut
masih relatif kecil sehingga upaya peningkatan produksi dan produktivitas
usahatani Kedelai belum dapat dilakukan secara optimal.
Bentuk kebijakan pemerintah terhadap output dapat berupa subsidi atau
kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor. Salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat intervensi pemerintah
pada output tersebut adalah Nominal Protection Coefficient on Tradable Outputs
(NPCO) atau nilai Koefisien Proteksi Output Nominal. NPCO ini merupakan rasio
antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan
yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO ini juga merupakan indikasi
dari Transfer Output yang menunjukkan seberapa besar harga private berbeda
dengan harga sosial (Pearson et al., 2005). Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu
(NPCO < 1), berarti harga domestik lebih rendah dari harga dunia. Hal ini berarti
harga domestik didisproteksi. Hasil analisis juga diperoleh nilai NPCO usahatani
Kedelai secara nasional sebesar 1,06 atau nilai NPCO > 1.
Angka NPCO yang lebih dari satu tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah terhadap harga output pada kegiatan usahatani Kedelai sudah dapat
dirasakan oleh petani Kedelai, walaupun tingkat protektifnya belum mampu
sepenuhnya meningkatkan daya saing Kedelai karena harga Kedelai impor masih
41
lebih rendah dari harga domestik. Kondisi seperti ini menyebabkan petani tidak
termotivasi untuk meningkatkan produktivitas Kedelai. Apalagi diketahui Kedelai
merupakan crop competition dan imperfect substitutability antara Kedelai impor
dengan lokal.
Petani umumnya memilih pola tanam Padi – Padi – Palawija, dengan Kedelai
di urutan paling akhir untuk kelompok palawija karena dianggap kurang
menguntungkan dibandingkan dengan tanaman lainnya. Karena itulah, ketika luas
lahan Kedelai turun, luas lahan tanaman lainnya, khususnya Jagung malah naik
atau terindikasi adanya crop competition. Demikian pula dari sisi konsumsi,
Kedelai impor pada kenyataannya lebih disukai oleh pengrajin tempe karena
Kedelai nya putih, utuh, besar, kulitnya empuk, dan minus kerikil. Oleh karena itu,
pengrajin tempe hanya menggunakan Kedelai impor apalagi ketersediaannya
terjamin dan harganya cocok sehingga dalam produksi tempe, belum adanya
substitusi Kedelai impor dan lokal (imperfect substitutability).
Pada perspektif kebijakan, besarnya impor kedelai diawali ketika pemerintah
melalui Keputusan MenPerindag No. 406/MPP/Kep/II/1997 menghapus tataniaga
Kedelai yang semula ditangani oleh Bulog dialihkan ke importir umum. Hal ini
sesuai dengan keinginan World Trade Organization (WTO) dan International
Monetary Fund (IMF) dengan alasan untuk membantu Pengusaha Kecil dan
Menengah dalam memperoleh bahan baku Kedelai. Dengan bebasnya impor
Kedelai mengakibatkan harga Kedelai di pasar domestik mengalami tekanan.
Apalagi Amerika Serikat sebagai pemasok Kedelai terbesar di dunia
memberikan kemudahan kepada importir Kedelai nasional melalui kredit lunak. Hal
ini diberikan karena Amerika Serikat melihat lemahnya posisi tawar pelaku
agribisnis nasional sebagai akibat rupiah yang terdepresiasi dan menurunnya
kredibilitas sistem perbankan pada pertengahan krisis ekonomi di Indonesia.
Akibatnya, harga Kedelai impor dipasar domestik lebih murah Rp. 600/kg dari
Kedelai lokal. Insentif kepada importir ini mengakibatkan Kedelai lokal menjadi
tidak kompetitif dan gairah petani untuk memproduksi Kedelai mulai menurun.
Sebagai konsekuensi dilepasnya produk Kedelai pada pasar bebas maka fluktuasi
harga Kedelai internasional sangat berpengaruh pada harga Kedelai lokal.
42
Dampak kebijakan secara keseluruhan baik terhadap input maupun output
dapat dilihat dari Effective Protection Coefficient (EPC) atau Koefisien Proteksi
Efektif. Nilai EPC ini diperoleh berdasarkan rasio antara selisih penerimaan dan
biaya input tradable yang dihitung pada harga private dengan selisih penerimaan
dan biaya input tradable yang dihitung pada tingkat harga sosial. Nilai EPC
tersebut menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi
atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC >
1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan
efektif. Sebaliknya, nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan
kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif.
Nilai EPC komoditas kedelai secara nasional sebesar 1,14 atau lebih besar
dari satu (EPC > 1). Angka EPC ini memberi gambaran bahwa petani Kedelai
masih memperoleh perlindungan dari pemerintah, baik untuk output maupun
input. Petani dalam hal ini memperoleh fasilitas proteksi dari pemerintah karena
harga private output lebih besar dari harga sosialnya. Selain itu, petani juga
membeli input tradable lebih murah dari harga sosialnya. Beradasarkan hasil
analisis juga terlihat bahwa di Provinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung, dan Sulawesi Utara merupakan daerah yang nilai EPCnya lebih dari
satu, dengan kisaran nilai antara 1,05 – 1,37. Sebaliknya, nilai EPC lebih kecil dari
satu terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB, dengan kisaran nilai antara
0,86 – 0,90.
4.4. Alternatif kebijakan Peningkatan Daya Saing Komoditas Pangan Strategis
Swasembada Padi/Beras dalam tiga tahun ke depan, melanjutkan prestasi
yang sudah diraih tahun-tahun sebelumnya, dapat dicapai/dipertahankan
walaupun dalam keadaan total permintaan Beras yang terus meningkat karena
peningkatan jumlah penduduk setiap tahun. Dalam jangka pendek langkah-
langkah penting yang diperlukan diantaranya adalah: (i) perbaikan irigasi untuk
meningkatkan ketersediaan air sepanjang tahun sehingga dapat meningkatkan
Indeks pertamanan (IP). Perbaikan irigasi harus sinergis dan terintegrasi mulai
dari saluran primer, sekunder, sampai tertier dan di petak sawah petani; (ii)
penyediaan benih unggul bermutu yang tepat varietas sesuai pilihan petani dan
43
sesuai dengan karakteristik agroekosistem, termasuk memperhatikan peta
endemis hama dan penyakit tanaman padi. Benih harus sampai tepat waktu dan
tepat kualitas/bersertifikat; (iii) penyediaan pupuk berimbang sesuai dengan
karakteristik lahan petani. Penyediaan pupuk tepat waktu, tepat kualitas, tepat
jumlah sesuai rekomendasi mutlak diperlukan. Selain itu, pupuk seyogyanya dapat
diperoleh petani pada harga yang disubsidi, mengingat daya beli riil petani dapat
menurun karena inflasi akibat kenaikan harga BBM; (iv) penerapan paket
teknologi usahatani terpadu seperti PTT (pengelolaan sumberdaya dan pertanian
terpadu) atau SRI (Sistem of Rice Intensification) sesuai dengan disain awal yang
tujuannya meningkatkan keberdayaan (empowerment) petani melakukan
usahatani yang baik melalui peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan
kemampuan petani melakukan usahatani, bukan dengan pemberian bantuan
sarana produksi sebagai komponen utama; dan (v) penyuluhan dan
pendampingan yang intensif kepada kelompok tani dalam memecahkan
permasalahan sosial, ekonomi, dan teknis produksi yang dihadapi kelompok tani.
Untuk komoditas Jagung, pemerintah telah mampu meraih sasaran
swasembada Jagung nasional, dan langkah selanjutnya adalah tetap
mempertahankan dan meningkatkan swasembada secara berkelanjutan. Upaya
untuk peningkatan produksi Jagung dan pendapatan petani dapat dilakukan
melalui peningkatan efisiensi usahatani dengan mengarahkan pada peningkatan
produktivitas, penekanan biaya produksi dan insentif harga output. Secara rinci
beberapa upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan antara lain melalui: (i)
penerapan teknologi tepat guna melalui penyebarluasan benih unggul hibrida
diatas 80% dan peningkatan teknik budidaya Jagung spesifik lokasi; (ii) menjamin
ketersediaan benih unggul dengan kualitas terjamin serta harga yang terjangkau
petani, karena itu aspek subsidi benih masih perlu mendapat porsi yang memadai;
(iii) pendampingan kepada petani secara intensif dan kontinyu oleh aparat
pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti) dalam rangka penerapan teknologi
sesuai anjuran; (iv) pengaturan dalam pengadaan dan distribusi sarana produksi
lainnya (pupuk dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat petani pada
saat dibutuhkan; (v) pemberian rangsangan harga output kepada petani Jagung;
44
dan (vi) pengembangan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam rangka
menjamin kepastian harga dan pasar produk yang dihasilkan petani Jagung.
Untuk komoditas kedelai, permintaan untuk industri berbahan baku Kedelai
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Total
kebutuhan Kedelai tahun 2013 mencapai 2,5 juta ton. Dengan mencermati kondisi
produksi dan teknologi budidaya yang diaplikasinya saat ini, maka cukup berat
upaya pemerintah dalam meraih swasembada Kedelai nasional. Namun demikian,
pemerintah terus senantiasa berupaya agar produksi Kedelai nasional semakin
meningkat. Peningkatan produksi Kedelai dapat dilakukan dengan peningkatan
produktivitas dan peningkatan areal tanam Kedelai nasional. Produktivitas Kedelai
nasional masih rendah, untuk itu peningkatan produktivitas Kedelai ini dapat
dilakukan dengan penggantian varietas dengan variets Kedelai unggul dengan
produktivitas yang tinggi. Selain penggantian varietas, juga harus dibarengi
dengan penerapan teknologi budidaya sesuai dengan rekomendasi. Teknologi
budidaya yang diterapkan mulai dari pengolahan lahan, penambahan bahan
organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap dan berimbang (NPK),
pengendalian organisme pengganggu tanaman (hama dan penyakit) secara
terpadu, serta panen dan pasca panen dengan tepat sehingga mengurangi
kehilangan hasil. Selain dengan peningkatan produktivitas, upaya peningkatan
Kedelai dapat dilakukan dengan menambah areal tanam Kedelai. Penambahan
areal tanam Kedelai ini dimungkinkan diarahkan pada lahan-lahan di luar Jawa,
sedangkan untuk lahan-lahan di pulau Jawa penambahan areal tanam ini masih
memungkinkan pada lahan-lahan milik Perhutani dengan konsep agroforestry
(tumpangsari dengan tanaman hutan) dan lahan-lahan sawah setelah pertanaman
Padi.
Secara khusus beberapa strategi penting untuk menjamin keberhasilan
peningkatan produksi Kedelai nasional adalah: (1) Perbaikan Harga Jual,
peningkatan harga jual Kedelai di tingkat petani merupakan kunci utama dalam
mengembalikan minat petani untuk menanam Kedelai, seperti halnya yang telah
dicapai pada tahun 1992 dengan luas panen mendekati 1,9 juta hektar. Untuk ini
harus ada kebijakan nyata pemerintah dalam menentukan harga dasar Kedelai
dalam negeri, seperti halnya pada Padi/Beras; atau mengurangi impor melalui
45
penerapan tarif agar harga Kedelai dalam negeri dapat bersaing; (2) Pemanfaatan
Potensi Lahan, pemanfaatan potensi lahan yang tersedia luas untuk perluasan
areal tanam, baik sebagai tanaman utama maupun tanaman sela, di antaranya
menanam Kedelai secara tumpangsari dengan Ubikayu dan Kelapa Sawit muda;
(3) Intensifikasi Pertanaman, intensifikasi perlu dilakukan di daerah sentra
produksi Kedelai, khususnya bagi lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian
sedang sampai tinggi, seperti di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat; (4)
Perbaikan Proses Produksi, proses produksi yang mampu memberikan
produktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan yakni melalui pendekatan
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) agar pendapatan bersih petani meningkat,
merupakan upaya penting dalam menumbuhkan kembali minat petani untuk
menanam Kedelai.
4.5. Kinerja Perkembangan dan Analisis Daya Saing Pangan Strategis: Kasus Jawa Barat
4.5.1. Kinerja Perkembangan Pangan Strategis di Jawa Barat
Komoditas Padi/Beras
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah penghasil Padi/Beras
utama di Indonesia bersama Provinsi Jawa Timur. Provinsi utama penghasil Padi
lainnya adalah Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Penghasil
Padi/Beras terbesar di Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu diikuti Kabupaten
Karawang. Usahatani Padi di Jawa Barat diusahakan oleh sekitar 2 juta rumah
tangga petani (Wardana et al., 2012). Jawa Barat merupakan penghasil
Padi/Beras yang selalu surplus sehingga mampu menyangga kebutuhan Beras
provinsi lainnya terutama Jakarta.
Komoditas Padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat,
tentunya telah diletakan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program pada setiap
tahunnya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar, 2013). Upaya peningkatan
produksi baik secara kuantitas dan kualitas serta efisiensi proses produksi, terus
diupayakan peningkatannya sehingga peningkatan nilai tambah dan daya saing
produk guna meningkatkan kesejahteraan petani terus ditingkatkan. Peningkatan
produksi tanaman pangan khususnya Padi di Jawa barat antara lain didukung
46
oleh: (1) Peningkatan produktivitas melalui pelaksanaan SLPTT, (2)
Pengembangan kauntitas dan kualitas alat mesin pertanian pra panen, panen dan
pasca panen, dan (3) Pengurangan kehilangan hasil saat panen. Varietas Padi
yang ditanam dominan adalah: Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, IR64,
PB 42, C. Muncul, dan Cisadane.
Sementara itu, selama kurun waktu lima tahun terakhir, luas panen Padi di
Jawa Barat mengalami peningkatan 0,77 %/tahun, yaitu dari 1,88 juta ha (2004)
menjadi 1,89 juta ha (2014). Seiring dengan peningkatan luas panennya, produksi
Padi di Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 1,65 %/tahun, yaitu dari 9,60
juta ton (2004) menjadi 11,15 juta ton (2014). Sementara produktivitasnya
mengalami peningkatan sebesar 2,35%/tahun, dari 5,11 ton/ha (2004) menjadi
5,90 ton/ha (2014). Dengan demikian peningkatan produksi Padi di Jawa Barat
lebih dominan disebabkan karena peningkatan produktivitasnya (Tabel 13).
Tabel 13. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Jawa Barat, 2004 – 2014.
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/ha)
2004 1.880.142 9.602.302 51,07
2005 1.894.796 9.787.217 51,65
2006 1.798.260 9.418.572 52,38
2007 1.829.085 9.914.019 54,20
2008 1.803.628 10.111.069 56,06
2009 1.950.203 11.322.681 58,06
2010 2.037.657 11.737.070 57,60
2011 1.964.466 11.633.891 59,22
2012 1.918.799 11.271.861 58,74
2013 2.029.891 12.083.162 59,53
2014 1.891.289 11.149.743 58,95
r(%/tahun 0,70 2,35 1,65
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2013) dan BPS (2014)
Adapun kendala peningkatan produksi Padi di Jawa Barat antara lain
meliputi (1) Rawan terjadi kekeringan pada musim kemarau, (2) Konversi
penggunaan lahan pertanian ke non-pertanian, (3) Tenaga kerja di sektor
pertanian berkurang karena terjadi migrasi ke kota antara ke Jakarta dan kota-
kota besar lainnya di Jawa Barat. Peluang peningkatan produksi Padi dapat dicapai
melalui program peningkatan mutu melalui penerapan teknologi budidaya untuk
47
meningkatkan produktivitas Padi. Kegiatan pertanian Padi diairi dari saluran irigasi
yang mendapat suplai air dari tiga waduk yang membendung aliran sungai
Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.
Sementara itu, di Lokasi kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung
menujukkan variasi dalam perkembangan produksi Padi selama kurun waktu lima
tahun terakhir (Tabel 14). Di Kabupaten Garut, luas panen Padi meningkat
sebesar 4,63 %/tahun, yaitu dari 135,10 ribu ha tahun 2009 menjadi 166,56 ribu
ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas panennya, produksi padi
meningkat sebesar 3,45 %/tahun yaitu dari 785,37 ribu ton tahun 2009 menjadi
917,50 ribu ton tahun 2013. Adapun produktivitasnya menurun sebesar 1,18
%/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Padi di Garut lebih disebabkan
oleh peningkatan luas panennya. Di Kabupaten Cianjur, luas panen Padi
meningkat sebesar 0,95 %/tahun, yaitu dari 144,03 ribu ha tahun 2009 menjadi
153,18 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas panennya, produksi
padi meningkat sebesar 2,88 %/tahun yaitu dari 766,04 ribu ton tahun 2009
menjadi 882,66 ribu ton tahun 2013. Sementara produktivitasnya meningkat lebih
besar daripada peningkatan luas panennya yaitu sebesar 1,92 %/tahun. Dengan
demikian, peningkatan produksi Padi di Cianjur lebih didominan disebabkan oleh
peningkatan teknologi usahatani yang menyebabkan produktivitasnya meningkat
lebih tinggi dari peningkatan luas panennya. Hal yang sama di Kabupaten
Bandung dimana luas panen Padi meningkat sebesar 2,68 %/tahun, yaitu dari
75,89 ribu ha tahun 2009 menjadi 86,31 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan
peningkatan luas panennya, produksi Padi meningkat sebesar 6,08 %/tahun yaitu
dari 443,51 ribu ton tahun 2009 menjadi 584,34 ribu ton tahun 2013. Sementara
produktivitasnya meningkat lebih besar daripada peningkatan luas panennya yaitu
sebesar 3,40 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Padi di Garut
lebih didominan disebabkan oleh peningkatan teknologi usahatani yang
menyebabkan produktivitasnya meningkat lebih tinggi dari peningkatan luas
panennya.
48
Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Lokasi Kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung, 2009 – 2013.
Tahun
Garut Cianjur Bandung
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
2009
135.104 785.374
58,13
144.026
766.039
53,19
75.891
443.507
58,44
2010
147.426 894.204
60,65
159.229
862.230
54,15
77.595
459.078
59,16
2011
153.195 907.011
59,21
139.932
790.824
56,51
77.918
464.425
59,60
2012
154.662 925.239
59,82
155.210
868.538
55,96
78.003
479.425
61,46
2013
166.557 917.503
55,09
153.178
882.663
57,62
86.310
584.336
67,70
r (%/th) 4,63 3,45 -1,18 0,95 2,88 1,92 2,68 6,08 3,40
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Garut, Cianjur dan Bandung (2013).
Komoditas Jagung
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Jawa Barat (2010) bahwa wilayah
pengembangan Jagung cukup luas yaitu mencakup di delapan kabupaten, yaitu:
Kabupaten Garut, Bandung, Sumedang, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya,
Sukabumi, dan Cianjur. Wilayah pengembangan Jagung yang sangat potensial ini
telah diidentifikasi dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan
sentra Jagung yang hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur,
membujur dari arah utara ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (sabuk
Jagung) Provinsi Jawa Barat. Saat ini telah terbentuk Kawasan Andalan Agribisnis
berbagai komoditas unggulan palawija khususnya Jagung yang terdapat
disembilan kabupaten tersebut diatas.
Akselerasi peningkatan produksi Jagung di Provinsi Jawa Barat juga tidak
terlepas dari upaya-upaya, seperti: (1) Akselerasi pemberdayaan petani dan
kelembagaan ekonominya (kelompok tani hamparan, gapoktan, dan koperasi tani)
yang terus ditingkatkan, (2) Berbagai unsur teknologi PTT (Program Tanaman
Terpadu) Jagung terus ditingkatkan melalui: penyebarluasan varietas unggul
hibrida, perbaikan tanam dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit
tanaman secara terpadu.
Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai
tambah proses produksi usahatani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul
bermutu sangat menentukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat,
49
2009). Produsen benih meliputi swasta/BUMN dan kelompok tani penangkar. UPT
daerah dalam pengembangan benih Jagung di Jawa Barat adalah Balai
Pengembangan Benih (BPP), melakukan kemitraan dengan produsen benih untuk
melakukan penangkaran benih Jagung Hibrida menjadi benih sebar. Jika
kemitraaan telah berjalan secara baik, maka diharapkan akan berdampak positif
bagi peningkatan kualitas benih unggul pada petani. Dengan perbaikan mutu
benih akan mengotimalkan efektivitas berbagai unsur teknologi, sehingga akan
berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Dampak lain dengan berkembang-
nya sistem perbenihan juga berpeluang dalam penciptaan kesempatan kerja pada
usaha pemasaran benih unggul.
Dengan semakin meningkatnya produktivitas Jagung yang merupakan
tanaman palawija di Jawa Barat berkaitan erat dengan peningkatan nilai tambah
dan daya saing komoditas Jagung, sehingga berdampak positif terhadap
peningkatan motivasi dalam mendorong mengembangkan usahataninya dan
peningkatan pendapatan petani. Dilihat dari aspek ketahanan pangan,
peningkatan produksi Jagung selain berperan dalam penyediaan bahan pangan,
juga berimplikasi terhadap diversifikasi produksi dan konsumsi. Peningkatan
produksi Jagung juga akan mendorong pengembangan sektor atau subsektor lain
seperti: industri pengolahan makanan, perdagangan, peternakan, dan perikanan.
Sementara itu, selama kurun waktu 2004 – 2014 luas panen Jagung
mengalami peningkatan 3,05 %/tahun, yaitu dari 119,87 ribu hektar pada tahun
2004 menjadi 140,75 ribu hektar pada tahun 2014. Peningkatan luas panen
tersebut diikuti oleh peningkatan produksinya. Produksi Jagung dalam kurun
waktu tersebut meningkat pesat sebesar 7,81 %/tahun, yaitu dari 549,44 ribu ton
pada tahun 2004 menjadi 1,03 juta ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi
yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya produktivitas yang juga
tinggi sebesar 4,76 %/tahun, yaitu dari 4,58 ton/ha tahun 2004 menjadi 7,29
ton/ha pada tahun 2014 (Tabel 15). Dengan demikian peningkatan produksi
Jagung di Jawa Barat dalam kurun waktu tersebut lebih dominan karena
peningkatan teknologi budidaya pada usahataninya.
50
Tabel 15. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Jawa
Barat, 2004 – 2014.
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/ha)
2004 119.872 549.442 45,84
2005 117.413 587.186 50,01
2006 115.797 573.263 49,51
2007 113.373 577.513 50,94
2008 118.976 639.822 53,78
2009 136.707 787.599 57,61
2010 153.778 923.962 60,08
2011 147.152 945.104 64,23
2012 148.601 1.028.653 69,22
2013 152.923 1.101.998 72,06
2014 140.748 1.026.635 72,94
r(%/thn 3,05 7,81 4,76 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2013) dan BPS (2014)
Varietas jagung yang banyak ditanam khususnya di Jawa Barat adalah
Hibrida seperti BISI, Pioneer dan lainnya. Adapun tingkat produktivitas Jagung
ditingkat petani berkisar antara 5 – 6 ton/ha. Secara umum Jagung di Jawa Barat
ditanam dilahan kering seperti tegalan, dan ditanam saat musim penghujan (MH).
Sementara itu, di Lokasi kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung
perkembangan produksi Jagung selama kurun waktu lima tahun terakhir juga
menunjukkan variasi antar wilayah (Tabel 16). Di Kabupaten Garut, luas panen
Jagung meningkat sebesar 10,79 %/tahun, yaitu dari 48,47 ribu ha tahun 2009
menjadi 76,74 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas panennya,
produksi Jagung meningkat sebesar 14,16 %/tahun yaitu dari 327,80 ribu ton
tahun 2009 menjadi 602,37 ribu ton tahun 2013. Adapun produktivitasnya
meningkat sebesar 3,38 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi
Jagung di Garut lebih disebabkan oleh peningkatan luas panennya. Hal terutama
bersumber dari potensi lahan kering di Kabupaten Garut yang masih relatif luas
dan tertinggi di Jawa Barat. Lain halnya dengan di Kabupaten Bandung, luas
panen Jagung meningkat sebesar 3,36 %/tahun, yaitu dari 9,91 ribu ha tahun
2009 menjadi 11,55 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas
panennya, produksi Jagung meningkat sebesar 14,20 %/tahun yaitu dari 52,83
ribu ton tahun 2009 menjadi 90,40 ribu ton tahun 2013. Sementara
produktivitasnya meningkat lebih besar daripada peningkatan luas panennya yaitu
51
sebesar 10,83 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Jagung di
Bandung lebih didominasi disebabkan oleh peningkatan teknologi usahatani yaitu
berupa penggunaan benih unggul Hibrida yang menyebabkan produktivitasnya
meningkat lebih tinggi dari peningkatan luas panennya. Hal yang berbeda di
Kabupaten Cianjur dimana luas panen Jagung justru menurun sebesar 1,46
%/tahun, yaitu dari 7,71 ribu ha tahun 2009 menjadi 6,94 ribu ha tahun 2013.
Namun demikian, produksi nya masih meningkat sebesar 2,08 %/tahun yaitu dari
34,27 ribu ton tahun 2009 menjadi 34,45 ribu ton tahun 2013. Sementara
produktivitasnya meningkat lebih besar sebesar 3,54 %/tahun. Dengan demikian,
peningkatan produksi Jagung di Cianjur lebih didominasi disebabkan oleh
peningkatan teknologi usahatani yaitu berupa penggunaan benih unggul Hibrida
yang menyebabkan produktivitasnya meningkat lebih tinggi dari peningkatan luas
panennya.
Tabel 16. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di lokasi Kajian Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung, 2009 – 2013.
Tahun
Garut Bandung Cianjur
Luas Panen
(Ha)
Produksi (Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
Luas Panen
(Ha)
Produksi (Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
Luas Panen
(Ha)
Produksi (Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
2009 48.466 327.799 67,63 9.912 52.830 53,30 7.712 34.273 44,44
2010 55.717 394.691 70,84 9.283 50.502 54,40 7.578 35.626 47,01
2011 60.568 444.285 73,35 9.892 57.232 57,86 5.395 28.733 53,26
2012 65.379 481.850 73,70 9.373 68.546 73,13 7.936 42.591 53,67
2013 76.738 602.368 78,50 11.549 90.403 78,28 6.941 34.454 49,64
r (%/th) 10,79 14,16 3,38 3,36 14,20 10,83 -1,46 2,08 3,54
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Garut, Cianjur dan Bandung (2013).
Komoditas Kedelai
Khusus untuk kasus Jawa Barat pangsa produksi kedelai terhadap produksi
nasional relatif meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Apabila
melihat pangsa rata-rata dalam tahun 2014 pangsa produksi Jawa barat sekitar
8,25% terhadap produksi nasional sebesar 892,60 ribu ton. Sementara pada
tahun 2004, pangsa kedelai Jawa Barat sebesar 4,02% terhadap produksi nasional
sebesar 723,48 ribu ton.
Potensi pengembangan Kedelai di Jawa Barat masih memiliki peluang yang
masih tinggi seperti di Kabupaten Indramayu siap menambah luas areal 40.000
52
ha, Kabupaten Sukabumi 10.000 ha, Kabupaten Ciamis 10.000 ha, Kabupaten
Majalengka 1.000 ha, Kabupaten Bandung 7.500 ha, dan lain lain asalkan adanya
kejelasan program pusat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013).
Secara total rencana luas pengembangan areal kedelai mencapai 129 ribu ha yang
bersumber dari pengembangan: (i) sekitar 26.000 ha dari pengembangan SLPTT,
(ii) sekitar 15.000 ha berasal dari Model Pengembangan (di Kabupaten
Indramayu, Ciamis dan Sukabumi masing-masing 5000 ha), (iii) berasal dari
pengembangan areal seluas 66.750 ha, dan (iv) berasal dari pengembangan
swadaya petani seluas 21.000 ha.
Berdasarkan data yang ada, luas panen Kedelai di Jawa Barat masih relatif
kecil. Namun, peningkatan luas panennya cukup tinggi yaitu mencapai 9,59
%/tahun, yaitu dari 21,00 ribu ha (2004) menjadi 49,71 ribu ha (2014). Seiring
dengan peningkatan luas panennya, maka produksi kedelai meningkat sebesar
10,82 %/tahun yaitu dari 29,09 ribu ton (2004) menjadi 73,67 ribu ton (2014).
Sementara produktivitasnya mengalami peningkatan tipis sebesar1,23 %/tahun,
yaitu dari 1,39 ton/ha (2004) menjadi 1,48 ton/ha (2014) (Tabel 17). Adapun
varietas Kedelai yang banyak di tanam di Jawa Barat adalah: Grobogan dan
Anjasmoro.
Terkait dengan pengembangan pangan di sentra produksi Kedelai di Jawa
Barat yaitu di Kabupaten Garut dan Cianjur, walaupun menurut data pertanian
Jawa Barat menunjukkan bahwa dari segi jumlah produksi Kabupaten Garut
merupakan sentra produksi kedelai, namun pada kenyataannya informasi
kelompok tani bahwa usahatani tani Kedelai hanya sebatas kebiasaan masyarakat,
dari sisi pendapatan dan semangat pengembangan bukan merupakan komoditas
yang membanggakan masyarakat. Alasan yang diungkapkan adalah: (1) Dari sisi
pengelolaan usahatani tergolong lebih berat dibanding dengan komoditi Jagung,
terutama Kedelai pada lahan kering membutuhkan tenaga kerja yang cukup
banyak untuk mengolahan tanah, tanam, menyemprotan, (2) Gangguan hama
dan penyakitnya lebih banyak dibanding dengan Padi atau Jagung, (3) Kepastian
pasar dan harganya sangat rendah, sehingga sering terjadi tingkat keuntungan
dari usahatani itu rendah atau rugi karena harga jual yang tidak memadai dan
53
atau serangan hama dan penyakit. Jadi dua faktor tersebtu yang seharusnya
dikelola oleh pemerintah jika per-Kedelai-an Indonesia meningkat.
Tabel 17. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Jawa Barat, 2004 – 2014.
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/ha)
2004 20.997 29.090 13,85
2005 17.934 23.845 13,3
2006 17.878 24.495 13,7
2007 12.429 17.438 14,03
2008 23.810 32.921 13,83
2009 41.775 60.257 14,42
2010 36.700 55.823 15,21
2011 35.674 56.166 15,74
2012 30.345 47.426 15,63
2013 35.682 51.172 14,34
2014 49.708 73.671 14,82
r(%/thn 9,64 10,62 1,23 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2013) dan BPS (2014)
Pada sisi teknologi, petani sudah cukup mengusai misalnya penggunaan
benih unggul baru seperti: Anjasmoro dan Orba, tingkat produktivitas dapat
mencapai 1,6 ton per hektar atau perbandingan benih dengan produksi adalah 1 :
40. Dengan tingkat produksi yang terbatas karena faktor genetik dan pengaruh
letak geografis wilayah (tropis), yang bisa diharapkan untuk menggairahkan
tingkat keuntungan petani kedelai adalah stabilitas harga dan pasar. Barang kali
ini merupakan gambaran untuk semua daerah penghasil Kedelai di Indonesia.
Pada sisi industri (khususnya industri Tahu), menyatakan bahwa Kedelai
lokal memiliki keunggulan dibanding dengan Kedelai impor, keunggulan tersebut
diantaranya adalah: (1) Memiliki rendemen pati yang cukup tinggi berkisar antara
10-20%, (2) Penyerapan terhadap minyak goreng rendah, bisa mencapai 50%
lebih rendah dari Kedelai impor, dan (3) Memiliki daya tahan simpan tahu lebih
lama, sampai 3 hari sementara dengan Kedelai impor hanya 1-2 hari. Disamping
itu, dari sisi fisik ada varietas Kedelai (seperti Dapros) yang memiliki ukuran sama
bahkan bisa lebih besar dari pada Kedelai impor. Dengan demikian sebenarnya
jika Indonesia mau sungguh-sungguh mengembangkan Kedelai, maka ada hal-hal
yang harus diperhatikan adalah: (1) Upaya peningkatan produksi per hektar
54
(produktivitas), (2) Adanya upaya untuk menstabilkan harga Kedelai, agar petani
mau merencanakan penanaman Kedelai dengan baik, (3) Menjamin ketersediaan
benih yang unggul seperti Dapros, dan (4) Menjamin kepastian pasar.
Sementara itu, di Lokasi kajian Kabupaten Garut dan Cianjur perkembangan
produksi Kedelai selama kurun waktu lima tahun terakhir terdapat perbedaan
diantara kedua wilayah tersebut (Tabel 18). Di Kabupaten Garut, luas panen
Kedelai meningkat pesat sebesar 19,66 %/tahun, yaitu dari 5,70 ribu ha tahun
2009 menjadi 12,81 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan peningkatan luas
panennya, produksi Jagung meningkat sebesar 9,33 %/tahun yaitu dari 12,06 ribu
ton tahun 2009 menjadi 19,24 ribu ton tahun 2013. Adapun produktivitasnya
menurun sebesar 10,33 %/tahun. Dengan demikian, peningkatan produksi Kedelai
di Garut lebih disebabkan oleh peningkatan luas panennya. Kondisi tersebut
terutama bersumber dari potensi lahan kering di Kabupaten Garut yang masih
relatif luas dan tertinggi di Jawa Barat. Lain halnya dengan di Kabupaten Cianjur,
luas panen Jagung justru menurun tajam sebesar 16,07 %/tahun, yaitu dari 6,45
ribu ha tahun 2009 menjadi 2,74 ribu ha tahun 2013. Seiring dengan penurunan
luas panennya, produksi Kedelai pun menurun sebesar 28,52 %/tahun yaitu dari
12,36 ribu ton tahun 2009 menjadi 2,31 ribu ton tahun 2013. Sementara
produktivitasnya juga menurun sebesar 12,45 %/tahun. Menurut Dinas Pertanian
Cianjur (2013) bahwa meskipun perkembangan produksi Kedelai (kering)
menurun, namun ada diantara petani yang menanam Kedelai yang dipanen tidak
sampai tua dan dijual ke pasar dalam bentuk brankasan untuk memenuhi segmen
permintaan kacang Kedelai segar rebus. Pada saat pencacahan data luas panen di
akhir musim, seringkali luas panen Kedelai yang dipanen tidak sampai tua diduga
tidak tercatat, sehingga luas panen Kedelai relatif tetap atau bahkan menurun.
Namun disisi lain ketersediaan Kedelai segar brankasan di pasar dari petani tetap
tersedia, dan diperdagangkan oleh setiap hari oleh para pedagang kacang Kedelai
brangkasan segar rebus.
55
Tabel 18. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai di lokasi
Kajian Kabupaten Garut dan Cianjur, 2009-2013.
Tahun
Garut Cianjur
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produkti-vitas
(Kw/Ha)
2009 5.696 12.056 21,17 6.454 12.364 19,16
2010 8.025 18.647 23,24 8.351 10.045 12,03
2011 9.455 15.298 16,18 6.498 10.330 15,90
2012 13.087 21.610 16,51 5.202 6.984 13,43
2013 12.814 19.235 15,01 2.743 2.312 8,43
r (%/th) 19,66 9,33 -10,33 -16,07 -28,52 -12,45 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Garut dan Cianjur (2013).
4.5.2. Analisis Daya Saing Komoditas Pangan Strategis di Jawa Barat
Komoditas Padi
Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi
Hasil analisis analisis finansial secara nasional berdasarkan harga private
diperoleh penerimaan dan biaya usahatani Padi per hektar per tahun di Jawa
Barat masing-masing sebesar Rp. 21,49 juta/ha dan Rp. 13,78 juta/ha dengan
nilai keuntungan sebesar Rp. 21,49 juta/ha atau nilai R/C sebesar 2,56. Dengan
menggunakan harga sosial (analisis ekonomi) diperoleh penerimaan dan biaya
usahatani Padi per hektar per tahun di Jawa Barat masing-masing sebesar Rp.
22,34 juta/ha dan Rp. 14,90 juta/hadengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 7,45
juta/ha atau nilai R/C sebesar 1,50 (Tabel 19). Dengan kedua analisis tersebut
dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani Padi di Jawa Barat cukup layak
untuk diusahakan.
Tabel 19. Analisis Finansial (Private) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Padi di
Jawa Barat, 2014.
Uraian Private Sosial
1. Penerimaan (Rp. 000/ha/thn) 35276 22344
2. Biaya (Rp. 000/ha/thn) 13785 14899
3. Keuntungan(Rp. 000/ha/thn) 21491 7445
4. R/C 2,56 1,50
56
Analisis Daya Saing: Perhitungan Indikator Daya Saing dan
Dampak Kebijakan
Daya saing dan dampak kebijakan terhadap komoditas Padi akan dianalisis
dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan
(MAK). Analisis PAM tersebut dihitung berdasarkan data penerimaan dan biaya
produksi yang keseluruhannya terbagi dalam dua bagian, yaitu harga private dan
harga ekonomi (Social Opportunity Cost). Berikut ini akan dijelaskan hasil analisis
daya saing dan dampak kebijakan berdasarkan hasil perhitungan dari Matriks
Analisis Kebijakan, seperti terlihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Padi di
Jawa Barat, 2014.
Indikator Daya Saing dan Kebijakan Nilai
1. DRC 0,62
2. PCR 0,36
3. NPCO 1,58
4. NPCI 0,63
5. EPC 1,72
Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.
Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa Rasio Biaya Sumberdaya Domestik
atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC) pada usahatani Padi di Jawa Barat lebih
kecil dari satu (DRC < 1) atau 0,62. Nilai DRC sebesar 0,65 berarti untuk
memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 1.000.000 diperlukan tambahan biaya
faktor domestik sebesar Rp. 620.000. Angka ini menunjukkan bahwa komoditas
Padi secara nasional cukup efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi
domestik. Artinya, usahatani Padi yang dilakukan oleh petani efisien secara
ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif.
Sementara itu, untuk nilai Private cost ratio (PCR) secara nasional sebesar
0,36. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani Padi efisien secara finansial
dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,36 memiliki arti bahwa
untuk mendapatkan nilai tambah output Padi sebesar Rp. 1.000.000, diperlukan
tambahan biaya faktor domestik atas harga private sebesar Rp. 360.000. Hal ini
berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk
diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah Padi sebesar satu juta rupiah
57
dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah. Dengan demikian
semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan
kompetitif yang dimiliki oleh komoditas Padi.
Apabila nilai PCR dibandingkan dengan DRC, maka diperoleh nilai PCR lebih
kecil dari DRC atau DRC lebih besar dari PCR (DRC > PCR). Kondisi ini
mengindikasikan terdapatnya kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan
efisiensi produsen dalam memproduksi Padi. Kebijakan yang banyak dilakukan
selama ini meliputi: (1) Peningkatan produktivitas, (2) Peningkatan luas areal
panen, (3) Pengamanan produksi, dan (4) Pengembangan kelembagaan dan
pembiayaan. Dalam optimalisasi pertananaman Padi masih terkendala dengan
infrastruktur pengairan yang masih perlu perbaikan. Demikian pula penggunaan
benih Padi unggul dan adopsi teknologi lainnya di tingkat petani masih harus terus
ditingkatkan.
Dampak Kebijakan
Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat
memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam
sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan
produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Pada bahasan ini
dampak kebijakan terhadap usahatani Padi akan dibahas meliputi kebijakan input,
output dan kebijakan input-output dengan beberapa indikator dampak kebijakan,
yang dihitung berdasarkan Hasil Matriks Analisis Kebijakan (PAM), seperti disajikan
pada Tabel 20.
NPCO adalah indikator dampak kebijakan yang menunjukkan seberapa besar
harga padi (pada harga private) berbeda dengan harga sosial (harga dunia).
NPCO juga merupakan indikator proteksi output akibat suatu kebijakan usahatani.
NPCO usahatani padi memiliki nilai > 1 yaitu sebesar 1,58 yang menunjukkan
bahwa kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap output usahatani. Dengan
demikian usahatani padi menerima revenue sebesar 58% lebih besar dari yang
seharusnya, di sisi lain konsumen mengalami disinsentif.
Untuk Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan
adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input tradable selain terdapat pajak
pada input tersebut. Sementara sektor yang menggunakan input tersebut
58
dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil
dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan bahwa adanya subsidi atas input tersebut.
Nilai NPCI yang diperoleh dari penelitian ini secara nasional adalah 0,63. Nilai ini
menunjukkan adanya subsidi pada para petani atas input tradable, sehingga dapat
mengurangi biaya usahatani. Hal ini berarti bahwa pengaruh dari kebijakan
pemerintah dengan penerapan mekanisme pasar input seperti sekarang,
berdampak positif terhadap total biaya produksi padi di Jawa Barat, dimana petani
produsen padi menerima harga input sekitar 63% lebih rendah daripada harga
sosial yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, produsen Padi di Jawa Barat
saat ini telah menerima insentif dari pemerintah yaitu berupa subsidi harga input,
sehingga harga input yang diterima petani lebih murah daripada harga sosial atau
harga input di tingkat pasar global.
Nilai EPC atau Koefisien proteksi efektif merupakan indikator dari dampak
keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem usahatani Padi di Jawa
Barat. EPC adalah rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable yang
dihitung pada tingkat harga bayangan. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana
kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik.
Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC > 1) mengindikasikan bahwa kebijakan
yang melindungi produsen domestik berjalan efektif. Sementara nilai EPC yang
lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan kebijakan yang melindungi produsen
domestik tidak berjalan efektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai EPC secara nasional adalah 1,72
(> 1), yang berarti bahwa kebijakan output dapat melindungi petani lokal atau
berjalan efektif. Petani lokal dalam hal ini memperoleh fasilitas proteksi karena
harga private output lebih besar dari harga bayangannya. Semakin besar nilai EPC
menunjukkan semakin besar kebijakan proteksi pemerintah terhadap Beras.
Artinya petani lokal di sentra-sentra produksi tersebut memperoleh fasilitas
proteksi karena harga privat output lebih besar dari harga bayangannya.
59
Komoditas Jagung
Analisis Finansial dan Ekonomi
Secara finansial sistem usahatani komoditas Jagung di Jawa Barat cukup
menguntungkan, hal ini ditunjukkan oleh tingkat keuntungan private setahun
sebesar Rp. 13,61 juta/ha. Dengan tingkat penerimaan sebesar Rp. 23,65 juta/ha
dan total biaya sebesar Rp. 10,04 juta/ha, maka R/C rasio sekitar 2,36. Sementara
secara ekonomi, usahatani Jagung di Indonesia jauh lebih menguntungkan pada
kondisi tingkat produktivitas yang sama yaitu tingkat keuntungannya sebesar Rp.
17,13 juta/ha, dengan penerimaan sebesar Rp. 27,36 juta/ha dan biaya sebesar
Rp. 910,23 juta/ha maka R/C rasio mencapai 2,67. Secara rinci tingkat
keuntungan finansial dan ekonomi komoditas Jagung di Jawa Barat disajikan pada
Tabel 21.
Tabel 21. Analisis Finansial (Private) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Jagung di
Jawa Barat, 2014.
Uraian Private Sosial
1. Penerimaan (Rp 000/ha/thn) 23649 27362
2. Biaya (Rp 000/ha/thn) 10037 10231
3. Keuntungan(Rp 000/ha/thn) 13612 17131
4. R/C 2,36 2,67 Sumber : Hasil Survey (diolah)
Jika ditelusuri faktor penyebab tingkat keuntungan finansial lebih rendah
dari keuntungan ekonomi adalah terletak pada perbedaan tingkat penerimaan
yang berbeda sementara pada tingkat pengeluaran biaya relatif hampir sama. Hal
ini dapat dipahami bahwa tingkat penerimaan petani pada kondisi produktivitas
yang sama, maka faktor yang menentukan adalah harga yang diterima petani
yang berbeda jauh antara pada perhitungan finansial dan harga pada perhitungan
sosial. Jika berpatokan bahwa harga sosial Jagung yang diterima petani sudah
bebas dari distorsi, maka patut diduga bahwa rendahnya harga produksi Jagung
yang diterima petani pada perhitungan finansial adalah karena ada faktor lain
yang menyebabkan harga menjadi jatuh. Kemungkinan yang akan terjadi adalah :
(a) kualitas produksi jagung lebih rendah karena pengaruh cuaca dan teknologi
yang sederhana, (b) sistem/pola produksi yang tidak merata menurut waktu,
sehingga pada saat tertentu harga jatuh, dan (c) sistem pasar yang tidak
60
kondusif, terutama terkait dengan masalah infrastruktur yang menyebabkan biaya
angkut tinggi dibebankan kepada harga beli dari petani.
Analisis Daya Saing
Komoditas Jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini
ditunjukkan oleh koefisien nilai DRC dan PCR yang menggambarkan keunggulan
komparatif dan kompetitif. Secara umum koefisen DRC dan PCR komoditas Jagung
di Jawa Barat masing-masing sebesar 0,35 dan 0,40. Berdasarkan nilai koefisien
DRC 0,35 artinya bahwa untuk memperoleh nilai tambah output komoditas Jagung
sebesar Rp. 1 dibutuhkan tambahan biaya sumberdaya domestik sebesar Rp. 0,35
(Tabel 22). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengusahaan komoditas Jagung
memiliki keunggulan komparatif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya
domestik relatif terhadap sistem pengusahaan komoditas Jagung di Negara lain.
Dalam konteks ini komoditas Jagung dapat dijadikan sebagai komoditas promosi
ekspor atau substitusi impor.
Begitu juga dari sisi kompetitif, bahwa komoditas Jagung di Jawa Barat
memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh koefisien PCR sebesar 0,40,
hal ini menunjukkan bahwa dalam pengusahaan komoditas Jagung di Indonesia
memiliki efisensi secara finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitif. Nilai
PCR 0,40 memiliki makna bahwa untuk pemperoleh nilai tambah output komoditas
Jagung sebesar Rp. 1, maka dibutuhkan penggunaan sumberdaya domestik
sebesar Rp. 0,40, karena alokasi kurang dari Rp. 1. Oleh karena itu, dapat
dikatakan komoditas Jagung memiliki efisiensi finansial dan kompetitif relatif
terhadap sistem pertanian yang ada di Indonesia.
Tabel 22. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Jagung
di Jawa Barat, 2014.
Indikator Daya Saing dan Kebijakan Nilai
1. DRC 0,35
2. PCR 0,40
3. NPCO 0,86
4. NPCI 0,84
5. EPC 0,87
Sumber: Hasil Perhitungan PAM yang diolah, 2014.
61
Secara umum bahwa indikator keunggulan kompetitif PCR lebih besar dari
keunggulan komparatif DRC hal ini dapat diduga dua kemungkinan yakni
pemerintah belum memberikan perhatian penuh terhadap sistem usaha tani
Jagung atau keungkinan kedua bahwa tingkat efisiensi sistem usaha tani Jagung
masih dapat ditingkatkan baik di tingkat usahatani (on farm) atau melalui
perbaikan insfrastruktur yang dapat menyebabkan meningkatnya efiseinsi usaha
tani jagung.
Dampak Kebijakan Pada Pengembangan Usahatani Jagung
Pada salah satu sistem produksi kebijakan pemerintah dapat mendistorsi
terhadap sisi output, input atau keduanya. Pada kasus pengusahaan komoditas
Jagung di Jawa Barat dampak kebijakan dapat dicermati pada Tabel 2. Dari sisi
output, tampak bahwa pemerintah belum memberikan kebijakan yang bersifat
protektif terhadap sistem usahatani komoditas Jagung.Hal ini diindikasikan oleh
indikator NPCO yang keseluruhannya < 1 yakni untuk Jawa Barat sebesar 0,86.
Hal ini dapat diartikan bahwa sistem pengusahaan Jagung di Jawa Barat petani
menerima harga output yang lebih rendah dari harga sosial karena tidak
diprotektif oleh Pemerintah.
Sementara pada sisi input, di Jawa Barat memiliki nilai NPCI < 1. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap faktor
input, sehingga petani membayar harga input lebih rendah dari harga sosialnya.
Di Jawa Barat nilai NPCI bernilai 0,84 artinya petani membayar nilai faktor input
usahatani Jagung hanya 84% dari banding nilai sosialnya atau lebih rendah
sebesar 16%.
Sementara dampak kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung (input dan
output) adalah bersifat tidak protektif, atau pemerintah tidak melakukan proteksi
kebijakan terhadap sistem usahatani Jagung di Indonesia yang diindikasikan oleh
nilai EPC 0,87 di Jawa Barat.
Komoditas Kedelai
Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Kedelai
Analisis finansial dan ekonomi di dalam penelitian ini digunakan untuk
mempelajari kelayakan usahatani Kedelai. Dalam analisis finansial akan dilihat
62
secara individu yang terlibat secara langsung dalam kegiatan usahatani kedelai,
sebaliknya analisis ekonomi akan meninjau semua aktivitas dilihat dari sudut
masyarakat secara keseluruhan. Pada analisis finansial harga private atau aktual
akan digunakan sebagai unit analisisnya, sedangkan pada analisiseeekonomi akan
digunakan harga sosial yang dihitung berdasarkan harga paritas ekspor. Harga
sosial tersebut merupakan harga yang sudah tidak ada lagi pengaruh intervensi
pemerintah dan pengaruh struktur pasar tidak bersaing sempurna (monopoli,
monopsoni dan lain-lain). Artinya, harga sosial merupakan harga yang terjadi di
pasar persaingan sempurna atau mendekati harga dunia, dan hanya dibedakan
oleh biaya transportasi ke lokasi lahan usahatani.
Hasil analisis analisis finansial di Jawa Barat berdasarkan harga private
diperoleh penerimaan dan biaya usahatani Kedelai per tahun masing-masing
sebesar Rp. 10,05 juta/ha dan Rp. 9,88 juta/ha, maka nilai keuntungan sebesar
Rp. 174 ribu/ha, serta nilai R/C sebesar 1,02. Dengan menggunakan harga sosial
(analisis ekonomi) diperoleh penerimaan dan biaya usahatani Kedelai per tahun
masing-masing sebesar Rp. 10,55 juta/ha dan Rp. 9,88 juta/ha, maka tingkat
keuntungan sebesar Rp. 678 ribu/ha, dan nilai R/C sebesar 1,07 (Tabel 23).
Dengan kedua analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa usahatani Kedelai
sangat tipis kelayakannya untuk diusahakan.
Tabel 23. Analisis Finansial (Private) dan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kedelai di Jawa Barat, 2014.
Uraian Private Sosial
1. Penerimaan (Rp. 000/ha/thn) 10.049 10.554
2. Biaya (Rp. 000/ha/thn) 9.876 9.876
3. Keuntungan(Rp. 000/ha/thn) 174 678
4. R/C 1,02 1,07 Sumber: Hasil Survey (diolah)
Selanjutnya upaya peningkatan produksi pertanian khususnya Padi, Jagung
dan Kedelai di Jawa Barat tidak terlepas dari dukungan sumberdaya lahan yang
ada. Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang ketersediaannya menjadi
salah satu syarat untuk dapat berlangsungnya proses produksi pertanian.
Sementara itu, bila dipandang dari segi potensi luas wilayah Provinsi Jawa Barat
meliputi wilayah daratan seluas 3.710.061, 32 ha dan garis pantai sepanjang
63
755,829 km. Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa kebun campuran
(22,89% dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20,27%) dan perkebunan
(17,41%), sementara hutan primer dan sekunder di Jawa Barat hanya 15,93%
dari seluruh wilayah Jawa Barat. Masing-masing wilayah memiliki ciri-ciri khusus
baik dari aspek sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Sumberdaya
alam dapat dibedakan berdasarkan topografi, jenis tanah, iklim, jenis penggunaan
tanah dan lain-lain. Menurut fisiografinya, Jawa Barat dapat distratifikasi kedalam
tiga strata wilayah yaitu (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011):
1. Strata wilayah dataran rendah pantai utara , yaitu wilayah dengan topografi
datar, dengan dominasi lahan sawah dan lahan keringnya sangat terbatas.
Wilayah ini meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan
Cirebon. Adapun dominasi lahan pada wilayah tersebut adalah yaitu dominan
usahatani Padi, sehingga dijuluki sebagai lumbung Padi/Beras baik bagi Jawa
Barat maupun nasional;
2. Strata wilayah dataran tinggi bagian tengah, dimana antara lahan sawah dan
lahan keringnya hampir berimbang. Adapun topografi wilayah ini umumnya
berbukit sehingga berbagai komoditas dapat dikembangkan seperti Padi,
palawija, sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan aneka tanaman lainnya.
Strata wilayah ini meliputi Kabupaten Bogor, Purwakarta, Bandung,
Sumedang, Kuningan, Majalengka, serta bagian utara dari Kabupaten
Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
3. Strata wilayah Jawa Barat Selatan, dengan topogafi didominasi oleh
perbukitan dan pegunungan, dengan sedikit lahan datar, sehingga luas lahan
sawah terbatas yang umumnya disekitar sungai dan pantai. Pengembangan
usahatani tanaman pangan harus hati-hati dengan memperhatikan kemiringan
lahan dan dengan usahatani konservasi. Wilayah ini meliputi Kabupaten
Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Pemanfaatan lahan secara produktif sangat menentukan terhadap
produktivitas komoditas pertanian, khususnya tanaman pangan sebagai sumber
karbohidrat untuk menjamin ketahanan pangan Jawa Barat. Berdasarkan data BPS
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011) bahwa luas baku lahan di
Jawa Barat pada tahun 2010 mencapai 3.563.914 ha yang terdiri dari lahan sawah
64
seluas 942.411 ha, lahan kering seluas 1.535.379 ha dan lahan bukan pertanian
seluas 1.086.124 ha. Bila dipandang perkembangan selama kurun waktu 2007-
2010, maka luas lahan sawah meningkat tipis sebesar 0,15 %/tahun. Peningkatan
luas lahan sawah tersebut disebabkan peningkatan yang tinggi pada lahan lebak.
Akan tetapi potensi lahan lebak ini relatif kecil yaitu hanya sekitar 600 hektar.
Potensi lahan sawah berpengairan ½ teknis, pengairan non PU serta tadah hujan
sederhana masih menunjukkkan peningkatan masing-masing sebesar 2,34; 0,52
dan 0,95 %/tahun. Sementara potensi lahan sawah teknis mengalami penurunan
sebesar 0,42 %/tahun.
Apabila potensi lahan baku tahun 2010 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yakni tahun 2009, maka dapat diketahui telah terjadi penurunan luas
lahan 7.503 ha atau menurun sekitar 0,79 %. Penurunan luas lahan sawah ini
salah satunya disebabkan dengan banyaknya lahan pertanian yang mengalami alih
fungsi menjadi non pertanian, seperti untuk perumahan, pembangunan waduk Jati
Gede, Bandara Internasional Jawa Barat, Jalan Tol Cisandawu Majalengka –
Cirebon dan sebagainya. Namun demikian validitas perkembangan luas lahan
masih memerlukan verifikasi yang lebih akurat. Hal ini mengingat menurut
informasi bahwa seringkali perubahan peruntukan lahan sesungguhnya telah
diantisipasi jauh sebelum realisasi pembangunan non pertanian tersebut. Artinya
rencana alih fungsi lahan tersebut telah masuk dalam revisi Peraturan Tata Ruang
Wilayah suatu daerah. Sehingga, status lahan sesungguhnya telah berubah
sebelumnya sesuai rencana (dalam RT RW) untuk pembangunan pertanian.
Sehingga jika terjadi realisasi pembangunan non pertanian yang menggunakan
lahan sawah (pertanian) misalnya, sesungguhnya di baku lahan yang ada lahan
tersebut sesungguhnya memang statusnya bukan lahan sawah lagi.
Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, dimana kebutuhan pangan
yang juga semakin meningkat maka diperlukan terobosan dalam peningkatan
produksi pangan. Upaya peningkatan produksi tersebut dapat dilakukan melalui
intensifikasi (inovasi teknologi) dan ekstensifikasi (perluasan areal tanam). Selain
itu, faktor iklim, curah hujan dan kesuburan tanah juga berpengaruh terhadap
produksi dan produktivitas padi. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi baru
yang menyesuaikan dengan kondisi alam.
65
Sementara itu, kendala antar sektoral yang dihadapi dalam peningkatan
produksi tanaman pangan semakin kompleks. Hal ini disebabkan oleh berbagai
perubahan dan perkembangan lingkungan strategis di luar sektor pertanian yang
berpengaruh terhadap upaya peningkatan produksi tanaman pangan. Tantangan
utama yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi tanaman pangan adalah:
(1) Meningkatnya permintaan beras sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk;
(2) Terbatasnya ketersediaan beras nasional maupun dunia; dan (3)
Kecenderungan meningkatnya harga pangan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Jawa Barat, 2013).
Di samping tantangan, upaya peningkatan produksi tanaman juga
dihadapkan pada sejumlah permasalahan, yaitu antara lain: (1) Dampak
Perubahan Iklim (DPI) dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT); (2)
Rusaknya infrastruktur irigasi, lingkungan dan semakin terbatasnya sumber air;
(3) Konversi lahan sawah; (4) Keterbatasan akses petani terhadap sumber-sumber
pembiayaan; (5) Kompetisi antar komoditas; (6) Tingginya konsumsi beras
sebagai pangan pokok sumber karbohidrat; (7) Belum sinerginya antar sektor dan
Pusat – Daerah dalam menunjang pembangunan pertanian khususnya produksi
padi dan jagung; dan (8) Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten (Pusat-
Daerah).
Di samping tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya
peningatan produksi tanaman pangan, terdapat sejumlah peluang yang apabila
dimanfaatkan dengan baik akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan
produksi. Peluang tersebut antara lain: (1) Kesenjangan hasil antara potensi dan
kondisi di lapangan masih tinggi; (2) Tersedia teknologi untuk meningkatkan
produktivitas; (3) Potensi sumberdaya lahan sawah, rawa/lebak, lahan kering
(perkebunan, kehutanan) yang masih luas; (4) Pengetahuan/Keterampilan SDM
(Petani, PPL, POPT, Pengawas Benih Tanaman, dan Petugas Pertanian Lainnya)
masih dapat dikembangkan; (5) Tersedianya potensi pengembangan produksi
berbagai pangan pilihan selain beras; (6) Dukungan Pemerintah Daerah, dan (7)
Ketersediaan sumber genetik. Kendala lainnya yang dihadapi pengembangan
sektor pertanian di Jawa Barat antara lain terkait konversi lahan ke penggunaan
66
non pertanian, kehilangan hasil, peningkatan kualitas hasil, panen dan kendala
terkait perubahan iklim.
Sementara itu, dalam rangka menghadapi kendala perubahan iklim saat ini,
terdapat beberapa kebijakan pada subsektor tanaman pangan yang dikeluarkan
untuk mengurangi dampak perubahan iklim tersebut. Tindakan paling tepat untuk
mengurangi dampak negatif dari sifat ekstrim iklim adalah dengan menyesuaikan
kegiatan pertanian. Kekeringan dan banjir adalah salah satu dampak perubahan
iklim yang sering terjadi di Jawa Barat.
Pendekatan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim antara lain: (1)
Strategis, didasarkan pada kondisi rata-rata iklim atau frekuensi terjadinya
bencana alam, (2) Taktis, lebih bersifat temporer melalui pendugaan atau
peramalan cuaca/iklim jangka pendek atau menegah, (3) Operasional, upaya yang
bersifat penyelamatan untuk mengurangi dampak kekeringan dan banjir yang
telah terjadi. Terdapat kecenderungan bahwa dampak perubahan iklim semakin
sering terjadi dengan wilayah semakin luas untuk itu perlu dilakukan langkah-
langkah antisipasi secara terencana dan terpadu agar dampak negatifnya dapat
ditekan serendah mungkin. Dampak perubahan iklim yang terkait langsung
dengan pengamanan produksi adalah: kekeringan dan banjir.
Adapun Wilayah Jawa Barat yang rawan kekeringan adalah: (1) Daerah
irigasi yang tidak ada fasilitas waduknya (misalnya: bendung rentang) yang
mengairi wilayah Cirebon dan Indramayu, (2) Areal sawah yang tidak
direkomendasikan untuk tanaman gadu (gadu liar), (3) Areal sawah irigasi yang
ada di wilayah ujung wilayah, (4) Areal sawah tadah hujan, dan (5) Areal sawah
yang infrastruktur irigasinya mengalami kerusakan. Langkah-langkah operasional:
(1) Pengembangan “Early Warning System”, (2) Penyiapan teknologi: teknologi
usaha tani yang tepat (pola tanam), pemupukan berimbang, pengaturan waktu
tanam, pengaturan distribusi air irigasi, teknologi embung atau sumur pompa,
teknologi konservasi tanah seperti penggunaan mulsa dan terasering, dan
pemanfaatan sumber air alternatif; (3) Penyiapan Sarana/Prasarana:
mempersiapkan pompa air didaerah kekeringan yang memungkinkan digunakan
pompanisasi (sumber air tersedia), dan mempersiapkan sumber air alternatif
antara lain sumur artesis.
67
Sementara itu, di lokasi kajian Kabupaten Cianjur bahwa penggunaan lahan
pertanian di Kabupaten Cianjur cenderung meningkat dari tahun 2010 hingga
tahun 2013. Pada tahun 2010, total penggunaan lahan seluas 193.815 ha,
kemudian meningkat menjadi 197.148 ha pada tahun 2013 atau meningkat sekitar
1,72 persen. Bila dilihat berdasarkan jenis lahannya, maka dapat diketahui untuk
lahan sawah (Irigasi dan Tadah hujan) juga mengalami peningkatan
penggunaannya dari 65.465 Ha pada tahun 2010 menjadi 66.283 Ha pada tahun
2013 atau meningkat sebesar 1,25 persen. Sementara pada lahan kering yaitu
tegal/kebun dan ladang/huma meningkat dari 86.864 ha tahun 2010 menjadi
90.160 ha tahun 2013, atau meningkat sekitar 3,79 persen. Adapun
perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di Kabupaten
Cianjur Tahun 2010 – 2013
No. Jenis Lahan Luas (Ha)
2010 2011 2012 2013
1. Sawah Irigasi 46.870 48.023 48.561 46.973
2. Sawah Tadah Hujan 18.595 17.955 17.604 19.310
3. Tegal/kebun 42.936 42.502 42.329 50.125
4. Ladang/huma 43.928 42.917 42.694 40.035
5. Perkebunan 41.486 41.466 41.416 40.705
Total Lahan 193.815 192.863 192.604 197.148 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Cianjur (2013)
Di lokasi kajian lainnya yaitu di Kabupaten Bandung, bahwa total
penggunaan lahan pertaniannya cenderung menurun dari tahun 2010 hingga
tahun 2013. Total luas lahan pertanian menurun dari 90.181 ha (tahun 2010)
menjadi 89.357 ha (tahun 2013) atau menurun sekitar 0,91 persen. Bila dipilah
atas jenis lahan yang digunakan, maka untuk lahan sawah (Irigasi dan Tadah
hujan) justru mengalami peningkatan penggunaan lahan dari 29.144 ha pada
tahun 2010 menjadi 35.682 ha pada tahun 2013 atau meningkat sebesar 22,43
persen. Peningkatan penggunaan lahan pada lahan sawah ini dapat disebabkan
oleh optimalisasi pemanfaatan lahan terutama pada lahan sawah tadah hujan dan
juga pencetakan lahan sawah baru. Sementara pada lahan kering yaitu
tegal/kebun dan ladang/huma meningkat dari 30.680 ha tahun 2010 menjadi
36.446 ha tahun 2013, atau meningkat sekitar 18,79 persen. Adapun
68
perkembangan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung dapat disajikan pada
Tabel 25.
Tabel 25. Perkembangan Jenis Penggunaan Lahan per Jenis Lahan di
Kabupaten Bandung Tahun 2010-2013
No. Jenis Lahan Luas (Ha)
2010 2011 2012 2013
1. Sawah Irigasi 22.250 23.588 32.915 32.766
2. Sawah Tadah Hujan 6.899 5.215 3.060 2.916
3. Tegal/kebun 19.754 22.217 22.954 27.490
4. Ladang/huma 10.926 9.460 9.044 8.956
5. Perkebunan 30.352 27.368 26.175 17.229
Total Lahan 90.181 87.848 94.148 89.357 Sumber: Dinas Pertanian Kab. Bandung (2013).
Daya Saing Kedelai
Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa Rasio Biaya Sumberdaya Domestik
atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC) pada usahatani Kedelai di Jawa Barat
nasional lebih besar dari satu (DRC = >1) atau 1,04. Nilai DRC 1,04 berarti untuk
memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 1.000.000 diperlukan tambahan biaya
faktor domestik sebesar Rp. 1.040.000. Angka ini menunjukkan bahwa komoditas
Kedelai di Jawa Barat tidak efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi.
Artinya, usahatani Kedelai yang dilakukan oleh petani tidak efisien secara ekonomi
dan tidak memiliki keunggulan komparatif.
Selanjutnya hasil analisis juga diperoleh nilai Private cost ratio (PCR) sebesar
0,98. Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani Kedelai efisien secara finansial
dan memiliki keunggulan secara kompetitif namun sudah sangat tipis (mendekati
break even, saat PCR=1). Nilai PCR sebesar 0,98 memiliki arti bahwa untuk
mendapatkan nilai tambah output kedelai sebesar Rp. 1.000.000 pada harga
private, diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 980.000. Hal ini
berarti penggunaan faktor domestik masih sedikit efisien sehingga masih sedikit
layak untuk diusahakan. Hal ini dikarenakan untuk meningkatkan nilai tambah
Kedelai sebesar satu juta rupiah dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari
satu juta rupiah.
69
Dampak Kebijakan Input dan Output
Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat
memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam
sistem tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan
produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Pada bahasan ini
dampak kebijakan terhadap usahatani Kedelai akan dibahas meliputi kebijakan
input, output dan kebijakan input-output dengan beberapa indikator dampak
kebijakan, yang dihitung berdasarkan Hasil Matriks Analisis Kebijakan (PAM),
seperti disajikan pada pada Tabel 26.
Bentuk distorsi atau campur tangan pemerintah pada input dapat berupa
penetapan pajak atau subsidi. Pengukuran dampak kebijakan pemerintah
terhadap input dalam penelitian ini akan digunakanNominal Protection Coefficient
on Tradable Inputs (NPCI) atau nilai Koefisien Proteksi Input Nominal, yang
merupakan rasio antara biaya tradable inputs yang dihitung berdasarkan harga
private dengan harga sosial. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi
yang dibebankan pemerintah pada tradable inputs bila dibandingkan tanpa adanya
kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) mengindikasikan
adanya kebijakan proteksi terhadap produsen tradable inputs selain terdapat
pajak pada input tersebut, sedangkan sektor yang menggunakan input tersebut
dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Sebaliknya, jika nilai NPCI lebih kecil
dari satu (NPCI < 1) mengindikasikan adanya subsidi atas input tersebut (Pearson
et al., 2005).
Dampak kebijakan input seperti yang terlihat pada Tabel 25,
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpihak kepada petani Kedelai
dengan nilai NPCI yang kurang dari satu (NPCI < 1). Artinya harga input yang
benar-benar dibayar oleh petani Kedelai di Jawa Barat lebih rendah dari
seharusnya, yaitu sebesar 76%. Hal ini berarti adanya kebijakan subsidi tradable
inputs pada usahatani Kedelai, khususnya terkait dengan komponen sarana pupuk
kimia (urea dan SP-36). Meskipun demikian nilai subsidi tersebut masih relatif kecil
sehingga upaya peningkatan produksi dan produktivitas usahatani Kedelai belum
dapat dilakukan secara optimal.
70
Sementara itu, bentuk kebijakan pemerintah terhadap output dapat berupa
subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat intervensi
pemerintah pada output tersebut adalah Nominal Protection Coefficient on
Tradable Outputs (NPCO) atau nilai Koefisien Proteksi Output Nominal. NPCO ini
merupakan rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial
dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO ini juga
merupakan indikasi dari Transfer Output yang menunjukkan seberapa besar harga
privat berbeda dengan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO <
1), berarti harga domestik lebih rendah dari harga dunia. Hal ini berarti harga
domestik di diproteksi. Dari hasil analisis diperoleh nilai NPCO usahatani kedelai
secara nasional sebesar 0,95 atau nilai NPCO < 1.
Angka NPCO yang lebih kecil dari satu tersebut menunjukkan bahwa harga
domestik Kedelai diproteksi pemerintah. Namun faktanya, ternyata Kedelai impor
cukup banyak terdapat di pasaran. Hal ini dapat terus menekan harga Kedelai
domestik. Kondisi demikian tampaknya kurang menjadi dorongan bagi petani
untuk terus meningkatkan produksi Kedelai domestik. Apalagi diketahui Kedelai
merupakan crop competition dan imperfect substitutability antara Kedelai impor
dengan lokal.
Dampak kebijakan secara keseluruhan baik terhadap input maupun output
dapat dilihat dari Effective Protection Coefficient (EPC) atau Koefisien Proteksi
Efektif. Nilai EPC ini diperoleh berdasarkan rasio antara selisih penerimaan dan
biaya input tradable yang dihitung pada harga private dengan selisih penerimaan
dan biaya input tradable yang dihitung pada tingkat harga sosial. Nilai EPC
tersebut menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi
atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC >
1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan
efektif. Sebaliknya, nilai EPC yang lebih kecil dari satu (EPC < 1) menunjukkan
kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai EPC komoditas kedelai secara
nasional sebesar 1,06 atau lebih besar dari satu (EPC > 1). Angka EPC ini
memberi gambaran bahwa petani Kedelai masih memperoleh perlindungan dari
71
pemerintah, baik untuk output maupun input. Petani dalam hal ini memperoleh
fasilitas proteksi dari pemerintah karena harga private output lebih besar dari
harga sosialnya. Selain itu, petani juga membeli input tradable lebih murah dari
harga sosialnya.
Tabel 26. Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pada Komoditas Kedelai di
Jawa Barat, 2014.
Indikator Daya Saing dan Kebijakan Nilai
1. DRC 1,04
2. PCR 0,98
3. NPCO 0,95
4. NPCI 0,76
5. EPC 1,06 Sumber: hasil perhitungan PAM yang diolah, 2014.
72
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis finansial dan ekonomi menggunakan metoda PAM,
diketahui bahwa secara nasional usahatani Padi memiliki daya saing yang baik,
ditunjukkan oleh indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR)
yang rendah, yaitu masing-masing 0,65 dan 0,38. Artinya, usaha tani Padi dan
yang dilakukan oleh petani efisien secara finansial dan ekonomi serta memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis pada tingkat provinsi sentra
produksi menunjukkan usaha tani Padi yang paling efisien terdapat di Lampung,
kemudian secara berurutan di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat dan
Sulawesi Selatan. Selanjutnya untuk keunggulan kompetitif, provinsi sentra
produksi Padi yang memiliki keunggulan kompetitif tertinggi adalah Jawa Barat
dan Sulawesi Selatan, kemudian secara berurutan diikuti oleh Lampung,
Sumatera Barat, NAD serta Sumatera Utara.
Komoditas Jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik, hal ini
ditunjukkan oleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,48, dan nilai PCR 0,54. Dengan
demikian, usaha tani Jagung efisien secara ekonomi dan finansial serta memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada masing-masing provinsi sentra
produksi Jagung, secara berurutan yang memiliki keunggulan komparatif tertinggi
adalah usaha tani Jagung di NTB, kemudian diikuti Jawa Barat dan Sulawesi
Selatan. Sementara itu, usaha tani Jagung di Sumatera Utara, NTT dan Sulawesi
Utara, nilai DRCnya mendekati 1, yang berarti masih memiliki keunggulan
komparatif tetapi tidak memberikan keuntungan yang memadai bagi petani.
Sejalan dengan keunggulan komparatif, di ketiga provinsi terakhir, usaha tani
Jagung juga memiliki keunggulan kompetitif yang rendah dengan nilai PCR yang
hampir mendekati 1. Bahkan untuk di Sumatera Utara sama sekali tidak memiliki
keunggulan kompetetif dengan PCR sebesar 1,07.
Usahatani Kedelai secara nasional tidak memiliki daya saing, hal ini
ditunjukkan oleh nilai DRCR sebesar 1,05, serta nilai PCR mendekati 1,0 (tepatnya
0,92). Di beberapa provinsi sentra produksi Kedelai seperti di NAD, Sumatera
Selatan, Jawa Tengah, NTB dan Sulawesi Utara diperoleh nilai DRCR lebih kecil
73
dari satu, yang berarti masih memiliki daya saing, namun dengan keuntungan
yang tidak memadai bagi petani. Adapun bagi petani di Provinsi Sumatera Utara,
Lampung, dan Jawa Timur usaha tani Kedelai tidak memiliki daya saing.
Berdasarkan nilai PCR, Provinsi Sumatera Selatan dinilai paling efisien dalam
penggunaan faktor domestik, disusul oleh Lampung dan Sulawesi Utara.
Bila hasil analisis finansial dan ekonomi ini dikaitkan dengan upaya
pencapaian sasaran swasembada Padi/Beras, Jagung, dan Kedelai dalam tiga
tahun, pemerintah mempunyai modal dasar yang baik untuk pencapaian sasaran
swasembada tersebut untuk komoditas Padi dan Jagung; namun akan sangat
berat untuk pencapaian sasaran swasembada untuk komoditas Kedelai.
Berdasarkan pengalaman rata-rata tiga tahun sebelumnya (20011 – 2013), neraca
pangan (produksi domestik dikurangi kebutuhan pangan dan lainnya) untuk Padi
dan Jagung sudah di atas 100 persen, sementara untuk Kedelai masih 39 persen
tingkat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan domestik. Dengan
permintaan yang akan terus meningkat, maka perlu ada terobosan yang sangat
signifikan bila swasembada Kedelai ingin benar-benar tercapai dalam tiga tahun.
5.2. Implikasi kebijakan
Berdasarkan hasil analisis kebijakan ini dapat disampaikan rekomendasi
alternatif kebijakan sebagai berikut:
(a) Swasembada Padi/Beras dalam tiga tahun ke depan, melanjutkan prestasi
yang sudah diraih tahun-tahun sebelumnya, dapat dicapai/dipertahankan
walaupun dalam keadaan total permintaan Beras yang terus meningkat
karena peningkatan jumlah penduduk setiap tahun. Dalam jangka pendek
langkah-langkah penting yang diperlukan diantaranya adalah:
(i) Perbaikan irigasi untuk meningkatkan ketersediaan air sepanjang tahun
sehingga dapat meningkatkan Indeks Pertamanan (IP). Perbaikan irigasi
ini harus sinergis dan terintegrasi mulai dari saluran primer, sekunder,
sampai tertier dan di petak sawah petani;
(ii) Penyediaan benih unggul bermutu yang tepat varietas sesuai pilihan
petani dan sesuai dengan karakteristik agroekosistem, termasuk
memperhatikan peta endemis hama dan penyakit tanaman Padi. Benih
harus sampai tepat waktu dan tepat kualitas/bersertifikat;
74
(iii) Penyediaan pupuk berimbang sesuai dengan karakteristik lahan petani.
Penggunaan Kit atau Alat Uji Tanah di lahan sawah petani akan sangat
membantu penentuan dosis pemupukan berimbang secara sepsifik
lokasi. Penyediaan pupuk tepat waktu, tepat kualitas, tepat jumlah
sesuai rekomendasi mutlak diperlukan. Selain itu, pupuk seyogyanya
dapat diperoleh petani pada harga yang disubsidi, mengingat daya beli
riil petani dapat menurun karena inflasi akibat kenaikan harga BBM;
(iv) Penerapan paket teknologi usaha tani terpadu seperti PTT (pengelolaan
sumberdaya dan pertanian terpadu) atau SRI (Sistem of Rice
Intensification) sesuai dengan disain awal yang tujuannya meningkatkan
keberdayaan (empowerment) petani melakukan usaha tani yang baik
melalui peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan petani
melakukan usahatani; bukan dengan pemberian bantuan sarana
produksi sebagai komponen utama, apalagi tanpa pendampingan yang
memadai dalam pemanfaatannya; dan
(v) Penyuluhan dan pendampingan yang intensif kepada kelompok tani
dalam memecahkan permasalahan sosial, ekonomi, dan teknis produksi
padi yang dihadapi kelompok tani dalam melaksanakan usaha taninya.
(b) Untuk komoditas jagung, dari data BPS diketahui sasaran swasembada
Jagung telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, sehingga langkah
selanjutnya adalah tetap mempertahankan swasembada secara
berkelanjutan. Upaya untuk meningkatkan produksi Jagung dan pendapatan
petani dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usahatani dengan
mengarahkan pada peningkatan produktivitas, penekanan biaya produksi
dan insentif harga output. Secara rinci beberapa upaya peningkatan
produktivitas dapat dilakukan antara lain melalui:
(i) Penerapan teknologi tepat guna melalui penyebarluasan benih unggul
hibrida di atas 80% dari luas tanam dan peningkatan penguasaan dan
penerapan teknik budidaya Jagung spesifik lokasi oleh petani;
(ii) Menjamin ketersediaan benih unggul dengan kualitas terjamin serta
tersedia tepat waktu;
75
(iii) Pendampingan kepada petani secara intensif dan kontinyu oleh aparat
pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti) dalam rangka penerapan
teknologi sesuai anjuran;
(iv) Pengaturan dalam pengadaan dan distribusi sarana produksi lainnya
(pupuk dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat petani pada
saat dibutuhkan;
(v) Pemberian rangsangan harga output kepada petani Jagung terutama
pada saat panen raya; dan
(vi) Pengembangan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam rangka
menjamin kepastian harga dan pasar Jagung yang dihasilkan petani.
(c) Untuk komoditas kedelai, permintaan untuk industri berbahan baku Kedelai
semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
pendapatan masyarakat. Total kebutuhan Kedelai tahun 2013 sekitar 2,2 juta
ton dan hanya dapat dipenuhi sekitar 39% dari produksi domestik. Dengan
mencermati kondisi produksi dan teknologi budidaya Kedelai yang
diaplikasikan oleh petani saat ini, maka cukup berat untuk mencapai sasaran
swasembada kedelai dalam tiga tahun ke depan. Namun demikian,
peningkatan produksi Kedelai dengan pertumbuhan yang sangat tinggi masih
mungkin dicapai apabla dilakukan langkah-langkah terobosan secara sungguh-
sungguh, diantaranya:
(i) Perluasan areal tanam dan areal panen yang cukup luas (target di atas
100.000 ha/tahun) dengan memanfaatkan pola tanam pada lahan
sawah, lahan terlantar, lahan perkebunan peremajaan tanaman, lahan
Perhutani, baik sebagai tanaman utama atau tanaman sela. Pengunaan
lahan yang secara tradisional sudah dimanfaatkan untuk usaha tani
jagung tidak dianjurkan dipakai usaha tani Kedelai, karena akan
menurunkan produksi jagung dan keuntungan dari usahatani Kedelai
masih lebih rendah dari jagung;
(ii) Identifikasi hasil pemuliaan varietas unggul Kedelai yang berpotensi hasil
tinggi (di atas 2,5 ton/ha) yang dilakukan oleh lembaga penelitian
maupun perguruan tinggi. Varietas unggul ini segera dimanfaatkan dan
disebarkan kepada petani melalui percepatan produksi benih,
76
pengadaan, dan distribusinya, disertai pendampingan dalam
pemanfaatannya;
(iii) Penerapan teknologi budidaya sesuai dengan rekomendasi. Teknologi
budidaya yang diterapkan mulai dari pengolahan lahan, penambahan
bahan organik tanah (pupuk organik), pemupukan secara lengkap dan
berimbang (NPK), pengendalian organisme pengganggu tanaman (hama
dan penyakit) secara terpadu, serta panen dan penanganan pasca panen
dengan tepat sehingga mengurangi kehilangan hasil. Dalam upaya ini
termasuk penyiasatan terhadap dampak perubahan iklim ekstrim yang
sangat berpengaruh pada penurunan produktivitas Kedelai;
(iv) Perbaikan harga jual Kedelai petani. Peningkatan harga jual Kedelai di
tingkat petani merupakan salah satu kunci utama dalam mengembalikan
minat petani untuk menanam Kedelai, seperti halnya yang telah terjadi
tahun 1992 dengan luas panen mendekati 1,9 juta hektar. Implementasi
kebijakan ini dapat dilakukan dengan penerapan harga dasar Kedelai
lengkap beserta instrument untuk implementasinya, termasuk
pembatasan impor dan/atau penerapan tarif impor yang relatif tinggi,
agar usaha tani Kedelai dapat memberikan keuntungan yang setara
dengan usahatani Jagung; dan
(v) Peningkatan kualitas intensifikasi di daerah sentra produksi Kedelai,
khususnya yang mempunyai keunggulan kompetitif tinggi seperti di
Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan NAD.
77
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto, A. 2009. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Makalah Seminar
Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, September 2009. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Desliana, M. 2005. Analisis Daya Saing dan Efesiensi Usahatani Padi Organik di Propinsi Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 73 halaman.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Laporan tahunan. Jawa Barat.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2011. Laporan tahunan. Jawa Barat.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan tahunan.
Jawa Barat.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur. 2013. Laporan Tahunan.
Cianjur.
Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2013. Laporan Tahunan. Bandung.
Firdaus, M. 2007. Analisis Daya Saing Kedelai Di Jawa Timur. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 1 No. 2 Nopember 2007: 16-26
Hadi, P. U, M. H. Malian, A. Agustian, S. H. Suhartini, dan A. M. Djulin. 2002.
Kajian Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia Tahun 2001. Puslitbang Sosek Pertanian bekerjasama dengan ARMP II – Badan
Litbang Pertanian. Bogor.
Hartati, U. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Pengusahaan Minyak Akar Wangi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ilham dan Russatra. 2009. Daya Saing Komoditas Pertanian: Konsep, Kinerja dan Kebijakan Pengembangan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(1), 2009: 38-
5.
Kementerian Pertanian. 2011. Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014.
Kementan, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2010. Renstra Kementan 2010-2014. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2012. Statistik Pertanian. Jakarta.
Kompas, Selasa 8 Juli 2002. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Kompas. 2009. Kenaikan Harga-Harga Pangan Dunia. Gramedia. Jakarta.
Monke, E.A. dan S.R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London. Edisi Revisi.
Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Pearson, S, Carl Gotsch dan Sjaiful Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
78
Rachman, B, Tj. Nurasa, J. Situmorang, F. Sulaeman, A.M. Djulin, dan V. Darwis.
2002. Studi Pengembangan Sistem Agribisnis Perkebunan Rakyat Dalam Perspektif Globalisasi Ekonomi. Makalah Seminar Hasil Penelitian Puslitbang
Sosek Pertanian, Bogor.
Rachman, B. 2009. Kebijakan Sistem Kelembagaan Pengelolaan Irigasi: Kasus
Provinsi Banten. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Vol 7 (1), Maret 2009: 1-19.
Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C.A. Rasahan dan Y. Saefudin. 1987.
Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. International Food Policy Research Institute, Washington D.C. and Center for
Agro Economic Research, Bogor.
Rusastra, I.W. dan F. Kasryno. 2005. Analisis Kebijakan Ekonomi Jagung Nasional.
Dalam Kasryno, et.al (Editor). Ekonomi Jagung Indonesia: 256-288. Badan Litbang Pertanian, Jakarta
Simatupang P. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan
Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Dalam: Dinamika Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku-2. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Simatupang. 2002. Daya Saing Komoditas Jagung. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Swastika, D.K.S. 2006. The Four Decades Journey and Future Prospect of Indonesia to Meet Its Demand For Maize. Economics And Finance In Indonesia, 54(1): 25-48.
Wardana, I..P, E.Y. Purwani, Suhartini, A.T. Rahmi, Z. Mardiyah, S.T. Ardiyanti,
Jumali, dan Lasmini, 2012. Almanak Padi Indonesia.Balai Besar Penelitian Padi Kementerian Pertanian.
www. bps.go.id. 2014. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung
dan Kedelai 2004-2014. Di unduh 1 November 2014.