Lap.kasus TB2 - Indikator

70
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sampai saat ini Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dunia. Pada bulan maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia. Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi dinegara- negara yang sedang berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Pada tahun 1994 untuk menanggulangi tuberkulosis di dunia, World Health Organization (WHO) mengembangkan strategi penanggulangan tuberkulosis 1

Transcript of Lap.kasus TB2 - Indikator

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar BelakangSampai saat ini Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dunia. Pada bulan maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia. Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi dinegara-negara yang sedang berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).Pada tahun 1994 untuk menanggulangi tuberkulosis di dunia, World Health Organization (WHO) mengembangkan strategi penanggulangan tuberkulosis yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). Penerapan strategi DOTS secara baik untuk secara cepat menekan penularan juga mencegah Multidrug Resistance Tuberculosis (MDRTB) . Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan pada pasien TB tipe menular. Penanggulangan TB dilakukan dengan menggunakan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS), yang mengandung lima komponen yaitu perlu komitmen politik penentu kebijaksanaan, diagnosis mikroskopis yang baik, pemberian obat yang baik dan diawasi secara baik, jaminan ketersediaan obat serta pencatatan dan pelaporan dalam mengawasi penderita menelan obat secara teratur dan benar oleh Pengawas Minum Obat (PMO). DOTS merupakan strategi WHO yang paling efektif untuk memastikan kepatuhan berobat dan kelengkapan pengobatan, dapat mengurangi biaya pengobatan TB paru, mengurangi frekuensi resistensi obat, resistensi MDR-TB, kasus kambuh, kasus gagal pengobatan dan meningkatkan angka kesembuhan.Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Tahun 2009 Indonesia berhasil mengurangi angka prevalensi TB sehingga Indonesia menduduki urutan ke-5 dengan jumlah penderita terbanyak secara global. Dimana angka penderita TB 253/100.000 penduduk. Dengan keberhasilan pengobatan per tahun 2010 mencapai 89,7 %. Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam progress Report MDR (Multi Drug Resistence) dan XDR TB per 2011, Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 28 negara dengan beban MDR tertinggi dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri per tahun 2010 di triwulan pertama pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa dahaknya menunjukkan terdapat 29 provinsi dengan angka sebesar 5-15% (terendah provinsi Bengkulu sebesar 7,8% dan tertinggi provinsi Papua sebesar 14,6%).

2. Perumusan Masalah Bagaimana gambaran tingkat keberhasilan penganggulangan penyakit Tuberkulosis periode Januari 2012 Desember 2012 di Unit Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas Hamadi ?

3. Tujuan Tujuan UmumMengetahui Gambaran tingkat keberhasilan penganggulangan penyakit Tuberkulosis periode Januari 2012 Desember 2012 di Unit Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas Hamadi. Tujuan Khusus Diketahuinya gambaran tingkat keberhasilan pengendalian penyakit Tuberkulosis periode April 2012 Maret 2013 di Unit Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas Hamadi berdasarkan kategori pemberian OAT. Diketahuinya gambaran tingkat keberhasilan pengendalian penyakit Tuberkulosis periode April 2012 Maret 2013 di Unit Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas Hamadi berdasarkan tipe pasien yang berkunjung. Diketahuinya gambaran tingkat keberhasilan pengendalian penyakit Tuberkulosis periode April 2012 Maret 2013 di Unit Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas Hamadi berdasarkan hasil pengobatan pasien.

4. Manfaat MasyarakatDiharapkan dapat menjadi sumbangan informasi yang berharga di masyarakat tentang pentingnya pengendalian penyakit Tuberkulosis serta bahaya penyakit Tuberkulosis sehingga dapat dilakukan pengobatan dan pencegahan sejak dini penyakit Tuberkulosis didalam masyarakat terutama didalam keluarga. PemerintahDiharapkan pemerintah dapat lebih peduli terhadap penyakit Tuberkulosis di masyarakat sehingga dapat dilakukan pencegahan dalam bentuk sosialisasi tentang bahaya penyakit Tuberkulosis dimasyarakat melalui instansi kesehatan terkait khususnya yang ada di Papua.

Tenaga Kesehatan Dapat memberikan tambahan informasi tentang bahaya penyakit Tuberkulosis serta dapat lebih ditingkatkan lagi segala upaya kesehatan dalam bentuk promosi kesehatan di lingkungan masyarakat tentang bahaya penyakit ini, serta dapat dilakukan pengobatan sejak dini terhadap penderita Tuberkulosis agar dapat menurunkan angka kesakitan yang disebabkan oleh penyakityang masih menjadi sepuluh masalah penyakit terbanyak khususnya di Puskesmas Hamadi. Fakultas Kedokteran Universitas CenderawasihDapat dipergunakan untuk menambahkan sumber kepustakaan sebagai bahan bacaan dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi TuberkulosisTuberkulosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang biasa menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain seperti pada kelenjar getah bening, ginjal, jantung, dan lain sebagainya.

2. Etiologi TuberkulosisTuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0,3 0,6 m dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.

3. Cara PenularanPenyakit tuberkulosis menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri M. tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.M. tuberculosaberhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentukglobular(bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksiimunologis bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB akan menjadidormant(istirahat). Bentuk-bentukdormantinilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksisputumdapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TB.

4. Faktor Resiko Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV/AIDS). Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak dengan pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif. Kontak dengan pasien TB resistan obat.

5. Klasifikasi TuberkulosaSampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Adapun beberapa klasifikasi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :1. Berdasarkan pemeriksaan dahaka. Tuberkulosis paru BTA positif: Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu, pagi, sewaktu) hasilnya BTA positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks menunjukkan gambaran tuberkulosis, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif, 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif (kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA negatif): Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif, foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan OAT.

2. Berdasarkan riwayat pengobatana. Kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (4 minggu).b. Kasus kambuh (relaps), yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).c. Kasus putus berobat (Default/Drop Out/ DO), yaitu pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebiih denggan BTA positif.d. Kasus gagal (Failure), yaitu pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kemballi menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.e. Kasus pindahan (Transfer in), yaitu pasien TB yang dipindahkan daari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.f. Kasus lain, yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, termasuk kasus kronik yaitu paisen dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

3. Menurut American Thoracic Society (1974), TB diklasifikasikan berdasarkan aspek kesehatan masyarakat, yaitu sebagai berikut :Kategori 0: Tidak pernah terpajan dan tidak pernah terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes tuberkulin negatif.Kategori I: Terpajan tuberkulosis tetapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak sakit, tes tuberkulin positif, radiologi dan sputum negatif.Kategori III: Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.

4. Menurut WHO (1991) yaitu berdasarkan terapinya, dan dibagi dalam 4 kategori, sebagai berikut :Kategori I, ditujukan terhadap: 1. Kasus baru dengan sputum positif2. Kasus baru dengan bentuk TB beratKategori II, ditujukan terhadap :1. Kasus kambuh,2. Kasus gagal dengan sputum BTA positifKategori III, ditujukan terhadap :1. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas,2. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I.Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik.

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis :1. Tuberkulosis paru.2. Bekas tuberkulosis paru.3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam:a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati dengan BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif.b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati, BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.Dalam 2-3 bulan TB tersangka sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru aktif atau bekas TB paru.

6. PatogenesisTuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit ( biasanya sel T ) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Raspon ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cenderung tertahan dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit ( Dannenberg 1981 ). Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari.Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus.Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi peradangan aktif.Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini disebut limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya.Paru yang terinfeksi menjadi lebih bengkak, mengakibatkan terjadinya bronko pneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya. Kecuali proes tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah kebawah kehilum paru-paru dan kemudian meluas kelobus yang berdekatan. Proses infeksi umumnya secara laten tidak menunjukkan gejala sepanjang hidup, sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif dan menjadi sakit TB. Dengan integritas kekebalan yang menurun karena malnutrisi, infeksi HIV, supresi kekebalan immunoterapi, atau bertambahnya usia. Awalnya, infeksi kuman dalam wujud droplet nuklei terhirup masuk saluran nafas dan menuju paru-paru. Di paru-paru, mereka akan bertemu makrofag jaringan dan neutrofil sebagai garis pertahanan pertama. Sebagian dari mereka mati akibat difagosit netrofil, terkena sekret makrofag dan terkena sekret saluran nafas. Bila kuman difagosit oleh makrofag, ia akan tetap hidup karena kuman TB bersifat intraseluler. M. tuberculosis merupakan basil tahan asam (BTA) karena ia memiliki banyak lipid yang membuatnya tahan terhadap asam, gangguan kimia dan fisik. Kandungan lipid yang banyak dalam makrofag, dimanfaatkan kuman untuk memperkuat dirinya. Setelah infeksi tuberkulosis primer, ada kemungkinan infeksi ini akan sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotik, kalsifikasi hilus dan di antaranya dapat kambuh kembali menjadi tuberkulosis sekunder karena kuman yang dormant ataupun akan menimbulkan komplikasi dan menyebar baik dapat secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen atau hematogen. Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru.

7. Diagnosis TuberkulosisApabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.* Pemeriksaan fisik.* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).* Rontgen dada (thorax photo).* Uji tuberkulin.a. Diagnosis TB ParuGejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): S(sewaktu):Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P(Pagi):Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S(sewaktu):Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.Indikasi Pemeriksaan Foto ToraksPada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon). Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

b. Diagnosis TB Ekstra Paru Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.

8. Differential DiagnosisSecara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan Pneumonia biasa, hal yang sama juga terjadi pada pemeriksaan radiologis. Pada awal lesi masih merupakan sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak- bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas.

9. KomplikasiPenyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas :1. Komplikasi Dini : Pleuritis, Efusi pleura Empiema TB Usus2. Komplikasi lanjut : Kerusakan parenkim berat menyebabkan fibrosis paru, Kor Pulmonal : Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot- otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotic amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Tanda- tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, dan sianosis. Hal ini sering terjadi pada Tb Milier dimana diakibatkan kuman masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru.

10. Penatalaksanaan Tuberkulosisa. Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di IndonesiaPaduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia: Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak.Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

c. OAT Sisipan (HRZE)Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.

b. Pencegahan Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuangdahak tidak disembarangan tempat.Bila Anda harus meludah, gunakan tempat seperti tempolong atau kaleng tertutup, untuk menampung dahak Anda. Cara yang aman untuk menjauhkan dahak Anda dari orang lainadalah buanglah dahak Anda ke lubang WC, atau timbun tampungan dahak Anda kedalam tanah di tempat yang jauh dari keramaian. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harusdiberikan vaksinasi BCG. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yangantara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya. Isolasi, pemeriksaan kepada orangorang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan alasan social ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan. DesInfeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga keberhasilan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian) ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. Imunisasi orangorang kontak. Tindakan pencegahan bagi orangorang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasinya dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular. Penyelidikan orangorang kontak. Tuberculintest bagi seluruh anggota keluarga denganfoto rontgen yang bereaksi positif, apabila caracara ini negatif, perlu diulangpemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat obatobat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter di minum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obatobat, denganpemeriksaaan penyelidikan oleh dokter.c. Tersedia saranasarana kedokteran, pemeriksaan pnderita, kontak atau suspect gambas,sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect,perawatan.d. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktifdengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.

12. Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah program pemberantasan penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahu 2000 strategi DOTS dapat dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK ( Unit Pelayanan Kesehatan ) terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.a. Strategi DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcourse )Fokus utama strategi DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada poenderita TB tipe menular WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektivitasnya.Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu : Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

b. Pengawas Minum Obat (PMO)Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin kesembuhan dan keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.Persyaratan untuk menjadi PMO yaitu seorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela dan bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan bersama sama dengan penderita. Sebaiknya PMo adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru imunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI (Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.Seorang Pmo mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar menlan obat secara teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga TB yang mempunyai gejala gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksanakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

BAB IIIMETODE PENELITIAN

1. Jenis PenelitianJenis penelitian yang dilakukan adalah community survey yang dilakukan dengan pengambilan data sekunder secara deskriptif retrospektif.

2. Lokasi PenelitianLokasi penelitian dilaksanakan di Unit Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas Hamadi Jayapura.

3. Waktu PenelitianPenelitian dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 8 Juni 2013 pukul 09.00 waktu pelayanan hingga selesai.

4. Populasi dan Sampel PenelitianPopulasi penelitian ini adalah semua pasien penderita Tuberkulosa yang berkunjung di Unit Pemberantasan Penyakit Menular Puskesmas Hamadi periode Januari 2012 Desember 2012. Sampel penelitian ini berjumlah 99 pasien penderita Tuberkulosa Paru Dewasa.

5. Variabel PenelitianVariabel Kuantitatif yang diteliti : Angka penjaringan suspek Case Detection Rate (CDR) Angka konversi (Convertion Rate) Angka Kesembuhan (Cure Rate)

6. Defenisi Operasional Tuberkulosis adalahpenyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang biasa menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain seperti pada kelenjar getah bening. Indikator Penanggulangan TB Nasional adalah Indikator yang dipakai dalam mengukur tingkat keberhasilan penanggulangan TB disuatu daerah, indikatornya sebagai berikut : Angka penjaringan suspek (Suspect Screening Rate) adalah jumlah suspek yang diperiksa per 100.000 penduduk. Angka penemuan kasus baru TB BTA (+) / Case Detection Rate (CDR) adalah persentase jumlag kasus baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibagi dengan jumlah kasus baru TB yang diperkirakan pada suatu populasi di suatu wilayah. Angka konversi (Convertion Rate) adalah persentase jumlah kasus baru TB BTA positif yang dikonversi menjadi negative dibagi dengan jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang diobati. Angka Kesembuhan (Cure Rate) adalah persentase dari jumlah kasus baru TB BTA positif yang sembuh dibagi dengan jumlah kasus baru TB BTA positif yang diobati. Angka Keberhasilan (Success Rate) adalah persentase kasus baru BTA positif yang sembuh plus pengobatan lengkap diantara kasus baru TB paru BTA positif yang diobati.

7. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan pengambilan data sekunder yang merupakan metode kajian dokumen berupa buku registrasi penanggulangan TB Nasional di Unit Pemberantasan Penyakit Menular(P2M) Puskesmas Hamadi periode Januari 2012 Desember 2012.

8. Pengolahan dan Analisis DataPengolahan data kuantitatif dilakukan dengan sistem tabulasi dan dianalisa berdasarkan indikator penanggulangan TB Nasional dan disajikan dalam bentuk persentase.BAB IVHASIL

1. Tabel Pendukung Variabel Penelitiana. Jumlah penduduk dan Jumlah SuspectJumlah pendudukDi wilayah kerja PKM Hamadi25.983 jiwa

Jumlah suspect yang diperiksa99 jiwa

b. Jumlah Kasus BTA (+) penderita TB paru dewasaBulanPemeriksaan Sputum BTA (Awal)

++++++Neg (-)Tak tercatat

Januari Maret201263109-

April Juni2012451294

Juli September201235951

Oktober Desember201211453

TOTAL141435288

Total BTA (+)43 penderita

c. Jumlah Konversi BTA (+) menjadi BTA (-) setelah pengobatan fase intensif 2 bulan.BulanTotal Konversi BTA (+) menjadi BTA (-)

Januari Maret201211

April - Juni201216

Juli September201210

Oktober Desember201210

Total47

d. Jumlah Penderita BTA (+) yang sembuh setelah selesai masa pengobatanBulanTotal Angka Kesembuhan

Januari Maret 20127

April - Juni 20129

Juli September20122

Oktober Desember 20121

Total19

2. Hasil Survey berdasarkan variabel penelitian kuantitatif menggunakan Indikator Penanggulangan TB Nasional.a. Angka Penjaringan Suspek

Jml suspect yang diperiksa x 100.000 Jumlah pendudukJumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk dalam waktu 1 tahun.

99 pasien x 100.000= 381 suspect 25.983 jiwaPKM Hamadi

b. Proporsi pasien TB BTA Positif diantara SuspectPersentase penderita BTA (+) yang ditemukan diantara semua suspek yang diperiksa dahaknya.

Jml pasien TB BTA (+) yg ditemukanx 100% Jml seluruh suspect yang diperiksaAngka ini sekitar 5 15 %

63 pasienx 100% = 63,6 %99 pasienPKM Hamadi

c. Case Detection Rate (CDR)Persentase jumlah penderita baru BTA (+) yang ditemukan dibanding jumlah penderita baru BTA (+) yang diperkirakan ada diwilayah tersebut.

Jml penderita baru BTA (+) x 100% Perkiraan Jml penderita baru BTA (+) Target CDR Penanggulangan TBC Nasional = 70 %

Perkiraan jumlah pasien TB BTA (+) yang ada disuatu wilayah = angka perkiraan nasional (daerah) penderita baru BTA (+) x jumlah penduduk wilayah tersebut.

48 penderita x 100%= 171 %28 penderitaEstimasi prevalensi TB nasional 107/100.00 x 25.983 jiwa = 28 penderita

Estimasi prevalensi TB di wilayah Puskesmas Hamadi mengalami overestimasi sebesar 171 %.d. Angka Konversi ( Conversion Rate )Persentase penderita TBC Paru BTA (+) yang ,mengalami konversi menjadi BTA (-) setelah pengobatan fase intensif 2 bulan.Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %.

Jml penderita BTA (+) yg dikonversi x 100% Jml penderita BTA (+) yang diobati

47 penderitax 100%= 74,6 % 63 penderita

e. Angka Kesembuhan ( Cure Rate )Persentase penderita BTA (+) yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara semua penderita BTA (+) yang tercatat.Angka minimal yang harus dicapai adalah 85 %. Angka ini menunjukkan keberhasilan program.

Jml penderita BTA (+) yg sembuhx 100% Jml penderita BTA (+) yang diobati

19 penderitax 100%= 30,1 % 63 penderitaPKM Hamadi

BAB VPEMBAHASAN

Berdasarkan persentase (%) menggunakan Indikator Penanggulangan TB Nasional, maka penelitian tentang gambaran tingkat keberhasilan penanggulangan Tuberkulosa Paru Dewasa di Puskesmas Hamadi periode Januari 2012 Desember 2012, sebagai berikut :1. Angka Penjaringan Suspect TB per 100.000 PendudukBerdasarkan penghitungan angka penjaringan suspek di wilayah kerja Puskesmas Hamadi dengan jumlah penduduk sebesar 25.983 jiwa dan jumlah suspek yang diperiksa sebanyak 99 pasien maka Angka Penjaringan Suspek TB per 100.000 penduduk didapatkan sebanyak 381 suspek. Angka ini merupakan penjaringan kasus yang rendah dimana jumlah penduduk yang banyak namun hanya 99 suspek yang diperiksa dari 381 suspek yang seharusnya dapat diperiksa sebagai standar yang harus dijaring selama 1 tahun berdasarkan jumlah penduduk diwilayah tersebut.Faktor penyebab rendahnya jumlah suspek yang diperiksa adalah Penjaringan suspek TB hanya dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, tidak terdapat penjaringan kasus oleh masyarakat diwilayah tersebut, penjaringan kasus secara aktif hanya melalui survey terhadap anggota keluarga dan tetangga yang dicurigai TB. Sebaiknya penjaringan kasus lebih ditingkatkan melalui penajaringan kasus oleh masyarakat dengan menggunakan model Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu / ibu ibu PKK. Hal ini lebih baik karena konsisten dengan salah satu elemen strategi baru WHO untuk menghentikan TB, yaitu pemberdayaan pasien dan komunitas. Model Deteksi dengan mengerahkan petugas kesehatan secara aktif mencari kasus TB pada penduduk merupakan model pertama yang dianjurkan namun dapat menyebabkan ketergantungan masyarakat kepada petugas, hal ini juga memicu kurangnya efektivitas penjaringan suspek TB dapat sehingga dapat menurunkan Angka penjaringan suspek disuatu daerah.

2. Proporsi Pasien TB BTA (+) diantara SuspectProporsi pasien TB BTA positif adalah persentase jumlah pasien TB BTA positif yang ditemukan diantara semua suspek yang diperiksa dahaknya. Perhitungan ini memberikan hasil sebesar 63,6 % TB BTA (+) yang merupakan persentase dalam jumlah besar terhadap tingginya pasien penderita TB BTA (+) di wilayah Puskesmas ini dari angka proporsi minimal yang seharusnya dicapai sebesar 5 15 %. Hal ini memperihatkan tingkat penanggulangan TB yang kurang maksimal dalam hal penularan serta pencegahan yang seharusnya lebih ditingkatkan dalam kegiatan kegiatan upaya kesehatan wajib dalam pemberantasan peyakit menular berupa penyuluhan kesehatan tentang bahaya tuberculosis, serta kunjungan rumah yang dilakukan terhadap rumah rumah penderita BTA (+) yang berpotensi besar dalam penularan didalam keluarga sendiri ataupun tetangga sekitar rumah penderita BTA (+).

3. Case Detection Rate ( CDR )Berdasarkan hasil CDR Puskesmas Hamadi jumlah penderita baru BTA (+) yang ditemukan sebanyak 48 penderita sedangkan angka perkiraan jumlah pasien TB BTA positif diwilayah tersebut seharusnya sebanyak 28 penderita. Hal ini dapat menerangkan bahwa jumlah penderita di wilayah Puskesmas Hamadi melampaui batas angka perkiraan maksimal yang didasarkan pada jumlah penduduk daerah tersebut. Hal ini sangat mempengaruhi perhitungan target CDR sebesar 70 %. Dimana persentase CDR yang didapatkan sebesar 171% pada wilayah puskesmas ini dari target CDR yang seharusnya 70 % sebagai target penanggulangan TB Nasional. sehingga terjadi overestimasi dimana estimasi prevalensi TB menjadi lebih dari dua kali lipat persentase target estimasi nasional. Dengan ditemukannya 48 penderita dari target estimasi sebanyak 28 orang menerangkan bahwa CDR / angka penemuan kasus baru sudah memenuhi target CDR.Target pencarian kasus berdasarkan estimasi prevalensi TB sebesar 107/100.000 penduduk diseluruh Indonesia sebenarnya tidak akurat dan dapat menyebabkan target jumlah kasus BTA positif terlalu tinggi / terlalu rendah untuk suatu provinsi, kota, kabupaten, maupun kecamatan. Untuk mengatasi masalah tersebut disarankan agar diterapkan penyesuaian (adjustment) estimasi prevalensi kasus TB yang digunakan sebagai target CDR ditingkat kota, kabupaten maupun kecamatan. Banyak analisis menunjukkan estimasi kasus TB dapat disesuaikan menurut variabel variabel berikut, yaitu tingkat pendapatan penduduk, kepadatan penduduk, kondisi lingkungan pemukiman, dan infeksi HIV/AIDS disuatu wilayah sebagai faktor resiko TB. Dengan angka koreksi (penyesuaian) tersebut maka provinsi / kota / kabupaten / kecamatan yang penduduknya memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi, kepadatan penduduk lebih rendah, lingkungan pemukiman lebih bersih dan insidensi infeksi HIV/AIDS yang rendah memiliki estimasi prevalensi kasus TB yang lebih rendah daripada wilayah yang penduduknya memiliki tingkat pendapatan lebih rendah, kepadatan penduduk lebih tinggi, lingkungan pemukiman lebih buruk, dan insidensi infeksi HIV/AIDS lebih tinggi akan menghasilkan estimasi prevalensi TB yang lebih tinggi. Dengan metode ini dapat dihindari overestimasi dan underestimasi tentang prevalensi kasus TB disuatu populasi.Faktor lainpenyebab estimasi CDR yang lebih tinggi dapat disebabkan; (1) Program TB hanya mengandalkan PCF ( Passive Case Finding) atau penjaringan suspek yang hanya dilakukan di fasilitas kesehatanuntuk menjaring kasus TB ; (2) Penerapan estimasi prevalensi kasus TB BTA (+) yang seragam diseluruh Indonesia yaitu 107/100.000 penduduk untuk semua kota, kabupaten, dan distrik/kecamatan ; (3) Penyebab lain, seperti penjaringan terlalu longgar, dan kualitas dahak yang diperiksa kurang baik maupun kesulitan mengeluarkan dahak.

4. Angka Konversi ( Conversion Rate )Angka konversi adalah persentase jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang dikonversi menjadi negatif dibagi jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang diobati. Indikator ini berguna untuk mengetahui dengan cepat hasil pengobatan dan mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.Angka konversi di unit Puskesmas Hamadi belum mencapai target minimal 80%, namun hampir mendekati target tersebut yaitu 74,6 % . Angka konversi ini sekaligus menerangkan Angka keberhasilan (Success Rate) penanggulangan TB di Puskesmas Hamadi. Dengan persentase 74,6 % memperlihatkan tingkat keberhasilan penanggulangan TB di Puskemas Hamadi belum berhasil. Hal ini dapat menerangkan bahwa pengawasan langsung menelan obat belum dilaksanakan secara efektif, sehingga mempengaruhi hasil pengobatan penderita TB dalam menaikkan angka konversi menjadi BTA negatif menjadi kurang maksimal.

5. Angka Kesembuhan ( Cure Rate )Angka kesembuhan adalah persentase kasus baru BTA positif yang sembuh diantara kasus baru TB paru BTA positif yang diobati. Angka kesembuhan berguna untuk mengetahui efektivitas OAT standar DOTS ketika diberikan kepada pasien TB disuatu komunitas. Angka kesembuhan di Puskemas Hamadi memperlihatkan angka kesembuhan yang rendah yaitu sebesar 30,1 %. Hasil ini jauh dari angka kesembuhan minimal untuk menilai tingkat keberhasilan penanggulangan TB yaitu minimal 85 %. Angka kesembuhan yang rendah merupakan indikator awal kemungkinan kekebalan/resistensi bakteri tuberkulosis terhadap OAT standar sehingga perlu dilakukan surveilans kekebalan/resistensi. Faktor penyebab rendahnya angka kesembuhan bisa melingkupi penyedia layanan ataupun pengguna layanan (pasien) diantaranya putus berobat karena merasa sudah enak, pasien kurang dimotivasi, efek samping obat, jumlah obat yang banyak serta diminum dalam jangka waktu lama,dan kurangnya pengawasan minum obat. Angka kesembuhan pasien TB sangatlah penting karena setiap pasien TB yang tidak sembuh atau tidak diobati merupakan faktor resiko TB yang mempengaruhi keberhasilan program penanggulangan TB.

BAB VIPENUTUP

1. KesimpulanBerdasarkan hasil dan pembahasan tersebut dapat dismpulkan, Program penanggulangan TB dengan strategi DOTS telah berjalan diunit pelayanan Puskesmas Hamadi Jayapura, tetapi belum mencapai hasil kuantitatif dan kualitatif yang menjadi target yang diharapkan, berikut pemaparan berdasarkan Indikator Penanggualngan TB Nasional. Periode Januari 2012 Desember 2012 :a. Penemuan kasus dan Case Detection rate (CDR) di ruang lingkup keja wilayah Puskesmas Hamadi mengalami overestimasi penderita dari angka perkiraan nasional penderita diwilayah tersebut yaitu sebanyak 48 penderita baru BTA (+) dari angka yang seharusnya 28 penderita. Hal ini menerangkan CDR di wilayah ini telah melewati target yaitu penemuan kasus baru lebih meningkat dua kali lipat pada tahun 2012.b. Angka konversi / angka keberhasilan dan angka kesembuhan masih dibawah target 80 % dan 85 %.Penemuan kasus baru telah memenuhi target tetapi angka konversi / angka keberhasilan serta angka kesembuhan masih dibawa target atau dikatakan tingkat keberhasilan penanggulangan TB di wilayah Puskesmas Hamadi belum berhasil karena angka kesembuhan yang rendah. Salah satu penyebab utama adalah kepatuhan unit pelayanan kesehatan tersebut masih rendah dalam menerapkan prosedur standar diagnosis, pengobatan, pencatatan dan pelaporan pasien TB., dan yang terutama adalah pelayanan upaya kesehatan wajib dalam pemberantasan penyakit ini masih kurang efektif dalam hal kunjungan rumah, penyuluhan tentang bahaya TBC serta perlunya Pengawas Minum Obat (PMO) dalam menanggulangi penyakit ini.

2. Saran Disarankan agar dapat dilakukan penguatan sistem dan partisipasi semua tenaga kesehatan dalam menanggulangi penyakit Tuberkulosa ini. Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan meningkatkan angka koreksi atau penyesuaian tentang estimasi angka prevalensi TB menurut pendapatan penduduk, kepadatan penduduk, indeks sanitasi lingkungan, prevalensi HIV/AIDS, dan faktor resiko TB lainnya, yang sedapat mungkin dapat dijadikan data sekunder di sistem pencatatan laopran unit pelayanan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Murti Bhisma, dkk. 2010. Evaluasi program pengendalian tuberculosis dengan strategi DOTS di Surakarta. FK-UNS ; Surakarta2.

46