Lapkas Tumor Tonsil

49
BAB I PENDAHULUAN Tumor tonsil dapat mengenai berbagai macam populasi. Utamanya pasien dengan tumor tonsil memiliki riwayat pajanan rokok dan alcohol untuk waktu lama. Data menunjukkan bahwa ditemukan infeksi HPV (human papilloma virus) pada tumor primer orofaring dan pada karsinoma tonsillar, menunjukkan bahwa orofaring dan cincin Waldeyer tonsil merupakan tempat predileksi onkogenesis yang berhubungan dengan infeksi HPV. Keganasan tonsil adalah keganasan kepala dan leher kedua yang sering dijumpai setelah karsinoma laring di Amerika Serikat. Secara histopatologi 90-95% dari lesi ini adalah karsinoma sel skuamosa, sedangkan 10% berasal dari limfoma. Banyak pasien dengan keganasan tonsil muncul dengan penyakit lanjut karena lesi awal umumnya tanpa gejala ketika ukuran tumor masih kecil, gejala berkurang pada sekitar 67-77% dari pasien dengan tumor lebih besar dari 2 cm. dan sering dijumpai metastasis nodus regional. Dengan presentase gejala klinik di leher, sekitar 45% dari lesi arcus tonsil anterior dan 76% dari lesi fosa tonsil. Limfoma maligna merupakan suatu penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid dan jaringan pendukungnya. Penyakit ini dibagi dalam dua golongan besar yaitu Limfoma Hodgkin dan Limfoma non Hodgkin. Non-Hodgkin lymphoma pada cincin Waldeyer relative jarang terjadi, dan tonsil palatine merupakan daerah yang paling sering terkena. Etiologi sebenarnya masih belum dapat dipastikan, namun sejumlah factor predisposisi sudah 1

description

Lapkas Tumor Tonsil

Transcript of Lapkas Tumor Tonsil

BAB IPENDAHULUAN

Tumor tonsil dapat mengenai berbagai macam populasi. Utamanya pasien dengan tumor tonsil memiliki riwayat pajanan rokok dan alcohol untuk waktu lama. Data menunjukkan bahwa ditemukan infeksi HPV (human papilloma virus) pada tumor primer orofaring dan pada karsinoma tonsillar, menunjukkan bahwa orofaring dan cincin Waldeyer tonsil merupakan tempat predileksi onkogenesis yang berhubungan dengan infeksi HPV. Keganasan tonsil adalah keganasan kepala dan leher kedua yang sering dijumpai setelah karsinoma laring di Amerika Serikat. Secara histopatologi 90-95% dari lesi ini adalah karsinoma sel skuamosa, sedangkan 10% berasal dari limfoma. Banyak pasien dengan keganasan tonsil muncul dengan penyakit lanjut karena lesi awal umumnya tanpa gejala ketika ukuran tumor masih kecil, gejala berkurang pada sekitar 67-77% dari pasien dengan tumor lebih besar dari 2 cm. dan sering dijumpai metastasis nodus regional. Dengan presentase gejala klinik di leher, sekitar 45% dari lesi arcus tonsil anterior dan 76% dari lesi fosa tonsil. Limfoma maligna merupakan suatu penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid dan jaringan pendukungnya. Penyakit ini dibagi dalam dua golongan besar yaitu Limfoma Hodgkin dan Limfoma non Hodgkin. Non-Hodgkin lymphoma pada cincin Waldeyer relative jarang terjadi, dan tonsil palatine merupakan daerah yang paling sering terkena. Etiologi sebenarnya masih belum dapat dipastikan, namun sejumlah factor predisposisi sudah dapat ditentukan, diantaranya termasuk infeksi HIV (human immunodeficiency virus) dan EBV (Epstein-Barr virus). Non-Hodgkin lymphoma (NHL) pada rongga mulut dan orofaring mengisi 13% dari semua NHL ekstranodal primer, dengan sekitar 70% diantaranya terjadi pada tonsil. Tonsil palatine merupakan tempat yang paling sering terkena, diikuti degan palatum, gingiva, dan lidah. Sebagian besar limfoma yang ditemukan pada tonsil palatine merupakan tipe sel B, dan diffuse large B cell lymphoma (DLBCL) merupakan jenis yang oaling sering terjadi, sebanyak 80% dari kasus.

BAB IIPEMBAHASANA. Anatomi1. Anatomi Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas; hal ini membuktikan asalnya dari sisa perkembangan kantong brakial II. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman. Permukaan lateral tonsil yang tersembunyi ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat disebut kapsul; walaupun para ahli anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para pakar klinik menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis merupakan strukturn normal yang telah ada sejak masa embrio. Plika triangularis terletak di antara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari oto palatofaringeus. Fossa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi oleh otot-otot orofaring:1) Batas anterior adalah otot palatoglossus, disebut plika anterior, 2) Batas posterior adalah otot palatofaringeus, disebut plika posterior, 3) Batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Plika anterior berbentuk seperti kipas di rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Plika posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba Eustachius dan dasar tengkorak. ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus.

Gambar 1. Anatomi dari region tonsil

Plika anterior dan plika posterior ini bersatu di atas di palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Di bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a.karotis eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a.maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a. palatine desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal, dan a. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m.konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatine desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatine artery memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus. Selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktuli torasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N. IX).

2. Anatomi Kelenjar Getah Bening Leher Sistim aliran limfe leher penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe regional. Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman kuman / bakteri bakteri yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel sel tumor ganas ( kanker ). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel sel limfosit darah tepi. Ukuran normal dari kelenjar getah bening adalah < 1cm. Berdasarkan letaknya kelenjar limfa dileher terdiri atas kelenjar preaurikuler, retroaurikuler, submandibula, submental, juguler atas, juguler tengah, juguler bawah, segitiga leher dorsal, dan supraklavikula. Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfe yang selalau terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian juguler interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian juguler interna ini dibagi dalam kelompok superior, media dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, submandibula, servikalis superfisial, retrofaring, paratrakela, spinal asesorius, sklaneus anterior dan supraklavikula. Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal dari palatum mole tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe retro faring, spinal asesorius, parotis, servikalis superfisial dan kelenjar limfe submandibula.

Gambar 2. Kelenjar getah bening leher Kelenjar jugularis interna media menerima aliran limfe yang berasal langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna superior dan kelenjar limfe retrofaring bagian bawah. Kelenjar jugularis interna inferior menerima aliran limfe yang berasal langsung dari glandula tiroid, trakea, esofagus, baguan servikal,. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna superior dan media dan kelenjar limfe paratrakeal. Kelenjar limfe submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfe yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna. Kelenjar limfa submandibula, terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa kekelenjar jugularis interna superior.

Gambar 3. Regio kelenjar getah bening leher

Kelenjar limfa servikalis superfisial, terletak disepanjang vena jugularis eksterna, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis, daerah retroaurikula, kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior. Kelenjar limfa retrofaring, terletak diantara faring dan fasia prevertebra, mulai dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfe dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal asesorius bagian superior. Kelenjar limfa paratrakeal menerima aliran limfa yang berasal dari laring bagian bawah, hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfa mediastinum superior. Kelenjar limfa spinal asesorius, terletak disepanjang saraf spinal asesorius, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal, dan bagian belakang leher. Kelenjar limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring, orofaring, dan sinus paranasal. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa supraklavikula.Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunktus jugularis dan selanjutnya masuk keduktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dan untuk sisi sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung kesistim vena pada pertemuan vena jugularis interna dan vena subklavia. Juga duktus torasikus dan duktus limfatikus kanan menerima aliran limfe dari kelenjar limfa supraklavikula.

Gambar 4. Kelenjar getah bening leher dan insidensi metastasis

Pembesaran kelenjar getah bening dengan konsistensi keras seperti batu mengarah kepada keganasan, padat seperti karet mengarah kepada limfoma, lunak megarah kepada proses infeksi, fluktuatif mengarah telah terjadi abses. Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian posterior terdapat pada infeksi rubel dan mononukleosis. Supraklavikula atau kelenjar getah bening leher bagian belakang memiliki resiko keganasan lebih besar dari pada pembesaran kelenjar getah bening bagian anterior. Pada pembesaran kelenjar getah bening oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral, lunak dan dapat digerakkan. Bila infeksi oleh bakteri kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan oleh keganasan maka tanda-tanda peradangan tidak ada, konsistensi keras dan tidak dapat digerakkan.B. Insidensi Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000 penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 35 tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada golongan umur lebih muda. Insiden Limfoma Non Hodgkin 8 kali lipat Limfoma Hodgkin, insiden baru tahun 2004 di amerika serikat 50.000 kasus lebih, di China di perkirakan lebih dari 40.000 kasus. Insiden NHL meningkat sangat pesat. Ras orang kulit putih memiliki risiko lebih tinggi daripada orang kulit hitam di Amerika dan Asia. Jenis kelamin rasio laki dan perempuan sekitar 1.4:1, tetapi rasio dapat bervariasi tergantung pada subtipe NHL, karena menyebar pada mediastinum primer besar misalnya B-sel limfoma terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Usia untuk semua subtipe NHL lebih dari 60 tahun, kecuali untuk pasien dengan grade tinggi limfoma noncleaved lymphoblastic dan kecil, yang merupakan jenis yang paling umum NHL diamati pada anak-anak dan dewasa muda. pada pasien berusia 35-64 tahun hanya 16% kasus pada pasien lebih muda dari 35 tahun. Keganasan tonsil jarang ditemukan, dan hanya ditemukan pada kurang dari 0,5% kasus keganasan baru di Amerika tiap tahunnya. Karsinoma sel skuamosa tonsil lebih sering ditemui pada pria dibanding wanita sebanyak 3-4x, dan sebagian besar tumor baru terjadi pada usia decade kelima atau selanjutnya. Limfoma pada tonsil merupakan keganasan tonsil paling sering kedua pada keganasan di bidan otolaringologi. Keganasan lainnya antara lain tumor pada kelenjar saliva, dan lesi metastasis.C. Etiologi Penyebab yang pasti dari limfoma maligna masih belum diketahui dengan jelas. Walaupun demikian bukti-bukti epidemiologi, serologi dan histologi menyatakan bahwa faktor infeksi terutama infeksi virus diduga memegang peranan penting sebagai etiologi. Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya NHL, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1 berkaitan dengan leukemia sel T dewasa; virus imunodefisiensi humanus (HIV) menyebabkan AIDS, defek imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya limfoma sel B keganasan tinggi; virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan timbulnya limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus Ebstein Barr (EBV) telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika; infeksi kronis Helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung, terapi eliminasi H. pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma lambung. Defek imunitas regulasi-menurun imunitas berkaitan dengan timbulnya NHL, termasuk AIDS, reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas kronis, penyakit autoimun. Obat seperti fenitoin dan radiasi dapat menimbulkan setiap fase penyakit dari penyakit limfoproliferatif hingga limfoma. Penyebab keganasan dari daerah tonsil mirip dengan tumor lain saluran atas aerodigestive. Secara umum, tembakau dan alkohol telah diidentifikasi sebagai faktor etiologi utama. Karena sebagian besar tumor orofaring ditemukan pada pasien dengan kebiasaan minum alkohol dan perokok berat, kegiatan ini tampaknya memiliki efek sinergis. Kurang dari 4% dari seluruh karsinoma orofaringeal muncul di non-perokok dan non-peminum. Faktor lain etiologi penting adalah paparan iradiasi sebelumnya. Menurut National Cancer Institute, didapatkan faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru-baru ini, beberapa indikasi menunjukkan bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Walaupun virus Epstein-Barr (EBV) adalah pertimbangan utama dalam karsinoma nasofaring, papilloma virus (HPV) telah ditunjukkan sebagai lebih dari ancaman di daerah ini. Beberapa studi telah mengidentifikasi indikasi adanya HPV pada sekitar 60% dari karsinoma tonsil. HPV adalah virus DNA double-strain yang menginfeksi sel-sel epitel basal dan dapat ditemukan pada 36% dari karsinoma sel skuamosa dari oropharing. Meskipun lebih dari 100 strain telah diisolasi, HPV tipe 16 dan 18 yang paling sering terkait dengan kanker. Kode genom virus untuk oncoproteins E6, dan E7 yang mana meningkatan aktivitas pada strain yang sangat onkogenik. menyebabkan degradasi p53 penekan tumor, mencegah kematian sel yang terprogram. Hasil onkoprotein E7 dalam hilangnya retinoblastoma (Rb) supresor tumor. Kehilangan PRB menyebabkan akumulasi p16, yang biasanya akan menghambat perkembangan siklus sel melalui cyclin D1 dan CDK4/CDK6 acara dimediasi. Namun, pemeriksaan E7 tidak sesuai siklus sel normal, dengan cepatnya pada siklus sel dari G1 ke fase S. Karena akumulasi ini, p16 dapat digunakan sebagai penanda kegiatan HPV.D. Klasifikasi Untuk menentukan prognosis dan respons terhadap pengobatan penderita limfoma maligna selain menentukan stadium klinis juga harus ditentukan klasifikasi histopatologinya.

Tabel 1. Klasifikasi LimfomaIWFRaportLukes & collins

*Low Grade Lymphoma- small lymphocyte- Folliculer, small cleaved cell- Folliculer, mixed small cleaved- Folliculer, mixed small cleaved and large cellDLWDNLPDNMLSLSC-FCCSC-FCC; Lg C-Fcc

*Intermediate Grade Lymphoma-Folliculer, large cell-Diffuse, small cleaved cell-Diffuse, mixed (small and large cell)-Difuse, large cellNHDLPDDMDHLg C; Lg NC-FCCSC-FCC-DSC-D; Lg C-DLgC-Fcc-D; LgNC-Fcc-D

*High Grade-Immunoblastik (large cell)-Lymphoblastic-Small non cleaved cellLymphoblasticBurkitLb1 sarcomaConvulated T cellSNC-FCC

Keterangan: DLWD=Diffuse Lymphocyte Well DifferentiatedNLPD= Noduler Lymphocytic poorly DifferentiatedDLPD= Diffuse Lymphocytic poorly DifferentiatedDML= Diffuse Mixed LymphomaDHL= Diffuse Hitiocytic LymphomaDUL= diffuse Undifferentiated lymphomaNML= Noduler mixed lymphomaNH= Noduler HistiocyticNC= Non cleavedFCC= Folliculer centre cellLbl= LymphoblasticC= CleavedS= SmallLg= LargeD= Diffuse Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologic. Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang sedikit atau kurang luas yang sklerotik. Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit, eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg. Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat. Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau limfoma non-Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.Tabel 2. (Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)Tipe utamaSub-tipeFrekuensi

Bentuk lymphocyte predominance (LP)NodularDifus}5%

Bentuk nodular sclerosis (NS)70-80%

Bentuk Mixed Cellulating (MC)10-20%

Bentuk Lymphocyte Depletion (LD)ReticularFibrosis difus}1%

(a)(b)Gambar 5. (a) Bentuk histopatologik limfoma hodgkin; (b) Sel Reed Sternberg

1. Staging Penentuan stadium kasrsinoma tonsil dibuat berdasarkan AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-6. Informasi klinis didapatkan dari berbagai macam sumber, termasuk pemeriksaan fisik dan pencitraan yang tersedia. Penetuan stadium karsinoma tonsil menurut AJCC tumor staging adalah sebagai berikut: Tx: Tumor primer tidak dapat diperiksa T0: Tidak ada tanda tumor primer Tis: Carcinoma in situ T1: Tumor 2cm pada dimensi terbesar T2: tumor > 2cm, namun < 4cm pada dimensi terbesar T3: Tumor > 4cm pada dimensi terbesar T4a: Tumor menginfasi laring, otot ekstrinsik lidah dalam, otot medial pterygoid, palatum durum, atau mandibular T4b: Tumor menginfasi otot lateral pterygoid, pterygoid plates, lateral nasopharynx, dasar tengkorak, atau menyelubungi arteri carotidKategori AJCC nodal (kecuali untuk karsinoma tiroid dan nasofaring) adalah sebagai berikut: Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat diperiksa N0: Tidak ada metastasis nodus limfa regional N1: Metastasis pada nodus limfa ipsilateral tunggal, diameter 3cm atau kurang N2: Metastasis pada nodus limfa ipsilateral tunggal, diameter > 3cm namun tidak lebih dari 6cm pada dimensi terbesar yang ditemukan; nodus limfa ipsilateral multiple, tidak lebih besar dari 6cm; nodus limfa bilateral atau kontralateral, tidak lebih besar dari 6cm. N2a: metastasis pada nodus limfa ipsilateral tunggal lebih besar dari 3cm, tapi kurang dari 6cm N2b: Metastasis pada nodus limfa ipsilateral multiple, tidak ada yang lebih besar dari 6 cm N2c: metastasis pada nodus limfa bilateral atau kontra lateral, tidak ada yang lebih besar dari 6cm N3: metastasis pada nodus limfa lebih besar dari 6cmMetastasis pada tempat yang terletak jauh (distant metastasis) Mx: Metastasis pada tempat yang jauh tidak dapat dinilai M0: Tidak ada metastasis pada tempat yang jauh M1: Terdapat metastasis pada tempat yang jauhDengan menggabungkan tumor primer, status nodus limfe, dan keberadaan metastasis ke tempat yang jauh, dapat ditentukan stadium karsinoma tonsil yang diderita pasien menurut guideline AJCC: Stadium I: T1 N0 M0 Stadium II: T2 N0 M0 Stadium III: T3 N0 M0 / T1 N1 M0 / T2 N1 M0 / T3 N1 M0 Stadium IVa: T4a N0 M0 / T4a N1 M0 / T1 N2 M0 / T2 N2 M0 / T3 N2 M0 / T4a N2 M0 Stadium IVb: T1-4b N3 M0 / T4b N1-3 M0 Stadium IVc: T1-4b N1-3 M1

E. Manifestasi klinis Gejala klinis meliputi keluhan keluhan penderita dan gejala sistemik, pembesaran kelenjar dan penyebaran ektra nodal. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan keluhan utama sebagian besar penderita limfoma maligna yaitu 56,1%. Urutan kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah kelenjar servikal (78,1%), kelenjar inguinal (65,6%), kelenjar aksiler (46,6%), kelenjar mediastinal (21,8%), kelenjar mesenterial (6,2%). Penyebaran extra nodal yang paling sering dijumpai adalah ke hepar, pleura, paru-paru dan sum-sum tulang. Penyebaran yang jarang tapi pernah dilaporkan adalah ke kulit, kelenjar prostat, mammae, ginjal, kandung kencing, ovarium, testis, medula spinalis serta traktus digestivus. Pembesaran seringkali asimetri, konsistensi padat atau kenyal, tidak nyeri, pada stadium dini tidak melekat, dapat menimbulkan tanda invasi dan kompresi setempat. Splenomegali umunya banyak ditemukan pada LH. Hepatomegali dan gangguan fungsi hati, terjadi pada stadium lanjut. Kelainan tulang rangka sekitar 0-15%, berupa nyeri tulang dan fraktur patologis. Kelainan pada kulit, dapat berupa massa, nodul, ulkus, pruritus. Dapat juga ditemukan kelainan neural berupa paralisis. Gejala sistemik yang khas yang berupa demam, keringat malam dan penurunan berat badan 10%.Tabel 3. Perbedaan karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma nonHodgkin (NHL)Limfoma Hodgkin (HL)Limfoma nonHodgkin (NHL)

Keluhan pertama berupa limfadenopati superficial terutama pada leherSekitar 40% timbul pertama di jaringan limfatik ekstranodi

Pembesaran 1 kelompok kelenjar limfe, dapat dalam jangka waktu sangat panjang tetap stabil atau kadang membesar dan kadang mengecil Perkembangannya tidak beraturan

Limfadenopati lebih lunak, lebih mobileBerderajat keganasan tinggi. Sering menginvasi kulit (merah, udem, nyeri), membentuk satu massa relatif keras terfiksir.

Berkembang relatif lebih lambat, perjalanan penyakit lebih panjang, reaksi terapi lebih baikProgresi lebih cepat, perjalanan penyakit lebih pendek, mudah kambuh, prognosis lebih buruk

1. Stadium Klinis Limfoma Maligna Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya penyebaran penyakit digunakan staging menurut simposium penyakit Hodgkin di Ann Arbor yaitu Rye staging yang disempurnakan oleh kelompok dari Stanford University yang ditetapkan pada simposium tersebut.

Tabel 4. Stadium klinik dari limfoma maligna menurut ANN ArborStadiumKelenjar organ yang terserang

I

II

III

IVIIEII

IIE

IISIIESIIIIIIE

IIIS

IIIESIVTumor terbatas pada kelenjar getah bening di satu regioBila mengenai satu organ ekstralimfatik/ektranodalTumor mengenai dua kelenjar getah bening di satu sisi diafragmaSatu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah bening di dua sisi diafragma Limpa disertai kelenjar getah bening di satu diafragmaKeduanyaTumor mengenai kelenjar getah bening di dua sisi diafragmaSatu organ ekstralimfatik disertai kelenjar getah bening di dua sisi diafragmaLimpa disertai kelenjar getah bening di dua sisi diafragmaKeduanyaPenyebaran luas pada kelenjar getah bening dan organ ekstralimfatik

Masing-masing stadium masih dibagi lagi menjadi dua subklasifikasi A dan BA. Bila tanpa keluhanB. Bila terdapat keluhan sistemik sebagi berikut: Panas badan yang tidak jelas sebabnya, kumat-kumatan dengan suhu diatas 38oC Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan Keringat malam dan gatal-gatal

Gambar 6. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

F. Diagnosis1. Stadium KlinisPemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan stadium klinik adalah:a. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan sistemik berupa demam, penurunan berat badan, keringat malam dan gatal-gatal. Penderita tanpa keluhan masuk dalam subklasifikasi A, sedangkan bila disertai keluhan sistemik masuk dalam subklasifikasi B dari Ann Arbor.b. Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah bening diseluruh tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik yang sering terjadi pada limfoma non hodgkinc. Biopsi kelenjar getah bening untuk menentukan apakah penderita LH atau LNH.d. Pemeriksaan radiologi meliputi foto dada PA/ lateral, tomografi mediastinum, limfografi kedua tungkai bawah.e. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes faal hati termasuk alkali fosfatase dan elektroforese protein, tes faal ginjal termasuk urin lengkap, BUN, serum kreatinin, asam urat dan elektrolit namun semuanya pemeriksaan ini tidak spesifik2. Stadium patologiUntuk menentukan stadium patologi diperlukan pemeriksaan antara laina. Pemeriksaan aspirasi biopsi sum-sum tulang daerah kristailiaka dengan jarum jamshidib. Pemeriksaan laparaskopi dengan indikasi pada staging klinis IB, IIB, IIIA dan IIIBc. Pemeriksaan laparatomi dengan indikasi pada staging klinik I-II (A dan B) dan IIIAd. Pemeriksaan cairan effusi secara sitomorfologi. Disamping pemeriksaan tersebut untuk penentuan stadium klinis dan patologi, masih terdapat banyak pemeriksaan yang hanya dilakukan pada pusat kedokteran tertentu dalam rangka penelitian lanjutan untuk penderita limfoma, antara lain:a. Pemeriksaan Whole body scintigram dengan Galium-67 dan selenium 75b. Whole body computed tomographyc. Ultrasonografi hati dan abdomend. Berbagai pemeriksaan immunologi guna menentukan status imunologi penderitae. Penentuan serum ion, total iron capacity, ceruloplasmin, zinc, hepatoglobin, fibrinogen, hydroxyprolin dalam urin, leucocyte alkali phospatase, hitung limfosit absolut, antibodi pada virus epstein barr serta HLA Untuk menilai apakah limpa atau hati terserang terdapat kriteria sebagai berikut:a. Limpa:terdapat pembesaran limpa yang ditopang dengan pemeriksaan radiologik atau terdapat filling defek pada pemeriksaan sidikan dengan isotop. Penderita dengan limpa yang membesar 50% tidak terdapat kelainan histologik sedangkan penderita tanpa pembesaran limpa 50% terdapat kelainan histologik.b. Hati: pembesaran hati disertai dengan peningkatan alkali fosfatase dan dua tes faal hati yang lain abnormal atau pemeriksaan sidikan hati dengan isotop abnormal disertai suatu kelainan faal hati.3. Diagnosis banding Limfadenopati harus dibedakan dan infeksi nonspesifik kelenjar limfe atau infeksi virus, metastasis, mononukleosis infeksiosa dll. Setiap pembesaran kelenjar limfe berdiameter >1 cm, diobservasi 6 minggu lebih tetap tidak mengecil, maka dilakukan biopsi. Massa mediastinum dan hilus pulmonal tanpa limfadenopati superfisial, sering kali perlu dibedakan dari karsinoma paru, tuberkulosis, dll. Pada umumnya, massa limfoma dapat lebih besar, progresi lebih cepat, kadang kala timbul multipel atau bilateral, sindrom kompresi vena kava superior sering kali tidak semenonjol karsinoma paru tipe sentral, pemeriksaan bronkoskopi dan tomografi hilus pulmonal area mediastinum membantu membedakan antara keduanya. Kasus tanpa limfadenopati superfisial, dengan gejala demam, diagnosis lebih sulit, bila dicurigai limfoma malignum, dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan CT abdomen untuk menemukan lesi retroperitoneal, ada kalanya dapat dipertimbangkan untuk laparotomi eksploratif. Pembesaran kelenjar getah bening akibat infeksi akut, menyebabkan hiperplasia kelenjar tersebut hingga secara klinis teraba membesar. Secara klinis akan ditemukan : lesi Primer sumber infeksi dan pembesaran kelenjar getah bening regioner, yang disertai tanda tanda umum peradangan berupa dolor, robor, kolor, tumor dan funsio laesa. Misalnya, ada sakit gigi atau karies dentis atau infeksi stomatitis sering diikuti pembesaran kelenjar getah bening submandibuler (limfadenitis submandibuler), apabila lesi infeksi primer sudah diobati, maka limfadenitis akut ini akan sembuh secara berangsur. Limfadenitis Kronis disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya pada keadaan seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain.

G. Terapi Sesudah diagnosis patologi dan stagingnya ditentukan maka mulailah dipikirkan tentang pengobatannya.

Tabel 5. Pengobatan penderita LNH menurut klasifikasi rapportPatologiDefinisiStadiumPengobatan

Unfavourable histologi

Favourable histologiSemua limfoma difus kecuali DLWD (DLPD, DH, DM, DU, NH)

Semua limfoma noduler kecuali noduler histiocyticI, II

III, IV

I

II,III,IVRadiasi dari kelenjar yang terserang disertai pemberian kemoterapi ajuvant C-MOPP, BACOP, CVP atau ABP

Kemoterapi CVP, C-MOPP, BACOP, CHOP, BCM, ABP

Radiasi pada daerah yang terserang atau sedikit meluas

Kemoterapi menggunakan chlorambucil atau kombinasi CVP. Radioterapi diperlukan untuk tumor besar disatu tempat

Keterangan:C-MOPP: Cyclophosphamide, Vincristine, procarbazine, prednisoloneCVP: Cyclophosphamide, Vincristine, prednisoloneBACOP: Bleomycine, adriamycine, Cyclophospamide, vincristine, prednisoloneCHOP: Adriamycine, Bleomycine, prednisoloneTabel 6. Pengobatan penderita dengan LNH menurut klasifikasi IWFGradasiLokalLanjut

Rendah

Sedang

TinggiRadiasi bagian yang terserangKemoterapi (CHOP) di sertai radiasi bagian yang terserangKemoterapi intensif radiasiKemoterapi (Chlorambucil atau CVP)

Kemoterapi (minimal CHOP atau kombinasi kemoterapi generasi baru)Kemoterapi intensif radiasi

Formula kemoterapi terhadap limfoma non-Hodgkin1. Formula CHOPCTX750mg/m2iv, dlADR50mg/m2iv, dlVCR1,4mg/m2iv (dosis maks. 2mg), dlPred.60mg/m2po, d1-5Diulangi setiap 21 hari.2. Formula M-BACODMTX 3000mg/m2 iv, d8, d15 (berikut salvasi CF)CF100mg/m2 po, q6h x8 (mulai 24jam pasca MTX)BLM4U/m2iv, dlADR45mg/m2iv, dlCTX600mg/m2iv, dlVCR1,4mg/m2iv, dlDXM6mg/m2d1-5Diulangi setiap 21 hari.3. Formula CHOP-RituximabCTX750 mg/m2iv, d3ADR50 mg/m2iv, d3VCR1,4 mg/m2iv (dosis max.2 mg), d3Pred.100 mg/m2po, d3-7Rituximab375 mg/m2iv, dlDiulangi setiap 21 hari.4. Formula FMD.FDR25mg/m2iv, d1-5MIT10mg/m2iv, dlDXM20mg/m2iv, d1-5Diulangi setiap 21 hari.5. Formula CODOX-M/IVAC. CODOX-MCTX 800 mg/m2 iv, dlCTX 200 mg/m2 iv, d2-5ADR40 mg/m2iv, dlVCR1,5 mg/m2iv (dosis max. 2mg), d1,8MTX6,7 g/m2iv drip kontinu 24jam, d10CF 192 mg/m2 iv, 12jam pasca MTX, lalu im, 12mg/m2, q6h, hingga kadar MTX darah