LAPKAS 2 - PEB

59
Laporan Kasus “PRE-EKLAMPSIA BERAT” Pembimbing : dr. Aranda Trisandyadenta, Sp.OG. Oleh : M. Hafidz Ramadhan Nely Kartika DEPARTEMEN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

description

pre eklampsia

Transcript of LAPKAS 2 - PEB

Laporan Kasus

“PRE-EKLAMPSIA BERAT”

Pembimbing :

dr. Aranda Trisandyadenta, Sp.OG.

Oleh :

M. Hafidz Ramadhan

Nely Kartika

DEPARTEMEN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

KEPANITERAAN KLINIK RS. ISLAM JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2

2015

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 2

1.3 Tujuan............................................................................................ 2

1.4 Manfaat ......................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3

2.1 Definisi Preeklampsia Berat .......................................................... 3

2.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat................................................. 4

2.3 Etiologi Preeklampsia Berat .......................................................... 4

2.3.1 Invasi Trofoblas Abnormal .................................................. 5

2.3.2 Teori Intoleransi Imunologik Ibu dan Janin ......................... 7

2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Endotel ........................ 8

2.4 Tata Laksana Preeklampsia Berat .................................................

2.6 Komplikasi Preeklampsia Berat ....................................................

2.4.1 Identifikasi Mayat yang Tidak Dikenal ............................... 8

BAB 3 Laporan Kasus ..................................................................................... 20

3.1 Identitas Pasien ............................................................................. 20

3.2 Subyektif ....................................................................................... 20

3.3 Obyektif ........................................................................................ 21

3.3.1 Pemeriksaan Fisik ................................................................ 21

3.3.2 Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 21

3.4 Assesment ..................................................................................... 22

3.5 Planning ........................................................................................ 22

BAB 4 Permasalahan ....................................................................................... 27

BAB 5 Pembahasan .......................................................................................... 25

BAB 6 PENUTUP .............................................................................................

3

Daftar Pustaka .........................................................................................................

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. SR

TTL : Jakarta, 01 Juni 1981

Umur : 34 tahun

Agama : Islam

Alamat : Kemayoran, Jakarta Pusat

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal MRS : 29 Juni 2015; 05.30 WIB

1.2 Subjektif

Anamnesis

Keluhan utama

Mules – mules sejak satu jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

G2P1A0 hamil 38 minggu datang ke Instalasi Gawat Darurat RSIJ CP atas

rujukan dari Rumah Bersalin H.S. Mangkuprawira dengan curiga pre-

eklampsia berat dengan tekanan darah 200/110 mmHg. Os mengeluhkan

mules – mules sejak satu jam smrs. Os juga mengaku keluar lendir

kecoklatan yang bercampur darah sejak dua jam smrs. Os menyangkal

keluar rembesan dari jalan lahir. Os mengeluh pusing dan batuk sejak satu

hari yang lalu, sudah minum obat sakit kepala namun tidak berkurang rasa

sakitmya. Os juga mengeluhkan kedua tungkai bawahnya mengalami

bengkak dua minggu smrs namun tidak terasa nyeri. Os menyangkal

adanya nyeri pada daerah ulu hati dan os juga tidak mengalami gangguan

pengelihatan. Os juga menyangkal mual dan muntah yang berlebihan

selama kehamilan.

5

Riwayat Pemeriksaan Kehamilan

Selama kehamilan os rutin kontrol ke bidan setiap bulan dan mengaku

tekanan darah os meningkat pada usia kehamilan ke 36 minggu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Os mengaku mengalami hal yang sama pada kehamilan yang pertama.

Pada usia kehamilan 35 minggu diterminasi kehamilannya dengan

persalinan perabdominal atas indikasi pre-eklampsia berat dan ketuban

pecah dini preterm. Namun setelah kehamilan tekanan darahnya berangsur

turun kembali. Diabetes mellitus dan asma disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu memiliki tekanan darah tinggi, DM dan asma disangkal.

Riwayat Pengobatan

Os rutin meminum tablet tambah darah selama kehamilan. Os mengaku

tidak minum obat apapun untuk menurunkan tekanan darah tingginya saat

kehamilan ini.

Riwayat Psikososial

Merokok dan minum alkohol disangkal.

Riwayat Alergi

Os tidak memiliki alergi terhadap debu, obat – obatan maupun makanan.

Riwayat Haid

Menarche : 13 tahun

Lama haid : 7 hari

Siklus haid : 28 hari

HPHT : 21 September 2014

Dismenorrhea : (-)

Riwayat Pernikahan & KB

Pernikahan yang pertama, lama menikah delapan tahun. Os memakai alat

kontrasepsi kondom.

Riwayat Persalinan

Gravida (2), Aterm (0), Premature (1), Abortus (0), Anak Hidup (1), Sectio

Caesarea (1)

6

NoTempat bersalin

Penolong Tahun AtermJenis

persalinanPenyulit

AnakJK BB (g)

1. RS Dokter 2011 - SC PEB & KPD

P 2300 g

2. Ini

1.3 Objektif

Pemeriksaan Fisik Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang berat

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 200/100 mmHg

Nadi : 98 x/menit

Pernapasan : 22 x/menit

Suhu : 36,5 0C

Berat Badan : 91 Kg

Tinggi Badan : 162 Cm.

Status Generalis

Kepala : Normocephal

Telinga : Sekret (-)

Mata : Konjungtiva anemis -/-; Sklera ikterik -/-

Hidung : Sekret (-/-)

Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab

Leher : Pembesaran KGB (-); Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Vocal fremitus normal, ictus cordis teraba di ICS 5 sinistra

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi: Pulmo : vesicular +/+, wheezing-/- , ronki -/-

Cor : S1 S2 tunggal, reguler, murmur -/-

Abdomen

Inspeksi : Linea nigra (+), striae gravidarum (+)

7

Auskultasi: BU (+) dalam batas normal

Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen

Palpasi : Nyeri epigastrium (-)

Ekstremitas : Atas : hangat +/+; edema -/-; CRT < 2dt

Bawah : hangat +/+; edema +/+; CRT < 2dt

Status Obstetrik

Inspeksi : Striae Gravidarum (+); Linea nigra (+)

Palpasi : TFU : 34 Cm, TBJ 3565 Gram

Leopold I : Teraba bagian lunak, kesan bokong

Leopold II : Teraba bagian memanjang sebelah kiri, kesan

punggung

Leopold III : Teraba bagian keras, kesan kepala

Leopold IV : Sudah masuk PAP, Divergen 3/5

His : 2 kali dalam 10’; 30- 35”

DJJ : 145 x/menit

Pemeriksaan Dalam : ǿ 1-2 cm, Hodge 1, Ket (+), Presentasi kepala.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : 29 Juni 2015; 06.30 WIB

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hemoglobin 11.9 g/dL 11.7 – 15.5

Eritrosit 4.30 10³/uL 3.80 – 5.20

Leukosit 12.72 10³/uL 3.60 – 11.0

Trombosit 136 10³/uL 150 -440

HbsAg (-) negatif (-) negatif

Protein Urin 3+ Negatif

1.4 Assesment

G2P1A0 hamil 38 minggu dengan pre-eklampsia berat.

8

1.5 Planning

29 Juni 2015; 05.40 WIB

Tatalaksana Kegawatdaruratan :

Survei Primer : Cek Airway, Breathing, Circulation,

Deformitas/Drugs tidak ada kelainan.

Survey Sekunder : Pencegahan kejang.

a. Tirah baring, tidur miring kiri.

b. Infus RL.

c. Pasang DC untuk memantau produksi urin urin hanya keluar

sedikit (20 cc).

d. Lakukan EKG hasil EKG normal.

e. Kontraindikasi untuk dilakukan pemberian anti kejang MgSO4

berikan Nifedipine 10 mg sub-lingual (diulang sebanyak 2 kali -

selang satu jam sambil menunggu dipindahkan ke ruang HCU).

f. Konsul ke dr. Helmina, SpOG persiapan SC CITO pukul 07.00.

29 Juni 2015; 06.30 WIB

Persiapan SC CITO, Os sudah dibawa ke ruang HCU sambil

menunggu dr. Helmina, SpOG, dokter spesialis anestesi, dan dokter

spesialis anak.

Pasang monitor; observasi TTV; His; DJJ Tekanan Darah

170/100 mmHg; His 2 x dalam 10’; 40- 45”, DJJ 150 x/m.

VT : Porsio tebal lunak, ǿ 1-2 cm, Hodge 1, Ket (+), Presentasi

kepala.

29 Juni 2015; 08.30 WIB

Os ingin meneran, VT : ǿ lengkap, Hodge II

Ketuban pecah spontan (08.50), jernih.

29 Juni 2015; 08.55 WIB

Os dibawa ke ruang OK, Os meneran secara terus – menerus.

9

29 Juni 2015; 09.10 WIB

Bayi lahir spontan, perempuan, lilitan tali pusat 1x di leher, tangis

kuat

Berat lahir 2600 gram; Panjang badan 47 cm; Apgar Score : 9/10.

Inj. Syntocinon 1 Ampul IM

29 Juni 2015; 09.17 WIB

Plasenta lahir lengkap, berat 350 gram, ukuran : 12 x 12 x 2 cm,

panjang tali pusat 50 cm, jumlah perdarahan 250 cc

29 Juni 2015; 11.30 WIB

Keadaan umum tampak sakit ringan, TD : 170/100 mmHg, HR 88

x/m, RR 20 x/m

Fundus uteri 2 jari bawah pusat

1.6 Follow-up Pasien

Tanggal S O A P29 Juni 2015

14.00

Tidak ada keluhan

Keadaan umum : sakit ringan Kesadaran : composmentisTD : 160/100 mmHgHR : 80 x/menitRR : 18 x/menitS : 36,6 oCMammae : Simetris (+) ASI -/- Abdomen : Lemas Genitalia : darah (-) lendir (-)Ekstremitas : Akral hangat CRT < 2dt, edema +/+

G2P2A0 dengan PEB; Post Partus Spontan

Post Partus Spontan

Observasi TTV, kontraksi uterus, dan perdarahan.

O2 Nasal Canul 3 l/menit

Infus D5% + Syntocinon 2 Ampul

Amlodipine 1 x 5 mg

Captopril 2 x 12,5 mg

Skin test inj.

10

Ceftriaxone 2 x 1 gr

Inj. Ketorolac 3 x 1 amp

Ca Glukonas 1 x 1

Cek Lab HR30 Juli 2015

14.00

Tidak ada keluhan

Keadaan umum : sakit ringanKesadaran : composmentisTD : 165/100 mmHg HR : 87 x/menitRR : 21 x/menitS : 37 oCMammae : Simetris (+) ASI -/- Abdomen : Lemas Genitalia : darah (-) lendir (-)Ekstremitas : Akral hangat CRT < 2dt, edema +/+

G2P2A0 dengan PEB; Post Partus Spontan

Lanjutkan terapi

Observasi TTV, dan perdarahan.

Aff DC & Nasal canul

01 Juli 2015

14.00

Tidak ada keluhan

Keadaan umum : sakit ringanKesadaran : composmentisTD : 150/80 mmHgHR : x/menitRR : x/menitS : 36,6 oCMammae : Simetris (+) ASI -/- Abdomen : Lemas Genitalia : darah (-) lendir (-)Ekstremitas : Akral hangat CRT < 2dt, edema +/+

G2P2A0 dengan PEB; Post Partus Spontan

Lanjutkan terapi

Observasi TTV, dan perdarahan.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai

dengan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan

proteinuria (Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90

mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali

selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24

jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008).

Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam

kehamilan, yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia

dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat

(George, 2007).

Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160

mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam

atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia

kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan

preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat

menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat

berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).

Preeklampsia berat dibagi menjadi:

a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia

b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.

Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala

subjektif berupa :

Muntah-muntah

Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak

12

Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau

oedema, atau sakit karena perubahan pada lambung

Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta.

Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan –

perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).

2.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat

Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam

kehamilan, termasuk preeclampsia berat, yaitu:

Primigravida, primipaternitas

Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes

mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.

Umur yang ekstrim.

Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.

Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

(Angsar, 2008)

Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI

kurang dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari

35 kg/m2

Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan

bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden

preeclampsia yang tinggi.

Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada

kehamilan secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko

hipertensi kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko

hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007).

2.3 Etiologi Preeklampsia Berat

Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat

menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:

Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali

13

Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada

kehamilan kembar atau kehamilan mola.

Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.

Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi

selama kehamilan.

Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di

dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk

terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade

peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah

kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme,

transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),

penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:

1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.

2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.

3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon

inflamasi dari kehamilan normal.

4. Faktor defisiensi nutrisi.

5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).

2.3.1 Invasi trofoblas abnormal

Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling

akibat invasi endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot arteri spiralis.

Hal ini menimbulkan degenerasi lapisan otot arteri spiralis sehingga terjadi

dilatasi dan distensi (Gambar 2.1). Pada preeclampsia, terjadi invasi

trofoblas namun tidak sempurna dan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas

pada lapisan otot arteri spiralis. Dalam hal ini, hanya pembuluh darah

desidua (bukan pembuluh darah miometrium) yang dilapisi oleh

endovaskuler trofoblas. Akibatnya, lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan

keras serta tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan dilatasi. Ini

menciptkan suatu keadaan di mana arteri spiralis mengalami vasokonstriksi

relative. Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan bahwa keparahan defek

14

invasi trofoblas pada arteri spiralis berkaitan dengan keparahan hipertensi

(Cunningham, et al, 2007).

Gambar 2.1Implantasi plasenta yang normal menunjukkan adanya proliferasi trofoblas

extravili, membentuk saluran di bawah villi yang melekat. Trofoblas extravillous menginvasi desidua dan masuk ke dalam artei spiralis. Hal ini menyebabkan perubahan pada endotel dan dinding otot pembuluh darah

sehingga pembuluh darah melebar (Cunningham, et al, 2007)

15

Gambar 2.2Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan

preeclampsia. Tampak pada gambar bahwa pada preeclampsia terjadi remodeling yang tidak sempurna sehingga arteri spiralis relative menjadi lebih konstriksi.

(Cunningham, et al, 2007)De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil

dari sisi implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron.

Mereka menemukan bahwa perubahan preeklampsi pada tahap awal

termasuk kerusakan endotel, insudasi plasma ke dalam pembuluh darah,

proliferasi sel-sel miointima, dan nekrosis medial. Mereka menemukan

adanya lipid yang trerakumulasi di dalam sel-sel miointima kemudian di

dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid bersama sel

inflamasi lainnya di dalam pembuluh darah dinamakan atherosis. Biasanya,

pembuluh darah yang terkena atherosis akan berkembang menjadi aneurisma

dan seringkali berkaitan dengan arteriola spiralis yang gagal untuk

melakukan adaptasi. Obstruksi pada lumen arteriola spiralis oleh atherosis

dapat mengganggu aliran darah plasenta. Hal inilah yang membuat perfusi

plasenta menurun dan menyebabkan terjadinya sindrom preeklampsi

(Cunningham, et al, 2007)

16

Gambar 2.3Atherosis dalam pembuluh darah ini diambil dari anyaman plasenta (sebelah kiri,

menunjukkan gambaran fotomikrograf; sebelah kanan, menunjukkan diagram skematik dari pembuluh darah). Kerusakan endotel menyebabkan penyempitan

pada lumen pembuluh darah akibat akumulasi protein plasma dan foamy makrofag di bawah endotel. Foamy makrofag ditunjukkan oleh anak panah yang

melengkung, sedangkan anak panah yang lurus menunjukkan kerusakan endotel.

2.3.2 Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin

Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya

hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut;

Primigravida mempunyai faktor risiko lebih besar terjadinya hipertensi

dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida

Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih

besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan

suami yang sebelumnya.

Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam

kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan

ialah makin lama periode ini makin kecil terjadinya hipertensi dalam

kehamilan.

Pada perempuan hamil normal respon imun tidak menolak adanya

“hasil konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human

Leucocyte Antigen Protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam

modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi

17

(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin

dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu dan mempermudah invasi sel

trofoblas ke dalam jaringan decidua ibu (Angsar, 2008).

Plasenta pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan

ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G menghambat invasi trofoblas

kedalam decidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan decidua

menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri

spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan

terjadinya reaksi inflamasi. Selain itu, pada awal trimester kedua kehamilan,

perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata

mempunyai proporsi Helper sel yang lebih rendah dibanding pada

normotensive (Angsar, 2008)

2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Sel Endotel

Disfungsi sel endotel yang berkaitan dengan preeclampsia

disebabkan oleh gangguan adaptasi intravaskuler ibu terhadap kehamilan

sehingga memicu proses inflamasi intravaskuler sistemik (Gambar 2.4).

Dalam teori ini dinyatakan bahwa preeclampsia timbul akibat adanya

leukosit aktif dengan jumlah yang ekstrem dalam sirkulasi ibu. Singkatnya,

sitokin-sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL)

dapat memicu stres oksidatif yang berkaitan dengan preeklampsia. Stres

oksidatif ini ditandai oleh spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang

memicu terbentuknya peroksida lipid. Proses ini selanjutnya menghasilkan

radikal beracun yang merusak sel-sel endotel, mengacaukan produksi nitrit

oksida, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Akibat lainnya

adalah terbentuknya sel makrofag yang mengandung lipid (sel foam) di

dalam atherosis; aktivasi proses koagulasi mikrovaskuler menyebabkan

trombositopenia; dan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan

terjadinya edema dan proteinuria (Cunningham, 2007).

Penelitian tentang efek stress oksidatif pada preeclampsia ini

menimbulkan ketertarikan untuk memberikan antioksidan sebagai

18

pencegahan preeclampsia. Antioksidan merupakan kelompok senyawa yang

berfungsi untuk mencegah kerusakan akibat produksi radikal bebas yang

berlebihan. Contoh antioksidan antara lain, vitamin E atau tokoferol, vitamin

C (asam askorbat), dan karoten (Angsar, 2008).

Gambar 2.4Patofisiologi hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007)

2.3.4 Faktor Defisiensi Nutrisi

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan,

termasuk hati halibut, dapat mengurangi resiko preeclampsia. Minyak ikan

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat

produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah

vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba

melakukan uji klinik bahwa konsumsi minyak ikan atau bahan yang

19

mengandung asam lemak tak jenuh dapat digunakan untuk mencegah

preeclampsia (Angsar, 2008).

Studi lain menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet kaya buah-

buahan dan sayuran yang banyak mengandung aktioksidan berkaitan dengan

penurunan tekanan darah. Studi ini berkaitan dengan penelitian Zhang

bahwa resiko preeklampsi menjadi dua kali lipat pada wanita yang

mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg. C-Reactive Protein (CRP)

yang merupakan marker inflamasi, juga meningkat pada obesitas. Hal ini

selanjutnya juga berkaitan dengan preeclampsia karena obesitas pada orang

tidak hamil pun dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi

sistemik akibat atherosklerosis (Cunningham, et al, 2007).

2.3.5 Faktor genetik

Preeklampsia adalah gangguan multifaktorial poligenik. Dalam

review komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan

insiden risiko preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita

ibu preeklampsia; 11 sampai 37 persen untuk saudara wanita preeklampsia

dan 22-47 persen dalam studi kembar.

Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang

mencakup hampir 1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan

komponen genetik untuk hipertensi kehamilan serta preeklampsia. Mereka

juga melaporkan konkordansi 60 persen di monozigotik pasangan kembar

wanita.

Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil

interaksi dari ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol fungsi

metabolik enzimatik dan banyak sekali setiap seluruh sistem organ. Dengan

demikian, manifestasi klinis pada wanita diberikan dengan sindrom

preeklampsia akan menempati spektrum sebagaimana dijelaskan

sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi, fenotipik akan berbeda antara genotipe

yang sama tergantung pada interaksi dengan faktor lingkungan

(Cunningham, et al, 2007).

20

2.4 Patogenesis Preeklampsia Berat

2.4.1 Vasospasme

Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan

pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan

conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat

dalam berbagai organ yang terkena.

Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan

hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel

menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen,

termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial. 

Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel

junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi

ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia.

Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan

sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir

gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).

2.4.2 Aktivasi sel endotel

Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang

dalam pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam

skema ini, faktor yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta

- juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi

vaskular endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan

hasil dari perubahan sel endotel yang luas.

Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan

bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat

dalam darah perifer wanita preeklampsia.

Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel

menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan

oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi

21

oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan

meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).

Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan

disfungsi sel endotel akan terjadi:

Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)

Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami

kerusakan. Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2),

suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin

lebih tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi

sebaliknya sehingga berakibat naiknya tekanan darah.

Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit

(vasodilator).

Peningkatan faktor koagulasi.

Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan

karakteristik morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler

meningkat, dan meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk

menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari

wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk

memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan

serum wanita hamil normal (Cunningham, et al, 2007).

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Preeklampsia Berat

Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala

sebagai berikut:

Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110

mmHg. Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di

rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.

Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.

Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).

22

Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma,

dan pandangan kabur.

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat

teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan

edema).

Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)

Edema paru-paru dan sianosis.

Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)

Trombositopenia (<100.000/mm3)

Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.

Sindrom HELLP.

2.7 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :

1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah

2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia

3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin

4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman

Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:

Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa

dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya

Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang

tergantung pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:

Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:

kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi

medikamentosa

Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan

diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

23

2.7.1 Penanganan di Puskesmas

Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara

prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat

pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang

perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai

berikut :

1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RL,

berikan MgS04 4 gram iv (10 cc MgSO4 40% + 10 cc Aquades) pelan-

pelan selama 5 menit, atau jika akses IV sulit berikan injeksi MgSO4 40

% masing-masing 5 gram im pada glutea kiri dan kanan bergantian

2. Dosis rumatan setelah initial dose di atas dengan cara 6 gram MgSO4

40% (15 cc MgSO4 40%) dalam 500 cc RL melalui infus 28 tpm

selama 6 jam (1 gram/jam).

3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.

4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang

sudah diberikan.

5. Menyiapkan partus kit.

6. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak

kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat

asam.

2.7.2 Penanganan di rumah sakit

Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah

pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap

kehamilannya.

Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):

a. Pencegahan Kejang

• Tirah baring, tidur miring kiri

• Infus RL atau RD5

• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap,

yaitu :

24

- Loading / initial dose : dosis awal

- Maintenance dose : dosis rumatan

Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin

Tabel 1. Tatacara Pemberian MgSO4 pada PEB

Loading dose Maintenance dose

MgSO4 40 % 4 g iv pelan-

pelan selama 5 menit

- MgSO4 40 % 6 g im dalam 500cc

RL habiskan dalam 6 jam 28 tpm.

- Jika kejang berulang setelah 15

menit, berikan 2 gram MgSO4

40% (5cc) selama lima menit.

Syarat pemberian SM :

- Reflex patella harus positif

- Respiration rate > 16 /m

- Produksi urine dalam 4 jam 100cc

- Tersedia calcium glukonas 10 %

Antidotum :

Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium

gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit

Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :

1. Sodium thiopental 100 mg iv

2. Diazepam 10 mg iv

3. Sodium amobarbital 250 mg iv

4. Phenytoin dengan dosis :

- Dosis awal 100 mg iv

- 16,7 mg/menit/1 jam

500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam

b. Antihipertensi

• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126

• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30

menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam

• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :

25

- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik

- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah <

160/105 mmHg atau MAP < 125

c. Diuretikum

Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :

• Memperberat penurunan perfusi plasenta

• Memperberat hipovolemia

• Meningkatkan hemokonsentrasi

Indikasi pemberian diuretikum :

1. Edema paru

2. Payah jantung kongestif

3. Edema anasarka

Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien

PEB dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.

a. Perawatan konservatif

1. Tujuan :

• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan

yang memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim

• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa

mempengaruhi keselamatan ibu

2. Indikasi :

Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending

eklampsia

3. Pemberian anti kejang :

Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose

( loading dose tidak diberikan )

4. Antihipertensi

Diberikan sesuai protokol untuk PER.

5. Induksi Maturasi Paru

26

Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat

deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason

24 mg im/24 jam sekali pemberian.

6. Cara perawatan :

• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia

• Menimbang berat badan tiap hari

• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari

sesudahnya

• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur

• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase,

Albumin serum dan faktor koagulasi

• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk

kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru

diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1

minggu sekali setelah KRS.

7. Terminasi kehamilan

• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai

aterm

• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan

indikasi obstetrik

b. Perawatan aktif

1. Tujuan : Terminasi kehamilan

2. Indikasi :

(i). Indikasi Ibu :

• Kegagalan terapi medikamentosa :

- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa

terjadi kenaikan tekanan darah persisten

- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa

terjadi kenaikan tekanan darah yang progresif

• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia

• Didapatkan gangguan fungsi hepar

27

• Didapatkan gangguan fungsi ginjal

• Terjadi solusio plasenta

• Timbul onset persalinan atau ketuban pecah

(ii). Indikasi Janin

• Usia kehamilan ≥ 37 minggu

• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial

• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8

• Terjadi oligohidramnion

(iii). Indikasi Laboratorium

• Timbulnya HELLP syndrome

3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel

1.

4. Terminasi kehamilan :

Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam,

mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan

sebagai berikut :

(i) Pasien belum inpartu

• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila

skor pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan

menggunakan misoprostol 25 μg intravaginal tiap 6 jam.

Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II sejak

dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi

persalinan gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan

operasi sesar.

• Indikasi operasi sesar :

- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar

- Induksi persalinan gagal

- Terjadi maternal distress

- Terjadi fetal compromised

- Usia kehamilan < 33 minggu

(ii) Pasien sudah inpartu

28

• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf

• Kala II diperingan

• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised,

persalinan dilakukan dengan operasi sesar

• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan

operasi sesar

2.8 Komplikasi Preeklampsia Berat

2.8.1 Penyulit Ibu

a. SSP : Perdarahan Intrakranial

Thrombosis vena sentral

Hipertensi ensephalopati

Edema cerebri

Edema retina

Macular atau retinal detachment

Kebutaan cortex

b. Gastrointestinal-hepatik:

Subcapsular hematoma hepar

Ruptur kapsul hepar

Ascites

c. Ginjal : Gagal ginjal akut

Nekrosis Tubular Akuta

d. Hematologik:

DIC

Trombositopenia

e. Kardiopulmonal:

Edema paru

Arrest napas

Cardiac arrest

Iskemia miokardium

(Angsar, 2008)

29

2.8.2 Penyulit Janin

a. PJT

b. Solusio plasenta

c. IUFD

d. Kematian neonatal

e. Prematuritas

f. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)

BAB III

PERMASALAHAN

Berdasarkan laporan kasus pada bab 1, maka rumusan masalahnya adalah

sebagai berikut:

1. Apakah kemungkinan faktor resiko terjadinya preeklampsi berat pada kasus

ini?

2. Kendala apa yang menyebabkan pasien tidak dirujuk dengan rujukan tepat

waktu sehingga bisa dilakukan SC elektif, bukan SC cito?

3. Upaya apa yang sebaiknya dilakukan supaya rujukan bisa dilakukan tepat

waktu?

4. Apakah preeclampsia berat pada kasus ini dapat dicegah?

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Faktor Risiko Preeklampsia pada Kasus Ini

Faktor risiko preeklampsia pada pasien ini yang paling memungkinkan adalah

kehamilan pertama (primigravida). Hal ini sesuai dengan teori intoleransi imunologik

antara ibu dan janin (Cunningham, et al, 2007) yang menyatakan bahwa hasil

konsepsi yang memapar ibu untuk pertama kali cenderung menimbulkan reaksi

penolakan dari ibu sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeclampsia.

Selain itu, teori defisiensi nutrisi juga tidak dapat disingkirkan sebagai faktor

resiko terjadinya preeclampsia pada pasien ini. Rendahnya faktor ekonomi (di mana

pasien dan suaminya berprofesi sebagai buruh tani) dan faktor pendidikan (pasien

adalah lulusan sekolah dasar) dapat menjadi penyebab tidak langsung terjadinya

defisiensi nutrisi. Upah buruh tani yang kecil ditambah dengan tingkat pengetahuan

ibu menyebabkan ibu tidak memperhatikan kualitas gizi makanan yang

dikonsumsinya selama hamil.

Faktor lingkungan juga belum dapat disingkirkan sebagai faktor resiko

terjadinya preeclampsia pada kasus ini. Disebutkan bahwa pasien bekerja sebagai

buruh tani yang tentunya tidak bisa lepas dari paparan pestisida, insektisida, maupun

herbisida. Bagi orang-orang yang tidak hamil saja, paparan pestisida, insektisida, dan

herbisida dalam kadar tertentu dapat menyebabkan gejala keracunan. Lalu bagaimana

dengan efek paparan langsung zat-zat tersebut pada wanita hamil? Tentunya hal ini

juga perlu diperhatikan dan diteliti lebih lanjut.

4.2 Kendala yang Menyebabkan Pasien tidak Dirujuk Tepat Waktu

Telah kita ketahui bahwa ibu hamil dengan preeclampsia berat seharusnya

dirujuk dengan rujukan terencana yang tepat waktu. Ibu hamil dengan preeclampsia

berat seharusnya sudah dirujuk ke rumah sakit pada usia kehamilan akhir trimester

25

kedua atau awal trimester ketiga. Dengan rujukan terencana yang tepat waktu

diharapkan dapat mencegah terjadinya fetal distress dan komplikasi lain pada ibu

seperti impending eclampsia (seperti yang terjadi pada kasus ini) dan HELLP

syndrom.

Pada kasus ini, rujukan dari bidan ke RS. Manu Husada bersifat mendadak.

Hal ini dikarenakan rujukan dari bidan juga terlambat. Bidan merujuk terlambat

karena pasien tidak melakukan ANC rutin sehingga deteksi awalnya juga terlambat.

Selama awal kehamilan hingga umur kehamilan 36 minggu, pasien hanya melakukan

ANC ke bidan lima kali. Padahal seharusnya pasien sudah melakukan kunjungan 11

kali. Ketika ditanya penyebabnya apa, ternyata pasien malas untuk kontrol karena

merasa tidak ada keluhan selama hamil, hanya bengkak di kaki yang tidak

mengganggu aktifitas. Lagi pula, setiap kali kontrol kehamilan ke bidan praktik

swasta, pasien membayar uang administrasi sebesar Rp 10.000,00. Pasien merasa

sayang dengan uang yang harus dikeluarkan untuk periksa sedangkan dia tidak

merasa ada keluhan. Oleh karena itu, pasien baru diketahui punya tekanan darah

tinggi (160/ …) saat kunjungan ANC ke-5 (03/04/2011) setelah sebelumnya sempat

vakum 3 bulan tidak kontrol hamil dengan alasan seperti yang tersebut di atas.

Selain itu, setelah bidan menyarankan pasien untuk dirujuk ke rumah Sakit

karena pasien menderita hipertensi gestasional, pasien tidak segera memenuhi anjuran

bidan dengan alasan biaya dan masih menunggu persetujuan keluarga yang lain. Oleh

karena itu, rujukan sempat tertunda beberapa hari, hingga pada tanggal 10/04/2011

pasien mengeluh pusing dan mata kabur. Hal ini membuat pasien periksa kembali ke

bidan. Ketika diukur, tekanan darahnya 180/120, setelah mendapat penjelasan dari

bidan bahwa pasien bisa kejang jika tidak segera dirujuk, maka keluarga segera setuju

untuk dirujuk ke RS. Sesampainya di RS. MANU Husada, ternyata pasien

diindikasikan untuk SC cito karena impending eklampsia dan tidak ada tanda-tanda

inpartu. Oleh karena dokter anestesi tidak siap, maka pasien dirujuk ke RSSA.

Berdasarkan kronologi di atas, maka hal-hal yang dimungkinkan dapat

menghambat proses perujukan antara lain:

26

1. Keterlambatan screening dan diagnosis awal karena ANC tidak teratur

terkendala biaya.

2. Komunikasi dan edukasi yang kurang efektif antara bidan dan pasien dan atau

keluarga pasien sehingga perujukan ke Rumah sakit tidak dapat segera dilakukan.

3. Oleh karena perujukan terlambat, maka rumah Sakit rujukan tidak sempat

mempersiapkan segalanya dengan optimal dan tidak siap, akibatnya pasien

dirujuk lagi ke Rumah Sakit yang lebih siap. Proses ini tentunya memakan waktu

dan akan berbeda ceritanya bila dilakukan rujukan yang terencana dan tepat

waktu.

4.3 Upaya yang Dapat Dilakukan Supaya Rujukan Bisa Tepat Waktu

Setelah menganalisis sebab-sebab terjadinya keterlambatan rujukan pada

kasus ini, maka upaya yang kami usulkan supaya rujukan pasien bisa dilakukan tepat

waktu adalah:

1. Menyediakan pelayanan antenatal care yang bersubsidi

2. Mensosialisasikan layanan jampersal pada para bidan. Dengan hal ini

diharapkan para bidan dapat menginformasikan layanan ini kepada masyarakat

yang tidak mampu sehingga tidak ada lagi rujukan terlambat dengan alasan biaya.

3. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai resiko dan

komplikasi preeclampsia dan eklampsia sehingga mereka tetap rutin kontrol

meskipun tanpa ada keluhan.

4.4 Upaya Pencegahan Preeklampsia Berat

Secara umum terdapat tiga bentuk pencegahan, yaitu:

Pencegahan primer: meliputi upaya promosi kesehatan.

Pencegahan sekunder: meliputi deteksi dini adanya penyakit dan kelainan.

Pencegahan tersier: pencegahan komplikasi dan restorasi.

27

Untuk masing-masing level pencegahan tersebut, maka berikut adalah upaya

pencegahan yang dapat dilakukan pada kasus preeclampsia berat yang sedang

dibahas:

a. Pencegahan primer:

Memberi penyuluhan tentang pentingnya melakukan antenatal care rutin

pada setiap ibu hamil.

Memberi penyuluhan tentang preeklampsi beserta komplikasinya jika

diagnosis dan tatalaksananya terlambat

Penyediaan antenatal care bersubsidi.

Penyediaan suplementasi gizi dan suplemen antioksidan pada ibu hamil.

Memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara memproteksi diri dari

paparan radikal bebas dan zat beracun di lingkungan kerja (missal dengan

memakai masker tebal, sarung tangan, dan sepatu boot), khusunya paparan

insektisida, pestisida, maupun herbisida pada wanita hamil. Dianjurkan pada

ibu hamil untuk tidak melakukan penyemprotan insektisida dulu selama

hamil.

Para suami juga perlu diberi pengertian dan pengetahuan mengenai

preeclampsia sehingga mereka dapat diajak kerjasama untuk melakukan

deteksi dini terhadap faktor resiko dan gejala preeclampsia yang dialami

istrinya.

b. Pencegahan sekunder:

Mengenali faktor resiko preeclampsia pada ibu hamil

Melakukan pemeriksaan screening preeclampsia secara berkala pada ibu

hamil, yang meliputi pemeriksaan tekanan darah dan urinalisis dipstick.

Melakukan intervensi yang cepat dan tepat (seperti yang disebutkan pada

sub bab 2.7 mengenai tatalaksana preeclampsia) bila terdapat kasus ibu

hamil dengan preeclampsia.

28

c. Pencegahan tersier:

Mencegah terjadinya komplikasi progresi preeclampsia berat supaya tidak

berlanjut menjadi eklampsia dengan memberikan obat antikejang.

Pada kasus preeclampsia berat yang sedang dibahas, di mana terdapat faktor

resiko primigravida, maka untuk faktor resiko ini hanya dapat diterapkan level

pencegahan sekunder dan tersier.

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kasus Ny. D, usia 31 tahun, datang berobat dengan keluhan utama kepala

pusing disertai nyeri kepala, mual dan muntah. Berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengarahkan pada suatu diagnosis

Preeklampsi berat dengan impending eklampsi, panggul sempit relative, dan fetal

compromised. Persalinannya dipilih secara perabdominal karena bayi dalam

kondisi fetal compromissed harus segera dilahirkan untuk menghindarkan

kematian dalam persalinan. Persalinan perabdominal juga dilakukan kerana belum

ada tanda–tanda inpartu dan panggul sempit relatif.

Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan, maka dapat disimpulkan

hal-hal sebagai berikut:

1. Faktor resiko terjadinya preeklampsi berat pada kasus ini adalah

primigravida. Kontribusi faktor defisiensi nutrisi dan faktor lingkungan

tidak dapat disingkirkan.

5.2 Saran

Diperlukan ketepatan dan ketelitian dalam melakukan anamnesa dan

pemeriksaan fisik, terutama dalam mendiagnosis preeklampsia berat, mengingat

banyaknya diagnosis banding dari keluhan tersebut. Diperlukan KIE (komunikasi,

informasi dan edukasi) yang baik pada pasien dan keluarga untuk

mengoptimalkan kesejahteraan pasien baik sebelum, selama maupun setelah

pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Angsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi

keempat halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins

GD et al. 2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics.

21th ed. London: Prentice-Hall International, 2001: 567-618.

Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current

Concepts. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.

Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding Seminar

Konsep Mutakhir Preeklampsia.

Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN.

Maternal Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And

Low Platelets) Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.

Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI

Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang

Roberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced

Hypertension. Lancet 1993; 341: 1447-1454.

Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin.

Preeclampsia: An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989;

161: 1200-1204.

Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia.

Pathophysiology 2000; 6: 261-270.

31

Follow Up Post Operasi

Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning

10/04/201

1

P1001 Ab000

post SCTP

dengan GA

hari ke 0

PEB,

impending

eclampsia +

fetal

compromised

+PSR

PDx: DL post op, Alb

PTx:

puasa s/d flatus (+) / BU (=)

MSS

IVFD = drip oxytocin 20 iv

dalam RD 5% 500 cc 28 tpm

SM maintenance: SM 40% 5

g / 6 jam jika syarat (+) ~

jadwal

Tx Injeksi:

Ceftriaxone 2x1 gr iv

Alinamine F 3x1 amp iv

Ketorolac 3x1 amp iv

Ulsikur 3x1 amp iv

Kalnex 3x1 amp iv

Extrace 3x1 amp iv

PMO: observasi VS, keluhan,

flux, kontraksi uterus, luka

op, produksi urine, balance

cairan / 6 jam, reflex patella

KIE c/ senior

10/04/201

1 pukul

22.00

Jawaban c/

anestesi:

B1: Airway

patent RR

32

14x/menit,Rh

-/-, Wh -/-,

SpO2 96%

B2: aktif

HKM

T:150/90,

N:90x/menit

B3: GCS

456, sadar

penuh

B4: PU 500~

B5: BU (+)

B6: - -

+ +

11/04/201

1

PTx:

Diet MPB III/IV

Tx inj: Inj ceftriaxone 2 x 1 g

iv

Tx oral:

As.mefenamat 3 x 500 mg

Glisodin 3 x 1

Kalk 1 x 1

Vit E 2 x 200 mg

Nifedipin 2 x 10 mg

PMO: observasi VS, keluhan,

flux, kontraksi uterus, luka

op, produksi urine, balance

cairan / 6 jam, reflex patella

12/04/201

1

PDx: Cek UL, DL

33

PTx:

Diet TKTP

Mobillisasi

Tx inj: ceftriaxone 2 x 1 g iv

Tx oral lanjut

PMO: observasi VS, keluhan,

flux, kontraksi uterus luka op

KIE

13/04/201

1

PDx: UL, DL, Lipid profile

PTx:

Diet TKTP

Mobilisasi aktif

Tx oral:

1. Amoxiclav 3 x 625 mg

2. Glisodin 3 x 1

3. Kalk 1 x 1

4. Vit E 2 x 20 mg

5. Nifedipin 3 x 10 mg

6. As.Mefenamat 3 x 500 mg

Rawat luka

PMO: observasi VS, keluhan,

flux, kontraksi uterus luka op

KIE

14/04/201

1

PDx: UL, Lipid profile

PTx:

Diet TKTP

Mobilisasi aktif

Tx oral lanjut

PMO: observasi VS, keluhan,

34

flux, kontraksi uterus luka op

KIE