Lapak 12
-
Upload
doni-dermawan -
Category
Documents
-
view
37 -
download
6
description
Transcript of Lapak 12
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA II
LARUTAN
NAMA : DONI DERMAWAN
HARI/TANGGAL PRAKTIKUM : KAMIS, 26 MARET 2015
ASISTEN :1. NOVIA EKA PUTRI
2. RIMBA T.
LABORATORIUM FARMASI FISIKA II
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
LARUTAN
Abstrak
Kelarutan merupakan komponen penting dalam proses identifikasi dan
analisis suatu senyawa. Kelarutan didefinisikan sebagai jumlah maksimal zat yang
dapat larut dalam suatu pelarut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
kelarutan dari asam salisilat dan asam benzoat dalam pelarut campur yang terdiri
dari etanol, air, gliserin, dan propilenglikol dengan perbandingan tertentu.
Penentuan dan analisis tingkat kelarutan asam salisilat dan asam benzoat
dilakukan dengan metode titrasi asam basa menggunakan larutan NaOH yang
telah dibakukan dengan larutan baku primer asam oksalat. Data hasil analisis
menunjukkan bahwa asam salisilat dan asam benzoat memiliki tingkat kelarutan
yang berbeda pada setiap perbandingan campuran pelarut yang dapat
diidentifikasi dari grafik hubungan antara tingkat kelarutan dan presentase
campuran pelarut.
Kata Kunci : Asam salisilat, Asam benzoat, Kelarutan, Pelarut campur
Abstract
Solubility is an important component in the identification and analysis of a
compound. Solubility is defined as the maximum amount of a substance that can
be dissolved in a solvent. This study was conducted to determine the solubility of
salicylic acid and benzoic acid in a mixed solvent consisting of ethanol, water,
glycerin, and propilenglikol with a certain ratio. Determination and analysis of
the solubility of salicylic acid and benzoic acid was conducted using acid-base
titration using standardized NaOH solution with a primary standard solution of
oxalic acid. Data analysis shows that salicylic acid and benzoic acid have
different levels of solubility in any solvent mixture ratio that can be identified
from the graph of the relationship between the percentage rate of solubility and
solvent mixtures.
Keywords : Salicylic acid, Benzoic acid, Solubility, Mixed solvent
I. TUJUAN
1. Membuat larutan natrium hidroksida (NaOH) yang dibakukan
dengan larutan asam oksalat (H2C2O4) dengan indikator
fenolftalein.
2. Membuat pelarut campur dari etanol, air, gliserin, dan
propilenglikol.
3. Menentukan kelarutan asam benzoat dan asam salisilat dari
berbagai macam pelarut campur.
4. Membuat grafik hubungan konsentrasi dengan presentase
campuran pelarut.
II. PRINSIP
1. Azas Le Chatelier
Bila pada sistem kesetimbangan diadakan aksi, maka sistem akan
mengadakan reaksi sedemikian rupa sehingga pengaruh aksi itu
menjadi sekecil-kecilnya (Ratna, 2009).
2. Kelarutan
Kelarutan digunakan untuk menyatakan jumlah maksimal zat yang
dapat larut dalam sejumlah tertentu larutan (Suyatno,2006).
3. Titrasi Asam-Basa
Titrasi merupakan salah satu metode untuk menentukan
konsentrasi suatu larutan dengan cara mereaksikan sejumlah
volume larutan tersebut terhadap sejumlah volume larutan lain
yang konsentrasinya sudah diketahui. Titrasi yang melibatkan
reaksi asam dan basa disebut titrasi asam basa (Muchtaridi, 2007).
4. Like Disolve Like
Suatu senyawa akan larut pada senyawa yang mempunyai struktur
kimia yang sama polar dengan polar dan nonpolar dengan non
polar (Arsyad,2001).
5. Reaksi Netralisasi
Reaksi yang terjadi dengan pembentukan garam dan H2O netral
(pH=7) hasil reaksi antara H+ dari suatu asam dan OH- dari suatu
basa (Sumardjo,2006).
6. Pengenceran
Prosedur untuk penyiapan larutan yang kurang pekat dari larutan
yang lebih pekat disebut pengenceran. Dalam melakukan proses
pengenceran, perlu diingat bahwa penambhaan lebih banyak
pelarut ke dalam sejumlah tertentu larutan stok akan mengubah
(mengurangi) konsentrasi larutan tanpa mengubah jumlah mol zat
terlarut yang terdapat dalam larutan (Chang,2005).
7. Stoikiometri
Stoikiometri reaksi adalah penentuan perbandingan massa unsur-
unsur dalam senyawa dalam pembentukkan senyawanya
(Alfian,2009).
III. REAKSI
H2C2O4 + 2NaOH ---> Na2C2O4 + 2H2O (Vogel, 1985).
IV. TEORI DASAR
Larutan adalah campuran yang bersifat homogen antara molekul,
atom ataupun ion dari dua zat atau lebih. Disebut campuran karena
susunannya atau komposisinya dapat berubah. Disebut homogen
karena susunanya begitu seragam sehingga tidak dapat diamati adanya
bagian-bagian yang berlainan, bahkan dengan mikroskop optis
sekalipun (Tungandi, 2009).
Larutan terdiri atas cairan yang melarutkan zat (pelarut) dan zat
yang larut di dalamnya (zat terlarut). Pelarut tidak harus cairan, tetapi
dapat berupa padatan atau gas asal dapat melarutkan zat lain. Sistem
semacam ini disebut sistem dispersi. Untuk sistem dispersi, zat yang
berfungsi seperti pelarut disebut medium pendispersi, sementara zat
yang berperan seperti zat terlarut disebut dengan zat
terdispersi (dispersoid). Baik pada larutan ataupun sistem dispersi, zat
terlarut dapat berupa padatan, cairan atau gas. Bahkan bila zat terlarut
adalah cairan, tidak ada kesulitan dalam membedakan peran pelarut
dan zat terlarut bila kuantitas zat terlarut lebih kecul dari pelarut
(Takeuchi, 2008).
Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumlah solut yang
dibutuhkan untuk menghasilkan suatu larutan jenuh dalam sejumlah
solven. Pada suatu temperatur tertentu suatu larutan jenuh yang
bercampur dengan solut yang tidak terlarut merupakan contoh lain dari
keadaan kesetimbangan dinamik (Moechtar, 1989).
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai
konsentrasi zat terlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan
tekanan tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam satuan mililiter pelarut
yang dapat melarutkan satu gram zat. Misalnya 1 gram asam salisilat
akan larut dalam 500 mL air. Kelarutan juga dinyatakan dalam satuan
molalitas, molaritas dan persen (Tungandi, 2009).
Daya larut suatu zat berbeda-beda, tergantung dari sifat zat terlarut
dan pelarutnya. Ada beberapa zat yang mudah larut, dan ada pula yang
sukar larut.Biasanya kelarutan dinyatakan dalam gram zat terlarut per
100 ml atau per 100 g pelarut (Yazid, 2005).
Larutan tepat jenuh adalah keadaan kesetimbangan dimana jika
terjadi penambahan zat terlarut maka terjadi pengendapan, demikian
pula jika kita tambahkan sedikit saja pelarut maka zat-zat dengan
mudah melarut. Pada keadaan ketiga terjadi pengendapan atau zat
tidak larut jika kita tambahkan (Zulfikar, 2010).
Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang
mengandung zat trlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk
penjenuhan sempurna pada temperature tertentu (Martin, 1990).
Larutan lewat jenuh adalah suatu laruta yang mengandung zat
terlarut dalam konsentrasi lebih banyak daripada seharusnya pada
temperature tertentu dan terdapat juga zat terlarut yang tidak larut
(Sinco, 2005).
Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya
dapat ditunjukkan dengan istilah berikut (Depkes RI, 1979) :
Istilah Kelarutan
Jumlah bagian pelarut yang
diperlukan untuk melarutkan 1
bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1000
Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000
Prkatis tidak larut Lebih dari 10.000
Zat-zat dengan struktur kimia yang mirip umumnya dapat
saling bercampur dengan baik, sedangkan zatzat yang struktur kimia
berbeda umumnya kurang dapat saling bercampur (like dissolves like).
Senyawa yang bersifat polar akan mudah larut dalam pelarut polar,
sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar
(Romdhoni, 2012).
Faktor yang mempengaruhi kelarutan :
a. Sifat dari solute dan solvent
Substansi polar cenderung lebih miscible atau soluble dengan
substansi polar lainnya. Substansi nonpolar cenderung untuk miscible
dengan substansi nonpolar lainnya, dan tidak miscible dengan substansi
polar lainnya Sifat pelarut (Sukardjo, 1977).
b. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena
tidak mudah terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin
sukar larut, sedangkan semakin besar pKa maka suatu zat akan akan
mudah larut (Lund, 1994).
c. Suhu
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/kalor (reaksi eksotermik) (Lund, 1994).
d. Solution aditif.
Additivies baik dapat meningkatkan atau mengurangi kelarutan zat
terlarut dalam pelarut tertentu (Lund, 1994).
V. ALAT DAN BAHAN
Alat :
1. Buret
2. Gelas kimia
3. Gelas ukur
4. Kertas saring
5. Labu ukur
6. Pipet ukur
7. Statif
Bahan :
1. Air
2. Asan benzoat
3. Asam oksalat
4. Asam salisilat
5. Etanol 90 %
6. Fenolftalein
7. Gliserin
8. NaOH
9. Propilenglikol
Gambar Alat :
Gelas ukur Kertas
saring Labu ukur
Pipet ukur Statif
VI. PROSEDUR
Larutan NaOH 0,1 N dibuat dan dibakukan dengan larutan
asam oksalat 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Kemudian
pelarut campur yang terdiri dari etanol, air, gliserin, dan
propilenglikol dibuat dengan perbandingan yang telah ditentukan.
Sampel sedikit demi sedikit dilarutkan sampai diperoleh larutan
jenuh. Sebanyak 10 mL larutan jernih sampel dipipet dan
ditetapkan kadarnya secara titrasi asam-basa. Kemudian grafik
hubungan konsentrasi dengan presentase pelarut campur dibuat.
VII. DATA PENGAMATAN
1. Pembakuan NaOH
Asam oksalat 0,1 N sebanyak 0,315 gram dilarutkan dalam 50 mL
aquades.
Volume as.oksalat X N as.oksalat = Volume NaOH X N NaOH
10 X 0,1 = 10,16667 X N NaOH
N NaOH = 10× 0,1
10,16667 = 0,0983 N
2. Konversi Pelarut Campur Total dalam mL menjadi 30 mL
Pelarut Etanol Air Gliserin Propilenglikol
1 6,0 24,0 - -
2 7,5 22,5 - -
3 6,0 21,0 3,0 -
4 6,0 21,0 - 3,0
3. Kelarutan Asam Salisilat
PelarutVolume
Larutan (mL)
Volume
NaOH (mL)Kelarutan
1 10 1,3 1,76
2 10 0,3 0,40
3 10 0,3 0,40
4 10 0,2 0,27
Perhitungan :
Rumus : (Volume NaOH × N NaOH )× BM Sampel
Volume Larutan
Pelarut 1 : (1,3× 0,0983 ) ×138,12
10 = 1,76
Pelarut 2 : (0,3 ×0,0983 ) ×138,12
10 = 0,40
Pelarut 3 : (0,3 ×0,0983 ) ×138,12
10 = 0,40
Pelarut 4 : (0,2× 0,0983 ) ×138,12
10 = 0,27
4. Kelarutan Asam Benzoat
PelarutVolume
Larutan (mL)
Volume
NaOH (mL)Kelarutan
1 10 0,30 0,36
2 10 0,45 0,54
3 10 3,30 3,96
4 10 2,0 2,40
Perhitungan
Rumus : (Volume NaOH × N NaOH )× BM Sampel
Volume Larutan
Pelarut 1 : (0,3 ×0,0983 ) ×122,12
10 = 0,36
Pelarut 2 : (0,45 ×0,0983 ) ×122,12
10 = 0,54
Pelarut 3 : (3,3× 0,0983 ) ×122,12
10 = 3,96
Pelarut 4 : (2,0× 0,0983 ) ×122,12
10 = 2,40
Grafik 1. Perbandingan Hubungan antara Kelarutan Asam Salisilat
dan Asam Benzoat dengan Presentase Campuran Pelarut
Etanol : Air
Air Etanol : Air (1:9) Etanol : Air (1:4) Etanol : Air (3:7)0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Asam SalisilatAsam Benzoat
Perhitungan standar deviasi grafik 1 :
Asam Salisilat :
Σxi : 0,40 + 1,83 + 1,76 + 7,8 = 11,79
μ=∑ x i
n = 11,79
4 = 2,95
Varians data :
σ 2=∑ ( xi−μ)2
n=
(0 , 40−2 ,95 )2+(1 ,83−2 ,95 )2+(1 ,76−2 ,95)2+(7,8−2, 95 )2
4=8 ,16
Standar deviasi : σ=√σ2=√8 , 16=2 , 85
Asam Benzoat :
Σxi : 0,60 + 0,60 + 0,36 + 5,46 = 7,02
μ=∑ x i
n = 7,02
4 = 1,75
Varians data :
σ 2=∑ ( xi−μ)2
n=
(0 ,60−1 ,75 )2+(0,6−1 ,75 )2+(0 ,36−1 ,75 )2+(5 ,46−1,75 )2
4=4,6
Standar deviasi : σ=√σ2=√4,6=2 ,14
Grafik 2. Perbandingan Hubungan antara Kelarutan Asam Salisilat
dan Asam Benzoat dengan Presentase Campuran Pelarut
Etanol : Air
Etanol : Air (1:19) Etanol : Air (3:17) Etanol : Air (1:3) Etanol : Air (3:7)0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Asam SalisilatAsam Benzoat
Perhitungan standar deviasi grafik 2 :
Asam Salisilat :
Σxi : 0,679 + 2,17 + 0,40 + 3,19 = 6,44
μ=∑ x i
n = 6,44
4 = 1,61
Varians data :
σ 2=∑ ( xi−μ)2
n=
(0 ,679−1 ,61)2+(2 ,17−1 ,61 )2+(0 ,40−1 ,61)2+(3 ,19−1 ,61)2
4=1 ,28
Standar deviasi : σ=√σ2=√1 ,28=1 ,13
Asam Benzoat :
Σxi : 0,09 + 0,90 + 0,54 + 3,24 = 4,77
μ=∑ x i
n = 4,77
4 = 1,19
Varians data :
σ 2=∑ ( xi−μ)2
n=
(0 ,09−1 ,19)2+(0,9−1 ,19 )2+(0 ,54−1 ,19 )2+(3 ,24−1 ,19)2
4=1 ,48
Standar deviasi : σ=√σ2=√1 ,48=1 ,21
Grafik 3. Perbandingan Hubungan antara Kelarutan Asam Salisilat
dan Asam Benzoat dengan Presentase Campuran Pelarut
Etanol : Air : Gliserin
Air : Gliserin (9:1) Etanol : Air : Gliserin (1:8:1)
Etanol : Air : Gliserin (2:7:1)
Etanol : Air : Gliserin (3:6:1)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Asam SalisilatAsam Benzoat
Perhitungan standar deviasi grafik 3 :
Asam Salisilat :
Σxi : 0,204 + 0,95 + 0,40 + 3,665 = 5,22
μ=∑ x i
n = 5,22
4 = 1,30
Varians data :
σ 2=∑ ( xi−μ)2
n=
(0 ,204−1,3 )2+(0 ,95−1,3 )2+(0 ,40−1,3 )2+(3 ,665−1,3 )2
4=1 ,93
Standar deviasi : σ=√σ2=√1 ,93=1 ,39
Asam Benzoat :
Σxi : 0,18 + 1,38 + 3,96 + 4,2 = 9,72
μ=∑ x i
n = 9,72
4 = 2,43
Varians data :
σ 2=∑( xi−μ)2
n=
(0 ,18−2 . 43)2+(1 ,38−2 , 43 )2+(3 , 96−2 ,43 )2+( 4,2−2 ,43 )2
4=2 ,89
Standar deviasi : σ=√σ2=√2 ,89=1,7
Grafik 4. Perbandingan Hubungan antara Kelarutan Asam Salisilat
dan Asam Benzoat dengan Presentase Campuran Pelarut
Etanol : Air : Propilenglikol
Air : Pro
pilengli
kol (9
:1)
Etanol :
Air : Pro
pilengli
kol (1
:8:1)
Etanol :
Air : Pro
pilengli
kol (2
:7:1)
Etanol :
Air : Pro
pilengli
kol (3
:6:1)0
1
2
3
4
5
6
Asam SalisilatAsam Benzoat
Perhitungan standar deviasi grafik 4 :
Asam Salisilat :
Σxi : 0,34 + 1,69 + 0,27 + 5,09 = 7,39
μ=∑ x i
n = 7,39
4 = 1,85
Varians data :
σ 2=∑ ( xi−μ)2
n=
(0 ,33−1 ,85)2+(1 ,69−1 ,85)2+(0 ,27−1 ,85 )2+(5 ,09−1 ,85 )2
4=3 ,83
Standar deviasi : σ=√σ2=√3 , 83=1 , 95
Asam Benzoat :
Σxi : 1,80 + 1,62 + 2,40 + 2,10 = 7,92
μ=∑ x i
n = 7,92
4 = 1,98
Varians data :
σ 2=∑( xi−μ)2
n=
(1,8−1 ,98)2+(1 ,62−1 ,98)2+(2,4−1 ,98)2+(2,1−1 ,98 )2
4=0 , 089
Standar deviasi : σ=√σ2=√0 , 089=0 ,298
VIII. PEMBAHASAN
Percobaan yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan tingkat
kelarutan dari suatu senyawa pada pelarut campur dengan berbagai
perbandingan. Sampel percobaan yang digunakan adalah asam salisilat dan
asam benzoat. Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat kelarutan
asam salisilat dan asam benzoat adalah titrasi asam basa. Pelarut campur yang
digunakan adalah etanol, air, gliserin, dan propilenglikol dengan perbandingan
tertentu yang mengakibatkan perbedaan tingkat kelarutan sampel pada setiap
macam pelarut campur. Larutan yang digunakan untuk menitrasi sampel
adalah larutan natrium hidroksida yang telah distandardisasi dengan asam
oksalat yang merupakan larutan baku primer. Proses pembakuan dilakukan
dengan metode titrasi, pembakuan dilakukan agar larutan natrium hidroksida
menjadi larutan baku primer sehingga sifatnya dapat menitrasi sampel.
Larutan baku primer adalah senyawa kimia stabil yang tersedia dalam
kemurnian tinggi dan dapat digunakan untuk membakukan larutan baku yang
digunakan dalam titrasi (Watson, 2010). Sifatnya yang telah stabil,
menjadikan larutan NaOH dapat digunakan untuk menitrasi asam salisilat dan
asam benzoat dalam berbagai pelarut campur. Proses titrasi digunakan sebagai
instrumen identifikasi tingkat kelarutan asam salisilat dan asam benzoat.
Setiap senyawa memiliki tingkat kelarutan yang berbeda pada setiap pelarut.
Kelarutan asam salisilat adalah sukar larut dalam air dan dalam
benzena; mudah larut dalam etanol dan dalam eter; larut dalam air mendidih;
dan agak sukar larut dalam kloroform (Depkes RI Edisi IV, 1995).
Kelarutan asam benzoat adalah sukar larut dalam air; mudah larut
dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI Edisi IV, 1995).
Tingkat kelarutan asam salisilat dan asam salisilat menurut Farmakope
Edisi IV adalah mudah larut pada etanol. Hal ini diidentifikasi pada percobaan
yang dilakukan dan ditunjukkan pada grafik-grafik berikut ini :
Grafik 1. Perbandingan Hubungan antara Kelarutan Asam Salisilat
dan Asam Benzoat dengan Presentase Campuran Pelarut
Etanol : Air
Air Etanol : Air (1:9)
Etanol : Air (1:4)
Etanol : Air (3:7)
0123456789
Asam SalisilatAsam Benzoat
Tingkat kelarutan asam salisilat mengalami kenaikan pada pelarut campur
dengan perbandingan etanol : air (1:4) dibandingkan pelarut campur dengan
perbandingan etanol : air (1:9). Kenaikan tingkat kelarutan terjadi juga pada
pelarut campur dengan perbandingan etanol : air (3:7). Hal ini sesuai dengan
literatur bahwa asam salisilat lebih mudah larut dalam etanol. Asam benzoat
mengalami kenaikan tingkat kelarutan pada pelarut campur dengan perbandingan
etanol : air (3:7) dibandingkan dengan pada pelarut campur dengan perbandingan
etanol : air (1:4). Namun terjadi ketidaksesuian pada pelarut campur dengan
perbandingan etanol : air (1:4) yang mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan
nilai standar deviasi yang diperoleh untuk asam benzoat adalah 2,14. Nilai standar
deviasi tersebut cukup tinggi yang disebabkan oleh tingkat presisi data yang
kurang pada hasil pengamatan yang diperoleh.
Tingkat kelarutan asam salisilat dan asam benzoat pada pelarut campur
lainnya dapat diidentifikasi pada grafik berikut ini :
Grafik 2. Perbandingan Hubungan antara Kelarutan Asam Salisilat
dan Asam Benzoat dengan Presentase Campuran Pelarut
Etanol : Air
Etanol : Air (1:19)
Etanol : Air (3:17)
Etanol : Air (1:3)
Etanol : Air (3:7)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Asam SalisilatAsam Benzoat
Tingkat kelarutan asam salisilat mengalami kenaikan pada pelarut campur
dengan perbandingan etanol : air (3:17) dibandingkan pelarut campur dengan
perbandingan etanol : air (1:19) dan juga mengalami kenaikan yang cukup drastis
pada pelarut campur dengan perbandingan etanol : air (3:7). Hal ini dikarenakan
struktur asam salisilat memiliki gugus polar dan gugus nonpolar. Gugus polarnya
adalah gugus –OH dan gugus nonpolarnya adalah gugus cincin benzen sehingga
salisilat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Hal
tersebut mengakibatkan asam salisilat mudah larut pada pelarut semipolar seperti
etanol yang dipakai pada pelarut campur yang digunakan pada percobaan. Asam
benzoat juga mengalami kenaikan kelarutan yang sama dengan asam salisilat.
Namun ketidaksesuain terjadi pada pelarut campur dengan perbandingan etanol :
air (1:3) yang mengalami penurunan dari pelarut campur dengan perbandingan
etanol : air (3:17). Hal ini juga mengakibatkan standar deviasi yang bernilai 1,13
untuk asam salisilat dan 1,21 untuk asam benzoat.
Identifikasi hubungan tingkat kelarutan asam salisilat dan asam benzoat
dengan perbandingan pelarut campur lainnya dapat diamati pada grafik berikut :
Air : Gliserin (9:1)
Etanol : Air : Gliserin (1:8:1)
Etanol : Air : Gliserin (2:7:1)
Etanol : Air : Gliserin (3:6:1)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Asam SalisilatAsam Benzoat
Pada grafik tersebut, asam benzoat mengalami kenaikan pada pelarut
campur etanol : air : gliserin (2:7:1) dan (3:6:1) dibandingkan pada perbandingan
pelarut campur (1:8:1). Hal ini selain disebabkan oleh kenaikan perbandingan
etanol juga adanya penambahan gliserin.
Propilenglikol dan gliserin berfungsi sebagai kosolven yang dapat
meningkatkan kelarutan bahan obat. Propilenglikol sebagai humektan dan
kosolven pada kadar 10-24% (Boylan, 1994).
Gliserin dapat berguna di dalam penggerusan zat yang tidak larut karena
akan memindahkan udara diantara partikel – partikel hingga bila ditambahkan air
dapat menembus dan membasahi partikel karena lapisan gliserin pada permukaan
partikel mudah campur dengan air (Anief , 1987).
Penambahan gliserin yang memiliki perbandingan yang sama bertujuan
agar kenaikan tingkat kelarutan pada setiap perbandingan pelarut campur
terkontrol dan dapat diidentifikasi perbandingan pelarut lainnya yakni air dan
etanol pada asam salisilat dan asam benzoat.
Namun ketidaksesuain tingkat kelarutan terjadi pada asam salisilat dimana
mengalami penurunan tingkat kelarutan pada pelarut campur (2:7:1) dari pelarut
campur (1:8:1). Ketidaksesuaian data hasil pengamatan dapat diakibatkan kurang
presisinya proses titrasi yang dilakukan untuk asam salisilat dalam pelarut
campur. Hal ini menimbulkan nilai deviasi untuk tingkat kelarutan asam salisilat
adalah 1,39. Angka deviasi ini merupakan nilai penyimpangan dari data hasil
pengamatan.
Identifikasi hubungan tingkat kelarutan asam salisilat dan asam benzoat
dengan perbandingan pelarut campur lainnya dapat diamati pada grafik berikut :
Grafik 4. Perbandingan Hubungan antara Kelarutan Asam Salisilat
dan Asam Benzoat dengan Presentase Campuran Pelarut
Etanol : Air : Propilenglikol
Air : Pro
pilengli
kol (9
:1)
Etanol :
Air : Pro
pilengli
kol (1
:8:1)
Etanol :
Air : Pro
pilengli
kol (2
:7:1)
Etanol :
Air : Pro
pilengli
kol (3
:6:1)0
1
2
3
4
5
6
Asam SalisilatAsam Benzoat
Pelarut campur yang digunakan adalah etanol, air, dan propilenglikol
dengan perbandingan yang berbeda. Penambahan propilenglikol digunakan pada
proses identifikasi hubungan tingkat kelarutan sampel yakni asam salisilat dan
asam benzoat dengan presentase pelarut campur.
Propilenglikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari
gliserin dan dapat melarutkan berbagai bahan, seperti kortikosteroid, fenol, obat-
obatan sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid, dan banyak (Rowe, 2005).
Ketidaksesuaian signifikan terjadi pada kelarutan asam salisilat yang
mengalami penurunan dari pelarut campur (1:8:1) ke pelarut campur (2:7:1) yang
seharusnya mengalami kenaikan. Hal ini diakibatkan oleh tingkat presisi
perlakuan titrasi yang kurang baik. Sehingga nilai standar deviasi yang dihasilkan
adalah 1,95, nilai yang cukup tinggi untuk nilai penyimpangan data. Kenaikan
yang berlebih pada pelarut (3:6:1) juga mengakibatkan standar deviasi yang
diperoleh cukup tinggi.
Berbeda hal nya dengan asam benzoat, asam benzoat hanya menghasilkan
nilai standar deviasi sebesar 0,298. Hal ini dikarenakan perubahan kenaikan
tingkat kelarutannya yang relatif tidak signifikan dan relatif sesuai dengan
literatur.
IX. KESIMPULAN
1. Pembakuan larutan NaOH dilakukan dengan menitrasi NaOH
dengan asam oksalat dan fenolftalein sebagai indikator.
Pembakuan dilakukan agar larutan NaOH menjadi larutan baku
primer untuk mengidentifikasi tingkat kelarutan asam salisilat dan
asam benzoat.
2. Pelarut campur dari etanol, air, gliserin, dan propilengikol dibuat
dengan perbandingan tertentu untuk menjadi pelarut asam salisilat
dan asam benzoat.
3. Kelarutan asam salisilat dan asam benzoat memiliki tingkat
kelarutan yang berbeda pada setiap perbandingan pelarut campur.
4. Grafik hubungan tingkat kelarutan dan presentase campuran
pelarut dapat ditentukan dari data hasil pengamatan dengan nilai
standar deviasi asam salisilat grafik I : 2,85; grafik II : 1,13; grafik
III : 1,39; dan grafik IV : 1,95. Sedangkan untuk nilai standar
deviasi asam benzoat grafik I : 2,14; grafik II : 1,21; grafik III :
1,7; dan grafik IV : 0,298.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Z. 2009. Kimia Dasar. Medan : USU Press.
Anief. 1987. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Arsyad, N. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Jakarta : Gramedia.
Chang, R. 2005. Kimia Dasar. Jakarta : Erlangga.
Depkes RI.1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Lund, M. 1994. Handbook of Food Additives. Vol. 1 & 2. Florida : CRC Press
Martin, A. 1990. Farmasi Fisika Buku I. Jakarta : UI Press.
Moechtar. 1990. Farmasi Fisika. Yogyakarta : UGM Press.
Muchtaridi. 2007. Kimia 2. Jakarta : Yudhistira.
Ratna.2009.Azas Le Chatelier. Available at http://www.chem-is
try.org/materi_kimia/kimia-smk/kelas_x/azas-le-chatelier/. [diakses pada
tanggal 15 Maret 2015].
Rowe, R.C. 2005. Handbook of Pharmaceutical Exipients. London :
Pharmaceutical Press.
Sinko, P. 1990. Farmasi Fisika . Buku II. Jakarta : UI Press.
Sukardjo. 1977. Kimia Fisika. Jakarta: PT. Aneka Cipta.
Sumardjo. 2006. Pengantar Kimia. Jakarta : EGC.
Suyatno. 2006. Kimia. Jakarta : Grasindo.
Takeuchi,Y. 2008. Larutan. tersedia online http://www.chem-is-
try.org/materi_kimia/kimia_dasar/cairan_dan_larutan/larutan/ [diakses 28
Maret 2015].
Tungadi, R. 2009. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Gorontalo : Jurusan
Farmasi Universitas Negeri Gorontalo.
Vogel. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.
Edisi kelima.Bagian I. Jakarta : PT Kalman Pustaka.
Zulfikar. 2010. Kesetimbangan Kelarutan. tersedia online di http://www.chem-is-
try.org/materi_kimia/kimia-kesehatan/kesetimbangan-kimia/
kesetimbangan kelarutan/ [diakses 28 Maret 2015].
Lampiran :
Gambar 1. Hasil pembakuan NaOH Gambar 2. Asam salisilat pelarut 2
Gambar 3. Asam salisilat pelarut 3 Gambar 4. Asam salisilat pelarut 4
Gambar 5. Asam benzoat pelarut 1 Gambar 6. Asam benzoat pelarut 2
Gambar
7. Asam benzoat pelarut 3 Gambar 7. Asam benzoat pelarut 4
Review Jurnal Mengenai Kelarutan
A. Judul Jurnal : Perbandingan Efektivitas Beberapa Pelarut Terhadap
Kelarutan Cerumen Obturans Secara In Vitro
B. Penulis : Syahrijuit, Sutji Pratiwi Rahardjo, Nani . I. Djufri,
dan Riskiana Djamin
C. Tujuan Penulisan Jurnal :
1. Untuk mengetahui besar perbandingan efektivitas beberapa pelarut
(aquadest, NaCl 0,9%, minyak kelapa sawit, minyak zaitun, karbogliserin
10%, sodium dokusat 0,5%) terhadap kelarutan cerumen obturans secara
in vitro.
2. Untuk mengetahui lama waktu kontak yang paling efektif suatu pelarut
terhadap kelarutan serumen.
D. Metode Penelitian :
Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorium dengan
menggunakan 30 spesimen cerumen obturans yang berasal dari 11 cerumen
obturans dengan berat ≥ 250 mg, berwarna coklat kehitaman dan
konsistensinya keras dan padat serta dapat dibagi 6 spesimen dengan berat
masing-masing 40 mg . Cerumen obturans yang digunakan bukan merupakan
keratosis obturans dan tidak terkontaminasi dengan darah, kapas dan zat lain.
Setiap enam spesimen yang dipakai untuk membandingkan efektivitas berasal
dari serumen yang sama dan dilarutkan masing-masing dalam 2 ml aquadest,
NaCl 0,9%, minyak kelapa, minyak zaitun, karbogliserin 10% dan sodium
dokusat 0,5%. Dilakukan pengulangan 5 kali dengan menggunakan spesimen
yang berasal dari empat cerumen obturans yang lain . Kelarutan serumen
diukur menggunakan specrofotometer Spectronic 21.
E. Hasil Penelitian :
Hasil penlitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara
analisis one way anova terhadap efektivitas beberapa pelarut pada menit ke 20
(p=0,03), menit ke 25 dan (p=0,02) dan menit 30 (p=0,011).Uji lanjut dengan
Post Hoc Test menunjukkan bahwa dengan menggunakan spectrofotomotor
spectronic 21 perbedaan bermakna efektivitas pelarut terhadap cerumen
obturans hanya antara aquadest dan NaCl 0,9 % terhadap minyak kelapa dan
minyak zaitun. Hasil rerata kelarutan keenam pelarut berdasarkan lama watu
kontak dari menit ke5 sampai menit ke 30.Hasil efektvitas pelarut yang
didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Made Leli Rahayu
(2008) yang , namun pada penelitian ini menunjukan daya larut paling tinggi
terhadap cerumen obturans adalah hidrogen peroksida 3 (0,23867 nm) disusul
aquadest (0,08417 nm), sodium dokusat (0,08017 nm), olium kokos (0,01600
nm) dan karbogliserin 10% (0,01050 nm). Hal ini dimungkinkan karena pada
penelitian tersebut Made Leli Rahayu menggunakan serumen yang tidak
dipadatkan ulang dengan berat hanya 10 mg dan menggunakan beberapa
pelarut yang berbeda pula.Semakin lama waktu kontak dengan suatu pelarut
semakin besar kelarutan cerumen obturans terbukti dalam penelitian ini .
F. Simpulan :
Dapat disimpulkan bahwa efektivitas pelarut terhadap cerumen obturans
dengan menggunakan spektrofotometer meningkat seiring dengan peningkatan
lama waktu kontak. Efektivitas pelarut berdasarkan lama waktu kontak
menggunakan spektofotometer secara in vitro menunjukkan bahwa pelarut
berbasis air lebih efektif dibandingkan pelarut berbasis lemak.
Perbandingan Efektivitas Beberapa Pelarut Terhadap Kelarutan
Cerumen Obturans Secara In Vitro
Syahrijuita1),Sutji Pratiwi Rahardjo2), Nani . I. Djufri3) dan Riskiana
Djamin4)
Abstract
Cerumen obturans is a pahtological condition with no harmfull to the
patients but can caused ear tumbness sensation, earache, hearing impairment,
deafness and decreasing the quality of life.The objections of the study are to
compare the effectivity of six solvents, that are aquadest, NaCl 0,9%, coconut oil,
olive oil, carboglycerin 10% and sodium docusate 0,5% againts cerumen obturans
by means of in vitro study and to know the most effective duration contact of a
solvent to cerumen osmolarity. The study is a laboratory experimental by using 30
specimen of solid cerumen with weight of 40 mg for each. The cerumen
osmolarity is established by Spectronic 21 spectrophotometer. The effectivity
comparison of solvents are tested with One Way Anova with alfa < 0,05.The
effectivity of solvents have a significant differentiation especially in 20th , 25th
and 30th minutes. The spectrophotometer that used to established the osmolarity
of cerumen have revelead a significant results only in aquadest and NaCl 0,9%
againts coconut oil dan olive oil, The effective duration of contact by in vitro
study is ≥ 20 minutes and tends to increased to 30 minutes. In 20th and 25th
minutes, NaCl 0,9 % is the most effective solvent, while aquadest is most
effective in 30th minutes. Olive oil and coconut oil are less effective solvents.
Water-based solvents are more effective than lipid-based solvents.
Keywords : effectivity, solvents, cerumen obturans, in vitro
Pendahuluan
Serumen adalah hasil produksi
kelenjar sebasea dan kelenjar
serumenosa yang terdapat di kulit
sepertiga luar liang telinga. Dalam
keadaan normal serumen dapat
keluar sendiri saat mengunyah atau
menelan tanpa kita sadari. Serumen
menimbulkan masalah bila terjadi
cerumen obturans yaitu suatu
keadaan patologis dari serumen yang
walaupun tidak membahayakan jiwa
tetapi dapat mengakibatkan rasa
penuh di telinga, nyeri, gangguan
pendengaran dan ketulian serta
penurunan kualitas hidup (Guest,
2004). Cerumen obturans
mempunyai prevalensi yang cukup
tinggi dan bisa mengenai semua
umur. Cerumen obturans merupakan
salah satu dari 10 penyakit terbanyak
di Poliklinik THT RS.Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar (Data
primer, 2005). Hasil penelitian dari
Farida Muhammad (2008)
dilaporkan 2.015 orang dari 7.184
orang atau terdapat sekitar 28%
murid SD yang telah dilakukan
pemeriksaan pada 14 SD di
Makassar menderita cerumen
obturans. Ada berbagai cara
mengeluarkan serumen antara lain
dengan menggunakan kait telinga,
cara pembilasan, pemberian
serumenolitik maupun kombinasi
antar ketiganya. Dalam kehidupan
seharihari, masyarakat umum
menggunakan berbagai bahan untuk
mengurangi keluhan telinga
tersumbat akibat serumen tersebut
dengan meneteskan air (H2O),
minyak goreng (minyak kelapa),
olive oil (minyak zaitun) dan lain-
lain dengan tujuan agar dapat
melunakkan serumen yang keras dan
padat sehingga dengan mudah dapat
dikeluarkan dari telinga. Bahan-
bahan yang digunakan tersebut masih
perlu penelitian untuk membuktikan
manfaat dan khasiatnya secara
ilmiah. Disamping itu, NaCl 0,9%
yang merupakan cairan fisiologis
sering pula dijadikan kontrol
pembanding dalam melakukan uji
efektivitas serumenolitik secara in
vitro maupun in vivo di luar negeri.
Rumusan masalah
1. Seberapa besar perbandingan
efektivitas beberapa pelarut
(aquadest, NaCl 0,9%, minyak
kelapa sawit, minyak zaitun,
karbogliserin 10%, sodium dokusat
0,5%) terhadap kelarutan cerumen
obturans secara in vitro ?
2. Berapa lama waktu kontak yang
paling efektif suatu pelarut terhadap
kelarutan serumen.?
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbandingan efektivitas
enam pelarut yaitu aquadest, NaCl
0,9%, minyak kelapa, minyak zaitun,
karbogliserin 10 % dan sodium
dokusat 0,5% terhadap cerumen
obturans secara in vitro serta untuk
mengetahui lama waktu kontak yang
paling efektif suatu pelarut terhadap
kelarutan serumen.
Metode penelitian
Penelitian ini merupakan
eksperimental laboratorium dengan
menggunakan 30 spesimen cerumen
obturans yang berasal dari 11
cerumen obturans dengan berat ≥
250 mg, berwarna coklat kehitaman
dan konsistensinya keras dan padat
serta dapat dibagi 6 spesimen dengan
berat masing-masing 40
mg .Cerumen obturans yang
digunakan
bukan merupakan keratosis obturans
dan tidak terkontaminasi dengan
darah, kapas dan zat lain. Setiap
enam spesimen yang dipakai untuk
membandingkan efektivitas berasal
dari serumen yang sama dan
dilarutkan masing-masing dalam 2
ml aquadest, NaCl 0,9%, minyak
kelapa, minyak zaitun, karbogliserin
10% dan sodium dokusat 0,5 %.
Dilakukan pengulangan 5 kali
dengan menggunakan spesimen yang
berasal dari empat cerumen obturans
yang lain . Kelarutan serumen diukur
menggunakan specrofotometer
Spectronic 21 (Soewotto dan
Sadikin, 2001). Perbandingan
efektifitas pelarut diuji dengan
menggunakan uji One Way Anova
dengan alfa < 0,05. Dari tabel di atas
dapat diketahui rerata efektivitas
kelarutan cerumen obtutans dalam
aquadest, NaCl 0,9%, minyak kelapa,
minyak zaitun, karbogliserin 10%
dan sodium dokusat 0,5% yang
menunjukkan peningkatan kelarutan
serumen seiring dengan peningkatan
lama waktu kontak.
Hasil Penelitian
Didapatkan hasil bahwa terdapat
perbedaan bermakna secara analisis
one way anova terhadap efektivitas
beberapa pelarut pada menit ke 20
(p=0,03), menit ke 25 dan (p=0,02)
dan menit 30 (p=0,011).Uji lanjut
dengan Post Hoc Test menunjukkan
bahwa dengan menggunakan
spectrofotomotor spectronic 21
perbedaan bermakna efektivitas
pelarut terhadap cerumen obturans
hanya antara aquadest dan NaCl 0,9
% terhadap minyak kelapa dan
minyak zaitun. Hasil rerata kelarutan
keenam pelarut berdasarkan lama
watu kontak dari menit ke5 sampai
menit ke 30 dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Dari grafik di atas terlihat bahwa
NaCl 0,9% dan aquadest merupakan
pelarut serumen yang paling
efektif.Minyak kelapa dan minyak
zaitun merupakan pelarut yang
efektivitasnya paling rendah.
Efektivitas Karborbogliserin 10%
dan sodium dokusat 0,5% terletak
antara keduanya atau dengan kata
lain memiliki efektivitas yang
sedang. Aquadest dan NaCl 0,9%
yang merupakan pelarut berbasis air
memilki efektivitas kelarutan yang
lebih baik dibandingkan
karbogliserin 10% dan sodium
dokusat 0,5%, minyak zaitun dan
minyak kelapa yang merupakan
pelarut berbasis lemak. Pada
penelitian ini didapatkan lama waktu
kontak yang efektif terhadap
kelarutan cerumen obturans secara in
vitro adalah adalah ≥ 20 menit dan
cenderung meningkat sampai batas
30 menit. Pada menit 20 efektivitas
pelarut dari yang tertinggi berturut-
turut yaitu NaCl 0,9%, aquadest,
sodium dokusat, karbogliserin 10%,
minyak zaitun dan minyak kelapa
dan pada menit 25 efektivitas
serumenolitik dari yang tertinggi
berturut-turut adalah NaCl 0,9%,
aquadest, karbogliserin 10%, sodium
dokusat 0,5%, minyak zaitun dan
minyak kelapa. Sedang pada menit
30 yang terbaik efektivitas
kelarutannya adalah aquadet, NaCl
0,9%, karbogliserin10 %, sodium
dokusat 0,5%, minyak zaitun dan
minyak kelapa.
Pembahasan
Pada penelitian ini digunakan 30
spesimen serumen yang berasal dari
11 cerumen obturans dengan berat ≥
250 mg, berwarna coklat kehitaman
dan konsistensinya keras dan padat
serta dapat dibagi 6 spesimen dengan
berat masing-masing 40 mg.
Spesimen serumen yang digunakan
dalam penelitian ini mengalami
modifikasi berupa pemadatan dan
pencetakan ulang menggunakan
tabung silinder berdiameter 0,5 cm
yang bertujuan menghilangkan bias
akibat perbedaan bentuk, ukuran dan
konsistensi. Hasil efektvitas pelarut
yang didapatkan pada penelitian ini
berbeda dengan penelitian Made Leli
Rahayu (2008) yang , namun pada
penelitian ini menunjukan daya larut
paling tinggi terhadap cerumen
obturans adalah hidrogen peroksida
3% (0,23867 nm) disusul aquadest
(0,08417 nm), sodium dokusat
(0,08017 nm), olium kokos (0,01600
nm) dan karbogliserin 10% (0,01050
nm). Hal ini dimungkinkan karena
pada penelitian tersebut Made Leli
Rahayu menggunakan serumen yang
tidak dipadatkan ulang dengan berat
hanya 10 mg dan menggunakan
beberapa pelarut yang berbeda pula.
Aquadest/ air merupakan pelarut
universal dan tidak mengubah pH
larutan oleh karena sifatnya yang
netral pada penelitian ini merupakan
pelarut paling efektif di banding ke
lima pelarut lain pada menit ke 30.
Mengingat harganya murah dan
mudah diperoleh, aquadest dapat
menjadi alternatif serumenolitik.
Hasil penelitian ini juga
membenarkan hasil yang telah
dilaporkan sebelumnya oleh Bellini
(1989) bahwa aquadest merupakan
serumenolitik yang lebih efektif dari
yang lainnya. Disamping itu
penelitian Robinson dan Hawke
(1989) menunjukkan bahwa air
sebagai serumenolitik sama
efektifnya dengan sodium dokusat
0,5%. Adapun NaCl 0,9% yang
merupakan larutan isotonis dan
biasanya digunakan sebagai bahan
infus, sering pula digunakan sebagai
kontrol dalam penelitian in vitro
maupun in vivo. Pada penelitian ini
NaCl 0,9% menunjukkan efektivitas
terbaik pada menit ke 20 dan ke 25.
Hal ini mendukung hasil penelitian
terdahulu bahwa NaCl 0,9 %
merupakan serumenolitik yang sama
baiknya dengan cerumenex
(trietanolamin polipeptida dan oleat
kondensat 10%) dan murine
(karbamide peroksida 6,5%) menurut
penelitian Rolland (2004) secara in
vivo. Pada aquadest dan NaCl 0,9%
kadar air yang dikandungnya
mengakibatkan hidrasi sel keratin
yang selanjutnya dapat menginduksi
keratolisis sehingga terjadi
disintegrasi bolus serumen.
Sedangkan minyak zaitun dan
minyak kelapa merupakan pelarut
yang paling kurang efektif terhadap
serumen obturans. Hal ini diduga
akibat fungsi minyak yang cenderung
sebagai pelembut dan tidak
mengakibatkan disintegrasi dari
bolus serumen. Walaupun demikian
minyak zaitun dan minyak kelapa
merupakan pelarut lemak yang
tersedia di rumah tangga, mudah
didapat dan relatif aman sehinga
dapat dipakai sebagai alternatif
serumenolitik. Karbogliserin 10%
dan sodium dokusat 0,5% efek
serumenolitiknya berada antara
aquadest dan NaCl 0,9% dengan
minyak zaitun dan minyak kelapa.
Hal ini sesuai dengan penelitian
Bellini(1989) yang menunjukkan
bawa efektivitas serumenolitik
sodium dokusat berada antara air dan
minyak zaitun. Karbogliserin 10%
merupakan serumenolitik yang
mengandung gliserin digunakan,
sebagai pelarut lemak sekaligus
mengandung air sehingga
efektifitasnya lebih baik dari sodium
dokusat 0,5% tetapi lebih rendah dari
air dan NaCl 0,9%. Semakin lama
waktu kontak dengan suatu pelarut
semakin besar kelarutan cerumen
obturans terbukti dalam penelitian ini
.Berdasarkan hasil yang dapat dilihat
pada tabel dan grafik di atas dapat
dijelaskan lama waktu kontak yang
efektif suatu pelarut terhadap
cerumen obturans minimal 20 menit,
dan bila waktu kontaknya lebih dari
20 menit menunjukkan semakin
tinggi tingkat kelarutan yang terjadi
sampai batas waktu 30 menit.
Berdasarkan hasil tersebut dapat
direkomendasikan lama waktu
kontak efektif untuk serumenolitik
dalam pelayanan THT adalah
minimal 20 menit. Kelemahan pada
penelitian ini adalah bahwa hasil
efektivitas beberapa pelarut
berdasarkan penelitian in vitro,
sehingga untuk dapat melakukan
aplikasi langsung pada pasien
perlulah sebelumnya dilakukan
penelitian secara in vivo. Hal ini
penting mengingat kelarutan
serumen secara in vivo dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain:
anatomi liang telinga, luas
permukaan serumen obturans yang
kontak dengan serumenolitik, dosis
dan teknik/ cara pemberiannya,
dibandingkan aplikasi in vitro yang
memiliki lebih banyak keterbatasan,
walaupun terbuka kesempatan
melakukan modifikasi yang tidak
terbatas.
Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa efektivitas pelarut terhadap
cerumen obturans dengan
menggunakan spektrofotometer
meningkat seiring dengan
peningkatan lama waktu kontak.
Efektivitas pelarut berdasarkan lama
waktu kontak menggunakan
spektofotometer secara in vitro
menunjukkan bahwa pelarut berbasis
air lebih efektif dibandingkan pelarut
berbasis lemak.
Saran
Oleh karena penelitian ini masih
bersifat in vitro perlu dilakukan
penelian lanjut efektivitas beberapa
pelarut tersebut terhadap kelarutan
cerumen obturans secara in vivo.
Penelitian ini juga
merekomendasikan lama waktu
kontak efektif sebuah serumenolitik
dalam pelayanan THT adalah
minimal 20 menit.
Ucapan terimakasih
Penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar –besarnya kepada
Kepala Bagian Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin
dan staff atas segala bantuan dan
sarana yang diberikan dalam
melakukan penelitian ini. Dan
Kepada seluruh teman sejawat dokter
spesialis THT yang telah membantu
mendapatkan sampel serumen yang
sesuai untuk penelitian ini
Daftar Pustaka
Bellini MJ, Terry. RM, Lewis. F.A.
1989. An Evaluation of
Common Cerumenolytic
Agent: An In-Vitro Study.
Blackwell Synergy-Clin Otolaryngol.
Vol 14 Issue 1: 23-23.
Guest.JF, Greener.M.J, Robinson
A.C, Smith A.F. 2004.
Impacted Cerumen:
Composition, Production,
Epidemiology and
Management. Q.J. Med.
97:77-488.
Hawke M. 2007. Update Cerumen
and Cerumenolytics. http:/
www. ENT Journal. Com/
search.htm.02/20/2007
Muhammad . Farida.2007. Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi
Prevalensi Otitis Media Pada
Murid Sekolah Dasar di
Makassar. Thesis.
BagianI.K.THTK.
FK.UNHAS. Makassar. Hal
5-40.
Rahayu ML, Sudipta MI, Setiawan
EP,2008.Perbedaan Daya
Larut Karbogliserin 10%,
Hidrogen Peroksida 3%,
Olium Koos, Akuades dan
Natrium Dokusat 0,5%
Dalam Gliserin Terhadap
Serumen Obturans (Suatu Uji
in Vitro), Abstract the 2nd
Headand Neck Surgery, The
3rd Annual Otology Meeting
(PITO) Conference, Jakarta,
November 13-15, 2008
Roland. PS, Smith T.L, et.al. 2008.
Clinical Practice Guideline:
Cerumen Impaction.
American Academy of
Otolaryngology-Head and
Neck Surgery
Foundation139: S1-S21.
Soewotto H, Sadikin M, dkk. 2001.
Biokimia Eksperimen
Laboratorium Cetakan I.