Landasan Teori FHA_Praktikum.docx
-
Upload
yukicc20414 -
Category
Documents
-
view
27 -
download
0
Transcript of Landasan Teori FHA_Praktikum.docx
Nama : Yuki Aditya Rachman
NPM : 230110130202
I. Pendahuluan
Ikan merupakan hewan yang bersifat poikilotermik, yaitu suhu
tubuhnya mengikuti suhu lingkungan. Bagi hewan akuatik, suhu media air
merupakan faktor pembatas. Oleh karena itu, perubahan suhu media air
akan mempengaruhi kandungan oksigen terlarut (DO) yang akan berakibat
pada laju pernafasan dan laju metabolisme hewan akuatik tersebut.
Organisme perairan seperti ikan mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-
30 °C. Perubahan suhu di bawah 20 °C atau di atas 30 °C menyebabkan
ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna
(Trubus edisi 425, 2005). Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7
ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin
tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang
mampu hidup suhu yang sangat ekstrim.
II. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui perubahan
suhu panas dan suhu dingin media air terhadap membuka & menutup
operculum benih ikan mas yang secara tidak langsung ingin mengetahui
laju pernafasan ikan tersebut.
III. Landasan Teori
III.1 Fisiologi Respirasi Ikan
Sebagai biota perairan, ikan mmendapatkan oksigen terlarut dalam air.
Pada hampir semua ikan, insang merupakan komponen penting dalam
pertukaran gas, insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras
dengan beberapa filamen insang di dalamnya (Fujaya, 1999). Menurut Sukiya
(2005), setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan masuk menuju faring
kemudian keluar lagi melewati celah insang. Peristiwa ini melibatkan
kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya, Sukiya (2005)
menambahkan bahwa lamela insang berupa lempengan tipis yang diselubungi
epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta sehingga
karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air.
Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk
mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang
operkulum di sebelah sisi lateral insang (Sugiri, 1984). Laju gerakan
operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan.
III.2 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Selain itu, suhu juga sangat penting
bagi kehidupan organisme di perairan karena suhu mempengaruhi baik
aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu,
tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat
di berbagai tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu.
Ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu disebut
bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil disebut bersifat
stenoterm. Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu
mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu
yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya.
Nybakken (1988) mengemukakan bahwa sebagian besar biota laut
bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Oleh karena itu, pola penyebaran
organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu laut secara geografik.
Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut dan penyebaran organisme
secara keseluruhan, maka dapat dibedakan menjadi 4 zona biogeografik
utama, yaitu kutub, tropik, beriklim sedang-panas dan beriklim sedang-dingin.
Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah tersebut namun tidak
mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan musim.
Organisme perairan seperti ikan mampu hidup baik pada kisaran suhu
20-30 °C. Perubahan suhu di bawah 20 °C atau di atas 30 °C menyebabkan
ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna
(Trubus edisi 425, 2005). Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7 ppm.
Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi.
Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang mampu hidup
suhu yang sangat ekstrim. Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang
hidup pada suhu optimum 20-30 °C adalah jenis ikan-ikan pelagis (ikan-ikan
yang hidup pada permukaan). Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada
suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor
oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena
pada umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan
lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya.
III.3 Pengaruh Suhu Air terhadap Ekosistem Perairan
Salah satu faktor fisik lingkungan perairan adalah suhu. Perubahan
suhu dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama paparan
terhadap matahari dan kedalaman badan air (Tunas, 2005). Kenaikan suhu air
akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut (Kanisius, 2005) :
a. Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat.
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya
mungkin akan mati.
Selanjutnya menurut Munro (1978 dalam Tunas, 2005), peningkatan
suhu air dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas namun
meningkatkan solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak
mentah dan pestisida serta meningkatkan toksisitas logam berat.
III.4 Pengaruh Suhu Air terhadap Respon Fisiologis dan Tingkah
Laku Ikan
Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat
menyebabkan gangguan status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stres
yang ditandai tubuh lemah, kurus, tingkah laku abnormal dan gerakan ikan
yang agresif, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan menjadi rentan
terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imunitas
(Tunas, 2005). Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung
oksigen lebih tinggi namun suhu rendah dapat menyebabkan stres pernafasan
pada ikan berupa penurunan laju respirasi dan denyut jantung sehingga dapat
berlanjut dengan pingsannya ikan akibat kekurangan oksigen. Penelitihan oleh
Kuz’mina et al. (1996 dalam Tunas, 2005) menunjukkan bahwa suhu perairan
sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme dan proses-proses biologis
ikan. Ditunjukkan bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase sangat
dipengaruhi oleh suhu, aktivitas protease tertinggi dijumpai pada musim
panas, adapun aktivitas amilase tertinggi dijumpai pada musim gugur (Hofer
dalam Tunas, 2005). Menurut Kanisius (1992), suhu air yang relatif tinggi
dapat ditandai antara lain dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya
ke permukaan untuk mencari oksigen.
Perubahan suhu yang besar dan mendadak jelas dengan nyata
mempengaruhi adaptasi ikan. Ikan yang diaklimasikan ke suhu yang dingin
akan berenang lebih cepat (Campbell, 2002). Pada perlakuan ini ada korelasi
bahwa semakin rendah suhu maka semakin cepat gerakan renang ikan dan
semakin cepat pula gerakan operkulum sebagai respon suhu rendah. Ikan yang
hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami
kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius, 1992). Hal tersebut dapat diamati dari
perubahan gerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan
satu dengan lainnya berbeda. Namun dapat diketahui bahwa suhu tinggi
menyebabkan gerakan operkulum semakin naik dan suhu rendah menurunkan
gerakan operkulum. Gerakan operkulum sebenarnya merupakan indikator laju
respirasi ikan, sedangkan suhu merupakan faktor pembatas bagi kehidupan
ikan. Telah diketahui bahwa suhu tinggi akan menyebabkan berkurangnya gas
oksigen terlarut akibatnya ikan akan mempercepat gerakan operkulum untuk
mendapatkan gas oksigen dengan cepat sesuai kebutuhan respirasinya.
Menurut Fujaya (1999), rendahnya jumlah oksigen terlarut dalam air
menyebabkan ikan atau hewan air harus memompa sejumlah besar air ke
permukaan alat respirasinya untuk mengambil oksigen.
Semakin tinggi suhu air, semakin cepat pula terjadi perubahan gerak
ikan menjadi pasif. Perubahan warna insang pun dapat terjadi dikarenakan
tingginya aktivitas sel darah merah yang membawa oksigen dari kapiler darah
ke pembuluh darah di dalam insang. Warna insang yang terlihat lebih gelap
akibat sel-sel darah yang rusak (nekrosa, haemolisis) dan tingginya aktivitas
sel-sel mukus (Ghufron dan Kordi, 2004). Mukus merupakan glikoprotein
yang bersifat basa atau netral yang berfungsi sebagai perlindungan atau
proteksi, menurunkan terjadinya friksi atau gesekan, antipatogen, membantu
pertukaran ion, membantu pertukaran gas dan air (Shephard, 1994). Kerusakan
struktur insang dikarenakan tingginya aktifitas operkulum yang memompakan
sejumlah besar air lebih maksimal ke permukaan insang untuk kemudian
difiltrasi oleh filamen insang dan dilakukan pengambilan oksigen oleh darah
melalui lamela insang.
IV. Metode Praktikum
4.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Praktikum
Waktu : Kamis tanggal 9 Oktober 2014 pukul 10.00 WIB
Tempat : Laboratorium FHA
4.2 Alat & Bahan
4.2.1 Alat yang Digunakan
Beaker Glass
Wadah Plastik
Freezer
Palu / Martil
Water Bath
Termometer Raksa / Alkohol
Hand Counter
Timer / Stopwatch
III.4.1 Bahan yang Digunakan
Benih ikan mas sebanyak 10 ekor
Stok air panas dan air dingin
V. Prosedur Kerja
Dalam percobaan ini langkah-langkah yang harus diperhatikan antara lain :
1. Siapkan sebuah beaker glass 1000 ml sebagai wadah perlakuan dan 2
wadah plastik sebagai tempat ikan yang belum dan yang sudah diamati.
2. Ambil sebanyak 10 ekor benih ikan mas dari akuarium stok lalu
masukkan ke dalam salah satu wadah plastik yang telah diberi media air.
3. Isi beaker glass dengan air secukupnya ( ± ½ volumenya ) lalu ukur
suhunya dengan termometer dan catat hasilnya.
4. Pengamatan akan dilakukan dengan 3 perlakuan, yaitu :
a. T1 = untuk suhu kamar ( …. ± 0,5 ºC).
b. T2 = untuk suhu 3 ºC di atas suhu kamar.
c. T3 = untuk suhu 6 ºC di atas suhu kamar.
5. Masukkan satu per satu ikan uji ke dalam beaker glass yang sudah
diketahui suhunya (perlakuan a) kemudian hitung banyaknya membuka &
menutup operculum ikan tersebut selama 1 menit dengan menggunakan
hand counter dan stop watch sebagai penunjuk waktu dan diulang
sebanyak 3 kali untuk masing –masing ikan. Data yang diperoleh dicatat
pada kertas lembar kerja yang telah tersedia.
6. Setelah selesai dengan ikan uji pertama dilanjutkan dengan ikan uji
berikutnya sampai ke-10 ikan tersebut teramati. Ikan yang telah diamati
dimasukkan ke dalam wadah plastik lain yang telah disediakan.
7. Setelah selesai dengan perlakuan a, dilanjutkan dengan perlakuan b
dengan mengatur suhu air pada beaker glass agar sesuai dengan suhu yang
diinginkan dengan cara menambah air panas dari water bath atau es balok
yang telah dipecahkan dengan palu sedikit demi sedikit. Usahakan pada
saat pengamatan berlangsung suhu air turun pada kisaran toleransi ± 0,5
ºC. Pengamatan selanjutnya sama seperti pada point 5.
8. Setelah selesai dengan perlakuan b, dilanjutkan dengan perlakuan c
dengan mengatur suhu air pada beaker glass agar sesuai dengan suhu yang
diinginkan dengan cara menambah air panas dari water bath atau es balok
yang telah dipecahkan dengan palu sedikit demi sedikit. Usahakan pada
saat pengamatan berlangsung suhu air turun pada kisaran toleransi ± 0,5
ºC. Pengamatan selanjutnya sama seperti pada point 5.
9. Data hasil pengamatan ditabulasi seperti tabel di bawah ini :
Tabel 1. Banyaknya bukaan operculum benih ikan mas pada suhu kamar
Ikan ke : Ulangan Rata-rata
I II III
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tabel 2. Banyaknya bukaan operculum benih ikan mas pada suhu 3 ºC di
atas suhu kamar
Ikan ke : Ulangan Rata-rata
I II III
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tabel 3. Banyaknya bukaan operculum benih ikan mas pada suhu 6 ºC di
atas suhu kamar
Ikan ke : Ulangan Rata-rata
I II III
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
IV. Daftar Pustaka
"Adaptasi Hewan Perairan pada Ekosistem Sungai pada Berbagai Faktor Fisik
Lingkungan." http://slideshare.net/muhammadsangquite/laporan-ekologi-hewan-
fisiologi-ikan (Diakses tanggal 8 Oktober 2014)
Aliza, Dwinna, Winaruddin dan Sipahutar, Luky Wahyu. (2013). "Efek
Peningkatan Suhu Air terhadap Perubahan Perilaku, Patologi Anatomi dan
Hispatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)". Jurnal Medika
Veterinaria. 7, (2).
Lili, Walim, et al. (2013). Modul Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan Air.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjajaran