LANDASAN PENELITIAN -...

64
MODUL PPJFP LANDASAN PENELITIAN PUSAT PEMBINAAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2019

Transcript of LANDASAN PENELITIAN -...

MODUL PPJFP

LANDASAN PENELITIAN

PUSAT PEMBINAAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

2019

DAFTAR ISI

I. Filsafat dan Paradigma Penelitiana. Mengapa peneliti membutuhkan filsafat?b. Filsafat ilmu alam dan filsafat ilmu sosialc. Paradigma penelitian ilmu sosial: Ontologi dan Epistemologi

Positivisme Konstruktivisme-interpretivisme Realisme KritisII. Pendekatan Penelitian

a. Penelitian Kuantitatifb. Penelitian Kualitatifc. Penelitian Mixed Method;d. Metode Penalaran dalam Penelitian Kuantititaf an Kualitatif

III. Novelty dalam Penelitian (Discovery, Invention, dan Innovation)IV. Praktik/Penugasan: Implementasi Pendekatan Penelitian

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |3

filosofi dan paradigma penelitian | 4

FILSAFAT DAN PArADIgmA KEgIATAN PENELITIAN

Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan filosofi dan paradigma kegiatan penelitian dengan benar.

Modul PPJFP

PENDAHULUANBab ini membahas penelitian menurut filsafat dan paradigma yang berkembang. Penelitian merupakan sebuah proses pencarian atau penelahaan pengetahuan melalui serangkaian langkah atau prosedur yang ketat guna mendapatkan kebenaran dari realitas suatu benda, subyek, atau suatu keadaan tertentu. Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti perlu memahami terlebih dahulu obyek penelitian (ontologi), bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang obyek tersebut (epistemologi) dan bagaimana prosedur dan metode yang perlu dilakukan (metodologi). Semua ini membutuhkan pembahasan filosofis.

Setiap kali mendengar istilah “filsafat ilmu pengetahuan” banyak peneliti mengerutkan kening dan bertanya apa hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan. Biasanya, filsafat dipersepsikan sebagai ilmu yang mencari jawaban terhadap pertanyaan besar seperti apa arti kehidupan atau untuk apa manusia hadir di dunia. Sementara ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mencari jawaban terhadap pertanyaan yang lebih membumi terkait dengan fenomena alam atau kemasyarakatan.

Namun sesungguhnya, kegiatan penelitian untuk menghasilkan ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari isu-isu filosofis. Sebagian dari isu filosofis tersebut berdampak langsung terhadap cara peneliti melakukan penelitian, sebagian lagi terkait dengan konsep dan perangkat fundamental yang di- gunakan oleh peneliti. Sehingga pada dasarnya, penelitian dan ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari isu filosofis. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan penelitian dengan benar, seorang peneliti perlu memahami isu filosofis dari penelitian dan ilmu pengetahuan.

Perlu digarisbawahi bahwa kita tidak berbicara filsafat secara umum yang sangat luas pembahasannya, tetapi yang menjadi perhatian peneliti adalah filsafat ilmu pengetahuan, sebuah cabang filsafat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai objek kajiannya. Juga perlu dipahami, bahwa meskipun untuk menjadi peneliti yang baik, seorang peneliti tidak perlu menjadi seorang filosof, namun seorang peneliti perlu memahami isu-isu filosofis penelitian dan menggunakan filsafat sebagai “underlabourer” untuk membantunya melakukan penelitian dengan benar dan menghasilkan pengetahuan yang benar.

Mengapa peneliti membutuhkan filsafat? Untuk memahami bagaimana penelitian, tidak bisa terlepas dari isu filosofis sebagai bagian rangkaian aktivitas penelitian untuk kemudian kita telaah isu filosofis yang timbul.

Secara umum dipahami bahwa ilmu pengetahuan dihasilkan dari kegiatan penelitian yang dimulai dengan observasi atau pengamatan terhadap fenomena yang menjadi perhatian. Misalnya fenomena pergerakan bumi dan planet lainnya. Dari observasi ini, peneliti akan membangun teori untuk menjelaskan fenomena yang teramati. Misalnya teori tentang pergerakan bumi dan planet lainnya yang mengelilingi matahari melalui lintasan berbentuk elips dengan matahari berada pada salah satu titik fokus elips tersebut. Setelah membangun

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |5

filosofi dan paradigma penelitian | 6

teori, peneliti akan mencari cara untuk menguji teori tersebut, biasanya dengan membuat prediksi tentang fenomena apa yang akan terjadi dan dapat teramati jika teori tersebut benar. Misalnya, teori lintasan elips memprediksi bahwa titik cahaya yang disebut “Mars” akan terlihat pada posisi-posisi tertentu di langit pada hari tertentu dan waktu tertentu. Kemudian dilakukan pengamatan untuk menguji apakah prediksi teori dapat ditemukan atau terlihat. Jika prediksi terbukti, maka dikatakan bahwa teori telah terkonfirmasi, jika tidak terbukti maka disimpulkan bahwa teori telah terbantahkan, atau terdiskonfimasi.

Proses penelitian seperti diuraikan di atas, terdiri dari rangkaian aktivitas: observasi, membangun teori, merancang pengujian teori dan konfirmasi/diskonfirmasi teori. Sekilas, proses ini terlihat simpel dan mekanistis, terkesan dapat dilakukan dengan cara prosedural dan tidak menimbulkan banyak kontroversi. Sehingga seolah-olah penelitian dapat dilakukan dengan mengikuti resep tertentu. Namun, jika kita menelaah lebih dalam masing-masing aktivitas penelitian, segera akan mengemuka isu-isu filosofis. Dalam pembahasan singkat ini, sebagai contoh kita hanya akan menelaah proses konfirmasi/diskonfimasi.

Mari kita lihat tahapan konfirmasi/diskonfirmasi dari teori tentang pergerakan bumi dan planet lainnya mengelilingi matahari melalui lintasan elips di mana matahari berada pada salah satu titik fokus elips. Teori ini pertamakali dikemukakan oleh Johannes Kepler (1571-1630) pada tahun 1601. Selama beberapa abad setelah teori Kepler dikemukakan, teori Kepler ini terbukti secara akurat dapat memprediksi posisi planet di langit pada waktu tertentu, jauh lebih akurat daripada teori astronomi lainnya. Bukti empirik ini semakin mengkonfirmasi kebenaran teori Kepler. Pembuktian empirik selama berabad-abad membawa kita pada kesimpulan bahwa teori Kepler ini benar, tidak perlu diragukan lagi. Namun, apakah teori Kepler betu-betul merupakan teori yang benar? Jawabannya adalah “Tidak”.

Salah satu alasannya adalah sebagai berikut. Cara berargumentasi bahwa suatu teori benar berdasarkan fakta bahwa teori bisa membuat prediksi akurat adalah salah satu bentuk dari cara berpikir induksi. Sifat induksi ini memiliki implikasi penting terhadap cara konfirmasi teori. Secara umum, sifat cara berpikir induktif adalah sekuat apapun premis yang terkandung dalam induksi, masih terdapat kemungkinan bahwa teori keliru. Paling jauh, cara berpikir induktif hanya menyediakan bukti mendukung teori, tapi tidak akan pernah dapat menunjukkan bahwa teori tersebut benar.

Sebagai contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari: Saat saya bercerita ini hari jumat pagi. Saya menyimpan plastik sampah di kotak sampah di depan rumah pada hari kamis siang kemarin, karena berdasarkan pengalaman berbulan-bulan truk sampah akan datang pada hari Kamis sore dan petugas sampah akan mengangkut semua sampah dalam kotak di depan rumah. Namun ternyata kamis sore kemarin tukang sampah tidak datang. Artinya, teori bahwa sampah di depan rumah akan diangkut oleh petugas sampah pada hari kamis sore yang terbukti benar selama berbulan-bulan, terbukti hari ini tidak benar. Hari ini, jumat pagi plastik sampah saya masih ada dalam kotak sampah di depan rumah. Kemudian saya berpikir secara

Modul PPJFP

inferensial, bahwa perusahaan pengambil sampah kemarin sedang sibuk sekali dan akan mengambil sampah di depan rumah saya pada hari ini. Tapi siapa yang tahu pasti?

Dalam kasus teori Kepler, setelah kurang lebih 200 tahun bukti empirik secara akurat mendukung kebenaran teori tersebut, ketika peralatan observasi semakin meningkat akurasinya, pengamatan menunjukkan bahwa prediksi pergerakan planet oleh teori Kepler terbukti tidak terlalu akurat, ditemu-kan sejumlah kekeliruan hasil prediksi yang meskipun kecil namun dapat teramati. Hal ini membuktikan bahwa teori Kepler tidak sepenuhnya benar. Jadi pertanyaannya, kapan suatu teori dapat dikatakan terkonfirmasi benar secara akurat?

Dalam filsafat, kelemahan induksi dikenal dengan istilah “Hume’s problem of induction” karena yang pertama mengemukakannya adalah David Hume (1711-1716), seorang filosof Inggris yang terkenal jenius pemikirannya namun eksentrik dan cenderung menentang arus pemikiran yang umum.

Terkait dengan cara berpikir untuk prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa depan, Hume adalah filosof pertama yang melihat kelemahan cara berpikir induktif. Pertama sekali, Hume mengatakan bahwa jika kita ingin meyakini kebenaran prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa depan, kita harus mengasumsikan bahwa apa yang akan terjadi di masa depan akan sama dengan apa yang terjadi di masa lalu. Untuk memahami pentingnya asumsi ini, bayangkan bahwa kita hidup di sebuah dunia yang senantiasa berubah, hari-harinya berlalu diwarnai dengan fenomena yang berubah-ubah: gaya gravitasi berubah dari hari ke hari, kadang matahari terbit dari timur kadang dari barat atau dari sembarang tempat, temperatur kadang hari ini 40oC besok 0oC, dan seterusnya. Dalam dunia seperti ini, kita tidak mungkin untuk melakukan prediksi dengan tepat.

Jadi, sekali lagi, Hume menyatakan bahwa untuk dapat memprediksi sesuatu di masa depan, dunia harus memiliki sifat sedemikan bahwa apa yang akan terjadi di masa depan sama dengan apa yang terjadi di masa lalu. Namun selanjutnya Hume menunjukkan bahwa tidak ada cara logis untuk men- justifikasi asumsi ini, yakni tidak ada cara untuk menjustifikasi asumsi bahwa apa yang terjadi di masa datang akan sama dengan apa yang terjadi di masa lalu. Karena menurut Hume, kita hanya dapat menjustifikasi asumsi ini dengan cara argumentasi melingkar (circular), yakni menjustifikasi sebuah asumsi dengan menggunakan asumsi tersebut, yang pada dasarnya bukanlah merupakan justifikasi.

Apa yang dimaksud dengan argumentasi melingkar? DeWitt (2010), seorang professor filsafat ilmu pengetahuan memberikan contoh tentang argumentasi melingkar dengan sebuah contoh hipotetis. Misalnya, Prof DeWitt dikenal sebagai pengajar yang kadang-kadang suka membuat kekeliruan di kelas. Salah seorang mahasiswa baru ketika mendengar bahwa Prof DeWitt suka membuat kekeliruan di kelas ingin mengetahui kapan sang professor sedang membuat kesalahan dan kapan tidak. Ia pun kemudian bertanya: “Bagaimana saya dapat mengetahui bahwa anda tidak sedang melakukan kesalahan?” Prof

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |7

filosofi dan paradigma penelitian | 8

DeWitt menjawab dengan menulis di papan tulis kalimat berikut: “Apa yang ditulis DeWitt di papan tulis adalah benar”. Kemudian prof DeWitt mengatakan kepada seluruh kelas: “Jika saya menulis sesuatu di papan tulis, maka sesuatu itu benar”. Kemudian salah satu mahasiswa yang cerdas mengajukan pertanyaan cerdas: “Mengapa saya harus mempercayai apa yang ditulis Profesor di papan tulis?” Kemudian sang Profesor menjawab: “Karena saya menuliskannya di papan tulis, dan sebagaimana kalian bisa baca apa yang tertulis di papan tulis, apa yang ditulis DeWitt di papan tulis adalah benar”.

Jelas, ini adalah argumentasi melingkar karena sang profesor menggu-nakan pernyatan “Apa yang ditulis DeWitt di papan tulis adalah benar” untuk menjustifikasi klaim bahwa “Apa yang ditulis DeWitt di papan tulis adalah benar”. Argumentasi melingkar semacam ini, sama sekali bukanlah argumentasi.

Hume menunjukkan bahwa cara argumentasi melingkar seperti ini lah yang terjadi dalam upaya kita menjustikasi klaim bahwa apa yang akan terjadi di masa depan sama dengan apa yang terjadi di masa lalu. Mengapa? Karena satu-satunya cara dimana kita dapat menjustifikasi klaim ini adalah dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hari ini sama dengan apa yang terjadi kemarin, dan apa yang terjadi kemarin sama dengan apa yang terjadi sehari sebelumnya, dan seterusnya. Dengan demikian, kita menjustifikasi klaim bahwa “apa yang terjadi di masa mendatang sama dengan apa yang terjadi di masa lalu” dengan merujuk pada pengalaman masa lalu. Namun, sebagaimana Hume katakan, setiap argumentasi tentang masa depan yang didasarkan pada apa yang terjadi di masa lalu harus mengasumsikan bahwa apa yang terjadi di masa depan akan sama dengan apa yang terjadi di masa lalu. Dengan demikian, kita menjustifikasi klaim bahwa “apa yang terjadi di masa mendatang sama dengan apa yang terjadi di masa lalu” dengan mengasumsikan kebenaran klaim tersebut. Ini jelas merupakan argumentasi melingkar. Inilah masalah dengan induksi.

Contoh yang cukup terkenal untuk menunjukkan masalah dalam cara berpikir induktif adalah kesimpulan bahwa angsa berwarna putih setelah melihat ribuan angsa semuanya berwarna putih. Dengan cara berpikir induktif, setelah mengamati ribuan angsa berwarna putih, kita dapat menyimpulkan bahwa semua angsa berwarna putih. Namun menurut Hume, tidak ada cara untuk menjustifikasi bahwa teori ‘angsa berwarna putih’ adalah benar. Tidak ada kepastian bahwa semua angsa berwarna putih, karena kita belum melihat semua angsa yang ada. Boleh jadi ada angsa yang belum kita lihat yang berwarna hitam.

Namun sesungguhnya, problem induksi Hume didasarkan pada pemahaman tertentu tentang hubungan sebab akibat atau kausalitas yang kemudian dikenal sebagai “Kausalitas Humean”. Bagi Hume, kausalitas tidak lebih daripada “constant conjunction of events”, kombinasi kejadian teratur yang konstan terus menerus terjadi: setelah A terjadi maka B terjadi dan urutan kejadian ini terus berulang teramati. Hume berargumen bahwa kausalitas bukanlah sesuatu yang dapat kita observasi di dunia empirik, yang kita observasi hanyalah fakta bahwa setelah A terjadi maka B terjadi. Kemudian di benak kita,

Modul PPJFP

kita menyimpulkan bahwa kejadian A menyebabkan B terjadi. Kausalitas hanya ada dalam benak kita, bukan di dunia empirik. Mengenai bagaimana proses kejadian A menyebabkan kejadian B, menurut Hume tidak ada cara saintifik untuk mengetahuinya dan tidak menjadi syarat untuk sebuah hubungan kausalitas. Bagi Hume, constant conjunction of events adalah syarat perlu dan cukup bagi sebuah kausalitas.

Problem induksi akan hilang seandainya Hume memahami bahwa realitas adalah terstruktur dan karenanya memiliki pola tertentu. Kejadian A yang diikuti kejadian B merupakan pola yang bisa dicari penjelasannya. Bagaimana proses atau mekanismenya dapat dijelaskan secara saintifik karena realitas ada struktur dan polanya. Jadi, kejadian bahwa angsa berwarna putih misalnya dapat dijelaskan dengan memahami struktur genetika dari angsa yang menentukan mengapa angsa berwarna putih. Dan sekali kita mengetahuinya, kita akan cukup yakin bahwa semua angsa berwarna putih, karena struktur genetika dalam suatu spesies memiliki pola yang sama. Kalaupun kemudian ada angsa berwarna hitam, kita dapat menjelaskannya dengan melihat genetika angsa tersebut dan kita patut menduga bahwa ada perbedaan genetik pada angsa yang berwana hitam dibanding struktur genetik angsa putih. Di sini terlihat bahwa Hume hanya berpikir pada tataran epistemologis (bagaimana cara memperoleh pengetahuan) tapi tidak pada tataran ontologis (sifat obyek penelitian, termasuk kausalitas) .

Demikianlah, terlihat bahwa masalah konfirmasi atau diskonfirmasi bukanlah masalah yang sederhana. Untuk dapat melakukan konfirmasi dengan benar, seorang peneliti perlu memahami isu yang bersifat filosofis. Di kebanyakan buku teks dan mata kuliah metodologi, penelitian dan instrumen penelitian seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang tidak terkait dengan filsafat. Sering dikatakan bahwa penelitian hanya terkait dengan penciptaan ilmu pengetahuan tentang manusia dan realitas sosial. Tetapi menurut Bentz dan Shapiro (1998), untuk melakukan penelitian dengan tepat peneliti perlu menjawab serangkain pertanyaan: Apakah ilmu pengetahuan? Apakah realitas itu? Apakah pengetahuan harus merupakan sesuatu yang dapat diprediksi? Apakah pengetahuan intuitif termasuk pengetahuan yang valid? Apakah pengetahuan harus dapat digeneralisasi? Semua ini hanya dapat dijawab dengan pemikiran filosofis. Sehingga ketika seorang peneliti melakukan penelitian, sadar atau tidak ia akan berpegang pada asumsi tertentu tentang isu-isu filosofis tersebut. Akan lebih baik, jika seorang peneliti secara eksplisit menyadari asumsi-asumsi filosofis tersebut.

Filsafat Ilmu Alam dan Filsafat Ilmu SosialSejatinya, ilmu pengetahuan modern, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial berasal dari ilmu filsafat. Ilmu alam berasal dari filsafat alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial berasal dari filsafat moral (moral philosophy). Sampai dengan akhir abad ke-19, perguruan tinggi di Eropa hanya terdiri dari empat fakultas: Filsafat, Kedokteran, Teologi dan Hukum (Bentz dan Saphiro, 1998). Filsafat terbagi menjadi filsafat alam dan filsafat moral. Filsafat

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |9

filosofi dan paradigma penelitian | 10

alam berkembang menjadi sejumlah disiplin ilmu alam: fisika, kimia, biologi, astronomy, zoologi dsb. Sementara itu, filsafat moral yang terdiri dari filsafat sosial dan filsafat politik berkembang menjadi disiplin ilmu sosial seperti sejarah, ekonomi, psikologi, sosiologi, pemerintahan (yang kemudian menjadi ilmu politik) dan anthropologi. Di paruh kedua abad 20 ilmu alam dan ilmu sosial terus berkembang dan melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan baik yang bersifat monodisiplin maupun interdisiplin.

Dalam perkembangannya memisahkan diri dari ilmu filsafat, ilmu penge-tahuan alam dan sosial memandang filsafat sebagai ilmu yang terlalu spekulatif tidak bersentuhan langsung dengan dunia empirik yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan. Para ilmuwan matematika misalnya, mereka tidak memper-tanyakan apa yang dimaksud dengan bilangan? Mereka menyerahkan masalah ini pada filsafat matematika. Demikian pula, para ilmuwan fisika tidak terlalu mempertanyakan apa hakekat energi, waktu dan ruang? Mereka langsung mengkaji masalah-masalah empirik. Dapat dikatakan bahwa awal mula pemisahan ilmu pengetahuan alam dari filsafat alam diawali dengan paham empirisisme yang dipelopori oleh Francis Bacon di Inggris. Berbeda dengan paham rasionalisme idealisme yang meyakini bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan olah gagasan secara rasional dalam pikiran manusia, menurut paham empirisisme, pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh dengan indra persepsi yang menyerap dan memperspesikan dunia empirik. Oleh karena itu, setiap pengetahuan harus selalu diuji secara empirik.

Apakah setelah pemisahan ini, ilmu pengetahuan tidak memerlukan filsafat? Sebagaimana diuraikan di bagian terdahulu, Ilmu pengetahuan akan selalu memiliki asumsi-asumsi filosofis tentang apa itu realitas (ontologi) dan bagaimana cara terbaik memperoleh pengetahuan tentang realitas tersebut (epistemologi). Pada gilirannya, metodologi yang diambil peneliti akan sangat ditentukan oleh asumsi ontologis dan episemologis. Jadi, peneliti tidak akan pernah bisa terlepas dari isu filosofis. Isu filosofis yang melandasi penelitian tercakup dalam isu ontologis dan isu epistemologis yang kemudian disebut paradigma ilmu pengetahuan. Sehingga pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan membutuhkan filsafat untuk menetapkan atau memilih paradigma yang tepat. Namun sejauh mana para peneliti perlu memahami paradigma dalam melakukan penelitian yang benar?

Terkait dengan tingkat keperluan peneliti memperhatikan masalah paradigma ilmu, terdapat perbedaan tingkat keperluan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ilmu alam yang menurut Thomas Kuhn sudah mencapai Normal Science dimana paradigma ilmu yang melandasi kegiatan penelitian ilmu alam sudah mapan terbentuk melalui kegiatan penelitian dan perkembangan ilmu penegetahuan sebelumnya, para peneliti ilmu alam dapat mengasumsikan bahwa paradigma ontologis dan epistemologis yang melandasi ilmu tersebut sudah terbangun dan disepakai oleh komunitas ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut. Sehingga para peneliti yang melakukan penelitian bidang ilmu tersebut tidak terlalu perlu memperhatikan paradigma. Peneliti hanya perlu memperhatikan metodologi yang lazim digunakan.

Modul PPJFP

Dalam konteks normal science berlaku paradigma tertentu yang telah disepakati para peneliti yang mencakup asumsi tentang objek penelitian, metodologi penelitian dan bahkan tentang instrumen penelitian yang dinilai handal. Para peneliti menerima semua asumsi paradigmatik tersebut dan menjawab pertanyaan penelitian sesuai dengan asumsi tersebut. Menurut Thomas Kuhn, ilmu pengetahuan normal “is predicated on the assumption that the scientific community knows what the world is like”. Para peneliti tidak perlu memikirkan tentang ontologi (what the world is like) karena ontologi sudah teruji dan terangkum dalam paradigma yang dipegang oleh komunitas ilmuwan. Para ilmuwan menghabiskan sebagian besar dari karirnya untuk melakukan riset dalam sains normal ini, dan akan ‘berusaha’ untuk mempertahankan asumsi yang mereka yakini.

Bahwa dalam ilmu pengetahuan yang berparadigma positivisme, perhatian hanya ditujukan pada metode juga ditegaskan oleh Bentz dan Saphiro: Under the reign of a unitary model of scientific knowledge such as positivism, it was possible, even inevitable, for research training to be focused on techniques and methods of research. The researcher could be an epistemological ignoramus, because the nature and definition of knowledge could be taken for granted, and the only thing to be learned was how to produce it.(hal 34)

Seperti dikutip di atas, Bentz dan Saphiro menegaskan bahwa dalam positivisme adalah hal tidak terhindarkan ketika pelatihan bagi para peneliti difokuskan pada teknik dan metode penelitian. Dengan cara ini, peneliti men-jadi abai terhadap masalah epistemologi (epistemological ignoramus), karena definisi dan sifat pengetahuan (yaitu epistemologi) diasumsikan sebagai hal yang telah ditetapkan dan diterima (taken for granted) oleh komunitas peneliti. Yang kemudian menjadi perhatian hanyalah bagaimana cara memproduksi pengetahuan, yaitu apa teknik dan metode yang diperlukan untuk menghasil-kan pengetahuan.

Namun tidak demikian halnya dengan ilmu sosial. Ilmu sosial belum men-capai keadaan sebagai normal science (dan mungkin tidak bisa diukur dengan parameter Normal Science). Dalam ilmu sosial terdapat banyak paradigma yang berkembang, eksis secara bersamaan dan seringkali saling bersaing. Oleh karena itu, dalam bidang ilmu sosial, peneliti perlu betul-betul memperhatikan landasan paradigmatik yang akan dia pegang dalam melakukan penelitian. John Elster (2009, p.9)) menekankan pentingya peneliti ilmu sosial mem- perhatikan masalah ontologi karena metodologi akan sangat ditentukan oleh asumsi ontologis: I believe that where the social sciences are concerned, social ontology is prior to methodology and theory. It is prior in the sense that unless you have a clear conception of the nature of the phenomena you are investigating, you are unlikely to develop the right methodology and the right theoretical apparatus for conducting the investigation.

Bentz dan Saphiro menegaskan bahwa pengabaian terhadap masalah epistemologis dan ontologis merupakan keadaan yang patut disesalkan dan karenanya perlu diubah. Karena membahas teknik dan metode tanpa me-mahami apa dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan (ontologi dan

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |11

filosofi dan paradigma penelitian | 12

epistemologi) adalah tindakan yang tidak berarti: “Because without some reflection on what the “it” of knowledge is [ontologi and epistemology], training in how to produce “it” does not make much sense.

Sejak tahun 1980-an, di kalangan ilmuwan sosial berkembang kesadaran tentang pentingnya ontologi bagi ilmu sosial. Hal ini didorong oleh kesadaran dan keyakinan beberapa peneliti sosial tentang pentingnya masalah ontologi. Outhwaite (1987) menegaskan bahwa sebelum menentukan metode penelitian, seorang peneliti terlebih dahulu harus memahami ontologi sosial. Kurki dan Wight (2013) menyimpulkan bahwa setiap posisi teoretis memiliki asumsi ontologis, epistemologis dan metodologis. Demikian pula, Lewis (2005) menyimpulkan bahwa para peneliti sosial di berbagai disiplin ilmu telah mulai mengakui bahwa adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk melakukan penelitian sosial dengan benar tanpa memiliki asumsi tentang ontologi sosial, karena setiap upaya untuk mengkonseptualisasikan fenomena sosial sudah barang tentu mengasumsikan sifat entitas sosial. Raadschelder (2011) mengemukakan bahwa ontologi adalah hal yang pertama harus dikaji untuk dapat menghasilkan pengetahuan ilmu administrasi yang correct dan bermanfaat bagi praktek. Ontologi sebagai sumber dari ilmu pengetahuan yang tepat dikemukakan Raadschelder dalam ungkapan berikut: … since ontology will generate theories about what we can know (epistemology), how we can produce that knowledge (methodology), what research practices we apply (methods), as well as how seemingly objective, research findings can be valued (axiology) .

Penguatan perhatian terhadap masalah ontologi atau Ontological Turn tidak terlepas dari kemunculan sekelompok peneliti di Inggris. Filsuf Roy Bhaskar yang membangun realisme kritis bertempat tinggal di London Inggris dan pemikirannya banyak disambut baik oleh para ilmuwan sosial di berbagai bidang, terutama sosiologi dan ekonomi. Sekelompok ilmuwan ekonomi di Inggris membentuk Cambridge Social Ontology group (CSOG). Mereka terdiri dari para ilmuwan ekonomi dan sosiologi dari Cambridge (Tony Lawson, Clive Lawson and Paul Lewis), London (Stephen Pratten), Oxford (John Latsis), dan Essex (Dave Elder-Vass). Group ini secara rutin menyelenggarakan Kongres ilmiah setiap tahun dan memiliki jurnal “Journal of Critical Realism”.

Sekalipun masalah paradigma lebih penting bagi ilmu sosial daripada ilmu alam, namun para peneliti ilmu alam tetap perlu mengenal dan memahami paradigma ilmu. Pemahaman para peneliti ilmu alam terhadap paradigma ilmu alam akan membantunya untuk dapat melakukan penelitian dengan lebih baik. Sementara itu, pemahaman tentang paradigma ilmu sosial juga akan membantu para peneliti ilmu alam memahami bagaimana para peneliti sosial melakukan penelitian dengan benar. Hal ini penting mengingat bahwa di masa depan, penelitian interdisplin akan lebih banyak diperlukan, sehingga para peneliti ilmu alam pun akan dituntut untuk bekerjasama dengan peneliti ilmu sosial, dan karenanya perlu memahami paradigma ilmu sosial.

Modul PPJFP

Paradigma Penelitian Ilmu Sosial: Ontologi dan EpistemologiParadigma dapat didefinisikan sebagai sekumpulan keyakinan mendasar tentang sifat realitas objek penelitian, kaitan antar entitas serta bagaimana pengetahuan tentang realitas dapat diperoleh (Lincoln dan Guba, 2013). Sebuah paradigma mencakup asumsi dasar tentang tiga hal: ontologi, epistemologi dan metodologi.

Menurut Lincoln dan Guba (2013) setiap peneliti mengasumsikan posisi tertentu dalam menjawab empat jenis: pertanyaan ontologis, epistemologis, metodologis dan aksiologis. Lincoln dan Guba (2013) mendefinisikan keempat pertanyaan tersebut sebagai berikut:

1. Pertanyaan ontologis: “Apa yang dapat dikaji” (What is there that can be known). Atau dengan ungkapan lain “Apa sifat realitas yang dikaji” (What is the nature of reality). Blaikie (2007) menambahkan bahwa ontologi mencakup What is the nature of social reality? These assumptions are concerned with what exists, what it looks like, what units make it up, and how these units interact with each other. (2007, hal 3). Jadi, ontologi tidak hanya terbatas pada masalah apakah realitas ada di luar sana terpisah dari peneliti ataukah merupakan hasil konstruksi peneliti dan aktor sosial yang menjadi bagian dari objek penelitian. Ontologi juga mencakup substansi dan susunan serta relasi antar penyusun realita. Hal terakhir ini jarang sekali menjadi perhatian dalam pembahasan metodologi penelitian.

2. Pertanyaan epistemologis: “Apa sifat hubungan antara peneliti dengan objek penelitian?” (What is the nature of the relation between the knower and the knowable?) Lincoln dan Guba membatasi pengertian epistemologi hanya pada sifat hubungan antara peneliti dengan objek penelitian. Padahal secara umum, epistemologi adalah ilmu tentang cara mendapat pengetahuan tentang objek penelitian, lebih luas daripada hanya sifat hubungan antara peneliti dengan objek penelitian.

3. Pertanyaan metodologis: ”Bagaimana seorang peneliti dapat mem- peroleh pengetahuan tentang objek penelitian?” (How does one go about acquiring knowledge?). Pada titik ini, Lincoln dan Guba menekankan bahwa pilihan metodologis dibatasi oleh atau bergantung pada jawaban terhadap pertanyaan ontologis dan epistemologis (The an-swer one can give to this question is constrained by the answer previously given to the ontological question). Lincoln dan Guba tidak menyinggung relasi antara ontologi dan epistemologi. David Byrne (2011) menekan- kan bahwa ontologi membatasi atau menentukan pilihan epistemologi: Ontology comes first because the epistemological position, that is the approach to how the world may be known, depends on that fundamental understanding of what the world actually is. (hal 9)

4. Pertanyaan aksiologis: Dari sekian banyak pengetahuan yang tersedia tentang realita, mana yang paling bernilai, mana yang paling mengandung kebenaran, mana yang paling indah (beautiful), mana yang paling mungkin untuk meningkatkan kehidupan.

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |13

filosofi dan paradigma penelitian | 14

Demikianlah, menurut Lincoln dan Guba seorang peneliti akan selalu mengambil posisi tertentu dalam menjawab keempat pertanyaan tersebut di atas, baik secara ekplisit maupun implisit. Sebaiknya seorang peneliti perlu mengemukakannya secara eksplisit agar dapat dilihat konsistensi asumsi ontologis, epistemologis dan metodologis (Lawson, 2003, 2015). Guba dan Lincoln (dalam Dezim dan Lincoln, 1994:109) membagi 4 (empat) paradigma penelitian yaitu positivism, post-positivism, critical theory, dan constructivism sebagaimana pada Tabel 1.

Tabel 1. Pembagian paradigma penelitian

Johnson dan Duberley (2010) membuat pengelompokan beragam paradigma kedalam sebuah matriks yang didasarkan pada jenis ontologi dan epistemologi apakah objektif atau subjektif, yang kemudian menghasilkan empat sel kategori. Dalam Gambar 1, Johnson dan Duberley menempatkan beragam paradigma (tercetak dengan kotak) dalam sel-sel tertentu. Paradigma dalam sel no IV, yaitu ontologi subjektif dan epistemologi objektif, adalah paradigma yang tidak koheren dan karenanya tidak ada paradigma yang berada dalam sel IV. Jika semua paradigma yang terdapat dalam literatur diletakkan dalam tipologi Johnson dan Duberley, maka akan didapat posisi masing-masing paradigma seperti terlihat dalam Gambar 1 (paradigma yang tertulis tanpa kotak merupakan pendapat penulis).

Modul PPJFP

Gambar 1. Tipologi Beragam Paradigma

(dikonstruksikan berdasarkan Johnson dan Duberley, 2000)

Berdasarkan tipologi yang dibuat oleh Johnson dan Duberley, beragam paradigma dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar sesuai dengan letaknya dalam matriks: yaitu sel I, II dan III. Kesemua paradigma dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar: Positivisme, Konstruktivisme- interpretivisme dan Realisme Kritis. Berikut ini, ketiga paradigma tersebut akan diuraikan secara garis besar.

3.a. PositivismeSejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan alam (Fisika dan kimia) telah lebih dahulu berkembang sebelum ilmu pengetahuan sosial berkembang. Ilmu pengetahuan alam didasarkan pada paradigma positivisme yang meyakini bahwa realitas yang menjadi kajian ilmu sudah ada “di luar sana” terpisah dan tidak terkait dengan peneliti yang mengkajinya. Realitas ada dalam bentuknya tersendiri terlepas dari ada atau tidak adanya peneliti yang mengkaji. Dengan demikian, positivisme menganut paham realisme: realitas ada dan terpisah dari kita, peneliti yang mengkajinya. Positivisme juga meyakini objektivitas dari peneliti. Karena realitas terpisah dari peneliti dan tidak saling memengaruhi, maka peneliti dapat dipandang sebagai pengamat yang objektif, tidak memberikan pengaruh pada realitas, juga tidak membangun atau mengkonstruksi realitas. 

Positivisme meyakini adanya hukum alam yang bersifat umum dan berlaku di mana saja dalam keadaan apapun. Semua objek yang tercakup dalam hukum tersebut akan tunduk pada hukum tersebut. Karenanya, apabila kita tahu keadaan suatu objek pada waktu tertentu, kita akan mampu mempre-

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |15

filosofi dan paradigma penelitian | 16

diksi keadaan objek tersebut di masa mendatang. Hukum gravitasi misalnya. Hukum ini mampu memprediksi gerak suatu benda dengan berat tertentu asal diketahui posisi, arah dan kecepatan awal gerak benda tersebut.

Dalam hal kausalitas, Positivisme terutama dicirikan dengan keyakinan akan adanya hukum kausalitas Humean “Jika A maka B” yang mengatur perilaku benda. Demikian pula, para ilmuwan sosial yang berparadigma positivistik meyakini dan mencari hukum yang mengatur perilaku aktor sosial. Emile Durkheim meneliti fenomona bunuh diri dengan pendekatan positivistik. Demikian pula, Karl Marx meyakini adanya hukum sosial mengatur perilaku aktor sosial, dan karenanya sejarah diatur oleh hukum tersebut.

Pandangan positivisme terhadap hukum sebab akibat, atau kausalitas, merujuk pada kausalitas dalam hukum alam: Jika A maka B. Hubungan kausalitas seperti ini disebut “Covering Law” yang berlaku di mana saja dan kapan saja sepanjang terdapat kondisi yang disaratkan oleh hukum tersebut. Karena asumsi seperti ini, maka metode inferensi untuk mencapai kesimpulan dalam penelitian adalah metode deduktif. Metode ini dimulai dengan formulasi hubungan antar variabel menurut hukum yang akan dibuktikan kebenarannya. Dilanjutkan dengan operasionalisasi dari variabel-variabel tersebut menjadi indikator terukur (secara kuantitatif) yang dapat diobservasi melalui kajian empirik. Bukti empirik yang diperoleh dengan penelitian akan mengkonfirmasi atau menyanggah kebenaran hukum yang mengatur relasi antar variable. Penelitian pun diakhiri dengan kesimpulan apakah hubungan kausalitas antar variabel seperti yang dinyatakan dalam hukum terbukti atau tidak.

3.b. Konstruktivisme-interpretivismeDalam perkembangannya, para ilmuwan sosial mengkritisi pendekatan

positivistik dalam penelitian sosial. Objek penelitian ilmu sosial tidak sama dengan objek penelitian ilmu alam. Objek penelitian ilmu sosial adalah manusia yang dapat berpikir mengevaluasi keadaan dan memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan pilihan tindakan dari serangkaian pilihan yang terbentang di depannya. Oleh karena itu, perilaku manusia sangat sulit untuk diprediksi. 

Lebih jauh, para pengkritik positivisme meyakini bahwa realitas sosial dapat dipengaruhi oleh persepsi dan tindakan aktor sosial, termasuk peneliti sosial didalamnya. Karenanya, tidak ada realitas sosial yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh peneliti. Bahkan mereka meyakini bahwa realitas sosial merupakan konstruksi dari manusia, termasuk peneliti. Realitas tidak tunggal namun beragam, sebagaimana beragamnya pandangan manusia. Setiap kelompok manusia tertentu dapat mengkonstruksi realitas. Terhadap konstruksi realitas yang beragam ini tidak dapat dikatakan bahwa yang satu benar dan lainnya salah, tetapi semua konstruksi realitas tersebut adalah sah dan benar. Oleh karena itu, seringkali dikatakan bahwa mereka meyakini adanya multi realitas, atau bahkan anti realisme (Lopez dan Potter, 2001). Dapat dikatakan bahwa mereka menganut paham relativisme: realitas dapat sangat beragam dan tidak ada cara untuk mengatakan bahwa yang satu benar dan yang lainnya

Modul PPJFP

salah, atau yang satu lebih benar daripada yang lainnya. Dalam hal ini, aliran konstruktivisme yang kuat seperti postmodenirme tidak meyakini adanya ilmu pengetahuan sosial, karena semua pemahaman terhadap realitas bersifat relatif (Smith, 2010; Elder-vass, 2012;).

Dengan demikian, peneliti yang mengkaji masalah sosial tidak dapat dikatakan objektif mengkaji realitas, tetapi senantiasa subjektif dan memengaruhi realitas sosial. Pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian sosial juga hanya merupakan pengetahuan relatif yang tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar atau lebih benar daripada yang lainnya.

Jika metode yang banyak digunakan oleh positivisme adalah metode deduktif-kuantitatif, maka metode yang banyak digunakan oleh konstruktivisme adalah metode induktif-kualitatif. Dalam sejarah penelitian sosial, bahkan sampai hari ini, terjadi perdebatan antara positivisme dan konstruktivisme, atau perdebatan antara metode kuantitatif dan metode kualitatif. Atau bahkan jika dilihat dari ontologinya, perdebatan antara realisme dan anti realisme.

Dalam hal kausalitas, konstruktivisme memiliki kesamaan dengan positivisme. Sebagaimana positivisme, konstruktivisme memandang kausalitas sebagai hubungan konsekutif antara sebab dan akibat. Pandangan ini sama dengan pandangan kausalitas Humean yang dianut oleh positivisme (Kurki, 2008; Groff, 2013).

3.c. Realisme KritisMenyikapi perdebatan antara positivisme dan konstruktivisme, atau antara

realisme dan anti-realisme, beberapa peneliti mencari jalan tengah: realisme kritis. Secara singkat paradigma ini menggabungkan pemahaman critical naturalisme (naturalisme yang kritis) dengan transcendental realism (realisme transendental melampaui observasi pengalaman empirik). Secara bahasa kemudian digabungkan menjadi critical realism (Danermark et.al, 2002). 

Sejak awal tahun 80-an sampai dengan saat ini, di Eropa dan Skandinavia, paradigma realisme kritis telah mendapat banyak perhatian di berbagai bidang ilmu sosial: sosiologi (Archer, 1995; Elder-vaas, 2012), ekonomi (Lawson, 2003), geografi (Yeung, 1997) hubungan internasional (Joseph dan Wight, 2010), politik (Lewis, 2002), manajemen (Mingers, 2006; Fleetwood dan Ackroyd, 2004), kebijakan publik (Owens, 2011; Pawson, 2006). Di Amerika, jalan tengah antara positivisme dan konstruktivisme adalah pragmatisme. Namun terdapat pula beberapa ilmuwan sosial di Amerika yang mendorong paradigma realisme kritis seperti Little (2010), Smith (2010), Shaleh (2009) dan Gorski (2009).

Dalam banyak hal, pragmatisme dan realisme kritis memiliki banyak kesamaan. Pertama, keduanya merupakan jalan tengah dalam perdebatan positivisme vs konstruktivisme. Kedua, baik pragmatisme maupun realisme kritis menggunakan metodologi kuantitatif dan kualitatif (Mix-methods). Ketiga, keduanya berontologi realisme. Namun, berbeda dengan pragmatisme, realisme kritis memandang realitas sosial sebagai terstruktur dan bahwa realitas disebabkan oleh mekanisme sosial.

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |17

filosofi dan paradigma penelitian | 18

Pendiri utama dari paradigma realisme kritis adalah Roy Bhaskar (2008 [1978]). Dalam bukunya Realist Theory of Science (RTS), Bhaskar membahas perdebatan antara realisme dan anti-realisme. Untuk membahas perdebatan ini, Bhaskar memulai dengan pertanyaan: “Agar memungkinkan terdapatnya ilmu sosial sebagai sebuah ilmu, realitas sosial harus bersifat seperti apa?”. Dengan kata lain, Bhaskar memulai pembahasan tentang realisme dan anti- realisme dengan berangkat dari ontologi sosial, bukan dari epistemologi.

Menurut Bhaskar (2008), realitas sosial haruslah merupakan sesuatu yang terstruktur dan memiliki keteraturan perilaku. Jika tidak memiliki sifat keteraturan, maka tidak mungkin akan terdapat ilmu sosial. Keteraturan ini berasal dari keberadaan mekanisme yang menyebabkan lahirnya sebuah realitas sosial. Jadi, menurut pemahaman realisme kritis, di balik setiap realitas sosial terdapat struktur sosial dan mekanisme sosial yang mendukung struktur tersebut dan menyebabkan terwujudnya suatu realitas sosial.

Realitas atau dunia sosial terdiri dari objek atau entitas yang terstruktur dan bersifat instransitif. Terstruktur dalam pengertian bahwa realitas tidak dapat direduksi menjadi kejadian empirik yang dialami. Intransitif artinya bahwa realitas sosial eksis atau mewujud dan bertindak secara independen terbebas dari identifikasi atau pengetahuan tentang realitas tersebut. Jadi realitas bukan hanya terdiri dari keadaan dan pengalaman yang dialami, tapi juga mencakup struktur mendalam di balik pengalaman empirik, mekanisme, kecenderungan dan relasinya, yang meskipun tidak dapat dideteksi secara langsung namun ia betul-betul eksis dan menyebabkan terjadinya kejadian empirik yang kita alami dan amati. Tugas ilmu sosial adalah melakukan penelitian untuk menemukan struktur dan mekanisme sosial ini (Bhaskar, 2008).

Realisme kritis tidak memahami keteraturan sebagai sebuah hukum sosial yang berlaku ajeg kapan pun dan di manapun (Covering Law), tetapi keteraturan ini bersumber dari adanya mekanisme sosial. Hubungan sebab akibat tidak dalam bentuk “Jika A maka B”, karena keberadaan A belum tentu menyebabkan terjadinya B, jika tidak ada yang memicu terjadinya mekanisme yang menyebabkan B. Sebagai contoh, Keberadaan sebuah granat peledak tidak secara otomatis menyebabkan ledakan jika tidak ada mekanisme yang memicu pelatuk granat. Dikatakan bahwa sebuah granat memiliki potensi kekuatan untuk meledak, tetapi agar granat tersebut meledak diperlukan terjadinya sebuah mekanisme (Danermark et.al, 2002), dalam hal ini adalah mekanisme menarik pelatuk granat. Dengan demikian, hukum sosial tidak dapat dikatakan sebagai hukum seperti halnya hukum alam, hukum sosial hanya dapat dikatakan sebagai kecenderungan (tendencies) (Sayer, 2000).

Sebagaimana disebutkan, tugas ilmu sosial adalah mengkaji realitas sosial untuk menemukan mekanisme sosial dan struktur sosial yang melahirkan fenomena tersebut. Meskipun realisme kritis berlandaskan realisme sebagai mana positivisme, namun berbeda dengan positivisme yang menganut realisme naif, realisme yang dianut realisme kritis adalah realisme transendental yang meyakini bahwa realitas juga terdiri dari hal-hal yang tidak dapat diobservasi. Karenanya realisme kritis mengakui subjektivitas peneliti dalam memahami

Modul PPJFP

realitas. Dalam hal ini, realisme kritis sependapat dengan konstruktivisme bahwa pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan sang peneliti. Pengetahuan yang dihasilkan tidak bisa lepas dari subjektivitas peneliti. Namun demikian, realisme kritis tidak sependapat dengan relativisme kaum konstruktivis. Sekalipun pengetahuan yang dihasilkan bersifat subjektif, namun realisme kritis meyakini bahwa terdapat cara untuk menilai dan mengevaluasi kebenaran pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, berbeda dengan konstruktivisme yang mengakui judgemental relativity, realisme kritis meyakini judgmental rationality. Dengan cara pandang seperti ini, realisme kritis tidak terjebak pada relativitas ilmu.

Berkenaan dengan struktur realitas, realisme kritis meyakini bahwa realitas terstratifikasi menjadi 3 domain: empirik, faktual dan riil (Tabel 2; Sayer, 2000) sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel . Domain empirik adalah bagian dari realitas sosial yang kita alami secara empirik. Domain faktual adalah bagian dari realitas baik yang kita alami maupun yang tidak kita alami. Sementara domain real adalah bagian dari realitas di mana terletak struktur dan mekanisme yang menghasilkan realitas pada domain faktual dan empirik.

Tabel 2. Tiga Domain Realitas dalam Realisme Kritis

Positivisme Konstruktivisme Realisme kritis

Empirik √ √ √

Faktual √

Riil √

Positivisme dan konstruktivisme, menurut realisme kritis, menyatukan domain empirik dengan domain faktual dan real. Sebuah penyatuan yang disebut penyatuan ontologis (ontological conflation), dan karenanya positivisme disebut melakukan kekeliruan epistemologis (epistemic fallacy). Kekeliruan epistemologis yang dimaksud adalah menyatukan domain yang berbeda (empirik dan real) dalam satu domain: Positivisme mencari penjelasan realitas domain empirik pada domain empirik juga, padahal penjelasannya ada pada domain real.

Keyakinan ontologis akan adanya domain real diluar domain empirik, menyebabkan realisme kritis menempuh metode abduktif dan retroduktif yang berbeda dengan deduktif maupun induktif. Menurut realisme kritis, metode deduktif dan induktif sama-sama hanya berkenaan dengan domain empirik, padahal penyebab fenomena sosial ada pada domain real.

Dengan metode abduktif dan retroduktif, pengamatan empirik harus dilanjutkan dengan proses abstraksi untuk memformulasikan struktur dan mekanisme dalam domain real yang sekiranya patut dipahami sebagai penyebab fenomena empirik yang teramati. Proses abstraksi ini harus selalu dipandu oleh teori yang telah ada dalam disiplin ilmu yang berkenaan dengan fenomena yang sedang diamati. Oleh karena itu, paradigma realisme kritis mengkritik secara mendasar penelitian yang ateoretik seperti yang sering dilakukan oleh peneliti yang menggunakan pendekatan Grounded Theoy (Darnermark, 2002).

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |19

filosofi dan paradigma penelitian | 20

Ketika seorang peneliti realisme kritis telah mengkonstruksikan (melalui conjecture) struktur dan mekanisme yang melahirkan fenomena empirik, timbul pertanyaan: atas dasar apa dia meyakini bahwa fenomena empirik yang dia amati betul-betul disebabkan oleh struktur dan mekanisme yang tiada lain merupakan hasil proses abstraksi? Menjawab pertanyaan ini, paradigma realisme kritis berpegang pada pemahaman pragmatisme yang menyatakan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan terutama diukur dengan kemampuannya menjelaskan fenomena dan bahwa penjelasan itu bersifat sementara yang perlu terus menerus disempurnakan; ilmu pengetahuan bersifat kumulatif. Oleh karena hal ini, paradigma realisme kritis juga disebut realisme kritis pragmatis (Johnson dan Duberley, 2000).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa realisme kritis merupakan sintesis baru yang utuh dari positivisme (empirisisme) dan konstruktivisme (relativisme/postmodernisme). Realisme kritis setuju dengan positivisme dalam hal realisme ontologis (bahwa realita ada di luar sana) tapi tidak setuju dalam hal realisme epistemologis (bahwa hanya ada satu cara untuk memper-oleh pengetahuan). Realisme kritis setuju dengan konstruktivisme dalam hal relativisme epistemologis, tapi tidak setuju dalam hal relativisme ontologis (multi realitas). Sintesis ini dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.

Gambar 2. Realisme Kritis: Sintesis dari Positivisme dan Konstruktivisme

Sumber: Johnson dan Duberley, 2000

Pada titik ini perlu dikemukakan bahwa karena realisme kritis mengakui bahwa realitas sosial bersifat concept-dependent, maka realisme kritis dapat sejalan dengan konstruktivisme yang tidak ekstrim. Dalam salah satu artikel di Journal of Critical Realism, Elder-vass menyimpulkan: ”The central argument ... is that realism and social constructionism are entirely compatible, and indeed mutually supportive if understood properly” (hal 80). Hal senada juga telah disimpulkan oleh Peters et.al (2013), Gorski (2013) Al-Amoudi dan Wilmott (2011). Namun perlu ditekankan bahwa kesamaan realisme kritis dengan konstruktivisme berakhir ketika realisme kritis meyakini bahwa dunia sosial tidak hanya terdiri dari diskursus sebagaimana diyakini oleh konstruktivisme, tetapi juga terdiri

Modul PPJFP

dari struktur non-diskursif yang memengaruhi secara langsung pengalaman dan pemahaman tentang realitas.

Dengan semua pemahaman seperti diuraikan di atas, realisme kritis sampai pada tiga prinsip utama yang juga sering disebut the holly trinity of critical realism: (1) ontologi yang objektif (objective ontology) yaitu bersifat realisme mengakui adanya realitas di luar sana untuk dikaji yang tidak bergan-tung pada pengetahuan kita; (2) epistemologi yang relatif (relative espistemol-ogy) karena pengetahuan kita tentang realitas tersebut dimediasi oleh latar belakang pengetahuan, kognitif dan pengalaman kita dan dapat keliru; dan (3) rasionalitas untuk menilai (judgemental rationality) dari beberapa pengetahuan tentang realitas yang berbeda-beda, mana pengetahuan yang paling tepat merepresentasikan realitas, karena pada dasarnya realitas adalah tunggal ada apa adanya, sekalipun pengetahuan yang dianggap paling tepat masih bisa salah dan dikoreksi di kemudian hari. Jadi realisme kritis sangat tidak setuju dengan paham relativisme dalam postrukturalisme dan posmodernisme.

3.d. Realisme Kritis Sebagai Penengah Perdebatan ParadigmatikRoy Bhaskar (2013) berargumen bahwa realisme kritis dapat berfungsi sebagai paradigma yang dapat ’merangkul’ paradigma lainnya.

Moreover, a case can be made for critical realism as an explicit ex ante meta-theory when, as in the contemporary social sciences, the researcher is faced with a choice of competing metatheories. Finally, there is what I have called ‘the critical realist embrace’. On this, critical realism welcomes researchers from other traditions. They will find that critical realism allows them to develop their insights and intuitions in an enhanced way and that they are welcome in the fold provided only that they drop their exclusivity and, with it, their methodological prohibitions on what may be necessary to carry through or complement their focus, or for the investigation of other (and possibly connected) objects of inquiry.(hal 20, cetak tebal dari penulis)Bhaskar menegaskan bahwa realisme kritis dapat menjadi ex ante metathe-

ory (paradigma) bagi para peneliti sosial ketika dihadapkan kepada keragaman paradigma yang saling berkompetisi. Dengan landasan paradigma realisme kritis seorang peneliti dapat memahami paradigma-paradigma lainnya, men-gambil sebagian elemen ’yang correct’ dari paradigma-paradigma tersebut dan mensintesisnya menjadi sebuah paradigma baru yang utuh, yaitu realisme kritis. Bhaskar juga berpendapat bahwa dengan dasar realisme kritis, para peneliti berparadigma lain dapat mengembangkan intuisi dan pandangan mer-eka dengan lebih baik, dengan syarat bersedia meninggalkan eksklusivitasnya. Bhaskar menegaskan bahwa yang dapat terjadi adalah realisme kritis tanpa emprisisme dan tanpa konstruksionisme. Tetapi tidak akan pernah ada em-pirisisme tanpa realisme kritis atau konstruksionisme tanpa realisme kritis. Hal ini karena elemen-elemen dari realisme kritis telah banyak dipraktikkan oleh para peneliti yang berparadigma lain. Bhaskar menyatakan: ”... it can be shown that, in practice, other metatheories will of necessity employ elements of critical re-alism in so far as they are to be axiologically viable..”. Dengan demikian, berbagai

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |21

filosofi dan paradigma penelitian | 22

elemen dari berbagai paradigma dapat disintesiskan oleh realisme kritis dan memungkinkan menyatukannya dalam sebuah proyek penelitian.

Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas Tabel 3 memperlihatkan perbandingan realisme kritis dengan positivisme dan konstruktivisme dalam hal ontologi, epistemologi, axiologi, sifat kausalitas dan generalisasi serta metode inferensi.

Tabel 3. Perbandingan Realisme Kritis dengan Positivisme dan KonstruktivismePositivisme Realisme Kritis Konstruktivisme

Ontologi Realitas yang obyektif tunggal

Realitas obyektif terdiri dari 3 domain: real, aktual dan empirik

Realitas Majemuk dan merupakan hasil konstruksi sosial

Epistemologi Peneliti dan peng-etahuan tidak sa-ling berpengaruh, dua hal yang terpisah

Peneliti tidak terpisahkan dari dimensi transitif dari pengetahuan, tetapi terpisah dari dimensi intransitive dari pengetahuan

Peneliti dan penge-tahuan adalah tidak terpisahkan

Axiologi Penelitian adalah bebas nilai

Penelitian tidak bisa bebas nilai (value-laden), tetapi tidak ditentukan oleh nilai (tidak value-bound).

Penelitian adalah value-bound

Kausalitas Dapat dideteksi melalui observasi regularitas kejad-ian

Kausalitas tidak terkait dengan regularitas kejadian, tetapi dijelaskan dengan mekanisme sebab-akibat yang menyebab-kan kejadian realitas

Tidak mungkin untuk membedakan sebab dan akibat

Generalisasi Generalisasi dari observasi kejadi-an berlaku kapan saja (time-free) dan di mana saja (context –free)

Generalisasi dari mekanisme kausalitas (pada domain real) adalah lebih reliable daripada generalisasi dari observasi ke-jadian (pada domain empirik).

Generalisasi yang bebas waktu dan tempat adalah tidak mungkin.

M e t o d e Inferensi

Deduksi Abduksi, Retroduksi Induksi

Sumber: Diadopsi dari Courvisanos, J dan Mackenzie, S (2011)

Modul PPJFP

RANGKUMANProses penelitian terdiri dari rangkaian aktivitas: observasi, membangun teori, merancang pengujian teori dan konfirmasi/diskonfirmasi teori. Sekilas, proses ini terlihat simpel dan mekanistis, terkesan dapat dilakukan dengan cara prosedural dan tidak menimbulkan banyak kontroversi. Sehingga seolah-olah penelitian dapat dilakukan dengan mengikuti resep tertentu. Namun, jika kita menelaah lebih dalam masing-masing aktivitas penelitian, segera akan mengemuka isu-isu filosofis.

Cara berargumentasi bahwa suatu teori benar berdasarkan fakta bahwa teori bisa membuat prediksi akurat adalah salah satu bentuk dari cara berpikir induksi. Sifat induksi ini memiliki implikasi penting terhadap cara konfirmasi teori. Secara umum, sifat cara berpikir induktif adalah sekuat apapun premis yang terkandung dalam induksi, masih terdapat kemungkinan bahwa teori keliru. Paling jauh, cara berpikir induktif hanya menyediakan bukti mendukung teori, tapi tidak akan pernah dapat menunjukkan bahwa teori tersebut benar. Dalam filsafat, kelemahan induksi dikenal dengan istilah “Hume’s problem of induction”

Hume mengatakan bahwa jika kita ingin meyakini kebenaran prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa depan, kita harus mengasumsikan bahwa apa yang akan terjadi di masa depan akan sama dengan apa yang terjadi di masa lalu. Di sini terlihat bahwa Hume hanya berpikir pada tataran epistemologis (bagaimana cara memperoleh pengetahuan) tapi tidak pada tataran ontologis (sifat obyek penelitian, termasuk kausalitas) .

Menurut Bentz dan Shapiro (1998), untuk melakukan penelitian dengan tepat peneliti perlu menjawab serangkain pertanyaan: Apakah ilmu pengetahuan? Apakah realitas itu? Apakah pengetahuan harus merupakan sesuatu yang dapat diprediksi? Apakah pengetahuan intuitif termasuk pengetahuan yang valid? Apakah pengetahuan harus dapat digeneralisasi? Semua ini hanya dapat dijawab dengan pemikiran filosofis. Sehingga ketika seorang peneliti melakukan penelitian, sadar atau tidak ia akan berpegang pada asumsi tertentu tentang isu-isu filosofis tersebut. Akan lebih baik, jika seorang peneliti secara eksplisit menyadari asumsi-asumsi filosofis tersebut.

Dalam perkembangannya memisahkan diri dari ilmu filsafat, ilmu pengetahuan alam dan sosial memandang filsafat sebagai ilmu yang terlalu spekulatif tidak bersentuhan langsung dengan dunia empirik yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan. Para ilmuwan matematika misalnya, mereka tidak mempertanyakan apa yang dimaksud dengan bilangan? Mereka menyer-ahkan masalah ini pada filsafat matematika. Demikian pula, para ilmuwan fisika tidak terlalu mempertanyakan apa hakekat energi, waktu dan ruang? Mereka langsung mengkaji masalah-masalah empirik. Dapat dikatakan bahwa awal mula pemisahan ilmu pengetahuan alam dari filsafat alam diawali dengan paham empirisisme yang dipelopori oleh Francis Bacon di Inggris. Berbeda dengan paham rasionalisme idealisme yang meyakini bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan olah gagasan secara rasional dalam pikiran manusia, menurut paham empirisisme, pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |23

filosofi dan paradigma penelitian | 24

dengan indra persepsi yang menyerap dan memperspesikan dunia empirik. Oleh karena itu, setiap pengetahuan harus selalu diuji secara empirik.

Modul PPJFP

LATIHAN

PENUGASAN I

Jawablah Pertanyaan dibawah ini dengan benar!1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pertanyaan ontologi, epistemologi dan

aksiologi dalam filsafat ilmu!2. Dari perspektif ilmu sosial, ada berapa paradigma penelitian3. Apa yang dimaksud dengan positivisme

PENUGASAN II

Diskusikan dengan kelompoknya dan ambil salah satu topik berikut ini kemudian presentasikan kepada teman yang lainnya!

“Bagaimana peranan kegiatan penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pencarian kebenaran berdasarkan persfektif filsafat ilmu dan paradigma penelitian serta hubungannya dalam mencari kebenaran ilmiah!”

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |25

filosofi dan paradigma penelitian | 26

KUNCI JAWABAN

-

Modul PPJFP

PENDEKATAN PENELITIAN

Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti materi ini peserta mampu membedakan pendekatan penelitian dengan tepat

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |27

filosofi dan paradigma penelitian | 28

PENDAHULUANProses pencarian kebenaran dan pembuktian atas hasrat keingintahuan manusia dapat dilakukan melalui pendekatan ilmiah dan pendekatan non- ilmiah. Pendekatan ilmiah dapat dilakukan melalui berpikir ilmiah yang meliputi tapahan pertama yaitu skeptik merupakan upaya menanyakan bukti-bukti atau fakta-fakta terhadap setiap pernyataan, tahap kedua yaitu kegiatan analitik menganalisa setiap permasalahan serta menentukan permasalahan utamanya, dan tahap ketiga yaitu kritik merupakan pengembangan analisa yang objektif secara logis. Sedangkan pendekatan non ilmiah dapat dilakukan dengan akal sehat (common sense), Prasangka, kewibawaan, kebetulan dan coba-coba serta intuisi.

Dalam suatu kegiatan penelitian sebagai proses pencarian kebenaran ter-dapat dua pendekatan utama yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan asumsi dan pemahaman masing-masing. Dalam perkembangan selanjutnya dikenal gabungan keduanya dengan berbagai persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi yaitu mix method sebagai alternatif.

Hal yang perlu diluruskan terkait dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif adalah penggunaan istilah kuantitatif dan kualitatif bagi paradigma, sehingga kita sering mendengar ungkapan “paradigma kualitatif” dan “paradigma kuantitatif”. Penggunaan kedua istilah ini adalah sebuah kekeliruan. Kualitatif dan kuantitatif adalah nama jenis bagi metode atau pendekatan. Maka kita kenal metode kuantitatif seperti survei dan metode kualitatif seperti wawancara. Paling jauh istilah “kualitatif” dan “kuantitatif” dapat digunakan untuk pendekatan atau metodologi, bukan paradigma (Blaikie, 2010). Tidak ada yang disebut paradigma kualitatif maupun paradigma kuantitatif. Yang tepat adalah bahwa pendekatan kualitatif didasarkan pada paradigma konstruk- tivisme dan pendekatan kuantitatif memiliki landasan paradigma positivisme.

Mengutip tulisan Guba dan Lincoln (1998), Firestone (1987) dan Mc Craken (1988), perbedaan asumsi pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat dilihat dari perbedaan pandangan mengenai relitas, hubungan antara peneliti dan yang diteliti, peran nilai, dan retorika, serta metode penelitian yang berbeda pula. Untuk lebih jelasnya pokok pokok perbedaan serta asumsi antara penelitian kuantitatif dan kualitatif ada baiknya dilihat dalam Tabel 4 & 5:

Modul PPJFP

Tabel 4. Pokok-pokok perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif

Kuantitatif Kualitatif

• Tujuan utama dalam penelitian survei adalah menjelaskan gejala sosial, men-guji teori, membentuk fakta dan menun-jukkan hubungan antar variable.

• Proses yang digunakan bersifat deduk-si, yaitu memverifikasi teori dengan mengembangkan hipotesa.

• Dalam proses deduksi merupakan pros-es a priori tanpa empiri

• Fungsi teori dalam penelitian survei ada prinsip keterwakilan (representative-ness) atau probabilitas dalam gener-alisasi hasil temuan, karena itu sampel sangat penting

• Dalam penelitian survei yang menjadi instrumen utama adalah kuisioner

• Teknik/metode yang digunakan bi-asanya eksperimen, survei, wawancara berstruktur dan pengamatan berstruk-tur

• Tujuan utama dalam penelitian kualitatif adalah memahami (verstehen) terhadap fenomena sosial, mengembangkan kon-sep dengan grounded

• Proses yang digunakan bersifat induksi sehingga tidak ada teori yang dibuktikan atau tidak menguji hipotesa.

• Proses induksi merupakan hipotesa proses a posteriori dan empiri.

• Fungsi teori dalam penelitian kualitatif untuk memahami dan menafsirkan fenomena sosial.

• Dalam penelitian kualitatif tidak ada prinsip keterwakilan atau probilitas, sehingga masalah jumlah sampel tidak dipersoalkan.

• Teknik/metode yang digunakan: pen-gamatan terlibat, wawancara tak ber-struktur (terbuka dan mendalam), life history, dokumen dan sebagainya.

Sumber: Saidi, Anas, 2012.

Tabel 5. Asumsi-asumsi dari penelitian kuantitatif dan kualitatif

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |29

filosofi dan paradigma penelitian | 30

Perkembangan dunia ilmu pengetahuan awalnya sangat tajam membeda-kan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, namun perkembangan paling akhir justru melihat kebutuhan untuk menjawab permasalahan sosial yang semakin kompleks dengan menggabungkan kedua metode tersebut, yang disebut sebagai mixed method. Modul ini akan menjelaskan mengenai kedua metode tersebut, dan pembahasan mengenai metode yang menggabungkan keduanya.

Penelitian KuantitatifSetiap pendekatan penelitian memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar pendekatan kuantitatif bertolak belakang dengan asumsi dasar yang dikembangkan oleh pendekatan kualitatif, sehingga mempengaruhi cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan proses penelitian secara keseluruhan. Pendekatan kuantitatif menekankan pada metode pengukuran, penggunaan pertanyaan terstruktur, pembuatan alat ukur dan skala yang dapat dianalisa dengan statistik, pendekatan analitik dengan aturan baku dan teratur, instrumen penelitian dapat diulang, penjelasan strukturalis dan meng-hindari penjelasan interpretatif, kebenaran adalah ciri pasti dan tidak beragam, interpretasi adalah hal yang tidak pasti, beragam, tergantung dari pengamat. Penelitian  kuantitatif   merupakan salah satu jenis penelitian yang bersifat sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembua-tan desain penelitiannya atau penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. sehingga penelitian kuantitatif akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya.

Menurut Sugiyono (2012: 7) penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang berlandaskan pada paradigma positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umum-nya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Gambar 3). Sedangkan Kasiram (2008:149) menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif merupakan suatu proses menemukan pengetahuan dengan menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui. Penelitian kuantitatif didasarkan pada asumsi bahwa realitas yang menjadi sasaran penelitian berdimensi tunggal, fragmental, dan cenderung bersifat tetap sehingga dapat diprediksi kemudian variable penelitiannya dapat diidentifikasi dan diukur dengan alat –alat yang objektif dan baku (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001).

Masalah penelitian yang menjadi fokus dari penelitian kuantitatif menekan- kan pada pertanyaan “what, do, is, are”, masalah yang diteliti sudah jelas dan tidak memerlukan jawaban yang kompleks dari responden. Pengetahuan yang didapatkan bersifat terukur, kuantitatif, akurat, objektif karena data di-kumpulkan melalui metode dan instrumen yang sudah valid dan reliable serta pengetahuan yang didapatkan tidak mampu menjelaskan dengan baik

Modul PPJFP

situasi atau masalah yang kompleks karena bersifat genaral. Tujuan penelitian kuantitatif yaitu mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis yang dikaitkan dengan  fenomena alam. Penelitian kuantitatif banyak digunakan untuk menguji suatu teori, untuk menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan statistik, untuk menunjukkan hubungan antarvariabel, dan ada pula yang bersifat mengembangkan konsep, mengem-bangkan pemahaman atau mendeskripsikan banyak hal, baik itu dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Penelitian kuantitatif juga dimaksudkan untuk menjawab masalah penelitian dengan menggunakan teori – teori yang berlaku, tujuan penelitian kuantitatif yaitu menguji teori, teori digunakan untuk menentukan variable dan variabel merupakan sarana untuk analisis dan pengujian hipotesis. Alur roses penelitian kuantitatif terlihat dalam Gambar 3 .

Gambar 3. Sketsa Proses penelitian

Karakteristik penelitian kuantitatif meliputi:a. Deduktif (rasional-empiris atau top-down) yaitu pola untuk memahami suatu fenomena dengan cara menggunakan konsep – konsep yang umum untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang bersifat khusus, b. Logika positivistik dan objektif (menghindari subjektifitas),c. proses penelitian mengikuti prosedur yang telah direncanakan, d. tujuan penelitiannya untuk menyusun ilmu nomotetik dan membuat generali- sasi, e. subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang dibutuh-kan, serta alat pengumpul data yang dipakai sesuai dengan yang telah diren-canakan, f. pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan alat yang objektif dan baku, g. peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan objek penelitian atau tidak terlibat secara emosional,

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |31

filosofi dan paradigma penelitian | 32

h. analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul, dan i. hasil penelitian berupa generalisasi dan prediksi, lepas dari konteks waktu dan situasi.

Sedangkan aspek karakteristik metodologi penelitian kuantitatif juga dapat dijelaskan sebagaimana terlihat dalam Table 6.

Tabel 6. Karakteristik Metodologi Kuantitatif

Penelitian kuantitatif dalam pelaksanaannya berdasarkan prosedur yang telah direncanakan sebelumnya. Prosedur tersebut meliputi tahapan

a. identifikasi masalah,b. studi literatur,c. pengembangan kerangka konsep,d. identifikasi dan definisi variable, e. pengembangan desain penelitian, f. teknik sampling, g. pengumpulan dan kuantifikasi data,h. analisis data dan i. interpretasi dan komunikasi hasil penelitian.

Pengumpulan data penelitian kualitatif meliputi pengumpulan data dari sejumlah sampel, lalu menggunakan temuan dalam sampel tersebut untuk menyimpulkan tentang populasi serta metode pengumpulan data melalui kuesioner dan pengukuran. Sedangkan analisis data penelitian kuantitatif meliputi pengujian hipotesis dengan menggunakan teknik statistik yang kom-pleks, distribusi karakteristik responden disajikan dalam analisis univariat (nilai tendensi pusat), dan pengujian hubungan antara responden dengan meng- gunakan analisis bivariat, multivariat, dll.

Modul PPJFP

Metode penelitian kuantititatif dapat dibagi kedalam dua bagian besar yaitu pertama penelitian kuantitatif eksperimental yang meliputi penelitian ekperi-mental murni, eksperimental kuasi dan eksperimantal lemah, Kedua penelitian kuantitatif non eksperimental yang meliputi penelitian deskriptif, penelitian korelational, penelitian kausal komparatif, penelitian tindakan, penelitian survey. Penelitian kuantitatif memiliki kelebihan dan kekurangan sebagaimana terlihat dalam Tabel 7

Tabel 7. Perbandingan kelebihan & kekurangan dari Penelitian kuantitatifPenelitian Kuantitatif

Kelebihan Kekurangan

1. dapat digunakan untuk menduga atau meramal,

2. hasil analisis dapat diperoleh dengan akurat bila digunakan sesuai aturan,

3. dapat digunakan untuk mengukur interaksi hubungan antara dua atau lebil variable,

4. dapat menyederhanakan realitas per-masalahan yang kompleks dan rumit dalam sebuah model

1. berdasarkan pada anggapan-angga-pan (asumsi),

2. asumsi tidak sesuai dengan realitas yang terjadi atau menyimpang jauh maka kemampuannya tidak dapat dijamin bahkan menyesatkan,

3. data  harus berdistribusi normal dan hanya dapat digunakan untuk menganalisis data yang populasi atau sampelnya sama,

4. tidak dapat dipergunakan untuk men-ganalisis dengan cuplikan (sampel) yang jumlahnya sedikit.

Penelitian KualitatifPenelitian kualitatif merupakan salah satu bentuk penelitian dalam ilmu penge-tahuan sosial yang mendeskripsikan dan menganalisis realitas sosial manusia. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian yang melibatkan manusia sebagai objek penelitian. Pendekatan kualitatif berbeda dari pendekatan kuantitatif yang mendasarkan pada realitas fakta-fakta yang dapat diukur melalui penghitungan tertentu karena pelibatan manusia sebagai objek pene-litian seringkali melibatkan hal-hal yang tidak dapat dikuantifikasi, misalnya: emosi, pandangan hidup, manusia dapat berpura-pura (jawaban hasil survey misalnya, dapat berbeda dengan hasil observasi langsung peneliti). Jadi pene-litian kualitatif tidak hanya melibatkan apa yang disebut sebagai emik sebagai proses analisis untuk mendeskripsikan realitas sosial yang diteliti; namun juga mencakup etik merupakan proses analisis untuk menafsirkan realitas sosial yang diteliti.

Data yang dicari dalam penelitian kualitatif maupun kuantitatif adalah realitas sosial di dalam masyarakat. Namun sifat data yang dicari dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif yang membuat jenis penelitian ini tidak dapat dilakukan melalui prosedur yang bersifat generalisasi melalui proses pengukuran atau statistik. Realitas sosial tidak dapat digeneral-isasi, atau diukur atau dikuantifikasi, karena sifatnya subyektif. Dalam penelitian kuantitatif, ada realitas sosial yang dapat diukur dan dikuantifikasi, dan dijui secara empiris karena memiliki kesamaan dengan realitas alam dan memiliki “keajegan” tertentu (Saidi, 2012). Sementara dalam penelitian kualitatif, sifat

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |33

filosofi dan paradigma penelitian | 34

realitas sosial yang sama dilihat secara berbeda karena ada unsur “manusia” yang sifatnya subyektif, unsur manusia inilah yang mempengruhi realitas sosial tersebut, karena realitas sosial dibentuk dan dibangun oleh manusia-manusia di dalam masyarakat, manusia mana memiliki kepentingan subyektif, bisa berlaku berpura-pura, tidak selalu berulang dengan pola yang sama, dan tidak selalu sama antara manusia yang satu dengan yang lain, sehingga seringkali tidak dapat diramalkan sulit diukur secara kuantifikasi.

Ada setidaknya dua cara untuk memotret realitas yaitu menggambarkan- nya sebagaimana adanya (to describe and to explain - positivism) dan menafsir-kan realitas tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam dari sekedar fakta-fakta realitas tersebut (to understand – interpretivism; Tabel 8).

Tabel 8. Positivisme dan Interpretivisme: Menjelaskan dan Memahami

PositivisM e n j e l a s k a n (explaining atau

erklaren)Interpretatif Memahami (under-

standing atau verstehen)Ilmu alam Ilmu sosial

Obyektif Fakta-fakta yang dapat diamati

Subyektif Pemahaman dan aksi individual

Realisme Fakta adalah fakta – kebenaran dapat ditemukan dengan m e n g g u n a k a n metode yang benar

Subyektivisme Manusia adalah manusia – kebenaran ada di luar sana, tapi itu sungguh rumit dan tidak mudah dijelaskan berdasarkan fakta-fakta yag terlihat saja

Bebas nilai Prinsip universal dan fakta

Penafsiran atas real-itas yang didasarkan pada pemahaman yang dibentuk secara sosial budaya dan dibangun dari waktu ke waktu

Penafsiran, pengertian, motivasi, nilai, norma, struktur sosial, pola sosial

Sumber: Raddon, Arwen, 2014.

Melihat pada perbedaan yang telah disebutkan di atas, terdapat lima tujuan utama dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu:

a. To ExplorePenelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali sebuah realitas baru yang terjadi dan belum pernah ada sebelumnya. Hal ini dikarenakan realitas sosial yang menjadi obyek penelitian kualitatif seringkali berubah sesuai perkem-bangan jaman; dan kebutuhan untuk menggali realitas yang baru akan terus muncul. Contoh paling baik adalah penelitian tentang ruang bawah tanah, di-mana di masa lalu, penelitian tentang ruang bawah tanah belum menjadi obyek penelitian, namun konsep kepemilikan hak atas tanah saat ini dihadapkan pada persoalan bagaimana memanfaatkan ruang bawah tanah, misalnya dalam pembangunan kereta bawah tanah.

Modul PPJFP

b. To DescribeDi saat sebuah realitas sosial sudah muncul dan dapat diamati perkem- bangannya, bentuk penelitian kualitatif yang paling tepat untuk sekedar meng-gambarkan realitas sosial tersebut adalah yang bertujuan to describe. Penelitian yang sifatnya deskriptif ini akan memotret realitas sosial sebagaimana adanya realitas tersebut dipandang oleh para peneliti, sesuai dengan metodologi yang digunakannya.

c. To ExplainPenelitian kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan (to explain) biasanya digunakan untuk mencari penjelasan atas keterkaitan suatu realitas sosial ter-tentu yang didalamnya terdapat beberapa fakta sosial yang saling berhubun-gan. Misalnya untuk menjelaskan keterkaitan antara kemiskinan dengan ting-kat pendidikan. Keduanya merupakan fakta sosial, namun apakah kemudian keduanya memiliki keterhubungan, itu dapat dijelaskan dengan penelitian yang sifatnya eksplanatif.

d, To UnderstandPenelitian yang bertujuan untuk secara lebih dalam memahami suatu realitas sosial tertentu adalah penelitian yang bertujuan to understand. Penelitian yang bertujuan untuk memahami realitas tertentu ini dilakukan untuk tidak hanya menggambarkan realitas sosial yang diteliti, namun untuk menjelaskan realitas tersebut dengan realitas lainnya, dan sehingga dapat dipahami mengapa reali-tas itu terjadi, bagaimana itu terjadi, dan bagaimana realitas itu bekerja dalam keterhubungannya dengan realitas sosial yang lainnya.

e. To PredictSalah satu penelitian kualitaif yang lain adalah penelitian yang bertujuan untuk memprediksi terjadinya realitas sosial dengan berdasarkan pada gejala-gejala sosial yang dapat digambarkan dari realitas sosial yang muncul saat ini. Salah satu contoh penelitian kualitatif yang memprediksi kejadian yang akan datang, misalnya penelitian tentang bagaimana ketimpangan ekonomi dan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat menyebabkan terjadinya revolusi sosial. Beberapa penjabaran dari tiga tujuan penelitian terlihat dalam Tabel 9.

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |35

filosofi dan paradigma penelitian | 36

Tabel 9. Tujuan Penelitian menurut masing masing kelompokEksploratif Deskriptif Eksplanatif

Medekati fakta-fakta uta-ma, setting dan perhatian

Membangun gambaran yang detil dan akurat

Mengetes teori, atau pre-diksi yang diberikan oleh teori atau prinsip tertentu

Membuat gambaran atau kondisi yang umum

Mengenali data-data baru yang bertentangan dengan data lama

Mengelaborasi dan mem-perkaya penjelasan teori tertentu

Memformulasikan dan memfokuskan pertanyaan untuk penelitian lanjutan

Menciptakan serangkaian kategori atau mengklasifi-kasikan tipe tertentu

Mengembangkan teori pada isu atau topik baru

Menghadirkan ide, atau hipotesis baru

Menjelaskan serangkaian langkah atau tahapan

Mendukung atau menolak sebuah penjelasan atau prediksi dari teori atau prinsip tertentu

Menentukan kemungk-inan dalam melakukan penelitian

Mendokumentasikan pros-es atau hubungan timbal balik

Menghubungkan isu atau topik tertentu dengan prinsip-prinsip yang sifat-nya umum

Mengembangkan teknik untuk mengukur dan mencari data di dalam penelitian selanjutnya

Memberikan gambaran tentang latar belakang atau konteks dari sesuatu atau situasi tertentu

Menentukan ekplanasi mana yang paling baik dari eksplanasi lainnya yang ada

Sumber: Saidi, 2012.

Jenis-jenis penelitian kualitatif meliputi:

a.FenomenologiFenomenologi dapat dibedakan menjadi cabang disiplin ilmu filsafat, maupun sebuah bentuk gerakan historis dalam filsafat ilmu. Fenomenologi dalam pe-nelitian kualitatif dilakukan untuk menggambarkan dan mengidentifikasikan fenomena sosial melalui cara bagaimana fenomena itu digambarkan oleh peneliti atau aktor lainnya dalam situasi tertentu. Dalam kenyataan, hal ini biasanya diterjemahkan dalam proses mengumpulkan informasi dan persepsi individu secara mendalam melalui proses induktif, dan teknik pengumpulan data kualitatif seperti wawancara mendalam, diskusi, dan observasi, dan meng-gambarkannya melalui kacamata si subyek penelitian. Fenomenologi adalah studi tentang pengalaman individual, mengelompokkan asumsi dan cara pandang seseorang secara apa adanya.

b. EtnografiEtnografi secara harfiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku-bangsa, yang ditulis seorang peneliti atas hasil peneltian lapangan (field research) dalam jangka waktu tertentu (Spradley, 1997). Penelitian etnografi menggambarkan realitas sosial secara mendalam dan komprehensif, detail dan lengkap. Tehnik

Modul PPJFP

pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka dan mendalam, yang dilakukan berulang dan dalam waktu yang relatif lama, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan terstruktur seperti survei. Teknik etnografi utama adalah wawancara mendalam, berkali-kali dengan beberapa informan kunci. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian etnografi harus cukup lama karena pada akhirnya penelitian etnografi bertujuan untuk mendiskripsikan dan membangun struktur social dan budaya suatu masyarakat.

Dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat dibangun dan didiskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti. Struktur sosial dan budaya masyarakat tersebut menurut interpretasi sang peneliti. Sedangkan menurut Spradley etnografi merupakan pekerjaan mendiskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini untuk memahami suatu pandangan hidup dari pandangan penduduk asli. Bahkan tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat. (Spradley 1997: 3)

c.EtnometodologiEtnometodologi merupakan salah satu bentuk khas yang hanya ada dalam penelitian kualitatif, yang melihat bahwa realitas sosial merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, dimana manusia mendeskripsikan dunianya sebagaimana mereka merasakannya. Metode ini mendapat banyak pandangan dari teori fenomenologi (Schutz 1967, 1970). Garfinkel (1967) memberikan metode lain dimana peneliti yang juga etnografer akan menggambarkan dunia, sebagaimana subyek penelitian mereka menggambarkannya, untuk itu diperlukan sebuah proses untuk menggambarkan persepsi subyek penelitian dengan melakukan analisis oleh peneliti itu sendiri, inilah yang dinamakan etnometodologi.

Box

Contoh Hasil Penelitian Etnografi

Talun, although not large, had quite a busy market. I set off in the direction of Banyu village, one of the sixteen villages in the sub-district of Talun (Map F). First I had to go to the cillage office just to report my arrival.

Handsome urban-style houses lined the main road and other signs of urban amenities such as the TV antennae and street lighting were immediately visible, giving this impression was limited to the area along the main road

where the houses of the better-off were located. Behind it, the village atmosphere and village physiscal structures still dominated. Foe example, only houses along the main road has access to electricity from the

Government Electricity Company. Within the village a few houses used their own power generators but the majority depended on kerosene lamps. Most houses werre constructed of fired bricks, usually with concrete floor and tiled roof. Houses made of woven bamboo with thatched roofs were rare. The village settlement

looked clean and well-arranged, with houses built along the main village road which was wide enough for cars to pass. The compounds were shaded with plenty of tree, mostly fruit trees. Banyu village appeared to be

quite prosperous. (Yulfita Rahardjo 1988: 94).

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |37

filosofi dan paradigma penelitian | 38

d. HermeneutikaHermeneutika awalnya berakar pada studi tentang prinsip umum interpretasi yang dilakukan pada agama (teologi). Namun dalam perkembangannya kemu-dian, hermeneutika berkembang pada penelitian interpretasi dalam metode penelitian sastra, hukum hingga politik. Secara singkat, hermenuetik adalah studi tafsir tentang teks, meski kemudian itupun berkembang lagi tidak terba-tas pada teks yang sifatnya tertulis; tapi meliputi aktivitas kebudayaan sebagai teks untuk mendapatkan pemahaman tentang ekspresi makna. Ahimsa-Putra melihat telaah tekstual atas kesenian atau kebudayaan memandang fenomena kesenian sebagai sebuah “teks” untuk dibaca, untuk diberi makna, dan untuk dideskripsikan strukturnya (Ahimsa-Putra 2000). Salah satu contoh penelitian hermeneutik yang mendeskripsikan kesenian Angguk dari Yogyakarta yang ditulis oleh Soetaryo (dalam Ahimsa-Putra, 2001: 113-148).

e. SemiotikaSemiotika adalah teori atau studi mengenai tanda dan simbol. Tapi tanda atau simbol yang dimaksud tidaklah semata tanda atau simbol yang sifatnya visual, namun juga tanda-tanda atau simbol-silbol yang merefleksikan realitas kehidupan sosial (Saussure 1974: 16; dan 1983: 15-16). Semiologi berasal dari kata bahasa Yunani “semeion” yang artinya adalah “tanda” atau “sign” dalam bahasa Inggris. Studi semiotika adalah studi yang meneliti mengenai esensi dari tanda dan norma-norma sosial yang mengaturnya. Dalam semiotika, tanda yang dimaksud dapat pula berupa kata-kata, gambar, suara, tingkah laku, maupun obyek tertentu.

Metodologi Penelitian Kualitatif meliputi:

a. Penelitian GroundedMerupakan sebuah upaya untuk mencapai teori dari analisis pola-pola, tema, atau kategori umum dari realitas sosial tertentu yang diobservasi. Penelitian grounded theory awalnya dikembangkan oleh Glaser dan Strauss pada tahun 1967 (melalui buku The Dicovery of Grounded Theory). Penelitian ini muncul didasarkan pertimbangan bahwa peneliti dan ilmuwan sosial seharusnya mulai bergerak dari sekedar menggambarkan dan menafsirkan realitas sosial kepada tahap yang lebih tinggi yaitu mengabstraksikan realitas ke dalam teori, atau “move from data to theory”. (Glaser dan Strauss 1967) Dengan melakukan pene-litian grounded theory diharapkan teori-teori baru akan bermunculan, dan tidak sekedar mengandalkan pengembangan dari konstruksi analitis, kategori atau variabel dari teori-teori yang sudah ada.

b. Case StudiesPenelitian dengan metode studi kasus atau case study bertujuan untuk meng-gambarkan suatu kejadian tertentu, dalam kurun waktu tertentu dari suatu

Modul PPJFP

kelompok masyarakat tertentu. Case study merupakan suatu metode pengum-pulan data dalam penelitian kualitatif yang secara spesifik mendeskripsikan kasus-kasus tertentu yang dipilih untuk dianalisis lebih dalam. Kasus-kasus tertentu itu bisa berkaitan dengan kejadian yang dialami subyek tertentu, pada waktu tertentu. Studi kasus merupakan strategi penelitian yang lebih cocok apabila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, dan bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peris-tiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam realitas sosial masyarakat (Yin, 2002).

c. Participatory Action ResearchPenelitian Riset Aksi Partisipatoris atau Participation Action Research (PAR)dapat dilihat sebagai orientasi penelitian yang baru, maupun sebagai sebuah proses. Awal mula PAR dilakukan sebagai sebuah bentuk kritik atas penelitian-penelitian sosial yang ada sebelumnya yang seringkali justru tidak memberi keuntungan dan tidak memberdayakan bagi subyek manusia yang ditelitinya; padahal subyek manusia ini memiliki kemampuan untuk memahami permasalahan yang mereka hadapi dan mencari solusi bagi mereka sendiri (De La Cruz, 2001)

Dalam metode penelitian kualitatif yang bersifat aksi partisipatoris, peneliti hanya bertugas untuk mengamati dan menjadi narasumber bagi kelompok yang diteliti, sebagai suatu jalan bagi mereka untuk melihat permasalahan dari sudut pandang mereka sendiri dan berusaha merumuskan solusi atas permasalahan mereka secara partisipatif. Biasanya yang menjadi subyek penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang disadvantaged atau kurang beruntung, kelompok minoritas, kelompok marginal, kelompok khusus seperti anak yang mengalami trauma, atau kelompok lain yang membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalahnya secara langsung (McTaggart, 1997).

Dimensi Etis dalam Penelitian KualitatifEtika penelitian sebenarnya lebih merupakan aturan tak tertulis yang harus dipatuhi oleh peneliti untuk menjaga integritasnya sebagai ilmuwan. Baik yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar bagaimana kebenaran atau obyektifitas itu harus dijaga, maupun yang berkaitan bagaimana seharusnya penelitian itu dilakukan. Bogden dan Biklen (1982) telah memberikan pedoman praktis terhadap etika penelitian.

Pertama, ketika peneliti mulai melakukan penelitian, ia harus secara jujur menerangkan maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan; baik kepada pejabat yang memberi ijin maupun kepada responden yang akan diwawanca-rai. Kedua, peneliti hendaknya meletakkan posisi responden sebagai subyek yang perlu dihargai dan bukan sebagai obyek yang hanya akan diperas infor-masinya saja. Artinya faktor kesetaraan menjadi penting sekali. Ketiga, peneliti hendaknya menghargai, peraturan, norma, adat-istiadat, kepercayaan, ke-biasaan, kebudayaan dan sebagainya dalam masyarakat dimana penelitian itu

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |39

filosofi dan paradigma penelitian | 40

dilakukan. Keempat, peneliti hendaknya memegang kerahasiaan segala sesuatu yang berkenaan dengan informasi yang diberikan responden. Jika informasi yang diberikan tidak dikehendaki untuk dipublikasikan, hendaknya peneliti menghormatinya. Termasuk nama informan sebaiknya dilaporkan dengan nama samaran kecuali jika yang berangkutan tidak keberatan. Kelima, peneliti hendaknya menulis segala kejadian, peristiwa, cerita dan lain-lain secara jujur, obyektif sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tanpa dilebih-lebihkan atau dikurangi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Penelitian Mixed Method;

3.1 Pengantar tentang Penelitian dengan Mixed-MethodsTradisi penelitian ilmu sosial telah cukup lama memisahkan antara penelitian dengan metode kuantitatif dan penelitian dengan metode kualitatif. Beberapa perbedaan mendasar dari kedua metode penelitian ini terletak dari subyek atau obyek yang diteliti, bentuk data yang didapatkan dan posisi peneliti. Kedua metode dalam ilmu pengetahuan sosial merupakan penelitian empiris yang melihat secara langsung realitas sosial yang melibatkan subyek manusia. Pene-litian kuantitatif lebih bertujuan untuk memotret atau mendeskripsikan realitas tersebut sementara penelitian kualitatif bertujuan tidak hanya mendeskripsikan namun juga menafsirkan realitas sosial.Kemungkinan Pengabungan Metode Kuantitatif dan Kualitatif:

• Pada dasarnya antara metode kuantitatif dan kualitatif tidak semesti-nya dipertentangkan. Keduanya bisa saling melengkapi. Metode kuan-titatif cocok digunakan untuk penelitian yang masalahnya sudah jelas, dan umumnya dilakukan pada populasi yang luas sehingga kurang mendalam. Sementara itu metode kualitatif cocok digunakan untuk meneliti dimana masalahnya belum jelas, dilakukan pada situasi sosial yang tidak luas, sehingga hasil penlitian lebih mendalam dan bermakna. Metode kuantitatif cocok untuk menguji hipotesis/teori sedangkan metode kualitatif cocok untuk mememukan hipotesis/teori.

• Karena paradigma ke dua metode tersebut berbeda, maka sulit untuk mengabungkan kedua metode tersebut dalam satu proses penelitian secara bersamaan. Thomas D Cook and Charles Reichardt (1978, seperti dikutip Sugiyono) menyatakan:” To the conclusion that qualitaitive and quantitative methods are linked to diffeent paradigms and since one must choose between mutually exclusive dand antagonistic world views, one must also choose between the methods type”. Kesimpulannya, metode kuali-tatif dan kuantitatif tidak akan pernah dipakai secara bersama-sama, karena kedua metode tersebut memiliki paradigma yang berbeda dan perbedaannya bersifat mutually exclusive, sehingga dalam penelitian hanya dapat memilih salah satu metode.

• Meskipun begitu pada dasarnya kedua metode tersebut dapat digu-nakan secara bersama atau digabung dengan catatan sebagai berikut:

Modul PPJFP

(1) Dapat digunakan secara bersama-sama untuk meneliti obyek yang sama, tetapi tujuan yang berbeda. Metode kualitatif digunakan untuk menemukan hipotesis, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk menguji hipotesis. Each methodology can be used to complement the other within the same area of inquiry, since they have different purposes or aims (Susan Stainback, 1988): (2) Digunakan secara bergantian. Pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuantita-tif: (3) Dapat digunakan metode tersebut secara beramaan, asal kedua metode tersebut telah dipahami dengan jelas. (Sugiyono, 2005: 26).

Penelitian campuran (mixed-methods) adalah penelitian dimana peneliti atau tim peneliti mengkombinasikan elements dari pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif (misalnya proses pengumpulan datanya, proses analisis data, atau lainnya) dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas, sekaligus mendalam atas suatu realitas sosial. Metode yang digunakan dapat berupa menyusun metode dari dua pendekatan yang berbeda tersebut secara berurutan; menggabungkan metode yang digunakan dari dua pendekatan penelitian tersebut; dan memasukkan satu unsur metode dari pendekatan yang satu kepada pendekatan yang lain.

3.2 Merancang Penelitian Sosial dengan Mixed MethodsTidak semua permasalahan penelitian bisa dilakukan dengan metode penelitian campuran. Beberapa permasalahan penelitian yang dapat dilakukan dengan menggunakan penelitian campuran adalah:

1. Permasalahan penelitian yang bertujuan untuk mengeksporasi pema-haman dari sebuah konstruksi sosial atau fenomena sosial dengan menggunakan lebih dari satu perspektif;

2. Menjelaskan peristiwa atau realitas sosial yang sifatnya anomali untuk menjelaskan mengenai anomali nya itu sendiri, dan untuk mendapat-kan pemahaman lebih dalam tentang mengapa anomali itu terjadi;

3. Mengembangkan teori yang disusul dengan melakukan tes atau eks-perimen;

4. Mengembangkan ukuran-ukuran tertentu dari sebuah konsep teoritis;5. Melakukan sebuah penelitian evaluatif dan untuk mendapatkan

pemahaman tentang implementasinya.

Creswell dan Plano Clark (2011) membedakan penelitian dengan pendekatan campuran ke dalam beberapa tipe, yaitu:

1. Model convergent parallel; dilakukan dimana metode penelitian dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif dilakukan secara terpisah secara bersamaan kemudian digabungkan pada tahap penafsiran data empiris (Gambar 4). Model ini memberikan porsi yang sama dari dua pendekatan yang digunakan dan dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang suatu topik penelitian, atau menvalidasi data-data

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |41

filosofi dan paradigma penelitian | 42

kuantitatif. Jadi penelitian model ini membandingkan temuan penelitian yang didapatkan dari kedua pendekatan.

Gambar 4. Model Desain Convergent Parallel dalam Penelitian Mixed Method

2. Model Explanatory Sequential, yaitu penelitian campuran dimana kedua pendekatan penelitian dilakukan secara berurutan, dimulai dari penelitian kuantiatif dan dilanjutkan dengan penelitian kualitatif atai sebaliknya (Gambar 5).

a. Metode Kuantitatif diikuti Kualitatif. Metode ini digunakan apabila pendekatan penelitian kualitatif digunakan untuk memverifikasi data- data empiris yang dihasilkan dari pendekatan kuantatif.

Gambar 5. Metode Kuantitatif diikuti Kualitatif

b. Metode Kualitatif diikuti dengan kuantitatif, biasanya digunakan untuk mengeksplorasi sebuah realitas empiris yang kemudian di- lanjutkan melalui pengecekan atau verifikasi melalui proses kuantitatif (Gambar 6).

Gambar 6. Metode Kualitatif diikuti Kuantitatif

Modul PPJFP

Model Embedded dilakukan dimana peneliti melakukan baik penelitian kuan-titatif dan kualitatif dimana salah satu bentuk pendekatan dilakukan dalam skema yang lebih kecil dari pendekatan yang utama, yang digunakan untuk menambahkan penjelasan (Gambar 7). Pendekatan kedua dapat dilakukan secara bersamaan maupun berurutan.

Gambar 7. Model Embedded dalam Penelitian Campuran

Dalam proses penulisan laporan, kedua data empiris yang didapatkan melalui kedua pendekatan yang digunakan dapat ditampilkan dalam bentuk:

1. Membandingkan data dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara side-by-side;

2. Membandingkan secara tergabung;3. Menggabungkan data berdasarkan kategori atau tema tertentu dari

permasalahan penelitian.

3.3 Evaluasi dalam Penelitian Mixed MethodsDalam penelitian yang menggunakan pendekatan campuran, proses evaluasi menjadi sangat penting untuk melihat relasi antara kedua pendekatan yang digunakan dan bagaimana data empiris yang diperoleh dari satu pendekatan dapat dikaitkan dengan argumen dari pendekatan yang lain. Ada lima elemen utama dalam memvalidasi penelitian campuran (Dellinger and Leech 2010):

1. Elemen dasar yaitu kualitas dari review literatur dan teori yang dijadikan landasan penelitian;

2. Elemen Konstruksi yaitu validitas dari data-data yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif, kualitatif, maupun dari campuran antara keduanya;

3. Elemen Konsistensi Inferensial yaitu konsistensi dari hubungan berbagai komponen dari studi yang dilakukan;

4. Elemen utilisasi atau elmen sejarah yaitu apakah temuan penelitian akan digunakan dalam penelitian sejenis di waktu mendatang;

5. Elemen konsekuensial yaitu apakah temuan penelitian dapat diterima secara sosial oleh masyarakat ataupun konsekuensi-konsekuensi lainnya dari hasil penelitian yang dilakukan.

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |43

filosofi dan paradigma penelitian | 44

4. Metode Penalaran dalam Penelitian Kuantitatif dan kualitatifAda beberapa macam penalaran yang dapat dijadikan sebagai strategi penelitian, yaitu:

a. InduktifInduksi adalah proses penalaran yang bertolak dari fakta-fakta khusus ke kesimpulan umum. Logika induktif dapat dilakukan melalui:

1. Induksi ampliatif, yaitu penalaran yang bertolak dari sejumlah terbatas contoh-contoh yang diamati ke suatu hubungan kausal umum.

2. Induksi eliminatif, yaitu proses mendukung atau menguatkan suatu pernyataan atau hipotesis dengan memalsukan pernyataan atau hipotesis yang menyainginya, atau seringkali juga disebut sebagai metode konfirmasi tidak langsung.

3. Induksi intuitif, yaitu proses penalaran yang didasarkan pada pandangan pribadi yang dapat mengalami kebenaran-kebenaran mutlak di dunia.

4. Induksi sempurna atau induksi formal, yaitu proses penalaran yang menyatakan suatu kebenaran mengenai semua anggota kelompok berdasarkan pengamatan kebenaran itu dalam semua anggota kelompok itu.

b. DeduktifMenurut Blaikie, penalaran deduktif bertujuan untuk menjelaskan hubungan antar konsep atau variabel dengan mengajukan sebuah teori tentang hubungan tersebut untuk kemudian diuji secara deduktif. Deduksi biasanya digunakan untuk menunjuk kepada macam-macam penalaran yang kesimpulannya berasal dari premis-premis secara niscaya. Deduksi dapat berlangsung dari yang general ke yang partikular, general ke general, atau partikular ke partikular. Proses logika deduktif dapat dilakukan melalui:

1. Penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal yang khusus dari kebenaran itu.

2. Proses membuat implikasi-implikasi logis dari pernyataan-pernyataan atau premis-premis menjadi eksplisit

3. Proses penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan (premis- premis) dimana tercapai suatu kesimpulan yang pasti benar dengan aturan logika.

c. RetroduktifPenalaran retroduktif bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang teramati dengan menemukan struktur dan mekanisme yang menyebabkan fenomena tersebut. Proses penemuan struktur dan mekanisme tersebut bersifat konjektural (conjectural) berupa dugaan yang didasarkan pada pengetahuan yang tersedia terkait fenomena yang menjadi perhatian. Dalam strategi penelitian ini pengetahuan yang ada dalam literatur dapat memberikan bantuan dalam membangun sebuah model penjelasan hipotesis.

Modul PPJFP

d. AbduktifPenalaran abduktif bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami fenomena sosial, terutama dari perspektif aktor sosial sendiri dengan melihat makna dan motivasi dari aktor sosial. Strategi penelitian abduktif digunakan untuk mengeneralisasi teori dimana hipotesis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengumpulan dan analisis data, juga dari proses hasil observasi, refleksi, penarikan hipotesi dan percobaan.

Terkait dengan perbedaan antara metode inferensi deduksi, induksi, abduksi dan retroduksi, Tabel 9 & 10 memperlihatkan karakteristik keempat metode penalaran tersebut.

Tabel 9. Strategi Penelitian

Tujuan Induktif Deduktif Retroduktif Abduktif Jenis Pertanyaan Penelitian

Eksploratif(to explore) *** *** Apa (What)

Deskriptif(to describe) *** *** Apa (What)

Eksplanatif(to explain) * *** *** Mengapa (Why)

Prediktif(to predict) ** *** Apa (What)

Memahami(to understand)

*** Mengapa (Why)

Mengubah (to change) * ** ** Bagaimana (How)

Mengevaluasi(to evaluate)

** ** ** ** Apa dan Mengapa?

What and Why

Menganalisis Dampak(to assess impact)

** ** ** ** Apa dan Mengapa?

What and Why

Penjelasan: *** aktivitas utama; ** aktivitas sedang; dan * aktivitas minor. Pengukuran keterhubungan antara tujuan dan strategi penelitian hanya bersifat indikatif.

Sumber: Blaikie (2010), hal 105

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |45

filosofi dan paradigma penelitian | 46

Tabel 10 Perbandingan Empat Metode Inferensi

Deduksi Induksi Abduksi RetroduksiS t r u k t u r f u n d a -mental/ cara ber-pikir

Menarik kesim-pulan secara logis dari sejumlah premis. Menyimpulkan dari hukum yang berlaku umum, pengetahuan tentang sebuah fenomena.

Dari sejumlah observasi, menarik sebuah kesimpulan tentang keseluruhan populasi.Mengkaji kesamaan dari sejumlah observasi dan menyimpulkan bahwa kesamaan ini juga berlaku bagi kasus lain.Dari kovariansi yang teramati menyim-pulkan hukum yang berlaku umum.

Menginterpreta-sikan dan merekon-tekstualisasi sebuah fenomena dengan sebuah kerangka konseptual atau sejumlah konsep pemikiran. Berupaya memaha-mi suatu fenomena dengan cara baru dengan mengin-terpretasikannya melalui kerangka konseptual yang baru.

Dari sebuah deskripsi dan analisis dari fenomena kongkret, merekonstruksi kondisi dasar yang memungkinkan terjadinya fenom-ena seperti yang teramati. Dengan cara olah pikir (thought operation) dan berpikir kontrafak-tual (counterfactual), berargumen tentang kondisi transfaktual.

Isu utama Apakah kesim-pulan logis dari premis?

Apa yang berlaku umum dalam sejumlah observasi dan apakah hal tersebut berlaku bagi populasi?

Apa makna sesuatu jika di- interpretasi dalam suatu kerangka konseptual tertentu.

Kualitas dan keadaan apa yang harus eksis agar sesuatu fenomena menjadi mungkin?

Kekuatan Memberikan aturan dan pedoman untuk menyimpulkan secara logis dan mengkaji validitas logis dari semua argumen.

Memberikan pedoman bagi gen-eralisasi empiris, dan menghitung presisi dari generalisasi.

Memberikan pe-doman untuk proses interpretatif dimana kita memberikan makna kepada kejadian dalam kaitan dengan konteks yang lebih besar.

Memberikan pengetahuan tentang kondisi transfaktual, struk-tur dan mekanisme yang tidak dapat diobservasi secara langsung pada domain empirik.

Kelemah-an

Deduksi tidak mengatakan sesuatu yang baru tentang realitas selain apa yang telah terdapat dalam premis. Deduksi bersifat analitis.

Inferensi induktif tidak akan pernah dapat menghasilkan kepastian secara analitis maupun empiris = limitasi internal dari induksi.Induksi terbatas pada kesimpulan pada level empirik = limitasi eksternal dari induksi.

Tidak terdapat kriteria yang tetap untuk menilai secara pasti validitas dari kesimpulan yang dihasilkan abduksi.

Tidak terdapat kriteria yang tetap untuk menilai secara pasti validitas dari kesimpulan yang dihasilkan oleh retroduksi.

K u a l i t a s p e n e l i t i yang di- perlukan

Kemapuan berargumen secara logis.

Kemampuan menguasai teknik analisis statistik.

Kreativitas dan imajinasi

Kemampuan untuk melakukan abstraksi.

Contoh Jika A maka BAJadi: B

Dari kajian tentang sikap sejumlah sampel represen-tatif dari Swedia, disimpulkan bahwa 30% dari penduduk Swedia mendukung Uni Eropa.

Reinterpretasi/ redeskripsi oleh Karl Marx terhadap sejarah manusia dari perspektif materialisme historis.

Bagi sebuah ritual agar menjadi sebuah ritual, harus eksis diantaranya simbol bermuatan emosional dan pemahaman umum tentang nilai-nilai sakral.

Sumber: Danermark et.al (2002)

Modul PPJFP

RANGKUMANDalam suatu kegiatan penelitian sebagai proses pencarian kebenaran terdapat dua pendekatan utama yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan asumsi dan pemahaman masing-masing. Dalam perkembangan selanjutnya dikenal gabungan keduanya dengan berbagai persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi yaitu mix method sebagai alternatif.

Asumsi dasar pendekatan kuantitatif bertolak belakang dengan asumsi dasar yang dikembangkan oleh pendekatan kualitatif, sehingga mempengaruhi cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena dan proses penelitian secara keseluruhan. Pendekatan kuantitatif menekankan pada metode pengukuran, penggunaan pertanyaan terstruktur, pembuatan alat ukur dan skala yang dapat dianalisa dengan statistik, pendekatan analitik dengan aturan baku dan teratur, instrumen penelitian dapat diulang, penjelasan strukturalis dan meng-hindari penjelasan interpretatif, kebenaran adalah ciri pasti dan tidak beragam, interpretasi adalah hal yang tidak pasti, beragam, tergantung dari pengamat. Penelitian  kuantitatif   merupakan salah satu jenis penelitian yang ber- sifat sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya atau penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. sehingga penelitian kuantitatif akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan

Tujuan penelitian kuantitatif yaitu mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis yang dikaitkan dengan  fenomena alam. Penelitian kuantitatif banyak digunakan untuk menguji suatu teori, untuk menyajikan suatu fakta atau mendeskripsikan statistik, untuk menunjukkan hubungan antarvariabel, dan ada pula yang bersifat mengem-bangkan konsep, mengembangkan pemahaman atau mendeskripsikan banyak hal, baik itu dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Penelitian kuantitatif juga dimaksudkan untuk menjawab masalah penelitian dengan menggunakan teori – teori yang berlaku, tujuan penelitian kuantitatif yaitu menguji teori, teori digunakan untuk menentukan variable dan variabel merupakan sarana untuk analisis dan pengujian hipotesis

Penelitian kualitatif merupakan salah satu bentuk penelitian yang mendeskripsikan dan menganalisis realitas sosial manusia. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian yang melibatkan manusia sebagai objek penelitian. Pendekatan kualitatif berbeda dari pendekatan kuantitatif yang mendasarkan pada realitas fakta-fakta yang dapat diukur melalui penghitungan tertentu karena pelibatan manusia sebagai objek penelitian seringkali meli-batkan hal-hal yang tidak dapat dikuantifikasi, misalnya: emosi, pandangan hidup, manusia dapat berpura-pura (jawaban hasil survey misalnya, dapat berbeda dengan hasil observasi langsung peneliti). Jadi penelitian kualitatif tidak hanya melibatkan apa yang disebut sebagai emik sebagai proses analisis untuk mendeskripsikan realitas sosial yang diteliti; namun juga mencakup etik merupakan proses analisis untuk menafsirkan realitas sosial yang diteliti. Terdapat lima tujuan utama dalam melakukan penelitian dengan

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |47

filosofi dan paradigma penelitian | 48

menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu: to explore, to describe, to explain, to understand, to predict.

Penelitian campuran (mixed-methods) adalah penelitian dimana peneliti atau tim peneliti mengkombinasikan elements dari pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif (misalnya proses pengumpulan datanya, proses analisis data, atau lainnya) dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas, sekaligus mendalam atas suatu realitas sosial. Metode yang digunakan dapat berupa menyusun metode dari dua pendekatan yang berbeda tersebut secara berurutan; menggabungkan metode yang digunakan dari dua pendekatan penelitian tersebut; dan memasukkan satu unsur metode dari pendekatan yang satu kepada pendekatan yang lain.

Modul PPJFP

LATIHAN

PENUGASAN I

Jawablah Pertanyaan dibawah ini dengan benar!1. Jelaskan perbedaaan penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif dalam

filsafat ilmu!2. Jelaskan yang dimaksud dengan penelitian mix method!

PENUGASAN II

Diskusikan dengan kelompoknya dan ambil salah satu topik berikut ini kemudian presentasikan kepada teman yang lainnya!

“Bagaimana perbedaaan, kekurangan dan kelebihan serta tujuan dari implementasinya dari penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif serta menggabungkan keduannya dalam mix method!”

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |49

filosofi dan paradigma penelitian | 50

KUNCI JAWABAN

-

Modul PPJFP

NovELTy DALAm PENELITIAN

(Discovery, invention, DAN innovation)

Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan novelty dan invention dalam penelitian dengan benar.

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |51

filosofi dan paradigma penelitian | 52

Pengertian Discovery, Invention dan Innovation Perspektif novelty dalam suatu penelitian adalah tuntutan adanya “hal yang berbeda” dari apa yang dilakukan peneliti sebelumnya dengan penelitian yang anda lakukan. Pembeda ini akan sangat relative rentang :kebaharuannya, sangat bergantung dari keilmuan dan topic yang dibahas. Untuk itu mem- bicarakan novelty harus dilihat dari awal kehadiran “kebaharuan” itu sendiri dan tindak lanjutnya, yang semua dikenal dengan istilah Discovery, Invention dan Innovation.

Dalam keseharian kita, penggunaan kata discovery dan invention, dalam bahasa Indonesia sering diartikan sama sebagai “penemuan”. Namun dalam dunia penelitian tidaklah demikian. Masing-masing mempunyai makna tersendiri, seperti membedakan ilmu dasar dengan ilmu terapan. Namun da-lam proses perkembangannya, ke dua kata tersebut saling bersinergi sebagai suatu proses evolusi,sejalan dengan semakin menghilangnya dikotomi antara ilmu dasar dengan ilmu terapan, bahkan dalam beberapa rumpun keilmuan sudah tidak terlalu jelas lagi warnanya. Demikian dekatnya keilmuan ilmu dasar dengan terapan, beberapa ilmuwan menyebutkan bahwa sekarang ini saatnya untuk melihat kemajuan keilmuan dari perspektif “invention and discovery” dan bukan lagi melihat pada aspek basic vs. applied science (Narayanamurti et al. 2013). Ada pula yang menyebutkan bahwa keduanya adalah saudara kembar, serta ada juga yang menyebutkannya sebagai refleksi dari bayangan cermin.

Discovery diartikan sebagai penemuan sesuatu hal yang sebenarnya sudah ada di alam ini namun baru terungkap oleh manusia. Ini umumnya selalu dikaitkan dengan temuan dari rahasia alam (kebesarann Allah), yang awal perkembangannya berasal dari Ilmu Pengetahun Dasar (Basic Science) Aktifitas penelitian berbasiskan discovery adalah peningkatan pengetahuan yang umum-nya ada pada ilmua alam, fisika dan sosial. Contoh yang paling umum adalah penemuan vaksin cacar, atau penemuan jenis satwa liar yang harus diberi tata nama.

Invention diartikan sebagai penemuan yang benar benar baru, sebagai suatu buah karya manusia. Contoh yang paling umum adalah penemuan mekanisme mesin ketel uap. Dalam ilmu sosial invention selalu dikaitkan sebagai suatu penemuan berupa teori. Sedangkan innovation merupakan suatu proses peningkatan nilai dari suatu hasil, baik dari invention maupun discovery.Karena untuk kepentingan manusia, maka dilakukan suatu modifikasi agar kinerjanya meningkat.

Innovation yang berasal dari proses discovery contohnya adalah kopi luwak, dimana proses fermentasi alam dalam tubuh satwa meningkatkan kualitas kopi yang dicari manusia. Proses alami ini kemudian dikembangkan dengan munculnya “perkebunan kopi luwak” dan penjualan kopi luwak dalam berbagai kemasan dan branding sehingga mempunyai nilai jual yang berbeda. Dari perspective sosial budaya inovasi adalah suatu proses penerimaan unsur-unsur kebudayan baru atau nilai sosial baru dan mengesampingkan cara pandang lama yang telah melembaga. Oleh sebab itu dalam pandangan sosial budaya, kegiatan discovery dan invention sangat berpengaruh pada perubahan sosial,

Modul PPJFP

bahkan tidak sedikit yang harus melewati gejolak kehidupan sosial budaya dalam masyarakat.

Karateristik “Penemuan” banyak memberikan pengaruh efek domino saat ditingkatkan menjadi suatu innovation dan tentunya menimbulkan perubahan sosial di antaranya:.

a. Penemuan baru menyebabkan sejumlah perubahan di bidang-bidang lain dalam waktu yang bersamaan. Discovery gelombang radio menyebabkan perubahan di bidang pendidikan, pemerintahan, pertanian, rekreasi, dan sebagainya. Invention spreadsheet seperti Excell, menye-babkan innovation berupa perubahan dalam bidang akuntansi, dengan munculnya berbagai perusahaan berbasiskan spereadsheet.

b. Penemuan baru menyebabkan perubahan-perubahan yang men-jalar dari bidang atau lembaga yang satu ke bidang atau lembaga lain-nya. Discovery gaya angkat menghasilkan invention pesawat menjadikan innovation pembangunan pesawat tempur, membawa pengaruh terhadap metode perang.

c. Beberapa jenis penemuan baru dapat mengakibatkan satu jenis perubahan. Invention mobil diesel, kereta api, rel kereta api, telepon, dan sebagainya memperbanyak pusat kehidupan di pinggir kota yang dinamakan masyarakat suburban. Penemuan system e-mail, menjadikan pelayanan business menggunakan e-mail (innovation).

Dalam konteks ilmu sosial, istilah dicovery, invention dan innovation akan lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan istilah social science dan socio-technology. Menurut Bunge (1998), meskipun sebagian ilmuwan sosial agak reluctant untuk menyebut teknologi sosial (sociotechnology), namun sesung-guhnya beberapa disiplin ilmu sosial seperti manajemen dan ilmu kebijakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan sosial dapat disebut sebagai teknologi sosial. Sementara ilmu sosial dasar seperti demografi dan sosiologi termasuk dalam kelompok ilmu sosial dasar (basic social science).

Discovery sebagai sebuah pengungkapan realitas yang telah ada merupakan produk dari ilmu sosial dasar. Pengungkapan realitas ini merupakan hasil dari kegiatan penelitian di bidang ilmu sosial dasar. Discovery merupakan pengeta-huan tentang mengapa realitas sosial tampak seperti yang kita lihat. Namun masalah timbul ketika dalam ilmu sosial, interpretasi terhadap realitas sosial bisa berbeda antara satu peneliti dengan peneliti yang lain. Sehingga discovery tidak bisa dimaknai secara seragam atau tunggal. Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, interpretasi terhadap realitas akan sangat ditentukan oleh paradigma yang dianut oleh seorang peneliti.

Setelah memahami realitas sosial termasuk pemahaman tentang mengapa realitas sosial tersebut mewujud seperti yang kita lihat, terlepas dari keragaman interpretasi yang ada, jika realias sosial dipandang sebagai keadaan yang tidak baik atau tidak seperti yang diharapkan, peneliti berupaya merumuskan sebuah konsep untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang diharapkan. Dalam hal ini dikatakan bahwa ilmu sosial selalu mengemban misi kritis untuk mem-perbaiki keadaan (critical theory). Konsep yang dikembangkan untuk memper-

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |53

filosofi dan paradigma penelitian | 54

baiki keadaan dapat disebut sebagai invention. Selanjutnya, peneliti atau para pengambil kebijakan berupaya untuk menerapkan invention yang berupa konsep perubahan ini pada realitas sosial. Jika konsep perubahan tersebut berhasil mmenghasilkan perubahan yang diharapkan, maka ia dapat disebut sebagai inovasi. Inovasi pada hakekatnya adalah perubahan realitas ke arah yang lebih baik daripada keadaan sebelumnya.

Interaksi Discovery, Invention dan Innovation,Perlu dilihat beberapa catatan penting mengenai hubungan timbal balik antara discovery, invention and innovation. Invention cenderung di landasi oleh proses discovery dari ilmu alam dan akhir akhir ini lebih dipengaruhi banyak oleh ilmu biologi.; sedangkan innovasi lebih banyak dipromosikan oleh discoveries di lingkungan enjinir industry, ilmu sosial dan ilmu bisnis. Hubungan interaksi antara discovery and invention merupakan dua arah timbalk balik. Demikian juga dengan, semakin berkembangnya ilmu maka akan memberikan kesempatan untuk munculnya banyak inventions baru. Namun perkembangan nyata secara ekonomi dari suatu invention membutuhkan discovire yang demikian besar yang akan diikuti dengan invention yang besar pula. Sebagai contoh, industri pesawat udara mnodern memutuhkan kemajuan ilmiah dalam bidang aerodynamic. Majunya dunia penerbangan semakin mempercepat perpindahan jasa dan memberikan effect domino yang demikian besar pada roda ekonomi. Semua ini dari adalah hasil dari interaksi antara discovey invention dan innovation. Contoh lain yang menunjukkan kedekatan antara discovery dengan invention yang akhirnya menjadi innovation banyak ditunjukkan dari para pemenang Nobel (Gambar 8). Di sini dengan jelas tergambarkan dari awalnya discovery dalam hal efek transistor (the transistor effect) yang kemudian menjadi cikal bakal dari invention mengenai persimpangan transistor bi-polar)(the bi-polar junction transistor) dan diakhiri dengan lahirnya prosesor dan chips dalams etiap badan computer sebagai sebuah innovation.

Gambar 8. Hubungan interaksi antara discovery, invention dan innovation dalam aspek system informasi dan komunikasi (Narayamukti et al 2016).

Modul PPJFP

Insentif Discovery, Invention dan InnovationPerlu dipahami bahwa insentif dari discovery, invention and innovation mempu-nyai bentuk yang berbeda. Lebih lagi, perbedaan ini menciptakan masalah saat dilakukan transfer dari satu bentuk ke bentuk lain.

a. Discovery: aktifitas ini menjadikan seseorang terkenal. Dan semua peneliti logis ingin terkenal. Keterkenalan ini tentu akan membawa kemashuran dan kekayaan. Dengean ketenaran sebagai system insentif-nya peneliti ybs. mempunyai kebebasan untuk cepat menyebarluaskan temuannya yang maknanya memberikan atau mengkreasi adanya idea idea baru untuk dikembangkan, b. Invention: aktiftas ini memberikan kekayaan Inteletkual; Ada tiga bentuk Kekayaan Intelektual, yaitu Patents, copyright, and trade secrets. Copyright awalnya diberikan untuk pengakuan KI atas bentuk buku, permainan dan hasil sastra. Tetapi sekarang diperluas ke software dan purnarupa sirkuit (integrated circuit masks). Di Amerika, paten diberikan pada seseorang yang terlebih dahulu menemukan (to discover) bukan pada siapa yang pertama mengajukan (To claim). Ini yang menyebabkan di AS banyak kasus penun-tutan dipengadilan. Pembicaraan apakah patent diberikan pada mereka yang pertama mendaftarkan, sebagai suatu system yang banyak dianut Negara di Eropa masih tetap menjadi topic yang terus dibahas di AS. Tanpa adanya penghargaan KI, pesaing dapat dengan leluasa dan cepat menjiplak hasil temuan seseorang dan dibuat dengan biaya lebih rendah . Akhirnya insentif untuk sebuah invensi akan berkuramng atau tidak diminati. c. Innovation: aktifitas yang dilakukan untuk meningkat performa/ kinerja yang lebih tinggi (Better performance). Dalam lingkup inovasi tidak dikenal akan perlindungan kekayaan intelektual. Konsekuensinya peniru akan dengan cepat menduplikasi inovasi yang dirasa mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Evolusi Discovery, Invention dan Innovation,Di masa perkembangan ekonomi pasca perang dunia pertama, khususnya di Amerika Serikat (AS) mempromosikan hasil discovery, invention and innovation dirasa tidak diperlukan terlalu serius, karena memang kebutuhan dan keter-batasan kemampuan pasar belum begitu kuat. Namun sejalan dengan mening-katnya prinsip penghargaan atas karya dan bernilai komersil, serta mulai banyak didirikannya seksi Research & Develolment pada perusahaan besar untuk mengimbangi kebutuhan pasar, maka pengungkapan dan pengakuan akan KI semakin dirasa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia kepenelitian. Terlebih ketika pada tingkat perguruan tinggi, di AS khususnya, cukup banyak invention dan innovation tumbuh dan dilirik industri. Adanya dukungan dana dari negara federal setelah perang dunia ke II, serta tumbuhnya lembaga donator untuk riset dasar dan terapan telah semakin meningkatkan minat pendidik dan peneliti untuk melakukan penelitian yang mengarah pada inovasi.

Agar kegiatan inovasi semakin agresif berkembang, pemerintah AS tahun 1984 membatalkan UU mengenai Anti Trust, sebuah produk hukum yang

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |55

filosofi dan paradigma penelitian | 56

melarang perusahaan untuk membentuk konsorsium. Undang-undang ini dirasakan sangat mengungkung kreatifitas ke arah inovasi, dimana untuk tingkat industry agar cepat hasil nyatanya membutuhkan biaya yang besar serta dalam pengembangan selanjutnya harus bermitra dengan berbagai perusahaan yang mempunyai satu kesamaan produksi. Bentuk konsosium pada akhirnya dirasa mempunyai dampak positif terhadap percepatan perkembangan inovasi serta kualitas, dimana salah satunya adalah lahirnya standar-standar kualitas minimum yangharus terpenuhi dalam menghasilkan atau perang imnovasi. Dari pemakzulan UU ini pula lahir banyak lembaga incubator yang membantu mempromosikan inovasi baru untuk mudah masuk ke pasar. Pada akhirnya banyak upaya dilakukan antar lembaga penelitian dan universitas untuk saling bersinergi mempercepat adopsi technology di tingkat pasar atau memper- kenalkan teknologi ke pasar.

Bahwa discovery, invensi dan innovation merupakan suatu proses berkesinambungan dapat dilihat dari masing masing lingkup kegiatan (Tabel 11)

Tabel 11. Keterkaitan antara discovery, invention dan inovation

Perbandingan Discovery Invention InovationArti Penemuan mengacu

pada tindakan men-emukan atau menje-lajahi sesuatu yang sudah ada tetapi tidak dirasakan sebelumnya

Penemuan mengacu pada terjadinya ide untuk produk atau proses yang belum pernah dibuat sebel-umnya.

Peningkatkan nilai guna suatu produk hasil discover atau invention.

Maksud Hadir atas sesuatu yang belum diakui.

Penciptaan produk baru.

Menambahkan nilai untuk sesuatu yang sudah ada

Konsep Ide asli atau dapat dari ketidaksadaran dan memberikan pengeta-huan yang baru atau teori.

Ide asli dan bekerja dalam teori.

Implementasi praktis dari ide baru

Ketrampilan dibutuhkan

Keterampilan ilmiah Keterampilan ilmiah Mengatur pemasaran, teknis dan keterampi-lan strategis

Saat kemunculan Tidak direncanakan, atau disengaja dicari

Ide baru atau karena insprirasi

Kebutuhan dirasakan untuk peningkatan produk atau perbaikan produk yang ada.

Aktivitas Terbatas pada Re-search

Terbatas pada depar-temen R & D

Tersebar di seluruh organisasi

Keterwakilan Kejadian alam Alami atau buatan manusia

Keterlibatan Explorasi Experimen TeknologiPaten Tidak dapat dilakukan Bisa dilakukan

Contoh Penemuan gravitasi oleh Isaac newton

Penemuan telephone oleh Graham Bell

Pengembangan Layar sentuh handphone oleh Apple

Adaptasi dari Norman (2013)

Modul PPJFP

RANGKUMANPerspektif novelty dalam suatu penelitian adalah tuntutan adanya “hal yang berbeda” dari apa yang dilakukan peneliti sebelumnya dengan penelitian yang anda lakukan. Pembeda ini akan sangat relative rentang : kebaharuannya, sangat bergantung dari keilmuan dan topic yang dibahas. Untuk itu membicarakan novelty harus dilihat dari awal kehadiran “kebaharuan” itu sendiri dan tindak lanjutnya, yang semua dikenal dengan istilah Discovery, Invention dan Innovation.

Dari perspektif ilmu dasar alam Discovery diartikan sebagai penemuan sesuatu hal yang sebenarnya sudah ada di alam ini namun baru terungkap oleh manusia. Ini umumnya selalu dikaitkan dengan temuan dari rahasia alam (kebesarann Allah), yang awal perkembangannya berasal dari Ilmu Pengetahun Dasar (Basic Science) Aktifitas penelitian berbasiskan discovery adalah peningka-tan pengetahuan yang umumnya ada pada ilmua alam, fisika dan sosial. Contoh yang paling umum adalah penemuan vaksin cacar, atau penemuan jenis satwa liar yang harus diberi tata nama.

Invention diartikan sebagai penemuan yang benar benar baru, sebagai suatu buah karya manusia. Contoh yang paling umum adalah penemuan mekanisme mesin ketel uap. Dalam ilmu sosial invention selalu dikaitkan sebagai suatu penemuan berupa teori. Sedangkan innovation merupakan suatu proses peningkatan nilai dari suatu hasil, baik dari invention maupun discovery.Karena untuk kepentingan manusia, maka dilakukan suatu modifikasi agar kinerjanya meningkat.

Discovery dari perspektif ilmu social merupakan pengetahuan tentang mengapa realitas sosial tampak seperti yang kita lihat. Namun masalah timbul ketika dalam ilmu sosial, interpretasi terhadap realitas sosial bisa berbeda antara satu peneliti dengan peneliti yang lain. Sehingga discovery tidak bisa dimaknai secara seragam atau tunggal. Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, interpretasi terhadap realitas akan sangat ditentukan oleh paradigma yang dianut oleh seorang peneliti. Dalam hal ini dikatakan bahwa ilmu sosial selalu mengemban misi kritis untuk memperbaiki keadaan (critical theory). Konsep yang dikembangkan untuk memperbaiki keadaan dapat disebut sebagai invention. Selanjutnya, peneliti atau para pengambil kebijakan berupaya untuk menerapkan invention yang berupa konsep perubahan ini pada realitas sosial. Jika konsep perubahan tersebut berhasil mmenghasilkan perubahan yang diharapkan, maka ia dapat disebut sebagai inovasi. Inovasi pada hakekatnya adalah perubahan realitas ke arah yang lebih baik daripada keadaan sebelumnya.

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |57

filosofi dan paradigma penelitian | 58

LATIHAN

PENUGASAN I

Jawablah Pertanyaan dibawah ini dengan benar!1. Jelaskan perbedaaan discovery, invention, dan inovation dalam penelitian!2. Berikan contoh novelty yang diperoleh dalam kegiatan penelitian berdasar-

kan discovery, invention, dan inovation!

PENUGASAN II

Diskusikan dengan kelompoknya dan ambil salah satu topik berikut ini kemudian presentasikan kepada teman yang lainnya!

“Bagaimana hubungan discovery, invention, dan innovation dalam suatu kegiatan penelitian yang dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah novelty!”

Modul PPJFP

KUNCI JAWABAN

-

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |59

filosofi dan paradigma penelitian | 60

ImPLEmENTASI PENDEKATAN PENELITIAN

Indikator Keberhasilan: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu mengimplementasikan pendekatan penelitian secara praktis dengan tepat.

Modul PPJFP

Bab ini membahas bagaimana seorang peneliti mampu menjawab pertanyaan atau permasalahan penelitian secara tepat melalui penentuan pendekatan yang tepat dalam menyelesaikan masalah atau pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian dilakukan dalam rangka mencari pemecahan masalah melalui pendekatan ilmiah sehingga mampu dipertanggungjawabkan. Jadi inti dari awal penelitian ialah adanya masalah, kalau tidak ada masalah, tidak akan ada penelitian. Masalah secara general dimaknai dengan kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan (das sollen) dengan sesuatu kenyataan (das sein). Disamping itu masalah juga timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian atau kebingungan terhadap suatu fenomena, adanya kemenduaan arti, adanya halangan dan rintangan, adanya celah baik antara kegiatan atau antar fenomena, baik yang telah ada maupun yang akan ada.

Sebelum penelitian itu dilakukan, seorang peneliti harus memiliki kemampuan dalam menemukan pokok permasalahan maupun pertanyaan penelitiannya, hal ini menjadi sangat penting karena menjadi dasar dalam menentukan pendekatan penelitian apa yang akan digunakan untuk menyele-saikan hal tersebut. Seorang peneliti dapat memperoleh permasalahan atau pertanyaan penelitian dari fenomena kehidupan sehari-hari dengan men-jumpai hal-hal yang aneh atau anomali, keinginan meningkatkan hasil kerja atau peningkatan hal lainnya. Disamping itu juga masalah dapat diperoleh dari membaca buku, informs dari orang lain, atau dari diri sendiri.

Kemampuan peneliti dalam menemukan masalah  ditentukan antara lain oleh kepekaan dan kesediaan mengambil jarak dengan realitas sehari-hari. Kepekaan dalam melihat masalah merupakan syarat mutklak dalam penelitian sosial keagamaan. Seorang peneliti dapat menemukan masalah yang berarti dan bermakna sangat ditentukan oleh tingkat kepekaan dalam menemukan dan memilih masalah. Disamping itu, kemampuan menjaga jarak dari rutinitas, ”kebenaran”, dan fenomena alam yang ada juga sangat menentukan keberartian dan kebermaknaan dalam menemukan dan memilih masalah. Adapun sumber-sumber masalah tersebut dapat diperinci menjadi, antara lain: a) pengamatan terhadap kegiatan manusia, b)Bacaan, c)Analisa bidang pengetahuan, d) ulangan serta perluasan penelitian, e) cabang studi yang sedang dikerjakan, f) pengalaman dan catatan pribadi, g) praktek serta keinginan masyarakat, h) bidang spesialisasi, i) pelajaran dan mata ajaran yang telah diikuti, j) pengamatan terhadap alam sekeliling dan, k) diskusi-diskusi ilmiah.

Sumadi Suryabarata mengumukakan bahwa kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan seorang peneliti dalam menemukan masalah, yaitu antara lain:1. Membaca sebanyak-banyaknya literatur, terutama bacaan yang berisi

laporan hasil penelitian2. Menghadiri seminar, diskusi dan pertemuan ilmiah lain-lain3. Pernyataan pemegang otoritas4. Pengamatan sepintas5. Pengalaman pribadi6. Perasaan intuitif

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |61

filosofi dan paradigma penelitian | 62

LATIHAN

PENUGASAN

Diskusikan dengan kelompoknya dan ambil salah satu topik berikut ini kemudian presentasikan kepada teman yang lainnya!

“Simaklah video atau studi kasus yang diberikan fasilitator, kemudian ten-tukanlah masalah pokok atau pertanyaan penelitian, kemudian tentukan pedekatan penelitian yang akan digunakan dan berikan argumentasinya !”

Modul PPJFP

REFERENSIActivities, OECD Publishing, Paris. DOI: http://dx.doi.org/10.1787/9789264239012-

enAl-Amoudi, I., & Willmott, H. (2011). Where Constructionism and Critical Realism

Converge: Interrogating the Domain of Epistemological Relativism. Organi-zation Studies, 32(1), 27-46. doi:10.1177/0170840610394293

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: UGM dan Galang Press.

Almack, C. 1980. Research and Thesis Writing, New York: Houghon Mifflin.Babbie, Earl, 2007, The Practice of Social Research, Eleventh Edition, Belmont

USA: Waldworth Cengage Learning.Baptiste,Ian. 2001. Qualitative Data Analysis: Common Phases, Strategic Differ-

ences, Forum Qualitative Social Research, Volume 2, No. 3 – September 2001.

Bhaskar, R. (2008). A Realist Theory of Science. New York: Routledge.Bhaskar, Roy (2013): Prolegomenon. The consequences of the revindication of

philosophical ontology for philosophy and social theory. Dalam Margaret Scotford Archer, Andrea Maccarini, Radha D’Souza (Eds.): Engaging with the world. Agency, institutions, historical formations. London and New York: Routledge (Ontological explorations), pp. 11–21.

Blaikie, N. (2007). Approaches to social enquiry (2nd ed). Cambridge: Polity.Byrne, D. S. (2011). Applying social science: The role of social research in politics,

policy and practice. Bristol, Portland, OR: Policy Press.Bentz, V. M., & Shapiro, J. J. (1998). Mindful inquiry in social research. Thousand

Oaks, Calif., London: SAGE Blaikie, Norman. 2009. Designing Social Re-search. Cambridge: Polity Press.

Bogden, RC and Biklen, SK. 1982. Qualitative Research for Education: An Intro-duction to Theory and Methods. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Creswell & Plano Clark (2011) Designing and conducting mixed methods re-search. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.

Courvisanos, J., & Mackenzie, S. (6-8 july, 2011). Role of History in Economic Theo-ry: Critical Realism and Joseph Schumpeter’s Plea for Entrepreneurial History. 24th Conference of the History of Economic Thought Society of Australia, RMIT University, Melbourne.

Danermark, B., Ekstrom, M., Jakobsen, L., & Karlsson, J. C. (2002). Explaining society: Critical realism in the social sciences. Critical realism--interventions. London, New York: Routledge.

Dela Cruz, Ma. Teresa, et.al 2001. Small Steps, Great Strides: Doing Participatory Action Research With Children. Phychosiscial Trauma and Human Rights Program UP Center for Integrative and Development Studies, Arci Cultura e Svillupo, and The United Nations Children’s Fund.

Dellinger and Leech, 2010. Evaluating Mixed Research Studies: A Mixed Method Approach. Journal of Mixed Methods Research. January 2010. 4: 17-31.

DeWitt, R. (2010). Philosophy of Science. Dalam Philosophies of the Sciences: A Guide. Fritz Allhoff (Ed.).

Elder-Vass, D. (2012). The reality of social construction. Cambridge, New York: Cambridge University Press.

Elster, J. (2009) Language and Social Ontology. Dalam Philosophy of the Social Sciences Philosophical Theory and Scientific Practice, Mantzavinos, C. (Ed.)

Gorski, P. S. (2013). “What is Critical Realism? And Why Should You Care?”. Contemporary Sociology: A Journal of Reviews, 42(5), 658–670. doi:10.1177/0094306113499533

Groff, R., & Greco, J. (Eds.). (2013). Powers and capacities in philosophy: The new Aristotelianism. New York: Routledge.

http://www.dosenpendidikan.net/2016/02/pengertian-inovasi-discov-

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |63

filosofi dan paradigma penelitian | 64

ery-dan-invention-beserta-contohnya-dalam-perubahan-sosial.htmlhttps://eduinspirasi.blogspot.co.id/2016/07/perbedaan-innovation-discov-

ery-dan.htmlhttp://www.referensimakalah.com/2011/10/menemukan-masalah-rumu-

san-masalah-dalam_6145.htmlJames P. Spradley, Metode Etnografi, Tiara Wacana Yogjakarta, 1997., hal. xv.Johnson, P., & Duberley, J. (2000). Understanding management research: An intro-

duction to epistemology. London, Thousand Oaks: Sage Publications.Kurki, M. (2008). Causation in international relations: Reclaiming causal analysis.

Cambridge studies in international relations: Vol. 108. Cambridge, New York: Cambridge University Press.

Klein, Julie-Thompson (2008). Interdisiplinarity: History, Theory and Practice.Kuhn, Thomas, 1962, The Structure of Scientific Revolutions.Kurki, M., & Wight, C (2013). International Relations and Social Science. In T.

Dunne, M. Kurki, & S. Smith (Eds.), International relations theories. Discipline and diversity (pp. 14–32).

Kvale, Steinar. 1996. Interviews An Introduction to Qualitative Research Research Interviewing. SAGE Publications. Thousand Oaks. London. New Delhi

Lawson, T. (2003). Reorienting economics. Economics as social theory. London: Routledge.

Lawson, T. (2015). A copception of social ontology. In S. Pratten (Ed.), Economics as social theory: Vol. 37. Social ontology and modern economics (pp. 19–52). New York: Routledge;

Lewis, P. A. (2005). Structure, agency and causality in post-revival Austrian economics: tensions and resolutions. Review of Political Economy, 17(2), 291–316. doi:10.1080/09538250500067320

Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (2013). The constructivist credo. Walnut Creek, CA: Left Coast Press, Inc. hal 59

Lopez, J. & Potter, G. (2001). After Postmodernism: An Introduction to Critical Realism. New York: Continuum International Publishing Group.

Mansilla, Veronica Boix (2005), Assessing Student Work at Disciplinary Crossroads.Marshall Catherine, 1999. Designing Qualitative Research 3rd, Edition, Sage

Publication, International Education and Professional Publisher, Thousand Oaks London New Delhi.

McTaggart, Robin (Ed). 1997. Participatory Action Research: International Con-texts and Consequences. New York: State University of New York Press.

Mihael T. Gibbons, Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer: Tafsir Politik, Judul Asli Interpreting Politics, 1987, diterjemahkan oleh Ali Noer Zaman, CV kalam Yogjakarta, 2002, hal. xxiii

Narayanamurti, Venkatesh, Tolu Odumosu, and Lee Vinsel. 2013. Discussion paper # 2013-02

Norman, A.L. 2013. Discovery, invention and innovation. http://www.laits.utex-as.edu/ ~anorman/long/DII.html. Blog

National Academy of Sciences (2004), Facilitating Interdisciplinary Research.Nazir, Moch., 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.Newell, William (2007a), Decision Making in Interdisciplinary Studies.Norman, A.L. 2013. Discovery, invention and innovation. http://www.laits.utex-

as.edu/ ~anorman/long/DII.html. BlogOECD (2015), Frascati Manual 2015: Guidelines for Collecting and Reporting Data

on Research and Experimental Development, The Measurement of Scientific, Technological and Innovation

Outhwaite, W. (1987). New Philosopies of Social Science: Realism, Hermeneutics, and Critical Theory. Basingstoke: Macmillan Education.

Peters, Linda D.; Pressey, Andrew D.; Vanharanta, Markus; Johnston, Wesley J. (2013): Constructivism and critical realism as alternative approaches to the

Modul PPJFP

study of business networks: Convergences and divergences in theory and in research practice. In Case Study Research in Industrial Marketing 42 (3), pp. 336-346. DOI: 10.1016/j.indmarman.2013.02.003.

Raadschelders, J C N. (2011). The Future of the Study of Public Administration: Embedding Research Object and Methodology in Epistemology and Ontol-ogy. Public Administration Review, November-December.

Raddon, Arwen. 2014. Early Stage Research Training: Epistemology and Ontol-ogy in Social Science Research. College of Social Science The University of Leicester.

Repko, Allen F (2011), Interdisciplinary Research: Process and Theory. Rhoten, Diana, Veronica Boix Mansilla, Marc Chun, and Julie T. Klein (2006) in

Interdisciplinary Education at Liberal Arts Institutions.Richard E Palmer ”Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi”, diterjemah-

kan Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Pustaka Belajar Offset, 2003. hal 14.

Suriasasmita, Jujun S., 1988, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Saidi, Anas. 2012. Makalah Metodologi Penelitian Sosial. (Tidak Diterbitkan).Science, Technology, and Public Policy Program Discussion Paper Series. “RIP:

The Basic/Applied Research Dichotomy.” Issues in Science and Technology, XXIX, no. 2. http://www.issues.org/29.2/Venkatesh.html

Silverman, David (ed) 1997.Qualitative Research, Theory, Method and Practice, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.

Smith, Christian (2010): What is a person? Rethinking humanity, social life, and the moral good from the person up. Chicago: University of Chicago Press.

Surbhi S. 2016. Difference between discovery and invention. http://keydifferenc-es.com/difference-between-discovery-and-invention.html#ixzz4YpBZdtkv.

Subhi S. 2016b. Difference between invention and invention http://keydifferenc-es.com/difference-between-invention-and-innovation.html#ixzz4YpAnQ-JcQ

Steinar. Kvale. Interviews An Introduction to Qualitative Research Interviewing. SAGE Publications. Thousand Oaks. London. New Delhi, 1996. p. 47.

Teddlie & Tashakkori (2009) Foundations of Mixed Methods Research: Integrat-ing Quantitative and Qualitative Approaches in the Social and Behavioral Sciences. Los Angeles: Sage Publications, Inc.

Tim. May,. Social Research Issue, Methods and Process, second Edition. Open University Press Buckingham.Philadelphia, 1999.p. 113.

Yin, Robert K. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Terjemahan dari Case Study Research Design and Methods. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

.

Modul PPJFP filosofi dan paradigma penelitian |65