Paradoks dan Perkembangan Studi Kasus sebagai Metode Penelitian
Landasan Dan Paradoks Dalam Matematika
-
Upload
mayyosi-sandri -
Category
Documents
-
view
183 -
download
13
description
Transcript of Landasan Dan Paradoks Dalam Matematika
A. Kebenaran Konsep-konsep dalam Matematika
Aksioma Peano memuat tiga term tak didefinisikan: ’0′, ‘bilangan’, dan ‘pengikut’ dan 5
buah aksioma. Term-term tak didefinisikan dapat diberi makna biasa, dan secara teoretis dalam
takhingga cara. Tetapi makna biasa ini harus mengubah kelima aksioma menjadi proposisi-
proposisi yang bernilai benar.Selanjutnya dapat diciptakan definisi kata-kata baru dari term-term
yang telah diberi makna biasa itu.Syaratnya definisi ini harus menjadi proposisi yang bernilai
benar. Dari definisi dan aksioma dalam makna biasa akan diperoleh teori-teori melalui deduksi
logis. Dengan demikian teori yang telah diperoleh dengan makna biasa ini menjadi sistem
matematika yang letak kebenarannya ada pada definisi-definisi itu.
G. Frege, Russell dan Whitehead telah secara rinci memberi makna biasa dari term-term tak
didefinisikan Peano dan membuat definisi-definisi dengan teknik lambang logika. ‘Bilangan 2′
dalam primitif Peano adalah kosong dari arti. Bilangan 2 adalah makna ‘biasa’. Bilangan alam 2
(biasa) adalah ciri khas dari koleksi himpunan-himpunan C terdiri dari objek-objek, yakni n(C) =
2. Bilangan 2 didefinisikan sebagai berikut: “Terdapat objek x dan objek y sedemikian rupa
sehingga (1) x C dan y C, (2) x y, (3) Jika z C adalah sebarang anggota di C, maka z = x atau z =
y” Dari definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa n(C) = 2 dengan pertolongan logika.
B. Kebenaran Matematika dalam Sains Empiris
Tiga term primitif Peano adalah ’0′, ‘bilangan’, dan ‘pengikut’, dapat diinterpretasikan
dengan makna biasa dengan banyak cara. Misalnya, primitif ‘bilangan’ diartikan bilangan alam
0, 1, 2, 3, … Primitif dalam makna biasa ini didefinisikan melalui konsep-konsep logika (ada 4
konsep pokok). Ternyata aksioma-aksioma Peano, melalui deduksi, menjadi proposisi-
proposisi.Selanjutnya jika perlu diteruskan dengan membuat definisi-definisi non-primitif
melalui prinsip-prinsip logika. Dengan cara ini seluruh teori matematika dapat dideduksi dengan
menggunakan konsep-konsep logika dan jika diperlukan ditambahkan ‘aksioma pilihan’ dan
‘aksioma infinit’. Dari kenyataan ini maka timbullah pemikiran bahwa matematika adalah
cabang logika.Akibat selanjutnya ialah bahwa kebenaran matematika terletak pada definisi-
definisi itu.Inilah letak kebenaran aksioma Peano dalam makna biasa.Berbeda dengan teori
geometri, geometri dipandang sebagai studi tentang struktur ruang fisik, maka primitif-
primitifnya harus dibangun dengan mengacu pada entitas fisik jenis tertentu.Jadi, dengan
demikian kebenaran teori geometri dalam interpretasi ini terletak pada persoalan empiris.
Tentang kegunaan matematika dalam sains empiris, harus dilihat dengan telaah lebih
mendalam.Sebagian terbesar perkembangan sains empiris (IPA dan IPS) telah diperoleh melalui
penerapan terus menerus proposisi-proposisi matematika.Akan tetapi perlu diingat, bahwa fungsi
matematika di sini bukan memprediksi, melainkan sebagai analisis atau ekspliaktif.Matematika
membuka asumsi-asumsi secara eksplisit atau membuka asersi-asersi yang termuat dalam
premis-premis argumen.Matematika membuka data, yakni, mana yang diketahui dan mana yang
dipersoalkan.Jadi, penalaran matematis dan logis adalah teknik konseptual membuka perangkat
premis-premis yang implisit menjadi premis-premis yang eksplisit.
C. Landasan dan Paradoks dalam Matematika
Krisis landasan dalam matematika selalu diawali dengan munculnya paradoks atau antinomi
dalam matematika sampai sekarang. Berikut krisis yang terjadi :
1. Krisis I. Pada abad ke-5 SM, muncul paradoks bahwa ukuran sama jenis (dalam geometri)
adalah proporsional. Konsekuensi dari paradoks ini menjadikan semua ‘teori proporsi’
model Pythagoras dicoret dan dinyatakan salah. Krisis ini tidak segera di atasi dan baru
sekitar 500 tahun kemudian oleh Eudoxus dengan penemuannya bilangan rasional pada
tahun 370 SM.
2. Krisis II. Pada abad ke-17, Newton dan Leibniz menemukan kalkulus. Hasil ini sangat
diagungkan karena penerapannya yang gemilang, dengan konsepnya ‘infinitesial’. Namun,
hasil-hasil penerapannya justru digunakan untuk menjelaskan landasannya. Krisis ini dapat
diatasi pada abad ke-19 oleh Cauchy dengan memperbaiki konsep kalkulus melalui konsep
‘limit’. Dengan aritmetisasi oleh Wierstrass, krisis landasan II telah diatasi.
3. Krisis III. Abad ke-19 Cantor menemukan teori himpunan. Teori ini disambut antusias oleh
para matematikawan dan teori himpunan telah menjadi landasan cabang-cabang
matematika. Pada tahun 1897 Burali Forti, Bertrand Russel mengajukan paradoks-
paradoks dalam teori himpunan. Salah satu bentuk paradox yang ditemukan Bertrand
Russel pada tahun 1919 mengenai janji seorang tukang cukur pada suatu warga desa
tempat ia tinggal dan mengumumkan suatu hukum bahwa ia akan mencukur siapa saja
orang-orang di desa itu dan hanya orang-orang di desa yang tidak mencukur sendiri
jenggotnya. Sama hal nya dengan paradox Epimenides seorang filsuf yang tinggal di pulau
Kereta pernah membuat pernyataan Warga pulau Kereta selalu berbohong. Hal ini
membuktikan bahwa pernyataan tersebut self-kontradiktori.
Setelah lahirnya paradox-paradoks yang membuat landasan matematika semakin goyah maka
para ahli mengusahakan solusi-solusi yang dapat mengatasi paradox-paradoks di atas.
Diantaranya solusi yang pertama mucul dari Zermelo pada tahun 1908 kemudian dilengkapi oleh
Fraenkel (1922,1925), Skolem (1922, 1929), Von Neumann (1925, 1928), dan Berneys (1937,
1948). Tetapi seiring berjalannya waktu, banyak kritik yang menganggap bahwa solusi tersebut
hanyalah membuang paradoks – paradoks tanpa penjelasan yang pasti.
Poincare memandang penyebab dari krisis III terletak pada definisi imperikatif yaitu definisi
yang melingkar. Russell pun mengatakan dalam bukunya Vicious Circle Principle (prinsip
lingkaran setan) :” Tidak dibenarkan himpunan S memuat anggota-anggota m yang dapat
didefinisikan hanya dalam term S atau anggota-anggota m disangka S”. selain itu, para pakar
mencari usaha lain untuk menghilangkan paradoks ttersebut melalui filsafat yang dipandang
sebagai penjelasan diluar sifat keteraturan dari suatu perangkat atau mencari sesuatu yang hakiki.
Ada tiga kelompok besar yang ingin mengatasi krisis ini, yaitu aliran logistis yang dipimpin oleh
Bertrand Russell dan Whitehead, aliran intuisionis yang dikembangkan oleh Brouwer serta aliran
formalis yang dipelopori oleh Hilbert.
1. Aliran logistis
Bertrand Russell dan Whitehead sebagai pimpinan aliran logistis menganggap bahwa
sebagai konsekuensi dari programnya, matematika adalah cabang dari logika. Oleh
karena itu, seluruh matematika sejak zaman kuno perlu dikonstruksi kembali ke dalam
term-term logika. Beberapa ahli pengikut aliran ini adalah Dedekid, Frege, Peano,
Wittgenstein, Cwistek, Ramsey, Langford Carnap dan Quine. Hasil program ini adalah
karya monumental “Principia Mathematica”. Dalam buku ini hukum ‘excluded middle’
dan hukum ‘kontradiksi’ adalah ekuivalen. Principia Mathematica juga mengembangkan
konsep dan teorema matematis dariide dan proposisi primitive, dimulai dengan suatu
kalkulus proposisi, berproses ke atas melalui teori kelas dan relasi sampai pembangunan
system bilangan alam, dan kemudian semua matematikandapat diturunkan dari system
bilangan alam. Kesulitan yang timbul dalam usaha mereka merakit beberapa metode
kuno untuk menghilangkan aksioma reduksi yang tidak disukai.
2. Aliran intuisionis
L. J. Brouwer mendirikan aliran intuisionis sejak 1908. Matematikawan dari Belanda ini
beranggapan sebagai konsekuensi dari programnya, bahwa logika adalah cabang dari
matematika. Matematika haruslah dapat dikonstruksi seperti bilangan alam dalam
sejumlah langkah finit. Pengikut aliran ini diantaranya Kronecker, Heyting, Weyl.
Mereka menolak hukum ‘excluded middle’ jika akan diberlakukan untuk langkah infinit.
Contoh dalam bilangan, misal dengan adalah banyaknya tempat decimal
dalam ekspansi decimal dimana barisan angka 123456789 dan jika yang demikian
tidak ada maka . Meskipun bilangan telah didefinisikan dengan baik, namun tidak
bias jika karena keterbatasan intuisi mengatakan bahwa proposisi adalah benar
atau salah tanpa kontruksi beberapa langkah finit. Jika bukti-bukti tidak di kontruksi
maka proposisi ini tidak dapat dinyatakan benar maupun salah sehingga hukum excluded
middle tidaklah sesuai. Namun, jika maka proposisi tersebut dapat dikontruksi
dalam sejumlah langkah finit sehingga jelas nilai kebenarannya. A. Heyting membangun
perangkat logika-intuisionis dengan lambang-lambang yang diciptakannya.Kesulitan
yang timbul adalah berapa banyak keberadaan matematika dapat dibangun tanpa
tambahan (perangkat logika) yang diperlukan.
3. Aliran formalis
Hilbert menganggap bahwa matematika, sebagai konsekuensi dari programnya, adalah
sistem lambang formal tanpa makna atau matematika adalah system lambang formal.
Hilbert bekerja sama dengan Bernays, Ackermann, Von Neumann, Veblen dan
Huttington. Untuk mengonstruksi seluruh matematika yang telah ada, diperlukan ‘teori
bukti’ untuk menjamin konsistensinya. Dengan lambang-lambang formal kaum formalis
menghasilkan karya monumentalnya “Grunlagen der Mathematik:”, jilid I dan II. Namun,
K. Godel, matematikawan Italia menunjukkan bahwa konsistensi suatu perangkat
aksioma karya Hilbert ‘tak dapat ditentukan’, bahkan sebelum buku Hilebrt II diterbitkan.