Lampiran ANALISA GENDER DAN PENGHIDUPAN MASYARAKAT … Gender di Cirebon.pdfcatharina indirastuti...

55
catharina indirastuti for UNDP 1 Lampiran ANALISA GENDER DAN PENGHIDUPAN MASYARAKAT Desa Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon 1. PENDAHULUAN Laporan ini merupakan hasil penelusuran berbagai persoalan terkait gender dan penghidupan masyarakat desa Babakan, kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Penelusuran pola hidup masyarakat dan berbagai persoalan terkait relasi dan posisi gender, serta penghidupan masyarakat ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasi potensi dan risiko yang dapat dihadapi dalam upaya mengembangkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat terpadu di desa ini. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka implementasi salah satu program kerja Kementerian Perindustrian Republik Indonesia bekerjasama dengan United Nations Development Program (UNDP). Kementerian Perindustrian RI bekerja sama dengan United Nations Development Program (UNDP) saat ini tengah melakukan upaya untuk memenuhi kewajiban negara sejalan dengan telah diratifikasinya Konvensi Stockholm, terutama terkait pengurangan pelepasan bahan kimia berbahaya seperti Polybromodiphenyl Ethers (PBDEs) dan Unintentional Persistent Organic Pollutants (UPOPs) yang berasal dari sektor industri, baik industri manufaktur plastik orisinal maupun industri daur ulang plastik dan industri pengolahan limbah. Analisis tentang gender dan penghidupan masyarakat desa Babakan Ciwaringi 1 ini dilakukan untuk memberi masukan dalam proses pengembangan skema pemilahan dan pengumpulan sampah yang tepat, serta pengaturan logistik yang sesuai dengan konteks desa dan masyarakat setempat agar dapat menciptakan solusi bagi pengelolaan sampah plastik, baik yang dapat didaur ulang maupun yang tidak dapat didaur ulang. Beberapa mini depo tengah dibangun di sentra-sentra industri daur ulang plastik, di berbagai komunitas masyarakat di berbagai wilayah dan di balai-balai pelatihan yang menjadi inisiatif negara untuk memenuhi kebutuhan pusat pembelajaran terkait isu pengelolaan sampah, khususnya sampah yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pelatihan dan pengembangan kapasitas para pemangku kepentingan dan kelompok penerima manfaat juga terus dilakukan untuk mendukung hal ini. Desa Babakan Ciwaringin merupakan salah satu lokasi yang terpilih menjadi basis penguatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan sebuah mini depo yang akan menjadi pusat pengolahan sampah terpadu sedang dibangun di wilayah ini. Untuk itu, pemetaan kehidupan masyarakat desa Babakan Ciwaringin harus dilakukan untuk memahami berbagai persoalan seputar sampah (plastik) dan berbagai aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat di desa Babakan Ciwaringin, Cirebon, khususnya pada komunitas masyarakat yang hidup di sekitar mini depo. Pengelolaan mini depo, yang akan dikembangkan dengan menggunakan sistem bank sampah, membutuhkan pelibatan masyarakat setempat secara aktif. Pengelolaan bank sampah dilakukan pertama-tama dengan membangun kebiasaan mengelola sampah dengan baik dari level rumah tangga/tempat tinggal. Pengelolaan sampah yang baik dengan pemilahan yang dilakukan sejak pertama kali sampah dibuang oleh penggunanya akan sangat membantu proses pemilahan sampah pada tahap-tahap selanjutnya. Oleh karena itu, proses edukasi dan sosialisasi mengenai pengelolaan 1 Untuk selanjutnya desa Babakan disebut desa Babakan Ciwaringin untuk membedakan dari desa dengan nama serupa.

Transcript of Lampiran ANALISA GENDER DAN PENGHIDUPAN MASYARAKAT … Gender di Cirebon.pdfcatharina indirastuti...

catharinaindirastutiforUNDP 1

Lampiran

ANALISA GENDER DAN PENGHIDUPAN MASYARAKAT Desa Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon

1. PENDAHULUAN

Laporan ini merupakan hasil penelusuran berbagai persoalan terkait gender dan penghidupan masyarakat desa Babakan, kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Penelusuran pola hidup masyarakat dan berbagai persoalan terkait relasi dan posisi gender, serta penghidupan masyarakat ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasi potensi dan risiko yang dapat dihadapi dalam upaya mengembangkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat terpadu di desa ini. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka implementasi salah satu program kerja Kementerian Perindustrian Republik Indonesia bekerjasama dengan United Nations Development Program (UNDP). Kementerian Perindustrian RI bekerja sama dengan United Nations Development Program (UNDP) saat ini tengah melakukan upaya untuk memenuhi kewajiban negara sejalan dengan telah diratifikasinya Konvensi Stockholm, terutama terkait pengurangan pelepasan bahan kimia berbahaya seperti Polybromodiphenyl Ethers (PBDEs) dan Unintentional Persistent Organic Pollutants (UPOPs) yang berasal dari sektor industri, baik industri manufaktur plastik orisinal maupun industri daur ulang plastik dan industri pengolahan limbah. Analisis tentang gender dan penghidupan masyarakat desa Babakan Ciwaringi1 ini dilakukan untuk memberi masukan dalam proses pengembangan skema pemilahan dan pengumpulan sampah yang tepat, serta pengaturan logistik yang sesuai dengan konteks desa dan masyarakat setempat agar dapat menciptakan solusi bagi pengelolaan sampah plastik, baik yang dapat didaur ulang maupun yang tidak dapat didaur ulang. Beberapa mini depo tengah dibangun di sentra-sentra industri daur ulang plastik, di berbagai komunitas masyarakat di berbagai wilayah dan di balai-balai pelatihan yang menjadi inisiatif negara untuk memenuhi kebutuhan pusat pembelajaran terkait isu pengelolaan sampah, khususnya sampah yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pelatihan dan pengembangan kapasitas para pemangku kepentingan dan kelompok penerima manfaat juga terus dilakukan untuk mendukung hal ini. Desa Babakan Ciwaringin merupakan salah satu lokasi yang terpilih menjadi basis penguatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan sebuah mini depo yang akan menjadi pusat pengolahan sampah terpadu sedang dibangun di wilayah ini. Untuk itu, pemetaan kehidupan masyarakat desa Babakan Ciwaringin harus dilakukan untuk memahami berbagai persoalan seputar sampah (plastik) dan berbagai aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat di desa Babakan Ciwaringin, Cirebon, khususnya pada komunitas masyarakat yang hidup di sekitar mini depo. Pengelolaan mini depo, yang akan dikembangkan dengan menggunakan sistem bank sampah, membutuhkan pelibatan masyarakat setempat secara aktif. Pengelolaan bank sampah dilakukan pertama-tama dengan membangun kebiasaan mengelola sampah dengan baik dari level rumah tangga/tempat tinggal. Pengelolaan sampah yang baik dengan pemilahan yang dilakukan sejak pertama kali sampah dibuang oleh penggunanya akan sangat membantu proses pemilahan sampah pada tahap-tahap selanjutnya. Oleh karena itu, proses edukasi dan sosialisasi mengenai pengelolaan

1 Untuk selanjutnya desa Babakan disebut desa Babakan Ciwaringin untuk membedakan dari desa dengan nama serupa.

catharinaindirastutiforUNDP 2

sampah di tingkat komunitas menjadi sangat penting untuk mendorong pengoperasian mini depo secara optimal dan untuk memastikan keberlanjutan pemanfaatan mini depo dalam jangka panjang. Selain itu, pemanfaatan mini depo dengan pola pengelolaan yang mengambil model pengelolaan sampah sebagai industri daur ulang – dan bukan hanya sekedar pengumpulan dan pemusnahan sampah – diharapkan dapat mengubah pandangan masyarakat tentang nilai sampah untuk membangun perilaku yang lebih bertanggungjawab atas sampah yang dihasilkan. Desa Babakan Ciwaringin sendiri memiliki profil masyarakat yang unik karena sebagian besar anggota masyarakat adalah masyarakat pendatang berusia muda yang menyantri di banyak pesantren di wilayah ini. Hal ini menyebabkan perencanaan metode sosialisasi, edukasi dan pendampingan masyarakat untuk membangun kebiasaan mengelola sampah dengan baik menjadi sangat berbeda dari karakteristik komunitas pada umumnya. Oleh karena itu, selain pelibatan masyarakat desa, pelibatan anggota masyarakat yang merupakan murid-murid dan penghuni pesantren di lingkungan desa Babakan Ciwaringin harus dilakukan untuk memastikan pengelolaan mini depo dapat berlangsung secara optimal. Laporan ini secara khusus disusun untuk memberikan gambaran sederhana mengenai pola hidup masyarakat, sumber-sumber penghidupan dan peran-peran yang dijalankan oleh masyarakat perempuan dan laki-laki dalam mengelola kehidupan sehari-hari. Mengingat pendekatan penelitian yang dipilih untuk membangun pemahaman mengenai masyarakat desa Babakan Ciwaringin bersifat kualitatif yang dilengkapi dengan penelusuran informasi dari sumber data sekunder, maka situasi kehidupan masyarakat yang digambarkan lebih bersifat kasuistik untuk membangun pemahaman mendalam mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat desa Babakan Ciwaringin, baik yang hidup di dalam maupun di luar lingkungan pesantren. Seluruh proses penelitian dan penulisan laporan dilakukan dalam periode Juli-Oktober 2018.

catharinaindirastutiforUNDP 3

2. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN KEPENDUDUKAN DESA BABAKAN CIWARINGIN Desa Babakan terletak di kecamatan Ciwaringin, kabupaten Cirebon, provinsi Jawa Barat. Desa seluas sekitar 750 Ha dengan medan datar, dengan luas wilayah pemukiman penduduk sebesar 583 Ha ini, terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka, berjarak sekitar 30km dari pusat kabupaten Cirebon. Lahan desa Babakan Ciwaringin terbagi atas pemukiman penduduk, sawah dengan irigasi, pekarangan, tegalan, wilayah penggembalaan, kolam tambak dan wilayah kayu-kayuan dengan pembagian luas wilayah sebagai berikut.

Tabel 1. Pembagian Fungsi Lahan Desa Babakan Ciwaringin2 FUNGSI LAHAN LUAS (HEKTAR)

Pemukiman Penduduk 583 Sawah dengan Irigasi 96 Pekarangan 47 Tegalan 20 Penggembalaan 3 Kolam Tambak 0,7 Tanaman kayu-kayuan 5

Wilayah desa Babakan Ciwaringin terbagi atas enam Rukun Warga (RW) - atau sering disebut sebagai blok oleh masyarakat setempat - dan empat belas Rukun Tetangga (RT). Ke 6 Rukun Warga tersebar dalam wilayah memanjang dari utara ke selatan dengan pemanfaatan wilayah, selain sebagai pemukiman, sebagai sawah dengan irigasi, pekarangan dan tegalan. Pemukiman penduduk terpadat terdapat di wilayah blok 2 dan blok 3 dimana sebagian besar pesantren terpusat, terutama di blok 2. Sawah, pekarangan dan tegalan lebih banyak terdapat di wilayah blok 5 dan 6, sementara di wilayah blok 1 lebih banyak terdapat industri rumahan jual beli besi dan pabrik pembuatan batu-bata dan genteng. Penyebaran wilayah ini terbentuk dari/dan membentuk karakteristik wilayah dan sumber penghidupan masyarakat yang berbeda-beda. Adapun jumlah keluarga di masing-masing RW di desa Babakan Ciwaringin adalah sebagai berikut.

Tabel 1b. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Babakan Ciwaringin3 WILAYAH JUMLAH KK

Rukun Warga I 157 Rukun Warga II 208 Rukun Warga III 348 Rukun Warga IV 151 Rukun Warga V 278 Rukun Warga VI 182

2 Berdasarkan data 2016 dalam Laporan Pertanggungjawaban Kelompok Kuliah Kerja Nyata (K2N) Universitas Indonesia pada tahun 2017 di desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. 3 Sumber: Data Desa tahun 2017 seperti diinformasikan oleh aparat desa.

catharinaindirastutiforUNDP 4

Gbr.1 Peta Desa Babakan Ciwaringin4 Berdasarkan observasi lapangan, hampir semua wilayah terhubung dengan jalan-jalan yang terawat baik. Desa Babakan Ciwaringin memiliki wilayah pemukiman yang cukup padat, sebagian wilayah dapat dicapai melalui gang-gang yang hanya dapat dilewati kendaraan roda dua. Di wilayah RW 02 dan 03 dimana sebagian besar pondok pesantren berdiri, rumah penduduk rapat berdiri berdampingan dengan bangunan-bangunan tinggi pesantren. Desa Babakan Ciwaringin memiliki penduduk terdata di kantor desa sebanyak 4.678 jiwa5 yang terbagi atas 1324 KK. Namun desa ini merupakan desa dengan komposisi masyarakat yang unik, karena selain penduduk yang terdata di kantor desa, terdapat sekitar 6.500 orang6 pendatang yang terdata datang untuk hidup di 45 pesantren yang ada di wilayah desa Babakan Ciwaringin. Dengan demikian, secara total terdapat hampir 11.000 jiwa yang hidup di desa Babakan Ciwaringin, baik sebagai warga desa biasa di wilayah pemukiman yang ada, maupun sebagai santri di pondokan pesantren. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, baik dari pesantren maupun non-pesantren adalah sebagai berikut.

4 Sumber: googlemaps.com dengan citra satelit 5 Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia 2017, Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia, Depok, 2017, hal. 8 6 Data jumlah pesantren dan santri diperoleh dari Persatuan Seluruh Pesantren Babakan,

catharinaindirastutiforUNDP 5

Tabel 2. Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Desa Babakan7 Perempuan Laki-laki Total

Penduduk Pesantren tahun 2017/2018 3379 3141 6520 Penduduk Non-Pesantren tahun 2016 2355 2323 4678

Data untuk masyarakat desa Babakan Ciwaringin yang tercatat di Kantor Desa menunjukkan bahwa kelompok usia tua di atas 55-69 tahun memiliki jumlah yang cukup signifikan dengan presentase sekitar 30 persen, sedangkan usia produktif dari 24-54 tahun sekitar 40 persen, sedangkan usia sekolah dari 5-19 tahun sekitar 16,5 persen dan usia BALITA sekitar 13 persen. Sayangnya, tidak terdapat data yang cukup akurat mengenai jumlah santri berdasarkan usia, namun berdasarkan wawancara kualitatif diperoleh perkiraan bahwa usia santri sebagian besar tersebar antara 10 tahun – 18 tahun. Banyaknya jumlah pesantren yang terdapat di wilayah desa Babakan Ciwaringin diikuti dengan banyaknya lembaga pendidikan yang didirikan di wilayah ini. Data yang dimiliki PSPB menunjukkan bahwa pada tahun 2017/2018 setidaknya terdapat 2 lembaga pendidikan setingkat Taman Kanak-kanak, 7 lembaga pendidikan setingkat SD (SD Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah), 9 lembaga pendidikan setingkat SMP (SMP Negeri dan Madrasah Tsanawiyah), serta 9 lembaga pendidikan setingkat SMA (Madrasah Aaliyah Negri, SMK dan Madrasah Aaliyah Swasta). Bahkan terdapat sedikitnya 5 lembaga pendidikan tingkat tinggi di desa ini yang memang secara khusus lebih terfokus pada ilmu-ilmu agama (Mahad Aly, STAIMA, ST Dakwah). Lembaga-lembaga pendidikan ini dikelola baik di dalam lingkungan pesantren tertentu maupun di luar lingkungan pesantren. Murid-murid pesantren dapat bersekolah di lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan pesantren. Pesantren-pesantren dengan jumlah santri yang lebih banyak umumnya memiliki lembaga pendidikan sendiri. Sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah yang ada di desa Babakan Ciwaringin pun cukup beragam, mulai dari sekolah negeri sampai sekolah swasta dengan pendekatan yang lebih modern (seperti sistem full-day school dan bahasa Inggris yang diterapkan pada Sekolah Tunas Cendekia). Beberapa sekolah di wilayah ini merupakan sekolah favorit di Kabupaten Cirebon dengan seleksi masuk yang cukup ketat dan biaya pendidikan yang relatif tinggi. Banyaknya lembaga pendidikan dan tersohornya kualitas pendidikan di desa ini mengundang murid-murid tidak hanya dari dalam desa namun juga dari luar desa, bahkan dari kota Cirebon. Bahkan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang ada di desa ini pun mengundang murid-murid yang datang dari desa tetangga, seperti desa Budur atau desa Tangkil. Jumlah murid yang bersekolah di lembaga pendidikan di desa ini, baik di dalam maupun di luar lingkungan pesantren, mencapai hampir 10.000 murid 8 . Kualitas sekolah yang dapat dimasuki oleh murid-murid pesantren tertentu akan menentukan minat santri baru untuk mondok di pesantren tersebut. Semakin banyak santri yang bersekolah pada sekolah favorit dari pesantren tertentu di desa Babakan Ciwaringin, semakin diminatilah pesantren tersebut oleh santri-santri baru. Banyaknya lulusan pesantren di desa Babakan Ciwaringin yang menjadi tokoh terpandang – termasuk beberapa orang menteri negara - membuka desa ini pada dunia luar. Pertemuan-pertemuan yang mengundang tokoh-tokoh alumni pesantren di wilayah ini, termasuk mantan Presiden Republik Indonesia Abdurrachman Wahid (alm) yang sempat mondok di salah satu pesantren di desa ini, membuat nama desa Babakan Ciwaringin dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan agama Islam terkemuka di negara ini.

7 Data diperoleh dari dua sumber berbeda, data jumlah santri laki-laki dan perempuan merupakan data dari Persatuan Seluruh Pesantren Babakan dari data tahun ajaran 2017/2018, sedangkan data penduduk desa diperoleh dari Laporan Kegiatan KKN Universitas Indonesia tahun 2017 dengan data penduduk tahun 2016. 8 Persatuan Seluruh Pesantren Babakan (PSPB), Data Jumlah Lembaga Pendidikan di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon tahun 2017-2018, Oktober 2017.

catharinaindirastutiforUNDP 6

Banyaknya lembaga pendidikan yang terdapat di desa Babakan Ciwaringin sayangnya tidak diikuti dengan tingginya tingkat pendidikan masyarakat desa non-pesantren. Data tahun 2015 menunjukkan bahwa lebih dari setengah penduduk desa Babakan Ciwaringin hanya mencapai pendidikan setingkat SD, hanya sekitar 20 persen penduduk yang sampai di bangku SMP/sederajat dan hanya 15 persen yang mencapai tingkat SMA/sederajat. Penduduk desa Babakan Ciwaringin yang mencapai pendidikan setingkat perguruan tinggi hanya sekitar 2 persen saja. Padatnya penduduk, terbukanya akses menuju wilayah kota dan kabupaten, banyaknya masyarakat yang bekerja di luar wilayah desa Babakan Ciwaringin serta masuknya penduduk dari luar desa untuk mondok di pesantren-pesantren di desa ini menyebabkan desa Babakan Ciwaringin menjadi relatif lebih maju dan terbuka dari desa-desa lainnya. Dari hasil observasi, sebagian besar wilayah desa Ciwaringin lebih tampak seperti urban, dengan rumah-rumah tembok yang padat dan gang-gang kecil yang banyak dilalui kendaraan bermotor. Hampir tidak ada rumah yang tidak terbuat dari tembok bata yang didesain dengan baik. Berbagai jenis jajanan populer juga tampak tersedia di wilayah sekitar sekolah-sekolah dan berbagai merek makanan, minuman dan produk kebersihan tersedia pada warung-warung yang banyak tersebar, khususnya di wilayah dengan penduduk yang padat. Terdapat beberapa kelompok bentukan pemerintah seperti PKK dan Karang Taruna, juga lembaga pemerintah seperti LPMD dan Posyandu. Namun demikian, menurut laporan K2N Universitas Indonesia tahun 2017, Karang Taruna desa Babakan Ciwaringin pada saat ini tidak lagi aktif berkegiatan, kecuali di RW 5 dan RW 3. Tidak ada puskesmas atau pustu di desa ini, sehingga persoalan kesehatan ditangani oleh seorang bidan desa. Di beberapa pesantren besar terdapat Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) yang khusus menangani masalah-masalah kesehatan para santri saja. Namun demikian Posyandu dan Posbindu berjalan dengan baik, terutama di wilayah-wilayah yang tidak didominasi oleh pondok pesantren. Dalam wawancara dengan salah satu pengurus PKK disebutkan bahwa tidak banyak kegiatan yang dilakukan oleh kelompok PKK untuk masyarakat desa. Kegiatan PKK lebih banyak melibatkan para anggota PKK yang aktif yang terdiri dari 6 orang anggota. Kegiatan yang dilakukan adalah mengikuti pertemuan PKK di tingkat kecamatan yang rutin dilakukan sebulan sekali. Dalam pertemuan bulanan di tingkat kecamatan banyak diadakan pelatihan-pelatihan pertanian, pengolahan pangan, pengembangan wirausaha, dan juga pelatihan untuk pengembangan diri. Namun meskipun telah diadakan berbagai pelatihan untuk pengembangan wirausaha, sampai saat belum ada kelompok wirausaha yang dikembangkan atas inisiatif PKK. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersosialisasi dengan baiknya berbagai pengetahuan yang diperoleh anggota PKK yang memiliki akses atas berbagai pelatihan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya. Sedikitnya jumlah anggota PKK yang aktif bekerja menurut aparat desa disebabkan karena tidak ada imbalan uang untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan sementara sebagian besar masyarakat desa, terutama kaum perempuan, sehari-hari harus bekerja penuh untuk menopang hidup mereka. Mengikuti kegiatan di desa berarti kehilangan upah harian yang dapat mereka peroleh di tempat kerja. Selain PKK, kegiatan yang cukup aktif dilakukan dan membangun berinteraksi masyarakat desa adalah Posyandu. Sebagian kader Posyandu desa adalah juga anggota PKK. Kegiatan Posyandu dilakukan setiap bulan dengan melakukan penimbangan, imunisasi dan pemeriksaan penyakit-penyakit tidak menular. Kegiatan Posyandu difokuskan pada anak-anak dan anggota masyarakat manula. Pemberian imunisasi merupakan satu tantangan tersendiri di desa Babakan Ciwaringin, khususnya di lingkungan pesantren. Untuk mencapai target imunisasi di lingkungan pesantren, para kader posyandu harus mengetuk pintu rumah keluarga santri dan keluarga ustadz satu persatu dan menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan. Untungnya saat ini keluarga santri muda tidak sekaku generasi sebelumnya.

catharinaindirastutiforUNDP 7

Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa “komunikasi yang kurang baik antara pihak masyarakat dan perangkat desa juga menjadi salah satu tantangan tersendiri … perangkat desa terkesan cukup lamban dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di Desa Babakan. Sebagian besar masyarakat cenderung tidak peduli terhadap kegiatan-kegiatan lingkungan dan terlalu menyalahkan pondok pesantren sebagai penyumbang sampah terbesar di desa Babakan . Hal ini menyebabkan terdapat celah yang cukup besar antara masyarakat desa dan pondok pesantren”9. Pandangan ini menggarisbawahi interaksi antara masyarakat desa – aparat desa – pondok pesantren yang tidak selalu lancar dan terbuka. Upaya untuk membangun sinergi antara ketiga elemen yang penting bagi desa Babakan Ciwaringin ini seharus menjadi salah satu tahapan penting untuk menjamin keberlanjutan program pengelolaan sampah masyarakat, terutama jika apa yang akan dilakukan ingin dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat, baik penduduk asli Babakan Ciwaringin maupun penduduk pendatang.

9 Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia 2017, Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia, Depok, 2017, hal.22

catharinaindirastutiforUNDP 8

3. PENGHIDUPAN MASYARAKAT DESA BABAKAN CIWARINGIN DAN BERBAGAI PERSOALAN BERBASIS GENDER

Penghidupan masyarakat desa Babakan Ciwaringi sangat dipengaruhi oleh bentang alam dan bentang kehidupan di wilayah ini. Dalam satu wilayah desa terdapat beragam sumber penghidupan bagi masyarakat desa. Umumnya sumber-sumber penghidupan sejenis ada pada satu blok desa tertentu yang dikelola oleh keluarga dan kerabat bersama-sama. Di wilayah RW 2 dan RW 3, dimana banyak terdapat pesantren, penduduk yang tinggal di sekitar wilayah pesantren umumnya membuka usaha sebagai pedagang yang menyediakan kebutuhan sehari-hari para santri. Di sekitar desa dapat dijumpai pedagang makanan, tempat foto kopi, penjual alat tulis, juga penjual pakaian muslim. Penjaja dagangan dengan gerobak mendominasi wilayah RW 2 terutama pada jam-jam istirahat dan pulang sekolah. Di wilayah ini jumlah penduduk lebih sedikit daripada jumlah pendatang. Di wilayah utara, wilayah RW 5 dan 6, yang dikelilingi areal persawahan, sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani atau buruh tani. Wilayah ini cenderung memiliki penduduk yang lebih jarang karena sebagian besar wilayah didominasi persawahan dan pekarangan. Sedangkan RW 3 jumlah penduduk lokal cukup banyak dibandingkan penduduk pendatang, dan cukup banyak perempuan dari RW ini yang bekerja merantau sebagai buruh migran. Buruh migran juga banyak datang dari RW 5 dan RW 6. Hampir semua warga di tiga wilayah ini memiliki anggota keluarga perempuan yang menjadi buruh migran. Awalnya banyak penduduk perempuan yang menjadi buruh migran di Arab Saudi, namun ketika dilakukan moratorium, mereka pindah ke Hong Kong, Taiwan atau Malaysia. Hal ini mulai terjadi sejak tahun 201510. Berdasarkan perkiraan aparat desa, terdapat lebih dari 100 pekerja perempuan desa yang bekerja sebagai buruh migran. Jumlah ini menurun dari sebelum dilakukan moratorium untuk buruh migran ke Arab Saudi. Pada saat itu, lebih dari 50% penduduk perempuan pergi sebagai buruh migran. Saat ini, umumnya perempuan yang berusia antara lulus SMA hingga 35 tahun, yang belum menikah, yang berani pergi bekerja sebagai buruh migran, terutama karena tidak banyak yang berani bepergian ke Hong Kong dan Taiwan karena persoalan makan yang tidak halal. Menurunnya angka buruh migran juga karena telah lebih banyak lapangan kerja yang tersedia di lingkungan sekitar desa, seperti pabrik garmen atau pabrik terakota. Buruh migran perempuan yang sebelumnya bekerja di Arab Saudi juga banyak bekerja di pabrik batubara. Mereka bekerja di bagian packing atau mengayak/memilah batubara. Pekerja di pabrik batubara adalah perempuan. Banyak penduduk dari blok 5 yang bekerja sebagai buruh pabrik batubara. Rata-rata rumah tangga memiliki penghasilan baik dari suami maupun istri. Kegiatan-kegiatan desa, seperti PKK, hanya dilakukan oleh beberapa perempuan dan istri aparat desa. a. Blok Kasab: Pengusaha-pengusaha Desa yang Lahir dari Kondisi Serba-Kekurangan Blok 1 merupakan wilayah paling kering dari seluruh wilayah desa Babakan Ciwaringin. Pada awalnya blok 1 merupakan wilayah dengan penduduk termiskin dari seluruh desa Babakan Ciwaringin karena sedikitnya cadangan air tidak memungkinkan masyarakat hidup dari pertanian seperti wilayah lainnya. Pada saat itu, untuk memperoleh air, warga blok 1 harus menggali sumur bor yang sangat sulit dilakukan karena tidak memiliki biaya yang mencukupi. Sulitnya penghidupan menyebabkan banyak warga desa yang hidup wilayah di blok 1 memilih untuk bekerja merantau ke kota-kota besar, seperti Jakarta. Salah satu jenis usaha yang berhasil dikembangkan masyarakat wilayah blok 1 di Jakarta adalah usaha jual beli besi. Usaha ini kemudian dibawa kembali ke desa Babakan Ciwaringin dan satu persatu keluarga yang hidup di blok 1 desa Babakan Ciwaringin mulai kembali ke desa dan membuka usaha jual beli besi di desa Babakan Ciwaringin. Hal ini mulai terjadi sekitar tahun 1980-an ketika satu persatu usaha jual beli besi mulai 10 Aparat desa yang diwawancarai juga pernah menjadi buruh migran di Arab Saudi selama 6 tahun.

catharinaindirastutiforUNDP 9

muncul di blok 1 desa Babakan Ciwaringin. Ketika itu, usaha pertama dibuka oleh keluarga H. Parta yang membawa pengetahuan tentang usaha jual beli besi ketika ia bekerja pada orang lain di Jakarta. Awalnya, usaha jual beli besi ini merupakan usaha jual beli besi rongsokan. Namun usaha ini semakin berkembang dan saat ini tidak hanya besi rongsokan saja yang diperjualbelikan di desa Babakan Ciwaringin, namun juga usaha jual beli besi dengan bahan baru. Usaha jual beli besi yang dijalankan di desa Babakan melayani kebutuhan pasar sampai ke luar pulau Jawa. Para pengusaha umumnya pergi ke Jakarta untuk mencari bahan baku besi yang dibutuhkan, mengolah besi sesuai pesanan dan kemudian mengirimkan pada pelanggan mereka. Menurut salah satu pengusaha besi di sana, selalu ada pasar yang membutuhkan besi untuk pembangunan, namun seringkali para pengusaha tidak memperoleh bahan baku yang cukup untuk permintaan yang ada. Jaringan jual beli yang kuat dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan usaha, oleh sebab itu usaha besi yang dijalankan oleh warga blok 1 desa Babakan Ciwaringin lebih banyak dijalankan dalam “dinasti” keluarga. Seorang kepala keluarga akan memulai usaha, dan ketika anak laki-lakinya cukup besar (yang termuda biasanya adalah setamat SMP), ia akan ikut bekerja di bengkel keluarga. Tugas yang harus dilakukan anak laki-laki adalah tugas-tugas yang dilakukan buruh harian, mulai dari mengangkat bahan baku, mengelas, mengamplas, membentuk besi sesuai pesanan dan berbagai pekerjaan kasar lainnya. Setelah ia menguasai ketrampilan untuk mengolah besi, maka ia akan mulai dilibatkan untuk melakukan pembelian bahan baku besi di Jakarta, Bandung atau Cilegon. Dengan turut dalam proses membeli bahan baku, anak laki-laki akan diperkenalkan pada jaringan jual beli besi yang dimiliki anaknya. Sangat penting untuk menjaga jaringan ini tetap tertutup karena persaingan untuk memperoleh bahan baku cukup tinggi. Anak laki-laki yang tengah belajar ini juga mulai dikenalkan dengan para pelanggan dari berbagai kota yang mengambil besi dari usaha mereka. Pengelolaan usaha, uang dan berbagai pengembangan usaha lainnya juga diajarkan pada anak laki-laki dalam keluarga secara turun temurun. Ketika anak laki-laki sudah siap, maka ia akan diberi modal oleh orang tuanya untuk membuka usaha sendiri. Membuka usaha dalam jaringan keluarga merupakan hal yang penting untuk mengembangkan usaha mereka. Bisnis jual beli besi tidak menjadi terlalu besar pada satu tempat, namun justru dipecah menjadi beberapa usaha kecil/menengah yang dijalankan bersama-sama dalam jaringan keluarga. Jika keluarga pengusaha besi memiliki anak perempuan, maka ia akan dijodohkan dengan rekan kerja atau pegawai dalam usaha ini yang dianggap menjanjikan. Dengan demikian, seluruh anggota keluarga tetap memiliki hidup yang terjamin dari bisnis yang mereka jalankan bersama-sama. Dalam salah satu wawancara dengan keluarga pengusaha jual beli besi, terlihat bagaimana dikotomi peran domestik dan publik terbagi secara kaku antara anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Usaha ini umumnya dimulai oleh suami/ayah atau anggota keluarga laki-laki dalam keluarga. Banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan di luar kota untuk mencari bahan baku ataupun mengirimkan barang yang dipesan membentuk pandangan bahwa laki-laki dalam keluarga-lah yang harus mengelola usaha ini. Pekerjaan di dalam bengkel besi yang banyak melakukan kerja fisik juga dipandang lebih sesuai untuk pekerja laki-laki. Oleh sebab itu, jarang sekali anggota keluarga perempuan yang terjun dalam bisnis ini. Anggota keluarga perempuan umumnya bertanggung jawab penuh untuk mengelola rumah tangga dan merawat anak-anak; juga mengelola keuangan keluarga, setelah penghasilan usaha suami mereka dipotong untuk modal usaha. Usaha yang dikembangkan melalui jaringan keluarga ini saat ini banyak ditemui di wilayah blok 1. Perbaikan penghidupan tampak jelas terlihat dengan semakin banyaknya warga wilayah blok 1 yang memilih membangun usaha. Rumah-rumah besar dengan halaman luas dan pagar tinggi banyak terdapat di sepanjang jalan-jalan di wilayah ini. Toko dan workshop besi banyak tersebar di jalan-jalan utama dan suara mesin las dan mesin pemotong besi mengisi ruang udara di wilayah ini. Situasi lingkungan blok 1 mulai membaik dan kesulitan air tertangani dengan masuknya air PAM di lingkungan ini. Penduduk blok 1 menjadi terkenal sebagai pengusaha – yang membedakan mereka dari penduduk desa dari blok-blok lainnya. Hampir semua pengusaha besi di desa Babakan Ciwaringin telah menunaikan ibadah haji dari hasil usaha mereka. Hal ini menjadi salah satu lambang keberhasilan keluarga: dalam membangun keluarga, membangun usaha dan mengumpulkan uang

catharinaindirastutiforUNDP 10

dan dalam mempelajari ilmu agama. Berkembangnya wirausaha di blok 1 desa Babakan Ciwaringin membuat blok ini sering disebut “Blok Kasab” – yang berarti “Blok Usaha” dalam bahasa Arab. Penamaan ini juga menunjukkan bagaimana warga blok 1 telah berubah menjadi orang-orang yang menghargai uang dan telah berhasil mengubah hidupnya dengan berdagang. Tidak semua penduduk wilayah blok 1 memiliki usaha jual beli besi. Sebagian penduduk yang tidak memiliki cukup modal atau ketrampilan untuk membuka usaha sendiri bekerja sebagai pekerja harian pada industri jual beli besi ini. Dengan gaji berkisar 70-100ribu rupiah perhari, para pekerja dapat memperoleh penghasilan 1,5juta per bulannya. Buruh harian yang bekerja pada usaha besi yang ada di desa Babakan Ciwaringin tidak semuanya berasal dari desa Babakan Ciwaringin, sebagian datang dari desa tetangga seperti desa Budur dan Tangkil. Tidak mudah untuk mendapatkan buruh harian dari blok 1 sendiri, karena ketika mereka memiliki modal umumnya warga blok 1 akan mulai membuka usaha kecil-kecilan sendiri. Usaha yang terhitung kecil di wilayah blok 1 umumnya memiliki 4-5 orang pekerja harian, sedangkan usaha yang lebih besar menampung hingga 20 orang pekerja harian. Dengan harga besi antara 7000-10.000 rupiah perkgnya dan keuntungan penjualan sekitar 10 persen, serta rata-rata penjualan hingga 30 ton perminggu, maka seorang pengusaha besar dapat memperoleh keuntungan bersih sedikitnya 20 juta rupiah dalam seminggu. Semua keuntungan bersih yang diperoleh setiap hari dibagi untuk menjadi mengembangkan modal usaha kembali dan untuk kebutuhan sehari-hari. Menurut pengakuan para istri pengusaha, keuntungan yang didapatkan semuanya diberikan pada istrinya untuk dikelola. Sisa dari berbelanja ditabung dalam bentuk emas-emasan dalam bentuk perhiasan yang digunakan sehari-hari oleh para istri.

Gbr.2. Usaha Jual Beli Besi di Desa Babakan Ciwaringin Keberhasilan usaha masyarakat blok 1 tidak selalu diikuti oleh tingginya tingkat pendidikan anak-anak mereka, khususnya pada generasi kedua pengusaha. Beberapa pengusaha yang relatif muda yang ditemui dalam kunjungan lapangan tidak berhasil menamatkan pendidikan setingkat SMA karena umumnya mereka telah mulai bekerja sejak SMP dan menjadi sangat terlibat dalam pengelolaan usaha sehingga mereka tidak lagi mementingkan pendidikan yang mereka tempuh. Umumnya setelah beberapa tahun terlibat dalam usaha ayah mereka, anak-anak pengusaha besi mulai berani mendirikan usaha mereka sendiri. Sementara anak laki-laki tidak menyelesaikan pendidikan SMA mereka, anak-anak perempuan dari pengusaha besi yang ditemui dalam kunjungan lapangan dapat menyelesaikan pendidikan mereka sampai tingkat SMA. Di antaranya ada yang belajar mengenai ilmu ekonomi dan pemasaran di SMK setempat. Sayangnya, begitu ia lulus SMA ia akan dijodohkan dengan pengusaha besi, karyawan dalam usaha ayahnya yang dianggap memiliki potensi untuk membangun usaha besi atau kerabat keluarganya. Anak-anak perempuan yang telah menyelesaikan pandidikan setingkat SMA akan segera masuk ke wilayah domestik untuk mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Harapan baru muncul di antara para ibu dari generasi kedua

catharinaindirastutiforUNDP 11

pengusaha besi di desa ini. Para ibu berharap anak-anaknya, laki-laki dan perempuan, utnuk dapat bersekolah lebih tinggi dari orang tua mereka, sebagian telah menyekolahkan anak mereka di perguruan tinggi – bahkan di luar Cirebon - dan berharap anak-anak mereka dapat menjadi pekerja kantoran. Meskipun demikian, pilihan kembali diberikan pada anak-anak mereka karena beberapa anak dari generasi kedua pengusaha besi desa ini kembali menekuni bidang yang sama dan berhenti sekolah hanya sampai tamat SMP.

Ibu Nuri – Keluarga Buruh Harian Usaha Jual Beli Besi

Ibu Nuri adalah seorang ibu yang berusia 42 tahun. Ia merupakan ibu dari 3 orang anak yang lahir dan besar di desa Babakan Ciwaringin. Ibu Nuri tidak menamatkan sekolah dasarnya karena lahir dari keluarga yang tidak mampu. Pada usia 21 tahun ia dinikahkan oleh orang tuanya. Anak tertua ibu Nuri, laki-laki, berusia 21 tahun, bekerja pada sebuah usaha jual beli besi di desa mereka. Anak keduanya, perempuan bernama Aini, berusia 18 tahun, saat ini menganggur di rumah, melakukan tugas-tugas domestik untuk mengurus rumah tangga mereka, sambil menunggu panggilan dari pabrik rotan yang ada di desa tetangga untuk bekerja sebagai buruh harian. Sedangkan anak ketiganya, seorang perempuan yang masih duduk di kelas 1 SD, lahir tanpa direncanakan dengan jarak usia yang cukup jauh dari kedua kakaknya pada saat ini menjadi satu-satunya harapan bagi ibu Nuri untuk dapat mencapai pendidikan yang tinggi. Ketiga anaknya belum menikah dan masih tinggal bersama-sama dengan mereka. Suami ibu Nuri bekerja sebagai buruh lepasan pada usaha jual beli besi di desanya. Ia tidak bekerja tetap pada satu pengusaha, melainkan berpindah-pindah dari pengusaha satu ke pengusaha lainnya tergantung ada atau tidaknya pekerjaan. Ia khusus menemani pegawai atau pemilik usaha untuk mencari bahan baku besi di Jakarta. Ia hanya bekerja seminggu sekali jika kebetulan ada pengusaha yang ingin ditemani. Setiap pergi, suami ibu Nuri akan membawa pulang penghasilan hingga 200-300ribu untuk 3 hari kerja, di luar uang tambahan 20-30 ribu rupiah untuk membeli rokok dan jajanan yang ia dapatkan dari bosnya. Semua penghasilan yang ia terima diberikan pada ibu Nuri untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Suami ibu Nuri juga tidak bekerja pada satu bos tetap karena menurut ibu Nuri “orang laki-laki ya sesuka-sukanya bapak saja, nggak senang dengan orang ini ya ikut orang yang itu”. Ia tidak memiliki keinginan untuk bekerja secara tetap pada satu orang bos, karena sesekali selalu ada orang yang mau mengajaknya untuk ikut mencari bahan baku besi di Jakarta. Untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, penghasilan ibu Nuri lebih dapat diandalkan. Meskipun tidak memiliki pekerjaan yang pasti, hari-hari ibu Nuri cukup padat dengan kegiatan mengaji dalam pengajian jamiah yang ia ikuti minimal satu minggu sekali dan juga berbagai kegiatan arisan dan kadangkala juga diundang mengikuti kegiatan di kantor desa. Untuk memperoleh pendapatan, beberapa bulan terakhir ini ibu Nuri bekerja sebagai pemijat, sebuah keahlian yang diturunkan oleh ayahnya. Setiap kali memijat ibu Nuri dibayar 30-50ribu rupiah, tergantung keikhlasan pelanggannya. Dalam satu hari ia dapat memijat 2-3 orang pelanggannya dengan penghasilan lebih dari 100rb perhari. Ia akan memperoleh lebih banyak jika memijat para Nyai di pesantren (istri Kyai pemimpin pesantren) yang dapat membayar hingga 75ribu rupiah dan seringkali diberi buah tangan berupa barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari, seperti minyak goreng atau beras. Namun memijat Nyai pesantren tidak sering ia lakukan. Bekerja sebagai pemijat dapat ia lakukan sampai tengah malam. Pada hari-hari tertentu, ia harus bekerja sampai pukul 12 malam. Selain memijat, jika ada hajatan di desanya, maka biasanya ibu Nuri akan diundang oleh pelaksana hajatan untuk bekerja harian sebagai penunggu memasak beras. Bekerja sebagai penunggu beras memberikan penghasilan 400-500 ribu rupiah untuk 3 hari kerja. Pekerjaan ini hampir selalu ada setiap bulan, dengan rata-rata kegiatan sampai 3 kali dalam sebulan, kecuali pada bulan-bulan yang menurut agama tidak boleh diadakan hajatan. Dengan dua pekerjaan ini dalam sebulan sedikitnya ia dapat memperoleh penghasilan lebih dari 3juta rupiah. Penghasilan yang ia peroleh biasanya digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, membayar arisan mingguan maupun bulanan dan untuk membayar biaya hajatan di desanya. Uang arisan yang

catharinaindirastutiforUNDP 12

dikumpulkan 5.000rupiah per minggu dalam kelompok pengajian jamiyahnya tidak digunakan untuk menabung atau mengumpulkan modal, namun digunakan untuk membiayai acara jamiyah yang diselenggarakan di rumahnya. Secara bergiliran para peserta jamiyah akan menyediakan rumah mereka untuk mengadakan pengajian dan biaya untuk menyediakan makanan dan minuman untuk acara ini diperoleh dari uang arisan yang mereka menangkan. Selain arisan jamiyah, ibu Nuri juga mengikuti arisan lain sebesar 100rb perminggunya. Uang arisan inilah yang menjadi tabungan Ibu Nuri, yang dapat ia peroleh setiap 10 minggu. Sedangkan untuk membayar undangan hajatan, ibu Nuri mengeluarkan uang gentenan hingga 300ribu-500ribu rupiah per hajatan. Jika ada rata-rata 3 kali hajatan saja dalam sebulan, maka ibu Nuri dapat mengeluarkan uang sekitar 1.000.000 rupiah. Uang gentenan adalah biaya perkawinan yang dibayar bersama-sama oleh masyarakat desa secara bergantian. Jumlah uang yang dibayarkan oleh satu keluarga akan dicatat oleh keluarga yang mengadakan hajatan. Uang ini akan dikembalikan jika pemberi uang mengadakan hajatan untuk keluarganya. Karena anak-anaknya belum menikah, sampai saat ini ibu Nuri belum pernah menerima uang hajatan, yang telah bertahun-tahun ia keluarkan setiap kali ada hajatan di desanya. Ibu Nuri berharap anak laki-lakinya tidak menikah sampai motor yang ia beli sudah lunas – yang akan dilunasi 3 tahun lagi. Terlepas dari penghasilan bulanan yang diperoleh ibu Nuri dan suaminya dan adanya akses untuk bersekolah sampai tingkat tinggi di desa Babakan Ciwaringin, kedua anak ibu Nuri hanya bersekolah sampai tingkat SMP dan tidak berani bermimpi untuk dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (juga untuk memperoleh ijazah melalui Paket C) agar dapat memperoleh pekerjaan dan memiliki ketrampilan yang lebih baik. Menurut pengakuannya, ketika anak-anaknya lulus SMP, ia tidak pernah memiliki cukup biaya untuk memasukkan anaknya ke tingkat SMA. Ketika anak pertamanya lulus SMP, kondisi keuangan ibu Nuri sedang buruk karena suaminya berkali-kali sakit berat selama 2 tahun dan tidak dapat bekerja. Ibu Nuri harus menopang kehidupan keluarga sendiri. Ia bekerja sebagai pemijat – dengan pelanggan yang belum sebanyak saat ini, menjadi buruh cuci gosok di pesantren yang ada di desanya, dan menjaga beras dalam acara hajatan. Ia harus juga harus membiayai pengobatan suaminya yang berulang kali masuk rumah sakit, selain pengobatan ayahnya yang pada saat itu masih hidup sakit-sakitan. Sampai saat ini, ibu Nuri belum pernah memperoleh akses atas fasilitas kesehatan dari pemerintah. Ia tidak memperoleh Kartu Indonesia Sehat (KIS), meskipun ia telah melapor ke kantor desa dengan melengkapi semua data-data yang dibutuhkan. Menurut informasi aparat desa, pemberian KIS dilakukan secara bergilir, tidak semua penduduk dapat memperoleh KIS jika belum gilirannya. Ibu Nuri hanya bisa pasrah, meskipun ia merasa diperlakukan tidak adil karena justru tetangganya yang mampu memperoleh KIS untuk keluarganya. Seperti juga KIS, anak-anak ibu Nuri juga tidak memperoleh Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang dibagikan untuk anak-anak tidak mampu. Anak-anak yang memperoleh KIP akan menerima dana dari pemerintah untuk pembiayaan pendidikannya, sedangkan anak ibu Nuri tidak memperoleh bantuan apa-apa. Yang membuat ibu Nuri tidak paham adalah karena justru anak-anak dari keluarga pengusaha besi memiliki KIP dan memperoleh bantuan pendidikan dari pemerintah. Ibu Nuri, yang memilih untuk tidak protes dan bersyukur karena ia membiayai anak-anaknya dengan keringatnya sendiri, tidak dapat melawan ketidakadilan yang ia alami karena tidak memiliki ruang untuk berbicara. Minimnya fasilitas kesehatan di desa Babakan Ciwaringin menjadi persoalan bagi ibu Nuri yang memiliki pendidikan terbatas. Ibu Nuri yang tidak mempersiapkan diri untuk hamil anak ketiga karena merasa telah menjaga kehamilan dengan KB suntik mengalami masalah ketika melahirkan anak ketiganya. Komplikasi terjadi ketika ia melahirkan dengan satu-satunya bidan yang ada di desa ini karena ari-ari bayinya tidak mau keluar. Ia mengingat 5 kali tangan ibu bidan harus masuk ke dalam rahimnya untuk mengusahakan agar ari-ari bayinya dapat keluar. Setiap kali tangan bidan masuk, rahimnya dibersihkan (“dikruwek-kruwek”) dan ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Ari-ari akhirnya berhasil dikeluarkan dalam kondisi hancur. Terlepas dari komplikasi yang dialami ibu Nuri ketika melahirkan anak ketiganya dalam penanganan bidan, sangat terasa rasa hormat yang tinggi untuk bidan desa yang membantu kelahiran anaknya. Anak pertama ibu Nuri bekerja sebagai buruh harian pada salah satu usaha jual beli besi di desanya. Dalam sehari, anak ibu Nuri memperoleh upah 70ribu rupiah yang dibayar mingguan. Di luar penghasilan ini, seringkali ia mendapatkan tips uang rokok dari pembeli besi di tempat kerjanya, jika ia membantu mengangkat barang-barang yang dibeli. Ia mengerjakan hampir semua tugas yang dapat dilakukan di bengkel besi, mulai dari mengamplas, memotong besi, juga me-las besi sesuai dengan kebutuhan

catharinaindirastutiforUNDP 13

pembeli. Setiap hari ia bekerja dari pukul 8 hingga 16.30 dengan waktu istirahat pada saat makan siang. Tidak ada hari libur yang resmi, bahkan hari Minggu ia dapat bekerja jika sedang banyak pesanan. Namun ia dapat memilih untuk tidak masuk jika terlalu lelah karena banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan – dengan dipotong uang hariannya. Jika ada kesempatan untuk ikut pergi ke Jakarta, ia akan ikut karena memperoleh pendapatan yang lebih besar, hingga 150ribu perharinya selama 2-3 hari, meskipun tugas yang dilakukan lebih berat daripada tugas sehari-hari di bengkel. Ikut pergi ke Jakarta juga memberi akses pada anak Ibu Nuri untuk belajar mengenai bisnis jual beli besi juga mengenal jaringan penjual bahan baku besi yang ada di Jakarta. Dengan modal yang cukup, anak ibu Nuri dapat memiliki harapan untuk membuka bengkelnya sendiri. Meskipun hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena besarnya modal yang dibutuhkan. Pendapatan sebesar 1,6juta rupiah perbulan yang diperoleh anak pertama ibu Nuri sebagian besar digunakan untuk mencicil motor. Meskipun setiap minggu seharusnya ia memperoleh penghasilan, gaji yang dikeluarkan hanyalah untuk mencicil motor sebesar 650ribu rupiah. Ia tidak mengambil penghasilannya penuh, hanya untuk cicilan motor dan sedikit uang untuk membeli pulsa dan jajan sehari-hari sebesar 200rb rupiah saja. Sisa yang yang dihasilkannya disimpan oleh bos tempat ia bekerja dengan pencatatan pengeluaran yang ia minta. Anak kedua ibu Nuri, Aini, sempat berharap untuk dapat melanjutkan sekolahnya. Namun harapan ini pupus karena ibunya tidak memiliki uang untuk dapat masuk ke pendidikan tingkat SMA. Setelah lulus SMP ia sempat mencoba bekerja di luar kota. Pada usia 15 tahun, ia merantau bersama saudaranya ke kota Palembang untuk bekerja sebagai baby sitter dan di Tangerang sebagai karyawan di toko roti, namun hanya untuk waktu yang singkat. Hal yang terutama membuat Aini tidak tahan untuk bekerja adalah karena rendahnya penghasilan jika dibandingkan dengan tanggung jawab yang ia ambil. Untuk bekerja sebagai babysitter di Palembang, Aini hanya dibayar 600rb perbulannya. Aini kecil yang belum dapat merawat bayi hanya bertahan 1 bulan dalam pekerjaan ini. Sementara itu, ketika ia bekerja di Tangerang, Aini hanya dibayar 200ribu rupiah setiap 2 minggu untuk tugasnya membuat kue. Ia bertahan pada pekerjaan ini selama 2 bulan saja. Ibu Nuri mengaku, ia membebaskan pilihan untuk bekerja dimana saja yang diinginkan anak-anaknya asal mereka mau. Bahkan jika Aini berminat untuk merantau dan bekerja sebagai buruh migran seperti perempuan-perempuan lain di desanya. Namun menjadi buruh migran belum dapat menjadi pilihan bagi Aini karena persyaratan pendidikan minimal setingkat SMA yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, ada biaya yang cukup besar yang harus dikeluarkan oleh keluarga buruh migran untuk dapat memperoleh pekerjaan di luar negeri yang harus dibayarkan pada agen yang memberangkatkan mereka. Moratorium pengiriman TKI ke wilayah Timur Tengah juga menjadi salah satu alasan yang menghambat perempuan-perempuan seperti Aini untuk pergi, terutama juga karena dahulu pengiriman TKI ke Timur Tengah tidak mempersyaratkan pendidikan setingkat SMA. Saat ini Aini sedang menunggu panggilan untuk bekerja sebagai buruh harian di pengusaha rotan di desa tetangga. Dengan ketrampilan minim, Aini berharap ia dapat bekerja sebagai pengamplas rotan. Pekerjaan ini ditawarkan oleh kerabat di desanya yang juga bekerja di industri yang sama. Program-program pelatihan untuk anak muda seringkali dilakukan, baik di kantor desa maupun pesantren. Namun informasi mengenai kegiatan tidak selalu sampai pada mereka yang membutuhkan. Seperti pada kasus Aini, informasi mengenai pelatihan yang diselenggarakan oleh satu pesantren menjahit yang dapat membantu Aini untuk memiliki ketrampilan bekerja tidak sampai ke Aini. Tidak ada jaringan yang cukup kuat di dalam masyarakat desa yang dapat menghubungkan berbagai kegiatan yang dilakukan di desa, baik di dalam ataupun di luar lingkungan pesantren, yang dapat menjalin interaksi antar-warga untuk dapat membangun desa bersama-sama. Dalam hal ini, masing-masing warga, khususnya yang datang dari kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki jaringan usaha, harus berupaya sendiri untuk dapat mengubah nasibnya – meskipun seharusnya kesempatan dapat disediakan oleh lembaga-lembaga yang ada di desa ini.

Selain memiliki usaha jual beli besi, penduduk dari blok 1 juga banyak yang bekerja sebagai buruh harian pada pabrik-pabrik yang ada di desa Babakan Ciwaringin maupun di desa-desa tetangga, seperti desa Budur ataupun Tangkil. Di desa Babakan Ciwaringin terdapat pabrik pembuatan batu bata dan genteng yang cukup besar, sedangkan di desa tetangga terdapat pabrik pembuatan briket

catharinaindirastutiforUNDP 14

milik pengusaha dari Arab Saudi yang telah mengekspor produknya, pabrik-pabrik garmen, pabrik rotan, selain industri rumahan yang membuat genteng dan batubata yang banyak terdapat di desa Budur yang bertetangga dengan desa Babakan Ciwaringin. b. Blok Pesantren: Penghidupan yang Bersumber dari Pendatang Pekerjaan sebagai pedagang di lingkungan pesantren merupakan salah satu jenis pekerjaan yang diinginkan hampir sebagian besar penduduk desa Babakan Ciwaringin, terutama yang tinggal di lingkungan pesantren. Bagi pedagang, kehadiran para santri merupakan keberuntungan yang patut disyukuri karena santri merupakan pelanggan setia yang hampir selalu ada. Wawancara yang dilakukan dengan dua orang pedagang dari desa Babakan Ciwaringin menunjukkan bahwa masing-masing pedagang, tergantung dari skala warungnya, memiliki penghasilan yang cukup tetap setiap harinya dengan omzet yang memungkin pedagang untuk menopang kehidupan keluarganya dengan relatif lebih baik dari penduduk dengan jenis pekerjaan lainnya. Selain pengusaha jual beli besi dari RW 1, para pedagang di RW 2 dan RW 3 merupakan kelompok masyarakat yang mampu memberikan akses bagi anak-anak mereka untuk meraih pendidikan tinggi, bahkan selepas SMA. Biaya untuk pendidikan merupakan tabungan yang disisihkan dari omzet penjualan sehari-hari dengan jumlah yang tetap. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tampak tertular dari kedekatan yang mereka miliki dengan para santri yang menuntut ilmu agama di desa mereka.

Gbr.3. Toko Buku di Lingkungan Pesantren Para pemiliki warung, terutama warung kelontong dan warung makanan/jajanan, pada umumnya dikelola oleh pedagang perempuan. Para pedagang perempuan ini bertanggung jawab penuh atas pengelolaan warungnya, termasuk untuk mengelola uang yang berputar dalam usahanya dan melakukan pembelian barang-barang yang akan dijual di warungnya. Suami para pedagang

catharinaindirastutiforUNDP 15

umumnya tidak ikut terlibat dalam pengelolaan warung, meskipun dalam pembicaraan suami hampir selalu diutamakan dalam banyak pengambilan keputusan. Kehadiran warung mereka sangat penting bagi para santri karena sebagian kebutuhan santri tidak dipenuhi di pesantren, seperti kebutuhan produk kebersiha, seperti sabun, shampoo, dan lain sebagainya. Di beberapa pesantren kecil, makanan sehari-hari juga tidak disediakan sehingga santri harus keluar untuk mencari warung makanan dan jajanan untuk diri mereka. Warung-warung ini biasanya telah buka pada pagi hari sebelum jam sekolah dan baru tutup pada malam hari ketika kegiatan para santri selesai menjelang shola Isa. Selain warung kelontong dan makanan, di lingkungan pesantren juga banyak toko-toko yang menyediakan kebutuhan santri lain, seperti penyedia fotokopi, toko buku, pedagang pakaian muslim, dan lain sebagainya. Pedagang warung kelontong umumnya adalah penduduk asli desa Babakan Ciwaringin yang membuka usaha warung di rumahnya. Namun selain pemilik toko permanen, cukup banyak penjual makanan jajanan yang berjualan di sekitar lingkungan sekolah yang ada di desa Babakan Ciwaringin. Banyak dari pedagang gerobok yang datang dari luar desa dan hanya ada di desa Babakan Ciwaringin pada jam-jam sekolah. Meskipun tidak permanen, para pedagang jajanan memiliki kontribusi cukup signifikan terhadap pola hidup bersih yang akan ditanamkan dalam diri para santri. Sebagian besar pedagang tidak menyediakan tempat sampah untuk barang dagangannya, sehingga anak-anak yang jajan seringkali membuang sampah sembarangan. Hal ini, di satu pihak menimbulkan persoalan sampah yang nyata, di sisi lain juga membentuk perilaku para santri dan murid-murid sekolah yang tidak bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan. Membentuk perilaku bertanggung jawab terhadap sampah harus mengikutsertakan seluruh sendi kehidupan masyarakat, termasuk melibatkan para pedagang yang turut membentuk sikap santri dan anak-anak muda terhadap sampah. IBU MUJI – PEMILIK WARUNG RW 3 – BABAKAN CIWARINGIN

Ibu Muji adalah seorang pedagang yang membuka warung kelontong di wilayah RW 3 desa Babakan Ciwaringin. Ia dan suaminya membuka warung ini bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Di RW 3, jumlah pesantren yang ada tidak sebanyak RW 2, namun ia justru merasa beruntung karena pada awal keluarga mereka mulai berjualan di sana, belum banyak persaingan yang dihadapi, sehingga mereka memiliki kehidupan yang cukup baik. Suami ibu Muji sebelumnya sempat bekerja di sebuah pabrik rotan sebagai pelukis rotan selama beberapa tahun. Pabrik rotan yang masuk di wilayah Majalengka ini akhirnya tutup karena bangkrut. Bangkrutnya pabrik rotan ini terkait dengan kebijakan pemerintah membuka keran ekspor bahan baku untuk rotan, sehingga pabrik-pabrik rotan kecil seperti ini tidak mendapatkan bahan baku dan harus tutup. Suami ibu Muji kemudian memperoleh tugas dari masjid desa sebagai Lebai, yang memiliki tugas seperti penghulu. Saat ini tugas ini sudah tidak lagi dipegangnya lagi dan ia menjadi guru silat di beberapa pesantren. Pada saat masih muda, ia sempat mendirikan perguruan silat yang saat ini dipimpin oleh anak laki-lakinya. Namun, meskipun suami ibu Muji memiliki banyak kegiatan di luar rumah dan juga aktif berorganisasi, kehidupan keluarga mereka ditunjang oleh hasil yang diperoleh dari warung yang dikelola ibu Muji. Warung kecil yang pada ini, dipenuhi berbagai barang kebutuhan anak-anak pesantren. Pada jam-jam istirahat, warung ibu Muji dipenuhi anak pesantren yang ingin sekedar berjajan. Namun jika musim libur pesantren tiba, warungnya menjadi sepi pembeli karena kebutuhan penduduk sekitar tidak begitu tinggi dan ada banyak warung lain yang tersebar di kampung mereka. Ibu Muji memperoleh omzet yang cukup besar dari berjualan. Satu hari Ibu Muji memperoleh rata-rata omzet sebesar Rp.1 juta rupiah. Uang ini disisihkan 100ribu rupiah setiap hari untuk mencukupi kebutuhan anaknya, sisanya ia gunakan untuk modal belanja barang untuk keesokan harinya. Untuk makanan sehari-hari ia mengambil bahan baku yang ia jual di warungnya. Tidak ada pembedaan antara kebutuhan warung

catharinaindirastutiforUNDP 16

dan kebutuhan keluarganya. Pengaturan ini sepenuhnya dilakukan oleh Ibu Muji, tanpa campur tangan suaminya. Jika tiba-tiba ada kebutuhan besar yang mendesak, biasanya suaminya akan memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun sehari-hari ibu Muji tidak meminta uang dari suaminya. Ibu Muji sendiri datang dari keluarga yang cukup mampu, dan rumah serta warung ia tinggali dibangun di atas tanah warisan yang diberikan kedua orang tuanya. Suami ibu Muji berasal dari desa Tangkil, yang ketika dijodohkan dengan Ibu Muji akhirnya pindah ke desa Babakan Ciwaringin bersama kedua anaknya. Ketika ia menikah dengan suami ketiganya, rumah ibu Muji yang pada awalnya kecil dan tidak begitu bagus akhirnya diperbaiki dan menjadi salah satu rumah terbaik di kampungnya. Keluarga ibu Muji memiliki 3 orang anak yang telah dewasa, dua orang telah menikah dan satu orang anaknya masih kuliah di perguruan tinggi di Yogya. Dua anak pertamanya adalah anak yang dibawa oleh suaminya dari perkawinan sebelumnya. Anak ibu Muji sendiri hanya satu orang, yang terkecil. Ia menikah dan mulai mengasuh anak-anak suaminya sejak mereka masih di bangku sekolah dasar. Ibu Muji sendiri telah dua kali menikah sebelum akhirnya dijodohkan dengan suaminya saat ini. Pada kedua pernikahan sebelumnya ibu Muji tidak memiliki anak hingga akhirnya berpisah. Anak pertama ibu Muji, anak perempuan, menikah ketika ia lulus SMP. Pada saat itu usianya masih 16 tahun, ia tidak melanjutkan ke tingkat SMA melainkan dijodohkan dengan salah satu kerabat mereka. Anak keduanya, seorang anak laki-laki, disekolahkan sampai tamat perguruan tinggi dan saat sedang melanjutkan ke tingkat S2 dengan biaya yang ia kumpulkan sendiri. Pembedaan perlakukan ini tidak terkait dengan tingkat ekonomi, namun harapan yang diberikan pada anak laki-laki dan anak perempuan. Ibu Muji menyatakan bahwa jaman dulu tidak banyak yang mereka ketahui, hanya bahwa tugas anak perempuan adalah menikah dan mengurus keluarganya. Anak ketiga keluarga ini – yang merupakan satu-satunya putra kandung dari ibu Muji – merupakan harapan ibu Muji. Selama duduk di bangku sekolah anak ibu Muji tidak pernah mondok di sekolah, namun mengikuti pengajian yang ada di madrasah-madrasah di desanya. Ketika SMA, ia disekolahkan pada sekolah terbaik di desa, Madrasah Aaliyah Negeri 2, dan setelah lulus sempat mondok di sebuah pesantren yang berbahasa Inggris – Kampung Inggris - di Pare, Jawa Timur. Putra ibu Muji adalah satu dari sedikit anak-anak desa Babakan Ciwaringin yang memperoleh kesempatan untuk belajar ilmu agama di pesantren-pesantren terbaik di Jawa Timur yang umumnya menjadi sasaran anak-anak Kyai di desa ini.

c. Blok Petani: Petani dan Buruh Tani yang Mencoba Bertahan Dalam Himpitan Pertanian

Biaya Tinggi Wilayah RW 5 dan RW 6 dari desa Babakan Ciwaringin merupakan wilayah dengan pemukiman penduduk yang tidak luas. Sebagian besar wilayah blok ini merupakan areal persawahan dengan irigasi dan juga ladang11. Wilayah RW 5 dan RW 6 merupakan wilayah terjauh dari pusat desa dengan pemukiman yang tidak begitu padat. Wilayah ini merupakan wilayah yang masih memiliki kesan rural yang lebih kuat dibandingkan wilayah-wilayah lainnya dengan lebih sedikit pendatang yang tinggal di sana. Sawah-sawah yang terhampar ditanami 3 kali dalam setahun. Tanaman padi ditanam dalam dua musim tanam, sedangkan pada musim tanam ketiga lahan-lahan sawah yang kurang air pada musim kemarau tampak tetap subur ditanami kacang hijau. Namun pemandangan ini tidak diikuti gambaran yang positif mengenai kehidupan masyarakat desanya karena sistem pertanian berbiaya tinggi yang harus dijalankan petani. Sebagian besar sawah yang terletak di desa Babakan Ciwaringin merupakan tanah milik desa (tanah bengkok) atau dimiliki oleh masyarakat desa bukan petani, kebanyakan dari keluarga pemilik pesantren. Untuk dapat mengolah sawah-sawah ini, para petani harus menyewa pada pemilik tanah atau pada aparat desa selama setahun dengan biaya yang tinggi, 9-10 juta pertahun untuk setiap bahu-nya (sekitar 7.000m2). Untuk mendapatkan hasil yang memadai untuk menopang kehidupan dan menyewa lahan pada tahun berikutnya, seorang petani harus menyewa setidaknya 2-3Ha sawah, atau sekitar 3-4 11 Lihat peta desa, hal.4

catharinaindirastutiforUNDP 17

bahu. Modal yang dikeluarkan petani masih harus ditambahkan lagi dengan biaya untuk membeli bibit, karena sistem pertanian yang dijalankan bukan sistem pertanian yang mengupayakan bibit. Selain bibit, para petani harus mengeluarkan biaya untuk pupuk dan pestisida yang cukup tinggi karena ancaman hama yang sering datang, serta membayar upah untuk buruh tani harian yang bekerja di sawah mereka yang luas dan masih dikerjakan dengan tenaga manusia. Selain persoalan modal, produktivitas tanah juga cenderung rendah karena sulitnya air. Air persawahan di desa Babakan Ciwaringin merupakan sawah tadah hujan tanpa sistem pengairan yang baik, yang hanya dapat ditanami padi pada musim hujan.

Gbr. 4. Pasangan Petani Deas Babakan Ciwaringin Sulitnya kehidupan sebagai petani dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan tidak menyurutkan niat petani desa Babakan Ciwaringin. Hal terbukti dari terus berlanjutnya pengolahan sawah dengan sistem sewa hingga saat ini. Tidak ada pilihan lain yang dapat diambil para petani untuk mencari penghidupan, karena bertani adalah satu-satunya keahlian yang mereka miliki secara turun temurun.

“Mungkin bisa jadi begitu - mungkin bisa jadi ada sedikit keuntungan tapi sedikit gitu - buktinya setiap panen ya bahasanya kok ngeluh, tapi kok nggak ada kapok-kapoknya ya tetep aja beli lagi beli lagi... saya bilang ini mau dilanjuti nggak, ya di lanjutin dong, akhirnya dia bayar lagi. Saya pikir ini yang bener yang mana? Kalo cerita rugi terus tapi kenyataanya saya masih terima duit dari dia ...”. (Bpk. Adi, Pemilik lahan sawah yang disewa petani).

Pandangan tentang sulitnya kehidupan petani di desa Babakan Ciwaringin dikuatkan oleh pernyataan ketua RW 6, Bpk. Jari, yang menyatakan bahwa wilayah RW 5 dan 6 memiliki penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan bukan petani yang mengelola sawah. Kebanyakan petani hanya memiliki lahan sempit dan menyewa lahan-lahan sawah yang dimiliki orang lain sebagai tambahan. Sebagian lainnya hanya bekerja sebagai buruh tani harian yang mengerjakan ladang orang lain. Situasi ini membuat kemiskinan membayangi kehidupan penduduk RW 5 dan 6. Pendidikan masyarakat di wilayah ini cenderung rendah dengan sebagian besar penduduk hanya berpendidikan setingkat sekolah dasar, termasuk warga yang relatif muda. Bertani merupakan ketrampilan yang diajarkan turun temurun dari generasi ke generasi, dengan pola pengolahan lahan yang sederhana dan dengan tingkat kepemilikan lahan yang semakin lama semakin sedikit. Menurut ketua RW 6, hanya 1-2 orang petani di RW 6 yang memang masih memiliki lahan pertanian sendiri. Petani lainnya sepenuhnya menyewa lahan sawah milik orang lain. Yang mampu menyewa pun tidak banyak, karena besarnya modal yang yang dibutuhkan juga sedikitnya lahan yang tersedia, sehingga untuk menyewa – terutama tanah bengkok – harus bergantian dengan petani lainnya.

catharinaindirastutiforUNDP 18

Dalam wawancara ini, ketua RW 6 desa Babakan Ciwaringin juga mengeluhkan sulitnya mengubah kondisi hidup masyarakat di wilayahnya karena sulitnya mengubah pola pikir masyarakat. Apa yang tertanam dalam pola pikir masyarakat terpusat pada pekerjaan mereka sebagai buruh tani. Para orang tua yang memiliki anak-anak tidak banyak mendorong anak-anak mereka untuk bersekolah tinggi karena dalam pandangan mereka, anak-anak mereka akan kembali menjadi petani seperti orang tuanya dan untuk menjadi petani tidak dibutuhkan sekolah tinggi. Namun pandangan ini sedikit berubah karena adanya program wajib belajar selama 12 tahun yang dicanangkan Pemerintah. Pada saat ini cukup banyak anak RW 5 dan 6 yang berhasil mencapai tingkat SMA dan terdapat beberapa orang yang bersekolah sampai tingkat universitas. Pendapatan yang rendah dari bertani menyulitkan para petani untuk memperbaiki hidup mereka, bahkan untuk kebutuhan yang mendasar. Untuk dapat membangun rumah, misalnya, seorang petani atau keluarga petani harus pergi merantau dan bekerja sebagai buruh migran selama beberapa tahun untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan dan yang lebih sering dikirimkan adalah anak perempuan dari keluarga petani karena dipandang lebih mudah mencari pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Pada tahun 1990an, ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh para petani di desa ini, karena penghentian pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah belum dilakukan. Penduduk desa Babakan Ciwaringin, khususnya di RW 5 dan 6 yang datang dari keluarga petani, dapat menjadi buruh migran tanpa persyaratan usia dan latar belakang pendidikan yang ketat. Saat ini, dengan adanya penghentian pengiriman buruh migran ke Timur Tengah dan adanya persyaratan pendidikan setingkat SMA untuk pengiriman buruh ke wilayah Asia (Taiwan, Hongkong, Malaysia, Singapura) maka jumlah warga RW 5 dan RW 6 yang menjadi buruh migran jauh lebih sedikit. Banyaknya penduduk desa yang merantau untuk bekerja sebagai buruh migran menimbulkan persoalan baru karena jumlah petani yang bertahan di desa menjadi lebih sedikit lagi, terutama dari kaum muda. Oleh karena itu, biaya buruh harian cenderung lebih tinggi dan para petani yang memiliki atau menyewa tanah untuk diolah pun akhirnya bekerja juga sebagai buruh tani di sawah milik orang lain.

KELUARGA SARMA – PETANI GUREM YANG MENCOBA BERTAHAN DENGAN SISTEM PERTANIAN BERBIAYA TINGGI

Kami memasuki rumah keluarga Sarma, pasangan suami istri yang telah berusia 60an tahun. Bapak dan ibu Sarma sedang berbincang-bincang dalam bahasa Cirebon yang kental. Seorang anak usia sekolah tampak berbaring di atas tikar di depan TV yang menyala. Rumah keluarga Sarma terletak di blok Babakan Utara, tidak jauh dari rumah kepala dusun. Tidak seperti rumah-rumah di blok lain, rumah ini tidak bertembok ataupun menggunakan tempelan keramik pada dinding dan lantainya. Rumahnya nampak jauh lebih sederhana dengan dinding kayu bercat putih dan lantai semen. Warna kayu yang kusam menunjukkan usia rumah ini. Namun begitu memasuki rumahnya, dapat terlihat langsung karung-karung beras hasil panen musim tanam yang lalu menumpuk menunggu dibeli oleh tengkulak beras. Bpk dan Ibu Sarma adalah pasangan petani dari desa Babakan Ciwaringin. Tidak mudah berbicara dengan mereka karena bahasa Indonesia yang terbatas. Sebagian besar percakapan diselingi bahasa Cirebon dengan logat yang begitu kentara. Mereka adalah petani yang hanya memiliki tanah kecil, untuk ukuran seorang petani. Lahan sawah yang mereka miliki hanya seluas sebahu, tidak sampai 1 hektar. Untuk seorang petani seperti Bapak Sarma, luas sawah sebahu tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya karena musim tanam tidak panjang. Untuk menambah penghasilan dari bertani, Bapak dan ibu Sarma menyewa tanah bengkok yang dikuasai aparat desa. Setiap tahun mereka menyewa sawah yang tidak digarap oleh pemiliknya yang memang bukan petani. Bapak dan ibu Sarma menyewa sebanyak yang mereka mampu karena biaya yang tinggi yang harus mereka keluarkan. Tahun ini mereka memutuskan untuk menyewa empat-setengah bahu yang ia sewa 9 juta perbahu-nya untuk setahun. Dalam setahun, bapak dan ibu Sarma dapat menanam sawah mereka sebanyak 3 kali, 2 kali untuk menanam padi dan 1 kali untuk menanam kacang hijau.

catharinaindirastutiforUNDP 19

Sawah yang mereka sewa tidak memiliki banyak air. Untuk itu, mereka harus memompa air dari kali yang letaknya lebih rendah dari sawah yang mereka sewa. Untuk dapat melakukan ini, mereka menghabiskan banyak uang untuk menyewa mesin pompa dan membeli solar untuk bahan bakar pompa untuk mengairi sawah mereka. Banyak sedikitnya air untuk mengairi sawah yang mereka kerjakan sangat menentukan hasil yang mereka peroleh. Jika airnya cukup banyak, maka mereka berani lebih banyak obat (pupuk dan pestisida) agar produksi padinya optimal dan tidak diserang hama. Jika air cukup, maka meskipun harus berhutang bapak Sarma akan mengupayakan membeli obat karena pasti ada hasilnya. Sedangkan jika tidak ada air, obat sebanyak apa pun tidak akan membantu meningkatkan produksi padinya. Musim tanam kemarin, air tidak banyak dan hasil padi yang mereka peroleh pun sedikit. Jika ini terjadi, ia hanya berharap masih memiliki cukup uang untuk “membeli” (menyewa) sawah untuk tahun depannya. Bagi bapak Sarma, “menjadi petani harus yang sabar … yang penting bisa beli lagi itu ada hasilnya … kecuali sampai tidak bisa beli [tanah] untuk tahun berikutnya karena gak kuat modalnya”. Namun, meskipun tidak banyak air di wlayah persawah dea Babakan Ciamis, kesuburan lahannya sudah terkenal kemana-mana. Ketika masa tanam dimulai, banyak orang berebut untuk dapat menyewa sawah desa RW 5 dan RW 6. Menyewa lahan sawah dan menyediakan pompa air untuk mengairi sawah mereka hanyalah sebagian dari biaya yang harus dikeluarkan. Hampir setiap tahapan kerja membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena bapak dan ibu Sarma harus mempekerjakan butuh tani untuk dapat menyelesaikan 4 hektar sawah yang mereka kelola. Pada tahap awal, untuk mempersiapkan tanah, biaya untuk menyangkul sawah agar tanah dapat dibalik sebelum ditanami bibit padi membutuhkan tenaga 10 orang untuk luas lahan 1 hektar, jika ingin diselesaikan dalam sehari. Ini artinya, untuk luas lahan 4 hektar yang mereka kelola, sedikitnya 4.000.000 rupiah dihabiskan untuk menyiapkan tanahnya saja. Untuk menanam, bapak dan ibu Sarma harus membayar 10-14 orang buruh tani yang akan bekerja selama setengah hari menanam satu bedug (kantong bibit) dengan dibayar 50ribu rupiah perorang. Ketika tanaman mulai tumbuh, ia harus menyewa tenaga penyemprot pestisida. Untuk membayar seorang penyemprot pestisida saja, mereka harus membayar 100rb rupiah perhari, dan untuk 4 hektar sawah yang dikelola dibutuhkan tenaga 4 orang agar dapat selesai dalam 1 hari. Ini belum ditambah dengan biaya untuk membeli pestisida. Ketika menuai padi atau mencabut kacang hijau, maka buruh tani dibayar 50ribu untuk setengah hari kerja. Sawah mereka membutuhkan pestisida karena hama sudah sering menyerang sawah di desa Babakan Ciwaringin. Jika tidak disemprot pestisida, tidak akan selamat tanaman padi mereka. Untuk memperoleh bibit, mereka juga harus membeli karena tidak akan cukup menanam dari bibit yang diperoleh dari tanaman padi yang lalu. Untungnya pemerintah memberi bantuan bibit, meskipun jumlahnya dibatasi hanya untuk 2 hektar sawah. Namun bantuan ini pun tidak selalu diterima setiap tahunnya karena harus digilir dengan anggota kelompok tani yang lain). Bapak dan ibu Sarma memiliki 4 orang anak, 3 orang perempuan dan 1 orang laki-laki yang terkecil. Ketiga anaknya yang tertua sudah menikah. Anak perempuannya yang terkecil beserta keluarganya tinggal bersama bapak ibu Sarma. Sedangkan dua anak perempuan lainnya bekerja sebagai buruh migran di Taiwan. Kedua anaknya telah merantau selama lebih dari dua tahun, meninggalkan suami dan anak-anaknya di desa Babakan Ciwaringin. Suami mereka memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang tidak menentu, sebagai montir di bengkel dan pemangkas rambut. Anak pertama dan kedua mereka hanya sekolah sampai SD, setelah lulus SD langsung dinikahkan dengan anak kerabat yang tidak jauh usianya. Anak kedua lulus sampai tingkat SMP. Sedangkan anak terkecilnya lulus sampai Madrasah Aaliyah. Anak kedua bapak dan ibu Sarman sempat pulang beberapa waktu ketika kontrak kerjanya selesai. Ia membawa pulang uang dalam jumlah yang cukup banyak yang digunakan untuk membeli sapi pada saat hari raya Idul Adha, dibagi untuk kerabat mereka yang tidak mampu dan untuk membangun untuk suami dan anak-anaknya. Bapak dan ibu Sarma merasa senang karena anaknya memiliki hidup yang lebih baik dengan bekerja di luar negeri. Tidak ada keinginan untuk melarang karena bagi mereka, begitu anak mereka menikah maka mereka telah lepas dari tanggung jawab untuk mendidik anaknya. “Sudah lepas bebas, dan sekarang sudah menjadi tanggung jawab suaminya.” ujar bapak Sarma. Anak laki-laki mereka belum lama ini meninggal dunia. Ia telah lulus SMA dan karena tidak mampu melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, ia telah mendaftarkan diri untuk diberangkatkan sebagai buruh migran ke Taiwan. Namun sebelum keberangkatannya, ia bersama teman-temannya mengkonsumsi narkoba dan anak bapak-ibu Sarma meninggal dunia karena overdosis. Menurut orang tuanya, ia bukan anak yang nakal. Ia menyelesaikan sekolahnya dengan baik. Sayangnya, ketika ia menunggu diberangkatkan

catharinaindirastutiforUNDP 20

ia berkenalan dengan teman-teman baru dari desa lain dan akhirnya terjerumus dan menjadi korban. Kematiannya menimbulkan pukulan berat bagi bapak dan ibu Sarma. Keluarga bapak dan ibu Sarma sendiri mengupayakan agar mereka memiliki jaminan kesehatan. Karena mereka termasuk penduduk desa yang tidak mendapatkan bantuan melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS), bapak dan ibu Sarma memiutuskan untuk mengurus kartu BPJS dan membayar iuran setiap bulannya. Hal ini mereka yakini akan membantu mereka jika sampai sesuatu terjadi, karena biaya pengobatan sudah sangat tinggi dan tidak cukup hanya dari penghasilan mereka sebagai petani saja.

d. Buruh Migran: Pengubah Wajah Desa yang Tidak Selalu Diakui Bekerja sebagai buruh migran adalah jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh penduduk desa Babakan Ciwaringin. Pada masa belum berlakunya moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, banyak penduduk desa Babakan Ciwaringin yang mengadu nasib menjadi buruh di Timur Tengah; pengaraban adalah istilah lokal untuk orang-orang Babakan Ciwaringin yang mengadu nasib dengan pergi ke Arab Saudi atau negara-negara Timur Tengah lainnya. Menjadi TKI di Timur Tengah merupakan pilihan karena pada masa itu persyaratan untuk pergi ke Arab Saudi tidak berat, tidak ada persyaratan minimal tingkat pendidikan, sementara persyaratan usia dapat dipalsukan. Banyak anak-anak berangkat ke Arab Saudi setamat SD atau SMP, tingkat pendidikan sebagian besar penduduk asli Babakan Ciwaringin. Dengan pendidikan yang sangat minim dan ketrampilan seadanya, anak perempuan lebih banyak memiliki kesempatan untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sebagian berangkat karena menjadi buruh migran adalah satu-satunya cara untuk mengubah nasib keluarga, sebagian lain berangkat melihat perbaikan yang telah dilakukan teman dan kerabat mereka yang berhasil mengubah standar hidup keluarganya. Perbaikan nasib keluarga karena kepergian salah satu anggota keluarga perempuan ke luar negeri untuk bekerja terutama ditunjukkan dengan diperbaikinya kondisi rumah keluarga mereka: dengan ciri khas keramik yang ditempelkan pada tembok-tembok rumah. Rohmat, seorang pemuda dari desa Babakan Ciwaringin mengatakan bahwa pergi ke luar negeri merupakan praktek yang umum dilakukan teman-temannya, khususnya teman-teman perempuan, seperti yang dinyatakan berikut ini.

“Ya banyaknya emang karena ketrampilan kita yang mungkin hanya itu ya jadi, sebagian ke luar [negeri] ya sebagian didalam gitu, jadi sekarang tuntutannya gini dia mau keluar kadang dia itu ngebantu orang tuanya jadi ya alhamdulillah kayak tadi ya, mau ke [jadi] tukang warung kan, dia sudah keluar tuh satu tahun kerja di luar gitu”. (Rohmat, penduduk RW 2 Desa Babakan Ciwaringin)

Menjadi buruh migran dianggap sebagai pilihan mudah bagi anak-anak muda asli dari Desa Babakan Ciwaringin yang memiliki keterbatasan atas akses pendidikan, sehingga tidak memiliki cukup ketrampilan untuk dapat menghidupi diri mereka atau memperbaiki nasib keluarga. Hampir semua orang yang kami temui dalam penelitian pernah pergi atau memiliki keluarga yang pernah pergi, termasuk aparat desa. Namun, kepergian penduduk desa untuk merantau ke luar negeri tidak selalu diakui dan dicatat dalam kantor desa. Data yang diperoleh mengenai jenis pekerjaan penduduk desa Babakan Ciwaringin hanya mencatat pekerjaan yang dilakukan di desa, sedangkan pekerjaan sebagai buruh migran tidak masuk sebagai salah satu pekerjaan utama yang dilakukan penduduk desa. Jika penduduk perempuan miskin di desa Babakan Ciwaringin banyak yang merantau untuk memperbaiki nasib keluarga, maka penduduk laki-laki muda banyak yang harus bekerja serabutan, menjadi kuli bangunan, tukang ojek atau buruh pabrik atau bengkel yang ada di sekitar desa Babakan Ciwaringin.

catharinaindirastutiforUNDP 21

Menjadi buruh migran membawa risiko tersendiri bagi penduduk desa Babakan Ciwaringin. Besarnya kemungkinan mengalami kekerasan dan tidak dilindungi oleh pemerintah karena dokumen yang dipalsukan merupakan salah satu risiko yang harus dihadapi. Selain itu, risiko menjadi korban trafficking juga harus dipertimbangkan. Salah satu bentuk trafficking yang dialami buruh migran dari desa Babakan Ciwaringin adalah dengan “dibeli” untuk dapat dinikahkan dengan kerabat pemberi kerja. Hal ini terjadi pada kerabat salah seorang narasumber dalam penelitian ini. Meskipun beberapa orang memiliki pilihan untuk menerima atau menolak, namun di dalam situasi yang tidak setara – terutama jika keputusan tidak diambil sang buruh migran tetapi diambil keluarga yang mengambil keuntungan darinya di desa, maka buruh migran dari Babakan Ciwaringin akan menjadi korban.

ASIH: MENJADI BURUH MIGRAN UNTUK MENGUBAH NASIB KELUARGA

Asih adalah anak pertama dari 3 bersaudara, 2 perempuan yang tertua dan 1 orang anak laki-laki berusia 26 tahun. Ia berhasil menamatkan SMA dengan nilai yang tinggi dan memiliki mimpi untuk dapat kuliah di perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Karena orang tua Asih tidak memiliki cukup uang untuk membiayai kuliahnya di Yogya, maka Asih memutuskan untuk bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi untuk mengumpulkan biaya kuliahnya sendiri. Pada saat itu Asih masih berusia 18 tahun dan menurut undang-undang belum dapat bekerja di luar negeri. Namun pemalsuan dokumen merupakan hal yang umum dilakukan di desanya pada saat itu, hingga akhirnya Asih dapat berangkat dengan memalsukan usianya menjadi 20 tahun. Asih termasuk beruntung karena ia memperoleh majikan yang baik dan dapat bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan tenang selama 2 tahun di Arab Saudi. Selama bekerja di Arab Saudi, Asih mengaku pada ibunya bahwa ia tidak pernah mendapatkan ancaman atau mengalami kekerasan. Ia merasa beruntung memperoleh keluarga yang baik karena salah seorang rekannya mengalami kekerasan sampai meninggal dunia. Asih lebih beruntung karena tinggal di keluarga guru di Arab Saudi. Ketika itu, karena ia baru tamat SMK dan merupakan anak yang cukup pandai, ia diminta oleh bosnya untuk membantu pekerja di laboratorium. Asih sempat ditawari untuk melanjutkan kuliah di Arab Saudi, namun ia menolak karena untuk itu ia harus mau menikah dengan salah seorang kerabat keluarga tersebut di Arab Saudi. Setelah bekerja selama 2 tahun, Asih memutuskan untuk pulang dan melanjutkan kuliah. Pada saat yang sama adik laki-lakinya harus masuk SMA. Asih memilih untuk mengalah dan uang yang ia kumpulkan digunakan untuk biaya masuk SMA yang pada saat itu cukup tinggi. Karena tidak jadi melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, Asih, yang sudah terbiasa bekerja, memilih untuk merantau lagi. Pada saat itu bekerja di Arab Saudi sudah tidak dapat dilakukan lagi karena adanya penghentian pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah. Akhirnya Asih memilih untuk bekerja di Taiwan sebagai perawat orang tua. Sampai saat ini, Asih telah bekerja selama 2 kali masa kontrak – atau kurang lebih 6 tahun – dan baru saja memperbaharui kontraknya. Asih bekerja pada keluarga Korea yang baik yang sejak awal bekerja mengijinkan Asih untuk menjalankan kewajiban agamanya. Beberapa teman Asih yang bekerja di Taiwan harus menghadapi kenyataan tidak dapat melakukan kewajiban agama. Di Korea, Asih tinggal hanya berdua dengan orang tua yang dirawatnya. Setiap 2-3 bulan sekali Asih mengirimkan uang sebesar 5-10 juta rupiah pada ibunya untuk membiayai kuliah adik-adiknya. Saat ini, kedua adiknya berhasil menamatkan pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Adik perempuan Asih, yang bernama Ratna, telah menamatkan pendidikan D3 jurusan transportasi udara telah menikah dan saat ini tinggal di rumah keluarga mereka. Ratna memiliki harapan dapat mendaftarkan diri untuk bekerja di Bandar Udara Kertajati di Majalengka, namun harapan ini pupus ketika ia mendengar bahwa untuk dapat bekerja di Bandar Udara Kertajati, calon pegawai dikenakan pungutan sebesar Rp.17.500.000,-. Jumlah ini terlalu tinggi untuk keluarga mereka, dan Ratna berharap kakaknya Asih mau membantunya untuk mendapatkan uang agar dapat bekerja di sana. Sampai saat ini, uang tersebut belum terkumpul dan Ratna masih belum bekerja. Sedangkan adik laki-laki terkecil Asih, Totok, saat ini telah lulus S1 dari jurusan keperawatan dan sedang melakukan magang di sebuah klinik di Depok, Jawa Barat. Ibu Asih sangat bangga dengan apa yang telah dilakukan Asih untuk adik-adiknya dan selalu merasa bahwa apa yang berhasil dicapai keluarganya adalah hasil kerja keras anak sulungnya. Hal-hal yang tidak dapat dicapai ibu Asih dan Asih dapat dicapai oleh adik-adik Asih melalui perjuangan dan pengorbanan Asih.

catharinaindirastutiforUNDP 22

Asih sempat pulang ke desa Babakan Ciwaringin dan dinikahkan setelah perpanjangan kontrak kerja kedua ia selesaikan. Karena terbiasa tinggal di Taiwan, setelah menikah Asih memilih untuk kembali ke Taiwan. Suami Asih, yang pada saat itu tidak memiliki pekerjaan tetap, akhirnya turut merantau ke Taiwan dan bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Setelah tinggal di Taiwan selama lebih dari 6 tahun, Asih telah menguasai bahasa lokal yang sehari-hari digunakan. Karena tugas sehari-harinya adalah merawat seorang nenek yang berusia lanjut dan telah sakit-sakitan, Asih juga belajar untuk memberikan obat-obatan yang dibutuhkan, juga menyuntik obat jika dibutuhkan. Kemampuannya ini membuat Asih semakin disayangi keluarga Taiwannya. Keluarga dari nenek yang dirawatnya tidak mengijinkan Asih untuk pulang sampai orang tua mereka meninggal dunia. Sebelum Asih menikah, ia sempat akan dilamar oleh salah seorang kerabat keluarga Taiwan dimana ia bekerja. Hal ini juga ditawarkan oleh agen tenaga kerja yang mengurus kepergian Asih kepada ibunya. Asih menolak, karena pada prinsipnya pernikahan yang akan berlangsung adalah seperti transaksi jual beli antara Ibunya dan keluarga Taiwan tersebut. Untuk melepaskan anaknya, Ibunya dijanjikan akan dibayar sebesar 7 miliar rupiah, dan jika segala dokumen telah diurus dan pembayaran telah dilakukan, ibunya tidak diizinkan untuk berhubungan lagi dengan anaknya. Dalam percakapan yang dilakukan dengan ibu Asih, tersirat kesan bahwa ibu Asih tidak ikut mengambil keputusan dalam persoalan ini. Ibu Asih bercerita bahwa segala keputusan diambil oleh Asih, meskipun ia yang dihubungi agen tenaga kerjanya untuk bersedia melepaskan Asih. Asih pada saat itu berpesan pada ibunya bahwa “uang yang ditawarkan bukanlah rezeki tapi cobaan”, untuk mengingatkan ibunya untuk tidak menerima tawaran yang diberikan. Menurut Asih, keluarga salah seorang rekannya, yang juga bekerja sebagai asisten rumah tangga, pernah menerima tawaran pernikahan yang datang ke orang tuanya. Dengan bayaran 3 miliar rupiah, rekan Asih menikah dengan seorang Taiwan. Tidak diceritakan bagaimana keadaan perkawinannya, namun dari cerita yang ia dapatkan, rekan Asih harus memutuskan hubungan dengan keluarganya di Indonesia dan menjadi hak dari suaminya di Taiwan. Karena tawaran untuk menikah inilah akhirnya Asih memutuskan untuk menikah dengan teman sekampungnya. Meskipun akhirnya tetap kembali ke Taiwan dan hidup terpisah dari suaminya, Asih tidak lagi mendapat tawaran untuk menikah dengan kerabat keluarga Taiwannya. Saat ini meskipun tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi, Asih mulai ikut kursus untuk membuat roti. Ia bercita-cita akan membuka sebuah bakery jika nanti telah kembali ke Indonesia.

e. Perempuan dari Keluarga Miskin di Desa Babakan Ciwaringan: Tulang Punggung

Keluarga yang “Dikorbankan” Isu relasi gender dan posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat desa Babakan yang paling mengemuka adalah kekerasan ekonomi yang dialami sebagian perempuan desa Babakan, khususnya yang datang dari keluarga miskin. Anak-anak perempuan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi. Meskipun sarana pendidikan telah ada di desa Babakan Ciwaringin, namun biaya pendidikan yang relatif tinggi membuat sulit bagi penduduk desa biasa untuk mengakses sarana yang ada. Ketimpangan cukup terasa karena bangunan-bangunan tinggi dari pesantren dan sekolah menengah atas nampak dimana-mana. Mobil-mobil juga tampak mengantarkan anak-anak dari luar desa yang ingin bersekolah di sekolah terbaik di desa. Namun orang-orang desa Babakan Ciwaringin sendiri belum tentu dapat melanjutkan pendidikan sampai tingkat SMA. Anak perempuan, terutama anak perempuan tertua, seringkali dikorban untuk menyelamatkan kehidupan keluarganya. Terlepas dari potensinya untuk melanjutkan pendidikan, jika ia memiliki adik-adik yang masih harus melanjutkan sekolah, maka kesempatan untuk bersekolah akan lebih diutamakan untuk adik-adiknya, terutama adik laki-laki. Dalam hal ini, perempuan masih ditempatkan pada posisi yang tidak setara dengan laki-laki dan dipandang tidak akan harus

catharinaindirastutiforUNDP 23

menghidupi keluarganya. Padahal melihat kenyataan yang terjadi, banyak perempuan desa Babakan Ciwaringin yang justru harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Anak-anak perempuan yang berhenti sekolah setamat SD atau SMP menjadi sangat riskan mengalami berbagai macam ketidakadilan berbasis gender, dan yang paling tampak adalah kekerasan ekonomi. Dalam beberapa kasus yang ditemukan, anak perempuan tidak memiliki banyak pilihan untuk menentukan jalan hidupnya. Anak-anak perempuan yang telah disiapkan sejak kecil untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena membantu ibunya dianggap telah siap untuk menangani tanggung jawab rumah tangga meskipun usianya masih muda. Hal ini membuat anak-anak perempuan memiliki risiko menikah muda dan pria yang dipilihkan oleh orang tuanya, tanpa dapat mengatakan tidak. Tatacara hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah yang sangat dibatasi, mengikuti pakem aturan yang diterapkan di pesantren, membuat pernikahan seringkali tidak terjadi atas dasar mau sama mau tetapi karena kesepakatan keluarga. Perjodohan terjadi terutama di lingkungan keluarga miskin. Calon suami seringkali dianggap sebagai penyelamat yang tidak hanya mengubah nasib anak perempuan yang dinikahi, namun juga nasib keluarganya. “Perdagangan” anak/perempuan terjadi baik secara halus maupun secara terbuka. Dalam satu kasus yang ditemui, anak perempuan yang belum berusia 18 tahun dinikahkan menjadi istri ketiga dari seorang mandor proyek yang hanya sementara saja tinggal di desa ini. Dikunjungi hanya 2-3 kali sebulan ketika harus mengawasi proyek merupakan hal yang harus diterima, dengan balasan rumah orang tua yang diperbaiki dan kebutuhan keluarga besar anak perempuan yang dicukupi. Kepatuhan yang diajarkan sejak kecil juga menyebabkan anak perempuan umumnya tidak dapat melawan keputusan yang diambil orang tua dan hanya pada saat situasi hidup sudah tidak tertahankan lagi maka anak perempuan, yang telah menjadi dewasa, berani mengajukan cerai. Menurut salah satu narasumber yang pernah menjadi Pembantu Pencatat Nikah (P3N) di kantor desa menyatakan bahwa perceraian merupakan hal yang cukup sering terjadi di desa ini. Meskipun tidak ada angka yang ditunjukkan, namun ia mengaku tidak mampu bertahan dalam tugas ini karena banyaknya kasus-kasus perceraian yang harus dihadapi. Dengan cara yang lebih terbuka, perdagangan perempuan dilakukan antar negara. Dimulai dari pengiriman sebagai tenaga kerja, dengan biaya yang harus dibayarkan di depan ataupun dipotong dari penghasilan sebulan tanpa sepengetahuan pekerja (dibayarkan oleh pemberi kerja) sampai penawaran terbuka yang diberikan pada orang tua perempuan dengan imbalan uang dalam jumlah besar agar anak perempuannya dilepaskan agar dapat dinikahi dengan konsekuensi putus hubungan dengan keluarga di desanya. Jumlah uang yang dijanjikan yang sangat besar, relatif untuk masyarakat desa, membuat dalam kasus-kasus tertentu orang tua menyetujui kesepakatan ini dan melepaskan anak mereka menjadi pasangan orang asing yang tidak dikenalnya. Pernikahan dengan perjodohan juga merupakan hal yang terjadi di lingkungan pesantren. Dengan sistem sosial yang memisahkan santriwan dan santriwati, pernikahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren lebih banyak terjadi melewati perjodohan atau dipilihkan oleh pengasuh pesantren. Beberapa santriwati yang terpilih juga dijodohkan pada ustadz yang mengabdi pada pesantren. Kondisi ini merupakan kondisi yang sangat umum terjadi. Ketika dijodohkan, santriwati akan ditanya kesediaannya, dan jika ia tidak menjawab dalam waktu singkat maka ia dianggap bersedia untuk dinikahkan. Beberapa santriwati yang ditemui juga bercanda “kami bisa boyongan dalam waktu cepat, atau bisa juga tidak pulang sama sekali karena dijodohkan di sini”. Berjodoh dengan ustadz, meskipun belum dikenalnya dengan baik, merupakan salah satu impian orang tua yang menyekolahkan anak-anak perempuan di pesantren.

IBU INE – PERNIKAHAN ANAK UNTUK MENOPANG ORANG TUA

Ibu Ine adalah penduduk asli desa Babakan Ciwaringin. Ia adalah seorang ibu berusia 40 tahun dengan 4 orang anak. Ibu Ine tinggal di sebuah rumah yang berdekatan dengan Kantor Desa karena ayahnya pernah

catharinaindirastutiforUNDP 24

menjadi penjaga Kantor Desa selama bertahun-tahun. Meskipun ayahnya telah meninggal, ibu Ine tetap menempati rumah orang tuanya di dekat kantor desa. Ia adalah anak ke 6 dari 10 bersaudara dan merupakan anak yang paling patuh pada orang tuanya. Ketika kakak dan adiknya memilih untuk pindah ke desa atau daerah lain, Ibu Ine adalah satu-satunya anak yang diminta oleh ayahnya untuk tetap tinggal dan merawat kedua orang tuanya. Ketika ia masih muda, ayahnya bekerja sebagai tukang becak dan harus menghidupi 10 orang anak-anaknya. Ine kecil yang saat itu baru lulus sekolah dasar tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP karena orang tuanya kehabisan biaya. Ibu Ine sempat berinisiatif untuk memperoleh ijazah SMP melalui program Paket B, namun ia tidak berhasil menyelesaikannya. Salah satu alasan mengapa ia tidak berhasil menyelesaikan SMPnya adalah karena pada pagi ia harus ikut bekerja bersama orang tuanya menjadi buruh di sawah atau di industri rumahan batubata yang banyak terdapat di sekitar desanya. Ia telah mulai bekerja sebagai buruh sejak ia masih duduk di kelas 6 SD. Kakak-kakak ibu Ine juga bekerja bersama untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Tidak ada dorongan dari kedua orang tuanya bagi anak-anak mereka untuk meneruskan sekolah, yang dalam pandangannya terkait dengan rendahnya pendidikan kedua orang tuanya. Pada usia 13 tahun ibu Ine mulai bekerja sebagai buruh di pabrik genteng di desanya. Ia bertugas menjemur dan mengangkat genteng-genteng yang telah kering dan dibayar 8.000 rupiah untuk satu hari kerja. Ia sempat bekerja di pabrik genteng selama tiga tahun sebelum pindah dan bekerja pada pabrik rotan untuk upah harian yang lebih tinggi, sebesar 15.000 rupiah perhari, dan untuk lingkungan kerja yang lebih bersih. Pekerjaannya sebagai penjemur genteng mengharuskan ibu Ine untuk bekerja dengan tanah yang kotor dan berbau solar sepanjang hari. Setelah bekerja pada pabrik rotan selama dua tahun, pada usia 17 tahun orang tuanya meminta ibu Ine untuk menikah dengan seorang kenalan orang tuanya. Ia mengaku tidak mengenal orang yang akan menikah dengannya dan menikah karena dijodohkan. Calon suaminya adalah seorang “bos”yang berasal dari Madura yang pada saat itu sedang mengerjakan sebuah proyek di desanya. Ibu Ine menyadari bahwa orang tuanya melakukan hal ini karena suami pertamanya telah memberikan sejumlah uang pada orang tuanya. Ia sempat menolak, karena masih sangat muda dan belum siap menikah. Sebelum mendekati Ibu Ine, orang tuanya telah meminta kakak-kakak perempuannya untuk menikah dengan suaminya ini, namun mereka semua menolak untuk dijodohkan. Ibu Ine yang ingin menolak kemudian memilih patuh pada permintaan orang tuanya karena ia menyadari bahwa ini merupakan satu-satunya cara bagi keluarganya untuk mengubah kondisi kehidupan mereka yang sangat miskin. Pada saat itu ia menyadari bahwa keluarga mereka sering direndahkan oleh tetangga mereka karena kemiskinan mereka. Ia merasa kasihan karena kedua orang tuanya harus bekerja keras untuk dapat menghidupi dirinya dan kakaknya. Menikahi seorang bos adalah satu-satunya cara yang dapat ia tempuh untuk membantu orang tuanya. Suami pertamanya pada saat itu telah berusia lebih dari 40 tahun dan telah memiliki dua orang istri di kota lain. Ia meminta Ibu Ine untuk menjadi istrinya karena membutuhkan seorang perempuan untuk mengurusinya selama ia mengerjakan proyek di dekat desa mereka. Suaminya mengenal Ibu Ine lewat salah satu kerabatnya yang bekerja pada pabrik dimana suaminya menjadi pemborong. Kepada kerabatnya inilah suaminya menyatakan keinginannya untuk mencari seorang istri di Cirebon. Akhirnya ia menikah pada usia 18 tahun. Ketika mengawali pernikahannya, ia sempat merasa ketakutan. Ia hanya mengenal calon suaminya selama dua minggu sebelum menikah. Ia sempat menyesali keputusannya dan bermaksud melarikan diri, namun akhirnya mengurungkan niatnya setiap kali ia mengingat orang tuanya. Pernikahan ini membawa perbaikan bagi keluarganya. Ke empat adiknya berhasil menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMP, bahkan salah satu di antara mereka berhasil menyelesaikan STM. Hal ini terjadi karena ia mendesak kedua orang tuanya untuk tetap membiarkan adik-adiknya melanjutkan pendidikan. Ia mengaku menerima nasibnya dengan pasrah, dan mencoba berlaku seperti yang diharapkan suami dan orang tuanya. Ia tidak meminta uang lebih dari yang diberikan suaminya, dan sambil mencoba selalu memenuhi kebutuhan orang tua dan suaminya. Ia tetap tinggal di rumah orang tuanya yang kemudian diperbaiki oleh suaminya, dibelikan berbagai perabot rumah tangga dan termasuk menyambungkan listrik

catharinaindirastutiforUNDP 25

di rumahnya. Pada saat itu ia merasa bersyukur karena pengorbanan yang ia lakukan memberi kebaikan untuk keluarganya, mereka saat itu dapat mendengarkan radio dan menonton TV seperti tetangga-tetangga lainnya. Suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta bersama istri lainnya, dan hanya mengunjungi ibu Ine 3 kali dalam sebulan. Ibu Ine mengakui bahwa meskipun jarang berkunjung suaminya tetap memenuhi seluruh kebutuhannya dan keluarganya. Ia sering membawakan makanan pokok untuk keluarganya, selain uang untuk membiayai kebutuhan keluarganya. Dari suami pertamanya ia sempat memiliki dua orang anak: seorang anak perempuan yang kini telah berusia 22 tahun, dan seorang anak laki-laki yang kini berusia berusia 19. Ketika akhirnya suaminya semakin jarang datang mengunjungi, setelah 4 tahun menikah, dan ia mendengar bahwa suaminya menikah lagi di kota lain, ibu Ine akhirnya memutuskan untuk meminta cerai. Ketika itu usia anak keduanya baru dua bulan. Setelah bercerai, Ibu Ine memutuskan untuk bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi untuk meninggalkan situasi hidup yang tidak menyenangkan yang ia rasakan. Ketika itu suaminya masih sering datang dan memintanya untuk membatalkan perceraian mereka. Anak-anaknya ia titipkan pada salah satu kakak perempuannya. Ketika itu aturan pengiriman buruh migran masih tidak ketat, bahkan beberapa rekan ibu Ine dapat berangkat meskipun ia buta huruf, sementara ibu Ine lulusan sekolah dasar dan dapat membaca dan menulis. Tidak ada persyaratan ijazah yang diminta dan ibu Ine segera mendapatkan pekerjaan di Arab Saudi. Tanpa ketrampilan memadai, Ibu Ine berangkat untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga. Ia dapat melakukan tugasnya dengan baik karena sejak kecil ia telah bekerja membantu ibunya. Selama 2 bulan ia mengalami tekanan berat, bukan karena perlakukan keluarga kepada siapa ia bekerja, namun karena ia tidak dapat berbicara pada siapa pun karena tidak menguasai bahasa Arab. Setelah dua bulan ia akhirnya menguasai bahasa sehari-hari. Setiap bulan ia memperoleh penghasilan 600 Riyal, atau 1,2juta rupiah. Setelah bekerja selama 2 tahun, Ibu Ine memutuskan untuk kembali dengan membawa uang 26 juta rupiah yang ia gunakan untuk membeli sebidang tanah. Tanah ini akhirnya diberikan pada kakak perempuannya, ketika ayahnya meminta ibu Ine untuk tinggal bersamanya. Kedua anaknya sempat ia besarkan sampai mereka duduk di bangku SMP dengan yang tunjangan yang tetap dikirimkan mantan suaminya. Ketika masuk ke SMA anak-anaknya pindah ke Jakarta bersama ayah mereka untuk melanjutkan pendidikan sampai lulus SMA. Ibu Ine akhirnya dijodohkan lagi oleh ayahnya, namun pada perkawinan keduanya ia menikah dengan seorang laki-laki seusianya. Dengan suami keduanya, Ibu Ine memiliki dua orang anak, yang saat ini berusia 16 tahun dan 9 tahun. Suaminya bekerja sebagai supir mobil tangki air yang mengisi air ulang di wilayah Kabupaten Cirebon, sedangkan Ibu Ine membantu suaminya dengan bekerja di pabrik briket. Ia telah bekerja sebagai buruh harian di pabrik briket selama 5 tahun terakhir. Ia bertugas untuk melakukan pengepakan produk briket yang mereka produksi. Briket terbuat dari bubuk tempurung kelapa yang dibakar dan dipadatkan dengan dicampur tepung kanji dan bahan bakar solar. Proses produksi briket merupakan proses produksi yang memiliki risiko kesehatan karena debu abu kelapa beterbangan di seluruh ruangan. Ia memilih bagian pengepakan karena bagian lain lebih banyak terpapar debu kelapa. Sebelum menangani bagian pengepakan ia sempat menangani bagian pengayakan dan setiap hari ia merasa sesak napas dan mengalami iritasi mata. Untuk mencegah radang pernapasan dan paru-paru karena menghirup debu bakaran kelapa setiap hari, setiap minggu setiap karyawan diharuskan meminum susu putih. Ibu Ine dibayar borongan berdasarkan banyaknya kemasan yang ia hasilkan. Dengan menghasilkan sekitar 35 boks perhari, ia dapat memperoleh penghasilan sebesar Rp.100.000,- sehari, lebih tinggi dari buruh harian. Selain itu dengan bekerja borongan ia dapat menentukan waktu kerja, karena pada saat yang sama ia harus merawat ibunya yang sakit. Seringkali ia memutuskan untuk bekerja setengah hari agar ia dapat pulang ke rumah. Ia bekerja 6 hari seminggu. Setiap minggu ia dapat memperoleh penghasilan 600-700ribu rupiah, kecuali jika ia harus bekerja setengah hari untuk merawat ibunya. Sebagian besar buruh pada pabrik briket ini adalah buruh perempuan harian yang menjalankan tugas untuk membakar/oven, mengayak dan mencampur adonan briket. Buruh harian memperoleh penghasilan 75.000

catharinaindirastutiforUNDP 26

rupiah perhari. Dalam bekerja mereka menggunakan masker dan menjalani pemeriksaan kesehatan dari waktu ke waktu. Pekerjaan dengan risiko kesehatan tinggi ini tidak disertai dengan jaminan kesehatan yang memadai, kecuali untuk kecelakaan yang terjadi di tempat kerja. Untungnya ibu Ine masih memperoleh jaminan kesehatan dari pemerintah. Briket yang dihasilkan diekspor ke berbagai pasar di Eropa dan Timur Tengah sebagai bahan bakar perapian pada musim dingin. Pabrik briket ini sendiri dimiliki oleh seorang pengusaha asing dari Arab Saudi. Di luar penghasilannya sendiri, yang dapat mencapai sekitar 2 juta rupiah, suaminya ikut menopang kebutuhan keluarga dengan penghasilannya sebagai supir tembak yang mengangkut air isi ulang. Penghasilan suaminya 300rb rupiah perhari, namun tidak setiap hari ia memperoleh pekerjaan. Setiap bulan, jika banyak kerja yang ia lakukan, ia memperoleh penghasilan sampai 1 juta rupiah. Sebagian besar kebutuhan keluarga diperoleh dari penghasilan Ibu Ine. Banyaknya tanggung jawab yang harus ia lakukan membuat Ibu Ine tidak dapat mengikuti banyak kegiatan sosial di desanya. Ia harus mengurus rumah tangganya, mengurus ibunya yang sakit dan bekerja sebagai pada pabrik briket.

Kekerasan yang dialami perempuan dari desa Babakan Ciwaringin tidak lepas dari terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi anak-anak muda di sana, terutama untuk laki-laki. Sebagian besar pekerjaan yang tersedia adalah menjadi buruh harian di pabrik, sementara pabrik lebih banyak menerima pekerja perempuan dengan berbagai alasan. Rohmat, seorang pemuda desa yang telah menikah dan saat ini bekerja sebagai pengemudi ojek online di Cirebon mengatakan bahwa laki-laki desa Babakan Ciwaringin, terutama yang memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki ketrampilan yang membuatnya mudah mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar pabrik: pabrik genteng, pabrik garmen maupun pabrik briket lebih menyukai pekerja perempuan karena lebih trampil. Sedangkan untuk pekerja laki-laki, lapangan kerja yang tersedia adalah pada bengkel/usaha jual beli besi ataupun di pabrik rotan. Namun industri rotan yang awalnya banyak terdapat di wilayah ini mulai bangkrut ketika bahan baku rotan menjadi lebih sedikit. Perempuan-perempuan desa Babakan Ciwaringin sesungguhnya merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga, namun konstruksi gender yang dibentuk tetap menempatkan perempuan di bawah suaminya. Dalam banyak rumah tangga, khususnya dalam rumah tangga miskin, perempuan yang bekerja sebagai buruh harian, baik sebagai petani maupun pekerja pabrik, memiliki penghasilan tetap yang selalu dapat ia bawa pulang untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya, kaum laki-laki, menurut pengakuan salah satu narasumber laki-laki yang merupakan penduduk asli desa ini, lebih suka bekerja secara borongan karena hasilnya lebih besar. Namun demikian, pekerjaan borongan tidak selalu ada, sehingga pada akhirnya, pendapatan harian/mingguan yang diperoleh perempuanlah yang lebih pasti dapat menopang kehidupan keluarganya. Dengan beban sebagai pencari nafkah utama, perempuan tetap harus menanggung beban di ranah domestik, baik untuk melahirkan dan merawat anak-anaknya maupun untuk mengelola rumah tangganya. Banyaknya beban yang harus ditanggung perempuan membuat sulit bagi perempuan untuk dapat melakukan tugas lain di luar tugas reproduksi dan produksi. Hal ini terbukti dari sedikitnya perempuan desa yang turut aktif dalam kegiatan sosial di desa, seperti PKK dan menjadi kader Posyandu, kecuali kegiatan pengajian yang memang menjadi ciri khas masyarakat desa Babakan Ciwaringin.

catharinaindirastutiforUNDP 27

4. KEHIDUPAN PESANTREN DESA BABAKAN CIWARINGIN Kehidupan keagamaan di berbagai wilayah di Indonesia umumnya bertalian erat dengan budaya lokal yang diturunkan generasi ke generasi oleh para penganut dimana agama itu tumbuh dan berkembang. Dalam pertalian ini, ritual-ritual keagamaan yang sesungguhnya berasal dari ritual agama asli turut mewarnai ritual baru yang dipelajari melalui agama baru. Hal ini juga berlaku di desa Babakan Ciwaringin. Kehadiran puluhan pesantren yang sangat mewarnai kehidupan desa juga diikuti dengan ritual-ritual penyembahan yang menyertai kisah-kisah mistis tentang kehidupan para pemimpin agama yang mengawali penyebaran agama. Kisah-kisah mengenai ritual yang dilakukan untuk mewujudkan keinginan, kunjungan orang-orang yang akan diangkat menjadi pejabat tinggi ke makam-makam para Kyai pendiri pesantren hingga legenda tentang buaya putih yang hidup di sungai yang membelah desa yang dikisahkan dari mulut ke mulut mewarnai percakapan yang terjadi dengan penduduk desa. Desa Babakan Ciwaringin merupakan desa santri yang masih kuat memegang budaya lokal yang saling menjalin dengan ritual keagamaan yang dilakukan dengan patuh. Memasuki wilayah pesantren desa Babakan Ciwaringin adalah memasuki sebuah kampung dengan 6000 orang muda yang merantau, meninggalkan rumah keluarga yang nyaman, untuk dapat menimba ilmu, belajar agama dari kyai-kyai terkemuka yang memimpin puluhan pesantren di desa ini. Anak-anak dan remaja laki-laki yang menggunakan kopiah, sarung dan baju koko yang berlarian di gang-gang sempit, dan anak-anak serta remaja perempuan berkerudung dan berbaju panjang berjalan menunduk dengan tas yang didekap di dada, sambil sesekali berhenti mencium tangan orang-orang yang mereka hormati di jalan. Sekali waktu, ketika pertama kali kami berkunjung ke sebuah pesantren besar di wilayah ini dnegan mobil pada masa awal penerimaan murid baru, para santri muda yang baru pulang dan sedang berjalan menuju pesantren yang kami kunjungi segera berjajar di pinggir jalan dan menunduk dalam-dalam menanti mobil kami lewat. Kali lain, ketika kami berkeliling di dalam sebuah pesantren ditemani Kyai pengasuh pesantren itu, tiga orang santri yang sedang memanjat untuk memperbaiki genteng yang rusak segera turun dan berdiri sambil menunduk dalam menghormat pada pengasuh pesantren mereka. Pada sore hari, dari aula-aula pesantren yang tersebar hampir di semua gang-gang yang ada di RW 2, suara anak-anak mengaji dan guru-guru mengajar terdengar bersahut-sahutan dari satu bangunan ke bangunan lain. Tak lama, santriwan dan santriwati keluar dari kamar-kamar asrama mereka membawa handuk dan ember kosong, bersiap untuk mengambil cucian dan antri mandi sore. Anak-anak kecil, yang mungkin masih berusia 8-9 tahun, tampak takut dan ragu-ragu ketika memandang kami, juga orang tua dengan motor dan mobil yang disewa, duduk di pinggir kebun, berharap dapat menengok anak-anak mereka yang baru beberapa minggu mulai mondok di pesantren. Suasana ini terasa begitu kental di desa Babakan Ciwaringin. Desa Babakan Ciwaringin merupakan salah satu pusat pesantren yang terkenal di Indonesia, setingkat dengan desa-desa pesantren di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tradisi pesantren mulai ada di desa Babakan Ciwaringin sejak tahun 171512, sekitar 3 abad yang lalu dengan didirikannya pesantren Raudlatut Tholibin oleh Kyai Hj Hasanuddin bin Abdul Latief, atau yang di kemudian hari sering disebut Syekh Jatira13. Nama Syekh Jatira menjadi terkenal karena melakukan perlawanan pada penjajah Belanda, seperti yang tertulis dalam Sejarah Babakan, pada masa ketika Jalan Anyer Panarukan dibangun oleh Daendels. Perlawanan Syekh Jatira diawali karena ia tidak ingin Jalan Anyer Panarukan dibangun melewati padepokannya. Oleh Syekh Jatira jalan ini dibelokkan agar tidak melalui pesantren. Awalnya Belanda tidak mengetahui apa yang ia lakukan, tapi akhirnya berita inipun bocor ke pihak Belanda. Dari sini diawali Perang Cirebon – atau lebih terkenal dengan sebutan Perang Kedondong. Meskipun pada akhirnya kalah dan padepokannya

12 Terdapat beberapa versi tahun berdirinya pesantren Raudlatut Tholibin. Sampai laporan ini dibuat, belum ada informasi yang lebih akurat mengenai tahun berdiri pesantren pertama di desa Babakan Ciwaringin. 13 Dalam sejarah pendirian Pesantren Radlatut Tholibin, disebutkan bahwa Syekh/Ki Jatira memperoleh julukan ini karena padepokan pertama yang didirikan dibangun di antara dua akar pohon jati (Jati Ro). Ketika itu desa Babakan Ciwaringin masih dipenuhi oleh pohon Jati. Meskipun padepokan awal ini akhirnya dihancurkan Belanda dalam perang Kedondong, nama Ki Jatira tetap terbawa sampai saat ini sebagai pendiri padepokan pertama di desa Babakan Ciwaringin. Padepokan yang kemudian dibangun kembali berpindah dari posisi lamanya ke wilayah baru di Blok 2.

catharinaindirastutiforUNDP 28

dibakar Belanda, padepokan ini akhirnya didirikan kembali oleh penerusnya dan masih berdiri sampai sekarang. Dari penerus Syekh Jatira inilah tradisi pesantren dikembangkan, dan keturunan mereka kemudian mulai mendirikan pesantren mereka di wilayah desa Babakan Ciwaringin, yang hingga tahun 2018 mencapai 41 pesantren dengan hampir 7.000 santri perempuan dan laki-laki. Pesantren sesungguhnya identik dengan tempat tinggal dengan kamar-kamar (pondokan) dimana para murid mondok untuk tinggal hidup bersama di bawah asuhan Kyai pemimpin pesantren dan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan yang berlangsung dari subuh hingga malam hari menjelang waktu tidur. Selain mondok di pesantren dan belajar agama (termasuk mempelajari kitab kuning), para santriwan dan santriwati juga mendapatkan berbagai pendidikan lainnya yang diharapkan menempa mental mereka menjadi anak-anak muda yang kuat. Untuk pendidikan pesantren, terdapat dua jenis sekolah yang diakui: (1) pendidikan yang bersifat salafiyah14; dan (2) pendidikan umum yang bersifat formal. Umumnya para santri belajar di sekolah formal pada pagi hingga siang hari, yang kemudian dilanjutkan belajar di sekolah salafiyah (atau diistilahkan madrasah diniyah) pada sore harinya. Pada pesantren-pesantren besar umumnya juga didirikan sekolah dalam satu payung yayasan dan di dalam satu kompleks pesantren; seperti Madrasah Tsanawiyah dan Aliyyah yang dimiliki pesantren besar seperti Pesantren Assalafie, Pesantren Kebon Jambu dan Pesantren Muallimin dan Muallimat. Sedangkan pesantren yang jumlah santrinya di bawah 100 biasanya tidak memiliki fasilitas sekolah umum dan akan mengirim santrinya untuk bersekolah di sekolah formal di luar pesantren, seperti di SMPN, MAN, SMK atau SMAN. Desa Babakan Ciwaringin juga memiliki beberapa perguruan tinggi agama, seperti STAIMA (Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Aly), STID (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah), dan sebuah perguruan tinggi khusus Mahad Aly. Meskipun mempelajari ilmu keagamaan, saat ini status Perguruan Tinggi Ma’had Aly sudah disamakan oleh pemerintah RI. Adapun jumlah santri dalam satu pesantren memiliki rentang antara 20 orang santri sampai terbanyak dapat mencapai jumlah di atas 1.000 orang santri dalam satu pesantren. Berikut adalah data pesantren dan jumlah santri yang mondok pada tahun ajaran 2017-2018.

Tabel 3. Jumlah Santri Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin CirebonTahun 2017-201815

No. Nama Pondok Pengasuh Jenis Kelamin Total L P

1 Mu’allimin dan Mu’allimat Pusat Nyai Hj. Masturoh Amin 210 203 413 2 Mu’allimin dan Mu’allimat Tegal Temu KH Zamzam Amin 79 53 132 3 Madrasah Mu’allimat KH Zamzam Amin 271 271 4 Al Huda Putra dan Putri Ust. Rumli Kamili/Nyai To’ifah 25 35 60 5 Al Ikhlas Putra dan Putri Ust. Salman Al Farisi 25 60 85 6 Baitussolihin Putra dan Putri Ust. H. Abdurrohim /

Ust.Hj. Uswatun 22 40 62

7 MQHS Putra dan Putri KH. Tamam Kamali 32 70 102 8 HUQ Putra dan Putri KH Nurhadi Thoyib 63 105 168 9 Assalafie dan Assalafiyat KH Azka Hammam Sy 688 230 918

10 Assalafiyat Kebon Kangkung KH Azka Hammam Sy 79 79 11 Assalafiyat Kebon Salak KH Yasif Maimun Sy 194 194 12 Masyariqul Anwar Putra dan Putri KH Rahmat Jauhari 75 80 155 13 Alfain Putra dan Putri KH Zainuddin Sofwan 38 43 81 14 Al Gifari Putra dan Putri Ust. Izzuddin 27 20 47

14 Pesantren Salafiyah adalah pesantren yang mengkaji kitab-kitab kuning. Identik dengan pesantren tradisional (jika diperbandingkan dengan pesantren modern – Pesantren Khalafiyah, Ashriyah atau Al-Haditsiyyah) dalam hal metode pengajaran dan infrastruktur. Di Pesantren Salafiyah, hubungan antara Kyai dan Santri cukup dekat secara emosional dan Kyai langsung terjun menangani santrinya. Jenis pesantren ketiga adalah kombinasi Pesantren Salafiyah dan Pesantren Modern. 15 Persatuan Seluruh Pesantren Babakan (PSPB), Data Jumlah Lembaga Pendidikan di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon tahun 2017-2018, Oktober 2017.

catharinaindirastutiforUNDP 29

15 Assolihah Nyai Hj. Rohmah Hasan 65 65 16 Al Kautsar KH Muhaimin As’ad 33 33 17 Al Kautsar Kasab KH Muhaimin As’ad 28 28 18 Miftahul Muta’allimin KH Muhaimin As’ad 107 107 19 Miftahul Muta’allimat Ust Hisyam 49 49 20 Al Hayat Putra dan Putri Ust Hisyam 2 2 4 21 Kebon Jambu Al Islami Putra dan Putri Ust Hasan Rahmat/

Nyai Hj Masriyah Amva 900 430 1330

22 Kebon Melati Ust Safii Asmali 50 50 23 Assanusi K Munir 321 321 24 Assanusiyah KH Abdul Qohhar 250 250 25 Assa’adah KH Abdurrahman 220 220 26 Al Badar Ust Muhammad Fathoni 110 110 27 Azziyadah KH Asmawi 50 40 90 28 Al Muntadhor KH Burhanuddin 60 47 107 29 Al Hikmah Ust Abd Rosyid 15 15 30 Assyuhada Putri KH Naziyullah Fauzie 90 90 31 Bapen Pori Putri KH Amin Fuad 50 50 32 Manba’ul Falah Putra dan Putri KH Thoha Amin 10 24 34 33 Nurul Huda Putra dan Putri KH Saefulloh Amin 50 50 100 34 Al Azhar Putra dan Putri K Munif 50 50 100 35 MTBS Putra dan Putri Ust Yani 9 8 17 36 Ma’hadul Ilmi Ust Abdul Harits 85 85 37 Azzahra KH Sarif Abu Bakar 230 230 38 Roudlatu Tholibin KH Dahlan 140 140 39 Al Furqon KH Amin Fuad 18 18 40 Madinah Arrosul KH Syarif Husen 75 75 41 As-salam KH Muhtasun Baidlowi 35 35

JUMLAH 3141 3379 6520 Data di atas menunjukkan terdapat 3 pesantren besar (termasuk cabangnya) yang memiliki hampir 50 persen dari seluruh jumlah santri yang ada di desa Babakan Ciwaringin, yaitu pesantren Mu’allimin-Mu’allimat, pesantren Assalafie – Assalafiyat, serta pesantren Kebon Jambu yang secara total memiliki lebih dari 3.000 santri. Bapak KH Saefullah Amin (atau sering dipanggil Pak Hj Asep), yang menjadi salah satu narasumber utama dalam penelitian ini, merupakan sekretaris dari Persatuan Seluruh Pesantren Babakan (PSPB). Persatuan ini mengakomodir koordinasi antara seluruh pesantren yang ada di Desa Babakan Ciwaringin. Pak Hj Asep sendiri adalah pemimpin Pesantren Nur-Huda – yang merupakan pengembangan dari Pesantren Muallimin-Muallimat yang didirikan orang tuanya. Pendiri pesantren baru umumnya adalah anak laki-laki atau santri laki-laki senior yang kemudian dijodohkan dengan anak perempuan Kyai pemilik pesantren. Anak laki-laki dan menantu laki-laki diperlakukan secara sama – selama keilmu-agamaannya setara, sementara anak perempuan atau menantu perempuan, memiliki tempat di ruang domestik. Kalaupun perempuan memimpin sebuah kumpulan jama’ah, maka ia hanya dapat memimpin jama’ah perempuan. Dengan demikian, hampir semua pesantren dipimpin oleh seorang laki-laki, apakah itu anak dari Kyai yang memimpin sebelumnya atau menantu laki-lakinya. Perkecualiannya ada pada Pesantren Muallimat – yang dipimpin seorang Nyai – namun beliau hanya memimpin pesantren untuk santriwati saja. Keistimewaan dimiliki oleh Pesantren Kebon Jambu yang dipimpin oleh Hj.Masriyah Amva yang memimpin baik santriwan maupun santriwati. Pondok-pondok pesantren tersebar di 6 RW yang ada di desa Babakan Ciwaringin, namun sebagian besar pesantren berada di RW 2, termasuk pesantren-pesantren besar seperti Pesantren Kebon

catharinaindirastutiforUNDP 30

Jambu, Pesantren Assalafie, dan Pesantren Mu’allimin dan Mu’allimat. Pada santri memiliki rentang usia dari usia sekolah dasar hingga yang tertua adalah yang mengabdi sampai menyelesaikan kuliah. Adapula santri senior yang tetap tinggal di pesantren hingga mereka menikah dan memiliki anak, dan berperan sebagai pengajar dan pembimbing santri muda. Namun demikian sebagian besar santri yang hidup di desa Babakan Ciwaringin adalah anak-anak usia sekolah setingkat SMP dan SMA. Di desa Babakan Ciwaringin tidak ada panti asuhan, tapi tetap menerima anak-anak yang tidak mampu yang dijadikan “khodim”16 atau pembantu kiai yang diberi tugas menyapu, cuci piring, masak, tapi hal-hal lainnya diperlakukan sama – seperti fasilitas yang diterima, pengajaran yang diberikan, dsbnya diperlakukan sama seperti santri lainnya, namun karena ia tidak mampu maka ia dijadikan khodim untuk membantu kiai atau nyai. Ada juga “rukso” mampu tapi tidak membayar penuh, jadi hanya membayar sebagian biaya yang ditetapkan untuk menyantri di satu pondokan. Biaya pemondokan rata-rata relatif murah, sebesar 200.000-350.000 rupiah perbulan yang mencakup biaya pemondokan dan makan sehari-hari. Tinggi rendahnya biaya perbulan ditentukan oleh fasilitas yang diberikan pondok pesantren. Pesantren-pesantren besar seperti Assalafie, yang sudah memiliki fasilitas sekolah cenderung meminta biaya lebih tinggi untuk mondok dengan adanya fasilitas pendidikan formal. Tinggi rendahnya harga pemondokan juga ditentukan oleh jumlah santri: semakin banyak murid maka semakin murah biaya hidup di pesantren karena beban yang dibayar menjadi semakin ringan dibagi banyak orang. Terdapat sistem subsidi silang bagi para santri yang tidak mampu. Biaya yang besar justru harus dikeluarkan untuk biaya bersekolah di sekolah formal, khususnya di sekolah-sekolah di luar pesantren dengan uang masuk yang mencapai Rp.6.000.000,- (atau lebih tinggi lagi) dan biaya pendaftaran ulang hingga RP.2.500.000,-, di luar uang sekolah perbulannya. Para santri umumnya datang dari wilayah sekitar Cirebon: wilayah Indramayu, Kuningan dan Majalengka (atau dikenal dengan wilayah 3) – merupakan daerah asal dari sekitar 50% santri yang datang ke Babakan Ciwaringin. Selain dari wilayah 3, banyak juga santri yang datang dari wilayah Jabodetabek, Jawa Timur serta wilayah-wilayah lainnya karena kehidupan pesantren sudah mulai lebih dikenal melalui media sosial. Proses pengenalan ponpes umumnya masih lebih banyak dari mulut ke mulut, berdasarkan pengalaman turun temurun, misalnya ayah, ibu atau saudara dekatnya pernah “nyantri” di desa Babakan. Lembaga pendidikan formal dan pesantren saling bekerja sama dalam mendidik anak-anak muridnya. Salah satu contoh bentuk kerjasama yang dijalin adalah keistimewaan yang diberikan pada murid-murid pesantren untuk dapat diterima pada SMA atau SMK favorit. MAN atau SMK akan lebih mengutamakan anak-anak yang telah mapan hidup di pesantren. Hal ini dilakukan untuk lebih memudahkan proses belajar santriwan dan santriwati karena jarak sekolah dan pondok pesantren yang cukup dekat. Meskipun demikian kualitas anak tetap penting untuk dapat diterima di SMK, MAN, MTs. Kegiatan santri sangat padat, mulai dari bangun pagi para santriwan dan santriwati melakukan sholat subuh berjamaah, dilanjutkan dengan pengajian Qur’an atau pengkajian Kitab. Jam 6 pagi para santriwan dan santriwati mulai bersekolah umum hingga pukul 13.00. Pukul 14.00 dilanjutkkan dengan sekolah Diniyah di dalam pesantren masing-masing. Guru-guru santri umumnya mengambil alumni pesantren besar. Para santri baru dapat beristirahat setelah waktu sholat ashar, ini pun tidak termasuk santri yang mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Waktu istirahat berikutnya adalah setelah sholat maghrib sampai waktu sholat isa. Pengajian berikutnya dilakukan setelah sholat isa sampai pukul 21.30 dilanjutkan dengan belajar dan mengerjakan tugas-tugas pada pukul 21.30-22.30, baru

16“Khodim” – berasal dari Bahasa Arab yang berarti “orang yang melayani”. Yakni gelar bagi santri yang mengabdikan diri untuk melayani kebutuhan Kiainya. Adapun aktivitas pelayanan disebut “khidmah”. Tujuan khodim adalah kerelaan hati sang Kiai dan berkah mengabdikan diri sehingga ilmu si santri akan bermanfaat kelak di kemudian hari.

catharinaindirastutiforUNDP 31

mereka melakukan istirahat malam. Kegiatan ini belum termasuk kegiatan untuk mengurus kebutuhan diri dan juga mengelola pondokan mereka, seperti memasak, mandi, mencuci pakaian, membersihkan kamar, ataupun ruang bersama, dan kegiatan serupa lainnya yang diselipkan di antara padatnya jadwal mereka. Pengelolaan pesantren dipimpin oleh pengurus yang akan membagi tugas-tugas untuk menyediakan/memenuhi kebutuhan pesantren bersama-sama melalui jadwal piket kelompok.

Gbr.5. Suasana Pesantren dengan Gubuk-gubuk Pondok Pesantren Putra Piket dibagi kelompok 4 orang santri, yang memiliki tugas yang digilir, misalnya, membersihkan MCK, membersihkan halaman, memasak, dan tugas-tugas lainnya. Ro’an adalah waktu kerja bakti dimana seluruh santri akan turun tangan, seperti pada kegiatan Jum’at Bersih – kegiatan kerja bakti dilakukan mingguan. Untuk pesantren besar seperti Kebon Jambu atau Assalafie, para santri juga memiliki kegiatan lain, seperti bermusik, pramuka, olah raga, sedangkan pesantren kecil biasanya menggunakan lahan-lahan kosong untuk kegiatan mereka, seperti untuk bermain bola1718. Terdapat aturan ketat untuk santri perempuan yang rata-rata tidak boleh meninggalkan pesantren di luar jam sekolah. Santri perempuan yang mengikuti kegiatan ektsra kurikuler dihasruskan meminta surat ijin kehadiran seetiap kali mereka akan keluar untuk mengikuti kegiatan. Hal yang sama tidak dituntut untuk santri laki-laki, yang masih dapat keluar dan meninggalkan pesantren untuk kegiatan-kegiatan mereka tanpa izin dari pemimpin pesantren. Di dalam pesantren sendiri terdapat hirarki kepemimpinan yang cukup berjenjang, namun melibatkan tidak hanya pengasuh/pendiri pesantren dan tim pengajarnya namun juga santri-santri yang telah cukup lama menimba ilmu di pesantren tersebut. Dalam hirarki ini, pengurus pusat, yang terdiri atas santri-santri yang masih menimba ilmu, diberi kesempatan untuk mengurus kebutuhan hidup mereka sendiri, mengatur jadwal dan peraturan yang berlaku di pesantren mereka, juga menegakkan aturan dan disiplin yang berlaku di dalam pesantren. Meskipun semua kegiatan dimintakan pertanggungjawabannya oleh pembimbing dan pengasuh pesantren, dan semua keputusan yang diambil harus dikonsultasikan kepada para pengasuh ataupun pembimbing, para

17 Ada banyak lahan kosong di wilayah desa Babakan Ciwaringin. Lahan-lahan kosong ini umumnya dimiliki oleh Kiai pemimpin pesantren-pesantren besar. Jika belum dibangun untuk fasilitas tambahan pesantren, lahan-lahan ini dapat digunakan anak-anak santri untuk kegiatan mereka. 18 Salah satu lahan kosong yang sering digunakan para santri dari Ponpes kecil untuk bermain bola adalah lapangan rumput yang berdekatan dengan lokasi mini depo yang sedang dibangun di desa Babakan Ciwaringin.

catharinaindirastutiforUNDP 32

pengurus pusat memiliki otoritas cukup besar dalam menentukan aturan yang berlaku maupun mengusulkan kegiatan yang baru. Pengurus Pusat juga memiliki tanggungjawab untuk mengelola keuangan pesantren, jadi uang 200-300rb perbulan yang dibayarkan santri untuk biaya hidup selama 1 bulan di pesantren dikumpulkan pada bendahara pengurus pusat, dan pengaturan pengeluaran bulanan dilakukan oleh bendahara pengurus pusat. Artinya, lembaga ekonomi yang dibentuk di dalam pesantren akan bekerjasama erat dengan pengurus pusat dalam kegiatannya sehari-hari. Hal ini memberikan implikasi besar dalam pelibatan pesantren untuk mengembangkan sistem bank sampah dan melatih santri untuk melakukan pemilahan sampah.

Bagan 1. HIRARKI KEPEMIMPINAN PESANTREN AL-ISLAMY - KEBON JAMBU

Jika kita melihat bentuk kepengurusan di atas, tampak bahwa pondokan perempuan dan pondokan laki-laki memiliki kepengurusan yang berbeda, meskipun berada dalam satu pesantren. Menurut pengurus pusat Pesantren Kebon Jambu, pengurus pusat perempuan dan laki-laki bekerja secara independen, termasuk dalam menyusun aturan-aturan yang berlaku, dan hanya bekerjasama dalam situasi-situasi tertentu saja. Namun pengolahan sampah pada akhirnya dilakukan dalam tempat pembuangan yang sama, dan biasanya dibawa ke luar (untuk pesantren yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah) oleh santri laki-laki. Dalam struktur kepengurusan pusat, dua divisi yang akan memegang peranan penting dalam pengembangan sistem pemilahan sampah dan pendirian bank sampah adalah Divisi Keamanan dan Divisi Kebersihan. Divisi Keamanan bertanggungjawab, di antaranya, untuk menyusun aturan-aturan, termasuk menyusun aturan baru yang akan diberlakukan bagi seluruh santri di bawah kepemimpinan mereka, mengonsultasikan aturan baru tersebut dengan para pembimbing, dan meminta persetujuan dari pemimpin pesantren. Divisi Keamanan, bekerjasama dengan Pengurus Kompleks dan Pengurus Kamar, juga bertanggungjawab untuk menegakkan aturan-aturan yang telah disetujui bersama. Sedangkan Divisi Kebersihan bertanggungjawab langsung dengan persoalan penanganan sampah pesantren.

catharinaindirastutiforUNDP 33

Dengan memahami struktur kepengurusan pesantren dan melibatkan pihak-pihak yang terkait, maka diharapkan pola perilaku baru yang akan ditanamkan untuk dapat mengelola sampah dapat terlaksana dengan baik. Selain mempertimbangkan kepengurusan pesantren, jenis pesantren yang dilibatkan juga dapat menjadi kunci keberhasilan kegiatan yang dilakukan. Meskipun hampir semua pesantren mengajarkan ilmu agama dan hampir semua pesantren memiliki aturan yang ketat dalam mengatur perilaku kehidupan dalam pesantren, cara penyampaian dan bagaimana aturan diterapkan, kegiatan apa saja yang dapat dilakukan di dalam pesantren dapat berbeda-beda tergantung dari cara pandang yang dianut pemimpin pesantren. Misalnya, beberapa pesantren dijalankan dengan cara yang lebih modern dan terbuka dengan mengizinkan diadakannya kegiatan yang tidak selalu berkaitan dengan agama, seperti latihan bela diri, latihan musik ataupun sastra. Pengasuh pesantren juga lebih cenderung bersifat terbuka dalam menentukan aturan-aturan baru yang diikuti dalam pesantren, yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku, khususnya dalam pengelolaan sampah pesantren. Adapula pesantren yang memiliki aspirasi untuk menjadikan santrinya menjadi lebih terbuka pada ilmu pengetahuan, sehingga dalam pesantren ini, ketertarikan pada ilmu pengetahuan sangat didorong. Hal ini ditunjukkan oleh pengasuh pesantren Mu’allimin atas hasil kerja dan kreatifitas santri-santri asuhannya. Ketertarikan pada hal-hal baru ditunjukkan para santri pesantren Mu’allimin ketika mengikuti sosialisasi mini depo yang diadakan di kantor desa pada tanggal 26 Agustus 2018. Para santri muda ini, yang sayangnya semuanya diwakili oleh santri laki-laki, menunjukkan ketertarikan yang kuat untuk menerapkan sistem pemilahan sampah di wilayah pesantrennya. Hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan pesantren yang akan diikutsertakan pada periode awal. Selain organisasi formal yang ada di dalam pesantren, terdapat beberapa bentuk komunitas pesantren lain yang juga dapat memiliki peran penting dalam penularan kebiasaan baik untuk mengelola sampah yang dihasilkan di pondok pesantren, seperti komunitas MB2 (Melek Bengi Bengi), sebuah komunitas pemuda anak pemilik pondok pesantren yang bergerak dalam berbagai isu dan memiliki peran cukup besar bagi pesantren19. Selain itu, terdapat pula komunitas mengaji nyai-nyai muda, yaitu istri pemimpin pondok pesantren yang rata-rata berusia di bawah 50 tahun, yang berkumpul untuk mengaji bersama dan membahas masalah seputar pesantren. Perlu diingat bahwa hampir semua pesantren yang ada di desa Babakan Ciwaringin dikembangkan oleh sanak saudara, sehingga keterikatan antara satu pesantren dan pesantren lain dalam hal kepemilikan cukup dekat. Persatuan Seluruh Pesantren Babakan (PSPB) yang merupakan paguyuban yang didirikan untuk membangun jaringan antar-pesantren juga memegang peranan penting dalam melakukan sosialisasi ide-ide baru dalam pengelolaan sampah pesantren. PSPB juga dapat berperan sebagai penghubung dengan aparat desa, sehingga desa tidak harus mendekati pesantren yang ada satu persatu. Namun, perlu diperhatikan bahwa kedudukan PSPB tidak lebih tinggi daripada pengurus pesantren yang ada, terutama pesantren-pesantren besar, sehingga pendekatan pada pesantren besar tetap harus dilakukan. a. Kelindan Kehidupan Pesantren dan Masyarakat Desa Babakan Ciwaringin Banyaknya jumlah pesantren dan santri yang mondok di desa Babakan Ciwaringin tidak selalu berpengaruh pada kehidupan masyarakat desa Babakan Ciwaringin. Hanya masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan pesantren di wilayah RW 2 dan RW 3 yang sebagian hidup dengan berjualan atau memberikan jasa untuk para santri. Sementara itu, untuk penduduk dari wilayah lainnya tidak

19 Dalam kunjungan lapangan, penulis belum bertemu dengan kelompok ini, namun kelompok ini disebut dalam Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia 2017, Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia, Depok, 2017, hal.24.

catharinaindirastutiforUNDP 34

banyak kegiatan yang mempertemukan masyarakat desa dengan para santri, kecuali pada hari-hari raya agama Islam. Kehadiran pesantren memang membuat desa Babakan Ciwaringin menjadi berkembang dan terkenal dimana-mana, namun banyak masyarakat asli desa Babakan Ciwaringin yang tampak tertinggal dari perkembangan ini. Terbatasnya pendidikan masyarakat desa, masih banyaknya penduduk desa yang hidup dari pekerjaan sebagai buruh harian dengan penghasilan minim, serta banyaknya penduduk yang masih harus bekerja sebagai buruh migran untuk memperbaiki kehidupan menjadi penanda belum meratanya kemajuan yang dirasakan masyarakat desa. Kegiatan yang paling populer adalah pengajian yang dilaksanakan di pesantren-pesantren. Pengajian yang dipimpin oleh para Nyai di lingkungan pesantren adalah bentuk kegiatan yang paling sering diikuti masyarakat desa. Ada beberapa jamiyah yang terbentuk di Desa Babakan Ciwaringin yang dipimpin Nyai dari salah satu pesantren dan jamiyah yang memiliki pengikut paling banyak dipimpin oleh Nyai Hj Masturoh Amin, pemimpin pesantren Mu’allimin dan Mualimat Pusat. Kegiatan jamiyah yang diadakan satu minggu sekali didatangi tidak hanya masyarakat desa Babakan Ciwaringin, namun juga masyarakat dari desa-desa lain di wilayah Kabupaten Cirebon. Dalam satu kali pengajian, dapat dikumpulkan hampir 50 orang pengikut yang secara teratur datang untuk mendengarkan ceramah yang dibawakan oleh ustadz pesantren dan do’a yang dibacakan oleh Nyai pemimpin pesantren. Pengikut jamiyah pun beragam usianya, mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua.20 Pengajian juga dilakukan secara terpisah untuk kelompok yang berbeda-beda, seperti kelompok remaja pada malam minggu, ada pula untuk kelompok laki-laki. Hampir setiap hari ada pengajian yang dapat dihadiri penduduk desa, yang diadakan secara bergantian oleh pesantren yang berbeda-beda. Untuk wilayah yang jauh dari lingkungan pesantren, seperti di wilayah RW 5 dan RW 6, beberapa Ustadz dari pesantren secara teratur datang untuk memimpin pengajian di wilayah ini. Gesekan antara pesantren dan masyarakat desa tidak secara terbuka terjadi. Namun dalam beberapa percakapan disinggung beberapa masalah yang kadangkala timbul. Ketidakterbukaan pesantren terhadap masyarakat desa, khususnya aparat desa, menyulitkan komunikasi antara kedua belah pihak. Contoh yang paling tampak adalah tidak tersedianya data mengenai pendatang pada Kantor Desa. Tanpa data yang akurat mengenai jumlah pendatang yang menetap di desa Babakan Ciwaringin, tentunya sulit bagi pemimpin desa untuk merencanakan pembangunan yang melibatkan semua pihak yang tinggal dan hidup di desa ini. Menurut perangkat desa, pondok-pondok pesantren cenderung lebih tertutup dalam mengelola pesantren mereka, termasuk mengenai berbagai informasi terkait dengan santri. Jarang sekali pesantren datang ke kantor desa untuk melaporkan jumlah pendatang. Umumnya untuk ini petugas desa harus mendatangi pesantren satu persatu untuk memperoleh data mereka. Oleh karena itu data di desa hanya menyangkut penduduk lokal. Dalam hal pendidikan, penduduk lokal umumnya bersekolah di madrasah diniyah di pesantren pada sore hari, sehingga mereka tetap dapat mengambil ilmu agama dari pesantren. Tidak banyak penduduk desa yang benar-benar mondok di pesantren seperti para pendatang dari desa atau kota lain. Kegiatan kerjasama antara desa dan pesantren hanya dilakukan pada hari-hari besar saja, seperti 17 Agustusan atau perayaan hari besar agama Islam.

20 Jamiyah umumnya dipimpin oleh Nyai pemimpin atau istri dari pemimpin pesantren. Kegiatan pengajian hampir selalu dilakukan setiap minggu, seminggu sekali. Libur hanya diberikan seelah hari Raya Idul Fitri untuk waktu yang pendek. Kegiatan Jamiyah dibiayai oleh Nyai pemimpin pesantren dan para peserta tidak perlu membawa apa-apa, bahkan kadangkala dibawakan nasi, lauk pauk, juga berbagai kue. Masing-masing jamiyah memiliki pengikutnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, ada banyak jamiyah di desa Babakan Ciwaringin. Jamiyah didirikan oleh masing-masing Nyai sendiri-sendiri. Semakin banyak pengikutnya, baik dari dalam maupun luar desa, semakin terkenal sang Nyai. Jamiyah terbesar adalah yang dipimpin Nyai Hj Masturoh, pemimpin Pesantren Mu’allimin dan Mu’allimat [untuk dicek kembali].

catharinaindirastutiforUNDP 35

Dalam beberapa diskusi, terlihat relasi yang tidak seimbang antara aparat desa, sebagai wakil dari masyarakat, dan para pemimpin pesantren. Perbedaan latar belakang pendidikan, kelas ekonomi, status sosial membuat interaksi yang terjalin menjadi timpang. Harus diingat bahwa beberapa pesantren di desa Babakan Ciwaringin merupakan pesantren yang cukup terkenal dengan alumni yang memegang jabatan-jabatan penting, baik pada lembaga pemerintah maupun di luar pemerintah. Acara-acara yang turut mengundang tokoh ternama alumni pesantren tidak jarang diadakan di desa ini, kadangkala tanpa koordinasi dengan para aparat desa. Program-program yang dilakukan oleh aparat desa jarang melibatkan pihak pesantren dan sebaliknya. Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan harus direncanakan secara tepat untuk memastikan terciptanya kerjasama yang baik dan berkelanjutan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa penduduk desa dan para pemimpin pesantren pada dasarnya adalah kerabat dekat karena rata-rata saling bersaudara. Para pemimpin pesantren sebagian besar berasal dari desa Babakan Ciwaringin yang mewarisi pesantren dari orang tua dan leluhur mereka yang juga merupakan pemimpin pesantren. Oleh sebab itu, umumnya masyarakat desa mengenal siapa saja yang memimpin pesantren di sana – termasuk pasangan dan anak-anak mereka. Kondisi yang sedikit berbeda terjadi untuk remaja/anak muda di desa Babakan Ciwaringin. Hanya sedikit sekali anak/remaja/anak muda asli dari desa Babakan Ciwaringin yang mondok di pesantren desa Babakan Ciwaringin. Namun, anak-anak usia sekolah masih dapat mengikuti pengajian di madrasah ibtidaiyah yang ada di dalam maupun di lingkungan luar pesantren. Umumnya anak-anak desa berinteraksi dengan anak pesantren pada saat itu. Selain itu, untuk membantu persoalan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat desa, beberapa yayasan pesantren membuka kursus paket C agar anak-anak desa lulusan SMP dapat memperoleh ijazah SMA. Adanya ijazah SMA memungkinkan anak muda dari desa untuk bekerja sebagai buruh migran di Taiwan atau Korea untuk mengubah nasib keluarga mereka. b. Sekilas tentang Relasi dan Posisi Gender dalam Lingkungan Pesantren Meskipun sama-sama memiliki kesempatan belajar di pesantren, juga sama-sama memiliki kewajiban untuk mengurus diri mereka masing-masing, dengan pembentukan pengurus yang independen antara asrama putri dan asrama putra, kehidupan santriwan dan santriwati memiliki warna yang berbeda yang menyebabkan prestasi santriwan dan santriwati menjadi berbeda. Nida, ketua pengurus pesantren Kebon Jambu yang telah tinggal di Pesantren Kebon Jambu selamat 4 tahun, menyatakan bahwa hal yang paling membedakan antara santriwan dan santriwati adalah bagaimana sulitnya ia untuk membina santriwati untuk dapat memiliki prestasi sama atau lebih baik dari santriwan, yang biasanya ditunjukkan dalam lomba bersama yang dilakukan di Pesantren Kebon Jambu. Jarang sekali santriwati sanggup mengalahkan santri dalam lomba-lomba yang diadakan. Nida sendiri sebelum menjadi pengurus pesantren putri juga mengikuti lomba dan membutuhkan waktu 3 tahun untuk dapat mengalahkan lawan dari pesantren putra. Kemampuan santriwan dalam mempelajari Al Qur’an cenderung merata termasuk dalam memiliki semangat dan daya saing di antara mereka sendiri, sementara di kelompok santriwati cenderung jauh di belakang santriwan. Jika ada santriwati yang tampak memiliki motivasi dan kemampuan yang menyamai santriwan biasanya terjadi secara individual, dan bukan dari sistem yang memacu mereka untuk memiliki daya juang yang kuat. Dalam belajar Al Qur’an, santriwan lebih dipacu untuk mampu menghafal Al Qur’an, sementara santriwati tidak diharuskan. Pilihan untuk menghafal Al Qur’an diserahkan pada diri masing-masing santriwati, boleh dilakukan, boleh juga tidak.

catharinaindirastutiforUNDP 36

Gbr. 6. Santriwati di Dalam Kelas Sore Hari Dalam pandangan Nida, santriwati sulit untuk mengembangkan diri secara maksimal karena pola kerja dan ekspektasi yang berbeda yang ditujukan bagi santriwan dan santriwati. Salah satu contohnya adalah dalam sistem kepengurusan yang dijalankan. Meskipun sama-sama memiliki hak menjadi pengurus masing-masing asrama, namun aturan yang diterapkan bagi santriwan dan santriwati berbeda. Pada pesantren Kebon Jambu, misalnya, seorang santriwan yang menjadi pengurus dapat memilih untuk bekerja terfokus pada satu bidang saja. Sedangkan seorang santriwati yang menjadi pengurus diharapkan mampu mengerjakan beberapa hal sekaligus. Sehingga rata-rata pengurus asrama putri seperti Nida memiliki beberapa tanggung jawab yang berbeda dalam tugasnya sebagai pengurus. Hal ini dilakukan karena menurut pengasuh pesantren, anak-anak perempuan harus berlatih sejak muda untuk mampu melakukan banyak tugas sekaligus, multi-tasking, sehingga ketika berumah tangga mampu menjalankan tugas-tugasnya di dalam rumah tangga, sekaligus mampu berprestasi di dunia luar. Pesantren Kebon Jambu yang terkenal mengedepankan kesetaraan dan keadilan gender, sebagaimana diakui oleh pengasuh pesantren Nyai Hj. Masriyah Amva, satu-satunya pengasuh pesantren perempuan yang memimpin baik pesantren asrama laki-laki maupun asrama perempuan. Untuk santriwati tuntutan yang diberikan adalah jika ingin berprestasi di ranah publik, maka segala tanggung jawab di ranah domestik tetap harus ditangani seorang perempuan menyiratkan konstruksi gender tentang perempuan sebagai penanggung jawab utama, dan satu-satunya, tugas-tugas reproduksi dan memiliki risiko perempuan harus mengalami ketidakadilan gender karena menanggung beban majemuk. Selain tanggung jawab yang harus ditanggung, rata-rata lama belajar santriwati dan santriwan juga berbeda. Menurut Nida, santriwati rata-rata hanya mondok di pesantren selama 3 tahun saja. Sebagian besar setamat Aaliyah biasanya mereka akan boyongan pulang kembali ke rumah masing-masing. Nida sendiri baru mondok selama 4 tahun dan memilih tinggal pada masa kuliah untuk mengabdi pada Nyai sambil terus menimba ilmu. Sementara untuk santriwan, ada keharusan untuk mendapatkan pendidikan di pesantren minimal sampai 7 tahun lamanya untuk dapat memperoleh sejenis “ijazah” (nasab) yang menyatakan mereka telah menyelesaikan pendidikan mereka di Pesantren. Hal yang sama tidak diwajibkan untuk santriwati, bahkan jika seorang santriwati menyelesaikan pendidikan sampai 7 tahun pun, ia tidak mendapatkan nasab. Pendidikan santriwan yang lebih lama menyebabkan proses pemilihan pengurus di asrama putra pun ditentukan berdasarkan lama mondok. Hanya santriwan yang telah lama belajarlah yang dapat menjadi pengurus, dan hal ini berbeda dari pesantren putri. Di pesantren putri, baik pengurus asrama maupun pengurus kamar, pemilihan lebih dilakukan bukan berdasarkan lama tinggal namun kemampuan yang ditentukan oleh para pembimbing pesantren.

catharinaindirastutiforUNDP 37

Tuntutan yang lebih besar bagi santriwan untuk benar-benar menguasai ilmu agama membuat santriwan, menurut pengurus pesantren, terasa lebih termotivasi untuk belajar dengan sungguh-sungguh dibandingkan santriwati. Perbedaan ekspektasi dan motivasi dalam belajar mempengaruhi harapan yang dibangun para santri untuk masa depannya. Banyak santriwan yang memiliki mimpi membuka sekolah mereka sendiri di tempat masing-masing, sehingga pendidikan pesantren menjadi kunci keberhasilan mencapai mimpi mereka. Sementara untuk santriwati, masa belajar di pesantren seolah-olah lebih sebagai batu loncatan saja. Ketika belajar di pesantren pun, santriwati lebih banyak berpikir bahwa mereka tidak lama lagi akan boyongan atau keluar dari pesantren.

catharinaindirastutiforUNDP 38

5. PERSOALAN-PERSOALAN PENANGANAN SAMPAH DESA BABAKAN CIWARINGIN Padatnya penduduk desa Babakan Ciwaringin menimbulkan persoalan yang cukup besar terkait pengelolaan sampah. Jumlah penduduk yang tinggi ini tidak diikuti dengan sistem pengelolaan sampah yang baik, dan diperparah dengan belum adanya dukungan pengelolaan lingkungan yang memadai dari dinas-dinas terkait. Di beberapa tempat, gundukan sampah terbentuk, baik di pinggir jalan, di tanah-tanah kosong di wilayah pemukiman maupun di pinggiran sungai, yang jika air naik maka sampah akan ikut hanyut terbawa air sungai. Pada musim-musim banjir, sampah akan tersebar sampai ke wilayah perumahan dan menimbulkan risiko penyakit bagi warga yang hidup di sana. Selain itu sungai juga merupakan sumber air yang penting karena pesantren-pesantren kecil yang tidak memiliki fasilitas kebersihan yang memadai. Beberapa pesantren masih memanfaatkan sungai sebagai tempat untuk mencuci pakaian santri. Adanya pembuangan sampah di pinggir sungai yang berdekatan dengan wilayah mencuci tentu meningkatkan risiko penyakit bagi mereka yang masih memanfaatkan sungai untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Kepadatan penduduk di desa Babakan Ciwaringin menjadi penyumbang munculnya persoalan penanganan sampah yang buruk, khususnya di wilayah dengan jumlah pesantren yang tinggi. Persoalan penanganan sampah tidak dirasakan secara langsung oleh penduduk wilayah-wilayah yang memiliki lahan luas dan jauh dari wilayah pesantren, dimana masing-masing rumah tangga menangani persoalan sampah masing-masing dengan cara membakar sampah yang mereka hasilkan di halaman rumah masing-masing, seperti misalnya yang terjadi di RW 5 dan 6. Namun di wilayah-wilayah dimana penduduk hanya memiliki lahan sempit, ataupun pada pesantren-pesantren kecil yang memiliki banyak santri namun tidak memiliki lahan untuk mengolah sampah (khususnya untuk mengumpulkan dan memusnahkan dengan cara membakar sampah) persoalan sampah cukup mengganggu. Oleh sebab itu, dalam perbincangan dengan aparat desa maupun masyarakat desa non-pesantren sering tersirat pesan bahwa persoalan sampah di desa Babakan Ciwaringin adalah persoalan pesantren, dan bukan persoalan penduduk “asli” desa Babakan Ciwaringin. Lebih jauh, meskipun di beberapa blok masyarakat desa juga turut berkontribusi dalam menambah jumlah sampah yang tidak terkelola yang dibuang di tempat pembuangan sampah “liar”, sebagian besar masyarakat desa yang ditemui tidak merasa bahwa persoalan sampah dimulai dari rumah tangga mereka masing-masing21.

Gbr.7. Buangan Sampah di Pinggir Kali RW 2 Hubungan formal yang didasarkan pada rasa hormat yang terjalin antara penduduk desa dan para pemimpin pesantren membuat belum ada konflik serius antara masyarakat dan pesantren karena persoalan sampah. Namun beberapa kali penolakan yang disampaikan masyarakat atas sampah yang 21 Data ini dapat diuji-silang dengan data kuantitatif yang diperoleh oleh tim Bank Sampah.

catharinaindirastutiforUNDP 39

dibuang di beberapa wilayah desa membuat sampah menjadi tidak tertangani dan semakin menumpuk, khususnya yang dihasilkan oleh pesantren. Persoalan sampah yang menumpuk tidak selalu dirasakan oleh semua penduduk di desa Babakan Ciwaringin. Persoalan sampah terutama dirasakan secara langsung oleh penduduk yang tinggal di wilayah RW 2 dan 3 yang merupakan pemukiman padat dengan banyaknya pesantren yang ada di wilayah ini. Sementara, pada blok-blok lain, seperti pada RW 1, RW 5 dan RW 6, masing-masing rumah tangga umumnya mengelola sampah mereka sendiri dengan cara membakar di lahan pribadi mereka yang masih luas. Namun, persoalan pembuangan sampah muncul di RW 5 yang bukan merupakan wilayah pesantren karena banyaknya tanah kosong yang ada di sana menjadi sasaran pembuangan sampah liar dari pesantren-pesantren yang tidak memiliki lahan untuk mengolah sampah.

IBU INA, PEMILIK WARUNG DI LINGKUNGAN PESANTREN

Ibu Ina, seorang pemilik warung di wilayah RW 2, menceritakan bahwa kehadiran pesantren membawa berkah sekaligus masalah bagi dirinya dan penduduk di sekitar pesantren. Berkah karena penghidupannya ditopang oleh banyaknya santri yang menjadi pelanggan warung jajanan dan kebutuhan sehari-hari yang ia miliki. Dalam sehari ia dapat memperoleh omzet rata-rata 500 ribu rupiah. Namun, ia juga turut merasakan padatnya pemukiman dan banyaknya sampah yang dibuang ke lingkungan rumahnya. Bertumpuknya sampah menyebabkan banyak nyamuk yang bersarang di tempat-tempat pembuangan sampah dan tempat tinggalnya menjadi tidak nyaman karena luar biasa banyaknya nyamuk dan bau. Sebagian sampah yang dibuang ke sungai membuat sungai menjadi kotor. Sepengetahuan ibu Ina, persoalan ini tidak pernah dibicarakan langsung dengan pihak pesantren. Belum ada protes resmi yang disampaikan masyarakat desa kepada pesantren, meskipun hampir semua penduduk di wilayahnya memiliki keberatan yang sama. Selain itu, meskipun ibu Ina dan banyak ibu dari lingkungan rumahnya seringkali mengikuti pengajian dan pembacaan doa yang dibawakan oleh para Nyai pemimpin pesantren, persoalan sampah ini tidak pernah didiskusikan dalam forum-forum seperti ini. Meskipun demikian ibu Ina juga mengakui bahwa penduduk wilayah ini, termasuk dirinya, juga membuang sampah di tempat yang sama. Namun karena jumlah sampah yang lebih sedikit dan biasanya langsung ia bakar, ia tidak merasa sampah buangannya sendiri menjadi masalah. Ini artinya penduduk desa juga ikut berkontribusi dalam persoalan sampah yang ada di desa, namun karena jumlah sampah masih dalam skala rumah tangga, mereka tidak bertanggung jawab atas peliknya persoalan sampah di desa Babakan Ciwaringin. Kesadaran untuk memiliki persoalan sampah yang terjadi di desanya tidak dimiliki oleh masyarakat desa, bahkan yang tinggal di wilayah pemukiman padat. Ini menjadi salah satu risiko yang akan mengganggu pelibatan masyarakat desa di luar pesantren.

Sementara itu, untuk penduduk yang hidup di wilayah RW 5 dan 6, luas lahan pribadi yang masih memungkinkan untuk menangani sampah rumah tangga, ketua RW 6 mengakui sulit untuk mengajak masyarakat mengelola sampah bersama-sama, apalagi untuk membentuk bank sampah. Hal ini menimbulkan risiko dalam upaya melibatkan seluruh penduduk Desa Babakan Ciwaringin dalam sistem pengelolaan sampah terpadu yang saat ini sedang diupayakan.

“Satu minggu untuk bisa merekrut satu orang untuk dijadikan anggota bank sampah itu, saya lagi mikir ini ehehehehe... siapa ini nggak bakal mau. Masalahnya bukan apa-apa kita disini kan artinya buang sampah masih sembarangan, masih masih belum belum jadi kendala lah khususnya blok sini buang sampah tu belum jadi kendala … Artinya masih banyak tempat, trus waktu kita mau ngambil siapa yang mau jadi pengurus gitu trus gimana cara sosialiasasinya - bakal ada yang mau nggak – karena ya paling ya artinya – kalau pun ini tukang-tukang warung yang perlu dikasih [pemberitahuan] ini yang apa artinya penyumbang

catharinaindirastutiforUNDP 40

banget artinya penyumbang sampah yang banyak itu. Kalo tukang warung kan, jajan es itu kan sampah plastik – paling hanya sebatas itu kalo masyarakat biasa kan saya ini juga lagi mikirin ahahaha”. (Ketua RW 6, Desa Babakan Ciwaringin).

Apa yang diungkapkan oleh ketua RW 6 dapat menjadi risiko dalam pengelolaan bank sampah unit pada masing-masing RW dan berpengaruh pada keberlanjutan pengelolaan mini depo. Letak RW 5 dan 6 yang berjauhan dengan mini depo mempersyaratkan adanya pengaturan transportasi sampah yang akan dibawa ke mini depo. Apa yang selama ini diterapkan adalah masing-masing rumah didatangi oleh pedagang rongsokan untuk membeli sampah bernilai jual yang telah dipilah. Penduduk desa tidak perlu mengantarkan sampah mereka. Harga pembelian sampah yang telah dipilah juga menjadi catatan penting karena saat ini sampah masyarakat dibeli oleh pedagang rongsokan dengan nilai antara 2000 – 4.500 rupiah, tergantung dari jenis sampah yang dikumpulkan. Karena nilainya yang tidak tinggi, seringkali penduduk menukarkannya dengan minyak goreng atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Penukaran dengan barang-barang kebutuhan lebih disukai sebagian rumah tangga karena nilai uangnya yang tidak besar. Penduduk yang hidup di wilayah RW 2 dan RW 3 tidak hanya mengalami masalah pembuangan sampah oleh pesantren, namun juga kotornya jalan dan wilayah pemukiman mereka karena banyaknya pedagang jajanan dan warung-warung yang berjualan di sekitar sekolah-sekolah yang tidak diatur pembuangan sampahnya. Para pedagang, khususnya pedagang dengan gerobak, umumnya tidak memiliki tempat sampah yang dapat digunakan oleh anak-anak untuk membuang sampah. Tempat sampah umum tidak terlihat tersedia di jalan-jalan di depan kompleks sekolah. Akibatnya, banyak sampah bekas jajanan yang terserak di jalan dan jika angin bertiup cukup kuat, sampah plastik akan masuk ke rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar wilayah sekolah. Kerjasama dengan pedagang dan pihak sekolah untuk mengembangkan kebiasan membuang sampah dan memilahnya secara baik di tempat-tempat dimana sampah akan banyak dihasilkan menjadi kunci untuk membangun perilaku mengelola sampah dengan baik secara menyeluruh. a. Pengorganisasian Penanganan Sampah di Masa Lalu

Pengelolaan sampah yang diorganisasikan oleh kelompok masyarakat di desa pernah dilakukan di masa lalu. Pada tahun 2015-2016 sekelompok anak muda yang berasal dari RW 222, yang merupakan wilayah pondok pesantren, berinisiatif untuk menangani sampah dari wilayah pesantren. Mereka dengan sukarela mengumpulkan sampah-sampah dari pesantren dan ditampung di satu tempat dan dibawa oleh “mobil kuning” dari Kabupaten. Namun upaya ini tidak berlangsung lama karena terjadi kendala dalam pengangkutan sampah sehingga terhenti setelah beberapa bulan berjalan23. Setelah terhenti akhirnya dbuang di lahan-lahan kosong. Untuk pesantren besar dapat disediakan lahan kosong di dalam kompleks pesantren (seperti Pesantren Kebon Jambu), namun pesantren yang tidak memiliki lahan kosong harus membuang di tempat-tempat yang diijinkan, termasuk di pinggir kali. Setelah banyak, muncul hujan, menimbulkan banyak persoalan lingkungan, sehingga pemilik lahan menjadi berkeberatan jika lahannya dijadikan tempat pembuangan sampah. Akhirnya baru ada ide jika ada satu lembaga yang bisa sharing dengan pesantren untuk menangani masalah sampah. Di sinilah pesantren bertemu dengan Bpk Zainal, seorang dosen ITB yang juga lulusan pesantren di desa Babakan Ciwaringin. Dari sini bekerja sama dengan UNDP dan satu lembaga lainnya, melakukan survey dan penilaian kelayakan.

22 Dalam Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia 2017, Direktorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia, Depok, 2017, hal.25, disebutkan adanya komunitas Pemuda Pecinta Lingkungan Bersih (PPLB) yang merupakan kumpulan pemuda yang bergerak dalam menjaga kebersihan lingkungan desa yang terdapat di RT2 RW 2. Namun dalam kunjungan pemetaan awal, wawancara belum dapat dilakukan dengan kelompok ini. 23 Pada awalnya untuk melakukan kegiatan pengangkutan sampah dari rumah ke rumah, setiap KK dimintai sumbangan sebesar Rp.20.000,- namun akhirnya pembayaran iuran ini macet dan menghambat kegiatan.

catharinaindirastutiforUNDP 41

Masyarakat desa di sekitar pesantren berkeberatan dengan banyaknya sampah yang dihasilkan pesantren dan dibuang di lahan-lahan kosong di wilayah desa. Salah satunya adalah lokasi pembuangan sampah di RW 5, yang terletak di pinggir jalan yang melintasi desa. Pada tahap pertama, ada satu tempat/lokasi yang disediakan atas kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten dengan pihak pesantren. Lokasi yang diberikan terletak di sekitar lingkungan Pesantren Assalafie. Pada saat itu sampah yang dihasilkan pesantren boleh diletakkan di tanah yang disediakan, namun dalam setiap minggu harus diambil dengan kendaraan yang disediakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten. Hal ini dapat berjalan selama 2 tahun, dengan dibantu anak-anak muda dari RT 1 RW 2. Hal pertama yang menyebabkan terhentinya kegiatan pengelolaan sampah adalah karena pihak Dinas Lingkungan Hidup mulai berhenti mengambil sampah yang dikumpulkan, hingga akhirnya sampah menumpuk dan pesantren-pesantren kembali membuang sampah di berbagai lokasi. Ketika sampah semakin menumpuk tinggi, hal kedua yang menyebabkan kegiatan ini tidak dapat dilanjutkan adalah karena penolakan warga. Lahan desa yang diberikan sebagai Tempat Pembuangan Sementara (TPS) terletak di pinggir sungai di antara dua wilayah pemakaman. Karena pembuangan terus menerus dilakukan, sampah menjadi semakin menumpuk. Ketika banjir datang, sampah yang menumpuk hanyut ke sungai dan ke lokasi pemakaman yang ada di sekitarnya. Musim banjir datang setiap 8 tahun sekali dan sampai saat ini masih terjadi. Akhirnya keluarga yang makamnya terkena sampah mulai menolak banyaknya sampah yang menumpuk di wilayah makam keluarga mereka. Terutama jika datang musim hujan, maka sampah tidak dapat dibakar dan semakin menumpuk tinggi. Hal ketiga yang menyebabkan sampah tidak tertangani di desa Babakan Ciwaringin adalah persoalan tenaga pengelola sampah. Awalnya sekitar 10 orang pemuda dari desa Babakan Ciwaringin terlibat dalam pengelolaan sampah dengan cara ini. Ke 10 orang pemuda ini tergabung dengan apa yang dinamakan PPLB atau Pemuda Pecinta Lingkungan Bersih, sebelum akhirnya dihentikan karena lokasi pembuangan sampah yang tidak ada. Dari sisi tenaga kerja, para pemuda yang terlibat dalam kegiatan ini rata-rata adalah pemuda desa yang baru tamat SMA dan tidak memiliki pekerjaan lainnya. Ketika satu persatu anggota PPLB mulai mendapatkan pekerjaan, kegiatan mengelola sampah desa pun mulai ditinggalkan. Kegiatan ini hanya menjadi transisi sebelum mereka mendapatkan pekerjaan tetap. Hal ini terjadi meskipun mereka mendapatkan uang dari kerja yang mereka lakukan untuk PPLB, jumlah yang diperoleh sangat kecil (“hanya cukup untuk jajan es”) dan tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Setelah kemudian DLH berhenti mengangkut sampah dari lahan desa yang disediakan, penanganan sampah ketika sudah menumpuk tinggi adalah dengan dibakar24. Tempat-tempat itu akhirnya juga ditutup karena keberatan warga yang keluarganya dimakamkan berdekatan dengan lokasi pembuangan sampah. Pada pihak Pemerintahan Desa sendiri, tidak banyak yang dapat dilakukan. Desa hanya bisa mengusulkan pengadaan gerobak-gerobak untuk mengangkut sampah dari wilayah pesantren. Dalam pandangan Kepala Urusan Keuangan Desa, jumlah sampah yang ada di wilayah mereka sudah terlalu banyak karena banyaknya pendatang di desa ini, sehingga menjadi tidak tertangani lagi. Jika dulu sampah yang terkumpul dapat dibakar dan diselesaikan, saat ini banyaknya sampah dan jenis sampah yang dihasilkan (terutama dari pondok pesantren-pondok pesantren yang ada), terutama jenis sampah plastik, styrofoam dan berbagai jenis bungkus makanan lainnya, pampers (dari wilayah penduduk desa), membuat sampah menjadi lebih sulit ditangani. Rata-rata bungkus makanan

24 Di pesantren Kebon Jambu dibuat tempat pembakaran sampah dengan cerobong, namun dari observasi yang dilakukan, fasilitas tersebut tidak lagi digunakan setelah 2 tahun beroperasi, sudah berkarat dan bolong di beberapa tempat. Hal yang sama terdapat di Pesantren Muallimin/Muallimat, meskipun dalam kunjungan awal ini belum sempat diobservasi.

catharinaindirastutiforUNDP 42

memang menggunakan styrofoam. Pedagang makanan di desa lebih memilih jenis bungkus makanan yang murah karena makanan dijual dengan harga murah juga. Persoalan sampah masuk dalam pembahasan Musrembang, namun solusi yang berkelanjutan belum dihasilkan.

Gbr. 8. Gerobak Sampah yang Terbengkalai di Kantor Desa Dari Dana Desa, sempat direncanakan bahwa tiap blok (tiap RW) akan dibuatkan satu penampungan sampah yang kemudian dapat diangkut oleh kendaraan dari DLH. Biaya untuk pengangkutan sampah yang harus dibayarkan pada pihak pengangkut dari DLH adalah Rp.200.000,- tiap kali mengangkut sampah – agar biaya ini tidak sia-sia maka di sampah-sampah ini harus dikumpulkan terlebih dahulu di masing-masing RW, baru diangkut. Rencana ini sudah dibicarakan di Musrembang, namun rencana ini tidak jadi dikerjakan karena adanya janji yang diberikan oleh Kemenperin dan UNDP untuk mengadakan mini depo yang akan mengelola sampah desa. Di desa sendiri tidak memiliki petugas khusus yang menangani sampah. Jika sampah sudah menumpuk, akan ada orang-orang yang secara individual berinisiatif untuk membakar sampah. Pada saat ini, penduduk desa kadangkala meminta tukang-tukang becak yang ada di wilayah kampung mereka untuk mengangkut sampah yang mereka miliki dengan membayar Rp.5.000,- per pengangkutan, untuk dibuang ke tanah-tanah kosong dimana warga seringkali membuang sampah. Belum pernah dilakukan pengelolaan sampah secara serius, termasuk belum ada sosialisasi mengenai bagaimana cara-cara memilah sampah. Pengetahuan masyarakat secara umum, termasuk masyarakat yang hidup di dalam pesantren, masih sangat sedikit mengenai pola pengelolaan sampah yang baik yang dapat menunjang pengoperasian mini depo secara berkelanjutan. Sampah yang dibuang pun bercampur menjadi satu – antara plastik, kertas, berbagai macam rongsokan, berbagai jenis makanan, styrofoam dan lain sebagainya. Selain sampah plastik dan kertas, sampah yang cukup banyak dibuang dari pesantren juga termasuk sisa-sisa makanan, seperti nasi, yang seringkali terbuang percuma karena tidak dihabiskan oleh para santri. Sebagai contoh, pesantren yang dikelola Bpk Hj Asep yang memiliki murid 60 santri saja dapat menyisakan satu baskom besar nasi yang tak termakan. Sisa ini digunakan untuk memberi makan ikan di balong yang dimiliki tetangga di desanya, atau jika tidak terpakai akan terbuang begitu saja. Persoalan sampah masih dipandang sebagai persoalan “pembuangan dan pemusnahan” sampah – bagaimana caranya membuang sampah agar lingkungan bersih – dan bukan pengelolaan secara tepat dengan pemilahan dan pendaurulangan sampah yang masih dapat digunakan kembali. Dengan pola pikir “membuang dan memusnahkan” maka penyelesaian yang dibayangkan adalah dengan menyediakan TPS dan melakukan pembakaran, tanpa perlu repot-repot memilah sampah. n

catharinaindirastutiforUNDP 43

b. Kehadiran Pemulung dan Pedagang Rongsokan dan Mulai Terbangunnya Kebiasaan Memilih Sampah yang Bernilai Jual

Meskipun belum ada pengelolaan sampah secara resmi, tumpukan sampah yang ada di wilayah desa, termasuk di dalam lingkungan pesantren, telah mengundang pemulung yang ada di sekitar desa untuk datang secara teratur setiap hari untuk mengais sampah yang memiliki bernilai. Pemulung, yang kebanyakan datang dari luar dan dalam desa, setiap pukul 5 pagi mulai mendatangi tempat pembuangan sampah yang ada di desa untuk mengambil botol-botol plastik, kardus, buku-buku bekas, dan sampah bernilai lainnya. Para pemulung yang datang dari luar desa setiap pagi diangkut kendaraan bak terbuka dan diturunkan di wilayah desa. Sekitar pukul 6.30 pagi, para pemulung akan kembali dijemput oleh kendaraan yang membawa mereka tadi dengan membawa barang-barang yang berhasil mereka kumpulkan, untuk dijual ke pengepul/pelapak yang berada tidak jauh dari desa. Banyak pemulung yang mendatangi tempat tersebut untuk menyetor hasil mereka. Selama ini para pemulung tidak pernah membayar untuk mengambil barang-barang di tempat sampah di wilayah desa Babakan Ciwaringin karena sampah yang mereka ambil bukan sampah yang telah dipilah. Namun pengurus ponpes mengatakan bahwa hal ini tidak dilarang karena mereka merupakan salah satu bentuk penyelesaian dari persoalan yang mereka miliki. Selain pemulung, pada waktu-waktu tertentu juga datang tukang rongsok dengan mobil bak yang akan mendatangi pesantren satu persatu untuk menanyakan barang-barang rongsokan yang dapat mereka ambil. Tukang rongsok berkeliling sekitar 2 minggu sekali. Ketika mereka datang, biasanya sudah dengan peralatan lengkap, seperti timbangan, dan mereka mau membayar barang yang mereka ambil sesuai hasil penimbangan yang dilakukan. Para tukang rongsok ini umumnya datang dari wilayah Panuragan. Sedangkan pengepul yang cukup besar yang ada di sekitar desa terletak sekitar 3km dari Perempatan Penjalin yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Majalengka. Pengelola sampah yang cukup besar ini pernah menawarkan kepada pesantren untuk sudah mengambil sampah yang ada di pesantren.

Gbr. 9. Sampah Pilahan Menunggu Pemulung Kesadaran akan adanya nilai jual untuk jenis-jenis sampah tertentu juga telah tumbuh pada sebagian warga desa dan murid pesantren. Hal ini mendorong beberapa rumah tangga dan juga kelompok santri untuk mulai memilah sampah antara sampah yang masih bernilai untuk dijual dan sampah yang tidak bernilai untuk dibakar. Adanya pedagang barang rongsokan yang secara rutin datang dari rumah ke rumah untuk membeli sampah jenis tertentu, seperti kemasan minuman dalam gelas, botol plastik dan kardus, membuat beberapa warga dan kelompok santri mulai terbiasa memilah sampah. Sedangkan sisa sampah yang tidak laku dijual dibakar oleh pemilik sampah. Umumnya

catharinaindirastutiforUNDP 44

anggota keluarga perempuan di dalam keluarga yang bertugas memilah dan menjual sampah terpilah yang bernilai, yang umumnya dihargai Rp.2.500,- perkgnya. Meskipun menurut mereka uang yang dikumpulkan tidak cukup besar dan mereka harus mengumpulkan banyak sampah (terkait dengan persoalan tempat menyimpan) untuk mendapatkan nilai jual yang berarti, hal ini tetap dilakukan karena mereka tidak ingin menyia-nyiakan sampah yang masih dapat dijual. Hal yang sama dilakukan juga oleh beberapa pedagang kelontong yang berjualan di sekitar wilayah Pesantren. Banyaknya jenis makanan dan minuman dalam kemasan yang dikonsumsi anak-anak pesantren maupun anak sekolah menghasilkan sampah yang cukup banyak yang dibuang begitu saja oleh santri atau para murid. Sampah plastik yang bernilai dikumpulkan pemilik warung untuk dijual kepada pedagang rongsokan yang melewati tokonya. Khususnya di lingkungan pesantren, beberapa santri pengurus, umumnya yang menangani bidang kebersihan, berinisiatif untuk mengumpulkan dan memisahkan sampah yang memiliki nilai jual, seperti gelas plastik air mineral, botol plastik air mineral, kardus-kardus maupun kertas. Sampah yang telah mereka kumpulkan dan pisahkan ini nantinya dijual ke pedagang rongsokan yang melewati pesantren mereka. Uang penjualan barang-barang ini dikumpulkan untuk diberikan pada pengurus pesantren dan dibelikan barang-barang kebutuhan pesantren. c. Penanganan25 Sampah di Pesantren Penanganan sampah yang selama ini berlaku di wilayah pesantren dikoordinasi oleh pengurus pesantren yang terdiri atas santri-santri senior yang secara khusus menangani bidang kebersihan. Penanganan sampah membutuhkan keterlibatan banyak orang karena sampah dihasilkan oleh semua santri, oleh sebab itu koordinasi berlapis – dari level pengurus pusat asrama putra dan asrama putri – level kompleks – sampai level kamar akan terlibat. Di pesantren yang lebih kecil, sepertu pesantren Mu’allimin Tegal Temu dimana santriwan terbagi atas beberapa pondok/gubuk maka tiap pondok akan memiliki jadwal piket kebersihan sendiri-sendiri.

Gbr.10. Gerobak Sampah Milik Pesantren

25 Dalam bagian ini digunakan istilah “penanganan sampah” dan bukan “pengelolaan sampah” untuk menekankan upaya utama yang dilakukan dalam mengatasi sampah di wilayah pesantren adalah untuk memusnahkan sampah/menghilangkan sampah dari wilayah pesantren dan bukan mengelola sampah. Oleh sebab itu, sebagian besar langkah yang diambil adalah untuk membuang (menjauhkan dari pesantren) dan membakar sampah, baik dengan sistem pembakaran biasa ataupun dengan insinerator.

catharinaindirastutiforUNDP 45

Di luar piket yang dikoordinasikan oleh pengurus, terdapat kegiatan Ro’an – atau kerja bakti – yang dilakukan seminggu sekali setiap hari Jum’at oleh seluruh santri penghuni pesantren yang biasanya dilakukan setelah sholat Jum’at. Dalam kegiatan Ro’an, para santri dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil berjumlah 5-6 orang dan bersama-sama membersihkan satu wilayah tertentu di pesantren. Sampah yang terkumpul pada saat Ro’an akan langsung dibawa ke tempat pembuangan sampah. Akan ada santri-santri yang bertugas dengan gerobak besar (glodok) yang akan mengangkut sampah yang dikumpulkan dari lokasi ke lokasi di dalam satu pesantren untuk kemudian dibawa ke tempat pembuangan sampah liar di wilayah desa. Tujuan dari Ro’an adalah untuk membersihkan sampah yang berserakan di dalam wilayah pesantren mereka. Ro’an dijalankan dengan serius dan seluruh santri harus hadir dalam kegiatan ini (terpisah antara santriwati dan santriwan karena wilayah hidup yang terpisah juga), dengan sanksi-sanksi yang diberikan bagi santri yang tidak mengikuti kegiatan ro’an. Upaya-upaya untuk mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik juga telah mulai dilakukan di beberapa pesantren. Salah satunya adalah di Pesantren Mu’allimin Tegal Temu, khususnya pesantren putra, yang mulai memilah sampah yang masih memiliki nilai jual, khususnya botol/gelas plastik air minum dalam kemasan. Dari pemilahan ini dapat dikumpulkan 5 karung sampah plastik yang telah dipilih setiap bulannya (dengan jumlah santri hampir 80 orang di pesantren Mu’allimin) . Pemilahan dilakukan di masing-masing gubuk dari sampah yang mereka kumpulkan. Lima karung sampah yang terkumpul dijual ke tukang rongsok yang secara rutin mengambilnya setiap bulan. Uang yang dikumpulkan dimasukkan ke dalam kas kebersihan untuk membeli peralatan kebersihan. Sistem pemilahan sampah ini berjalan dengan baik selama 1 tahun lamanya, namun keberlanjutannya masih menjadi tanda tanya karena pengurus lama bagian kebersihan telah diganti karena padatnya aktifitas mereka. Selain itu, kesibukan masing-masing santri juga membuat proses pemilahan yang dilakukan di tingkat gubuk/pondok juga terhenti karena tidak ada yang memiliki waktu luang untuk memilah sampah. Pengurus di bidang kebersihan adalah yang menyusun aturan-aturan terkait penanganan sampah. Setiap bulan, idealnya, diadakan 2 kali pertemuan untuk bidang kebersihan dan anggota-anggotanya. Jika sebuah sistem akan diterapkan maka bidang kebersihan akan mengadakan percobaab lebih dahulu (pilot), hasilnya akan disurvey dan dirapatkan sejauh mana tujuan yang ingin dicapai dapat terpenuhi. Jika ada sesuatu hal yang kurang dapat dibicarakan dalam rapat yang dilakukan setelah survey. Aturan baru, khususnya terkait persoalan-persoalan kebersihan, dapat diputuskan di level pengurus pesantren (yang terdiri dari para santri senior) saja. Namun aturan baru wajib dilaporkan pada pengasuh pesantren untuk memastikan bahwa para santri akan mengikuti aturan yang telah disahkan oleh para pengurus tersebut. Peran pengasuh dalam penerapan aturan adalah mendukung penerapan aturan baru, karena santri umumnya lebih mendengar perkataan pengasuh pesantren. Amanat telah diberikan oleh pengasuh pesantren pada pengurus pesantren utuk menjalankan aturan-aturan baru tanpa menunggu persetujuan dari pengasuh pesantren. Tentu saja aturan-aturan ini boleh diterapkan selama masih sejalan dengan aturan pondok pesantren. Namun dalam prakteknya, memperoleh dukungan dari pengasuh untuk aturan baru yang diterapkan tidak selalu mudah dilakukan karena kesibukan pengasuh pesantren di luar lingkungan pesantren. Kebanyakan pesantren di desa Babakan Ciwaringin memiliki kaitan dengan organisai Nahdatul Ulama (NU) dan sebagian pengasuh pesantren, terutama pesantren besar, adalah bagian dari PBNU – Pengurus Besar Nahdatul Ulama, baik di daerah maupun di pusat. Aturan-aturan yang diterapkan di asrama putra dan putra dapat menjadi berbeda karena masing-masing asrama menyusun aturan mereka secara mandiri. Hampir tidak ada aturan yang dikonsolidasikan antara pesantren putra dan pesantren putri, kecuali untuk panduan umum aturan yang digariskan oleh pengasuh pesantren. Kerjasama antara pesantren putra dan putri tidak selalu diijinkan, kecuali untuk hari-hari besar. Pertemuan antara santriwan dan santriwati hanya terjadi ketika mereka bersekolah di sekolah formal.

catharinaindirastutiforUNDP 46

Pola yang sama juga diterapkan dalam relasi antar remaja putra dan putri di luar lingkungan pesantren. Organisasi pemuda yang dibentuk di desa umumnya hanya beranggotakan remaja/anak muda laki-laki, sedangkan remaja/anak muda perempuan yang belum menikah dan tidak lagi sekolah biasanya hanya bekerja atau tinggal di dalam rumah saja, kecuali untuk kegiatan mengaji. Oleh sebab itu, jika aturan baru mengenai pengelolaan sampah akan diterapkan baik di pesantren putra maupun putri maka dibutuhkan pendekatan baru untuk dapat mengkoordinasi penyusunan aturan bersama oleh pengurus putra dan pengurus putri.

catharinaindirastutiforUNDP 47

6. KESIMPULAN Desa Babakan Ciwaringin merupakan desa dengan keragaman konteks hidup dan mata pencaharian masyarakatnya. Desa Babakan Ciwaringin terdiri atas wilayah dengan fungsi yang beragam, mulai dari wilayah sawah dan tegalan, wilayah industri – baik industri rumahan maupun pabrik – dan wilayah pemukiman yang, selain terdiri atas wilayah perumahan, sebagian besar juga dipenuhi oleh pesantren, sekolah dan warung-warung. Lingkungan hidup masyarakat juga cukup beragam, mulai dari wilayah yang subur yang menjadi pusat pertanian desa, hingga wilayah yang sangat kering yang mengharuskan penduduknya merantau ke luar desa untuk mencari penghidupan. Keragaman konteks hidup lahir dari penghidupan masyarakat yang juga beragam, sebagai petani, pedagang, buruh harian dan sebagai pengusaha industri rumahan skala kecil maupun skala menengah/besar. Keragaman penduduk juga diperkaya dengan masuknya pendatang-pendatang muda yang hidup di desa Babakan Ciwaringin sebagai santri di puluhan pesantren yang ada di desa. Terkenal sebagai desa santri, banyak santri lulusan desa Babakan Ciwaringin menduduki jabatan penting di wilayah publik yang membawa nama desa Babakan Ciwaringin menjadi dikenal di berbagai wiayah. Jumlah santri pendatang yang melebihi jumlah penduduk asli desa Babakan Ciwaringin, yang memadati 2 RW dari 6 RW yang ada di desa Babakan Ciwaringin. Dilengkapi oleh penduduk desa yang merantau sebagai buruh migran di wilayah Timur Tengah maupun Asia Timur, desa Babakan Ciwaringin menjadi pertemuan dari berbagai pola hidup yang beragam dengan latar belakang budaya yang juga kaya. Usaha dan sumber penghidupan yang beragam yang ada di desa Babakan Ciwaringin pada umumnya merupakan usaha yang diturunkan dari generasi ke generasi dan dikelola oleh keluarga dekat dan kerabat. Usaha jual beli besi, misalnya, dimiliki oleh satu keluarga dan kemudian ketrampilan untuk mengelola usaha ini diturunkan ke anak-anak laki-laki dalam keluarga yang akan mendirikan usaha serupa. Hal yang sama terjadi di lingkungan pesantren, dimana banyak pesantren merupakan turunan dari pesantren yang didirikan pada awalnya. Banyak pesantren yang dikembangkan oleh anak ataupun menantu dari pendiri pesantren utama, hingga pada saat ini jumlah pesantren telah berkembang menjadi lebih dari 40 pesantren di satu desa Babakan Ciwaringin, dengan jumlah murid yang beragam mulai dari 20 santri hingga lebih dari 1000 santri dalam satu pesantren. Dengan sumber penghidupan dan aktivitas yang diturunkan, maka peran pesantren utama dalam mengadopsi perubahanmenjadi sangat penting, juga dalam mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik, karena sikap patuh yang ditumbuhkan dalam pesantren membutuhkan pendekatan top-down agar perubahan lebih mudah diadopsi dan disebarkan. Keragaman penghidupan membawa kesenjangan ekonomi yang cukup tajam di desa Babakan Ciwaringin. Buruh harian dengan penghasilan sekitar 70ribu rupiah perhari hidup berdampingan dengan pengusaha-pengusaha besi dan para pemilik pesantren yang dapat memiliki murid hingga 1000 orang santri. Rumah-rumah di wilayah desa Babakan Ciwaringin lebih menyerupai wilayah sub-urban dibandingkan desa, dengan banyaknya rumah dengan tembok dan lantai keramik diselingi padatnya gedung-gedung bertingkat yang menjadi asrama pesantren, yang tersebar masuk ke wilayah pedalaman desa. Rumah dengan tembok rapi di desa banyak yang dihasilkan dari penghasilan merantau sebagai buruh migran, terutama pada era sebelum moratorium pengiriman buruh migran ke Timur Tengah diberlakukan.

catharinaindirastutiforUNDP 48

Namun usaha yang diturunkan ini lebih banyak diturunkan pada anak laki-laki, atau menantu laki-laki jika anak yang dimiliki adalah perempuan. Di kelompok masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke atas yang hidup di wilayah desa ini, pembagian tugas dalam domestik dan publik sangat terasa dengan sedikit kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin keluarga atau pencari nafkah utama. Hampir tidak ada usaha jual beli besi yang mengikutsertakan anggota keluarga perempuan, dan dalam lingkungan pesantren, hampir semua pengasuh pesantren adalah laki-laki, jika pun perempuan maka hanya akan menjadi pengasuh asrama perempuan. Keadaan yang berbeda tampak pada kelompok masyarakat dari kelas bawah yang hidup dari penghasilan harian sebagai buruh. Pada keluarga-keluarga miskin, risiko putus sekolah sangat tinggi, yang tampak pada rendahnya rata-rata tingkat pendidikan yang diselesaikan masyarakat desa di luar pesantren. Terlepas dari banyaknya sekolah di wilayah desa, sebagian besar penduduk hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Anak-anak muda dari lingkungan desa Babakan Ciwaringin di luar pesantren juga sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP saja. Dalam keluarga-keluarga yang tidak memiliki akses atas berbagai sumber daya yang ada di desa, pilihan yang tersedia adalah bekerja sebagai buruh harian di bengkel-bengkel besi, industri rumahan rotan atau genteng, industri garmen dan briket serta industri lain, juga sebagai buruh tani-buruh tani di desa. Dengan berbagai sebab, industri-industri ini lebih banyak menerima pekerja perempuan dibandingkan pekerja laki-laki, kecuali usaha jual beli besi dan buruh tani, sehingga dalam banyak rumah tangga perempuan sesungguhnya merupakan pekerja utama yang menopang kehidupan keluarga. Selain itu, meskipun tidak terdata di kantor desa, cukup banyak warga desa yang bekerja sebagai buruh migran untuk memperbaiki penghidupan keluarga. Pekerjaan sebagai buruh migran, khususnya sebagai asisten rumah tangga, merupakan pekerjaan yang banyak dipilih oleh perempuan dari keluarga miskin di desa yang telah mengenyam pendidikan, setidaknya sampai tingkat SD, ketika pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah masih banyak dilakukan. Perempuan-perempuan perkasa ini membawa pulang uang dalam jumlah besar setelah bekerja dengan kontrak sepanjang 2-3 tahun, dengan uang yang umumnya digunakan untuk membiayai pendidikan adik atau anaknya, memperbaiki rumah keluarga maupun untuk membeli tanah di desa. Risiko-risiko trafficking juga terungkap dalam beberapa subjek penelitian. Perkawinan anak yang ditujukan untuk memperbaiki kehidupan keluarga terjadi pada anak perempuan yang putus sekolah. Kawin-cerai juga diindikasikan cukup tinggi dalam salah satu wawancara yang dilakukan dengan mantan pegawai P3N desa. Terdapat pula risiko trafficking pada buruh migran yang dinikahi oleh keluarga tempat ia bekerja di luar negeri, dengan bayaran yang tinggi bagi keluarganya di desa, namun dengan risiko tidak dapat kembali ke desa dan putusnya hubungan keluarga. Kondisi ini membawa wajah yang berbeda di desa Babakan Ciwaringin dari desa-desa lainnya: sebuah desa dengan perputaran uang yang tinggi dan masyarakat desa yang telah memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya uang untuk menopang kehidupan mereka. Hal ini membawa implikasi pada berbagai kegiatan yang dilakukan di luar wilayah ekonomi, yang tidak secara nyata mendatangkan penghasilan tambahan bagi penduduk desa.

catharinaindirastutiforUNDP 49

Padatnya penduduk, dengan lebih dari 10.000 jiwa yang hidup di wilayah desa seluas 583 Ha (5.83Km2) atau lebih dari 1.500 jiwa/km2 juga membawa persoalan-persoalan lai ndalam pengelolaan kehidupan masyarakat. Salah satu persoalan utama yang dibawa oleh padatnya penduduk yang hidup di desa Babakan Ciwaringin adalah persoalan sampah. Pemetaan persoalan di wilayah desa Babakan Ciwaringin menunjukkan bahwa persoalan sampah menjadi semakin berat dengan semakin banyaknya pesantren dan jumlah santri yang hidup di dalamnya. Lingkungan pesantren dan desa yang tidak didukung oleh sistem pengelolaan sampah yang memadai menyebabkan gunungan sampah tampak di beberapa wilayah desa, yang hampir semuanya merupakan tempat pembuangan sampah tidak resmi yang dipilih warga dan masyarakat pesantren yang tidak memiliki tempat pemusnahan sampah sendiri di dalam wilayah pesantren mereka. Pembuangan sampah yang tidak terkelola dengan baik menimbulkan banyak persoalan baru, seperti penyebaran penyakit dan banjir yang setiap tahun hampir selalu terjadi. Ketegangan, meskipun tidak terjadi secara terbuka, dapat memicu konflik jika tidak tertangani dengan baik. Menumpuknya sampah juga terjadi di wilayah sekolah-sekolah formal yang ada di desa. Banyaknya murid dan santri yang ada di wilayah ini mengundang pedagang makanan, minuman, dan juga barang-barang kebutuhan lain yang juga menambah beban sampah di desa. Banyak pedagang, terutama pedagang asongan yang ada di wilayah sekolah, meninggalkan sampah mereka setiap hari di jalan-jalan desa yang membuat lingkungan desa menjadi kotor. Hadirnya sekolah, pesantren dan banyaknya jumlah santri membuat masyarakat desa merasa bahwa persoalan sampah bukan persoalan masyarakat desa, namun merupakan persoalan pesantren, terutama bagi masyarakat yang tidak hidup di wilayah pesantren. Dengan demikian, upaya untuk mengembangkan sistem pengelolaan sampah terpadu yang dilakukan harus dimulai dari lingkungan pesantren dan wilayah pemukiman di sekitar pesantren untuk kemudian disebarkan ke wilayah-wilayah lainnya.

catharinaindirastutiforUNDP 50

7. REKOMENDASI Berikut ini adalah rekomendasi untuk perencanaan pembentukan kepengurusan mini depo dan komunitas bank sampah di desa Babakan Ciwaringin. Persoalan pengelolaan sampah bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini terbukti dari tidak berkelanjutannya berbagai upaya yang pernah dilakukan di masa lalu untuk mengatasi persoalan sampah, baik atas inisiatif warga desa maupun atas inisiatif pesantren. PIHAK-PIHAK YANG DAPAT DILIBATKAN Dalam memahami situasi unik desa Babakan Ciwaringin, perlu dipertimbangkan peranan dari tiga elemen utama dalam komunitas desa Babakan Ciwaringin. Ketiga elemen ini memegang peranan penting dalam keberlanjutan program. Pesantren dan masyarakat desa sama-sama merupakan penyumbang sampah di desa Babakan Ciwaringin, sedangkan perangkat desa, dengan segala sumber daya yang dimiliki – termasuk akses atas perizinan, perencanaan desa (RPJM Desa), sumber dana dari Dana Desa dan juga akses pada dinas-dinas terkait, serta dapat menghasilkan perangkat kebijakan desa yang dapat mendorong perubahan perilaku masyarakat juga menjadi elemen penting terwujudnya pengelolaan sampah desa yang baik. Perangkat Desa Perangkat desa sebaiknya tidak menjadi pengurus utama dalam organisasi mini depo, melainkan tetap menjalankan fungsi penuh sebagai perangkat desa dan menjadi pengawas dalam kegiatan mini depo. Hal ini terutama disebabkan karena kegiatan mini depo, jika berjalan dengan kapasitas maksimal, merupakan kegiatan yang beroperasi secara penuh, setiap harinya. Jika mengikuti pola kerja bank sampah ataupun pengusaha daur ulang sampah, maka kegiatan akan berlangsung setiap hari dari pukul 8 pagi hingga 5 sore, mulai dari hari Senin hingga Sabtu. Pola ini tentu saja tidak dapat dijalankan oleh perangkat desa yang juga memiliki tanggung jawab penuh di kantor desa. Namun demikian, perangkat desa memiliki kontribusi besar dalam memfasilitasi kelancaran pengoperasian mini depo. Dana desa dapat dipertimbangkan sebagai sumber dana bagi pengoperasian mini depo, terutama pada tahapan awal pengoperasian mini depo. Selain itu, unsur-unsur masyarakat yang menjadi binaan aparat desa, seperti PKK, Posyandu maupun Karang Taruna, dapat mengambil peran aktif dalam berjalannya program. Ke depannya, mini depo dapat menjadi cikal bakal Badan Usaha Milik Desa yang dijalankan oleh masyarakat desa. Masyarakat Desa Meskipun pesantren merupakan penyumbang sampah yang signifikan bagi desa Babakan Ciwaringin, peranan masyarakat desa Babakan Ciwaringin menjadi penting untuk memastikan bahwa manfaat mini depo tidak hanya dirasakan oleh komunitas pesantren, namun juga desa Babakan secara

Perangkat Desa

Masyarakat Desa Pesantren

catharinaindirastutiforUNDP 51

menyeluruh. Namun, mengorganisir pemilahan sampah – hingga membentuk bank sampah – bank sampah unit di masing-masing blok desa tentu saja tidak semudah mengatur santri yang memang hidup dalam aturan pesantren yang baku, dengan pengurus pesantren yang akan mengawasi perubahan perilaku mereka. Masyarakat desa terdiri dari lebih dari 1300 KK merupakan unit-unit keluarga yang terpisah dengan kegiatan mereka masing-masing. Dengan demikian dibutuhkan pihak-pihak yang dapat menjadi penggerak masyarakat dalam jangka panjang, karena perubahan perilaku membutuhkan perubahan pengetahuan, perubahan keyakinan dan baru pada tahap akhir terjadi perubahan perilaku ketika segala elemen yang ada (termasuk fasilitas pembuangan yang sesuai) mendukung. Yang juga perlu dipahami lebih jauh adalah struktur keluarga dalam masyarakat desa Babakan Ciwaringin, karena seperti apa yang ditemukan dalam observasi awal, baik laki-laki maupun perempuan (dan terutama perempuan) harus keluar rumah untuk bekerja. Ini artinya dibutuhkan dorongan yang kuat untuk dapat meyakini mereka bahwa memilah sampah bukanlah pekerjaan tambahan yang sia-sia, namun sesuatu yang dapat memberikan nilai pada akhirnya. Pelibatan PKK sebagai penggerak masyarakat, khususnya kelompok perempuan, menjadi penting. Sosialisasi pengetahuan dapat dilakukan melalui kegiatan sosial di lingkungan, termasuk pengajian-pengajian di desa. Selain itu Karang Taruna, tidak hanya anggota laki-laki namun juga anggota perempuan, juga sebaiknya dilibatkan dalam kegiatan operasional yang dilakukan sehari-hari dalam mengelola mini depo. Kegiatan kelompok pemuda yang pernah terlibat dalam penanganan sampah di masa lalu, seperti komunitas Pemuda Pecinta Lingkungan Bersih (PPLB) dapat dihidupkan kembali dan dilibatkan dalam pengelolaan – baik bank sampah unit di RW masing-masing, maupun bank sampah induk (atau mini depo, jika bank sampah ada di mini depo). Kelompok masyarakat lain yang juga tidak dapat ditinggalkan adalah anggota masyarakat yang saat ini memperoleh penghasilan dari sistem pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, termasuk di dalamnya adalah para pemulung dan pengemudi becak yang membantu mengangkut dan membuang sampah warga. Para pemulung yang selama ini turut memulung sampah dari lingkungan desa Babakan Ciwaringin, jika tidak dilibatkan dalam prosesnya, lambat laun akan kehilangan mata pencaharian mereka. Meskipun membangun sistem baru dalam pengelolaan sampah komunitas tidak akan terjadi dalam waktu singkat, namun keterlibatan para pemulung, yang sebagian dari mereka juga merupakan warga desa Babakan Ciwaringin, harus dipertimbangkan. Pengemudi becak selama ini juga memperoleh penghasilan sebagai pengangkut sampah warga untuk dibuang di tempat-tempat pembuangan sampah tidak resmi yang ada di lingkungan desa. Pendapatan yang mereka peroleh dari satu rumah tangga adalah Rp.5.000,- untuk satu kali pengangkatan (yang mungkin dilakukan seminggu sekali). Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup besar jika dihitung dari banyak KK yang ada di desa ini. Sistem transportasi sampah yang telah dipilah dari masing-masing RW dapat dilakukan dengan melibatkan para pengemudi becak yang ada. Pesantren Pesantren menjadi kunci bagi penanganan persoalan sampah di wilayah desa Babakan Ciwaringin, karena dalam wilayah yang lebih sempit, pesantren harus menampung hampir 2 kali jumlah penduduk desa Babakan Ciwaringin. Kehidupan sehari-hari yang teratur dalam pesantren dapat menjadi awal dari tumbuhnya kepatuhan untuk memilah sampah sejak tangan pertama. Aturan baru untuk memilah sampah dapat menjadi bagian dari kebijakan pemimpin pesantren yang akan diikuti dengan kepatuhan oleh para santrinya. Selain itu, gerakan yang dimulai dari pesantren akan membingkai persoalan sampah dan kebersihan dalam kacamata agama Islam. Hal ini dapat menjadi pintu masuk yang pas, tidak hanya bagi para santri, namun juga bagi masyarakat desa yang pada umumnya mengikuti pandangan para tokoh agama. Kyai dan Nyai, sebagai pemimpin komunitas agama, dapat menjadi pendorong berubahnya perilaku pengikutnya.

catharinaindirastutiforUNDP 52

Tentu saja tidak selalu mudah untuk masuk dan mengubah aturan dalam pesantren. Pendekatan-pendekatan harus dengan hati-hati dilakukan agar pemimpin pesantren dapat memiliki pandangan yang sama dalam persoalan pengelolaan sampah. Selain itu, padatnya kegiatan santri juga harus menjadi pertimbangan dalam memberikan tugas tambahan untuk pengelolaan sampah. Beberapa pihak dalam pesantren yang menjadi kunci dalam implementasi pemilahan sampah (dan pada akhirnya pembentukan bank sampah unit, khususnya pada pesantren besar) adalah:

• Pemimpin/pengasuh pesantren – khususnya pesantren besar: penerimaan pemimpin pesantren menjadi penting, karena aturan baru tidak dapat diimplementasikan tanpa dukungan pemimpin/pengasuh pesantren. Menggerakkan dan mengubah perilaku murid pesantren hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pengasuh pesantren, yang akan menciptakan kepatuhan dari santri-santri di bawah naungannya.

• Pengasuh pesantren utama – pola pendirian pesantren yang dilakukan secara turun temurun satu generasi ke generasi berikutnya membuat penyebaran perubahan tingkah laku dapat diikuti lebih banyak pesantren jika pesantren-pesantren utama yang menjadi awal berdirinya satu kelompok pesantren tertentu dilibatkan – minimal disosialisasikan.

• Pengurus pusat pesantren – memiliki tanggung jawab untuk menyusun aturan main dalam kehidupan sehari-hari di dalam pesantren, serta memastikan bahwa aturan ditegakkan. Pemahaman pengurus pusat pesantren akan pentingnya pengelolaan sampah di dalam wilayah pesantren menjadi kunci bagi terpilahnya sampah – hingga dapat dihasilkan sampah yang berkualitas. Dalam kepengurusan, melibatkan divisi keamanan dan kebersihan menjadi penting. Pengurus pusat juga terdiri dari pengurus pusat laki-laki dan perempuan. Pelibatan kedua komunitas yang terpisah ini penting untuk dapat mengikutsertakan seluruh pesantren.

• Pengurus kompleks – sebagai penegak aturan dalam kompleks pesantren dan pengurus kamar yang secara langsung mengawasi kebiasaan santri dalam mengelola sampah yang mereka hasilkan dalam lingkungan pesantren.

• Kodhim dan abdi – santri-santri yang bekerja untuk pengasuh/pemimpin pesantren juga harus dilibatkan, karena kerja yang mereka lakukan sehari-hari dapat berkaitan dengan sampah

• Persatuan Pesantren Seluruh Babakan (PSPB) – berperan untuk membangun jaringan komunikasi antar-pesantren, agar semua pesantren yang ada dapat terlibat. PSPB juga perlu dilibatkan untuk mengetahui opinion leaders di lingkungan pesantren desa Babakan Ciwaringin. Dengan banyaknya pesantren dan santri yang ada, melakukan pendekatan pada opinion leaders di lingkungan santri diharapkan dapat membantu sosialisasi ide pengelolaan sampah.

Dalam tahapan implementasi program, perlu dipertimbangkan untuk melakukan proses piloting untuk memastikan sistem yang dibangun berjalan dengan baik dan kapasitas mini depo dapat dikalkulasi dengan baik. Piloting yang disarankan adalah dengan mengambil kasus satu pesantren besar (misalnya pesantren Kebon Jambu) sebagai satu bank sampah unit pesantren dan satu pesantren kecil (100 santri atau kurang, seperti Pesantren Mu’allimin Mu’allimat) yang akan menjadi bank sampah unit bagi pesantren kecil dan warga sekitarnya. Sekolah Formal Di Luar Pesantren Sekolah memegang peranan penting untuk memastikan bahwa kebiasaan memilah sampah berlaku sepanjang hari. Karena para santri menghabiskan sedikitnya setengah hari di lingkungan sekolah, maka harmonisasi aturan dengan sekolah menjadi penting agar kebiasaan terus tertanam.

catharinaindirastutiforUNDP 53

PROSES PENGELOLAAN SAMPAH YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat: Bank Sampah – Mini Depo

Pengelolaan sampah membutuhkan sistem yang dibangun dari tingkat keluarga/rumah tangga/kamar asrama sampai tingkat desa. Setiap tahapan memiliki bagian-bagian kegiatan rinci yang berbeda-beda, yang membutuhkan keterlibatan orang yang berbeda-beda, seperti contoh berikut. Perincian tugas dan peran harus dilakukan dalam diskusi yang difasilitasi konsultan bank sampah, agar pemahaman dan komitmen dapat dibangun di dalam tim pengelola sampah.

BANK SAMPAH UNIT - PESANTREN Kegiatan Pelaku Tempat Peralatan/Sarana 1 Memilah sampah

pada saat membuang (plastik, kertas/kardus, organik, residu)

Seluruh Santri Pesantren: kamar, halaman, ruang bersama, MCK, dapur Sekolah Formal (SMK, SMP, SMA, MAN, SD) Madrasah Diniyah

Tong sampah dengan kategorisasi jenis sampah

2 Mengumpulkan sampah yang telah dipilah, khususnya sampah plastik dan kertas (harian/mingguan)

Pengurus Kamar Pengurus Kompleks

Kamar Kompleks

Tempat penampungan sementara di wilayah kamar/kompleks

3 Mengolah sampah organik

Divisi Kebersihan Petugas Piket

Lingkungan Pesantren Area untuk melakukan pengomposan

4 Memilah sampah plastik dan kertas untuk meningkatkan nilai

Kelompok usaha bank sampah pesantren

Lingkungan Pesantren Bak-bak/kantong pemisah

5 Menimbang dan melakukan pencatatan dan pembukuan sampah yang dijual dan uang yang diperoleh

Kelompok usaha bank sampah pesantren

Lingkungan Pesantren Alat timbangan Formulir pencatatan

6 Mengangkut dan menjual sampah plastik dan kertas pada bank sampah

Kelompok usaha bank sampah pesantren

Mini Depo Alat transportasi

BANK SAMPAH UNIT – PESANTREN (500+ santri)

BANK SAMPAH UNIT – TINGKAT RW (Pesantren Kecil + Rumah Tangga)

MINI DEPO (BANK SAMPAH

INDUK?)

JARINGAN PENGUSAHA DAUR ULANG

PLASTIK

catharinaindirastutiforUNDP 54

induk 7 Menyusun kebijakan

dan aturan pengelolaan sampah pesantren

Divisi Keamanan – Pengurus Pusat

Pesantren

8 Melakukan sosialisasi dan pengawasan penerapan aturan baru

Divisi Kebersihan Pengurus Kompleks Pengurus Kamar

Pesantren

BANK SAMPAH UNIT – TINGKAT RW

Kegiatan Pelaku Tempat Peralatan/Sarana 1 Memilah sampah

pada saat membuang (plastik, kertas/kardus, organik, residu)

Seluruh warga Ruang privat: rumah Ruang publik: kantor desa, sekolah, pasar, dsb

Tong sampah dengan kategorisasi jenis sampah

2 Mengumpulkan sampah yang telah dipilah, khususnya sampah plastik dan kertas (harian)

Salah satu anggota keluarga

Tingkat Rumah Tangga

Ruang pengumpulan

3 Mengolah sampah organik

Anggota keluarga? Petugas RT Karang Taruna PPLB?

Tingkat Rumah Tangga atau RT? (jika ada lahan bersama)

Area untuk melakukan pengomposan

4 Membawa sampah plastik dan kertas ke bank sampah unit

Salah satu anggota keluarga

Tiap rumah tangga Alat transportasi (jika banyak dan jauh)

5 Menerima, menimbang dan melakukan pencatatan dan pembukuan sampah yang dibawa warga

Pengurus bank sampah unit: Karang Taruna, PKK, PPLB? Atau pengurus pesantren?

Tingkat RW Area untuk mengumpulkan sampah Timbangan Alat pencatatan

6 Memilah sampah plastik dan kertas untuk meningkatkan nilai

Pengurus bank sampah unit: PKK? Karang Taruna?

Tingkat RW Bak-bak/kantong pemisah Area untuk memilah sampah

7 Membawa sampah plastik dan kertas ke bank sampah induk

Pengurus bank sampah unit : PKK? Karang Taruna?

Tingkat Desa Alat transportasi

8 Mengangkut dan menjual sampah plastik dan kertas pada bank sampah induk

Pengurus bank sampah unit: PKK? Karang Taruna?

Mini Depo Alat transportasi

9 Melakukan sosialisasi dan edukasi bagi warga tentang pengelolaan bank sampah dan pemilahan sampah

Pengurus bank sampah unit: PKK? Karang Taruna Perangkat Desa

Rumah ke rumah Arisan/pengajian Kantor desa

Bahan sosialisasi dan edukasi

catharinaindirastutiforUNDP 55

Adapun perincian kegiatan di Mini Depo sangat tergantung pada fungsi yang akan dijalankan nantinya. Mini Depo dapat berfungsi sebagai bank sampah induk ataupun pengolah sampah yang telah terpilah (memilah dan mencacah sampah yang masuk), dan kedua fungsi ini memiliki jenis kegiatan yang berbeda. Namun demikian pada Mini Depo sendiri terdapat tiga fungsi utama yang harus dijalankan:

1. Pemilahan sampah, 2. Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan, 3. Pengelolaan minidepo sebagai unit usaha: pembelian sampah dari bank sampah unit dan

penjualan pada jaringan daur ulang sampah.