Kuntowijoyo.doc

9
Kuntowijoyo ( 1943 – 2005 ) Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943–22 Februari 2005) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Ia dibesarkan di Ceper, Klaten, dalam lingkungan keluarga Jawa yang beragama Islam beraliran Muhammadiyah. Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah tahun 1956 di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP tahun 1959, di Klaten. Ia sering mendengarkan siaran puisi dari radio Surakarta asuhan Mansur Samin dan Budiman S. Hartojo. Mentornya, M. Saribi Arifin dan M.Yusmanam, mendorongnya untuk menulis sastra. Di SMA, ia banyak membaca karya sastra, baik dari penulis Indonesia maupun dari luar negeri, seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Dengan bekal itu, pada tahun 1964 ia menulis novel pertamanya, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966. Selain itu, ia juga menulis cerpen dan drama pendek untuk klubnya. Namun, ia baru memublikasikan karyanya itu pada pada tahun 1967 di majalah Horison. Setelah menyelesaikan SMA di Surakarta tahun 1962, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1969. Sebelumnya, ia menyelesaikan studi S-2 di The University of Connecticut, Amerika Serikat, tahun 1974. Disertasinya di Universitas Columbia, Social Change in an Agrarian Society: Madura1950—1940, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Gelar MA American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980. Selain menulis tentang sejarah Madura, ia juga menulis beberapa risalah sejarah dalam bentuk makalah dan paper yang tersebar. Salah satu karya terakhir di bidang sejarah ialah Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta.Sejak muda hingga akhir hayatnya, Kuntowijoyo tekun berkarya di bidang sastra. Ia banyak menulis buku tentang sejarah, budaya, filsafat, dan sastra, di antaranya Mantra Pejinak Ular, Isyarat, Khotbah di Atas Bukit, dan Impian Amerika. Selain itu, ia juga sering menulis

Transcript of Kuntowijoyo.doc

Page 1: Kuntowijoyo.doc

Kuntowijoyo ( 1943 – 2005 )

Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943–22 Februari 2005) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Ia dibesarkan di Ceper, Klaten, dalam lingkungan keluarga Jawa yang beragama Islam beraliran Muhammadiyah.

Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah tahun 1956 di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP tahun 1959, di Klaten. Ia sering mendengarkan siaran puisi dari radio Surakarta asuhan Mansur Samin dan Budiman S. Hartojo. Mentornya, M. Saribi Arifin dan M.Yusmanam, mendorongnya untuk menulis sastra. Di SMA, ia banyak membaca karya sastra, baik dari penulis Indonesia maupun dari luar negeri, seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Dengan bekal itu, pada tahun 1964 ia menulis novel pertamanya, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966. Selain itu, ia juga menulis cerpen dan drama pendek untuk klubnya. Namun, ia baru memublikasikan karyanya itu pada pada tahun 1967 di majalah Horison. Setelah menyelesaikan SMA di Surakarta tahun 1962, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1969. Sebelumnya, ia menyelesaikan studi S-2 di The University of Connecticut, Amerika Serikat, tahun 1974. Disertasinya di Universitas Columbia, Social Change in an Agrarian Society: Madura1950—1940, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Gelar MA American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980.

Selain menulis tentang sejarah Madura, ia juga menulis beberapa risalah sejarah dalam bentuk makalah dan paper yang tersebar. Salah satu karya terakhir di bidang sejarah ialah Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta.Sejak muda hingga akhir hayatnya, Kuntowijoyo tekun berkarya di bidang sastra. Ia banyak menulis buku tentang sejarah, budaya, filsafat, dan sastra, di antaranya Mantra Pejinak Ular, Isyarat, Khotbah di Atas Bukit, dan Impian Amerika. Selain itu, ia juga sering menulis cerita pendek dan esai di surat kabar. Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya adalah penghargaan sastra dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), ASEAN (1997), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001).

Ia meninggal dunia akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis. Saat meninggal dunia, ia adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada dan juga pengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak. Isteri: Drs Susilaningsih MA (Menikah 8 November 1969) Anak:Ir Punang Amaripuja SE MSc, Alun Paradipta

Hasil Karya-Sebuah Jembatan Telah Dibangun (drama, 1965)- Rumput-Rumput Danau Bento (drama, 1968)- Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (cerpen, 1968)- Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Banda, dan Cartas (cerpen, 1972)- Pasar (novel, 1972), Topeng Kayu (drama, 1973)- Suluk Awang-Uwung (puisi, 1975)

Page 2: Kuntowijoyo.doc

- Khotbah di atas bukit ( novel, 1976)- Isyarat ( puisi, 1976)- Dinamika sejarah umat Islam di Indonesia (1985)- Mantra Pejinak Ular (novel, 2000)- Mengusir Matahari (fabel, 2000).- Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas- Identitas politik umat Islam- Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Shalahuddin Press, 1985 - Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru- Esai-Esai Budaya dan Politik 2002- Demokrasi dan Budaya (1994)- Pengantar Ilmu Sejarah (1995)- Metodologi Sejarah (1994)- Radikalisme Petani (1993)Buku :- Slilit Sang Kyai- Kumpulan puisi Daun Makrifat Makrifat Daun (1995)- Sedang Tuhan pun CemburuKumpulan Puisi :- Tembok ABRI- Trotoar- Jalan Sunyi- Ramadhan di Sisi Tuhan

Karir :- Asisten Dosen Fakultas Sastra UGM (1965-1970)- Dosen Fakultas Sastra UGM (1970-sekarang)

Penghargaan yang diraihnya, antara lain:- Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986)- Penghargaan Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994)- Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995)- Cerpen Terbaik Kompas (1995, 1996, 1997) - Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan- Asean Award on CUlture (1997)- Satya Lencana Kebudayaan RI (1997)- Mizan Award (1998)-Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)- S.E.A. Write Award dari Kerajaan Thailand (1999)- Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra.- Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972- Naskah drama Ru mput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. - Hadiah Sastra dari Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001)

Page 3: Kuntowijoyo.doc

Kuntowijoyo (1943-2005)Sejarawan Beridentitas Paripurna

Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943, ini seorang sejarawan beridentitas paripurna. Dia menyandang sejumlah identitas dan julukan. Penulis lebih 50-an buku ini seorang guru besar, sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis, khatib dan sebagainya. Guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ini seorang yang sangat menghargai kearifan budaya Jawa, rendah hati dan bisa bergaul dengan semua.

Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak Kunto, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.

Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jl Ampelgading 429, Perumahan Condongcatur dan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikebumikan Rabu 23 Februari 2005 di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Dia meninggalkan seorang istri, Drs Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8 November 1969, beserta dua putra, yakni Ir Punang Amaripuja SE MSc (34) dan Alun Paradipta (22).

Bayangkan, kendati sebagaian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam keadaan sakit, dia telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan intelektual. Seperti buku, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997. Sebuah penuangan pemikiran yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata.Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya. Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.

Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir (intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim. Para mahasiswanya juga memandangnya seorang guru yang bijaksana. Meski dalam kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk membimbing mahasiswanya.

Selain seorang sejarawan, Kunto juga seorang kiyai. Dia ikut membangun dan membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai.Dia juga seorang aktivis Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah. Dia pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Bahkan dia melahirkan sebuah karya Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut, Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.

Page 4: Kuntowijoyo.doc

Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam dan Salim Said.

Sementara minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat belajar di madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956), Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad Mustajab, yang piawai menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah dia dan murid-murid lainnya ikut mengalami peristiwa yang dituturkan Sang Ustad itu. Sejak itu, dia tertarik dengan sejarah.

Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah itu. Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang penyair dan Yusmanam, seorang pengarang. Kedua guru inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto.

Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.

Namun, di tengah keasyikannya menulis, Kunto juga senang menonton acara pertandingan tinju dan film koboi di televisi. Pada saat menonton dan ke mana pun perginya, ia selalu mengantongi sebuah notes untuk mencatat ide-ide yang secara kebetulan muncul. Novel Khotbah di Atas Bukit (1976) yang menjadi master piece-nya, ternyata ditulisnya hanya sambil lalu di sela-sela waktu mengajar. Menurut Ning, hingga menjelang akhir hayat, Kunto masih menulis. Minggu pagi mereka setelah jalan-jalan ke rumah ibunya di Klitren, lalu putar-putar ke Nogotirto melihat tanah milik anaknya. Setelah pulang masih sempat mengetik, melanjutkan menulis buku Mengalami Sejarah. Bahkan, Kunto juga bercerita ingin menulis buku tentang Muhammadiyah untuk menyambut muktamar.

Hampir tidak ada tanda-tanda dia akan pergi selamanya dalam waktu dekat. Aktivitas kesehariannya hingga Minggu malam 20 Februari 2005 masih biasa-biasa. Bahkan pada Sabtu, masih sempat ke kampus untuk menanyakan syarat kenaikan pangkat IV D-nya. Minggu masih berkunjung ke adiknya yang hamil tua. Pada Minggu itu, Kunto berangkat tidur pukul 22.30. Rasa sakit di pinggang baru dirasakan pada pukul 24.00. Ning mencoba mengobati. Tapi, pukul 03.00 Senin 21 Februari 2005, dia menderita diare. Lalu dia dibawa ke Rumah Sakit Sardjito. Dirawat di Paviliun Cendrawasih hingga sore. Sekitar pukul 20.00, kondisinya menurun dan harus dirawat di intensive care unit (ICU). Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 dia menghembuskan nafas terakhir. 

Page 5: Kuntowijoyo.doc

Misbach Yusa Biran (lahir di Rangkasbitung, 11 September 1933) adalah sutradara film, penulis skenario film dan sastrawan Indonesia. Beliau juga adalah suami dari aktris Nani Widjaya dan ayah dari aktris Cahya Kamila dan Sukma Ayu.

KarirMisbach Yusa Biran, sosok yang melegenda dalam dunia perfilman Indonesia. Ia sudah menghabiskan 3/4 usianya untuk aktivitas di dunia film. Misbach Yusa Biran memasuki dunia perfilman ketika berusia 21 tahun di studio Perfini yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Di lembaga itu dia menjadi asisten sutradara dan anggota sidang pengarang. Setahun kemudian skenario pertamanya muncul dan difilmkan dengan judul "Saodah". Setelah itu kreativitasnya seakan tak terbendung. Selama tiga tahun (1957-1960) ia membuat film pendek dan dokumenter. Pada kurun waktu 1960-1972, ia menyutradarai beberapa film layar lebar. Salah satu filmnya yang berjudul "Di Balik Tjahaja Gemerlapan" (1967) mendapat penghargaan untuk sutradara terbaik. Misbach memutuskan berhenti menyutradarai pada 1971 karena tidak mau menulis untuk industri film yang getol membuat film-film porno pada saat itu. Ia juga mendapat penghargaan skenario terbaik, untuk film "Menyusuri Jejak Berdarah". Film lainnya yang ia tulis skenarionya adalah "Ayahku" (1987). Film yang penyutradaraannya ditangani Agus Elias ini pun meraih penghargaan yang sama.

KepenulisanSkenario karyanya dinilai memiliki kekuatan khas yang tidak dimiliki penulis skenario lain. Yang bisa menandinginya barangkali hanya Asrul Sani, sejawatnya yang bersama-sama dengannya menggagas dan membangun Sinematek. Kekuatan tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari kemampuannya yang lain, yakni menulis karya sastra. Memang Misbach juga seorang sastrawan yang cukup diperhitungkan. Buku kumpulan cerpennya "Keajaiban di Pasar Senen" merupakan bukti kesastrawanannya yang tidak terbantahkan.Misbach Yusa Biran juga meluncurkan buku "Teknik Menulis Skenario Film Cerita" yang diluncurkan pada 30 Januari 2007.

KeorganisasianDedikasinya untuk kemajuan film Indonesia, memang patut dipuji. Misbach sempatmemimpin organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT) dari tahun 1978 hingga 1991. Pada masa yang sama, juga tercatat sebagai anggota Dewan Film Nasional.Kontribusinya yang paling besar untuk perfilman nasional adalah dengan pendirian Sinematek Indonesia, lembaga yang secara independen mengusahakan pendokumentasian film-film nasional. Bahkan sosok Misbach seolah identik dengan lembaga yang didirikannya sejak tahun 1975 itu. Misbach memimpin Sinematek Indonesia hingga tahun 2001.

PenghargaanKini, di usia tuanya, sosok yang mendapat penghargaan khusus dari Forum Film Bandung atas dedikasi dan kontribusinya di dunia film ini, masih terus berkarya lewat skenario yang ditulisnya. Baginya film adalah alat utama perjuangannya yang menjadi media ekspresi kesenian dan intelektual. Dan yang paling penting, menurut ia, film

Page 6: Kuntowijoyo.doc

adalah alat dakwah dan alat peningkatan kualitas hidup manusia, khususnya kualitas bangsa Indonesia.

KeluargaMisbach Yusa Biran menikah dengan aktris Nani Widjaya pada tahun 1969. Pasangan ini memiliki enam orang anak yaitu Nina Kartika, Tita Fitrah Soraya, Cahya Kamila, Firdausi, Farry Hanief, dan Sukma Ayu. Hanya dua anaknya yang mengikuti jejaknya di dunia film, yaitu Cahya Kamila dan Sukma Ayu.

FilmografiSutradara

Pesta Musik La Bana (1960) Panggilan Nabi Ibrahim (1964) Apa Yang Kautangisi (1965) Bintang Ketjil (1963) Operasi X (1968) Honey Money and Djakarta Fair (1970) Holiday in Bali (1962) Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966) Menjusuri Djedjak Berdarah (1967)

Penulis Skenario Menyusuri Jejak Berdarah (1967) Ayahku (1987) Cheque AA (1966) Macan Kemayoran (1965) Bintang Kecil (1963) Naga Merah (1976) Krakatau (1977) Bandung Lautan Api (1974) Lagu Untukmu (1973) Angkara Murka (1972) Fatahillah (1997) Romansa (1970) Samiun dan Dasima (1970) Biarlah aku pergi(1971)

Penghargaan Khusus

= Sutradara terbaik pada film Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1967)= Skenario terbaik, untuk film Menyusuri Jejak Berdarah dan Ayahku (1967)