Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

38
1. Suatu hari saya mendengarkan cerita dari salah seorang pasien saya, namanya Tn.H. Masih hangat di benaknya bagaimana ia mengalami tiga peristiwa kesalahan medis yang menimpa istri dan saudaranya. Peristiwa traumatis pertama menimpa istrinya sendiri. Kira-kira enam tahun yang lalu, istri Tn.H menderita sakit punggung. Ia lalu mengantar istrinya ke dokter untuk memastikan apa yang terjadi. Setelah dilakukan pemeriksaan foto punggung, dokter yang menangani mengatakan bahwa istrinya menderita saraf terjepit. Atas rekomendasi dokter, sang istri disarankan untuk menjalani fisioterapi dengan metode traksi. Perawatan traksi pun dilakukan secara teratur. Namun fisioterapi dan obat-batan yang diberikan dokter ternyata tidak membawa perubahan pada istrinya. Bukannya membaik, keluhan nyeri punggung sang istri malah semakin berat. Karena tidak ada kemajuan, Tn.H berinisiatif mencari pendapat kedua (second opinion) kepada dokter lain. Berdasarkan diagnosis dokter kedua, istri Tn. H dinyatakan menderita tuberculosis tulang. Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter kedua, Tn.H dan istrinya sepakat untuk menjalani pengobatan anti tuberkulosis selama enam bulan. “Puji Tuhan, hari demi hari kondisi istri saya membaik. Saat ini ia sudah bisa bekerja seperti sediakala.” Demikian Tn. H menyatakan ungkapan syukurnya. Pengalaman traumatis kedua dialami ayah mertua Tn. H. waktu itu kedua mata ayah mertua Tn. H menderita katarak, dimana penglihatan mana kanan dirasakan lebih kabur dibandingkan mata kiri. Setelah diperiksa dokter mata, ayah mertua Tn. H disarankan menjalani operasi katarak pada mata kanannya. Persiapan operasi pun dilakukan dan semua berjalan dengan baik. Setelah selesai operasi, ayah mertua Tn.H merasa kaget dan heran, mata kanan yang sakit mengapa mata kiri yang dibalut. Rupanya sang dokter mengoperasi sisi yang salah, mata kanan yang bermasalah, mata kiri yang dioperasi. Tn. H melanjutkan ceritanya menyangkut kesalahan medis. Pengalaman ketiga tidak seberat pengalaman pertama dan kedua.

Transcript of Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

Page 1: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

1. Suatu hari saya mendengarkan cerita dari salah seorang pasien saya, namanya Tn.H. Masih hangat di benaknya bagaimana ia mengalami tiga peristiwa kesalahan medis yang menimpa istri dan saudaranya. Peristiwa traumatis pertama menimpa istrinya sendiri. Kira-kira enam tahun yang lalu, istri Tn.H menderita sakit punggung. Ia lalu mengantar istrinya ke dokter untuk memastikan apa yang terjadi. Setelah dilakukan pemeriksaan foto punggung, dokter yang menangani mengatakan bahwa istrinya menderita saraf terjepit. Atas rekomendasi dokter, sang istri disarankan untuk menjalani fisioterapi dengan metode traksi. Perawatan traksi pun dilakukan secara teratur. Namun fisioterapi dan obat-batan yang diberikan dokter ternyata tidak membawa perubahan pada istrinya. Bukannya membaik, keluhan nyeri punggung sang istri malah semakin berat.

Karena tidak ada kemajuan, Tn.H berinisiatif mencari pendapat kedua (second opinion) kepada dokter lain. Berdasarkan diagnosis dokter kedua, istri Tn. H dinyatakan menderita tuberculosis tulang. Setelah mendapatkan penjelasan dari dokter kedua, Tn.H dan istrinya sepakat untuk menjalani pengobatan anti tuberkulosis selama enam bulan. “Puji Tuhan, hari demi hari kondisi istri saya membaik. Saat ini ia sudah bisa bekerja seperti sediakala.” Demikian Tn. H menyatakan ungkapan syukurnya.

Pengalaman traumatis kedua dialami ayah mertua Tn. H. waktu itu kedua mata ayah mertua Tn. H menderita katarak, dimana penglihatan mana kanan dirasakan lebih kabur dibandingkan mata kiri. Setelah diperiksa dokter mata, ayah mertua Tn. H disarankan menjalani operasi katarak pada mata kanannya. Persiapan operasi pun dilakukan dan semua berjalan dengan baik. Setelah selesai operasi, ayah mertua Tn.H merasa kaget dan heran, mata kanan yang sakit mengapa mata kiri yang dibalut. Rupanya sang dokter mengoperasi sisi yang salah, mata kanan yang bermasalah, mata kiri yang dioperasi.

Tn. H melanjutkan ceritanya menyangkut kesalahan medis. Pengalaman ketiga tidak seberat pengalaman pertama dan kedua. Pengalaman ini menimpa keponakannya. Sang keponakan mengeluhkan penglihatannya yang kabur. Khususnya saat membaca dalam jarak yang jauh. Tn.H kemudian mengantarkan kepunakannya ke dokter mata. Menurut sang dokter, keponakannya mengalami rabun jauh alias myopia, mata kiri minus 3 dan mata kanan minus 2. Tn.H meragukan hasil pemeriksaan dokter mata tersebut. Karena itu, Tn.H mengantarkan keponakannya ke dokter mata lain untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang lebih meyakinkan. Ternyata benar, ada perbedaan diagnosis antara dokter pertama dan kedua. Dokter mata kedua mengatakan bahwa keponakannya mengalami minus 0,75 untuk mata kiri dan minus 1 untuk mata kanan. Tn.H lebih yakin pada pemeriksaan dokter mata kedua karena dokter tersebut lebih teliti dan cermat saat memeriksa keponakannya. Berbeda dengan dokter mata pertama, ia sibuk menerima telepon sehingga kurang berkonsentrasi saat membaca visus (ketajaman penglihatan) keponakannya.

Page 2: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

2. Berita kematian John Murtha, seorang politisi kawakan Amerika yang sudah malang melintang sebagai anggita Kongres dari Partai Demokrat, yang disebabkan oleh kegagalan operasi empedu menjadi perbincangan besar di media massa Amerika Serikat. Murtha, veteran perang Vietnam, pada 28 Januari 2010 menjalani operasi pengangkatan empedu menggunakan prosedur canggih tanpa menggunakan pisau operasi, yang disebut kolesistektomi laparoskopi.

Prosedur tersebut jauh lebih tidak berisiko dibandingkan operasi dengan pisau bedah. Untuk melakukan kolesistektomi laparoskopi, dokter bedah memerlukan satu set alat laparoskopi berupa teleskop, televise monitor, kamera atau lensa, dan sumber cahaya (light source) dengan resolusi tinggi, dan alat pendukung lainnya. Pada prosedur bedah terbuka, dokter bedah pencernaan memerlukan irisan 5-7 cm, sementara prosedur kolesistektomi laparoskopi hanya membutuhkan luka sayatan di empat tempat dengan luka irisan sangat kecil sepanjang 1 cm. empat sayatan akan digunakan untuk memasukkan pipa kecil (trocar) yang masing-masing mempunyai kegunaan tersendiri. Sayatan di atas pusar digunakan untuk memasukkan trocar dimana melalui trocar tersebut kamera dan alat-alat lain dimasukkan untuk melihat organ dalam tubuh. Melalui lubang itu pula akan dimasukkan gas CO2 ke dalam rongga perut sampai tekanan 12-14 mm. Trocar lain dimanfaatkan untuk membantu visualisasi organ dalam, menyisihkan, mengidentifikasi, menjepit, dan menghentikan perdarahan, serta memotong kandung empedu.

Prosedur kolesistektomi laparoskopi, yang disebut juga prosedur minimal invasive, relative aman dibandingkan operasi yang menggunakan pisau bedah. Namun, seaman apapun, prosedur medis tetap mempunyai resiko. Melalui laparoskopi angka komplikasi hanya 1,9% dibandingkan 7% melalui pisau bedah. Komplikasi yang mungkin terjadi pada prosedur ini adalah perdarahan, infeksi, atau kesalahan dalam memotong saluran empedu.

Berdasarkan audit medis, disimpulkan bahwa John Murtha mengalami infeksi (sepsis) setelah ususnya terpotong ujung trocar laparoskopi. Salah satu keterbatasan laparoskopi adalah sempitnya lapang pandang. Dokter bedah hanya dapat mengintip dari lubang pipa yang dihubungkan ke monitor TV. Berbeda halnya dengan operasi bedah terbuka, lapang pandangnya lebih leluasa. Apapun alasannya fakta memperlihatkan bahwa prosedur medis memiliki resiko mencederai pasien. Menurut Davis Liu, saaat memberikan komentarnya mengenai kematian John Murtha, bahwa berdasarkan studi Universitas di Maryland, angka kegagalan operasi empedu menggunakan metode laparoskopi yang dilakukan secara terencana relative rendah, yaitu sekitar 0,7-2%. Namun, meskipun resiko laparoskopi kecil, John Murtha termasuk orang yang kurang beruntung.

3. Pada tahun 1980-an public Inggris diguncang oleh pemberitaan yang menyebutkan banyaknya kematian bayi setelah menjalani operasi jantung di rumah sakit Bristol Inggris.

Page 3: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

The Bristol Royal Infarmary dan Bristol Royal Hospital adalah rumah sakit pendidikan Univesitas Bristol, yang menangani pasien-pasien dengan penyakit jantung.

Bayi terlahir dengan cacat jantung bawaan memiliki harapan hidup yang sangat rendah. Kemajuan dalam praktik kedokteran memungkinkan tindakan operasi pada bayi yang mengalami anomaly sejak lahir. Pada tahun 1984 rumah sakit Bristol memulai program operasi bedah jantung untuk anak dan bayi di bawah 1 tahun. Kemarahan public berujung pada pembentukan komite penyelidikan yang diketuai oleh Profesor Ian Kennedy. Professor Ian dan tim meneliti 2.000 kasus bayi yang menjalani pembedahan akibat kelaianan jantung pada periode 1984-1995. Tim menyimpulakn bahwa sepertiga jumlah bayi menjalani operasi yang dilakukan di bawah standar. Dokter Wisheart, dokter yang melakukan operasi, dicabut surat izin praktiknya setelah terbukti melakukan praktik pembedahan di bawah standar. Dari 53 operasi yang dilakukan, 29 bayi meninggal. Dokter Dhasmana, rekan dr. Wisheart dilarang melakukan operasi selama tiga tahun.

4. S, seorang bayi yang menderita lemah jantung, berobat ke sebuah puskesmas di Kota J. setelah diperiksa oleh dokter S, korban dinyatakan meninggal dan dibuatkan surat kematian. Merasa tidak yakin, orang tua korban membawa anaknya ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata korban masih hidup dan kembali sehat.

5. Ny. L, seorang pengusaha salon kecantikan, mengadukan nasibnya karena terlah menjadi korban kesalahan operasi di sebuah rumah sakit di Kota J. ketika menjalani operasi, di dalam tubuh korban tanpa sengaja tertinggal sebuah tampon. Akibatnya, terjadi luka infeksi dan ia kehilangan sebagian usus dan anusnya.

6. M melapor ke pengadilan tinggi di Kota S akibat operasi pengambilan biji mata kanannya dilakukan tanpa izin dirinya atau kedua orang tuanya. M mengalami sakit mata dan tidak dapat membaca menuruti tawaran untuk menjalani operasi dan menandatangani selembar surat yang disodorkan kepadanya. Setelah operasi, ia kaget menemukan bola mata kanannya telah lenyap.

7. Berniat melakukan sterilisasi tubektomi, Ny. S malah tidak bangun (koma) selama 19 bulan. Dalam sebuah operasi kecil di sebuah rumah sakit di Kota S, korban mengalami efek samping akibat obat bius.

Page 4: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

8. KK, nenek berusia 63 tahun meninggal dunia akibat kelalaian dokter karena meniggalkan gunting operasi di perutnya saat operasi kanker Rahim di sebuah rumah sakit di Kota J. Beberapa waktu kemudian KK mengalami mual, muntah, dan nyeri perut. Setelah difoto tenyata gunting sepanjang 15 cm tertinggal di perut. Operasi pengambilan gunting berhasil, namun pasien kemudia meninggal akibat efek anestesi dan infeksi.

9. LJ, penduduk Kota M, menjadi korban praktik medis saat menjalani operasi lutut. Awalnya LJ mengalami cidera lutut kiri sehingga harus menjalani operasi di rumah sakit. Karena kelalaian, akhirnya justru lutut kanan yang dioperasi. Kesalahan tersebut baru disadari tim medis rumah sakit sehari setelah operasi.

10. AB dan S menjadi korban kelalalian saat menjalani operasi di sebuah rumah sakit di Kota B. Keduanya meninggal saat menjalani operasi karena keracuna gas CO2. Penyebabnya, selang yang seharusnya berisi oksigen ternyata tertukan dengan gas CO2 yang tersalurkan melalui mesin bius.

11. AD menjadi korban efek samping obat. Mulanya AD menderita infeksi saluran pernafasan atas. AD pun mendapat obat dari dokter. Setelah minum obat, sekujur tubuhnya melepuh dan mengelupas seperti mengalami luka bakar.

12. MC, wanita asal Kota J yang sudah menjadi warga negara asing, meninggal dunia saat menjalani perawatan di rumah sakit. MC yang awalnya mengeluhkan sakit lutut memeriksakan diri ke rumah sakit dan langsung disarankan masuk UGD. Melalui petunjuk dokter yang diinstruksikan melalui telepon seluler, MC diobati. Namun, kondisi korban semakin merosot. Tak lama kemudian mC meninggal dunia. Hasil autopsi menunjukkan bahwa korban sebenarnya terjangkit malaria yang tidak segera ditangani.

13. Ny. N mengadu ke Polda Metro Jaya karena penderitaan yang dialaminya setelah menjalani operasi. Ia mengalami lumpuh pada tangan kanannya setelah menjalani operasi tumor payudara. Selain itu, luka bekas operasi kembali menganga dan mengeluarkan nanah.

14. Saya akan menggambarkan kompleksitas layanan medis melalui sebuah contoh kasus. Sebut saja namanya Tn.James, ia masuk ke bagian gawat darurat karena mengalami serangan jantung akut (sindrom coroner akut) dengan hipertensi dan diabetes melitus. Saat di UGD

Page 5: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

Tn.James akan berinteraksi dengan banyak petugas, dokter jaga UGD, perawat, petugas gizi, administrasi, dokter spesialis jantung, dan dokter penyakit dalam. Ia juga akan menjalani serangkaian pemeriksaan seperti laboratorium, elektrokardiografi, dan foto sinar x dada. Dokter jantung dan penyakit dalam akan memulai pengobatan untuk mengendalikan tekanan darah, gula darah dan tentu saja menangani sumbatan yang terjadi di pembuluh darah koronernya, entah dengan obat streptase atau heparin-tergantung indikasinya. Kemudian dokter spesialis jantung berkoordinasi dengan bagian laboratorium kateterisasi jantung untuk melakukan prosedur diagnostic dan terapi saat nantinya ditemukan sumbatan di pembuluh jantung coroner. Di laboratorium kateterisasi jantung akhirnya Tn.James menjalani pemasangan stent. Setelah selesai menjalani prosedur kateterisasi jantung. Tn.James kemudian dirawat di ICCU agar kondisinya dapat dimonitor secara intensif. Sekali lagi Tn.James akan berinteraksi dengan para petugas medis di ICCU dan mendapatkan berbagai macam obat serta pemeriksaan laboratorium dan rekam jantung secara serial. Setelah kondisinya stabil, Tn.James akan dipindahkan ke ruang atau bangsal perawatan. Dimanapun berada, Tn.James akan berinteraksi dengan perawat, dokter, ahli gizi, ahli farmasi, dan ahli fisioterapi. Setiap saat komunikasi selalu terjadi antara pasien dengan petugas medis dan dokter. Setelah kondisi Tn.James stabil dan membaik, dokter spesialis jantung mengirim Tn.James ke unit diagnostic dan rehabilitasi untuk menjalani uji treadmill-untuk menilai respons fisiologi jantung dan mengetahui tingkat toleransi terhadap pembebanan aktivitas.

Sebelum pulang, para perawat, dokter, petugas gizi, dan petugas farmasi memberikan edukasi mengenai obat yang mesti dikonsumsi, tingkat aktivitas, pola dan jenis makanan. Tn.James harus mengkonsumsi obat dalam jangka yang panjang. Di rumah ia harus mengonsumsi obat secara rutin, mengubah pola hidup dengan berolahraga teratur dan mengendalikan diet serta emosi. Ia juga harus control ke dokter, entah dokter keluarga atau dokter yang merawat di rumah sakit.

15. Kasusnya adalah seorang anak berusia 11 tahun yang meninggal akibat komplikasi demam berdarah. Jadi awalnya, pasien bernama N dikirim oleh seorang dokter anak senior dengan keluhan demam 2 hari dan diare. Saat masuk, pasien tersebut didiagnosis menderita radang saluran pencernaan akut (gastroenteritis akut). Pasien kemudian mendapatkan bantuan infus dan antibiotika serta diperiksa darahnya. Ternyata hasil pemeriksaan darah menunjukkan si anak terkena demam berdarah dengan nilai trombosit 80.000/ul dan hematocrit 45% (normal 35-45%). Setiap hari dipantau kadar trombosit dan hematokritnya. Pada hari ketiga perawatan (hari keempat panas) pasien mulai terlihat gelisah, nadi mulai cepat dan jumlah kencing berkurang yang memperlihatkan si anak mengalami syok. Kepada orang tua N, dokter anak menyarankan agar N segera dimasukkan ke ICU supaya mendapatkan perawatan dan pemantauan yang lebih intensif. Dari evaluasi pemeriksaan darah, kadar trombosit semakin menurun-mencapai 10.000/mmk-dan nilai hematocrit menurun drastic (mengindikasikan adanya perdarahan). Dan memang si anak mengalami

Page 6: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

perdarahan lambung-yang ditandai dengan muntah dan berak hitam. Dengan segera si anak mendapatkan transfuse darah dan pengobatan lainnya sebagai tindakan suportif. Pengobatan yang telah dilakukan ternyata tidak banyak membantu pasien. Pasien mengalami kerusakan multiorgan akibat infeksi virus demam berdarah. Pasien mengalami komplikasi yang disebut koagulopati intravascular disseminate (KID), yaitu suatu keadaan dimana di dalam tubuh terjadi penyumbatan di tingkat pembuluh darah kecil sehingga mengakibatkan kerusakan multiorgan dan perdarahan aktif akibat jumlah faktor pembekuan darah menurun. Pada akhirnya pasien tidak tertolong.

16. Saya masih mempunyai satu kisah lagi. Seorang ibu, Ny. W berusia 36 tahun, masuk rumah sakit karena mengalami haid yang berkepanjangan yang disebabkan tumor jinak di dalam Rahim. Untuk mengatasi penyakit tersebut, dokter spesialis kebidanan dan kandungan berencana mengangkat benjolan tersebut dengan terlebih dahulu memberikan transfuse darah karena pasien tersebut anemia (kurang darah) yang berat. Pada penilaian sebelum operasi, pasien dinyatakan memenuhi syarat untuk menjalani operasi dengan risiko operasi rendah. Beberapa saat setelah operasi, pasien terlihat baik dan oleh dokter yang merawatnya, Ny. W diperbolehkan pulang. Namun kemudian terjadi gangguan mendadak, tiba-tiba, dan fatal pada diri Ny. W. Ny.W mengalami kejang, sesak napas, keringat dingin, dan dalam waktu tidak lebih dari 30 menit Ny.W meninggal. Upaya pertolongan yang relative cepat berupa resusitasi jantung paru, oksigenasi, dan pemberian obat-obatan standar tidak menolong pasien. Kami semua bingung. Bingung karena tidak ada faktor resiko, penyulit, atau penyebab yang dapat menjelaskan penyebab kematian Ny.W. Sepertinya jawabannya hanya bisa diperoleh dengan melakukan autopsy. Sayangnya autopsy di negeri kita tidak lazim dilakukan kecuali demi penegakan hukum dan atas permintaan polisi. Pengetahuan kami sebagai dokter sangat terbatas dan tidak sebanding dengan masalah yang dimiliki para pasien. Senjata kami yang bernama teknologi kedokteran masih sangat minimal dibandingkan begitu rumit dan kompleksnya persoalan yang dirasakan pasien.

17. Ada sebuah kasus menarik yang dapat memperjelas bahwa praktik kedokteran adalah kombinasi art dan science. Dalam buku Symptoms of Unknown Origin: A Medical Odyssey Clifton Meador menceritakan kisah salah seorang pasiennya bernama Agnes yang menderita diare kronis. Agnes menderita diare hampir setahun lamanya. Ia sudah berobat ke banyak dokter dan menjalani berbagai pemeriksaan medis, termasuk prosedur biopsy usus halus yang hasilnya norml saja. Meador memang ahli dalam bidang ini, dia sering menerima rujukan dari dokter lain untuk memeriksa kasus-kasus yang secara medis penyakitnya tidak dapat diidentifikasi. Meador menyebut kelompok ini sebagai keluhan yang tidak diketahui asalnya. Menurut sudut pandang biomedis, apabila pasien mengutarakan keluhan, berarti keluhan tersebut disebabkan oleh penyakit di dalam tubuh pasien. Meador tidak setuju

Page 7: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

terhadap konsep tersebut. Ia berpendapat bahwa tidak semua keluhan mengindikasikan adanya penyakit. Meador mempunyai keyakinan bahwa keluhan penyakit tidak disebabkan oleh penyebab tunggal melainkan multikompleks, seperti kelemahan genetic, tekanan psikososial, abnormalitas fisiko-kimia tubuh,dsb. Dalam mengungkap penderitaan Agnes, Meador lebih banyak menyediakan waktunya untuk berkomunikasi secara intensif. Ia lebih mengedepankan proses anamnesis yang teliti dan jeli daripada memanfaatkan teknologi kedokteran. Setelah mengamati dengan cermat, diare Agnes terjadi pada pagi dan sore. Meador meminta Agnes untuk bereksperimen dan mencatat aktivitas apa yang membuat keluhan diarenya berkurang atau memberat. Suatu ketika Agnes menginformasikan kepada dokter Meador bahwa saat tidak menggosok gigi ia tidak mengalami diare. Akhirnya Meador menyarankan Agnes untuk mengganti merek pasta gigi. Mujarab, begitu Agnes mengganti pasta gigi, diarenya tidak muncul lagi. Luar biasa! Sebagai dokter saya sungguh angkat jempol atas keberhasilan Dokter Meador dalam mengungkap teka-teki penyebab diare yang sudah mendera Agnes selama setahun. Siapapun dokternya tidak akan berhasil menemukan penyebab diare Agnes apabila hanya mengandalkan teknologi diagnostic. Kasus Agnes adalah bukti bahwa seni atau art memegang peran penting dalam praktik kedokteran.

18. Suatu hari seorang pasien bernama Ny. Rani, wanita muda yang berpendidikan tinggi, datang ke tempat praktik saya dengan keluhan nyeri di ulu hati, mual, muntah, dan kembung. Setelah selesai saya periksa, saya jelasakan kepadanya mengenai gangguan yang ia derita, yaitu gangguan lambung, dan pengobatan yang saya berikan : lansoprazole (mengurangi keasaman lambung), librax (mengurangi kembung), dan ondansetron (antimuntah). Lima hari kemudian ia datang lagi dengan keluhan sulit buang air besar (BAB). Ia bertanya kepada saya apakah gangguan buang air besarnya disebabkan oleh efek samping obat. Mengingat sebelum minum obat, BAB-nya nirmal saja. Karena penasaran ia pun mencari informasi mengenai obat-obatan yang diminumnya melalui internet.

Dari internet ia mendapatkan infomasi bahwa obat librax dan ondansetron mempunyai efek samping terhadap pola BAB. Dalam hati saya merasa malu karena tidak hafal mengenai efek samping kedua obat tersebut.

Lalu saya membuka buku MIMS, sebuah buku yang memuat nama obat, untuk mengecek indikasi dan efek sampingnya. Dan memang betul bahwa kedua obat tersebut mempunyai efek samping konstipasi (sulit BAB). Pengalaman itu menyadarkan saya bahwa ketersediaan internet memungkinkan pasien mengakses informasi yang tidak terbatas, sehingga sangat mungkin dalam hal-hal tertentu pasien lebih tahu terlebih dahulu dibandingkan dokternya. Internet memungkinkan pasien menjadi terdidik dan kritis dalam menyikapi setiap rekomendasi dokter.

Page 8: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

19. Kini dengan semakin mudahnya pasien memperoleh informasi secara online, pengetahuan medis bukan lagi dominasi para dokter. Bahkan tidak mungkin jika suatu ketika pasien menjadi lebih pandai dibandingkan dokter, seperti yang saya alami sendiri, dan juga kisah Marian, seperti dikisahkan Tom Ferguson dalam tulisannya yang berjudul ”e-Patiens: How They Can Help Us Heal Healthcare”. Tom mengisahkan seorang wanita berusia 16 tahun, bernama Darrah, putri dari seorang jurnalis medis Marian Sandmaier, mengalami nyeri kepala hebat dan merasa ada suara yang mengganggu di kepala. Dokter yang merawat, setelah melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa Darrah hanya menderita sinusitis.

Sebagai seorang yang kritis dan terbiasa memanfaatkan internet sebagai sumber informasi. Marian tidak memercayai begitu saja pendapat dokter yang merawat anaknya. Ia ingat pada saat yang bersamaan Darrah juga mengonsumsi obat antibiotic baru pemberian dokter kulit karena tangannya mengalami infeksi, nama obat tersebut adalah minocycline. Berdasarkan hasil penelusuran online, Marian menemukan informasi bahwa salah satu efek samping yang jarang terjadi akibat antibiotic tersebut adalah pseudotumor cerebri, yaitu akumulasi cairan di sekitar otak yang dapat menimbulkan keluhan nyeri kepala, nyeri tengkuk, gangguan penglihatan, dan suara berdengung di dalam kepala. Setelah memeriksa lebih teliti, Marian juga memperoleh informasi bahwa efek samping minocycline dapat menyebabkan kerusakan saraf mata (nervus optikus) yang bisa menimbulkan kebutaan. Begitu membaca efek samping minocycline, Marian segera menyuruh putrinya mneghentikan antibiotic tersebut. Lalu Marian kembali ke dokter kulit yang memberikan obat minocycline. Dokter kulit tidak setuju dengan diagnosis yang diajukan Marian, tetapi si dokter segera mengganti dengan antibiotic lain. Marian kemudian mengajak Darrah berobat ke seorang dokter neuroophtalmologist (ahli saraf mata). Pada awalnya si dokter tidak sepakat dengan diagnosis pseudotumor cerebri. Namun setelah semua pemeriksaan selesai, si dokter berkata, “Putri Anda terkena efek samping obat yang relative jarang terjadi, pseudotumor cerebri.”

20. Saya melakukan penelitian mengenai pemberian transfuse trombosit pada pasien demam berdarah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa lebih dari 90% pemberian transfuse dilakukan tidak sesuai indikasi. Bahkan 25% pasien yang memperoleh transfuse 3-5 kantong, kadar trombositnya tetap menurun atau tidak memberikan respons. Penyakit demam beradarah ditandai dengan demam 2-7 hari disertai penurunan kadar trombosit (nilai normal 150.000-450.000). salah satu resiko penyakit demam berdarah adalah pendarahan dan trombosit dalam tubuh berfungsi sebagai pembeku. Apabila terjadi pendarahan maka trombosit yang bentuknya seperti kelereng akan saling menyatu dan melekat untuk menutup pembuluh darah yang mengalami perlukaan. Perdarahan kemudian berhenti. Para dokter dan pasien akan khawatir apabila nilai trombosit menurun karena berarti resiko perdarahan akan semakin besar. Secara standar, pada pasien demam berdarah, transfuse trombosit hanya diberikan apabila pasien mengalami perdarahan yang cukup signifikan (misal muntah darah, buang air besar berdarah, darah mengalir deras dari

Page 9: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

hidung dan mulut). Tetapi pada kenyataannya, tanpa perdarahanpun para dokter tetap memberikan taransfusi. Mereka berpatokan pada angka penurunan trombosit. Padahal pemberian transfuse yang tidak tepat indikasi sangat merugikan pasien. Bukan hanya dari segi biaya, tetapi juga resiko penularan penyakit.

Saya memang tidak meneliti alasan para dokter memberikan transfuse trombosit. Tetapi saya mempunyai beberapa dugaan. Pertama, barangkali dokter tidak mengetahui kapan saat tepat pemberian transfuse. Kedua, dokter mencari rasa aman. Apabila di kemudian hari terjadi pendarahan, dokter sudah melakukan transfuse. Ketiga, dokter enggan atau tidak mau menjelaskan secara panjang lebar kepada pasien. Saya yakin apabila dokter mau menyediakan sedikit waktu untuk memberikan penjelasan kepada pasien mengenai untung rugi pemberian transfuse maka pasien bisa jadi tidak memilih transfuse. Pemberian transfuse yang tidak sesuai indikasi sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pasien bersikap kritis dengan menanyakan manfaat, resiko, dan indikasi transfusi trombosit.

21. Seorang manager yang relative masih muda (45 tahun), sebut saja namanya Toni, datang ke rumah sakit karena mengalami serangan jantung. Toni adalah pekerja keras. Hari ke hari ia disbukkan oleh masalah di perusahaannya. Toni adalah sosok yang mewakili generasi saat ini, bergaya hidup sedentair (banyak duduk), kurang berolahraga, banyak berpikir, hidup dalam kompetisi sehingga kehidupannya sering diwarnai stress, penikmat makanan sehingga tubuhnya mengalami obesitas, dan merokok dengan alasan unutk mengurangi stress pekerjaan. Selain gaya hidupnya yang bertentangan dengan kaidah hidup sehat, Toni juga mengidap deiabetes melitus yang relative tidak terkontrol. Setiap kali ia datang ke dokter, nasihat dokter diabaikan sehingga pada akhirnya jantungnya sudah tidak bisa diajak kompromi dan Toni pun mengalami serangan jantung (penyakit jantung coroner).

Toni harus menjalani kateterisasi jantung dan pemasangan stent untuk menjamin kelancaran pasokan oksigen agar otot-otot jantung dapat bekerja sebagaimana mestinya. Pada saat dirawat Toni mendapatkan penjelasan dari dokternya mengenai penyakitnya dan nasihat-nasihat yang harus ia lakukan setelah pulang dari rumah sakit. Dokter menganjurkan agar Toni menurunkan berat badan, berolahraga secara bertahap dan teratur, mengurangi makanan berlemak, mengonsumsi obat, dan control ke dokter. Setelah di rumah, Toni masih belum bisa mengontrol kecemasannya. Cemas bagaimana seandainya penyakit jantungnya kumat kembali. Cemas pula terhadap masa depan, karier, anak-anak yang masih kecil, dan istrinya yang tidak bekerja.

Setiap control ke dokter Toni hanya sempat bertemu dan bertanya kepada dokternya tidak lebih dari 10 menit. Begitu seterusnya sehingga kecemasan dan kekhawatirannya masih muncul setiap saat. Sejauh ini Toni belum mengubah gaya hidupnya secara berarti. Ia masih mengikuti pola lama, kurang olahraga, sulit meninggalkan kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak, dan sulit keluar dari lingkaran stress yang tiap hari menghimpitnya.

Page 10: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

Obat pengendali gula darah dan jantung tidak diminumnya secara teratur. Bahkan suatu saat dalam satu bulan ia tidak mengonsumsi obat diabetesnya. Satu tahun setelah serangan jantung yang pertama Toni mengalami serangan jantung kedua. Serangan jantung Toni yang kedua itu membuat dirinya semakin terpuruk dalam penderitaan fisik dan mental.

22. Clifton Meador, seorang yang tidak setuju dengan konsep model biomedis, dalam bukunya Symptom of Unknown Origin a Medical Odyssey, mengawali tulisannya dengan sebuah cerita yang menarik, yang menggambarkan betapa hebatnya teknologi kedokteran. Dokter Riven, seorang dokter penyakit dalam, didampingi seorang perawat, mendorong seorang wanita berusia 50 tahun, Ny. Goode, yng berada di kursi roda karena mengalami kelemahan tubuh untuk memasuki ruangan kuliah yang dihadiri ratusan mahasiswa kedokteran. Saat itu kondisi kelopak mata Ny. Goode tampak tertutup dengan leher tersandar di penyangga kursi karena otot lehernya melemah. Tangan dan kaki pasien mengalami kelemahan mendekati lumpuh. Saat itu dokter King, teman Dokter Riven, baru saja menyelesaikan kuliah mengenai fisiologi dan biokimiawi dari sambungan otot saraf (neuromuscular junction) saat Dokter Riven memasuki ruangan.

Kelumpuhan segenap otot-otot Ny. Goode disebabkan oleh penyakit miastenia gravis. Miastenia gravis adalah penyakit auto imun yang menyerang sistem neuromuscular yang menyebabkan pasien mengalami kelemahan otot sehingga pasien seringkali tidak mampu menggerakkan otot kelopak mata, tangan dan kaki, sebagaimana dialami Ny. Goode. Kelemahan oto disebabkan karena antibody dalam tubuh memblok reseptor asetilkolin yang berperan memfungsikan neuromuscular beraktivitas secara normal. Semua mata tertuju pada Dokter Riven yang saat itu sedang mengisi spuit injeksi dengan sebuah obat yang mengandung zat kimia fisostigmin. Secara pelan namun penuh keykinan, Dokter Riven menyuntikkan obat tersebut ke tubuh pasien. Tidak lama kemudian, Ny. Goode mulai membuka mata, lalu mulut, menggerakkan leher, dan akhirnya mampu berdiri dari kursi roda. Tanpa komando, ruang kuliah riuh dengan tepuk tangan.

23. Saya mempunyai cerita cukup menarik bagaimana praktik sehari-hari di rumah sakit mencerminkan dehumanisasi. Saya merawat seorang pasien berusia 40 tahun, ia masuk rumah sakit karena mengeluh batuk selama 2 bulan, sebut saja namanya Bram. Bram saya rencanakan untuk diperiksa foto dada untuk mengetahui adakah penyakit tuberculosis paru atau penyakit paru lainnya. Prosedur administrasi saya lengkapi, saat visitasi pagi, saya mengisi lembaran pemeriksaan radiologi yang meliputi nama pasien, umur, kamar rawat dan bangsal, serta diagnosis klinis di lembar permintaan foto sinar X dada. Lalu perawat mendaftarkan pasien tersebut ke bagian radiologi. Siang harinya petugas radiologi menghubungi perawat bangsal dan meminta supaya Bram diturunkan untuk menjalani foto sinar X. Tanpa melakukan identifikasi dengan menanyakan nama dan mencocokkan dengan

Page 11: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

identitas yang ada di gelang pasien, perawat langsung mengantar Bram ke bagian radiologi. Ternyata pasien yang diantar bukan Bram, Bram sudah dipindahkan ke bangsal lain. Terjadilah salah pasien. Kesalahan itu mencerminkan depersonalisasi. Identitas pasien yang melekat pada dirinya digantikan oleh nomor kamar. “Tolong antarkan pasien bangsal Yosep, tempat tidur nomor 2.”

24. Banyak keluhan yang diutarakn pasien karena dokter yang paternalistis. Seorang ibu berusia 45 tahun masuk ke rumah sakit melalui Unit Gawat Darurat karena pusing dan demamnya sudah berlangsung selama 1 minggu. Ia bercerita bahwa ia sudah berobat ke salah satu dokter terkenal. Saat ia bertanya penyakitnya apa, sang dokter tidak menjawab. Kisah lain diceritakan oleh salah satu pasien saya. Suatu saat pasien tersebut berobat ke professor ahli jiwa karena mengalami gangguan kecemasan. Tanpa banyak bertanya dan melakukan pemeriksaan fisik, sang professor langsung menulis resep. Merasa kurang puas, si pasien bertanya, “Profesor, saya belum diperiksa, kenapa langsung diberi obat?” Sang professor yang tampak lelah menjawab, “Saya kan professor, saya sudah tahu penyakit ibu. Jadi minum saja obat ini.” Tanpa banyak bertanya, pasien tersebut langsung pergi sambil meraih resep dengan perasaan tidak puas.

25. Pada tahun 1970 Angelica mengalami sakit serius-terinfeksi virus-yang mengharuskan dirinya dirawat selama 2 minggu. Kesendirian, ketakutan, keputusasaan, dan dehumanisasi adalah serangkaian penderitaan psikologis yang ia rasakan selama dirawat di rumah sakit. Saat tiba di bagian registrasi rawat inap, seorang petugas yang memperlihatkan raut muka tidak peduli, memberondongnya dengan berbagai berbagai pertanyaan dan menyodorkan formulir yang harus diisi tanpa menghiraukan rasa mual yang dirasakannya. Selama 2 minggu dirawat, Angelica tidak pernah melihat perawat yang sama-perawat selalu berganti. Orang asing keluar masuk, memberikan obat, dan mengambil darah tanpa memperkenalkan diri. Ketika Angela bertanya, mereka hanya menjawab,”Saya tidak tahu, Anda dapat bertanya langsung pada dokter.”Saat visitasi pagi, dokter datang menganggukkan kepala dan mengajukan beberapa pertanyaan tanpa empati seolah dirinya tidak ada disitu. Demam dan tubuh yang terasa sakit membuat dirinya sulit tidur dan mudah terbangun. Sementara sedikit tidur membuat dirinya merasa lebih nyaman, terganggu oleh petugas yang keluar masuk. Jenis makanan yang tidak merangsang cita rasa dan tidak higienis semakin menjauhkan selera makan Angelica.

Angelica merenung, pelayanan medis America yang dikenal dengan sentuhan teknologi canggih ternyata tidak mampu menyentuh esensi penyembuhan. Angelica tidak puas dengan pola peyananan medis demikian. Suatu saat, ketika ia larut dalam pencarian, ia terpukau dengan pelayanan rumah sakit pada zaman the Greek Aesculapian. Ada perbedaan mencolok antara rumah sakit modern dan kuno. Rumah sakit kuno berfokus

Page 12: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

pada usaha untuk membangkitkan energy penyembuhan melalui keindahan, seni, music, drama, dan puisi dibantu dengan pengobatan herbal dan ritual. Pengalaman yang dialaminya sendiri dan temuan model penyembuhan ala Yunani kuno menginspirasi Angelica mendirikan Planetree. Dalam konsep Planetree, proses penyembuhan membutuhkan lingkungan esetetik (natural), menekan pentingnya kualitas sentuhan manusia, pelayanan terkoordinasi dan berkesinambungan, serta pentingnya memberdayakan pasien.

Angelica yang mengalami stress akibat penyakit akut yang dideritanya ditambah dengan perasaan terasing, traumatis, dan sakit hati karena cara personil dirumah sakit memperlakukan dirinya adalah cerminan layanan rumah sakit modern. Bagi dokter, perawat, atau siapapun yang memasuki kamar pasien, entah visitasi, memberikan obat, mengantar makanan, mengambil darah, semua itu adalah rangkaian tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Di mata pasien, setiap pelayanan yang diberikan petugas medis kepada dirinya bukan sekedar untuk menyelesaikan tugas. Melainkan sebuah kesempatan berinteraksi antara pasien dan petugas medis dalam mendukung proses kesembuhan, bukan sebaliknya.

26. Sebagaimana diceritakan oleh istri Henry, tiga bulan sebelum hari nahasnya, Henry terjatuh dan kakinya mengalami pembengkakan. Berhubung saat itu dokter keluarga tidak ada di tempat, Henry dirujuk ke bagian gawat darurat. Setelah diperiksa oleh dokter jaga, Henry kemudian dirujuk ke dokter bedah. Menurut dokter bedah, Henry didiagnosis mengalami penyumbatan pembuluh darah atau flebitis. Menurut dokter bedah tersebut Henry tidak perlu opname, cukup minum obat pengencer darah 1 kali 1 tablet setiap harinya. Dokter mengingatkan agar Henry melakukan pemeriksaan darah setiap minggu untuk mengecek tingkat keenceran darahnya. Hari demi hari bengkak kaki Henry semakin membaik.

Sudah cukup lama Henry menderita Artritis (radang sendi) yang sangat mengganggu aktivitasnya. Hampir setiap hari Henry mengonsumsi 6 tablet aspirin untuk meredakan nyeri. Tiga hari sebelum hari nahasnya, Henry mengeluh kalau di seluruh tubuhnya muncul bercak kebiru-biruan. Kondisi Henry memburuk, ia mengalami penurunan kesadaran atau koma. Ia pun segera dilarikan ke Unit Gawat Darurat. Pengobatan yang diberikan dokter tidak memberikan hasil apapun. Dan tidak lama kemudian Henry meninggal. Henry menjalani autopsy. Berdasarkan hasil autopsy disimpulkan bahwa Henry mengalami perdarahan luas di otak dan meninggal karena gagal napas akibat luasnya perdarahan tersebut. Henry meninggal akibat efek samping obat pengencer darah coumarin dan aspirin. Kedua obat tersebut secara sinergi memicu pendarahan otak Henry.

27. Seorang pelajar berusia 18 tahun dibawa ke klinik kedokteran integrative di Arizona karena menderita nyeri kepala dan tengkuk yang sangat mengganggu. Sebelumnya pelajar tersebut

Page 13: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

dalam kondisi sehat dan menjadi anggota tim bola basket di sekolahnya. Nyeri kepala timbul diawali dengan bersin yang sangat sering. Setelah satu bulan, nyeri kepala berlangsung hampir setiap hari, sampai dia tidak bisa masuk sekolah. Belum lagi nyeri kepala mereda, keluhan lain muncul : sulit tidur, lemas dan tidak bersemangat. Hasil MRI dan rekam otak tidak memperlihatkan kelainan. Oleh dokternya, seorang psikiater, dia didiagnosa menderita depresi dan mendapat obat depresan. Karena tidak kunjung membaik, orang tua si anak membawanya ke dokter saraf dan juga ahli jiwa. Pelajar tersebut diberi obat Tofranil dan Corgard (depresan). Nyeri kepala masih belum hilang, bahkan pelajar tersebut mangalami keluhan baru, yaitu otot wajahnya bergerak-gerak secara tidak disadari (tic). Akhirnya ia mendapatkan tambahan obat lagi, termasuk antipsikotik, yang semuanya tidak membawa hasil apapun. Pasien kemudian dirawat di klinik integrative dan dikelola oleh dokter osteopati. Semua obat dihentikan. Dua minggu kemudian pasien control dan menjalani pengobatan yang sama. Dalam enam minggu pelajar tersebut sembuh dan dapat melakukan aktivitas seperti biasa.

28. Suatu hari saya merawat seorang wanita berusia 50 tahun, sebut saja ibu Siti, yang tingkat pengetahuan dan pendidikannya relative rendah. Ia menderita diabetes melitus dan luka di kaki. Sat pertama kali bertemu saya, gula darah wanita itu mencapai >500 mg/dl dengan luka di kaki yang berbau. Setelah dirawat selama 10 hari, luka ibu Siti membaik dan gula darahnya telah terkontrol dengan baik. Saya menganjurkan kepada anak ibu Siti, agar ibu Siti disuntik dengan insulin sehingga gula darahnya mudah dikendalikan. Anaknya menolak dengan alasan repot kalau harus menyuntikkan insulin setiap hari, anaknya memilih obat kencing manis tablet saja. Obat insulin pun saya ganti dengan obat kencing manis tablet, yaitu glibenklamid, yang diminum satu tablet saat pagi dan satu tablet saat siang setengah jam sebelum makan. Sebelum pulang pasien dan keluarganya diberi penjelasan cara merawat luka di kaki, pola diet, aturan dan efek samping obat (menimbulkan penurunan gula darah atau hipoglikemia), cara mengenali adanya hipoglikemia, dan bagaimana cara mengatasinya. Tiga hari setelah ibu siti pulang ke rumah, ia dibawa lagi ke rumah sakit karena tidak sadar dan keringat dingin yang bercucuran. Setelah dicek kadar gula darahnya, ternyata turun jauh di bawah normal, yaitu 20 mg/dl (normal >60mg/dl). Untung kejadian tersebut belum berlangsung terlalu lama (baru 1 jam). Dengan diberikan injeksi larutan gula atau glukosa, tidak sampai 2 menit, Ibu Siti sudah sadar. Tetapi andaikan ibu Siti terlambat dibawa ke rumah sakit, maka ceritanya akan lain. Jika otak kekurangan glukosa lebih dari lima jam, sel-sel otak akan rusak permanen. Dengan kata lain, ibu Siti tidak akan pernah terbangun lagi dari komanya.

Saya pun mencoba mencari tahun mengapa bisa terjadi reaksi hipoglikemia padahal sebelum pulang pasien dan anaknya sudah mendapatkan penjelasan mengenai efek samping dan cara mengatasi hipoglikemia. Rupanya setelah minum obat glibenklamid, Ibu Siti tidak makan pagi. Dan saat terjadi hipoglikemia ia tidak segera minum manis atau menyantap makanan apa saja yang tersedia saat itu karena memang tidak tahu harus

Page 14: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

melakukan hal itu. Saat dokter jaga menanyakan kepada anak Ibu Siti nama obat kencing manis yang sedang diminum Ibu Siti, si anak menjawab tidak tahu. Setelah Ibu Siti sadar, dokter jaga menanyakan kepada dirinya pertanyaan yang sama, jawaban yang diberikan pun sama dengan jawaban anakanya, tidak tahu.

29. Untuk memperjelas kelima langkah tersebut saya akan membuat sebuah scenario. Bapak John sudah menderita penyakit diabetes melitus selama 3 tahun. Selama itu ia tiak control ke dokter secara teratur, termasuk dalam meminum obat, mengatur pola makan, dan berolah raga. Bahkan ketika ditanya dokter nama obat yang diminum, Bapak John tidak bisa menyebutkan nama dan dosisnya. Selama 3 tahun itu Bapak John ditangani beberapa dokter yang semuanya tidak banyak memberikan kesempatan untuk bertanya kecualihanya menuliskan resep obat. Untunglah akhirnya bapak John bertemu dokter Barry, seorang dokter yang memahami dan menerapkan model kolaboratif. Bapak John datang ke praktik Dokter Bary dengan membawa hasil pemeriksaan gula darah : 340 mg/dl dan HbA1C 10 (nilai normal<6,5-suatu tes medis yang berguna untuk menilai terkontrol tidaknya kadar gula darah dalam 3 bulan terakhir).

Dokter Bary : Pak John, gula darah Anda selama ini tidak terkontrol dengan baik.

Bapak John : Ya Dokter, saya lalai.

Dokter Bary : Baik, kalau begitu kita diskusikan terlebih dahulu mengapa selama ini gula darah tidak terkendali.

Lalu bapak John pun menceritakan bagaimana pola makannya yang “semau gue”, tidak pernah berolahraga, dan tidak teratur dalam mengonsumsi obat serta control ke dokter.

Bertanya – jelaskan – bertanya

Pada tahap ini dokter mengajukan pertanyaan apa yang sudah diketahui dan apa yang ingin diketahui pasien (ask). Kemudian dokter menjelaskan apa yang ingin diketahui pasien (tell). Seteah itu dokter kembali mengajukan pertanyaan (ask), barangkali masih ada hal-hal lain yang belum dipahami atau belum terpikirkan pasien sebelumnya.

Dokter Bary : Mengapa selama ini Anda tidak taat meminum obat, berolahraga secara teratur, dan mengatur pola diet sesuai dengan ahli gizi?

Bapak John : Saya tidak tahu bahayanya penyakit diabetes. Selama ini dokter tidak memberi tahu saya kecuali hanya memberikan resep dan meminta saya supaya minum obat secara teratur dan control ke dokter secara rutin. Saya baru menyadari bahayanya setelah teman saya yang menderita diabetes melitus sekarat akibat luka di kakinya yang tidak kunjung sembuh.

Page 15: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

Dokter Bary kemudian menjelaskan seluk beluk penyakit kencing manis dan komplikasi serta manfaat obat yang perlu diminum. Dokter Bary juga memberikan kesempatan kepada Bapak John untuk bertanya apabila masih ada yang belum ia mengerti.

Memastikan bahwa pasien sudah memahami

Beberapa studi memperlihatkan bahwa 50% pasien yang berkonsultasi dengan dokter tidak memahami apa yang dikatakan oleh dokternya. Seringkali bahasa medis memang sulit dipahami pasien. Melalui tekhnik ini dokter dapat menilai apakah pasien sudah memahami informasi yang disampaikan atau belum. Berbicara panjang lebar yang pada akhirnya tidak dipahami pasien sungguh tindakan yang sia-sia.

Dokter Bary : Pak John, saya ingin memastikan bahwa Anda sudah memahami penjelasan saya. Coba sebutkan 3 pilar untuk mengendalikan gula darah?

Bapak John : Baik, Dokter. Tiga pilar pengobatan diabetes adalah berolahraga secara teratur minimal 3 kali seminggu, mengukur diet saya sekitar 1.700 kalori perhari, dan mengonsumsi obat jika dengan keduanya belum terkendali.

Menilai kesiapan untuk berubah

Setiap pasien mempunyai motivasi atau kesiapan yang berbeda untuk memulai perubahan. Ada 2 syarat yang harus dimiliki pasien untuk dapat berubah. Pertama, pasien menganggap penting (motivasi) terhadap sesuatu yang akan diubah; dan kedua, pasien mempunyai keyakinan diri untuk bisa berubah (self efficacy). Teknik yang dapat dipakai untuk menilai seberapa besar motivasi dan keyakinan diri untuk berubah adalah dengan meminta pasien memberikan angka atau skor 0-10 (0 tidak mempunyai keyakinan diri untuk berubah dan 10 mempunyai motivasi dan keyakinan diri yang sangat besar).

Dokter Bary : Pak John, menurut Anda seberapa pentingkah mengonsumsi obat secara teratur, mengatur pola diet, dan berolahraga secara rutin, dan Anda memberikan skor berapa untuk hal tersebut.

Bapak John : menurut saying sangat penting, Dokter. Saya memberikan skor 9.

Dokter Bary : Baik, sekarang seberapa yakinkah Anda dapat berubah, dan berapa Anda memberikan skor untuk ketiga hal tersebut?

Bapak John : Untuk minum obat saya memberikan nilai 10, saya sangat yakin bisa. Untuk mengatur pola makan skornya 6 karena saya sering tugas keluar kota, tetapi saya akan berusaha, Dok. Untuk berolahraga saya memberikan nilai 8.

Menetapkan sasaran menajemen diri (set self-manajement goals)

Page 16: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

Sekarang sampailah pada tahap saat pasien harus menentukan sasaran perubahan. Agar sasaran dapat dicapai. Sasaran harus bersifat rasional-dan sebaiknya memenuhi kriteria SLAM (specific, limited, achievable, dan measurable) :

Specific : perubahan yang akan dicapai harus spesifik (misalnya mulai berolahraga 3 kali/minggu selama 30 menit) Limited : jangka waktu melakukan perubahan. Achievable : usaha yang akan dilakukan harus bersifat rasional dan dapat dilakukan sesuai kemampuan pasien (misalnya jalan pagi). Measurable : usaha yang dilakukan sifatnya terukur, misalnya menurunkan berat badan 10 kg dalam 3 bulan.

Dokter Bary : Nah, sekarang pertanyaan yang terakhir, Pak John. Bagaimana rencana Anda untuk kegiatan olahraganya?

Bapak John : Saya punya waktu libur hari Sabtu dan Minggu. Pada hari tersebut setiap jam 6 pagi saya akan jalan pagi selama satu jam.

30. Suatu hari saya mendapatkan laporan dari seorang perawat bahwa salah satu pasien di bangsal perawatan marah karena sikap dokter yang merawatnya. Pasien tersebut masuk dengan keluhan nyeri punggung. Dokter sudah melakukan pemeriksaan fisik dan foto sinar x tulang belakang. Semua dinyatakan baik. Saya tahu dokter yang merawat adalah dokter yang ahli di bidangnya. Dokter tersebut memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang tidak perlu disangsikan lagi. Penyebab pasien tidak puas adalah karena setiap kali dokter melakukan visitasi, ia hanya melihat dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien tanpa memeriksa dan menyentuh tubuh pasien, lalu pergi begitu saja. Pasien tersebut tidak hanya membutuhkan label diagnosis dan obat, ia juga membutuhkan sentuhan yang hangat dan ramah.

31. Dokter Julia A. Hallisty, dalam bukunya The Empowered Patient, mengisahkan kasus sengketa medis dr. Kokemoor dan pasiennya, Donna Johnson. Donna mengalami kelumpuhan pada empat anggota badannya setelah menjalani operasi aneurisma otak. Dalam persidangan, pengacara Donna menuduh dr.Kokemoor, seorang ahli bedah saraf, tidak berbicara jujur kepada pasiennya. Ketika Donna bertanya kepada Kokemoor sudah berapa banyak dokter tersebut melakukan operasi serupa, Kokemoor menjawab beberapa kali. Kenyataannya Kokemoor baru melakukan operasi sejenis sebanyak dua kali. Ketika ditanya berapa resiko kegagalan operasi, Kokemoor menjawab 2%. Padahal menurut saksi ahli, resiko operasi serupa mencapai 11%. Di tangan dokter saraf yang belum berpengalaman, resiko kegagalan bisa mencapai 20-30%. Dalam persidangan, dr.Kokemoor

Page 17: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

mengakui bahwa ia belum mempunyai sertifikasi bedah saraf (Board Certified Neurosurgery).

32. Suatu hari dalam forum diskusi kasus, seorang dokter bedah yang adalah teman saya sendiri, menceritakan pengalamannya. Sudah sekian lama ia sering mengeluh capai dan sakit karena kakinya mengalami pembengkakan ringan. Kebetulan teman saya itu memiliki perawakan tinggi besar dan agak gemuk-sehingga kesan bengkak tidak begitu terlihat. Sebagai dokter yang sibuk ia tidak mengambil pusing keluhan tersebut. Namun suatu hari ia mengalami serangan lebih berat daripada biasanya, ia nyaris pingsan. Teman saya segera dilarikan ke rumah sakit.

Di rumah sakit ia menjalani berbagai pemeriksaan. Para dokter yang merawat sepakat menyimpulkan bahwa teman saya tersebut menderita stroke ringan. Setelah beberapa hari dirawat, teman saya diperbolehkan pulang. Meskipun merasa lebih sehat, namun rasa lemas dan bengkak tetap belum hilang dan penyebabnya juga belum terungkap.

Menyadari bahwa gangguannya belum tuntas, teman saya memutuskan untuk berobat ke dokter spesialis saraf di salah satu rumah sakit di Singapura. Proses anamnesis berlangsung cukup lama, lebih lama daripada kebiasaan dokter di Indonesia, demikian katanya. Dokter saraf memeriksa teman saya secara cermat untuk mengungkap adanya gangguan sistem neuromuscular (saraf dan otot). Teman saya diminta untuk menggenggam tangan dokter saraf, dokter saraf tersebut kemudian berkomentar, “Tubuh Anda demikian besar dan tampak kuat, tetapi genggaman kedua tangan Anda lemah.” Dokter tersebut tidak sepakat dengan diagnosis di Indonesia. “Ini buka stroke”, katanya.

Setelah mendapatkan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara teliti, dokter saraf tersebut melakukan pemeriksaan laboratorium. Yang menonjol dari hasil pemeriksaan laboratorium adalah adanya peningkatan kreatinin kinase dan penurunan produksi hormone tiroid (free T4 menurun dan TSH meningkat). Dokter berkesimpulan bahwa teman saya menderita miopati hipotiroid (kelemahan otot akibat penurunan produksi kelenjar gondok) sehingga obat yang diberikan adalah obat hormone untuk meningkatkan kadar tiroid. Memang betul, tidak lama setelah minum obat, teman saya merasa lebih baik, bengkak dan letih secara bertahap menghilang.

33. Suatu hari saya mengikuti pertemuan Komite Medis yang membahas mengenai pasien yang mengalami kesalahan diagnosis pada pemeriksaan histopatologi. Kasus tersebut diangkat karena pasien tidak puas atas perbedaan diagnosis histopatologi antara dokter ahli patologi pertama dan kedua. Pasien tersebut adalah seorang ibu berusia 32 tahun. Kira-kira 6 bulan sebelumnya sang Ibu mengalami pembesaran di perut akibat tumor yang berasal dari sistem reproduksinya. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan kemudian melakukan operasi

Page 18: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

untuk mengangkat tumor itu. Dua buah potongan tumor yang berasal dari ovarium kanan (indung telur)berukuran 7x2,5x1cm dan ovarium kiri berukuran 5,5x5x1 cm berhasil diangkat oleh dokter dan dikirim ke bagian patologi anatomi untuk diketahui jenis tumor tersebut (ganas atau tidaknya dan jenisnya apa).

Dokter patologi anatomi yang melakukan pemeriksaan pertama kali menyimpulkan bahwa benjolan tersebut adalah tumor jinak yang berasal dari ovarium (endometriosis ovarii dan tumor musinous proliferasi atipikal). Beberapa bulan kemudian perut si pasien kembali membesar dan ia kembali ke dokter kebidanan yang melakukan operasi. Mereka penasaran terhadap kondisi pasien, dokter kebidanan dan kandungan tersebut melacak slide biopsy yang pernah dibaca oleh dokter ahli patologi anatomi pertama untuk dimintakan pembacaan ulang ke dokter ahli patologi anatomi lain (dokter kedua). Hasilnya ternyata berbeda. Dokter patologi kedua menyimpulkan bahwa tumor bersifat ganas (kanker ovarium).

Ada perbedaan pendapat antara dokter patologi pertama dan kedua. Di dalam forum tersebut saya mendengar pengakuan jujur dari dokter patologi pertama. Ia mengatakan bahwa setelah ia menilai ulang jaringan tumor yang ia periksa dahulu, ternyata ia telah salah menilai. Ia merasa kaget, karena setelah di cek ulang, jaringan tersebut memang benar kanker ovarium. Ia mengakui kesalahannya dan mengatakan bahwa semua itu karena human error. Pada saat membaca slide biopsy, si dokter baru menghadapi masalah pribadi yang cukup mengganggu sehingga pikiran dan konsentrasinya tidak focus pada slide yang sedang dibaca.

34. Ada contoh lain yang berhubungan dengan kesalahan dalam pembacaan biopsy. Dalam buku karangannya The Empowered Patient, Julia A. Hallsy menceritakan pengalaman sahabat suaminya Steve , yang hampir saja kehilangan lambungnya karena didiagnosis menderita kanker lambung. Berkat pendapat kedua, Steve terselamatkan dari operasi yang tidak perlu.

Pada waktu itu Steve menderita nyeri ulu hati yang sangat hebat sehingga ia harus pergi ke bagian gawat darurat di sebuah rumah sakit di Amerika. Esok harinya Steve menjalani endoskopi, dimana sebuah pipa lentur yang dilengkapi kamera yang dimasukkan melalui mulut hingga mencapai lambung untuk mengetahui adanya kelainan di organ tersebut. Dokter ahli pencernaan yang merawat Steve mengatakan bahwa lambung Steve mengalami koreng (ulkus). Untuk memastikan kelainan tersebut, dokter mengambil sedikit jaringan di sekitar koreng untuk dilakukan pemeriksaan patologi anatomi.

Sambil menunggu hasil pemeriksaan patologi anatomi, Steve mendapatkan pengobatan yang berfungsi menekan keasaman lambung dan ia diperbolehkan pulang. Steve sangat yakin bahwa ia tidak mengalami sakit serius karena keluhan yang ia rasakan sudah hilang dan merasa sudah sembuh. Betapa kagetnya Steve ketika dokternya menelpon dirinya dan

Page 19: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

mengatakan bahwa hasil pemeriksaan biopsy menunjukkan kanker lambung yang sudah menembus keluar dinding lambung. Sang dokter menyarankan Steve untuk segera dioperasi dan kemoterapi setelahnya. Steve begitu syok karena ia divonis menderita kanker lambung. Lalu steve dikirim ke seorang dokter ahli bedah pencernaan untuk menjalani pengangkatan total lambungnya kalau ia ingin hidup lebih lama.

Sebelum Steve menyetujui operasi tersebut, Steve pergi ke sahabatnya, John, suami dr.Julia, untuk meminta saran. Dr. Julia lalu mengajak Steve ke seorang sahabatnya, dokter ahli kanker (oncologist). Setelah mendengarkan kisah Steve, oncologist itu meminta bukan hanya laporan hasil pembacaan dokter patologi anatomi, tetapi juga meminta slide biopsy-karena ingin memperlajari slide patologinya secara langsung. Dokter ahli kanker tersebut kemudian berkonsultasi dengan dokter patologi anatomi (dokter patologi kedua), yang sama-sama bekerja di pusat pelayanan medis di San Fransisco. Dokter patologi, teman si dokter oncologist ini , memberikan penilaian yang berbeda. Ia tidak menemukan sel-sel kanker, yang dijumpai hanya sel-sel peradangan di permukaan lambung. Steve disarankan untuk menjalani pemeriksaan endoskopi kembali dan diambil sampel jaringan untuk pemeriksaan biopsy ulang. Saat dianalisis, hasilnya tetap sama, menurut dokter patologi anatomi kedua, lambung Steve tidak mengandung kanker, tetapi hanya koreng biasa.

Dokter ahli patologi anatomi kedua kemudian menghubungi dokter ahli patologi pertama yang menyimpulkan bahwa Steve menderita kanker lambung. Kedua dokter tersebut kemudian sepakat untuk membaca slide biopsy secara bersama-sama. Setelah melihat kembali kedua hasil biopsy, dokter patologi anatomi pertama mengakui kesalahannya. Ia mengatakan bahwa ia didesak oleh dokter ahli pencernaan yang melakukan endoskopi yang mengatakan, “This is definitely cancer.” (Ini pasti kanker.)

35. Saya mempunyai seorang pasien yang sering mengelung nyeri pada dada kirinya, namanya Bapak K. Karena saya menduga ia mengalami serangan jantung, Bapak K saya rujuk ke dokter spesialis jantung. Menurut dokter tersebut, berdasarkan hasil pemeriksaan rekam jantung dan kateterisasi jantung, keluhan tidak berhubungan dengan gangguan jantung. Karena merasa belum ada perubahan, Bapak K kemudian pergi ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Setelah diperiksa, Bapak K dinyatakan mengalami sumbatan pembuluh darah dan disarankan untuk menjalani operasi bedah pintas jantung. Setelah operasi, keluhan nyeri yang dirasakan oleh Bapak K menghilang.

36. Pada 1978, Richard Bloch, pendiri H&R Bloch, didiagnosis menderita kanker paru stadium terminal oleh dokter yang merawatnya. Dokternya mengatakan bahwa nyawanya hanya tinggal 3 bulan kecuali Bloch bersedia menjalani operasi dan kemoterapi. Bloch kemudia mencari pendapat kedua ke beberapa dokter oncologi lain. Setelah memperoleh pendapat kedua, akhirnya Bloch memutuskan untuk mengikuti saran dokter secara mantap-operasi

Page 20: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

paru luas dan menjalani kemoterapi selama dua tahun dan radiasi. Luar biasa, kondisi R. Bloch semakin hari semakin baik. Bloch dan istrinya kemudian mendirikan R.A. Bloch Cancer Foundation yang misinya adalah membantu para penderita kanker agar selau bersemangat. Dua puluh empat tahun setelah divonis menderita kanker stadium terminal, Bloch masih hidup dan aktif dalam organisasi yang didirikannya.

37. Seorang pasien menceritakan pengalamannya kepada saya saat didiagnosis menderita meyakit paru-paru kotor atau tuberculosis paru (TBC Paru). Suatu saat ia berobat ke dokter karena sedikit batuk dan dada terasa sakit. Dokter memintanya untuk melakukan foto sinar X dada. Menurut dokter tersebut, hasil pemeriksaan foto pasien menunjukkan ia menderita TBC paru. Lalu dokter meresepkan obat TBC dan pasien disarankan minum obat selama 6 bulan. Pasien masih menyangsikan diagnosis dokter karena selama itu ia tidak merasa batuk seperti layaknya penderita TBC. Karena sangsi ia pergi ke dokter lain. Benar saja, dokter kedua tidak sepakat dengan diagnosis dokter pertama. Dokter pertama memutuskan pemberian obat TBC semata-mata berdasarkan foto sinar X dan tidak cermat melakukan anamnesis.

38. Seorang pasien laki-laki, bernama Tn.B usia 45 tahun, berobat ke praktik dokter dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Setelah menjalani pemeriksaan ultrasonografi, disimpulkan bahwa Tn.B menderita radang empedu akibat batu empedu yang menymbat saluran. Tn.B kemudian dirujuk ke dokter bedah pencernaan. Sesuai prosedur, sebelum menjalani tindakan pembedahan Tn. B harus menjalani beberapa pemeriksaan: pemeriksaan darah, elektrokardiografi, dan foto sinar X dada, untuk dinilai apakah pasien mempunyai penyakit lain atau penyulit dalam rangka mencegah terjadinya komplikasi bedah.

Berdasarkan hasil penilaian klinis, pasien dinyatakan layak menjalani tindakan pembedahan atau operasi. Metode pembedahan yang dipilih adalah laparoskopi (mengangkat batu dengan memasukkan pipa kecil tanpa membedah atau membuka dinding perut). Empat lubang selebar 1-2 cm disayat di dinding perut menggunakan pisau bedah dan pipa-pipa kecil dimasukkan sampai menjangkau kantung empedu, si dokter bedah melihat permukaan hati tidak rata dan berdungkul-dungkul, yang secara klinis pasien mengalami sirosis hati dan sudah berkembang menjadi kanker hati. Dokter bedah tidak jadi mengangkat kantung empedu. Dia hanya mengambil secuil kecil permukaan hati untuk memastikan adanya sirosis hati yang berkembang menjadi kanker hati. Luka ditutup dan tindakan pembedahan selesai. Dua jam setelah menjalani tindakan pembedahan, saat pasien masih berada di ruang pemulihan, perawat melihat aliran darah yang keluar melalui saluran drainase yang dipasang di dalam rongga perut. Ada sekitar 1 liter darah yang terkumpul di dalam botol penampung. Perawat segera menghubungi dokter bedah dan dokter anestesi yang sudah pulang ke rumah masing-masing. Melihat kondisi tersebut, dokter bedah memutuskan

Page 21: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

untuk melakukan pembedahan secara terbuka (membuka dinding perut menggunakan pisau bedah). Ternyata pembuluhd darah di penutup usus (omentum) tepotong secara tidak sengaja saat dokter bedah melakukan laparoskopi.

Pembuluh darah segera dijahit dan luka segera ditutup. Pembedahan selesai dan saluran drainase terlihat bersih yang menandakan darah tidak mengalir kembali. Pasien kemudia dirawat di ruang perawatan intensif dan dipantau secara ketat. Tiba-tiba darah kembali mengalir melalui saluran drainase. Darah pasien pun diambil untuk melihat kadar hemoglobin dan parameter lainnya. hasilnya kadar hemoglobin menurun drastic, dari 9 mg/dl turun menjadi 4 mg/dl. Pemeriksaan lain memperilhatkan angka aPTT dan PT meningkat tajam (menggambarkan jumlah faktor pembekuan darah berkurang), kadar trombosit dan fibrinogen menurun, serta D-dimer meningkat. Inilah momok yang ditakuti para dokter-gangguan yang disebut koagulopati intravascular diseminata. Saat gangguan itu muncul, di dalam tubuh terjadi suatu proses penggumpalan darah dan pemakaian secara besar-besaran faktor pembekuan darah. Akibatnya fatal. Dalam kondisi demikian akan terjadi perdarahan yang sulit dikendalikan. Kalau sudah terjadi, resiko kematian meningkat tajam. Setelah segala upaya yang diberikan tidak berhasil, pasien meninggal dunia kurang dari 48 jam pasca pembedahan

39. Membuat keputusan dalam hal apapun ternyata tidak mudah. Demikian halnya dengan pengambilan keputusan tindakan bedah. Saya mempunyai seorang pasien sebut saja C, yang datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri perut karena gangguan maag. Selain gangguan lambung yang dialaminya, bapak C menceritakan keluhan lainnya, nyeri tengkuk yang berkepanjangan akibat saraf terjepit. Dokter bedah saraf menyarankan pasien tersebut menjalani operasi. Tetapi ia sendiri merasa khawatir karena temannya yang mengalami sakit yang sama mengalami kelumpuhan setelah operasi. Ia kebingungan, satu sisi nyeri yang dialami begitu mengganggu, di sisi lain ia merasa cemas kalau operasinya mengalami kegagalan. Berbulan-bulan ia menimbang-nimbang tanpa ada keputusan akhir. Beberapa kawannya menyarankan bapak C untuk mencari pendapat kedua kepada dokter bedah saraf lainnya. dokter bedah saraf kedua juga memberi saran yang sama, operasi.

Dokter kedua sudah menjelaskan dengan panjang lebar mengenai tujuan, alternative lain selain tindakan pembedahan, resiko dan komplikasi, serta kemungkinan hidup setelah pembedahan. Lalu saya bertanya kepada bapak C, mengapa masih belum mengambil keputusan. Jawabnya adalah ia masih ragu-ragu karena ia belum tahu bagaimana kemampuan dokter tersebut dalam menangani penyakit yang ia derita. Ia ingin tahu seberapa banyak dokter tersebut telah melakukan pembedahan atas penyakit seperti yang ia derita, berapa yang berhasil, dan berapa yang gagal. Lalu saya tanyakan kepada Bapak C, mengapa ia tidak bertanya langsung kepada dokter tersebut. Bapak C menjawab, ia merasa sungkan dan takut kalau dokternya marah.

Page 22: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

40. Saat itu ibu Lia mengeluh sesak napas karena gangguan jantung yang dideritanya. Penyakit jantungnya dapat dikategorikan berat-lemah jantung. Berjalan sebentar saja ia sudah merasa lelah dan sesak sehingga ia lebih banyak berbaring di tempat tidur di kamar 4 bed 1. Di sebelah ibu Lia, di kamar 4 bed nomor 2, seorang ibu setengah baya bernama Rita, yang juga pasien saya, terkulai lemas dan sedang mengalami penyakit infeksi yang berat. Ibu Rita mengalami penurunan tekanan darah akibat syok septik (tekanan darah menurun akibat toksin kuman yang menyebar ke seluruh tubuh). Di tangan kiri, tepatnya di dekat pergelangan tangan Ibu Rita, sebuah jarum infus dengan selangnya tertanam di pembuluh balik radialis untuk mengalirkan obat dopamine, yang dilarutkan dalam cairan NaCl 100cc dengan kecepatan 20 tetes/menit untuk meningkatkan tekanan darahnya. Saat memeriksa Ibu Rita, saya lihat infus tersebut sudah mau habis, jadi saya mengingatkan perawat untuk melanjutkan infus dengan dopamine kalau nanti infusnya habis.

Perawat yang mendampingi saya lalu pergi ke kamar obat untuk menyiapkan obat tersebut. Saat perawat tersebut menyiapkan dopamine, tiba-tiba ia dipanggil perawat lain karena ada telepon penting yang harus ia terima. Dengan agak terburu-buru perawat tersebut menyerahkan tugasnya kepada perawat lain yang masih junior dengan berpesan, “Tolong gantikan infus dipamin untuk pasien dr.Cahyo di kamar 4 dengan kecepatan 20 tetes/menit.” Perawat junior itu pun kemudian mengambil alih tugas perawat yang mendampingi saya.

Pada saat itu infus yang digunakan oleh ibu Lia maupun Ibu Rita adalah sama yaitu infus NaCl 100cc, dan kebetulan keduanya hampir habis bersamaan. Perawat baru itu kemudian memasang infus NaCl 100 cc dengan kecepatan 20 tetes/menit. Sekitar 15 menit kemudian terdengar panggilan bel dari kamar 4. Saat perawat datang, Ibu Lia dalam keadaan gelisah. Perawat segera meningkatkan kecepatan oksigen dan mengukur tekanan darah dan nadi Ibu Lia. Perawat sangat terkejut karena semula tekanan darah ibu Lia hanya 110/80 mmHg, namun kini menjadi 200/100 mmHg, sementara denyut nadi semula 80 kali/menit menjadi 150 kali/menit. Dokter jaga pun dipanggil dan segera datang. Namun, dokter jaga dan perawat tetap bingung, mereka belum tahu apa penyebab perubahan tekanan darah yang begitu cepat.

Setelah beberapa waktu, akhirnya terjawab sudah kebingungan tersebut. Perawat yang ikut mendampingi saya saat visitasi melihat kejanggalan pada infus Ibu Lia. Dalam infus NaCl ibu Lia yang semula kosong (tidak berisi obat apapun), saat itu tertera label obat dopamine. Obat dopamine yang semestinya diberikan kepada Ibu Rita rupanya diberikan kepada Ibu Lia.

41. Sebuah kasus terjadi pada tahun 1979, Dokter Setyaningrum dituduh melakukan malpraktik karena pasiennya meninggal setelah mendapatkan injeksi streptomicyn. Thalidomide,

Page 23: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

sebuah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit gangguan imunologi, kanker dan lepra terpaksa harus ditarik dari peredaran Karena menyebabkan kecacatan pada bayi. Vioxx (rovecoxib)-sebuah obat yang relative baru untuk mengatasi rasa nyeri dan laku keras – terpaksa harus ditarik dari peredaran karena mempunyai efek samping terhadap jantung.

42. Pada awal Juni 2009 media massa ramai memberitakan konflik seorang pasien bernama P dan RS O. P merasa tidak puas terhadap pemeriksaan trombositnya yang tidak konsisten. P yang saat itu menderita demam, diperiksa kada trombositnya oleh dokter yang merawat dan diperoleh angka 81.000/ul. Saat itu dokter yang memeriksa P tidak memercayai hasil tersebut karena nilai trombosit tersebut tidak sesuai dengan penampilan klinis pasien. Dokter pun segera mengulang pemeriksaan trombosit. Hasilnya, kadar trombosit masih dalam rentang normal. P pun mempertanyakan akurasi pemeriksaan trombosit pertama. Sebagai orang awam, wajar jika P tidak mengetahui mengapa hasil pemeriksaan trombosit dapat berbeda. Namun, pihak rumah sakit tidak memberikan penjelasan mengenai perbedaan hasil tersebut sebagaimana diharapkan oleh P. Ditambah dengan beberapa ketidakpuasan lainnya akhirnya P membeberkan keluhannya selama dirawat di RS O melalui internet. Merasa disudutkan, RS O menuntut P dengan tuduhan pencemaran nama baik rumah sakit P akhirnya ditahan. Namun, masalah menjadi lebih besar karena penahanan P meletupkan polemic dan mendapatkan tanggapan umum yang luar biasa.

43. Barbara Stanley, seorang perempuan berusia 58 tahun, dirujuk oleh dokter spesialis penyakit dalam ke dokter spesialis kulit, dr. Reed, untuk memeriksa satu benjolan gelap selebar setengah sentimeter di paha kiri. Dokter Reed kemudian mengangkat benjolan tersebut dan melakukan pemeriksaan patologi anatomi untuk mengetahui jenis benjolan itu. Laporan ahli patologi menyebutkan bahwa benjolan tersebut adalah tumor ganas-melanoma malligna. Dokter Reed memberikan saran kepada Barbara agar benjolan tersebut diangkat sampai selebar 2 sentimeter di sekeliling benjolan supaya sel-sel tumor terangkat semua. Barbara ragu-ragu, seserius itukah penyakitnya? Setelah terjadi diskusi, mereka sepakat mencari opini kedua. Dokter Clark (pakar terkemuka melanoma) mengirimkan laporan kepada dr. Reed bahwa jaringan tersebut bukan kanker, melainkan benjolan jinak yang disebut nevus spitz. Operasi batal.

Dua tahun kemudian, benjolan itu muncul lagi. Barbara mendatangi dokter lain. Kali ini laporan patologi menunjukkan diagnosis yang jelas, melanoma ganas telah menyebar kemana-mana. Barbara diberitahu bahwa seharusnya benjolan tersebut diangkat semua sampai bersih. Ketika Barbara menjalani pengobatan yang lebih radikal, kanker sudah menjalar. Barbara lantas menjalani kemoterapi dan radiasi. Namun, ia tetap tidak tertolong.

Page 24: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

44. Dalam bukunya Laura juga mengisahkan kesalahan diagnosis yang berhubungan dengan pemeriksaan radiologi yang menimpa seorang ahli paleontology yang sudah sangat terkenal di dunia, Prof. Stephen Jay Gould. Profesor Gould pernah menderita kanker 20 tahun sebelumnya sehingga untuk mengantisipasi kalau-kalau sel kanker tumbuh kembali, Profesor Gould sering melakukan control rutin, termasuk foto sinar X dada. Suatu saat Profesor Gould kembali melakukan foto dada, namum kali ini sel kanker unjuk gigi. Sayangnya, benjolan oval sebesar 1 cm yang ternyata sel kanker paru itu tidak dapat dideteksi dokter radiologi. Tiga belas tahun kemudian, saat dilakukan foto ulang, kanker sudah berukuran lebih dari 3 cm dan sudah menyebar kemana-mana. Tidak lama kemudian sang professor meninggal dunia.

45. Seorang pasien bernama Ibu Maria diantar oleh perawat ke ruang radiologi untuk menjalani pemeriksaan sinar X dada. Selesai difoto, Ibu Maria diantar kembali ke bangsal perawatan. Esok harinya, saat dokter melakukan visitasi pagi, ia merasa aneh, seingatnya kemarin ia meminta pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui penyebab sakit perut Ibu Maria, mengapa yang tersedia hasil foto sinar X dada? Setelah ditelusuri, ternyata terjadi kesalahan. Kebetulan di bangsal tersebut ada dua pasien yang namanya sama, Maria. Kesalahan terjadi karena perawat tidak melakukan prosedur identifikasi dengan mencocokkan nama, nomor register, dan rencana pemeriksaan pasien. Demikian juga dengan pasien. Semestinya pasien bertanya untuk memastikan bahwa pemeriksaan yang dilakukan memang benar untuk dirinya.

46. Beberapa bulan yang lalu teman saya merawat seorang pasien yang menderita gangguan lutut kanan, yaitu osteoatritis lutut derajat IV. Osteoarthritis yang dialami pasien tersebut sudah tergolong berat, dimana ruang atau celah tulang kering dan pangkal tulang paha sebagian sudah menyatu sehingga saat duduk maupun berjalan si pasien kesakitan. Teman saya memberikan saran pada si pasien dan keluarganya bahwa kondisi demikian alternative pengobatannya adalah mengganti lutut dengan protesis atau dikenal dengan nama total knee replacement.

Tindakan pembedahan berjalan lancer. Masa perawatan tindakan tersebut diperkirakan sekitar 5 hari. Ternyata perkiraan tersebut melest, luka yang diharapkan membaik dalam lima hari ternyata tidak membaik seperti yang diharapkan. Pasien dan keluarganya mulai gelisah. Bahkan dalam waktu tiga minggu luka tak kunjung membaik. Keluarga mengeluh dan mulai melontarkan kata-kata yang mencerminkan rasa tidak puas dalam banyak hal, seperti dokter kurang memberikan informasi, gizi tidak sesuai, monitor hemoglobin lambat, perawat kurang memperhatikan, semua menjadi tidak berkenan bagi keluarga pasien. Telah menjadi kebiasaan di rumah sakit tempat saya bertugas, untuk membicarakan kasus-kasus bermasalah, salah satunya adalah tindakan medis yang dianggap kurang berhasil atau

Page 25: Kumpulan Kisah Menjadi Pasien Cerdas

keluhan pasien yang tidak puas atas layanan rumah sakit atau dokter. Kasus pun dibawa ke komite medis.

Dalam pemaparannya di depan para dokter, teman saya menyampaikan apa yang telah ia lakukan, baik indikasi operasi, prosedur medis, perawatan luka, dan kondisi pasien yang memperlambat penyembuhan luka. Dari apa yang telah disampaikan, persoalannya adalah luka yang lambat sembuh karena luka mengalami infeksi, asupan gizi pasien yang kurang memadai (tidak berselera makan) yang dibuktikan dengan rendahnya kadar albumin darah, yaitu 1,6 mg/dl (normal 3,5-5 mg/dl). Rendahnya kadar albumin darah dapat menjadi indikator tidak efektifnya perbaikan atau regenerasi jaringan. Ada hubungan kuat antara rendahnya albumin dan proses penyembuhan luka operasi yang lambat bukan karena kesalahan prosedur medis, namun lebih karena kondisi pasien yang kurang mempunyai imunitas yang baik. Dari diskusi tersebut disimpulkan pula bahwa akar persoalan ketidakpuasan pasien dan keluarganya adalah masalah komunikasi. Dokter sudah merasa menjelaskan, namun pasien dan keluarganya belum memahaminya. Dokter berpegangan pada aspek proses, melakukan prosedur medis sebagaimana seharusnya dan menilai dari hasilnya. Ada gap antara cara pandang dokter dan pasien. Karena tidak terjadi komunikasi yang baik antara dokter dan pasien serta keluarganya, muncullah ketidakpuasan.

47. Saya akan mengambil contoh seorang wanita setengah baya yang mengalami penurunan berat badan, berdebar-debar, mudah berkeringat, dan memiliki benjolan di leher karena penyakit gondok toksik atau hipertiroid (produksi kelenjar gondok yang berlebihan). Ada tiga opsi pengobatan hipertiroid, yaitu (1) pengobatan jangka panjang dengan obat antitiroid yang menghalangi sintesis hormone tiroid, (2) pengangkatan sebagian dari kelenjar tiroid, atau (3) pemberian yodium dosis tunggal yang secara lambat merusak kelenjar tiroid dari dalam. Masing-masing cara tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. Obat antitiroid yang diminum jangka panjang efektif menghilangkan keluhan, namun pasien akan merasa jemu minum obat dan kelenjar tiroid tidak hilang (minimal tidak membesar). Memilih operasi, terutama bagi mereka yang berprofesi penyanyi, cukup riskan, karena apabila saraf terpotong maka suara merdunya akan hilang selamanya. Keuntungannya, kelenjar tiroid yang membesar dalam waktu sekejap akan hilang. Memilih yodium radioaktif juga baik. Namun efek pengobatannya lambat dan kalau tidak beruntung komplikasi yang sering terjadi adalah kerusakan tiroid permanen. Konsekuensinya, pasien mesti minum obat tiroid seumur hidup. Andaikan anda yang mengalami penyakit tersebut, alternative dan pengobatan mana yang anda pilih? Saya yakin jawabannya berbeda- beda. Semua pasien mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri. Untuk itulah keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan medis sangat penting karena semua itu menyangkut kepentingan pasien secara personal.