"Kucing-kucingan" dengan Allah

4
"Kucing-kucingan" dengan Allah Oleh Satrio Arismunandar Presiden pertama Indonesia, Bung Karno, pernah mengecam keras perilaku sebagian umat Islam, yang pada masa itu menurutnya sangat tidak pantas, karena memanipulasi aturan dan ajaran Islam. Kritik keras Bung Karno itu dituangkan dalam artikel berjudul "Islam Soontooloojoo" (baca: Islam Sontoloyo), yang pernah dimuat di majalah Pandji Islam (1940), dan lalu diterbitkan sebagai bunga rampai dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Judul tulisan Bung Karno memang terkesan "provokatif," tetapi mohon jangan salah paham. Dalam artikel itu, Bung Karno, yang adalah pengikut Muhammadiyah, sama sekali bukan mau mengritik Islam, tetapi ia mengritik sebagian penganut Islam, yang menurut beliau mempermainkan aturan-aturan agama untuk kepentingannya sendiri. Yakni, mereka yang memanipulasi aturan keagamaan untuk mencari pembenaran bagi perilaku mereka yang menyimpang. Sebagai contoh, Bung Karno menyebutkan sebuah fenomena di sebuah daerah di Jawa Barat. Pada waktu itu, ada praktik bisnis pelacuran terang-terangan di sana. Pelacuran dan hubungan seks di luar nikah jelas adalah perbuatan zina, yang tegas diharamkan dan merupakan dosa besar dalam Islam. Nah, bagaimana cara orang melacur, tetapi tak mau disebut berzina? Untuk "mengakali" larangan agama dan tuduhan zina, si pengelola pelacuran ternyata cukup "kreatif." Jadi, jika Anda ingin berhubungan seks dengan si pelacur, sebelumnya Anda akan dinikahkan secara resmi --dengan tata cara nikah keislaman -- oleh penghulu yang disediakan oleh rumah pelacuran tersebut. Jadilah status Anda dan pelacur itu sah secara prosedural dan formalitas keagamaan sebagai pasangan "suami-istri." Anda berdua kini bebas berhubungan badan semalaman tanpa takut dituding "zina" atau merasa berdosa. Esok paginya, jika Anda

description

Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering menggunakan atau mengakali dalil-dalil agama dan ritual formal keagamaan, untuk membenarkan tindakannya yang sebetulnya hanya pelampiasan hawa nafsu.

Transcript of "Kucing-kucingan" dengan Allah

Page 1: "Kucing-kucingan" dengan Allah

"Kucing-kucingan" dengan Allah

Oleh Satrio Arismunandar

Presiden pertama Indonesia, Bung Karno, pernah mengecam keras perilaku

sebagian umat Islam, yang pada masa itu menurutnya sangat tidak pantas, karena

memanipulasi aturan dan ajaran Islam. Kritik keras Bung Karno itu dituangkan dalam

artikel berjudul "Islam Soontooloojoo" (baca: Islam Sontoloyo), yang pernah dimuat di

majalah Pandji Islam (1940), dan lalu diterbitkan sebagai bunga rampai dalam buku Di

Bawah Bendera Revolusi.

Judul tulisan Bung Karno memang terkesan "provokatif," tetapi mohon jangan

salah paham. Dalam artikel itu, Bung Karno, yang adalah pengikut Muhammadiyah,

sama sekali bukan mau mengritik Islam, tetapi ia mengritik sebagian penganut Islam,

yang menurut beliau mempermainkan aturan-aturan agama untuk kepentingannya sendiri.

Yakni, mereka yang memanipulasi aturan keagamaan untuk mencari pembenaran bagi

perilaku mereka yang menyimpang.

Sebagai contoh, Bung Karno menyebutkan sebuah fenomena di sebuah daerah di

Jawa Barat. Pada waktu itu, ada praktik bisnis pelacuran terang-terangan di sana.

Pelacuran dan hubungan seks di luar nikah jelas adalah perbuatan zina, yang tegas

diharamkan dan merupakan dosa besar dalam Islam.

Nah, bagaimana cara orang melacur, tetapi tak mau disebut berzina? Untuk

"mengakali" larangan agama dan tuduhan zina, si pengelola pelacuran ternyata cukup

"kreatif." Jadi, jika Anda ingin berhubungan seks dengan si pelacur, sebelumnya Anda

akan dinikahkan secara resmi --dengan tata cara nikah keislaman -- oleh penghulu yang

disediakan oleh rumah pelacuran tersebut.

Jadilah status Anda dan pelacur itu sah secara prosedural dan formalitas

keagamaan sebagai pasangan "suami-istri." Anda berdua kini bebas berhubungan badan

semalaman tanpa takut dituding "zina" atau merasa berdosa. Esok paginya, jika Anda

Page 2: "Kucing-kucingan" dengan Allah

sudah puas, dengan mudah Anda dipersilahkan untuk menjatuhkan talak tiga dan bercerai

dari "istri" Anda tersebut. Jadi, dengan pengaturan semacam ini, bisnis perlacuran

berjalan lancar, sementara secara prosedural formalitas keagamaan juga dinyatakan "sah,"

bukan zina!

"Menghalalkan" Riba

Contoh lain tentang manipulasi ajaran agama ini adalah soal larangan

membungakan uang (riba). Bagaimana cara mengakali agar riba itu dinyatakan "sah" dan

"halal?" Begini, misalnya, Anda mau meminjamkan uang sebesar Rp 10 juta kepada

teman Anda, dengan menarik bunga sebesar 25 persen (atau Rp 2,5 juta), sehingga

pinjaman itu harus dikembalikan sebesar Rp 12,5 juta.

Caranya, Anda pura-pura membeli sebuah gunting dari teman Anda seharga Rp 10

juta. Tetapi ada kesepakatan, sesudah jangka waktu tertentu Anda akan menjual gunting

itu lagi ke teman Anda, dan dia harus membelinya dengan harga Rp 12,5 juta. Secara

formalitas prosedural, ini diklaim sebagai bukan riba, bukan membungakan uang, tetapi

hanya proses jual-beli biasa. Singkatnya, ini dianggap "sah" dan "halal!"

Bagaimana pendapat Anda tentang dua contoh tersebut? Benarkah

perbuatan-perbuatan itu bisa disebut sah dan halal? Jawabannya: Para pelakunya mungkin

akan mengklaim perbuatan-perbuatan itu sebagai sudah "sah" dan tidak melanggar

hukum agama. Tetapi pengertian "sah" di sini adalah menurut versi orang-orang keblinger,

yang mengira bisa menipu dan mengelabui Allah dengan akal-akalan semacam itu.

Mereka layaknya orang yang mau main "kucing-kucingan," main kecoh-kecohan,

dengan Allah Yang Maha Mengetahui. Dikiranya, Allah bisa ditipu dengan cara demikian.

Padahal Allah paling tahu apa yang disembunyikan dalam hati manusia. Allah melihat

niat terdalam yang ada di hati kita, bahkan sebelum kita melakukan apa-apa.

Masih Relevan

Dua contoh kasus di atas bisa diterapkan ke banyak aturan keagamaan lainnya.

Menyedihkan, karena selalu ada celah bagi orang yang memang berniat busuk, untuk

Page 3: "Kucing-kucingan" dengan Allah

mencari-cari dalil dan pembenaran dalam melakukan maksiat atau kemunkaran. Kita juga

masih melihat banyak fenomena semacam itu sekarang. Jadi, apa yang ditulis Bung

Karno sekitar 70 tahun yang lalu itu ternyata masih relevan, jika dikaitkan dengan

konteks Indonesia tahun 2012.

Lebih memprihatinkan lagi jika pelakunya adalah otang-orang yang dianggap atau

dikenal sebagai tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, kepala daerah, bahkan orang

yang mendapat predikat religius semacam "kyai" atau "ustadz." Nama Islam ikut

terbawa-bawa jadi buruk akibat perbuatan mereka, meskipun perbuatan mereka pada

esensinya adalah berlawanan dengan ajaran Islam.

Kita juga bisa melihat dalam pemberitaan media massa, mereka sering berlindung

di balik aturan formal dan prosedural, untuk membenarkan perilakunya yang

menyimpang. Korupsi dianggap halal dan sah, karena dalam menggarong uang rakyat itu

sudah dilakukan "sesuai prosedur yang berlaku" atau "sudah sepengetahuan atasan." Atau,

alasan lain, "saya sekadar menjalankan perintah atasan."

Banyak orang mau cuci tangan, mau melepaskan tanggung jawab dari perbuatan

jahatnya, dengan dalih yang semata-mata bersifat formalistik prosedural. Dia tidak

melihat esensi dari perbuatannya, tetapi memuaskan diri dengan alasan-alasan

pembenaran di permukaan.

Orang-orang semacam ini merasa aman dari azab Allah. Tetapi, Allah yang Maha

Melihat dan Maha Mengetahui tidak bisa ditipu. Allah akan membuat perhitungan dengan

mereka cepat atau lambat, di dunia dan nantinya di akhirat. Naudzubillah, kita berlindung

kepada Allah SWT dari perilaku semacam itu. ***

Jakarta, Desember 2012

Biodata Penulis:

* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI

(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera

Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah

D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV

(Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013).

Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi

Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Page 4: "Kucing-kucingan" dengan Allah

Kontak Satrio Arismunandar:

E-mail: [email protected]; [email protected]

Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Mobile: 081286299061