REPRESENTASI KUCING DALAM FOKLOR SUNDA
Transcript of REPRESENTASI KUCING DALAM FOKLOR SUNDA
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
120
REPRESENTASI KUCING DALAM FOKLOR SUNDA
CAT REPRESENTATION ONSUNDANESE FOLKLORE
Ani Rostiyati
Balai Pelestarian dan Nilai Budaya Jawa Barat
Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung – Bandung
E-mail: [email protected]
DOI: 10.36424/jpsb.v6i1.167
Naskah Diterima: 14 April 2020 Naskah Direvisi: 21 Mei 2020
Naskah Disetujui: 21 Mei 2020
Abstrak
Penggambaran kedekatan kucing terdapat dalam berbagai folklor di berbagai
belahan dunia. Pada masyarakat Sunda, kedekatan tersebut direpresentasikan
dalam folklor lisan Nini Anteh dan permainan tradisional anak. Namun,
kajian mendalam tentang keterkaitan keberadaan kucing dalam folklor lisan
cerita rakyat Nini Anteh dan permainan tradisional anak belum pernah
dilakukan. Oleh sebab itu, tujuan kajian ini adalah mengungkap representasi
kucing dalam foklor lisan tersebut. Adapun metode penelitian adalah
deskriptif-kualitatif dengan pengambilan data melalui studi pustaka serta
wawancara mendalam pada informan yang dianggap memiliki enkulturasi
penuh. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis meliputi alur, makna,
dan fungsinya. Hasil dari analisa tersebut diperoleh bahwa kata kucing
dalam permainan tradisional anak merepresentasikan identitas budaya lokal
dan kolektif bagi masyarakat Sunda serta media pendidikan bagi anak.
Sedangkan kucing dalam cerita rakyat Nini Anteh dipandang sebagai subjek
yang penting sebagai representasi dari domestikasi Nini Anteh yang
menempatkan perempuan sebagai subordinat dari laki-laki dan menimbulkan
ketimpangan sosial berbasis identitas gender.
Kata kunci: representasi, kucing, dan folklor Sunda.
Abstract
Depictions of cats are found in various folklore in various parts of the world.
In Sundanese society, this closeness is represented in Nini Anteh's oral
folklore and children's traditional games. However, in-depth study of the
relationsip between the presence of cats in the oral folklore of Nini Anteh
folklore and children's traditional games has never been done. Therefore, the
aim of this study is to reveal the cat's representation in the oral folklore. The
descriptive-qualitative research method by taking data through literature
studies and in-depth interviews is performed with informants who are
considered to have full enculturation. The data that has been obtained is then
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
121
analyzed including the flow, meaning, and function. The results of the
analysis show that the word “cat” in traditional children's games represents
the local and collective cultural identity for the Sundanese community and the
educational media for children. Whereas cats in Nini Anteh folklore are seen
as important subjects as a representation of the domestication of Nini Anteh
which places women as subordinates of men and creates social inequalities
based on gender identity.
Keywords: representation, cat, and Sundanese folklore.
PENDAHULUAN
Kucing merupakan hewan yang dianggap dekat dengan perempuan.
Penggambaran kedekatan tersebut dapat kita lihat dari berbagai folklor lisan.
Misalnya saja melalui folklor lisan pada masyarakat Mesir, Jepang, Inggris,
Cina, dan Indonesia. Di Mesir, kucing dianggap sebagai Dewa Kasih Sayang
dan Kesuburan. Namanya Dewa Bastet atau Bast, yaitu dewa dengan kepala
kucing, sedangkan tubuhnya berbentuk seorang perempuan (Praptanto, 2002:
85). Di Jepang, kucing dipercaya sebagai hewan kesayangan Dewa
Amaterasu. Mereka percaya bahwa kucing merupakan utusan dewa yang
turun ke bumi untuk menemukan orang yang berhati mulia namun sangat
miskin, ia akan melaporkannya kepada Dewa Kemakmuran agar orang
tersebut diberi rejeki. Di Inggris, penganut wicca dan neopaganisme
mempercayai bahwa kucing mampu berhubungan dengan dunia lain dan
dapat merasakan adanya roh jahat (Yulianto,2003). Kucing hitam, kerap kali
diidentikkan dengan keberadaan penyihir perempuan.
Di Indonesia pun terdapat gambaran yang erat antara kucing dan
perempuan. Misalnya saja di Sulawesi, Banjar (Kalimantan Selatan), dan
Jawa Barat. Di Sulawesi terdapat folklor lisan mengenai Dewi Padi. Dalam
folklor lisan tersebut, digambarkan bahwa kucing (Meong Mongpolo) adalah
hewan yang setia pada Dewi Padi. Di Banjar terdapat folklor lisan Kucing
Belaki Raja (Sulistiati, 1994). Dalam folklor tersebut diceritakan bahwa
kucing adalah jelmaan bidadari yang mampu memberikan 41 anak pada raja.
Dalam beberapa cerita di atas terlihat bahwa kucing merupakan hewan
terdekat dengan perempuan yang merupakan dewi dan menyimbolkan segala
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
122
kebaikan. Berbeda dengan kepercayaan di Mesir, Jepang, Cina, Sulawesi, dan
Banjar, di negara Barat justru kucing dekat dengan perempuan yang “jahat”
(penyihir) yang kemudian kucing tersebut menjadi simbol kejahatan.
Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa kucing merupakan hewan yang
memiliki dualisme (kebaikan dan kejahatan). Meskipun demikian, tetap saja,
dualisme tersebut dikaitkan dengan keberadaan perempuan yang dekat
dengannya.
Di Jawa Barat, pada masyarakat Sunda terdapat folklor lisan Nini
Anteh. Folklor lisan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang
tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara macam kolektif apa
saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, dalam bentuk lisan
(Danandjaja, 2002:13). Dalam Ensiklopedia Sunda (Ekadjati, 2000: 439),
dijelaskan bahwa Nini Anteh adalah sebuah dongeng yang menceritakan
bahwa bercak hitam yang tampak pada permukaan Bulan purnama itu adalah
seorang nenek yang tiada henti menenun. Nenek tersebut disebut Nini Anteh.
Ia disebut demikian karena kelihatan sedang memintal benang kantih (kanté).
Ia selalu ditemani kucing kesayangannya, bernama Candramawat. Dalam
Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata (2006: 28), dijelaskan bahwa
Nini Anteh adalah bayangan seorang nenek yang sedang menenun. Bayangan
terlihat pada saat bulan purnama.
Masyarakat Sunda juga mengenal permainan anak (kaulinan budak)
yang menggunakan istilah hewan kucing (ucing). Salah satu hal menarik dari
beragamnya permainan tradisional anak-anak Sunda adalah adanya
keberadaan ucing. Ucing merupakan kata dalam bahasa Sunda untuk
menyebut kucing. Pada kajian ini dibahas permainan anak yang
menggunakan kata “ucing” untuk menyebut nama permainan tersebut.
Dengan demikian, yang menjadi fokus kajian ini adalah bagaimana
representasi hewan ucing (kucing) dalam foklor yang terdapat dalam cerita
rakyat Nini Anteh dan permainan tradisional anak pada masyarakat Sunda.
Makna apa yang terkandung dalam foklor tersebut dan bagaimana
representasi kucing dalam folklor Sunda.
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
123
Penelitian tentang Nini Anteh cukup banyak dilakukan oleh para
peneliti. Penelitian mengenai Nini Anteh pernah dilakukan oleh Ampera dan
Yostiani, berjudul ”Nini Anteh Dalam Perspektif Von Daniken” (2007).
Penulis mengemukakan bahwa Nini Anteh merupakan cerita yang
menuturkan kisah perjalanan manusia bumi di luar angkasa, melalui sudut
pandang penelitian ruang angkasa yang dikemukakan oleh Erick von Daniken
dalam bukunya Kenangan Akan Masa Depan dan Kembali ke Bintang-
Bintang. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan simpulan mengenai
simbol manusia bumi yang berhasil menjelajahi ruang angkasa.
Sementara itu, Yostiani (2009:14), dalam tulisannya yang berjudul
”Kajian Struktur, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Proses Penciptaan Cerita
Nini Anteh di Kotamadya dan Kabupaten Bandung” mengungkapkan bahwa
Nini Anteh merupakan figur perempuan yang memperoleh keseimbangan diri
terhadap alam semesta. Cerita Nini Anteh juga dipandang sebagai inspirasi
tentang pencapaian manusia untuk dapat menjelajahi ruang angkasa. Nini
Anteh dalam berbagai versinya dikisahkan sebagai nenek yang aktivitasnya
menenun atau memintal benang (kantéh) maupun kain. Ia selalu ditemani
Candramawat, kucingnya yang setia. (Ekadjati, 2000; Danadibrata, 2006;
Wiramihardja, 2013; Harini, 2015; Harini, 2016; ). Cerita Nini Anteh
merupakan sebagian kebudayaan kolektif masyarakat Sunda yang tersebar
dan diwariskan turun-temurun secara lisan. Dongeng ini biasanya diceritakan
saat anak mau tidur dan saat mau bulan purnama. Orang tua biasanya
mengatakan ”Nini Anteh”nya belum datang sebentar lagi sambil membawa
anaknya untuk melihat bulan.
Sebagai folklor lisan, cerita Nini Anteh dapat diklasifikasikan ke
dalam legenda menurut Rusyana (2000:21) karena jalan cerita, tokoh, latar
tempat dan waktu dapat dibayangkan seperti dalam kehidupan sehari-hari,
namun terdapat pula hal yang mengandung keajaiban. Dalam konteks cerita
Nini Anteh, hal yang mengandung keajaiban adalah peristiwa perempuan
(Nini Anteh) yang berasal dari bumi yang mampu pergi dan menetap di
bulan. Selain itu, cerita ini pun dianggap sebagai kisah yang benar-benar
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
124
terjadi. Sosok Nini Anteh dalam 14 versi dikisahkan sebagai sosok
perempuan mandiri.
Sosok Nini Anteh bagi masyarakat Sunda bukan hanya saja terdapat
dalam cerita rakyat tetapi juga ada yang dalam bentuk uga (ramalan) bahwa
akan ada orang yang sampai ke bulan. Baru pada tahun 1969, Neil Armstrong
dan M. Collins (astronot Amerika) berhasil pergi dan menginjakkan kakinya
di bulan. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa masyarakat Sunda, sebagai
folk cerita Nini Anteh, sudah berimajinasi bahwa suatu hari nanti bulan atau
luar angkasa dapat dijelajahi.
Bagi masyarakat Sunda, sosok Nini Anteh begitu melekat dalam
ingatan. Hal ini terbukti dari adanya lagu permainan anak saat ngabungbang
(memuliakan Nini Anteh saat bulan purnama), misalnya saja dalam lagu Cing
Cangkeling, dan Bulan Tok (Sunaryo, 2009; Suryawan, 2015; dan Aminudin,
2016). Selain itu juga menjadi inspirasi bagi pencipta karya sastra, cerpen,
pupuh dan novel untuk menulis kisah Nini Anteh. Transformasi dari tradisi
lisan ke tradisi tulis mulai dilakukan tahun 2000. Selain itu, Nini Anteh juga
ditulis Rostiyati dan Harini (2018) tentang keterdidikan perempuan Sunda
yang mengungkapkan bahwa Nini Anteh sebagai perempuan terdidik mampu
mencapai kesetaraan gender, bahkan dirinya mampu mencapai derajat yang
tinggi dengan kemandirian yang dimilikinya.
Berdasarkan penelusuran terhadap beberapa penelitian terdahulu,
tampak masih ada yang luput dari perhatian peneliti yaitu tidak membahas
secara spesifik mengenai representasi kucing dalam folklor lisan Nini Anteh.
Padahal, dalam folklor tersebut tampak adanya hubungan yang erat antara
perempuan (Nini Anteh) dengan kucing.
Selain kedekatan kucing dengan perempuan dalam cerita Nini Anteh,
tampak pula kedekatan kucing dalam permainan tradisional anak Sunda.
Ucing batu, ucing beling, ucing dongko, ucing guliweng, ucing hui, ucing
jeblang panto, ucing jidar, ucing kuriling, ucing sendal, ucing sumput, ucing
pengpeun, dan ucing-ucingan, merupakan permainan tradisional anak yang di
dalamnya merepresentasikan kucing dalam budaya Sunda. Banyaknya
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
125
permainan tradisional anak di Sunda yang dimulai dengan kata kucing (ucing)
memunculkan pertanyaan mengapa kucing (ucing) yang dijadikan ikon dari
permainan tersebut.
Penelitian mengenai keterkaitan antara keberadaan kucing dalam
folklor lisan cerita rakyat Nini Anteh dan permainan tradisional anak,
sepemahaman penulis belum dilakukan. Oleh sebab itu, pada penelitian ini
dibahas mengenai representasi kucing dalam folklor tersebut.
Penelitian ini menggunakan teori ekofeminisme dari Tong (2010)
yang menjelaskan bahwa perempuan ada keterkaitan dengan alam, ada
hubungan simbolik dan linguistik antara feminis dan isu ekologi. Ada asumsi
dasar pemikiran yang dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkal yang
opresif, bertujuan untuk membenarkan hubungan antara dominasi dan
subordinasi yakni dominasi laki-laki terhadap perempuan. Menurut Warren
dalam Prabasmoro (2016:72), berpikir patriarkis, dualistik, dan opresif telah
merusak perempuan dan alam. Perempuan telah dinaturalisasi (alamiah) dan
alam telah difeminisasi, maka sangat sulit untuk mengetahui kapan opresi
berakhir. Warren menekankan bahwa perempuan dinaturalisasi saat
digambarkan terhadap binatang, misalnya ular, kuda betina, anjing betina, dan
kucing. Alam difeminisasi ketika dikuasai atau ditaklukkan, dipenetrasi oleh
laki-laki. Jika laki-laki bisa menaklukkan atau menguasai alam, maka laki-
laki juga akan menguasai perempuan. Apapun yang dapat dilakukan untuk
menguasai alam juga bisa dilakukan untuk menguasai perempuan. Teori ini
bisa untuk menjelaskan representasi kucing dalam foklor Nini Anteh yang
dikaitkan dengan gender.
Sedangkan untuk menganalisis representasi kucing dalam permainan
tradisional anak pada masyarakat Sunda menggunakan teori semiotika. Dalam
ilmu hermeunitik dan semiotika dari Danesi (2010:107) mengatakan bahwa
sebuah tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan sesuatu dalam
pandangan tertentu, berupa isyarat atau lambang. Teori ini menjelaskan
representasi kucing dalam permainan anak tersebut, makna apa yang
terkandung dalam permainan anak tersebut. Dengan demikian fokus kajian ini
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
126
adalah bagaimana representasi kucing dalam folklor lisan cerita Nini Anteh
dan permainan tradisional anak pada masyarakat Sunda.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis seperti yang
dikemukakan Ratna (2013). Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh
pemahaman melalui penelitian kebudayaan yang tidak datang dengan
sendirinya ataupun dinyatakan langsung oleh realitas budayanya, tetapi
direfleksikan, ditafsirkan atau diinterpretasikan, dan direkonstruksi oleh
peneliti. Penulis menentukan ruang lingkup penelitian dengan fokus folklor
yaitu permainan anak (kaulinan budak) dan cerita rakyat (Nini Anteh).
Dengan alasan karena cerita rakyat Nini Anteh dan kucing yang selalu
bersamanya, merupakan kebudayaan kolektif masyarakat Sunda yang sangat
dikenal dan tersebar diwariskan turun-temurun secara lisan pada generasinya.
Demikian pula permainan tradisional anak pada masyarakat Sunda lebih
banyak menggunakan kata ucing pada permainan tersebut. Hasil penelitian
Satriana (2017:39) mengumpulkan 20 permainan tradisional anak berbasis
budaya Sunda yang menggunakan kata ucing.
Adapun pengumpulan data yang melalui studi pustaka, observasi, dan
wawancara mendalam pada dua informan bernama Ibu Yanah Nurjanah (65
tahun) yang tinggal di Ujung Berung dan Candra Kudapawana (62) tinggal di
Subang. Ibu Yanah dan Candra Kudapawana mendapat cerita Nini Anteh dari
kakek dan neneknya, menjelang tidur malam atau saat bulan purnama.
Setelah data diperoleh, penulis mengategorikan dan mengolah data.
Proses analisis dalam penelitian ini dilihat mulai dari alur, makna, dan fungsi
dalam cerita rakyat Nini Anteh dan permainan tradisional anak terhadap
representasi kucing dalam folklor tersebut. Analisis menggunakan pendekatan
semiotika dan hermeneutika dari Danesi (2010) untuk menginterpretasikan
hewan kucing sebagai sebuah simbol yang memiliki makna penting bagi
masyarakat Sunda. Hermeneutika adalah satu jenis teori filsafat yang
mempelajari tentang interpretasi makna, yang berarti menafsirkan, memberi
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
127
pemahaman atau menerjemahkan. Menurut Ahimsa (2010:26) dalam
menganalisa sebuah cerita rakyat misalnya, bisa menggunakan perspektif
antropologi hermeneutik dan interpretatif, yakni menggunakan ”teks” sebagai
analogi atau model yang memandang, memahami, dan menafsirkan suatu
kebudayaan atau gejala sosial budaya tertentu. Peneliti tidak akan
memberikan ”penjelasan” atau explanation, tetapi akan melakukan
”pembacaan” atas gejala sosial budaya tersebut, dan itu berarti peneliti akan
memberikan tafsir-tafsir tertentu. Tentu saja kadang bersifat subyektifitas,
karena setiap penafsiran selalu berada dalam atau berawal dari kerangka
berfikir individual tertentu. Dalam konteks seperti itu, maka istilah ”ilmiah”
tidak bisa lagi diberi makna yang sama dengan jika melakukan penelitian di
lapangan.
PEMBAHASAN
Representasi Kucing dalam Folklor Lisan Masyarakat Sunda
Cerita Nini Anteh tersebar dalam bentuk folklor lisan. Jika
digolongkan lebih lanjut, cerita Nini Anteh termasuk ke dalam dongeng.
Dongeng dianggap masyarakat hanya sebagai kisah pelipur lara. Karena tidak
dianggap sebagai kisah yang sakral dan tidak beredar dalam bentuk
wawacan1 sehingga tukang beluk2 tidak membelukkannya, banyak
masyarakat yang tidak mengetahui kisah ini secara detail. Masyarakat Sunda
yang diwawancarai, mayoritas hanya mengetahui bahwa Nini Anteh ialah
karakter dalam dongeng dan berada di bulan ditemani kucingnya. Mengenai
1 Wawacan merupakan karangan panjang yang digubah dalam bentuk puisi pupuh. Umumnya
berisi cerita yang banyak jumlahnya dengan alur panoramik. Masa yang dilukiskannya
biasanya meliputi jangka waktu yang panjang, sering tidak menghiraukan kronologi. Para
pelaku cerita pun berjumlah banyak, bukan saja manusia, melainkan juga jin, siluman,
raksasa, dan lain-lain, sering diberi kekuatan yang luar biasa (Rusyana, 1997: 244).
2 Beluk adalah seni membacakan wawacan. Syair yang dilantunkan adalah jenis wawacan
(carita babad) yang dibawakan seperti dijumpai dalam beberapa pupuh mulai dari
pembukaan sampai pada penutupan seperti pupuh kinanti, asmarandana, pucung,
dangdanggula, balakbak, magatru, mijil, dan ladrang. Adapun jenis wawacan yang
disampaikan juru beluk bergantung pada yang diikuasainya seperti wawacan ogin, rengganis,
babar nabi, barjah, amungsari, jayalalana, natakusuma, lutung kasarung, mahabarata, dan
ciung wanara (Widiagiri, 2011).
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
128
alasan keberadaan Nini Anteh di bulan, bahkan asal muasal Nini Anteh
banyak yang tidak mengetahuinya. Beberapa versi cerita kumpulkan, dipilih
cerita Nini Anteh yang lengkap3.
Salah satu cerita Nini Anteh yang lengkap dituturkan oleh Candra
Kudapawana, salah seorang informan yang tinggal di Subang, mengatakan
bahwa Candra Kudapawana menuturkan bahwa Nini Anteh merupakan
penduduk bumi. Ia memiliki suami bernama Aki Anteh. Nini Anteh memiliki
seekor kucing bernama Candramawat. Nini Anteh, Aki Anteh, dan Aki
Bentar terlibat cinta segitiga. Suatu hari Aki Anteh pergi kemudian dicari
oleh Nini Anteh hingga akhirnya Nini Anteh tersesat di bulan. Untuk
mengobati kerinduan pada Aki Anteh, Nini Anteh selalu memainkan kecapi
di bulan. Nini Anteh mengutus Candramawat untuk mencari Aki Anteh di
bumi. Sayangnya, usaha Candramawat dihalangi oleh Aki Bentar. Aki Bentar
yang memiliki kekuatan mengeluarkan halilintar, senantiasa mengejar
Candramawat (kucing berekor bengkok yang membawa pesan Nini Anteh
untuk Aki). Candramawat ini adalah seekor kucing kesayangan Nini Anteh.
Kucing yang memiliki porsi peran yang seimbang dengan karakter Nini
Anteh. Cerita tersebut akan ditelusuri terlebih dahulu alurnya, kemudian
melalui alur tersebut apakah merepresentasikan adanya masalah gender.
Untuk dapat melihat bagaimana pengoperasian gender tersebut, kita
dapat melihatnya dari alur teks. Hal ini terjadi karena rmasalah gender
merupakan sesuatu yang diproduksi secara kultural. Dengan melihat
pengoperasian gender dalam alur cerita Nini Anteh, kita akan dapat melihat
siapakah yang diposisikan sebagai subjek. Apakah perempuan yang
ditempatkan sebagai subjek ataukah laki-laki? Menurut Minh-ha (1989:130),
perempuan menempati posisi yang sangat rumit dalam memposisikan dirinya
sebagai subjek. Selain dilihat berdasarkan penempatan subjek, juga akan
melihat bagaimana kaitan antara perempuan, laki-laki, dan alam dalam cerita
Nini Anteh.
3 Maksud lengkap adalah cerita Nini Anteh yang menjelaskan asal muasal Nini Anteh sebagai
perempuan bumi yang kemudian mampu pergi dan menetap di bulan. Kemudian, dalam
cerita tersebut terdapat pula alasan keberangkatan Nini Anteh.
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
129
Alur cerita Nini Anteh terbentuk secara linier sehingga memunculkan
pemaknaan sebagai pemilik lore tersebut. Kita dapat melihat bagaimana
pembentukkan alur dan karakter dalam cerita Nini Anteh ini, karena tiap
dongeng senantiasa beralur linier. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
penutur dongeng. Dongeng Nini Anteh ini diperuntukkan bagi anak-anak,
sehingga alur linier sangat memudahkan anak untuk memahami sebuah cerita.
Pengaluran yang dibuat tidak berujung ini menarik untuk membuat penutur
dan petutur berada dalam konteks cerita tersebut, sehingga nilai yang
terkandung dalam cerita tersebut dapat dilestarikan .
Cerita Nini Anteh menempatkan Nini Anteh sebagai subjek. Berbeda
dengan cerita Jaka Tarub yang juga bercerita tentang keberadaan perempuan
di bulan. Dalam cerita Jaka Tarub, yang menjadi subjek adalah Jaka Tarub
(laki-laki), bukan Nawang Wulan (perempuan). Nawang Wulan merupakan
objek bagi Jaka Tarub. Hal ini dapat menunjukkan bahwa masyarakat Sunda
dalam folklor Nini Anteh turut membangun konstruksi mengenai perempuan
dan laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari karakter Nini Anteh yang mencintai Aki
Anteh, berusaha mencari Aki Anteh dengan bantuan Candramawat bermain
kacapi untuk mengobati rindu. Hubungan Nini Anteh dengan seekor kucing
bernama Candramawat ini sangat dekat. Sedangkan karakter Aki Anteh yang
mencintai Nini Anteh bersifat pasif, tidak berusaha mencari Nini Anteh.
Hubungan Aki Anteh dengan kucing Candramawat tidak dekat. Adapun
karakter Aki Bentar yang mencintai Nini Anteh dan membenci Aki Anteh,
berusaha aktif menghalangi Candramawat menemui Aki Anteh. Hubungan
Aki Bentar dengan Candramawat tidak baik bahkan membencinya.
Penempatan perempuan Sunda sebagai subjek dalam cerita Nini Anteh
digambarkan sebagai perempuan yang berinisiatif untuk mencari Aki Anteh.
Berbeda dengan suaminya, Aki Anteh sama sekali tidak digambarkan
berusaha untuk mencari Nini Anteh. Karakter Nini Anteh digambarkan
bermain kacapi di bulan untuk mengobati rasa rindunya. Ada hal menarik di
sini, karena biasanya dalam masyarakat Sunda yang bermain kacapi adalah
laki-laki sedangkan perempuan adalah menembang (bernyanyi).
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
130
Penggambaran seperti ini dapat dilihat sebagai wacana tandingan terhadap
apa yang terjadi di dunia nyata, di mana laki-lakilah yang bermain kacapi.
Wacana tandingan ini, rupanya terjadi pula pada penggunaan nama
sebutan. Biasanya nama orang tua yang sudah memiliki anak, akan berubah
sesuai nama anaknya. Atau, kalau orang tua tersebut tidak memiliki anak,
maka nama sebutannya adalah berdasarkan sifatnya. Dalam cerita Nini Anteh,
nama perempuan memang didasarkan pada sifatnya yang tengah memintal
kisah kehidupan (yang diasumsikan seperti memintal benang). Sedangkan
nama Aki Anteh, digambarkan sebagai pemberian karena dirinya adalah
suami Nini Anteh.
Meskipun demikian, penggambaran Nini Anteh sebagai subjek ini
menjadi terbatas, karena yang membuat terbatas adalah dirinya
terdomestikasi. Hal ini terlihat dari tidak bisanya Nini Anteh pergi dari bumi.
Nini Anteh tidak bisa pergi ke bumi karena di bumi ada Aki Bentar yang
begitu menakutkan. Nini Anteh terepresi oleh Aki Bentar. Nini Anteh
menyuruh kucingnya untuk turun ke bumi untuk menemui Aki Anteh.
Keberadaan Candramawat yang dapat pergi ke bulan atau pun pergi ke bumi
menunjukkan hal yang tidak bisa dilakukan oleh Nini Anteh.
Nini Anteh digambarkan tersesat hingga akhirnya dia sampai di bulan.
Kata “tersesat” menunjukkan bahwa bulan bukanlah tempat yang diinginkan
Nini Anteh. Meskipun bulan berada di atas bumi (jika dilihat dari bumi). Hal
ini merupakan simbol bahwa bulan adalah tempat yang tinggi. Tempat yang
tinggi tersebut dapat pula diartikan sebagai “kurungan” bagi Nini Anteh,
karena dirinya masih tetap merasakan kerinduan yang teramat sangat pada
Aki Anteh. Bumi pun bukan tempat yang diinginkan Nini Anteh karena
dirinya digambarkan “terusir dari bumi” demi mencari Aki Anteh.
Penggambaran tersebut menempatkan Nini Anteh pada posisi yang
serba salah. Meskipun Nini Anteh berada pada posisi yang lebih tinggi
daripada laki-laki dan melakukan “pekerjaan” yang biasanya dilakukan oleh
laki-laki (memetik kecapi), tapi tetap saja Nini Anteh tersiksa dengan
kerinduan dirinya pada Aki Anteh. Kerinduan terhadap seseorang yang tidak
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
131
digambarkan merindukannya, ini dapat ditangkap sebagai simbol kerinduan
terhadap laki-laki. Saya tidak yakin apakah kerinduan tersebut merupakan
kerinduan Nini Anteh untuk dapat menikmati segala sesuatu yang dapat
dinikmati laki-laki. Atau apakah ini dapat dikatakan seperti apa yang Freud
katakan bahwa perempuan itu iri terhadap laki-laki.
Menurut teori Freud yang diambil dalam tulisan Tong (2010:35)
tentang feminisme psikoanalisis mengatakan bahwa semasa kecil,
perempuan selalu merasa memiliki organ kecil, tidak seperti laki-laki yang
memiliki penis yang lebih menonjol dan mempunyai proporsi lebih besar dari
perempuan. Sejak saat itu perempuan menjadi korban dari kecemburuan
terhadap laki-laki (penis envy). Namun dalam perkembangannya, anak
perempuan yang iri terhadap laki-laki, mulai menginginkan cinta dari laki-
laki. Freud berteori bahwa sulit bagi anak perempuan untuk mencapai
seksualitas dewasa yang normal. Berbeda dengan anak laki-laki yang cepat
mendapatkan kenikmatan dari penisnya, meski perempuan lambat laun juga
ingin mendapatkan kenikmatan seksualnya dari vagina yang ”feminim”.
Penggambaran laki-laki dalam cerita ini juga serba salah. Aki Anteh
digambarkan sebagai laki-laki yang pasif, yang tidak melakukan apa-apa saat
istrinya merindukannya. Bahkan tidak melakukan usaha agar dirinya dapat
bertemu dengan istrinya. Penggambaran demikian, membuat Nini Anteh
digambarkan sebagai perempuan yang menanggung rindu. Jadi dalam cerita
ini, sikap Aki Anteh yang pasif ini menimbulkan kesengsaraan bagi Nini
Anteh.
Dalam cerita ini digambarkan pula karakter laki-laki yang begitu aktif.
Namun, keaktifan tersebut nyatanya digambarkan pula sebagai hal buruk,
yang berdampak pada Nini Anteh tidak dapat bertemu dengan Aki Anteh dan
Candramawat tidak dapat segera memenuhi keinginan Nini Anteh. Bahkan
karakter Aki Bentar dalam cerita ini digambarkan begitu jahat. Dengan
kekuatannya, dapat menghancurkan tempat persembunyian Candramawat
seperti pohon-pohon menjadi hangus dan tumbang. Karakter Aki Bentar ini
digambarkan sebagai penghancur alam baik itu tumbuhan maupun hewan
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
132
(Candramawat). Berdasarkan sudut pandang teori ekofeminis, laki-laki
memang dipandang sebagai “biang keladi” rusaknya alam. Candramawat
yang digambarkan sebagai perwakilan Nini Anteh untuk mencari Aki Anteh
di bumi, berusaha dikalahkan dan ditaklukkan oleh Aki Bentar.
Candramawat, sebagai kucing yang digambarkan aktif membantu Nini Anteh
dalam proses pencarian Aki Anteh dapat dipandang sebagai domestikasi Nini
Anteh.
Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa dalam folklor lisan, Nini
Anteh digambarkan sebagai subjek, sebagai perempuan yang dapat
menentukan sikap, mencapai kedudukan yang tinggi (simbol bulan), dan
melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki-laki (simbol
bermain kecapi). Meskipun demikian, posisi sebagai subjek tersebut justru
membuat Nini Anteh tersiksa karena dirinya menanggung rindu pada Aki
Anteh (pengurungan secara psikologis), sedangkan dirinya terepresi oleh
keberadaan Aki Bentar yang menyebabkan dirinya tidak bisa pergi kemana
pun. Keberadaan Candramawat merupakan simbol domestikasi Nini Anteh,
karena Candramawat digambarkan dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat
dilakukan oleh Nini Anteh. Candramawat dapat pergi ke bumi untuk mencari
Aki Anteh dan dapat pergi ke bulan sesuai kehendaknya..
Representasi Kucing dalam Permainan Anak Sunda
Permainan tradisional anak-anak Sunda sangat beragam (Satriana,
2017:12). Ada permainan yang menggunakan lagu sebagai bagian dari proses
permainannya (misalnya paciwit-ciwit lutung). Ada pula permainan yang
harus menggunakan alat sebagai sarana dalam permainan tersebut (misalnya
congklak dan beklen). Kemudian, ada permainan yang dapat dimainkan jika
pihak yang terlibat lebih dari dua orang anak (misalnya boy-boyan). Lalu, ada
pula permainan yang dapat dimainkan di tempat yang terbatas (misalnya
beklen dan congklak) tetapi ada pula permainan yang membutuhkan ruang
yang luas (misalnya ucing-ucingan). Selain itu ada pula permainan yang
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
133
diawali dengan proses penentuan pihak berlawanan (misalnya dalam
permainan ucing-ucingan).
Salah satu hal menarik dari beragamnya permainan tradisional anak-
anak Sunda adalah adanya keberadaan ucing. Ucing merupakan kata dalam
bahasa Sunda untuk menyebut kucing. Pada kajian ini dibahas permainan
yang menggunakan kata “ucing” untuk menyebut nama permainan tersebut.
Permainan yang dibahas ialah: 1) ucing batu; 2) ucing beling; 3) ucing jidar;
4) ucing dongko; 5) ucing guliweng; 6) ucing hui; 7) ucing kuriling; dan 8)
ucing-ucingan. Permainan yang menggunakan kata “ucing” tersebut akan
dipaparkan strukturnya terlebih dahulu baru kemudian dibahas
representasinya. Representasi kucing dalam permainan ini kemudian
dibandingkan dengan representasi kucing dalam folklor lisan Nini Anteh.
Berikut ini dibahas struktur permainan yang ada kata “ucing” dalam
permainan tersebut.
a. Ucing Batu
Sumarna (1983: 55) mengungkapkan bahwa ucing batu ialah
permainan yang menggunakan batu sebagai sarana permainannya. Permainan
ini biasa dilakukan di sungai ataupun kolam yang dangkal. Sebelum memulai
permainan, terlebih dahulu dipilih yang berperan sebagai ucing. Setelah
ditentukan, kemudian pemain yang bukan berperan sebagai ucing mencari
batu. Masing-masing pemain mengambil satu batu. Batu yang dipilih ialah
yang tidak runcing agar tidak menusuk saat diinjak.
Setelah itu, batu tersebut disembunyikan di suatu tempat. Saat sedang
menyembunyikan batu, sang ucing harus menenggelamkan dirinya agar tidak
melihat di mana teman-temannya menyembunyikan batu yang menjadi kojo-
nya. Jika sudah ditemukan kojo (batu) milik anak-anak itu, maka pemilik kojo
yang pertama kali ditemukan itulah yang harus menjadi ucing dalam
permainan selanjutnya.
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
134
b. Ucing Beling
Permainan ucing beling tidak jauh berbeda dengan ucing batu.
Sumarna (1983: 43) menuliskan bahwa hal pertama yang dilakukan anak-
anak dalam permainan ini adalah penentuan siapa yang berperan sebagai
ucing. Anak yang kalah menjadi ucing. Setelah itu, anak-anak yang tidak
menjadi ucing mencari beling yang dapat berupa pecahan piring, gelas,
ataupun mangkuk. Masing-masing anak memiliki satu pecahan beling yang
dijadikan kojo. Ucing harus menutup matanya sambil menunggu lawannya
menyembunyikan belingnya di dalam tanah. Setelah semua beling
disembunyikan, barulah ucing mencari beling tersebut. Pemilik beling yang
belingnya ditemukan pertama kali oleh ucing, dialah yang akan menjadi ucing
selanjutnya.
c. Ucing Jidar
Sumiyadi (2009: 91) menuliskan bahwa nama permainan ini disinyalir
berasal dari nama alat yang digunakan. “Jidar” dalam bahasa Sunda berarti
penggaris atau alat ukur dengan kurang lebih 30 cm, sedangkan ucing
merupakan penyimbolan bahwa permainan ini merupakan permainan
kompetisi, ada kawan dan ada lawan.
Anak-anak yang mengikuti permainan ini biasanya melakukan
hompimpah terlebih dahulu untuk menentukan siapa yang menjadi ucing.
Setelah ucing ditentukan, ucing memulai permainan dengan mengukur
jidarnya dengan cara satu jidar dibiarkan diam sebagai batas dan satunya lagi
digerakkan sebagai jidar sesuai dengan panjang batang yang dijadikan jidar.
Jidar diukur menyerupai siku-siku kemudian setelah itu jidar didiamkan.
Anak-anak mulai bermain, satu persatu melangkahi batas jidar.
Kemudian jika semua anak sudah berhasil melewati batas jidar tersebut maka
mereka kembali ke tempat semula, sedangkan ucing mengulang kembali
mengukur jidar. Anak-anak mengulang kembali melompati, begitu seterusnya
sampai ada anak yang tidak mampu melompati dan kakinya terkena jidar.
Jika hal tersebut terjadi, maka kedudukan ucing akan beralih pada pemain
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
135
yang kakinya menyentuh jidar. Pemain yang kakinya kena jidar harus lari
dan menangkap teman yang lainnya yang belum memasuki kawasan bebas
gerak. Jika anak tersebut tidak bisa menangkap pemain yang lain, berarti dia
tetap menjadi ucing.
d. Ucing Dongko
Sumiyadi (2009: 41) menuliskan bahwa permainan ini dinamakan
ucing dongko karena pemain yang berperan sebagai ucing harus mengejar
lawannya yang berdiri sebelum lawan tersebut berjongkok (dongko). Untuk
menentukan pemeran ucing, telunjuk para pemain harus diletakkan di salah
satu telapak tangan temannya. Saat lirik “ditembak ngajelegur” pemain siap-
siap menarik jari telunjuk dari tangan temannya. Jika salah satu jari telunjuk
terjepit oleh tangan temannya maka dialah yang menjadi ucing. Untuk
menyelamatkan dirinya, lawan tersebut harus berjongkok untuk menghindar
dari si ucing. Apabila lawan berdiri dan tersentuh oleh si ucing maka dia akan
menjadi ucing pengganti pemeran ucing sebelumnya.
e. Ucing Guliweng
Sumiyadi (2009: 131) menuliskan bahwa permainan ini diawali
dengan membuat garis berbentuk lingkaran sebanyak dua buah yang
dihubungkan oleh semacam jembatan dari dua garis. Lingkaran yang satu
tertutup dan yang satunya lagi terbuka. Setelah gambar lingkaran selesai
dibuat, maka anak-anak melakukan hompimpah alaihum gambreng untuk
menentukan siapa yang menjadi ucing. Pihak yang kalahlah yang menjadi
ucing. Setelah itu yang menjadi ucing berusaha menyentuh atau memegang
teman-temannya yang terdapat dalam lingkaran. Jika ada yang kena, maka
anak yang kena akan menjadi ucing selanjutnya, sedangkan anak yang jadi
ucing sebelumnya masuk ke dalam lingkaran bersama anak-anak lainnya.
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
136
f. Ucing Hui
Sumiyadi (2009: 110) menuliskan bahwa dalam permainan ini, harus
diundi terlebih dahulu siapa yang akan berperan sebagai ucing dan yang
berperan sebagai urang lembur (orang desa). Anak terakhirlah yang akan
menjadi ucing. Sementara itu urang lembur kemudian berjongkok sambil
memegang pagar dengan sangat kuat. Pemenang undian yang pertama
menjadi orang yang pertama dalam urutan memegang pagar atau pohon
sambil berjongkok. Kemudian, orang kedua harus berpegangan erat pada
orang pertama. Orang ketiga harus berpegangan erat pada orang kedua, dan
seterusnya. Setelah semua berjongkok, sang ucing kemudian bernyanyi.
Berikut adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan ucing.
“Kulunang-keleneng samping koneng. Kerejat-kerejut
samping kusut. Kurusak-korosak samping rangsak. Buruwak-
berewek samping rawek.”
Terjemahan sebagai berikut ;
Kulunang-keleneng (tiruan bunyi) kain kuning.Kerejat-kerejut
(tiruan bunyi) kain kusut. Kurusak-korosak (tiruan bunyi) kain
hancur.Buruwak-berewek (tiruan bunyi) kain yang penuh
sobekan.
Setelah bernyanyi, ucing kemudian melakukan dialog dengan urang
lembur yang kemudian menjadi ubi. Setelah itu, ucing kemudian bernyanyi
kembali sambil mengelilingi “urang lembur” lalu bertanya kembali. Ucing
kemudian melompat agak jauh dari urang lembur. Tak lama kemudian
muncul ucing menarik ubi yang berjongkok paling belakang. Kalau lepas dari
jajarannya, yang lain bergegas berlari. Kemudian ucing bergegas mengejar
mereka satu persatu. Kalau sudah lelah, permainan ini dapat dihentikan.
g. Ucing Kuriling
Sumiyadi (2009: 182) menuliskan bahwa sebelum permainan dimulai,
biasanya diadakan dahulu pemilihan ucing. Caranya, anak-anak yang akan
bermain berkumpul terlebih dahulu untuk membuat semacam lingkaran,
mengelilingi seorang anak yang lebih tua atau dituakan. Dalam permainan ini,
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
137
anak yang berkeliling itu ditunjuk satu-satu oleh anak yang dituakan dengan
melantunkan lagu Cingcangkeling.
Setiap suku kata dikenakan kepada seorang anak dan pada akhir kata
“buleneng” berhenti di seorang anak, maka anak tersebut yang menjadi
kucing, yang lainnya menjadi tikus. Kemudian serentak seluruh pemain
masuk ke dalam lingkaran sedangkan ucing menempati garis lingkaran dan
terus saja berusaha untuk menyentuh tikus yang ada dalam lingkaran. Jika ada
tikus yang tertepuk, maka tikus itulah yang harus menggantikan posisi ucing.
Tetapi tentu saja tikus-tikus itu tidak mau ditepuk begitu saja, mereka akan
dengan lincah mengelak dan menghindar dari tepukan si ucing sambil
mengeluarkan cemoohan-cemoohan kepada si ucing agar si ucing lebih
jengkel sehingga lebih susah untuk mendapatkan mangsanya. Maka di dalam
lingkaran itu akan terjadi dorong-mendorong antara tikus-tikus karena
ketakutan.
Adakalanya tikus-tikus mendorong kawannya agar dapat dijangkau
oleh si kucing. Maka dalam suasana inilah, sorak sorai, gelak tawa memenuhi
arena itu diselingi dengan ocehan-ocehan tikus yang mengolok-olok sang
kucing, manakala kucing itu tidak dapat mengenai sasarannya. Jika ternyata si
kucing cekatan, maka ia akan segera dapat menyentuh tikus-tikus. Dengan
demikian, ia pun bebas.
h. Ucing-ucingan
Sumiyadi (2009: 195) menuliskan bahwa permainan ini diawali
dengan menyanyikan lagu sambil menunjuk peserta permainan sampai lagu
berakhir. Saat lagu berakhir, peserta yang tertunjuklah yang menjadi “ucing”,
yang nantinya harus mengejar teman-teman lain yang berlarian. Dan saat
“ucing” mengejar dan menangkap peserta permainan, peserta yang tertangkap
akan menjadi “ucing” dan kembali mengejar teman-teman lain. Begitu
seterusnya.
Berdasarkan paparan di atas, tampak beberapa kesamaan dalam
permainan yang terdapat kata “ucing” dalam penamaannya. Persamaan
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
138
tersebut salah satunya ialah sebelum memulai permainan, biasanya dimulai
dengan menentukan siapa yang menjadi ucing. Penentuan siapa yang
berperan sebagai ucing ini biasanya ditentukan berdasarkan lagu ataupun
undian (misalnya hompimpah alaihum gambreng). Anak yang kalah
kemudian harus menjadi ucing.
Seorang anak yang berperan sebagai ucing harus menanggung
sejumlah konsekuensi. Dalam permainan itu, ucing harus dapat menemukan
batu yang disembunyikan temannya di dalam air. Permainan ucing beling,
ucing harus dapat menemukan batu yang disembunyikan temannya di dalam
tanah. Permainan ucing jidar, ucing harus dapat mengukur dengan persis
ukuran kemampuan teman-temannya dalam melangkahi jidar. Permainan
dalam ucing dongko, ucing harus dapat mengejar temannya yang berlarian
sebelum temannya tersebut dongko (jongkok). Permainan ucing guliweng,
ucing harus dapat menyentuh teman-temannya yang berada dalam lingkaran.
Permainan ucing hui, ucing harus dapat menarik dengan kuat orang yang
berjongkok dan saling berpegangan pinggang. Permainan ucing kuriling,
ucing harus dapat menyentuh teman-temannya yang berada dalam lingkaran.
Permainan ucing-ucingan, ucing harus memiliki kemampuan berlari dengan
kencang agar mampu mengenai atau menangkap teman-temannya yang
berlarian.
Permainan tersebut menuntut ucing memiliki kemampuan fisik yang
kuat. Ucing harus bisa berlari kencang, teliti, dan memiliki kekuatan. Selain
itu, ucing harus memiliki kemampuan mengatur strategi agar tidak kehabisan
energi agar ucing dapat melepaskan dirinya dari peran ucing untuk kemudian
berubah menjadi pihak yang dikejar oleh ucing.
Apa yang sudah diungkapkan dalam permainan anak tersebut, ucing
dipandang sebagai subjek. Meskipun peran sebagai ucing kerapkali dihindari
dan menjadi bahan olok-olok teman dan dipersepsi sebagai sesuatu yang
buruk, permainan ini justru merupakan sarana pembuktian diri bagi seseorang
yang berperan sebagai ucing. Sang ucing berusaha mendayagunakan seluruh
kemampuan dirinya agar dapat melepaskan diri dari peran ucing tersebut.
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
139
Peran ucing yang disandang oleh anak yang kalah dalam undian, dapat
dipandang sebagai sarana untuk bangkit dari keterpurukan. Saat dirinya
mampu berlari kencang, teliti, memiliki strategi, dan memiliki energi tinggi,
sehingga mampu menangkap atau menemukan sesuatu yang disembunyikan
lawannya, dia dapat menanggalkan peran ucingnya. Ia dianggap sebagai
pemenang dan penakluk anak lain yang kemudian harus menjadi ucing.
Apabila dilihat berdasarkan waktu yang digunakan saat bermain,
permainan ini fleksibel. Anak-anak dapat memainkan permainan ini kapan
saja. Meskipun demikian, biasanya permainan ini dilakukan saat jam istirahat
sekolah ataupun saat pulang sekolah. Permainan dapat diakhiri apabila anak
yang terlibat telah lelah atau permainan disepakati berakhir. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam permainan ini terdapat unsur demokrasi.
Permainan ucing ini membutuhkan tempat luas atau ruang terbuka
yang memungkinkan anak-anak dapat berlarian atau menyembunyikan
sesuatu. Tempat yang luas dapat melatih kemampuan fisik anak untuk
mengeksplorasi gerak dan lingkungan sekitarnya. Dalam konteks ini, ucing
direpresentasikan sebagai sosok yang harus memiliki kemampuan gerak dan
memahami lingkungan sekitarnya.
Selain itu, pihak yang terlibat dalam permainan ini tidak dibedakan
berdasarkan kelamin. Setiap anak baik perempuan maupun laki-laki dapat
bermain bersama. Posisi perempuan dan laki-laki dipandang sama, yakni
sama-sama berkesempatan menjadi ucing, sama-sama berkesempatan menjadi
yang dikejar ucing. Dalam konteks ini terlihat bahwa permainan ini tidak bias
gender. Perempuan dan laki-laki sama posisinya.
Permainan yang dalam penamaannya menggunakan kata “ucing” ialah
permainan kolektif. Permainan ini tidak bisa dimainkan seorang diri. Semakin
banyak pihak yang terlibat dalam permainan ini maka jalannya permainan
akan semakin menarik. Dalam permainan masyarakat Sunda, kita tidak akan
menemukan nama permainan yang dapat dimainkan seorang diri ataupun
hanya berdua, yang menggunakan kata “ucing”. Hal ini dapat dipandang
bahwa ucing merupakan sesuatu yang direpresentasikan berkaitan dengan
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
140
kolektif masyarakat. Menjadi kucing merupakan konsekuensi yang harus
ditanggung saat kalah dalam pengundian. Meskipun peran sebagai ucing
kerap kali dihindari dan menjadi bahan olok-olok teman sehingga dipersepsi
sebagai sesuatu yang buruk, permainan ini justru merupakan sarana
pembuktian diri bagi seseorang yang berperan sebagai ucing berusaha
mendayagunakan seluruh kemampuan dirinya agar dapat bangkit dari
keterpurukan.
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa kucing dalam folklor lisan
Nini Anteh digambarkan mempunyai peran penting, karena keberadaan
Candramawat (kucing) merupakan representasi dari domestikasi Nini Anteh.
Nini Anteh yang seharusnya sebagai subjek tetapi hidup menderita dan
terepresi. Pada akhirnya yang terbangun tersebut seringkali menempatkan
perempuan sebagai objek subordinat dari laki-laki dan menimbulkan
ketimpangan sosial berbasis identitas gender (Mecca, 2017). Laki-laki
dianggap sebagai subjek dan perempuan sebagai objek (Liyan bagi laki-laki).
Dalam foklor lisan Nini Anteh tersebut, secara sekilas terlihat kemandirian
perempuan, namun sebenarnya ada ketidakberdayaan perempuan dan ideologi
dibalik cerita itu yakni terdapat nilai patriaki di mana laki-laki dianggap
superior terhadap kaum perempuan.
Sedangkan kata ucing (kucing) dalam permainan tradisional anak
direpresentasikan berkaitan dengan kolektif masyarakat yang menjadi
identitas lokal masyarakat Sunda. Banyaknya permainan anak yang dimulai
dengan kata ucing sebagai ikon kata dalam permainan tersebut
mereprestasikan bahwa kucing merupakan hewan yang terdekat dengan
manusia yang berada di dalam rumah maupun di luar rumah. Katakter kucing
yang lincah, lucu, baik, namun suka mencuri makanan dengan mengendap-
ngendap dan mengejar-ngejar tikus merupakan simbol bahwa peran yang
semestinya dalam kehidupan adalah sosok seperti kucing yang harus lincah
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
141
berjuang untuk melepaskan dari keterpurukan. Hal ini berperan juga sebagai
norma-norma sosial dan media pendidikan bagi anak.
Sebenarnya ada satu benang merah dari kajian tentang representasi
kucing dalam foklor Sunda cerita Nini Anteh dan permainan tradisional anak,
bahwa bagi masyarakat Sunda, kucing dianggap sebagai pembawa petunjuk
(cacandran) misalnya jika ada yang menabrak kucing maka akan terjadi
bencana, kucing bertengkar diatap menandakan akan terjadi percekcokan, dan
jika memandikan kucing akan terjadi hujan deras. Selain itu ada juga mitos
bahwa kucing memiliki 9 nyawa dan kucing adalah hewan kesayangan
Nabi Muhammad. Adanya cacandran dan mitos ini menjadikan hewan
kucing sangat penting bagi masyarakat Sunda. Seperti dalam pandangan
hidup orang Sunda disebutkan bahwa orang Sunda melihat adanya hubungan
antara dirinya sebagai pribadi; hubungan dirinya dengan Tuhan; dan
hubungan dirinya dengan sesama manusia; hubungan dirinya dengan alam.
Dari kutipan cerita di atas, dapat dilihat bagaimana orang Sunda memandang
dirinya dengan alam (kucing) bahwa manusia hidup harus selaras dengan
alam.
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
142
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa, Shri Heddy. 2010. Esei-Esei Antropologi. Teori, Metodologi dan
Etnografi. Yogyakarta: Kepel Press.
Atmadibrata, Enoch, dkk. 1979. Permainan Rakyat Daerah Jawa Barat.
Bandung: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Aminudin, M.Z. 2016. “Penggunaan Peranti Kohesi dalam Cerpen Surat
Kabar Jawa Pos Edisi Bulan Januari-Juli 2016”. Dalam jurnal Bahasa
dan Sastra Indonesia. V.2, 2356-1629.
Ekadjati, dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda. Bandung: Pustaka Jaya.
Yostiani, H. 2009. Kajian Struktur, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Proses
Penciptaan Cerita Nini Anteh di Kotamadya dan Kabupaten Bandung.
Skripsi. Bandung: Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Yostiani, H. 2016. Kajian Struktur, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Proses
Penciptaan Cerita Nini Anteh di Kotamadya dan Kabupaten Bandung.
Skripsi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS, UPI. (Tidak
diterbitkan).
Yostiani, H. 2015. “Transformasi Novel Dongeng Nini Anteh Karya A.S.
Kesuma ke Tayangan Opera Van Java Episode Nyai Anteh Penjaga
Bulan”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Yostiani, H. 2016. “Transformasi Folklor Nini Anteh ke Novel Dongeng Nini
Anteh Karya A.S. Kesuma.” Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Minh-Ha, Trinh. 1989. “Woman, Native, Other: Writing Postcoloniality and
Feminism”. A Reader of Feminist Literary Theory. Second edition,
394-398.
Praptanto. 2002. Arulin di Pilemburan. Bandung: Tarate.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2010. Kajian Budaya Feminis. Tubuh, Sastra,
dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Rusyana, dkk. 2000. Ensiklopedi Sastra Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Representasi Kucing Dalam Foklor Sunda ............. Ani Rostiyati
143
Rostiyati, A., Yostiani N.A.H. 2018 “Keterdidikan Perempuan Dalam Cerita
Rakyat Nini Anteh” dalam Jurnal ilmiah Patanjala, Vol. 9 No.3
September.
Ratna, N. K. 2013. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rusyana, Y, dkk. (2000). Prosa Tradisional: Pengertian, Klasifikasi, dan
Teks. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sulistiati, dkk. 1994. Cerita Rakyat Nusantara: Analisis Struktur dan Fungsi
Penjelmaan dalam Cerita. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumiyadi, dkk. 2008. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif, permainan
Tradisional Anak-anak Priangan. Upi: Bandung.
Sunaryo, A. 2009. “Internalisasi Nilai-nilai Tradisi pada Penciptaan Tari
Anak Berbasis Budaya Lokal.” Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Tong, Rosemarie Putnam, 2010. Feminist Thought . Yogyakarta: Jalasutra.
Wiyatmi. 2013. Menjadi Perempuan Terdidik: Novel Indonesia dan
Feminisme. Yogyakarta: UNY Press.
Internet
Agan. 2018. Nini Anteh. Bandung Music Production. [daring] tersedia di:
https://www.youtube.com/watch?v=IZojAKUiAfA
Amirin, T.M. (2010). Nini Anteh Sang Penunggu Bulan dan Nini Anteh and
Her Cat. [daring] Tersedia di:
https://tatangmanguny.wordpress.com/dongeng-sunda/nini -anteh-
sang-penunggu-bulan.html
Ampera, T. (2004). Nini Anteh dalam Perspektif Von Daniken. [daring]
Tersedia: http://www.blogtaufikampera.com.
Dixrimination. (2011). Nini Anteh Sang Penunggu Bulan. [daring] Tersedia
di: https://m.ngomik.com/comic/7898-nini -anteh-sang-penunggu-
bulan/1-12774/read.html
Rahmawati, Y. (2011). Nini Anteh dalam Wajah Rembulan. [daring] Tersedia
di: https://kompasiana.com/post/read/399631//2/nini-anteh-dalam-
wajah-rembulan.html [diakses pada 10 Desember 2014, pukul 22.10].
Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 1 Mei 2020
144
Daftar Informan:
Nama : Nurjanah Yanah
Usia : 65 tahun
Alamat : Ujung Berung, Bandung
Keahlian : Penutur cerita Nini Anteh
Nama : Candra Kudapawan
Usia : 62 tahun
Alamat : Subang