KTI chavia
-
Upload
kadek-ariarta-mahartama -
Category
Documents
-
view
83 -
download
11
Transcript of KTI chavia
1
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kanker serviks merupakan neoplasma ganas pada wanita tersering kedua
di dunia setelah kanker payudara. WHO pada tahun 2005 melaporkan terdapat
sekitar 7,6 juta orang meninggal akibat kanker serviks, yaitu sekitar 13%
kematian di dunia, sedangkan di Asia Tenggara angka kejadian kanker serviks
tahun 2008 dilaporkan 188.242 kasus baru (Ferlay et al., 2004; GLOBOCAN,
2008).
Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita kanker serviks biasanya
disesuaikan dengan stadium penyakitnya. Penderita kanker invasif awal diberi
terapi operasi seperti cryotherapy, histerektomi total, histerektomi radikal,
sedangkan pada penderita kanker yang sudah menyebar diberikan radioterapi dan
kemoterapi. Obat kemoterapi yang sering diberikan contohnya adalah ifosnamide
(Gracia, 2010). Pemberian obat-obat kemoterapi tersebut akan menimbulkan
banyak efek samping yang tidak diinginkan. Selain itu pengobatan–pengobatan
tersebut mahal, belum ada obat yang hanya membunuh sel kanker saja, dan tidak
semua kasus dapat memberikan respons terapi yang sama. Maka dari itu
dibutuhkan obat baru yang lebih sedikit efek sampingnya dan relatif lebih aman,
harga yang relatif terjangkau, dapat membunuh sel kanker langsung pada target,
serta dapat memberikan respon terapi yang baik pada setiap kasus.
Tanaman sirih sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
sebagai tanaman obat tradisional yang berkhasiat untuk mengobati mimisan, diare,
sakit gigi, alergi, bronkitis, dan keputihan (Tanaman Berkhasiat-Obat tradisional,
2008; Nuri Andarwulan, 1996). Penelitian ini ingin mempelajari potensi daun
sirih untuk pengobatan kanker karena daun sirih juga diduga memiliki aktivitas
antioksidan dan antikanker.
2
Menurut penelitian hasil uji fitokimia daun sirih senyawa penting seperti
alkaloid, flavanoid, steroid, dan fenol beserta turunannya, yaitu
Hidroxychavicol (HC) dan Euginol (EU) (Arya, 2008; Pin et al.,2010). HC
berperan dalam aktivitas antioksidan ekstrak daun sirih (Pin et al.,2010).
Aktivitas antioksidan juga diduga akibat adanya kandungan beta karoten yang
terdapat pada daun sirih (Nuri Andarwulan, 1996).
Daun sirih diduga memiliki aktivitas sitotoksik karena mengandung
senyawa flavonoid yang dikenal memiliki aktivitas antikanker. Pada penelitian
Arya Srisadono pada tahun 2008 didapatkan bahwa ekstrak etanol daun sirih
dapat membunuh larva Artemia salina Leach sehingga membuktikan adanya
aktivitas antikanker menurut metode Brine Shrimp Lethality Test. Namun
penelitian tersebut masih berupa dasar indikasi komponen sitotoksik, sehingga
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan kultur sel kanker
(Arya, 2008).
Maka dari itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aktifitas
antioksidan dari ekstrak etanol daun sirih. Untuk pemeriksaan antikanker
dilakukan pengujian aktivitas sitotoksik dan induksi apoptosis.
1.2 Identifikasi Masalah
Apakah ektrak etanol daun sirih (P. betle L.) memiliki aktivitas
antioksidan pemerangkap DPPH secara in vitro
Apakah ekstrak etanol daun sirih (P. betle L.) memiliki aktivitas
sitotoksik secara in vitro pada kultur sel HeLa
Apakah ekstrak etanol daun sirih (P. betle L.) memiliki aktivitas
induksi apoptosis secara in vitro pada kultur sel HeLa
1.3 Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah mengetahui potensi antioksidan dan
antikanker daun sirih.
3
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. mengetahui aktivitas antioksidan secara in vitro dari ektrak etanol
daun sirih (P. betle L) dengan parameter pemerangkapan radikal
bebas 1,1-diphenyl 1-2-pycrylhydrazyl (DPPH) dibandingkan dengan
epigalokatekin galat (EGCG)
2. mengetahui aktivitas sitotoksik secara in vitro dari ekstrak etanol
daun sirih (P.betle L.) pada kultur sel HeLa dengan parameter
kemampuan membunuh sel karsinoma (IC50)
3. mengetahui aktivitas induksi apoptosis secara in vitro dari ekstrak
etanol daun sirih (P. betle L.) pada kultur sel HeLa dibandingkan
dengan doksorubisin.
1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah
Manfaat dari penelitian ini untuk menambah pengetahuan dan memperluas
wawasan tentang khasiat antioksidan pemerangkap DPPH dan antikanker ekstrak
etanol daun sirih.
1.5 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
1.5.1 Kerangka Pemikiran
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek
berbahaya radikal bebas oksigen reaktif, yang dapat berasal dari metabolisme
tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Antioksidan secara nyata dapat
memperlambat atau menghambat oksidasi dari zat yang mudah teroksidasi
meskipun dengan konsentrasi yang rendah. Tumbuh-tumbuhan memproduksi
metabolit sekunder seperti fenolik (asam fenolik, flavonoid, kuinin dan
koumarins), nitrogen (alkaloid dan amina) vitamin dan terpenoid yang merupakan
sumber antioksidan (Singh, 2004). Daun sirih memiliki senyawa alkaloid,
flavonoid, steroid, dan fenol beserta turunannya, yaitu Hidroxychavicol (HC)
4
dan Euginol (EU) (Arya, 2008; Pin et al., 2010). Dengan adanya senyawa aktif
HC dan EU diharapkan daun sirih memiliki aktivitas antioksidan dalam
pemerangkapan radikal bebas DPPH.
Kanker atau lebih dikenal sebagai neoplasma ganas, adalah istilah untuk
sekelompok besar penyakit yang pertumbuhan sel-selnya tidak dapat diatur lagi
oleh tubuh. Sel-sel membelah dan tumbuh tak terkendali, membentuk tumor
ganas, dan menyerang bagian tubuh dekatnya. Kanker juga dapat menyebar ke
bagian yang lebih jauh dari tubuh melalui sistem getah bening atau aliran darah.
Kanker serviks merupakan kanker tersering di Indonesia (Imam Rasjidi,
2009). Penyebab terjadinya kanker serviks adalah infeksi dari HPV 16 dan 18.
HPV menginfeksi sel basal yang belum matang dari epitel skuamosa pada epitelial
yang mengalami kerusakan, atau metaplasia sel squamosa yang belum matang
pada squamocolumnar junction (Elleson, 2010). Akibat dari infeksi HPV tersebut
terjadi perekrutan dan aktivasi sel-sel imun (makrofag, neutrofil dan sel
dendritik), sel-sel tersebut melepaskan akumulasi spesies oksigen reaktif (ROS)
dan spesies nitrogen reaktif. Spesies oksigen reaktif dan spesies nitrogen reaktif
(NOS) adalah radikal bebas yang sangat reaktif dan mengandung elektron tidak
berpasangan. NOS dapat memodifikasi berbagai protein, membuat otoantigen dan
juga dapat meningkatkan fosforilasi dan menonaktifkan protein penekan tumor
retinoblastoma 1 (pRb) dan menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol.
Peningkatan NOS dapat meningkatkan aktivasi transkripsi angiogenesis dan
proto-onkogen, dan potensi metastasis tumor juga mutasi sehingga protein
penekan tumor p53 tidak bisa menginduksi apoptosis dari sel (Schetter, 2009).
Diharapkan eksktrak etanol daun sirih memiliki aktivitas antioksidan
pemerangkap DPPH. Dengan aktivitas antioksidan dapat menghambat proliferasi
sel dan menginduksi apoptosis dari sel HeLa yang merupakan kultur sel dari
kanker serviks. Sehingga untuk meneliti aktivitas antikanker secara in vitro dari
kanker serviks digunakan sel HeLa.
5
1.5.2 Hipotesis
o Ekstrak etanol daun sirih (P. betle L) memiliki aktivitas
antioksidan pemerangkap DPPH.
o Ekstrak etanol daun sirih ( P. betle L) memiliki aktivitas sitotoksik
terhadap kultur sel HeLa
o Ekstrak etanol daun sirih (P. betle L ) memiliki aktivitas
menginduksi apoptosis pada kultur sel HeLa.
1.6 Metodologi
Metodologi penelitian adalah eksperimental laboratorium. Untuk
mengetahui aktivitas antioksidan digunakan parameter pemerangkapan radikal
bebas DPPH (1,1-diphenyl-1-2-picrylhydrazyl) dibandingkan dengan
Epigalokatekin Galat (EGCG) sebagai standar. Untuk menguji antikanker,
meliputi aktivitas sitotoksik dengan menggunakan MTS Assay melalui
perhitungan Inhibitory Concentration (IC50) dan induksi apoptosis pada sel HeLa.
1.7 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Ilmu Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha Bandung, Stem Cell dan Cancer Institute
Jakarta, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Penelitian
berlangsung dari Desember 2010- November 2011.
6
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Kanker Serviks
2.1.1Insidensi dan Epidemiologi Kanker Serviks
Kanker serviks adalah kanker tersering ke 2 di dunia dari semua keganasan
pada perempuan. Pada tahun 2002 diperkirakan ada 493.000 kasus baru di dunia
dan 274.000 orang meninggal akibat kanker serviks. Insidensi tertinggi ada pada
negara-negara berkembang dengan angka kejadian 83% dari total kasus kanker
serviks di seluruh dunia. Kasus baru di negara maju hanya 6,3 % dari total kasus
kanker serviks (Schorge et al, 2008). WHO pada tahun 2005 melaporkan terdapat
sekitar 7,6 juta orang meninggal akibat karsinoma serviks,yaitu sekitar 13%
kematian di dunia, sedangkan di Asia Tenggara angka kejadian karsinoma serviks
tahun 2008 dilaporkan 188.242 kasus baru (Ferlay et al., 2004; GLOBOCAN,
2008).
Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapura sebesar 25,0
pada ras Cina dan17,8 pada ras Melayu; sedangkan di Thailand sebesar 23,7 per
100.000 penduduk. Insidensi dan angka kematian kanker serviks menurun selama
beberapa dekade terakhir di Amerika Serikat. Hal ini karena skrining Pap Smear
menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada
kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada
tahun 2006.
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks
setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium
patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah
penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks
sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium
lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu
7
stadium dengan gangguan fungsi ginjal sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga
kasus (Imam Rasjidi, 2009).
2.1.2 Etiologi Kanker Serviks
Harald zur hausen menemukan bahwa HPV (Human Papiloma Virus)
adalah penyebab karsinoma serviks. HPV merupakan suatu virus DNA yang
memiliki dua subgroup, yaitu subgrup high oncogenic dan low oncogenic. HPV
yang high oncogenic dipercaya merupakan faktor terpenting pada onkogenesis di
serviks. Ada 15 high oncogenic HPV yang terindentifikasi dan dari sudut pandang
patologi serviks terdapat dua jenis HPV yang terpenting, yaitu HPV 16 dan HPV
18. HPV 16 sebanyak 60% dari kasus yang ada, HPV 18 ada 10% dari kasus ,
dan 5 % lainnya HPV tipe lainnya (Crum, 2005). Selain HPV, virus HIV (Human
Immunodeficiensy Virus) ternyata memegang peranan penting pada angka
kejadian kanker serviks (Gracia, 2010)
HPV merupakan kelompok virus dengan DNA rantai ganda tertutup
berbentuk sirkular. Genom virus mengkode 6 protein (E1, E2, E3, E4, E5 ,E6)
dengan fungsi sebagai protein pengatur dan 2 protein lain (L1, L2) untuk
membuat kapsid virus.
Sampai saat ini ada 77 genotip berbeda dari HPV yang teridentifikasi dan
diklon , diantaranya tipe 6,11, 16, 18, 26, 31, 33, 35, 39, 42, 43, 44, 45, 51, 52, 53,
54, 55, 56, 58, 59, 66, dan 68 yang diketahui menginfeksi jaringan anogenital.
Subgrup low oncogenic, HPV 6b dan 11, berhubungan dengan gradasi
rendah SIL (Squamous Intraepithelial Lesion) tetapi tidak pernah ditemukan pada
kanker invasif. Subgrup high oncogenic, kebanyakan HPV 16 dan 18, ditemukan
50-80 % pada SIL dan lebih dari 90% ditemukan pada kanker invasif. Walaupun
tipe 31, 33, 35, 39, 42, 43, 44, 45, 51, 52, 56, 68, 69, 68, 73 dan 82 lebih jarang
ditemukan juga diduga bersifat karsinogenik (Gracia, 2010).
Patogenesis kanker serviks berhubungan dengan HIV belum dimengerti
seluruhnya. Studi penelitan menunjukan wanita dengan HIV seropositive
memiliki prevalensi infeksi HPV lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dengan
8
HIV seronegatif. Gangguan fungsi limfosit pada wanita dengan HIV
mengakibatkan infeksi HPV menjadi persisten sehingga meningkatkan angka
kejadian kanker serviks (Gracia, 2010).
2.1.3 Faktor Risiko Kanker Serviks
Faktor risiko untuk kanker serviks berhubungan dengan kondisi inang,
karakteristik virus HPV yang mengenainya, respons imun yang tidak efisien, dan
kehadiran ko-karsinogen. Faktor ko-karsinogen itu termasuk berganti-ganti
pasangan seksual, waktu berhubungan seksual pertama kali di usia muda (kurang
dari 16 tahun), multiparitas, infeksi persisten high oncogenic HPV (HPV 16 atau
HPV18), imunosupresi, beberapa subtype HLA, pengunaan kontrasepsi oral dan
nikotin, dan sosioekonomi yang rendah (Crum, 2005; Bidus et al., 2007).
Paritas dan pemakaian kontrasepsi oral kombinasi sangat berpengaruh
terhadap kanker serviks. Multiparitas akan menigkatkan angka kejadian kanker
serviks. Risiko terkena kanker serviks pada wanita yang telah melahirkan tujuh
kali meningkat 4 kali, sedangkan pada wanita yang telah melahirkan satu atau dua
anak akan meningkat 2 kali dibandingkan yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Sedangkan penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dalam jangka
waktu lama akan menjadi ko-faktor. Pada studi in vitro hormon progesteron
dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan kanker serviks, proliferasi sel, dan
mutasi sel. Sedangkan estrogen berperan sebagai agen anti apoptosis sehingga sel-
sel yang sudah terinfeksi HPV dapat berproliferasi (Scorge et al., 2008). Terdapat
penelitian bahwa penggunaan kontrasepsi oral dapat meningkatkan insidensi
abnormalitas glandula serviks (Bidus et al, 2007).
Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi
sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Pasangan dari pria
dengan kanker penis atau pasangan dari pria yang istrinya meninggal terkena
kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks.
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab
kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada
9
serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa
langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau
melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari
tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok.
Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama
infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi keganasan (Bidus et al, 2007; Imam
Rasjidi, 2009)
2.1.4 Klasifikasi Kanker Serviks
Berat ringannya suatu karsinoma serviks dilihat dari stadiumnya. Stadium
yang sering digunakan para klinis adalah menurut FIGO (Federation of
Gynecology and Obstetrics).
Berdasarkan FIGO dibagi menjadi,
Stadium I
Pada stage ini karsinoma terbatas pada serviks, perluasan ke daerah korpus
uterine harus diabaikan. Diagnosis baik Stage IA1 dan IA2 harus berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis yang mencakup seluruh lesi.
Stadium IA
Karsinoma invasif teridentifikasi hanya secara mikroskopis. Invasi hanya
terbatas pada stroma dengan kedalaman maksimum 5 mm dan tidak lebih
lebar dari 7 mm.
o Stadium IA1
Invasi dari stroma tidak lebih dalam dari 3 mm dan diameternya tidak
lebih lebar dari 7 mm.
o Stadium IA2
Invasi dari stroma lebih dalam dari 3 mm tetapi tidak lebih dalam dari
5 mm dan diameternya tidak lebih dari 7 mm
Stadium IB
10
Lesi klinis terbatas pada serviks atau lesi preklinis yang lebih besar dari
Stadium IA. Semua gross lesi dengan invasi superfisial termasuk stadium
IB.
o Stadium IB1: Lesi klinis yang ukurannya tidak lebih besar daripada
4 cm.
o Stadium IB2: Lesi klinis yang ukurannya lebih besar dari 4 cm.
Stadium II
Pada Stadium II karsinoma meluas melampaui serviks, tetapi tidak meluas
sampai ke dinding pelvis. Karsinoma mencapai vagina, tetapi belum mencapai
sepertiga vagina bagian bawah.
Stadium IIA
Tidak ada keterlibatan parametrium. Keterlibatan hanya sebatas duapertiga
vagina bagian atas.
Stage IIB
Adanya keterlibatan parametrium tetapi tidak mengenai dinding samping
pelvis.
Stadium III
Pada stadium III karsinoma meluas sampai dinding samping pelvis. Pada
pemeriksaan rektum, didapatkan tidak ada rongga kosong antara dinding pelvis
dan tumor. Tumor mencakup sepertiga bawah vagina. Semua kasus dengan
hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi masuk kedalam stage III.
Stadium IIIA
Tidak ada perluasan ke dinding pelvis tetapi tumor mencakup vagina
sepertiga bawah.
Stadium IIIB
Perluasan ke dinding pelvis atau hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi.
Stadium IV
Pada Stadium IV karsinoma telah meluas melampaui pelvis atau secara
klinis telah mencakup mukosa vesika urinaria dan atau rektum.
Stadium IVA
penyebaran tumor mencapai organ pelvis yang berdekatan.
11
Stadium IVB
penyebaran mencapai organ yang jauh (FIGO, 2009).
2.1.5 Patogenesis Kanker Serviks
Patogenesis dari karsinoma serviks telah terdeskripsi dari epidemiologi
klinikopatologi dan studi genetika molekuler. Berdasarkan data epidemiologi,
karsinoma serviks berhubungan erat dengan penyakit menular seksual yaitu HPV.
Infeksi genital akibat HPV sangat umum terjadi, sebagian besar
asimptomatis, tidak mengakibatkan perubahan jaringan dan tidak terdeteksi pada
pemeriksaan Pap smear. Puncak prevalensi HPV di usia 20 tahun dan
berhubungan dengan awal aktivitas seksual, dan prevalensi menurun dengan
adanya imunitas dan hubungan yang monogami. Sebagian besar infeksi HPV ada
dan dieliminasi oleh respons imun dalam beberapa bulan. Bila diambil rata-
ratanya, 50% infeksi HPV bersih dalam waktu 8 bulan, 90% infeksi bersih dalam
waktu 2 tahun. Durasi infeksi tergantung dari subgrup HPV, high oncogenic HPV
menginfeksi lebih lama dibanding low oncogenic HPV. Infeksi persisten dari
HPV akan meningkatkan risiko perkembangan dari prekanker servikal dan
karsinoma.
HPV menginfeksi sel basal yang belum matang dari epitel skuamosa pada
epitelial yang mengalami kerusakan, atau metaplasia sel skuamosa yang belum
matang pada squamocolumnar junction. HPV tidak dapat menginfeksi sel
skuamosa matang yang melapisi ektoserviks, vagina, atau vulva (Ellenson, 2010).
Karsinoma sel skuamosa tumbuh pada squamocolumnar junction yang di
awali dari infeksi HPV dan diikuti lesi awal displasia. Perubahan dari displasia
menjadi kanker invasif membutuhkan beberapa tahun. Perubahan molekuler pada
karsinogenesis serviks sangat rumit dan belum sepenuhnya dimengerti.
Karsinogenesis merupakan interaksi antara lingkungan, imunitas inang, dan
variasi genom sel somatik.
HPV berperan penting dalam perkembangan kanker serviks. Onkoprotein
HPV dapat meningkatkan proliferasi dari sel–sel kanker. Serotipe HPV yang
12
onkogenik dapat berintegrasi dengan genom manusia. Hasil dari infeksi tersebut
onkogenik HPV akan mereplikasi protein E1 dan E2 sehingga virus dapat
replikasi di dalam sel serviks. Pada awal infeksi HPV, protein ini diproduksi
dalam jumlah banyak. Gen dari virus akan menghasilkan oncoprotein E6 dan E7
dan menyebabkan transformasi dari sel serviks yang normal menjadi sel tumor.
Protein E7 akan berikatan dengan protein penekan tumor retinoblastoma (Rb),
sedangkan protein E6 akan berikatan dengan protein penekan tumor P53. Ikatan
tersebut mengakibatkan degradasi dari protein penekan tumor. Efek dari degradasi
P53 ini berhubungan dengan proliferasi dan imortalisasi sel serviks (Schorge et
al., 2008).
2.1.6 Penatalaksanaan Kanker Serviks
Penatalaksanaan kanker serviks harus ditangani sesuai dengan stadiumnya.
Rekomendasi penatalaksanaan untuk stadium awal
Stadium IA1
Penatalaksaanan utama untuk stadium awal kanker serviks adalah
pembedahan atau terapi radiasi. Penatalaksanaan yang dianjurkan
termasuk histerektomi ekstrafasial, trakelektomi yaitu tindakan operasi
dengan membuang bagian serviks dan bagian uterus yang masuk ke vagina
setra kelenjar limfe pelvis atau histerektomi yang dimodifikasi dengan
diseksi nodus pelvikus.
Stadium IA2
Pasien dengan stadium tumor IA2 diterapi dengan histerektomi radikal
atau trakelektomi radikal dengan diseksi nodus limfatikus. Pilihan
alternatif yaitu brakiterapi dengan atau tanpa terapi radiasi pelvis (dengan
dosis 75-80 Gy).
Stadium IB dan IIA
Pasien dengan stadium IB dan IIA dapat diterapi dengan pembedahan
(trakelektomi radikal, limfadenektomi, histerektomi radikal dengan diseksi
nodus limfaktikus pelvis bilateral), pelvis radioterapi atau kemoradiasi.
13
Jika nodus limfatikus telah positif terkena metastase, histerektomi tidak
dianjurkan, tetapi pasien dapat melakukan kemoradiasi. Pasien dengan
stadium IB atau IIA dapat diberikan juga radioterapi pelvis dan brakiterapi
dengan atau tanpa pemberiankemoterapi berbasis cisplatin.
Rekomendasi penatalaksanaan untuk stadium lanjut
Stadium IIB, IIIA, IIIB dan IVA
Penatalaksaan yang dianjurkan untuk pasien dengan stadium lanjut adalah
dengan memberikan kemoradiasi dan brakiterapi secara bersamaan.
Rekomendasi penatalaksanaan untuk metastate
Stadium IVB
Pasien dengan metastase diterapi dengan kemoterapi berbasis cisplatin.
Radioterapi juga dianjurkan untuk mengontrol penyakit di pelvis dan
gejala lainnya (Broadman, 2010).
2.2 Daun Sirih (Piperbetle Linn)
Tumbuhan daun sirih merupakan tumbuhan merambat yang tumbuh
bersandar pada batang pohon lain sebagai induk. Panjang tanaman sirih ini dapat
mencapai 15 meter. Daunnya pipih menyerupai jantung berujung runcing,
permukaan daun berwarna hijau dan licin tumbuh berselang seling bertangkai
agak panjang, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau kecoklatan dan
permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut, berbentuk bulat, beruas dan
merupakan tempat keluarnya akar (Baitul herbal, 2010).
2.2.1 Taksonomi Sirih
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
14
Genus : Piper
Spesies : Piper betle Linn
2.2.3 Kandungan dan khasiat Daun Sirih
Menurut hasil penelitian uji fitokimia, daun sirih didapatkan memiliki
senyawa penting seperti alkaloid, flavonoid, steroid, beta karoten, dan fenol
beserta turunannya. Senyawa penting ini memiliki peran dalam aktivitas
antioksidan ekstrak daun sirih, terutama beta karoten dan turunan fenol, yaitu
Hidoxychavichol (HC) dan Euginol (EU) (Arya Srisadono, 2008; Pin et al.,2010).
2.3 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia berupa atom molekul yang
memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya. Atom terdiri atas
nukleus, proton, dan elektron. Jumlah proton dalam nukleus menentukan jumlah
dari elektron yang mengelilingi suatu atom. Elektron ini berperan dalam dalam
reaksi kimia dan merupakan bahan yang menggabungkan atom-atom untuk
membentuk suatu molekul. Elektron akan mengelilingi atau mengorbit suatu atom
dalam satu atau lebih lapisan. Suatu bahan dengan lapisan luar penuh elektron
tidak akan terjadi reaksi kimia. Karena atom-atom berusaha untuk mencapai
keadaan stabilitas maksimum, sebuah atom akan mencoba melengkapi lapisan
luar dengan 2 cara, dengan menambah atau mengurangi elektron untuk mengisi
maupun mengosongkan lapisan luarnya, membagi elektron–elektronnya dengan
cara bergabung bersama atom yang lain dalam rangka melengkapi lapisan luarnya.
Radikal bebas sangat reaktif sehingga memiliki spesifitas kimia yang
rendah dan dapat bereaksi dengan molekul –molekul lain seperti protein lemak,
karbohidrat, dan DNA. Radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli
dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya untuk
mendapatkan stabilitas kimia. Radikal bebas akan menyerang molekul stabil yang
terdekat dan mengambil elektron, zat yang terambil elektronnya akan menjadi
15
radikal bebas juga sehingga akan terjadi reaksi berantai dan mengakibat kerusakan
sel.
Radikal bebas dapat terbentuk secara in vivo dan in vitro melalui
kehilangan satu elektron dari molekul normal, penambahan elektron pada molekul
normal dan pemecahan satu molekul normal secara homolitik menjadi dua. Reaksi
yang terakhir jarang terjadi pada sistem biologi karena memerlukan tenaga yang
tinggi dari sinar ultraviolet, panas dan radiasi ion.
Radikal babas yang penting dalam tubuh adalah radikal bebas derivat
oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ ROS),
termasuk di dalamnya triplet (3O2), tunggal (O2), anion superoksida (O2-), radikal
hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO-), peroksinitirit (ONOO-), asam hipoklorid
(HOCl) , radikal alkoksil (LO-) dan radikal peroksil (LO2-).
Radikal bebas di tubuh manusia berasal dari endogen dan eksogen.
Sumber endogen didapat dari otoksidasi, oksidasi enzimatik, respiratory burst.
Otoksidasi merupakan produk dari proses metabolism aerobik. Molekul yang
mengalami otoksidasi berasal dari katekolamin, hemoglobin, myoglobin, sitokrom
C yang tereduksi, dan thiol. Otoksidasi dari molekul diatas menghasiklan reduksi
dari oksigen diradikal dan pembentukan kelompok reaktif oksigen. Oksidasi
enzimatik dalah beberapa jenis sistem enzim yang mampu menghasilkan radikal
bebas dalam jumlah yang cukup bermakna, meliputi xanthine oxidase,
prostaglandin synthetase, lipoxygenase, aldehydeoxidase, dan aminoacid oxidase.
Repiratory brust merupakan proses dimana sel fagositik menggunakkan oksigen
dalam jumlah yang besat selama fagositosis.
Oxidative stress adalah keadaan yang mana tingkat oksigen reaktif
intermediate (ROI) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen.
Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas, yang akan bereaksi dengan
asam lemak, protein, asam nukleat selular, sehingga terjadi kerusakan lokal dan
disfungsi organ tertentu. Lemak merupakan biomolekul yang rentan terhadap
serangan radikal bebas. Membran sel kaya akan sumber Poly Unsaturated Fatty
Acid (PUFA), yang mudah dirusak oleh bahan pengoksidasi, proses ini dinamakan
peroksidasi lemak. Protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal bebas
16
daripada PUFA. Serangan radikal bebas terhadap protein sangat jarang kecuali
bila sangat ekstensif. Kerusakan pada DNA kemungkinannya kecil, biasanya
kerusakan terjadi bila ada lesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi,
dan terjadi sebelum replikasi sehingga terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat
menyerangDNA jika terbentuk di sekitar DNA (Arief Sjamsul, 2008).
2.4 Karsinogenesis
Bila sel normal terpajan pada agen-agen perusak DNA seperti kimia,
radiasi, dan virus, terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu sel dapat
memperbaiki dirinya dan kembali lagi menjadi sel normal, atau sel mengalami
kegagalan dalam memperbaiki DNA yang rusak tersebut. Kegagalan dalam
memperbaiki DNA yang rusak dapat disebabkan oleh adanya mutasi pada gen
yang mempengaruhi perbaikan DNA dan gen yang mempengaruhi pertumbuhan
dan apoptosis dari sel. Kerusakan DNA yang permanen ini mengakibatkan
terjadinya mutasi dari genom sel tubuh.
Mutasi dari genom sel tubuh akan mengakibatkan aktivasi dari onkogen
pencetus pertumbuhan, inaktivasi dari gen penekan tumor, serta adanya
penggantian gen yang mengatur terjadinya apoptosis. Aktivasi dari onkogen
pencetus pertumbuhan dan inaktivasi gen penekan tumor akan mengakibatkan
proliferasi sel yang tidak dapat dikendalikan, sedangkan perubahan gen yang
mengatur apoptosis akan menurunkan angka apoptosis dari sel. Kedua mekanisme
ini akan berakibat pada ekspansi klonal.
Ekspansi klonal didukung oleh angiogenesis, kemampuan untuk tidak
dikenali oleh sistem imun tubuh serta mutasi tambahan akan meningkatkan
progresivitas tumor. Keadaan tersebut mengakibatkan tumor berubah menjadi
suatu keganasan yang invasif dan dapat bermetastate (Stricker and Kumar , 2010)
17
2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek
berbahaya radikal bebas oksigen reaktif, yang dapat berasal dari metabolisme
tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Antioksidan secara nyata dapat
memperlambat atau menghambat oksidasi dari zat yang mudah teroksidasi
meskipun dengan konsentrasi yang rendah. Penggunaan senyawa antioksidan
sebagai anti radikal bebas saat ini meluas seiring dengan semakin besarnya
pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung, arteriosklerosis, kanker, serta gejala penuaan.
Fungsi utama antioksidan adalah untuk memperkecil terjadinya proses
oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam
makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan,
meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah
hilangnya kualitas rasa dan nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor
yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan
pengolahan makanan. Manusia menghasilkan antioksidan dalam tubuhnya untuk
menjaga kesehatan setiap hari dalam jumlah yang terbatas sehingga tidak cukup
untuk mengikat radikal bebas yang dihasilkan sehingga membutuhkan asupan
antioksidan dari luar. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi
kunci utama pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang
dihasilkan.
Tumbuh-tumbuhan memproduksi metabolit sekunder seperti senyawa
fenolik (asam fenolik, flavonoid, kuinin dan koumarins), nitrogen (alkaloid dan
amina) vitamin dan terpenoid yang merupakan sumber antioksidan (Singh, 2004)
Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim
meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase
(GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan
enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten
dan asam askorbat (vitamin C) yang banyak didapatkan dari tanaman dan hewan .
Sebagai antioksidan, betakaroten adalah sumber utama vitamin A yang
18
sebagian besar terdapat pada tumbuhan. Betakaroten melindungi buah-buahan dan
sayuran berwarna kuning atau hijau gelap dari bahaya radiasi matahari dan
berperan serupa dalam tubuh manusia. Betakaroten terkandung dalam wortel,
brokoli, kentang dan tomat. Senyawa lain yang memiliki sebagai antioksidan
adalah flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada teh,
buah-buahan, sayuran, anggur, bir dan kecap.
Kekurangan salah satu komponen antioksidan akan menyebabkan
terjadinya penurunan status antioksidan secara menyeluruh dan berakibat
perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas melemah, sehingga terjadilah
berbagai macam penyakit (Ilham Kunchayo, 2007).
2.6 Antikanker
2.6.1 Sitotoksik
Uji sitotoksik adalah suatu evaluasi praklinik dari perkembangan obat baru
yang digunakan untuk membuktikan aktivitas antineoplastik yang dilakukan
secara in vitro maupun in vivo. Uji sitotoksisitas in vitro dapat dilakukan sebagai
penapisan awal untuk mengetahui kandungan senyawa yang bersifat sitotoksik.
Kegunaan dari uji sitotoksisitas antara lain untuk mengetahui senyawa yang aktif
dan mekanisme kerja efek toksik dari suatu senyawa tertentu serta mengetahui
kisaran dosis dan senyawa apa saja yang memiliki efek sitotoksik. Untuk menguji
efek sitotoksik secara in vitro digunakan kultur sel, sedangkan untuk menguji
sitotoksitas secara in vivo digunakan metode tumor hewan.
Respons sel terhadap senyawa sitotoksik sangat dipengaruhi oleh
kerapatan sel. Penilaian respons tersebut dilihat dari banyaknya jumlah sel yang
mengalami kematian baik sel normal maupun sel kanker. Parameter yang
digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel yang mengalami kematian ialah
gangguan sintesis, kerusakan dari membran, degradasi makromolekul, perubahan
morfologi sel, dan modifikasi kapasitas metabolisme. Perubahan yang dapat
dilihat dari mikroskop elektron merupakan perubahan morfologi dari sel,
19
sedangkan kerusakan membran dapat dilihat dari perhitungan sel, dengan
menghitung banyaknya protein yang berlabel 13C yang dilepaskan sel yang lisis
atau kemampuan menyerap bahan pewarna seperti biru trypan (Freshney, 2000).
Parameter lain yang digunakan untuk menilai viabilitas sel adalah MTS (3-
(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-5-(3-carboxymethoxyphenyl)-2-(4-sulfophenyl)-2H-
tetrazolium) assay. Pada MTS assay sel hidup akan mereduksi MTS menjadi
formazan yang berwarna ungu dengan enzim dehydrogenase. Enzim
dehidrogenase didapatkan pada sel hidup, sedangkan pada sel mati tidak punya
enzim ini sehingga MTS tidak dapat diubah menjadi formazan (Kuang et al,
2004).
2.6.2 Induksi Apoptosis
Apoptosis merupakan proses fisiologis yang aktif mengakibatkan
penghancuran diri sel-sel yang tidak diinginkan yang tidak didapatkan pada sel
kanker. Apoptosis ditandai dengan perubahan morfologi yang berbeda, termasuk
penyusutan sel, kondensasi kromatin, fragmentasi DNA, dan pembentukan badan-
badan apoptosis (Shetter, 2009).
Berbeda dengan sel tubuh normal, se-sel kanker mengakibatkan aktivasi
dari onkogen pencetus pertumbuhan dan inaktivasi dari gen penekan pertumbuhan
tumor.
Ada dua jalur untuk mengaktifkan apoptosis, yaitu jalur ekstrinsik dan
jalur intrinsik. Suatu sel akan memasuki apoptosis jalur ekstrinsik bila ada sinyal
yang melalui reseptor kematian CD95/Fas. Ketika CD95/Fas berikatan dengan
ligannya, maka terjadilah trimerisasi dari reseptor dan sitoplasma area kematian
yang berinteraksi dengan protein adaptor FADD. Protein FADD ini akan merekrut
procaspase 8 untuk membentuk induksi sinyal kematian yang kompleks.
Kemudian procapsase 8 ini akan diaktifkan menjadi Caspase 8 untuk
mengaktivasi caspase downstream, seperti caspase 3 yang merupakan caspase
pengeksekusi dan substrat lain yang menyebabkan kematian sel. Selain itu caspase
8 juga ternyata dapat mengaktifkan BH-3 yang dapat mengaktivasi jalur intrinsik.
20
Sedangkan jalur intrinsik akan aktif jika distimulasi oleh stres dan jejas.
Aktivasi jalur ini akan mengakibatkan peningkatan permeabelitas membran
mitokondria terluar sehingga sitokrom c yang menginisiasi apoptosis dihasilkan.
Keluarga protein BCL-2 akan meregulasi integritas membran luar mitokondria
dengan cara proapoptosis dan antiapoptosis. Protein BAX dan BAK dibutuhkan
untuk peristiwa proapoptosis karena secara langsung mempromosikan
permeabilitas dari mitokondria, sedangkan protein penghambatnya adalah BCL2
dan BCL-XL. Sejumlahh protein BAD, BID, dan PUMA akan meregulasi
keseimbangan antara pro dan antiapoptosis.
BAX dan BAK akan diaktifkan dan membentuk lubang di membran
mitokondria. Sitokrom c masuk ke sitosol dan berikatan dengan APAF1 dan
mengaktifkan caspase 9. Seperti caspase 8, caspase 9 pun dapat mengaktifkan
caspase pengeksekusi (caspase 3) yang dapat mengaktifkan substrat kematian dan
terjadilah apoptosis (Sticker and Kumar, 2010).
2.7 Flow cytometry
Flow cytometry adalah alat yang dapat memberi informasi gambaran sel
atau partikel yang jatuh di depan sumber cahaya dan kemudian mendeteksi sinyal
yang datang dari sel tersebut sebagai hasilnya. Alat flow cytometry ini seperti
mikroskop tetapi memiliki tabung kapiler sehingga sel dapat lewat dan
diidentifikasi satu persatu oleh fotodetektor.
Kegunaan dari alat ini adalah untuk menghitung partikel atau sel, dengan
cara membiarkan objek tersebut mengalir melalui tabung kapiler satu persatu.
Dalam flow cytometry ini , ada yang disebut dengan istilah “event”, “event”
adalah indikasi tentang apapun yang diinterpretasikan oleh alat flow cytometry
tersebut sebagai satu partikel tunggal.
Flow cytometry adalah teknik untuk menganalisis partikel tunggal dengan
terlebih dahulu membuat suspensi dari sel atau partikel yang akan diidentifikasi.
Dalam sejarah, partikel yang dianalisis oleh flow cytometry adalah sel darah,
karena merupakan sel tunggal dan tidak membutuhkan manipulasi. Selain itu
21
kultur sel dan cell lines juga dapat digunakan, walaupun merupakan sel yang
saling menempel satu sama lain dan membutuhkan perlakuan untuk memindahkan
sel–sel tersebut dari permukaan dimana sel itu tumbuh. Selain untuk
mengidentifikasi sel, flow cytometry pun dapat mengidentifikasi partikel yang
bukan merupakan sel sama sekali, contohnya (virus, nukleus, kromosom, dan
fragmen DNA). Bila sel yang akan diidentifikasi bukan merupakan partikel
tunggal dapat diberikan aktivitas mekanik atau pencernaan dengan enzim,
sehingga sel tersebut dapat diidentifikasi oleh flow cytometry.
Penggunaan alat flow cytometry ini sangat menguntungkan karena dapat
menghitung sel dengan kecepatan 500 hingga lebih dari 5000 sel per detik. Selain
itu juga karakteristik individual dari setiap sel yang dihitung dapat diketahui
jumlahnya, hubungan antar satu sel dengan sel yang lain dan simpulan. Namun
kekurangan dari alat ini jika yang diidentifikasi adalah bukan partikel tunggal,
maka dibutuhkan pemisahan, dan apabila yang dipisahkan adalah jaringan maka
karakteristik dari sel individual dapat berubah dan semua informasi tentang
arsitektur jaringan dan distribusi sel akan hilang.
Sel yang akan diidentifikasi tidak boleh terlalu kecil dan tidak boleh
terlalu besar, diameternya harus diantara approx 1 m dan approx. 30 m. sebab
flow cytometry tidak akan sensitif untuk mendeteksi sinyal dari partikel yang
terlalu kecil, dan akan rusak bila dilewati partikel yang terlalu besar. Partikel yang
akan dianalisis oleh flow cytometry harus berupa suspensi dalam buffer dengan
kosentrasi antara 5x 105 sampai 5 x106 /mL.Dengan kisaran konsentrasi suspensi
tersebut diharapkan partikel akan mengaliri melalui cytometre satu per satu.
Partikel akan memantulkan cahaya dan pantulan cahaya ini dapat
dideteksi. Beberapa pancaran cahaya bukan berasal dari pantulan tetapi partikel
yang ada dapat berfluoresensi. Partikel yang tidak dapat berfluoresensi dapat
diwarnai dengan perwarna fluoresen selama persiapan sehingga bahan yang tidak
berflouresen dapat terdeteksi oleh cytometre. Pewarna Fluoresen adalah pewarna
yang dapat mengabsorpsi cahaya dengan beberapa warna spesifik dan
memancarkan cahaya dengan warna yang berbeda. Pewarna fluoresen mungkin
berkonjugasi dengan antibodi, dalam kasus ini yang terdeteksi adalah jumlah
22
protein atau antigen yang diikat oleh antibodi. Beberapa molekul fluorochrome
conjugate dapat digunakan untuk mengidentifikasi apoptosis. Pewarna dapat
berfluoresensi ketika terikat dengan komponen selular. Pewarnaan dengan DNA
dengan menggunakan fluorochrome sensitif sehingga dapat digunakan untuk
melihat pembelahan pada sel normal dan sel keganasan serta mempelajari proposi
sel pada setiap tahap siklus. Pewarna yang digunakan harus sesuai dengan
cytometre, sehingga dibutuhkan panjang gelombang spesifik dari filter didepan
alat fotodetektor, dan pengetahuan tentang absorpsi dan karakteristik pancaran
yang dihasilkan (Hawley,2004).
Salah satu aplikasi dari penggunaan flow cytometry yaitu menilai siklus sel
dari content DNA. Analisis dari flow cytomety berdasarkan kemampuan DNA sel
unuk menyerap zat warna, dimana jumlah zat warna yang terikat pada DNA sel
memiliki proposi yang setara dengan jumlah DNA pada sel tersebut. Ada berbagai
zat warna yang dapat digunakan, salah satunya adalah dengan Propidium Iodida
(PI). Kerja dari PI adalah berinterkalasi diantara pasang basa untai DNA dan RNA
rantai ganda.
Hasil dari flow cytometry akan menggambarkan distribusi populasi sel
berdasarkan content DNA. Hasil dari flow cytometry ini dibagi menjadi empat
daerah sesuai dengan siklus sel, yaitu daerah sub G0/G1, daerah G0/G1, daerah
sintesisn (S) dan daerah G2/mitosis (M). Daerah G0 diasumsikan sama dengan G1
karena pada baik pada daerah G0 maupun daerah G1 memiliki content DNA yang
sama yaitu 2n (diploid). Daerah G2 dan daerah M juga diasumsikan sama, karena
content DNA pada kedua daerah tersebut samam yaitu 4n (tetraploid). Dareah sub
G0/G1 berisikan populais sel dengan content DNA kurang dari 2n. Daerah S
berisikan populasi sel dengan content DNA antara 2n dan 4n.
Penilain induksi apoptosis dapat dinilai dari banyaknya populasi sel pada
daerah sub G0/G1. Proses induksi apoptosis akan diakhiri dengan fragmentasi
DNA dan pengerutan sel, sehingga sel yang mati akibat proses induksi apoptosis,
content DNA akan kurang dari 2n dan dapat terlihat pada derah sub G0/G1.
Berbeda dengan sel yang mati akibat sitotoksik, dimana proses akhirnya adalah
sel lisis dan DNA nya keluar dari sel, makan sel yang lisis dan DNA sel akan
23
terlihat sebagai debris sel. Debris sel ini akan membentuk suatu daerah baru di
sebelah kiri dari daerah sub G0/G1(Rabinovicth, 2010).
2.8 Sel HeLa
Sel HeLa adalalah kultur sel dari kanker serviks epidermoid manusia,
yang pertama kali ada. Pada 9 Februari 1951, Lawrence Wharton Jr., seorang
dokter bedah, memindahkan jaringan dari pasien Henrietta Lacks, seorang wanita
Afrika Amerika berusia 31 tahun yang berasal dari Baltimore, di Women’s Clinic
of the Johns Hopkins Hospital. Sel dari kanker serviks ini diperiksa tingkat
keganasannya. Pasien itu meninggal 8 bulan kemudian akibat penyakit tersebut.
Bagian sel yang dibiopsi dikirim ke George Gey, kepala laboratorium
kultur sel di John Hopkins Hospital. Sel itu dibudidayakan dan disebar melalui
metode kultur sel untuk digunakan pada penelitian.
Sel HeLa dikembangkan di dalam suatu wadah atau botol, merupakan
kumpulan sel yang saling menyokong satu sama lain sehingga menempel pada
bagian bawah tempat tumbuhnya. Sel HeLa juga dapat tumbuh dalam suspensi.
Saat terbaik untuk memindahkan sel HeLa adalah ketika sel itu dalam keadaan
70–80 % tersebar merata pada tempat hidupnya (konfluens). Sel HeLa maksimal
digunakan setelah 20 passage. Untuk media pertumbuhannya digunakan DMEM
dan RPMI 1640. Waktu sel HeLa membelah diri adalah 23 -24 jam (Capes, 2010).
Bab III
24
Bahan dan Metode Penelitian
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat yang Digunakan :
1. maserator
2. rotary vacuum evaporator
3. flacon
4. oven
5. wheel micro plate 96
6. timbangan analitik
7. mikropipet
8. spektrofotometer
9. beaker glass
10. botol kaca steril
11. thermometer
12. tabung eppendorf
13. tabung vial 15 dan 50 ml
14. corong
15. labu ukur
16. architect ci 8200
17. autoklaf
18. inkubator CO2
19. laminar air flow
20. yellow dan Blue Tips
21. hemositometer
22. inverted microscope
23. kamera digital
24. alat sentrifugasi
25
25. mikroskop cahaya
26. tissue culture flask
27. pipet Pasteur
28. flowcytometre
29. ELISA reader
3.1.2 Bahan:
1. daun sirih (Piper betle Linn)
2. etanol teknis 96%
3. akuades
4. 1,1-diphenyl 1-2-pycrylhydrazil (DPPH) (Sigma)
5. methanol HPLC grade (Merck)
6. medium sel: RPMI 1640, fetal bovine serum 70%, fungizone, penstrep
( penisilin streptomisin), tripsin 0.25%
7. larutan antiseptik : etanol 70%, spiritus
8. larutan trypan blue
9. EGCG
10. doksorubisin
3.2 Pemilihan Tanaman
Daun sirih yang digunakan untuk penelitian diperoleh dari kebun daerah
Bogor.
3.3 Persiapan Alat
Sebelum melakukan penelitian ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan
misalnya sterilisasi alat.
3.3.1 Sterilisasi Alat
26
Alat–alat gelas yang digunakan dalam keadaan telah dicuci bersih dan
dikeringkan dalam oven. Alat–alat yang sudah kering tadi dibungkus dengan
kertas saring kemudian diautoklaf 20 menit pada suhu 121 oC dengan tekanan 15
lb.
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Desain Penelitian
Eksperimental laboratorium
3.4.2 Variabel Penelititan
Variabel terkendali
Daun sirih diambil dari lokasi yang sama
Variabel Perlakuan
o Ektrak etanol daun sirih dengan berbagai dosis
o Doksorubisin degan berbagai dosis sebagai kontrol positif (+)
o Medium dengan kultur sel HeLa sebagai kontrol negatif
o EGCG dengan berbagai dosis sebagai kontrol positif (+)
Variabel respons
o Untuk uji aktifitas antioksidan dalam parameter pemerangkapan DPPH
dilihat nilai absorbansi sampel
o Untuk uji sitotoksik dihitung jumlah sel yang hidup dihitung setelah
perlakuan selama 24 jam
o Untuk uji induksi apoptosis dilihat grafik hasil flowcytometer
27
3.4.3 Cara kerja
Uji aktivitas pemerangkapan DPPH
200 µL DPPH 0,0077 mmol dalam methanol ditambahkan dengan 50
µL sampel (pada microplate).
Campuran tersebut diinkubasi pada suhu kamar selama 15 menit
Nilai absorbansinya diukur pada panjang gelombang 517 nm dengan
menggunakan microplate reader.
Untuk kontrol negatif digunakan DPPH sebanyak 250 µL, sedangkan
untuk blanko digunakan methanol absolut sebanya 250 µL.
Aktivitas antioksidan metode DPPH (%):
1- absorbansi sampel /absorbansi kontrol negatif x 100
Uji sitotoksiksitas
Preparasi sel HeLa (24 jam sebelum perlakuan)
1. Sel HeLa dikeluarkan dari tanki nitrogen cair (-196˚C), kemudian
dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah diisi air suhu 370C,
dipindahkan ke tissue culture flask steril yang berisi medium DMEM, 20%
FBS dan penstrep.
2. Kultur sel diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 24 jam. Sel
ditumbuhkan hingga confluent, medium lama dibuang.
3. Kultur dicuci dengan menambahkan 0,5 mL PBS, ditambah media
DMEM (DMEM, 10% FBS dan penstrep) 1 mL
4. Masing-masing well ditambah 1µL DMSO, doxorubicine, dan ekstrak
5. Sel diinkubasikan dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 24 jam
6. Setiap well ditambah MTS sebanyak 20 µL, diinkubasi pada 370C selama
4 jam
7. Dibaca pada panjang gelombang 515 nm
8. Kematian sel dihitung berdasarkan absorbansi sel dengan membuat kurva
standar.
28
Uji induksi apoptosis
1. Sel dicuci dengan cara membuang media, ditambah PBS sebanyak 5
mL, kemudian PBS dibuang dan selanjutnya ditambah tripsin 3 mL.
Sel diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 5 menit, well
digoyang-goyang agar sel terlepas kemudian sel ditambah 9 mL
DMEM dan FBS, sel displit pada plate 12 well.
2. Sel yang sudah diberi perlakuan (doksorubisin, DMSO, dan ekstrak)
pada plate diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 24 jam.
3. Supernatan diambil kemudian disentrifugasi, well ditambah PBS 150
µL kemudian PBS dimasukkan ke tabung FACS. Supernatan yang
telah disetrifugasi di buang. Setiap well ditambah 150 µL tripsin,
kemudian diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 5 menit
agar sel terlepas.
4. Well ditambah 500 µL media, kemudian dipindahkan pada FACS dan
disentrifugasi selama 5 menit dan supernatan dibuang.
5. Pellet pada tabung FACS dicuci dengan alkohol 70% sebanyak 500
µL, tabung digoyang-goyang, kemdian tabung dimasukkan ke
refrigerator 40C selama 15 menit, selanjutnya etanol 70% dibuang
6. Sel ditambah PBS 450 µL dan 50 µL PI, tabung FACS disimpan pada
ruang gelap selama 10 menit kemudian dibaca siklus sel menggunakan
flow cytometer.
3.5Analisis Data
Analisis data untuk uji statistik aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH
digunakan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan Post Hoc test
metode Tukey. Untuk analisis data uji sitotoksik melalui perhitungan IC50
digunakan persamaan regresi linier. Untuk analisis data induksi apoptosis
dilakukan pengamatan grafik rerata persentase jumlah sel pada daerah sub
G0/G1.
29
3.5.1 Hipotesis statistik
H0: tidak terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang
bermakna antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan
H1: terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang
bermakna antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan
3.5.2 Kriteria uji
Diterima atau tidaknya H0 atau H1 ditentukan berdasarkan kriteria uji
sebagai berikut
Jika F hitung > F tabel atau p < maka H0 ditolak, terima hal lainnya.
Jika F hitung < F tabel atau p > H0 gagal ditolak.
30
Bab IV
Hasil dan Pembahasan
4.1. Uji Aktivitas Antioksidan Pemerangkap DPPH pada Ekstrak Etanol
Daun Sirih
Aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH pada berbagai konsentrasi ekstrak
etanol daun sirih dibandingkan dengan EGCG sebagai pembanding (Lampiran 1).
Konsentrasi ekstrak yang dibandingkan adalah 100μg/mL, 50 μg/mL, 25μg/mL,
12,5μg/mL, 6,25μg/mL, 3,125μg/mL, 1,563 μg/mL, 0,781 μg/mL, 0,391 μg/mL,
0,195 μg/mL. Dilakukan uji statistik one way ANOVA dan dilanjutkan dengan
Post Hoc test.
4.1.1 Perbandingan Uji Aktivitas Antioksidan Pemerangkap DPPH pada
Ekstrak Etanol Daun Sirih dan EGCG
Dari hasil Uji ANAVA didapatkan F hitung > F tabel, dengan p < 0.05;
berarti antar kelompok perlakuan ada perbedaan aktivitas antioksidan
pemerangkap DPPH yang sangat bermakna (p = 0.000). Untuk mengetahui
kelompok perlakuan mana yang memiliki aktivitas antioksidan pemerangkap
DPPH yang bermakna, dilakukan uji Post Hoc test dengan metode Tukey.
Tabel 4.1.1 Hasil uji beda rerata dengan metode Tukey aktivitas antioksidan
pemerangkap DPPH terhadap ektstrak etanol daun sirih (EEDS) dan EGCG
EGCG
1
91,645
EGCG
2
91,343
EGCG
3
91,395
EGCG
4
90,150
EGCG
5
90,824
EGCG
6
89,632
EGCG
7
91,286
EGCG
8
59,461
EGCG
9
45,932
EGCG
10
40,64
3
EEDS 1
89,091 tb * * * * * tb ** ** **
31
EEDS 2
87,818 tb tb tb tb tb tb tb ** ** **
EEDS 3
86,091 tb tb tb tb tb tb * ** ** **
EEDS 4
81,727 tb tb tb * tb tb tb ** ** **
EEDS 5
59,818 ** ** ** ** ** ** ** Tb ** **
EEDS 6
48,091 ** ** ** ** ** ** ** ** Tb *
EEDS 7
30,546 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
EEDS 8
22,364 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
EEDS 9
19,455 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
EEDS
10
16,091 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
Keterangan:
EEDS 1 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL
EEDS 2 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL
EEDS 3 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25 μg/mL
EEDS 4 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 12,5 μg/mL
EEDS 5 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 6,25 μg/mL
EEDS 6 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 3,175 μg/mL
EEDS 7 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 1,563 μg/mL
EEDS 8 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,781 μg/mL
EEDS 9 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,391 μg/mL
EEDS10 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,195 μg/mL
EGCG 1 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL
EGCG 2 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL
EGCG 3 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25 μg/mL
32
EGCG 4 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 12,5μg/mL
EGCG 5 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 6,25 μg/mL
EGCG 6 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 3,75 μg/mL
EGCG 7 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 1,563 μg/mL
EGCG 8 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,781 μg/mL
EGCG 9 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,391μg/mL
EGCG 10 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,195 μg/mL
Tb : tidak bermakna
* : bermakna
** : sangat bermakna
Pada uji Tukey pada masing-masing kelompok perlakuan didapatkan
bahwa ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 100 μg/mL, ekstrak etanol daun sirih
konsetrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 25 μg/mL
didapatkan nilai p>0,05 atau tidak ada perbedaan yang bermakna antar kelompok
perlakuan dengan nilai p=0,999; p=0,925; dan p=0,368. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 100 μg/mL, ekstrak etanol
daun sirih konsetrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 25 μg/mL
memiliki aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH yang setara dengan
pembanding EGCG konsentrasi yang sama.
Tabel 4.1.3
Hasil uji beda rata-rata dengan metode Tukey aktivitas antioksidan
pemerangkap DPPH terhadap ektstrak etanol daun sirih (EEDS) berbagai
konsentrasi
EEDS
1 EEDS 2 EEDS 3 EEDS 4 EEDS 5 EEDS 6 EEDS 7 EEDS 8 EEDS 9 EEDS 10
EEDS 1 tb tb * ** ** ** ** ** **
EEDS 2 tb tb ** ** ** ** ** **
EEDS 3 tb ** ** ** ** ** **
EEDS 4 ** ** ** ** ** **
EEDS 5 ** ** ** ** **
33
EGCG 6 ** ** ** **
EEDS 7 * * ** **
EEDS 8 tb tb
EEDS 9 tb
EEDS 10
Keterangan:
EEDS 1 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL
EEDS 2 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL
EEDS 3 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25 μg/mL
EEDS 4 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 12,5 μg/mL
EEDS 5 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 6,25 μg/mL
EEDS 6 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 3,175 μg/mL
EEDS 7 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 1,563 μg/mL
EEDS 8 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,781 μg/mL
EEDS 9 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,391 μg/mL
EEDS10 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,195 μg/mL
Tb : tidak bermakna
* : bermakna
** : sangat bermakna
Pada uji Tukey ekstrak etanol daun sirih antar konsentrasi didapatkan
bahwa ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL jika dibandingkan dengan
ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih
konsentrasi 25 μg/mL tidak didapatkan perbedaan bermakna dimana p=1,000 dan
p=0,982. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak
etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL jika dibandingkan dengan ekstrak etanol
daun sirih konsentrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25
μg/mL setara, dan aktivitas tertinggi didapatkan pada ekstrak etanol daun sirih
konsentrasi 100 μg/mL.
34
Grafik 4.1 Perbandingan rerata aktivitas antioksidan pemerangkap DPPh
ekstrak etanol daun sirih dengan EGCG
4.2. Hasil Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol Daun Sirih terhadap Kultur Sel
HeLa
Untuk menilai IC50 ekstrak etanol daun sirih harus dibuat kurva standar
berupa regresi linier (Lampiran 2) sebagai tolak ukur jumlah sel yang hidup dari
absorbansi sampel yang telah diukur menggunakan ELISA reader. Sel Hela yang
tidak diberi perlakuan apapun dan sel HeLa yang diberi ekstrak etanol daun sirih
berbagai konsentrasi diukur absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader
dan dihitung jumlah sel yang hidup dengan menggunakkan persamaan regresi
linier dari kurva strandar. Sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun persentase
sel hidupnya dianggap 100 %, sedangkan untuk menghitung persentase sel HeLa
yang diberi ekstrak etanol daun sirih digunakkan perbandingan. Dari hasil
persentasi sel HeLa yang hidup dibuat persamaan regresi linier yang
membandingkan persentase sel hidup dan konsetrasi ekstrak etanol daun sirih.
Hasil pengujian sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih ditentukan dengan
menghitung nilai IC50 yaitu kemampuan untuk membunuh 50% populasi sel
HeLa. Pengujian sitotoksik ekstrak etanol daun sirih dilakukan dengan tiga kali
35
pengulangan. Hasil nilai IC50 pada sel HeLa dihitung menggunakan persamaan
regresi linier (gambar 4.2.1, gambar 4.2.2, gambar 4.2.3).
0 200 400 600 800 1000 12000
20
40
60
80
100
120
f(x) = − 0.0757899014528091 x + 98.6945037082191R² = 0.773531585979657
Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun sirih I
Konsentrasi
% s
el h
idu
p
Gambar 4.2.1 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun
Sirih Dengan Persentase sel HeLa yang Hidup (I)
Nilai IC50 Ekstrak Etanol Daun Sirih (I) dapat dihitung dengan:
y = bx +a
Keterangan
y = variabel yang dipengaruhi (% sel hidup)
x = variabel yang mempengaruhi (konsentrasi)
a = intersep / perpotongan dengan sumbu y
b = slope / gradient / kemiringan
Perhitungan
y = -0.0758x + 98.695
50 = -0.0758x +98.695
x = 98.695−50
0.0758
x = 642.414 µg/mL
36
0 200 400 600 800 1000 12000
20
40
60
80
100
120
f(x) = − 0.0693368066862043 x + 108.156952132856R² = 0.948272413193076
Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Sirih II
Konsentrasi
% s
el h
idu
p
Gambar 4.2.2 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun
Sirih Dengan Persentase sel HeLa yang Hidup (II)
Nilai IC50 Ekstrak Etanol Daun Sirih (II) dapat dihitung dengan:
y = bx +a
Keterangan
y = variabel yang dipengaruhi (% sel hidup)
x = variabel yang mempengaruhi (konsentrasi)
a = intersep / perpotongan dengan sumbu y
b = slope / gradient / kemiringan
Perhitungan
y = -0.0693x + 108.16
50 = -0.0693x +108.16
x = 108.16−50
0.0693
x = 839.249 µg/mL
37
0 200 400 600 800 1000 12000
20
40
60
80
100
120
f(x) = − 0.0474512826158757 x + 95.8411317846525R² = 0.732333418698179
Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Sirih III
Konsentrasi
% s
el h
idu
p
Gambar 4.2.3 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun
Sirih Dengan Persentase sel HeLa yang Hidup (III)
Nilai IC50 Ekstrak Etanol Daun Sirih (III) dapat dihitung dengan:
y = bx +a
Keterangan
y = variabel yang dipengaruhi (% sel hidup)
x = variabel yang mempengaruhi (konsentrasi)
a = intersep / perpotongan dengan sumbu y
b = slope / gradient / kemiringan
Perhitungan
y = -0.0475x + 95.841
50 = -0.0475x +95.841
x = 95.841−50
0.0475
x = 965.073 µg/mL
Dari hasil perhitungan, ternyata diperoleh harga IC50 ekstrak etanol daun
sirih terhadap sel HeLa pada pengulangan I adalah 642,4 µg/mL pada
pengulangan II adalah 839,3 µg/mL, sedangkan pada pengulangan III adalah
965,1 µg/mL. Maka rerata IC50 ekstrak etanol daun sirih adalah 815,6 µg/mL
dengan simpangan deviasi sebesar 162,6 µg/mL. Hal ini menunjukkan ekstrak
38
etanol daun sirih dengan konsentrasi 815.6 162,6 µg/mL mampu menyebabkan
kematian dari 50 % populasi sel HeLa.
4.3. Hasil Uji Apoptosis Ekstrak Etanol Daun Sirih terhadap Kultur Sel
HeLa
Induksi apoptosis dari ekstrak etanol daun sirih dapat dilihat pada gambar
4.3.
Normal Doxorubisin Ekstrak Etanol0
5
10
15
20
25
30
35
40
Grafik Induksi Apoptosis
% p
opu
lasi
sel
yan
g m
enga
lam
i ap
opto
sis
Gambar 4.3 Grafik Rata-rata Induksi Apoptosis Ekstrak Etanol Daun Sirih
dan Doxorubisin terhadap Kultur Sel HeLa
Berdasarkan grafik rerata induksi apoptosis ekstrak etanol daun sirih dan
doxorubisin didapatkan bahwa pada konsentrasi 100 µg/mL ekstrak etanol daun
sirih induksi apoptosis terhadap sel HeLa didapatkan setara dengan kultur sel
HeLa yang tidak mendapat perlakuan apapun. Nilai induksi apoptosis tertinggi
terdapat pada sel HeLa yang diberi doxorubisin.
39
4.4 Pembahasan
Pada uji aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH digunakan pembanding
EGCG. Penggunaan EGCG sebagai pembanding karena EGCG merupakan
senyawa polifenol flavanoid yang berasal dari teh hijau dan telah diketahui
memiliki antioksidan yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 100 μg/mL, ekstrak etanol daun sirih
konsetrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 25 μg/mL memiliki
aktivitas antioksidan yang setara dengan EGCG. Sehingga ekstrak etanol daun
sirih dengan konsentrasi 100 μg/mL, 50 μg/mL, dan 25 μg/mL memiliki aktivitas
antioksidan tinggi. Dengan aktivitas antioksidan paling tinggi didapatkan dari
ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 µg/mL.
Aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun sirih setara dengan EGCG sesuai
dengan penelitian sebelumnya menurut KY Pin dan Nuri Andarwulan.
Kemungkinan aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun sirih karena ekstrak etanol
daun sirih mempunya kandungan fitokimia yang terdiri atas senyawa alkaloid,
flavonoid, steroid, karoten dan fenol beserta turunannya, yaitu
Hidroxychavicol (HC) dan Euginol (EU) (Nuri Andarwulan, 1996; Pin et al.,
2010).
Dalam menguji sitotoksik ekstrak etanol daun sirih terlebih dahulu dibuat
kurva standar untuk jumlah sel. Setelah diketahui kurva standarnya baru dapat
ditentukan persen sel hidup setelah diberi perlakuan, yaitu pemberian ekstrak
etanol daun sirih dengan konsentrasi 1000 µg/mL, 500 µg/mL, 250 µg/mL, dan
125 µg/mL serta kontrol berupa sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun.
Untuk kontrol diasumsikan bahwa sel yang hidup 100%.
Pada pemeriksaan uji sitotoksik ekstrak etanol daun sirih dilakukan tiga
kali pengulangan. Nilai IC50 yang didapatkan untuk pengulangan pertama adalah
642,4 µg/mL. Nilai IC50 yang didapatkan untuk pengulangan kedua adalah 839,3
µg/mL. Sedangkan nilai IC50 untuk pengulangan ketiga adalah 965,1µg/mL. Dari
ketiga data diatas didapatkan rata- rata IC50 adalah 815.6 162,6 µg/mL. Suatu
ekstrak dinyatakan memiliki aktivitas antikanker bila memiliki nilai IC50 kurang
40
dari 50 g/mL (Mans et al, 2000). Maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol
daun sirih memiliki efek aktivitas membunuh sel kanker sangat rendah sehingga
dapat dikatakan tidak memiliki aktivitas antikanker.
Pada sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun dan diinkubasi selama
24 jam, persentase populasi sel di daerah sub G0/G1 adalah 3,31%. Pada sel HeLa
yang diberi doxorubisin dan diinkubasi selama 24 jam didapatkan persentase
populasi sel di daerah sub G0/G1 adalah 34,885%. Dan pada sel HeLa yang diberi
ektrak etanol daun sirih dan diinkubasi selama 24 jam didapatkan persentase
populasi sel pada daerah G0/G1 adalah 4,23%. Dapat disimpulkan bahwa
doksorubisin memiliki aktivitas induksi apoptosis yang tinggi, dan ektrak etanol
daun sirih tidak memiliki aktivitas induksi apoptosis karena nilai induksi
apoptosisnya hampir setara dengan sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun.
Apoptosis adalah kematian sel yang telah terprogram. Dengan
menggunakan flow cytometry berbasis siklus sel dapat dilihat jumlah populasi sel
HeLa yang mengalami apoptosis. Akhir dari proses apoptosis suatu sel adalah
fragmentasi DNA. Fragmen DNA dapat dinilai dengan flowcytometry bila
diwarnai oleh zat fluoresence, dalam penelitian ini digunakan zat warna PI yaitu
zat pewarna yang dapat berinterkalasi diantata pasang basa untai DNA. Jumlah PI
berbanding lurus dengan jumlah pasang basa, sehingga semakin banyak pasang
basa dari DNA sel maka semakin kuat sinyal dari sel yang diterima oleh flow
cytometri, sinyal sel ini menggambarkan content DNA sel tersebut. Sehingga hasil
flow cytometri dibagi menjadi empat daerah berdasarkan content DNA masing-
masing sel, yaitu daerah sub G0/G1 dengan content DNA kurang dari 2n, daerah
G0/G1 dengan content DNA 2n, daerah sintesis (S) dengan content DNA lebih
dari 2n tetapi kurang dari 4n dan daerah G2 dengan content DNA 4n.
Populasi sel yang mengalami apoptosis berada di daerah sub G0/G1 yaitu
sel-sel yang content DNAnya kurang dari 2n. Suatu ekstrak dikatakan memiliki
aktivitas induksi apoptosis dapat dilihat dari jumlah populasi sel yang terdapat
pada daerah sub G0/G1, semakin banyak populasi sel di daerah sub G0/G1 maka
semakin tinggi aktivitas induksi apoptosis suatu ekstrak.
41
Flavanoid merupakan senyawa polifenol yang terbentuk dari struktur
fenilbenzopiron (C6-C3-C6) dan dapat dikategorikan menurut kadar saturasi
dan pembukaan cincin piron menjadi flavonol, flavon, katekin, dan flavanon.
Senyawa flavonoid biasa digunakan sebagai kemopreventif, sitostatika,
antioksidan dengan menghambat oksidasi LDL, anti inflamasi, anti alergi, dan
antioksidan pemerangkap peroksil, hidroksil, dan radikal bebas superoksida
(SOD). Flavanoid menunjukkan aktivitas induksi apoptosis dari beberapa
kultur sel kanker.
Ada 4 kemungkinan mekanisme antikanker dari antioksidan yang
senyawa aktifnya adalah flavanoid. Pertama dengan membersihkan radikal bebas
(ROS) dengan aktivitas antioksidan. Kedua dengan mengurangi aktivitas dari
tyrosine kinase reseptor (PDGF-R, EGF-R) yang berperan dalam proliferasi
ganas sel tumor. Mekanisme antikanker yang ketiga ialah menginduksi apoptosis
dari sel kanker dengan meleaps sitokrom c dengan mengaktifkan caspase 9 dan
caspase 3 dan menurunkan regualsi Bcl-2 dan Bcl-X serta mempromosikan
ekspersi Bax dan Bak. Keempat memodulasi protein yang berperan dalam
transduksi sinyal seperti Activator Protein 1(AP-1), Mitogen Activated
Protein Kinase (MAPK). Dan selain keempat mekanisme tersebut senyawa
flavanoid memiliki kemampuan untuk mencegah resistensi sel dari induksi
apoptosis (Demuele, 2002; Srisadono, 2008; Ren, 2003).
Ekstrak etanol daun sirih memiliki aktivitas penghambat proliferasi yang
rendah dan tidak memiliki kemampuan menginduksi apoptosis kemungkinan
disebabkan oleh rendahnya kandungan flavanoid. Walaupun ekstrak etanol daun
sirih mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, tetapi menurut penelitian
KY Pin et al dan Nuri Andarwulan kandungan aktif antioksidan ekstrak etanol
daun sirih yang tertinggi bukan flavanoid melainkan karoten dan senyawa
turunan fenol.
Doksorubisin memiliki aktivitas induksi apoptosis yang tinggi, hal ini
disebabkan doksorubisin merupakan salah satu dari obat sitostatika yang sudah
banyak digunakan oleh para klinisi sebagai obat antikanker. Adapun kerja dari
doksorubisin ialah merusak DNA dari sel kanker saat sel tersebut dalam kondisi
42
aktif berproliferasi. Doksorubisin akan berinterkalasi diantara pasang basa untai
DNA, sehingga proses transkripsi terganggu dan merusak untai DNA (Nafrialdi,
1995).
4.5 Uji Hipotesis
H0: tidak terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang
bermakna antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan
H1: terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang bermakna
antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan
Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan p dengan nilai , yaitu:
p < maka H0 ditolak , terima hal lainnya.
p > maka H0 gagal ditolak , terima hal lainnya
Hal- hal yang mendukung :
Berdasarkan uji one way ANOVA (tabel 4.1.1) didapatkan minimal satu
kelompok perlakuan yang aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH berbeda
sangat bermakna dengan nilai p=0.000.
Hal-hal yang tidak mendukung : tidak ada
4.6 Simpulan
Hipotesis diterima dan teruji oleh data
43
Bab V
Simpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
1. Ekstrak etanol daun sirih mempunyai aktivitas antioksidan pemerangkap
DPPH yang hampir setara dengan EGCG
2. Ekstrak etanol daun sirih yang mempunyai aktivitas pemerangkap DPPH
paling tinggi adalah konsentrasi 100 µg/mL, yaitu 89.091 % .
3. Ekstrak etanol daun sirih tidak memiliki efek aktivitas membunuh 50 %
sel HeLa.
4. Ekstrak etanol daun sirih tidak menginduksi apoptosis pada kultur sel
HeLa.
5.2 Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut uji sitotoksitas dan induksi apoptosis sel
HeLa dengan mengunakan fraksi-fraksi dari ekstrak etanol daun sirih.
44
Daftar Pustaka
Arya Srisadono.2008. Skrining awal ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn) sebagai antikanker dengan metolde Brine Shrimp Lethality Test (BLT). Fakultas Kedokteran Diponegoro. Semarang.http://www.linkpdf.com/ebook-viewer.php?url=http://eprints.undip.ac.id/24178/1/Arya.pdf diunduh pada 19 Desember 2010
Baitul Herbal.2010.Tanaman Herbal Indonesiahttp://baitulherbal.com/tanaman-herbal/tanaman-herbal-indonesia-sirih/diunduh pada 4 April 2011
Bidus MA, Elkas JC.2007.Cervical and Vaginal Cancer In JS Berek: Berek&Novak’s Gynecology 14th ed.Lippincot Williams & Wilkins
Capes DA,Theodosopoulos G, Atkin I.2010.Check yout cultures!A list of cross contaminated or misidentified cell lines. Int J Cnacer. 127(1):1-8
Demeule M, Michaud-Levesque J, Annabi B, Gingras D, Boivin D, Jodoin J et al. 2002. Green tea catechins as novel antitumor and antiangiogenic compounds. Curr. Med. Chem-anticancer Agents 2:441-63http://borhaneannabi.net/files/2002/2002%20Article%20Revue%20The%20Vert.pdfdiunduh pada 5 Januari 2010
Ellenson LH, Pirog EC. 2010. Cervical Carcinoma In V Kumar, MBBS, MD.FRCPath, A Abbas K, MMBS, N Fausto, MD, J Aster C , MD, PhD Ed: Robbins Cotran Pathologic Basis of Disease 8th ed.China:Saunders Elsevier.
Ferlay J,Bray F,Pisani P et al. GLOBOCAN 2002:Cancer Incidence, Mortality and Pervalence Worldwide. IARC CancerBase No. 5. Version2.0, IARCPress,Lyon,2004. http://www-dep.iarc.fr/diunduh pada 19 Desember 2010
Freshney RI.2000.Cell line.In:Cultures of Animal Cells a Manual of Basic Technique.4th .Canada:Wiley Liss, Inc.p177-182, 309-312, 329, 325.
Garcia A, Agustin MD. 2010. Emedicine:Cervical Cancer:Treatment & Medication.Southern California.http://emedicine.medscape.com/article/253513-treatmentdiunduh pada 19 Desember 2010
45
GLOBOCAN 2008.Most frequent canceres:women.WHO SOUTH-EAST ASIA REGION (SEARO). (IARC) Section of Cancer Information.http://globocan.iarc.fr/factsheets/populations/factsheet.asp?uno=995diunduh pada 19 Desember 2010
Hawley TS, Hawley RG.2004.Flow Cyometry Protocols Second editionIn Metrhod in Molecular Biology vol 264.Totowa, New Jersey:Humana Press
Imam Rasjidi.2009.Epidemiologi Kanker Serviks.Indonesian Jurnal of Cancer vol 3 No.3 hal 103-8
Ilham Kunchayo.2007.Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi,L) terhadapa 1,1 Diphenyl-2 Picryhidrazil (DPPH). Yoyakarta:Seminar Nasiolnal Teknologi 2007
Nuri Andarwulan.1996.Karaterisasi Antioksidan Alami dari Daun sirih(Piper bettle L): Pemisahan Komponen dalam Oleoresin Daun Sirih dengan Kromatografi Lapis Tipis.BuL Tek dan Industri Pangan Vol.VII.No.I.hal 75-8http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/71967578.pdfdiunduh pada 19 Desember 2010
Pin KY, Chuah AL, Rashih AA, Mazura MP, Fadzureena J, Vimalai S , Rasadah MA. 2010. Antioxidant and anti inflammatory activities of extracts of betel leaves (Piper betle)form solvents with different polarities. Journal of Tropical Forest Science 22(4): 448-55.http://info.frim.gov.my/cfdocs/infocenter/Korporat/2003Publications/Links/JTFS22(4)/15.%20KY%20Pin.pdfdiunduh pada 19 Desember 2010
Schetter AJ,Heegaard NHH, Harris CC.2009.Inflammation and cancer: interweaving microRNA, free radical, cytokine and p53 pathways.Oxford Jurnal vol 31,p:37-49
Sjamsul Arief.2008.Radikal bebas.Surabaya:Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU DR Soetomo
Schorge JO. 2008.Section 4 Gynecologic Oncology Chapter 30 Cervical Cancer In Williams Gynecology.Mc Graw Hill-Companies.p1285-322
Stricker TP, Kumar v 20V0. Neoplasia In V Kumar, MBBS, MD.FRCPath, A Abbas K, MMBS, N Fausto, MD, J Aster C , MD, PhD Ed: Robbins Cotran Pathologic Basis of Disease 8th ed.China:Saunders Elsevier
46
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Pemerangkap DPPH pada
Ekstrak Etanol Daun Sirih
Tabel Absorbansi aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH pada ekstrak etanol
daun sirih dan EGCG
Agen Antioksidan Konsentrasi Absorbansi 15 menit Rata-rataUlangan
1Ulangan
2Ulangan
3P betle extract 1 100 0.04 0.041 0.039 0.04P betle extract 2 50 0.047 0.043 0.044 0.044P betle extract 3 25 0.048 0.05 0.055 0.051P betle extract 4 12.5 0.064 0.067 0.07 0.067P betle extract 5 6.25 0.139 0.14 0.163 0.147P betle extract 6 3.125 0.223 0.186 0.162 0.190P betle extract 7 1.563 0.264 0.244 0.256 0.254P betle extract 8 0.781 0.282 0.286 0.286 0.284P betle extract 9 0.391 0.291 0.301 0.294 0.295P betle extract 10 0.195 0.307 0.306 0.31 0.307EGCG 1 100 0.050 0.056 0.054 0.053EGCG 2 50 0.051 0.054 0.061 0.055EGCG 3 25 0.057 0.055 0.053 0.055EGCG 4 12.5 0.059 0.063 0.067 0.063EGCG 5 6.25 0.057 0.058 0.061 0.059EGCG 6 3.125 0.062 0.070 0.067 0.066EGCG 7 1.563 0.136 0.118 0.106 0.120EGCG 8 0.781 0.257 0.258 0.266 0.260EGCG 9 0.391 0.347 0.345 0.350 0.347EGCG 10 0.195 0.382 0.385 0.377 0.381
Tabel AktivitasAntioksidan Pemerangkap DPPH (%) pada Ekstrak Etanol Daun
Sirih dan EGCG
Agen AntioksidanKonsentrasi % DPPH Rata-rata
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
P betle extract 1 100 89.091 88.818 89.364 89.091P betle extract 2 50 87.182 88.273 88.000 87.818P betle extract 3 25 86.909 86.364 85.000 86.091P betle extract 4 12.5 82.545 81.727 80.909 81.727P betle extract 5 6.25 62.091 61.818 55.545 59.818P betle extract 6 3.125 39.182 49.273 55.818 48.091P betle extract 7 1.563 28.000 33.455 30.182 30.546P betle extract 8 0.781 23.091 22.000 22.000 22.364
47
P betle extract 9 0.391 20.636 17.909 19.818 19.455P betle extract 10 0.195 16.273 16.546 15.455 16.091EGCG 1 100 92.172 91.239 91.550 91.654EGCG 2 50 92.017 91.550 90.461 91.343EGCG 3 25 91.083 91.395 91.706 91.395EGCG 4 12.5 90.772 90.150 89.528 90.150EGCG 5 6.25 91.083 90.928 90.461 90.824EGCG 6 3.125 90.306 89.062 89.528 89.632EGCG 7 1.563 78.797 81.597 83.463 81.286EGCG 8 0.781 59.979 59.824 58.580 59.461EGCG 9 0.391 45.982 46.293 45.516 45.931EGCG 10 0.195 40.539 40.073 41.317 40.643
Lampiran 2. Data Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol Daun Sirih terhadap
Kultur Sel HeLa
Tabel Absorbansi Standar Kultur Sel HeLa
Jumlah sel Absorbansi Rata-rata Absorbansi-Blanko
Blanko 0.19 0.196
0.201
5x104 1.422 1.399 1.203
1.378
2,5x104 1.135 1.147 0.951
1.159
0,5x104 0.471 0.466 0.27
0.461
0,25x104 0.378 0.3605 0.1645
0.343
0,05x104 0.29 0.2465 0.0505
0.203
48
0 1 2 3 4 5 60
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
f(x) = 0.235588351042896 x + 0.136723337268792R² = 0.930229372578202
Kurva Standar Jumlah Sel berdasarkan Absorbansi pada sel HeLa
Jumlah sel x 104
Ab
sorb
ansi
51
5 n
m
Tabel Absorbansi Ekstrak Daun Sirih pada Sel Hela
Jumlah sel AbsorbansiSampel-Blanko
Jumlah sel x100 % sel hidup
Blank0.190.1650.178
Kontrol1.311 1.121 4.177 1001.223 1.058 3.910 1001.223 1.045 3.855 100
EDS 1000 µg/mL
0.647 0.457 1.359 32.5400.63 0.465 1.393 35.6340.833 0.655 2.199 57.062
EDS 500 µg/mL
0.659 0.469 1.410 33.7600.994 0.829 2.938 75.1430.817 0.639 2.132 55.301
EDS 250 µg/mL
1.259 1.069 3.957 94.7171.234 1.069 3.957 101.1931.022 0.844 3.002 77.870
EDS 125 µg/mL
1.216 1.026 3.774 90.3481.268 1.103 4.101 104.8841.228 1.05 3.876 100.550
49
Lampiran 3. Data Uji Apoptosis Ekstrak Etanol Daun Sirih
Normal (I)
Normal (II)
50
Ekstrak Etanol Daun Sirih 100 µg/mL (I)
Ekstrak Etanol Daun Sirih 100 µg/mL (II)
51
Doxorubisin (I)
Doxorubisin (II)
52
Tabel Hasil uji induksi apoptosis sel HeLa dibandingkan dengan doxorubisin
Induksi apoptosis (%) normal doksorubisinekstrak etanol
Pengulangan I 3,31 35,18 4,34Pengulangan II 3,15 34,59 4,12Rerata 3,23 34,88 4,23