kritisi jurnal dermattitis atopic.docx
-
Upload
sarahutamisr -
Category
Documents
-
view
37 -
download
15
description
Transcript of kritisi jurnal dermattitis atopic.docx
1. Pendahuluan
Jurnal yang berjudul “Cutaneus delayed type hypersensitivity in patients with
atopic dermatitis” merupakan jurnal penelitian tentang diagnosis dini yang ditulis oleh
Dana Malajian BA dan Donald V Belsito. Jurnal ini dimuat dalam J Am Acad
Dermatol Volume 69, Nomor 2, halaman 232-237. Latar belakang dibuatnya
penelitian ini adalah peneliti ingin membahas tentang hubungan antara dermatitis
atopik (DA) dan hipersensitivitas kutaneus tipe lambat. Pada penelitian ini dilakukan
Peneliti membandingkan reaksi patch test allergen pada kelompok North American
Contact Dermatitis Group (NACDG) yang terdiri atas pasien pasien dengan dermatitis
atopic (DA) dan tanpa DA. Selanjutnya, penulis menilai apakah pasien atopik dalam
data penelitian ini memiliki uji test patch positif terhadap kelas allergen tertentu.
Metode yang ditinjau dalam penelitian meliputi penelitian cross sectional.
Pasien yang ditinjau dalam penelitian ini Sebanyak 2305 subjek penelitian menjalani
uji patch test pada standar seri skrining NACDG. Insidensi reaksi uji patch positif
dengan DA (n=297) dan tanpa DA (n=2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pasien dengan DA memiliki hasil uji patch positif lebih banyak dibandingkan dengan
pasien non atopik. Penelitian ini mempunyai keterbatasan karena hanya subjek yang
dicurigai menderita dermatitis kontak alergi yang diuji dengan patch test. Populasi
penelitian ini juga hanya dilakukan pada kota Kansas (Kansas City Metropolitan (MO)
dan Kansas City (KS). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebjek penelitian dengan
DA secara signifikan mengalami reaksi uji patch positif dibandingkan dengan pasien
non atopic. Pasien DA mengalami hipersensitivitas kontak terhadap banyak allergen
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Dermatitis Atopik
2.1.1 Definisi
Dermatitis atopi (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal, yang umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalm serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (contohnya seperti rhinitis alergi dan atau asma bronkial.
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan
likenifikasi, distrbisunya sering di daerah lipatan (fleksural).1
2.1.2 Patogenesis
1
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam pathogenesis DA misalnya faktor
genetic, lingkungan, sawar kulit (barier), farmakologis dan imunologik. Konsep dasar
terjadinya DA adalah molekul reaksi imunologik yang diperantarai oleh sel-sel yang
berasal dari sumsum tulang.1,2
DA sering berhubungan dengan abnormalitas barier fungsi kulit, sensitisasi
allergen, dan infeksi kulit berulang. Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah
eosinofil perifer dalam darah umumnya meningkat.3
Di bawah ini terdapat beberapa hal yang mempengaruhi DA yaitu:
A. Genetika
Ekspresi gen IL-4 memegang peranan penting dalam ekspresi DA. Kromosom
5q31-33 mengandung kumpulan family gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13 dan GM-
CSF yang diekpresikan oleh sel T-helper 2 (Th2). Perbedaan genetic aktivitas
transkipsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA.1 Selain itu, faktor genetika
yang mempengaruhi DA adalah Filagrin yaitu protein yang dikode oleh gen
FLG. Mutasi gen FLG menyebabkan “epidermal differentiation complex” dan
paling banyak ditemukan di Eropa. 2
B. Respon imun pada kulit
Sitokin Th1 dan Th2 berperan dalan pathogenesis peradangan kulit pada DA.
Jumlah Th2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya Th1 menurun.
Dermatitis akut sering berhubungan dengan produksi sel Th2 (IL-4 dan IL-13)
yang memediasi sintesis IgE pada sel endotel sedangkan pada DA kronik hanya
terjadi peningkatan IL-5.3
C. Berbagai faktor pemicu
Pada anak kecil, makanan dapat berperan dalam pathogenesis DA. Makanan
yang paling sering meliputi telur, susu, gandum, kedelai, kacang tanah. Reaksi
yang terjadi pada penderita DA karena induksi makanan berupa dermatitis
eksematosa, urtikaria dan kontak urtikaria.1 DA juga dipengararuhi oleh
aeroallergen (seperti tungau debu rumah dan bulu binatang). Penderita DA
cenderung mudah terinfeksi bakteri, virus dan jamur karena imunitas seluler
menurun (aktivitas Th1 berkurang). 2
2.1.3 Diagnosis
2
Diagnosis DA berdasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka yang
dapat dilihat pada kriteria mayor dan minor di bawah ini: 1,3
A. Kriteria mayor
Pruritus
Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis dan residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarga
B. Kriteria minor
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki
Iktiosis/hiperliniar Palmaris/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papilla mamae
White dermographism dan delayed branch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kada IgE dalam serum meningkat
Paparan penyakit pada usia dini
3
Diagnosis DA harus memenuhi tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi. Kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:1
2.1.4 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan DA dilakukan secara sistematis, melalui pendekatan
pengetahuan mengenai pathogenesis penyakit ini, hidrasi kulit, terapi farmakologi, dan
identifikasi serta eliminasi faktor-faktor yang dapat memperparah DA seperti iritan,
allergen, agen infeksi dan stressor emosional. Banyak faktor yang mempengaruhi
kompleksnya gejala DA. Oleh karena itu, rencana penatalaksanaan harus
memperhatikan pola reaksi masing-masing pasien. 3
B. Penatalaksanaan Topikal 3
Hidrasi Kutaneus
Pasien dengan DA mempunyai fungsi barier kulit yang abnormal yang ditandai
dengan meningkatnya transepidrmal water loss dan berkurangnya kandungan
air, kulit kering (Xerosis) yang menambah morbiditas penyakit ini. Mutasi gen
FLG juga menunjukkan penurunan tingkat epidermal faktor-faktor pelembap
alamiah kulit. Dengan merendam tangan dengan air sabun hangat selama 10
menit dan diikuti dengan aplikasi emolien oklusi atau pengobatan topical dapat
mengurangi gejala kekeringan pada kulit pasien. Terapi topical bertujuan untuk
menggantikan lipid epidermal abnormal, memperbaiki hidrasi kulit, dan
mengurangi disfungsi barier kulit. Hidrasi kulit melalui perendaman dan wet
dressing dapat memperbaiki penetrasi transpepidermal glukokortikoid topical.
Dressing juga berguna sebagai barier efektif dalam mencegah goresan kulit,
mempercepat penyembuhan lesi-lesi ekskoriasi.
Steroid Topikal
Topikal steroid (krim betametason valerat 0,1 %) dan inhibitor kalsineurin
topical (krim pimecrolimus 1%) dioleskan pada lesi ekstremitas atas. Kedua
pengobatan tersebut membuat diferensiasi epidermal menjadi normal dan
mengurangi hiperproliferasi epidermal. Kedua agen antiinflamasi tersebut
meningkatkan ekspresi filagrin dan involukrin dala kulit. Betametason valerat
mengurangi gejala klinis dan proliferasi epidermal. Akan tetapi, penggunaan
dua kali sehari lebih dari periode 3 minggu dapat menyebabkan penipisan kulit.
4
Sementara itum pimecrolimus memperbaiki barier epidermal dan tidak
menyebabkan atrofi kutaneus sehingga obat ini dapat digunakan sebagai
pengobatan DA jangka panjang.
Terapi Glukokortikoid Topikal
Glukokortikoid topical digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit eczema.
Agen ini memiliki efek samping potensial sehingga banyak ahli yang
menggunakan agen ini untuk mengatasi eksaserbasi akut DA. Akan tetapi,
penelitian saat ini mengungkapkan bahwa pemberian glukokortikoid topical
dapat digunakan sebagai regimen harian dalam mengatasi DA dan penggunaan
jangka panjang dapat dilakukan pada pasien dengan aplikasi dua kali seminggu
menggunakan fluticasone di area yang telah sembuh (area yang masih dapat
mengalami eczema selanjutnya). Glukokortikoid fluorinated harus dihindari
pada area wajah, genitalia dan intertriginosa (pada area ini sebaiknya dioleskan
glukokortikoid potensi rendah). Kegagalan pengobatan disebabkan karena tidak
adekuatnya terapi. Sangat penting diingat bahwa glukokortikoid topical
digunakan sebanyak 30 gram dalam bentuk krim atau salep untuk menutupi
seluruh permukaan tubuh pada orang dewasa. Oleh karena itu, untuk perawatan
seluruh tubuh diperlukan 840 g glukokortikoid topical.
Inhibitor Kalsinuerin Topikal
Tacrolimus dan pimecrolimus topical telah digunakan sebagai imunomudulator
nonsteroid. Salep tacrolimus 0,03% sebagai pengobatan intermiten terbukti
dapat mengurangi gejala DA berat pada anak yang berusia 2 tahun dan diatas 2
tahun. Salep tacrolimus 0,1% terbukti dapat mengurangi gejala DA ringan –
sedang pada anak yang berusia 2 tahun dan diatas 2 tahun. Kedua obat ini
efektif digunakan dalam mengobati DA dimana salep tacrolimus diberi hingga 4
tahun dan krim pimecrolimus selama 2 tahun.
Agen pendukung lainnya seperti antibiotic (oral atau topical) dapat mengatasi
pasien yang terinfeksi berat S.aureus, antihistamin dapat mengatasi pruritus, dan
fototerapi dapat memperbaiki keadaan DA secara umum.
C. Pengobatan sistemik
Glukokortikoid sistemik seperti prednisone oral jarang diindikasikan pada DA
kronik. Beberapa dokter dan ahli menggunakan Glukokortikoid sistemik untuk
mengurangi waktu pengobatan kulit dengan hidrasi dan terapi topical.
5
Glukokortikoid sistemik dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut dan
harus diperhatikan bahwa penggunaan obat ini harus diturunkan perlahan
(tapering dose).
Siklosporin
Siklosporin merupakan obat imunosupresif yang dapat menekan sitokin. Obat
ini mengikat cyclophilin (yaitu suatu protein intraseluler kompleks yang
menyebabkan inisiasi transkipisi gen sitokin). Penggunaan siklosporin jangka
pendek terbukti dapat mengatasi DA berat dan pengobatan yang refratorik.
Penggunaan oral yang direkomendasikan adalah 5 mg/kg dalam jangka pendek
atau jangka panjang (selama 1 tahun).
Antimetabolit
Mycophenolate mofetil merupakan biosintesis purin yang dapat digunakan
sebagai imunosupresan pada organ transplantasi yang dapat digunakan dalam
mengatasi gangguan inflamasi kulit refraktorik. Pemberian Mycophenolate
mofetil jangka pendek (2 gram sehari) sebagai monoterapi dapat menghilangkan
lesi pada dewasa yang resisten terhadap pengobatan lain (seperti steroid oral
dan topical, psoralen dan sinar UV-A). Methotrexate adalah antimetabolit
dengan efek inhibitor potensial yang dapat mengurangi sintesis sitokin dan
kemotaksis sel. Dosis yang sering digunakan adalah sama seperti pengobatan
psoriasis dan penelitian menunjukkan perbaikan gejala setelah 2-3 bulan
pemberian terapi. Azathioprine adalah analog purin dengan efek antiinflamasi
dan antipoliferasi yang dapat mengatasi DA berat.
D. Pengobatan sistemik
Interferon γ
Interferon γ dapat menekan IgE dan menurunkan proliferasi sel Th2. Penelitian
menunjukkan bahwa Interferon γ dapat memperbaiki klinis pasien dengan cara
mengurangi sirkulasi jumlah eosinofil. Efek samping awal pengobatan adalah
gejala menyerupai flu
Omalizumab
Digunakan untuk mengobati pasien dengan DA berat dan meningkatkan serum
IgE. Penggunaan agen ini digunakan pada pasin dewasa
6
Imunoterapi allergen
Hingga saat ini, masih terus dilakukan penelitian mengenai imunoterapi
allergen karena belum ada bukti yang memuaskan
Fotoferesis Ekstrakorporeal
Fotoferesis Ekstrakorporeal mengurangi jumlah IgE sehingga dapat mengurangi
lesi kulit pada pasien DA berat
Probiotik
Pemberian probiotik Lactobacillus rhamnosus strain CG secara parenteral
terbukti mengurangi insidensi DA pada anak yang beresiko pada usia 2 tahun
pertama. Penelitian terhadap agen ini telah dilakukan pada ibu hamil dan anak
yang mengalami DA. Keduanya menunjukkan perbaikan gejala DA.
Pengobatan Herbal Cina
Pengobatan herbal Cina juga terbukti dapat mengurangi DA berat, tetapi
toksisitas hepatic, efek kardiak, reaksi idiosinkron masih diteliti hingga saat ini
Vitamin D oral
Suplemen vitamin D juga terbukti dalam penelitian menekan respon imun
pasien DA sehingga dapat mengurangi DA berat.
2.2 Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya
karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Reaksi
hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan kerusakan
jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Oleh Coobs dan Gell
reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas yaitu: 4
1. Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera
sesudah badan terpajan dengan allergen. Alergi sering disamakan dengan
hipersensitif tipe I. Contoh hipersensitivitas tpe 1 adalah rhinitis alergi, asma
dan anafilaktik sistemik. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah:
2. Hipersensitivitas Tipe 2
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan
komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah
7
ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.Kemudian kerusakan
diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Contoh reaksi
tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit
anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun
3. Hipersensitivitas Tipe 3
Rekasi ini disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding
pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan
sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian
melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan
menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat
ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim
proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin. Antigen pada reaksi tipe III
ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan
yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik)
atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan
antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang
efektif
4. Hipersensitivitas Tipe 4
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif
immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin
yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi
terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor
spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan
mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami
transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target
yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan
jaringan. Contoh reaksi hipersensitif tipe 4 adalah dermatitis kontak, reaksi
tuberkulin, asma kronik, alergi rhinitis kronik, penolakan transplan.
8
Tipe I-III dimediasi oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan
perbedaan antigen yang dikenali dan juga kelas dari antibodi yang terlibat pada
peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang menginduksi aktivasi
sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan reaksi
komplemen dan juga sel-sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan fagosit
tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang terlibat. Hipersensitif tipe II tertuju
pada antigen yang terdapat pada permukan atau matrik sel, sedangkan hipersensitif tipe
III tertuju pada antigen terlarut, dan kerusakan jaringan disebabkan oleh adanya
komplek imun. 4
Pada hipersensitif tipe II yang dimediasi antibodi IgG dimana antibodi berikatan
dengan reseptor pada permukaan sel akan mengganggu fungsi reseptor tersebut.
Gangguan pada reseptor dapat berupa aktivasi sel yang tak terkontrol maupun fungsi
reseptor hilang karena adanya bloking oleh antibodi itu. Hipersensitif tipe IV dimediasi
oleh sel T dan dapat dibagi menjadi tiga grup. Pada grup pertama, kerusakan jaringan
disebabkan oleh aktivasi makrofag akibat rangsangan sel Th1. Pada mekanisme ini
akan terjadi reaksi inflamasi. Pada grup kedua, kerusakan jaringan disebabkan oleh
aktivasi sel TH2 akibat adanya reaksi inflamasi. Pada mekanisme ini eosinofil
mempunyai peranan besar dalam menyumbangkan kerusakan jaringan itu. Pada grup
ketiga, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivitas sel T sitotoksik, CD8. 4
2.3 Uji Tempel (patch test)
Uji tempel biasanya digunakan untuk diagnosis dermatitis kontak alergi (DKA).
Metode uji ini menggunakan bahan uji (dengan konsentrasi dan bahan pelarut yang
sudah ditentukan) ditempelkan pada kulit normal, kemudian ditutup. Bahan ini
dibiarkan selama 2 hari (minimal 24 jam). Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada
tempat tempelan tersebut dibaca tentang perubahan atau kelainan yang terjadi pada
kulit. Pada tempat tersebut bisa kemungkinan terjadi dermatitis berupa: eritema, papul,
oedema atau fesikel, dan bahkan kadang-kadang bisa terjadi bula atau nekrosis. 1, 5
Pembacaan uji tempel dilakukan 15-30 menit setelah dilepas agar efek tekanan
bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Pembacaan kedua perlu dilakukan
sampai 1 minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan
kedua perlu untuk membedakan respon alergi atau iritasi dan megidentifikasi lebih
banyak respon alergen. 1, 5
9
Pembacaan uji tempel harus memperhatikan hal berikut: 1
1. Dermatitis harus sudah tenang. Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat
terjadi reaksi “angry back” atau “excited skin” yaitu reaksi positif palsu dan
dapat memperburuk penyakit yang sedang diderita
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan sebab dapat meghasilkan reaksi negative palsu
3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca pada hari ke-3 sampai ke-7
setelah aplikasi
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel tidak
menempel dengan baik misalnya terkena air pada punggung (tempat dilakukan
uji tempel)
5. Uji tempel dilakukan dengan bahan standar dan tidak dilakukan pada penderita
yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticarial type)
2.4 Penelitian tentang diagnosis dini
Diagnosis dini dilakukan dengan 2 strategi yaitu 6
1) Skrining
Yaitu bentuk pemeriksaan yang ditujukan pada kelompok orang sehat untuk
mendeteksi penyakit tertentu atau pada kelompok orang tertentu yang memiliki
resiko terhadap penyakit tertentu
2) Case finding
Yaitu diagnosis dini pada sukarelawan (pasien yang berobat ke dokter untuk
memeriksakan kesehatannya.
3. Telaah Kritis Jurnal
Judul Jurnal “Cutaneus delayed type hypersensitivity in patients with atopic
dermatitis” ditulis dalam kalimat sederhana dan tidak terlalu panjang. Judul jurnal juga
menggambarkan keseluruhan isi penelitian dan tidak menggunakan singkatan.
Penulisan nama peneliti dalam jurnal mencantumkan gelar atau titel, seharusnya
penulisan nama dalam jurnal tidak menggunakan gelar atau titel. Peneliti juga berasal
dari satu tempat dan departemen sehingga pada jurnal diberikan penanda berdasarkan
abjad di belakang nama tiap peneliti. Alamat surat menyurat dan penerbit juga
10
disebutkan juga disebutkan dalam jurnal dengan jelas. Jurnal diterbitkan oleh J Am
Acad Dermatol Volume 69, Nomor 2, halaman 232-237 tahun 2013
Penulisan abstrak telah menggambarkan keseluruhan isi jurnal yaitu
menggambarkan keseluruhan isi jurnal yaitu mulai dari pendahuluan, objektif, metode,
hasil, keterbatasan penelitian dan kesimpulan, penulisan juga tidak memuat singkatan
selain kata baku dan kurang dari 250 kata. Abstrak juga mampu menggambarkan secara
jelas mengenai masalah dan tujuan penelitian.
Pendahuluan pada jurnal ditulis dengan ringkas yang terdiri dari 5 paragraf,
paragraf pertama berisi mengenai Dermatitis atopik (DA), epidemiologi dan penyebab
DA. Paragraf dua berisi Hipersensitivitas kutaneus tipe lambat/cutaneous delayed type
hypersensitivity (CDTH) dan epidemiologinya. Paragraf tiga berisi positif antara DA
dan CDTH. Paragraf empat dan lima berisi laporan penelitian tentang CDTH pada
populasi atopik
Metode dalam penelitian ini menggunakan cross sectional. Pasien yang ditinjau
dalam penelitian ini Sebanyak 2305 subjek penelitian menjalani uji patch test pada
standar seri skrining NACDG. Insidensi reaksi uji patch positif dengan DA (n=297) dan
tanpa DA (n=2008). Penelitian dilakukan di Kansas city (KS). Sebelum uji patch
dilakukan, semua pasien melengkapi kuesioner standar tentang demografik,
pengobatan, dan data pekerjaan. Status atopik (dermatitis, asma, hay fever) dinilai pada
semua pasien; diagnosis DA ditegakkan melalui kriteria Hanifin dan Rajka.
Hasil penelitian dijelaskan dalam bentuk tabel dan grafik telah dilakukan oleh
sejumlah peneliti. Hasil juga menyebutkan uji statistik yang signifikan dengan p<0,001
dimana insidensi reaksi uji patch positif terhadap pasien dengan riwayat DA
dibandingkan pasien tanpa riwayat DA.
11
Telaah kritis tentang terapi:
1. Apakah metode penelitian suatu randomized trial?
Tidak. Penelitian ini bersifat cross sectional study dengan melakukan analisis
statistic menggunakan test chi square (X2) pada 2305 subjek penelitian yang
dicurigai menderita dermatitis kontak alergi yang diuji. Populasi penelitian ini
secara geografis terbatas yang meliputi kota Kansas.
Hal ini dapat kita lihat pada Metode Paragraf 1 alinea 1 halaman 233 yang
menuliskan “between juli 1 1994 and june 30 2012, a total of 2305 patients who
presented with clinical suspicion of allergic contact dermatitis underment patch
testing to NACDG’s in Kansas city and New York. All patients completed a
standardized questionare regarding demographic medical and occupational
study…. dan metode dalam Abstrak alinea 1 halaman 232 “statistical analysis
was doing using X2 testwith Yattes correction.
2. Apakah ada pengobatan yang efektif untuk kelainan tersebut?
Tidak. Dalam penelitian ini tidak dijelaskan pengobatan efektif dalam kelainan
yang disebutkan dalam penelitian (yaitu dermatitis atopi). Dalam penelitian ini,
peneliti ingin melihat hubungan antara dermatitis atopik (DA) dan
hipersensitivitas kutaneus tipe lambat melalui pemeriksaan patch test. Hal ini
dapat kita lihat pada Conclusion dalam abstrak alinea 1 halaman 232
“compared with non atopics, patients with AD are significantly more likely to
have at least 1 patch test reaction and develop contact hypersensitivity to metal
allergens”
3. Apakah ada sesuatu yang tersembunyi pada penyakit tersebut yang memerlukan
skrining?
Iya, peneliti menemukan bahwa pasien dengan dermatitis atopi (DA) secara
signifikan mengalami reaksi uji patch positif dibandingkan dengan pasien non
atopik. Pasien DA mengalami hipersensitivitas kontak terhadap allergen seperti:
nikel, kobalt dan kromium. Hal ini dapat kita lihat pada Discussion paragraph II
alinea 1 halaman 234 “our finding of an increased incidence of CDTH in atopic
patients are consistent with finding….” Kemudian dalam Discussion paragraph
4 alinea 1 halaman 234 “our finding that AD was associated with contact
sensitization to metal allergens can be explained……”
4. Apakah screening test mempunyai angka sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi?
12
Iya. Penelitian ini menggunakan patch test (uji tempel) untuk menstimulasi
terjadinya reaksi hipersensitivitas kutaneus tipe lambat. Uji ini telah banyak
digunakan dalam diagnosis dermatitis kontak alergi.
5. Dapatkah sistem kesehatan (skala nasional atau profesi) selaras dengan program
screening test yang akan dilaksanakan?
Iya. Patch test (uji tempel) telah banyak digunakan oleh profesi kedokteran dan
kesehatan dalam diagnosis dermatitis kontak alergi.
6. Apakah hasil test yang positif memerlukan tindakan lanjutan berupa tindakan
intervensi atau pemeriksaan lanjutan?
Iya. Reaksi Patch test (uji tempel) positif meningkat pada pasien DA. Peneliti
menyimpulkan bahwa pasien DA mengalami hipersensitivitas kontak terhadap
allergen. Peneliti menganjurkan agar dokter atau praktisi kesehatan selalu
merekomendasikan pasien atopi untuk menghindari bahan berbahan dasar
logam dan tidak melakukan tindikan (piercing) dan tattoo. Hal ini dapat kita
lihat pada Discussion halaman 236 paragraf 10 alinea 2 “we strongly
recommended that health care practioner consel their atopic patients to
minimize cutaneous contact with metal and avoid piercing and tattoing.7
4. Kesimpulan
Jurnal yang berjudul “Cutaneus delayed type hypersensitivity in patients with
atopic dermatitis” merupakan penelitian tentang diagnosis dini yang ditulis oleh Dana
Malajian BA dan Donald V Belsito. Jurnal ini dimuat dalam J Am Acad Dermatol
Volume 69, Nomor 2, halaman 232-237. Berdasarkan telaah kritis yang dilakukan
penulis didapatkan hasil jurnal ini memenuhi jawaban “ya” sebanyak 4 (66,66%) dan
jawaban “tidak” sebanyak 2 (33,33%) pedoman telaah kritis tentang diagnosis dini.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jurnal ini telah layak untuk dibaca dan
dapat diaplikasikan.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamzah M, Aisah S. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI. Jakarta:
138-142.
2. James WD, Timothy GB, Dirk ME. 2011. Andrew’s Disease of The Skin
Clinical Dermatology 7 edition. Elsevier: 71-75.
3. Wollf A, Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Ami SP, David JL. Fitzpatrick’s
Dermatologiy in General Medicine. Mc Graw Hill. Newyork. 2012:166-170.
4. Abbas KA, Litchman AH, Shiv Pillai. 2010. Cellular and Molecular
Immunology Ed 6. Saunders Elsevier. Philadelphia. Hal: 978-980.
5. Dwi Murtiastutik, Avy Arvianti, Indropo Agusni, Sunaso Suyoso. ATLAS:
Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UNAIR/RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya. 2012; 108-109.
6. Soeparto P, Eddy PS, Joewono S. 1998. Epidemiologi Klinis. Penerbit Gramik
FK Unair. Surabaya: 161-163.
14
LAMPIRAN
TELAAH KRITIS DIAGNOSIS DINI
PEDOMAN KETERANGAN
1. Apakah metode penelitian suatu
randomized trial?
Tidak
2. Apakah ada pengobatan yang
efektif untuk kelainan tersebut?
Tidak
3. Apakah ada sesuatu yang
tersembunyi pada penyakit
tersebut yang memerlukan
skrining?
Ya
4. Apakah screening test mempunyai
angka sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi?
Ya
5. Dapatkah sistem kesehatan (skala
nasional atau profesi) selaras
dengan program screening test
yang akan dilaksanakan?
Ya
6. Apakah hasil test yang positif
memerlukan tindakan lanjutan
berupa tindakan intervensi atau
pemeriksaan lanjutan?
Ya
15
16