kritik seni 2
-
Upload
yosep-nurdjaman-alamsyah -
Category
Documents
-
view
148 -
download
6
Transcript of kritik seni 2
TIDAK BIASA MENJADI BIASA
DAN
TIDAK ENAK MENJADI ENAK
Tak biasa menjadi biasa dan tak enak menjadi enak, itulah
steatmen yang saya lontarkan ketika menyaksikan tiga buah
pertunjukan musik (musik vokal) dalam sebuah forum musik dan
dialog, baik musik karawitan, musik barat, dan musik kolaborasi
(paduan antara karawitan dan barat) yang disebut dengan
“Bukan Musik Biasa ke-27” pada tanggal 25 November 2011 di
Pendopo Wisma Seni Taman Budaya Surakarta Jawa Tengah.
Gambar 1Poster
Bukan Musik Biasa ke-27Sumber: dok. Yosep N. A
Sepintas membahas mengenai mulai berdirinya, bahwa
forum musik dan dialog yang disebut dengan “Bukan Musik
Biasa” ini berdiri pada tahun 2006 yang dipelopori oleh seorang
komponis yang handal yakni I Wayan Sadra (alm), sebelum
meninggal beliau mengajar sebagai dosen tetap di ISI Surakarta.1
1 http.//blontankpoer.com/2010/01/30/bukan-musik-biasa.
1
Satu hal yang unik dari sosok inisiator ini bahwa I Wayan Sadra
(alm) enggan disponsori dengan alasan takut terkontaminasi
politik uang.2 Spiritnya adalah kebersamaan dalam sebuah
proses pencarian. Uang kerap mengganggu karena prasangka
bisa bermula dari sana.3 Menurut informasi yang didapatkan oleh
saya bahwa sebenarnya forum Bukan Musik Biasa ini merupakan
cermin dari karakter inisiatornya yakni Bli Sadra, aplikasinya
bahwa BMB ini mencoba melawan kapitalis pertunjukan (festival)
musik, dan yang bisa menjalankannya hanyalah kekuatan sosial
(non uang). Ketika Bli Sadra meninggal forum BMB ini akan
dikubur bersamaan dengan beliau, namun rekan-rekan Sadra
merasa forum ini sangat positif untuk perkembangan dunia
musik di tanah air. (Wawancara Gondrong, 2011). Dari pertama
berdiri sampai sekarang forum BMB ini mendapatkan fasilitas
dari Taman Budaya Surakarta, karena TBS memberikan fasilitas
ini untuk para seniman agar para komponis dan musisi bisa
berkreasi dan mengekspresikannya dengan maksimal. Hal yang
unik dari forum musik dan dialog ini adalah semua repertoar
yang akan tampil tidak dibatasi dengan wilayah bunyi artinya
tidak ada batasan sumber bunyi, bisa menampilkan komposisi
dari sumber bunyi kaleng, instrumen musik tradisional hingga
combo band pun tidak menjadi persoalan. Menggunakan wilayah
nada diatonis, pentatonis atau campuran dari keduannya juga
bukan menjadi batasan, yang penting melakukan sebuah
eksplorasi bunyi yang berujung pada sajian musikal. Setiap unsur
yang ada dalam forum BMB ini, baik panitia, penyaji yang
perform juga semuanya tidak diberikan biaya, juga bagi semua
apresiator yang menyaksikan forum BMB ini tidak dipungut
biaya, tetapi para apresiator akan mendapatkan soft drink dan
2 Ibid.3 Ibid.
2
sedikit cemilan yang disediakan oleh panitia. Semua penyaji
yang sudah pentas dalam forum BMB ini tidak hanya berasal dari
Surakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi yang sudah tampil di sini
berasal dari seluruh Nusantara bahkan ada beberapa penampil
yang berasal dari luar Indonesia, seperti yang tampil pada
pertunjukan BMB yang ke-27 salah satunya berasal dari New
York.
Ketika saya menyaksikan pertunjukan BMB yang ke-27,
hal-hal unik yang diutarakan di atas terjadi juga pada saya.
Tempat untuk duduk para apresiator berada percis di depan
pendopo Wisma Seni TBS Surakarta, jadi wilayah pendopo
tersebut dijadikan sebagai stage, namun ada beberapa penonton
yang duduk di pinggir-pinggir dari pendopo tersebut yang
membentuk menjadi sebuah panggung arena. Semua penonton
tidak dipungut biaya, panitia yang mengurus forum tersebut
semuanya sukarela tidak meminta imbalan sepeser pun. Adapun
yang menjadi penyaji pada forum BMB ke-27 ini diantaranya
adalah:
1. Jen Shyu, berasal dari New York dengan membawakan
empat karya sekaligus;
2. I Ketut Ardana, berasal dari Yogyakarta dengan judul karya
“Ngegambuh”; dan
3. Etno 06, berasal dari Surakarta dengan judul karya ”RRR”,
dan “Kita Bukan Aku dan Kamu”.
Paparan selanjutnya saya akan mencoba menganalisis
karya-karya yang ditampilkan oleh ketiga penyaji di atas, yakni
sebagai berikut:
1. Jen Shyu (New York)
3
Gambar 2Penampilan Jen Shyu
Sumber: Dok. Yosep N. A.
Jen Shyu adalah seorang komponis yang berketurunan
Taiwan dan Timor Letse yang lahir di Illinois. Dia terkenal di
dunia musik Jazz Avant-garde karena nyanyian virtuasiknya yang
menggabungkan lagu-lagu karyanya sendiri dan lagu-lagu kuno
yang mengembangkan sebuah ritual terimprovisasi. Shyu sudah
tampil dan melakukan rekaman sebagai seniman tunggal,
pemimpin band, dan “sidewoman” (bernyanyi dengan kelompok
band yang lain) di seluruh Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika. Shyu
juga sudah melakukan perform dan rekaman dengan para musisi
dunia.
Ketika perform Syhu selalu menyesuaikan dengan ruang
pertunjukan, penonton, dan keadaan sekeliling tempat dia
perform. Ketika tampil di BMB ke-27 dia tampil dengan suara,
badan, objek-objek temuannya yang bernyanyi dan bernada
4
dengan menggunakan alat musik yang berasal dari Taiwan yang
bernama “Gitar Bulan” (Gatkim) bersenar dua. Karya-karya yang
ditampilkan merupakan karya yang terinspirasi dari penelitian
selama bertahun-tahun di Timor Letse, Taiwan, Cina, Kuba, dan
Brazil. Syhu bernyanyi menggunakan bahasanya sendiri,
kemudian mengambang di antara teks sendiri dengan teks-teks
lagu dari penyair yang masih hidup dan sudah meninggal, teks-
teks lagu yang ditampilkan menggunakan bahasa Inggris,
Portugis, Spanyol, Mandarin, Taiwan, Tetum, Korea, dan
Pininyumayan (bahasa orang asli Taiwan yang dikenal sebagai
“Puyama”).
Karya pertama yang ditampilkan yakni sebuah lagu yang
berasal dari Korea yang menceritakan tentang seorang anak
yang mengorbankan dirinya buat seorang ayah dan ibunya.
Ketika awal penampilannya, Shyu muncul dari belakang
penonton dengan melantunkan lagu yang menggunakan bahasa
Korea tanpa musikal, dia bernyanyi sambil menari dari belakang
penonton menuju ke depan penonton dengan tanpa sorotan
lighting, sesekali Shyu mengajak penonton tepuk tangan untuk
memberikan tempo kepada dia. Setelah selesai katakanlah
introduksi, kemudian Shyu naik ke panggung dan mengambil alat
musik Gitar Bulan (Gatkim). Dengan dibantu oleh alat musik
inilah Shyu menampilkan semua karya-karyanya. Gitar Gayung
ini digunakan hanya untuk memberikan suasana dan mengisi
kekosongan dari lantunan lagu yang dibawakan oleh Shyu.
Wilayah nada atau ambitus yang digunakan oleh Shyu ketika dia
melantunkan taks-teks lagunya sangat tidak lazim, jarak nada
persuku katanya sulit ditebak, sangat-sangat mahir dalam
pengolahan nada dalam vokalnya. Padahal yang saya amati,
Shyu membawakan nada-nada lagunya dengan spontanitas,
5
menurut saya ini merupakan hal yang luar biasa, walaupun
menurut telingan konvensional hal ini tidak bisa diterima karena
tidak biasa dan tidak enak menurut gaya konvensi atau bisa
dikatakan dengan istilah kontemporer yang sampai saat ini
belum ada pengertian yang pasti dan masih jadi sebuah
perbincangan yang hangat dalam perhelatan dunia musik non
konvensi. Kalau boleh saya mengartikan atau mendefinisikan
dari istilah kontemporer ini yakni sebuah musik yang tidak biasa
bagi seseorang, adat dan kebudayaan tertentu. Contoh dari
definisi yang saya ajukan, bahwa gamelan di Indonesia
khususnya di Jawa dan Bali merupakan sebuah genre musik yang
klasik (konvensional), tetapi menurut orang-orang (pemusik) luar
Indonesia gamelan ini dikategorikan sebagai genre musik
kontemporer, dan begitupun sebaliknya.
Karya kedua yang ditampilkan oleh Shyu yakni
menampilkan kekayaan suara atau wilayah vokal yang cukup
pariatif, bahkan sesekali dia menggunakan nada-nada pentatonic
yakni slendro dan pelog. Mengenai tema dari karya yang kedua
ini saya tidak mendapatkan informasi yang banyak, karena Shyu
sendiri tidak menyebutkan temanya seperti apa. Saya menyimak
fungsi dari Gitar Bulan pada karya kedua ini, kesannya tidak
singkron antara vokal dengan akor yang dimainkan oleh Shyu
ibarat air dengan minyak oli yang tidak ada kesinambungannya.
Kerap kali Shyu melakukan penyeteman pada gitarnya, karena
nada dari tiap gitarnya sangat gampang berubah sehingga
kesannya menjadi fals. Menurut saya perlu ada penyempurnaan
kembali untuk alat musiknya dari sisi organologi, sehingga
ketahanan setiap senarnya bisa kuat dan tidak gampang
berubah nadanya.
6
Karya ketiga Shyu menampilkan sebuah karya yang lahir
dari mimpi ketika Shyu sedang melakukan sebuah penelitian
musik di Timor Letse. Karya ketiga ini menceritakan tentang
ibunya yang disakiti oleh orang lain. Dalam karya ini Shyu
banyak menggunakan vokal-vokal yang berasal dari Timor Letse,
menurut saya Shyu membawakannya dengan baik. Namun alur
yang terbangun masih sama seperti karya-karya yang
sebelumnya.
Karya yang terakhir Shyu berkolaborasi dengan seorang
seniman yang cukup terkenal di wilayah Surakarta yakni Slamet
Gundono. Ketika saya mengapresiasi karya yang terakhir ini,
saya mendapatkan banyak keunikan. Paduan antara Jen Shyu
dengan Slamet Gundono sangat baik dan sangat beda dengan
karya-karya yang ditampilkan oleh Shyu sebelumnya. Shyu pada
karya ini menggunakan bahasa Indonesia dan Slamet Gundono
pada kesempatan ini membalut vokal yang dilantunkan oleh
Shyu, kemudian paduan alat musik dari keduanya cukup baik
walaupun pada dasarnya hanya mengisi-ngisi kekosongan disitu
terlihat bahwa tidak ada sebuah komitmen yang pasti antara
Shyu dan Slamet Gundono yang menggunakan alat musik
“ukulele cuk” mengenai musikalitasnya.
Gambar 3
7
Penampilan Shyu dan Slamet GundonoSumber: Dok. Yosep N. A.
Saya mengapresiasi keseluruhan dari apa yang ditampilkan
oleh Jen Shyu ini, secara pribadi bisa mengikutinya dengan baik.
Walaupun latar belakang saya tradisi khususnya Sunda, tetapi
bagi saya semua jenis musik yang ada di bumi ini baik musik
nusantara maupun barat harus bisa disimak dan dinikmati
walaupun tidak harus terjun langsung mendalami semua jenis
musik tersebut. Saya mendapatkan sesuatu yang baru lagi
mengenai kekayaan musik yang ada di bumi ini. Sungguh
merupakan kesempatan yang luar biasa bisa menyaksikan
penampilan seorang Jen Shyu yang sudah mempunyai
pengalaman bermusik yang sangat banyak dan sudah
berkolaborasi dengan musisi-musisi dunia. Pengalaman Jen Shyu
memberikan motivasi bagi saya untuk terus mendalami dan
mencari apa yang belum saya tau dalam dunia musik khususnya
musik nusantara dan lebih khususnya mutiara-mutiara musik
yang ada di wilayah Sunda.
2. I Ketut Ardana (Yogyakarta)
Gambar 4Penampilan I Ketut Wardana
8
Sumber: Doc. Yosep N.A.
Sepintas mengenai profil I Ketut Ardana ini, bahwa
komponis ini berasal dan lahir di Bali, kemudian lulusan dari ISI
Denpasar Jurusan Karawitan, sekarang dia sedang melanjutkan
study master di ISI Surakarta. Status beliau sekarang adalah
sebagai pengajar tetap di ISI Yogyakarta. Tidak kalah dari Jen
Shyu, bahwa I Ketut Wardana juga mempunyai pengalaman
bermusik yang cukup banyak, ini tercermin dari beberapa karya
yang sudah dibuat olehnya, diantaranya: karya musik “Sekala
Niskala”, karya kreasi baru gong kebyar “The Situation of
Yogya”, tabuh telu kreasi dengan judul “Gada Murti II”, dan
banyak lagi karya-karya yang lainnya.
Pada forum musik dan dialog Bukan Musik Biasa yang ke-
27 ini, I Ketut Wardana menyajikan sebuah karya yang berjudul
“Ngegambuh”. Sepintas saya akan memaparkan synopsis dari
karya Ngegambuh ini bahwa karya ini mengangkat suling
Gambuh sebagai media untuk mentrasnformasikan sebuah
pikiran musikal yang berorientasi pada pola-pola melodi bukan
Gambuh. Suling Gambuh sebagai media ekspresi dipadukan
dengan biola dengan tujuan untuk menggali sebuah harmoni
Gambuh yang di dapat dari sebuah media petik dan tiup. Pada
intinya karya ini perpikir tentang kekuatan intra musikal untuk
mewujudkan sebuah estetika musik. Adapun alat musik yang
digunakan dalam karya ini adalah tiga buah alat tiup Gambuh
besar, satu buah alat tiup Gambuh sedang, dan satu buah biola.
Pada awal sajiannya semua instrumen memainkan satu
nada yang sama, kemudian setelah beberapa saat masuk alat
musik Gambuh sedang yang langsung dimainkan oleh
komposenya sendiri, dia memainkan pola Solo, kemudian setelah
9
itu semuanya memainkan pola ritmis dan nada yang sama,
sesekali biola memankan pola melodi sendiri yang dibenturkan
dengan pola melodi Gambuh besar dan sedang yang berbeda
sehingga disitu terbentuk sebuah balutan melodi yang berbeda-
beda tetapi akan bertemu di satu titik dan nada yang sama.
Selain itu juga tampak pola-pola cannonis, dan interloking, dan
sajian ini diakhiri dengan permainan pola dan melodi yang sama.
Secara keseluruhan penampilan dari I Ketut Wardana ini
menurut saya cukup baik, karena dalam karya ini sudah banyak
perkembangan-perkembangan untuk wilayah alat musik Gambuh
sendiri. Sebenarnya untuk instrumen Gambuh sendiri di Bali
sudah mempunyai pola yang baku dan sudah di bakukan oleh
para seniman Bali, maka dari itu saya pikir tidak ada salahnya
komponis Ngegambuh ini menyikapi sebuah alat musik Gambuh
menjadi dibuat menjadi sebuah komposisi musik yang lain dan
menjadi unik. Satu hal yang menurut saya mengganggu
terhadap jalannya sajian dari karya ini, yakni keberadaan
matador partitur. Karena tidak sempurna persiapan yang
dilakukan oleh I Ketut Wardana ini tidak menghiraukan
keberadaan kertas matador pada stand partirur yang
mengakibatkan kertas-kertas yang berisisi semua notasi sajian
ini tertiup angin, sehingga ada eberapa yang jatuh ke lantai. Hal
ini yang menjadi catatan saya, walaupun sifatnya sepele tetapi
dari hal kecil ini bisa berakibat fatal, saya melihat kesiapan dari
karya ini memang kurang matang sehigga sebagai alternatif agar
setiap pemain bisa memainkan masing-masing alat musiknya
secara baik dengan menggunakan bantuan partitur tersebut. Jadi
disini terlihat bahwa sebuah proses itu menentukan kwalitas
karya yang dibuat dan pada akhirnya akan disajikan.
10
3. Etno 06 (ISI Surakarta)
Gambar 5Penampilan Etno 06
Sumber: Dok. Yosep N. A.
Sepintas profil mengenai Etno 06, bahwa Etno 06 ini
terbentuk sebagai wadah untuk mengakomodir setiap kegiatan
yang berkaitan dengan akademis maupun non akademis para
santri dari bidang Etnomusikologi yang dulu memang semuanya
berasal daari angkatan 2006. Kegiatan utama dari komunitas ini
adalah diskusi, namun karena perubahan lingkungan yang
memaksa kepada mereka untuk beradaptasi dengan
lingkungannya sendiri. Meningkatnya permintaan pasar terhadap
kebutuhan musik menjadi stimulant terhadap terbentuknya
karya-karya Etno 06 yang diinterpretasikan dengan sarat nuasna
Bali. Adapun karya-karya dari Etno 06 ini adalah sebuah
komposisi musik ”The Eden Park”, “Janger”, dan “Gambang
Suling”. Adapun alat musik yang digunakan oleh Etno 06 dalam
karya yang ditampilkan dalam forum musik dan dialog Bukan
Musik Biasa ke-27 ini, diantaranya adalah: dua buah Kantil, dua
11
buah Pamade, satu buah Bedug besar, dua buah Bedug kecil,
satu buah Snare Drum, satu buah Jimbe, satu buah Gitas Elektrik,
dan satu buah Gitar Bas. Repertoar yang disajikan oleh Etno 06,
yakni karya yang berjudul “RRR”, dan “Kita Bukan Aku dan
Kamu.
Karya yang pertama ditampilkan oleh Etno 06 yakni
berjudul “RRR”, entah apa maksud dari judul karya ini karena
tidak ada penjelasan yang spesifik mengenai judul dari karya ini,
namun secara garis besar bahwa karya ini merupakan sebuah
aransemen musikal dengan memakai dua buah babon lagu yang
berjudul “Gambang Suling”, dan “Janger”. Adapun struktur
musikal yang dipakai pada karya pertama ini yakni pertama
dimulai dengan sejenis Kebyar (dalam gamelan Bali), nuansa
akan Balinya sangat kental dengan diiringi oleh suara pekusi
yang mendominasi basic beat dalam karya ini, Gitar Elektrik
difungsikan sebagai ritem dan sesekali solo melodi, dan Gitar Bas
difungsikan sama seperti pada genre musik yang lainnya,
kemudian dimasukan melodi lagu Gambang Suling denga format
orisinal, setelah itu musik jembatan ituk menyambungkan ke
lagu yang ke dua yakni lagu Janger, masuk melodi musik dan
unsur perkusif yang sangat kental untuk mengakhiri sajian
dengan tempo yang dibuat menjadi cepat sehingga jalan sajian
musiknya menjadi klimaks.
Dalam karya ini saya tidak menemukan dinamika yang
baik, kesan yang saya tangkap monoton, basic perkusi yang
digunakan dalam karya ini cenderung banyak mengadopsi dari
pola perkusif baku dari barat, misalkan pola perkusi supple,
Rock, dan lain-lain, walaupun ada satu motif perkusi yang
merupakan peniruan dari pola kendangan Bali yang di
12
transposisikan ke alat Jimbe, Bedug, dan Snare Drum. Saya juga
menyadari bahwa setiap karya yang dibuat kadang tidak
memperdulikan siapa yang akan mengapresia karya kita, yang
paling penting adalah jangan berhenti berkreativitas, dan
berkarya, baik buruk itu relatif.
Karya ke dua yang ditampilkan oleh kelompok Etno 06 ini
yakni sebuah karya acapella yang berjudul “Kita Bukan Aku dan
Kamu”. Karya yang merupakan gabungan dari berbagai unsur
agama, diantaranya adalah Islam, Kristen (Katholik dan
Protestan), Hindhu, dan Budha yang dimainkan oleh 7 orang
vokal. Unsur-unsur tersebut bisa didengar dan dirasakan dari
teks-teks yang digunakan dalam acapellanya, yakni
menggunakan teks-teks yang berasal dari Al-Qur’an, Budha,
Hindu dengan mantranya, dan teks yang biasa digunakan di
gereja. Unsur instrumen musik yang mengiringi sajian karya
kedua ini yakni Gitar Elektrik dengan menggunakan efek-efek
dan melodi yang bernuansa Timur Tengah, kemudia Pamade 1
dengan menggunakan pola monggang dalam gamelan Jawa (5 1
5 2 dimainkan dengan berulang-ulang). Suasana ritual sangat
kental pada penampilan ke dua ini, dengan dibantu oleh lighting
yang soft jadi suasana di panggung pun tampak tidak terlalu
banyak cahaya.
Pada awal performnya saya belum bisa menangkap, apa
maksud dari karya yang kedua ini, karena suara vokal dari
penyaji tidak ampai secara maksimal kepada penonton, namun
ketika saya menyimak lebih lama lagi akhirnya saya bisa
mendengar semua artikulasi dari setiap penyaji. Namun tetap
sesekali power vokal dari setiap penyaji tidak stabil sehingga
13
saya tidak bisa mendengar seluruh teks vokal yang dilantunkan
oleh penyaji.
Semua penyaji yang tampil pada forum musik dan dialog
Bukan Musik Biasa ke-27 menampilkan karya-karyanya dengan
sangat baik, berbagai unsur tampak dalam pertunjukan ini yakni
musik yang enak dan tidak enak bagi telinga saya muncul. Saya
merasa tenang dan tidak risau karena masih ada sebuah forum
yang mewadahi kreativitas-kreativitas para musisi baik lokal,
regional, maupun internasional. Bukan Musik Biasa merupakan
sebuah forum dan dialog yang harus tetap dilestarikan
keberadaannya, jasa sang komponis Sadra (alm) dengan semua
pikiran-pikirannya sudah memberikan banyak sekali manfaat
terhadap perkembangan musik di jagat raya ini.
14
IDENTITAS PENULIS
Yosep Nurdjaman Alamsyah, S. Sn.
Mahasiswa Institut Seni Indonesia Surakarta,
semester 3 angktan 2010
15