KRITIK IDEOLOGI MODEL PEMBELAJARAN DIRECT … · manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa...
Transcript of KRITIK IDEOLOGI MODEL PEMBELAJARAN DIRECT … · manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa...
KRITIK IDEOLOGI MODEL PEMBELAJARAN DIRECT LEARNING DI SEKOLAH DASAR NEGERI
MONGGANG, BANTUL
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Mirza Bashiruddin Ahmad
NIM 11105241008
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MEI 2016
Scanned by CamScanner
P E R S E T U t U A N
Sk r ip s i y a n g b e r j u d u l " K r i t i k I d e o l o g i M o d e l P c m b c l a j i 1r a n D i r e c t 1 E a r n h Bg
d i S e k o l a ï1 D a s a r N c g e r i M o n g g a n g , B a n t u l "
y a n g d i s u s u n o l « h
NU r z a B a s h h u d d i n A h m a d,
N I M 1 1 5 2 4 1 0 0 8 i n i t c l a h d i s c t uj u i
o l e h p e m b i m b i n g u n t u k «l i u j i k a n
Y o g y a k a r t a,
2 8 A p r i l 20 16
p e n
D > S u g c n l i m u W a - M S i
N 1p 19 6 0 0 5 2 0 19 8 6 03 1 (10 3
: ;
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
v
MOTTO
Bangunlah dunia ini kembali!
Bangunlah dunia ini kokoh dan kuat dan sehat!
Bangunlah suatu dunia dimana semua bangsa hidup dalam dunia damai dan
persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat
manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang
menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa-lampau,
sehingga kita bisa mempertanggung jawabkan diri terhadap masa depan.
Bangunlah dunia ini kembali!
Dunia Baru tanpa exploitation de l‘homme par l‘homme dan exploitation de
nation par nation.
Dunia Baru tanpa adanya eksploitasi antar manusia satu dengan lainnya, tanpa
adanya eksploitasi bangsa satu dengan lainnya.
- Ir. Soekarno -
To Build The World A New
vi
PERSEMBAHAN
Sembah syukurku kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah memberikanku kekuatan, kesehatan dan kesabaran dalam
mengerjakan tugas akhir skripsi.
Aku persembahkan cinta dan kasih sayangku kepada kedua orang tua yang telah mendukung sekuat tenaga, memotivasi, dan memberi inspirasi tiada hentinya
kepadaku.
Aku persembahkan karya ini kepada seluruh teman seperjuangan yang selalu menempa diri dengan keras,
agar tidak digilas kehidupan yang penuh banalitas.
vii
KRITIK IDEOLOGI MODEL PEMBELAJARAN DIRECT LEARNING
DI SEKOLAH DASAR NEGERI MONGGANG, BANTUL
Oleh Mirza Bashiruddin Ahmad
11105241008
ABSTRAK
Para praktisi pendidikan di Indonesia banyak yang tidak sadar bahwa mereka tengah berada dalam kontestasi ideologi melalui arena pendidikan. Peneliti ingin menelisik dan menyingkap tabir ideologis model pembelajaran direct learning di SDN Monggang, Bantul. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan implementasi direct learning, melacak modus operasi ideologi, persebaran bentuknya, derivasi ideologis, praktek dominatif dan hegemonik yang terdapat di dalam model pembelajaran direct learning.
Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif deskriptif. Objek penelitian adalah proses pembelajaran yang melibatkan guru dan siswa kelas 2 SDN Monggang, Bantul. Teknik penelitian berbentuk observasi non partisipasi. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik perekaman kamera dan suara serta depth interview kepada guru dan siswa. Analisis data menggunakan triangulasi data dan hipotesis kerja.
Hasil penelitian memperlihatkan fakta bahwa direct learning yang dilaksanakan tanpa melakukan analisis karakteristik mata pelajaran dan jenis pengetahuan. Direct learning beroperasi pada modus teacher centered approach dengan menggunakan psikologi behaviorisme kaku yang menjadikan guru sebagai subjek pebelajar dan siswa sebagai objek belajar. Hegemoni kekuasaan di kelas sangat terasa dikuasai oleh guru yang dapat dilacak melalui teacher centered approach, dimana guru menjadi penguasa dan pemilik pengetahuan, sosok yang selalu menentukan citarasa dan rational choices siswa. Kata kunci: behaviorisme, guru, penindasan, hegemoni, kekuasaan.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan
kasih dan sayang-Nya dapat memberikan jalan untuk menyusun skripsi dengan
judul “Kritik Ideologi Model Pembelajaran Direct Learning di Sekolah Dasar
Negei Monggang, Bantul “ dengan baik.
Penyusunan skripsi ini dapat selesai dengan baik tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan oleh berbagai pihak. Oleh kerena itu pada kesempatan ini
penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Bapak Dr. Haryanto, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang
telah memberikan izin untuk menyusun skripsi ini.
2. Bapak Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si, selaku Ketua Jurusan Kurikulum
dan Teknologi Pendidikan yang telah memberikan izin dan fasilitas jurusan
untuk penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si, sebagai Pembimbing yang selalu
memberikan masukan, memotivasi dan menjadi partner diskusi dalam proses
penyusunan skripsi ini.
4. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Teknologi Pendidikan yang telah mencurahkan
waktu dan membekali ilmu selama di bangku perkuliahan.
5. Kepala Sekolah SDN Monggang yang telah meberikan izin dan kesempatan
penulis untuk melakukan penelitian.
6. Ibu Guru wali kelas dan seluruh siswa kelas II B di SDN Monggang yang
telah berpartisipasi dalam penelitian.
ix
7. Ayah dan Ibu serta segenap keluarga yang tak henti-hentinya selalu
mendukung sekuat tenaga dan selalu memberikan motivasi dalam penyelesain
skripsi ini.
8. Seluruh teman-teman yang memberikan dukungan sehingga skripsi dapat
terselesaikan dengan baik serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
berniat membuka khazanah keilmuan perspektif kritis.
Yogyakarta, 21 Mei 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... ii i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 6
D. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kritik Ideologi ........................................................................................... 9
B. Model Pembelajaran Direct Learning ....................................................... 19
1. Pengertian Model Pembelajaran Direct Learning................................. 19
2. Kelebihan Model Pembelajaran Direct Learning ................................. 20
3. Kekurangan Model Pembelajaran Direct Learning .............................. 22
4. Susunan Syntax Direct Learning ........................................................... 24
C. Pendekatan Teacher Centered ................................................................... 27
D. Teori Belajar Behaviorisme ...................................................................... 29
1. Hukum Belajar Behaviorisme ............................................................... 31
xi
2. Prinsip-Prinsip Dalam Pendekatan Behaviorisme ................................ 34
3. Pengaruh Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran ............................. 35
4. Analisis Tentang Teori Behaviorisme ................................................... 35
5. Aspek Evaluasi ...................................................................................... 38
6. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme ....................... 39
BAB III METODE PENELITIAN
A. Penelitian Kualitatif .................................................................................. 40
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 41
C. Tacit Knowledge ....................................................................................... 42
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 43
E. Teknik Observasi Non Partisipasi ............................................................ 48
F. Penyusunan Catatan Lapangan ................................................................. 49
G. Teknik Analisis Data ................................................................................ 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Pada Proses Pembelajaran ............................................. 55
B. Hasil Depth Interview ............................................................................... 60
1. Pandangan Menurut Siswa .................................................................... 60
2. Pandangan Menurut Guru ..................................................................... 63
C. Pembahasan .............................................................................................. 65
1. Tahap Penetapan dan Penyusunan Materi............................................. 69
2. Tahap Proses Pembelajaran................................................................... 72
3. Tahap Penilaian Hasil Belajar ............................................................... 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................... 91
B. Saran ......................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 94
LAMPIRAN .................................................................................................. 99
xii
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Suasana Belajar didalam Kelas ................................................. 56
Gambar 2. Suasana Kelas Saat Bel Istirahat Berbunyi ................................ 58
Gambar 3. Siswa Berbaris didepan Kelas Sebelum Memulai Pembelajaran ............................................................................. 68 Gambar 4. Kondusifitas yang Diharapkan Oleh Guru ................................ 71
Gambar 5. Kondisi Kelas Sebelum Pembelajaran Dimulai ........................ 82
Gambar 6. Kondusifitas yang Hanya Bertahan 10 Menit Setelah Guru Keluar Kelas ........................................................ 85 Gambar 7. Tampak Depan SDN Monggang, Sewon, Bantul ..................... 115
Gambar 8. Nomenklatur SDN Monggang yang Diukir dalam Aksara Jawa ............................................................................... 116 Gambar 9. Tampak Depan Gerbang Utama SDN Monggang, Sewon, Bantul ........................................................................... 117 Gambar 10. Bagan Struktur Organisasi SDN Monggang ............................. 118
Gambar 11. Suasana Pembelajaran Olahraga di SDN Monggang ................ 123
Gambar 12. Siswa Sedang Bermain di Dalam Kelas (i) ............................... 123
Gambar 13. Siswa Sedang Bermain di Dalam Kelas (ii) ............................... 124
Gambar 14. Kondisi Meja Siswa Saat Jam Istirahat ..................................... 124
Gambar 15. Kondisi Kolong Meja Siswa yang Menyimpan Buku Agar Tidak Membawa Beban Berat Saat Sekolah .................... 125 Gambar 16. Jumlah Buku dan Perlengkapan yang Dibawa Oleh Siswa di Setiap Hari Senin ............................................... 125 Gambar 17. Proses Interview Bersama Siswa ............................................... 126
Gambar 18. Groufie Bersama Siswa Pasca Penelitian .................................. 126
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Peta Arahan Depth Interview: Objek Guru ............................. 99
Lampiran 2. Peta Arahan Depth Interview: Objek Siswa ........................... 100
Lampiran 3. Transkrip Depth Interview Siswa ........................................... 101
Lampiran 4. Transkrip Depth Interview Guru ............................................ 111
Lampiran 5. Profil Sekolah ......................................................................... 115
Lampiran 6. Profil Guru Dan Siswa ............................................................ 120
Lampiran 7. Data Kelas II B SDN Monggang ............................................ 122
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian .......................................................... 123
Lampiran 9. Catatan Lapangan Penelitian ................................................... 127
Lampiran 10. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ............................ 133
Lampiran 11. Silabus Pembelajaran .............................................................. 158
Lampiran 12. Surat Permohonan Izin Penelitian .......................................... 171
Lampiran 13. Surat Keterangan Izin ............................................................. 173
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para praktisi pendidikan di Indonesia baik yang berada di lembaga formal,
non-formal maupun popular education banyak yang tidak sadar bahwa mereka
tengah berada dalam kontestasi ideologi melalui arena pendidikan. Umumnya
orang selalu mengira bahwa kegiatan / proses pendidikan selalu memiliki watak
yang mulia dan penuh kebaikan, namun jika ditelisik lebih dalam maka dengan
segera bisa kita temukan fragmen-fragmen yang saling berkonsolidasi untuk
memperkuat poros ideologi. Destutt de Tracy (dalam Thompson, 2015:50)
menggambarkan bahwa kita tidak dapat mengetahui benda-benda pada dirinya,
tapi hanya melalui ide-ide yang terbentuk berdasarkan sensasi kita terhadap
benda-benda tersebut. De Tracy ingin mengajukan sebuah klausul, yakni untuk
melakukan analisa terhadap ide dan sensasi maka dibutuhkan seluruh pengetahuan
ilmiah yang kuat guna menarik kesimpulan secara lebih praktis.
Mac Intyre (dalam O’Neil, 2008:32) memaparkan bahwa ideologi
merupakan upaya penggambaran karakteristik-karakteristik tertentu alam atau
masyarakat maupun keduanya, ideologi tidak sekedar memberitahu kita
bagaimana dunia ini sebenarnya dan apa yang harus kita lakukan, melainkan ia
berkenaan dengan arah yang diberikan oleh yang satu kepada yang lain. Pada
konteks yang sama, Sargent (dalam O’Neil, 2008:33) menjelaskan bahwa ideologi
adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau
kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi menyediakan sebuah potret dunia
2
sebagaimana adanya dan sebagaimana harusnya dunia itu, dengan melakukan hal
tersebut maka ideologi telah mengorganisir kerumitan (kompleksitas) yang besar
menjadi sesuatu yang cukup sederhana dan bisa dipahami. Bahkan Roland
Barthes (2009) menjelaskan bahwa mitos merupakan bagian penting dari ideologi,
dan di era pasca Perang Dunia ke-II, ideologi telah memanifestasikan diri ke
dalam pesan, jargon dan slogan masa kini seperti “Menjunjung Tinggi
Profesionalisme, Transparansi, Efektifitas dan Efisiensi”. Melalui analisa semiotik
Barthes mampu membuktikan terdapat ideologi terselubung yang tersembunyi
dibalik pesan, jargon dan slogan yang tak asing di telinga kita.
Derivasi ideologi yang telah dianalisa secara semiotik oleh Barthes
membuktikan bahwa penjelasan Sargent maupun Mac Intyre benar adanya,
ideologi bertransformasi dan berdiaspora kedalam setiap sendi kehidupan. Sistem
pembelajaran dalam suatu pendidikan pun juga tidak luput dari ideologi, karena
tanpanya baik pembelajaran ataupun pendidikan tidak memiliki landasan yang
jelas arah dan geraknya. Dalam pemahaman yang lebih konkrit, ideologi
diidentikkan dengan paham (isme) tertentu, beberapa diantaranya adalah
konservatisme, liberalisme dan anarkisme.
O’neil (2008:512) melakukan analisa ideologi-ideologi dalam pendidikan,
salah satunya berdasarkan sudut pandang sifat dan karakter kurikulum pendidikan,
aliran konservatisme menekankan yang akademik lebih penting dari yang praktis
dan yang intelektual. Lain lagi dengan aliran liberalisme, ia menekankan bahwa
yang intelektual lebih penting daripada yang akademik dan yang praktis.
Penentuan skala prioritas potensi yang harus dikembangkan (akademik/
3
intelektual/ praktis) berdasarkan kepada keyakinan dimana pada ideologi apa ia
didasarkan. Ideologi memegang peranan kunci dalam menentukan sistem nilai
yang diterima sebagai fakta. Hal ini juga dalam bahasan selanjutnya akan
menentukan segi-segi pembelajaran yang lain, misalnya tentang bagaimana
ideologi termanifestasikan kedalam hubungan guru dan siswa, metode mengajar,
perlakuan terhadap siswa, jenis mata pelajaran, strategi pembelajaran,
membangun konstruksi pemahaman hingga penilaian hasil belajar.
Hiruk pikuk kebutuhan zaman tak ayal juga mempengaruhi paradigma
pendidikan, dalam satuan yang lebih kecil yakni paradigma pembelajaran. Ia
berkembang dan bermetamorfosa menjadi beraneka ragam bentuk dan model
pembalajaran. Paradigma pembelajaran juga turut terkena imbasnya, sebagai
kepala sebuah lokomotif maka paradigma harus disusun sedemikian rupa untuk
merespon dan menghadapi tuntutan zaman, sehingga fase transisi perubahan
paradigma menjadi titik kunci membangun sebuah cara berpikir pada suatu
permasalahan.
Pergeseran paradigma tersebut tentu saja membuat masalah di Indonesia
menjadi semakin pelik, seringkali permasalahan ini disebut para analis pendidikan
sebagai –meminjam istilah Mansour Fakih: Reformasi Kosmetik Dunia
Pendidikan. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk bebas
memperoleh pengetahuan diartikan sebagai pembangunan infrastruktur
pendukung secara massif dan menjadi prioritas utama tanpa mempertimbangkan
sisi substansial. Mudah dijumpai pada suatu pembelajaran yang didukung fasilitas
modern namun secara desain, bahan ajar dan metode masih menggunakan tipe
4
classical-conditioning-behavioral. Masa transisi pada pergeseran paradigma ini
kemudian tidak digarap serius baik di level nasional hingga daerah. Tidak heran
kemudian kondisi sosiologis peserta didik yang terlahir pada era ini bingung
beradaptasi pada lingkungan yang semakin menuntut rasionalitas ala positivistik.
Tuntutan perubahan zaman di era digital dan potensi perubahan sistemik
dalam pendidikan maupun pembelajaran membuat kajian teknologi pendidikan
harus dengan segera diperluas. Sebelum itu, nampaknya diperlukan sebuah
langkah sebelum maju ke arah pembuatan teori baru yang sesuai dengan realitas,
tahap tersebut adalah refleksi. Konsep praxis yang ditawarkan dalam sebuah
transformasi perubahan oleh Freire (1970) adalah memberi titik tekan pada aksi
(teori-praktek) dan refleksi. Refleksi yang dimaksud adalah pembacaan ulang atas
kebekuan totalitas. Pendidikan mengemban tugas yang tidak mudah, yakni
mampu mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan, artinya ia juga dituntut –
meminjam istilah Budi Hardiman; saying the unsayable.
Berdasarkan realitas di SDN Monggang Bantul, model direct learning
merupakan salah satu yang ingin peneliti sasar dalam refleksi kali ini. Model ini
kerapkali bahkan selalu digunakan sebagai pembenaran atas classroom
dominations oleh guru. Model ini merupakan model pembelajaran yang sama saat
pemerintah kolonial masih memerintah Hindia Belanda dimana guru diposisikan
secara overcontrolled sebagai penguasa atas pengetahuan, sebagai pemilik narasi
kebenaran.
Konsep direct learning yang seringkali mengusung metode ceramah
hampir selalu digunakan dalam setiap pembelajaran di Indonesia pada berbagai
5
jenjang pendidikan tanpa adanya analisis karakteristik mata pelajaran seperti yang
peneliti temui di SDN Monggang Bantul dan satu hal yang lebih penting, muatan
ideologis apakah yang tercantum didalam syntax model pembelajaran direct
learning karena seperti apa yang peneliti paparkan diatas, bahwa pendidikan
merupakan arena kontestasi ideologi. Perihal muatan ideologis yang terselubung
di dalam model pembelajaran direct learning merupakan sebuah tantangan bagi
pendidikan Indonesia yang seharusnya berpegang teguh pada dasar negara, yakni
pendidikan sebagai ajang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang secara
kontributif turut mewakili nilai-nilai luhur ke-gotong-royong-an, kebhinnekaan
dan kerakyatan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Para praktisi pendidikan masih banyak yang belum sadar bahwa pendidikan
merupakan arena pertarungan ideologi yang menjelma dan terderivasi dalam
polarisasi yang majemuk.
2. Pergeseran paradigma pembelajaran dari teacher centered ke arah student
centered tidak segera menemukan bentuknya dalam pembelajaran di
Indonesia, fakta paradoksal memberikan petunjuk bahwa Indonesia tengah
terjebak pada reformasi kosmetik.
3. Standing position keilmuan teknologi pendidikan dalam menghadapi
pertarungan ideologi dan pergeseran paradigma yang mengharuskan
perluasan kajian teoritis dan praktis serta keberpihakan tertentu.
6
4. Model pembelajaran yang merupakan salah satu komponen desain
pembelajaran ditengarai menjadi wadah yang sarat muatan ideologis.
5. Model pembelajaran SDN Monggang Bantul di dominasi oleh direct learning
dengan tanpa melakukan analisis karakteristik mata pelajaran dan analisis
pebelajar.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan, maka dapat diungkapkan bahwa ketidaksadaran praktisi pendidikan
seperti di SDN Monggang Bantul yang didominasi oleh direct learning dengan
tanpa melakukan analisis karakteristik mata pelajaran dan analisis pebelajar
merupakan arena kontestasi ideologi yang membuat semua nilai-nilai kebajikan
yang ditanamkan patut dipertanyakan kembali.
Ketidakjelasan arah ideologi pendidikan Indonesia untuk membangun
generasi yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan berlandaskan
semangat kerakyatan, kebhinnekaan dan persatuan seharusnya menjadi
keprihatinan para akademisi, atas dasar tersebut peneliti ingin melakukan kajian
spesifik pada sebuah model pembelajaran, yaitu Kritik Ideologi Model
Pembelajaran Direct Learning di Sekolah Dasar Negeri Monggang Bantul.
7
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi model pembelajaran direct learning di SDN Monggang
Bantul ?
2. Bagaimana modus operasi, persebaran bentuk dan derivasi ideologis model
pembelajaran direct learning di SDN Monggang Bantul ?
3. Bagaimana bentuk hegemoni penguasaan dan dominasi dalam praktek model
pembelajaran direct learning di SDN Monggang Bantul ?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk melakukan kritik ideologi.
2. Untuk mengetahui selubung muatan ideologis di dalam model pembelajaran
direct learning.
3. Untuk menyadarkan para praktisi pendidikan terhadap derivasi dan polarisasi
ideologi agar selalu cermat di dalam masa pergeseran dan perbaikan pendidikan.
F. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis; Memperluas kajian teknologi pendidikan dan memberikan
perspektif kritis-analitik pada fokus kajian model pembelajaran di masa
mendatang.
2. Secara praktis;
a. bagi pebelajar
1) Memberikan wawasan dan wacana kritis tentang ideologi, politik dan
pendidikan.
8
b. bagi akademisi dan praktisi pendidikan
1) Memberikan sumbangsih pengetahuan spesifik tentang model
pembelajaran.
2) Meningkatkan profesionalitas praktisi yang bergelut didunia pendidikan.
3) Mendorong penciptaan model-model pembelajaran yang memanusiakan.
c. bagi peneliti
1) mampu meningkatkan pemahaman pada penerapan kritik ideologi
terhadap perihal yang spesifik sehingga memperluas kajian teknologi
pendidikan.
9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kritik Ideologi
Karl Marx mengembangkan konsep kritik dalam rangka memperdalam
kajian materialismenya, ia menolak idealisme yang disampaikan oleh Hegel
mengenai dunia kesejarahan yang menurutnya sangat abstrak. Dibawah bendera
materialisme, Marx membuka lembaran kesejarahan dengan dialektika materi
yang saling geser dan gusur sehingga kesadaran manusia berubah-ubah mengikuti
perubahan material yang dimotori oleh dominasi manusia atas manusia yang lain
sehingga melahirkan ketimpangan. Maka dengan keras Marx melakukan kritik
terhadap sistem buatan manusia yang tiada henti mengeksploitasi dan
mengeksplorasi keserakahan.
Marx (1847) menyatakan bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat dan
sejarah adalah orang yang bekerja dengan alat kerja mengolah alam. Dalam
masyarakat, alat kerja, pekerja dan pengalaman kerja merupakan kekuatan
produksi masyarakat, sedangkan hubungan antar pekerja dalam proses produksi
itu merupakan hubungan produksi. Jika kekuatan produksi berkembang, hubungan
produksi juga berubah. Misalnya sistem gotong royong petani tradisional akan
berubah apabila diterapkan teknologi pertanian baru. Sejarah tidak lain dari
sejarah tenaga produksi dan hubungan produksi, atau dengan kata lain sejarah
ekonomi dan proses produksi dalam masyarakat.
Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan masyarakat melainkan cara-
cara produksi material-lah yang menciptakan gagasan. Justru cara-cara produksi-
10
lah yang menciptakan aneka gagasan manusia seputar masyarakat. Inilah
penjelasan singkat mengenai materialisme historis, ia menggunakan cara produksi
ekonomi sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan masyarakat maka ia
dikenal menganut determinisme ekonomi.
Cara produksi ekonomi memunculkan aneka institusi sosial seperti politik,
agama, pendidikan, atau keluarga. Institusi-institusi tersebut lalu mengembangkan
gagasan dan nilai-nilai aktual yang berlaku di tengah masyarakat. Engels (2007)
memaparkan bahwa gagasan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat hanya dibuat
oleh kelas dominan dalam cara produksi. Hanya mereka yang sempat merancang
hukum dan aneka peraturan karena waktu luang yang mereka miliki lebih banyak.
Akibatnya, gagasan serta nilai apapun yang muncul melulu merupakan instrumen
guna memelihara status quo. Di dalam masyarakat industrial, kelas tersebut
adalah kapitalis. Kelas ini sengaja menciptakan aneka institusi sosial, gagasan,
agama, dan nilai-nilai masyarakat guna mempertahankan ketimpangan struktur
sosial yang ada agar dominasi kelas tetap terpelihara. Bahkan negara pun tidak
lain merupakan instrumen kelas borjuis dan kapitalis untuk memastikan
kepatuhan kelas proletar agar terus bekerja sesuai kepentingan mereka.
Kritik ala Marxian ini mencoba menjelaskan keadaan secara riil di
lapangan infrastruktur dimana basis ekonomi dikuasai oleh segelintir orang yang
disebut sebagai borjuis dan yang ditindas adalah proletar. Ia menganalisis dari
segi basis ekonomi yang biasa disebut determinasi ekonomi sehingga begitu
jelasnya terlihat bahwa kaum borjuis menguasai alat produksi ekonomi
11
masyarakat luas dan mereka sengaja diperas keringatnya untuk memperkaya kaum
borjuis.
Antonio Gramsci seorang neo-marxis mencoba melakukan inovasi dalam
melakukan pengamatan terhadap penindasan tersebut. Gramsci (Nezar
Patria,2009) menganalisis komponen suprastruktur masyarakat dan berhasil
mengeluarkan teori hegemoni. Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu
hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau
kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain.
Konsep hegemoni menjadi trend setelah digunakan sebagai penyebutan
atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan
kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah
sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya
sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara
institusional maupun perorangan; ideologi mendiktekan seluruh cita rasa,
kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-
hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.
Gramsci (dalam Clark M., 1977) menjelaskan bahwa hegemoni
merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan
kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan
dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan
masyarakat yang dikuasai.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan
12
kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring
kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka
yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Disini terlihat adanya
usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa,
dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan
sebagai kelas dominan yang melakukan penguasaan kepada kelas bawah
menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran
masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung
kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas
dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat)
adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta
intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.
John Storey (dalam O’neil,2008) menjelaskan konsep hegemoni untuk
mengacu kepada proses sebagai berikut:
Sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya
mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui
pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni
terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus
yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana
kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide,
tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka
pada struktur kekuasaan yang ada.
13
Atas dasar landasan neo-marxis, Paulo Freire mencoba menganalisis
masyarakat di Brazil dan bergerak langsung melawan penindasan suprastruktur,
yaitu dalam bidang pendidikan. Paulo Freire (2008) berpendapat bahwa hegemoni
yang dilakukan oleh kaum borjuis haruslah dilawan dengan counter hegemony.
Jika Gramsci merumuskan intelektual organik di dalam masyarakat yang mencoba
mempropaganda balik dan membongkar kebusukan the dominant ideology, maka
jangkauan dari praksis Paulo Freire lebih luas, yakni memberikan proses
penyadaran kepada publik lewat pendidikan.
Kaum borjuis yang menggunakan instrumen pendidikan sebagai arena
perjuangan politik terselubung mereka, coba dibongkar oleh Freire dan dia balik
menggunakannya sebagai instrumen penyadaran dari kesadaran palsu yang selama
ini dibentuk oleh kaum borjuis. Pendidikan kaum borjuis disebut sebagai proses
produksi, yakni memproduksi pengetahuan, manusia yang bisa mereka gunakan
dalam kehidupan kapitalisme, seperti logika link and match dan sekolah
menengah kejuruan yang mengarah langsung sebagai tenaga kerja yang akan
dipekerjakan dalam sistem kapitalisme. Sistem pendidikan yang pernah ada dan
mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of
education) dimana pebelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat
mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi
dan sumber deposito petensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis
lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang
mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara
depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik.
14
Freire percaya bahwa tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi
ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan
mereka, namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis, sebagai
suatu subsistem dengan sistem sosial, merupakan hubungan pertentangan dan
kontradiksi timbal balik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai bejana
kosong yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu
pengetahuan yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif,
sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak
berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka,
sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan
akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan
siswa, yang wajib diingat dan dihafalkan. Secara sederhana, Freire (2008)
menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:
1) Guru mengajar, siswa belajar
2) Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa
3) Guru berpikir, siswa dipikirkan
4) Guru bicara, siswa mendengarkan
5) Guru mengatur, siswa diatur
6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti
7) Guru bertindak, siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan
tindakan gurunya
8) Guru memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan diri
15
9) Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan siswa-
siswa
10) Guru adalah subyek proses belajar, siswa obyeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang
lumrah saja jika siswa-siswa kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya
sebagai prototype manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani
dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan nekrofili
dan bukannya melahirkan biofili .
Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti siswa-siswa akan
benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada
saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika di antara
mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan segera dimulai
dalam dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. Sistem pendidikan
menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang
masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan
dan pembaruan.
Bagi Freire, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar
dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini telah
menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut
(disinherited masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya,
karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti orang
lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
16
Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah
penafsiran seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu
merubah realitas dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan
pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling
revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang
yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah
menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan
mitos-mitos baru yang sebenarnya setali tiga uang alias sama saja, bahkan
terkadang jauh lebih buruk.
Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri,
yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem
pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan
diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata
Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan – bukan untuk penguasaaa.
Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya
(social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas
manusia dan, karena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi
dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang
menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan
kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis
(magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran
kritis (critical consciousness).
17
1. Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat
kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin
yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem
politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia
(natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
2. Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
3. Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan
lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial,
politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat
langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana dialogis, maka
kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang
menjauhkan seseorang dari rasa takut akan kemerdekaan (fear of freedom),
dengan cara menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan
kaum tertindasnya Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan
akan pentingnya peran proses penyadaran. Pembebasan dan pemanusiaan manusia
hanya bisa dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang
benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, tidak
pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan
pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya ingin ia capai. Jadi, sangatlah
mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya
18
memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia
sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan dan
bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya.
Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin
memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya.
Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan
sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.
Lebih lanjut dimaknai bahwa pendidikan yang disertai adanya kedudukan
wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum,
galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak
hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang
menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam
itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan
dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala
mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada
kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran
kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan
Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh
kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep
pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui
pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat
tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya
19
lebih dipandang sebagai suatu gerakan politik ketimbang suatu gerakan yang
mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire sempat diusir oleh
pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire
adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi submerged society
kepada open society.
B. Model Pembelajaran Direct Learning
1. Pengertian Model Pembelajaran Direct Learning
Departemen Pendidikan Nasional (2009) merilis langsung terminologi
model pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang menekankan
pada penguasaan konsep dan/atau perubahan perilaku dengan mengutamakan
pendekatan deduktif, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. transformasi dan ketrampilan secara langsung
b. pembelajaran berorientasi pada tujuan tertentu
c. materi pembelajaran yang telah terstuktur
d. lingkungan belajar yang telah terstruktur
e. distruktur oleh guru.
Guru berperan sebagai penyampai informasi, dan dalam hal ini guru
seyogyanya menggunakan berbagai media yang sesuai, misalnya film, tape
recorder, gambar, peragaan, dan sebaganya. Informasi yang disampaikan dapat
berupa pengetahuan prosedural (yaitu pengetahuan tentang bagaimana
melaksanakan sesuatu) atau pengetahuan deklaratif, (yaitu pengetahuan tentang
sesuatu dapat berupa fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi).
20
2. Kelebihan Model Pembelajaran Direct Learning
a. Dengan model pembelajaran langsung, guru mengendalikan isi materi dan
urutan informasi yang diterimaoleh siswa sehingga dapat mempertahankan
fokus mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa.
b. Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.
c. Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan-
kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat
diungkapkan.
d. Dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan
pengetahuan faktual yang sangat terstruktur.
e. Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan
keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi
rendah.
f. Dapat menjadi cara untuk menyampaikan informasi yang banyak dalam
waktu yang relatif singkat yang dapat diakses secara setara oleh seluruh
siswa.
g. Memungkinkan guru untuk menyampaikan ketertarikan pribadi mengenai
mata pelajaran (melalui presentasi yang antusias) yang dapat merangsang
ketertarikan dan dan antusiasme siswa.
h. Ceramah merupakan cara yang bermanfaat untuk menyampaikan informasi
kepada siswa yang tidak suka membaca atau yang tidak memiliki
keterampilan dalam menyusun dan menafsirkan informasi. Secara umum,
ceramah adalah cara yang paling memungkinkan untuk menciptakan
21
lingkungan yang tidak mengancam dan bebas stres bagi siswa. Para siswa
yang pemalu, tidak percaya diri, dan tidak memiliki pengetahuan yang
cukup tidak merasa dipaksa dan berpartisipasi dan dipermalukan.
i. Model pembelajaran langsung dapat digunakan untuk membangun model
pembelajaran dalam bidang studi tertentu. Guru dapat menunjukkan
bagaimana suatu permasalahan dapat didekati, bagaimana informasi
dianalisis, dan bagaimana suatu pengetahuan dihasilkan.
j. Pengajaran yang eksplisit membekali siswa dengan ”cara-cara disipliner
dalam memandang dunia dan dengan menggunakan perspektif-perspektif
alternatif” yang menyadarkan siswa akan keterbatasan perspektif yang
inheren dalam pemikiran sehari-hari.
k. Model pembelajaran langsung yang menekankan kegiatan mendengar
(misalnya ceramah) dan mengamati (misalnya demonstrasi) dapat
membantu siswa yang cocok belajar dengan cara-cara ini.
l. Ceramah dapat bermanfaat untuk menyampaikan pengetahuan yang tidak
tersedia secara langsung bagi siswa, termasuk contoh-contoh yang relevan
dan hasil-hasil penelitian terkini.
m. Model pembelajaran langsung (terutama demonstrasi) dapat memberi siswa
tantangan untuk
n. mempertimbangkan kesenjangan yang terdapat di antara teori (yang
seharusnya terjadi) dan observasi (kenyataan yang mereka lihat).
o. Demonstrasi memungkinkan siswa untuk berkonsentrasi pada hasil-hasil
dari suatu tugas dan bukan teknik-teknik dalam menghasilkannya. Hal ini
22
penting terutama jika siswa tidak memiliki kepercayaan diri atau
keterampilan dalam melakukan tugas tersebut.
p. Siswa yang tidak dapat mengarahkan diri sendiri dapat tetap berprestasi
apabila model pembelajaran langsung digunakan secara efektif.
q. Model pembelajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi guru
sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan memperbaikinya.
3. Kelemahan Model Pembelajaran Direct Learning
a. Model pembelajaran langsung bersandar pada kemampuan siswa untuk
mengasimilasikan informasi melalui kegiatan mendengarkan, mengamati,
dan mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki keterampilan dalam hal-
hal tersebut, guru masih harus mengajarkannya kepada siswa.
b. Dalam model pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan
dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan
pemahaman, gaya belajar, atau ketertarikan siswa.
c. Karena siswa hanya memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif,
sulit bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
interpersonal mereka.
d. Karena guru memainkan peran pusat dalam model ini, kesuksesan strategi
pembelajaran ini bergantung pada image guru. Jika guru tidak tampak siap,
berpengetahuan, percaya diri, antusias, dan terstruktur, siswa dapat menjadi
bosan, teralihkan perhatiannya, dan pembelajaran mereka akan terhambat.
23
e. Terdapat beberapa bukti penelitian bahwa tingkat struktur dan kendali guru
yang tinggi dalam kegiatan pembelajaran, yang menjadi karakteristik model
pembelajaran langsung, dapat berdampak negatif terhadap kemampuan
penyelesaian masalah, kemandirian, dan keingintahuan siswa.
f. Model pembelajaran langsung sangat bergantung pada gaya komunikasi
guru. Komunikator yang buruk cenderung menghasilkan pembelajaran yang
buruk pula dan model pembelajaran langsung membatasi kesempatan guru
untuk menampilkan banyak perilaku komunikasi positif.
g. Jika materi yang disampaikan bersifat kompleks, rinci, atau abstrak, model
pembelajaran langsung mungkin tidak dapat memberi siswa kesempatan
yang cukup untuk memproses dan memahami informasi yang disampaikan.
h. 9Model pembelajaran langsung memberi siswa cara pandang guru mengenai
bagaimana materi disusun dan disintesis, yang tidak selalu dapat dipahami
atau dikuasai oleh siswa. Siswa memiliki sedikit kesempatan untuk
mendebat cara pandang ini.
i. Jika model pembelajaran langsung tidak banyak melibatkan siswa, siswa
akan kehilangan perhatian setelah 10-15 menit dan hanya akan mengingat
sedikit isi materi yang disampaikan.
j. Jika terlalu sering digunakan, model pembelajaran langsung akan membuat
siswa percaya bahwa guru akan memberitahu mereka semua yang perlu
mereka ketahui. Hal ini akan menghilangkan rasa tanggung jawab mengenai
pembelajaran mereka sendiri.
24
k. Karena model pembelajaran langsung melibatkan banyak komunikasi satu
arah, guru sulit untuk mendapatkan umpan balik mengenai pemahaman
siswa. Hal ini dapat membuat siswa tidak paham atau salah paham.
l. Demonstrasi sangat bergantung pada keterampilan pengamatan siswa.
Sayangnya, banyak siswa bukanlah pengamat yang baik sehingga dapat
melewatkan hal-hal yang dimaksudkan oleh guru.
3. Susunan Syntax Direct Learning
Tahapan atau sintaks model pembelajaran langsung menurut Bruce dan
Weil (1996), sebagai berikut:
a. Orientasi.
Sebelum menyajikan dan menjelaskan materi baru, akan sangat
menolong siswa jika guru memberikan kerangka pelajaran dan orientasi
terhadap materi yang akan disampaikan. Bentuk-bentuk orientasi dapat
berupa:
1) kegiatan pendahuluan untuk mengetahui pengetahuan yang relevan
dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa;
2) mendiskusikan atau menginformasikan tujuan pelajaran;
3) memberikan penjelasan/arahan mengenai kegiatan yang akan
dilakukan;
4) menginformasikan materi/konsep yang akan digunakan dan kegiatan
yang akan dilakukan selama pembelajaran; dan
5) menginformasikan kerangka pelajaran.
25
b. Presentasi.
Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran baik berupa
konsep-konsep maupun keterampilan. Penyajian materi dapat berupa:
1) penyajian materi dalam langkah-langkah kecil sehingga materi dapat
dikuasai siswa dalam waktu relatif pendek;
2) pemberian contoh-contoh konsep;
3) pemodelan atau peragaan keterampilan dengan cara demonstrasi atau
penjelasan langkah-langkah kerja terhadap tugas; dan
4) menjelaskan ulang hal-hal yang sulit.
c. Latihan terstruktur .
Pada fase ini guru memandu siswa untuk melakukan latihan-latihan.
Peran guru yang penting dalam fase ini adalah memberikan umpan balik
terhadap respon siswa dan memberikan penguatan terhadap respon siswa
yang benar dan mengoreksi respon siswa yang salah.
d. Latihan terbimbing .
Pada fase ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berlatih konsep atau keterampilan. Latihan terbimbing ini baik juga
digunakan oleh guru untuk mengases/menilai kemampuan siswa untuk
melakukan tugasnya. Pada fase ini peran guru adalah memonitor dan
memberikan bimbingan jika diperlukan.
26
e. Latihan mandiri.
Pada fase ini siswa melakukan kegiatan latihan secara mandiri, fase
ini dapat dilalui siswa jika telah menguasai tahap-tahap pengerjaan tugas
85-90% dalam fase bimbingan latihan.
Di lain pihak, Slavin (1988) mengemukakan tujuh langkah dalam
sintaks pembelajaran langsung, yaitu sebagai berikut.
1) Menginformasikan tujuan pembelajaran dan orientasi pelajaran
kepada siswa. Dalam tahap ini guru menginformasikan hal-hal yang
harus dipelajari dan kinerja siswa yang diharapkan.
2) Mereview pengetahuan dan keterampilan prasyarat. Dalam tahap ini
guru mengajukan pertanyaan untuk mengungkap pengetahuan dan
keterampilan yang telah dikuasai siswa.
3) Menyampaikan materi pelajaran. Dalam fase ini, guru menyampaikan
materi, menyajikan informasi, memberikan contoh-contoh,
mendemontrasikan konsep dan sebagainya.
4) Melaksanakan bimbingan. Bimbingan dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan untuk menilai tingkat pemahaman siswa dan
mengoreksi kesalahan konsep.
5) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih. Dalam tahap
ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih
27
keterampilannya atau menggunakan informasi baru secara individu
atau kelompok.
6) Menilai kinerja siswa dan memberikan umpan balik. Guru
memberikan reviu terhadap hal-hal yang telah dilakukan siswa,
memberikan umpan balik terhadap respon siswa yang benar dan
mengulang keterampilan jika diperlukan.
7) Memberikan latihan mandiri. Dalam tahap ini, guru dapat memberikan
tugas-tugas mandiri kepada siswa untuk meningkatkan
pemahamannya terhadap materi yang telah mereka pelajari.
C. Pendekatan Teacher Centered
Teacher-centered approach (TCA) adalah suatu pendekatan belajar yang
berdasar pada pandangan bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan dan
keterampilan. Cara pandang bahwa pembelajaran (mengajar) sebagai proses
menyampaikan atau menanamkan ilmu pengetahuan ini memiliki beberapa ciri
sebagai berikut.
Pertama memakai pendekatan berpusat pada guru atau teacher-centered
approach. Dalam TCA gurulah yang harus menjadi pusat dalam KBM. Dalam
TCA, guru memegang peran sangat penting. Guru menentukan segalanya. Mau
diapakan siswa? Apa yang harus dikuasai siswa, semua tergantung guru. Bahkan
seorang guru di TCA memiliki hak legalitas keabsahan pengetahuan (yang benar
itu seperti yang dikatakan guru). Oleh karena begitu pentingnya peran guru, maka
biasanya proses pengajaran hanya akan berlangsung manakala ada guru, dan tak
28
mungkin ada pembelajaran apabila tidak ada guru. Sehubungan dengan
pembelajaran yang berpusat pada guru, minimal ada tiga peran utama yang harus
dilakukan guru, yaitu: guru sebagai perencana; sebagai penyampai informasi; dan
sebagai evaluator.
Selain guru sebagai pusat yang menentukan segalanya dalam
pembelajaran, ciri lain adalah siswa ditempatkan sebagai objek belajar. Siswa
dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami apa yang harus
dipahami, sehingga dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk memahami
segala sesuatu yang disampaikan guru. Peran siswa adalah sebagai penerima
informasi yang diberikan guru. Jenis pengetahuan dan keterampilan kadang tidak
mempertimbangkan kebutuhan siswa, akan tetapi berangkat dari pandangan yang
menurut guru dianggap baik dan bermanfaat.
Sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk mengembangkan
kemampuan sesuai dengan bakat dan minatnya, bahkan untuk belajar sesuai
dengan gaya belajarnya menjadi terbatas. Sebab dan proses pembelajaran
segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.
Ciri yang ketiga adalah kegiatan pembelajaran terjadi pada tempat dan
waktu tertentu. Misalnya dengan penjadwalan yang ketat, siswa hanya belajar
manakala ada kelas yang telah didesain sedemikian rupa sebagai tempat belajar.
Adanya tempat yang telah ditentukan, sering pengajaran terjadi sangat formal,
siswa duduk di bangku berjejer, dan guru didepan kelas. Demikian juga hanya
dalam waktu yang diatur sangat ketat. Misalnya manakala waktu belajar satu
materi tertentu telah habis, maka segera siswa akan belajar materi lain sesuai
29
dengan jadwal yang telah ditentukan. Cara mengajarinya pun seperti bagian-
bagian yang terpisah, seakan-akan tak ada kaitannya antara materi pelajaran yang
satu dengan lainnya.
Ciri keempat, tujuan utama pengajaran adalah penguasaan materi
pelajaran. Keberhasilan suatu proses pengajaran diukur dari sejuah mana siswa
dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Materi pelajaran itu
sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari materi pelajaran yang
disampaikan di sekolah. Sedangkan mata pelajaran itu sendiri merupakan
pengelaman-pengalaman manusia masa lalu yang disusun secara sistematis dan
logis, kemudian diuraikan dalam buku-buku pelajaran dan selanjutnya isi buku itu
harus dikuasai siswa. Kadang-kadang siswa tidak perlu memahami apa gunanya
mempelajari bahan tersebut. Oleh karena kriteria keberhasilan ditentukan oleh
penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan biasanya adalah
tes hasil belajar tertulis (paper and pencil test) yang dilaksanakan secara periodik.
D. Teori Belajar Behaviorisme
Teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah
laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan
perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan
atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon.
Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting
diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur
hanyalah stimulus dan respon.
30
Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian
juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan
menguat. Tokoh-tokoh penting teori behavioristik antara lain Thorndike, Watson,
Skinner, Hull dan Guthrie.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan
sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan
dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar
menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu
hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental.
Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat
dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu.
31
1. Hukum Belajar Behaviorisme
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan
behaviorisme ini, diantaranya :
a. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons
menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus –
Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan
efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan
yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2) Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada
asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan
satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini
menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3) Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus
dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih
dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
b. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor
anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
32
1) Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang
dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan
(yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks
dan stimulus lainnya akan meningkat.
2) Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang
dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan
reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
c. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus
dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya :
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
menurun bahkan musnah.
Reber (dalam Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang
membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respon dalam
33
operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak
sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam
classical conditioning.
d. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational
learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru
dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku
individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R
Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu
sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari
individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui
peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori
ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir
dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang
mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson
34
yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie
dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan
Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The
Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The
Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori
pengurangan dorongan.
2. Prinsip-Prinsip Dalam Pendekatan Behaviorisme
Adapun beberapa prinsip dalam pendekatan behaviorisme, yakni
sebagai berikut:
a. Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan; Agar klien
terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut
hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara
sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
b. Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak
diinginkan;
c. Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan
terham-batnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan;
d. Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh
atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung);
e. Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku
yang diinginkan dengan sistem kontrak.
35
3. Pengaruh Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran
Pengaruh teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar
ditekankan sebagai aktivitas yang menuntut siswa untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran
mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar.
Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori
behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh lingkungan;
b. Mementingkan bagian-bagian;
c. Mementingkan peranan reaksi;
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur
stimulus respon;
e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya;
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan;
g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
4. Analisis Tentang Teori Behaviorisme
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses
perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang
masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan
36
kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian
tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak
pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang
menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skinner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-
hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan
stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat
menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka
memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap
suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan
37
respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh
pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak
sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain
pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya
hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara;
b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata
38
lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain
yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon
yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif
adalah mengurangi agar memperkuat respons.
5. Aspek Evaluasi
Tes objektif sebagai teknik atau alat penilaian yang digunakan untuk
mengukur hasil belajar mastery learning dan mastery testing, merupakan
bukti nyata dari pengaruh pemikiran behavioristik. Dalam
39
perkembangannya hingga sekarang tes standar (standardized testing)
dikembangkan dari tes objektif yang behavioristik itu, bukan hanya di
sekolah dan lembaga pendidikan melainkan telah menjadi bagian dari
industri pendidikan. Gagasan KBK (Competency-Based Curriculum,
Competency-Based Learning) tak lain juga merupakan kebijakan yang
dipengaruhi (disadari atau tak disadari) oleh pemikiran behavioritik.
6. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme
Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan
dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini
dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Namun
kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa
belajar merupakan proses pembentukan atau shaping yaitu membawa siswa
menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik
untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan
investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap
muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian
(McMillan & Schumacher, 2003). Penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan
sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Sekalipun
demikian, data yang dikumpulkan dari penelitian kualitatif memungkinkan untuk
dianalisis melalui suatu penghitungan.
Penelitian kualitatif (Qualitative research) bertolak dari filsafat
konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif
dan suatu pertukaran pengalaman sosial (a shared social eperience) yang
diinterpretasikan oleh individu-individu. (Nana Syaodih, 2001 : 94).
Sementara itu, menurut (Sugiyono, 2009:15), metode penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya
adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan
sample sumber dan data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik
pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi (gabungan) analisis data bersifat
induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna
daripada generalisasi.
41
Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistic
(naturalistic research), karena penelitian dilakukan dalam kondisi yang alamiah
(natural setting). Disebut juga penelitian etnografi, karena pada awalnya metode
ini banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya. Selain itu
disebut sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan dianalisis lebih
bersifat kualitatif.
Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek yang alamiah
maksudnya, objek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti
dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi dinamika pada objek tersebut.
Sebagaimana dikemukakan dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah
orang atau peneliti itu sendiri (human instrument). Untuk dapat menjadi instrumen
maka peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga
mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti
menjadi lebih jelas dan bermakna.
B. Lokasi dan Waktu Peneitian
Lokasi penelitian berada di SDN Monggang, Pendowoharjo, Sewon, Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan waktu 4 hari di bulan
Maret 2016, dengan masa pendekatan dan penyesuaian selama 2 minggu di bulan
Februari 2016. Penelitian dilakukan pada beberapa mata pelajaran acak pada kelas
II B.
42
C. Tacit Knowledge
Tacit Knowledge adalah pengetahuan yang terdapat di dalam otak/pikiran
kita sesuai dengan pemahaman, keahlian dan pengalaman seseorang biasanya
pengetahuan ini tidak terstruktur, susah untuk didefinisikan dengan bahasa formal
dan isinya mencakup pemahaman pribadi. Pengetahuan ini umumnya belum
terdokumentasi karena pengetahuan ini masih ada pada keahlian atau pengalaman
seseorang
Tacit Knowledge memiliki ciri khas yaitu diperoleh dari pengalaman,
pengalaman yang kita pernah liat, rasakan dan lakukan akan kita memahami
pengalaman tersebut melalui percakapan yang kemudian kita cerna di dalam otak
kita tidak mudah di komunikasikan / diberikan kepada orang lain karena sulit
untuk di ekspresikan, karena minimal kita harus menggunakan media dalam
penyampaian kepada orang lain.
· Dapat di transfer secara efektif melalui person to person base, yaitu
pengetahuan yang di dapat oleh kita akan mudah untuk di transfer melalui
percakapan dari kita ke orang lain.
Pengetahuan tacit memungkinkan individu untuk memahami masalah dan
solusi untuk masalah yang dikenal tanpa bisa menjelaskan rasionalnya. Filsuf
Polanyi menggambarkan pengetahuan tacit adalah sebagai pengetahuan yang
mengetahui lebih dari yang kita tahu, atau mengetahui bagaimana melakukan
sesuatu tanpa berpikir tentang hal ini, seperti naik sepeda. Menurut Smith (2001),
pengetahuan tacit terdiri dari model mental, asumsi, persepsi, keyakinan, nilai-
nilai dan wawasan. Di tingkat individu, digunakan untuk mengelola diri sendiri,
43
orang lain, dan tugas seseorang. Dalam konteks yang lebih besar, dapat diterapkan
untuk membuat dan mengendalikan tugas yang lebih besar, seperti sistem
administrasi organisasi global.
Smith (2001) juga membahas pengertian pengetahuan implisit, dan
menghasilkan kesimpulan bahwa tacit adalah sama dengan pengetahuan implisit.
Namun, Fred Nichols (2000) membuat perbedaan antara tacit dan implisit. Dia
mendefinisikan pengetahuan implisit sebagai pengetahuan yang dapat diamati
dalam kinerja pendekatan / baik profesionalnya, metode, atau tindakan. Namun,
belum diartikulasikan dan disajikan dalam bentuk eksplisit. Sebagai
perbandingan, pengetahuan eksplisit telah dinyatakan dalam beberapa bentuk
fisik, sementara tacit tidak dan tidak dapat diartikulasikan.
Pengetahuan tacit yang baru dan pengetahuan eksplisit diciptakan tidak
hanya melalui interaksi sosial, tetapi juga melalui proses generalisasi dan
standardisasi, serta melalui sistemik dan terorganisir, atau individu, cara bekerja
dan belajar, melalui penggunaan berbagai alat dll. Prosesnya adalah dinamis,
melibatkan individu, kelompok, dan organisasi, dan menggunakan saluran yang
berbeda, seperti interaksi sosial, database, jaringan manusia dan digital, dan
kombinasi dari ketiganya.
D. Teknik Pengumpulan Data (Wawancara Mendalam)
Wawancara adalah merupakan pertemuan antara dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu (Hariwijaya 2007: 73-74). Wawancara juga merupakan
44
alat mengecek ulang atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang
diperoleh sebelumnya dan juga merupakan teknik komunikasi langsung antara
peneliti dan responden.
Menurut (Moleong, 2007 : 186) wawancara mendalam merupakan proses
menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan
fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini metode
wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang
telah dipersiapkan sebelumnya.
Wawancara merupakan bagian dari metode kualitatif. Dalam metode
kualitatif ini ada dikenal dengan teknik wawancara-mendalam (In-depth
Interview). Pengertian wawancara-mendalam (In-depth Interview) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang
diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara
dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif
lama (Sutopo 2006: 72). Ciri khusus/Kekhasan dari wawancara-mendalam ini
adalah keterlibatannya dalam kehidupan responden/informan.
Dalam wawancara-mendalam melakukan penggalian secara mendalam
terhadap satu topik yang telah ditentukan (berdasarkan tujuan dan maksud
diadakan wawancara tersebut) dengan menggunakan pertanyaan terbuka.
Penggalian yang dilakukan untuk mengetahui pendapat mereka berdasarkan
perspective responden dalam memandang sebuah permasalahan. Teknik
45
wawancara ini dilakukan oleh seorang pewawancara dengan mewawancarai satu
orang secara tatap muka (face to face).
Materi dalam wawancara-mendalam tergantung dari tujuan dan maksud
diadakannya wawancara tersebut. Agar hasil dari wawancara tersebut sesuai
dengan tujuan penelitian, diperlukan keterampilan dari seorang pewawancaranya
agar nara sumbernya (responden) dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan
pertanyaan yang diajukan. Beberapa teknik dalam wawancara agar berjalan
dengan baik, adalah:
1. Menciptakan dan menjaga suasana yang baik.
a. Adakan pembicaraan pemanasan: dengan menanyakan biodata responden
(nama, alamat, hobi dll), namun waktunya jangan terlalu lama (±5 menit)
b. Kemukakan tujuan diadakannya penelitian, dengan maksud agar
responden memahami pembahasan topik yang akan ditanyakan dan supaya
lebih transparan kepada responden (adanya kejujuran).
c. Timbulkan suasana bebas: maksudnya responden boleh melakukan
aktifitas yang lain ketika sesi wawancara ini berlangsung sehingga
memberikan rasa “nyaman” bagi responden (tidak adanya tekanan),
misalnya responden boleh merokok, minum kopi/teh, makan dan lain-lain.
d. Timbulkan perasaan bahwa ia (responden) adalah orang yang penting,
kerjasama dan bantuannya sangat diperlukan: bahwa pendapat yang
responden berikan akan dijaga kerahasiannya dan tidak ada jawaban yang
salah atau benar dalam wawancara ini. Semua pendapat yang responden
kemukakan sangat penting untuk pelaksanaan penelitian ini.
46
2. Mengadakan probing. Probes adalah cara menggali keterangan yang lebih
mendalam, hal ini dilakukan karena :
a. Apabila jawaban tidak relevan dengan pertanyaan.
b. Apabila jawaban kurang jelas atau kurang lengkap.
c. Apabila ada dugaan jawaban kurang mendekati kebenaran.
3. Tidak ada sugesti
Tidak memberikan sugesti untuk memberikan jawaban-jawaban tertentu
kepada responden yang akhirnya nanti apa yang dikemukakan (pendapat)
responden bukan merupakan pendapat dari responden itu sendiri
4. Intonasi suara
Jika pewawancara merasa lelah atau bosan atau tidak suka dengan jawaban
responden, hendaknya intonasi suara dapat dikontrol dengan baik agar responden
tetap memiliki rasa “nyaman” dalam sesi wawancara tersebut. Hal yang dapat
dilakukan misalnya; mengambil minum.
5. Kecepatan berbicara
Agar responden dapat mencerna apa yang ditanyakan sehingga
memberikan jawaban yang diharapkan oleh pewawancara.
6. Sensitifitas pertanyaan
Pewawancara mampu melakukan empati kepada responden sehingga
membuat responden tidak malu dalam menjawab pertanyaan tersebut.
7. Kontak mata
8. Kepekaan nonverbal
47
Pewawancara mampu melihat gerakan dari bahasa tubuh yang ditunjukan
oleh responden, misalnya responden merasa tidak nyaman dengan sikap yang
ditunjukan oleh pewawancara, pertanyaan atau hal lainnya. Karena hal ini dapat
menyebabkan informasi yang diterima tidak lengkap.
9. Waktu
Dalam pelakasanaan wawancara-mendalam ini pewawancara dapat
mengontrol waktu. Hal ini dikuatirkan responden dapat menjadi bosan, lelah
sehingga informasi yang diharapkan tidak terpenuhi dengan baik. Waktu yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan wawancara-mendalam yang dilakukan secara tatap
muka adalah 1-2 jam, tergantung isu atau topik yang dibahas.
Sebelum dilakukan wawancara-mendalam, perlu dibuatkan pedoman (guide)
wawancara. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pewawancara dalam menggali
pertanyaan serta menghindari agar pertanyaan tersebut tidak keluar dari tujuan
penelitian. Namun pedoman (guide) wawancara tersebut tidak bersifat baku ◊ dapat dikembangkan dengan kondisi pada saat wawancara berlangsung dan tetap
pada koridor tujuan diadakannya penelitian tersebut.
Agar dalam pembuatan report serta analisa wawancara-mendalam berjalan
dengan baik, diperlukan alat dokumentasi untuk menunjang pelaksanaan
wawancara-mendalam tersebut. Alat dokumentasi adalah :
1. Recorder (alat perekam suara)
Hal ini bertujuan untuk memudahkan pewawancara mengingat kembali
mengenai wawancara yang telah dilakukan. Sehingga dapat membantu dalam
pembuatan report dan analisanya.
48
2. Kamera
Dilakukan untuk kepentingan arsip dan juga untuk mencegah terjadinya
pelaksanaan wawancara dengan responden yang sama agar informasi yang
diberikan tidak bias.
3. Catatan lapangan
Hal ini dilakukan sebagai informasi tambahan (faktor pendukung) dalam
melakukan analisa.
E. Teknik Observasi Non Partisipasi
Seorang pengamat bisa melakukan pengumpulan data tanpa harus
melibatkan diri ke dalam situasi dimana peristiwa itu berlangsung, melainkan
dengan menggunakan media tertentu. Cara yang demikan disebut sebagai
nonpartisipasi. Tentu penggunaan nonpartisipasi ini karena alasan atau tujuan
tertentu. Kadangkala jenis penelitian ini bisa dilakukan oleh orang yang sangat
pemalu yang senang melaksanakan etnografis, tetapi ingin menghindari
keterlibatan. Kadang-kadang suatu situasi sosial khusus tidak memungkinkan
untuk semua partisipasi, tetapi memungkinkan untuk mengadakan penelitian.
Menonton televisi memberikan kesempatan lain bagi nonpartisipan untuk
melakukan observasi. Sebagai contoh jenis program yang sedikit kurang
dipanggungkan yang memberikan kemungkinan pengamat, seperti permainan
sepakbola.
49
Adanya aturan-aturan dari pemegang kekuasaan atau pimpinan yang tidak
memungkinkan pengamat berpartisipasi di dalamnya, memungkinkan pengamat
mengumpulkan data melalui media elektronik seperti pengamatan terhadap
suasana sidang, perilaku anggota sidang, komentar tertentu, laporan tertentu dan
berbagai bentuk perilaku lainnya.
F. Penyusunan Catatan Lapangan
Membuat catatan lapangan dilakukan saat peneliti berada pada tahap
pengumpulan data. Keberhasilan pencatatan semua kejadian dan tingkah laku
yang diamati sangat banyak ditentukan oleh kemampuan peneliti sendiri. Apabila
tidak ada gangguan, rintangan atau hambatan antara peneliti dan yang diamati
maka pencatatan secara spontan adalah sesuatu yang tepat untuk digunakan.
Pencatatan terhadap suatu objek yang diamati hendaklah dilakukan secepat
mungkin sesudah observasi dilakukan. Selagi apa yang diamati masih segar dalam
pikiran peneliti dan disempurnakan kembali pada waktu berikutnya.
Suatu hal yang diperlukan dan diperhatikan dalam membuat catatan
lapangan adalah objek, individu atau kejadian yang diamati tidak tahu bahwa
pencatatan sedang dilakukan. Hal itu dimaksudkan agar supaya objek tersebut
tidak bersifat reaktif.
Perbedaan dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif terhadap catatan
lapangan terletak pada sumber data yang akan digunakan. Metode penelitian
kuantitatif bersifat kuantitatif dari hasil pengukuran variabel yang
dioperasionalkan dengan menggunakan instrumen. Sedangkan pada metode
50
penelitian kualitatif, bersifat deskripitif kualitatif dari dokumen pribadi, catatan
lapangan, ucapan dan tindakan responden. Maka dalam bahasan ini akan lebih
berfokus pada penelitian kualitatif.
Menurut Moelong (2007:154) bentuk catatan lapangan pada dasarnya
adalah wajah catatan lapangan yang terdiri dari halaman depan dan halaman-
halaman berikutnya disertai petunjuk paragraf dan baris tepi.
1. Halaman Pertama
Menurut Lexy J. Moleong (2007:154) pada halaman pertama setiap
catatan lapangan diberi judul informasi yang dijaring, waktu yang terdiri dari
tanggal dan jam dilakukannya pengamatan dan waktu menyusun catatan lapangan,
tempat dilaksanakannya pengamatan itu, dan diberi nomor urut sebagai bagian
dari seluruh perangkat catatan lapangan.
2. Alinea dan batas tepi
Alinea atau paragraf dalam catatan lapangan memegang peranan khusus
dalam kaitannya dengan analisis data. Oleh karena itu, setiap kali menuliskan satu
pokok persoalan, peneliti harus membuat alinea baru. Kemudian, batas tepi kanan
catatan lapangan harus diperlebar dari biasanya karena akan digunakan untuk
memberikan kode pada waktu analisis. Kode tersebut berupa nomor dan judul-
judul tertentu. Atas dasar pemberian kode dengan judul-judul tersebut dapat
diperkirakan berapa lembar batas tepi yang perlu disisakan.
51
Menurut Idrus (2007:93) mengenai bentuk catatan lapangan pada dasarnya
belum ada kesepakatan antar para ahli tentang bagaimana bentuk catatan lapangan
yang baik. Namun demikian sebagai persiapan tentang isi catatan lapangan itu
harus memuat:
1. Judul atau tema yang ditulis
Penulisan tema ini penting agar memudah peneliti dalam membuat
kategori-kategori. Tentu saja tema ini dapat diambil sesuai topik yang
dibicarakan. Hanya saja perlu diingat tema tersebut tidak boleh lepas dari
kerangka besar desain penelitian yang sedang dirancang.
2. Menjelaskan tentang kapan aktivitas itu terjadi (jam, tanggal, hari).
Peneliti hendaknya menuliskan secara rinci kapan suatu dialog itu terjadi
lengkap denga tanggal, hari, jam saat di mulai dan saat wawancara itu selesai
dilakukan. Proses ini berguna saat peneliti hendak melakukan uji keabsahan data.
Dari catatan tersebut peneliti dapat memperkirakan kapan lagi jika suatu data
hendak dilakukan keabsahannya.
3. Menyebutkan siapa yang terlibat dalam aktivitas itu (baik si pengamat maupun
yang diamati).
Pada bagian ini sebutkanlah siapa yang diamati dan siapa yang berposisi
sebagai pengamat. Menjelaskan aktivitas apa yang sedang terjadi. Paparkan
aktivitas apa yang sedang dilakukan oleh subyek. Penggambaran aktivitas ini
penting agar peneliti dapat memahami perilaku sesuai konteks yang dialami oleh
informan. Di mana aktivitas itu terjadi. Jelaskan di mana aktivitas itu berlangsung.
52
Catatan lapangan merupakan catatan tertulis mengenai apa yang didengar,
dilihat, dialamai, dan dipikirkan dalam rangka mengumpulkan data dan refleksi
terhadap data dalam penelitian kualitif (Moleong,2007:153). Selain itu catatan
penelitian merupakan buku jurnal harian yang ditulis peneliti secara bebas, buku
ini mencatat seluruh kegiatan pembelajaran serta sikap siswa dari awal sampai
akhir pembelajaran.
F. Teknik Analisis Data
Pengertian analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskanya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain.
Analisis data kualitatif dijelaskan oleh Seiddel (dalam Moleong,
2007:248), memiliki proses perjalanan sebagai berikut :
1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,
2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,
membuat ikstisar, dan membuat indeksnya.
3. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menentukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum.
53
Dari definisi tersebut dapatlah kita pahami bahwa ada yang menggunakan
proses, ada pula kompeonen-komponen yang perlu ada dalam sesuatu analisis
data. Sehingga dapat dipahami bahwa urgensi sebuah analisis data yakni
terjadinya sebuah proses yang menitikberatkan pada komponen-komponen yang
ada. Sehingga di dapat sebuah temuan yang dapat dimaknai sebagai tujuan dari
penelitian.
Pada tahapan analisis data peneliti memfokuskan pada tiga pokok
persoalan. Ketiga pokok persoalan itu yaitu : konsep dasar, menemukan tema dan
merumuskan hipotesis kerja, dan bekerja dengan hipotesis kerja.
Konsep dasar dalam analisis data sebuah penelitian kualitataif terdiri dari
beberapa yang harus di jadikan sebagai pondasi dalam penelitian. Dasar tersebut
diantaranya :
1. Proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan
satuan uraian dasar.
2. Selanjutnya data-data yang telah dikondisikan tersebut, peneliti dapat
menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori
substantive.
3. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan uji data atau memverifikasi teori
yang sedang berlaku sehingga proses analisis data secepatnya dilakukan.
4. Setelah proses tersebut dilaksanakan peneliti juga perlu mendalami
kepustakaan guna mengonfirmasikan teori atau untuk menjastifikasikan
adanya teori baru yang barangkali ditemukan.
54
Setelah tema ditemukan, peneliti melakukan analisis secara lebih intensif,
tema, dan hipotesis kerja lebih diperkaya, diperdalam, dan lebih ditelaah lagi
dengan menggunakan data dan sumber-sumber lain. Sugiyono (2009)
menganjurkan beberapa petunjuk untuk diikuti seperti yang dikemukan sebagai
berikut :
1. Bacalah dengan teliti catatan lapangan anda
2. Berilah kode pada beberapa judul pembicaraan tertentu
3. Bacalah kepustakaan yang ada dengan masalah dan latar penelitian
Setelah langkah-langkah tersebut di perhatikan dan direalisasikan maka
efeknya adalah pekerjaan peneliti lebih terfokus, efektif dan efisien. Selanjutnya
di analisis berdasarkan hipotesia kerja.
Dengan hipotesis kerja, peneliti mengalihkan pekerjaan analisisnya dengan
mencari dan menemukan apakah hipotesis kerja itu didukung atau ditunjang oleh
data dan apakah hal itu benar. Dalam hal demikian peneliti barangkali akan
mengubah, menggabungkan, atau membuang beberapa hipotesis kerja.
55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian pada Proses Pembelajaran
SDN Monggang terletak di Desa Monggang, Sewon, Bantul. Sekolah ini
telah bertaraf nasional dengan predikat SDSN ( Sekolah Dasar Standar Nasional)
seperti persekolahan pada umumnya di Indonesia, SDN Monggang menggunakan
sistem kelas tahun bertingkat mulai dari kelas 1 sampai 6. Sekolah ini memiliki
jam belajar pada 07.00 WIB hingga 13.00 WIB pada hari Senin – Kamis.
Sedangkan pada hari Jumat dan Sabtu persekolahan berakhir lebih awal pada
pukul 11.00 WIB. Peneliti mendapatkan izin untuk meneliti pada kelas tingkat II
bagian B.
Setelah bel tanda masuk sekolah berbunyi, siswa berhamburan masuk ke
dalam kelas sedangkan peneliti berada diluar kelas untuk mengamati dari luar
jendela dan telah memasang kamera yang diletakkan di dalam kelas untuk
merekam seluruh aktivitas pembelajaran. Sebelum guru datang masuk ke kelas,
siswa masih asyik bermain, namun keadaan berubah drastis ketika salah seorang
siswa mengintip kedatangan guru kelasnya dari pintu. Siswa kembali
berhamburan dengan sigap untuk duduk di kursi masing-masing. Proses
pembelajaran diawali dengan duduk rapi dengan melipat tangan diatas meja
sembari mengucapkan salam kepada guru kemudian menjawabnya dan ketua
kelas memimpin untuk memberikan aba-aba membaca doa, kemudian siswa
membaca doa secara serentak dengan nada dan intonasi yang sama mulai dari
awal hingga akhir.
56
Ritus selesai dan kemudian masuk kepada proses pembelajaran pertama,
pada mapel bahasa Indonesia untuk menerangkan kalimat aktif dan pasif.
Dominasi pembicaraan memang dikuasai oleh guru, ia disana memiliki porsi
besar untuk menjadi pusat perhatian dan pembicara utama. Dalam beberapa mata
pelajaran selanjutnya juga masih sama, guru tetap memiliki porsi yang besar
dalam menyampaikan pelajajaran (berbicara). Guru sesekali dalam berbicara
berpindah posisi dari depan kelas berjalan beberapa langkah ke depan dan
samping agar siswa yang tidak fokus bisa kembali pada jalurnya. Beberapa kali
pula guru menyampaikan pertanyaan kepada siswa, namun seringkali ditanggapi
dingin sehingga terpaksa ia sendiri memberikan clue bahkan jawaban sendiri.
Gambar 1. Suasana Belajar didalam Kelas
Menurut pengamatan peneliti, siswa cenderung memiliki fokus,
konsentrasi dan interest yang berbeda dengan guru ketika pelajaran dimulai, ada
yang menatap kosong ke buku tulis sembari menggambar imajinasinya, ada yang
diam saja melihat guru tanpa memperdulikan teman didepan/belakang bangkunya
57
yang berbicara satu sama lain, ada pula siswa yang berjalan-jalan kesana kemari
untuk mencari teman bermain dan berbicara serta tentunya juga terdapat siswa
yang sangat fokus pada hal yang sedang disampaikan guru walaupun
prosentasenya lebih sedikit dibanding jenis variabel yang lain.
Ketika guru mengajukan beberapa pertanyaan true or false dan pertanyaan
yang jawabannya telah diketahui oleh siswa, siswa malah justru menanggapi
dengan dingin, mereka diam saja dan tidak memperdulikan. Hampir diseluruh
mata pelajaran yang diajarkan perilaku siswa berputar pada kejadian itu-itu saja.
Minimnya partisipasi diduga menjadi penyebab utama perilaku siswa yang terlihat
dalam pengamatan peneliti, apalagi proses ini telah terjadi bertahun-tahun dan
berulang-ulang.
Disaat bel istirahat berdentang, siswa langsung berhamburan keluar
sembari membawa bekal makanan dan uang saku untuk jajan di kantin atau
menyiapkan peralatan permainan yang akan dilakukan diluar kelas seperti kertas,
tongkat dan bola. Di luar kelas siswa terlihat menyebar dan mengelompokkan diri
ke beberapa grup kecil yang terbagi berdasarkan jalinan persahabatan maupun
kesamaan permainan, klub bola yang sama dan genre musik yang sama.
Sebelumnya berdasarkan pengamatan peneliti, perilaku dan ekspresi siswa pun
berubah drastis disaat 5-10 menit menjelang bel istirahat berbunyi, fenomena
yang mencolok adalah mereka semakin aktif di dalam kelas, maksud dari aktif
adalah semakin ramai, terlihat gaduh, saling berbicara satu sama lain sementara
guru sibuk menata administrasi di mejanya dan lalu lalang keluar masuk kelas,
sebelum hal ini terjadi, pada mata pelajaran terakhir menjelang bel istirahat guru
58
memberikan penugasan untuk mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) masing-
masing.
Gambar 2. Suasana Kelas Saat Bel Istirahat Berbunyi
Dentang bel istirahat seolah membangkitkan kebahagiaan dan jiwa khas
anak-anak para siswa, riuh rendah tawa dan teriakan yang mereka pendam selama
pelajaran berlangsung seolah pecah begitu saja tanpa sumbatan. Siswa berlarian
keluar, ada yang menuju pelataran sekolah, lorong kelas, taman dan kantin. Siswa
bebas mengekspresikan diri mereka selama 25 menit jam istirahat berlangsung.
Sewaktu jam pelajaran kembali bergulir selepas istirahat raut muka ceria
itu kembali seperti sebelumnya, kembali datar dan dingin, dan pelajaran hingga
akhir ini hanya diwarnai dengan salah seorang siswa dipindahkan tempat
duduknya didekat guru karena ia dianggap mengganggu temannya mengikuti
proses pembelajaran di kelas.
59
Sebelum pulang, ternyata SDN Monggang juga memiliki ritus sebelum
siswa meninggalkan persekolahan. Guru menginstrusikan kepada siswa agar meja
dirapikan dan dibersihkan, kemudian semua peralatan tulis dan buku dimasukkan
ke dalam tas dan segera dipakai. Setelah tas sudah dipunggung, guru hanya
mengatakan, “Ayo duduk dan bersiap pulang !” ujarnya. Sontak seluruh siswa
kembali mengambil sikap duduk sempurna dengan tangan dilipat diatas meja.
Salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk memulai doa sebelum pulang,
sama seperti dimulainya pembelajaran, kini mereka membaca dengan nyaring
serta dengan intonasi dan nada yang sama melafalkan QS. Al-Ashr secara
bersamaan, kemudian dilanjutkan dengan berdiri tegak sempurna menyanyikan
salah satu lagu wajib nasional yang diperintahkan oleh guru, yakni menyanyikan
lagu Bagimu Negeri. Bagian terakhir dari ritus ini adalah pelafalan semacam
manifesto dari SDN Monggang dengan lantang dan intonasi yang sama, kemudian
kembali duduk dengan sikap sempurna, menunggu guru menunjuk barisan tempat
duduk bagian mana yang akan dipulangkan terlebih dahulu dengan pertimbangan
bagian mana yang terlihat paling rapi, diam dan sempurna. Maka berakhirlah
persekolahan di hari tersebut dengan adegan terakhir mencium tangan guru
kemudian berhamburan keluar menuju ke orangtua yang telah menunggu diluar
gerbang sekolah ataupun mengambil sepeda mereka masing-masing
mengayuhnya cepat-cepat sambil balapan ria, ada juga yang dengan segera
menuju ke para pedagang jajanan sekolah yang telah menunggu jam pulang di
area luar sekolah. Riuh rendah tawa dan teriakan kembali menyeruak ketika
mereka keluar dari kelas.
60
Guru sempat menyatakan bahwa pembuatan bahan ajar atau saat
penentuan pokok-pokok pembelajaran dan segala rangkaian yang disusun dalam
desain sistem pembelajaran seperti RPP (Rencana Program Pembelajaran) dan
Silabus biasanya dikerjakan secara formalitas dengan alasan bahwa teknis
pelaksanaan pembelajaran di lapangan merupakan persoalan jam terbang
(pengalaman mengajar) guru dikelas sehingga guru merasa tidak perlu merasa
ribet pada tataran administratif.
Itulah hasil observasi proses pembelajaran yang peneliti ditemui, segala
jenis rutinitas didalam persekolahan terus menerus berulang dan lestari hingga
kelas tingkat 6. Segala macam bentuk pembelajaran dan ritus terkait juga terjadi
di seluruh kelas di persekolahan tersebut yang secara tidak sengaja terekam ke
dalam beberapa catatan penelitian di lapangan.
B. Hasil In-Depth Interview
1. Pandangan Menurut Siswa
Peneliti mewawancarai beberapa siswa terkait dengan proses
pembelajaran di sekolah dan juga mengidentifikasi rutinitas siswa mulai
dari berangkat sekolah hingga pulang kembali ke rumah. Tujuan utama
melakukan identifikasi pembelajaran di sekolah dan rutinitas ini didasari
oleh pengalaman kolektif pada semua orang yang pernah duduk di bangku
Sekolah Dasar yang pada umumnya memiliki beberapa persamaan pola
dan garis besar. Peneliti juga mewawancarai siswa terkait pengamatannya
61
terhadap perilaku guru di dalam kelas dan sekolah sehingga peneliti
mampu menyilangkan dua persepsi dari siswa dan guru itu sendiri.
Beberapa siswa menyatakan bahwa motif utama bersekolah adalah
karena bosan di rumah dan ingin memperluas jaringan pertemanan untuk
bermain. Menurut pengakuan siswa, orangtua mereka selalu mendorong
untuk belajar bersungguh-sungguh di persekolahan namun siswa tidak bisa
mengikuti kemauan tersebut karena naluri alamiah mereka menyatakan
ingin bermain dan bosan dengan pelajaran yang “itu-itu saja”. Siswa juga
mengeluhkan suasana pembelajaran yang monoton didalam kelas sehingga
pada jam istirahat tiba, sebagian besar siswa berhamburan keluar sembari
membawa bekal makanan dan mainan yang dibawa ke sekolah seperti bola
bekel dan bola sepak plastik. Tak jarang juga peneliti menangkap ekspresi
politik siswa terhadap realitas media televisi swasta nasional yang
dilontarkan lewat sikap dan ucapan, seperti menyanyikan lagu Perindo
yang sering diputar di MNC TV, saling mengejek antara Metro TV dan
TV One dan gaya siswa saat menirukan Surya Paloh berpidato.
Kondisi siswa di kelas terbagi menjadi beberapa kelompok kecil
yang pada umumnya dapat dipetakan melalui kedekatan teman bermain di
sekolah dan dirumah. Kelompok siswa ini juga memiliki public interest
masing-masing seperti interest terhadap klub sepakbola, kesukaan
permainan, tema rumpik dan genre musik.
Pergantian atmosfer di dalam kelas jarang sekali dilakukan, seperti
mengganti beberapa gambar yang ditempel dan bahkan konfigurasi tempat
62
duduk yang jarang dirolling. Menurut siswa, guru hanya akan memutar
posisi tempat duduk siswa yang dianggap sebagai troublemaker ke posisi
depan atau dekat guru agar lebih mudah dikontrol tingkah lakunya. Guru
dipersepsikan siswa sebagai pribadi yang jahat dan galak, karena ia sering
menyuruh, memberi tugas, memarahi dan tidak komunikatif sama sekali.
Peneliti juga mendapatkan waktu penelitian disaat persekolahan
melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS). Para siswa mengaku sedikit
gentar melaksanakan UTS dikarenakan orangtua mereka menuntut mereka
bisa mencapai standar minimal dalam ujian. Siswa mengaku takut ketika
mendapat soal yang sulit dan tidak ada teman yang membantu, namun
dalam kenyataannya ada beberapa teman yang dianggap tidak kooperatif,
jenis siswa yang seperti ini (tidak kooperatif) biasanya mendapatkan
hukuman sosial dari beberapa siswa di kelas dengan diejek sebagai pribadi
yang pelit dan terkadang juga dijauhi secara sosial dalam beberapa saat.
Soal UTS yang diberikan kepada siswa dalama semua mata pelajaran
berbentuk multiple choice sehingga siswa tinggal memilih salah satu
jawaban yang ia anggap benar. Terlebih di setiap akhir jam UTS pada
masing-masing mata pelajaran diadakan evaluasi langsung pada hasil akhir
jawaban siswa sehingga setiap siswa langsung mengetahui nilai akhir dari
masing-masing mata pelajaran yang diujikan.
Pada kenyataannya, setelah selesai UTS langsung pulang dan
melaporkan hasil UTS kepada orangtua masing-masing sebagai hasil
evaluasi pelajaran di tengah semester. Peneliti menemukan fakta lapangan
63
bahwa terdapat beberapa siswa yang tidak berani melaporkan hasil UTS
kepada orangtua dan cenderung menyembunyikan.
2. Pandangan Menurut Guru
Peneliti mewawancarai seorang guru kelas pengampu wali kelas II
B di SDN Monggang. Guru tersebut mengungkapkan bahwa karakter
kelasnya cukup mudah untuk dikendalikan karena distribusi karakter anak
dikelasnya cukup heterogen dan tidak didominasi oleh siswa yang berjenis
troublemaker. Sedangkan pada kelas II A jumlah siswa troublemaker lebih
banyak dibanding kelas yang diampunya. Guru mengakui bahwa
pembagian kelas ini menggunakan sistem randomize agar terjadi distribusi
yang merata di setiap kelas pada setiap tingkat. Indikator pembagian ini
biasanya diruntut dari prestasi siswa dan karakternya. Tak jarang juga
antar guru wali kelas harus berkompromi dengan karakter pribadi masing-
masing untuk menerima pembagian siswa troublemaker. Guru II B
mengakui bahwa pembagian siswa troublemaker ini juga disesuaikan
dengan karakter guru, dikarenakan guru II A memiliki karakter yang lebih
keras, maka jumlah siswa troublemaker dikelasnya lebih banyak.
Pengendalian siswa troublemaker ini terbilang susah, karena menurut
guru, siswa ini selalu berkeliaran mengitari bangku temannya dan
mengganggu siswa lain yang sedang fokus belajar.
Guru juga mengeluhkan bahwa seringkali siswa tidak berangkat
sekolah dengan alasan belum mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) yang
64
telah ditugaskan sebelumnya. Pada saat guru mempertanyakan
ketidakhadiran siswa tersebut, siswa hanya mengatakan bahwa dirinya
takut dimarahi dan takut mendapatkan sanksi. Guru juga memaparkan
bahwa siswa juga seringkali lupa membawa alat tulis dan buku mata
pelajaran yang sesuai jadwal pelajaran pada suatu hari.
Menurut pengakuan guru, ia sudah berusaha interaktif dan
komunikatif di dalam suatu pembelajaran di kelas, namun siswa cenderung
diam dan terlihat takut. Sewaktu peneliti bertanya tentang metode yang
sering guru gunakan dalam kegiatan pembelajaran, ia menjawab metode
ceramah dan tanya jawab secara langsung dengan siswa. Ternyata
“interaktif dan komunikatif” yang guru pahami adalah sebatas melakukan
komunikasi yang didalamnya terdapat unsur tanya jawab dan instruksi
langsung kepada siswa. Konfigurasi tempat duduk jarang diubah, namun
guru selalu responsif terhadap siswa troublemaker, sehingga siswa ini akan
secara langsung dipindahkan tempat duduknya di depan kelas atau di
sekitar jangkauan terdekat guru, agar ketika berulah, guru bisa secara sigap
bertindak.
Guru menyatakan bahwa dalam pembelajaran di setiap hari ia
hanya memperhitungkan matriks dan ketercapaian materi pembelajaran
pada setiap semester, sehingga instrumen desain pembelajaran seperti RPP
dan Silabus bukanlah hal yang dibuat untuk kepentingan teknis lapangan
secara riil, melainkan hanya dibuat untuk formalitas semata serta guru juga
65
menyatakan bahwa apa yang ia lakukan di kelas merupakan mengajar
dengan “insting alamiah” seorang guru dengan ditambahkan improvisasi.
B. Pembahasan
Pelembagaan pendidikan Indonesia tidak bisa lepas dari akar sejarah yang
panjang, mulai dari zaman klasik, kolonial, saat awal berdiri Republik hingga saat
ini. Peneliti mencoba menelusuri beberapa “aroma” yang ikut tercampur ke dalam
dunia pendidikan hari ini.
Pada zaman klasik dunia pendidikan tercampur dengan kebutuhan
pelembagaan agama terbesar yang pernah hidup, yakni Hindu dan Buddha
sehingga tujuan utama dari pendidikan saat itu merupakan mengembangkan
agama dan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai agama tersebut.
Peneliti mencurigai bahwa aroma yang terbawa hingga saat ini adalah aroma
kolonial yang masih melembaga ke dalam kehidupan sosial maupun
kepemerintahan.
Rifa’i (2011:58) menjelaskan bahwa sesudah VOC gulung tikar pada
1799, Indonesia menjadi daerah jajahan Belanda dengan nama Hindia-Belanda.
Pada saat Daendels memerintah, ia menyatakan bahwa perlu diselenggarakan
pendidikan bagi anak-anak Jawa untuk memperkenalkan kepada anak-anak
tentang kesusilaan, adat istiadat dan pengertian-pengertian agama. Namun niatan
tersebut urung dilaksanakan karena terjadi perpindahan kekuasaan Hindia
Belanda ke tangan Inggris pada 1811-1816. Baru setelah Belanda kembali
merebut Hindia Belanda kembali, keluarlah surat keputusan yang isinya tentang
66
penetapan anggaran belanja pendidikan bagi orang-orang Hindia Belanda,
terutama bagi anak-anak pegawai Hindia Belanda. Rifai (2011:59-63) juga
menjelaskan bahwa konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah
untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau
kantor-kantor yang lain.
Lagere Onderwijs atau Pendidikan Rendah diberikan oleh Belanda kepada
anak-anak pegawai Hindia Belanda yang diproyeksikan akn menjadi pegawai
rendahan nantinya. Pendidikan yang diberikan juga sebatas pelajaran menulis,
membaca dan berhitung, tidak lebih seperti kelas pemberantasan buta huruf.
Sedangkan pada Pendidikan Menengah kelas dibagi menjadi dua yakni Kelas
Pengetahuan Kebudayaan yang mempelajari sastra timur dan barat klasik, dan
Kelas Pengetahuan Alam. Pemerintah Belanda juga membentuk beberapa sekolah
kejuruan seperti Sekolah Pertukangan, Sekolah Teknik, dan Sekolah Dagang.
Inilah beberapa indikasi yang peneliti curigai sebagai aroma pelembagaan
pendidikan yang sampai hari ini terbawa oleh zaman kolonial. Pelembagaan kelas
pada level pendidikan menengah (Sekolah Menengah Atas) juga terpengaruh
pada pembagian kelas IPA dan IPS, terbentuk juga sekolah kejuruan yang
memiliki haluan yang sama persis seperti SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
berbasis Teknik baik teknik sipil, otomotif, elektro, multimedia dan seterusnya.
Kemudian juga ada SMK yang berbasis pada ekonomi dan akuntansi. Tujuan
utama Indonesia membentuk persekolahan ini (SMA/SMK/SMEA) juga harus
jujur disampaikan bahwa Indonesia ingin memberikan pendidikan bagi bangsanya
demi memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor.
67
Gunawan (1995:24-25) juga menjelaskan bahwa pada masa penjajahan
Jepang aroma fasisme dan militeristik ikut pula terbawa dan teradaptasi pada
persekolahan seperti siswa diwajibkan untuk melaksanakan upacara dimana ia
harus menyanyikan lagu kebangsaan dan mengibarkan bendera Jepang setiap pagi
hari sebelum pembelajaran dimulai. Siswa juga diwajibkan untuk mengikuti
latihan-latihan fisik dan kemiliteran, melaksanakan kerja bakti di hari tertentu.
Sedangkan bagi guru, setiap guru di daerah diwajibkan untuk mengirimkan
delegasi ke Jakarta untuk mengikuti penataran yang berfungsi sebagai bentuk
penyeragaman pola berfikir antara guru dengan pemerintah Jepang dan
sepulangnya dari penataran tersebut mereka harus kembali ke daerah masing-
masing untuk melatih teman-teman guru yang lain. Materi penataran yang
disampaikan pemerintah Jepang kepada guru adalah indoktrinasi mental dan
ideologi Jepang, latihan kemiliteran, bahasa dan sejarah Jepang, serta berolahraga
dan menyanyikan lagu-lagu dan nyanyian Jepang. Rifai (2011:88) juga
mendeskripsikan jenjang pendidikan zaman penjajahan Jepang terbagi menjadi 3
bagian yaitu Sekolah Rakyat (SR) dengan tahun kelas bertingkat yang ditempuh
selama 6 tahun, Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) dengan tahun kelas
bertingkat yang ditempuh selama 3 tahun dan Sekolah Menengah Tinggi (SMT)
dengan tahun kelas bertingkat yang ditempuh selama 3 tahun.
Beberapa hal peninggalan penjajahan Jepang yang teradaptasi hingga
sekarang seperti tradisi upacara bendera di hari Senin yang merupakan adaptasi
representatif dari kewajiban upacara di pagi hari saat zaman penjajahan Jepang,
baris-berbaris sebelum masuk kelas sebagai representasi dari salah satu bentuk
68
militerisme, adanya organisasi baris-berbaris di sekolah sebagai bentuk
representatif dari Seinendan (Barisan Tentara Pelajar) serta kerja bakti di hari
Jumat / Sabtu yang juga adaptasi representatif dari kerja bakti membersihkan jalan
dan asrama militer di zaman penjajahan Jepang.
Gambar 3. Siswa Berbaris di Depan Kelas Sebelum Memulai
Pembelajaran
Aroma yang peneliti cium dari zaman kolonial ternyata juga berhembus
jauh sampai pada realitas yang peneliti amati di SDN Monggang, Sewon, Bantul.
Bentuk struktur kelas bertingkat dengan jenjang 6 tahun, upacara bendera,
berbaris rapi sebelum masuk kelas, sikap duduk sempurna di dalam kelas juga
masih terjadi hingga saat ini. Residu-residu yang bermuatan nilai fasisme ini
justru terpelihara di alam demokrasi.
69
1. Tahapan Penetapan dan Penyusunan Materi
Sebagai sekolah yang berstandar nasional (SDSN – Sekolah Dasar
Standar Nasional) Guru di SDN Monggang melaksanakan penetapan dan
menyusun materi pembelajaran berdasarkan acuan yang telah ditetapkan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sehingga
guru menyusunnya kedalam Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan
Silabus. Penentuan dan penetapan materi/bahan ajar oleh guru merupakan
salah satu ciri utama dari direct learning yang dikemukakan oleh Slavin
(dalam Student Achievement,1988). Artinya penciptaan kondisi dan
kesadaran belajar dilakukan oleh guru, sehingga siswa secara simultan
menjadi objek belajar, bukan subjek belajar. O’neil (2008:412)
memberikan penjelasan bahwa kondisi belajar menurut kaum liberal
adalah kondisi yang dialami oleh individu secara emosional dan
psikologis, dan kondisi ini didesain sedemikian rupa agar pebelajar
mendapatkan kondisi belajar. Meletakkan kondisi belajar pada kondisi
psikologis ini juga sejalan dengan apa yang digagas oleh Pavlov, Bandura
dan Slavin yang notabene adalah kaum behavioris bahwa untuk
mengkondisikan kondisi belajar pada siswa maka diperlukan sebuah
rangsangan agar siswa mengalami perubahan tingkah laku dari tidak
belajar menjadi kondisi sedang belajar, kondisi ini merupakan respon yang
diharapkan, maka hubungan integralnya adalah tidak belajar –rangsangan
–sedang belajar. Kaum behavioris meyakini bahwa definisi belajar adalah
70
perubahan tingkah laku, dari diam menjadi bergerak, dari tidak tahu
menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar.
Pada fase orientasi dalam direct learning ini guru memfokuskan
diri untuk menentukan dan mengarahkan setiap tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran dan segala hal yang terkait dengan kerangka
pembuatan desain pembelajaran. Pada kenyataannya realitas kelas II B di
SDN Monggang, guru memang telah membuat segala macam bentuk
dokumen yang berkaitan dengan desain pembelajaran yang akan
digunakan, namun yang terpakai hanyalah matriks materi pembelajaran
yang telah tersusun untuk pembelajaran pada sutu semester, sehingga RPP
dan Silabus dianggap sebagai dokumen formalitas. Pada fase orientasi ini
terlihat bahwa model pembelajaran direct learning memang didesain untuk
mendiskriminasikan pebelajar, dimana struktur subjek dan objek memiliki
demarkasi yang jelas sehingga penekanan pada peran guru dalam fase
orientasi sejujurnya adalah bentuk penguasaan subjek terhadap objek.
Guru sebagai subjek berperan sebagai penentu seluruh kebijakan yang
akan diambil, ia adalah penguasa segala konsepsi yang kemudian akan
ditransfer kepada si objek.
71
Gambar 4. Kondusifitas yang Diharapkan Oleh Guru
Dalam hal ini guru terkondisikan sebagai pusat sumber belajar,
bahwa ia adalah dewanya pengetahuan dan paling tahu segala
pengetahuan, sedangkan siswa akan terkondisikan sebagai objek yang siap
menerima segala titah dan pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Iklim
seperti akan melahirkan patronase dan klientelisme dalam alam yang
sebenarnya telah dirancang untuk demokratis. Menjadi suatu paradoks
bagi dunia pendidikan, dimana alam kehidupan sosial telah digaungkan
menjadi alam yang demokratis, namun di sekolah siswa dididik secara
feodal. Atau bahkan lebih jauh dimungkinkan bahwa ini merupakan alam
feodal yang berkedok demokrasi.
Fakta berupa telah tersusunnya matriks materi pembelajaran
sejujurnya merupakan bentuk kontrol (pengendalian) materi pembelajaran.
Kontrol ini membuat detachment antara apa yang sebenarnya ingin
diketahui oleh siswa dengan apa yang akan diberikan oleh guru. Konsep
detachment ini sengaja dibuat untuk menjauhkan siswa dari realitas yang
72
sesungguhnya, yakni kehidupan nyata. Sekolah dibuat seolah-olah berjarak
dengan masyarakat, apa yang dikerjakan di dalam sekolah tidak ada
implikasinya langsung kepada masyarakat, bahkan sekolah malah
membuat permasalahan baru bagi masyarakat.
Direct learning yang mengusung guru sebagai pusat sumber belajar
sebenarnya diilhami oleh behaviorisme dan teacher centered approach
(TCA). Pendekakatan deduktif ini memang didesain untuk melakukan
pembelajaran dengan orientasi yang telah ditetapkan sebagai tujuan
tertentu. Materi yang telah terstruktur dan telah distruktur oleh guru
sebenarnya ditujukan kepada pengetahuan yang bersifat deklaratif dan
prosedural. Akan tetapi data penelitian menunjukkan bahwa model
pembelajaran dan pendekatan ini di-hantam-rata-kan kepada semua jenis
pengetahuan (semua mata pelajaran).
2. Tahapan Proses Pembelajaran di Kelas
Fase kedua adalah presentasi, dalam direct learning guru berperan
besar sebagai sumber belajar, pemilik pengetahuan. Berdasarkan data
lapangan, guru mengajar menggunakan metode ceramah dan jarang
melakukan interaksi dua arah kepada siswa, bahkan faktanya siswa merasa
takut kepada sang guru karena guru dipersepsikan oleh siswa sebagai
pribadi yang jahat dan galak. Guru berperan sebagai pesan yang akan
disampaikan ke siswa setelah melalui tahap perancangan (orientasi) oleh
guru. Modus operasi dalam presentasi adalah ketercapaian dan ketepatan
73
pesan yang tersampaikan kepada siswa, entah bagaimanapun bentuk
komunikasi yang akan dijalin haruslah berbanding lurus dengan ketepatan
pesan yang diterima oleh siswa. Ia berperan sebagai bentuk citarasa yang
hegemonik kepada si pebelajar.
Komunikasi satu arah adalah jenis komunikasi yang terjadi dalam
data penelitian, ia merupakan komunikasi yang berlangsung dari satu
pihak saja, yaitu hanya dari pihak komunikator dengan tidak memberi
kesempatan kepada komunikan untuk memberikan respon atau tanggapan
seperti atasan sedang memberikan perintah kepada anak buahnya, dan
komandan perang memberikan komando kepada pasukannya. Komunikasi
jenis ini biasanya terimplementasikan pada metode ceramah yang
seringkali dipilih oleh guru dalam menyampaikan materi karena semangat
transfer of knowledge diikuti oleh nilai dominasi komunikasi yang
mengesampingkan komunikan. Sedangkan frekuensi interaksi (dialog)
sangat jarang terjadi, data penelitian menunjukkan bahwa dalam sebuah
mata pelajaran, frekuensi dialog berkisar antara 0 – 1 kali. Hal ini
berakibat pada pasifnya siswa dalam kegiatan pembelajaran dan
berimplikasi lurus kepada berkembangnya gaya instruksi komandan-anak
buah (patron-klien) dan matinya rasa ingin tahu siswa. Menurut peneliti,
apabila terus berlangsung berulang-ulang kali maka respon yang dimiliki
oleh siswa adalah menempatkan guru pada tempat yang Maha Tahu segala
pengetahuan, sehingga tercipta struktur subjek aktif dan objek pasif serta
74
menunjukkan kedudukan siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak
memiliki apa-apa.
Belajar untuk merubah tingkah laku lebih dikenal sebagai
behaviorisme. Ia merupakan salah aliran psikologi yang memandang
individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek –
aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Salah satu ciri utama dari model pembelajaran direct learning
adalah transfer pengetahuan dari guru kepada siswa yang bertujuan untuk
penguasaan konsep. Siswa dididik untuk mengetahui banyak hal tanpa
memperdulikan asal pengetahuan dan nilai yang dibawanya. Konsep
pembelajaran seperti ini diungkapkan oleh Freire (2008) sebagai Banking
Concept. Siswa lantas diperlakukan sebagai bejana kosong yang akan diisi,
sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan yang
akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang siswa
adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau
menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai
obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan
akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus
ditelan siswa, yang wajib diingat dan dihafalkan.
75
Jika guru hanya bertindak memaksakan apa yang ingin ia berikan
kepada siswa tanpa melakukan dialog terlebih dahulu dengan siswa
mengenai apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka inginkan maka
pendidikan yang terjadi tidak lebih dari pengulangan cara kerja yang
diajarkan oleh guru kepada siswa. Siswa hanya akan jadi objek peniru
bukan subjek yang mempunyai hak untuk ikut melaksanakan proses
pendidikan.
Perlu diketahui jika ketidakmanusiawan kaum penindas dan kaum
tertindas juga sama-sama menggunakan ilmu pengetahuan. Tetapi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh kaum penindas bertujuan
untuk menjadikan kaum tertindas sebagai benda untuk kepentingan ilmiah
belaka. Oleh karena itu kaum tertindas harus ikut terlibat dalam proses
praksis politik agar mereka tidak dijadikan objek kepentingan ilmiah saja.
Harus disadari bahwa daya penindasan itu terjadi secara luas dan
mendalam. Bahkan dalam banyak hal yang kelihatannya paling netral
dalam pendidikan, yakni dalam belajar membaca dan menulis, penindasan
itu telah terjadi. Disana siswa sudah ditekan dan diperalat sedemikian rupa
seperti seorang budak yang diperalat oleh kekuasaan tuannya untuk
menggarap apa yang diinginkannya. Jadi, yang terjadi bukanlah hubungan
belajar mengajar, tetapi pemaksaan dunia mereka yang berkuasa terhadap
mereka yang tak berkuasa. Jelas proses belajar mengajar semacam ini telah
memblokir manusia untuk menjadi manusia.
76
Mensitir pernyataan Freire, Benny Susetyo (2005: 7-10)
menuturkan bahwa proses dehumanisasi meskipun merupakan fakta
sejarah yang konkret, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat
dari tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan-tangan
para penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas.
Freire percaya bahwa sebuah tatanan masyarakat yang adil, sistem norma,
prosedur, kekuasaan dan hukum memaksa individu-individu untuk percaya
bahwa kemiskinan dan ketidakadilan adalah fakta yang tidak terelakkan
dalam kehidupan manusia; bahwa tatanan yang tidak adil ini telah
meletakkan kekuasaan di tengah segelintir orang dan menempatkan mitos-
mitos di benak semua orang.
Belajar untuk merubah tingkah laku lebih dikenal sebagai
behaviorisme. Ia merupakan salah aliran psikologi yang memandang
individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek –
aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Bentuk-bentuk sanksi seperti dimarahi, diberi tugas tambahan dan
sejenisnya merupakan punishment yang didalam behaviorisme dikenal
sebagai law of operant conditioning, yaitu sebuah hukum yang
mengharuskan adanya stimulus penguat untuk membuat/mengembalikan
respon sesuai dengan harapan. Siswa yang tidak mengerjakan PR akan
77
ditegur, dimarahi, bahkan dihukum diluar kelas sehingga di hari
selanjutnya tidak akan mengulangi hal yang dianggap “penyimpangan”.
Begitu juga sebaliknya apabila ada siswa yang dianggap guru sebagai
siswa yang rajin, pintar dan on the track sesuai dengan harapan maka guru
akan memberikan reward berupa pujian, tepuk tangan dari seisi kelas atau
bingkisan khas jawara di akhir semester.
Penyingkiran aktivitas mental, emosi dan kognisi siswa dalam
aliran behaviorisme ini mengakibatkan diri siswa mengalami
keterguncangan tujuan. Siswa merasa ada distingsi antara dunia “dalam
kelas” dengan dunia alamiah mereka bersama teman dan keluarga,
akhirnya tujuan utama siswa bukanlah persekolahan di dalam kelas,
melainkan pada jam istirahat, jam kosong dan ketika guru tidak hadir.
Tujuan siswa menjadi memperluas jaringan pertemanan dan membuka
komunikasi dengan dunia yang sama sekali baru bagi dirinya. Dititik ini
sekolah ataupun KBM di dalam kelas menjadi artifisial bagi siswa,
sekalipun siswa telah dijejali berbagai macam bentuk investasi
pengetahuan dan telah terjadi perubahan tingkah laku.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses
perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang
masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan
kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-
78
bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang
kompleks.
Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-
program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-
respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skinner.
Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih
tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya
mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak
memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
79
banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak
sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain
pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya
hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Terkait dengan permasalahan penyimpangan yang disematkan
kepada siswa troublemaker, disini bentuk pengendalian benar-benar
menemukan bentuknya, meletakkan siswa dekat dengan jangkauan
pengamatan guru. Siswa dianggap sebagai objek yang harus bisa
dikendalikan oleh guru, mampu mematuhi segala perintah dan titahnya,
jika menyimpang maka perlu kalibrasi ulang. Gramsci menekankan bahwa
kekuasaan hegemonik menentukan segala bentuk perilaku, citarasa bahkan
pilihan-pilihan rasional kaum yang dikuasainya. Di dalam kelas bentuk
hegemoni ini sangat terasa, siswa diajari dan dikonstruksi tentang segala
bentuk perilaku, citarasa dan pilihan rasionalnya, seperti tidak gaduh di
dalam kelas, dilarang berlarian di dalam kelas, berpakaian seragam harus
rapi dan bersih, kuku tidak boleh panjang, rambut tidak boleh gondrong,
harus datang tepat waktu dan lain sebagainya, bahkan guru sendiri
mengakui bahwa ia dianggap lebih orangtua dibanding orangtua kandung
siswa sendiri. Bentuk hegemoni yang masuk kedalam mentalitas seperti ini
menyebabkan tidak berubahnya pola pikir masyarakat.
80
Berdasarkan data yang diperoleh, konfigurasi meja dan tempat
duduk anatara guru dan siswa terbilang klasik, dimana guru berada di
depan menghadap siswa dan siswa menghadap berjajar menghadap ke
guru. Posisi duduk semacam ini memperlihatkan bagaimana bentuk
komunikasi yang dibangun oleh guru, mempusatkan guru sebagai subjek
pebelajar dan siswa sebagai objek yang pasif. Gaya semacam ini diilhami
oleh Teacher Centered Approach dimana peran, fungsi dan kedudukan
disentralkan kepada guru karena penekanan yang digunakan adalah
transfer of knowledge, siswa dianggap sebagai objek pasif yang akan
menerima pengetahuan, ia diumpamakan sebagai bejana kosong yang siap
diisi segala warna cairan. Teacher Centered Approach juga mendesain
guru sebagai satu-satunya sumber belajar, dimana ia akan menjadi pusat
perencana materi pembelajaran, penyampai pesan pembelajaran hingga
menjadi evaluator, pada intinya guru yang menjadi pengendali di dalam
kelas. Siswa selalu diposisikan sebagai objek pendengar setia dan
pengamat saja.
Bagi kaum behavioris yang juga menganut Teacher Centered
Approach, menata lingkungan belajar pada hakekatnya melakukan
pengelolaan lingkungan belajar. Aktivitas pembelajar dalam menata
lingkungan belajar lebih terkonsentrasi pada pengelolaan lingkungan
belajar di dalam kelas. Oleh karena itu guru dalam melakukan penataan
lingkungan belajar di kelas tiada lain melakukan aktivitas pengelolaan
kelas atau manajemen kelas (classroom management). Pengelolaan kelas
81
merupakan upaya pendidik untuk menciptakan dan mengendalikan kondisi
belajar serta memulihkannya apabila terjadi gangguan dan/atau
penyimpangan, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara
optimal hingga proses pembelajaran menunjukan bahwa keterlaksanaan
serangkaian kegiatan pembelajaran yang sengaja direkayasa oleh guru
dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam memfasilitasi peserta
didik sampai dapat meraih hasil belajar sesuai harapan. Struktur
penindasan guru terhadap siswa memang sangat rapi dan terdesain
sedemikian rupa sehingga terus terjadi berulang-ulang untuk menjaga
status quo.
Freire (2008) menyatakan bahwa pengajaran seperti ini adalah
bentuk pendidikan anti dialogis, siswa tidak diajak duduk bersama untuk
merumuskan materi-materi yang sesungguhnya benar-benar dibutuhkan
oleh siswa. Watak pertama dari tindakan anti dialogis adalah keharusan
adanya penaklukan (dalam konteks ini guru adalah penakluk dan siswa
adalah kaum tertindas), setiap tindak penaklukan melibatkan seorang
penakluk dan seseorang atau sesuatu yang ditaklukan. Pecah dan kuasai,
manipulasi, dan serangan budaya, dalam hal ini serangan budaya
merupakan tindakan lanjut dari memecah dan memanipulasi. Secara sadar
penindas akan dengan sengaja memaksakan pemikirannya dan
menghiraukan kemampuan atau potensi budaya dari orang lain atau
kelompok lain. Kita harus sadar bahwasanya pendidikan bukanlah suatu
yang netral, tetapi berpihak pada kepentingan kaum tertentu. Jadilah
82
kebudayaan mereka yang secara dogma dan doktrin dipaksakan kepada
kaum minoritas, kaum yang secara sadar dirinya ditindas oleh kaum
tertentu haruslah angkat senjata dengan gerakan revolusionar yaitu
tindakan dialog.
Gambar 5. Kondisi Kelas Sebelum Pembelajaran Dimulai
Sifat anti-dialogis merupakan salah satu sikap penindasan, dimana
yang ciri-cirinya adalah penaklukan dan memanipulasi. Guru tak boleh
bertindak layaknya penguasa, menjadikan siswa sebagai benda yang ia
miliki. Layak ditaklukan dan dimanipulasi. Jika dalam pendidikan sifat
antidialogis ini berkembang, tak ubahnya pendidikan adalah sebuah ajang
tindas-menindas antara guru dan siswa.
83
Guru bercerita kepada siswa, siswa dengan patuh mendengarkan
dan dipaksa menghapal tanpa memahami makna dari ‘kenapa saya harus
menghapalnya’, pengetahuan yang didapat hanyalah pengetahuan ‘kosong
melompong’, pengetahuan tanpa dasar konsep. Tentu saja pengetahuan itu
akan cepat hilang dan tidak ada bekasnya, sedangkan konsep hadap-
masalah agaknya belum berkembang di tubuh pendidikan Indonesia,
penyebabnya tentu saja ego guru yang mengakui dirinya adalah penguasa
dikelas. Siswa dijadikannya benda yang harus ditaklukan, ruang gerak
siswa dibatasi, ketika guru tidak memfasilitasi, siswa bingung tidak tahu
apa yang harus dilakukan, akhirnya menjadikan dirinya kaum tertindas,
sadar akan ketertindasannya tetapi tidak tahu mau berbuat apa karena
rendah diri dan takut.
Rendah diri adalah sikap utama yang membuat kaum tertindas
semakin tenggelam dalam kubangan penindasan. Dalam pandangan kaum
tertindas, mereka menganggap dirinya sebagai benda yang artinya dimiliki
oleh kaum penindas. Kaum tertindas secara emosional tergantung pada
penindas, sikap inilah yang nantinya menciptakan perilaku nekrofilis:
perusakan kehidupan. Kesadaran harus mulai dibentuk dalam diri kaum
tertindas, perjuangan ini harus dimulai dari kesadaran bahwa mereka
selama ini telah dengan sengaja dihancurkan. Dialog yang ajeg antara
penindas dan kaum tertindas, serta keikutsertaan aktif serta bersama-sama
mengamati realita. Pemikiran kritis harus dilakukan ketika memperoleh
pengetahuan tentang realitas yang terjadi dan juga dalam tugas
84
menciptakan kembali pengetahuan itu. Nantinya, mereka akan menyadari
dirinya sebagai pencipta kembali pengetahuan yang tetap. Kehadiran kaum
tertindas dalam perjuangan terhadap pembebasannya akan sesuai dengan
yang diharapkan, yaitu keterlibatan aktif dan pasti bukan semu.
Humanisasi merupakan fitrah manusia, fitrah inilah yang sering
terlupakan dan dengan sengaja ditiadakan. Terlupakan dalam bentuk
pengingkaran tersebut, justru humanisasi diakui dalam bentuk- bentuk
perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan, dan kekejaman kaum
penindas yang nantinya memunculkan perjuangan para kaum tertindas
untuk menemukan kembali harkat kemanusiaan mereka yang hilang.
Perlakuan tidak manusiawi dari kaum penindas akan mendorong para
kaum tertindas untuk bertindak dalam perjuangan melawan penindasan.
Masalah utamanya adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi
yang tidak membuat pola sesat ini terulang untuk sekian kalinya, dimana
kaum tertindas yang nantinya bebas dari penindasan malah berbalik
menjadi penindas. Manusia baru hasil dari situasi ini adalah penindas,
mereka yang awalnya tertindas memiliki pola pikir yang cenderung telah
dibentuk oleh kontradiksi dalam situasi nyata yang telah mereka alami.
Pola kontradiksi antara penindas dan kaum tertindas inilah yang harus
diubah, tujuan kaum tertindas adalah menjadi manusia seutuhnya, dengan
hanya membalik posisi kontradiksi yang ada antara penindas-tertindas
bukanlah tindakan yang benar untuk mencapai tujuan menjadi manusia
seutuhnya.
85
Sepanjang hubungan antara guru-siswa pada semua tingkatan, baik
diluar sekolah memberikan kondisi yang sama didalam pembelajarannya.
Watak bercerita (narrative) yang mendasar didalamnya, guru sebagai
subjek yang bercerita dan siswa merupakan objek-objek yang patuh
mendengarkan. Sistem tersebut akan membuat pembelajaran menjadi kaku
dan pastinya tidak hidup. Ciri utama pendidikan bercerita ini adalah
kemerduan kata-kata yang hasilnya hanya melenakan, bukan kekuatan
pengubahnya. Siswa hanya menghapal bukan memahami apa yang
dikatakan guru, dan siswa hanya bisa patuh.
Gambar 6. Kondusifitas yang Hanya Bertahan 10 Menit Setelah Guru Keluar Kelas
Pendidikan bercerita tak ubahnya menjadikan siswa sebagai
bejana-bejana kosong atau wadah penampungan. Pendidikan layaknya
tempat penabungan, dimana siswa menjadi celengan dan guru adalah
penabungnya. Inilah konsep pendidikan gaya bank, ruang gerak untuk
kegiatan siswa hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.
86
Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakakan sebuah
pemberian atau anugerah dari seseorang yang berpengetahuan kepada
mereka yang dianggapnya tidak memiliki pengetahun (bodoh), hal ini saja
sudah merupakan ciri dari penindasan.
Pendidikan yang membebaskan adalah pemecahan masalah dan
rekonsiliasi. Kontradiksi guru-siswa harus dihapuskan, sehingga kedua-
duanya secara bersamaan adalah guru dan siswa. Konsep pendidikan gaya
bank menjadikan siswa sebagai benda dan gampang diatur, dengan begitu
akan mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para siswa, serta
menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum
penindas. Konsep pendidikan gaya bank cenderung membedakan dua
tahap kegiatan seorang pendidik, dimana guru mengamati sebuah objek
lalu menceritakan kembali kepada siswa tanpa melibatkan siswa secara
aktif dalam proses pengamatan objek tersebut. Metode pendidikan hadap-
masalah (Problem Posing Education) merupakan sikap revolusioner
terhadap masa depan, dalam konsep ini siswa bukanlah orang yang
tertidas, mereka secara aktif dan sadar ikut serta dalam kegiatan belajar.
Pemikiran Freire (2008) mengenai pendidikan yang terjadi menurut
pengamatannya adalah pendidikan yang menindas, dimana pendidik dalam
hal ini guru bertindak layaknya seorang penindas. Siswa pun secara sadar
menjadikan dirinya sebagai orang yang tertindas. Semuai itu tidak lepas
dari lingkaran sesat yang awalnya telah dimulai dan agaknya sulit untuk
diputus, dimana orang-orang yang dulunya tertindas akan berbalik menjadi
87
penindas, bukannya mengubah kontradiksi yang terjadi, tetapi malah
melestarikannya.
Pendidikan dengan konsep bank, agaknya benar-benar sebuah
realita yang terjadi dalam wajah pendidikan dunia. Dimana siswa
dijadikannya sebagai bejana untuk wadah penyimpanan, guru disini
bertindak seperti penabung dan siswa merupakan celengnnya. Semakin
penuh celengan, maka guru akan semakin senang. Bukan itu intisari dari
sebuah pendidikan, guru seakan tahu segala hal dan siswa layaknya kerbau
yang dicocok hidungnya, yang dengan patuh mengikuti instruksi guru
yang terkesan menindas. Guru-siswa haruslah bersama-sama merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, tidak boleh guru menganggap
siswaya bodoh dan tidak tahu apa-apa, guru haruslah mampu
menumbuhkan sikap ingin tahu siswa dan berusaha menciptakan iklim
belajar yang kondusif serta efektif yang akan merangsang siswa
bereksperimen. Guru belajar dari siswa dan siswa belajar dari guru, guru-
siswa secara berdampingan bersama.
Relevansi pemikiran Freire terhadap pendidikan di Indonesia
adalah Indonesia agaknya memang telah turun-temurun secara sadar
menyuburkan praktik penindasan didalam tubuh pendidikannya. Wajah
pendidikan bangsa ini layaknya konsep bank, siswa dijadikannya celengan
untuk menabung guru. Kontradiksi hubungan guru-siswa terus
berkembang, bukannya menyudahi malah sampai saat ini agaknya tradisi
ini semakin pesat berkembang.
88
3. Tahap Penilaian Hasil Belajar
Pada tahap penilaian hasil belar ini segala macam bentuk persepsi,
kognisi, mentalitas yang tidak sesuai dengan orientasi akan di kalibrasi
ulang, dipotong dan dikonstruksi sedemikian rupa. Fase evaluasi
merupakan fase reinforcement dalam behaviorisme, ia diciptakan sebagai
stimulus penguat untuk mendapatkan respon yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan. Di fase ini hanya terdapat dua opsi yakni siswa yang
benar adalah yang memiliki respon yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran dan siswa yang salah adalah siswa yang memiliki respon
menyimpang dengan tujuan pembelajaran. Bentuk kalibrasi seperti ini
membuat semua siswa memiliki bentuk imaji yang sama terhadap sebuah
presentasi, semisal anekdot tentang bentuk imaji pemandangan yang sama
terhadap bumi oleh siswa, semua siswa akan menggambarkan gunung,
matahari dan sawah. Disinilah bentuk kriminalitas yang sesungguhnya,
dimana semua mimpi dibentuk seragam, yang berbeda adalah salah.
Bentuk fakta penyeragaman ini pun cenderung sama di setiap kelas yang
peneliti temui, dalam hal ini di SDN Monggang, bentuk evaluasi dalam
setiap pembelajaran akan selalu berbentuk paper and pencil test dan
multiple choice. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Gramsci,
bahwa penguasa juga akan membentuk “mana yang benar” diantara
pilihan-pilihan rasional kita.
89
Ulangan harian, ulangan pengayaan, ujian tengah semester, ujian
akhir semester dan segala jenis ujian lainnya merupakan bentuk tindakan
preventif sekaligus represif guru terhadap ketimpangan rational choice
siswa. Segala macam bentuk pengetahuan yang sudah diberikan akan di-
crosscheck ulang sehingga alam berpikir siswa bisa sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Begitu juga dengan improvisasi tindakan di tengah proses
pembelajaran seperti memarahi, menegur bahkan memindahkan tempat
duduk siswa yang dianggap mengganggu jalannya pembelajaran
merupakan bentuk kuasa atas kepemilikan siswa. Freire menyebutnya
sebagai pembendaan siswa, sedangkan bagi siswa guru dipersepsi sebagai
monster yang jahat dan galak, dalam bahasa Gramsci, ia menyebutnya
sebagai kondisi yang telah ter-hegemonik.
Sedikit meminjam pisau analisa Althusser (2008:31-35) tentang
Ideological State Apparatus (ISA), ISA mengarah pada ideologi itu sendiri
yang masuk ke dalam setiap kehidupan manusia. Ideologi ini terangkum
dalam aspek keagamaan, pendidikan, hukum, keluarga, politik,
komunikasi, serta moralitas. Pada sisi ini, Althusser menekankan sisi
produksi dan reproduksi material dalam ideologi. Produksi tidak mungkin
ada tanpa reproduksi karena proses pembentukan memerlukan sesuatu
untuk dibentuk. Hubungan antar manusia menjadi basis penting dalam
ideologi, bukan hanya sekedar pemilik modal dan buruh, melainkan juga
antara pemilik kuasa ideologis dan sasaran ideologis itu sendiri. Setiap ada
90
proses produksi ideologis, maka disitu pula ada reproduksi ideologis yang
digunakan untuk melanggengkan ideologi itu sendiri. Dengan demikian,
bukan hanya sikap antar manusia yang menjadi fokus dari ideologi,
melainkan juga tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ulang
ideologi itu.
Realitas di SDN Monggang-pun demikian, proses dehumanisasi –
meminjam istilah Freire, pembelajaran yang hegemonik dan proses
produksi-reproduksi nilai terus menerus berlangsung dalam setiap menit
hingga pergantian di setiap tahun tingkatan jenjang, proses penilaian hasil
belajar juga didesain sedemikian rupa untuk terus melanggengkan
keselarasan tatanan sosial yang dikehendaki oleh penindas.
91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Model pembelajaran Direct Learning dilaksanakan di SDN Monggang tanpa
melakukan analisis karakteristik mata pelajaran dan jenis pengetahuan,
sehingga model direct learning diimplementasikan pada semua mata pelajaran.
Guru menyusun Rencana Program Pembelajaran dan Silabus sebagai
formalitas belaka dikarenakan semakin memperumit dokumen administrasi
yang harus ia kerjakan.
2. Direct learning merupakan derivasi ideologis dari liberalisme pendidikan yang
berpegang teguh pada keyakinan bahwa kondisi belajar merupakan ranah
emosional dan psikologis. Direct learning beroperasi pada modus teacher
centered approach dengan menggunakan keyakinan akademik dari psikologi
behaviorisme yang kaku sehingga persebaran bentuk dari direct learning
terdeteksi 1.oleh ciri transfer of knowledge, pengendalian materi pembelajaran,
instruksi, represi, penekanan pada penguasaan konsep dan perubahan tingkah
laku yang artifisial serta manajemen pengelolaan kelas yang menjadikan guru
sebagai subjek pebelajar dan siswa sebagai objek belajar.
3. Hegemoni kekuasaan di kelas sangat terasa dikuasai oleh guru yang dapat
dilacak melalui teacher centered approach, dimana guru menjadi penguasa dan
pemilik pengetahuan, siswa dan kelas. Sedangkan praktek dominatif juga
dimiliki oleh guru yang dipersepsikan oleh siswa sebagai sosok yang selalu
menentukan citarasa dan rational choices siswa.
92
B. Saran
1. Berkaitan dengan pendidikan bagi anak manusia dalam menjalani proses untuk
“menjadi” ini, tentu pendidikan tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosial yang
sedang terjadi. Pendidikan yang hanya membekali peserta didik dengan
pengetahuan yang tidak mencerahkan terkait kehidupan sosial atau justru
malah membuat kemanusiaan tertindas secara sosial semestinya ditinggalkan.
Inilah hal penting dari pendidikan sebagai proses yang membebaskan. Sebuah
proses pendidikan yang meninggalkan cara dan aktivitas yang sesungguhnya
justru dehumanisasi menuju cara dan aktivitas pendidikan yang penuh dengan
proses humanisasi. Justru menjadikan pendidikan sebagai cara dan aktivitas
yang penuh dengan proses humanisasi, hal ini sesungguhnya telah menjadikan
pendidikan sebagai sebuah proses transformasi sosial menuju perubahan ke
arah kemajuan di tengah masyarakat. Proses pendidikan ini ditandai dengan
adanya peralihan situasi dari: proses yang tidak mengenal dialog menuju
hubungan yang penuh dialogis, kehidupan masyarakat yang tertutup menuju
kehidupan masyarakat yang terbuka, dan masyarakat yang jauh dari
pengetahuan menuju masyarakat yang sadar serta membutuhkan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu sarana untuk
memproduksi kesadaran dalam rangka mengembalikan manusia kepada
hakikat kemanusiaannya. Terkait dengan pendidikan sebagai sarana untuk
memproduksi kesadaran untuk mengembalikan manusia kepada hakikat
kemanusiaannya, maka pendidikan harus bisa berperan membangkitkan
kesadaran kritis para peserta didik. Ini adalah sebagai prasyarat penting menuju
93
pembebasan. Terkait dengan masalah ini, salah satu tugas penting pendidikan
adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi yang dominan
dan menguasai masyarakat pada umumnya. Refleksi kritis ini dilakukan dalam
rangka untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju
kehidupan masyarakat yang berkeadilan.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ali. (2007). Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah.
Cirebon : STAIN Press. Althusser, Louis. (2008). Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis
dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Asmadi, Alsa. (2003). Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif serta Kombinasinya
dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social
Cognitive Theory. New Jersey: Prentice-Hall. Barnadib, Imam. (1996). Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan
Perspektif Beberapa Teori Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Barthes, Roland. (2009). Mitologi. Bantul: Kreasi Wacana Basrowi & Sukidin. (2002). Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya : Insane
Cendikia. Boothman, D. (2008). Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s
Concept of Hegemony. London: Routledge. Clark, M. (1977). Antonio Gramsci and the Revolution that Failed. New Haven:
Yale University Press. Collins, Denis E. 2002. Paulo Freire: Kehidupan, Karya dan
Pemikiran, terjemahan Henry Heyneardhi dan Anastasia P. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. (2009). Modul MGMP KKP. Jakarta:
Depdiknas. Engels, Frederick. (2007). Anti-Duhring. Jakarta: Hasta Mitra. Fajar, Malik. (2000). Pendidikan Sebagai Praksis Humanisasi. Majalah
Orientasi. No.2 Tahun II. Hlm. 21-24. Feist, Jess & Gregory J. Feist. (2008). Theories of Personality. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Foucault,M. (1980). The Archeology of Knowledge and the Discourse of
Language. New York: Pantheon.
95
Freire, Paulo. (1970). Cultural Action for Freedom. Massachusettes: Harvard Educational Review and Center for Study of Development and Social Change.
Freire, Paulo. (2004). Politik Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Freire, Paulo. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES. Gahral Adian, Donny. (2005). Percik Pemikiran Kontemporer .Yogyakarta:
Jalasutra. Giddens, Anthony. (2003). Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia. Giddens, Anthony. (2011). Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Bantul: Kreasi
Wacana. Gramsci, A. (1926). Some Aspects of The Southern Question. Cambridge:
Cambridge University Press. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Q.
Hoare & G. N. Smith, eds. & trans. London: Lawrence and Wishart. Gunawan, Ary H. (1995). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta. Guthrie, E. R.. (1950). Educational Psychology. New York: The Ronald Press
Company. Hardiman, Budi. (2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas. Diakses dari
www.books.google.co.id, pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 19.00 WIB. Hardiman, F. Budi. (2009). Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. Hariwijaya, M. (2007). Metodologi dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis, dan
Disertasi. Yogyakarta: elMatera Publishing. Herlambang, Wijaya. (2015). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Serpong: Marjin
Kiri. Joyce, Bruce & Marshal Weil. (1996). Models of Teaching. Boston: Allyn and
Bacon. Katsoff, Louis. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
96
Lexy J, Moleong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mansour Fakih. (2001). Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis.
Yogyakarta: Read Book. Marx, Karl. (1845). Tesis Tentang Feuerbach. Diakses dari www.marxists.org
pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 19.00 WIB. Marx, Karl. (1847). Kerja Upahan dan Kapital. Diakses dari www.marxists.org
pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 19.00 WIB. McMillan, J. H. & Schumacer, Sally. (2003). Research in Education. New York:
Longman Mintara, Agustinus, (2001), Sekolah Atau Penjara. Majalah Basis, Nomor 01-01,
Tahun Ke-50. Hlm. 21-24. Mulyana, Deddy. (2010). Ilmu Komunikasi. Bandung: Rosdakarya Nasution, S. (2010). Teknologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Nichols, Fred & Lee, Howard. (2000). Foundations of Behavioral Research.
Massachussetes: Harvard Universuty Press. Nuryatno, M. Agus. (2011). Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book. O’Neil, William F. (2008). Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Patria, Nezar, Andi Arief. (2009). Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prawiradilaga, Dewi S. (2008). Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Rifa’i, Muhammad. (2011). Sejarah Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar Ruzz
Media. Ritzer, George & Douglas J. Goodman. (2013). Teori Marxis dan Berbagai
Macam Teori Neo-Marxis. Bantul: Kreasi Wacana. Rulam Ahmadi. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar Ruzzz
Media. Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
97
Santoso, Listiyono. et al. (2007). Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Seels, Barbara B. & Richey, Rita C. (1994). Teknologi Pembelajaran.
Washington: AECT. Sheehy, Noel. (2002). Ivan Petrovich Pavlov: Biographical Dictionary of
Psychology. New York: Routledge. Simorok, Nurhady. (2010). Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:
INSISTPress. Siregar, Eveline. Nara, Hartini. (2007). Buku Ajar Teori Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta. Universitas Negeri Jakarta. Siswoyo, Dwi. (2011). Ilmu Pendidikan.Yogyakarta:UNYPress. Skinner, B.F. (1956). The Science of Learning anda the Art of Teaching. New
York: Thomas Crowell. Skinner, B.F., (1961). Why We Need Teaching Machines. Massachusettes:
Harvard Universuty Press. Slavin, Robert. (1988). Student Achievement. New York: Harvard University
Press. Smith, William A. (2001). Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suardi. Moh. (2015). Ideologi Politik Pendidikan Kontemporer. Yogyakarta:
Deepublish. Sudiarja, (2001), Pendidikan Paulo Friere: Pendidikan Radikal tapi Dialogal.
Majalah Basis. Nomor 01-01. Tahun Ke-50. Hlm. 21-24. Sudjana, Nana, & Rivai, Ahmad. (2007). Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar
Baru Algesindo. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2001). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
98
Suryabrata, Sumadi. (1990). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Suseno, Franz Magniz. (2001). Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. Susetyo, Benny. (2005). Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta:LKiS. Sutopo. (2006). Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Syah, Muhibbin. (2003). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Takwin, Bagus. (2003). Akar-Akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra. Thompson, John B. (2015). Kritik Ideologi Global. Yogyakarta: IRCiSoD. Thorndike, Edward L. (1999). Education Psychology: Briefer Course. New York:
Routledge. Watson, J. B. (1930). Behaviorism. Chicago: University of Chicago Press.
LAMPIRAN
LAMPIRAN
IN-DEPTH INTERVIEW GUIDES
DAN
TRANSKRIP
IN-DEPTH INTERVIEW
99
Lampiran 1. Peta Arahan In-Depth Interview: Objek Guru
Perkenalan
Latar Belakang Sekolah Dasar Peneliti
Pertemuan Realitas Kontemporer
Latar Belakang Sekolah Dasar Guru Sasaran
Pertemuan Realitas Kontemporer
Perbandingan Antar Kelas
Kondisi Kelas
Pemetaan Terhadap Siswa
Cerita Unik
Kesibukan Guru di Rumah
Desain Pembelajaran
Realitas Pembelajaran
Seputar Isi Kelas
Tips dan Trik Mengajar
Keterangan
Panah ke Bawah : Hierarkis
Panah ke Kanan : Harus dieksplorasi
Simbol Collate : Gali lebih dalam dan berulang
100
Lampiran 2. Peta Arahan In-Depth Interview: Objek Siswa
Latar Belakang Siswa
Kegiatan di Rumah
Kegiatan di Sekolah
Kesukaan Permainan
Transport ke Sekolah
Isi Tas
Kondisi Kelas
Persepsi Terhadap Guru
Persepsi Terhadap Pembelajaran
Persepsi Terhadap UTS
Cerita Unik
Keterangan
Panah ke Bawah : Hierarkis
Panah ke Kanan : Harus dieksplorasi
Simbol Collate : Gali lebih dalam dan berulang
101
Lampiran 3. Transkrip In-Depth Interview Siswa
Hari : Sabtu
Tanggal : 21 Maret 2016
Jam : 07.00 – 10.00 WIB
Latar : Jam Istirahat Sekolah
Ket. Petunjuk : Peneliti (P), Objek Penelitian (O), angka (1,2,3) adalah representasi jumlah orang
P : Gimana dek tadi pelajaran apa?
O1: Bahasa Inggris mas, masnya ngapain kesini lagi?
P : Ini cuma main-main sama mau ketemu bu guru
P : Bajumu kok kotor kena cat, habis ngapain?
O1: Itu mas tadi dilemparin sama Naga pas pelajaran, mas aku mbok digambarin
lagi grafitti kaya kemarin
P : Owalah, iya nanti tak gambarin, sek ya aku mau tanya-tanya dulu
O2 : Mas aku juga mau digambarin lagi
O3: Aku juga mas
O4: Aku duluan mas, aku minta yg hardcore !
O5: Aku sisan yo mas !
P : Oke iya beres, mengko tak gambarke sing apik, bapak ibumu kerjane nandi
wae?
102
(Oke, nanti aku gambarkan yang bagus, bapak ibumu kerja dimana?)
O1: Bapakku ng sawah mas, ibuku yo neng omah
(bapakku kerja disawah mas, ibuku di rumah saja)
O2: kalau orang tuaku kerja di kayu-kayu mas, bikin pintu !
O3: kalo aku di las-lasan mas, karbit itu lho
O4: bapak ibuku di pabrik mas
O5: kalo bapak ibuku ya sama kaya ini mas (sama dengan O1)
P : omahmu do cerak po?
(rumah kalian berdekatan?)
O4: yo nek aku cerak karo iki mas (O1 dan O5)
(ya kalau aku dekat dengan ini)
O3: adoh yo mas
(jauh ya mas)
O2: yo adoh mas, kae ng kidul, aku isih ngulon, opo meneh iki (O3) malah ngetan
adoh
(jauh ya mas, dia di selatan, saya masih ke barat, apalagi dia malah ke timur
jauh mas)
P : oh, yo lumayan yo jebule, tak kiro do cerak kabeh omahe, lhanek rodo adoh
seko omah ngopo do sekolah ?
103
(oh ternyata jauh juga rumah kalian, aku kira berdekatan, kalau jauh dari
rumah kenapa mau sekolah?)
O1 O2 O3 O4 : ha yo ngopo mas neng omah, malah bosen ndelok TV tok
(lha mau ngapain mas di rumah, malah bosan cuma lihat TV)
O5: mase iki piye, yo enak sekolah to akeh kancane mas
(masnya ini gimana, kan lebih enak sekolah banyak temannya)
P : dadi sekolah niatane dolan kowe?
(jadi kalian sekolah niatannya juga bermain?)
O1 O3: yoiyo to mas akeh konco
(ya jelas mas kan banyak teman)
P : malah ora bosen neng sekolah?
(kalian tidak bosan bersekolah?)
O5: bosen yo istirahat, bal-balan lah, iyo to?
(bosan ya istirahat, main sepakbola, iya kan? sambil bertanya ke teman-
temanya dan yang lain hanya merespon dengan anggukan)
P : lha nek sinau neng kelas bosen ra? Gurune piye ngajare?
(kalau belajar di kelas bosan nggak? Bagaimana ketika gurunya mengajar)
O5: yo ngono kui mas
(ya seperti itu aja mas)
104
O3: biasa wae mas
(biasa aja mas)
O1: lha neng kelas wae kok mas, yo kadang bosen, tapi wes biasa yo
(ya di dalam kelas saja mas, ya terkadang bosan, tapi ya sudat terbiasa)
P : biasa wae mergo wes kulina ngene iki terus?
(biasa saja karena sudah terbiasa seperti ini? Kemudian direspon dengan
anggukan)
P : kowe do diterke po nek mangkat sekolah ?
(kalian berangkat sekolah diantarkan ?)
O5 O1: yo mangkat dewe mas, nge-pit
(ya berangkat sendiri mas, naik sepeda)
O3 O2 O4: diterke mas numpak montor
(diantar mas, naik sepeda motor)
P : ora tau telat wong tuwamu le njemput kowe ?
(tidak pernah telat orang tua kalian waktu menjemput pulang sekolah?)
O2: yo kadang telat mas, tapi kan di kon tetep ng njero sekolah ndak diseneni pak
satpam
(ya terkadang telat mas, tapi kan tetap disuruh didalam sekolah biar nggak
dimarahin pak satpam)
105
P : dolananmu maceme opo wae cah? Sopo wae sing senengane bal-balan?
(permainan kesukaan kalian pa saja? Siapa yang suka sepakbola?)
O2 O3 O1 O5: aku mas aku !
P : kowe seneng klub opo ning eropa? Nek aku madrid !
(kamu suka klub bola apa di Eropa? Kalau aku Real Madrid)
O5: Wah nek aku seneng milan mas
(Wah kalau saya AC Milan mas)
O2 O3 O1: wah eropa, aku tetep persiba mas
(Wah kok Eropa, aku tetap suka Persiba mas)
P : aku yo tau ndelok sepisan ng sultan agung, wes tau ndelok rung kowe?
(aku juga pernah nonton sekali waktu di stadion Sultan Agung, kalian sudah
pernah nonton belum?)
O2 O3 O1: wes tau yo, wah ngece tenan..
(sudah pernah, wah meremehkan kami..)
P : cah, jupuken tas mu kene tak wenehi tanda tanganku ro grafitti !
(ambilkan kesini tas mu, aku beri tanda tangan dan grafitti)
O5: wah, tenane mas
(wah beneran mas?)
106
P : iyo ayo kene
(iya ayo bawa kesini, kemudian siswa berlarian mengambil tas masing-masing)
P : akeh tenan bukune. Ora pegel po?
(banyak sekali bukunya, apa tidak capek?)
O5: ha yo jadwale kui pancene mas
(mau bagaimana lagi, memang itu jadwal pelajaran hari ini)
O1: yo abot mas akeh kok !
(ya berat lah mas, lha banyak !)
O2 O3: nek lali nggowo malah diseneni mas
(harus dibawa semua, kalau ada yang lupa nanti malah dimarahi mas)
P : diseneni kepiye ?
(dimarahi bagaimana?)
O1: ha yo dikon bali
(ya disuruh pulang)
O2: kadang disengiti mas
(terkadang dijahatin mas)
O4: mending ora mangkat nek ra gowo buku mas
(lebih baik tidak masuk sekolah mas daripada tidak membawa buku mas)
107
P : owalah, gurune jahat opo?
(oh, apakah gurnya jahat)
O1 O2 O3 O4 O5: wah jahat banget, galak banget mas
(wah jahat sekali mas, sangat galak mas)
P : gurune piye neng kelas? Sok takon-takon opo piye?
(bagaimana guru mengajar di kelas? Pernah bertanya-tanya?)
O1 O5: yo kadang banget
(ya sangat jarang mas)
P : pelajarane mesti neng kelas terus? Ora tau pindah neng lapangan opo neng
taman opo dolan ngono?
(apakah pelajaran selalu di dalam kelas? Tidak pernah berpindah ke lapangan,
taman atau bermain diluar begitu? hanya direspon dengan menggelengkan
kepala)
P : kowe le lungguh nendi?
(kamu tempat duduknya dimana?)
O1 O5: yo neng kono kui mas, tapi kadang sok di kon pindah neng ngarep
(ya disitu mas, tapi terkadang disuruh pindah ke depan)
P : tapi lungguhe sok diganti-ganti ora karo gurune? nek gurune piye, lungguhe
nandi ?
108
(tapi tempat duduknya terkadang diganti-ganti nggak sama gurunya? Kalo
gurunya gimana, duduknya dimana?
O1 O2 O3 O4: yo neng ngarep kui mas, tapi yo sok mlaku-mlaku muter kadang
neng mburi
(ya didepan itu mas, tapi ya terkadang berjalan-jalan ke belakang)
P : piye wingi uts mu? Oleh biji apik ra?
(bagaimana kemarin UTS mu, dapat nilai bagus?)
O1 O2 O3 O4: yo biasa wae mas bijine, pokokmen ora diseneni, kae sing bijine
elek
(ya biasa saja mas, yang penting tidak dimarahi, dia mas yang nilainya jelek
sambil menunjuk O5)
P : ngopo bijimu elek?
(kenapa nilaimu jelek?)
O5: ha yo ngono kui wes biasa, sing penting ra diseneni
(ya gitu itu mas sudah biasa, yang penting tidak dimarahi)
O1: yoiyo wong bijimu mbok buang neng dalan, ahahaha
(ya jelas tidak marahi kan nilai UTS mu kamu buang di jalanan
P : emang bijimu kabeh mbok wenehke bapak ibumu?
(apakah semua nilai UTS kalian laporkan ke orangtua?)
109
O1 O2 O3 O4: yo nek apik wenehke, nek elek yo singitke
(ya jika nilainya bagus kita laporkan, jika jelek ya kita sembunyikan tidak
dilaporkan)
P : soale angel po uts e?
(apa soalnya susah?)
O1 O2 O5: yo ora angel, yo ngono kui mas pokoke ora diseneni wong tuwo
(ya nggak susah sih mas, ya yang penting nggak dimarahinlah sama orang tua)
O5: ha wingi raono sing nyontoni aku mas, pelit e
(lha kemarin ada yang tidak memberi bantuan jawaban, pelit dia)
P : ha sing liyane iki opo yo dicontoni ?
(apa yang lainnya juga diberikan bantuan jawaban ?)
O1 O2 O3 O4: yo ngewangi pokokmen
(ya yang penting saling membantu)
P : koncomu pelit po?
(temanmu pelit?)
O5: iyo mas ora dicontoni aku
(iya mas, nggak dibantu aku)
O1 O2 O3 O4: kadang sok kemaki kui mas kancane, koyo wong pinter wae, rasah
dikancani maneh wae kui
110
(terkadang sombong mas temannya, seperti anak cerdas saja, jangan dijadikan
teman lagi itu)
P : lha kowe kabeh sok mbaturi gurumu ora nek jawab soal biasane?
(apakah kalian semua selalu membantu guru untuk menjawab soal?)
O1 O3 O4: jarang mas, wis tau sih, lha pelajarane sing ngajari yo gurune terus
(jarang mas, eh pernah sih, lha pelajarannya yang mengajar juga guru itu
terus)
P : gurune neng kelas sok takon kowe ra?
(guru pernah bertanya pada kalian?)
O1 O2 O5: ora tau, ngomong wae dekne, cerewet, galak
(tidak pernah, selalu berbicara dia, cerewet dan galak)
P : ngomong wae piye ?
(berbicara terus itu yang seperti apa?)
O1: ah mase iki ora dong, yo ngomong terus neng kelas
(ah masnya ini nggak nyambung)
P : owalah yowes, kene tak gambari tas mu
(oh yaudah, sini aku gambarin tasmu)
((( SELESAI )))
111
Lampiran 4. Transkrip In-Depth Interview Guru
Hari : Sabtu
Tanggal : 12 Maret 2016
Jam : 11.04 WIB
Latar : Jam Pulang Sekolah (di dalam kelas)
Ket. Petunjuk : Peneliti (P), Objek Penelitian (O)
P : kalo saya lihat cukup gaduh bu antara kelas sini dan sebelah
O : iya mas, emang bener, sering salingejek anak B dan kelas A, kalo di kelas A
ini banyak yang nakal, anak yang disini sebenarnya cuma terprovokasi akhirnya
saling membalas ejekan.
P : kalo di kelas A karakteristiknya gimana emangnya bu?
O : kalo di sebelah ini banyak anak nakalnya, untung gurunya juga tegas dan
galak jadinya bisa dikendalikanlah kira-kira, kalo kelas saya ini sedikit yang nakal
jadi lebih mudah ngontrolnya. Kalo Bu Fitri itu kan orangnya emang galak,
jadinya dia gak kesusahan buat ngontrol kelasnya, walaupun kadang curhat ke
saya kalo jengkel.
P : kalo disini nakalnya gimana bu?
O : ya nakalnya biasa sih mas, paling lari-lari di kelas, gangguin temennya yang
lagi belajar, rame sendiri kalo udah gitu saya pindahin tempat duduknya di depan
112
sini biar diem, kalo ada saya kan takut dia kalo rame atau gangguin temennya.
Ada juga yang malah lupa nggak ngerjain PR, lupa gak bawa buku mapel, buku
tulis sama pensil biasanya saya tegur, besoknya lagi mereka udah takut malah
kalo gak ngerjain PR kadang ada yang gak berani masuk sekolah. Padahal saya
juga nggak jahat-jahat amat.
P : kok di kelas ini lebih sedikit anak nakalnya? Apa memang ada pembagian dan
rolling waktu naik kelas?
O : kalo pembagiannya emang dibagi rata sesuai prestasi mas, biar rata, kalo anak
yang nakal itu tergantung gurunya, kalo dianya tegas ya pasti dipasrahin, kalo
saya sih gak begitu galak orangnya makanya yang nakal dipasrahin sama bu Fitri.
P : interaksi di proses pembelajaran bagaimana bu?
O : saya sebenarnya sudah mencoba interaktif, beberapa kali saya tanya, padahal
pertanyaannya juga gampang, tapi muridnya itu diem aja gak berani jawab.
Mungkin mereka takut saya galak, kurang percaya diri atau mungkin memang
pendiam anaknya
P : kalo metode belajarnya pernah nyoba apa aja bu ?
O : ya biasanya saya coba interaktif, itu saja biasanya, ya seperti yang mas lihat
biasanya juga gini
P : gak pernah nyoba gaya yang lain gitu bu?
O : nggak pernah mas
P : berarti anak-anak manut sekali ya dengan ibu?
113
O : yaiya mas, apa yang saya suruh mesti mereka ngerjain, malah ada yang aneh,
saya itu malah dianggep lebih manjur kalo nasehatin anak, banyak orang tua nitip
nasehat ke saya terus disuruh nyampein ke anaknya, soalnya dia bilang omongan
saya lebih didengerin daripada orangtuanya sendiri.
P : hahaha, berarti ngalah-ngalahin orangtua kandung bu?
O : lhaiya mas, itu anehnya, lebih manut sama saya malahan
P : bu, boleh pinjam RPP sama Silabusnya? Mau saya fotokopi
O : buat apa itu mas ?
P : ya cuma buat lampiran kok bu
O : oh kalo gitu nggak apa-apa, soalnya kita bikinnya itu formalitas aja
sebutuhnya buat portofolio aja, kalo di lapangan nnggak dibutuhin itu. Paling ya
cuma jadwal materinya aja. Soalnya emang kita nggak berpacuan sama RPP
Silabus itu, formalitas aja.
P : oh iya bu nggak apa-apa, saya juga buat pelengkap aja kok
O : iya mas, soalnya kalo jadi guru itu kan yang dibutuhin kan pengalaman sama
instingnya, jadi fleksibel kalo ada sesuatu ya improvisasi sama insting itu yang
utama.
114
P : iya bu betul, pengalamannya itu praktek ngajarnya itu to bu?
O : iya mas, dulu kuliah kan juga diajari ngajar itu kaya gimana, kita kan juga
punya pengalaman diajar guru SD itu kaya gimana, yauda itu aja.
P : iya bu betul, terimakasih informasinya bagus sekali...
((( SELESAI )))
115
Lampiran 5. Profil Sekolah
PROFIL SEKOLAH
Gambar 7. Tampak Depan SDN Monggang, Sewon, Bantul
Nama Sekolah : SD Monggang Nomor Identotas Sekolah : 20400272/101040102035 Nomor Pokok Sekolah Nasional : 20400272 Nomor Statistik Sekolah : 101040102035 Provinsi : Daerah Istimewa Yogyakarta Otonomi Daerah : Kabupaten Bantul Kecamatan : Sewon Desa/Kelurahan : Monggang Jalan : Jl. Bantul km 7,5 Kodepos : 55185 Telepon : 0274 – 6466438 Daerah : Pedesaan Status Sekolah : Negeri Kelompok Sekolah : Model Akreditasi : B Tahun Berdiri : 1985 Kegiatan Belajar : Pagi Alamat Website : www.sdmonggang.sch.id Jumlah Guru : 19 orang Jumlah Siswa : 281 orang
116
VISI “TERWUJUDNYA SISWA BERAKHLAQ MULIA,BERPRESTASI,
BERKAR AKTER INDONESIA ” Indikator Pencapaian Visi :
o Unggul dalam bidang keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. o Berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik o Unggul dalam ketrampilan, seni, kerajinan,dan olahraga. o Unggul dalam sikap cinta budaya dan berkepribadian Indonesia o Cinta tanah air dan bangga menjadi bangsa Indonesia o Melestarikan kearifan lokal dan budaya Jawa
Gambar 8. Nomenklatur SDN Monggang yang Diukir dalam Aksara Jawa
MISI
1. Menanamkan pendidikanakhlak mulia dan karakter Indonesia. 2. Meningkatkan kemampuan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan 3. masing-masing. 4. Meningkatkan kedisiplinan semua warga sekolah. 5. Meningkatkan hasil belajar/ prestasi siswa. 6. Memberdayakan potensi warga sekolah dan lingkungannya. 7. Menjalin kerjasama dengan masyarakat dan instansi terkait. 8. Meningkatkan kegiatan pengembangan diri siswa melalui kegiatan ekstrakuriku 9. Meningkatkan minat baca warga sekolahmelalui perpustakaan sekolah
“Bina Prestasi”. 10. Melaksanakan pembelajaran berbasis Teknologi 11. Menumbuhkan cinta seni, lingkungan,dan keterampilan batik.
117
12. Mengimplementasikan karakter Indonesiadalam kehidupan sehari-hari. 13. Mengimplementasikan pembelajaran berbasis dan berwawasan lingkungan.
TUJUAN SEKOLAH
Gambar 9. Tampak Depan Gerbang Utama SDN Monggang, Sewon, Bantul
Tujuan Pendidikan 5 Tahun ke Depan
SD Negeri Monggang Sewon Bantul sampai 5 tahun mendatang (tahun 2014/2015 s.d. tahun 2018/2019) memiliki tujuan sebagai berikut :
Meningkatkan pencapaian nilai rata-rata semua kompetensi pada semua kelas sebagai berikut :
• Tahun pelajaran 2014/2015 semua Kompetensi Inti minimal baik • Tahun pelajaran 2015/2016 semua Kompetensi Inti minimal baik • Tahun pelajaran 2016/2017 semua Kompetensi Inti minimal baik • Tahun pelajaran 2017/2018 semua Kompetensi Inti minimal amat baik • Tahun pelajaran 2018/2019 semua Kompetensi Inti minimal amat baik
Meningkatkan peringkat sekolah secara bertahap sebagai berikut :
o Tahun pelajaran 2014/2015 peringkat 4 kecamatan o Tahun pelajaran 2015/2016 peringkat 3 kecamatan o Tahun pelajaran 2016/2017 peringkat 2 kecamatan o Tahun pelajaran 2017/2018 peringkat 1 kecamatan o Tahun pelajaran 2018/2019 peringkat 10 kabupaten
118
Mempertahankan prosentase siswa mengulang 0 %
o Tahun pelajaran 2014/2015 menjadi 0% o Tahun pelajaran 2015/2016 menjadi 0% o Tahun pelajaran 2016/2017menjadi0% o Tahun pelajaran 2017/2018 menjadi 0% o Tahun pelajaran 2018/2019 menjadi 0,%
STRUKTUR SEKOLAH
Gambar 10. Bagan Struktur Organisasi SDN Monggang
Mempertahankan dan meningkatkan prestasi sekolah.
1. Menjuarai lomba akademik dan non akademik yang diselenggarakan tingkat Kabupaten, Tingkat propinsi dan Tingkat nasional.
2. Memiliki tim olahraga yang handal dan dapat mempertahankan prestasi di tingkat kabupaten serta meraih prestasi di tingkat propinsi.
3. Memiliki tim Drumband yang dapat menjuarai tingkat kabupaten.
119
4. Memiliki tim Seni Musik(ensamble, hadroh, orgen tunggal, gamelan) dan dapat menjuarai lomba tingkat kabupaten.
5. Mengoptimalkan potensi ketrampilan dan seni (ansamble, hadroh, orgen tunggal, gamelan, menyanyi tunggal)
6. Menumbuhkan dan mengembangkan penghayatan / pengamalan, melalui intensifikasi kegiatan keagamaan, sehingga meningkatkan iman dan taqwanya.
7. Mempersiapkan siswa untuk hidup mandiri.
120
Lampiran 6. Profil Guru dan Siswa
PROFIL GURU DAN SISWA
1. Guru
Nama : Irin Jekiati, S.Pd Tempat, Tanggal Lahir : Bantul, 02 Februari 1982 Nomor Induk Pegawai : 19820202 201406 2 007 Mulai Bekerja Pertama : 1 Juli 2003 Tempat Bekerja Pertama : SD Monggang Pangkat/Golongan : II / A Jabatan : Guru Kelas Mengajar : Kelas II B Kode Interview : O
2. Siswa
Nama : Fahri R. J. Kelamin : Laki-Laki No. Induk : 1100 Kelas : II B Umur : 8 Tahun Kode Intrv. : O1 Nama : Ridwan Ahmad J. Kelamin : Laki-Laki No. Induk : 1110 Kelas : II B Umur : 8 Tahun Kode Intrv. : O2
121
Nama : Andika Yoga P. J. Kelamin : Laki-Laki No. Induk : 1094 Kelas : II B Umur : 8 Tahun Kode Intrv. : O3 Nama : M. Khoirun Nada J. Kelamin : Laki-Laki No. Induk : 1105 Kelas : II B Umur : 8 Tahun Kode Intrv. : O4 Nama : Aryandra Nabil J. Kelamin : Laki-Laki No. Induk : 1095 Kelas : II B Umur : 8 Tahun Kode Intrv. : O5
122
Lampiran 7. Data Kelas II B SDN Monggang
DATA KELAS II B SDN MONGGANG, SEWON, BANTUL
Tabel 1. Data Kelas II B
No. No. Induk
Nama Siswa Jenis Kelamin
Agama Keterangan
1 1093 Ahmad Nurul Laki-Laki Islam 2 1095 Andika Yoga P. Laki-Laki Islam 3 1096 Aryandra Nabil Laki-Laki Islam 4 1097 Bagus M. Laki-Laki Islam 5 1098 Bintang P. Laki-Laki Islam 6 1099 Diko Femi Laki-Laki Islam 7 1000 Esya Nataya Perempuan Islam 8 1101 Fahri R. Laki-Laki Islam 9 1102 Hendra Arya G. Laki-Laki Islam 10 1103 Intan F. S. Perempuan Islam 11 1104 M. Alifin Ni’am Laki-Laki Islam 12 1105 M. Faith Azka Laki-Laki Islam 13 1106 M. Khoirun Nada Laki-Laki Islam Ketua Kelas 14 1107 M. Rafiq Alif Laki-Laki Islam 15 1108 Naga R.J. Laki-Laki Islam 16 1109 Nathan Agung Laki-Laki Islam 17 1100 Nia Sabela Perempuan Islam 18 1111 Ridwan Ahmad. Laki-Laki Islam Sekretaris 19 1112 Salma Indah Perempuan Islam Bendahara 20 1113 Salwa Naya Perempuan Islam 21 1114 Syahfira M. Perempuan Islam 22 1115 Tegar A. Laki-Laki Islam 23 1116 Tjindur Eka Perempuan Islam 24 1117 Vera Ira Era Perempuan Islam 25 1118 Vania Perempuan Islam 26 1119 Zaenur Rohman Laki-Laki Islam 27 1120 Ellsy Nur A. Perempuan Islam
123
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 11. Suasana Pembelajaran Olahraga di SDN Monggang
Gambar 12. Siswa Sedang Bermain di Dalam Kelas 1
124
Gambar 13. Siswa Sedang Bermain di Dalam Kelas 2
Gambar 14. Kondisi Meja Siswa Saat Istirahat
125
Gambar 15. Kondisi Kolong Meja Siswa yang Menyimpan Buku Agar Tidak
Membawa Beban Berat Saat Sekolah
Gambar 16. Jumlah Buku dan Peralatan yang Dibawa Oleh Siswa di Setiap
Hari Senin
126
Gambar 17. Proses Interview Siswa
Gambar 18. Groufie Bersama Siswa Pasca Penelitian
LAMPIRAN
CATATAN LAPANGAN
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
\ · t 1 /
L u w LM r W 1 2 B
6 ·- þ @ i 7
- h s . c b J a A j c \ b t u n A. M F1 lA f $,
o + æ
ì e ) PD $
- 0 9 3 0 Uu l
W y w im o l ç s- °
T, L1 Èk
)r i n w v D r h + Yf i l J
k ^ \ u
129
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN
(RPP)
Scanned by CamScanner
: N
D I N A NT U L
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
K u n c i j a w a b a n
1 C 4 e
2 d 5 b
3 a
3 P K n
T u g a s : s i s w a d im i n t a u n t u k m e l a k u k a n m u s y a w a r a h K a r y a w i s a t l 9i
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R EN C A N A P E L A K S A N
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
T e m a t i k
M e t o t l L C e r a m a h
T a n y a Ja w a b
B e r m a i n p e r a n
p e n u ga s a n
D K > x i 1 t A I 1 P e m b e l a j a r a n
1 K e g i a t a n Pendhul uan
G u r u m e n g a a k a n t a n y a l l l l u e n g a H l s w a t e n t m g s l a p a 5 : lJa y u n g J LI ; I
9ta l a m k e l u a ]"g a n y h
2 K c g i a t a n I n t i
G u r u m c nj c l a s k a n t c n u n g k u L l H H a n w o t a k c l u J >w M U J N ñ M
k a k c k n c n c k p a m a +B h ó Kn k a k M L r kdl h u 9l c
A v a h k e d ud u k a n n y n s ( bgJl \ . k = l ua t ·J ' -)=m l ml .Hn l .=l uJ l - .
p c r a n a y a h a d a h h
p c n c a n n a ïk a h u n t u k nì =nFhl t u& < c l u n g r
Pe l i n d u n g k i uar g H
13c r t a n gg Lm g <; l u \ il a t a l u' Ll i h t c > J u I L ml ! t u k c l u J 1 g n
Hu k Ä u d u k a n n m s c [ Æ 1 t h u ñ . h t T n w p c r n n t h t r n 91M a h
Nt = n LI r d r k a n n k
M e n g a t u l J m mc mhJ l t ugd u n t u <. A n J k d n a k
A n a k ke d u d u k a n ma s c b l gn l a n g g u t a ke l ua r ga , - r an an a k ad u l ah
M m e b a n t u p ( k e r Ja a n o r a n g t u a
M e r n a t u h r ó n m e n gh o r n ñ o 1a n g t u a
Sm v a m c m bu a t ga m b a r c k w e M 1n w i n a M d e n ga n m e w a r n u i g a m h n
a d e g a i u'
p e r i s t i w a
G u lu m e m be ri k a n la t iha n s a a l \PS s l s w a m e n g e t Ia k a n a t a u m c n j u w J b
s e c a r a l is a n
S i s w a m e w a m a i ga n h a r y a n g s u d a h Al i s e d ia k a n g u l u
3 K e g i a t a n A lc h i r
M e r e $ e k s i k e m b a h n i a w n
p e s a n d a r i gu r u a w a n a kÄ s w a d a pM m e l a k u k a n W a n n y a $ ó n r
k e l u a r g a d e n ga n b a l k
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R E N C A N A P E L A K SA N A A N P E M B E I A J A R A N T E M A T I K
T e m a B u d i P e k e r t i
S u b T e m a K c 1u a r g a
K e l a s 10 2
A l o k a s i W a k t u 1 x P e r t e m u a n
H a r i /T a n gg a l K a n 1i s , 2 0 J a n u a r i Z0 1 1
1 2
p e n d e k d a n do n ge n g p e s a n p e n d e k y a n g p e s a n
I n d o n e s i a
o r a n g l a in p e s a n k c d a ta m
B a h a s a
y a n g d i l i s a n k a n d id e n g a r n y a k e p a d a . M e n u l i s k a n
b e b e r a p a
k a h m a t
k e d u d u k a n cla n k e d u d u k a n d a n
'
k e d u 9l u k Am d u i t
p e r a n a n gg o t a d a l a 1n p e r a n a n g go t a p e r a n a n g g o t a
k e l u a r g a d a n k e l u a r g a k e ìu a r g a
l i n gk u n g a n t et a
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
2 I P S
D i s k u s i d a n t a n y a Ja w a b t e n t a n g k c d u d u k a n d a n p e r a n a n g g o t a k c 1u a r g l
m 1 N a m a K e d u du k a n cl a n P e s a n
2 1b u
p e n g a t u r R T m e r a w a t a n a k a n a k
3 A n a k A n g g o t a k e l u a r g a
M e m b a n t u o r a n g t u a
3 P K n
I s i l a h d e n g a n b e n a r
1 M e m b i c a r a k a n s u a t u ma1 l Hh s o c a r a b ( r s a m a s J l l l a l m t u k m c n Lb p a t k a n
k e s e p a k a t a n d i s e h u t
2 S ( t i a p p e s e r t a m u s v a w a r a h b e r lm k m e m h e 1 i k a n p c n d u p u t a La u
3 p u t u s a n y a n g t e l a h t ì i a i n b i l d a ta m r a p a t s c b a i k 17 y i l
4 C o n t o h m u s y a w a r a h d i k e l u s J u a l a h
5 D a l a n i m e m b e r i u s u B k ó ó u s b e r s i k a p
1 B u k u Pa k e t B a h a s a In do n c s l a t u t a s 11
2 B u k u Pa k e t ïPS r e ta s I I
3 B u k u Pa k e t PI ì K e l a s I 0
4 L K S K e l a s I I
N I Á
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
T e m a t ik
M e t o d e C e r a m ah
T a n y a Ja w a b
B e r m a in p e r a n
p e n u ga s a n
D K e gi a t a n P e m b e l a j a r a n
1 K e g i a t a n Pendhul uan
Gu r u m e n ga d i7 a n t a n y a j a A a b d e n ga n s i s w a t e n t a n g s ia p a 5 : lj n y m g i l d H
d a t a m k e Bu a r ga n y a
2 K e g i a t a n I n t i
G u r u m e n j e l a s k a n t e n t a n g k e d u du k a n a n g go t a k e l u a r g a y u l [ u a y a h ! b u
k a k e k / n e n e k Pamar bi bi k a k a k l a d i k p a k d e l b u d e
A y a h k ed ud u k a n F ' s e b n g n k c p ó k e l um ·Mp e n i n n & n < :u m .
p e r a n a y a h a d a l a h
p e n c a Ti n a tk a h u n t u k m e h l h l d u p l k ( lu a > g n
Pe l i n du n g k e <u a t g d
B e r t an g gu n g jaw a b at as ke s c j ah t er aa n an g g o t a kel uaga.
1 bu ke d u d u k a n n y a s e b a g a i r bu 1 ·ma h t an g g a , e r a n i bu ad ì l ah
M e n gu r u s r u m a h t a n g g a J a n k e l u a J"g a
h l e n d i d ik a n a k
T\ l e n g a t u r d a n m e m h l g l t u g a s u n t u k a n d k a n a k
* / Ln a k k e du d u k n n y a s e b J g \ ï a n ggu t a k c l u a 1g a p e r a n a n a r \ J J 0 h
M m e b a n t u p= k c l Ja a n o r a n g i l l a
N0e m a tu h i d a n m e n gho n n a t r o r a n g t u a
S i s w a m e m bu a t g a m b a r e k s p r e s i t l 1n aJi n a t i t d e n ga n m e w a m J < J 1> ' Tl
a de g a n l p e r is t iw a
G u r u m e m b e r ik a n l a t iha n s o a l IPS s i s w a m e n ge r j a k a n a i n u 1 n ì 1 . i w \h
s e c a r a l is a n
S is w a m e w a m a i ga m b a r ya n g s u da h d i s e d i a k a n g u r u
3 K e g i a t a n A k h i r
M e r e f le k s i k e m ba l i m a te ri
p e s a n d a r i gu r u a ga r a n a k / s i s w a d a p a t m e l a k u k a n p e r a n n r A Un l 1111
k e lu a > g a d c n ga n b a l k
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R E N C A N A P E L A K S A N A A N P E M B E L A J A R A N T E M A T I K
T e m a : P e r i s t i w a
S u b T e m a
K e l a s 1112
A lo k a s i W a k t u 2 J a m Pe l a j a r a n
H a r il T a n gg n l : S a b t u , 19 F e b r u a r i 2 0 11
J a m M a t a S t a n d a r K ° K : n s i I n d i k a t o r
K e L p e \ a j a r a n K o m p e t e n s i
M a t e m a t i k a M e l a k u k a n
p e r k a l i a n d a n a g i a n
p e m b a g i a n
b ; l a n g a n s a l n p a i a n gk a
dua an g ka .
A T u j u a n P e m b e l a j a r a n
1 Si s w a m e l a k u k a n p e m b 1 g i a n
B M a t e r i A j a r (Ni a t e r i P o l ( o l . )
1 0 p e r a s io n a l h i t u n g b i l a m n n
C P e n d e k a t a n l M e t o d e
p e n d e k a t a n : T e m a t i k
Pa k e m
K o o p e r a t t t
M e t o d e C e r a m Ar h
p e n u g a s a n
D e n ì o n s t r a s t
D K e gi a t a n P e m b e l a j a r a n
1 K e g i a t a n P e n d a h u l u a n
G u r u m e r e v i e w p e l a j a r a n y u n g l a l u
2 K e g i a t a n I n t i
G u r u m ( n j e l a s k a n t e n t a n g d i l i pe m b a g i a n
B e be r a pa s i s w a m e n ge r j a k a n s o a l d i p a p a n t u l is
G u r u m e m b a g i le m b a r k c r j a s is w a
G u r u be r s a m a m u r id m e n c o c o kk a n
G u r u m e n i l a i ha s i l k e ij a s 1s w a
G u r u m e n g u l a n g k e m b a l i 1n a t e r i y a n g d ib e r i k a n
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
M e t o d e : C e r a m a h
p e n u ga s a n
D e m o n s t r a s i
T a n y a j a w a b
D K e g i a t a n P e m b e l a j a r a n
1 K e g i a t a n P e n d a h u l u a n
G u r u m e r e v i e w p e l a ja r a n y a n g l a lu
2 K e g i a t a n I n t i
G u r u m e n y u r u h b e b e r a p a s i s w a m c n i r u k a n ge r a k a n d a n s u a r a b i n a t a n g
G u r u m e n j e l a s k a n p e r a n m a s in g m a s i n g a n ggo t a k e l u a r g a
G u r u m e m b e r i L K S
G u r u m e n Ha i h a s i l k c w s l s w a
G u r u m e n y ó p u l k a n p w J n m J s w +n a s i n g a n g go t a k d u a r g a
G u r u m e n e r a n gk a n c a r a :' = n g a n r b i l a n kepuusan d M a n i m u s y a w a i a h
G u r u m e m u r u h s i s w n u n ; 1 l j b c m l u s y a w a > a h t e n t a n 1 c lc r e a s l
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
E p e 11i l a i a n H a s i l B e \ a j a r
1 I P S
I s i l a h t i t i k t i t i k d i b a w a h i n i d e n g a n j a w a b a n y a n g t ( Pa t !
1 > e m i m p i n k e l u a r ga a d a l a l 1
2 Y a n g b e r tu ga s m e n gu r u s r u m a h t a n gg a a d a l a h
3 K e l u a r ga in t i t e r d i r i a t a s a y a h,
i b u d a n
4 N a s e h a t a y ah d a n ib u w a j i b o l e h a n a k
5 A y a h b e k e r a u n t u k
2 SB K
w a r n a i l a h g a m b a r b e r ik u t s e h i n gg a m e n j a d i b a g u s ! (ga m b a r ds ed i dk m
g u r u )
F S u m b e r l r LI a t
1 B u k u P a k e t 1P S K c l a s 11
2 L K S K e l a s 11
N i p 195 90415 197 9 13 2 009
\ 1 t i n mg" 1 l J 11u d l 1 0 1 t
G u r u 6 c l n h
V P 8 5 0 3 19 1 o u ú n 4 2 m s
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
3 K e g i a t a n P e n u t u p
M e r e f l e k s i k e m b a l i pe l a j a r a n y a n g t e l a h d i a l a m i
G u r u m e 1n b e r ik a n t u ga s d i r u m a h
E p e n i l a i a n H a s i l B e 1a j a r
2 M a t e m a t i k a
K e r j a k a n s a a l b e n k u t ! K u n c i Ja w a b a n
2 2 5 : 5 2 5
3 2 2 2 3 H
4 22 : 4 4 ó
5 2 0 : 10 5 2
F S u m b c r / A l a t
1 B u k u t e k s M a t e m a t i k a K e l a s 1ì
l °n gg uw I r > Æ >u H 1 20 1 i
G u r u 6 Ul t
H p 5 9 0 4 1 5 1 9 7 2 2 009 N w 5 0 3 2 00 m 4 > w
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
K u n c i j a w a b a n
1 c 4 e
2 d 5 b
3 a
3 P K n
T u g a s : S i s w a d i m i n t a u n t u k m e l a k u k a n m u s y a w a r a h " K a r y a w i s a t a d i T a m a n
K y a i L a n g g e n g"
p e n i l a i a n : s e b e ea p a a k t i f s i s w a m e n g i k u t i m u s y a w a r a h t e r s e b u t (K e b i j a k a n
g u r u )
F S u m b e r / A l a
1 B u k u t e k s B a h a s a I n d o n e s i a K e l a s 11 I P S K e l a s I I PK n K c l a s 11
2 B u k u t e k s IP S r e t a s I I
3 B u k u t e k s P l9 n K e l a s 1.
M o n g g a n g 17 F c h u a l 1 1 0 1 1
G u r u K e l a s
N W 1 s > n 1 1 F 1 n n N< 1 W
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R EN C A N A P E L A K S A N A A N P E M B E L A J A R A N T E M A T I K
T e m a : P c r i s t iw a
Su b T e m a
K e l a s 2
A l o k a s i W a k t u
H a r i l T a n g g a l K a m i s,
17 F e b r u a r i 2 0 1 1
K o m p e t e n s i I n Æ . M o >
D a s a r
1 2 a e u y a m p a i k a n M e n y a m p a i k a n M e n y a m p a i k a n
h n e s i a a n y a n g pehi n p e n d e k y a n g p e s a n s e c a r a l i xr r
d i d : m
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R E N C A N A P E L A K SA N A A N > E M B E I A J A R A N T E M A T I K
T e m a A k u d a r 1 K e l u a r g a l« u
S u b T e m a
K e 1a s 11/ 2
A l o k a s i W a k t u : 1 P e r t e m u a n
H a r i l T a n g g a l : S e n i n,
2 8 F e b r u a r i 2 0 1 1
u p a c a r a
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R E N C A N A P E L A K S A N A A N P E M B E L A J A R A N T E M A T I K
T e m a A k u d a n K e l u a r g a k u
K e l a s 2
A l o k a s i w a k t u 1 P e r t e m u a n
H a r i / T a n g g a l S a h t u,
26 F e b r u a r i 2 1ï 1 1
K e 1 p e l a j a r a n K o m p e t e r 1s i D a s a r
I n d i l t o r
P A g a m a
M a t e m a t i k a B M e l a k u k a n M e l a k u k a n M e n g c n a l H t l
p e r k a h a n d a n p e m b a g i a n p e m h a g i a n
p e m b a gi a n b i l a n ga n d u a
b i l a n ga n s a m p n i t1 n g
d u a a n g k a
P e n g D i i
A T u j u a n P e m b c l a j a r a n
M e l a l u i p e n j e l a s a n g u r u d i h a r a p k a n s I s w A1 d J p a t m ( n g e n J l u t i 1.)e m b J g i a n
B M a t e r i A j a r (M a t e r i P o k o k )
M a t e m a t i k a : O p e r a s i o n a l h i t u n g b i l a n g n n
C P e n d e k a t a n / N l e t o d e
P e n d e k a t a n : T e m a t i k
P a k e m
K o o p e r a t i f
M e t o d e Pe n u g a s a n
T a n y a j a w a b
C e r a m a h
D K e g i a t a n P e m b e l a j a r a n
1 K e g i a t a n P c n d a h u l u a n
G u r u b e r ta n y a t e n t a n g p e m 1.) a g i a n
2 K e g i a t a n I n t i
G u r u m e n e r a n gk a n t e n t a n g p e iì ì b a g i A1n
M e l a l u i b i m b i n g a n g u r u s i s w a m c l a k u k a n p e m b a g i a n d e n g a n t kr r +l
p e n gu r a n g a n b e r u l a n g
G u r u m e m b a gi l e m b a r Æ S s I s w d d r n ù n t a u m u k m c n g c y u k a n l =nr hu
L K S
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R E N C A N A P E L A K S A N A A N P E M B E L A J A R A N T E M A T I K
T e m a : A k u d a n K e l u a r g a k u
K e l a s 1 2
A l o k a s i W a k t u 2 J a n i 1' e l a j a r a n
H a r i /T a n g g a ï J u m'a t
, 2 5 F e h r u a r i 2 0 1 1
J a m I M a t a I s t a n d a r I K o m p e t e n s i I n f l i k a t u r
1 Bm ¥ a n I K o m p e t e n s i I D a s a r
3 4 Ip S M e m a h a m i M e n e c > l t a k a n M c m = l a s k m
k e d u d u k a n d a n p c n g a l a n i a n n y a k c c endmi nNn
p e r a n a n g g o t a d a l a n i m c h k s a n a k a n p c n i ó h n n p c r a n
d M a m k e l u a r g a p e r u n d n l a m a n g g o t ; 1 d l k l unï g \
d a n l i n g k u n g a n k e l u a r g a : ì ì l ul r vJ h ; 1p ; Bk
t e t a n g g a ) a rr g h k c r ] 1
5 SB K M e n g e n a B u n s u l M e n c n J l u 115 u J N1( n 1c8; 111
m u s ik Bu m j Rn t rs i k d a n > ; t n g k u i ; 111 h u n I
p c r p a d u a n n y a d a n d c./kjiBB ? j)jA ;. i
'
, "
m e M u t k e p e k a a n a n
m d e r a w
A T u j u a n P e m b e l a j a r a n
1 M e l a l u r t a n y a j a w a b s i w a Mh u a p k n n mcngcmhu \ n Iu d u k n n J H 1 <r c l 1 H
d a t a m k e l u a r g a
2 M e l a l u l p e n M a s a n g u r u s 1s H J t h & r t m m n h n m i L J Lr 9M J n D m N m s Æ 1ì'
a n ggg o t a k e l u a r g a
3 M e l a ó p e n j e l a s a n g u r u d i ha n k a n > w H 9Ls m n i c n m 1l Jngkn . m h , n m
B M a t e r i A j a r (M a t e r i P o k o k )
1 I P S
K e du du k a n da n p e r a n a n g go t a k e l u a 1 g n
2 SB K
U n s u r b u n y i m u s i k d a n p e rp a d u a n n y a m e l a l u r p c n g ul a m a n m u N k
C P e n d e k a t a n / M e t o d e
P e n d e k a t a n T e m a t ik
Pa k e m
K o o p e r a t i f
M e t o de Pe n u ga s a n
T a n y a j a w a b
C e r a JT1
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R E N C A N A P E L A K S \ N
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
R E N C A N A p E L \ 1, S A N A A N p E M B E L A J A R A N T E M A T 1K
T e m : 1 : A k u d a n K e l u a r g a k u
A 1\ ) 1. ; 1 \ i W a k t u l × p e r t e m u a n
H 1 I i I a n g g a 1 K a m i s,
10 M a r e t 2 0 1 1
J a m H111 . .
' : , i
k o n n p e t e n s i I n d i k a t o r
K e D a s a r
1 2
I , Xî
. ;,
'
; ;! X ,
' " y a m p a i k a n · M e n c a t a t .
m L m r g d i d c n w k a n k c p a d a M c n u l C PCHH
: ri l ì k a n o r a n g l il ì n k d a ta m
b c h c r a p ; \
k a h m a t
M c s a w m k a n
p e s a n s e e m J
h s a n epu$rn r a n g m n
3 TPS l i l 11111 l vl 1ì cc] i t a k a n NÌ C n j L l a s k u n
u L a n d a n p c n gM a m a n E a kecendc>ungm
111 a 1r g g o t a d u / m J a l a i ì ì p e r u h a h a n p c l 111
n r g a d a n
W J n dÐ1a m m h n <n v n h wl: 1111 111
5 ó P K N H m w lk m . : T H' V c n J m }r i H kr p V c 1m n w l l H L
1A ó h J n
k u h h m
A T u j u a n Pc m b d a j a r a n
1 SC w a d a p a t m C . d n H H W H X N M LJc H g J H t = m J n K I c l m m C H
h a i i
2 Si s w a d a n n m c l a p m k a n h m l w Æ a n c u i J s e c a r a h Å c n g a n h m M t q RL
b e r s a m bu n g
B M a t e r i A j a r ¡ v l a 1t l i I 'I I I o k )
1 B a ha s a In do n L ï
- a n -
2 .PS
K e du du k a n d a n p e r a n a n ggo t a k e l u a r g a
3 PK n
M u s y a w a r a h
LAMPIRAN
SILABUS
PEMBELAJARAN
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
LEMBA R PENGESA HA N
SILA BUS PEMBELA JA RA N
KELAS 1 1
TA HUN PELAJA RA N 2012 / 2013
Me n ge ta hu i Mo n gga n g 16 Ju li 201 2
Ke pa la Se ko la h Gu r u Ke la s
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
, e= . L ' " I n d i k a t o r M ' ' " ' " k o ' ' " 1 ' ' " 1 ,' Ty"
. . ' " a n
1 1 M e n ge n a l u n s u r M e n g ide n t i f t k a s i u n s u r u n s u r
r u pa pada k a r y a r u pa ( ga r is w am a b id a n g ) y a n g
k a r y a s e n i t e r da p a t pa d a k a r y a s e n i n J p a
r u pa y a n g t e r da p a t p a d a k a r y a 2 JP
5 SB K s e n i r u pa kh u s u s n y a t e n t a n g
w a m a
M e n ge lo m p o kk a n u n s u r u n s u r
r u p a y a n g t e r da p a t pa d a k a r y a
s e n i r u pa
Pe r t e m u a n 4 B u k u Pe n u ga s an
2 2
Ke g ia t a n s e h a r i s e ha r i ha r i d i s e k o la h
l
s e h a r \ h a n a i ; ; e ; ' I n d o n e s i a m c n a n y a K a n o a n
I n do n e s ia
ba ha s a y a n g
M e n j a w a b pe r t a n y a a n t e n t a n g s e k o la h
Di
T a n y a j a w a b pe r t a n y a a n t e n t a n g k e la s I I
2 Jp m e n a n gga p t
M e n c e r i t a k a n k e m ba l i t e n t a n g k e g i a ta n s e h a n h a r i d i s e k o l a h Ya n g
6 M a t e m a t i k a
B a ha sa
i n do n e s i a *̂'
7 be r s a m b u n g M e n u ï is k a l im a t s e d e r ha n a
k a t a d e n ga n m e n gg u n a k a n hu r u f t e ga k
da n m e m p e r m e n ggu n a k a n hu r u í da n t n i k ; v B K B kr u 1 / h e r s a m h u n g d i pa Fh ; \ t u l i s
ha t ika n I M e n u l n k a l im a t s e de r h a n a
pe n ggu n za n m e n ggu n a k an h t . r u : k a p i t a l d a n
l a n da t i t ik t it ik
B a ha s a K e r a p i a n da n
t n d o n e s i a ke t e pa t a n m e n u l is
k e l a s 11 k a ta lk a l im a t
r e le v an 2 JPy a n g
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
LAMPIRAN
SURAT
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner