KP Kebijakan Pupuk-libre

15
Tugas Mata Kuliah Kebijakan Publik TINJAUAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DI INDONESIA Dosen: Oleh: Danang Pramudita H152120031 Kasmiati H152150261 ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of KP Kebijakan Pupuk-libre

Page 1: KP Kebijakan Pupuk-libre

Tugas Mata Kuliah Kebijakan Publik

TINJAUAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DI INDONESIA

Dosen:

Oleh:

Danang Pramudita H152120031 Kasmiati H152150261

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

Page 2: KP Kebijakan Pupuk-libre

1

I. PENDAHULUAN

Pertanian merupakan sektor yang meskipun saat ini sumbangannya terhadap PDRB mengalami penurunan, namun masih menjadi salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB pada tahun 2012 sebesar 14,44 % menempati urutan kedua setelah sektor Industri 23,94% (BPS, 2012). Dengan sumbangan yang cukup tinggi terhadap PDRB, sektor pertanian tidak hanya berdampak terhadap sektor pertanian itu sendiri (penyerapan tenaga kerja, peningkatan produksi). Sektor pertanian mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar terkait dengan adanya keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) dengan sektor-sektor lainnya, terutama industri pengolahan dan jasa. Peranan sektor pertanian juga dapat dilihat secara lebih komprehensif, antara lain: (1) sebagai penyediaan pangan masyarakat sehingga mampu berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) yang sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial (socio security), stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional (national security), (2) sektor pertanian menghasilkan bahan baku untuk peningkatan sektor industri dan jasa, (3) sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor, (4) sektor pertanian merupakan pasar yang potensial bagi produk-produk sektor industri, (5) transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, dan (6) sektor pertanian mampu menyediakan modal bagi pengembangan sektor-sektor lain (a net outflow of capital for invesment in other sectors). Secara umum, peranan dalam penciptaan ketahanan pangan nasional merupakan isu yang utama dalam pengembangan sektor pertanian.

Pentingnya sektor pertanian dalam mendukung ketahanan pangan nasional menyebabkan banyak sekali kebijakan pemerintah yang dilaksanakan berkaitan dengan sektor pertanian. Kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian tanaman pangan, dilaksanakan secara menyeluruh dari hulu sampai hilir. Pada sektor hulu, pemerintah mendorong produksi tanaman pangan dengan menyediakan input yang bersubsidi (benih, pupuk, pestisida) melalui mekanisme pemberian subsidi terhadap produsen input produksi tersebut. Pada proses produksi, pemerintah juga melaksanakan kebijakan bantuan modal dan pelatihan sistem usahatani. Pada sektor hilir pemerintah juga menerapkan kebijakan pengaturan harga jual komoditas tanaman pangan. Kebijakan yang sifatnya multiaspek dalam sektor pertanian perlu mendapat perhatian khusus, terutama kebijakan terkait dengan subsidi input untuk pertanian. Pemberian berbagai bentuk subsidi di sektor pertanian tersebut merupakan kebijakan penting yang dilaksanakan secara terus-menerus untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Jumlah anggaran untuk subsidi input dan subsidi pangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun

Page 3: KP Kebijakan Pupuk-libre

2

terus meningkat. Kecenderungan membesarnya nilai subsidi memberikan sinyal peningkatan kebutuhan subsidi di masa mendatang, yang berdampak pada makin besarnya beban anggaran pemerintah untuk subsidi.

Perhatian besar terhadap subsidi input terutama ditekankan pada kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu kebijakan yang secara historis menjadi tulang punggung kebijakan subsidi bidang pertanian di Indonesia. Sejak program Bimas dan Inmas dilaksanakan pada tahun 1969, subsidi pupuk sudah menjadi komponen utama kebijakan subsidi bidang pertanian. Dalam program Bimas, penggunaan pupuk merupakan salah satu komponen Panca Usaha Pertanian yang merupakan batang tubuh dari program Bimas. Kebijakan subsidi pupuk dilatarbelakangi oleh peranan penting dan strategis pupuk dalam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian. Pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk yang efisien melalui berbagai kebijakan meliputi aspek teknis, penyediaan, dan distribusi maupun harga melalui subsidi. Kebijakan subsidi dan distribusi pupuk yang telah diterapkan mulai dari tahap perencanaan kebutuhan, penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), besaran subsidi hingga sistem distribusi ke pengguna pupuk sudah cukup komprehensif. Secara umum nilai subsidi pupuk walaupun berfluktuasi, nilainya terus meningkat tajam. Pada tahun 2003, nilai subsidi pupuk masih Rp 900 miliar, kemudian meningkat pesat menjadi lebih dari Rp 15.83 triliun pada tahun 2013 (Tabel 1).

Tabel 1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk, 2003 - 2013

Tahun Subsidi (Rp Triliun) Pertumbuhan (%)

2003 0.9 -

2004 1.592 76.89

2005 2.59 62.69

2006 4.16 60.62

2007 6.8 63.46

2008 14.11 107.50

2009 17.45 23.67

2010 14.75 -15.47

2011 16.37 10.98

2012 13.94 -14.84

2013 15.83 13.56

Sumber: Kementerian Pertanian, 2013

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa subsidi pupuk masih menjadi instrumen penting dalam kebijakan pertanian Kebijakan pemerintah yang cenderung terus meningkatkan subsidi pupuk (Tabel 1) bertujuan untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan. Kebijakan ini dilandasi pemikiran bahwa pupuk merupakan faktor kunci dalam

Page 4: KP Kebijakan Pupuk-libre

3

meningkatkan produktivitas, dan subsidi dengan harga pupuk yang lebih murah akan mendorong peningkatan penggunaan input tersebut (PSE-KP 2009).

Namum, panjangnya rentang waktu pelaksanaan subsidi memunculkan berbagai perdebatan mengenai subsidi pupuk. Di satu sisi, kebijakan subsidi pupuk dinilai berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan petani, khususnya tanaman pangan. Di sisi lain, kebijakan subsidi pupuk dinilai tidak efektif dalam hal biaya, pencapaian petani target, kurang tepat waktu dan tepat harga, bahkan cenderung mendorong penggunaan pupuk yang berlebihan. Mekanisme pemberian subsidi melalui produsen dikritisi karena dianggap hanya menguntungkan pihak produsen, bukan petani sebagai kelompok sasarannya. Selain itu, subsidi pupuk yang terus menerus juga memunculkan kritik mengenai ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah pasca revolusi hijau. Padahal sejatinya peran pemerintah ada untuk membantu petani mencapai kemandirian. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan kajian untuk mengevaluasi kebijakan subsidi pupuk.

II. LANDASAN TEORITIS

2.1 Pengertian Subsidi Menurut UU No. 45 Tahun 2007 tentang APBN 2008, subsidi adalah

alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Subsidi bertujuan untuk menambah output, permintaan dan produktivitas serta menjaga stabilitas perekonomian, khususnya stabilitas harga. Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung suatu kegiatan usaha atau perorangan oleh pemerintah. Subsidi dapat bersifat langsung (dalam bentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga dan sebagainya), atau tidak langsung (pembebasan penyusutan, potongan sewa dan semacamnya).

Sukirno (2005), subsidi adalah pemberian pemerintah kepada produsen untuk mengurangi biaya produksi yang ditanggung produsen. Subsidi dapat menurunkan harga. Suparmoko (2003) mendefinisikan subsidi (money transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang dapat juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan pihak penerima subsidi. Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan subsidi harga pupuk dalam penelitian ini adalah subsidi produksi yang diberikan oleh pemerintah untuk menanggung sebagian biaya produksi pupuk agar bisa dicapai harga jual yang diinginkan.

Page 5: KP Kebijakan Pupuk-libre

4

2.2 Dampak Subsidi Kebijakan subsidi biasanya dikaitkan dengan barang dan jasa yang memiliki

peran penting dalam menunjang hajat hidup orang banyak. Tujuan subsidi untuk menambah output dan menambah jumlah sumber daya yang dihasilkan melalui pengaturan mekanisme harga. Mekanisme subsidi umumnya diberikan kepada produsen dalam bentuk pemberian bantuan biaya produksi dengan menggeser biaya marginal menjadi lebih rendah, sehingga perusahaan dapat menyuplai barang lebih banyak dengan harga yang lebih rendah. Pada akhirnya dengan suplai yang tersedia lebih banyak dan harga murah masyarakat dapat mengkonsumsi lebih banyak barang tersebut.

Bellinger (2007), subsidi dalam banyak hal adalah kebalikan dari pajak. Pajak membawa uang dari pasar untuk pemerintah, subsidi mentransfer uang dari pemerintah ke sektor swasta. Oleh karena itu, pemerintah menderita kehilangan secara finansial akibat dari subsidi.

Gambar 1. Dampak Kebijakan Subsidi

Sumber: Bellinger, 2007

Diasumsikan bahwa tanpa subsidi keseimbangan akan berada di P1 dan Q1. Subsidi akan menggeser kurva penawaran ke kanan luar yaitu S + subsidi. Keseimbangan baru untuk harga dan adalah di titik P2 dan Q2. Untuk setiap unit Q2 yang diproduksi, konsumen akan membayar harga P2 dan produsen akan menerima P2 ditambah subsidi. Subsidi populer secara politis karena menguntungkan konsumen dan produsen. Hanya pemerintah yang menderita kerugian akibat dari pembayaran subsidi. Pada Gambar 1, surplus konsumen meningkat dari segitiga A + B menjadi segitiga A + B + C + D + E. Demikian

Page 6: KP Kebijakan Pupuk-libre

5

pula, surplus produsen naik dari C + F menjadi C + F + B + H. Sementara itu pemerintah membayar selisih kepada produsen dari kekurangan konsumen melalui subsidi. Hal ini menyebabkan, surplus pemerintah akan negatif karena memberikan subsidi. Pada Gambar 1, surplus pemerintah sama dengan persegi panjang - B - C - D - E - H - I. Keuntungan bersih yang diperoleh dengan subsidi adalah dengan menambahkan tiga surplus tersebut.

Dengan mengurangkan bagian yang berhuruf miring, keuntungan bersih

yang diperoleh adalah sebesar A + B + C + F - I. Tanpa subsidi total keuntungan bersih dari pasar ini adalah surplus konsumen ditambah surplus produsen, yaitu A + B + C + F. Perbedaan antara total keuntungan bersih sebelum dan sesudah subsidi adalah area negatif I, satu-satunya bagian dari pembayaran subsidi yang tidak meningkatkan surplus konsumen atau surplus produsen. Oleh karena itu, daerah I adalah deadweight loss (DWL) dari subsidi. Jenis DWL yang terjadi karena pasar over produksi relatif terhadap kuantitas ekuilibrium kompetitif.

Disamping memiliki dampak positif, subsidi juga memiliki dampak negatif. Secara umum efek negatif subsidi adalah (Basri, 2002): (1) subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar maka ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi. Harga yang disubsidi lebih rendah daripada biaya kesempatan (opportunity cost) maka terjadi pemborosan dalam penggunaan sumber daya untuk memproduksi barang yang disubsidi, (2) subsidi menyebabkan distorsi harga, (3) subsidi yang tidak transparan dan tidak well-targeted akan mengakibatkan: (a) digunakan untuk program populis cenderung menciptakan distorsi baru dalam perekonomian, (b) subsidi menciptakan suatu inefisiensi, (c) subsidi tidak dinikmati oleh mereka yang berhak.

Secara umum efek subsidi dapat diklasifikasi sebagai berikut (Basri, 2002): (1) Allocative Effect, berkaitan dengan alokasi sumberdaya, dimana pemerintah mengalokasikan sumber daya ke sektor tertentu yang dipandang memerlukan subsidi, (2) Redistributive Effect, umumnya tergantung dari elastisitas permintaan kelompok masyarakat yang menggunakan barang yang disubsidi atau tergantung penawaran barang yang disubsidi, (3) Fiscal Effect, dimana akan meningkatkan defisit fiskal karena penerimaan negara dari pajak berkurang, (4) Trade Effect, subsidi tidak langsung berupa peraturan harga yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menaikkan harga bahan baku tertentu sehingga mengurangi penawaran komoditi domestik dan meningkatkan impor.

Keuntungan Bersih dari Subsidi = Surplus Konsumen + Surplus Produsen + Surplus Pemerintah (negatif) = (A + B + C + D + E) + (C + F + B + H) + (- B - C - D - E - H - I).

Page 7: KP Kebijakan Pupuk-libre

6

III. KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DI INDONESIA

3.1 Dinamika Kebijakan Subsidi Pupuk

Kebijakan subsidi pupuk telah menjalani rentang waktu yang panjang,

sudah empat dasawarsa sejak subsidi pupuk mulai digulirkan pada tahun 1969.

Subsidi pupuk mengalami berbagai dinamika perubahan dalam setiap masa.

Namun, esensi dari kebijakan subsidi pupuk sejak tahun 1969 tidak berubah.

Subsidi pupuk mendorong produktivitas dan produksi pangan nasional serta

meningkatkan kesejahteraan petani. Sejak itu, subsidi pupuk terus diberikan

dalam bentuk harga eceran tertinggi atau HET (Syafa’at et al. 2006). Ketika

Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, kebijakan subsidi pupuk

turut memberikan kontribusi terhadap pencapaian tersebut.

Pada tahun 1998, krisis multidimensi dan tekanan IMF memaksa

pemerintah menetapkan penghapusan subsidi pupuk untuk tahun 1999 dan

melepaskan distribusi pupuk mengikuti mekanisme pasar. Sebagai

kompensasinya, pemerintah menaikkan harga gabah kering giling (GKG) dari

Rp1.000 menjadi Rp1.400-1.500/kg, menurunkan suku bunga kredit usaha tani

(KUT) dari 14% menjadi 10,50%, dan menaikkan plafon kredit dari Rp1,496 juta

menjadi Rp 2 juta (Ilham 2001).

Pada tahun 2000-2002, pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk

melalui mekanisme insentif subsidi harga gas untuk produsen pupuk. Gas

merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya produksi pupuk urea, yakni

50-60%. Industri pupuk urea mengkonsumsi sekitar 8% dari total produksi gas

bumi nasional. Dengan menetapkan harga gas bumi untuk produsen di bawah

harga pasar, diharapkan pupuk urea dapat dijual kepada petani sesuai dengan HET

yang ditentukan pemerintah (Herman et al. 2005). Untuk pupuk non urea,

harganya mengikuti mekanisme pasar (PSE-KP 2007).

Pada tahun 2003-2006, kebijakan subsidi pupuk masih tetap mengacu pada kebijakan subsidi harga gas untuk perusahaan pupuk. Nilai subsidi kepada produsen pupuk adalah sebesar selisih antara harga gas berdasarkan kontrak dengan harga gas yang ditetapkan pemerintah (US$ l,0/MMBTU). Untuk pupuk non urea, subsidi diberikan melalui subsidi harga jual produk. Dalam penentuan HET pupuk, pemerintah juga memperhatikan HPP gabah yang ditetapkan untuk petani. Secara teoritis, dengan makin rendahnya rasio antara HET pupuk dan HPP gabah, maka diharapkan petani terdorong untuk menggunakan pupuk secara lebih optimal. Rasio antara harga input terhadap harga output secara teoritis dapat mempengaruhi penggunaan input yang pada akhirnya dapat mempengaruhi

Page 8: KP Kebijakan Pupuk-libre

7

produktivitas dan laba usahatani. Penurunan rasio harga, yang berarti harga input menjadi relatif makin murah terhadap harga output, akan mendorong petani menggunakan input lebih banyak yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan laba usahatani, dan begitu sebaliknya. Sebaliknya, peningkatan rasio harga, yang berarti harga input menjadi relatif makin mahal terhadap harga output, akan mendorong petani menggunakan input lebih sedikit yang selanjutnya dapat menurunkan produksi dan laba usahatani. Sejak era reformasi, pemerintah mengumumkan HPP gabah pada awal musim tanam (Oktober) dan mengumumkan HET pupuk pada awal tahun berikutnya. Dengan cara ini, maka petani dapat membuat kalkulasi tentang jumlah dan komposisi pupuk yang akan digunakan untuk menghasilkan output yang lebih memadai.

Tabel 2. HPP, HET dan Subsidi Pupuk Bersubsidi, 2006-2011 (Rp/kg)

Uraian Jenis Pupuk

2006 2007 2008 2009 2010 2011

HPP Urea 1.352 1.803 2.153 2.183 3.207 3.132

SP36 1.654 2.432 2.655 2.879 2.892 3.139

ZA 1.182 1.815 3.573 3.657 2.307 2.422

NPK 2.227 3.104 5.134 5.179 4.847 5.100

Organik - - 1.582 1.582 1.617 1.663 HET Urea 1.200 1.200 1.200 1.200 1.600 1.800

SP36 1.550 1.550 1.550 1.550 2.000 2.200

ZA 1.050 1.050 1.050 1.050 1.400 1.650

NPK 1.750 1.750 1.750 1.750 2.300 2.450

Organik - - 1.000 500 700 500 Subsidi Urea 152 603 953 983 1.607 1.332

SP36 104 882 1.105 1.329 892 939 ZA 132 765 2.523 2.607 907 772 NPK 477 1.354 3.384 3.429 2.547 2.650

Organik - - 582 1.082 917 963 % Subsidi* Urea 11,24 33,44 44,26 45,03 50,11 42,53

SP36 6,29 36,27 41,62 46,16 30,84 29,91

ZA 11,17 42,15 70,61 71,29 39,32 31,87

NPK 21,42 43,62 65,91 66,21 52,55 51,96

Organik - - 36,79 68,39 56,71 69,93

Keterangan: * Persentase subsidi harga terhadap HPP Sumber: Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2011

Perkembangan HPP dan HET pupuk selama 2006-2011 diperlihatkan pada Tabel 2. Selama tahun 2006-2009, harga pupuk bersubsidi (HET) tidak berubah, yaitu Rp 1.200 untuk Urea, Rp 1.050 untuk ZA, Rp 1.550 untuk SP18/SP36 dan Rp 1.750 untuk NPK. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah subsidi per kg pupuk yang ditanggung pemerintah sangat besar (baik nilai absolut maupun persentase) dan terus meningkat karena HPP pupuk terus meningkat. HET pupuk

Page 9: KP Kebijakan Pupuk-libre

8

baru dinaikkan pada tahun 2010 yaitu menjadi Rp 1.600 untuk Urea (naik 33,3%); Rp 1.400 untuk ZA (naik 33,3%); Rp 2.000 untuk SP36 (naik 29,0%); dan Rp 2.300 untuk NPK Phonska (naik 31,4%). Kenaikan HET diperlukan karena HPP pupuk cenderung meningkat, sedangkan anggaran pemerintah yang tersedia untuk subsidi terbatas. Lebih besarnya persentase kenaikan HET Urea dibanding SP36 dan NPK diharapkan dapat mengurangi dosis pemakaian pupuk tunggal, utamanya Urea, yang saat ini masih cukup besar (di beberapa lokasi terjadi kelebihan dosis) sekaligus meningkatkan penggunaan pupuk majemuk (NPK). Dengan berkurangnya dosis pemakaian pupuk tunggal, utamanya Urea, dan bertambahnya dosis pemakaian NPK, apalagi jika disertai juga dengan pemakaian pupuk organik dalam jumlah yang cukup, diharapkan struktur tanah bisa menjadi lebih kondusif bagi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, sehingga produktivitas per hektar menjadi lebih tinggi. Pada tahun 2011, HET pupuk telah direncanakan akan dinaikkan, tetapi kemudian dibatalkan dan tetap menggunakan HET tahun 2010, dan khusus untuk pupuk organik kembali pada posisi tahun 2009 yaitu Rp 500/kg. Tidak naiknya HET dilandasi oleh pertimbangan untuk meringankan beban petani seandainya terjadi kegagalan tanam. Tidak naiknya HET selama 2006-2009 dan 2011 mencerminkan bahwa kebijakan subsidi pupuk tetap berpihak kepada petani.

3.2 Target Penyaluran Pupuk Bersubsidi Target penyaluran pupuk bersubsidi selama 2006-2010 diperlihatkan pada

Tabel 3. Target penyaluran pupuk tunggal yaitu Urea, SP218/SP36 dan ZA, terus meningkat selama 2006-2009 tetapi kemudian menurun pada tahun 2010. Sementara untuk pupuk majemuk NPK target penyalurannya terus meningkat selama 2006-2010. Target penyaluran pupuk majemuk yang terus meningkat dilandasi oleh keinginan pemerintah agar petani meningkatkan menggunakan pupuk majemuk (dan pupuk organik) dengan tujuan agar produktivitas meningkat melalui penggunaan pupuk berimbang.

Tabel 3. Target Penyaluran Pupuk Bersubsidi, 2006-2012 (Ton)

Tahun Urea SP16/SP36 ZA NPK Organik

2006 4.300.000 700.000 600.000 400.000 0 2007 4.300.000 800.000 700.000 700.000 0 2008 4.800.000 811.400 750.350 962.680 345.000 2009 5.500.000 1.000.000 923.000 1.500.000 450.000 2010 4.931.000 850.000 849.749 2.100.000 750.000 2011 2012

4.954.238 5.100.000

750.000 1.000.000

975.000 1.000.000

2.350.000 2.593.920

703.986 835.000

Sumber: Kementerian Pertanian. 2013

Page 10: KP Kebijakan Pupuk-libre

9

IV. TINJAUAN KRITIS KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK

4.1 Permasalahan Subsidi Pupuk Model subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah subsidi tidak langsung,

yaitu subsidi yang diberikan kepada produsen pupuk. Walaupun diberikan secara tidak langsung, petani memperoleh manfaat dari subsidi tersebut, berupa harga pupuk yang lebih murah. Meskipun saat ini sudah lebih baik, tetapi masih ada beberapa kelemahan. Paling tidak ada empat masalah penting dalam program subsidi pupuk, yaitu: 1. Penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi, Disparitas harga antara pupuk

bersubsidi dengan pupuk non subsidi menyebabkan terjadi aliran pupuk dari sektor yang mendapatkan subsidi ke sektor yang tidak disubsidi yang kemudian menimbulkan masalah langka-pasok di sektor yang mendapatkan subsidi. Pupuk bersubsidi tidak hanya diselewengkan ke tanaman perkebunan, tetapi juga ke industri termasuk industri kayu lapis, lem, peternakan, dan batik (Lakitan 2008).

2. Kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan, kesulitan dalam membuat data yang akurat mengenai kebutuhan pupuk bersubsidi. Prakiraan kebutuhan pupuk sering dibuat secara agregat dengan memperhitungkan luas tanam dan takaran pupuk secara umum. Kenyataannya, takaran penggunaan pupuk bervariasi, baik karena perbedaan luas lahan maupun tingkat kesadaran petani terhadap manfaat pupuk. Akibatnya, kebutuhan riil dengan ketersediaan pupuk sering berbeda nyata sehingga ada daerah yang kelebihan dan ada yang kekurangan (PSE-KP 2006)

3. Bias sasaran atau target, masalah ini berkaitan dengan azas keadilan. Petani kaya atau yang lahannya luas memperoleh pupuk bersubsidi lebih banyak dibanding petani miskin atau berlahan sempit. Hal ini disebabkan petani yang memiliki lahan luas atau lebih kaya cenderung menggunakan pupuk lebih banyak. Tahun 2007, untuk subsidi urea, 20% petani yang termasuk kategori kaya menikmati 45% dari total subsidi (World Bank 2009a).

4. Realisasi penyaluran. Secara umum realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dari tahun 2006-2009 mengalami fluktuasi untuk semua jenis pupuk (Tabel 4). Presentase jumlah realisasi terhadap jumlah rencana penyaluran pada Tabel 4 menunjukkan tren menurun dalam realisasinya. Perlu digarisbawahi, realisasi penyerapan yang mencapai 100 % sejak tahun 2006-2012 hanya pernah dialami jenis pupuk SP dan ZA. Realisasi penyaluran pupuk yang belum maksimal dapat disebabkan oleh masalah-masalah teknis di lapangan, seperti ketidaksesuaian data RDKK sebagai basis data untuk pengambilan pupuk bersubsidi, ataupun permasalahan keterlambatan distribusi untuk daerah-daerah terpencil.

Page 11: KP Kebijakan Pupuk-libre

10

4.2 Dampak Negatif Subsidi Pupuk Dalil kebijakan publik mengatakan bahwa instrumen yang paling efektif dan

efisien adalah yang paling berkaitan langsung dengan tujuan kebijakan. Input langsung usahatani adalah pupuk, bukan gas bumi. Jika tujuan kebijakan menekan harga pupuk yang dibayar petani agar biaya produksi usahatani menurun dan intensitas penggunaan pupuk meningkat, yang selanjutnya akan meningkatkan laba petani maupun produksi pertanian nasional, maka instrumen yang paling efektif dan efisien adalah pemberian subsidi harga beli pupuk bagi petani. Mekanisme subsidi pupuk kepada produsen pupuk melalui subsidi gas untuk input produksi pupuk menimbulkan dampak negatif baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.

Dampak negatif pertama yang cukup menonjol adalah disparitas harga pupuk bersubsidi dengan HET dan harga pupuk nonsubsidi yang mengikuti mekanisme pasar, dan disparitas harga antara harga di pasar domestik dan pasar internasional. Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi menimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara HET dan harga pasar. Pada tahun 2006, harga HET pupuk urea adalah Rp1.200/kg, padahal harga pupuk nonsubsidi mencapai Rp5.500/kg. Hal ini mendorong terjadinya penyimpangan, yaitu pupuk bersubsidi di jual ke pasar nonsubsidi yang meliputi perusahaan perkebunan atau petani nonpangan (Herman et al. 2005).

Sisi negatif yang kedua dari kebijakan subsidi pupuk adalah penggunaan pupuk yang berlebihan. Sebagian petani menggunakan pupuk urea dengan takaran 400-600 kg/ha, padahal takaran anjuran berkisar antara 200-250 kg/ha. Hal ini menyebabkan munculnya gejala pelandaian produktivitas, di samping menurun-kan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah (Herman et al. 2005; PSE-KP 2009).

Tabel 4. Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi, 2006-2012 Tahun Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk (NPK) Pupuk Organik

Urea SP18/SP36 ZA

Jumlah (ton)

%* Jumlah (ton)

%* Jumlah (ton)

%* Jumlah (ton)

%* Jumlah (ton)

%*

2006 3.962.404 92,15 711.081 101,58 600.972 100,16 399.970 99,99 0 0

2007 4.249.409 98,82 764.821 95,60 701.647 100,24 637.456 91,07 0 0

2008 4.534.656 94,47 582.102 71,74 751.321 100,13 939.002 97,54 68.400 19,83

2009 4.623.889 84,07 706.937 70,69 888.607 96,27 1.417.703 94,51 236.451 52,54

2010 4.279.901 86,80 644.858 75,87 713.765 84,00 1.473.345 70,16 246.130 32,82

2011 4.528.949 91,42 731.502 97,53 953.758 97,82 1.794.767 76,37 388.156 55,14

2012** 3.613.900 70,86 761.309 76,13 962.048 96,20 1.943.751 74,93 660.772 79,13

Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, diolah. Keterangan: * Persentase jumlah realisasi terhadap jumlah rencana penyaluran ** realisasi sd November 2012

Page 12: KP Kebijakan Pupuk-libre

11

Dampak negatif ketiga dari subsidi pupuk adalah subsidi yang diterapkan kurang kondusif untuk pengembangan industri pupuk nasional. Karena harga yang dipatok lebih rendah, beberapa produsen pupuk kesulitan memperoleh kontrak pasokan gas, baik untuk perpanjangan kontrak maupun kontrak baru. Produsen gas bumi lebih mengutamakan konsumen yang mampu membeli gas dengan harga yang lebih tinggi. Akibatnya, kapasitas terpakai pabrik pupuk nasional menjadi tidak optimal, yaitu hanya 71-83% dari kapasitas terpasang. Pemberian subsidi melalui harga gas kurang merangsang pabrik pupuk urea untuk meningkatkan efisiensi produksi melalui penghematan pemakaian gas

Dampak negatif keempat, hasil analisis manfaat dan biaya menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah lebih besar daripada manfaat yang diterima petani (Syafa’at et al. 2006; Manaf 2007). Menurut Santosa (2010), subsidi pupuk yang dilakukan selama ini lebih menguntungkan pihak pabrik karena subsidi diberikan langsung kepada pihak pabrik. Permasalahan tersebut juga disebabkan struktur pasar pupuk yang bersifat oligopoli, permainan dalam distribusi pupuk, dan lemahnya penegakan hukum.

Dampak negatif kelima, menurut World Bank (2009a), subsidi sering menjadi tekanan politik sehingga subsidi menjadi permanen. Hal ini terbukti dengan kebijakan subsidi pupuk yang telah berlangsung dari tahun 1969 hingga sekarang. Akibat dari kebijakan subsidi yang permanen ini menyebabkan petani menjadi sangat tergantung terhadap pemerintah, sehingga kemandirian petani tidak tercapai. Petani hanya menjadi faktor produksi saja, bukan sebagai subjek dari pembangunan

V. SINTESIS DAN KESIMPULAN

Pemberian subsidi tidak selamanya memberikan dampak positif bagi masyarakat. Subsidi dapat pula menimbulkan efek negatif, yaitu subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar maka ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi. Kebijakan subsidi pupuk yang selama ini diterapkan telah menimbulkan beberapa masalah seperti distribusi yang tidak adil dan tidak tepat sasaran, dualisme pasar, penggunaan pupuk yang berlebihan, biaya subsidi lebih besar dari manfaat, serta menghambat pengembangan industri pupuk nasional. Dampak negatif subsidi pupuk adalah timbulnya disparitas harga, penggunaan pupuk berlebihan, industri pupuk tidak berkembang secara optimal, biaya lebih besar dari manfaat, dan menurunkan kemandirian petani. Meskipun demikian, penghapusan subsidi terhadap pupuk perlu melalui tinjauan yang matang, karena seyogianya kewajiban negara untuk membantu petani Indonesia mendapatkan akses terhadap sumber input.

Page 13: KP Kebijakan Pupuk-libre

12

5.1 Perbaikan Mekanisme Subsidi Pupuk Tidak Langsung

Jika kebijakan subsidi pupuk dilanjutkan maka perbaikan seyogianya dilakukan untuk mengatasi masalah atau meminimalkan dampak negatifnya. Tidak semua masalah atau dampak negatif dapat dihilangkan atau dikurangi sehingga upaya perbaikan perlu dilakukan secara selektif untuk mendukung proses subsidi yang lebih efektif. Masalah pertama yaitu ketidaksesuaian antara ketersediaan (volume subsidi) dan kebutuhan serta sasaran yang bias ke petani kaya/besar, secara umum dapat diperbaiki melalui mekanisme perencanaan yang lebih baik. Dalam memperbaiki mekanisme perencanaan, ada tiga hal yang perlu digarisbawahi, yaitu: 1) ketersediaan sumber daya yang memadai untuk menyusun perencanaan, 2) pemberdayaan PPL, dan 3) ketersediaan waktu yang memadai untuk menyusun perencanaan.

5.2 Mekanisme Subsidi Pupuk Langsung

Ada sebagian pendapat yang mengusulkan untuk menghentikan subsidi pupuk dengan memberi kompensasi kepada petani karena dampak negatifnya melebihi dampak positifnya. Pemikiran ini tetap berpijak pada penguatan sektor pertanian sehingga jika subsidi pupuk dicabut, anggaran subsidi tetap dialokasikan ke petani dalam bentuk kebijakan kompensasi untuk mendukung kinerja sektor pertanian atau dibuat mekanisme baru dengan subsidi langsung pupuk kepada petani, bukan kepada produsen melalui subsidi gas. Subsidi langsung pupuk kepada petani adalah sistem di mana petani menerima dana subsidi harga langsung dari pemerintah. Dalam transaksi pembelian pupuk, petani dikenakan harga pasar, tetapi membayar harga neto sebesar harga pasar dikurangi dengan subsidi harga. Mekanisme ini dapat dilakukan melalui kerja sama antara Gapoktan, Bank, dan Distributor Pupuk. Dengan mekanisme subsidi langsung setidaknya ada beberapa keuntungan yang diperoleh, 1) menghapus disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan pupuk non-subsidi sehingga aliran pupuk dari sektor yang tidak mendapatkan subsidi tidak terjadi lagi. 2) Petani dapat merasakan manfaat subsidi secara langsung. 3) Penggunaan anggaran subsidi lebih transparan dan jumlah dana yang diperlukan bisa lebih rendah.

Page 14: KP Kebijakan Pupuk-libre

13

Daftar Pustaka

Anjak. 2011. Rancangan Kebijakan Subsidi Pupuk Langsung Terhadap Petani. pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/anjak_2010_11.pdf.

Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik. BPS, Jakarta. www.bps.go.id.

BAPPENAS. 2011. Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian yang Efektif, Efisien dan Berkeadilan. BAPPENAS, Jakarta.

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga, Jakarta.

Bellinger, William K. 2007. The Economic Analysis of Public Policy. Routledge, New York.

Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2011. Kebijakan Subsidi Pupuk untuk Sektor Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Herman, A.S., Djumarman, dan H. Sukesi. 2005. Kajian Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi. Laporan Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Jakarta.

Hendrawan, Dudi Setiadi. 2012. Kebijakan Subsidi Pupuk Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Dan Distribusi Pendapatan Dalam Perekonomian Indonesia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ilham, N. 2001. Dampak Kebijakan Tata Niaga Pupuk terhadap Peran Koperasi

Unit Desa sebagai Distributor Pupuk. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Kariyasa, K. 2007. Usulan HET Pupuk Berdasarkan Tingkat Efektivitas Kebijakan Harga Pembelian Gabah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Kasiyati. 2010. Reducing Proverty Through Subsidies. Buletin Ekonomi. LPFE Universitas Indonesia, Jakarta.

Kementerian Keuangan. 2010. Nota Keuangan dan Rencana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2011. Statistika Pertanian. database.deptan.go.id/bdsp/.

____________. 2013. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk. Kementan, Jakarta.

Lakitan, B. 2008. Antara Subsidi Pupuk dan Kelangkaan Pupuk. Artikel Iptek,

Page 15: KP Kebijakan Pupuk-libre

14

Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta.

Manaf, D.R.S. 2000. Pengaruh Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

____________. 2007. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Bank Indonesia, Jakarta.

PSE-KP (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian). 2012. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Volume 34 Nomor 1, 2012. PSE-KP, Bogor.

____________. 2009. Pengalihan Subsidi Pupuk ke Subsidi Benih, Analisis Kebijakan. PSE-KP, Bogor.

____________. 2007. Kebijakan PSO/ Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. PSE- KP, Bogor.

____________. 2006. Konstruksi Kebijakan Pupuk. PSE-KP, Bogor.

Santosa, Purbayu Budi. 2010. Politik Beras dan Beras Politik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Sekretariat Badan Pengendali Bimas. 1987. Vademacum Bimas Volume IV. Sekretariat Badan Pengendali Bimas, Jakarta.

Sukirno, Sadono. 2005. Mikroekonomi: Teori dan Pengantar, 3ed. Rajawali Pers, Jakarta.

Suparmoko, M. 2003. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Susila, Wayan R. 2010. Kebijakan Subsidi Pupuk: Ditinjau Kembali. Jurnal Litbang Pertanian, 29(2), 2010. Litbang Pertanian. Jakarta.

Syafa’at, N., K. Kariyasa, Sahyuti, Azhari dan M. Maulana. 2005. Pandangan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Terhadap Kinerja Kebijakan Subsidi Pupuk Selama ini dan Perbaikan ke Depan. Laporan Akhir Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Syafa’at, N., A. Purwoto, M. Maulana, dan C. Muslim. 2006. Analisis Besaran Subsidi Pupuk dan Pola Distribusinya. Laporan Akhir Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

World Bank. 2009a. Fertilizer Subsidies in Indonesia, Policy Note. Indonesia Agriculture Public Expenditure Review, the World Bank, Jakarta.

___________. 2009b. Indonesia Agricultural Public Spending and Growth, Policy Note. Indonesia Agriculture Public Expenditure Review, the World Bank, Jakarta.