KP Hewan Tanah 2012 NO2
-
Upload
anon830298652 -
Category
Documents
-
view
148 -
download
1
Transcript of KP Hewan Tanah 2012 NO2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah sebagai media kehidupan berbagai organisme dewasa ini sangat
dieksploitasi daya gunanya dengan menginfiltrasi senyawa-senyawa pemicu
pertumbuhan dan pengendali jasad penggangu tanpa memperhatikan daya dukung
tanah tersebut. Saat tanah mengalami polusi kondisi lingkungan secara fisik, kimia,
maupun biologi akan mengalami perubahan yang berdampak pada kehidupan
organisme yang hidup di tanah. Jika hal tersebut terjadi maka keseimbangan alam
dapat terganggu. Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar
dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Kehidupan hewan tanah sangat
tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis
hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu.
Keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah
sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan
biotik. Faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor fisika
dan faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas, dan tekstur
tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik tanah, dan unsur-
unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur
komunitas hewan–hewan yang terdapat pada suatu habitat.Faktor lingkungan biotic
bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya seperti
mikroflora, tumbuh – tumbuhan, dan golongan hewan lainnya. Pada komunitas itu
jenis – jenis organisme saling berinteraksi satu sama lainnya. Interaksi itu bisa berupa
predasi, parasitisme, kompetisi, dan penyakit (Nurdin, 1989).
Fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembusukan zat
atau bahan-bahan organik dengan cara menghancurkan jaringan secara fisik dan
meningkatkan ketersediaan daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur, melakukan
pembusukan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa dan sejenis lignin, merubah
sisa-sisa tumbuhan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada
lapisan tanah bagian atas, membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan
bahan mineral tanah (Barnes, 1997).
Serangga pemakan bahan organik yang membusuk, membantu merubah zat-
zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis
serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah.
Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan
seringkali makanan. Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah
menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan
tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan
menambah kandungan bahan organiknya (Borror dkk., 1992). Serangga tanah juga
berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork,
1976).
Pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan
mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan
kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga
dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada
tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit
dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar (Suhardjono, 2000).
Keanekaragaman fauna tanah pada musim atau tipe permukaan tanah
yang berbeda memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan keanekaragaman suku yang
tertangkap pada musim dan lokasi yang berbeda (Suhardjono, 1997). Pada
keanekaragaman tegakan yang berbeda terdapat perbedaan mengenai
keanekaragaman jumlah suku dari serangga tanah (tegakan Dipterocarpaceae dan
2
Palmae, tegakan Dipterocarpaceae, serta tegakan Dipterocarpaceae dan Rosaceae)
(Mercianto, 1997).
Makrofauna tanah invertebrata yang terdiri dari epfauna dan infauna yang
memegang peranan penting dalam proses pendegradasian seresah. Penelitian ini kami
lakukan di Sadengan dan Pancur yang berlokasi di sekitar penginapan Trianggulasi di
Taman Nasional Alas Purwo Kecamatan Muncar, Purwoharjo dan Tegal Delimo,
Kabupaten Banyuwangi Propinsi Dati I Jawa Timur. Kami memilih 2 vegetasi
tersebut karena 2 vegetasi tersebut memiliki kondisi fisika kimia yang berbeda.
Karena spesies yang ditemukan di salah satu habitat tersebut bisa saja tidak
ditemukan di habitat lain. Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu kawasan
pelestarian alam di Indonesia memiliki keanekaragaman potensi sumber daya alam
hayati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ordo dan struktur
komunitas makrofauna tanah invertebrata yang ada di Taman Nasional Alas Purwo,
dengan menghitung Indeks keanekaragaman, Indeks kemiripan, Indeks kesamaan
struktur komunitas, Indeks kemerataan jenis, Indeks kekayaan jenis, Indeks dominasi
dan pola distribusi. Lokasi pengambilan sampel pada dua habitat yaitu, Sadengan dan
Pancur di Taman Nasional Alas Purwo.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apa saja keanekaragaman Collembola yang ada pada jalur Sadengan-
Trianggulasi dan Pancur-Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo?
2. Bagaimanakah distribusi Collembola pada jalur Sadengan-Trianggulasi dan
Pancur-Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo?
1.3 Asumsi penelitian
Kawasan Taman Nasional Alas Purwo masih alami dan belum terganggu oleh
kegiatan manusia yang berlebihan serta memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan
yang tinggi, maka makroinvertebrata tanah akan banyak ditemukan. Kami juga
berasumsi bahwa di kedua tipe vegetasi mempunyai proporsi serasah yang sama.
3
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui keanekaragaman Collembola yang ada pada jalur Sadengan-
Trianggulasi dan Pancur- Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo.
2. Mengetahui sruktur komunitas Collembola pada jalur Sadengan- Trianggulasi
dan Pancur- Trianggulasi di Taman Nasional Alas Purwo.
1.5 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang tingkat
keanekaragaman, tingkat kemiripan, pola distribusi, kesamaan komunitas, kepadatan
jenis, dan dominansi makroinvertebrata tanah yang diukur di 2 habitat yaitu pada
Sadengan dan Pancur di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur dan
sebagai bahan informasi ilmiah tentang makrofauna tanah yang berguna untuk
penelitian yang berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah.
Manfaat dari penelitian yang akan kami lakukan kali ini adalah:
1. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat tentang tingkat
keanekaragaman Collembola di kedua habitat yaitu pada Sadengan dan
Pancur di Taman Nasional Alas Puwo, Banyuwangi, Jawa Timur.
2. Menginventarisasi keanekaragaman Collembola yang ada di Taman
Nasional Alas Purwo dan sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya.
3. Mengetahui struktur komunitas Collembola di Taman Nasional Alas
Purwo.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Fauna Tanah
Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beraneka ragam. Hewan tanah
dapat pula dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya. Menurut (Wallwork, 1970),
berdasarkan ukurannya fauna tanah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Mikrofauna : Ukuran tuhuh 20 m – 200 m, contohnya Protozoa,
Nematoda, Rotifera, Tardigrada, dan Copepoda.
2. Mesofauna : Ukuran tubuh 200 m - 1 cm, contohnya Acarina,
Collembola, Nematoda, larva serangga, dan Isopoda.
3. Makrofauna : Ukuran tubuh lebih dari 1 cm, contohnya Lumbricida,
Mollusca, Arachnida, dan vertebrata yang hidup di dalam tanah.
Berdasarkan keberadaannya dalam tanah, fauna tanah dikelompokkan menjadi
empat golongan:
1. Spesies Transien adalah hewan yang seluruh hidupnya di permukaan tanah,
contohnya yaitu Ordo golongan Coleoptera spesies Coccinellidae.
2. Spesies Temporer adalah hewan yang telur dan juvenilnya ada dalam tanah,
sedangkan hewan dewasa berada pada permukaan. Contohnya yaitu Ordo
Diptera spesies Tipula sp.
3. Spesies Periodic adalah hewan yang seluruh daur hidupnya berada dalam
tanah dan hanya pada saat tertentu saja hewan dewasanya keluar bebas ke
permukaan tanah. Contohnya Dermaptera sp, Forticula sp
5
4. Spesies Permanent adalah hewan yang selama hidupnya berada di dalam
tanah. Contohnya yaitu Coleoptera sp, Batrisades sp
Berdasarkan habitatnya, hewan tanah dikelompokkan menjadi 3 golongan:
1. Epigeon adalah hewan tanah yang hidup pada lapisan tumbuh – tumbuhan di
permukaan tanah.
2. Hemiedafon adalah hewan tanah yang hidup pada lapisan organic tanah.
3. Euedafon adalah hewan tanah yang hidup pada lapisan tanah mineral.
Menurut kegiatan makannya hewan tanah dikelompokkan menjadi 4
golongan:
1. Herbivora
2. Saprovora
3. Fungivora
4. Predator
2.2. Tinjauan Tentang Mesofauna
Mesofauna adalah hewan invertebrata daratan berukuran besar,
seperti arthropoda, cacing tanah, and nematoda. Mesofauna tanah sebagai penghasil
senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti
berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi peranan ini merupakan nilai tambah
dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Sebagai
subsistem dekomposisi, mesofauna sebagai organism perombak awal bahan makanan,
serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar), mengkonsumsi bahan-
bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut.
Mesofauna tanah akan melumat bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan
organic lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk
didekomposisi oleh mikrobio tanah (Arief,2001).
6
Dalam suatu habitat hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya
memperhitungkan serangga social (jenis-jenis semut, lebah, dan rayap), peranannya
dalam siklus energy adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata (Tarumingkeng,
2000).
Jumlah terbesar populasi fauna tanah terdapat di lapisan tanah permukaan
yang diperkaya dengan bahan organik, sesuai dengan fungsinya sebagai konsumen.
Permukaan tanah merupakan daerah peralihan antara litosfer dan atmosfer. Pada atau
di dekat daerah peralihan ini kuantitas bahan hidup lebih besar dari yang berada atas
atau bawah. Sebagai akibatnya, lapisan atas mengandung lebih banyak debu organik
yang bertindak sebagai makanan untuk fauna tersebut dibandingkan dengan lapisan
yang berada dibawahnya.
2.3. Tinjauan Tentang Collembola
2.3.1 Karakteristik Collembola
Collembola berasal dari bahasa Yunani, yaitu colle (= lem) dan embolon (=
piston). Penamaan ini berdasarkan adanya tabung ventral (kolofor) pada sisi ventral
ruas abdomen pertama yang menghasilkan perekat (Hopkin, 1997). Kolofor
memungkinkan Collembola menempel pada permukaan di tempat ia berjalan (Hopkin
1997; Triplehorn & Johnson, 2005). Fungsi lain kolofor adalah sebagai alat
osmoregulasi, pengangkutan kotoran menempel di badan, berisi hemolimfe, dan pada
Sminthuridae sebagai pelindung setelah meloncat (Greenslade 1996; Hopkin 1997;
Triplehorn & Johnson 2005)
Collembola dikenal juga dengan istilah Springtails (Ekorpegas) karena
mempunyai struktur bercabang (furka) pada bagian ventral ruas abdomen keempat.
Saat istirahat furka terlipat ke depan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum
atau tenakulum merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian
ventral abdomen ketiga. Ketika otot berkonstraksi, furka kembali ke posisi tidak
lentur kemudian akan memukul substrat sehingga mendorong Collembolan ke udara
(Greenslade 1996).
7
Collembola termasuk kelompok mesofauna (200 µm sampai dengan 1 cm)
karena mempunyai ukuran tubuh berkisar antara 0,25 mm dan 8,00 mm. warna tubuh
bervariasi, putih, hitam, abu-abu, warna lain, dan bercorak. Tubuh dilengkapi seta
tetapi tidak bersayap (Aterygota) (Wallwork, 1970).
Tubuh Collembola terbagi atas tiga bagian, yaitu kepala, toraks, dan abdomen.
Antena empat ruas dengan panjang bervariasi. Antena jantan kadang-kadang
mengalami modifikasi sebagai organ penjepit. Antena mempunyai seta kemosensorik.
Ujung antena bentuknya bervariasi, berfungsi sebagai olfaktori. Oseli maksimum
8+8. Bagian mulut tersembunyi di dalam kepala (entognatus), lonjong, dan menonjol.
Mulut beradaptasi untuk menggigit-mengunyah atau untuk menghisap cairan.
Mandibula kadang-kadang tidak ada. Labium dan palpus maksila berkembang baik,
kadang-kadang ada yang tereduksi atau tidak punya (Greenslade, 1996).
Toraks dibagi menjadi tiga ruas. Ruas toraks jelas terlihat pada ordo
Podumora dan Entomobryomorpha dibandingkan pada ordo Sympohypleona dan
Neelipleona. Ordo Symphypleona dan Neelipleona mempunyai ruas toraks yang
bersatu sampai dengan abdomen. Pada toraks terdapat tiga pasang kaki. Masing-
masing kaki dibagi menjadi dua subkoksa, koksa, trokanter, femur, tibiotarsus, dan
pretarsus. Tibiotarsus ditunjang oleh rambut yang panjang, seringkali bagian ujung
membulat (klavata), menghasilkan sekresi dari kelenjar basal epidermis yang
berfungsi untuk menempel pada permukaan yang licin. Pretarsus ditunjang cakar
tunggal dan imbuhan impodial (unguiculus) (Greenslade, 1996).
Abdomen terdiri dari enam ruas. Pada bagian ventral ruas pertama terdapat
tabung ventral (kolofor), ruas ketiga terdapat retinakulum, dan ruas keempat terdapat
furka. Furka terdiri dari bagian basal, manubrium, sepasang dens, dan mukro berduri
atau berlamera. Celah genital jantan atau betina teerdapat pada abdomen kelima.
Celah anal berada pada abdomen keenam (Greenslade, 1996).
2.3.2 Cara hidup Collembola
Collembola termasuk hewan yang tidak mengalami metamorphosis
(ametabola) tetapi hanya mengalami pergantian kulit sebanyak lima sampai dengan
8
enam kali. Bentuk pradewasa dengan dewasa mirip satu dengan lainnya. Kedua
bentuk stadia tersebut dibedakan dari ukuran, jumlah seta, dan pada stadia pradewasa
belum ada organ genitalia. Persamaan bentuk pradewasa dengan dewasa
mempermudah pengenalan sampai dengan taraf takson tertentu (Suhardjono, 1992).
Collembola secara umum berumur pendek sekitar satu sampai tiga bulan, akan tetapi
beberapa Collembola dapat hidup sampai dengan dewasa lebih dari satu sampai
dengan dua tahun. Pseudosinella decipiens Denis bahkan dapat mencapai umur 5
tahun 7bulan (Greenslade, 1996; Hopkin, 1997; Greensladi et al. 2000).
Kebanyakan Collembola hidup dalam tanah dan serasah (Suhardjono, 1998).
Akan tetapi Collembola dapat juga hidup di tepat tersembunyi seperti di dalam tanah,
jamur, reruntuhan pohon, di bawah kulit kayu, kayu-kayu yang membusuk, vegetasi
tanaman, kanopi, gua, guano kelelawar, laut, pesisir pantai, dan air tawar(Greenslade
et al., 2000; Deharveng & Suhardjono, 2004; Triplehorn & Johnson, 2005; Rahmadi
& Suhardjono, 2007).
Kebanyakan Collembola penghuni tanah memakan bahan tumbuh-tumbuhan
yang sedang membusuk, jamur, dan bakteri. Collembola ada juga yang memakan
tinja Arthropoda atau serbuk sari ganggang (Triplehorn & Johnson, 2005).
2.3.3 Distribusi Collembola
Distribusi Collembola sangat luas karena dapat ditemukan diberbagai macam
habitat seperti daerah kutub, gurun, subtropics, dan daerah tropis (Greenslade, 1996).
Distribusi Collembola bisa dengan bantuan partikel tanah dan bahan organik, bisa
juga dengan bantuan angin atau air (Dunger et al. 2002). Family Hypogastruridae
dapat ditemukan baik di daerah tropis maupun subtropis. Genus chrematocephalus,
spesies C. celebensis mempunyai senaran yang cosmopolitan, meliputi Jepang, China,
Srilangka, Indonesia, Papua, Britania Baru, dan Australia (Suhardjono, 1992).
Akan tetapi ada beberapa spesies Collembola terrestrial yang bersifat
endemic, bahkan dikenal mempunyai tingkat endonisme yang tinggi (Hopkin, 1997).
Contoh Xenylla orientalis Handschin yang hanya terdapat di Pulau Jawa (Handschin
1932 dalam Suhardjono 1992). Endemisme dapat terjadi salah satunya karena seleksi
9
alam, seperti adanya pembatas alam berupa laut, sifat tanah, dan cara penyebaran
(Suhardjono, 1992).
Gambar. Collebola ordo Entomobrya
2.4. Tinjauan Tentang Taman Nasional Alas Purwo
Salah satu suaka marga satwa yang cukup berhasil menjalankan perannya
sebagai lembaga konservasi hewan adalah Taman Nasional Alas Purwo. Taman
Nasional Alas Purwo yang terletak di Kecamatan Tegaldlimo, Kecamatan Muncar
dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi , Jawa Timur, Indonesia.
Kawasan ini terletak di ujung timur Pulau Jawa wilayah pantai selatan antara
8°26’45”–8°47’00” LS dan 114°20’16”–114°36’00” BT (Wikipedia, 2009). Taman
Nasional Alas Purwo merupakan tempat tumbuh tanaman endemik seperti sawo kecik
(Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Taman nasional
alas purwo juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yaitu lutung budeng
(Trachypithecus auratus auratus), banteng (Bos javanicus javanicus), dan ajag (Cuon
alpinus javanicus) Anonimus, (2009).
10
Taman nasional alas purwo ditunjuk sebagai taman nasional sejak tahun 1993
dengan luas wilayahnya sekitar 43.420 ha. Secara administratif pemerintahan
termasuk Kecamatan Muncar, Purwoharjo dan Tegal Delimo, Kabupaten
Banyuwangi Propinsi Dati I Jawa Timur (Anonimus,2012).
Keadaan topografi bergelombang sampai datar dengan puncak tertinggi G.
Linggamanis (± 322 m dpl). Ketinggian tempat antara 0-322 m dpl, iklimnya
termasuk tipe B dengan curah hujan antara 1.000-1.500 mm/tahun. Kunjungan terbaik
pada bulan Maret s/d Oktober (Anonims,2012).
2.4.1. Gambaran Umum
Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah satu perwakilan tipe ekosistem
hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa (Anonimus,2009).
Secara geografis terletak di ujung timur Pulau Jawa wilayah pantai selatan
antara 8°26’45”–8°47’00” LS dan 114°20’16”–114°36’00” BT. Secara umum
kawasan TN Alas Purwo mempunyai topografi datar, bergelombang ringan sampai
barat dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis (322 mdpl) (Wikipedia, 2009).
11
2.4.2 Keadaan Fisik
Taman Nasional Alas Purwo dengan luas 43.420 ha terdiri dari beberapa
zonasi, yaitu:
Zona Inti (Sanctuary zone) seluas 17.200 Ha
Zona Rimba (Wilderness zone) seluas 24.767 Ha
Zona Pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 250 Ha
Zona Penyangga (Buffer zone) seluas 1.203 Ha.
Rata – rata curah hujan 1000 – 1500 mm per tahun dengan temperature 22°-
31° C, dan kelembaban udara 40-85 %. Wilayah Taman Nasional Alas Purwo sebelah
Barat menerima curah hujan lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah sebelah
Timur. Dalam keadaan biasa, musim di TN Alas Purwo pada bulan April sampai
Oktober adalah musim kemarau dan bulan Oktober sampai April adalah musim
hujan.
Keadaan tanah hampir keseluruhan merupakan jenis tanah liat berpasir dan
sebagian kecil berupa tanah lempung. Sungai di kawasan Taman Nasional Alas
Purwo umumnya dangkal dan pendek. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya
terdapat di bagian Barat TN yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Mata air
banyak terdapat di daerah Gunung Kuncur, Gunung Kunci, Goa Basori, dan Sendang
Srengenge (Wikipedia, 2009).
2.4.3. Keadaan Biologi
Secara umum tipe hutan di kawasan Taman Nasional Alas Purwo merupakan
hutan hujan dataran rendah. Hutan bambu merupakan formasi yang dominan, ± 40 %
dari total luas hutan yang ada. Sampai saat ini telah tercatat sedikitnya 584 jenis
tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana, dan pohon.
Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di TN Alas Purwo dapat di
kelompokkan menjadi hutan bambu, hutan pantai, hutan bakau/mangrove, hutan
12
tanaman, hutan alam, dan padang penggembalaan (Feeding Ground) (Wikipedia,
2012).
2.4.4. Keadaan Sosial Ekonomi dan budaya
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan adalah
bertani, buruh tani, dan nelayan. Masyarakat nelayan kebanyakan tinggal di wilayah
Muncar, yang merupakan salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa, dan di wilayah
Grajagan. Mayoritas penduduk di sekitar kawasan memeluk agama Islam, namun
banyak pula yang beragama Hindu terutama di Desa Kedungasri dan Desa Kalipait.
Secara umum masyarakat sekitar TN Alas Purwo digolongkan sebagai masyarakat
Jawa Tradisional. Bertapa, semedi, sayan (gotong-royong sewaktu mendirikan
rumah), bayenan serta selamatan – selamatan lain yang berkaitan dengan pencarian
ketenangan bathin masih dilaksanakan. Pada hari – hari tertentu seperti 1 suro, bulan
purnama, bulan mati, masyarakat datang ke kawasan TN Alas Purwountuk bersemedi
(Wikipedia, 2012).
2.4.5 Flora dan Fauna
Tumbuhan khas dan endemik pada taman nasional ini yaitu sawo kecik
(Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan
lainnya adalah ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum),
kepuh (Sterculia foetida), keben (Barringtonia asiatica), dan 13 jenis bambu.
Keanekaragaman jenis fauna di kawasan TN Alas Purwo secara garis besar
dapat dibedakan menjadi 4 kelas yaitu Mamalia, Aves, Pisces dan Reptilia. Mamalia
yang tercatat sebanyak 31 jenis, diantaranya yaitu: Banteng (Bos javanicus), Rusa
(Cervus timorensis), Ajag (Cuon alpinus), Babi Hutan (Sus scrofa), Kijang
(Muntiacus muntjak), Macan Tutul (Panthera pardus), Lutung (Trachypithecus
auratus), Kera Abu-abu (Macaca fascicularis), dan Biawak (Varanus salvator).
Burung yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 236 jenis terdiri dari
burung darat dan burung air, beberapa jenis diantaranya merupakan burung migran
13
yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 39 jenis. Jenis burung yang mudah dilihat
antara lain : Ayam Hutan (Gallus gallus), Kangkareng (Antracoceros coronatus),
Rangkok (Buceros undulatus), Merak (Pavo muticus) dan Cekakak jawa (Halcyon
cyanoventris). Sedangkan untuk reptil telah teridentifikasi sebanyak 20 jenis
(Anonimus, 2012)
2.4.6. Tinjauan Tentang Sadengan
Sadengan adalah tempat mencari makan bagi hewan liar di kawasan Taman
Nasional Alas Purwo. Disana terdapat binatang liar seperti banteng liar, rusa, babi
hutan, merak, unggas hutan dan berbagai imacam burung. Sadengan ini berada di
kecamatan Tegaldlimo, kabupaten Banyuwangi. Sadengan berjarak 50km dari
Genteng. Tempat ini adalah tempat wisata yang ada di alas purwo. Hewan-hewan liar
dan rumput dapat dilihat pada pagi dan sore hari dari menara melihat.
Padang rumput Sadengan adalah padang rumput semi alami yang terdapat di
kawasan Taman Nasional Alas purwo, Semenanjung Blambangan di Kabupaten
Banyuwangi. Disebut sebagai padang rumput semi alami karena pada faktanya,
keberadaan padang rumput ini bukanlah secara alamiah terjadi. Padang rumput ini
sebenarnya muncul karena kerusakan-kerusakan beberapa petak hutan di masa
lampau yang kemudian menimbulkan spot-spot padang rumput pada hamparan hutan
di Semenanjung Blambangan. Hilangnya kanopi dan tutupan tajuk dalam waktu yang
lama membuka peluang bagi bermacam rumput untuk tumbuh, dan kemudian
dimanfaatkan oleh berbagai satwa sebagai salah satu habitat pentingnya. Karena
padang rumput ini dahulunya menyediaan pakan berlimpah bagi herbivora di
Semenanjung Blambangan, pengelola memandang bahwa Sadengan adalah tempat
ideal bagi konservasi satwa liar seperti Banteng, Rusa, Babi hutan dan aneka ragam
satwa lainnya. Untuk merealisasikan gagasan konservasi tersebut, sebuah Tourism
planning and management,aktifitas campur tangan manusia dimulai dalam tahun
1970’an dengan meningkatkan kapasitas padang. Kegiatan peningkatan kapasitas
habitat ini antara lain adalah dengan membersihkan kawasan dari berbagai
14
tetumbuhan yang menghalangi rumput tumbuh, menanam rumput, membuat irigasi
teknis untuk mengairi padang, dan melakukan pembinaan terhadap padang. Pertama
kali sejak padang ini dikelola, satwa liar tercatat sangat melimpah di padang rumput.
Mungkin jumlahnya sama dengan apa yang digambarkan oleh peneliti Eropa jauh
sebelumnya. Catatan oleh van Steenis, (1937), mengatakan bahwa jumlah banteng
bisa mencapai angka sekitar 100 ekor dalam satu pengamatan. Padang rumput
Sadengan saat ini dalam tekanan dan stress berat karena serbuan dua spesies
tumbuhan utama yang menjadi kanker dan tumor ganaspadang rumput. Tumbuhan
pertama adalah Cassia tora, termasuk dalam tumbuhan polong-polongan (Fabaceae)
ini tumbuh hampir menutupi permuknaan padang rumput. Tumbuhan kedua, yang tak
kalah ganasnya adalah Eupathorium inulifolium, kelompok tumbuhan compositae,
yang tak kalah pentingnya dalam merubah wajah Sadengan. Belum lagi, ancaman
serius dari berbagai tumbuhan invasive seperti Lantana camara. Data-data yang
dimiliki oleh penulis menunjukkan bahwa tiga macam tumbuhan ini mempunyai
indek nilai penting tertinggi diantara tetumbuhan lain di padang rumput. Sebagai
contoh, rumput-rumput Cyperus yang berperan sebagai sumber pakan utama satwa
herbivore malah mempunyai indek yang kecil, menunjukkan kecilnya dominansi,
densitas dan frekuensi tumbuhan tersebut. Dampaknya tentu fatal. Salah satunya
adalah berkurannya jumlah banteng yang mengunjungi Sadengan.
2.4.7. Tinjauan Tentang Pancur
Resort Pengelolaan Pancur merupakan resort yang mempunyai wilayah
pemangkuan paling luas di SPTN Wilayah I Tegaldlimo yaitu 14.012,98 ha. dan
beberapa lokasi untuk dilakukan patroli membutuhkan waktu lebih dari 2 hari yang
ditempuh dengan jalan kaki, terutama wilayah timur gunung. Resort Pengelolaan
Pancur termasuk kawasan yang mejadi kunjungan wisatawan baik rekreasi,
pendidikan maupun ritual. Kunjungan wisatawan mancanegara sebagian besar tertuju
pada Blok Plengkung yang sampai saat ini dikelola oleh empat Pengusahaan
Pariwisata Alam. Potensi flora uggulan dari Resort Pancur adalah Sawo Kecik yang
15
tersebar antara jalur Pancur sampai dengan Plengkung, serta memiliki beragam jenis
bambu.
Batas-batas wilayah kerja Resort Pancur, yaitu :
Sebelah Utara, berbatasan dengan Resort Sembulungan SPTNW II Muncar.
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia
Sebelah Barat, berbatasan dengan Resort Rowobendo
Sebelah Timur, berbatasan dengan Resort Tanjung Pasir SPTNW II Muncar
16
BAB III
METODE PENELTIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Tempat pengumpulan (pengambilan) sampel penelitian adalah di Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Identifikasi dan analisis dari
spesimen sebagai tempat pengoleksian spesimen dilakukan di Laboratorium Ekologi
Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Sedangkan
waktu pelaksanaan pengambilan sampel adalah 5 sampai 9 Februari 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan adalah
Meteran
Cangkul/cetok
Botol film
Penjepit / pinset
Buku identifikasi
Tusuk sate
Kertas label
Soil tester
Kaca pembesar / Loop
Sling Psycometer
GPS
Adapun bahan yang digunakan adalah
Tanah sampling
17
Serasah
Sampel hewan
3.3 Rancangan Penelitian
Rancangan penelititan yang digunakan adalah observasi deskriptif, yaitu objek
tidak diberikan perlakuan dan data ada yang diuji secara deskriptif dan analisis
statistik.
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Penentuan lokasi pengambilan sampel
Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo sebagai tempat
pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan di dua tempat (Sadengan dan
Pancur).
Penentuan lokasi penelitian yang dijadikan titik sampling (stasiun)
berdasarkan Purposif Random Sampling yaitu dengan mempertimbangkan tipe
habitat (biotop) yang terdapat pada lokasi penelitian. Berdasarkan pada kondisi yang
ada terdapat dua tipe habitat (biotop) umum yaitu biotop homogen seperti Sadengan
dan biotop heterogen seperti Pancur. Menggunakan 2 lokasi sampling yang berbeda
yaitu dari Trianggualasi ke Sadengan sepanjang 2 km (jarak lokasi pengamatan) dan
dari Trianggulasi ke Pancur sepanjang 2 km (jarak lokasi pengamatan). Pada tiap
jalur dibagi menjadi 2 stasiun dengan jarak antar stasiun 500 meter, pada tiap stasiun
dibuat 2 buah perangkap dengan jarak antar perangkap sejauh 10 meter.
3.4.2 Teknik pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel dan pengumpulan specimen dilakukan dengan
metode mekanik. Metode mekanik yaitu pengekstraksian contoh tanah dan serasah
dengan corong berlese.
18
3.4.3 Corong Berlese
Pengambilan contoh tanah dan serasah dari ketiga tipe habitat yaitu savana,
hutan homogen dan hutan heterogen untuk mengetahui keanekaragaman hewan tanah
infauna. Contoh tanah dan seresah diambil dari petakan atau plot pada koleksi
langsung dengan sendok tanah atau cetok seluasan plot tersebut. Kedalaman
pengambilan contoh tanah 10 cm. Kemudian contoh tanah sesegera mungkin diproses
di dalam Corong Berlese. Selama pengangkutan harus dihindarkan dari panas terik
matahari dan panas mesin mobil secara langsung, bahan kimia (seperti alkohol),
kehujanan atau tertumpuk dengan barang-barang berat lainnya.
Gambar 2. Skema corong berlese
Pada prinsipnya ada dua macam yaitu yang menggunakan pemanas berupa
lampu listrik dan tanpa pemanas. Corong Berlese yang menggunakan pemanas
terbuat dari logam dilengkapi dengan tutup yang diberi lampu 15 watt, sedangkan
19
yang tanpa pemanas corongnya terbuat dari plastik. Pemanas hanya membantu
mempercepat proses turunnya binatang dari saringan ke dalam botol penampung.
Contoh tanah diletakkan di atas saringan dan dibiarkan selama 4 hari sampai satu
minggu sampai contoh tanah menjadi kering. Lamanya contoh tanah dalam corong
Berlese tergantung pada tingkat kelembaban tanah.
Corong Berlese dibuat didasarkan pada perilaku fauna tanah yang akan masuk
ke bagian yang lebih dalam apabila terjadi peningkatan suhu di permukaan tanah.
Arthropoda tanah masuk ke bagian dalam dan lolos dari saringan yang akhirnya jatuh
dan masuk ke dalam botol penampung yang terpasang di bagian ujung corong. Botol
penampung berisi alkohol 70-95%. Selama corong berisi contoh tanah hindarkan
adanya goyangan atau goncangan pada corong untuk menghindari rontoknya tanah ke
dalam botol penampung. Banyaknya rontokan seresah akan mempersulit pemilahan
selanjutnya. Akan sangat baik apabila di atas corong diberi kain penutup agar tidak
terkontaminasi serangga terbang. Usahakan penempatan corong pada tempat yang
terlindungi dari hujan dan ganguan lainnya.
3.5 Pengukuran faktor fisika-kimia tanah.
Pengukuran faktor fisika-kimia tanah bertujuan untuk mengetahui gambaran
umum tentang kondisi lingkungan di lokasi pengambilan sampel. Prosedur
pengukuran faktor fisika–kimia adalah sebagai berikut:
1. Kelembapan udara
Kelembapan udara diukur dengan menggunakan sling psychrohigrometer
yang diputar selama lima menit, kemudian skala termometer indikator basah dan
kering disejajarkan dan dilihat nilainya selanjutnya dicatat.
2. pH
20
Pengukuran pH tanah dilakukan dengan cara menancapkan soil tester pada
tanah dan didiamkan selama 1 menit. Setelah itu mencatat nilai pH yang telah
terukur.
3. Kelembapan tanah
Pengukuran kelembapan tanah dilakukan dengan cara menancapkan soil tester
pada tanah dan didiamkan selama 1 menit. Setelah itu mencatat nilai kelembapan
yang telah terukur.
3.6 Penyortiran
Spesimen yang sudah dikoleksi akan dilakukan proses selanjutnya yaitu
pemilahan (sorting) terutama yang menggunakan metode perangkap sumuran. Hasil
pemilahan di masukkan ke dalam botol film yang berisi alkohol dan diberi keterangan
sesuai dengan informasi dimana sampel itu diambil.
Pengamatan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1) Menyiapkan sampel makroinvertebrata tanah yang telah diambil dari
lokasi sampling.
2) Melakukan pemisahan pada sampel, dengan memisahkan
makroinvertebrata tanah dengan substrat, serasah atau benda lainnya yang
menempel secara selektif dan hati-hati untuk memudahkan dalam
mengidentifikasi.
3) Makroinvertebrata tanah yang ditemukan kemudian dibedakan
berdasarkan bentuk luarnya, dihitung, dan dicuci dengan air sampai
bersih.
4) Menghitung jumlah makroinvertebrata tanah dan jenisnya yang diperoleh
dari masing-masing plot.
21
5) Mengawetkan sampel makroinvertebrata tanah yang diperoleh dengan
memasukkan ke dalam botol film yang berisi formalin 4% atau alkohol
70%.
6) Melakukan identifikasi sementara pada makroinvertebrata tanah yang
diperoleh untuk mengetahui jenisnya
3.7 Pelabelan
Pelabelan yaitu pemberian informasi berupa tempat pengambilan sampel,
koordinat lokasi, metode penangkapan, nama kolektor, dan tanggal pengkoleksian.
Informasi lain yang perlu ditambahkan adalah habitat, suhu, kelembapan, pH, dan
informasi lain yang dianggap penting.
3.8 Identifikasi
Makroinvertebrata tanah yang ditemukan diidentifikasi berdasarkan acuan
(Borror et al. 1954) dan (Suin NM, 1989). Parameter yang diamati pada penelitian ini
antara lain faktor fisikokimia yang meliputi suhu tanah dengan thermometer, suhu
udara dengan thermometer, kelembapan dengan sling psychrohigrometer, dan pH
tanah dengan soil tester.
3.9 Pengawetan
Pengawetan diperlukan untuk mengawetkan hewan sampel agar tidak cepat
rusak dan lebih tahan lama. Pengawetan sampel dengan cara memasukkan sampel ke
dalam botol film yang berisi formalin 4% atau alkohol 70%.
Spesimen yang sudah disortir, diidentifikasi dan dihitung jumlahnya diberi
label/enumerasi. Keterangan yang dicantumkan di dalam label adalah informasi
lokasi (tempat hewan tanah dikoleksi), koordinat, tanggal pengumpulan, nama
kolektor dan juga metode yang digunakan untuk menangkap hewan tanah tersebut
22
dimana dalam penelitian ini menggunakan corong Berselle pada label. Format label
dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Format label
Proses pengawetan lebih lanjut dilakukan di laboratorium Ekologi
Departemen Biologi FSAINTEK UNAIR dengan menyuntikan formalin ke tubuh
spesimen dan diawetkan ke dalam kotak koleksi serangga (insektarium) dan diberi
kapur semut.
3.10 Analisis Data
Analisa data keanekaragaman hewan tanah dilakukan secara deskriptif
dengan membuat tabel dan grafik perolehan hewan tanah pada jalur Trianggulasi-
Sadengan (biotop homogen) dan Trianggulasi-Pancur (biotop heterogen) untuk
mengetahui komposisi keanekaragaman jenis hewan tanah, kemudian menghitung
indeks keanekaragaman Shannon-Winner dan menghitung indeks kesamaan Jaccard
(Cj) untuk mengetahui nilai perbedaan komunitas hewan tanah pada jalur
Trianggulasi-Sadengan (biotop homogen) dan Trianggulasi-Pancur (biotop
heterogen).
Tabel 1. Tabel jumlah spesies hari ke 1
NoNama
Spesies
Jalur Trianggulasi-Sadengan (biotop homogen)
Stasiun 1 Stasiun 2
1 2 3 1 2 3
23
Indonesia East JavaBanyuwangi, TN Alas Purwo(titi koordinat)Date : 11 II 2012Coll : Kelompok Insekta corong Berselle
NoNama
Spesies
Jalur Trianggulasi-Pancur (biotop heterogen)
Stasiun 1 Stasiun 2
1 2 3 1 2 3
Tabel 2. Tabel karakteristik spesies
No SpesiesPanjan
g
Lebar Bentuk Antena Kaki Kepala Keterangan
1
2
Adapun rumus yang akan digunakan untuk menganalisis data adalah sebagai
berikut (Krebs, 1999 ; Hariyanto dkk., 2008) :
Pencarian Indeks Keanekaragaman Shannon-Winner
H’ = - Ʃ [ni/N . ln (ni/N)]
Dimana H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Winner
Ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Jumlah total seluruh individu
Indeks Kesamaan Jaccard
Cj = a
a+b+c
Dimana Cj = indeks kesamaan Jaccard
a = jumlah spesies yang sama dalam dua stasiun
b = jumlah spesies yang ada di stasiun 2 dan tidak ada di stasiun 1
24
c = jumlah spesies yang ada di stasiun 1 dan tidak ada di stasiun 2
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2004. Alas Purwo, Objek Wisatanya Terlengkap.(http://portal.sabhawana.com/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=67&mode=thread&order=0&thold=0 diakses tanggal 3 Januari 2012)
Anonimus. 2012. Taman Nasional Alas Purwo. Wikipedia.(http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Alas_Purwo diakses tanggal 3 Januari 2012)
Anonimus. 2012. Alas Purwo. Banyuwangi. (http://www.pbase.com/archiaston/alas_purwo diakses tanggal 3 Januari
2012)
Anonimus. 2012. Taman Nasional Alas Purwo.(http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_alaspurwo.htm diakses tanggal 3 Januari 2012)
Anonimus. 2012. The magic of Alas Purwo National Park.(http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.insideindonesia.org/edit80/p1112mahony.html&sa=X&oi=translate&resnum=8&ct=result&prev=/search%3Fq%3Dalas%2Bpurwo%26start%3D10%26hl%3Did%26sa%3DN diakses tanggal 3 Januari 2012)
Anonimus. 2012. Taman Nasional Alas Purwo.(http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/tn13alas.html diakses 3 Januari 2012)
Anonimus.2012.Peran Hewan Tanah. (http://desainwebsite.net/berita/peranan-hewan-tanah diakses 3 januari 2012)
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta
Barnes, B. V., Donald R. Z., Shirley R. D. and Stephen H. S. 1997. Forest Ecology. 4 th
Edition. John Wiley and Sons Inc. New YorkBorror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1997. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Suhardjono, Y. R. 1997. Perbedaan Lima Macam Larutan yang Digunakan dalam Perangkap Sumuran pada Pengumpulan Serangga Permukaan Tanah. Prosiding
25
Seminar Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia, Cabang Lampung dan Universitas Lampung. Lampung
Suhardjono, Y. R. 2000. Collembola Tanah : Peran dan Pengelolaannya. Lokakarya Sehari Peran Taksonomi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Depok
Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta
26