korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi

8
A. PENDAHULUAN Indonesia sebagai bangsa yang besar dan luas dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah tersebar dari sabang sampai merauke tidak berdaya mengalami keterpurukan yang sampai detik ini belum berubah, belum ada tanda-tanda mampu bangkit dari keterpurukannya bahkan semakin menjadi-jadi dan menggila yang muncul bukan upaya mencari solusi bangsa dari keterpurukan, tetapi praktek korupsi mulai bermunculan yang dilakukan dari mulai bupati, gubernur dan para wakil rakyat yang terhormat. Bagaimana mau bangkit kalau korupsi semakin merajalela yang dilakukan oleh para pemimpin birokrat dengan tega hati dan nekad melakukan korupsi besar-besaran sungguh amat sangat keterlaluan. Indonesia sebagai negara yang mencapai ranking pertama di negara asia dalam prestasi korupsinya, konon dibeberapa media di tulis korupsi sudah mencapai stadium III. Bahaya laten korupsi semakin menggila. Tak terbantahkan lagi, korupsi benar-benar menjadi ancaman terhadap kehidupan sosial dewasa ini. Korupsi tidak lagi dipahami sebagai kejahatan konvensional biasa, bahkan ia ingin disebut sebagai kejahatan luar biasa dan memiliki watak jahat menuju hiperkriminalitas. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Baudrillard dalam bukunya The Perfect Crime (1992), kejahatan menjadi hiper ketika ia melampaui realitas (hukum, moralitas, akal sehat dan budaya), dan terdapat watak jahat yang berkembang sedemikian rupa menuju tingkatan yang sempurna. Di berbagai diskusi dan seminar, kejahatan korupsi merupakan topik yang hampir tidak terlewatkan mendapat komentar bahkan kritik. Mencari akar kejahatan korupsi tentu tidak mungkin hanya dapat dijawab oleh hukum, sebab hukum hanya diberi tugas dalam aspek normatif saja. Untuk itu, kepemimpinan nasional sangat menentukan tegak apa tidaknya kedaulatan hukum yang mengarah pada budaya anti korupsi. B. KORELASI ANTARA KORUPSI dengan KEKUASAAN PEMIMPIN Kepemimpinan nasional merupakan aspek krusial dalam menjaga kualitas sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila hal ini kita arahkan pada empat pilar kebangsaan (pancasila, UUD 45, NKRI dan bhinneka tunggal ika), maka kepemimpinan nasional sedang mengemban tugas ideologis, yaitu melawan kekuasaan yang secara perlahan-lahan merusak tatanan nilai- nilai kebangsaan, apalagi kalau bukan korupsi. Tak terbantah lagi, bila korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa menggerogoti setiap lini kehidupan. Korupsi semakin membuat kita kelelahan dan binggung sendiri bagaimana? dengan apa? memberantasnya. Harapan dengan hadirnya UU Anti Korupsi, KPK, bahkan pengadilan tipikor dapat mengurangi penderitaan akibat korupsi. Ternyata fakta itu tidak cukup, kejahatan

description

pemimpin dapat dikatakan sebagai kunci dari ada atau tidak merajalelanya korupsi yang terjadi di lingkunyan kerjanya.

Transcript of korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi

Page 1: korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi

A. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai bangsa yang besar dan luas dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah tersebar dari sabang sampai merauke tidak berdaya mengalami keterpurukan yang sampai detik ini belum berubah, belum ada tanda-tanda mampu bangkit dari keterpurukannya bahkan semakin menjadi-jadi dan menggila yang muncul bukan upaya mencari solusi bangsa dari keterpurukan, tetapi praktek korupsi mulai bermunculan yang dilakukan dari mulai bupati, gubernur dan para wakil rakyat yang terhormat.

Bagaimana mau bangkit kalau korupsi semakin merajalela yang dilakukan oleh para pemimpin birokrat dengan tega hati dan nekad melakukan korupsi besar-besaran sungguh amat sangat keterlaluan. Indonesia sebagai negara yang mencapai ranking pertama di negara asia dalam prestasi korupsinya, konon dibeberapa media di tulis korupsi sudah mencapai stadium III.

Bahaya laten korupsi semakin menggila. Tak terbantahkan lagi, korupsi benar-benar menjadi ancaman terhadap kehidupan sosial dewasa ini. Korupsi tidak lagi dipahami sebagai kejahatan konvensional biasa, bahkan ia ingin disebut sebagai kejahatan luar biasa dan memiliki watak jahat menuju hiperkriminalitas. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Baudrillard dalam bukunya The Perfect Crime (1992), kejahatan menjadi hiper ketika ia melampaui realitas (hukum, moralitas, akal sehat dan budaya), dan terdapat watak jahat yang berkembang sedemikian rupa menuju tingkatan yang sempurna.

Di berbagai diskusi dan seminar, kejahatan korupsi merupakan topik yang hampir tidak terlewatkan mendapat komentar bahkan kritik. Mencari akar kejahatan korupsi tentu tidak mungkin hanya dapat dijawab oleh hukum, sebab hukum hanya diberi tugas dalam aspek normatif saja. Untuk itu, kepemimpinan nasional sangat menentukan tegak apa tidaknya kedaulatan hukum yang mengarah pada budaya anti korupsi.

B. KORELASI ANTARA KORUPSI dengan KEKUASAAN PEMIMPIN

Kepemimpinan nasional merupakan aspek krusial dalam menjaga kualitas sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila hal ini kita arahkan pada empat pilar kebangsaan (pancasila, UUD 45, NKRI dan bhinneka tunggal ika), maka kepemimpinan nasional sedang mengemban tugas ideologis, yaitu melawan kekuasaan yang secara perlahan-lahan merusak tatanan nilai-nilai kebangsaan, apalagi kalau bukan korupsi.

Tak terbantah lagi, bila korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa menggerogoti setiap lini kehidupan. Korupsi semakin membuat kita kelelahan dan binggung sendiri bagaimana? dengan apa? memberantasnya. Harapan dengan hadirnya UU Anti Korupsi, KPK, bahkan pengadilan tipikor dapat mengurangi penderitaan akibat korupsi. Ternyata fakta itu tidak cukup, kejahatan korupsi semakin menggila, ia bagaikan angin yang dapat dirasakan tapi sulit dilihat bahkan digenggam oleh tangan.

Lalu, mengapa kok sangat sulit diberantas, barangkali alasannya karena korupsi diawali oleh "kekuasaan" dan dikaburkan pula dengan "kekuasaan". Kalau kemudian Lord Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887, menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", hal ini menjadi jelas bahwa erat sekali kaitannya antara korupsi dengan kekuasaan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan sebabnya.

Kaitannya antara korupsi dan kekuasaan itulah yang sekarang ini menjadi inti defenisi tentang korupsi baik yang dipahami dalam masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional. Untuk itulah bila korupsi hanya dijawab dengan KPK, UU Anti Korupsi, dan pengadilan tipikor rasanya upaya itu belumlah cukup. Jika korupsi dilakukan dengan kekuasaan, maka harus pula dilawan dengan kekuasaan yang anti korupsi.

Disitu menunjukkan betapa penting keteladanan pemimpin dalam menggunakan kekuasaannya untuk memerangi kekuasaan yang korup. Pendeknya, pemberantasan korupsi akan menjadi norma yang kosong tanpa isi, bila tidak digerakkan oleh kepemimpinan yang mengabdi pada kedaulatan hukum.

Page 2: korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi

Bilamana kita bercermin pada landasan filosofi konstitusi, bahwa bangsa ini ingin sampai pada tujuan kemerdekaan, sejahtera, cerdas, damai, berkeadilan sosial dalam kehidupan. Hal itu merupakan harga mati dalam menjaga martabat bangsa serta menjaga keutuhan nilai-nilai kesatuan dan persatuan bangsa. Jika demikian tak ada kata toleransi terhadap kejahatan korupsi, sebab ia secara perlahan-lahan akan mengkerdilkan semangat berbangsa dan bernegara.

Bahkan tidak hanya itu, perilaku korupsi sebenarnya secara tidak sadar membelenggu konstitusi yang ingin membahagiakan rakyatnya untuk merdeka, sejahtera, cerdas, damai dan berkeadilan sosial. Lantas tidak berlebihan bila koruptor disebut sebagai penghianat konstitusi, sebab mereka telah berupaya sepakat untuk tidak bersepakat menjalankan kekuasaannya secara tidak konstitusional.

C. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI PEMIMPIN

Salah satu pokok masalah korupsi yang begitu mengakar dan kronis sulit untuk diberantas di negeri ini adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan rakyat tidak pernah dimaknai sebagai tersedianya perangkat politik dan mekanisme hukum bagi tiap warga negara untuk mengontrol proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta untuk memeriksa dan menguji integritas dan akuntabilitas pejabat dan badan-badan publik.

Menurut Jeremy Pope korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan, kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Dalam pengertian itu korupsi adalah sebuah perilaku buruk, penghianatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan serta penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Perbuatan korupsi adalah perbuatan yang dilandasi ketidakjujuran dan mementingkan kepentingan pribadi atau golongan sehingga timbul penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang ada padanya demi keuntungan pribadi.

Sejauh ini, yang kita hadapi adalah fenomena justifikasi kekuasaan negara yang telah menjadi dirinya sendiri (state of its own), terlepas dari realitas di masyarakat. Tidak ada kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena pemerintah begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif, dan proteksionis. Sehingga tercipta kondisi, mekanisme, dan regulasi yang memungkinkan pemerintah mengisolasi proses penyelenggaraan pemerintahan dari keterlibatan publik. Konsekuensi ini menunjukkan hanya sedikit yang dapat diketahui publik tentang kinerja birokrasi, ihwal lahirnya sebuah kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, akuntabilitas pejabat pemerintah, dan lainnya.

Transformasi dalam tatanan korupsi di tingkat elite, sering dengan terjadinya perubahan kekuasaan politik. Di era orde baru, korupsi berpusat di istana, pembagian wilayah dan batas-batas korupsi di kendalikan secara terpusat. Proyek-proyek lahan basah hampir tidak mungkin lepas dari genggaman keluarga istana. Kasus korupsi dengan motif apapun pada waktu itu tidak akan pernah mencuat, karena dapat dilegalisasi lewat keputusan Presiden atau Menteri, bahkan Undang-undang sekalipun. Pada level ini kita dihadapkan oleh rezim otoriter yang berlindung atas justifikasi kekuasaan terhadap frekuensi abause of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Mengapa dan faktor apa yang mendorong orang melakukan praktik korupsi? Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan itu dengan satu atau dua kata argumen, karena masalah ini menyangkut berbagai dimensi kehidupan bangsa, baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Namun, praktik korupsi antara lain didorong oleh rendahnya indeks kesejahteraan gaji pegawai negeri, walaupun prihal kesejahteraan sudah dapat dibantah dengan kasus korupsi Gayus pegawai pajak negara. Pendapatan gaji yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar, dapat menjadi faktor keterpaksaan yang mendorong seseorang melakukan perbuatan korupsi.

Kemampuan ekonomi yang sangat terbatas, sementara kebutuhan hidup semakin meningkat telah mendorong sebagian pejabat publik untuk menambah income dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada disekitar tempat mereka bertugas, baik secara sendirian maupun bersama-sama. Motifnya pun beragam, ada yang melakukannya dengan memanipulasi nota pembelian, dan ada pula yang memanfaatkan jabatan mereka dengan melakukan pungutan liar dan sebagainya. Praktik seperti inilah yang memunculkan berbagai istilah baru dalam masyarakat, seperti uang pengganti kertas, uang rokok, uang kopi, ongkos administrasi dan sebagainya.

Tentu tidak semua pejabat publik terlibat dalam praktik seperti itu. Selain peluang yang serba terbatas, mungkin juga karena nilai-nilai moral dasar yang mereka miliki begitu kokoh dan tidak mudah goyah dengan godaan kehidupan. Artinya pada sudut pandang ini,

Page 3: korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi

faktor moral juga mendasari kecenderungan manusia untuk berkelakuan baik atau menyimpang.

Pada dasarnya cukup tidaknya gaji atau penghasilan pegawai negeri tentu sangat relatif dalam pandangan tertentu, bahkan sering tidak mudah untuk menentukan nilai kesejahteraan di tiap-tiap level kepegawaian. Mungkin dalam ukuran umum yang berlaku, dengan jumlah gaji tertentu, sudah dipandang cukup untuk hidup secara wajar. Namun, dalam keadaan yang lain mungkin saja gaji dengan jumlah yang sama dianggap kurang memadai. Dalam kondisi yang demikian, tampaknya faktor mentalitas menjadi penentu, yang berlandaskan pada sifat tamak/keserakahan.

Terlepas dari berbagai pandangan diatas, yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah penyebab terjadinya korupsi. Dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, disebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik, (2) faktor hukum, dan (3) faktor ekonomi dan birokratik

Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya korupsi karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Edmund Terence Gomez (1994) seorang pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Sementara itu Ahmad Attory Hussein (1994) mengatakan bahwa politik uang adalah salah satu daripada berbagai tingkah laku negatif karena uang dipergunakan untuk membeli suara, menyogok calon-calon pemilih atau anggota-anggota partai supaya memenangkan si pemberi uang.

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, praktik politik uang sering muncul karena undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Bahkan, dalam praktik, tidak jarang peserta pemilihan umum membeli suara pemilih. Untuk pemilihan kepala daerah, misalnya, disinyalir banyak pasangan calon melakukan money politics untuk mendapatkan dukungan partai politik.

Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyebab terjadinya korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertayaan: mengapa begitu sulit mengungkapkan kasus korupsi? Untuk kasus di Indonesia, misalnya, banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi. Sebut saja formulasi sanksi pidana mati dan pembebanan pembuktian terbalik bagi koruptor tak lebih hanya menjadi asesoris UU Anti Korupsi. Sebab sedari awal formulasi pasal tersebut sudah dibuat tidak imperatif penerapannya.

Belum lagi keberadaan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi lorong gelap dalam upaya pemberantasan korupsi. UU Pemda khusus pada Pasal 36, merupakan celah untuk mengisolasi kekuasaan dari sentuhan hukum. Bagamaina tidak, dengan hadirnya Pasal 36 tersebut membuat kepala daerah/wakil kepala daerah mendapat perlakuan khusus ketika ia terduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebab untuk dimulainya proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi wajib mendapat izin atau persetujuan dari Presiden. Walaupun aturan tersebut tidak berlaku bagi KPK, hanya mengikat pada Jaksa dan Polisi sebagai penyidik tindak pidana korupsi.

Ijin Presiden akan sangat mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Secara norma, ketentuan dalam Pasal 36 UU Pemda tersebut memiliki prosedur izin yang berlapis. Akibatnya, proses penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan cepat dan sederhana sulit terwujud. Pendapat tersebut pernah terlontar ketika pihak Litbang Kejaksaan Agung meminta penulis untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian terkait Pasal 36 tersebut. Pihak kejaksaan merasa dihambat dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan adanya prosedur izin ke Presiden ketika ada pihak kepala daerah/wakil kepala daerah terindikasi melakukan korupsi. Dalam konteks itu, hukum belum sepenuhnya mereformasi dirinya dalam mempersiapkan melawan kekuasaan yang korup. Bahkan hukum yang diharapkan dapat sebagai palu pengadil terhadap pelaku-pelaku koruptif, justru menjadi bagian yang membuat penegakan korupsi semakin jalan di tempat. Tak sedikit contoh, hakim, jaksa dan polisi ikut mencicipi uang kotor dari para koruptor. Dalam level itu sering disebut dengan korupsi penegakan hukum.

Faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya korupsi lebih mungkin tumbuh subur di negara-negara yang pemerintahannya menciptakan bingkai ekonomi monopoli. Kekuasaan negara, digabungkan dengan informasi orang dalam, menciptakan kesempatan-kesempatan bagi para pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka sendiri atau kepentingan para sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berhubungan erat dengan dengan faktor-faktor birokratik. Dalam suasana yang demikian kebijakan ekonomi pemerintah

Page 4: korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi

dikembangkan, diimplementasikan, dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif, transparan, dan bertanggung jawab.

Beberapa faktor diatas merupakan hukum sebab akibat lahirnya perilaku koruptif. Bila sudah demikian, maka menghadapinya tidak bisa dengan cara-cara yang sekedar obral janji atau memberikan harapan palsu anti korupsi kepada rakyat. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang tidak peragu dalam mengambil keputusan memerangi korupsi. Sebab KPK dan UU Anti Korupsi akan semakin kuat, bila ia di kawal oleh kepemimpinan yang kokoh untuk melawan korupsi. Sebab, kekuasaan yang korup hanya bisa dilawan oleh kepemimpinan yang anti korupsi.

D. MEMIMPIN DENGAN KONSTITUSI

UUD 1945 merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang berkedudukan sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."

Dasar keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia adalah kesepa¬katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo¬ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci¬nya adalah konsensus yang kemudian diwujudkan dalam konstitusi dapat dipahami substansinya melalui kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).

Kesepakatan (consensus) tersebut berkenaan de¬ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti¬tusi dan konsti¬tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung¬kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema¬jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke¬ber¬samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe¬rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju¬ga disebut sebagai falsafah kenegaraan.

Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat tujuan bernegara sebagaimana menjadi bagian dari UUD 1945 pada bagian Pembukaan. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu mencakup sila atau prinsip (i) ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum, (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Tujuan atau cita-cita bernegara dan dasar-dasar negara tersebut dijabarkan secara operasional dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945.

Hambatan terbesar dalam mencapai tujuan dan cita-cita bernegara dalam konteks kekinian dikarenakan oleh kejahatan korupsi. Perjuangan untuk sejahtera, sehat, damai, cerdas, adil dan makmur menjadi semu bila kepemimpinan mengabdi pada kekuasaan yang korup. Maka tak ada tawar-menawar, kepemimpinan nasional penting untuk selalu berpijak pada kesepakatan luhur dan cita-cita serta tujuan kita bernegara berdasarkan konstitusi.

Oleh karena itu, upaya mewujudkan kepemimpinan nasional anti korupsi, sesungguhnya adalah upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dengan cara menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya telah digariskan dalam konstitusi dan juga UU Anti Korupsi.

Page 5: korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi

Dalam fungsinya yang demikian, konstitusi dapat disebut sebagai sumber kekuasaan yang harus dipatuhi. Dengan demikian memimpin dengan konstitusi, sama halnya sedang menyelamatkan bangsa ini dari kubangan patologi korupsi akut. Sebab konstitusi secara ideologis dan subtantif memiliki tujuan dan cita-cita yang luhur dan mulia.

Konsep kepemimpinan anti korupsi dalam hal ini tidak harus dimaknai sebagai figur personal, tetapi lebih pada sesuatu yang memberikan pedoman dan keteladanan bagi rakyatnya. Karena konstitusi tidak pernah mengajarkan untuk berfikir dan berjuang sendiri. Lebih dari itu, untuk melawan kekuasaan yang korup mesti melibatkan partisipasi masyarakat. Paling tidak hal itu harus dimulai dari pemimpin tertinggi negara ini, tidak saja tajam dalam kata "anti korupsi", tapi juga perlu langkah nyata melawan korupsi.

E. PENUTUP

Bila kita dapat memahami makna korupsi diawali dari pintu kekuasaan, maka mengakhirinya pun harus menggunakan otoritas politik kekuasaan negara. Sebab negara tak mungkin mampu mengurus rakyatnya, jika birokrat sudah bermental korup. Sejatinya jalan pintas atas perilaku koruptor di era reformasi ini dapat ditebus dengan kemauan politik negara. Rakyat masih punya keyakinan bahwa bangsa ini dapat dikelola dengan baik melalui kebijakan yang anti korupsi. Seperti kesamaan presepsi pada kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada koruptor. Bahkan merubah dan merivisi segala kemungkinan aturan hukum yang menghambat upaya pemberantasan korupsi.

Hukuman bagi para koruptor sebenarnya harus lebih berat dan tanpa toleransi dengan mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil memberantas korupsi. Barangkali China dapat menjadi negara rujukan untuk belajar menghentikan sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati bagi koruptor merupakan simbol perlawanan terhadap korupsi, apalagi China kerapkali menjatuhkan vonis mati kepada pelaku korupsi. Adapun wacana untuk memiskinkan koruptor perlu dipertimbangkan agar dapat menjadi bagian politik hukum bangsa ini.

Kemudian, para koruptor seharusnya tidak saja dijatuhi hukuman berat melalui pengadilan, tetapi juga perlu diberi sanksi sosial dengan mengasingkan mereka dari interaksi fisik. Sanksi sosial semacam itu akan lebih baik jika dimulai dari para pejabat atau pemimpin di berbagai aras, apalagi masyarakat kita masih berwatak paternalistik: meniru apa yang dilakukan petinggi.

Barangkali sanksi yang sangat berat akan secara perlahan menghentikan perbuatan korupsi seperti apa yang sering menjadi tontonan publik akhir-akhir ini. Disamping itu pula, perlu adanya kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh melawan kekuasaan yang korup dengan kekuasaan yang berpijak pada konstitusi dan hukum. Tentu harapan itu hanya bisa disandarkan pada kepemimpinan nasional yang anti korupsi. Bila itu dapat dilakukan, mereka sedang menyelamatkan bangsa ini.