Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

20
1 Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi Badan Terhadap Usia (Tb/U) Pada Anak Usia 5-6 Tahun Di Jakarta Andi Rama Sulaiman, Saptawati Bardosono 1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, DKI Jakarta, Indonesia 2. Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, DKI Jakarta, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Stunting merupakan kegagalan pertumbuah liner yang dilihat dari indikator tinggi badan terhadap usia jatuh dibawah persentil 5 (WHO). Prevalensi stunting di Indonesia (30,7%) tergolong dalam kategori High Severity (WHO). Stunting sebagai masalah gizi kronis dan multifaktorial memiliki banyak dampak antara lain peningkatan morbiditas, peningkatan mortalitas, gangguan fungsi metabolisme, komplikasi obstetrik saat hamil, gangguan perkembangan, dan penurunan produktivitas sosioekonomi. Salah satu yang menjadi faktor risiko adalah asupan nutrisi. Zat besi merupakan mikronutrien yang memiliki banyak fungsi bagi tubuh manusia termasuk dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Asupan zat besi yang tidak adekuat dapat menyebabkan anemia defisiensi zaat besi, peningkatan risiko infeksi, gangguan perkembangan kognitif , dan gangguan perilaku. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dengan tujuan untuk mencari korelasi antara asupan zat besi dan indikator tinggi badan terhadap usia (TB/U). Penelitian ini menggunakan data sekunder (usia, tinggi badan dan asupan zat besi) dari penelitian primer pada anak usia 5-6 tahun yang tinggal di Jl. Kimia, Jakarta. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah tidak ada korelasi bermakna antara asupan zat besi dan indikator TB/U (p=0,964). Namun tidak ada hubungan bermakna antara kecukupan asupan zat besi harian (AKG 2012) dan angka kejadian stunting (p=0,719). Corelation between Iron Intake and Height for Age Indicator in Child age 5-6 Years in Jakarta Abstract Stunting is linear growth failure that defined by WHO with low height for age indicator (<percentile 5). Stunting prevalence in Indonesia (30,7%) categorized as High Severity (WHO). Stunting as chronic multifactorial nutritional problem has many effect such as increase the risk of morbidity, increase the risk of mortality, impaired metabolism function, obstetric complication in pregnant women, developmental disorder, and decrease in socioeconomic productivity. Stunting has many risk factor, and one of them is nutrional intake. Iron is micronutrient that has many function in human body such as in child growth and development. Inadequte iron intake can cause iron deficiency anemia, increase in risk of infection, cognitive development disorder, and behavioural disorder. This research use cross-sectional design with purpose to find correlation between iron intake and high for age indictator. This research use secondary data (age, height, iron intake) from primary research on child age 5-6 years that live in Kimia St., Jakarta. Result of this research is there is no significant correlation between iron intake and height for age indicator (p=0,964). This research also found out that there is no significant correlation between inadequate iron intake (AKG 2012) and stunting incidence (p=0,719). Keywords: Iron intake, height for age, stunting, child age 5-6 years, Jakarta Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Transcript of Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

Page 1: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

1

Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi Badan

Terhadap Usia (Tb/U) Pada Anak Usia 5-6 Tahun Di Jakarta

Andi Rama Sulaiman, Saptawati Bardosono

1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, DKI Jakarta,

Indonesia

2. Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, DKI Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Stunting merupakan kegagalan pertumbuah liner yang dilihat dari indikator tinggi badan terhadap usia jatuh

dibawah persentil 5 (WHO). Prevalensi stunting di Indonesia (30,7%) tergolong dalam kategori High Severity

(WHO). Stunting sebagai masalah gizi kronis dan multifaktorial memiliki banyak dampak antara lain

peningkatan morbiditas, peningkatan mortalitas, gangguan fungsi metabolisme, komplikasi obstetrik saat hamil,

gangguan perkembangan, dan penurunan produktivitas sosioekonomi. Salah satu yang menjadi faktor risiko

adalah asupan nutrisi. Zat besi merupakan mikronutrien yang memiliki banyak fungsi bagi tubuh manusia

termasuk dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Asupan zat besi yang tidak adekuat dapat menyebabkan

anemia defisiensi zaat besi, peningkatan risiko infeksi, gangguan perkembangan kognitif , dan gangguan

perilaku. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dengan tujuan untuk mencari korelasi antara

asupan zat besi dan indikator tinggi badan terhadap usia (TB/U). Penelitian ini menggunakan data sekunder

(usia, tinggi badan dan asupan zat besi) dari penelitian primer pada anak usia 5-6 tahun yang tinggal di Jl. Kimia,

Jakarta. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah tidak ada korelasi bermakna antara asupan zat besi dan

indikator TB/U (p=0,964). Namun tidak ada hubungan bermakna antara kecukupan asupan zat besi harian (AKG

2012) dan angka kejadian stunting (p=0,719).

Corelation between Iron Intake and Height for Age Indicator in Child age 5-6 Years in

Jakarta

Abstract

Stunting is linear growth failure that defined by WHO with low height for age indicator (<percentile 5). Stunting

prevalence in Indonesia (30,7%) categorized as High Severity (WHO). Stunting as chronic multifactorial

nutritional problem has many effect such as increase the risk of morbidity, increase the risk of mortality,

impaired metabolism function, obstetric complication in pregnant women, developmental disorder, and decrease

in socioeconomic productivity. Stunting has many risk factor, and one of them is nutrional intake. Iron is

micronutrient that has many function in human body such as in child growth and development. Inadequte iron

intake can cause iron deficiency anemia, increase in risk of infection, cognitive development disorder, and

behavioural disorder. This research use cross-sectional design with purpose to find correlation between iron

intake and high for age indictator. This research use secondary data (age, height, iron intake) from primary

research on child age 5-6 years that live in Kimia St., Jakarta. Result of this research is there is no significant

correlation between iron intake and height for age indicator (p=0,964). This research also found out that there is

no significant correlation between inadequate iron intake (AKG 2012) and stunting incidence (p=0,719).

Keywords: Iron intake, height for age, stunting, child age 5-6 years, Jakarta

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 2: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

2

Pendahuluan

Stunting merupakan kegagalan

proses pertumbuhan linier yang disebabkan

oleh berbagai penyebab antara lain kondisi

kesehatan yang tidak optimal dan/atau

kondisi nutrisi yang kurang baik. Stunting

dapat dilihat dari rasio antara tinggi badan

(TB) dan usia yang rendah.1 Stunting

merupakan masalah global yang hingga

saat ini perlu mendapatkan perhatian

khusus karena angka kejadian nya yang

masih tinggi. Berdasarkan laporan

UNICEF mengenai Pelacakan pada Anak

dan Gizi Ibu pada tahun 2010, secara

global diperkirakan terdapat 195 juta anak

di bawah lima tahun yang mengalami

stunting.2 Sedangkan berdasarkan database

malnutrisi UNICEF-WHO-The World

Bank yang dipublikasian pada tahun 2012,

secara global terdapat 162 juta anak

dibawah lima tahun yang mengalami

stunting. Trend global saat ini

menunjukkan terjadinya penurunan angka

kejadian dan prevalensi stunting. Hal

tersebut dapat dilihat dari penurunan

prevalensi stunting sebesar 33% pada

tahun 2000 menjadi 25% pada tahun 2012,

dan penurunan angka kejadian 197 juta

anak pada tahun 2000 menjadi 162 juta

pada tahun 2012. Sebanyak 56% anak

yang mengalami stunting di dunia tinggal

di Asia dan 36% tinggal di Afrika.3

Sebagai salah satu negara di Asia,

Indonesia merupakan salah satu negara

dengan prevalensi stunting tinggi.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun

2007, prevalensi stunting pada balita di

Indonesia sebesar 36,8%. Prevalensi

tersebut menurun menjadi 35,6% pada

Riset Kesehatan Dasar 2010. Pada tahun

2013, kembali terjadi peningkatan

prevalensi stunting yaitu menjadi 37,2%.

Pada tahun 2013, prevalensi stunting pada

anak usia 5-12 tahun memiliki angka

30,7%. DKI Jakarta memiliki prevalensi

stunting pada balita dibawah prevalensi

nasional yaitu sebesar 26,7% pada tahun

2007, 26,6% pada tahun 2010 terjadi

peningkatan prevalensi menjadi sekitar

28%. Sedangkan prevalensi stunting pada

anak usia 5-12 tahun di DKI Jakarta,

menunjukkan angka mendekati 20%.2,4,5,6

Stunting memiliki keterkaitan

dengan sosioekonomi yang rendah,

peningkatan risiko penyakit, dan

pemberian nutrisi yang tidak sesuai. Selain

itu stunting juga berkaitan dengan

gangguan perkembangan kognitif anak.

Hal ini terjadi karena etiologi stunting juga

berkaitan dengan perkembangan kognitif.

Asupan nutrisi yang tidak adekuat tentu

saja berpengaruh pada perkembangan

kognitif anak. Perkembangan kognitif anak

terjadi secara cepat sampai usia 2 tahun

hingga mencapai sekitar 80% kapasitas

ukuran dewasa. Oleh karena itu, stunting

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 3: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

3

dapat menjadi indikator kecurigaan

gangguan perkembangan kognitif pada

anak.7

Peningkatan risiko penyakit dan

komplikasi lainnya seperti hipotermia,

hipoglikemia, dan dehidrasi dapat terjadi

pada anak yang mengalami stunting.

Peningkatan risiko dan komplikasi tersebut

menjadi alasan dilakukannya terapi

intervensi berupa perbaikan asupan nutrisi

sehingga hal tersebut dapat dicegah.8

Stunting dapat terjadi karena

berbagai penyebab. Sekitar 20-40%

stunting pada dua tahun pertama

kehidupan dikaitkan dengan berat badan

lahir rendah (BBLR). Defisiensi nnutrisi

maternal pada masa kehamilan juga

menjadi salah satu kemungkinan penyebab

pada kasus tersebut. Asupan nutrisi yang

tidak adekuat dan infeksi rekuren/kronis

merupakan kondisi yang juga dapat

menyebabkan terjadinya stunting pada

anak.7 Asupan nutrisi yang tidak adekuat

secara umum menjadi fokus utama atau

prioritas pada masalah stunting. Pada

penelitian ini, asupan nutrisi yang dibahas

adalah zat besi. Studi oleh Angeles et al

pada tahun 1993 di Indonesia

menunjukkan bahwa terjadi perubahan

tinggi badan dan height-for-age Z-score

yang signifikan pada anak usia 2-5 tahun

setelah suplementasi zat besi.9 Studi oleh

Lawless et al pada tahun 1994 di Kenya

menunjukkan hasil perubahan mean untuk

tinggi badan, height-for-age Z-score, berat

badan, weight-for-age Z-score pada anak

usia 6-11 tahun setelah suplementasi zat

besi.10

Studi oleh Rahman et al pada tahun

1999 di Bangladesh menunjukkan tidak

ada perbedaan signifikan dari tinggi badan

dan berat badan setelah dilakukan

suplementasi zat besi.6 Oleh karena itu,

penelitian ini dilakukan untuk mencari

apakah terdapat hubungan antara asupan

zat besi dengan stunting baik hubungan

secara lansung maupun tak langsung.11

Pada tahun pertama kehidupan

akan terjadi pertumbuhan yang sangat

cepat dengan peningkatan tinggi badan dan

berat badan. Pada fase setelah itu,

pertumbuhan akan melambat dengan

cukup signifikan, yaitu pada usia

prasekolah dan usia sekolah.7

Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya bahwa intervensi asupan

nutrisi pada anak dengan stunting perlu

segera dilakukan mengingat selain terjadi

gangguan pertumbuhan juga terjadi

perkembangan kognitif terutama pada dua

tahun pertama kehidupan, sehingga hasil

dari penelitian ini dapat menjadi referensi

untuk pemberian tatalaksana intervensi

asupan nutrisi berupa pemberian asupan

zat besi ataupun pencegahan agar tidak

terjadi stunting pada pasien.2,3,7,8

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 4: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

4

Tinjauan Teoritis

Stunting didefinisikan sebagai

kegagalan proses pertumbuhan linier yang

dapat disebabkan oleh kondisi kesehatan

yang tidak optimal dan/atau kondisi nutrisi

yang kurang baik. Stunting juga berkaitan

dengan kondisi sosioekonomi yang rendah

dan peningkatan risiko penyakit serta

pemberian nutrisi yang tidak sesuai.1

Dengan sistem Z-score terdapat dua

cara yaitu dengan cut-off dan

menggunakan kesimpulan statistic seperti

mean, standar deviasi, standar eror, dan

distribusi frekuensi.1

Berdasarkan National

Center for Health Statistics (NCHS),

apabila kurva height-for-age seorang anak

berada dibawah persentil kelima dari kurva

referensi untuk kelompok umur anak

tersebut dapat pula diklasifikasikan sebagai

stunting.7

Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya bahwa stunting dapat terjadi

karena beberapa penyebab. Sekitar 20-40%

stunting yang terjadi pada dua tahun

pertama kehidupan diasosiasikan dengan

berat badan lahir rendah (BBLR). Selain

itu, defisiensi nutrisi masih dapat

dipertimbangkan karena kemungkinan

defisiensi nutrisi maternal pada masa

kelahiran. Selain kedua penyebab tersebut,

asupan nutrisi yang tidak adekuat dan

infeksi rekuren atau kronis juga dapat

menyebabkan stunting. Asupan nutrisi

yang tidak adekuat biasanya menjadi fokus

utama untuk masalah stunting.7

Selain kegagalan pertumbuhan

linier, stunting juga diduga berkaitan

dengan perkembangan kemampuan

kognitif seorang anak. Walaupun stunting

sebenarnya fokus kepada tinggi badan

sesuai kelompok umur, namun kondisi-

kondisi yang dapat menyebabkan stunting

juga berkaitan dengan perkembangan

seorang anak. Sebelumnya, asupan nutrisi

yang tidak adekuat pada usia dibawah dua

tahun merupakan penyebab utama

terjadinya gangguan perkembangan

kognitif pada seorang anak, dikarenakan

hingga usia dua tahun otak manusia dalam

perkembangan hingga mencapai 80%

ukuran dewasa. Namun, studi terkini

menjelaskan bahwa asupan nutrisi yang

tidak adekuat pada anak diatas usia dua

tahun juga dapat menyebabkan gangguan

perkembangan kemampuan kognitif yang

sama berpengaruhnya dengan asupan

nutrisi yang tidak adekuat pada anak

dibawah usia dua tahun. Oleh karena itu,

intervensi untuk memperbaiki asupan

nutrisi pada anak usia diatas dua tahun

dengan riwayat gangguan perkembangan

kemampuan kognitif pasca asupan nutrisi

yang tidak adekuat, dapat memberikan

perbaikan pada perkembangan hingga

mencapai taraf yang hampir normal.7

Tatalaksana untuk stunting dapat

dilakukan melalui intervensi asupan nutrisi

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 5: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

5

yang disesuaikan dari data yang diapatkan.

Dari data populasi, dapat diperoleh

kemungkinan penyebab stunting pada

populasi tersebut, apakah karena asupan

protein-energi yang tidak adekuat, atau

asupan mikronutrien yang tidak adekuat.8

Zat besi memiliki peranan penting

dalam aktivitas sel darah merah, yaitu

melalui hemoglobin. Hemoglobin

disintesis di sel imatur pada sumsum

tulang. Hemoglobin bekerja melalui dua

cara yaitu heme yang mengandung zat besi

mengikat oksigen di paru, kemudian heme

melepas oksigen ke jaringan dan mengikat

karbondioksida pada saat yang sama.

Mioglobin merupakan protein yang juga

mengandung heme dan memiliki fungsi

sebagai reservoir oksigen pada otot.12

Zat besi juga berperan dalam

metabolisme obat di hati, yaitu obat yang

larut dalam air. Asupan zat besi yang

adekuat dibutuhkan untuk menjaga fungsi

dari sistem imun tubuh manusia. Kelebihan

atau kekurangan zat besi dapat

menyebabkan perubahan pada sistem

imun. Sedangkan kekurangan zat besi akan

mempengaruhi sistem imunitas humoral

dan selular.12

Sumber zat besi yang terbaik

adalah hati. Selain itu seafood (kerang dan

ikan), ginjal, jantung, lean meat, dan

daging unggas juga baik sebagai sumber

zat besi. Sayuran dan kacang kering

merupakan sumber tanaman terbaik untuk

zat besi. Selain itu, putih telur, wine,

sereal, dan gandum juga dapat menjadi

sumber zat besi. Secara umum, produk

susu tidak mengandung zat besi.12

Angka Kecukupan Gizi merupakan

nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi

yang dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat

hidup sehat setiap hari bagi hampir semua

orang dalam populasi (97,5%) menurut

kelompok umur, jenis kelamin, dan

kondisi-kondisi tertentu seperti hamil dan

menyusui. Berdasarkan Angka Kecukupan

Gizi Indonesia tahun 2012, jumlah zat besi

yang dibutuhkan oleh tubuh setiap harinya

pada kelompok usia 5-6 tahun adalah 9

mg.13

Studi yang dilakukan oleh Angeles et al

pada tahun 1993 di Indonesia mengenai

suplementasi zat besi pada anak usia 2-5

tahun menunjukkan bahwa terjadi

perubahan tinggi badan dan height-for-age

Z-score yang signifikan setelah

suplementasi. 9

Studi yang dilakukan oleh Lawless

et al pada tahun 1994 di Kenya dengan

topik yang sama pada usia 6-11 tahun

menunjukkan hasil perubahan mean untuk

tinggi badan, height-for-age Z-score, berat

badan, weight-for-age Z-score setelah

suplementasi.10

Selain itu studi dengan topik yang

sama dilakukan oleh Rahman et al pada

tahun 1999 di Bangladesh dan memberikan

hasil tidak ada perbedaan signifikan dari

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 6: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

6

tinggi badan dan berat badan setelah

dilakukan suplementasi.11

Metode Penelitian

Penelitian ini memakai desain

penelitian dengan metode cross sectional

untuk mendapatkan korelasi antara asupan

zat besi dengan indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U) pada anak usia 5-6

tahun. Penelitian ini adalah penelitian yang

memakai data sekunder yang berasal dari

screening subjek dalam penelitian yang

berjudul “The effect of Frisian Flag GUM

456 (isomaltulose enriched and mineral

and vitamin fortified) on cognitive

performance parameters in young children

(5-6 years old)”. Penelitian yang telah

disebutkan diatas adalah penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

yang dilaksanakan di beberapa RW pada

daerah Jl. Kimia, Jakarta Pusat. Screening

tersebut dilakukan pada bulan Mei tahun

2011.

Populasi target dalam penelitian ini

ialah anak berusia 5-6 tahun. Populasi

terjangkau dalam penelitian ini ialah anak

berusia 5-6 tahun yang bertempat tinggal

di Jl. Kimia, Jakarta Pusat, dan telah

berpartisipasi pada penelitian primer.

Subjek penelitian ini ialah populasi

terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi

dan tidak masuk dalam kriteria eksklusi

Untuk menghitung besar sampel

pada penelitian ini, digunakan rumus

korelasi dengan tujuan membandingkan

dua variable berikut, yaitu:

{(Za + Zb) / (0,5 ln (1+r) / (1-r)])}2

+ 3

Dimana:

r = koefisien korelasi (perkiraan)

ditetapkan 0.4

Za = ditetapkan 1.960

Zb = ditetapkan 1.282

Berdasarkan rumus korelasi di atas,

didapatkan bahwa paling sedikit perlu

digunakan 62 sampel. Pada penelitian ini

tidak perlu penambahan 10% pada sampel

karena tidak terdapat kemungkinan untuk

drop out. Pada penelitian ini menggunakan

simple random sampling untuk

mendapatkan 70 sampel dari data

sekunder.

Bahan penelitian ini ialah data

sekunder dari penelitian primer dengan

judul “The effect of Frisian Flag GUM 456

(isomaltulose enriched and mineral and

vitamin fortified) on cognitive performance

parameters in young children (5-6 years

old)”. Penelitian yang telah disebutkan

diatas adalah penelitian Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia yang

dilaksanakan di beberapa RW pada daerah

Jl. Kimia, Jakarta Pusat. Screening tersebut

dilakukan pada bulan Mei tahun 2011.

Subjek pada penelitian primer tersebut

adalah anak laki-laki dan perempuan sehat

berusia 5-6 tahun yang tinggal di lokasi

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 7: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

7

penelitian dan setuju untuk berpartisipasi

dalam penelitian tersebut. Data sekunder

yang dikumpulkan antara lain usia, jenis

kelamin, tinggi badan, dan asupan zat besi.

Pengumpulan data asupan zat besi

memakai instrumen semikuantitatif food

frequency questionnaire (FFQ). Kontrol

kualitas data sekunder didasarkan pada

kompetensi petugas yang melakukan

pengambilan data yaitu staf-staf FKUI

yang kompeten. Pengumpulan data

antropometri (TB dan BB) dilakukan

dengan alat dan cara standar sesuai dengan

pengukuran dan pemeriksaan Riset

Kesehatan Dasar (2007). Alat penelitian ini

adalah kuesioner yang dipakai untuk

mengolah data dari penelitian primer

menjadi data sekunder yang diperlukan

pada penelitian ini.

Variabel bebas pada penelitian ini

adalah usia, jenis kelamin, asupan zat besi,

dan sosiodemografi.Variabel terikat pada

penelitian ini adalah indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U).

Untuk menganalisis data pada

penelitian ini, dilakukan beberapa uji

sebelum diolah lebih lanjut menggunakan

SPSS versi 20 untuk Windows. Untuk

mengetahui distribusi data pada penelitian

ini, dilakukan uji Komogorov-Smirnov.

Pada penelitian ini didapatkan distribusi

data tidak normal, sehingga dilakukan uji

Spearman. Uji ini digunakan pada

penelitian ini karena data pada penelitian

ini berupa masalah kategori numerik dan

hipotesis korelatif antara dua variabel

numerik.

Hasil Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan

penelitian mengenai sebaran karakteristik

subjek penelitian berdasarkan

sosiodemografi, maka pada penelitian ini

dilakukan pengambilan data mengenai

karakteristik sosiodemografi subjek

penelitian dengan menggunakan kuesioner

objektif dengan data berasal dari penelitian

primer yang berjudul “The effect of Frisian

Flag GUM 456 (isomaltulose enriched and

mineral and vitamin fortified) on cognitive

performance parameters in young children

(5-6 years old)”. Karakteristik

sosiodemografi yang dimaksudkan adalah

karakteristik usia, jenis kelamin, dan

pendapatan keluarga. Tingkat pendapatan

keluarga pada penelitian ini dikategorikan

menjadi dua kelompok, yaitu pendapatan

keluarga <Rp. 1.290.000,- dan pendapatan

keluarga Rp. 1.290.000,-.

Pengkategorian tingkatan pendapatan

keluarga pada penelitian ini didasarkan

pada upah minimum regional (UMR) di

daerah DKI Jakarta.

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 8: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

8

Tabel 1. Sebaran Subjek Berdasarkan

Karakteristik Sosiodemografi (n=70)

Berdasarkan pengambilan data

yang dilakukan, didapatkan bahwa median

usia subjek penelitian ini adalah 6,1 tahun

dengan usia subjek penelitian termuda

adalah 5,0 tahun dan usia subjek penelitian

tertua 6,9 tahun. Pada penelitian ini

didapatkan subjek berjenis kelamin

perempuan (54,3%) lebih banyak bila

dibandingkan dengan subjek berjenis

kelamin laki-laki (45,7%). Untuk tingkat

pendapatan keluarga pada subjek

penelitian ini didapatkan hampir 60%

subjek penelitian berasal dari keluarga

dengan pendapatan keluarga kurang dari

Rp. 1.290.000,- atau dibawah upah

minimum regional (UMR) daerah DKI

Jakarta.

Pada penelitian ini dilakukan

pengambilan data tinggi badan dan usia

pada subjek penelitian yang kemudian

diubah menjadi indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U). Pada penelitian ini,

digunakan software epi-info untuk

mengubah data tinggi badan dan usia pada

subjek penelitian diubah mnjeadi indikator

tinggi badan terhadap usia (TB/U).

Kemudian dilakukan analisis data untuk

melihat sebaran karakteristik subjek

penelitian berdasarkan indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U) dengan acuan

pengkategorian stunting berdasarkan

WHO, yaitu bila indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U) menunjukkan dibawa

persentil 5. Sehingga pada penelitian ini,

subjek penelitianndibagi menjadi dua

kelompok kategori yaitu normal

( persentil 5) dan stunted (<persentil 5).

Tabel 2. Sebaran Subjek Berdasarkan

Karakteristik Indikator TB/U (n=70)

Setelah dilakukan analisis data

pada penelitian ini, didapatkan bahwa rata-

rata tinggi badan subjek penelitian ini

adalah 111,2 ± 6,4 cm. Pengkategorian

indikator tinggi badan terhadap usia

(TB/U) berdasarkan kategori stunting

WHO memperlihatkan bahwa median

persentil indikator tinggi badan terhadap

usia (TB/U) subjek penelitian ini adalah

16,5, dengan persentil indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U) terendah

adalah 1 dan persentil indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U) tertinggi

adalah 93. Selain itu, juga didapatkan

bahwa 20% dari subjek penilitian ini

Variabel n %

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

32

38

45.7

54.3

Pendapatan Keluarga

< Rp. 1.290.000,-

≥ Rp. 1.290.000,-

41

29

59.6

41.4

Variabel n %

Kategori Indikator TB/U

< Persentil 5 14 20

≥ Persentil 5 56 80

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 9: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

9

memiliki persentil indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U) <5 atau tergolong

dalam kategori stunted.

Selain karakteristik sosiodemografi

dan karakteristik indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U), pada penelitian ini

dilakukan pula analisis data mengenai

sebaran karakteristik subjek penelitian

berdasarkan asupan zat besi. Data asupan

zat besi didapatkan melalui pengisian food

frequency questionnaire oleh subjek

penelitian yang merupakan kuesioner

semikuantitatif. Data yang didapat

kemudian dikategorikan menjadi asupan

zat besi cukup dan asupan zat besi kurang

berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG)

2012 mengenai asupan zat besi harian.

Tabel 3. Sebaran Subjek Berdasarkan

Karakteristik Asupan Zat Besi (n=70)

Pada penelitian ini didapatkan data

karakteristik asupan zat besi subjek

penelitian yaitu didapatkan median asupan

zat besi harian subjek penelitian ini adalah

9,6 mg dengan asupan zat besi harian

terendah adalah sebesar 2,2 mg dan asupan

zat besi harian tertinggi sebesar 46,5 mg.

Berdasarkan pengkategorian dengan acuan

angka kecukupan gizi (AKG) 2012

mengenai asupan zat besi harian,

didapatkan pada penelitian ini terdapat

45,7% subjek penelitian dengan asupan zat

besi yang tidak memenuhi asupan zat besi

harian yaitu 9 mg/hari atau tergolong

dalam asupan zat besi kurang.

Salah satu tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengkaji mengenai korelasi

antara asupan zat besi dan indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U), sehingga pada

penelitian ini dilakukan analisis data untuk

mendapatkan korelasi antara asupan zat

besi dan indikator tinggi badan terhadap

usia (TB/U).

Tabel 4. Korelasi antara Asupan Zat Besi dan

Indikator TB/U (n=70)

Berdasarkan hasil uji korelasi

menggunakan uji Spearman, tidak terdapat

korelasi bermakna antara asupan zat besi

dan indikator tinggi badan terhadap usia

(TB/U) pada subjek penelitian ini karena

didapatkan nilai p = 0,964 (p>0,05).

Analisis lebih lanjut untuk melihat

gambaran hubungan antara kecukupan

asupan zat besi harian berdasarkan angka

kecukupan gizi (AKG) 2012 yang

digolongkan kepada asupan zat besi

kurang dan asupan zat besi cukup dengan

status gizi berdasarkan indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U) berdasarkan

Uji Spearman Indikator TB/U

Asupan Zat Besi

r -0,05

p 0,964

n 70

Variabel n %

Kategori Asupan Zat Besi

< 9 mg/hari 32 45,7

≥ 9 mg/hari 38 54,3

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 10: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

10

kategori stunting WHO yaitu dibagi

menjadi dxua kategori stunted dan normal.

Tabel 5. Hubungan antara Kecukupan Asupan

Zat Besi dengan Status Gizi Berdasarkan

Indikator TB/U

Indikator TB/U

Stunted Normal

Asupan

Zat Besi

AKG Kurang 7 25

AKG Cukup 7 31

Berdasarkan uji yang telah

dilakukan maka didapatkan nilai p=0,719

yang menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan bermakna antara kecukupan

asupan zat besi dan status gizi berdasarkan

indikator tinggi badan terhadap usia

(TB/U). Namun didapatkan angka kejadian

stunting pada kelompok subjek dengan

asupan zat besi yang tidak memenuhi

asupan zat besi harian (28%) lebih tinggi

bila dibandingkan dengan angka kejadian

stunting pada kelompok subjek dengan

asupan zat besi yang memenuhi asupan zat

besi harian (22,5%).

Pembahasan

Pada penelitian ini didapatkan

bahwa karakteristik sosiodemografi subjek

penelitian menunjukkan jenis kelamin

perempuan (54.3%) lebih banyak bila

dibandingkan dengan laki-laki (45.7%).

Karakteristik jenis kelamin subjek

penelitian ini agak berbeda dengan

karakterstik jenis kelamin di Jakarta dan

Indonesia dimana jumlah laki-laki lebih

banyak dibandingkan perempuan pada

kelompok usia 5-9 tahun. Namun

demikian, perbedaan antara karakterstik

jenis kelamin baik di Jakarta maupun

Indonesia tidak terlalu besar.14,15

Selain jenis kelamin, karakteristik

sosiodemografi yang didapatkan pada

penelitian ini adalah tingkat pendapatan

keluarga. Berdasarkan data yang didapat,

sebanyak 59.6% subjek penelitian

memiliki tingkat pendapatan keluarga <Rp.

1.290.000,- atau dibawah upah minimum

regional (UMR) daerah DKI Jakarta pada

tahun 2011. Berdasarkan laporan

Kementerian Keuangan Republik

Indonesia tahun 2012 dengan judul

Tinjauan Ekonomi & Keuangan Daerah

Provinsi DKI Jakarta, didapatkan bahwa

tingkat kemiskinan di daerah DKI Jakarta

sebesar 3,8% pada tahun 2009 dan

mencapai 4,04% atau sebanyak 388.300

jiwa pada tahun 2010. Pada tahun 2013,

didapatkan bahwa tingkat kemiskinan di

daerah Jakarta memiliki nilai 3,72%.

Kecilnya angka tingkat kemiskinan di

Jakarta ini disebabkan oleh pengkategorian

tingkat kemiskinan yang tidak sesuai

dengan upah minimum regional daerah

Jakarta pada tahun 2011 ( Rp. 1.290.000,-)

melainkan menetapkan cut-off point

sebesar Rp. 434.322/bulan, dengan asumsi

dengan tingkat pendapatan tersebut dapat

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 11: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

11

memenuhi kebutuhan sehari-hari subjek

penelitian. Oleh karena belum adanya data

mengenai pendapatan keluarga di Jakarta

yang menggunakan data tingkat

pendapatan keluarga terkait UMR daerah

DKI Jakarta 2011, maka karakteristik

tingkat pendapat keluarga subjek penelitian

ini tidak dapat dibandingkan dengan

tingkat pendapatan keluarga penduduk di

daerah DKI Jakarta.16,17

Berdasarkan karakteristik indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U), didapatkan

bahwa sebanyak 20% subjek penelitian

memiliki persentil indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U) < 5 atau tergolong

dalam kategori stunted.

Pada Riset Kesehatan Dasar tahun

2013, didapatkan bahwa prevalensi

stunting pada kelompok usia 5-12 tahun di

DKI Jakarta hampir mencapai angka 20%.

Selain itu, pada anak usia 5 tahun di

Indonesia didapatkan prevalensi stunting

sebesar 29% pada laki-laki dan 27,5%

pada perempuan. Sedangkan pada anak

usia 6 tahun di Indonesia didapatkan

prevalensi stunting sebesar 27,7% pada

laki-laki dan 25,5% pada perempuan.

Secara nasional prevalensi stunting pada

kelompok usia 5-12 tahun di Indonesia

mencapai 30,7%.6

Berdasarkan WHO, prevalensi

stunting pada penelitian ini, yaitu sebesar

20%, masuk ke dalam kategori Medium

Severity. Sedangkan prevalensi stunting di

DKI Jakarta yang tidak mencapai angka

20% masuk ke dalam kategori Low

Severity. Prevalensi stunting secara

nasional di Indonesia yang menunjukkan

angka 30,7% digolongkan ke dalam

kategori High Severity. Terdapat 20%

subjek penelitian yang digolongkan ke

dalam kategori stunted karena persentil

indikator tinggi badan terhadap usia

(TB/U) < 5, sehingga perlu dipikirkan

dampak-dampak yang mungkin muncul

akibat kondisi stunting pada subjek

penelitian ini. Stunting dapat menyebabkan

berbagai dampak yang luas dan bersifat

jangka panjang.1

Stunting dapat memiliki dampak

pada tiga aspek kehidupan yaitu aspek

kesehatan, aspek pendidikan, dan aspek

sosioekonomi. Dampak stunting pada

ketiga aspek tersebut terjadi karena

stunting dapat memiliki dua peran, yaitu

sebagai penyebab langsung tinggi badan

yang kurang pada masa dewasa sehingga

menyebabkan fungsi suboptimal dan

sebagai faktor yang berperan dalam proses

di awal kehidupan yang mengarah pada

pertumbuhan yang buruk dan outcome

sampingan lainnya. Pada aspek kesehatan,

stunting tidak hanya akan menyebabkan

kegagalan pertumbuhan linier pada sistem

skeletal, melainkan juga akan

mengakibatkan berbagai kondisi medis dan

meningkatkan morbiditas. Stunting dapat

menyebabkan peningkatan morbiditas

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 12: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

12

yaitu terkait dengan diare dan pneumonia

pada masa kanak-kanak. Selain

menyebabkan peningkatan morbiditas pada

anak, stunting juga dapat menyebabkan

peningkatan mortalitas pada anak dibawah

5 tahun dan menjadi prediktor terbaik pada

risiko kematian anak pada dua tahun awal

kehidupan.1,18,20

Anak dengan stunting akan

memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki

penyakit kronis, gangguan fungsi oksidasi

lemak seperti pada obesitas, dan penurunan

toleransi glukosa. Anak stunted yang

memiliki gangguan fungsi oksidasi lipid

akan menyimpan lipid lebih banyak pada

jaringan adipose. Mekanisme terjadinya

hal tersebut masih belum jelas, namun

asupan gizi yang kurang kemungkinan

menyebabkan kerusakan pada enzim dan

hormone yang bertanggungjawab pada

oksidasi lipid yang optimal.19

Dalam aspek kesehatan, stunting

akan menyebabkan ukuran tubuh wanita

hamil yang lebih kecil sehingga akan

menyebabkan beberapa akibat pada sistem

reproduksi. Pada wanita dengan tinggi

badan yang kurang akan menyebabkan

risiko komplikasi obstetrik yang lebih

tinggi dikarenakan ukuran pelvis yang

lebih kecil. Komplikasi obstetrik yang

dimaksud adalah obstruksi persalinan

karena ukuran pelvis yang sempit sehingga

menyebabkan birth asphyxia. Tinggi badan

maternal kurang dari 145 cm memiliki

risiko lebih tinggi untuk terjadinya birth

asphyxia. Anak yang selamat dari birth

asphyxia kemudian akan mengalami

gangguan neurodevelopmental kronik

seperti cerebral palsy, retardasi mental, dan

disablitas belajar. Peningkatan risiko

kematian perinatal pada tinggi badan

maternal <145 cm disebabkan oleh birth

asphyxia dan juga efek jangka panjang

IUGR pada nutrisi anak dan fungsi

imunitas yang kemudian akan meningkatan

risiko mortalitas.18,20

Selain itu, terdapat keterkaitan

antara tinggi badan wanita hamil dengan

berat badan lahir anak. Hal ini yang

menyebabkan dapat terjadi suatu siklus

stunting karena anak dengan berat badan

lahir rendah (BBLR) juga memiliki risiko

yang lebih tinggi untuk mengalami

stunting. BBLR pada anak dengan ibu

stunted terjadi karena restriksi aliran darah

dan perkembangan uterus, plasenta, dan

fetus atau biasa disebut dengan

intrauterine growth restriction (IUGR).

Kondisi tersebut kemudian akan

menyebabkan berbagai kondisi medis yang

membahayakan neonatus. IUGR dapat

menyebabkan chronic fetal distress atau

fetal death. Apabila anak dengan IUGR

lahir dalam kondisi hidup, maka kemudian

akan mengalami gangguan pertumbuhan

dan berbagai komplikasi medis lainnya

seperti gangguan perkembangan

neurologis, intelektual, dan juga tinggi

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 13: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

13

badan yang kurang akan menetap hingga

dewasa.1,18,20

Stunting juga memiliki keterkaitan

yang cukup kuat dengan gangguan

perkembangan pada anak. Gangguan

perkembangan pada anak dengan stunted

kemudian akan menyebabkan gangguan

pada performa dan pencapaian akademis

anak tersebut. Namun hubungan tersebut

tidak dapat dinyatakan sebagai hubungan

kausatif, karena terdapat faktor lain yang

mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak yaitu faktor

lingkungan dan sosioekonomi. Pada kasus

gangguan perkemabangan seperti di atas,

intervensi dengan kombinasi suplementasi

dan stimulasi intelektual adalah tatalaksana

yang akan memberikan hasil terbaik.19

Gangguan kognitif permanen pada

anak stunted dapat terjadi karena

kerusakan jaringan otak baik secara

struktural maupun fungsional. Pada

rentang waktu antara 12-36 bulan,

performa kognitif anak dengan stunted

akan lebih buruk dibandingkan anak

dengan pertumbuhan normal, selain itu

pada pertengahan masa kanak-kanak akan

memperlihatkan pencapaian akademis

yang lebih rendah.18,19,20

Stunting juga sering dikaitkan

dengan produktivitas ekonomi seseorang.

Pada suatu penelitian cross-sectional di

Brazil, didapatkan bahwa peningkatan 1%

dari tinggi badan berkaitan dengan 2,4%

peningkatan pendapatan. Laki-laki dan

wanita dengan tinggi badan yang lebih

tinggi akan memiliki pendapatan yang

lebih tinggi setelah mengontrol variabel

tingkat edukasi dan indikator kesehatan

lainnya seperti IMT, per capita energy

intake, dan per capita protein intake. Anak

dengan stunting kemudian akan tumbuh

menjadi dewasa dengan tinggi badan yang

kurang. Dampak pada aspek ekonomi ini

sering dikaitkan dengan keterbatasan

fungsional dari orang dengan stunting yang

menyebabkan penurunan kapasitas kerja.

Kondisi sosioekonomi rendah yang banyak

ditemukan pada individu dengan stunting

kemudian akan berkontribusi dalam siklus

stunting yang telah dijelaskan sebelumnya

dan akan menyebabkan siklus tersebut

terus berulang selama beberapa generasi.20

Data karakterstik asupan zat besi

subjek pada penelitian ini menunjukkan

bahwa sebesar 45.7% subjek penelitian

memiliki asupan zat besi harian <9mg/hari

atau tergolong dalam kategori asupan zat

besi kurang berdasarkan angka kecukupan

gizi (AKG) 2012. Pada penelitian ini

didapatkan bahwa median asupan zat besi

harian pada penelitian ini memiliki nilai

sebesar 9,6 mg dengan asupan zat besi

harian terendah adalah sebesar 2,2 mg dan

asupan zaat besi harian tertinggi sebesar

46,5 mg.13

Pada penelitian ini, data

karakteristik asupan zat besi subjek

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 14: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

14

penelitian menunjukkan sebesar 45,7%

memilki asupan zat besi harian <9 mg/hari.

Hal tersebut menunjukkan bahwa hampir

setengah dari subjek penelitian tidak

mencapai angka kecukupan gizi (AKG).

Tidak tercapainya angka kecukupan zat

besi harian merupakan salah satu yang

dapat menyebabkan terjadinya defisiensi

zat besi. Defisiensi zat besi kemudian

dapat menyebabkan anemia dan mudah

lelah, gangguan perkembangna kognitif,

dan gangguan pertumbuhan dan kekuatan

fisik. Selain disebabkan oleh asupan zat

besi yang tidak adekuat, defisiensi zat besi

juga dapat disebabkan oleh pajanan dini

terhadap susu sapi pada anak. Hal ini dapat

terjadi karena susu sapi memiliki

kandungan zat besi yang rendah.8,21,22

Manifestasi dari defisiensi zat besi antara

lain sklera kebiruan, koilonychias,

gangguan kapasitas latihan, perubahan

warna urin, peningkatan absorbsi timbal,

dan peningkatan kerentanan terhadap

infeksi.

Defisiensi zat besi dapat

menyebabkan terjadinya anemia

kekurangan zat besi. Anemia kekurang zat

besi pada masa awal kanak-kanak

memiliki hubungan secara kausatif dengan

keterlambatan perkembangan. Pada

manusia, dua tahun awal kehidupan

merupakan waktu yang rentan untuk

mengalami defisiensi zat besi karena pada

periode waktu tersebut terjadi perubahan

yang paling penting pada multiplikasi

neuronal. Selain gangguan perkembangan,

anemia kekurangan zat besi juga dapat

menyebabkan gangguan perilaku pada

anak. Mekanisme anemia kekurangan zat

besi menyebabkan gangguan

perkembangan dan perilaku masih belum

diketahui secara pasti.8,21,23

Kebutuhan zat besi mungkin akan melebihi

asupan zat besi pada dua periode dalam

kehidupan manusia. Periode pertama

adalah pada 6-18 bulan awal kehidupan

dan periode kedua adalah pada masa

remaja untuk perempuan.23

Defisiensi zat besi dapat

menyebabkan perubahan pada morfologi,

biokimiawi, dan bioenergi otak. Defisiensi

zat besi dapat menyebabkan perubahan

morfologi otak karena zat besi penting

dalam neurogenesis dan diferensiasi

beberapa jenis sel otak. Defisiensi zat besi

juga dapat menyebabkan gangguan pada

neurokimiawi otak terutama pada jaras

monoaminergik. Defisiensi zat besi akan

menganggu metabolisme dopamin dan

norepinefrin serta menganggu sintesis dan

katabolisme monoamin. Selain itu,

kebutuhan energi yang besar oleh otak dan

penggunaan glukosa sebagai bahan energi,

menyebabkan defisiensi zat besi yang

memiliki efek menganggu homeostasis

glukosa, akan mengakibatkan perubahan

bioenergi otak.23

Distribusi zat besi di otak yang

tidak merata menyebabkan defisiensi zat

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 15: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

15

besi hanya mempengaruhi beberapa bagian

otak dan tidak mempengaruhi bagian otak

lainnya. Secara umum, defisiensi zat besi

akan menganggu fungsi motoric dan

perilaku sosioemosional. Kemampuan

motorik anak dengan defisiensi zat besi

akan menunjukkan perbedaan yang

signifikan dengan anak dalam kelompok

usia yang sama dan tanpa defisiensi zat

besi. Perilaku sosioemosional anak dengan

defisiensi zat besi akan menunjukkan sifat

lebih pemalu, sulit untuk dihibur atau

ditenangkan, dan lebih jarang

menunjukkan afek positif.23

Zat besi berada dalam ASI

memiliki konsentrasi yang rendah namun

mudah diabsorbsi karena rendahnya

konsentrasi kalsium dan fosfat dalam ASI.

Namun demikian, intervensi pemberian

suplementasi formula lebih baik diabosrbsi

bila dibandingkan dengan ASI. Didapatkan

pula saat anak berusia 9 bulan, sumber

asupan zat besi selain ASI perlu diberikan

kepada anak.22

Setelah dilakukan uji korelasi pada

data penelitian ini, didapatkan bahwa tidak

terdapat korelasi yang bermakna antara

asupan zat besi dengan indikator tinggi

badan terhadap usia (p=0,964). Analisis

data lebih lanjut yang mencari korelasi

antara asupan zat besi kurang (<9 mg/hari)

dengan angka kejadian stunting (persentil

indikator tinggi badan terhadap usia < 5)

juga menunjukkan tidak ada hubungan

yang bermakna (p=0,719).

Tidak adanya hubungan bermakna

antara asupan zat besi dan indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U) sesuai dengan

penelitian lain yang menunjukkan bahwa

suplementasi zat besi tidak menunjukkan

perbedaan bermakna antara pertumbuhan

anak dengan indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U) pada anak yang

mendapatkan suplementasi zat besi dan

tidak mendapatkan suplementasi. Pada

penelitian tersebut didapatkan bahwa

perbedaan pada indikator tinggi badan

terhadap usia pada kelompok anak yang

mendapatkan suplementasi zat besi dan

yang tidak mendatkan suplementasi

disebabkan oleh pertambahan usia selama

pengamatan (p<0,001). Penelitian lain juga

mendukung hal tersebut yaitu suplementasi

zat besi selama satu tahun tidak

memberikan efek pada pertumbuhan linier

anak. Penelitian tahun 2001 juga

menunjukkan bahwa suplementasi zat besi

tidak berpengaruh terhadap indikator TB/U

dan pertumbuhan linier anak.24,25,26

Terdapat 9 penelitian yang

menunjukkan korelasi antara asupan zat

besi dan indikator tinggi badan terhadap

usia (TB/U). Pada 3 penelitian tersebut,

subjek merupakan anak dengan anemia

kekurangan zat besi, dan suplementasi zat

besi menunjukkan hubungan positif

dengan pertubumbuhan linier anak. Dua

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 16: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

16

penelitian lainnnya menggunakan anak

pada daerah dengan prevalensi anemia

kekurangan zat besi yang tinggi (>50%)

sebagai subjek, hasil dari kedua penelitian

ini adalah ditemukan respon pertumbuhan

linier yang signifikan setelah pemberian

suplementasi zat besi. Keempat penelitian

sisanya menunjukkan bahwa suplementasi

zat besi pada anak tanpa anemia tidak

memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap pertumbuhan anak.27

Berdasarkan hasil penelitian ini dan

penelitian lain yang serupa, dapat

disimpulkan bahwa asupan zat besi pada

anak sehat (nonanemis) tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan indikator

tinggi badan terhadap usia (TB/U). Namun

pada penelitian ini perlu juga diingat

bahwa stunting merupakan suatu kondisi

yang terjadi secara kronis bahkan sejak

dalam kandungan dan juga banyak faktor

yang dapat mempengaruhi atau

menyebabkannya atau

multifaktorial.24,25,26,27

Selama dalam kandungan, kondisi

maternal dapat menjadi faktor risiko

terjadinya stunting. Kondisi maternal yang

dimaksud adalah defisiensi nutrisi, jarak

antar melahirkan, stunted, dan merokok).

Kondisi-kondisi tersebut dapat

menyebabkan berat badan lahir rendah

(BBLR) yang juga merupakan faktor risiko

untuk terjadinya stunting pada anak.

Kondisi maternal seperti disebutkan diatas

dapat menyebabkan BBLR yang bersama

dengan defisiensi malnutrisi maternal

dapat menganggu fungsi sistem imunitas

anak. Terganggunya fungsi sistem

imunitas anak kemudian akan

meningkatkan risiko infeksi berulang dan

kondisi kesehatan lainnya pada anak yang

juga merupakan faktor risiko terjadinya

stunting. Kebiasan maternal juga dapat

menjadi faktor risiko terjadinya stunting.

Kebiasan maternal yang dimaksud adalah

kujungan prenatal, antenatal care, dan pola

pemberian ASI.28,29

Pada daerah rural, anak dengan

BBLR memiliki kemungkinan mengalami

stunting pada 6 bulan pertama kehidupan

sebesar 4x lipat dibandingankan dengan

anak dengan berat badan lahir normal.

Kemungkinan ini akan meningkat menjadi

hampir 8x lipat pada daerah urban. Baik

pada daerah rural maupun urban, BBLR

akan meningkatkan kemungkinan stunting

pada 12 bulan pertama kehidupan hingga

2x lipat dibandingkan anak dengan berat

badan lahir normal.29

Kondisi medis pada anak yang

paling sering menjadi faktor risiko

terjadinya stunting di daerah rural adalah

diare dan infeksi saluran nafas berat pada

dua minggu pertama kehidupan. Faktor

risiko lainnya yang dapat menyebabkan

stunting pada anak antara lain

sosioekonomi keluarga yang buruk, tingkat

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 17: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

17

pendidikan orang tua yang rendah, dan

asupan zat gizi yang tidak adekuat.29

Asupan zat besi bersama dengan

zinc dan vitamin A memiliki hubungan

paling kuat dengan pertumbuhan anak bila

dibandingkan dengan calory intake dan

asupan makronutrien serta mikronutrien

lainnya.12,27

Pada penelitian ini didapatkan

bahwa tidak terdapat korelasi yang

bermakna antara asupan zat besi dan

indikator tinggi badan terhadap usia

(TB/U) walaupun secara proporsional

didapatkan lebih banyak subjek penelitian

dengan persentil indikator tinggi badan

terhadap usia yang normal pada kelompok

subjek dengan angka kecukupan zat besi

harian yang cukup. Hasil ini dapat

dianalisa lebih lanjut karena terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi

korelasi yang telah disebutkan

sebelumnya. Hal yang pertama adalah

subjek penelitian ini adalah anak yang

sehat dan telah dilakukan skrining

mengenai status anemia pada subjek,

sehingga seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya efek asupan zat besi akan

menunjukkan korelasi bermakna dengan

pertumbuhan anak hanya pada anak yang

mengalami anemia dan tidak pada anak

yang nonanemis. Hal yang kedua adalah

penggunaan kuesioner semikuantitatif FFQ

sebagai alat pengambilan data pada

penelitian primer. Food frequency

questionnaire (FFQ) memiliki beberapa

keterbatasan karena hanya mendapatkan

pola asupan zat besi dalam jangka waktu

yang tidak panjang. Selain itu, dapat pula

terjadi recall bias yang dapat

mempengaruhi data asupan zat besi harian

subjek penelitian. Keterbatasan ini

menyebabkan tidak didapatkannya

gambaran umum jangka panjang mengenai

pola asupan zat besi subjek penelitian,

karena seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya bahwa proses terjadinya

stunting dimulai bahkan sejak di dalam

kandungan.

Kesimpulan

Sebaran subjek berdasarkan

karakteristik sosiodemografi adalah

median usia 6,1 tahun dengan usia termuda

5,0 tahun dan usia tertua 6,9 tahun. Subjek

berjeniskelamin perempuan (54,3%) lebih

banyak bila dibandingkan dengan subjek

berjeniskelamin laki-laki (45,7%). Hampir

60% subjek penelitian berasal dari

keluarga dengan pendapatan keluarga

kurang dari Rp. 1.920.000,- atau dibawah

upah minimum regional (UMR) daerah

DKI Jakarta.

Sebaran subjek berdasarkan

karakteristik indikator tinggi badan

terhadap usia (TB/U) adalah rata-rata

tinggi badan 111,2 ± 6,4 cm, median

persentil indikator tinggi badan terhadap

usia (TB/U) subjek penelitian ini adalah

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 18: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

18

16,5, dengan persentil terendah adalah 1

dan persentil tertinggi adalah 93. Sebanyak

20% subjek penilitian memiliki persentil

indikator tinggi badan terhadap usia

(TB/U) <5 atau tergolong dalam kategori

stunted.

Sebaran subjek berdasarkan

karakteristik asupan zat besi adalah median

asupan zat besi harian adalah 9,6 mg

dengan asupan terendah adalah sebesar 2,2

mg dan asupan tertinggi sebesar 46,5 mg.

Sebanyak 45,7% subjek penelitian

memiliki asupan zat besi yang tidak

memenuhi asupan zat besi harian

berdasarkan AKG 2012 yaitu 9 mg/hari

atau tergolong dalam asupan zat besi

kurang.

Tidak terdapat korelasi bermakna

antara asupan zat besi dan indikator tinggi

badan terhadap usia (TB/U) pada subjek

penelitian ini (p=0,964) dan tidak terdapat

hubungan bermakna antara kecukupan

asupan zat besi dan status gizi berdasarkan

indikator tinggi badan terhadap usia

(TB/U) (p=0,719).

Saran

Setelah dilakukan penelitian ini,

didapatkan beberapa hal penting dan perlu

diperhatikan serta dikaji lebih lanjut. Hal

pertama adalah perlunya dilakukan edukasi

kepada masyarakat mengenai stunting

sebagai suatu kondisi yang bersifat kronis

dan multifaktorial serta komplikasi

stunting agar prevalensi stunting di

Indonesia dapat berkurang dan siklus

stunting dapat diputus. Selain itu juga

perlu dilakukan edukasi mengenai dampak

dari defisiensi zat besi kepada masyarakat

agar dampak tersebut dapat dicegah

sebelum gangguan perkembangan kognitif

dan perilaku terjadi pada anak. Penelitian

dengan topik yang sama perlu dilakukan,

namun dengan menggunakan modalitas

pengambilan data yang dapat

menggambarkan pola asupan zat besi

jangka panjang secara akurat sehingga

diharapkan dapat diperoleh gambaran

korelasi yang lebih tepat.

Daftar Referensi

1. Onis ME, Blossner M. WHO

global database on child growth

and malnutrition. WHO: Geneva;

1997.

2. Renyoet BS, Hadju V, Rochimiwati

SN. Hubungan pola asuh dengan

kejadian stunting anak usia 6-23

bulan di wilayah pesisir kecamatan

Tallo kota Makassar. 2013.

3. UNICEF-WHO-The World Bank

joint child malnutrition estimates

[Internet]. Levels and Trends in

Child Malnutrition; 2012 [cited

2014 May 8]. Available from:

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 19: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

19

http://www.who.int/entity/nutgrowt

hdb/jme_unicef_who_wb.pdf

4. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI. Laporan

nasional riset kesehatan dasar tahun

2007. Jakarta: 2008. p.37.

5. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI. Laporan

nasional riset kesehatan dasar tahun

2010. Jakarta: 2010. p.18.

6. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI. Laporan

nasional riset kesehatan dasar tahun

2013. Jakarta: 2013. p.212-7.

7. The David and Lucile Packard

Foundation. Children and poverty.

The Future of Children. 1997

Summer/Fall;7(2):

8. Muller O, Krawinkel M.

Malnutrition and health in

developing countries. CMAJ. 2005

August;173(3):279-86.

9. Angeles IT, Schultink Wj,

Matulessi P, Gross R,

Sastroamidjojo S. Decreased rate of

stunting among anemic Indonesian

preschool children through iron

supplementation. Am J Clin Nutr.

1993;58:339-42.

10. Lawless JW, Latham MC,

Stephenson LS, Kinoti SN, Pertet

AM. Iron supplementation

improves appetite and growth in

anemic Kenyan primary school

children. J Nutr. 1994;124:645-54.

11. Rahman MM, Akramuzzaman SM,

Mitra AK, Fuchs GJ, Mahalanabis

D. Long-term supplementation with

iron does not enhance growth in

malnourished Bangladeshi

children.J Nutr. 1999;129:1319-22.

12. Mahan LK, Stump SE, Raymond

JL. Krause’s food and the nutrition

care process. 13th

ed. USA:

Elsevier Inc.; 2012.

13. Kartono D, Hardinsyah, Jahari AB,

Sulaeman A, Soekatri M. Angka

kecukupan gizi Indonesia 2012.

Pokja AKG: 2012.

14. Badan Pusat Statistik. Profil

kesehatan provinsi DKI Jakarta

tahun 2012. Jakarta; 2012.

15. Badan Pusat Statistik.

Perkembangan beberapa indikator

utama sosial-ekonomi Indonesia.

Jakarta; 2013.

16. Direktorat Jenderal Perimbangan

Keuangan Kementerian Keuangan

Republik Indonesia. Tinjauan

ekonomi dan keuangan daerah

provinsi DKI Jakarta. Jakarta;

2012.

17. Peraturan Gubernur Provinsi DKI

Jakarta Nomor 196 Tahun 2010.

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014

Page 20: Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi ...

20

Upah minimum provinsi tahun

2011. Jakarta; 2010.

18. UNICEF. Tracking Progress on

Child and Maternal Nutrition: a

survival development priority. New

York: 2010.

19. Branca F, Ferrari M. Impact of

micronutrient deficiencies on

growth: the stunting syndrome.

Ann Nutr Metab 2002; 46(suppl 1):

8-17.

20. Dewey KG, Begum K. Long-term

consequences of stunting in early

life. Maternal and Child Nutrition

2011; 7(suppl 3): 5-18.

21. Boner RS. Micronutrients.

Pediatric and Child Health 2013;

23(8): 333-5.

22. Booth IW, Aukett MA. Iron

deficiency anemia in infancy and

early childhood. Archives of

Disease in Childhood 1997;

76(549): 549-54.

23. Beard JL. Why iron deficiency is

important in infant development.

J.Nutr 2008; 138: 2534-6.

24. Thu BD, Schultink W, Dillon D,

Gross R, Leswara ND, Khoi HH.

Effect of daily and weekly

micronutrient supplementation on

micronutrient deficiencies and

growth in young vietnameses

children. Am J Clin Nutr 1999; 69:

80-6.

25. Lind T, Lonnerdal B, Stenlund H,

Gamayanti IL, Ismail D,

Seswandhana R, et al. A

community-based randomized

controlled trial of iron and zinc

supplementation in indonesian

infant: Effect of Growth and

Development. Am J Clin Nutr

2004; 80: 729-36.

26. Rosado JL. Separate and joint

effects of micronutrient

deficiencies on linear growth. J.

Nutr 1999; 129: 531-3.

27. Rivera JA, Hotz C, Cossio TG,

Nuefeld L, Guerra AG. The effect

of micronutrient deficiencies on

child growth: a review of result

from community-based

supplementation trials. J. Nutr

2003; 133: 4010-20.

28. Lewit EM, Kerrebrock N.

Population-based growth stunting.

Children and Poverty 1997; 7(2):

151-2.

29. Ricci JA, Becker S. Risk factors for

wasting and stunting among

children in Metro Cebu,

Philippines. Am J Clin Nutr

1996;63(6): 966.

Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014