Koreana Winter 2014 (Indonesia)

68
Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul FITUR KHUSUS HONGDAE Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae pada “Jumat Membara”; Wadah Peleburan Budaya Tempat Gejolak Energi Muda; Tanda bagi Diri Mereka ISSN 2287-5565 VOL. 3 NO. 4 MUSIM DINGIN 2014 SENI & BUDAYA KOREA

description

 

Transcript of Koreana Winter 2014 (Indonesia)

Page 1: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

Berjalan-jalan di Sekitar

Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul

Berjalan-jalan di Sekitar

Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul

FITUR KH

USU

SHON

GDAE

Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae pada “Jumat

Mem

bara”; Wadah Peleburan Budaya Tem

pat Gejolak Energi M

uda; Tanda bagi Diri Mereka

ISSN 2287-5565

VOL. 3 NO. 4

MU

SIM D

ING

IN 2014

MU

SIM D

ING

IN 2014 VOL. 3 N

O. 4w

ww

.koreana.or.kr

SENI & BUDAYA KOREA

Page 2: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 1

Teras Tembikar, Ibunda, dan Rumah

K ebanyakan orang Korea memiliki kenangan terhadap rumah masa kecil yang amat dicintai. Cahaya

matahari menerangi jangdokdae, atau teras barang-barang tembikar, yang biasanya terletak di sekitar pagar. Dan di teras itulah ibu membungkuk dan mengintip ke dalam periuk tembakar. Rumah masa kecil, ibunda, dan teras tembikar - tiga elemen yang mampu menciptakan adegan yang membangkitkan kerinduan akan masa kanak-kanak.

Apa sebenarnya jangdokdae? Nama tersebut merupakan gabungan dari tiga kata. Jang, mengacu pada saus fermentasi tradisional dan pasta seperti gochujang (pasta cabai merah) dan doenjang (pasta kedelai). Ini adalah makanan yang memerlukan waktu lama memasaknya dengan cabai merah, kedelai, dan garam laut alami, yang orang harus sabar menunggu. Dok mengacu pada periuk tanah dan tembikar yang dibuat untuk menyimpan makanan. Dan dae mengacu pada teras

rendah atau panggung di pelataran tempat guci atau tembikar diletakkan berbaris sesuai dengan ukuran masing-masing untuk melindungi makanan di dalamnya dari sinar matahari, angin, badai salju, dingin dan panas, bernapas perlahan dalam perubahan musim, peragian dan kematangan.

Teras tembikar merupakan wilayah ibu dan karenanya ditempatkan di lokasi yang cerah dekat dengan dapur dan rumah induk secara baik.

Ibu akan duduk di ruang berlantai kayu terbuka dan merasa senang saat ia memandang buatan sendiri, yaitu doenjang, gochujang, kecap yang telah disimpan lama dan acar yang disebut jjangachi. Isi guci hanyalah makanan yang baik di meja dan rasanya memenuhi selera umum. Jadi, ketika hari-hari cerah, ibu akan membuka tutup guci dan mengarahkan isinya ke sinar matahari dan angin, dan saat hujan turun ibu pun berlari untuk menutupnya kembali.

Teras tembikar juga merupakan tempat suci di mana ibu akan berdoa

untuk kesejahteraan keluarga. Di masa lalu, banyak ibu-ibu akan pergi ke sumur saat fajar untuk mengisi mangkuk terbersih dengan air, yang kemudian menempatkannya di teras untuk berdoa bagi kebahagiaan suami dan anak-anak agar tumbuh dewasa ketika mereka meninggalkan rumah.

Pada saat ini, ketika banyak orang tinggal di apartemen dan kehidupan kota, teras tembikar tua menjadi pemandangan langka. Gencarnya serangan makanan cepat saji, nilai makanan tradisional lambat-laun secara bertahap pun memudar. Sekarang orang lebih banyak makan pasta dan saus dibuat di pabrik daripada buatan sendiri oleh ibu mereka. Tapi di rumah masa kecil di pinggiran kota, cinta ibu dan jang masih terus hidup dan matang. Teras tembikar pada malam musim dingin sunyi tertutup salju, dengan beberapa alasan, mengingatkan akan citra ibu yang menunggu tanpa henti anak-anaknya yang telah pergi ke kota.

CITRA KOREA

Kim Hwa-young Kritikus Sastra; Anggota Akademi Kesenian Nasional

Page 3: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

FITUR KHUSUS

Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul

FITUR KHUSUS 1

04 Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae pada “Jumat Membara” Kim Kyung-ju

FITUR KHUSUS 2

08 Wadah Peleburan Budaya Tempat Gejolak Energi Muda Kang Young-min

FITUR KHUSUS 3

12 Sebuah Perjalanan Akustik di Seputar Hongdae Seong Gi-wan

FITUR KHUSUS 4

16 Tanda bagi Diri Mereka Jung Ji-yeon

FOKUS

22 Terdaftar sebagai Warisan Dunia UNESCO, Cerita dari Namhansanseong Lee Kwang-pyo

TINJAUAN SENI

28 Selamat Pagi Mr. Orwell, 1984 - 2014 Lim San

WAWANCARA

34 Noh Sun-tag: Melalui Foto Ia Bertanya dan Menemukan Jawabannya

Song Su-jong

JATUH CINTA PADA KOREA

40 Simon Morley, Seorang Inggris yang Berlatar Belakang Negeri Korea Ben Jackson

DI ATAS JALAN

44 Suncheon: Hidup di Kluster Desa Pesisir

Gwak Jae-gu

BUKU & LEBIH

52 “Setidaknya Kita Bisa Meminta Maaf” Penglihatan Tanpa Saringan

terhadap Hidup dan Hubungan Manusia

“Fajar Korea Modern” Sekilas Pandangan Menarik tentang

Sejarah Korea Modern

“Ensiklopedia Kepercayaan Rakyat Korea”

Walaupun Memiliki Halangan Kecil,

Sebuah Sumber Berguna

tentang Budaya Rakyat Korea

Charles La Shure

HIBURAN

54 Acara Televisi Penuh Konflik yang Melibatkan Menantu

Yoo Sun-ju

04

4428

ESAI

56 Tak Berani Saya Membayangkan Seoul Tanpa Subwaynya Suray Agung Nugroho

GAYA HIDUP

58 Negeri Ayam Goreng Park Chan-il

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

62 Realitas Menghadirkan Fantasi, Fantasi Melahirkan Realitas

Chang Du-yeong

Metamorfosismu Kim E-whan

Page 4: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

4 KOREANA Musim Dingin 2014

Pada malam hari di akhir pekan, taman bermain dekat gerbang utama Universitas Hongik selalu dipenuhi oleh banyak orang. Sebuah taman bermain untuk anak-anak pada siang hari, ketika malam tiba berubah menjadi tempat pesta budaya yang meriah bagi para kawula muda.

FITUR KHUSUS 1 Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul

Hongdae adalah hot spot di Seoul di mana orang-orang muda berkumpul untuk menikmati seni dan budaya. Di sini, orang dapat melihat dan menyaksikan vitalitas budaya kawula muda Korea dari dekat. Sama seperti Khaosan Road di Bangkok, Sudder Street di Kalkuta atau Akihabara di Tokyo, Hongdae telah menjadi ekosistem budaya yang besar.

Kim Kyung-ju Penyair dan Dramawan / Cho Ji-young Fotografer

Page 5: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 5

Page 6: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

6 KOREANA Musim Dingin 2014

Jika Anda sedang bertanya-tanya apa yang harus Anda lakukan untuk mengalami “budaya Hong-dae”, saya ingin menyarankan rute yang dimulai di

Exit 9 dari stasiun subway Universitas Hongik di sepan-jang jalur kereta bawah tanah line 2, dan melewati dae-rah dijuluki “Jalan Yang Ingin Ditapaki”, dan kemudian bermain di depan universitas, dan kemudian berjalan di Jalan Klub, mengakhiri perjalanan di daerah café di Sangsu-dong. Ini adalah rute terbaik bagi siapa saja yang ingin menikmati kehidupan malam di Hongdae, mulai dari pinggiran sampai ke daerah pusatnya.

Terutama jika hari tersebut adalah “Bulgeum” (atau “Jumat Membara”, ekspresi yang mrip dengan TGIF), Anda akan menemukan daerah ini terang benderang dengan cahaya dari lampu-lampu neon dari berbagai klub dan toko-toko, ditambah dengan cahaya dari smart-phone milik orang-orang yang berseliweran. Bahkan di musim dingin, bila berada di tempat yang penuh de-ngan tarian, minuman, dan musik ini, Anda akan segera melupakan dinginnya cuaca yang membeku.

Begitu keluar lewat exit 9, Anda akan merasakan vitalitas orang-orang muda berkumpul di plaza kecil dekat stasiun. Sebagian besar dari mereka, dengan smartphone di tangan mereka, sedang menunggu untuk teman-teman mereka tiba. Di lantai plaza tersebar ‘sampah’ selebaran iklan berbagai bar atau klub malam serta pemberitahuan pameran atau pertunjukan oleh seniman-seniman miskin. Pemandangan di mana ko-mersial dan seni bercampur aduk di satu lantai, menun-jukkan dengan jelas dua wajah kontras yang hanya dimi-liki oleh Hongdae.

Jalanannya Sendiri Adalah Karya Seni

Setelah melewati lampu-lampu terang di sekitar exit 9, Anda akan berjumpa dengan “Jalan Yang Ingin Dita-paki” yang memiliki pemandangan yang hanya bisa ditemukan di Hongdae. “Jalan Yang Ingin Ditapaki” ini mengarah ke taman bermain di seberang Universitas Hongik yang dapat dinikmati dengan berjalan santai dan memakan waktu paling lama 30 menit. Di sepanjang jalan banyak tempat perbelanjaan dan stand makanan. Anda dapat mengisi perut dengan berbagai jajanan kaki lima yang mengundang selera yang bertebaran di sana sini atau menyaksikan lokakarya seniman atau toko-toko kecil dengan display unik.

Satu hal yang tidak boleh Anda lewatkan sewaktu berjalan di “Jalan Yang Ingin Ditapaki” adalah pertun-jukan seni yang berlangsung di sana sini di sepan-jang jalan ke taman bermain di seberang universitas. Bisa jadi Anda akan menyesal jika Anda hanya berlalu sementara orang-orang bersorak dan bertepuk tangan menyaksikan suatu atraksi yang sedang berlangsung. Di jalan dan taman bermain, Anda dapat melihat musisi

underground menyanyikan lagu-lagu dari album terba-ru mereka, atau sekelompok gadis mementaskan kos-tum, atau kadang-kadang penyair, rapper, atau seniman jalanan membacakan Deklarasi Kebebasan Seni. Pada hari Jumat malam, tempat bermain berfungsi sebagai tempat yang sempurna untuk mengamen yang dilaku-kan oleh musisi indie serta segala jenis pertunjukan ge-rilya. Pada sore hari di akhir pekan, pasar loak terbuka di sini dengan seniman menjual karya-karya mereka. Ini adalah tempat yang tidak boleh dilewatkan.

Setelah Anda telah melakukan ‘pemanasan’ dengan pertunjukan di jalan, saatnya bagi Anda untuk melang-kah ke jantung “budaya Hongdae”, yaitu menikmati klub. Jika Anda seorang pecinta tari dan musik, Anda harus membenamkan diri dalam energi vital yang dihasilkan oleh klub-klub ini. Dengan demikian barulah Anda dapat mengatakan bahwa Anda sudah pernah ke Hongdae.

Pada “Bul-geum” (dalam arti “Jumat Membara”), Hongdae ‘diserang’ oleh orang-orang yang mabuk oleh alkohol dan kegembiraan. Banyak orang asing juga datang ke sini untuk menikmati minuman, tari-an, dan semangat menggelora pada Jumat malam. Di depan beberapa klub populer dengan musik baru yang menarik, antrean panjang orang-orang sudah berje-jer sejak sore. Di sini, menunggu dalam antrean selama berjam-jam untuk masuk ke klub bukanlah pengalaman yang mengherankan.

Tempat Seniman dan Publik Berbaur BersamaJika Anda ingin menikmati suasana yang sedikit berbe-

da dengan suasana klub di Hongdae pada Jumat malam, ada cara lain yakni dengan berjalan-jalan keluar dari jalan klub ke Sangsu-dong. Ini adalah sebuah lingkungan trendi, salah satu tempat baru yang terbentuk oleh perlu-asan daerah Hongdae asli. Ada sekelompok café mungil nyaman yang dikonversi dari pabrik-pabrik kecil, serta lokakarya berbagai seniman. Dengan café sebagai tem-pat untuk pameran kecil, tempat penayangan film-film independen, tempat pembacaan hasil karya oleh penyair dan penulis jalanan, atau konser dari beberapa band indie, daerah Sangsu-dong diisi dengan suasana fiksi pulp yang tidak bisa ditemukan di jalan-jalan klub .

Jika Anda menemukan seniman dan menunjukkan rasa ingin tahu Anda tentang pekerjaan dan semangat mereka, Anda mungkin dapat berteman dengan mereka bahkan dalam satu malam. Mereka mungkin menawar-kan buatan vinchaud dan cracker mereka, dan Anda bisa langsung diterima dalam komunitas mereka dan meng-habiskan malam yang indah dengan mereka berbicara tentang berbagai cerita menarik. Sekarang Hongdae bukan hanya habitat bagi seniman tetapi telah menjadi sebuah arena di mana para seniman dan publik berbaur bersama.

1. Para seniman jalanan, band dan pertunjukan seniman dari semua jenis seni menyajikan penampilan mereka di pelbagai lokasi di sepanjang “jalan yang menyenangkan untuk berjalan” yang mengarah ke taman bermain di seberang Universitas Hongik.

2. Di Hongdae, antrean panjang orang yang berjam-jam menunggu untuk masuk ke klub yang paling populer sudah menjadi hal biasa.

3. Noraebang <Su> memiliki jendela tinggi dari lantai ke langit-langit yang menghadap ke jalan, dapat menghibur orang yang lewat melalui kejenakaan penari yang lucu dan bernyanyi di ruang dalam.

Page 7: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 7

Pada “Bul-geum” (dalam arti “Jumat Membara”), Hongdae ‘diserang’ oleh orang-orang yang mabuk oleh alkohol dan kegembiraan. Banyak orang asing juga datang ke sini untuk menikmati minuman, tarian, dan semangat menggelora pada Jum’at malam. Di depan beberapa klub populer dengan musik baru yang menarik, antrean panjang orang-orang sudah berjejer sejak sore. Di sini, menunggu dalam antrean selama berjam-jam untuk masuk ke klub bukanlah pengalaman yang mengherankan.

1

32

Page 8: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

FITUR KHUSUS 2Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul

Daerah yang dikenal sebagai Hongdae (wilayah di depan Universitas Hongik) pernah menjadi bagian dari distrik administratif Seogyeo-dong. Sampai tahun 1980-an daerah itu tidak lebih dari sederetan toko peralatan seni di sepanjang jalan yang disebut “Jalan Picasso”, di gerbang depan universitas. Pada pertengahan 90-an daerah ini mulai diperluas, dan saat ini mencakup tidak hanya Seogyo-dong tetapi juga bagian dari Hapjeong-dong, Donggyo-dong, Yeonnam-dong dan Mangwon-dong. Berbeda dengan pusat budaya lainnya di Seoul seperti Insa-dong, Garosugil, dan Daehangno, yang pudar seiring berlalunya waktu, daerah Hongdae terus tumbuh selama 20 tahun terakhir. Bagaimana Hongdae bisa bertahan penuh gairah dan energi budaya?

Kang Young-minSeniman Pop

Page 9: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 9

1. IdentitasdaerahHongdaetampaksebagaitempatsenidanberjiwabebasyangberakarpadabudayamahasiswaseniUniversitasHongik.

2. DaerahHongdaemulaiterkenalpada1990-an,ketikasenimanmudamelakukanproyekberbasiseksperimentaldikafe-kafedanklub.Sebuahcontohutamaadalahalbum“Dosirakteukgongdae”(yangberarti“gugustugaskotakmakansiang”),yangdiciptakansebagaikaryabersamabandyangsangatindividualsepertiSanullimdanUhuhbooBand.

3. Budayastudioyangunikdariparasenimanmenyebarmenjadimainstreamyangmempengaruhiatmosferlokakaryaterbatas,galeridankafe.

Adalah para mahasiswa seni Universitas Hongik yang memainkan peran penting dalam mengubah daerah Hongdae menjadi seperti sekarang ini:

pusat seni dan budaya tidak hanya di Seoul tapi seluruh negeri. Setelah berdirinya Kampus Seni di Universitas Hongik tahun 1961, penampilan mahasiswa seni yang mengenakan pakaian kerja kotor muncul untuk men-jadi lambang suasana artistik khusus Hongdae. Ketika lulus, para siswa ini tidak tertarik untuk mendapatkan pekerjaan kantoran. Mereka tidak meninggalkan area universitas, tetapi tinggal dan membuka studio sendiri di sekitarnya. Saat itu daerah tersebut didominasi oleh rumah masyarakat biasa. Untuk harga yang rendah, seniman miskin yang tak terhitung jumlahnya menyewa ruang di garasi atau ruang bawah tanah kamar rumah-rumah ini dan mengubahnya menjadi studio. Karakter budaya studio Hongdae dibentuk ketika para seniman berkumpul di lingkungan sekitar untuk minum-minum dan berbincang serta merencanakan upaya kebudayaan baru. Kemudian mereka membuka kafe dan klub, lalu dari sinilah Hongdae mulai mendapatkan reputasi seba-gai tempat yang menyenangkan untuk bepergian.

Kafe dan Klub sebagai Inkubator KebudayaanKarakter unik daerah Hongdae mulai terwujud di

tahun 1980-an hingga awal 1990-an. Sekitar tahun 1988, ketika Olimpiade Seoul diselenggarakan dan orang-orang bebas berwisata ke luar negeri, daerah Apgu-

jeong yang kaya di bagian selatan Seoul menjadi surga konsumen di bawah pengaruh “Suku Jeruk,” istilah yang mengacu kepada siswa berkecukupan yang belajar di luar negeri. Di sisi lain kota, Hongdae menjadi tempat para seniman muda yang bersenjatakan kepekaan baru, yang diciptakan oleh budaya permainan eksperimental dan alternatif mereka. Contohnya adalah Pameran Seni Jalanan yang pertama diadakan pada Oktober 1993. Di-selenggarakan oleh asosiasi siswa dari Kampus Seni Universitas Hongik, yang direncanakan sebagai perla-wanan terhadap hedonisme dari Suku Jeruk yang mer-ambah di daerah tersebut.

Budaya Hongdae mulai lepas landas ketika para seni-man membuka tempat baru yang kreatif seperti Elec-tronic Café, Oloolo, Baljeonso (yang berarti “pembangkit listrik”), dan Gompangi (yang berarti “cetakan”). Ba-yangan akan kerumunan muda yang bercita rasa seni, membuat mereka menyelenggarakan pameran yang provokatif, progresif, dan beranggaran rendah, seperti konser dan pertunjukan lainnya. Dapat dibilang bahwa gambaran wajah Hongdae dan desain estetika asli yang paling dekat adalah daerah yang muncul di masa kini.

Satu tempat yang harus disebutkan adalah Electronic Café, dibuka pada tahun 1988 oleh desainer grafis Ahn Sang-soo dan pematung Gum Nu-ri. Waktu itu kon-sep jaringan komputer masih sangat baru, dan tempat ini menjadi kafe internet pertama di Korea. Inilah salah satu percepatan bagi lahirnya budaya Hongdae dan titik

23

1

© L

ivin

g &

Art

Cre

ativ

e C

ente

r

Page 10: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

10 KOREANA Musim Dingin 2014

awal untuk klub dengan komunikasi komputer pribadi di Korea. Proyek Seni Komunikasi yang diadakan pada September 1990 yang menghubungkan Seoul dan Los Angeles adalah mungkin salah satu proyek pertama di dunia untuk menunjukkan konsep jejaring komputer untuk khalayak luas. Dalam percakapan internet saat itu, Ahn Sang-soo menyebutkan perihal budaya kreatif dan berpikiran terbuka dari Hongdae.

Pergi Melawan Aliran UtamaDengan perubahan politik yang mengikuti gerakan

demokratisasi Juni 1987 (yang mengakibatkan pemili-han presiden langsung) dan peresmian pemerintah sipil pada 1990-an, budaya Hongdae benar-benar datang dengan sendirinya. Saat itu, Aliran Utama yang mem-bentuk kebudayaan di daerah ini bergeser dari seni menjadi musik. Berbeda dengan musik kebanyakan yang didominasi lagu-lagu pop, baik dari Korea dan luar negeri, klub dan kafe tersebut menawarkan sesua-tu yang lain seperti rock alternatif, punk, reggae, dan musik elektronik yang mulai muncul di daerah terse-but. Anak-anak muda berusia 20-an, banyak yang lebih kosmopolitan daripada generasi sebelum mereka dibe-sarkan menjadi dewasa yang terkena budaya asing, mulai berkumpul di Hongdae. Bisa dikatakan Hong-dae menarik siapa saja yang tidak puas dengan budaya dewasa yang berbentuk serupa.

Jika budaya anak muda di tahun 1980-an ditan-dai dengan perlawanan terhadap kediktatoran militer, maka hal itu digantikan pada 1990-an oleh gerakan anti-budaya. Kaum muda, dengan rambut berduri yang diwarnai merah atau kuning dan mengenakan ran-tai di sekitar pinggang, berdiri untuk berteriak “Diam!” saat mereka menggalang pertahanan terhadap budaya Aliran Utama dan kemapanan. Klub Hongdae, tem-pat berkembang biak seni perintis dan eksperimental, mencengkeram sebagai budaya kaum muda Korea. Selain itu, di klub-klub Hongdae batas antara produs-en dan konsumen menjadi tipis. Dalam banyak kasus, pela-nggan kemarin dapat menjadi artis hari ini. Ber-gaul dengan orang lain yang berpikir dan merasakan hal yang sama, para seniman muda dan musisi ini men-coba untuk mengekspresikan individualitas mereka serta dalam berproses menciptakan sesuatu yang baru. Dari mendengarkan musik di klub-klub, mereka pindah untuk membentuk kelompok punk sendiri, band alter-natif lainnya, atau memulai debut di kancah musik seba-gai DJ. Saya sendiri biasanya menampilkan karya seni video saat melakukan beberapa “kegiatan VJ” di Café Underground. Pada saat itu budaya Hongdae ditandai dengan adanya perbedaan antara produsen dan kon-sumen. Hongdae adalah wadah peleburan kebudayaan, di mana semua orang berbaur bersama-sama, mem-

pengaruhi, dan bersinggungan satu sama lain. Keti-ka sebuah tempat baru yang menarik dibuka, proyek budaya baru selalu direncanakan dengan saksama.

Dari Subkultur menuju Budaya TerbukaMenuju milenium baru, kini budaya Hongdae telah

diterima oleh masyarakat umum. Sehubungan de-ngan pernyataan ini, contohnya adalah pasar loak yang dibuka di taman bermain di depan Universitas Hongik pada 2002, tahun putaran final Piala Dunia yang diada-kan di Korea dan Jepang. Sebuah pasar loak berba-sis seni menjadi tempat di mana tidak hanya seniman, tetapi setiap orang dapat menjual karya seni dan kera-jinan yang telah mereka buat. Ini bukan sebuah tempat untuk membeli dan menjual barang tetapi suatu “pasar budaya” yang menghilangkan hambatan antara seni dan kehidupan sehari-hari, antara seniman dan masyarakat. Kegiatan ini dipuji karena memberi alternatif bagi cara mapan untuk memproduksi dan mengonsumsi budaya. Belakangan ini, salah satu perkembangan yang paling penting adalah perpanjangan dari budaya Hongdae ke gaya hidup di siang hari, tidak terbatas pada kehidup-an malam. Dengan demikian khalayak luas pun mulai membuka jalan mereka ke Hongdae.

Sejak pertengahan 2000-an, Hongdae telah menjadi kawasan yang sibuk di siang hari. Hal ini dikaitkan de-ngan munculnya jalan-jalan yang dibarisi dengan kafe yang melayani kerumunan orang makan siang. Sama seperti orang-orang yang terbiasa dengan seni rintisan dari waktu ke waktu, adalah benar bahwa budaya Hong-dae telah menjadi lebih komersial yang berfokus tidak hanya pada seni dan musik tetapi juga makanan, gaya berpakaian, dan belanja. Ketika penulis membuat blog postingan tentang restoran terbaru dan “tempat yang asyik” banyak orang yang mengikuti. Namun hal tersebut tidak mempan untuk menggempur kekuatan yang bera-kar dari budaya Hongdae hanya karena ko-mersialisme dan penekanan pada kegiatan makan dan minum. Hong-dae hanya akan mengalami beberapa perubahan. Art-inya, budaya daerah ini bergeser dari akar budaya ping-giran dan subkultur menuju sebuah budaya yang lebih terbuka dan aliran utama.

Saat itu budaya Hongdae ditandai dengan adanya perbe-daan antara produsen dan konsumen. Hongdae adalah tempat peleburan budaya, di mana semua orang berbaur, bersinggungan dan mempengaruhi satu sama lain. Ketika sebuah tempat baru yang menarik dibuka, sebuah proyek budaya baru direncanakan dengan saksama.

Page 11: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 11

1, 3. Pameran Seni Jalanan pertama kali diadakan pada bulan Oktober 1993. Kegiatan yang diselenggarakan oleh asosiasi mahasiswa dari Fakultas Seni Universitas Hongik, telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun dan berkaitan dengan upaya membawa seni dari batas-batas galeri kepada publik.

2.Meskipun banyak yang prihatin tentang peningkatan komersialisasi daerah Hongdae, produksi dan konsumsi budaya alternatif terus berlanjut secara aktif hingga kini.

3

1 2

© S

tree

t Art

Exh

ibiti

on

© Street Art Exhibition © KT&G Sangsang Madang

Page 12: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

12 KOREANA Winter 2014

Klub Pertunjukan Seni Langsung di Hongdae adalah tempat yang baik untuk menikmati pertunjukan asli indie oleh musisi yang menciptakan musik mereka sendiri.

Secara visual, Hongdae tidak banyak berbeda dari “wilayah budaya”

lainnya di Seoul. Daerah ini memiliki banyak bangunan yang menarik

namun demikian juga lingkungan di bagian lain perkotaan. Lalu apa daya

tarik yang paling utama dari tempat ini? Hongdae merupakan “wilayah

musik”. Adalah musik yang membuatnya sangat berbeda dari tempat lain.

Saat berjalan-jalan di sekitar Hongdae, tutup mata dan buka telinga Anda.

Ini cara terbaik untuk merasakan dan menikmati jalanan di Hongdae.

Sekarang, mari kita menyusuri perjalanan akustik di sekitar Hongdae.

FITUR KHUSUS 3

Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul

Seong Gi-wan

Penyair dan Musisi Indie

Cho Ji-young,

Lim Hark-hyoun Fotografer

Page 13: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 13

Setelah Jalur 2 Kereta Bawah Tanah Seoul dibuka pada tahun 1984, “distrik universitas” di sekitar Sinchon mengalami peru-bahan budaya yang besar. Sebuah pusat perbelanjaan diba-

ngun di sana sehingga jalanan menuju Universitas Wanita Ewha terisi oleh semua jenis toko pakaian. Karena tidak banyak lagi ruang yang tersisa di Sinchon, maka wilayah komersil pun tersebar menuju Hongdae. Walaupun daerah sekitar Universitas Sogang lebih dekat dengan pusat Sinchon, di mana Universitas Yonsei dan Universitas Wanita Ewha berdiri, Hongdae terpilih sebagai kandidat untuk dae-rah pengembangan komersial, terutama karena dekat dengan sta-siun kereta bawah tanah yang menyediakan akses mudah. Dengan demikian, Hongdae dapat mengakomodasi anak muda termasuk mahasiswa, menjaga basis budaya independen yang berkembang dari kafe rock yang berasal dari Sinchon pada pertengahan tahun 1980-an.

Dari Kafe Rock menuju Panggung Independen

Drug (kini DGDB), sebuah klub punk yang berdiri tahun 1994 di

depan Universitas Hongik, menjadi penanda saat panggung musik independen dalam proses pengembangannya. Pada pertengahan tahun 1990-an, di klub itu tidak ada pemisahan antara musisi de-ngan penonton. Musisi yang berada di atas panggung akan turun ber-gabung dengan penonton, dan mereka yang menari di lantai akan melompat ke atas panggung dan tampil. Bahkan ada anak-anak muda yang memutuskan untuk menjadi musisi setelah menonton pertunju-kan di sini. Dengan cara itulah kelompok-kelompok punk cadas ter-bentuk di sekitar klub. Mereka terkesan brutal, namun tidak berba-haya, dan kadang-kadang saja melakukan keisengan kecil. Beberapa dari mereka, yang kaya, menaiki papan luncur ketika hal itu masih baru di negara ini. Secara bertahap, Drug menjadi tempat berkumpul bagi musisi muda dengan “semangat mandiri”, yang muncul di tengah ledakan musik cadas alternatif pada awal tahun 1990-an. Dari tempat inilah lahir kelompok musik yang menonjol seperti Crying Nut dan No Brain. Klub ini pun menjadi kiblat musik punk cadas Korea.

Olimpiade Seoul 1988 dan Piala Dunia FIFA 2002 menjadi titik balik dalam sejarah klub-klub di Hongdae. Demokrasi kebudayaan dan

Page 14: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

14 KOREANA Musim Dingin 2014

Seniman jalanan dan dugem di sisi lain, merupakan variasi acara budaya yang terjadi di seluruh daerah Hongdae yang menegaskan bahwa ia merupakan lanskap sebagai tempat spirit mengalir secara bebas.

Page 15: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 15

keterbukaan yang bersemi setelah olimpiade berakibat pada adopsi keterbukaan pikiran dalam beragam eksperimen, yang mencer-minkan inti dari budaya Hongdae. Sebagai contoh yang terdepan dalam seni eksperimental populer adalah Electronic Cafe, yang ber-operasi selama tiga tahun sejak dibuka pada Maret 1988. Klub lain yang mengikuti langkahnya adalah Baljeonso (Pembangkit Listrik), Hwanggeum Tugu (Helm Emas), dan juga Gompangi (Jamur) yang dipimpin Kim Hyeong-tae dari band Hwang Sin Hye. Budaya klub di Hongdae ini telah menumbuhkan keunikan berdasarkan semangat muda dalam klub musik punk dan inisiatif dari beberapa seniman ter-depan yang senang bereksperimen.

Olimpiade Seoul 1988, Piala Dunia FIFA 2002, dan Penyebaran Budaya Klub

Piala Dunia FIFA 2002 membantu mempercepat budaya klub Hongdae yang dulu hanya memiliki kerumunan kecil penggemar muda hingga kini menjadi populer. Selama masa itu, orang-orang yang berkumpul di Seoul Plaza untuk bersorak-sorai menemukan wadah kegembiraan mereka di klub Hongdae, bagaikan batu dan sumbu mereka menciptakan api yang besar. “Hari klub” yang telah ada di Hongdae bahkan sebelum Piala Dunia, menyediakan tempat pertemuan bagi generasi muda yang ingin berbagi kebersamaan di antara mereka. Klub DJ merebak dalam periode ini dan musik pesta tekno pun bergema menyusuri daerah ini. Klub-klub itu kini menja-mur di sekitar Stasiun Hanjeong melalui “Lahan Parkir Jalan” dan Pembangkit Listrik Danginri. Penyebaran klub-klub ini menampilkan peta kawasan hiburan yang menggabungkan Hongdae dan daerah sekitar termasuk Hapjeong-dong, Mangwon-dong, dan Yeonnam-dong, menjadi satu wilayah kebudayaan.

Namun bukan hanya klub yang membuat Hongdae menjadi “wilayah musik”, tetapi semua jalan tempat pertunjukan musik yang berjalan langsung. Mengamen atau pertunjukan jalanan, bukan peristiwa biasa di daerah ini. Hongdae adalah surga bagi pengamen dan panggung utamanya berada di dekat universitas. Ini adalah tem-pat di mana musisi independen bertemu penonton mereka, di mana mereka keluar untuk berjemur di bawah sinar matahari sambil ber-main gitar sesuka hati. Dengan suara ceria, menarik perhatian orang yang lewat dengan penampilan musik yang dimainkan langsung dalam jarak dekat, pertunjukan yang memanjakan telinga orang-orang yang berkumpul di taman bermain. Masihkah ada musisi inde-penden, termasuk saya, yang belum pernah tampil di taman bermain

itu? Terus terang saja, apa ada musisi independen yang tidak per-nah tidur di taman itu setelah berjam-jam bermain gitar dan minum makgeolli (anggur beras mentah) kemudian terbangun merasa-kan embun pagi di dahi mereka? Meskipun taman bermain itu, ter-masuk pusat bagi manula, tidak berbeda dari tempat lainnya dari segi fungsi, musiklah yang membuatnya sangat berbeda dari tempat lain. Siapa pun yang melewati taman bermain itu akan digiring untuk mendengarkan karya musisi muda yang mengamen di sini, yang berharap dengan penuh kesungguhan agar impian mereka menjadi kenyataan.

Belakangan ini, Hongdae beralih dari budaya pinggiran menja-di budaya pop yang lebih luas. Saat ini berdiri bermacam jenis klub seperti klub live music yang fokus pada penampilan band di atas panggung, klub tekno yang menghadirkan rave party di mana para pengunjung menari mengikuti susunan musik DJ, klub hip-hop, dan musik Korea yang menawarkan campuran musik disko tahun 1990-an, dan selanjutnya. Walaupun wilayah dalam Hongdae telah menja-di kawasan berstandar komersial, yang disebut “Pinggiran Hongdae” tetap menjadi daerah dengan beragam suara, yang menampilkan bahwa kedalaman budaya daerah tersebut telah meningkat.

Sebuah Perjalanan Akustik yang Berlanjut Hingga Dini HariTerlepas dari itu semua, musik di Hongdae baru terlihat aslinya

saat malam hari menjelang ketika keributan siang hari perlahan hilang. Berjalan-jalan di sekitar lingkungan mengikuti bermacam-macam suara, Anda dapat lupa waktu dan tiba-tiba melihat fajar telah merekah. Di akhir pekan, Anda dapat menemukan banyak anak muda menunggu bus pertama yang berangkat pukul 5:30 pagi. Ini merupakan sedikit pemandangan yang terlihat ketika semua orang terburu-buru keluar dari klub, mabuk, dan lelah, namun belum lepas dari mantra suara-suara yang mengalun di gendang telinga mereka. Suara tersebut bukanlah sebuah entitas melainkan geta-ran yang merambat melalui udara. Namun atmosfir sebuah tempat tercermin dari suara yang dihasilkannya. Dan berbagi suara ialah berbagi udara, tempat seluruh nafas berkumpul bersama. Mung-kin tidak ada di tempat lain di Korea selain Hongdae yang membuat Anda mengalami sebuah momen kebersamaan untuk merasakan getarannya. Walaupun getaran tersebut dapat menghilang, gema-nya akan tinggal untuk menggoda pendengaran Anda. Ingatan akan momen yang kuat itu akan membuat Anda segera mengulangi zia-rah akustik lagi dan lagi.

Hongdae ialah surga bagi para pengamen dengan panggung utama berupa taman bermain di seberang Universitas Hongik. Inilah tempat di mana musisi independen bertemu dengan para penontonnya. Sebuah tempat di mana mereka keluar di hari yang cerah untuk berjemur di bawah matahari sambil bermain gitar sesuka hati. Dengan suara ceria menarik perhatian orang yang lewat, musik yang berkumandang dalam jarak dekat, dan penampilan pengamen yang memikat, memanjakan telinga penonton yang berkumpul di taman bermain itu.

Page 16: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

16 KOREANA Musim Dingin 2014

Untuk Kelompok Burung Hantu yang Menyukai Minuman dan Kesenangan

Tidaklah berlebihan rasanya kalau Hongdae disebut sebagai surganya dugem. Klub-klub berada dalam jarak berdekatan dan lebih mudah diakses daripada klub-klub mewah yang terdapat di Apgujeong-dong atau Cheongdam-dong. Yah… bisa dikatakan lebih muda dan cool.

Terkenalnya klub di Hongdae ini adalah karena “Hari Klub” yang telah mengambil andil besar sejak tahun 2001.

“Hari Klub” adalah satu acara yang diadakan setiap bulan pada hari Jumat terakhir, yang memberikan kesempatan bagi pembeli tiket masuk ke satu klub untuk dapat mengunjungi hingga 20 klub tanpa membayar biaya masuk dalam satu malam. Budaya unik yang hanya ada di Hongdae ini sangat populer bukan hanya untuk warga dalam negeri, tetapi juga untuk warga asing. Pertandingan Piala Dunia 2002 yang memunculkan ‘budaya plaza’ (dalam arti berkumpul beramai-ramai di lapangan terbuka) membuat budaya “Hari Klub”

menjadi lebih membludak. Tapi pada tahun 2011, setelah berlangsung selama 10 tahun, budaya “Hari Klub” ini akhirnya secara resmi berakhir ketika klub besar keberatan dengan prinsip membagi keuntungan dari penjualan tiket masuk secara merata di antara masing-masing yang berpartisipasi.

Namun demikian, daerah Hongdae masih tetap dikenal sebagai “Jalanan Klub”. Di antara lebih dari dua puluh klub di daerah ini, yang paling ramai adalah adalah nb2 dan M2. Sebagai salah satu klub yang tertua dan terbesar dari klub-klub di Hongdae, klub

Orang-orang berjalan-jalan di Hongdae untuk alasan-alasan mereka sendiri. Beberapa datang untuk menikmati malam yang menggelora di salah satu klub, beberapa orang lain datang untuk duduk dan bersantai sambil minum kopi, dan yang lain datang untuk men-cari inspirasi artistik. Apakah perbedaan daerah yang bernama ‘Hongdae’ bagi

mereka masing - masing?

FITUR KHUSUS 4 Berjalan-jalan di Sekitar Hongdae, Hot Spot Budaya Seoul

Jung Ji-yeonEditor, Street H Magazine

Cho Ji-youngFotografer

Page 17: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 17

nb2 adalah klub besar yang memuaskan semua selera mulai dari hip hop 90-an sampai hip hop elektronik ala masa kini, sehingga pada akhir minggu biasanya lantai dansanya penuh sesak dengan pengunjung. Karena dioperasikan oleh YG Entertainment, maka sering juga diselenggarakan acara pentas album karya artis-artisnya. M2 juga telah ada sejak sepuluh tahun yang lalu yang dibuka pada Mei 2004. Klub besar ini dibuat dari investasi bersama dari beberapa klub elektronik. Klub ini memiliki tiga bar dan lantai dansa yang luas. Musisi dan DC

asing sering diundang, membuat klub ini terus menarik pendatang seolah tak ada habisnya.

Selain klub, ada banyak tempat-tempat lain untuk bersenang-senang pada malam hari di Hongdae. Salah satunya yang paling menonjol adalah “Gopchang-Jeongol”. Sebetulnya nama ini adalah untuk menyebut hidangan usus sapi rebus ala Korea. Tetapi yang disebut sebagai “GopchangJeongol” di sini bukanlah sebuah restoran, tetapi adalah sebuah bar musik LP dengan sejarah lebih dari 20 tahun. Bar musik

ini mempunyai lebih dari 5.000 piringan hitam yang meliputi musik pop Korea dari tahun 1950-an hingga 1980-an. Beberapa album yang paling sering dimainkan adalah tahun 1970-an album rock psychedelic oleh Shin Joong-hyun, Kim Choo-ja, Sanullim, dan Songgolmae. Ketenaran GochangJeongol adalah sedemikian rupa sehingga musisi asing yang berkunjung ke Korea seperti MGMT, Beiruit, dan Mogwai selalu mengunjungi bar musik setelah menyelesaikan konser mereka.

Yang terakhir, bagaimana jika Anda

1, 2. Dari lebih 20 klub Hongdae, yang paling ramai adalah nb2 dan M2.

3. Gopchang Jeongol adalah bar musik LP. Bar itu sangat terkenal karena banyak musisi asing yang berkunjung ke Korea seperti MGMT, Beirut, dan Mogwai memilihnya sebagai tempat kunjungan setelah konser mereka.

1

2

3

© n

b2

© M2

Page 18: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

18 KOREANA Musim Dingin 2014

melihat langsung betapa orang Korea suka bernyanyi dengan berkunjung ke Karaoke Su. Tempat karaoke besar yang buka 24 jam ini memiliki sejumlah ruang yang dibatasi dengan kaca di bagian luarnya yang mengarah ke jalan, sehingga siapapun bisa menyaksikan orang-orang bernyanyi dan menari di dalamnya.

Untuk Kelompok Penggemar Café yang Suka Menikmati Kelenggangan dengan Secangkir Kopi

Hongdae, daerah di mana banyak seniman, musisi dan desainer tinggal, sebenarnya di Seoul sendiri merupakan daerah dengan café terbanyak. Daerah yang biasa disebut “Hongdae” merupakan daerah yang agak luas yang meliputi Seogyo-dong, Donggyo-dong, Sangsu-dong, Hapjeong-dong dan Yeonnam-dong dengan sejumlah besar jalan dengan café berjejeran. Memang banyak café franchise seperti Starbucks dan Coffee Bean, tetapi untuk dapat merasakan dengan nyata daerah Hongdae, Anda perlu menikmati kopi di café lokal.

Jika kita membagi daerah Hongdae menjadi timur dan barat dengan gerbang depan Universitas Hongik sebagai titik pemisah, maka Café Street yang terkenal

di sebelah barat adalah di sekitar Teater Sanwoollim. Café Sukara yang berlokasi di lantai dasar dari teater Sanwoolim - di mana untuk pertama kalinya dipentaskan “Waiting for Godot” di Korea, yang memiliki sejarah mendalam - adalah ‘café organik’ pertama di daerah Hongdae. Nama café ini berasal dari pengucapan Jepang dari kata Korea untuk sendok, “sutgarak.” Dimiliki dan dioperasikan oleh Kim Su-hyang, generasi kedua Korea Jepang, café ini dibuka ketika ia menyadari nilai pertanian ramah lingungan dan perdagangan yang adil saat ia melakukan perjalanan antara Seoul dan Jepang. Semua makanan dibuat dengan produk yang dibeli dari koperasi petani atau pertanian organik perkotaan, dan kadang- kadang di café ini juga diadakan mikrobiotik tastings. Kim juga merupakan salah satu dari co-operator dari restoran bersuasana pasar perkotaan Marche @ (www.marcheat.net), yang terdapat di daerah Hyehwa-dong. Jalan di samping Teater Sanwoollim adalah lokasi syuting untuk drama TV yang hit pada tahun 2007 berjudul “Coffee Prince 1”. Sebuah rumah tua dengan halaman direnovasi menjadi satu set café yang setelah selesainya drama tersebut akhirnya dioperasikan sebagai kedai kopi sungguhan.

Pada dindingnya terdapat bingkai-bingkai foto artis pemeran drama tersebut yang mengundang banyak wisatawan dari Jepang dan Cina untuk datang mengambil foto kenang-kenangan.

Pindah ke sisi timur, di jalan menuju pembangkit listrik Dangin-ri dari Stasiun Subway Sangsu terdapat Café Yiri, di mana berbagai acara seperti pembacaan karya sastra oleh penulisnya, temu-wicara dengan novelis, penyair, musisi, kritikus dan berbagai seniman lainnya diadakan. Karena dimiliki dan dioperasikan oleh seorang musisi, café ini juga menjadi tempat berkumpulnya musisi, novelis, penyair, kritikus dan seniman lainnya. Pada larut malam terkadang mereka menggelar pertunjukan dadakan. Tidak jauh dari café ini, sekitar lima menit berjalan kaki, terdapat dua bangunan café berdampingan yang menarik. Café Anthracite adalah dari bangunan pabrik sepatu yang direnovasi. Ini adalah gaya bangunan industri tinggi dengan suasana menarik sehingga menjadi lokasi syuting untuk film “Cyrano Agency”. Di sebelah kanannya adalah sebuah bangunan berwarna putih, yakni Café Mudaeruk. Nama yang diambil dari sebuah benua legendaris yang tidak lagi ada ini berbentuk bangunan tiga lantai

1. Café Sukara, kafe organik, menyajikan hidangan sehat yang dibuat dengan bahan-bahan yang dipilih dengan cermat, untuk kepuasan besar pelanggannya.

2. Yiri Café, yang dioperasikan oleh seorang musisi, sering kali menampilkan seni dan acara budaya dan tempat yang sangat populer bagi seniman, novelis, penyair, musisi dan kritikus.

1

© Sukara

Page 19: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 19

2

2

Page 20: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

20 KOREANA Musim Dingin 2014

yang merupakan ruang untuk berbagai budaya. Di lantai bawah tanah sering digelar pertunjukan band indie pada akhir pekan, dan di lantai dasar terdapat café dan ruang untuk berbagai acara budaya seperti penerbitan bebas atau pameran. Lantai kedua berisi ruang kerja individu dan di bagian atapya terdapat kebun sayur yang dikelola oleh sekelompok wanita lajang yang tinggal di daerah itu.

Untuk Penggemar SeniYang Ingin Mencari Inspirasi

Daerah Hongdae adalah daerah penerbitan terbesar di Seoul. Di sini terdapat infrastruktur publikasi yang kuat dengan kantor penerbitan, kantor majalah, studio desain, tempat percetakan, dan sebagainya. Dari semuanya, yang paling signifikan adalah adanya berbagai toko buku alternatif. Di dekat Teater

Sanwoollim ada toko ‘Your Mind’, yang menjual karya seni dan berbagai bahan terbitan dari dalam dan luar negeri. Tempat ini cukup berkesan dengan dekorasi berupa rak buku besar dari kayu yang membentuk kamar atap di mana kucing-kucing menyambut para tamu. Pada setiap tahun ‘Your Mind’ juga menyelenggarakan festival dan pasar bernama ‘Unlimited Edition’ di mana para peserta dapat dengan bebas menjual karya yang dipublikasikan, alat tulis, album musik dan barang-barang lainnya.

Salah satu landmark utama di Hongdae adalah KT&G SangsangMadang yang terletak dekat tempat parkir umum di jantung daerah Hongdae. Pada akhir pekan, Anda dapat melihat banyak orang di sini menunggu teman-teman mereka. Kaca melengkung dan cor semen digunakan untuk membuat bangunan yang

membentuk seekor kupu-kupu yang seolah muncul dari kepompongnya, siap untuk terbang. Fungsinya adalah sebagai ruang serbaguna, di lantai basement terdapat bioskop art cinema dan ruang pementasan band indie, di lantai dasar terdapat toko disain yang menjual berbagai produk disain, dan di lantai dua dan tiga terdapat galeri untuk berbagai macam pameran.

Terakhir, jika Anda ingin melihat koleksi kolektor vintage furniture, kunjungilah ‘Design Museum aA’. Café ini dimiliki dan dioperasikan oleh Kim Myung-han, yang telah melakukan perjalanan ke seluruh Eropa selama dua puluh tahun terakhir untuk mencari furnitur dan lampu pencahayaan vintage. Koleksi-koleksi ini diatur alami mulai dari lampu jalan dari sungai Thames pada tahun 1920, sampai lampu yang dirancang oleh Tom Dixon, dan kursi oleh Charles dan Ray Eames.

1

© K

T&G

Sangsang Madang

Page 21: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

KOREAN CULTURE & ARTS 21

1, 2.KT & G Sangsang Madang adalah ruang budaya serbaguna yang menampilkan bioskop seni, ruang konser untuk band-band indie, toko desain, dan galeri. Bangunannya yang khas membuatnya menjadi tempat pertemuan yang amat populer.

2

Seperti Soho - yang dulu adalah daerah bagi Bohemian miskin dan sekarang menjadi pusat kota yang ramai penuh dengan department store, galeri dan restoran - dan Brooklyn–yang menjadi tempat bagi para seniman yang ‘terusir’ dari Manhattan dan sekarang telah berubah menjadi sebuah distrik perumahan mewah , demikian juga daerah Hongdae mengalami transformasi yang sama. Harga sewa yang meroket, menyebabkan pemilik toko kecil mulai pindah ke daerah-daerah pinggiran seperti Sangsu-dong dan Hapjeong-dong. Yeonnam-dong adalah daerah baru yang sedang naik daun.

Terletak di sebelah selatan Yeonhui-dong, distrik perumahan mewah, Yeonnam-dong sudah lama dikenal sebagai “Cina kecil” karena banyak orang Korea Cina yang tinggal di sana. Sejak tahun 2010 banyak seniman dan pengusaha muda yang tinggal di daerah ini karena lokasinya yang dekat dengan Hongdae dengan harga sewa relatif rendah. Saat ini hot spot terbaru di Yeonnam-dong adalah jalan Pasar Dongjin. Di jalan belakang pasar tua ini, yang sebagian besar telah kehilangan

fungsinya sebagai pasar, restoran trendi mulai muncul satu per satu membentuk lingkungan hip baru yang ramai dikunjungi orang pada akhir pekan. Sejak adanya restoran TukTuk Noodle Thai, Café Libre, restoran Jepang Himeji secara berurutan diikuti oleh galeri kecil, bar, dan restoran lainnya. Tahun ini koperasi sosial mengambil sewa jangka panjang di pasar lama dan membuka pasar yang menjual langsung hasil tani dari desa kepada konsumen pada setiap minggu.

Toko ‘Eojjeoda’ yang dibuka pada musim semi tahun inipun bisa menjadi pertimbangan. Toko ini adalah sebuah rumah tua yang direnovasi dan dibagi menjadi delapan toko yang merupakan ruang komersial bergaya, juga merupakan sebuah komunitas dan percobaan arsitektur yang unik. Tempat di mana Bar wiski malt, toko kue, café dan lounge, salon rambut, dan studio kerajinan tangan kreatif, tempat ini beroperasi dengan kata kunci berbagi dan tumbuh bersama. Toko ini menunjukkan gaya hidup yang menyenangkan, dengan sandwich yang lezat dan es kacang merah, kopi atau wiski malt.

© Living & Art Creative Center

Page 22: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

22 KOREANA Musim Dingin 2014

FOKUS

Terdaftar sebagai Warisan Dunia UNESCO

Dinasti Joseon memiliki banyak benteng sehingga tidaklah mengher-ankan jika ia disebut sebagai ‘Kerajaan Benteng’. Jenis-jenis benteng-nyapun beraneka ragam yakni benteng dalam kota yang melindungi negara, benteng di gunung yang berfungsi sebagai tempat berlindung saat terjadi bahaya, dan benteng untuk melindungi daerah di luar kota. Di antaranya, Sanseong atau benteng di gunung merupakan benteng yang paling banyak menyimpan bukti-bukti sejarah yang berkenaan dengan perang yang pernah berkecamuk di Korea. Kita akan menyimak cerita yang terkandung di Namhansanseong yang pada bulan Juni tahun ini tercatat sebagai Warisan Dunia UNESCO.

Page 23: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 23

Cerita dari Namhansanseong

© N

amhansanseong C

ulture & Tourism

Initiatives, Gyeongi C

ultural Foundation

Lee Kwang-pyoWartawan Dongailbo

Page 24: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

24 KOREANA Musim Dingin 2014

Bagi orang Korea, Namhansanseong adalah tempat terbekas-nya kenangan yang pahit. Karena di tempat inilah dalam per-lawanan terhadap serangan Kerajaan Qing dari Cina di abad

17 pada masa pemerintahan Raja Joseon Injo (1623~1649), Korea ter-paksa bertekuk lutut pada Kerajaan Qing.

Pada bulan Desember 1636, Kerajaan Qing membawa pasukan tentaranya yang berjumlah 13.000 orang untuk menyerang Joseon. Dalam 5 hari setelah menyeberang Sungai Amnok, pasukan Kera-jaan Qing menduduki dan menyapu bersih ibukota Hanyang. Sebe-lum Hanyang jatuh ke tangan pasukan Qing, putera mahkota dengan cepat diungsikan ke Ganghwa-do. Karena jalan menuju Ganghwa-do terhambat, raja dan para abdinya melarikan diri ke Namhansan-seong.

Dalam waktu singkat, pasukan Qing menduduki Namhansan-seong. Selama 47 hari, raja dan para abdinya beserta pasukan ten-tara yang berjumlah sekitar 15.000 orang bertempur melawan pasukan Qing. Tetapi pada tahun berikutnya yakni pada akhir bulan Januari 1637, Raja Injo akhirnya menyerah kepada Kerajaan Qing di Samjeondo (lokasi pelabuhan kapal di Jamsil Songpa-gu Seoul). Dan sejak saat itu Joseon terjajah oleh Kerajaan Qing. Menjadikan tempat itu sebagai tempat tragis dalam sejarah Korea.

Benteng Tempat Pertahanan, Tempat Kemenangan dan Kekalahan

Pembangunan Namhansanseong ini berawal dari periode Tiga Kerajaan. Setelah mempersatukan tiga kerajaan dan Sungai Han, Shilla mendirikan benteng di tempat ini menggunakan tanah. Inilah

yang menjadi cikal bakal Namhansanseong. Pada saat itu Shilla sedang berada pada puncaknya untuk mengusir Dang dari Cina yang adalah kekuatan koalisi terhadap usaha penyatuan yang dilaku-kan oleh Shilla. Namhansanseong didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan daerah batas utara dalam pertempuran mela-wan Dang. Benteng ini juga berperan besar dalam masa selanjutnya yakni pada zaman Goryeo di tahun 1231 dan 1232, serta saat mengu-sir serangan Mongolia.

Benteng tanah (atau Thoseong) ini diubah menjadi benteng batu (atau Seokseong) pada zaman Joseon di abad ketujuh belas. Gwang-haegun (1608 - 1641) - yang adalah raja sebelum Injo - membangun kembali benteng ini dengan batu di tahun 1621 untuk menghalangi masuknya Seunhugem suku Yeojin dari utara dan menjaga kota. Pembangunan terhenti beberapa saat dan dilanjutkan pada tahun 1624 pada masa Injo, dan selesai pada tahun 1626. Panjang benteng sekitar 8 km, Namhansanseong dan Bukhansanseong bersama-sama menjadi kubu pertahanan militer yang melindungi Hanyang.

Perang Manchu meletus di tahun 1636, yakni 10 tahun setelah benteng ini selesai didirikan. Injo yang melarikan diri ke Namhansan-seong melakukan perlawanan sengit, walaupun akhirnya ia membu-ka pintu untuk keluar dan menyerahkan diri kepada Kaisar kerajaan Qing. Tetapi satu hal, yakni bahwa Namhansanseong tidak runtuh sebelum Injo menyerah, perlu mendapatkan perhatian. Lee Jung-hwan, seorang ahli geografis zaman Joseon, dalam buku catatannya <Taekriji> menuliskan “Bagian dalam Namhansanseong rendah dan bagian luarnya tinggi dan terjal. Sewaktu pasukan tentara Qing per-tama kali sampai di Namhansanseong, mereka tidak dapat menggu-

Seniman bela diri unjuk kebolehan di depan Seojangdae, bangunan berlantai dua di sebelah barat dipasang di tempat tertinggi dalam benteng untuk memantau kenyamanan dan diperiksa oleh seorang komandan.

Page 25: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 25

nakan senjata mereka dan tidak dapat meruntuhkan benteng. Yang menyebabkan Injo keluar dari benteng adalah karena kekurangan makanan dan karena Gangwa telah dilumpuhkan”. Inilah kisah ironis benteng yang sebenarnya memiliki fungsi luar biasa sebagai tem-pat pertahanan militer. Jauh setelah itupun, Namhansanseong pada tahun 1896 juga masih berperan penting saat pasukan tentara dae-rah Gyeonggi melakukan perlawanan terhadap serangan Jepang, dan pada masa pendudukan Jepang di tempat ini dilakukan Gerakan Kemerdekaan 3.1, Gerakan Nasional Melawan Jepang, dan seba-gainya.

Namhansanseong dalam sejarah sepanjang 1000 tahun lebih merupakan tempat penting dalam momentum perlawanan, dan sekaligus juga memperlihatkan proses perkembangan pendirian benteng di Korea. Ini dikarenakan benteng ini didirikan menurut cara-cara baru sesuai dengan perkembangan zaman dan berlalunya waktu sejak didirikan oleh Shilla di abad ketujuh. Artinya pada Nam-hansanseong dapat ditemukan cara pendirian benteng per generasi mulai dari zaman Tiga Kerajaan sampai zaman Joseon.

Benteng Perpaduan antara Kehidupan Sehari-hari dan Pertahanan Militer

Keuntungan dari segi geografis dan topografis Namhansanseong sangatlah baik di antara benteng-benteng yang dibangun mengikuti jalur pegunungan. Dalam <Yeojidoseo> yakni kumpulan peta geo-grafis dari berbagai daerah pada zaman Joseon menyebutkan bahwa Namhansanseong “tanah bagian dalamnya datar, sementara bagi-an luarnya terjal. Bentuknya megah sehingga menyerupai mahkota

yang diletakkan di atas gunung. Tembok benteng yang panjangnya sekitar 8 km ini terletak di dataran terjal dengan tinggi 500 meter dari permukaan laut, dibangun mengelilingi gunung menurut keada-an tanah di sekitarnya, membuatnya sulit untuk diserang dari luar. Dengan kata lain, secara geografis lokasi ini memang sudah mem-punyai kelebihan sebagai benteng militer.

Berbagai peninggalan fasilitas militer yang dapat ditemukan pada tembok benteng adalah bukti yang memperlihatkan cara berperang pada masa itu. Namhansanseong adalah benteng pertahanan militer yang memiliki fasilitas yang tepat untuk menyerang dan bertahan. Tembok benteng terdiri dari tembok dalam dan 2 tembok luar. Pada tembok benteng terdapat Wongsung (tembok berbentuk setengah lingkaran yang dibuat di depan pintu gerbang untuk melindungi ben-teng), Poru (tempat meriam), Seongmun (Pintu Gerbang), Ammun (Pintu Rahasia), Yeojang (tempat persembunyian di dalam tembok benteng), Dondae (tanah yang dibuat agak tinggi dari sekitarnya), dan sebagainya.

Wongsung adalah tembok berlapis yang dibuat pada gerbang benteng berbentuk mengelilingi bagian luar benteng. Untuk bisa masuk dan menduduki benteng, musuh harus melewati Wongsung terlebih dahulu. Karena bentuknya menonjol keluar dari tembok benteng, maka ini menjadikannya fasilitas yang sangat efisien dalam mempertahankan benteng karena tentara dapat menyerang dari berbagai arah saat musuh menyerang.

Saat ini dari antara bangunan di Namhansanseong, bangun-an yang paling kuat dan megah adalah Seojeongdae, yakni bangu-nan paviliun bertingkat dua. Jangdae adalah tempat strategis bagi

Namhansanseong adalah situs sejarah yang membanggakan yang terdaftar sebagai Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2014. Tidak hanya itu, itu adalah daya tarik wisata utama dan tempat menyepi bagi penduduk daerah ibukota. Baru-baru ini, lima jalan setapaknya diselesaikan agar para pengunjung dapat menikmati pemandangan indah di sepanjang dinding benteng.

Page 26: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

26 KOREANA Musim Dingin 2014

pemimpin perang. Pada bagian dalam benteng yang luas – yang menyebabkan pemimpin sulit memberikan instruksi - didirikan beberapa Jangdae. Di Namhansanseong ada lima Jangdae yakni Dongjangdae (di sebelah timur, ada dua buah, di dalam dan di luar), Seojangdae (di sebelah barat), Namjangdae (di sebelah selatan), Bukjangdae (di sebelah utara). Tetapi sayang sekali, yang masih ter-sisa sampai sekarang hanyalah Seojangdae.

Di antara empat pintu gerbang terdapat Ammun (Pintu Raha-sia) yakni pada bagian timur, barat, selatan dan utara. Ammun ada-lah pintu kecil yang dipasang pada tempat rahasia agar tidak terli-hat oleh musuh. Karena pintu ini tidak boleh diketahui oleh musuh, maka pintu ini tidak dilengkapi dengan Munru (rumah atap di atas pintu), tetapi hanya berbentuk pintu untuk keluar masuk saja. Pintu ini berfungsi sebagai jalur masuknya berbagai benda seperti bahan makanan, senjata, dan sebagainya yang dibawa masuk oleh tenta-ra, serta sebagai jalur keluar masuk rahasia oleh tentara pembawa pesan (messenger) dan tentara tentara pendukung. Di Namhansan-seong ada 16 buah Ammun. Namhansanseong adalah benteng yang

memiliki Ammun terbanyak di antara semua benteng di Korea.Dari pengalaman pahit Perang Manchu, bentuk benteng Nam-

hansanseong diperluas menjadi bangunan gunung dan dataran. Arti-nya berdasarkan kebijakan kerajaan benteng ini dibuat sedemikian rupa agar rakyat dapat menetap. Sehingga fungsinya bukan saja sebagai fasilitas pertahanan, tetapi juga menjadi tempat di mana kehidupan sehari-hari dapat berlangsung. Adalah pemandangan yang sangat biasa untuk menemukan keseharian kamp militer yang berada di bagian dalam benteng. Di bagian dalam benteng terdapat 125 buah Gunpo. Gunpo adalah pos tentara yang menjaga benteng. Di antara Gunpo-gunpo, terdapat bekas-bekas tempat penyimpanan garam dan arang yang dikubur dalam tanah. Beberapa ruang seba-gai penyimpanan makanan dan keperluan militer darurat juga dite-mukan di banyak tempat.

Ibukota Sementara, Tempat HaenggungDi Namhansanseong terdapat Haenggung. Haenggung adalah

istana sementara yang digunakan oleh raja untuk sementara seba-

Namhansanseong dalam sejarah sepanjang 1000 tahun lebih merupakan tempat penting dalam momentum perlawanan, dan sekaligus juga memperlihatkan proses perkembangan pendirian benteng di Korea. Ini dikarenakan benteng ini didirikan menurut cara-cara baru sesuai dengan perkembangan zaman dan berlalunya waktu sejak didirikan oleh Shilla di abad ketujuh. Artinya pada Namhansanseong dapat ditemukan cara pendirian benteng per generasi mulai dari zaman Tiga Kerajaan sampai zaman Joseon.

Jalan setapak menuju sisi Gerbang Jwaik yang tertutup salju merupakan favorit bagi para pejalan kaki. Gerbang Jwaik adalah gerbang timur Namhansanseong dan tetap utuh sejak abad ke-17.

Page 27: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 27

gai tempat tinggal saat harus melakukan perjalanan meninggal-kan istana utama. Selain itu, tempat ini berfungsi sebagai ibukota sementara bila raja harus berpindah saat terjadi dari kerajaan lain atau terjadi kudeta. Bahwa di dalam Namhansanseong terdapat Haenggung mengandung arti sejak perencanaan pembangunannya benteng ini telah dirancang sedemikian rupa agar fungsinya bukan hanya sekadar sebagai benteng pertahanan saja, tetapi juga dapat berfungsi sebagai ibukota sementara. Haenggung yang berada di Namhansanseong adalah satu-satunya dari antara 10 Haenggung di seluruh Korea yang memiliki Jeongmyo (tempat diletakkannya nisan raja) dan Sajik (ruang kerja raja) yakni Jwajeon (ruang kiri) dan Wooshil (ruang kanan) yang merupakan bagian terpenting dalam diagram ibukota pada zaman Joseon. Selain itu, tersedia juga Chim-jeon (tempat peraduan raja), tempat kegiatan sehari-hari, dan tem-pat kerja resmi terpisah yang memungkinkan Haenggung berfungsi sebagai ibukota di saat-saat genting.

Sebagai ciri khas lainnya sebagai ibukota sementara, di Nam-hansanseong ditemukan bekas-bekas fasilitas militer dan kehidupan sehari-hari. Di benteng ini juga terdapat tempat peringatan untuk memperingati Samhaksa - yakni 3 orang cendekiawan yang tewas setelah melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Qing, tempat per-ingatan Raja Onjo dari Baekjae, dan Sungyelojeon yakni tempat bagi roh-roh mereka yang menjadi penanggung jawab pendirian benteng ini. Di Cheongryang-dang terdapat pohon wangi berusia 350 tahun yang menjadi mazbah bagi rakyat untuk memberikan persembahan. Selain itu, tersedia juga bangunan untuk tempat istirahat dan tem-pat belajar para Yangban (golongan masyarakat atas di zaman dulu).

Kita juga dapat melihat bekas-bekas pasar yang pernah ada di depan Yeonmudae (tempat pelatihan tentara).

Bekas Sejarah Untuk Hari IniJalan setapak yang dibuat mengikuti tembok Namhansanseong

telah menjadi rute favorit bagi pendaki gunung dan wisatawan karena sambil menelusurinya mereka dapat menikmati kemegahan benteng serta keindahan 4 musim sekaligus. Tetapi sebenarnya, yang menarik hati mereka untuk datang ke tempat ini bukanlah karena benteng ini tercatat sebagai peninggalan budaya saja, tetapi karena di sini ter-dapat sejarah kemenangan dan kekalahan yang mendalam. Sejarah tragis justru menarik perhatian para budayawan dan seniman. Pada zaman pendudukan Jepang, seorang penulis puisi kebangsaan ber-nama Lee Yuk-sa (1904 - 1944) menulis sebuah puisi berjudul “Nam-hansanseong” yang isinya adalah tentang impian akan kemerdekaan tanah air. Seorang novelis dari zaman kita bernama Kim Hoon meng-hidupkan kembali sosok-sosok yang terguncang dalam sejarah getir dan suasana yang terus berubah akibat perubahan kekuasaan.

Namhansanseong adalah tempat di mana kita belajar dari seja-rah dan mendapat suatu kesadaran. Kita belajar betapa keras dan dinginnya sejarah dari aib seorang pemimpin yang terpaksa harus bertekuk lutut di depan musuh, belajar ketaatan pada prinsip dari kematian Samhaksa. Namhansanseong adalah tempat kita bisa merasakan napas kehidupan manusia. Semua ini menjadikan Nam-hansanseong bukan hanya sekadar ‘benda’ yang terdaftar pada Daf-tar Warisan Dunia UNESCO, tetapi juga tempat terkandungnya ‘seja-rah’ yang tak kalah pentingnya.

Antara empat gerbang utama di setiap arah, dibangunlah ammun, atau gerbang rahasia untuk mengirim dan mengeluarkan makanan, senjata dan perlengkapan lainnya secara diam-diam.

Page 28: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

28 KOREANA Musim Dingin 2014

TINJAUAN SENI

Selamat Pagi Mr. Orwell1984 2014 Lim San

Profesor, Departemen Studi Kuratorial dan Manajemen Seni, Universitas Wanita Dongduk

Semakin nyamannya masyarakat dalam gelombang industrialisasi membuat kita terbiasa dengan klise dalam keseragaman dunia nyata. Kelaziman yang memenuhi berita televisi, surat kabar, dan bahkan film komersial, terkadang terekspresi melalui bahasa yang ringan. Hal ini bisa saja terhubung pada dehumanisasi yang melupakan realitas atau memutar kontradiksi menjadi fantasi belaka. Bukankah intelektual seperti Franz Kafka, James Joyce, dan Charles Chaplin sudah membuktikan kepada kita bahwa kekuatan seni dapat mengatasi semua ancaman tersebut? Jika kita menambahkan seniman lain untuk daftar ini, nama itu adalah Paik Nam-june.

1

© N

am June P

aik Cultural Foundation

Page 29: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

1. Screenshot dari Selamat pagi, Tuan Owell (1984) karya Paik Nam-June

2. Ada pemutaran film Selamat Pagi, Tuan Orwell (1984) secara keseluruhan di pameran Selamat Pagi, Tuan Orwell 2014, Kegiatan ini direncanakan untuk menemukan kembali makna baru pesan Paik.

2

Page 30: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

30 KOREANA Musim Dingin 2014

Paik Nam-june (1932 - 2006) - yang adalah seorang penulis, insinyur, dan peramal - berbicara tentang zaman dan seni. Dia tidak hanya bebas melintasi

batas tradisional musik dan seni, tetapi juga menyaji-kan spektrum semangat kreatif yang tertuang di dalam berbagai visual dan suara dengan menggunakan “teks” sebagai media. Irmeline Lebeer, seorang yang mener-bitkan <Du Cheval à Christo et autresécritsTaekriji>, yakni kompilasi hasil karya Paik Nam-june berupa artikel, surat, skor, dan skenario selama 35 tahun, me-ngatakan “Aspirasinya terhadap ruang yang luas dan kebebasan tertuang dalam tulisan-tulisannya. Dia tidak bisa lagi dibatasi oleh bahasa saja”. Dia juga memelopori genre seperti kinerja musik, patung video, pertunjukan media, dan sebagainya, serta menerapkan teori keahl-ian teknologi elektronik ke dalam karya seni. Kemam-puan aplikasinya dalam ilmu teknologi yang dikombi-nasikan dengan bakat sastranya telah melahirkan karya seni untuk memprediksi masa depan, melebihi imajinasi masa kini.

Keterkaitan dan InteraksiPikiran eksperimental kreatif Paik Nam-june ter-

bentuk dengan sungguh-sungguh saat ia berada di Jerman. Lahir di Seoul, Korea pada tahun 1932, ia me-larikan diri ke Jepang selama Perang Korea dan lulus dari Universitas Tokyo dengan tesis yang membahas tentang estetika musik dari Arnold Schönberg. Pada tahun 1956, ia berangkat ke Jerman dan menghabis-kan “era Jerman” di mana ia terus-menerus belajar hal-hal baru dan bereksperimen sampai tahun 1963. Pada saat itu di Jerman, musisi muda itu telah terin-spirasi oleh Schönberg yang menganjurkan “Die Neue Musik” melalui berbagai gaya melakukan konser dan program pengajaran, bersama dengan avant-garde yang meneliti interaksi antara musik dan lukisan, tubuh manusia dan suara, serta manusia dan mesin. Di teng-ah-tengah suasana artistik yang ini progresif yang Paik Nam-june menggunakan bahasa yang unik untuk memperkenalkan hubungan tersembunyi antara media dan masyarakat pada tahun 1963 melalui pameran pertamanya. Metode komunikasi dan sifat elektronik dari televisi yang ia gunakan di kemudian hari menjadi dasar yang menantang di bidang seni media.

Semangat artistik Paik Nam-june dihidupkan kem-bali melalui pendekatan yang berbeda di Nam June

Paik Art Center, yang terletak di Yongin, Provinsi Gyeo-nggi. Pameran terbaru “Selamat Pagi Mr. Orwell 2014” adalah salah satunya. Pameran ini diatur dalam rangka memperingati acara televisi “Selamat Pagi Mr. Orwell” yang dicoba oleh Paik Nam-june pada tanggal 1 Januari 1984 dan untuk menemukan kembali pesan yang dis-ampaikannya pada masa itu. Dengan demikian, bagian yang paling menarik perhatian dalam pameran “Sela-mat Pagi Mr. Orwell 2014” tentu saja tidak lain dari tampilan layar televisi tiga puluh tahun yang lalu. Karya itu disiarkan langsung di Seoul, New York, Paris, dan Berlin, melalui siaran satelit, dari mana orang-orang di seluruh dunia mengalami pengalaman seni bersama-sama pada waktu yang bersamaan. Sekitar 100 seni-man telah menyajikan penampilan mereka, termasuk seniman avant-garde New York John Cage dan Merce Cunningham, dan penyanyi pop seperti Yves Montand dan Oingo Boingo. Selama durasi satu jam, penonton bisa membaca masa depan media yang bukan lagi ber-sifat “mengendalikan” tapi “komunikatif”.

Motif langsung dari <Selamat Pagi Mr. Orwell> berasal dari novel <1984> yang ditulis oleh penulis Ing-gris George Orwell, yang diterbitkan pada tahun 1949. Masa depan masyarakat otoriter, dengan kata lain, pengawasan dan kediktatoran distopia yang dibayang-kan oleh Orwell melalui media seperti telescreen dan mikrofon di mana kebebasan berpikir manusia dibatasi menggunakan ‘new speak’ atau bahasa baru. Di teng-ah-tengah keterbatasan itu terdapat ‘Big Brother’. ‘berada di jantung totalitarianisme tersebut. Oleh Paik Nam-june, ramalan Orwell ini dinilai hanya ‘setengah benar’ dan justru ia memperlihatkan kepada seluruh dunia potensi artistik media dan seni yang gagal dide-teksi oleh Orwell.

Masa Depan Media yang BerkomunikasiPentingnya monumental <Selamat Pagi Pak

Orwell> telah ditinjau kembali oleh seniman lain dari periode yang sama yang berpartisipasi dalam pam-eran “Selamat Pagi Pak Orwell 2014”. Bersama-sama mereka merefleksikan kemampuan teknologi, pe-ngaruh sosial dan politik dari media, serta mengung-kap dan melawan ‘Big Brother’ yang berubah menjadi wajah dari generasi sekarang. Sebuah karya video single-channel video yang berjudul <So Much I Wanna Say> oleh seniman Palestina Mona Hatoum dari Lon-

1, 2. (1984) merupakan instalasi satelit internasional yang ditayangkan pada 1 Januari 1984. Acara tersebut ditayangkan di WNET TV di New York dan Centre Pompidou di Paris melalui satelit dan dihubungkan dengan lembaga penyiaran di Korea Selatan dan Jerman. Acara ini menampilkan berbagai pertunjukan oleh lebih dari 100 seniman di seluruh dunia.

Page 31: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

2

1

Page 32: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

32 KOREANA Musim Dingin 2014

1. Pointing at Fukuichi Live Camera, (Finger Pointing Worker, Jepang), 2011, video 1-channel, warna, suara, 24 ‘50’ ‘

2. Counter-Music, (Harun Farocki, Jerman) 2004, 2-channel video, warna, suara, 25 min

3. PR, (Liz Sihir Laser, USA), 2013, video instalasi 5-channel, 17 min

4. So Much I Wanna Say, (Mona Hatoum, Lebanon), 1983, video 1-channel, hitam dan putih, suara, 5 menit

1

2 3

4

Page 33: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 33

don menyajikan suara mereka yang mencoba melari-kan diri dari penindasan. Dengan durasi yang relatif singkat sekitar lima menit, dengan menggunakan teknik untuk merekam gambar secara terputus-putus, karya ini memiliki kekuatan untuk menyampaikan tema secara padat meskipun tampak sederhana. Karya ini juga menggunakan metode transmisi satelit. Melalui masa Perang Dingin media yang secara ketat berada di bawah kontrol dan pengawasan pemerintah ditransfor-masikan oleh Paik menjadi alat percobaan mistik mer-enungkan apakah dialog yang dapat disampaikan mel-alui seni dapat melampaui waktu dan tempat. Demikian juga, karya Hatoum meneriakkan kebebasan artistik artistik dari media yang mengendalikan masyarakat kita.

Seniman yang mempermasalahkan isu pengawasan dan sensor yang diperingatkan oleh Orwell juga turut berpartisipasi dalam pameran. Seniman Amerika Jill Magid sengaja mengambil gambar dengan kamera pengintai di Liverpool, Inggris dan memproduksi video ‘sinkronis’. Seniman Thailand Sompot Chidgasorn-pongse mengumpulkan adegan-adegan yang terha-pus dari film akibat disensor secara paksa oleh peme-rintah di negaranya. Selain itu ditampilkan juga karya seniman Afrika Selatan William Kentridge yaitu <Ste-reoscope> (1955). Karya Kentridge ini mengungkap-kan struktur mekanik dari media komunikasi yang me-nembus ke dalam kehidupan orang-orang saat itu dan kehausan serta hasrat emosional yang diakibatkan oleh media komunikasi tersebut dalam sebuah animasi bergambar unik.

Konversi 1984 Paik Nam-june dari transmisi satu arah televisi menjadi saluran dua arah melumpuh-kan properti hirarkis dan mengusulkan model alter-natif penyiaran televisi. Demikian pula, video “Café

Telekomunikasi” dan “Web Art Café” karya video Douglas Davis, yang memimpin penelitian dari sifat dua arah media dan seniman kolektif Jodi bereks-perimen dengan potensi komunikatif interaktif seni dalam jaringan masyarakat. Seperti yang disebut-kan dalam Paik Nam-june dalam esai pribadinya ber-judul <Art & Satelit>(1984) menekankan bahwa adalah peran dari seniman pada setiap zamannya ‘untuk tidak hanya menemukan hubungan baru antara berbagai pemikiran tetapi juga membangun jaringan di antara mereka’.

Kekuatan Seni yang Mengatasi KenyataanDemikianlah, karya-karya yang dipamerkan di ‘Sela-

mat Pagi Pak Orwell 2014’ membantah dinginnya manu-sia dalam masyarakat yang dengan cepat mengalami pemisahan. Sebagai tambahannya, kita dibawa untuk merenungkan kebebasan artistik yang Paik Nam-june sampaikan kepada dunia tiga puluh tahun yang lalu mel-alui siaran satelit langsung yang memerlukan semangat dan kesadaran tinggi daripada berusaha menghindar. Itulah alasan yang menjelaskan mengapa karya seni Paik Nam-june tetap layak dan perlu dalam generasi kita. Perkembangan media dan informasi klise timbul dari itu mungkin memang telah menyebabkan hilangnya jati diri ‘manusia’ sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Orwell. Namun, jika kita harus mendefinisikan kembali apa yang perlu dipulihkan, itu tidak akan cukup dengan hanya memulihkan jati diri manusia yang hilang. Tetapi upaya untuk membuat matang hubungan ‘manusiawi’ dalam perubahan media dan bahasa tentunya akan lebih diperlukan. Energi dari semangat artistik Paik Nam-June Paik sebagai manusia modern yang berusaha untuk mengatasi realitas tersebut adalah alasan yang membuatnya masih hidup di antara kita.

Karya-karya yang dipamerkan di ‘Selamat Pagi Mr. Orwell 2014’ membantah dinginnya manusia dalam masyarakat yang dengan cepat mengalami pemisahan. Sebagai tambahannya, kita dibawa untuk merenungkan kebebasan artistik yang Paik Nam-june sampaikan kepada dunia tiga puluh tahun yang lalu melalui siaran satelit langsung yang memerlukan semangat dan kesadaran tinggi daripada berusaha menghindar. Itulah alasan yang menjelaskan mengapa karya seni Paik Nam-june tetap layak dan perlu dalam generasi kita.

Page 34: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

34 KOREANA Musim Dingin 2014

Noh Sun-tag adalah seorang fotografer yang dengan peka mencermati pembagian Semenanjung Korea. Memulai karirnya sebagai wartawan foto, kini ia sudah menerbitkan

beberapa koleksi fotografi, dan mengadakan pameran yang ber-judul “Smells like the Division of the Korean Peninsula” (2005), “The Strange Ball” (2006), “Red House” (2007), dan “State of Emergency” (2008). Tema karyanya yang konsisten adalah mengenai dampak pemisahan ideologi pada masyarakat Korea. Secara alami, karya-nya terkait dengan konteks sosial politik. Selama tujuh dekade sejak semenanjung terbagi, setiap orang terbiasa dengan pembagian negara ini dan masalah-masalah yang muncul seperti ketegangan di wilayah perbatasan. Tapi kenyataannya hal ini masih meninggal-kan dampak yang beragam pada kehidupan sehari-hari.

Setelah diumumkan sebagai pemenang Anugrah Seni Korea tahun ini, Noh mengadakan jumpa penggemar di NMMCA di Gwacheon, Propinsi Gyeonggi pada tanggal 26 September. Berikut petikannya.

Song Su-jong Silakan ceritakan mengenai pekerjaan Anda sebelum bicara mengenai perasaan Anda setelah memenangkan Anugrah Seni Korea 2014.

Noh Sun-tag Saya mencoba cari tahu bagaimana dampak Perang Korea dalam realitas kehidupan kita. Kita sudah mengunci rapat perang dan pembagian negara ini, dan sesekali menafsirkan-nya sesuai dengan kepentingan kita. Salah satu contohnya adalah kekuatan politik yang mengambil keuntungan dari pembagian nega-ra itu. Saya mencoba melihat kekuatan politik itu dengan menggali

lebih dalam pada keriuhan dan keheningannya, keuntungan dan kerusakan yang diakibatkannya, dan tawa dan sarkasme yang di-sebabkannya. Tapi itu tak mudah.

Song Daalam sebagian besar karya Anda yang memenangkan penghargaan ini, Anda memfokuskan diri bukan pada adegan atau peristiwa, tapi justru pada juru foto yang mengambil foto-foto itu. Apa yang mendorong Anda melakukan ini?

Noh Pameran saya yang terakhir berjudul “Sneaky Snakes in Scenes of Incompetence” fokus pada adegan dalam beragam kon-flik sosial dan perselisihan yang memanas di masyarakat sela-ma sepuluh tahun terakhir. Pameran itu mengangkat aspek keki- nian dalam masyarakat, termasuk resistansi masyarakat melawan ekspansi fasilitas militer Amerika di Daechu-ri, Pyeongtaek, Pro-pinsi Gyeonggi, perlawanan warga menghentikan pembangunan pangkalan angkatan laut di desa Gangjeong di Pulau Jeju, bencana Yongsan yang menelan korban jiwa, pemberhentian masal kar-yawan SsangYong Motor, perlawanan warga Miryang menentang menara transmisi, tenggelamnya korvet Cheonan Korea Utara dan penyerangan Pulau Yeonpyeong, dan bencana tenggelamnya kapal feri pada tanggal 16 April lalu. Semua itu sangat mengerikan. Menurut saya peristiwa itu bukan karena kebrutalan, tapi karena kecerobohan.

Siapa yang menenteng kamera dan menjalankan tugas di teng-ah peristiwa yang terjadi karena pihak yang “tidak kompeten” itu? Bagaimana kamera itu bekerja? Apakah foto-foto yang seki-las nampak transparan, obyektif, dan apa adanya itu benar-benar

WAWANCARA

Noh Sun-tag:Melalui Foto Ia Bertanya dan Menemukan Jawabannya Fotografer Noh Sun-tag, 43, memenangkan Anugrah Seni Korea 2014 dari National Museum of Modern and Contemporary Art (NMMCA) untuk pameran realisnya yang bertajuk “Sneaky Snakes in Scenes of Incompetence” (2014). Sebagai seniman kon-temporer Korea, ia berhasil menarik simpati publik karena berhasil melihat masalah sosial dari perspektif universal, alih-alih melihatnya hanya dari sudut pandang ide-ologi, dan memvisualisasikannya dengan cantik.

Song Su-jong Perencana Pameran Seni Indie

Page 35: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 35

Noh Sun-tag berusaha menyampaikan pesan penting melalui esai fotografi yang menggambarkan adegan konflik sosial dan bentrokan atas isu-isu panas. (“Sneaky Snakes in Scenes of Incompetence “ - XIII050101P, 2013)

Page 36: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

36 KOREANA Musim Dingin 2014

1

dapat dipercaya? Dapatkah “kompetensi” memang berlawanan dengan “tidak kompeten,” bahkan jika foto-foto itu ternyata diambil oleh mereka yang “kompeten” sekalipun? Fotografi adalah media “baru” yang ditemukan 175 tahun lalu, yang merayap seperti se-ekor ular di antara adegan dalam peristiwa akibat mereka yang “tidak kompeten.” Inilah tema pameran saya sebelumnya.

Song Setiap orang dalam foto membawa kamera. Apa arti foto-grafi bagi Anda? Dan apa artinya bagi kita semua?

Noh Setiap orang yang membawa kamera mengambil gambar dari adegan dalam peristiwa-peristiwa itu dari sudut pandang ma-sing-masing. Saya lihat ada potensi tak terbatas pada pemrosesan foto yang nampaknya serupa, tapi tak pernah sama. Proses fotografi bukan sesuatu yang indah dan menarik. Bahkan jika sebuah foto terlihat bagus sekalipun, proses pembuatannya tidaklah demikian. Saya ingin menunjukkan proses ini, khususnya proses menuang-kan adegan dalam konflik sosial ke dalam sebuah gambar. Dalam adegan-adegan itu, semua fotografer membawa kamera yang sama dan mengambil gambar dengan postur yang sama atau unik.

Tapi pesan bukan terletak pada gambar dari adegan yang sama ini, namun pada konteks yang diwakilinya. Fotografi adalah media yang ambigu. Media ini tidak pernah jelas, obyektif, transparan, dan tak bias. Jika berada dalam konteks yang berbeda, bahkan foto-foto yang sama akan tetap ditafsirkan dengan sangat berbeda pula.

Song Anda fotografer pertama yang menerima Anugrah Seni Korea yang diberikan oleh NMMCA. Seorang fotografer mendapat-kan penghargaan simbolik dalam seni kontemporer itu sangat luar biasa.

Noh Yang paling berkesan adalah seseorang dalam salah satu foto saya mengucapkan selamat kepada saya. Banyak foto saya diambil dalam peristiwa protes publik, jadi pasti tidak menyenang-kan tampil dalam foto-foto itu, terlebih melihatnya terpampang dalam ukuran besar di dinding mewah sebuah museum. Terlepas dari ucapan selamat itu, saya merasa ikut prihatin dan berterima kasih kepada mereka yang ada dalam foto-foto saya.

Song Anda memulai karir sebagai wartawan foto. Anda masih mendatangi berbagai kegiatan dan berada di sana untuk mengambil

Page 37: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 37

1. Dalam seri dokumenter Noh Sun-tag, kamera menangkap rekan fotografernya yang sedang mengambil gambar di sebuah tempat peristiwa konfrontasi besar, dilihat dari sudut dan jarak pandangnya sendiri. (“Sneaky Snakes in Scenes of Incompetence” - XI 030.701, 2011)

2. Penduduk setempat memprotes perluasan pangkalan militer AS bersitegang dengan polisi anti huru hara di Daechu-ri, Pyeongtaek, Gyeonggi Province. (“The Strange Ball” - 29, 2005)

2

gambar. Hal yang menarik adalah Anda menulis cerita dan meny-ampaikan begitu banyak pesan dalam pameran Anda. Banyak orang penasaran ingin tahu jati diri Anda yang sebenarnya.

Noh Faktanya, saya berhutang banyak pada semua adegan dan peristiwa. Orang-orang dalam foto saya – para pemrotes di Maehy-ang-ri (wilayah jangkauan bomb militer Amerika di Hwaseong, Pro-pinsi Gyeonggi), Daechu-ri, atau desa Gangjeong, atau mereka yang melawan pemberhentian masal – mereka sangat membutuhkan bantuan. Mereka menulis artikel di media online untuk memberita-hukan kepada khalayak mengenai beratnya peristiwa yang mereka hadapi. Jika diperlukan, saya membantu mereka dengan foto atau bergabung dengan mereka dalam kegiatan itu. Dalam keadaan demikian, saya berperan sebagai wartawan foto sekaligus aktifis.

Saya tak ingin mengingkari apa yang saya lakukan. Saya merasa perlu berpikir lebih serius mengenai apa yang menyebabkan ter-jadinya keadaan yang saya lihat itu. Ada sesuatu yang tak bisa saya tunjukkan. Dalam banyak kasus, saya sangat ingin tahu mengapa hal itu terjadi, bukan sekadar sebab dan akibat. Anda tak bisa meng-

uak sisi tersembunyi hanya dengan metode yang sifatnya penjelasan saja. Pameran adalah cara seniman seperti saya mencari solusi.

Song Nampaknya Anda menjaga jarak dari peristiwa-peristiwa tertentu, alih-alih menyampaikan pesan yang kuat mengenai-nya. Apakah ada motivasi yang membuat suara Anda didengar dan membuat gaya Anda sendiri?

Noh Ketika konflik meengenai ekspansi fasilitas militer Amerika di Daechu-ri meruak, saya membuka foto studio akhir pekan di sana atas permintaan Fr. Moon Jung-hyun, seorang kenalan saya. Bah-kan saya tinggal di sana. Suatu hari, sebuah bola besar, yang sang-at jelas terlihat dari manapun, mulai menarik perhatian saya. Tak seorangpun dari penduduk desa tahu mengenai hal ini. Ada yang mengatakan benda itu adalah tangki air. Ketika saya mengung-gah data online dan mengumpulkan informasi mengenai hal itu, saya tahu bawa benda itu adalah radar pengintai militer Amerika. Benda itu merupakan perangkat intelijen dan perang, yang nam-pak seperti bulan purnama, bola golf atau tangki air. Benda itu mirip kita – orang-orang yang tinggal di bawah pengawasan dan kontrol namun seolah tak terjadi apa-apa. Menurut saya itu absurd dan

Page 38: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

38 KOREANA Musim Dingin 2014

1

2

1. Sekelompok kecil orang memadati jalan-jalan di Seoul untuk menghormati mendiang presiden Roh Moo-hyun saat pemakaman kenegaraan, termasuk upacara tradisional yang diselenggarakan di Seoul Plaza pada tanggal 29 Mei 2009. (“String-Pulling Theory: An excellent mystery of the great wall made by 2MegaByte”- IX052901, 2009)

2. Tumpukan raksasa kontainer kargo sebagai dinding di bagian pusat kota Seoul untuk mencegah pengunjuk rasa yang berbaris di jalan-jalan utama. (“String-Pulling Theory: An excellent mystery of the great wall made by 2MegaByte” - VIII 061.003, 2008)

3. Noh Sun-tag adalah wartawan foto yang merekam peristiwa politik dan sosial di Korea modern melalui fotografi dokumenter. Karya foto serinya mencerminkan pengamatannya yang luas dan menampilkan rasa humor yang tinggi, sambil memfokuskan pada adegan konflik yang hebat.

Page 39: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 39

konyol. Ketika mengambil gambar radar itu dari berbagai sudut untuk membuatnya bisa dilihat dalam berbagai sudut, saya tak lagi memakai metode lama.

Song Obyek utama karya Anda adalah kepahitan yang diting-galkan oleh pembagian negara. Mereka adalah orang-orang yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Pameran Anda yang ter-akhir menaruh perhatian pada fotografer yang merekam adegan terkait dengan hal itu. Apa arti “adegan” bagi Anda?

Noh Saya ingin tahu ketika saya mendatangi sebuah peristiwa – apa yang sedang terjadi di sana dan bagaimana hal itu dilihat oleh media? Saya tertarik bukan pada situasi memprihatinkan yang harus dihadapi seseorang, tapi pada kekasaran dan kekejaman yang dilakukan. Saya mencoba mencari tahu keburukan mekanisme negara yang nampaknya sudah teratur ini. Semacam ejekan atau sinisme. Saya cermati bagaimana pemegang kekuasaan merekam jejak pencapaian mereka, yang merupakan bagian saya tonjolkan. Semacam serangan balik yang memperlihatkan kepada mereka bahwa “pencapaian” mereka tidak dilihat sebagaimana yang mere-ka inginkan.

Sebagai fotografer saya mencoba memuaskan rasa ingin tahu

masyarakat melalui foto. Dalam hal ini, kenyataan yang saya lihat melalui mata saya sesuai dengan diri saya sendiri sebagai seorang fotografer, yang melihatnya seperti pisau bermata dua. Saya suka dan mempelajari fotografi, tapi saya tak bisa bicara banyak mengenai hal itu. Sama halnya, saya merekam peristiwa dalam masyarakat melalui foto, tapi saya tak bisa mengubah realitas itu atau menunjukkannya secara menyeluruh. Apa yang jelas di sini bahwa adegan dalam suatu peristiwa, adalah tempat saya bekerja di kemudian hari. Tapi tidak mudah tinggal di tempat-tempat tersebut.

Keeping an Eye on DysfunctionSong Terakhir, seorang kritikus pernah mengatakan bahwa

ketulusan Anda datang dari keingintahuan dan keraguan Anda yang konstan. Kami ingin tahu apa pendapat Anda mengenai dunia ini atau bagaimana Anda memandang diri Anda sebagai seorang foto-grafer.

Noh Judul kolom yang saya tunggu dari majalah film mingguan selama beberapa tahun ini adalah “Hair of Photos.” Meski rambut itu sendiri tak berarti, tapi tak ada rambut jika tanpa tubuh. Foto adalah rambut, bukan tubuh, dari dunia ini. Sangat mungkin mela-cak tubuh berdasarkan fakta bahwa rambut adalah bagian dari tubuh.

Sebuah foto tak selalu mewakili kenyataan yang utuh, bukan juga sekadar sebuah peristiwa di suatu waktu. Dalam masyarakat kita ada yang berjalan dengan baik dan ada yang kurang baik. Sesua-tu yang kurang baik inilah yang selalu menarik perhatian saya. Saya mencoba melihat apa yang membuat kita tertipu. Saya juga mengambil foto humor hitam – sesuatu yang menyedihkan tapi sekaligus lucu pada saat yang bersamaan.

Kenyataannya, saya hanya memperlihatkan pada dunia de-ngan cara saya. Saya tak punya tujuan khusus. Dan saya tidak per-caya begitu saja kepada orang, masyarakat dan fotografi. Kadang-kadang saya ingin tahu siapa saya. Fotografi adalah sebuah alat, yang bisa saya pakai melihat di sekeliling saya. Saya selalu punya pertanyaan, ragu, dan menautkan pemikiran-pemikiran saya. Tapi masih tak tahu apa jawaban semua itu.

Sebuah foto tak selalu mewakili kenyataan yang utuh, bukan juga sekadar sebuah peristiwa di suatu waktu. Dalam masyarakat kita ada yang berjalan dengan baik dan ada yang kurang baik. Sesuatu yang kurang baik inilah yang selalu menarik perhatian saya. Saya mencoba melihat apa yang membuat kita tertipu. Saya juga mengambil foto humor hitam – sesuatu yang menyedihkan tapi sekaligus lucu pada saat yang bersamaan.

3

© P

ark

Seun

g-hw

a

Page 40: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

40 KOREANA Musim Dingin 2014

Simon Morley, Seorang Inggris yang Berlatar Belakang Negeri Korea

JATUH CINTA PADA KOREA

Keberadaan orang asing di Korea semakin menjadi karakter yang umum di negeri ini. Simon Morley termasuk ke dalam kategori tersebut: dalam sebuah kesempatan dan kebetulan, ia tiba-tiba berada di Korea selama tiga bulan pada tahun 2008. Di tahun 2010, seniman tersebut kembali lagi dan sejak itu sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menetap di negeri ini.

Ben Jackson Penulis Lepas / Cho Ji-young Fotografer

Setelah menyelesaikan kuliah Sejarah Modern di Universitas Oxford, Morley memulai perjalan-an untuk mendalami dunia seni yang mem-

bawanya ke Milan, Paris, dan New York, sampai ke Gwacheon. Di rumah berukuran studio yang terang disinari matahari Gwacheon, Marley ditemani seekor kucing yang gemuk, pasangannya Chang Eung-bok, dan sejumlah besar karya seninya. Setelah meng-adakan beberapa pameran di Seoul, seniman ini mengkaji perbedaan persepsi dan pola pikir di budaya Barat dan Timur terutama dalam hal penggambaran figur dan latar pada sebuah kanvas. Walaupun ia mengenal Korea secara kebetulan, filosofi dan tradisi seni negeri ini telah merasuk ke dalam gaya berkese-nian Morley yang kemudian membawanya ke arah baru yang memukau.

Sebuah Bidang yang AsingMorley mengaku bahwa dia hanya tahu sedikit ten-

tang negeri yang akan menjadi rumahnya ketika tiba di Korea.

“Saya datang pertama kali ke Korea pada tahun 2008 selama tiga bulan. Sebelumnya, saya sama seka-li tidak tahu apa-apa tentang Korea. Saya hanya tahu

Page 41: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 41

© K

im D

ong-

ryulPerang Korea karena belajar sejarah modern di universitas. Kemu-

dian saya tahu tentang Korea Utara dan kegilaannya. Saya tahu beberapa hal unik seperti ginseng berasal dari Korea dan salah artis Korea yang terkenal, Lee Ufan. Namun saya tidak tahu apa artinga atau apa yang membuat seorang Korea berbeda dari orang lain. Setelah saya melihat film Spring, Summer, Fall, Winter... and Spring yang disutradarai oleh Kim Ki-duk, saya menyadari ada sesua-tu yang berbeda pada Korea, berbeda dari Cina dan Jepang. Akan tetapi, saya masih belum dapat menjelaskan perbedaannya bahkan hingga sekarang,” katanya.

Namun perbedaan estetis antara Korea dan Inggris telah men-jadi sumber inspirasi yang tiada akhir bagi Morley. Awalnya dia begi-tu terkejut saat melihat Seoul tidak memiliki ciri estetis homogen; dia merasa tersesat di Gangnam, sebuah dunia yang tampak tidak memiliki struktur (belum lagi ditambah isu seputar gaya hidup di sana).

“Sangat membingungkan,” katanya. “Itu pasti berhubungan de-ngan bagaimana cepatnya tempat ini dibangun. Tidak ada waktu bagi sesuatu untuk terbentuk di sini, yang dapat menciptakan sejenis resonansi dengan emosi manusiawi kita. Saya merasa Korea telah kehilangan hubungan dengan masa lalunya.”

Putusnya hubungan dengan akar tradisional ini menimbulkan fleksibilitas. Menurut Morley, hal itu membuat orang Korea seperti “sosok yang sedang terbentuk.” Apa pun pendapatnya – seperti tarik tambang antara gerakan tradisi dan modern atau pemutusan paksa masa lampau yang berakibat hilangnya orientasi – Morley kini me- nyentuh tema yang telah memikat turis-turis sejak pertama kali mereka mengunjungi Korea dan mengolahnya dalam perspektif sendiri.

Sayangnya, gerakan tersebut terjadi saat dunia tradisional Korea tengah terguncang akibat tabrakan dengan ‘modernitas’ yang meru-pakan dampak dari paksaan diplomatis para penguasa besar di akhir abad 19 dan awal abad 20, ditambah penjajahan oleh Meiji Jepang. Yang menarik, satu dari beberapa karya pertama Morley di Korea berkaitan dengan periode ini. Karya itu dipengaruhi buku mantan duta besar Inggris, Martin Uden berjudul Korea Land of the Dawn and other Paintings (2011). Morley menghasilkan beberapa lukisan akrilik dan cat air, gulungan linen, dan video berdasarkan kolek-si yang terdapat dalam buku berbahasa asing modern pertama di Korea tulisan Uden itu. Karya yang berjudul “Lukisan Buku”, yang dilukis hampir seluruhnya dengan akrilik warna putih merupakan reproduksi sampul buku Uden. Sementara, karya lukis cat air dalam rangkaian tersebut juga merupakan reproduksi koleksi Uden. Dalam lukisan tersebut Morley memakai ranting, daun, dan biji-bijian yang dikumpulkan dari sekitar rumahnya.

“Saya melihat huruf Hangeul dan Mandarin seperti bentuk batang atau tangkai kayu. Saya tidak memahami apa artinya sebagai sebuah bahasa. Maka saya membuat bahasa sendiri dengan memakai apa yang disediakan alam,” katanya.

Sejumlah Pertanyaan Mengenai PersepsiDisertasi Morley berjudul “Gerakan Anadyomene: Metamorfosis

Figur-Latar.” Dia sendiri berpendapat bahwa disertasi ini “ambisius.”

Di dalam disertasinya, dia menjelajahi hubungan figur-latar dalam seni, mengambil pendekatan komparatif yang membedakan tradisi seni Asia Timur dengan Barat.

“Biasanya kita hanya fokus pada figur dan tidak memperhati-kan latar,” jelasnya. “Ada semacam pemisahan, di mana kita cende-rung melihat ke satu sisi saja dan mengacuhkan lainnya. Tampak-nya orang Barat cenderung memisahkan figur dari latar, sebaliknya orang Asia Timur jauh lebih ahli membalikkan antara figur dan latar. Contohnya, dalam seni tradisional Korea mereka sangat memperha-tikan ruang kosong. Ruang kosong atau kehampaan itu bukan seka-dar sesuatu yang tidak penting secara visual, tetapi sebagai bagian kunci dari keseluruhan,” katanya.

Morley menunjukkan hubungan figur-latar ini dengan jelas di dalam karyanya. Membuat orang sulit membedakan mana figur dan mana latar.

“Anda harus paham apa yang dimaksud figur dan apa yang dimaksud latar. Jika tidak, Anda hanya akan melihat lukisan itu sebagai bercak-bercak saja,” katanya tentang “Lukisan Buku”-nya. “Kemudian teksnya… yah, itu cerita lain. Saya menggabungkan gam-bar dan teks pada sebuah ide monokrom.”

Yang TersiratMorley melanjutkan, “Sejak datang ke Korea, saya begitu ter-

tarik melihat orang Korea merasa nyaman dengan suatu konsep yang disebut ‘yang ada di antara’. Saya sangat senang ketika me-nemukan kata ‘sai’ dalam bahasa Korea, karena kata itu merupa-kan bagian dari nama saya, yang kemudian ditulis: ‘Sai-mon.’ Bagi orang Barat, hal seperti itu menyebalkan karena mereka menyu-kai sesuatu menjadi A saja atau B saja. Akan tetapi, konsep ‘yang ada di antara ini’ adalah AB; ada ruang yang tidak bisa diartikan dengan jelas di sana. Dan bagi saya, ruang semacam itu lebih ter-buka untuk banyak hal ketimbang sesuatu yang bersifat tertutup. Konsep ini potensial.

“Saya berusaha menuangkan hal tersebut ke dalam gambar

“ Quaint Korea (1985)”, 56x77.5cm, Cat Air di atas kertas, 56x77.5cm 2011

Page 42: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

42 KOREANA Musim Dingin 2014

2

yang mereka alami sebagian menjadi berlaku secara keseluruhan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, “Mereka tidak dapat mengungkapkan dengan mudah apa yang mereka pikirkan secara verbal. Mereka tidak dapat mengatakan kepada saya mengapa mereka melukis sesuatu, dan juga tidak dapat memisahkan gaya dan isi. Mereka tidak dapat berja-rak dengan diri sendiri dari apa yang mereka sedang lakukan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti cara yang mereka lakukan lebih rendah dibandingkan dengan cara orang Barat; bahkan sebaliknya, saya pikir hal itu lebih superior dalam banyak hal. Saya pikir, cara orang Barat bersifat terbatas.”

Bukan sekadar perkataan belaka, karya-karya Morley pun men-

saya, yang menimbulkan perasaan atas sesuatu yang muncul atau menghilang. Saya melakukannya bahkan sebelum datang kemari, tetapi begitu tiba di sini, saya menyadari bahwa hal itu begitu bermakna penting dalam budaya Korea. Kita dapat meli-hatnya dalam lukisan pemandangan Korea tradisional dan bentuk lainnya.”

Karya-karya terbaru Morley telah bergeser dari reproduksi sampul buku yang pernah terbit, terdiri atas latar belakang de-ngan teks timbul (yang dia gambarkan sebagai “gambar yang hampir mencuat seperti sebuah tato atau koreng”). Satu karyanya menggambarkan lukisan dari film L’Eclisse buatan Michalenge-lo Antonioni pada tahun1962, dihiasi dengan kutipan dari indeks sebuah buku tentang Buddha:

“Dinginnya esIdentitas, teori dariKetidaktahuan (avidya)Dupa, yang sebatang.”“Saya menyukai susunan seperti itu; urutan kata-kata yang ter-

putus. Cara itu seolah-olah menyulap sesuatu untuk kita. Urut- an kata-kata itu membangkitkan suasana sehingga menimbul-kan citraan. Apakah yang mereka hasilkan bersama? Mereka semua terhubung secara visual. Ada sebuah hubungan dalam tingkat visual.”

Di dalam Ruang KelasSejak awal karier sebagai seniman, Morley juga bekerja sebagai

guru. Saat ini, dia menjadi pengajar di Universitas Dankook Jurusan Seni Rupa. Di sana dia mengajar tentang perbedaan budaya Barat dan Timur kepada mahasiswa Korea.

“Terlepas dari hambatan bahasa, saya menemukan berbagai per-bedaan antara mahasiswa Korea dan Inggris. Misalnya cara maha-siswa Korea dalam memecahkan masalah jauh berbeda dengan cara mahasiswa seusia mereka di Inggris,” kata Morley.

Ia berspekulasi, ada perbedaan antara pendekatan analitis Barat yang melibatkan kategorisasi dan jarak, dengan cara berpikir menyeluruh (holistik) Asia Timur yang menerapkan prinsip “apa

1. “LOST HORIZON I”, 35x70cm, akrilik di atas kanvas, 2013

2. “Korea and Her Neighbors(1898)”, 40.5x30cm, akrilik di atas kanvas, 2011

1

© L

im T

ae-j

un

© K

im D

ong-

ryul

Page 43: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 43

jadi saksi atas penghargaannya terhadap cara tersebut. Sebagaima-na yang dia tegaskan, banyak karyanya yang sengaja didesain untuk memaksa penonton menganalisisnya dengan cara di luar kebiasaan mereka dan merayakan ambiguitas.

Ayunan, Putaran, dan KecepatanNamun semua tentu bisa berubah: Korea yang sedang mengejar

ketertinggalan dari generasi pertama negara ‘maju’ di dunia telah menciptakan situasi di mana generasi mudanya kini menyaksikan dua alam berpikir, lama dan baru, yang berjalan berdampingan.

“Apa yang terjadi kini di Korea sangatlah aneh karena menjadi suatu hibrida: karena menerima budaya Barat, mereka dapat men-erima baik pemikiran holistik maupun analitik. Mereka dapat mem-balik AC ke DC. Oleh karena itu dalam berbagai hal, orang Korea adalah masa depan.”

Bagaimanapun, bandul perubahan ini tidak berhenti berayun. Sebagaimana disaksikan, terjadi perubahan tingkah laku dalam hubungan antara manusia dan alam, sebuah indikator posisi umum pada pemikiran holisme-reduksionisme. Orang Korea sekarang telah menjadi lebih ‘Barat’ dibandingkan orang Barat sendiri, menu-rut spekulasi Morley.

“Orang Korea menyambut teknologi dengan antusias. Anda dapat melihat bagaimana mereka semua mau hidup dalam microchip rak-sasa. Bahkan saat mendaki gunung, mereka memakai pakaian ber-warna-warni mencolok, mendengarkan musik, dan membuat suara berisik. Saya pikir, harmoni dengan alam kini adalah sesuatu yang lebih direnungkan oleh Barat,” katanya.

Pada Ambang DigitalMorley sangat memahami bahwa batas tradisional antara teks

dan gambar yang diwujudkan oleh karyanya semakin kabur, jika tidak dapat dikatakan hilang, karena hadirnya teknologi baru seperti gambar digital berbentuk pixel. Namun di Asia, menurutnya batas tersebut tidak dapat dibedakan dengan jelas sejak awal. Ditambah lagi di Korea, penggunaan huruf Mandarin dan Hangeul, membuat hal ini semakin menarik.

“Dalam dunia digital, semua berwujud pixel. Entah itu gambar atau teks, semuanya sama dan cair. Teks dapat berubah menjadi gambar dan gambar pun dapat berubah menjadi teks. Dapat terli-

hat jelas, perbedaan antara kata dan teks kini tidak lagi kasat mata secara teknologi. Orang Asia terutama China – cenderung tidak mempersoalkan hal ini - karena tulisan mereka berwujud ideografik. Sementara orang Korea berbeda karena mengembangkan Hangeul, yang berpatokan pada fonetik. Ada teori yang menyatakan bahwa alam pikiran kita sangat dipengaruhi dari bagaimana kita menggu-nakan bahasa. Konsep alfabetis membuat kita berpikir lebih linear: yang membuat sisi pelisanan bahasa kurang teperhatikan ketimbang sisi visualnya,” katanya.

Pernyataan semacam ini – di tingkat rendah literasi Korea pra-modern – menjadikan Morley dan karyanya berada di posisi yang menarik. Terutama saat dihadapkan dengan batas antara Timur dan Barat, sebuah garis tipis yang bisa saja terbentang di suatu padang rumput Asia Tengah dengan terpaan angin dan di bawah badai kilat dikotomi.

Masa Depan KosmopolitanApakah Morley jatuh cinta pada Korea? “Ya begitulah, namun

yang pasti saya jatuh cinta kepada seorang perempuan Korea,” dia menjawab dengan tertawa. Walaupun pasangannya, seorang desainer tekstil, Chang Eung-bok, akan mengembangkan bisnis ke Barat pada tahun-tahun mendatang, pasangan itu akan menetap di Korea selama beberapa waktu. “Katakan saja di sini adalah masa depan dan Eropa adalah masa lalu,” katanya. Selain itu, mengacu pada masyarakat Eropa yang sedang mengalami krisis, dia menam-bahkan, “Saya kehilangan kepercayaan pada Eropa. Sementara di Korea, dunia seni kelihatan sangat menjanjikan.”

Morley menyimpulkan, “Orang Korea tiba-tiba mendapati kenyat-aan bahwa orang asing benar-benar ada di sini dan melakukan ber-bagai hal. Orang asing tidak hanya datang kemari untuk melakukan sebuah pertunjukan dan lalu pergi. Mereka ingin berada di sini. Hal besar yang harus dilakukan orang Korea adalah menjadi lebih kos-mopolit. Inilah langkah selanjutnya untuk menjadi masyarakat mod-ern sejati. Untuk menjadi kosmopolitan, orang Korea perlu berbagai bangsa di dunia untuk hadir di negeri ini. ”

Dengan seniman seperti Morley yang membongkar dikotomi dan perbedaan, para penggemar seni kontemporer di dunia dapat meli-hat ke depan, ke berbagai kemungkinan dan perkembangan yang menjanjikan di tahun-tahun mendatang.

Morley sangat memahami bahwa batas tradisional antara teks dan gambar yang diwujudkan oleh karyanya semakin kabur, jika tidak dapat dikatakan hilang, karena hadirnya teknologi baru seperti gambar digital berbentuk pixel. Namun di Asia, menurutnya batas tersebut tidak dapat dibedakan dengan jelas sejak awal. Ditambah lagi di Korea, penggunaan huruf Mandarin dan Hangeul, membuat hal ini semakin menarik.

Page 44: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

44 KOREANA Musim Dingin 2014

DI ATAS JALAN

Hidup di Kluster Desa PesisirNama kota Suncheon berarti “menuju surga.” Lahir sebagai manusia, mengikuti panggilan menuju surga, dan menjalaninya seperti nama kota itu. Apa yang lebih indah dari itu semua? Memiliki mimpi, bekerja dengan rajin, belajar mengenai kejujuran, dan berbagi sesuatu yang berharga dengan mereka yang sedang kesulitan—betapa indahnya jika kita hidup dengan cara seperti ini.

Suncheon Gwak Jae-gu PenyairLee Han-koo Fotografer

Page 45: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 45

Page 46: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

46 KOREANA Musim Dingin 2014

2 3

1

Page 47: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 47

1. Hwapo, terletak di ujung barat Pantai Suncheon, merupakan sebuah desa kecil yang dihuni sekitar 40 rumah tangga. Di sinilah perahu nelayan kembali ketika senja turun. Pemandangan nelayan yang membersihkan ikan disergap cahaya matahari yang terbenam indah memperlihatkan spirit hidup yang besar.

2. Jaring ikan yang dibuat dengan bambu dan jala yang berbaris di sepanjang Pantai Suncheon. Dalam metode penangkapan ikan tradisional ini, ikan ditangkap dengan memperhatikan air surut dan aliran air pasang.

3. Yeojado merupakan sebuah pulau kecil di selatan Suncheon. Dengan menggunakan perahu kecil, nelayan dari pulau tersebut menjual hasil tangkapan mereka ke wilayah lain.

Saya teringat sebuah kenangan lama. Saat itu saya sedang dalam perjalanan ke Suncheon dengan kereta. Karena terlalu kecil untuk bepergian seorang diri, saya harus ditemani. Kali

ini paman saya yang menemani. Saya duduk di pangkuannya sambil memandang keluar jendela menikmati pemandangan, dan paman saya memanggil penjual makanan yang sedang mendorong keran-jang penuh kudapan dan minuman melewati lorong. Ia melihat ke arah keranjang dan mengambil sekantung permen. Kantung itu beri-si “permen bintang” seukuran ujung jari tengah.

Waktu sudah lama berlalu dan paman saya sudah sangat tua. Saya mengunjunginya dan sambil memegang tangannya saya cerita-kan tentang permen bintang itu. Peristiwa itu sudah lama sekali dan ia tak ingat pernah membelikan keponakan kecilnya ini sebuah kan-tung ajaib berisi permen. Ia berkata, “Ketika kamu masih kecil, saya sering mengajakmu naik kereta. Saat itu saya bekerja di proyek kon-struksi di Suncheon, dan kadang-kadang saya mengajakmu.”

Ibu tidak punya cukup waktu sehingga paman sering kali men-gajak saya ketika ia mengunjungi lokasi konstruksinya. Ketika mendengar kata Suncheon, saya ingat perjalanan dengan kereta itu dan kenangan tentang permen bintang pun dengan jelas terbay-ang kembali. Jika ada setitik kehangatan atau secercah harapan yang bisa saya rasakan dalam pekerjaan saya setelah memutuskan menjadi penulis profesional, itu semua berkat kenangan masa kecil tentang Suncheon.

Keindahan Matahari Tenggelam dan Hamparan Lumpur Lima belas tahun yang lalu, saya kembali ke Suncheon. Seorang

diri. Ketika itu saya sangat lelah menjalani hidup. Saya menulis lebih dari 30 karya dalam sebulan, tak hanya puisi tapi juga tulisan lain termasuk artikel surat kabar, cerita anak, artikel jurnal korporat, dan sketsa perjalanan. Saya mempertaruhkan nama saya seba-gai seorang penulis, mulai putus asa dan sempat berpikir tak akan bisa menulis lagi. Untuk mengatasi keadaan sulit ini, saya pergi ke sebuah desa pesisir yang sepi di Suncheon.

Hamparan yang terbentuk dari lumpur akibat air pasang ter-hampar di depan saya yang sedang putus asa. Matahari tenggelam merengkuh laut dan airnya menjelma keemasan. Sebuah kapal pen-cari ikan terlihat menuju arah yang berlawanan dengan tenggelam-nya matahari itu. Saya sedang melihat kapal itu ketika saya menya-dari langit di sisi itu juga berkilau merah. Itulah saat saya pertama kali melihat matahari tenggelam tak hanya mewarnai langit di bagi-an barat tapi juga di sisi timur. Ia tak hanya mewarnai langit tapi juga hamparan lahan basah yang terbentuk dari lumpur itu. Saat saya melihat matahari tenggelam yang memandikan langit dan bumi de-ngan cahaya berkilau, seorang laki-laki datang menghampiri.

“Pak, apa nama desa ini?” tanya saya.“Namanya Waon,” jawabnya.“Wa artinya ‘berbaring’ dan on arti-

nya ‘kehangatan.’ Laut yang menjadi sangat indah di senja hari ini disebut Laut Waon.”

Perlahan saya menulis nama desa ini di pasir dalam aksara Cina. Ketika saya menulis karakter on saya baru mengerti bahwa karakter itu terdiri dari elemen air (氵), mulut (口), manusia (人) dan darah (血). Karakter on (溫) yang berarti kehangatan bermakna air masuk ke

Page 48: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

48 KOREANA Musim Dingin 2014

mulut manusia dan berubah menjadi darah. Ketika saya mendengar nama desa itu saya merasa ada aliran darah yang menghangati seluruh tubuh saya. Lalu saya men-coba ikhlas menerima apa yang terjadi dengan hidup saya, dan mulai memupuk harapan untuk menulis kem-bali. Suncheon membantu menyatukan jiwa dan raga saya kembali. Waktu berlalu. Saya kembali ke Suncheon dan sejak saat itu saya menganggapnya rumah.

Habitat Burung Musim DinginWaon adalah desa pesisir di tengah Teluk Suncheon.

Hamparan lahan basah yang terbentuk dari lumpur aki-bat air pasang di sini sangat luas. Aroma yang biasa dite-mui di pantai barat tak ditemui di sini. Bisa jadi ini kare-na banyaknya alang-alang di Teluk Suncheon, tepat di sebelah hamparan itu. Teluk itu meliputi 39,8 km2 garis pantai, 21,6 km2 hamparan lahan basah dari lumpur dan 6 km2 padang alang-alang. Alang-alang tumbuh subur di wilayah air tawar dan air asin, dan bahkan lebih baik lagi di daerah pertemuan air tawar dan air asin. Teluk Suncheon merupakan tempat yang sempurna bagi per-tumbuhan alang-alang karena tempat ini merupakan pertemuan aliran sungai Dongcheon yang melintasi kota Suncheon dan sungai Isacheon. Berkat kekua-tan lahan basah itu dan kemampuan pembersihan diri alang-alang, tempat ini menjadi sangat terkenal di selu-ruh dunia sebagai habitat burung yang bermigrasi. Pada tahun 2006 tempat ini menjadi wilayah lahan basah pesi-sir Korea pertama yang terdaftar di Konvensi Ramsar.

Suatu hari ketika salju turun dengan deras, saya ke-luar menuju teluk dengan perahu khusus untuk melihat burung. Burung-burung musim dingin sedang beristira-hat dengan damai di alang-alang dan sekawanan angsa sedang berenang. Mereka berenang tanpa suara. Kami mematikan mesin perahu dan melihat angsa-angsa itu

1. Pantai Suncheon dikelilingi oleh dataran ilalang sepanjang 16 km. Ketika bunga ilalang putih yang bermandikan sinar matahari, mulai melambai tertiup angin, ladang berubah menjadi dataran emas mulia.

2. Pantai Suncheon merupakan rumah yang nyaman bagi burung musim dingin. Di musim dingin, puluhan ribu burung dari sekitar 230 jenis seperti bangau berleher jenjang dan itik Baikal datang ke tempat ini. Jumlah burung yang mencapai pantai meningkat setiap tahun.

1

2

Suatu hari ketika salju turun dengan deras, saya keluar menuju teluk dengan mengendarai perahu khusus untuk melihat burung. Burung-burung musim dingin sedang beristirahat deng-an damai di alang-alang, dan seka- wanan angsa sedang berenang. Mereka berenang tanpa suara. Kami mematikan mesin perahu dan melihat angsa-angsa itu terbang ke langit. Kawanan burung itu terbang menuju salju dan dalam sekejap sudah menghilang dari pandangan. Entah salju itu yang menutupi mereka atau mereka yang menutupi salju.

Page 49: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 49

terbang ke langit. Kawanan burung itu terbang menuju salju dan dalam sekejap sudah menghilang dari panda-ngan. Entah salju itu yang menutupi mereka atau mere-ka yang menutupi salju.

Berkat orang-orang yang terlibat dalam proyek “Kembalinya Duri”, Teluk Suncheon menjadi destinasi burung-burung itu bermigrasi. Duri adalah bangau ber-jambul (dalam bahasa Korean disebut heukdurumi) yang merupakan maskot kota Suncheon. Bangau berjam-bul ini merupakan spesies langka, dan salah satu dari sedikit burung yang bermigrasi ke Suncheon. Karena tertinggal ketika kawanannya kembali ke tempat se-mula di Siberia, Duri kemudian diberi makan dan dipeli-hara oleh warga Suncheon selama lebih dari sepuluh tahun. Kemudian setelah satu tahun latihan bertahan di alam bebas, Duri terbang kembali ke Siberia bersama

sisa kawanannya pada musim semi berikutnya. Orang-orang di pesisir pantai mengira alat pelacak nirkabel yang dipasang pada kaki Duri terlepas ketika burung itu melewati perbatasan Korea, dan mereka sangat menan-tikannya kembali.

Wanita Suncheon Hidup dari LumpurHwapo adalah desa pesisir lain dan merupakan

landmark Teluk Suncheon, sama seperti Waon. Jika Waon ibarat kutub utara magnet tapal kuda, Hwapo adalah kutub selatannya. Teluk Suncheon menem-pati wilayah di antara dua desa itu. Ikan dan kerang di lahan basah di teluk itu—remis, gurita, tiram, dan ikan bintik biru—adalah yang terbaik di Korea dalam hal rasa dan kesegarannya. Novelis Park Wan-seo (1931-2011) secara khusus menyukai remis bakar

Page 50: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

50 KOREANA Musim Dingin 2014

Suncheon. Saya ingat suatu hari ketika ia melihat sekelompok wanita yang ssedang mendorong kere-ta kayu di atas lumpur dan menganggapnya wanita pekerja ini lebih indah dibanding hamparan lumpur Waon. Kereta kayu yang disebut neol itu panjangnya sekitar tiga meter dengan lebar tigapuluh sentim-eter dan nampak seperti sepatu ski dari kayu. Para wanita itu mengisinya dengan kerang yang mere-ka kumpulkan, dan degan satu lutut di atas kereta sementara kaki lainnya menggerakkannya melewati lumpur. Nampaknya mudah dilakukan, tapi pekerjaan itu sangat berat bahkan bagi para wanita yang sudah bekerja di hamparan lumpur selama puluhan tahun. Pekerjaan ini sangat berat sehingga nyanyian yang mereka senandungkan ketika bekerja pun berbunyi: “Ibu, Ibu, Mengapa kau lahirkan aku dan kau buat aku mendorong kereta ini.” Ketika ia melihat para wanita Waon ini mendorong kereta, Park Wan-seo mengata-kan bahwa suatu dari ia akan tinggal di desa itu. Keti-ka saya mendengar hal ini, saya pikir penulis tua itu ingin menghabiskan hari-hari terakhirnya mendorong kereta melewati lumpur bersama dengan wanita Waon dan Hwapo.

Di kota Suncheon, yang meliputi desa-desa kecil di pesisirnya dan hamparan lumpur di dalamnya, diada-kan Garden Expo pada tahun 2013, dengan tujuan mempromosikan keindahan kota kecil ini kepada dunia. Acara ini tidak akan mungkin terselenggara tanpa hamparan lumpur yang bersih dan alang-alang di Teluk Suncheon, burung-burung yang bermigrasi ke sini, dan kehidupan dan kerja keras warga desa. Jika hidup Anda keras dan pekerjaan seakan tiada akhir, pergilah ke Teluk Suncheon di suatu hari di musim salju. Anda akan menemukan irama kehidu-pan yang paling sibuk dan merasak-an darah menga-lir dengan hangat ke jantung Anda.

Ladang Garam Wanita Tua

Di musim dingin, tiga tahun lalu, saya mengunjungi sebuah desa kecil bernama Parangbagu di Teluk Suncheon. Salju mulai turun ketika seorang wanita keluar dari ruang khusus untuk warga lanjut usia di desa itu. Dan saya pun menghentikan mobil.

“Mau ke mana Anda di tengah salju begini?” tanya saya.

“Kami sedang bermain kartu bunga di ruangan itu tapi hari ini saya tidak beruntung, jadi saya keluar. Saya akan pergi ke gunung” katanya.

“Sekarang sedang turun salju. Tunggulah

sebentar lagi.”“Jika saya tidak bekerja ketika masih siang,

saya merasa telah berbuat sesuatu yang jahat.”Itulah bagaimana kami memulai

perbincangan di jalan. Wanita tua itu memberitahu saya kisah hidupnya. Kisah cinta yang hanya mungkin bagi mereka yang setia pada satu mimpi dan satu tujuan.

“Ketika kami muda, suami saya sangat tampan. Ia sangat cerdas. Ia tidak punya kesempatan sekolah tapi setelah kami menikah ia belajar sendiri membaca dan menulis. Ia sangat pandai menulis dan selalu memenangkan hadiah dalam lomba menulis sastra di desa. Saya tidak bisa membaca sama sekali. Itu adalah

hari-hari indah kami. Kami hidup bahagia ketika tiba-tiba suatu hari ia datang dan mengatakan saya kecil dan jelek, dan kemudian mengusir saya keluar rumah. Ia menyuruh saya pergi, lalu saya ke gunung dan membangun sebuah gubug kecil tempat saya kemudian tinggal. Anda lihat padang alang-alang di sana. Saya tinggal sendiri dan membuat ladang garam di sana. Saya bekerja seperti setan. Ketika saya membuat ladang garam itu harga garan mulai naik. Saya mendapat banyak uang. Suatu hari, ketika saya pulang dari ladang garam, saya mendapati suami saya duduk di kamar saya. Ia melihat saya dan membentak: ‘Hm. Suamimu di sini. Apakah kamu akan terus berdiri di situ?’ Lalu saya memasak

Page 51: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 51

Kuil Seonam Kuil ini dibangun atas inisiatif Penasehat Negara Dosan di abad ke-19, pada jaman Silla Bersatu, dan merupakan salah satu kuil utama di wilayah Honam, Korea. Kuil ini sangat bersejarah dengan sejumlah kekayaan budaya-nya termasuk pagoda barat dan timur yang terdiri dari tiga lantai (Kekayaan Negara No. 395), ruang utama, Daeungjeon (Kekayaan Negara No. 1311), dan jembat-an setengah lingkaran. Kuil ini menjadi favorit banyak orang karena bangunannya yang anggun dengan sua-sana yang sangat mendukung dan hutan di sekeliling-nya yang dipenuhi pohon berusia ratusan tahun. Kuil ini merupakan kuil utama dari Orde Buddha Taego Korea, yang memperbolahkan pendetanya menikah.

Kuil Songgwang Jika di bagian timur Gunung Jogye terdapat Kuil Seon-am, di bagian barat ada Kuil Songgwang. Di bagian dalam kuil ini terdapat sekitar 80 bangunan yang diatur dalam lingkaran konsentris. Kuil ini memiliki kekayaan budaya termasuk Guksajeon, sebuah bangunan awal dinasti Joseon dari abad ke-14 yang digunakan sebagai tempat suci dengan potret 16 penasehat negara. Kuil ini dikenal sebagai kuil sangha (komunitas Buddha) di mana tradisi biara Buddha dilestarikan, dan oleh karenanya menjaid salah satu dari “tiga kuil utama” Korea bersama dengan Kuil Tongdo di Yangsan, tempat barang-barang asli peninggalan Buddha disimpan, dan Kuil Haein di Hapcheon dengan 80.000 buku kayu Tripitaka Koreana-nya.

Taman Teluk Suncheon Taman Teluk Suncheon adalah taman ekologi seluas 5.600 km2 yang dibangun di situs Suncheon Interna-tional Garden Expo pada tahun 2003. Taman ini merupa-kan sebuah komplek yang terdiri dari sekitar 70 taman dengan tema khusus termasuk taman tradisional dari berbagai negara yang berpartisipasi dalam Expo, taman korporat, dan taman yang dibuat oleh para seniman dan warga, serta taman bunga dan taman tanaman obat.

Benteng Kota Nagan Seluruh wilayah desa termasuk Benteng Kota Nagan (Nagan-eupseong) merupakan atraksi turis terkenal yang termasuk dalam Situs Sejarah No. 302. Gaya peru-mahan Dinasti Joseon dilestarikan dengan baik. Rumah beratap jerami dengan teras mungil dan dapur de-ngan perabot memasak dapat dilihat di seluruh penjuru desa. Kantor pemerintah yang lama juga masih diper-tahankan. Kini penduduknya hidup dengan bertani dan menyediakan akomodasi bagi para tamu.

Peternakan kerang merupakan sumber pendapatan penting bagi penduduk dari dataran pasang surut Pantai Suncheon. Para perempuan dari daerah ini mendorong kotak kayu mereka ke dalam kekentalan lumpur, sedalam pinggang mencari lubang udara yang menandai terdapat tiram dan kerang di situ.

nasi dan mulai menyiapkan makanan. Saya menangis tapi saya bahagia.”

Tak ada yang lebih membahagiakan dari melihat orang yang mengerjakan apa yang sangat disukainya sampai tua. Wanita tua itu, setelah bertanya kepada saya dari mana saya berasal, berjalan cepat menaiki bukit menapaki jalan terjal ke ladangnya. Mata saya terpaku pada cangkul pendek di tangannya. Sejujurnya, cangkul dan kerutan lembut di sekeliling matanya lebih menarik perhatian dibanding butiran salju yang turun di desa pesisir yang sunyi itu.

Page 52: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

52 KOREANA Musim Dingin 2014

BU

KU

& L

EB

IHC

harles La S

hu

re Profeso

r, Prog

ram S

tud

i Bah

asa dan

Sastra K

orea, S

eou

l Natio

nal U

niversity

Novel Lee Ki-ho yang terbit pada 2009 ber-cerita tentang keunikan yang baru: kisah

sebuah agensi yang bertujuan untuk mena-warkan permohonan maaf atas nama orang lain. Kisah itu terdengar seperti komedi, dan memang sebuah komedi tetapi bukan seper-ti biasanya. Cerita disampaikan melalui mata seorang narator yang sederhana, naif, tidak bisa diandalkan, dan suka berterus terang. Dia ber-harap setiap orang dapat bersikap terus terang seperti dirinya dan memandang segala hal den-gan perhitungan. Di sinilah terjadinya komedi sekaligus tragedi dalam cerita tersebut.

Novel dibuka dengan adegan tokoh utama dan temannya Si-bon, di sebuah rumah sakit jiwa. Namun di sana mereka tidak dirawat malah diberi obat dan dipukuli setiap hari oleh dua perawat, keponakan sadis dari kepala rumah sakit itu. Peristiwa ini juga terjadi pada seorang tunawisma yang ditangkap di stasiun kereta. Pria itu diam-diam setiap hari menulis surat agar ada seseorang di luar sana datang mem-

bebaskannya. Ia menaruh surat itu di gulungan kaus kaki kemu-dian melemparkannya ke luar pagar rumah sakit. Tokoh utama dan temannya itu kemudian menirunya. Akhirnya, polisi pun merazia rumah sakit jiwa dan karyawannya dimasukkan ke penjara, kemu-dian pasiennya dikirim pulang.

Sang narator tidak dapat mengingat di mana dia tinggal, maka keduanya pergi ke rumah adik perempuan Si-bong bernama Si-yeon. Setelah beberapa waktu, kekasih Si-yeon yang disebut sebagai “laki-laki dengan kacamata berbingkai-tanduk” menyemangati mereka untuk mencari pekerjaan. Karena sejarah rumah sakit jiwa mereka dan tidak adanya pengalaman kerja, membuat hal itu tidak mung-kin dilakukan. Dari sinilah mereka mendapat ide brilian yaitu bekerja untuk memintakan maaf bagi orang lain. Namun konsep “maaf” ini tidak sekadar kata-kata penyesalan. Ketika mereka di rumah sakit jiwa, perawat akan memukuli sampai meminta ampun, bahkan jika mereka harus berpura-pura salah agar dapat meminta maaf atas kesalahan tersebut. Maka konsep “maaf” itu menjadi tumpang tindih dengan dipukuli, sehingga ketika mereka secara lugu mengguna-kan istilah “maaf” untuk apa yang mereka lakukan jadi terlihat sep-erti minta penebusan dosa atau pertobatan. Ditambah dengan suara memohon yang bernada sok-religius, yang bukan sebuah kebetulan belaka. Pada bagian akhir buku, seseorang yang mendengar apa yang dilakukan sang tokoh utama berkata, “Huh, saya pikir hanya ada satu Yesus di dunia ini.”

Cerita dalam buku ini tidak begitu panjang. Namun banyak yang dikemukakan dalam kisah itu; humor gelap dan pemikiran tentang kehidupan dan hubungan manusia yang disampaikan dengan blak-blakan. Setidaknya Kita Bisa Meminta Maaf adalah sebuah buku yang dapat membuat pembacanya berkontemplasi setelah mem-baca halaman terakhirnya.

Sumber online ini adalah sumber yang kedua dari seri sumber berbahasa Inggris yang diproduksi oleh Museum Nasional Raky-at Korea. Yang pertama adalah Ensiklopedia Tradisi Musiman Korea, dan enam ensiklo-pedia lagi akan ditambahkan di masa men-datang. Versi bahasa Korea dari Ensiklopedia Kepercayaan Rakyat Korea terdiri dari enam jilid yang membahas tentang shamanisme dan penyembahan dewa di desa serta rumah tang-ga. Versi bahasa Inggris ini lebih pendek kare-na disunting untuk memudahkan pemahaman.

Ensiklopedia ini terdiri dari 250 artikel yang terbagi dalam tujuh tema besar, yaitu: Ri-tual dan Dukun, Benda Suci dan Ketuhanan, Pe-raga Ritual, Persembahan Ritual, Tem-

Walaupun Memiliki Halangan Kecil,Sebuah SumberBergunatentang Budaya Rakyat Korea

Penglihatan Tanpa Saringan terhadap Hidup dan Hubungan Manusia

“Ensiklopedia Kepercayaan Rakyat Korea”http://folkency.nfm.go.kr/eng/folkbeliefs.jsp,Museum Nasional Rakyat Korea

“Setidaknya Kita Bisa Meminta Maaf”Lee Ki-ho, 2009, Penerjemah Christopher J. Dykas, Penerbit Dalkey Archive Press, 2013, USD 13.00, 185 halaman

Page 53: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 53

atau periode tertentu.Buku Fajar Korea Modern tidak menuturkan

cerita yang berkepanjangan tetapi menyajikan lebih banyak potret sejarah Korea. Dengan cara penya-jian tersebut buku itu tidak berusaha mendiskusikan sejarah dengan panjang lebar, tetapi memberikan gambaran kaleidoskop kepada kita. Pada buku ini kita dapat menemukan diri sendiri, misalnya, dalam masuknya servis bus di Seoul, kemunduran moral pada gisaeng (wanita penghibur), lalu ke penolakan Kristen terhadap kebijakan kekaisaran Jepang, yang semuanya diuraikan dalam tiga bab berurutan.

Cara bercerita seperti itu membuat alur seperti terputus pada suatu waktu, tetapi justru itulah yang khas dalam buku ini. Hal ini membuat para pembaca

dengan mudah masuk ke bagian buku mana pun dan mempelajari sesuatu yang menarik dalam sejarah Korea. Sama seperti semua sejarah, transformasi era modern di Korea dimulai dari interaksi antara nilai lama dan baru. Sebagian besar dan yang paling penting adalah nilai lama mewakili tradisi Korea yang asli dan khas, semen-tara nilai baru adalah ide dan teknologi dari luar. Nilai-nilai itu saling bertentangan kemudian melahirkan bangsa yang baru dan modern, dan pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang unik bagi Korea.

Keunggulan buku Fajar Korea Modern terletak pada fokus trans-formasi yang digambarkan muncul dari pertentangan nilai. Peng-gambaran transformasi itu menjadi sumbangsih terbesar dari buku Fajar Korea Modern. Namun bagian cerita lain pada buku ini juga tak kalah menarik untuk diikuti. Banyak referensi tentang peran Jepang sebagai penjajah dan sejumlah bab yang membahas khusus tentang zaman penjajahan.

Koleksi esai Lankov ini bukan seperti buku sejarah yang biasa. Itulah kelebihan yang dimiliki buku ini. Bagi pembaca yang baru mengenal Korea, buku ini dapat menjadi buku pengantar tentang sejarah modern Korea yang mudah dipahami. Sementara bagi pem-baca yang sudah paham dengan Korea dapat memperoleh pemaha-man yang lebih mendalam tentang negeri ini dan menemukan fakta-fakta yang cukup menarik di dalam buku ini.

Andrei Lankov, mantan profesor di Universitas Kookmin, Seoul, dan sekarang menjadi pengajar di Universitas Oslo, Norwegia,

berpendapat bahwa era yang paling jaya bagi Korea adalah era mo-dern, yaitu era “pemecah rekor transformasi ekonomi dan sosial yang untuk pertama kalinya dalam sejarah negara tersebut telah menjadikan Korea sebagai pemain utama dalam dunia ekonomi dan politik global.” Bukunya, Fajar Korea Modern, yang ditulis ber-dasarkan kolom Lankov untuk The Korea Times pada awal tahun 2002, dimulai dengan judul “Transformasi dalam Kehidupan dan Pemandangan Kota” sejak seratus tahun lalu atau lebih. Buku ini diawali dengan pembukaan di tahun 1784, tahun yang menandai kedatangan Kristen di semenanjung Korea. Dalam hal ini, Korea cukup unik, mengingat Kristen tidak diperkenalkan oleh mision-aris asing tetapi oleh orang Korea yang menjadi Kristiani di Cina. Topik dalam Fajar Korea Modern kemudian melompat hampir sera-tus tahun berikutnya ke tahun 1871, saat pertama kali foto diambil di Korea. Sebenarnya hal itu terjadi pada tahun 1881 saat sekelom-pok pelajar Korea pertama kali melakukan perjalanan keluar ne-geri untuk belajar teknologi modern. Buku itu terdiri dari 97 esai dan masing-masing menceritakan peristiwa penting dalam sejarah Korea yang dapat dianggap sebagai ‘turning point’ atau titik balik dalam sejarah Korea. Ditambah beberapa bab yang membahas abad

pat Ritual, Konsep, dan Referensi. Masing-masing artikel dapat ditelusuri berdasarkan urutan abjad. Kolom search dapat diguna-kan untuk mencari artikel yang lebih spesi-fik. Artikel ini dilengkapi dengan foto, yang juga dapat ditelusuri secara terpisah di bagian “Multimedia”. Situs ini menyediakan tampilan detail tentang banyak aspek dari kebudayaan rakyat Korea yang membentuk Korea sebagai sebuah bangsa.

Tampaknya situs ini masih perlu per-baikan dalam beberapa hal. Misalnya, pen-carian kata kunci belum berfungsi dengan baik, halaman hasil pencarian menampil-kan beberapa hit sementara yang lainnya kosong. Selain itu, tidak ada perangkat untuk

mengantisipasi pencurian dari ensiklopedia yang tersedia; pencarian akan menampil-kan hasil dari kedua ensiklopedia. Dalam praktiknya, ini bukan masalah, sama seperti kedua ensiklopedia adalah bagian dari Ensi-klopedia Kebudayaan Rakyat Korea. Terda-pat beberapa tumpang tindih data di antara keduanya, dan hal itu menjadi sedikit mem-bingungkan pada awalnya bagi pengguna.

Ke depannya, pencarian kata kunci semestinya terdapat di masing-masing ensiklopedia, apalagi ketika proyek ini sele-sai akan ada delapan sumber yang tersedia. Dalam hal pengaturan informasi, pada bagi-an “Multimedia” seharusnya mencantumkan boks pencari foto, video, dan film secara ter-

pisah. Jika tidak, maka hal ini dapat mem-bingungkan para pengguna. Selain masalah pencarian kata kunci yang harus diperbaiki sesegera mungkin, bagaimanapun, hal-hal itu hanyalah masalah kecil. Nilai dari kon-ten ensiklopedia itu sendiri jauh lebih pen-ting dari masalah apapun berkaitan dengan pengaturan informasi. Bahkan meskipun kebudayaan pop Korea modern telah men-dunia, sebagian besar aspek kebudayaan tradisional rakyat Korea belum diketahui secara luas. Sumber ini dan referensi tam-bahan dari Museum Nasional Rakyat meru-pakan langkah penting agar aspek-aspek kebudayaan tradisional Korea dapat lebih mudah diakses oleh penutur bahasa Inggris.

“Fajar Korea Modern”Andrei Lankov, 2007, EunHaeng NaMu, 13,000 won, 366 halaman

Sekilas Pandangan Menarik tentang Sejarah Korea Modern

Page 54: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

54 KOREANA Musim Dingin 2014

Nasib menantu laki-laki tergantung pada ibu mertuanya,” “Seorang menantu laki-laki selamanya tetap akan menjadi tamu,” dan “Jangan tinggal dengan mertua kecuali sedang

kelaparan.” Ketiganya adalah pepatah lama Korea yang memperli-hatkan hubungan antara ibu mertua dan menantu laki-laki, yang dili-hat dari perspektif yang berbeda. Bagi orang tua yang ingin anak per-empuannya bahagia, menantu laki-laki ibarat tamu abadi yang harus disambut dengan sangat baik, sementara menantu laki-laki ingin tetap menjaga jarak dari mertuanya untuk menghindari intervensi dalam hidupnya.

Sejak akhir tahun 1990an, hubungan antara menantu laki-laki dan ibu mertuanya dan perilaku mereka satu sama lain mulai berubah seiring dengan berubahnya gaya hidup yang terkait dengan keadaan finansial, dan akhirnya menentang pepatah tua itu. Dengan mening-katnya jumlah pasangan yang bekerja, ibu si istri lebih banyak terli-bat dalam pengasuhan cucu karena kedekatan dengan anak perem-puannya. Karena semakin banyak pasangan yang memilih tinggal dekat dengan orang tua si istri, menantu laki-laki dan ibu mertuanya semakin sering berhubungan. Budaya pop yang semula menyo-roti konflik antara menantu perempuan dan ibu mertua, kini mulai menaruh perhatian pada konflik antara mennatu laki-laki dan ibu mertuanya.

Perubahan Pola Hubungan dengan Menantu Laki-laki dalam Drama Televisi

Dalam drama “Roses and Bean Sprouts” dan “Last War” yang ditayangkan oleh MBC dan “Woman on Top” yang ditayangkan di SBS, menantu laki-laki tenggelam oleh mertua yang kaya raya, atau ibu mertua yang tidak puas dengan menantu laki-lakinya yang kurang berhasil dibandingkan dengan anak perempuannya. Hal ini memperlihatkan perlunya generasi baru perempuan yang meng-

gantikan generasi lama yang menghentikan karirnya setelah mereka menikah, sama seperti figur laki-laki yang gagal berperan sebagai tulang punggung keluarga setelah krisis finansial pada tahun 1997.

Di awal tahun 2010-an, miniseri di televisi sering kali memper-lihatkan perempuan berhubungan dengan ibunya seperti sahabat, setelah ayahnya meninggal. Sejalan dengan itu, karakter seorang ibu mertua yang kuat mulai muncul, menggantikan peran yang sebel-umnya dipegang oleh ayah mertua dan memberikan masalah dan situasi baru pada cerita itu. Dalam drama Korea sebelumnya, masa depan menantu laki-laki biasanya mendekati ayah mertua untuk memperoleh ijin menikah, dan ayah mertua akan memberikan tes mengenai kebiasaan minum dengan mengundangnya minum bersa-ma. Adegan ini kini diganti dengan menantu laki-laki yang yang men-coba memberikan kesan baik di mata ibu mertuanya, dengan meng-hiburnya di noraebang (karaoke). Drama “My Name is Kim Sam-soon” yang ditayangkan oleh MBC pada tahun 2005 adalah salah satu contohnya. Ketika pemilik restoran (Hyun Bin) mengunjungi rumah Sam-soon (Kim Seon-ah), ibu Sam-soon memberikan tes kebiasaan minumnya dengan minuman beralkohol dari buah dan kemudian membawanya ke noraebang. Adegan Hyun Bin dengan dasi terikat di kepalanya, dengan penuh nafsu memainkan tambourine ketika calon ibu mertuanya menyanyi, ditambah adegan serupa yang memperli-hatkan calon menantu laki-laki berkumpul dengan mertuanya, tak peduli lagi pada tradisi keluarga yang berbeda.

Secara khusus, drama “Fated to Love You” yang merupakan versi baru drama Taiwan tahun 2008 ditayangkan di televisi MBC dengan menyesuaikan hubungan antara ibu mertua dan menantu laki-laki dengan budaya Korea. Set-up kedua drama ini sama, yaitu nomor kamar hotel tertukar, laki-laki dan perempuan menghabis-kan malam bersama, perempuan hamil, dan terpaksa dilaksanakan pernikahan yang tidak diinginkan. Dalam versi awal, pengaruh ibu

Acara Televisi Penuh Konflik yang Melibatkan Menantu

HIBURAN

Yoo Sun-ju Kolumnis TV

Ada dua acara televisi Korea tahun ini yang mengangkat tema sama dari sisi yang berbeda. Drama “Wang’s Family” di televisi KBS yang menampilkan konflik antara ibu mertua dan menantunya yang tidak mampu menghidupi keluarga mencapai rating lebih dari 40%. Sebaliknya, reality show “Jagiya: Eternal Guest” yang ditayangkan SBS memperlihatkan menantu yang berperilaku seperti anak kandung, dan mendapatkan julukan “menantu negara.”

‘‘

Page 55: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 55

mertua pada pasangan itu tidak besar, tapi dalam versi baru si suami (Jang Hyuk), masih merasa janggal di dekat istrinya (Jang Na-ra), menjadi dekat kepada ibu mertuanya, yang memperlakukannya seperti anak kandungnya. Ia menikmati kehangatan cinta keluarga ini dan melakukan apa pun bagi keluarga istrinya. Bahkan setelah pernikahan itu berakhir dengan perceraian, ia secara rutin mengun-jungi restoran yang dijalankan oleh mantan ibu mertuanya. Si ibu mertua menunggunya sampai larut untuk sekadar menjamunya, bahkan ia berpura-pura mengeluhkan hal ini.

Kesenjangan antara Fantasi dan Kenyataan

Beberapa tahun lalu, media memberitakan bahwa sebagai ala-san terjadinya perceraian, konflik antara menantu laki-laki dan ibu mertua lebih banyak dibanding konflik antara menantu perempuan dan ibu mertua. Hal ini terlihat dari meningkatnya acara talk show di mana menantu laki-laki dari kalaagan selebritis dan ibu mertuanya secara terbuka merbicara mengenai kemarahan dan kekecewaan mereka. Salah satu acara jenis ini, “Jagiya: Eternal Guest”, menda-patkan popularitasnya dalam format reality show karena mengamati kehidupan sehari-hari menantu laki-laki yang hidup bersama ibu mertuanya. Sangat menyenangkan melihat menantu laki-laki yang merawat mertuanya dengan penuh kasih sayang, meski kadang-kadang mereka berselisih paham mengenai hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, jika kita cari alasan mengapa rata-rata pasangan muda tinggal dekat dengan orang tua si istri adalah karena mereka perlu mencari jalan keluar untuk mengatasi konflik yang disebabkan karena kedekatan mereka. Bagaimana mungkin bagi pasangan untuk memulihkan jarak dan terbebas dari intervensi mertuanya sementara mereka masih disokong secara finansial dan emosional setelah pernikahan?

Menurut hasil survei WoORizine (Women’s Online Resource

and Information, www.woorizine.or.kr) pada tahun 2012, enam dari sepuluh pasangan menikah tinggal dekat dengan mertua atau ting-gal bersama mereka. Konflik antara menantu perempuan dan ibu mertuanya menurun dengan adanya peningkatan jumlah pasangan bekerja yang artinya makin sedikit kontak di antara mereka. Karena kebijakan kesejahteraan sosial tidak bisa secara memadai menutup biaya dan menyediakan tenaga kerja yang diperlukan dalam peng-asuhan anak bagi pasangan bekerja, konlfik antara ibu mertua dan mennatu laki-laki akan terus berlanjut. Juga karena adanya pema-haman budaya bahwa pengasuhan anak adalah tanggungjawab per-empuan, tempat kosong yang ditinggalkan perempuan bekerja itu diisi oleh ibunya. Acara televisi Korea menitikberatkan pada konflik yang disebabkan oleh keinginan kuat si ibu mertua atau memberikan fantasi menantu yang seperti anak kandung.

Beberapa tahun yang lalu, media memberitakan bahwa sebagai alasan perceraian, konflik antara mennatu laki-laki dan mertua lebih sering terjadi dibanding konflik antara menantu perempuan dengan mertua.“Jagiya: Eternal Guest” mendapatkan popularitasnya dalam format reality show karena mengamati kehidupan sehari-hari menantu laki-laki yang hidup bersama mertuanya. Sangat menyenangkan melihat menantu laki-laki yang merawat mertuanya dengan penuh kasih sayang, meski kadang-kadang mereka berselisih paham mengenai hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari.

Dari arah jarum jam kiri, adegan dari drama MBC “Fated To Love You” dan “My Name is Kim Sam-soon,” dan reality show SBS “Jagiya.”

Page 56: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

56 KOREANA Musim Dingin 2014

Tak Berani Saya Membayangkan Seoul

Jika Seoul ibarat tubuh manusia, maka subway di kota ini adalah bak urat nadinya. Jika Seoul ibarat otak manusia, maka subwaynya adalah bak sis-tem neuron lengkap dengan sinopsisnya yang vital mengantarkan segala hal

bagi kota berpenduduk lebih dari sebelas juta orang ini. Tanpa menafikan pentin-gya serta terstrukturnya sistem jalan raya yang ada di atasnya, sebagai orang asing yang tinggal di kota Seoul, saya selalu tergelitik untuk tak pernah berhenti menga-gumi sistem subwaynya. Pertama kali datang ke Korea tahun 1998 untuk kunjun-gan singkat, saya saat itu sudah terkesima betapa mudahnya berkelana ke penjuru sudut kota dengan transportasi ini. Bisa jadi karena hingga saat saya menulis ini pun, Indonesia (khususnya ibukota Jakarta pun) baru memulai pembangunan sis-tem setara subway pada tahun 2014—sementara Seoul telah memulainya sejak tahun 1974 dengan jalur pertamanya. Singkat cerita, takdir membawa saya ke Seoul lagi berturut turut pada tahun 2002 dan tahun 2011 hingga sekarang. Semakin saya akui bahwa subway bagaikan urat nadi dan sistem neuron dengan sinapsis-nya (berupa stasiun-stasiun transfernya) yang tanpa lelah mengantarkan berbagai lapisan masyarakat, barang, jasa, dan informasi dari satu ujung ke ujung belahan kotanya. Dari dalam gerbong-gerbong atau dinding-dinding urat nadi dan neuron inilah, saya menyaksikan bagaimana Seoul telah berubah drastis.

Masih terngiang bagaimana rasanya menjadi orang asing saat pertama kali datang di Seoul. Kesan kikuk dalam keterasingan tak jarang menyeruak di hati ini. Namun, itu adalah kisah dulu. Kini, saat berada di dalam urat nadi Seoul ini, ter-lepas dari tatapan mata penasaran yang terkadang sesekali saya dapatkan, yang saya rasakan adalah kemudahan dan kenyamanan. Dua hal itu tak terbantahkan lagi. Namun, bukan itu yang ingin saya tekankan.

Setelah satu dekade berlalu dan kini kembali lagi ke Seoul, inilah yang saya rasakan: aneh rasanya jika tak kita temui orang asing di dalam subway, baik seba-gai pendatang atau ekspatriat, pekerja migran, pelajar asing, turis, atau apa pun. Mereka kini benar-benar mewarnai urat nadi Seoul ini. Seingat saya, tahun 1998 pun, tatapan penasaran orang Korea kepada orang asing masih terasa. Kini, orang asing telah bisa dikatakan berbaur dan memberi corak tersendiri dalam nuansa keseharian sendi kehidupan masyarakat. Jika saat saya pertama kali datang dulu, saya masih merasakan Seoul adalah miniatur Korea, kini tak salah jika dikatakan bahwa Seoul pun menuju menjadi miniatur dunia—dan subway adalah salah satu

ESAI

Page 57: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 57

tempat yang tepat untuk meneropong itu. Setiap saat di mana pun di jalur-jalur subway Seoul, akan mudah terlihat orang asing dengan berbagai ras dan warna kulit. Ya, dari sinilah Seoul tak pelak telah menyejajarkan dirinya dengan kota kosmopolitan dunia lainnya. Terlepas dari banyaknya kritik dan masalah yang kerap muncul dengan semak-in banyaknya orang asing yang membawa perubahan mencolok pada Seoul, subway adalah salah satu bingkai nyata untuk menyaksikan kekosmopolitanan kota ini.

Kembali ke dalam subway sebagai urat nadi dan sistem neuron kota Seoul, saya tak berani membayangkan apa jadinya jika kota sebesar Seoul ini tak memiliki urat nadi dan sistem neuron sehandal subwaynya. Apa jadinya jika sistem itu tak berfungsi. Tak terbayangkan berapa kerugian sosial dan ekonomi yang ditimbulkan. Namun, Korea dengan IT-nya telah mampu menciptakan sistem subway handal yang bisa dikatakan memanjakan pengguna jasanya. Tentunya hal ini bisa dilihat salah satunya dari pela-yanan wifi-nya yang super cepat bahkan saat kita berkelana di dalam kereta bawah tan-ahnya! Inilah salah satu hal yang terus membikin saya iri sebagai orang Indonesia yang tinggal di Seoul. Tentu saja saya boleh berharap, semoga Indonesia, terutama kota-kota besarnya, tidak perlu menunggu lama untuk belajar banyak dari Seoul yang benar-benar ‘memanjakan’ masyarakatnya dengan pelbagai fasilitas, salah satunya dengan sistem transportasi umum seperti subway ini.

Itulah Seoul yang saya lihat dalam coretan pendek ini. Terlalu banyak memang yang bisa digali dan diceritakan dari ibukota Korea ini. Namun, dari subwaynya saja, saya berani katakan bahwa pemerintahnya sejak dulu telah belajar dari negara lain dan menerawang jauh ke depan bagaimana membuat visi yang tepat demi kenyamanan masyarakatnya. Kini, dengan puluhan jalur-jalur subwaynya yang tiap hari seolah-olah tak berhenti berputar, tidak salah jika saya ibaratkan Seoul sebagai tubuh manusia de-ngan urat nadi dan sistem neuron yang memompa darah, oksigen serta vitamin lainnya demi kelangsungan hidupnya. Siapakah darah dan oksigen di sini? Tak lain adalah ber-bagai lapisan masyarakat termasuk barang dan jasa yang tiap hari diangkut lewat urat nadi dan sistem neuron ini. Siapakah vitamin di sini? Bisa saya ibaratkan orang-orang asing yang kini telah memberikan corak warna dalam urat nadi kehidupan kota Seoul.

Kini, tak bisa saya bayangkan betapa monotonnya subway kota Seoul jika tak ada vitamin-vitamin (orang-orang asing berbagai ras di dunia) di dalamnya!

Inilah Seoul lewat subwaynya yang saya lihat sekarang dan ingin tetap saya lihat di masa-masa mendatang!

Tanpa Subwaynya

Suray Agung NugrohoMahasiwa S-3, Program Studi Korea Graduate School of International Area Studies,Hankuk University of Foreign Studies, Seoul

Page 58: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

58 KOREANA Musim Dingin 2014

Negeri Ayam GorengAlasan utama anak saya bahagia mempunyai ayah seorang chef adalah karena saya bisa menggoreng ayam. Ia tidak pernah membual tentang ayahnya yang menjadi juru masak terkenal di Seoul dan sudah menulis dan menerbitkan beberapa buku. Ia hanya membanggakan satu hal: “Aku makan ayam goreng kemarin! Ayahku yang masak. Kamu iri, kan?” Itulah perilaku anak-anak di Negeri Ayam Goreng.

Saya baru-baru ini mendapatkan pengalaman yang istimewa di Milan. Juru masak junior, yang saya mintai rekomendasi restoran lokal yang bagus,

membawa saya ke sebuah restoran khusus masakan ayam. Sungguh mengejutkan. Saya mengharapkan menikmati ravioli buatan tangan atau risotto lembut yang dimasak dengan saffron ala Milan atau ossobuco, sebuah minuman khas warga Milan. Tapi ternyata ayam goreng yang saya makan rasanya luar biasa. Bagian dalam yang lembut dan bagian luar yang renyah, bahkan pedas, adalah rasa yang sangat saya kenal.

Ayam Goreng ala KoreaKenyataan bahwa ayam goreng disajikan di tengah

sebuah kota di Italia bagi saya adalah fenomena mis-terius. Bukankah Italia adalah tempat yang sangat di-dominasi makanan tradisional? Laki-laki Italia menyukai makanan yang dimasak oleh ibu mereka, dan biasanya memesan makanan yang mirip dengan masakan ibu-nya ketika mereka makan di luar – walaupun tak akan menolak makan hamburger kalau pelayannya cantik. Yang mengagetkan adalah ayam goreng yang biasanya dianggap makanan cepat saji kini menjadi populer di negara itu. Juru masak junior itu mengatakan bahwa masakan ayam Italia mengadaptasi sajian ayam Korea – kata bahasa Inggris “chicken” di Korea secara khusus berarti “fried chicken.” Kelompok memasak interna-sional di Amerika, Modernist Cuisine, mengkhususkan diri dalam masakan ayam ala Korea dan gencar mem-perkenalkan masakan ini di antara mereka yang tertarik pada makanan enak. Kelompok ini terdiri dari chef dan ilmuwan yang secara mengejutkan memperkenalkan resep Sayap Ayam Renyah ala Korea kepada para pem-buru makanan enak (sebagian besar juru masak dan

gourmets). Saos yang digunakan dalam resep, yaitu saos ayam pedas-manis, dibuat dari bahan-bahan pedas yang secara unik dikembangkan di Korea. Saos ini sudah pasti membuat ketagihan.

Penting dicatat juga adanya fenomena banyak nega-ra Asia yang tergila-gila pada chimaek – gabungan kata dari bahasa Inggris dan Korea untuk ayam dan bir. Dalam drama televisi Korea “My Love from the Star”, yang diputar di Cina dan negara-negara lain, ada ade-gan yang menampilkan chimaek. Kini, kata ini digunakan sebagai nama masakan yang menjadi makanan favorit banyak orang itu. Di Hong Kong, dibuka beberapa ratus restoran ayam Korea, menyebabkan persaingan sengit di antara mereka tapi ini justru bagus untuk konsumen.

Kegilaan Warga Korea terhadap AyamBarangkali tidak ada negara lain selain Amerika yang

menandingi Korea dalam hal konsumsi ayam goreng. Dalam hal ayam goreng, Korea menduduki peringkat pertama konsumsi per kapita. Menurut “Analysis of Current Domestic Chicken Business 2013” yang dilaku-kan oleh KB Financial Group Research Institute, kon-sumsi tahunan ayam di Korea mencapai 800 juta ekor, dan pasar ayam domestik Korea tumbuh dengan pesat dalam sepuluh tahun terahir, dari 330 juta dolar hing-ga 3.1 milyar dolar, lebih dari sembilan kali lipat! Korea layak mendapat julukan Negeri Ayam Goreng.

Namun bukan berarti bahwa Korea memiliki tradisi ayam goreng sejak lama. Minyak goreng sangat mahal di masa lalu, dan ayam adalah barang berharga, seperti terlihat dalam ungkapan ini: “Ayam dimasak hanya jika menantu laki-laki datang berkunjung.”

Baru di pertengahan 1960an, setelah budidaya ayam dan produksi masal pakan ayam sudah sangat mening-

GAYA HIDUP

Park Chan-il ChefCho Ji-young Fotografer

Page 59: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 59

Selera orang Korea terhadap ayam sangat besar, seperti yang ditunjukkan pada konsumsi tahunan daging ayam di Korea, sebesar 800 juta ekor, sesuai dengan hasil survei.

© P

elic

ana

Page 60: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

60 KOREANA Musim Dingin 2014

dengan diputar perlahan dalam radiasi panas elektrik. Trend pada saat itu adalah para ayah pulang bekerja dengan kantong berwarna kuning berisi ayam pang-gang. Itu adalah piihan terbaik bagi mereka yang sangat sibuk dan tidak bisa menjalankan perannya sebagai ayah dengan melakukan pekerjaan tukang kayu di halaman belakang atau memotong rumput. Saya teringat bangun tengah malam karena aroma lezat ayam panggang yang dibawa ayah saya.

Segera setelah itu, restoran franchise Korea yang pertama, Pelicana, dibuka di Daejeon pada tahun 1982 dengan menu ayam berbalut saos. Popularitas KFC, yang dimulai pada tahun 1984 di Korea, menandai masa kejayaan pasar ayam goreng. Lahirnya tim baseball profesional pada tahun 1980an juga berperan dalam pertumbuhan pasar ini. Orang menikmati ayam gore-ng sambil menonton pertandingan di televisi. Dengan adanya Piala Dunia tahun 2002, kejayaan bisnis ayam goreng mencapai puncaknya. Tak hanya di rumah, tapi juga di restoran ayam goreng dengan televisi layar lebar dan bahkan di jalan-jalan, orang menonton melalui layar raksasa dan sangat antusias menikmati pertandingan itu. Suatu fenomena yang menarik perhatian dari dunia luar adalah orang-orang Korea memegang stik drum di tangan sambil bersorak-sorai.

kat sejalan dengan industrialisasi agrikultur dan produk ternak, bisnis ayam berkembang pesat. Di awal tahun 1970an, untuk pertama kalinya di pasar dalam negeri sebuah perusahaan memperoduksi dan mendistribusi-kan minyak goreng berbahan kedelai dalam skala besar, yang berkontribusi pada peningkatan pasar ayam.

Bisnis makanan ayam Korea diawali oleh Myeong-dong Nutrition Center, yang dibuka pada tahun 1961 di Myeongdong, pusat kota Seoul, yang memperkenal-kan Ayam Rotisserie. Banyak orang masih ingat ayam yang dimasak dengan tusukan panjang dan dipanggang

2

Tren pada saat itu adalah para ayah pulang ke rumah setelah bekerja dengan membawa sebuah kantong kuning berisi ayam panggang. Itu adalah piihan terbaik bagi mereka yang sangat sibuk dan tidak bisa menjalankan perannya sebagai ayah dengan melakukan pekerjaan tukang kayu di halaman belakang atau memotong rumput.

1

Page 61: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 61

Hubungan antara Ayam Goreng dan Krisis Keuangan IMF

Kegilaan warga Korea pada ayam goreng juga memi-liki sisi suram. Jeong Eun-jeong, penulis History of Kore-an Chicken, mengemukakan satu fakta penting dalam bukunya: “Di Korea, ayam selalu menduduki peringkat pertama sebagai makasan favorit untuk acara makan di luar sejak tahun 1997. Tahun ini, ketika ayam gore-ng mulai digemari, adalah awal dimulainya ‘March of Ordeal’ di Korea.” Pada saat krisis finansial itu, banyak orang yang berperan sebagai tulang punggung keluarga terjaga sampai larut dan membuka restoran ayam gore-ng untuk membantu keluarganya. Mereka melakukan-nya karena membuka restoran ayam goreng tidak mem-butuhkan tetrampilan atau pengetahuan khusus dan bisa dimulai dengan modal yang relatif kecil. Sejak saat itu, generasi baby boomer di Korea, yang mulai pensiun di usia 40an dan 50an dan masih relatif muda, mem-buka restoran ayam goreng karena bisnis ini dipandang mudah.

Saat ini, ada sekitar 25.000 restoran franchise di selu-ruh penjuru negeri, dan bersaama dengan restoran non-franchise, jumlah ini menjadi sekitar 50.000, yang artinya satu restoran per 1000 jiwa. Angka bisnis yang gagal juga saangat tinggi. Menurut “Analysis of Cur-

rent Domestic Chicken Business 2013,” sebanyak 7.000 restoran baru dibuka setiap tahun, sementara sekitar 5.000 restoran akhirnya tutup. Waktu bertahan rata-rata sebuah restran ayam goreng hanya 2,7 tahun. Per-saingan di antara mereka sangat ketat. Beberapa tahun yang lalu, sebuah supermarket besar mulai menawar-kan ayam goreng dengan separuh harga, yang memicu kemarahan pemilik restoran kecil. Mereka menjalani bisnis yang keras, dan perusahaan besar itu mem-buatnya makin sulit. Bahkan publik juga merasakan kemarahan pemilik restoran ini! Mereka tidak mem-berikan reaksi seperti ini ketika televisi, lemari es, atau ramyeon ditawarkan dengan separuh harga. Ayam gore-ng Korea memiliki arti lebih dari sekadar makanan.

Ayam goreng dikenal sebagai makanan cepat saji di dunia Barat, namun di Korea ayam goreng dianggap sebagai makanan ‘jiwa’. Tidak hanya ketika bahagia tapi juga ketika sedih atau marah mereka akan menyajikan ayam goreng. Ayam goreng bagaikan teman yang sela-lu ada bersama kita melalui naik turunnya kehidupan, ketika kita bahagia dan sedih. Sampai saat ini, setelah bekerja, teman dan rekan kerja berkumpul bersama dan menikmati ayam goreng dan bir dan melupakan semua kekhawatiran dan masalah hidup. Dengan demikian, laparnya jiwa akan terpenuhi.

1. Iklan Kyeonghyang Daily (1968) menunjuk-kan Rotisserie Chicken dipanggang dalam oven panggang listrik.

2. Kecenderungan saat itu ayah akan membawa pulang ayam panggang setelah bekerja.

3. Di negara-negara Asia di mana drama televisi Korea My Love from the Star diekspor, adegan dengan chimaek (amak-an ayam dan minum bir) menjadi pembicaraan di tiap kota, pemijahan chimaek pun menyebar menggila di Asia Teng-gara maupun di rumah.

3

Page 62: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

Tahun-tahun awal milenium baru, ketika Kim E-whan mulai menulis dengan sungguh-sungguh, masa itu dapat dikatakan sebagai periode fiksi

fantasi mencapai posisi utama di Korea dengan popu-laritas yang massif melalui serial karya Lee Yeong-do berjudul Dragon Raja. Dragon Raja tetap setia melet-akkan The Lord Of The Rings Oleh JRR Tolkien dengan mengadopsi struktur dasar yang sama tentang keajai-ban dunia fantasi Tolkien. Menyusul keberhasilan Drag-on Raja, banyak yang mengikuti model seperti itu, yang berarti bahwa dunia fantasi penuh naga dan sihir men-jadi kiasan sastra untuk fiksi fantasi Korea. Selain itu, ketika kerangka ini mulai digunakan dalam game online, tempatnya kemudian dikukuhkan sebagai konvensi fiksi fantasi Korea.

Keadaan itu berbeda dengan karya Kim E-whan yang sebagian besar menggambarkan penyimpangan realitas dan fantasi dalam konteks ruang dan waktu kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam The Sock Gather-

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

ing Boy, realitas dan fantasi mulai dijalin saat protago-nis menemukan jalan terowongan yang membawanya memasuki negeri fantasi. Dalam dunia nyata, tokoh utama hanyalah remaja biasa, yang mengkhawatir-kan masuk universitas dan mendapatkan pacar, tetapi melalui kedatangan dan kepergiannya ke dunia fantasi, ia berkembang menjadi sosok yang penting dan sang-at aktif. Juga dalam 5pm Alien, kita melihat realitas dan fantasi hidup bersama; hal tersebut tentu saja tidak dapat dilihat sekadar di permukaan, tetapi sebenarnya alien yang menyamar itu mondar-mandir di jalan-jalan yang sering kita lalui, dan secara sempurna kafe yang tampak biasa ternyata menjadi tempat persembunyian rahasia bagi agen khusus yang bertugas melacak alien untuk menangkap mereka. Dalam karya Kim E-whan ini, fiksi fantasi berjalan sejajar dengan kehidupan sehari-hari yang membosankan.

Realitas dan fantasi hadir di sana-sini, yang dalam karya fiksi Kim E-whan ini sering diartikan sebagai alegoris dunia, tempat kita tinggal. Novel The Orb of Despair yang dibidik Kim E-whan setelah mencapai ketenaran dengan mendapatkan penghargaan pertama ‘Multi Literature Award’ tahun 2009 - adalah sebuah karya yang menunjukkan wawasan yang mendalam tentang eksistensi manusia dan keserakahannya. Latar novel ini, Seoul yang seperti sekarang ini. Sebuah bola hitam yang dikenali tiba-tiba muncul dan mulai mela-hap manusia satu demi satu yang kemudian berkem-bang dengan kekuatan masing-masing. Pada akhirnya mencapai titik di mana tiba-tiba bola itu menyerang yang membawa seluruh umat manusia ke ambang dunia yang terlupakan. Sementara massa yang tidak dapat diiden-tifikasikan yang mengisap manusia adalah gambaran yang terkenal dari film horor masa lalu, dalam kon-teks ini telah digunakan sebagai perangkat sastra, yang

Kim E-whan, seorang penulis yang terus membangun posisinya di ranah “sastra bergenre”. Dia mulai menulis secara online pada tahun 1996, dan setelah lulus universitas pada tahun 2000, ia mulai memantapkan namanya sendiri di antara pembaca sastra bergenre dengan menerbitkan karya-karya fiksinya secara online. Dari penerbitan buku cetak pertamanya berjudul Ebiteojen’s Ghost pada tahun 2004, sejumlah pembaca melihatnya dari berbagai pandangan yang menarik, seperti fiksi ilmiah, fantasi, game komputer, animasi, film, mitos dan legenda, dan horor.

62 KOREANA Musim Dingin 2014

Page 63: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 63

mungkin terjadi di masa depan?” Ketika cerita ini bera-khir, pembaca seperti digayuti pertanyaan ini: “Apa yang benar-benar Anda inginkan?”

Dalam novel-novelnya, Kim E-whan menghadir-kan penggalan antara realitas dan fantasi, yang justru menarik perhatian pembaca di berbagai titik dengan momen dikenali disertai pahaman yang sebelumnya tidak terdeteksi. Saat segalanya seperti hal yang biasa, tida-tiba ada sesuatu yang menimbulkan keheranan, menemukan sesuatu yang tanpa henti berkeliaran di lingkungan nol gravitasi dari imajinasi yang tak terbatas. Ada kalanya penemuan menimbulkan komentar tentang kondisi sosial kita yang akut, dan di lain waktu meru-pakan panggilan bijaksana untuk berhati-hati dalam kaitannya dengan keserakahan manusia yang melam-paui batas. Dalam cerita pendek Sneezing with a Coffee Cup in Hand, Kim E-whan menggambarkan lamunan lucu di mana ia mengobrol dengan siput yang merayap keluar dari saluran pembuangan air; setelah mengob-rol selama berabad-abad dalam perubahan yang penuh imajinasi aneh, cerita berakhir dengan kalimat ini: “Real-itas menghadirkan cerita, cerita melahirkan realitas, dan keduanya satu sama lain membuat kehidupan yang kita jalani.” Jika kita ingat bahwa baginya, cerita penuh dengan imajinasi fiksi ilmiah dan fiksi fantasi dalam fakta cerita yang berasal dari fantasi, maka kalimat itu dapat diubah menjadi: “realitas menghadirkan fantasi, dan fantasi melahirkan realitas.” Di situlah potensi sas-tra bergenre dan sastra tradisional memulai mengatasi batas-batasnya.

akrab dan mengganggu, dan dapat dipahami sebagai melambang-kan kematian, sementara pada saat yang sama ada metafora untuk menggambarkan perambahan modal besar, dan mengekspos ting-kat manusia yang penuh keserakahan.

Koeksistensi realitas dan fantasi memberikan sudut pandang penting untuk sastra bergenre dan juga untuk sastra yang lebih tradisional. Mengingat kritik utama ditujukan pada sastra genre, bahwa hal itu sebagai ‘bukan merupakan cermin realitas, melainkan dibatasi oleh sifat genre yang hanya bersifat refleksif’, atau bahwa itu menampilkan ‘kecenderungan pelarian melalui fantasi’, karya Kim E-whan menampilkan sesuatu yang lebih luar biasa penting karena mereka menghadirkan potensi sastra untuk memberikan pencer-matan melewati batas realitas. Selain itu, dari perspektif sastra tradisional, orisinalitas fiksi ilmiah dan dunia fantasi menunjukkan, bahwa tekad untuk mendorong batas-batas imajinasi, dan karisma yang membuat pembaca merasa penasaran adalah segala sesuatu yang layak mendapat perhatian.

Dalam konteks ini, <Metamorfosismu> adalah kisah yang jelas menampilkan potensi imajinasi untuk mengaburkan batas-batas novel yang diwujudkan Kim E-whan. Cerpen ini yang diterbitkan tahun 2010 oleh Munhakdongne, adalah versi revisi dari karya ber-judul <Metamorfosis!> diterbitkan beberapa tahun sebelumnya didedikasikan untuk sastra fantasi webzine Mirror (mirror.pe.kr). Gagasan di balik yang mendasari cerita ini adalah: “Apa yang akan terjadi jika manusia dengan mudahnya bisa merombak tubuhnya?” - berakar pada tradisi fiksi ilmiah di mana cyborg dan robot seba-gai tema utamanya. <Metamorfosis!> adalah sebuah karya yang dibang-un sebagai ikhtisar manusia abad dua puluh yang tampak seperti ekstrak yang diambil dari laporan atau artikel singkat yang ditulis para ilmuwan masa depan. <Metamorfosis!> adalah hasil tambahan pada figur ‘Engkau’ dan ‘Saya’ untuk pekerjaan ini dan mengembangkan insiden yang berbeda dan peristiwa untuk men-ciptakan rangka cerita, kemudian mengisi gambar dengan deskripsi subjektif dan dialog antara ‘Engkau’ dan ‘Aku’. Sementara <Meta-morfosis!> ini juga memberi kesan sebuah perjuangan untuk daftar dari buah aktivitas imajinasi dalam bentuk fiksi, yang dalam <Meta-morfosis!> memperoleh keluasan dan kedalaman imajinasi, men-empatkan karya ini mengandung nilai sastra yang jauh lebih besar.

Hasilnya adalah bahwa sementara <Metamorfosis!> mem-berikan nilai rasa ingin tahu dengan mengintip fiksi ilmiah di masa depan, pada saat yang sama ia menarik keluar sebuah introspeksi yang kuat menjadi keinginan manusia. Di beberapa bagian kita bah-kan bisa melihat jejak-jejak penghormatan dan parodi animasi atau film yang menggambarkan masa depan dystopian. Sementara pada bagian lain terbuka untuk ditafsirkan sebagai penerapan teori studi asing, atau teori psikoanalisis dalam fiksi. Arah imajinasi dan intro-speksi ini tidak hanya terpaku pada masa depan; jadi penampila-nnya dinamis yang kadang-kadang kembali ke zaman Yunani kuno dan pada waktu lain melayang sekitar Seoul seperti yang kita kenal sekarang. Setelah lintasan imajinasi tentang dunia masa depan, pada saat yang menarik, cerita ini benar-benar tak masuk akal, dan sejalan dengan itu, pada akhirnya pertanyaan datang kembali ke kenyataan saat ini. Cerpen ini dimulai dengan pertanyaan “Apa yang

Page 64: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

80 KOREANA Musim Dingin 2014

The Korea FoundationSeocho P.O. Box 227 Diplomatic Center Building, 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul 137-863, Koreawww.kf.or.kr

Korea FocusKOREA FOCUS adalah webzine bulanan(www.koreafocus.or.kr) yang menyajikan komentar dan esei tentang politik, ekonomi, masyarakat, dan kebudayaan Korea, dan kaitannya dengan isu-isu internasional. Korea Focus yang mulai diterbitkan sejak tahun 1993 memainkan peranan sebagai jendela yang menyampaikan informasi tentang Korea yang objektif, dengan demikian Korea Focus dapat memperluas pemahaman tentang masyarakat Korea di dunia internasional, dan memberi sumbangan untuk mengembangkan studi Korea pada institusi ilmu pengatahuan di luar negeri. Berita dipilih dari surat kabar, majalah, dan jurnal ilmiah.

KoreanaKoreana [www.koreana.or.kr], diterbitkan empat kali setahun dalam edisi berwarna sejak tahun 1987, bertujuan meningkatkan kesadaran atas khazanah budaya Korea dan member informasi tentang kegiatan seni budaya Korea mutakhir. Dalam setiap edisi Koreana mengang-kat tema budaya tertentu dan membicarakannya dari berbagai aspek, dan memperkenalkan seniman tradisi Korea, cara hidup, objek wisata alam, dan tema-tema yang lain.

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim.1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan)2 Mongolia dan Asia Tenggara(Kamboja, Laos, Myanmar,Thailand,Vietnam, Filipina,Malaysia, Timor

Leste,Indonesia,Brunei, dan Singapura)3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan,

Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka)4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

1 tahun2 tahun3 tahun1 tahun2 tahun3 tahun1 tahun2 tahun3 tahun1 tahun2 tahun3 tahun1 tahun2 tahun3 tahun

Daerah

Korea

Asia Timur 1

Asia Tenggara dsb 2

Eropa dsb 3

Afrika dsb 4

Edisi lama per eksemplar*

6,000 won

US$9

25,000 won50,000 won75,000 wonUS$45US$81US$108US$50US$90US$120US$55US$99US$132US$60US$108US$144

* Selain dari webzine, konten KOREANA dan KOREA FOCUS tersedia melalui layanan perangkat mobile(Apple i-books, Google Books, Amazon, dan Readers Hub).

Majalah ini diterbitkan oleh Korea Foundation

Informasi Berlangganan

Page 65: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

SENI & BUDAYA KOREA 81

TEMPEL PRANGKO

DI SINI

REPLY PAID / RÉPONSE PAYÉEKOREAN (SEOUL)

NO STAMP REQUIRED

NE PAS AFFRANCHIR

The Korea FoundationWest Tower 19FMirae Asset CENTER1 Bldg. 26 Euljiro 5-gil, Jung-gu, Seoul 100-210, Korea

Priority / PrioritaireBy airmail / Par avion

IBRS / CCRI N° : 10015-41325Termination Date : March 31, 2015

The Korea FoundationWest Tower 19FMirae Asset CENTER1 Bldg. 26 Euljiro 5-gil, Jung-gu, Seoul 100-210, Korea

Nama Lengkap dan Alamat:

The Korea FoundationSeocho P.O. Box 227 Diplomatic Center Building, 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul 137-863, Koreawww.kf.or.kr

Page 66: Koreana Winter 2014 (Indonesia)

Reader FeedbackPlease share your thoughts to help us improve the appeal of Koreana for our readers.

1. Do you believe that Koreana offers useful and insightful information about Korea’s culture and arts, and its contemporary society? Strongly agree Agree Not sure Disagree Strongly disagree

2. Which section/feature of Koreana do you find the most interesting/enjoyable? (Please select up to three items.) Special Feature Focus Interview Guardian of Heritage Modern Landmarks Art Review In Love with Korea On the Road Along Their Own Path Books & More Entertainment Gourmet’s Delight Lifestyle Journeys in Korean Literature

3. How would you assess the overall quality and style of Koreana (design, layout, photos, readability)? Very good Good Average Poor Very poor

4. Please feel free to provide us with suggestions, opinions, or ideas about Koreana :

5. Personal Information (optional) Name: E-mail: Age: 20s 30s 40s 50s 60+ Occupation: Country:

Musim Dingin 2014 (Indonesian)

FORMULIR BERLANGGANAN

Mohon saya dapat dikirim faktur biaya berlangganan majalah Koreana untuk.

1 tahun 2 tahun 3 tahun

Lampirkan Daftar Biaya Berlangganan Kirim Faktur Biaya Berlangganan

NAMA:

PEKERJAAN:

INSTANSI:

Alamat:

No. Telp:Faks atau E-mail:

Page 67: Koreana Winter 2014 (Indonesia)
Page 68: Koreana Winter 2014 (Indonesia)