KONTRIBUSI DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEPUASAN...

30
KONTRIBUSI DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEPUASAN HIDUP, AFEK MENYENANGKAN DAN AFEK TIDAK MENYENANGKAN PADA DEWASA MUDA YANG BELUM MENIKAH NURUL HUDA Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa besar kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah. Sampel dalam penelitian ini yaitu 30 orang dewasa muda yang belum menikah baik berjenis kelamin laki -laki maupun perempuan dan berusia 28 sampai 40 tahun Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana pengambilan data berdasarkan karakteristik tertentu. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode kuesioner dari skala dukungan sosial, skala kepuasan hidup dan skala afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis regresi sederhana. Hasil penelitian pada dukungan sosial terhadap kepuasan hidup diperoleh F sebesar 11,723 dengan sign ifikansi 0,002 (P< 0,01) dan R Square sebesar 0,295 ,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sangat signifikan terhadap kepuasan hidup pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 29,5% dan sisanya sebesar 70,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian pada dukungan sosial terhadap afek menyenangkan diperoleh F sebesar 22,073 dengan signifikansi 0,000 (P< 0,01) dan R Square sebesar 0,441 ,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sangat signifikan terhadap afek menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 44,1% dan sisanya sebesar 55,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian pada dukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan diperoleh F sebesar 5,889 dengan sign ifikansi 0,022 (P< 0,05) dan R Square sebesar 0,174 ,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sign ifikan terhadap afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 17,4% dan sisanya sebesar 82,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Kata Kunci : Dukungan Sosial, Subjective Well Being, Dewasa Muda yang Belum Menikah.

Transcript of KONTRIBUSI DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEPUASAN...

KONTRIBUSI DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEPUASAN HIDUP,AFEK MENYENANGKAN DAN AFEK TIDAK MENYENANGKAN

PADA DEWASA MUDA YANG BELUM MENIKAH

NURUL HUDAFakultas Psikologi Universitas Gunadarma

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa besar kontribusi dukungan sosialterhadap kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan pada dewasamuda yang belum menikah. Sampel dalam penelitian ini yaitu 30 orang dewasa muda yangbelum menikah baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan berusia 28 sampai 40tahun Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana pengambilandata berdasarkan karakteristik tertentu. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metodekuesioner dari skala dukungan sosial, skala kepuasan hidup dan skala afek menyenangkandan afek tidak menyenangkan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis denganmenggunakan analisis regresi sederhana. Hasil penelitian pada dukungan sosial terhadapkepuasan hidup diperoleh F sebesar 11,723 dengan sign ifikansi 0,002 (P< 0,01) dan RSquare sebesar 0,295 ,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sangat signifikanterhadap kepuasan hidup pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 29,5% dansisanya sebesar 70,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian pada dukungan sosialterhadap afek menyenangkan diperoleh F sebesar 22,073 dengan signifikansi 0,000 (P< 0,01)dan R Square sebesar 0,441 ,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sangatsignifikan terhadap afek menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah sebesar44,1% dan sisanya sebesar 55,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian padadukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan diperoleh F sebesar 5,889 dengansign ifikansi 0,022 (P< 0,05) dan R Square sebesar 0,174 ,hal ini berarti ada kontribusidukungan sosial yang sign ifikan terhadap afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yangbelum menikah sebesar 17,4% dan sisanya sebesar 82,6% dipengaruhi oleh faktor lain.

Kata Kunci : Dukungan Sosial, Subjective Well Being, Dewasa Muda yang BelumMenikah.

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia dalam konteks

kehidupannya memiliki dua peran yang

berbeda yaitu sebagai makhluk sosial dan

makhluk pribadi. Manusia sebagai makhluk

sosial membutuhkan manusia lain untuk

memenuhi kebutuhannya. Status manusia

sebagai makhluk sosial itu kemudian

mendorong manusia melakukan berbagai

bentuk interaksi sosial dan menjalin

hubungan-hubungan dengan manusia lainnya.

Peran kedua yaitu sebagai makhluk individual

atau pribadi. Dalam peran ini manusia

berkembang melalui berbagai tahapan

perkembangan (Papalia & Olds, 1998).

Kedua peran ini menjadi terkait karena dalam

tiap tahap perkembangannya manusia

memiliki tugas perkembangan yang di

dalamnya selalu terkait dengan perannya

sebagai makhluk sosial, salah satunya ialah

pada tahap perkembangan dewasa muda yang

terjadi dalam rentang usia 20 sampai 40 tahun

(Papalia & Olds, 1998).

Masa dewasa muda adalah salah

satu tahapan perkembangan manusia yang

memiliki masa terpanjang sepanjang rentang

kehidupan seseorang. Pada masa ini juga

terdapat tugas-tugas perkembangan yang

harus dihadapi oleh individu. Menurut

Havinghurst (dalam Dariyo, 2003), tugas

perkembangan masa dewasa muda meliputi

mencari dan menemukan pasangan hidup,

membina kehidupan rumah tangga, mengasuh

anak dan meniti karier dalam rangka

memantapkan kehidupan ekonomi

rumah tangga dan menjadi warga

Negara yang bertanggung jawab.

Erikson (dalam Papalia &

Olds, 1998), juga mengatakan bahwa

dalam tahap perkembangan dewasa

muda ini, manusia memiliki beberapa

tugas perkembangan, salah satunya

ialah mengembangkan intimate

relationship atau hubungan yang intim

dengan orang lain. Membangun

intimate relationship ini merupakan

tugas perkembangan yang krusial dan

penting bagi individu dalam tahap

perkembangan dewasa muda. Bila

individu dewasa muda belum menjalani

tugas perkembangannya sebagaimana

mestinya dan sesuai dengan usia, maka

ia cenderung akan mengalami masalah

pribadi dan sosial. Hal ini mungkin

disebabkan karena individu tersebut

merasa terlambat dibandingkan dengan

individu dewasa lainnya dan juga

merasa belum memenuhi harapan

masyarakat . Kegagalan dalam

menguasai tugas perkembangan masa

dewasa muda akan mengakibatkan

tidak terpenuhinya harapan sosial yang

sangat mempengaruhi penyesuaian

pribadi dan sosial seseorang (Hurlock,

1980).

Intimate relationship dapat

dibangun dengan berbagai bentuk

hubungan, salah satu bentuknya adalah

pernikahan (marriage) (Erikson dalam

Papalia & Olds, 1998). Perkawinan itu adalah

sebuah peristiwa dimana sepasang mempelai

a t a u s e pa s a n g c a l o n s ua m i - i s t e r i

dipertemukan secara formil dihadapan

penghulu atau kepala agama tertentu, para

saksi dan sejumlah hadirin, untuk kemudian

disyahkan secara resmi sebagai suami-isteri

dengan upacara dan ritual-ritual tertentu

(Kartini, 1977). Perkawinan bertujuan untuk

membentuk keluarga yang bahagia sejahtera

dan keka l se lamanya . Pe rkawinan

memerlukan kematangan dan persiapan fisik

dan mental karena menikah atau kawin

adalah sesuatu yang sakral dan dapat

menentukan jalan hidup seseorang

Penelitian yang dilakukan pada

sebuah survey di Amerika Serikat atas

127.545 orang dewasa muda, bahwa individu

dewasa muda yang menikah secara umum

lebih sehat dar i segi f is ik maupun

psikologisnya, dibandingkan dengan mereka

yang belum menikah, hidup bersama

(cohabitat ing ) , di tinggal mati oleh

pasangannya, hidup berpisah maupun yang

bercerai (Wu dan Hart dalam Winarni, 2009).

Hal ini membuktikan bahwa pernikahan

adalah salah satu bentuk hubungan yang

dapat mendukung kesehatan seseorang. Oleh

karena itu, di Indonesia, pernikahan

merupakan suatu hal yang dianggap penting.

Individu dewasa yang telah memasuki usia

untuk menikah, secara sosial

diharapkan untuk menikah.

Individu dewasa muda yang

belum menikah dan sudah memasuki

usia usia 30-an, memasuki yang disebut

dengan usia kritis (critical age),

terutama pada wanita yang belum

menikah (Hurlock, 1980). Seperti yang

dikemukakan oleh Campbell (dalam

Hurlock, 1980), “bagi wanita, usia tiga

puluh merupakan pil ihan yang

mempunyai persimpangan”, karena

hidup wanita sering diwarnai oleh stres

ketika dia mencapai ulang tahunnya

yang ketiga puluh tetapi belum juga

menikah.

Tidak terpenuhinya

kebutuhan ini bisa menjadi penyebab

guncangan jiwa bagi individu yang

bersangkutan. Ditambah lagi budaya

dan paradigma yang berkembang di

masyarakat yang memojokkan mereka

yang belum menikah. Belum lagi

tuntutan dan pertanyaan dari keluarga

dan tetangga yang mengatakan “kapan

menikah?”. Tuntutan-tuntutan dari

keluarga dan tetangga tersebut,

seringkali menimbulkan dampak

negatif sepert i s tress , depresi ,

kecanduan rokok dan alkohol bahkan

sampai bunuh diri, selain itu juga

berpengaruh pada kesehatan individu

(Russel dalam Rakhmiatie, 2006).

Dampak-dampak negatif di atas

dapat menyebabkan individu dewasa

mengalami isolasi sosial dan kehilangan

interaksi dengan orang lain. Hal-hal ini juga

dapat berefek buruk pada kesehatan fisik,

psikologis, dan kesejahteraan diri. Padahal

kesejahteraan diri dapat membantu seseorang

sukses di berbagai area kehidupan termasuk

kesehatan, sehingga penurunan kesejahteraan

diri tersebut perlu dicegah (Gatari, 2008).

Kesejahteraan diri diistilahkan

oleh aliran eudaimonic sebagai psychological

well-being (PWB), sedangkan aliran hedonic

mengistilahkan kesejahteraan diri sebagai

subjective well -being (SWB). SWB

menekankan bahwa seseorang dapat

dikatakan sejahtera apabila secara subjektif ia

m e r a s a b a ha g i a , s e d a n g k a n P W B

menjelaskan bahwa seseorang dapat

dikatakan sejahtera apabila ia menggunakan

potensi yang ada di dalam dirinya. Dalam

menjelaskan konsep kesejahteraan diri

seorang individu, Diener, dkk (dalam Ryan &

Deci, 2001) mengatakan bahwa SWB lebih

unggul dalam menjelaskan hal apa yang

membuat hidup seseorang lebih baik

berdasarkan perspektif orang tersebut.

Definisi dari subjective well-being

(SWB) menurut Diener dan Lucas (1999),

adalah evaluasi seseorang tentang hidup

mereka, termasuk penilaian kognitif terhadap

kepuasan hidupnya serta evaluasi afektif dari

mood dan emosi-emosi. Komponen-

komponen dari SWB dibagi menjadi

komponen kognitif dan komponen

afektif. Komponen kognitif dibagi lagi

menjadi kepuasan hidup secara global

dan kepuasan hidup terhadap domain

tertentu, sedangkan komponen afektif

dibagi lagi menjadi evaluasi keberadaan

afek positif dan afek negatif.

Hasil penelitian Glenn

(dalam Winarni, 2009) mengenai

kontribusi pernikahan terhadap well

being menunjukkan bahwa orang-orang

yang menikah lebih bahagia secara

keseluruhan (global happiness )

daripada orang-orang yang belum

menikah. Dan beberapa penelitian

kebahagiaan (well being) yang telah

dilakukan sebelumnya menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara

kebahagiaan (well being) dan status

pernikahan. Hasil penelitian tersebut

ialah individu yang menikah merasakan

tingkat kebahagiaan (well being) yang

lebih tinggi daripada individu yang

belum menikah (Veenhoven dalam

Winarni, 1994). Selain itu, pernikahan

memberikan keuntungan bagi individu

yang menjalaninya karena pada

dasarnya untuk sebagian besar orang,

pernikahan merupakan sumber

dukungan sos ia l terbesar bagi

seseorang, termasuk di dalam dukungan

sosial ini ialah dukungan emosional dan

material (Argyle & Furnham, dalam

Winarni, 2009). Keberadaan dukungan

emosional dan material ini juga menjadi salah

satu faktor yang mempengaruhi kualitas

hidup seseorang, ketika dukungan emosional

dan material yang dibutuhkan oleh seseorang

dapat terpenuhi dalam jumlah yang

mencukupi maka kualitas hidup dari orang

tersebut dapat meningkat.

Meskipun pria atau wanita dewasa

m u d a y a n g b e l u m m e n i k a h t i d a k

mendapatkan sumber dukungan dari

pasangan, mereka masih mendapatkan

dukungan dari sumber lain, seperti keluarga,

sahabat dan rekan kerja. Bantuan dan

dukungan ini dapat bersifat instrumental yang

berupa tindakan atau bantuan materi yang

memungkinkan seseorang untuk memenuhi

tanggung jawab sehari-harinya. Dukungan

sosioemosional berupa ungkapan rasa cinta,

perhatian, simpati dan kebersamaan yang

diberikan oleh keluarga, rekan kerja dan

sahabat. Dukungan informasional, yang

berupa pemberian pendapat dan saran yang

berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi

oleh dewasa yang belum menikah yang

memungkinkan kehidupan seseorang menjadi

lebih menyenangkan (House dalam Thoits,

1986).

Dukungan sosial didefinisikan

sebagai persepsi atau pengalaman bahwa

seseorang dicintai dan disayangi, dihargai dan

dinilai, dan merupakan bagian dari suatu

jaringan sosial yang memberikan bantuan dan

kewajiban secara timbal balik (Wilis dalam

Taylor, 2003). Dukungan sosial dapat

berfungsi antara lain untuk memenuhi

kebutuhan adanya bimbingan,

memberikan adanya perasaan ada

teman yang dapat diandalkan,

meyakinkan keberhargaan diri,

kesempatan untuk memberikan

perhatian kepada orang lain, kasih

sayang dan integrasi sosial (Weiss

dalam Cutrona & Russel, 1994).

Dukungan sosial merupakan

suatu fenomena yang menarik dalam

ilmu psikologi karena secara potensial

dapat membantu memahami hubungan

antara individu dengan lingkungan

sosialnya. Hubungan ini melibatkan

berbagai aspek dukungan yang diterima

individu atau komunitas sosial dari

orang lain dan lingkungan sosial yang

lebih luas. Dengan demikian, secara

umum dukungan sosial telah dianggap

sebagai sesuatu yang menguntungkan

baik langsung atau tidak langsung

terhadap kualitas hubungan sosial

(Veiel dan Baumann, 1992).

Penelitian-penelitian dan

literatur dalam dekade terakhir

menunjukkan manfaat positif dari

dukungan sosial bagi seseorang. Cohen

dan Wills (dalam Elliot & Gramling,

1990), menemukan bahwa orang yang

kurang mendapatkan dukungan sosial

lebih banyak merasakan depresi dan

kecemasan dalam mengalami stress.

Cutrona (dalam Elliot & Gramling,

1990), mengemukakan bahwa orang yang

memperoleh dukungan sosial memperlihatkan

kesejahteraan (well being) yang lebih baik

dalam berbagai tingkat stress dibandingkan

dengan orang yang kurang memperoleh

dukungan sosial. Wolchik, Sandler dan

Braver (1987), mengemukakan sejumlah

besar penelitian memperlihatkan dukungan

s os i a l m e m punya i pe nga ruh ya ng

menguntungkan terhadap kesehatan fisik dan

psikologis.

Hasil penelitian Taylor (2003)

mengemukakan, bahwa dukungan sosial

dapat membantu seseorang berpikir bahwa

ada seseorang yang dapat membantu dalam

menghadapi kejadian yang membuat stres.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Walen

dan Lachman (dalam Gatari , 2008)

menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat

menjelaskan sebagian besar varians pada

kepuasan hidup dan afek positif, serta

memprediksi afek negatif yang rendah pada

orang dewasa . Lyons (2002) , juga

menemukan bahwa dukungan sosial

mempunyai efek langsung dalam mengurangi

afek negatif pada orang dewasa Afrika yang

tinggal di Amerika. Yi Pei Kuo (2008),

menemukan bahwa terdapat korelasi positif

antara dukungan sosial dengan kesejahteraan

pada karyawan berteknologi tinggi. Penelitian

yang dilakukan oleh Gatari (2008),

menunjukkan bahwa dukungan sosial

mempunyai hubungan yang positif dengan

kepuasan hidup dan afek menyenangkan,

sedangkan berhubungan negatif dengan

afek tidak menyenangkan pada ibu

bekerja. Berdasarkan hasil penelitin

Ishii-Kuntz, Masako (1987), hasilnya

menunjukkan bahwa dukungan

keluarga dan teman-teman mempunyai

pengaruh kuat pada kesejahteraan laki-

laki dan perempuan di awal dewasa.

Dilihat dari hasil penelitian tersebut,

dapat disimpulkan bahwa salah satu

ciri-ciri individu yang lebih mungkin

untuk merasakan kepuasan hidup, afek

menyenangkan dan afek t idak

menyenangkan yang tinggi adalah

individu yang mendapatkan atau tidak

mendapatkan dukungan sosial.

Jadi, seperti yang sudah

diuraikan di atas, maka tujuan utama

dari penelitian ini adalah untuk menguji

secara empiris kontribusi dukungan

sosial terhadap kepuasan hidup, afek

menyenangkan dan afek t idak

menyenangkan pada dewasa muda yang

belum menikah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dukungan Sosial

1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial (social

support) didefinisikan oleh Gottlieb

(1983) sebagai informasi verbal

atau non-verbal, saran, bantuan

yang nyata atau tingkah laku yang

diberikan oleh orang-orang yang

akrab dengan subjek di dalam lingkungan

sosialnya atau yang berupa kehadiran dan

hal-ha l yang dapat member ikan

keuntungan emosional atau berpengaruh

pada tingkah laku penerimanya. Dalam

hal ini orang yang merasa memperoleh

dukungan sosial, secara emosional merasa

lega karena diperhatikan, mendapat saran

atau kesan yang menyenangkan pada

dirinya.

Pendapat senada dikemukakan

juga oleh Sarason (dalam Kuntjoro, 2002)

yang mengatakan bahwa dukungan sosial

adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian

dari orang-orang yang dapat diandalkan,

menghargai dan menyayangi kita.

Menurutnya, dukungan sosial selalu

mencakup dua hal penting, yaitu persepsi

bahwa ada sejumlah orang yang dapat

diandalkan oleh individu pada saat ia

membutuhkan bantuan dan derajat

kepuasan akan dukungan yang diterima

berkaitan dengan persepsi individu bahwa

kebutuhannya terpenuhi.

2. Dimensi Dukungan Sosial

Secara garis besar, Sarafino

(1990) membagi dukungan sosial ke

dalam lima bentuk, yaitu :

a. Dukungan instrumental (tangible

assisstance)

Bentuk dukungan ini merupakan

penyediaan materi yang dapat

memberikan pertolongan langsung seperti

pinjaman uang, pemberian barang,

makanan serta pelayanan. Bentuk

dukungan ini dapat mengurangi

stres karena individu dapat langsung

memecahkan masalahnya yang

berhubungan dengan materi.

Dukungan instumental sangat

diper lukan terutama dalam

mengatasi masalah dengan lebih

mudah.

b.Dukungan informasionalBentuk dukungan ini melibatkan

pemberian informasi, saran atau

umpan balik tentang situasi dan

kondisi individu. Jenis informasi

seperti ini dapat menolong individu

untuk mengenali dan mengatasi

masalah dengan lebih mudah.

c. Dukungan emosionalBentuk dukungan ini membuat

individu memiliki perasaan nyaman,

yakin, diperdulikan dan dicintai

oleh sumber dukungan sosial

s e h i n g g a i n d i v i d u d a p a t

menghadapi masalah dengan lebih

baik. Dukungan ini sangat penting

dalam menghadapi keadaan yang

dianggap tidak dapat dikontrol.

d.Dukungan pada harga diriBentuk dukungan ini berupa

penghargaan positif pada individu,

pemberian semangat, persetujuan

p a d a p e n d a p a t i n d i v i d u ,

perbandingan yang positif dengan

individu lain. Bentuk dukungan ini

membantu individu dalam membangun

harga diri dan kompetensi.

e. Dukungan dari kelompok sosial

Bentuk dukungan ini akan membuat

individu merasa anggota dari suatu

kelompok yang memiliki kesamaan minat

dan aktifitas sosial dengannya. Dengan

begitu individu akan merasa memiliki

teman senasib.

Orfard (dalam Smet, 1994),

membedakan lima dimensi dukungan

sosial yaitu:

a. Dukungan emosional (emotional

support)

Mencakup ungkapan empati, kepedulian,

perasaan nyaman, dicintai oleh orang lain

dan perhatian terhadap orang yang

bersangkutan, misalnya umpan balik,

penegasan.

b. Dukungan penghargaan (esteem

support)

Terjadi lewat ungkapan hormat

(penghargaan) positif untuk orang itu,

dorongan maju atau persetujuan dengan

gagasan atau perasaan individu dan

perbandingan positif orang itu dengan

orang-orang lain, seperti misalnya orang-

orang yang kurang mampu atau lebih

b u r u k k e a d a a n n y a ( m e na m ba h

penghargaan diri).

c. Dukungan instrumental (tangible or

instrumental support)

Mencakup bantuan langsung,

seperti kalau orang-orang memberi

pinjaman uang kepada orang itu

atau menolong dengan pekerjaan

pada waktu mengalami stres.

d. Dukungan informasi

(informational support)

Mencakup memberi nasehat,

petunjuk-petunjuk, saran-saran atau

umpan balik.

e. Dukungan integritas sosial

Dapat diartikan dengan perasaan

individu sebagai bagian dari

sekelompok yang memiliki minat

pemikiran yang sama. Integritas

sosial disebut sebagai dukungan

jaringan (network support), dimana

dukungan ini mencakup perasaan

terdukung karena keanggotaan pada

sebuah kelompok yang saling

berbagi ketertarikan dan kegiatan

sosial. Dukungan ini juga berupa

persahabatan yang terjadi kebetulan,

dimana individu mengisi waktu

luang dengan orang lain dalam

berbagai aktivitas sosial dan

hiburan.

Berdasarkan penjelasan di atas,

maka dimensi-dimensi dukungan

sosial terdiri dari dukungan

emosional, dukungan penghargaan,

dukungan instrumental, dukungan

informasi dan dukungan dari

kelompok sosial (integritas sosial).

3. Sumber–Sumber Dukungan

Sosial

Menurut Gerungan (1999),

keluarga merupakan kelompok sosial

pertama dalam kehidupan manusia,

tempat individu belajar dan menyatakan

diri sebagai makhluk sosial. Di dalam

keluarga individu belajar memperhatikan

keinginan orang lain dan bekerja sama.

Pengalaman - pengalaman berinteraksi

dalam keluarga turut menentukan tingkah

lakunya terhadap orang-orang lain di luar

ke luarga , te rmasuk te tangga di

lingkungan tempat tinggalnya maupun

temannya.

Keluarga dapat menjadi pemberi

dukungan yang utama bagi seseorang

dalam menemukan kualitas serta kuantitas

bantuan yang didapatnya (Caplan dalam

Maldonado, 2005). Penelitian yang ada

menemukan bahwa dukungan sosial dari

keluarga merupakan hal yang paling

efektif dalam mengurangi beban pada

perempuan sedangkan dukungan sosial

dari tempat kerja lebih efektif untuk laki-

laki (House dalam Maldonado, 2005).

Pentingnya dukungan sosial pada

keluarga juga diungkapkan oleh Holahan

dam Moos (dalam Pakalns,1990) yang

menemukan bahwa dukungan sosial dari

keluarga lebih berpengaruh kepada mood

dibandingkan dengan dukungan sosial

dari lingkungan kerja pada perempuan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat

disimpulkan bahwa sumber dari

dukungan sosial ini adalah orang

lain yang akan berinteraksi dengan

individu sehingga individu tersebut

dapat merasakan kenyamanan

secara fisik dan psikologis. Orang

lain ini terdiri dari keluarga, sahabat

dan rekan kerja.

4. Fungsi Dukungan Sosial

D a l a m a p l i k a s i n y a ,

dukungan sosial mempunyai fungsi

sebagai berikut:

a. Sumber daya atau mekanisme

coping yang penting untuk

mengurangi efek negatif dari

stres dan konflik.

Carlson dan Perrewe (1999),

menemukan bahwa dukungan sosial

dapat mengurangi kemungkinan

seseorang untuk mempersepsikan

bahwa perannya menimbulkan

tekanan bagi dirinya. Apabila

seseorang menghadapi konflik di

kantornya tapi ia mendapatkan

dukungan sosial yang baik dari

teman-teman di kantornya, efek

buruk yang didapatkan dari adanya

konflik tersebut dapat berkurang

atau hilang sama sekali.

b. Meningkatkan kepuasan

terhadap lingkungan yang

memberikan dukungan sosial.

Suche t dan Bar l ing (da lam

Treitsman, 2004) mengatakan

bahwa dukungan dar i pasangan

memprediksi kepuasan pernikahan yang

lebih tinggi dan menurunkan afek negatif

atau afek tidak menyenangkan dari

konflik antar peran pada kepuasan

pernikahan serta komunikasi verbal.

Selain itu, dukungan sosial yang

dipersepsikan di rumah dan di tempat

kerja dapat meningkatkan kepuasan

kerjanya. Namun, ada perbedaan dari efek

dukungan sosial pada kepuasan kerja

terhadap laki-laki dan perempuan.

Kepuasan kerja pada perempuan akan

lebih dipengaruhi oleh dukungan

pasangannya dibandingkan kepuasan

kerja pada laki-laki (Roxbourgh, 1999).

c. Menguntungkan bagi kesehatan

mental dan fisik seseorang

Salah satu contoh fungsi dukungan sosial

dalam membantu kesehatan fisik

seseorang adalah penelitian dari Uchino,

Uno dan Holt-Lunstad (dalam Ryan &

Deci, 2001) yang menyebutkan bahwa

dukungan sosial mempengaruhi tingkat

kematian dengan mengubah sistem

kardiovaskular, endokrin dan imunisasi

diri (autoimmune). Roxbourgh (1999)

juga mengatakan bahwa dukungan sosial

yang dipersepsikan di lingkungan kerja

serta keluarga berhubungan dengan

kesejahteraan diri.

B. Subjective Well Being

1. Pengertian Subjective Well

Being

Istilah subjective well-being

didefinisikan sebagai evaluasi

kognitif dan afektif seseorang

tentang hidupnya. Evaluasi ini

meliputi penilaian emosional

terhadap berbagai kejadian yang

dialami yang sejalan dengan

peni la ian kogni t if te rhadap

kepuasan dan pemenuhan hidup

(Diener, Lucas, & Oishi, 2005).

Diener (dalam Synder dan

Lopez, 2007) menyatakan definisi

subjective well-being (SWB) adalah

kombinas i dar i a fek posi t i f

(ketiadaan dari afek negatif) dan

kepuasan hidup secara umum

(seperti misalnya apresiasi subjektif

pada penghargaan dalam hidup).

2. Komponen Subjective Well

Being

Komponen SWB dapat

dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi

kognitif (penilaian atau judgement)

dan afektif (emosional) (Diener,

2006). Penjelasan komponen

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Komponen Kognitif Subjective

Well Being

Komponen kognitif dari SWB

adalah evaluasi terhadap

kepuasan hidup, yang

didefinisikan sebagai penilaian dari

hidup seseorang. Evaluasi terhadap

kepuasan hidup dapat dibagi menjadi:

1) Evaluasi terhadap

kepuasan hidup secara global yaitu

evaluasi responden terhadap

kehidupannya secara

menyeluruh. Kepuasan hidup secara

global dimaksudkan untuk

merepresentasikan penilaian responden

secara umum dan reflektif terhadap

kehidupannya (Diener, 2006). Menurut

Shin dan Johnson (dalam Treitsman,

2004), kepuasan hidup secara global

didasarkan pada proses penilaian dimana

seorang individu mengukur kualitas

hidupnya dengan didasarkan pada satu set

kriteria yang unik dan mereka tentukan

sendiri. Secara lebih spesifik, kepuasan

hidup secara global melibatkan persepsi

seseorang terhadap perbandingan

keadaaan hidupnya dengan standar unik

yang mereka punyai.

2) Evaluasi terhadap kepuasan

pada domain tertentu adalah penilaian

yang dibuat seseorang dalam

mengevaluasi domain dalam

kehidupannya, seperti kesehatan fisik

dan mental, pekerjaan, rekreasi,

hubungan sosial dan keluarga (Diener,

2006).

Kedua komponen tersebut tidak

sepenuhnya terpisah. Evaluasi terhadap

kepuasan hidup secara global merupakan

refleksi dari persepsi seseorang

terhadap

hal-hal yang ada di dalam hidupnya

ditambah dengan bagaimana kultur

mempengaruhi pandangan hidup yang

positif dari seseorang (Diener, Scollon,

Oishi, Dzokoto & Suh, 2000). Diener,

Scollon dan Lucas (2003) ,

menga takan bahwa seseorang akan

menggunakan informasi mengenai

kepuasan domain yang paling penting

bagi hidupnya untuk menilai kepuasan

hidupnya secara global.

b. Komponen Afektif Subjective Well

Being

Secara umum, komponen afektif

SWB merefleksikan

pengalaman dasar da lam

peristiwa yang terjadi dalam

hidup seseorang. Dengan

meneliti tipe-tipe dari reaksi

afektif yang ada, seorang

peneliti dapat memahami cara

seseorang mengevaluasi kondisi dan

peristiwa di dalam hidupnya (Diener,

Scollon & Lucas, 2003).

Komponen afektif SWB dapat dibagi

menjadi:

1) Evaluasi terhadap keberadaan a f e k

p o s i t i f a t a u a fe k

menyenangkan

Afek positif atau afek

menyenangkan

merepresentasikan mood dan

emosi yang menyenangkan, seperti

kasih sayang. Emosi positif atau

menyenangkan adalah bagian dari

SWB, karena emosi-emosi tersebut

merefleksikan reaksi seseorang

terhadap peristiwa-peristiwa yang

menunjukkan bahwa hidup berjalan

sesuai dengan apa yang ia inginkan

(Diener, 2006), Watson dan Tellegen

(dalam Diener, Scollon & Lucas,

2003), mengatakan bahwa afek positif

adalah kombinasi dari hal yang

sifatnya membangkitkan (arousal)

dan hal yang bersifat menyenangkan

(pleasantness). Watson, Clark dan

Tellegen (1988), menyebutkan bahwa

afek positif yang tinggi adalah

keadaan dimana seseorang merasakan

energi yang tinggi, konsentrasi penuh

dan keterlibatan yang menyenangkan;

sedangkan afek positif yang rendah

dikarakterisasi oleh kesedihan dan

kelelahan.

2) Evaluasi terhadap keberadaan afek

n e g a t i f a t a u a f e k t i d a k

menyenangkan

Afek negatif atau afek tidak

menyenangkan merepresentasikan

m o o d d a n e m o s i y a n g t i d a k

menyenangkan dan merefleksikan

respon negatif yang dialami seseorang

sebagai reaksinya terhadap kehidupan,

kesehatan, keadaan dan peristiwa

yang mereka alami (Diener, 2006).

Watson dan Tellegen (dalam

Diener, Scollon & Lucas, 2003),

mengatakan bahwa afek negatif

adalah kombinasi dari hal yang

sifa tnya membangki tkan

(arousal) dan hal yang bersifat

t i d a k m e n y e n a n g k a n

(unpleasantness). Keadaan afek

negatif yang tinggi adalah

keadaan dimana seseorang

m e r a s a k a n k e m a r a h a n ,

kebencian, jijik, rasa bersalah,

ketakutan dan kegelisahan;

sedangkan afek negatif yang

rendah adalah keadaan dimana

s e s e o r a n g m e r a s a k a n

ketenangan dan kedamaian

(Watson, Clark & Tellegen,

1988).

Walaupun beberapa emosi

negatif memang diharapkan

te r jad i da lam hidup dan

dibutuhkan agar seseorang dapat

hidup secara efektif. Emosi

negatif yang sering terjadi dan

berkepanjangan

mengindikasikan bahwa

seseorang percaya bahwa

hidupnya berjalan dengan buruk

( D i e n e r , 2 0 0 6 ) . D i e n e r

menjelaskan lebih lanjut bahwa

pengalaman merasakan emosi

negatif yang berkepanjangan

dapat mengganggu seseorang

dalam bertingkah laku secara efektif

dalam kehidupannya sehari-hari. Hal

tersebut dapat membuat hidupnya

tidak menyenangkan.

Diener, Scollon & Lucas (2003),

mengatakan bahwa sebaiknya afek

positif dan afek negatif diukur secara

terpisah karena kedua afek tersebut

terkadang mempunyai hubungan yang

berbeda dengan berbagai faktor.

Dalam pengukurannya, Diener,

Sandvik dan Pavot (dalam Diener,

Scollon & Lucas, 2003), mengatakan

bahwa frekuensi dari emosi yang

dialami lebih penting dibandingkan

intensitas dari emosi tersebut dalam

penelitian SWB. Diener, dkk (2003),

memberikan beberapa penjelasan

mengenai hal tersebut. Pertama,

tampaknya proses yang mengarahkan

pada emosi positif yang intens

terkadang akan mengarahkan

seseorang pada emosi negatif yang

intens. Selanjutnya, kedua emosi

intens tersebut akan meniadakan satu

sama lainnya. Kedua, pengalaman

emosi yang sangat intens merupakan

sesuatu yang jarang terjadi. Ketiga,

pengukuran emosi melalui frekuensi

lebih akurat dibandingkan pengukuran

emosi melalui intensitas.

Seseorang dideskripsikan

mempunyai SWB yang tinggi apabila

ia menilai kepuasan hidupnya tinggi

dan merasakan afek positif lebih

sering dibandingkan afek

negatif (Diener & Lucas dalam

Ryan & Deci, 2001). Andrews

d a n R o b i n s o n ( 1 9 9 1 ) ,

mengatakan bahwa dalam

pengukurannya, seorang peneliti

d a p a t m e m i l i h u n t u k

menggunakan kepuasan hidup

secara global atau kepuasan

terhadap domain tertentu untuk

mengukur komponen kognitif

SWB. Di dalam penelitian ini,

peneliti memfokuskan pada

komponen evaluasi terhadap

kepuasan hidup secara global,

afek positif dan afek negatif.

C. Dewasa Muda

1. Pengertian Dewasa Muda

Hurlock (1980), menyatakan

bahwa masa dewasa muda adalah

masa dimana pada tahap ini

merupakan tahap penyesuaian diri

terhadap pola-pola kehidupan dan

harapan-harapan sosial yang baru.

Papalia dan Olds (1998),

menyebutkan bahwa dewasa muda

adalah mereka yang berada dalam

usia 20-40 tahun.

Menurut seorang ahli

psikologi perkembangan, Santrock

(1999), orang dewasa muda

termasuk masa transisi, baik transisi

secara fisik (physically trantition), transisi secara intelektual (cognitive

trantition), serta transisi peran sosial

(social role trantition).

Menurut Traupmann dan Hatfield

(dalam Atkinson, Atkinson & Hilgard,

1994) selama masa awal kedewasaan,

seseorang mengikat diri pada suatu

pekerjaan dan banyak yang menikah atau

membentuk jenis hubungan intim lain.

Dewasa muda merupakan suatu

masa penyesuaian terhadap pola-pola

kehidupan yang baru dan harapan-

harapan sosial yang beru. Manusia

dewasa muda diharapkan memainkan

peranan-peranan baru dalam hal-hal

sebagai suami atau istri, orang tua dan

sebagai pemimpin rumah tangga, serta

mengembangkan sikap-sikap, minat-

minat dan nilai-nilai dalam memelihara

peranan yang baru tersebut (Mappiare,

1983).

Berdasarkan beberapa definisi di

atas dapat disimpulkan bahwa dewasa

muda adalah mereka yang berada pada

usia 20-40 tahun, dimana mereka

melakukan penyesuaian diri terhadap

pola-pola kehidupan dan harapan-harapan

sosial yang baru, berkomitmen untuk

suatu pekerjaan dan membentuk

hubungan intim melalui suatu pernikahan.

D. Belum Menikah

1. Pengertian Belum Menikah

Belum menikah adalah

belum adanya hubungan antara pria

dan wanita yang diakui dan diatur

dalam seperangkat pranata sosial

dan disyahkan dalam norma hukum

dan agama.

2. Alasan Belum Menikah

Menurut Hurlock (1980),

alasan-alasan orang dewasa muda

belum menikah antara lain:

a. Penampilan seks yang tidak

tepat dan tidak menarik,

b.Cacat fisik atau penyakit lama,

c. Sering gagal dalam mencari

pasangan,

d. Tidak mau memikul tanggung

jawab perkawinan dan orang tua,

e. Keinginan untuk meniti karier

yang menuntut kerja lama dan

jam kerja tanpa batas dan banyak

bepergian,

f. Tidak seimbangnya jumlah

anggota masyarakat pria dan

wanita di masyarakat dimana ia

tinggal,

g. Jarang mempunyai kesempatan

untuk berjumpa dan berkumpul

dengan lawan jenis yang

dianggap cocok dan sepadan,

h. Karena mempunyai tanggung

jawab keuangan dan waktu untuk

orang tua dan saudara-saudaranya,

i. Kekecewaan yang pernah dialami

karena kehidupan keluarga yang tidak

bahagia pada mas a la lu a tau

pengalaman pernikahan yang tidak

membahagiakan yang dialami oleh

temannya,

j. Mudahnya fasilitas untuk melakukan

hubungan seksual tanpa nikah,

k. Gaya hidup yang menggairahkan,

l. Besarnya kesempatan untuk

meningkatkan jenjang karier,

m. Kebebasan untuk mengubah

dan melakukan percobaan

dalam pekerjaan dan gaya hidup,

n.Mempunyai kepercayaan bahwa

mobilitas sosial akan lebih

mudah diperoleh apabila dalam

keadaan lajang daripada setelah

menikah.

III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah

dewasa muda yang belum menikah baik

berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan

dan berusia antara 28 sampai 40 tahun. Sampel

pada penelitian ini diambil sebanyak 30 orang.

Teknik pengambilan sampel menggunakan

purposive sampling, dimana pengambilan

sampel harus berdasarkan ciri-ciri atau

karakteristik tertentu, yang merupakan ciri

pokok populasi (Arikunto, 1993).

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan Skala Dukungan

Sosial yang disusun berdasarkan dimensi-

dimensi dukungan sosial yang dikemukakan

oleh Orfard (dalam Smet, 1994) yaitu

dukungan emosional, dukungan penghargaan,

dukungan instrumental, dukungan informasi

dan dukungan integritas sosial atau dukungan

jaringan.

Untuk mengukur Kepuasan Hidup,

digunakan Satisfaction With Life Scale

(SWLS) yang dikembangkan oleh Diener,

dkk (dalam Pavot & Diener, 1993).

Sedangkan untuk mengukur Afek

Me nye na ngka n da n A fe k Tida k

Menyenangkan adalah alat ukur yang

disebut dengan Positive Affect Negative

A f f ec t Schedu le (PA NA S) ya ng

dikembangkan oleh Diener, Smith dan

Fujita (1995).

C. Sistem Penilaian

Sistem penilaian pada skala

dukungan sosial dan subjective well being

berbentuk skala Likert.

Item-item atau pernyataan

dukungan sosial dibagi menjadi item-item

yang favorable dan unfavorable bergerak

dari Sangat Setuju (SS) sampai dengan

Sangat Tidak Setuju (STS).

Konsep subjective well-being

(SWB) tersebut terdiri dari komponen-

komponen subjective well-being (SWB) yang

dikemukakan oleh Diener, Scollon dan Lucas

(2003) yaitu kepuasan hidup (life satisfaction),

afek menyenangkan (pleasant affect) dan afek

tidak menyenangkan (unpleasant affect). Untuk

mengukur kepuasan hidup menggunakan alat

ukur yang disebut dengan Satisfaction With Life

Scale (SWLS) yang dikembangkan oleh Diener,

dkk (dalam Pavot & Diener, 1993). Alat ukur ini

menggunakan skala Likert 1-7 dan terdiri dari

lima pernyataan. Tujuh alternatif pilihan

jawaban tersebut bergerak dari sangat tidak

setuju, tidak setuju, agak tidak setuju, netral,

agak setuju, setuju, dan sangat setuju. Skor

kepuasan hidup (life satisfaction) diperoleh

dengan menjumlahkan keseluruhan angka,

dimana semakin besar angka menunjukkan

semakin besar kepuasan hidup individu yang

bersangkutan. Sedangkan untuk mengukur afek

menyenangkan dan afek tidak menyenangkan

menggunakan alat ukur yang disebut dengan

Positive Affect Negative Affect Schedule

(PANAS) yang dikembangkan oleh Diener,

Smith dan Fujita (1995). Alat ukur ini

menggunakan skala Likert 1-5 dan terdiri dari

20 afek yang terbagi atas 10 afek menyenangkan

dan 10 afek tidak menyenangkan. Lima pilihan

alternatif jawaban brgerak dari sangat lemah,

lemah, sedang, kuat dan sangat kuat. Skor afek

menyenangkan dan afek tidak menyenangkan

diperoleh dengan menjumlahkan angka afek,

dimana semakin besar angka menunjukkan

semakin kuat afek tersebut dirasakan oleh

individu yang bersangkutan.

IV. HASIL DAN ANALISIS

A. Uji Validitas dan Reliabiitas

Perhitungan uji validitas dan uji

reliabilitas skala dukungan sosial dan skala

kepuasan hidup, afek menyenangkan dan

afek tidak menyenangkan pada dewasa

muda yang belum menikah didasarkan pada

tabel nilai-nilaikritiskoefisien korelasi

prouct moment dari Azwar (1996).

Berdasarkan analisis data dengan

menggunakan teknik Korelasi Product

Moment Pearson (1-tailed), maka diperoleh

untuk skala dukungan sosial dari 23 item, 6

item dinyatakan gugur sehingga jumlah

item yang valid adalah 17 item yang

mempunyai nilai korelasi > 0,3 (dari tabel

product moment) yang berada pada rentang

korelasi antara 0,305 sampai dengan 0,643.

Uji reliabilitas pada skala dukungan sosial

didapatkan nilai alpha sebesar 0,86 1 ,maka

item-item dukungan sosial dianggap

reliabel.

Pada Satisfaction With Life Scale

(SWLS), yang dipakai untuk mengukur

kepuasan hidup (life satisfaction ),

berdasarkan teknik Korelasi Product

Moment Pearson (1-tailed), dari 5 item

yang diujikan, 5 item dinyatakan valid

dengan nilai korelasi > 0,3 yang berada

antara 0,389 sampai dengan 0,671.

Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan

teknik Alpha Cronbach dan diperoleh nilai

alpha sebesar 0,760 ,maka dapat dikatakan

item-item skala kepuasan hidup (life satisfaction)

adalah reliabel.

Pada Positive Affect Negative Affect

Schedule (PANAS) yang dipakai untuk

mengukur komponen afek menyenangkan

(pleasant affect) dan afek tidak menyenangkan

(unpleasant affect ) , juga diuji dengan

menggunakan teknik Korelasi Product Moment

Pearson (1-tailed), dari 10 item komponen afek

menyenangkan (pleasant affect) , 10 item

dinyatakan valid dengan nilai korelasi yang

berada antara 0,308 sampai dengan 0,550.

Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan

teknik Alpha Cronbach dan diperoleh nilai alpha

sebesar 0,75 5 ,maka dapat dikatakan item-item

skala afek menyenangkan (pleasant affect) adalah

reliabel. Sedangkan dari 10 item afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect), 2 item

dinyatakan gugur dan 8 item dinyatakan valid

dengan nilai korelasi yang berada antara 0,358

sampai dengan 0,648. Sedangkan uji reliabilitas

dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach dan

diperoleh nilai alpha sebesar 0,757 ,maka dapat

dika takan i tem-i tem skala afek t idak

menyenangkan (unpleasant affect) adalah

reliabel.

B. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Berdasarkan uji normalitas terhadap skala

dukungan sosial dan kepuasan hidup (life

satisfaction) dapat diketahui nilai signifikansi

variabel dukungan sosial sebesar 0,200 dan

kepuasan hidup (life satisfaction) sebesar 0,200.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebaran

data memiliki distribusi sangat normal

karena p>0,05.

Berdasarkan uji normalitas terhadap

s ka l a dukun ga n s os i a l da n a fe k

menyenangkan (pleasant affect) dapat

diketahui nilai signifikansi variabel

dukungan sosial sebesar 0,200 dan afek

menyenangkan (pleasant affect) sebesar

0,200. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

sebaran data memiliki data distribusi sangat

normal karena p> 0,05.

Berdasarkan uji normalitas terhadap

skala dukungan sosial dan afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect) dapat

diketahui nilai signifikansi variabel

dukungan sosial sebesar 0,200 dan afek

tidak menyenangkan (unpleasant affect)

sebesar 0,200. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa sebaran data memiliki data distribusi

sangat normal karena p>0,05.

2. Uji Linearitas

Analisis regresi dalam penelitian ini

digunakan untuk uji linearitas. Dari hasil

pengujian pada skala skala dukungan sosial

dan skala kepuasan hidup (life satisfaction),

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,002

yang berarti bahwa distribusi data skala

dukungan sosial dan skala kepuasan hidup

(life satisfaction) dalam penelitian ini

terdapat hubungan yang linear karena

p<0,05.

Berdasarkan hasil pengujian analisis

regresi pada skala dukungan sosial dan skala afek

menyenangkan (pleasant affect), diperoleh nilai

signifikansi sebesar 0,000 yang berarti bahwa

distribusi data skala dukungan sosial dan skala

afek menyenangkan (pleasant affect) dalam

penelitian ini terdapat hubungan yang linear

karena p<0,05.

Berdasarkan hasil pengujian analisis

regresi pada skala dukungan sosial dan skala afek

tidak menyenangkan (unpleasant affect),

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,022 yang

berarti bahwa distribusi data skala dukungan

sosial dan skala afek tidak menyenangkan

(unpleasant affect) dalam penelitian ini terdapat

hubungan yang linear karena p<0,05.

C. Uji Hipotesis

1. Uji Korelasional

Pengujian hipotesa untuk mengetahui

kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan

hidup (life satisfaction), afek menyenangkan

(pleasant affect) dan afek tidak menyenangkan

(unpleasant affect) menggunakan teknik korelasi

Product Moment.

Berdasarkan analisis data dukungan

sosial terhadap kepuasan hidup (life satisfaction),

diperoleh hasil yang sangat signifikan yaitu taraf

signifikansi 0,00 1 (p<0,01), dengan koefisien

korelasi (r) sebesar 0,543. Hasil analisis data

tersebut menunjukkan bahwa skor dukungan

sosial mempunyai korelasi positif dengan

kepuasan hidup (life satisfaction), dengan

signifikansi (p<0,01) yang berarti semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh maka

kepuasan hidup (life satisfaction) yang

dirasakan semakin tinggi, semakin rendah

dukungan sosial yang diperoleh maka

semakin rendah pula kepuasan hidup (life

satisfaction) yang dirasakannya.

Berdasarkan analisis data

d u k u n g a n s o s i a l t e r h a d a p a f e k

menyenangkan (pleasant affect), diperoleh

hasil yang sangat signifikan yaitu taraf

signifikansi 0,000 (p<0,0 1), dengan

koefisien korelasi (r) sebesar 0,664. Hasil

analisis data tersebut menunjukkan bahwa

skor dukungan sosial mempunyai korelasi

positif dengan afek menyenangkan

(pleasant affect), dengan signifikansi

(p<0,01) yang berarti semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh maka afek

menyenangkan (pleasant affect) yang

dirasakan semakin tinggi, semakin rendah

dukungan sosial yang diperoleh maka

semakin rendah pula afek menyenangkan

(pleasant affect) yang dirasakannya.

Berdasarkan hasi l anal is is

dukungan sosial terhadap afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect), data

diperoleh hasil yang sangat signifikan yaitu

taraf signifikansi 0,011 (p<0,05), dengan

koefisien korelasi (r) sebesar -0,417. Hasil

analisis data tersebut menunjukkan bahwa

skor dukungan sosial mempunyai korelasi

negatif dengan afek tidak menyenangkan

(unpleasant affect), dengan signifikansi

(p<0,05) yang berarti semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh maka afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect ) yang

dirasakan semakin rendah, semakin rendah

dukungan sosial yang diperoleh maka semakin

tinggi pula afek tidak menyenangkan (unpleasant

affect) yang dirasakannya.

2. Uji Regresi Sederhana

Berdasarkan analisis data yang

dilakukan dengan menggunakan teknik regresi

sederhana pada dukungan sosial dan kepuasan

hidup (life satisfaction) diperoleh F sebesar

11,723 dengan signifikansi sebesar 0,002

(P<0,01), dan diperoleh R Square sebesar 0,295.

Hal ini berarti terdapat kontribusi dukungan

sosial yang sangat signifikan terhadap kepuasan

hidup (life satisfaction) pada dewasa muda yang

belum menikah sebesar 29,5% dan sisanya

sebesar 70,5% dipengaruhi oleh faktor lain.

Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi ”ada

kontribusi yang positif antara dukungan sosial

terhadap kepuasan hidup (life satisfaction) pada

dewasa muda yang belum menikah, dimana

semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh

dewasa muda yang belum menikah, maka

semakin tinggi pula kepuasan hidup (life

satisfaction) yang dirasakannya dan sebaliknya”,

diterima.

Berdasarkan analisis data yang

dilakukan dengan menggunakan teknik regresi

sederhana pada dukungan sosial dan afek

menyenangkan (pleasant affect) diperoleh F

sebesar 22,073 dengan signifikansi sebesar 0,000

(P<0,01), dan diperoleh R Square sebesar 0,441.

Hal ini berarti terdapat kontribusi dukungan

sosial yang sangat signifikan terhadap afek

menyenangkan (pleasant affect) pada

dewasa muda yang belum menikah sebesar

44,1% dan sisanya sebesar 55,9%

dipengaruhi oleh faktor lain. Dengan

demikian, hipotesis yang berbunyi ”ada

kontribusi yang positif antara dukungan

sosial terhadap afek menyenangkan

(pleasant affect) pada dewasa muda yang

belum menikah, dimana semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh dewasa

muda yang belum menikah, maka semakin

tinggi pula afek menyenangkan (pleasant

affect) yang dirasakannya dan sebaliknya”,

diterima.

Berdasarkan analisis data yang

dilakukan dengan menggunakan teknik

regresi sederhana pada dukungan sosial dan

afek tidak menyenangkan (unpleasant

affect) diperoleh F sebesar 5,889 dengan

signifikansi sebesar 0,022 (P<0,05), dan

diperoleh R Square sebesar 0,174. Hal ini

berarti terdapat kontribusi dukungan sosial

yang signifikan terhadap afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect) pada

dewasa muda yang belum menikah sebesar

17,4% dan sisanya sebesar 82,6%

dipengaruhi oleh faktor lain. Dengan

demikian, hipotesis yang berbunyi ”ada

kontribusi yang positif antara dukungan

sosial terhadap afek tidak menyenangkan

(unpleasant affect) pada dewasa muda yang

belum menikah, dimana semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh dewasa muda

yang belum menikah, maka semakin rendah pula

afek tidak menyenangkan (unpleasant affect)

yang dirasakannya dan sebaliknya”, diterima.

D. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

adanya kontribusi dukungan sosial terhadap

kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek

tidak menyenangkan pada dewasa muda yang

belum menikah.

Sebelumnya dilakukan dahulu uji korelasi

yang bertujuan untuk mengetahui adakah

hubungan antara dukungan sosial dengan

kepuasan hidup, afek menyenangkan serta afek

tidak menyenangkan. Setelah uji korelasi

dilakukan, didapatkan hasil bahwa terdapat arah

hubungan yang positif antara dukungan sosial

dengan kepuasan hidup (life satisfaction). Hal ini

berarti semakin tinggi dukungan sosial yang

diperolehnya semakin tinggi pula kepuasan hidup

yang dirasakannya dan semakin rendah dukungan

sosial yang diperolehnya semakin rendah pula

kepuasan hidup yang dirasakannya.

Berdasarkan hasil uji regresi sederhana

yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa

adanya kesesuaian hipotesis yang diajukan yaitu

ada kontribusi dukungan sosial terhadap

kepuasan hidup. Oleh karena itu, hipotesis

diterima. Dari hasil pengujian, hipotesis pertama

menunjukkan bahwa hipotesis diterima yang

artinya ada kontribusi yang sangat signifikan

antara dukungan sosial terhadap kepuasan hidup

(life satisfaction) sebesar 29,5%, sedangkan

sisanya sebesar 70,5% kemungkinan

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya,

seperti pengaruh keadaan lingkungan fisik,

sosial, personal, pendapatan, kekuatan

untuk bertahan, kesehatan dan sebagainya.

Adanya kontribusi dukungan sosial

terhadap kepuasan hidup (life satisfaction)

disebabkan karena dukungan sosial dapat

meningkatkan kepuasan terhadap

lingkungan yang memberikannya (Carlson

& Perrewe, 1999). Kepuasan terhadap

lingkungan sekitarnya tersebut kemudian

dapat mempengaruhi jawaban subjek

mengenai kepuasan hidupnya (l ife

satisfaction) secara global. Pengaruh

tersebut dapat terjadi karena penilaian

mengenai kepuasan hidup (life satisfaction)

secara global akan dipengaruhi oleh

refleksi dari persepsi terhadap hal-hal yang

ada di dalam hidupnya (Diener, dkk.,2000).

Hal tersebut tidak berarti bahwa

dukungan sosial hanya dapat dikaitkan

dengan kepuasan hidup (life satisfaction)

secara global melalui kepuasan terhadap

domain tertentu saja. Keterkaitan antara

dukungan sosial dengan kepuasan hidup

(life satisfaction) secara global juga dapat

berarti bahwa dukungan sosial merupakan

suatu hal yang dianggap seorang dewasa

muda yang belum menikah untuk

mengevaluasi kehidupannya sebagai

sesuatu yang baik.

Uji korelasi yang dilakukan pada

dukungan sosial dan afek menyenangkan

(pleasant affect), didapatkan hasil bahwa terdapat

arah hubungan yang positif antara dukungan

sosial dengan afek menyenangkan (pleasant

affect). Hal ini berarti semakin tinggi dukungan

sosial yang diperolehnya semakin tinggi pula

afek menyenangkan (pleasant affect) yang

dirasakannya dan semakin rendah dukungan

sosial yang diperolehnya semakin rendah pula

afek menyenangkan yang dirasakannya.

Berdasarkan hasil uji regresi sederhana

yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa

adanya kesesuaian hipotesis yang diajukan yaitu

ada kontribusi dukungan sosial terhadap afek

menyenangkan. Oleh karena itu, hipotesis

diterima. Dari hasil pengujian, hipotesis kedua

menunjukkan bahwa hipotesis diterima yang

artinya ada kontribusi yang sangat signifikan

antara dukungan sos ial terhadap afek

menyenangkan sebesar 44,1%, sedangkan

sisanya sebesar 5 5,9% kemungkinan dipengaruhi

oleh faktor-faktor lainnya, seperti pengaruh kasih

sayang dari orang-orang di lingkungannya, dan

sebagainya.

Hasil berikutnya, yaitu adanya kontribusi

yang positif dukungan sosial terhadap afek

menyenangkan (pleasant affect), sesuai dengan

penelitian Walen dan Lachman (dalam Gatari,

2008) yaitu dukungan sosial dapat menjelaskan

sebagian besar varians pada kepuasan hidup dan

afek positif. Penjelasan lain mengenai kontribusi

afek positif dengan dukungan sosial antara lain

karena dukungan sosial dapat berperan sebagai

sumber daya atau mekanisme coping yang dapat

mengurangi efek negatif dari stres dan konflik

(Carlson & Perrewe, 1999). Fungsi

dukungan sosial tersebut dapat mengurangi

ciri-ciri afek menyenangkan (pleasant

affect) yaitu kesedihan dan keletihan.

Uji korelasi yang dilakukan pada

d uk u n ga n s os i a l d a n a fe k t i da k

menyenangkan (unpleasant affect ),

didapatkan hasil bahwa terdapat arah

hubungan yang positif antara dukungan

sosial dengan afek tidak menyenangkan

(unpleasant affect). Hal ini berarti semakin

tinggi dukungan sosial yang diperolehnya

s e ma k in re nda h p u la a f e k t ida k

menyenangkan (unpleasant affect) yang

dirasakannya dan semakin rendah

dukungan sosial yang diperolehnya

s e m a k i n t i n g g i p u l a a f e k t i d a k

menyenangkan yang dirasakannya.

Berdasarkan hasil uji regresi

sederhana yang telah dilakukan, diperoleh

hasil bahwa adanya kesesuaian hipotesis

yang diajukan yaitu ada kontribusi

dukungan sosial terhadap afek tidak

menyenangkan. Oleh karena itu, hipotesis

diterima. Dari hasil pengujian, hipotesis

ketiga menunjukkan bahwa hipotesis

diterima yang artinya ada kontribusi yang

signifikan antara dukungan sosial terhadap

afek tidak menyenangkan sebesar 17,4%,

sedangkan sisanya sebesar 82,6%

kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-

faktor lainnya, seperti.pengaruh rasa

bersalah, ketakutan, kegelisahan dan

sebagainya.

Hasil berikutnya, adanya kontribusi yang

negatif dukungan sosial terhadap afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect) sesuai dengan

penelitian Walen dan Lachman (dalam Gatari,

2008) yaitu dukungan sosial dapat memprediksi

afek negatif yang rendah pada orang dewasa.

Penjelasan mengenai kontribusi afek negatif atau

afek tidak menyenangkan (unpleasant affect)

terhadap dukungan sosial dapat dijelaskan

kembali dengan fungsi dari dukungan sosial

sebagai sumber daya coping yang penting untuk

mengurangi afek negatif atau afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect) dari tekanan

konflik dewasa muda yang belum menikah. Afek

negatif atau afek tidak menyenangkan

(unpleasant affect) dari tekanan konflik dewasa

muda yang belum menikah dapat dikurangi oleh

adanya orang lain yang mendukung dewasa muda

yang belum menikah, misalnya apabila seseorang

menghadapi konflik di kantornya tapi ia

mendapatkan dukungan sosial yang baik dari

teman-teman di kantornya, efek buruk yang

didapatkan dari adanya konflik tersebut dapat

berkurang atau hilang sama sekali (Carlson &

Perrewe, 1999).

Berdasarkan hasil mean empirik dan

kurva normal diperoleh hasil mean empirik

dukungan sosial sebesar 55,40. Mean empirik

berada pada posisi tinggi. Hal ini menunjukkan

bahwa dukungan sosial subjek penelitian

tergolong tinggi. Dukungan sosial yang tinggi

tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang

berada di lingkungan sekitar memegang peranan

dan pengaruh yang besar dalam diri dewasa muda

yang belum menikah. Meskipun pria atau

wanita dewasa muda yang belum menikah

tidak mendapatkan sumber dukungan dari

pasangan, mereka masih mendapatkan

dukungan dari sumber lain, seperti

keluarga, sahabat dan rekan kerja. Bantuan

da n dukunga n in i da pa t be rs i f a t

instrumental yang berupa tindakan atau

bantuan materi yang memungkinkan

seseorang untuk memenuhi tanggung jawab

sehari-harinya. Dukungan sosioemosional

berupa ungkapan rasa cinta, perhatian,

simpati dan kebersamaan yang diberikan

oleh keluarga, rekan kerja dan sahabat. Dan

dukungan informasional, yang berupa

pemberian pendapat dan saran yang

berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi

oleh dewasa yang belum menikah yang

memungkinkan kehidupan seseorang

menjadi lebih menyenangkan (House dalam

Thoits, 1986). Keluarga dapat menjadi

pemberi dukungan yang utama bagi

seseorang dalam menemukan kualitas serta

kuantitas bantuan yang didapatnya (Caplan

dalam Maldonado, 2005). Penelitian yang

ada menemukan bahwa dukungan sosial

dari keluarga merupakan hal yang paling

efektif dalam mengurangi beban pada

perempuan sedangkan dukungan sosial dari

tempat kerja lebih efektif untuk laki-laki

(House dalam Maldonado, 2005).

Pentingnya dukungan sosial pada keluarga

juga diungkapkan oleh Holahan dam Moos

(dalam Pakalns, 1990) yang menemukan

bahwa dukungan sosial dari keluarga lebih

berpengaruh kepada mood dibandingkan dengan

dukungan sosial dari lingkungan kerja pada

perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian juga

diketahui bahwa untuk kepuasan hidup (life

satisfaction), mean empirik sebesar 23,53. Mean

empirik berada pada posisi rata-rata atau sedang,

yang berarti kepuasan hidup (life satisfaction)

subjek penelitian tergolong rata-rata. Hasil

tersebut diperkuat oleh Baruch (1983) yang

menyatakan bahwa individu dewasa muda yang

belum menikah memiliki well being yang baik,

terutama wanita. Hal ini karena kebutuhan akan

keahlian dan kesenangan dapat terpenuhi dengan

baik yang diperoleh dari pekerjaan dan kualitas

pekerjaan meskipun hidup tanpa pasangan dan

anak. Hal ini menimbulkan kepuasan dalam

hidup karena kebutuhan akan aktualisasi dapat

terpenuhi dengan baik. Dengan sendirinya ia

akan memandang secara positif.

Iristiati (1988), menyatakan bahwa

kelompok dewasa muda yang lajang atau belum

menikah memiliki kepuasan diri yang tinggi.

Mereka cenderung puas terhadap dirinya.

Kepuasan diri ini dipenuhi dengan cara

kompensasi lain dari adanya kebutuhan tertentu

yang belum terpenuhi. Misalnya, seseorang tidak

mendapatkan kebahagiaan dari pasangan, maka

sebagai kompensasi ia membahagiakan orang tua

dengan berbakti. Dengan berbakti kepada orang

tua ia mendapatkan kepuasan.

Berdasarkan hasil penelitian untuk afek

menyenangkan (pleasant affect), mean empirik

sebesar 37,73. Mean empirik berada pada

p os i s i t i n g g i , ya n g be ra r t i a f e k

menyenangkan (pleasant affect) subjek

penelitian tergolong tinggi. Hasil tersebut

diperkuat oleh Carlson & Perrewe (1999)

dalam kaitannya dengan afek positif atau

afek menyenangkan (pleasant affect),

adanya dukungan sosial di tempat kerja

dapat membuat iklim kerja lebih positif.

Keterl ibatan yang menyenangkan

merupakan salah satu ciri dari afek positif

atau afek menyenangkan (pleasant affect)

yang tinggi. Selain itu, keterlibatan yang

menyenangkan juga bisa didapatkan dari

teman yang mempunyai minat dan

kepedulian yang sama.

Afek positif atau afek yang

menyenangka n ( pleas an t a f fec t )

merepresentasikan mood dan emosi yang

menyenangkan, seperti kasih sayang.

Emosi positif atau menyenangkan adalah

bagian dari SWB, karena emosi-emosi

tersebut merefleksikan reaksi seseorang

terhadap peristiwa-peristiwa yang

menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai

dengan apa yang ia inginkan (Diener,

2006). Watson dan Tellegen (dalam Diener,

Sollon & Lucas, 2003), mengatakan bahwa

afek positif adalah kombinasi dari hal yang

sifatnya membangkitkan (arousal) dan hal

y a n g b e r s i f a t m e n y e n a n g k a n

(pleasantness). Watson, Clark dan Tellegen

(dalam Diener, Sollon & Lucas, 2003),

menyebutkan bahwa afek positif yang

tinggi adalah keadaan dimana seseorang

merasakan energi yang tinggi, konsentrasi penuh

dan keterlibatan yang menyenangkan, sedangkan

afek positif yang rendah dikarakterisasi oleh

kesedihan dan kelelahan.

Berdasarkan hasil penelitian untuk afek

tidak menyenangkan (unpleasant affect), mean

empirik sebesar 19,57. Mean empirik berada

pada posisi rata-rata atau sedang, yang berarti

afek tidak menyenangkan (unpleasant affect)

subjek penelitian tergolong rata-rata. Hasil

tersebut diperkuat oleh Carlson dan Perrewe

(1999), yang mengemukakan bahwa dukungan

sosial yang berperan sebagai sumber daya atau

mekanisme coping yang penting untuk

mengurangi afek negatif atau afek tidak

menyenangkan dari stres dan konflik. Adanya

pengurangan afek tidak menyenangkan tersebut

dapat membantu mengurangi respon negatif yang

dialami seorang dewasa muda yang belum

menikah, sehingga afek tidak menyenangkannya

dapat berkurang.

Berdasarkan uraian di atas terdapat jelas

kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan

hidup, afek menyenangkan dan afek tidak

menyenangkan pada dewasa muda yang belum

menikah.

V. PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini

menunjukkan hipotesis pertama terdapat

kontribusi yang sangat signifikan antara

dukungan sosial terhadap kepuasan hidup (life

satisfaction) sebesar 29,5%, sedangkan

sisanya sebesar 70,5% kemungkinan

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya,

seperti pengaruh keadaan lingkungan fisik,

sosial, personal, pendapatan, kekuatan

untuk bertahan, kesehatan dan sebagainya.

Dari hasil pengujian hipotesis kedua,

terdapat kontribusi yang sangat signifikan

antara dukungan sosial terhadap afek

menyenangkan sebesar 44,1%, sedangkan

sisanya sebesar 5 5,9% kemungkinan

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya,

seperti pengaruh kasih sayang dari orang-

orang di lingkungannya, dan sebagainya.

Dari hasil pengujian hipotesis ketiga,

terdapat kontribusi yang signifikan antara

dukungan sosial terhadap afek tidak

menyenangkan sebesar 17,4%, sedangkan

sisanya sebesar 82,6% kemungkinan

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya,

seperti.pengaruh rasa bersalah, ketakutan,

kegelisahan dan sebagainya.

b. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, maka saran-saran yang

dapat diberikan untuk:

1. Bagi Subjek Penelitian

Diharapkan dengan adanya dukungan

sosial yang tinggi yang diperoleh

subjek diharapkan dapat lebih

mengembangkan kepuasan hidup (life

satisfaction) dan afek menyenangkan

(pleasant affect) dan dapat mengurangi

afek tidak menyenangkan (unpleasant affect)

yang dapat membuat subjek merasa gelisah

ataupun merasa bersalah. Karena dengan

dukungan sosial yang diperoleh subjek, dapat

menjadi bekal serta menumbuhkan

kebahagiaan dan rasa kepercayaan diri dalam

menjalani kehidupannya.

2. Bagi Dewasa Muda yang Belum Menikah

Merasakan kepuasan hidup (life satisfaction)

dan afek positif atau afek menyenangkan

(pleasant affect) merupakan hal yang sangat

penting. Karena dengan kedua hal tersebut

dewasa muda yang belum menikah dapat

menjalani kehidupan yang lebih baik,

sehingga afek negatif atau afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect) yang dapat

membuat dewasa muda yang belum menikah

merasa gelisah ataupun merasa bersalah dapat

berkurang.

3. Bagi Keluarga dan Lingkungan Sekitar

Disarankan agar dapat memberikan dukungan

pada dewasa muda yang belum menikah.

Karena hal tersebut dapat meningkatkan

kepuasan hidup (life satisfaction) dan afek

positif atau afek menyenangkan (pleasant

affect) yang dirasakan pada dewasa muda

yang belum menikah, selain itu juga dapat

mengurangi afek negatif atau afek tidak

menyenangkan (unpleasant affect) yang

dirasakan pada dewasa muda yang belum

menikah.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan mampu melakukan penelitian-

penelitian yang lebih mendalam agar dapat

menyumbangkan teori-teori yang lebih

baik dari teori-teori yang sudah ada

sebelumnya. Peneliti juga menyarankan

untuk melakukan pada subjek penelitian

yang berbeda, misalnya pada dewasa

madya yang belum menikah agar

diperoleh hasil yang lebih bervariasi

lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, F.M. & Robinson, J.P.(1991). Measures of subjectivewell being. Dalam J.P Robinson,P.R. Shaver, L.S. Wrightsman(Eds). Measures of personality andsocial psychology attitudes . SanDiego, California: Academis Press,Inc.

Arikunto, S. (1993). Prosedurpenelitian: Suatu pendekatanpraktek. Jakarta: P.T Rineka Cipta.

Atkinson, R.L & Hilgard. E.R. (1994).Pengantar psikologi jilid 1 edisi kedelapan. Editor: Agus Dharma.Jakarta: Erlangga.

Azwar, S. (1996). Dasar – dasarpsikometri. Yogyakarta: PustakaPelajar Offset.

Carlson, D.W & Perrewe, P.L. (1999).The role of social support in thestressor-strain relationship: Anexamination of work-familyconflict. Journal of Management,25, 4, 513-560.

Cutrona, C.E., Russel. (1994).Perceived parental social supportand academic achievement: Anattachment theory perspective.

Journal of Personality and SocialPsychology.

Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangandewasa muda. Jakarta: PT. Grasindo.

Diener, E., Smith, H, & Fujita, F. (1995).The personality structure of affect.Journal of Personality and SocialPsychology, 69 (1), 130-141.

Diener, E. & Lucas, R.E. (1999). Personalityand Subjective Well-Being. Dalam D.Kahneman, E. Diener, dan N. Schwarz(Eds). Well being the foundations ofhedonic psychology (hal 213-229). NewYork: Oxford University Press, Inc.

Diener, E., Scollon, C.N., Oishi, S., Dzokoto,V., & Suh, E.M. (2000). Positivity andthe construction of life satisfactionjudgements: Global happiness is not thesum of its parts. Journal of HappinessStudies, 1, 159-176.

Diener, E., Scollon, C.N., & Lucas, R.E.(2003). The envolving concept ofsubjective well-being: the multifacetednature of happiness. Advances in CellAging and Gerontology, 15, 187-219.

Diener, E., Lucas, R.E., & Oishi, S. (2005).Subjective well being: The science ofhappiness and life satisfaction. DalamC.R. Synder, & S.J. Lopez (Eds).Handbook of positive psychology (hal63-73). New York: Oxford UniversityPress, Inc.

Diener, E. (2006). Guidelines for nationalindicators of subjective well being and illbeing. Applied Research in Quality ofLife, 1, 151-157.

Gatari, E. (2008). Hubungan antara perceivedsocial support dan subjective well beingpada ibu bekerja. Skripsi . (Tidakditerbitkan). Depok: Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia.

Gerungan. (1999). Psikologi sosial.Eresco: Bandung.

Gottlieb, B.H. (1983). Social supportstrategies: Guidelines for mentalhealth practice. Beverly Hills,California: Sage Publication, Inc.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologiperkembangan suatu pendekatansepanjang rentang kehidupan edisike 5. Jakarta: Erlangga.

Ishii-Kuntz, Masako. (1987). Informaldampak dukungan sosial pada wellbeing: Perbandingan di tahapand e w a s a . h t t p : / /http:/ / t r a n s l a t e . go o g l e . c o . i d / t r an s l a te?hl=id&sl=en&u=http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/recordDetail%3Faccno%3DED292050&ei=AmBiS jBC4Gg6gPmoNkZ&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=5&ved=0CCsQ7gEwBA&prev=/search%3Fq%3Dsocial%2Bsupport%2B%252B%2Bwell%2Bbeing%2B%252B%2Betd%26hl%3Did%26sa%3DG. Diakses tanggal 29 Januari 2010.

Iristiati. (1988). Konsep diri wanitalajang. Skripsi. (Tidak diterbitkan).Depok: Fakul tas PsikologiUniversitas Indonesia.

Kartini, K. (1977). Psychology wanita:Gadis remaja dan wanita dewasa.Bandung: Penerbit Alumni.

Kuntjoro, S.Z. (2002). Dukungan sosialpada lansia . ht tp: //www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia detai l.asp?id=1 83. Diaksestanggal 31 Mei 2009.

Lyons, J.A. (2002). General straintheory and social support: A studyo f A f r i c a n A m e r i c a n s .http://etd.Isu.edu/docs/available/et

d-0709 102-

11525 8/unrestricted/Lyonsthesis.pdf.Diakses tanggal 29 Januari 2010.

Maldonado, L.E. (2005). Coping, socialsupport, biculturalism, and religiouscoping as moderators of the relationshipbetween occupational strees anddepressive affect among Hispanicpsychologist. Disertasi pada Universityo f M a r y l a n d .http://drum.umd.edu/dspace/bitstream/1903/29 1 3/1/umi-umd-2704.pdf. Diaksestanggal 29 Januari 2010.

Mappiare, A. (1983). Psikologi orangdewasa : Bagi penyesuaian danpendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Pakalns, G. (1990). Perceived social supportand psychological well-being in workingmothers.http://eric.ed.gov/ERICWebPortal/contentdelivery/servlet/ERICServlet?accno=ED326824. Diakses tanggal 29 Januari2010.

Papalia, D. & Olds, S. (1998). Humandevelopment 7 th edition. USA: The MvGraw Hill Companies Inc.

Pavot, W. & Diener, E. (1993). Review of thesatisfaction with life scale. PsychologicalAssesment, 5 (2), 164-172.

Rakhmiatie, J. (2006). Kesepian pada wanitadewasa madya yang belum menikahdengan wanita dewasa madya yangsudah menikah. Skripsi . (Tidakditerbitkan). Depok: Fakultas PsikologiUniversitas Gunadarma.

Roxbourgh, S. (1999). Exploring the workand family relationship: Genderdif ferences in the inf luence ofparenthood and social support on jobsatisfaction. Journal of Family Issues,20, 771-788.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). Onhappiness and human potentials: A

review of research on hedonic andeudaimonic well being. AnnualReview of Psyxhology, 52, 141-166.

Santrock, J.W. (1999). Life-spandevelopment 7th edition. New York:Mc Graw Hill Companies.

Sarafino, E.P. (1990). Healthp s y c h o l o g y : B i o p h y s i c a linteractions. Toronto: Jhon Wiley& Sons.

Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan.Jakarta: PT. Grasindo.

Synder, C.R., & Lopez, J.S. (2007).Positive psychology: The scientificand practical explorations ofhuman strength. United States ofAmerica: Sage Publications, Inc.

Taylor,. S.E. (2003). Health psychologyfifth edition . New York: McGraw-Hill Companies, Inc

Thoits, P.A. (1986). Social support ascoping assistance. Journal ofConsulting & Clinical Psychology,54, 416-423.

Treitsman, D.L. (2004). Work-familyconflict and life satisfaction infemale graduate students: Testingme dia t ing a nd m ode ra t inghypothesis. Disertasi padaUniversity of Maryland.http://drum.umd.edu/dspace/bitstream/1 903/1702/1/umi-umd-1521.pdf. Diakses tanggal 29Januari 2010.

Veilel, H & Baumann. (1992). Themany meaning of social support:Meaing and measurement of socialsupport. New York: HemispherePublish Corp.

Watson, D., Clark, L.A., & Tellgen, A.(1988). Development and validation ofbrief measures of positive and negativeaffect: The PANAS scales. Journal ofPersonality and Social Psychology, 54,6, 1063-1070.

Winarni, E.A. (2009). Kebahagiaan dankualitas hidup dewasa muda menikahdan tidak menikah pada masyarakatjabodetabek. Skripsi. (Tidak diterbitkan).Depok: Fakultas Psikologi UniversitasIndonesia.

Wolchik, S.A., Sandler, I.N., & Braver, S.L.(1987). Contemporary topics indevelopmental psychology . Toronto:John Wiley & Sons.

Yi Pei-Kuo. (2008). Studi tentang hubunganantara dukungan sosial dan well beingo f h ig h t e ch kar y aw an . h t t p : / /http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://1 40.127.82.1 62/ETD-db/ETD-

search/view etd%3FURN%3Detd-1226108-050206&ei=AmBiS jBC4Gg6gPmoNkZ&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=1 0&ved=0CE0Q7gEwCQ&prev=/search%3Fq%3Dsocial%2Bsupport%2B%252B%2Bwell%2Bbeing%2B%252B%2Betd%26hl%3Did%26sa%3DG. Diaksestanggal 29 Januari 2010.