Kontekstualisasi al-Taubah Ayat 28 PDF.pdf
-
Upload
rulhas-sultra -
Category
Documents
-
view
80 -
download
1
description
Transcript of Kontekstualisasi al-Taubah Ayat 28 PDF.pdf
Asbab al-Nuzul
KAJIAN KONTEKSTUALISASI;
* Al-Taubah Ayat 28 *
Dosen Pembimbing:
Dr. Ahmad Khusnul Hakim, MA
Hasrul
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
FAKULTAS USHULUDDIN TAFSIR HADIS
TAHUN AKADEMIK 2012-2013
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
2 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
ASBAB AL-NUZUL;
Kajian Kontekstualisasi
* Al-Taubah : 28 *
Fakultas Ushuluddin Semester VI
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
JAKARTA SELATAN 2012-2013
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
3 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
A. SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
لاا خفاام وإ هاايا عاا مه باعاا الحااكا المسااج ياقكباا ا فاا نجاا المشااكو إنماا آمناا ا الاايي أياهاا ياا عيا ﴾٨٢: الم ب س رة﴿ حكي علي الله إ ش ء إ فضله م الله ياغنيك فس ف
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik
itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini. Dan jika
kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari
karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. al-Taubah: 28)
Masji al-Haram dibangun mengelilingi Ka‟bah yang menjadi arah kiblat bagi umat
Islam dalam mengerjakan ibadah shalat. Masjid ini juga merupakan Masjid terbesar di dunia.
Terkait ini, Allah SWT memberitahukan bahwa Baitullah (Ka‟bah) yang terdapat dalam
masjid al-Haram adalah rumah yang pertama kali dibangun untuk manusia bagi kepentingan
ibadah yang terletak di bakkah yaitu Mekah. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam surah
al-Imran ayat 96. Imam Syaukhani dalam tafsirnya menyebutkan bahwa terdapat ikhtilaf
mengenai siapa yang pertama kali membangun Ka‟bah. Ia menyebutkan, ada yang
mengatakan Malaikat, ada yang mengatakan Adam a.s serta pendapat lain menyebutkan
Ibrahim a.s adalah orang yang pertama kali membangunnya. Imam Syaukhani menjama‟
pendapat-pendapat ini dengan mengatakan bahwa Malaikatlah yang pertama kali
membangunnya, kemudian diperbaharui oleh Adam dan selanjutnya Ibrahim.1
Namun seiring bergantinya zaman, Ka‟bah beralih fungsi menjadi tempat
penyembahan berhala. Di antara berhala yang berada di sekitar ka‟bah adalah uzza dan latta.
Hal ini berlangsung jauh sejak sebelum kelahiran nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan
zaman Jahiliyyah hingga setelah terjadinya Fathul Mekah pada tahun ke-8 H. Setelah Fathul
Mekah, diumumkan kepada seluruh penduduk Mekah bahwasannya bahwasanya setelah
tahun ini ( بعد عام ها ), yaitu setelah tahun ke-9 hijriah orang kafir dilarang memasuki tanah
suci termasuk masjid al-Haram.2 Peristiwa pelarangan ini berdasarkan wahyu al-Quran yang
diabadikan dalam surat al-Taubah ayat 28 yang telah dicantumkan di atas.
Terkait intisari ayat di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa Allah
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yang memiliki kesucian lahir dan
batin untuk mengusir orang-orang musyrik dari masjid al-Haram dan agar tidak
mendekatinya. Jadi, Allah memberlakukan dan memutuskannya sebagai syariat.3 Surah ini
diturunkan sesudah Nabi Muhammad Saw kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada
tahun 9 H. Dengan ungkapan yang lebih rinci, Musthafa Maraghi mengungkapkan bahwa
Rasulullah memerintahkan Abu Bakar sewaktu mengangkatnya sebagai amir dalam ibadah
haji tahun ke-9 hijriah untuk menyampaikan pengumuman kepada orang banyak terkait
perintah dalam ayat di atas, bahwa setelah tahun ini tidak ada seorang musyrik pun yang
boleh mengerjakan ibadah haji. Kemudian, memerintahkan juga Ali bin Abi Thalib menyusul
1 Imam Syaukhani, Fathul Qadir (Kairo: Darr al-Hadis, 2003), Jilid I, hal. 488
2 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain (Surabaya : Darr al-Ilmi, ____), hal.
159 3 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2007). cet.
IV, jilid IV, hal. 114
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
4 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
Abu Bakar untuk membacakan permulaan surah al-Bara‟ah (al-Taubah) di hadapan manusia
pada waktu pelaksanana Haji tahun tersebut dan mengembalikan perjanjian kepada mereka.4
Kemudian dalam tafsir al-Azhar menyebutkan, pada tahun berikutnya barulah Rasulullah
naik haji yang di kenal dengan haji Wada‟.
B. ASBAB AL-NUZUL SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
Adapun sekilas riwayat-riwayat terkait asbab al-nuzul dari surah al-Taubah ayat 28,
sebagai berikut:
1) Pertama:
يمجاكو ب لطعا معا ويجيئا البيت إلى يجيئ المشكو و : ق ل عب س اب ع ح ت أبي اب أخكج فسا ف عيلا خفام وإ ) اهلل فاأنلل ؟ الطعا لنا أيا ما : المسالم ق ل البيت يأت ا أ ع نه ا فلم فيه
.(فضله م اهلل يغنيك Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa,
ia berkata: “Orang-orang Musyrik biasa datang ke Mekkah dengan membawa bahan
makanan untuk di jual di sana. Maka ketika mereka dilarang mendatangi Baitullah, orang-
orang Islam berkata: „Dari mana kita mendapatkan makanan?‟. Maka Allah menurunkan
ayat, ( فضلهههللايغىيك فسوفعيلةخفت وإن ).5
2) Kedua:
يقكباا ا فاا نجاا المشااكو إنماا ) نللاات لماا : قاا ل جبيااك باا سااعي عاا الشااي أباا و جكيااك اباا وأخااكج اهلل فاأنلل ؟ وب لمما ب لطعا يأتنا ما : وقا ل ا المسالمي علاى ذلا شق (هيا ع مه بع الحكا المسج
.(فضله م اهلل يغنيك فس ف عيل خفم وإ )Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Jarir dari Abu al-Syaikh yang bersumber dari Said
bin Jubair, ia berkata: “Ketika turun ayat, ( ها عام بعاد لحار لمساجديقربو فالوجس لمشركونإومم )
orang-orang Islam merasa sesak dadanya dan mereka berkata: “Siapakah yang membawa
makanan dan peralatan lainnya kepda kita?”. Maka Allah menurunkan ayat ini, ( عيلاةخفت وإن
فضلهههللايغىيك فسوف ).6
Jalaluddin al-Suyuti mengungkapkan bahwa ( و لضاحم لعاوف وعطياةعكراةعهثلهوأخرج
وغياره وقتمدة ), hadis seperti itu dikemukakan juga oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah,
„Athiyah al-„Ufi, al-Dhahak, Qatadah dan lain-lain.7
C. KONTEKS TURUNNYA SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan secara gamblang keadaan kaum musyrikin
sehingga mereka harus ditindak dengan tegas atau paling tidak dihindari atau diboikot serta
dijauhkan dari daerah suci. Maka, di sini dijelaskan bahwa mereka sebenarnya najis sehingga
4 Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi terj. Hery Nur Aly, dkk. (Semarang: Toha Putra, 1992), Juz
X, cet. II, hal. 152 5 Jalaluddin al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut : Darr al-Kitab al-Araby, 2011), hal.
124-125 6 Ibid, hal. 125
7 Ibid, hal. 125
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
5 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
tidak wajar berada di tempat-tempat suci. Pada titik ini, perlu pemahaman secara
seksama akan periodisasi syariat dalam Islam. Sejarah hidup Rasulullah Saw
memperlihatkan bahwa sebelum turunnya ayat di atas beliau sering menyambut
para utusan kaum musyrikin di dalam masjid ketika masih di Madinah. Demikian juga pada
orang Yahudi dan Nasrani. Bahkan pernah seorang musyrikin yang bernama
Tsumamah bin Atsaal tertawan, lalu diikatkan pada salah satu tonggak masjid di Madinah.8
Berdasarkan informasi ini, maksud najis dalam ayat di atas bukanlah najis materil (hizzi)
melainkan najis maknawi.
Menurut al-Raghib, najis berarti kotoran dan ia mempunyai dua macam, ada yang
diketahui dengan indra dan satu macam lagi dengan hati. Jenis terahir inilah yang disifatkan
Allah kepada kaum musyrikin dalam firman-Nya ( وجاس لمشاركونإومام ). Al-Quran turun jauh
sebelum fiqih menjadi cabang ilmu tersendiri dan juga sebelum fuqaha‟ membuat istilah
najis. Dalam tradisi Arab, istilah najis tidak sebagaimana yang di pahami sekarang dalam
ilmu fiqih. Orang Arab memandang orang yang busuk hatinya/rusak moralnya dengan
seorang yang najis. Demikian juga seorang laki-laki yang telah menzinai perempuan, lalu
perempuan itu dinikahinya sebab perempuan itu telah dikotorinya.9 Maka pernyataan ayat di
atas benar-benar menggambarkan najisnya jiwa orang yang menyembah selain Allah. Pada
sisi lain, ada sebagian ulama yang memahami kenajisan tersebut dalam arti material. Ada
riwayat yang menyatakan bahwa sahabat nabi Saw, Ibnu Abbas menilai seorang musyrik
najis badannya seperti anjing. Sedangkan Hasan memfatwakan bahwa siapa yang berjabat
tangan dengan seorang musyrik maka ia hendaknya berwudhu. Pendapat ini bukanlah
merupakan pendapat yang benar, tidak juga anutan mayoritas para ulama. 10
Firman-Nya ( menurut Sayyid Qutub, itulah puncak larangan dan ,( لحار لمساجديقربو فال
haramnya dari segi hukum bagi kaum musyrik untuk berada di tanah Haram. Bahkan
larangan itu berkembang hingga larangan mendekatinya karena mereka najis sedangkan tanah
haram adalah suci.11
Tanah haram atau masjid al-Haram adalah wilayah yang memiliki
kehormatan lagi harus dihormati. Kata haram dalam ayat di atas tidak lagi diperhadapkan
dengan kata halal. Tidak juga dipahami dalam arti haram dari segi tinjauan hukum walaupun
kata yang mengandung makna hukum itu, terambil juga dari kar kata yang sama. Kita
maklumi bahwa semakin terhormat sesuatu semakin banyak pula larangan yang berkaitan
dengannya. Penghormatan melahirkan larangan dan tata cara tertentu. Untuk makna inilah
sehingga tanah di sekitar mekah dan masjid yang di dalamnya terdapat Ka‟bah dinamai
harâm. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa ayat ini hanya melarang kaum musyrikin memasuki
masjid al-Haram, bukan semua masjid. Adapun Imam Malik, beliau menganalogikannya
dengan masjid-masjid lain. Imam Abu Hanifah memaknai ayat ini bukan tertuju sebagai
larangan memasuki masjid al-Haram, tetapi larangan dalam arti melaksanakan haji, umrah
dan melakukan thawaf. Dalam wilayah kekuasaan Islam, ulama sepakat menyatakan bahwa
siapapun selain muslim tidak diperkenankan berada di wilayah Mekah dan Madinah.12
8 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. I, juz X, hal. 154-155
9 Ibid. hal. 155
10 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, Volume 5, hal. 539
11 Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Quran terj. As‟ad Yasin, dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. III,
Jilid X, hal.200 12
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal. 540
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
6 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
Setelah turunnya larangan terhadap kaum musyrik yang terdapat dalam ayat di atas,
sebagian kaum muslimin berkata: “Sesungguhnya kehadiran kaum musyrikin itu di mekah
menyemarakkan jual beli dan arus perdaganagn, kami khawatir mengalami kerugian jika
mereka dilarang berkunjung ke mekah”. Mengetahui ucapan itu, Allah menenangkan mereka
bahwa Dia akan mengganti buat mereka rezeki dari sumber yang lain. Hal ini nampak pada
potongan ayat selanjutnya ( يغىاايكفسااوفعيلااة خفاات وإن ااههللا فضااله ), “dan jika kamu khawatir
menjadi miskin akibat memenuhi tuntunan ini, maka Allah akan memberikan kekayaan
kepada kamu dari karunia-Nya”.13
D. KONTEKSTUALISASI SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
Setelah mengetahui asbab al-nuzul dan memahami konteks ketika turunnya ayat di
atas, uraian berikut berupaya menjelaskan upaya kontekstualisasinya dalam kondisi kekinian.
Seperti telah dikemukan pada uraian diatas, setidaknya terdapat dua term dari ayat di atas
yang harus di pahami, yaitu:
Term pertama: Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah
mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini ( لحار لمساجديقرباو فاالوجاس لمشركونإومم
بعد عام ها ), Menurut analisa penulis, inilah orientasi perintah dalam ayat ini yang di arahkan
untuk merubah salah satu stabilitas sosial dalam masyarakat Arab, yaitu kebiasaan
non-muslim Arab dan lainnya yang melakukan berbagai ritual di ka‟bah yang tidak
sebagaimana mestinya. Arah perubahan ini tentunya untuk penyempurnaan dan pemurnian
syariat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Atas dasar ini, turunlah wahyu
yang memuat larangan kaum musyrik untuk mendekati tanah haram.
Term kedua: Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan
memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki ( فساوفعيلاة خفات وإن
يغىاايك ااههللا شاام إنفضااله ). Setelah pelarangan kaum musyrik mendekati tanah haram, tentu
konsekuensinya sangat besar dalam perekonomian umat Islam. Inilah dampak stabilitas sosial
bagi masyarakat muslim dari tuntunan tersebut. Namun, Allah memberikan jaminan dalam
potongan ayat selanjutnya, ( يغىيك فسوفعيلة خفت وإن ههللا شم إنفضله ).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika terdapat benturan dalam urusan
keimanan atau aqidah dan duniawi, maka urusan aqidah harus di dahulukan. Apalagi jika
stabilitas sosial tersebut tidak mengacu pada tata nilai dan ketentuan nash. Sejalan dengan
ungkapan Nasaruddin Umar: “Dalam dinamika saat ini, kita dihadapkan kepada pilihan
rumit, yaitu haruskah kita menerapkan ketentuan nash sekalipun harus mengorbankan
stabilitas dan integrasi nilai yang sudah mapan atau haruskah mentolerir stabilitas dan
integrasi nilai yang tidak mengacu dan tidak sejalan dengan nash”.14
Menurut kami, inilah
salah satu pesan dari ayat di atas dalam relasinya dengan kondisi kontemporer sekarang.
Dengan demikian, pada satu sisi kontekstualisasi ayat di atas menekankan bahwa Islam tidak
memberikan batasan dalam melakukan perniagaan, perekonomian, dan hubungan bisnis
dengan non-muslim selama tetap dapat menjaga aqidahnya. Hal ini tentu meluas dalam
hubungan kerja sama antar Negara yang notabenenya berbeda agama.
13 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, Volume 5, hal. 538
14 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran (Jakarta: Dian Rakyat, 2010),
cet. II, hal. 15
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
7 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
REFERENSI
Al-Mahalli, Jalaluddin. dan Al-Suyuti, Jalaluddin. Tafsir Jalalain, Surabaya: Darr al-Ilmi, tt
Al-Suyuti, Jalaluddin. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Beirut: Darr al-Kitab al-Araby,
2011
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, cet. I, 1985
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir terj. M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi‟i, cet.
IV, 2007
Maraghi, Mustahfa. Tafsir Maraghi terj. Hery Nur Aly, dkk., Semarang: Toha Putra, Cet. II,
1992
Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Quran terj. As‟ad Yasin, dkk., Jakarta: Gema Insani Press, cet. III,
2003
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2002
Syaukhani, Muhammad. Fathul Qadir, Kairo: Darr al-Hadis, 2003
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta: Dian Rakyat,
Cet. II, 2010