Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya...

33
62 Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Kebijakan pembangunan tidak dilaksanakan di atas “kertas kosong”, melainkan dimasukkan ke dalam konteks kesejarahan lokal yang sudah sudah terlebih dahulu ada (Agusta dan Tetiani, 2001). Dapat diibaratkan bahwa konteks kebijakan menjadi semacam “panggung” tempat kebijakan dan program pembangunan “beraksi”. Pada beberapa aspek memang konteks dapat dipengaruhi, namun secara keseluruhan justru konteks itulah yang mempengaruhi jalannya pembangunan. Dengan adanya konteks sebagai variabel antara, maka suatu kebijakan yang berhasil di suatu wilayah tertentu belum tentu mendapatkan hasil serupa di wilayah lainnya (World Bank, 2009). Dalam upaya merumuskan kebijakan pembangunan wilayah, konteks menjadi semakin bermakna. Pembangunan wilayah memiliki ciri lokalitas yang kuat sejak dari perumusan masalah, pengembangan alternatif pemecahan, konstruksi teoretis, hingga pengambilan kebijakan (Higgins dan Savoie, 2005). Konsekuensinya penerapan teori ilmu pembangunan wilayah perlu seksama, terutama untuk menyesuaikan dengan sejarah lokal yang sudah lebih dahulu tumbuh. Tidak ada teori yang dinyatakan benar atau salah, melainkan perumusan kebijakan diarahkan untuk mencari peluang-peluang kesesuaian teori dengan praktek. Jika teori tersebut tidak sepenuh cocok, maka mungkin digabung dengan teori lain, atau sama sekali tidak digunakan.

Transcript of Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya...

Page 1: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

62

Konteks Kebijakan Pengurangan

Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Kebijakan pembangunan tidak dilaksanakan di atas “kertas kosong”,

melainkan dimasukkan ke dalam konteks kesejarahan lokal yang sudah sudah

terlebih dahulu ada (Agusta dan Tetiani, 2001). Dapat diibaratkan bahwa

konteks kebijakan menjadi semacam “panggung” tempat kebijakan dan

program pembangunan “beraksi”. Pada beberapa aspek memang konteks dapat

dipengaruhi, namun secara keseluruhan justru konteks itulah yang

mempengaruhi jalannya pembangunan. Dengan adanya konteks sebagai

variabel antara, maka suatu kebijakan yang berhasil di suatu wilayah tertentu

belum tentu mendapatkan hasil serupa di wilayah lainnya (World Bank, 2009).

Dalam upaya merumuskan kebijakan pembangunan wilayah, konteks

menjadi semakin bermakna. Pembangunan wilayah memiliki ciri lokalitas yang

kuat sejak dari perumusan masalah, pengembangan alternatif pemecahan,

konstruksi teoretis, hingga pengambilan kebijakan (Higgins dan Savoie, 2005).

Konsekuensinya penerapan teori ilmu pembangunan wilayah perlu seksama,

terutama untuk menyesuaikan dengan sejarah lokal yang sudah lebih dahulu

tumbuh. Tidak ada teori yang dinyatakan benar atau salah, melainkan

perumusan kebijakan diarahkan untuk mencari peluang-peluang kesesuaian

teori dengan praktek. Jika teori tersebut tidak sepenuh cocok, maka mungkin

digabung dengan teori lain, atau sama sekali tidak digunakan.

Page 2: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

63

Oleh karena itu pengetahuan akan konteks kebijakan sangat penting,

karena konteks menjadi struktur terdalam yang mempengaruhi dampak dari

suatu kebijakan pengurangan ketimpangan wilayah. Ada baiknya

memperlakukan konteks kebijakan seperti halnya aksioma pembangunan.

Dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk menihilkan kekuatan kebijakan dalam

mengubah konteks itu sendiri –misalnya mengubah konteks yang dipandang

merugikan—namun disadari bahwa pengubahan suatu konteks pembangunan

membutuhkan kekuatan kebijakan yang sangat besar.

Sikap yang bisa dibangun terhadap temuan-temuan konteks kebijakan

dapat berupa menjadikannya peluang untuk menanggulangi ketimpangan

pembangunan wilayah, atau dilihat sebagai tantangan yang mendorong

peningkatan ketimpangan pembangunan wilayah. Pembangunan hampir selalu

ibarat mengisi separuh gelas dengan air, apakah akan dipandang sebagai gelas

setengah isi atau justru setengah kosong (Chambers, 1987). Perumusan

tantangan dan peluang inilah yang dibangun pada bab ini.

Konteks untuk merumuskan kebijakan pengurangan ketimpangan

pembangunan wilayah berada pada lingkup global hingga nasional (Tabel 13).

Konteks global mencakup kecenderungan ketimpangan global sejak beratus

tahun lampau hingga masa kini. Konteks lainnya ialah pengembangan narasi

besar berupa tema-tema pembangunan yang digunakan donor untuk

memusatkan perhatian pada aspek pembangunan tertentu. Akhir-akhir ini

aspek pengembangan wilayah –yang dinamai pula sebagai geografi ekonomi—

menempati posisi utama di kalangan lembaga donor penting bagi Indonesia,

yaitu World Bank (2009) dan Asian Development Bank (2007). Dapat

diperkirakan bahwa tema tersebut masih akan bertahan selama beberapa

waktu ke depan –sebagaimana biasanya program donor dimulai dari penerbitan

laporan pembangunan bertema khusus.

Adapun konteks nasional dimulai dari aspek kesejarahan. Pengalaman

sebagai negara yang terjajah memiliki konsekuensi mendalam terhadap pola

Page 3: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

64

Tabel 13. Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Konteks Materi Konteks Level Peluang Pengurangan Ketimpangan Wilayah

Tantangan Peningkatan Ketimpangan Wilayah Sumber Data

Ketimpangan global Dampak jangka panjang dari Revolusi Industri atau kapitalisme global

Ketimpangan antar-negara dan di-dalam-negara

Globalisasi pasar Perusahaan multinasional dan

post fordisme Kerusakan dan pencemaran

lingkungan

Global Kualitas pemerintah (tidak korup) Demokrasi dan lokasi negara

disekitar negara lain yang konvergen berguna untuk mempertahankan konvergensi wilayah

Penguatan ketimpangan wilayah internasional berabad-abad

Pemerintah korup cenderung mengurangi dana pendidikan

Alam (2006); Foldvari (Tt); Milanovic, Lindert dan Williamson (2008)

Diskursus donor untuk pembangunan nasional

Tema bantuan sebagai pengikat pembangunan lebih ditentukan oleh donor terbesar di dunia

Pembangunan wilayah perlu dikaitkan dengan penguatan sektor produksi, infrastruktur dan bantuan sosial

Global, internasional

Penyaluran lebih spesifik untuk jenis pemanfaat tertentu.

Bantuan pada saat krisis ekonomi

Tidak ada hubungan langsung donasi dan pengurangan ketimpangan wilayah

Deregulasi ekonomi menghadapi krisis moneter yang diusulkan donor menambah ketimpangan

Kelembagaan yang korup menjadikan bantuan luar negeri justru meningkatkan ketimpangan

Alisjahbana, et.al. (2003); Easterly dan Pfutze (2008); (Calderon, Chong, Gradstein, 2006).

Wilayah pasca kolonial

Hubungan dengan bekas penjajah

Dampak perang kemerdekaan dan penyatuan bangsa

Integrasi wilayah bekas penjajahan

Internasional, nasional

Sentimen kesatuan/ integritas bangsa berbasis kesamaan sejarah

Adopsi inovasi lebih murah dan cepat

Ketimpangan Jawa-Luar Jawa Dualisme ekonomi yang

menguatkan lapisan atas namun menahan kemajuan lapisan bawah

Dick (1988, 2002); Elson (1988); Zanden (2002, Tt)

Wilayah luas dan kepulauan

Keragaman dimensi ketimpangan wilayah

Ketersebaran wilayah Keterpencilan wilayah Laut sebagai penghubung antar

pulau

Nasional, Regional

Sejarah perdagangan dan hubungan politik antar wilayah sejak pra kolonial menunjukkan laut sebagai prasarana transportasi penting

Perahu asli Indonesia telah mampu mengitari Indonesia sejak pra

Pembangunan yang berorientasi kepada daratan memandang kepulauan sebagai sumber masalah

Dick-Read (2008); Direktorat Kewilayahan I (2007); Lombard (1995)

Page 4: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

65

Konteks Materi Konteks Level Peluang Pengurangan Ketimpangan Wilayah

Tantangan Peningkatan Ketimpangan Wilayah Sumber Data

Kesatuan antar pulau telah terjadi sejak pra kolonial

kolonial

Pandangan statis terhadap suku, agama, ras, golongan

Penguatan identitas dan sentimen berbasis budaya

Pengeratan kaitan identitas suku, agama, ras dan golongan dengan wilayah

Nasional, Regional

Penguatan nasionalisme imajiner (kesatuan tanah air, bahasa, dan bangsa dalam Sumpah Pemuda)

Wilayah lebih maju dihuni oleh beragam suku, agama, ras, dan golongan

Penguatan lembaga adat dan hukum adat

Konflik berbasis suku, agama, ras, golongan

Pembatasan politis dan ekonomis berbasis suku, agama, ras, golongan

Gouda (2007); Haar (1983); Hidayah (1997); Nordholt dan Klinken (2008)

Krisis moneter Krisis moneter menurunkan pembangunan ekonomi dan pendapatan

Krisis moneter menurunkan ketimpangan wilayah, namun meningkatkan ketimpangan di antara kelompok miskin

Krisis moneter menurunkan kekuatan pemerintah di hadapan rakyat dan swasta

Nasional, Regional

Pengurangan pendapatan/ pengeluaran buruh di perkotaan menurunkan ketimpangan antar wilayah

Program penanggulangan kemiskinan dan jaring pengaman sosial

Deregulasi ekonomi menguatkan lapisan tertinggi di Indonesia pasca krisis

Upaya menggerakkan perekonomian kembali kemungkinan besar meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah

Hill (2006); Said dan Widyanti (2001)

Otonomi daerah Big bang autonomy Inward looking dalam wilayah Kebutuhan data lokal lebih detil

dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan infrastruktur

Nasional, Regional

Mempermudah akses ekonomi, pendidikan, kesehatan melalui peningkatan jumlah prasarana dan sarana, serta mendekatkan jarak dengan warganegara.

Departemen kesehatan di tingkat pusat beralih peran dari penentu menjadi pengawas kebijakan

Bagian terbesar dana pembangunan kesehatan dialirkan melalui DAU, padahal Pemda tidak selalu memprioritas pembangunan kesahatan di daerah

Kapasitas teknis aparat Pemda untuk mengelola fasilitas kesehatan tergolong lemah

Orientasi ke dalam wilayah otonom sendiri, bukan bekerjasama dengan wilayah lain

Adair (2004); Mubyarto (2005); Nordholt dan Klinken (2008); Tadjoeddin (2007); The (1993); Wignyosoebroto (2004)

Page 5: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

66

ketimpangan pembangunan wilayah. Bagaimanapun penjajah telah memilih

untuk mengembangkan wilayah tertentu dan membiarkan wilayah lainnya

terbelakang. Warisan ketimpangan itulah yang diperoleh negara-negara yang

baru merdeka pasca Perang Dunia II.

Konteks nasional lainnya bagi Indonesia berupa keluasan wilayah

negara, sebagian besar berupa lautan, dengan belasan ribu pulau tersebar di

dalamnya. Menurut cara pandang kontinental, konteks ini mengakibatkan

wilayah Indonesia tersebar (Hill, 2006; World Bank, 2009). Akan tetapi

kesejarahan bahari nusantara tidak memandang lautan sebagai masalah,

melainkan perahu terbaik pada masanya mampu menghubungkan pulau-pulau

di nusantara (Dick-Read, 2008; Lombard, 1995).

Konteks lainnya berupa keragaman suku bangsa. Meskipun jumlah

terbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar sepuluh buah, namun secara

keseluruhan jumlah suku bangsa mencapai lebih dari 600 buah (Hidayah, 1997;

Suryadinata, Arifin, Ananta, 2003). Sentimen suku seringkali digunakan dalam

kompetisi antar warganegara, termasuk akhirnya menyulut konflik (Nordholt

dan Klinken, 2007).

Konteks masa kini bagi pembangunan wilayah di Indonesia berupa krisis

moneter. Sebenarnya krisis moneter telah terjadi berkali-kali di Indonesia, dan

hampir selalu diawali oleh peningkatan ketimpangan wilayah. Misalnya krisis

terjadi selama dekade 1970-an, 1929 (dikenal sebagai malaise), krisis moneter

dimulai tahun 1997, dan kini berpeluang mengalami efek resesi global.

Konteks penting lain dalam pembangunan wilayah Indonesia ialah

desentralisasi secara massif sejak tahun 2001. Perjalanan desentralisasi sendiri

berlangsung amat panjang, setidak mulai tahun 1903, dan mengalami beragam

versi. Pada versi masa kini, daerah otonom berdiri pada tingkat kabupaten dan

desa. Kecepatan desentralisasi, diikuti pemekaran wilayah, sementara luas areal

desentralisasi tergolong kecil (dibandingkan provinsi) menghasilkan masalah

lanjutan berupa koordinasi pembangunan dan kerjasama antar wilayah.

Page 6: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

67

Ketimpangan Global

Peningkatan ketimpangan antar negara telah berlangsung dalam jangka

waktu lama, yaitu sejak revolusi industri abad ke 19 (menurut paradigma

modernisasi), atau sejak perkembangan kapitalisme global abad ke 17

(menurut paradigma ketergantungan) (Foldvari, Tt). Bersamaan dengan itu

muncul pula ketimpangan wilayah di-dalam-negara yang bersangkutan.

Perkembangan ini membutuhkan pemahaman lebih lanjut, apa sajakah faktor

untuk memasuki atau keluar dari kelompok negara-negara yang merata atau

konvergen.

Revolusi industri memberikan efek difusi sehingga dapat melebar ke

seluruh dunia. Dimulai dari Inggris pada akhir abad ke 18, kemudian menyebar

ke Amerika Utara dan Eropa daratan pada abad ke 19. Sejak itu industrialisme

menyebar ke Eropa Selatan dan Asia Timur, dan usai Perang Dunia II

menyentuh wilayah Asia daratan.

Pada level internasional saat ini telah dikenal wilayah yang maju di

belahan bumi Utara Utara, yang timpang dari wilayah tertinggal di belahan

Selatan (McMichael, 2004; Perrons, 2004). Indonesia sendiri tergolong ke

dalam negara Selatan. Pemisahan formal antara negara miskin dari negara

maju dimulai sejak dekade 1970-an, ketika negara-negara miskin

menggabungkan diri dalam kelompok G-77 sedangkan negara kaya dalam

kelompok G-7. Pengelompokan semacam ini masih dirasakan dalam

perdebatan-perdebatan pada forum internasional, misalnya sidang WTO (World

Trade Organization) dan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Perbedaan

kepentingan di antara kedua kelompok negara dapat didasarkan pada

perbedaan kepentingan produsen dan konsumen kemajuan teknis manusia.

Suatu paradoks muncul, karena hampir seluruh penduduk tinggal di

negara berpendapatan rendah (40,2%) –sebagaimana Indonesia—dan

menengah sebesar 44,2% (terutama menengah bawah sebesar 38,9%). Akan

tetapi ketimpangan wilayah justru terjadi antara negara-negara tersebut

dengan negara terkaya saat ini (USA), yaitu mencapai 17,2 kali lipat pada

Page 7: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

68

negara berpendapatan rendah, dan 6,2 kali lipat pada negara berpendapatan

menengah (Tabel 14).

Tabel 14. Ketimpangan Wilayah Global menurut Pendapatan Per Kapita Tahun 2002

Pengukuran LICs MICs LMICs HMICs HICs

(minus USA)

HICs

Pendapatan per kapita (US $ .000) 2.040 5.630 5.130 9.220 24.390 27.590

Rasio dibandingkan USA 17,2 6,2 6,8 3,8 1,4 1,3 Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 5,3 10,9 15,6

Keterangan: LICs= negara-negara berpendapatan rendah. MICs = negara-negara berpendapatan menengah, terdiri atas LMICs (negara-negara berpendapatan menengah ke bawah) dan HMICs (negara-negara berpendapatan menengah ke atas). HCIs = negara-negara berpendapatan tinggi. Sumber: Alam, 2006

Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah sebelum Revolusi Industri

(periode 1750-1850)? Sebagaimana perdebatan tentang kapan awal

ketimpangan global di atas, di sinipun masih muncul dua pendapat. Pada

kelompok yang memandang ketimpangan dimulai pada masa Revolusi Industri,

sebelum abad ke 19 dipandang tidak terdapat tanda-tanda ketimpangan

wilayah lintas negara (Alam, 2006). Ketika digunakan beragam ukuran,

mencakup produktivitas pertanian, upah riil, urbanisasi dan perdagangan,

ternyata tidak muncul ketimpangan antara Eropa Barat dan belahan dunia

lainnya pada awal Revolusi Industri. Sebaliknya pada masa itu wilayah China

tergolong yang paling maju, dan hanya bisa ditandingi oleh Inggris yang saat

itu menjadi negara termaju di Eropa.

Jika menggunakan ukuran pendapatan per kapita, ketimpangan wilayah

global muncul sejalan dengan penggunaan energi batu bara selama Revolusi

Industri 1750-1850. Energi batu bara memungkinkan pertumbuhan dari yang

sebelumnya terbatas pada energi tanaman pertanian. Temuan energi baru ini

hanya berkembang di Barat. Temuan tersebut sekaligus digunakan untuk

menguatkan ekonomi dan militer, sehingga negara-negara industri di Eropa

meninggalkan negara-negara lainnya. Hal ini terlihat ketika ukuran ketimpangan

Page 8: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

69

tersebut ialah pendapatan per kapita. Lihat Tabel 15, Tabel 16, dan Gambar

35.

Tabel 15. Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Negara Maju dibandingkan Negara Pinggiran, 1820-1998

Wilayah 1820 1870 1913 1950 1973 1990 1998 USA 2,1 4,1 6,3 8,9 7,9 8,3 8,9 Eropa Barat 2,2 3,5 4,4 4,7 6,0 6,3 6,1 Sumber: Alam, 2006

Tabel 16. Ketimpangan Wilayah Global menurut Rasio Pendapatan Per Kapita dibandingkan USA, 1820-1998

Wilayah 1820 1870 1913 1950 1973 1990 1998 Eropa Barat 1,0 1,2 1,5 2,1 1,4 1,5 1,5 Eropa Timur 2,0 2,8 3,5 4,5 3,3 4,3 5,0 Bekas Uni Sovyet 1,8 2,6 3,6 3,4 2,8 3,4 7,0 Amerika Latin 1,9 3,5 3,5 3,7 3,7 4,6 4,7 Asia Timur & Jepang 2,2 4,5 8,3 16,3 15,9 11,4 9,3

Asia Barat 2,3 4,4 7,8 5,1 3,5 4,7 5,1 Afrika 3,0 5,5 9,1 11,2 12,2 16,8 20,0 Sumber: Alam, 2006

Gambar 35. CV Ketimpangan Global Antara Asia dan Afrika, 1960-2004

Sumber: Easterly (2006)

Page 9: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

70

Adapun pihak lain berhipotesis bahwa ketimpangan antar negara pun

sudah muncul jauh sebelum Revolusi Industri berlangsung (Milanovic, Lindert

dan Williamson, 2008). Kelompok ini memandang ketimpangan di masa kuno

tersebut tidak jauh berbeda dari ketimpangan pada masa kini. Sebagai

tambahan, ketimpangan di-dalam-negara antara masa kuno dan masa kini lebih

besar daripada ketimpangan antar-negara antara masa kuno dan masa kini.

Extraction ratio (sejauhmana potensi ketimpangan menjelma menjadi

ketimpangan yang sesungguhnya) di masa kuno lebih tinggi daripada masa

kini. Indikasi yang ditangkap ialah, di masa lalu tingkah elite, kelembagaan dan

kebijakan yang dijalankan begitu kuat, represif dan ekstraktif lapisan bawah.

Dengan meyakini kurva Kuznets, kelompok ini menggambarkan bahwa

ketimpangan di masa kuno meningkat begitu suatu negara hendak memasuki

pertumbuhan ekonomi modern. Selanjutnya orientasi kepada ekonomi

menurunkan extraction ratio, sehingga ketimpangan berangsur-angsur

menurun.

Negara-negara di wilayah Asia ternyata hampit selama mengalami

tingkat ketimpangan yang rendah. Rendahnya ketimpangan juga hampir selalu

dialami negara yang berpenduduk besar. Tampaknya terjadi korelasi positif

antara pembesaran penduduk dan penurunan ketimpangan. Untuk kasus

Indonesia, misalnya, telah lama dikenal “kemiskinan berbagi”, di mana rezeki

yang diperoleh, meskipun jumlahnya sedikit, berupaya dibagikan kepada

tetangga sekitarnya. Pada aspek produksi muncul gejala “involusi pertanian”, di

mana faktor produksi yang dimiliki (terutama tanah) dikelola secara bersama-

sama, bahkan sampai pada taraf jumlah orang yang sangat banyak (Geertz,

1983).

Pengaruh warga terkaya (satu persen warga terkaya) untuk menciptakan

ketimpangan, ternyata tidak signifikan pada masa kuno. Pengaruh mereka baru

signifikan pada masa kini. Pada masa kuno elite kecil ini hanya sedikit lebih

kaya daripada warga secara keseluruhan (Milanovic, Lindert dan Williamson,

2008).

Setelah globalisasi pasar sejak pertengahan dekade 1980-an, ternyata

ketimpangan di semua wilayah di luar USA dan Eropa Barat ternyata cenderung

Page 10: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

71

meningkat (Kanbur dan Venables, 2005). Antara tahun 1990 dan 1998

ketimpangan di Eropa Timur meningkat dari 4,3 menjadi 5,0 kali lipat

dibandingkan pendapatan USA. Di negara-negara bekas Uni Sovyet meningkat

dari 3,4 menjadi 7,0 kali lipat. Di Amerika Latin dari 4,6 menjadi 4,7. Di Asia

Barat dari 4,7 menjadi 5,1 kali lipat (Tabel 16) Di Asia Timur sendiri

ketimpangan meningkat manakala Jepang dikeluarkan dari kelompok tersebut.

Tabel tersebut justru menunjukkan ketimpangan yang melonjak di Afrika

setelah globalisasi, yaitu dari 12,2 pada tahun 1973, melonjak menjadi 16,8

pada tahun 1990, hingga menjadi 20,0 kali lipat pada tahun 1998. Pada masa

kini penyebab ketimpangan global lebih didominasi oleh dinamika negara maju,

yang meninggalkan negara-negara terbelakang (Smeeding, 2002).

Dalam melihat kategori negara menurut ketimpangan wilayah, maka

muncul kelompok negara-negara konvergen (relatif merata) dan divergen

(relatif tidak merata). Untuk masuk ke dalam kelompok konvergen, suatu

negara membutuhkan rata-rata pertumbuhan lebih tinggi daripada negara

termaju di kelompok konvergen tersebut. Aspek lainnya ialah memiliki tingkat

pendapatan yang tinggi, setidaknya 80 persen dibandingkan negara termaju

pada periode 1820-1870, atau 60 persen pada periode setelah tahun 1974.

Negara yang paling maju berada pada posisi terdepan dalam kelompok

konvergen, yaitu Inggris sebelum tahun 1814 dan Amerika Serikat sesudahnya.

Negara termaju tersebut memiliki reit pertumbuhan ekonomi konstan pada

angka 2 persen. Proses konvergensi dalam kelompok ini terjadi ketika negara-

negara anggotanya berangsur-angsur mengikuti reit pertumbuhan negara yang

memimpin tersebut. Terdapat dua faktor untuk memasuki atau keluar dari

kelompok konvergen, yaitu pola spasial dan faktor kelembagaan.

Jumlah negara yang masuk ke dalam kelompok konvergen melonjak

pada periode tahun 1871-1913 dan 1951-1973. Masa-masa itu banyak negara

merdeka. Indonesia sendiri telah masuk ke dalam kelompok konvergen ini sejak

tahun 1951, dan terus bertahan di sana sampai kini. Pada masa sesudah tahun

1973 semakin melonjak negara-negara yang keluar dari kelompok konvergen.

Hal ini menandai ketimpangan global yang semakin meningkat (Gambar 36).

Page 11: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

72

Gambar 36. CV Ketimpangan Global (GDP per Kapita), 1820-2001

Sumber: Foldvari (Tt)

Jika dihitung menurut jumlah penduduk yang mendiami negara, maka

peningkatan terjadi sepanjang tahun 1870-1913 dan sesudah tahun 1973.

Masuknya Cina dan India pada periode terakhir turut mempengaruhi jumlah

penduduk yang masuk ke dalam kelompok konvergen. Pada awal abad ini

sudah lebih dari 65 persen penduduk berdiam di negara-negara konvergen.

Mengingat kurva logaritma menuju angka 100 persen, maka dapat diperkirakan

bahwa jika konvergensi ini berlanjut, konvergensi akan terjadi pada abad ke 22

(sekitar tahun 2108 atau 2116).

Faktor penting untuk masuk ke dalam kelompok konvergen ialah kualitas

pemerintah. Pemerintah yang korup cenderung mengurangi dana pendidikan,

padahal pendidikan menjadi penghubung antara proses pengembangan

kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia (SDM). Pada dasarnya

memang tidak ada halangan yang tetap untuk memasuki kelompok negara

konvergen ini.

Faktor yang mengakibatkan suatu negara keluar dari kelompok

konvergen di antaranya akibat sejarah penjajahan di negara yang

bersangkutan.

Page 12: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

73

Menjadi negara demokratis tidak merupakan faktor penentu untuk

masuk ke dalam kelompok konvergen, namun demokrasi menjadi faktor

penting untuk tetap bertahan dalam kelompok konvergen ini. Faktor lainnya

ialah posisi negara tersebut di sekitar negara konvergen lainnya.

Faktor yang semula diperkirakan penting namun ternyata tidak

mempengaruhi masuk dan keluar kelompok konvergen ialah sistem politik,

termasuk komunisme.

Penghitungan semacam ini memang masih mengandung kelemahan,

terutama terkait dengan variabel pembobotnya. Dengan pembobot jumlah

penduduk, sementara dua pertiga penduduk tinggal di Cina dan India, maka

kedua negara tersebut mempengaruhi angka ketimpangan global. Penghilangan

“faktor Cina dan India” menghasilkan nilai ketimpangan global yang tetap tinggi

(Sengupta, Tt). Lebih jauh lagi, peningkatan ketimpangan dalam negara Cina

dan India juga sedang meningkat, namun peningkatan ketimpangan dalam

negeri ini tidak tercermin dalam ukuran ketimpangan antar negara.

Hal penting lain yang perlu dicermati ialah, perkembangan pasar –

sebetulnya bersamaan dengan kolonialisme—meningkatkan ketimpangan

global. Pada masa kini, posisi-posisi tersebut berubah menjadi sebagai negara

produsen dan negara pasaran. Dalam konteks Perang Dingin, Negara-negara

Asia Timur yang berhadapan dengan negara-negara komunis (Jepang, Korea

Selatan, Taiwan) mendapatkan dukungan ekonomi yang kuat dari Amerika

Serikat. Hal ini memungkinkan negara-negara tersebut mengurangi tingkat

ketimpangan dengan negara di Eropa dan Amerika Serikat. Kini Perang Dingin

sudah selesai, sementara negara-negara tersebut sudah berkembang lebih

pesat lagi.

Diskursus Donor untuk Pembangunan Nasional

Salah satu sumber konsentrasi pembangunan di negara-negara

tertinggal ialah tema bantuan yang dimotori lembaga donor dan negara maju

untuk mengarahkan kegunaan dana tersebut. Sebetulnya jumlah donor

tergolong sangat banyak, dan tidak sebanding dengan bantuan luar negeri yang

Page 13: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

74

cenderung sedikit (dibandingkan jumlah negara tertinggal). Konsentrasi tema

pembangunan oleh dimungkinkan dari negara dan donor yang memberikan

kontribusi terbesar dalam bantuan luar negeri, di antaranya Amerika Serikat,

Komisi Eropa, IDA (International Development Agency), Perancis, Inggris,

Jepang, Jerman, Belanda, Kanada dan Swedia (Gambar 37).

Gambar 37. Kontribusi Donor di Dunia, 2008

Sumber: Easterly dan Pfutze (2008)

Pada awal 1970-an tema besar pembangunan global didominasi oleh

pengembangan pangan dan bantuan komoditas, sektor produksi, dan

infrastruktur (Gambar 38). Pada masa kini tema bantuan luar negeri telah

sangat beragam. Sektor pangan telah menurun kontribusinya, namun sektor

produksi dan infrastruktur tetap besar. Tema lain yang membesar secara berati

ialah bantuan sosial. Terlihat tidak adanya tema bantuan untuk secara khusus

untuk mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah. Namun setelah

mempelajari isu-isu strategis di depan, dapat diduga bahwa bantuan

pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah terdapat dalam sektor

Page 14: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

75

bantuan sosial, infrastruktur, sektor produksi, serta tema pemerintahan, civil

society dan perdamaian.

Gambar 38. Perubahan Sektoral Bantuan Luar Negeri di Dunia, 2004

Sumber: Easterly dan Pfutze (2008)

Di Indonesia, pembangunan nasional yang didukung dengan bantuan

donor asing meningkat pesat sejak 1970-an. Salah satu aspek penting

pembangunan melalui kerjasama dengan donor ialah perluasan level

pembangunan, tidak saja pada tingkat regional, namun selalu memiliki dimensi

nasional hingga internasional. Di pihak lain, level penanganan yang luas

cenderung menggeneralisasi wilayah yang lebih luas, yang sebetulnya

bertentangan dengan kaidah lokalitas dalam pembangunan wilayah.

Sebagaimana tema pembangunan global, pola bantuan pembangunan di

Indonesia juga disusun dalam suatu diskursus atau tema besar. Sejak tahun

1970-an pembangunan dilaksanakan dalam diskursus pertumbuhan (growth).

Pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan elite baru dalam bidang ekonomi.

Adapun dampak negatif yang timbul berupa munculnya kemiskinan dan

peningkatan warga yang tidak memiliki tanah. Dengan kata lain, tumbuh

kesenjangan ekonomi antar penduduk dan antar wilayah.

Page 15: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

76

Perubahan diskursus oleh donor berlangsung pada akhir 1980-an, dan

mulai diterapkan di Indonesia pada dekade 1990-an. Pembangunan kini

diarahkan kepada lapisan miskin agar mampu bekerja dan mencapai full

employment. Pembangunan juga diarahkan kepada wilayah-wilayah tertinggal.

Diskursus pembangunan saat ini membuka peluang yang lebar untuk

mengurangi ketimpangan pembangunan wilayah.

Dari hasil studi tentang bantuan luar negeri, ternyata pertumbuhan

ekonomi tetap dibutuhkan (Esterly, 2001). Kritik acap kali muncul karena

menekankan ukuran Produk Domestik Bruto (GDP) per kapita atau pendapatan

per kapita, untuk mengukur kesuksesan ekonomi. Akan tetapi indikator ini tetap

diacuhkan karena mampu memperbaiki kehidupan orang miskin dan

mengurangi proporsi orang miskin. Indikator ini juga menunjukkan orang kaya

mampu membeli lebih banyak makanan, meningkatkan belanja kesehatan, dan

sebagainya.

Dalam mempraktekkan pandangan tersebut, pelaku pembangunan telah

berusaha meningkatkan standard kehidupan penduduk di wilayah tropis agar

sejajar dengan penduduk di Eropa dan Amerika Utara. Hal ini dilakukan melalui

layanan utang luar negeri (di Indonesia dikenal sebagai BLN atau Bantuan Luar

Negeri), investasi pada mesin, pengembagan pendidikan, pengontrolan

pertumbuhan penduduk, dan mensyaratkan reformasi dalam perolehan utang

luar negeri tersebut. Landasan kebijakan lembaga keuangan internasional

(Bank Dunia dan International Monetary Fund atau IMF) ialah model Harold-

Domar. Model ini memastikan bahwa belanja investasi akan menentukan

pertumbuhan dalam GDP. Bersama dengan visi tinggal landas dari Rostow,

ditemukanlah kesenjangan investasi di negara-negara miskin. Oleh sebab itu

donor perlu memberikan utang untuk menutupi kesenjangan antara tingkat

investasi dan tabungan nasional, agar target pertumbuhan terpenuhi dan

tercapai era tinggal landas.

Akan tetapi, kenyataannya utang luar negeri tidak selalu meningkatkan

investasi, dan konsekuensinya tidak muncul pertumbuhan. Kegagalan ini

mungkin bukanlah disebabkan oleh teknokrat sendiri, namun terletak pada

kesalahan dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi ke dalam proyek

Page 16: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

77

pembangunan. Kesalahan tersebut tertuju pada ketidakacuhan terhadap prinsip

responsif terhadap insentif, baik pada pihak swasta, aparat pemerintah,

maupun aparat donor itu sendiri. Tiada insentif dalam utang luar negeri

tersebut, untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini

merupakan tugas penciptaan kelembagaan ekonomi yang responsif terjadap

bantuan luar negeri (Calderon, Chong, Gradstein, 2006).

Dalam hal investasi fisik, kesalahan pemberian manfaat disebabkan tidak

ada insentif untuk mengembangkan mesin-mesin atau teknologi. Dalam hal

pendidikan, peningkatan derajat pendidikan di negara-negara Sub Sahara tidak

juga menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Kesalahannya terletak pada upaya

investasi fisik dalam bentuk gedung sekolah dan peralatan lain. Yang diperlukan

ialah insentif perorangan sehingga orang yang menempuh pendidikan

merasakan insentif tersebut.

Hal yang sama juga berlaku pada kebijakan kependudukan, penyesuaian

utang dan pemotongan utang. Kesalahan kebijakan dalam bidang-bidang ini

ialah tidak mempraktekkan kebutuhan insentif dari tiap orang yang terlibat.

Pengurangan jumlah penduduk, misalnya, tidak langsung berakibat pada

peningkatan pendapatn per kapita.

Dalam diskursus yang dikembangkan oleh donor pada saat ini,

desentralisasi diarahkan untuk membuka pasar di daerah maupun pasar di

tingkat nasional. Desentralisasi juga diarahkan untuk meningkatkan peran

swasta dan masyarakat dalam perekonomian di daerah.

Sebetulnya usulan yang dikemukakan donor sehubungan dengan

ketimpangan pembangunan wilayah ialah agar membuka wilayah tersebut bagi

pasar. Keterbukaan terhadap pasar dipandang sebagai pengungkit utama

pertumbuhan suatu wilayah, untuk mengejar dan sejajar dengan wilayah lain

yang sudah maju terlebih dahulu. Sayangnya pendapat teoretis semacam ini

hampir tidak pernah terwujud dalam pembangunan wilayah (Higgins dan

Savoie, 2005). Justru yang diperlukan selalu regulasi untuk memastikan

keuntungan mengalir pada wilayah yang lebih tertinggal.

Diskursus donor untuk pembangunan saat ini memberikan pelajaran,

pertama, terbukanya peluang pelaksanaan pembangunan untuk pengurangan

Page 17: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

78

ketimpangan wilayah, sejalan dengan diskursus pembangunan untuk lapisan

terbawah dan daerah tertinggal. Kedua, diperlukan kebijakan yang bisa

memadukan kepentingan pasar global hingga kepentingan masyarakat lokal

dalam pengurangan ketimpangan wilayah.

Wilayah Pasca Kolonial

Khusus pada di negara-negara Selatan, konteks global lain yang

berperan ialah status sebagai bekas wilayah kolonialisme dari negara-negara

maju saat ini (Hatta, 2002; Hoogvelt, 1997). Kolonialisme merupakan salah satu

dampak negatif dari Revolusi Industri, di mana negara kolonial produsen hasil

industri, sedangkan negara jajahan menjadi konsumen tersebut. Pada saat

yang bersamaan sumberdaya alam atau non-industrial dari negara jajahan

diambil dengan harga murah atau dengan paksa.

Tabel 17. Hasil Keuangan dari Sistem Tanam Paksa, 1840-1859 (‘000 gulden) Budidaya 1840-1849 1850-1854 1855-1859

Kopi + 64.827 + 77.540 + 105.599 Tebu - 4,082 + 3.385 + 33.705 Nila + 15.562 + 6.759 + 5.855 Cochenille + 499 + 445 - 44 Kulit Manis - 323 + 47 - 206 Lada + 191 + 205 + 203 Teh - 2,181 - 1.841 - 2.449 Tembakau - 95 - 5 ‘- 61 Jumlah + 74.398 + 86.535 + 142.603 Sumber: Elson, 1988

Selama periode kolonialisme, Indonesia kehilangan momentum untuk

tinggal landas atau berdiri sejajar dengan negara-negara maju saat ini (Geertz,

1986; Elson, 1988) (Tabel 17). Sementara negara Belanda melakukan

transformasi struktural dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri, negara

ekonomi jajahan Indonesia ditahan untuk tetap pada dominasi sektor pertanian

(Zanden, 2002). Nilai tambah yang sangat tinggi akibat Tanam Paksa 1820-

1870 diambil sepenuhnya oleh negara kolonial Belanda. Peningkatan pesat

dalam perdagangan pertanian komoditas ekspor tidak meningkatkan

Page 18: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

79

Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Product/GNP) selama proses

produksi tersebut dilangsungkan dalam bentuk kerja paksa –bukan transaksi

antara buruh bebas dan majikannya (Zanden, Tt). Bahkan selama peningkatan

GNP pada dekade 1920-an, ternyata standard kehidupan penduduk pribumi

Indonesia tidak beranjak jauh dari seabad sebelumnya.

Kolonialisme juga menguatkan sentimen kesukuan dan ras, terutama

dengan membedakan wilayah berdasarkan suku dan ras, bahkan dalam satu

kota sekalipun seperti di Jakarta. Suku yang satu juga dapat menjadi tentara

kolonial untuk memerangi suku lain, misalnya warga Maluku menjadi tentara

kolonial untuk memerangi pejuang Aceh. Beberapa suku bangsa mendapatkan

keuntungan kolonialisme lebih tinggi daripada suku bangsa lainnya –misalnya

warga di Manado—sehingga sempat menyulitkan upaya persatuan nasional

(Gouda, 2007). Pembedaan ras menguatkan sentimen orang kulit putih di atas

orang kulit berwarna. Sempat muncul pandangan bahwa pribumi bersifat buas

dan galak (seusai Perang Pangeran Diponegoro), lalu pribumi dipandang malas

(setelah Tanam Paksa).

Di samping akibat negatif yang sangat mendalam di atas, kolonialisme

secara tidak disengaja menguatkan kesatuan wilayah Indonesia. Di Jakarta

pemerintah jajahan mengontrol politik seluruh wilayah, dari Aceh hingga Papua.

Kontrol ini secara tidak sengaja menghasilkan kesatuan politik (Anderson,

2002). Upaya negara kolonial untuk membatasi perdagangan pribumi dengan

bangsa lain ke luar negeri akhirnya mengubah transaksi perdagangan antar

pulau dalam wilayah Indonesia (Dick, 1988, 2002) (Tabel 18). Kesatuan secara

simbolik tercapai ketika bahasa pergaulan ditetapkan menjadi bahasa seluruh

bangsa Indonesia. Kesatuan bahasa memungkinan keeratan budaya untuk

mengatasi keragaman suku bangsa.

Dalam kaitan khusus dengan ketimpangan pembangunan wilayah perlu

diperhatikan kecenderungan negara-negara bekas jajahan untuk menurunkan

ketimpangan atau meningkatkan pemerataan wilayah (Foldvari, Tt). Ciri

dualistik ekonomi yang memang sengaja diciptakan penjajah untuk

menghalangi kemajuan ekonomi pribumi dapat bereinkarnasi menjadi

Page 19: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

80

pembatasan elite kepada lapisan bawah setelah masa kemerdekaan (Thee, ed.,

2005).

Tabel 18. Rasio Perdagangan Antar Pulau dan Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 1914-1939 ($ 000.000) dan 1955 (Rp 000.000)

Tahun Perdagangan Antar Pulau Perdagangan Luar Negeri Rasio (%) 1914 62 1114 5 1921 247 2440 10 1929 310 2593 12 1939 211 1291 17 1955 10.400 17.973 58

Sumber: Dick, 1988

Pelajaran penting Indonesia sebagai wilayah pasca kolonial meliputi,

pertama, pengalaman kolonial telah menghilangkan peluang Indonesia untuk

menjadi negara maju sejajar dengan negara-negara Utara saat ini. Kedua,

kolonialisme menguatkan sentimen berdasarkan suku bangsa dan rasial.

Ketimpangan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya secara formal

dikaitkan dengan perbedaan suku bangsa. Ketiga, kolonialisme memberi arah

untuk menyatukan wilayah Indonesia terutama dalam dimensi politik, ekonomi

dan kebahasaan.

Wilayah Luas dan Kepulauan

Indonesia memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, membentang

antara benua Asia dan Australia. Luas laut sekitar 7,9 juta km2 (81% wilayah)

dan daratan seluas 1,86 juta km2 (19% wilayah) (Gambar 39). Sebagian

besar –sekitar dua pertiga—wilayah nasional terdiri atas lautan. Sebanyak

17.504 pulau besar dan kecil menyembul dari lautan di antara Samudera

Indonesia dan Samudera Atlantik. Sebanyak 7.870 pulau sudah bernama, dan

9.634 pulau tidak bernama.

Di Kawasan Timur Indonesia terdapat lebih banyak pulau bernama, yaitu

sebanyak 4.882, yang tersebar di Pulau Sulawesi sebanyak 1.096 pulau, Pulau

Papua sebanyak 1.257 pulau, wilayah Maluku 866 pulau, Nusa Tenggara

sebanyak 934 pulau, dan di Pulau Kalimantan sebanyak 669 pulau. Sedangkan

Page 20: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

81

jumlah pulau bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.048 pulau, yang

tersebar di Pulau Sumatera sebanyak 2.544 pulau dan Pulau Jawa dan Bali

sebanyak 504 pulau (Direktorat Kewilayahan I, 2007).

Gambar 39. Wilayah Indonesia

Penyebaran pulau yang belum bernama di Kawasan Timur Indonesia

sebanyak 6.234 pulau yang tersebar di Pulau Papua sebanyak 1.286 pulau,

Pulau Maluku sebanyak 2.030 pulau, Pulau Nusa Tenggara 1.122 pulau,

Sulawesi sebanyak 1.404 pulau, dan Kalimantan 392 pulau. Penyebaran pulau

belum bernama di Kawasan Barat Indonesia sebanyak 3.400 pulau dengan

sebaran di Pulau Sumatera 2.733 pulau dan 667 pulau di Jawa-Bali. Adapun

untuk menghubungkan pulau-pulau besar dan kecil dibutuhkan transportasi air.

Ibukota Negara sendiri berada di wilayah Barat.

Wilayah yang luas melewati batasan-batasan alamiah dalam hal iklim,

tetumbuhan, hewan, dan geologi. Wilayah yang sangat luas tersebut hingga

kini belum sepenuhnya ditangani pembangunan. Di samping itu pembatasan

oleh alam –misalnya gelombang yang tinggi pada bulan-bulan tertentu—masih

memberikan konsekuensi pada keberadaan suku-suku terpencil. Namun

demikian tetap diingat, bahwa bagi masyarakat lokal mungkin pembatas

Page 21: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

82

alamiah telah dianggulangi sehingga bisa menghubungkan masyarakat antar

pulau di Indonesia.

Bagian Barat kepulauan ditempati pulau besar Sumatera dan sejumlah

pulau kecil di sekelilingnya (Wertheim, 1999). Di antara Sumatera dan

Semenanjung Malaya terdapat Selat Malaka, sebuah rute perdagangan penting

antara Timur Tengah dan Timur Jauh. Sebelum masuk ke dalam wilayah

Indonesia, hubungan perdagangan antara Sumatera dan Malaya terjalin erat.

Iklim tropis di Sumatera sangat basah, dan sulit membedakan musim hujan dan

kemarau sebagaimana di kawasan Selatan pulau-pulau di Indonesia.

Penanaman tanaman pertanian pada wilayah kecil di dekat pantai atau di

pegunungan menjadikan Sumatera wilayah pertanian penting setelah Jawa.

Pulau-pulau kecil di sebelah Selatan Sumatera menghasilkan perkebunan lada

dan pertambangan timah.

Adapun Selat Karimata menyambung sebelah Timur Pulau Sumatera

dengan Pulau Kalimantan. Perladangan berpindah banyak dipraktekkan di sini,

dan pada beberapa bagian pulau menghasilkan kekurusan sumber hara

tanaman. Hal ini ditandai oleh padang ilalang yang meluas. Di bagian Tenggara

Kalimantan telah sejak lama dikembangkan penanaman padi intensif di atas

tanah berlumpur. Kota-kota semula berkembang di sini, di mana Banjarmasin

menjadi kota pelabuhan penting.

Pulau yang menghasilkan output ekonomi terbesar masih Jawa. Sejak

pemerintahan Hindia Belanda pulau ini menjadi pusat pemerintahan. Di

sebagian besar pulau Jawa hutan telah menyusut. Penanaman padi tidak hanya

dipraktekkan di lembah-lembah sungai yang berkumpur, namun juga berbentuk

teras-teras di pegunungan. Sawah juga digunakan untuk penanaman selain

padi, misalnya perkebunan tebu dan hortikultura.

Di sebelah Timur Jawa terdapat rangkaian pulau-pulau kecil Bali dan

Nusa Tenggara. Akibat pengaruh iklim benua Australia, di sini dirasakan

perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Pulau Bali menunjukkan

penanaman padi sawah yang intensif sebagaimana di Jawa. Namun di bagian

Timur pulau ini tidak ditanami secara intensif. Semakin ke Timur, pulau-pulau

tidak ditanami secara intensif. Pertanian berpindah dan peternakan menjadi

Page 22: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

83

penting untuk Pulau-pulau Sumbawa, Sumba dan Timor, serta pulau-pulau kecil

sekelilingnya.

Laut Flores menghubungkan kepulauan ini dengan pulau besar Sulawesi

di atasnya. Pulau yang berbentuk seperti bintang laut ini memiliki jumlah

gunung berapi yang banyak. Akan tetapi campur tangan manusia dalam

pertanian pulau ini sempat meningkatkan resiko kelongsoran tanah, misalnya di

sekitar Tana Toraja.

Kelompok kepulauan di sebelah Timur ialah Maluku, yang menjadi tujuan

pertama kedatangan pedagang Eropa. Pulau ini menghasilkan banyak rempah-

rempah yang sejak lama diperdagangkan di Eropa.

Paling Timur terdapat Pulau Papua, di mana sagu didapatkan pada

wilayah luas di sekitar pantai. Dengan topografi berbukit-bukit yang masih sulit

dilewati manusia, tidak mengherankan tumbuh beragamn kebudayaan yang

lebih banyak daripada di tempat lain di Indonesia. Minimal 400 suku bangsa

dengan bahasa yang berbeda-beda (dari sekitar 600 suku bangsa se-Indonesia)

menghuni pulau ini.

Luas lahan sawah sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan Bali

sebesar 45,34 persen dan Pulau Sumatera sebesar 30,64 persen. Luas lahan

pekarangan terbesar terdapat di Pulau Jawa dan Bali sebesar 37,04 persen,

Pulau Sumatera sebesar 36,05 persen, Pulau Kalimantan sebesar 16,67 persen,

dan Pulau Sulawesi sebesar 9,32 persen. Persentase lahan tegal/kebun/huma

terbesar yaitu di Pulau Sumatera (36,05 persen) dan Pulau Jawa-Bali (27,70

persen), Pulau Kalimantan sebesar 21,63 persen, dan Pulau Sulawesi sebesar

14,63 persen.

Luas lahan penggembalaan/padang ramput paling besar terdapat di

Pulau Kalimantan sebesar 39,23 persen dan P. Jawa-Bali sebesar 26,68 persen.

Lahan rawa paling luas terdapat di P. Kalimantan sebesar 55,35 persen dan

Pulau Sumatera 40,26 persen. Lahan tambak/kolam hampir merata untuk

semua pulau, yaitu Pulau Sulawesi 26,68 persen, Pulau Jawa-Bali sebesar 26,59

persen, Pulau Sumatera sebesar 24,83 persen dan Pulau Kalimantan sebesar

21,73 persen. Lahan yang tidak diusahakan paling besar terdapat di Pulau

Kalimantan (42,20 persen) dan Pulau Sumatera 33,44 persen. Persentase luas

Page 23: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

84

lahan tanaman kayu-kayuan/hutan rakyat paling besar di Pulau Sumatera

(42,10 persen) dan Pulau Kalimantan (33,44 persen). Sedangkan lahan

perkebunan paling besar di Pulau Sumatera (51,39 persen) dan Pulau

Kalimantan (8,77 persen).

Penting untuk disampaikan perbedaan cara pandang terhadap kepulauan

Indonesia. Para penjajah, yang seringkali berasal dari Eropa daratan,

memandang laut sebagai pemisah antar pulau. Pandangan semacam ini masih

muncul saat ini, dengan mendefinisikan Indonesia sebagai negara dengan

wilayah yang terpencar-pencar (World Bank, 2009).

Akan tetapi, sesungguhnya masyarakat asli di Indonesia telah sangat

lama menjadikan laut sebagai sarana transportasi penting yang

menghubungkan antar pulau. Berdiamnya penduduk di sekitar Sulawesi, Maluku

dan Papua sejak zaman purba, di mana pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh

laut yang dalam, menunjukkan tingginya pengetahuan perihal perkapalan

(Dick-Read, 2008). Migrasi purba tersebut terus berlanjut sampai ke kepulauan

Pasifik dan Australia.

Gambar 40. Jaringan Hubungan Politik dan Ekonomi Nusantara Pra Kolonial

Page 24: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

85

Pada masa yang lebih baru, perahu-perahu milik orang Indonesia

tergolong paling besar dan paling laju, sehingga pedagang dari Cina, Campa

da, negara lain di Asia menyewanya dari pemilik kapal Indonesia (Dick-Read,

2008; Lombard, 1995). Lebih jauh lagi, penaklukan antar kerajaan di Indonesia

juga menunjukkan pengelolaan laut sebagai sarana transportasi (Gambar 40).

Kesultanan Banten, misalnya, memiliki koloni di Lampung, yang berada di

seberang Selat Sunda. Koloni ini digunakan untuk membuang tahanan berat,

serta sumber upeti komoditas pertanian mewah pada masanya. Kesultanan

Makassar juga memiliki koloni di wilayah Nusa Tenggara, yaitu Kerajaan Bima,

serta sebagian koloni di Kalimantan Selatan. Pengelolaan koloni ini tentunya

mengharuskan Makassar menguasai laut Jawa serta palung Sulawesi. Tercatat

pula penyerangan Patiunus dengan menggunakan kapal-kapal besar ke Malaka,

maupun penyerangan Sultan Agung lewat darat dan laut ke Batavia.

Perhubungan lewat laut yang dilakukan sejak masa pra kolonial

menunjukkan pola-pola tertentu, yang masih berlangsung sampai saat ini.

Ketika pelayaran penjajah Belanda berhenti, pelayaran swasta nasional

menggantikan jalur-jalur hubungan antar pulau yang telah terbangun sejak

dulu. Ujung Sumatera telah lama menjalin hubungan dagang dengan Malaka

dan Kalimantan Timur. Sedangkan Ujung Selatan Sumatera menjalin hubungan

dengan Jawa. Jawa bagian Tengah dan Timur menjalin hubungan dengan

Kalimantan Tengah. Sebagaimana diungkapkan di depan, Makassar menjalin

hubungan dengan Nusa Tenggara, Bali dan Kalimantan bagian Selatan dan

Timur. Adapun kerajaan-kerajaan di Maluku Utara telah menguasai wilayah di

Papua, Sulawesi bagian Utara dan Timur, hingga Kalimantan bagian Timur Laut.

Perbedaan cara pandang kolonialis dengan penduduk asli menunjukkan

peluang untuk melihat keluasan wilayah dan bentuk kepulauan sebagai sumber

perpecahan (yang dikuatkan dengan politik devide et impera), atau sumber

kesatuan (berbasis perdagangan dan politik antar pulau).

Page 25: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

86

Pandangan Statis terhadap Suku, Agama, Ras, Golongan

Terdapat lebih 600 suku-suku bangsa besar dan kecil di Indonesia

(Hidayah, 1997). Masing-masing suku bangsa mengembangkan kebudayaan

yang khas, sebagai tanggapan terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda.

Perbedaan yang mendalam antara satu suku bangsa dengan suku bangsa

lainnya terutama ditunjukkan oleh perbedaan bahasa. Keragaman suku bangsa

juga muncul dalam satu pulau, terutama di pulau-pulau besar.

Melihat keberagaman suku bangsa tersebut, sebagian ahli pernah

meringkaskannya menjadi Indonesia dalam di Jawa, dan Indonesia luar di luar

Jawa (Geertz, 1983). Indonesia dalam mendasarkan diri pada ekonomi padi

sawah yang subsisten, padat tenaga kerja, intensitas tinggi, tinggal menetap

dalam suatu desa. Indonesia luar dicirikan oleh ekonomi perladangan

berpindah, intensitas penanaman rendah, ditanam terutama tanaman keras

untuk perdagangan.

Ahli lainnya (Koentjaraningrat, 1971) membagi suku bangsa menurut

perekonomian, organisasi sosial, kedatangan orang asing. Suku bangsa yang

paling tertinggal melaksanakan perekonomian berburu dan meramu di hutan,

organisasi sosial sederhana, dan kedatangan orang asing biasanya tokoh

agama dari Belanda. Suku bangsa yang lebih maju menanam di ladang,

berpindah atau menetap dengan struktur sosial sederhana, dan kenal dengan

bangsa Barat, orang Islam, atau orang Hindu dan Budha. Suku bangsa yang

lebih maju lagi menanam tanaman di sawah, tinggal dalam suatu desa yang

terorganisir, serta mendapatkan banyak pengaruh luar. Selanjutnya tumbuh

masyarakat kota, baik di kota kecil maupun besar.

Identitas statis atas suku, agama, ras dan golongan memiliki akar kuat

dalam upaya-upaya penaklukan oleh kolonialis Belanda. Indologi (ilmu tentang

masyarakat primbumi di nusantara) dan hukum adat menjadi pendorong

penting penguatan identitas ini. Aspek perekonomian dikaitkan secara erat

dengan ras, dengan membagi secara hierarkis ras Eropa, ras Asia dan ras

pribumi. Kekuatan ekonomi Jepang dihargai, dan warganegara Jepang di

Indonesia digolongkan ke dalam ras Eropa. Ras Eropa memiliki privilese dalam

Page 26: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

87

aspek ekonomi, politik, hingga akses kelas utama atas infrastruktur di negeri

ini. Ras Asia lebih berperan sebagai perantara ekonomi, biasanya diisi oleh

warga Cina dan Arab. Ras pribumi menduduki posisi paling rendah, dan tidak

memiliki kekuasaan. Penting dicatat bahwa perkawainan antar ras dinilai buruk

–ini tanda lain dari upaya menjaga identitas ras. Golongan Indo (hasil

perkawinan ras Eropa dan pribumi) tidak memiliki posisi pasti dalam hierarki

sosial, politik dan ekonomi penjajahan. Tidak mengherankan golongan indo

sering jatuh dalam kemiskinan (Gouda, 2007).

Penguatan identitas budaya berlangsung dengan mengaitkannya

terhadap lokasi tempat tinggal. Dengan cara ini wilayah di Indonesia memiliki

kaitan budaya yang kuat –yang tetap terekam hingga kini dalam pembatasan

calon kepala daerah hingga konflik lokal atas dasar kepemilikan budaya

(Nordholt dan Klinken, 2008). Semula kolonial Belanda membagi daerah di

Indonesia menurut wilayah hukum adat. Konsep daerah hukum adat

(rechtskring) diusulkan ahli hukum pada zaman kolonial, Van Vollenhoven, pada

tahun 1918 (Haar, 1983). Daerah hukum adat merupakan kesatuan geografi

kultural, berdasarkan dua kriteria pokok, yaitu “kultur” (aturan-aturan adat) dan

lingkungan geografis. Yang dimaksud hukum adat, atau “kultur”, atau aturan

adat, mencakup aturan pribumi yang menyangkut kehidupan masyarakat dan

pemerintahan dusun/desa (rechtsgemeenschap), tentang tanah (rechten op

grond), tentang kehidupan ekonomi rakyat (schuldenrecht), dan tentang

hubungan kekeluargaan (verwantschapsrecht). Di Indonesia terdapat daerah-

daerah hukum adat berupa Aceh, Gayo, Alas, Batak, Minangkabau, Sumatera

Selatan, Daerah Melayu, Bangka Belitung, Borneo, Minahasa, Gorontalo, Daerah

Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulaun Ternate, Ambon Maluku, Nieuw Guinea,

Kepulauan Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura,

Yogya dan Surakarta, serta Jawa Barat.

Walupun upaya penyederhanaan telah membuka telaahan mengenai

sikap-sikap khas suku, agama, ras dan golongan di Indonesia, namun disadari

bahwa dalam satu wilayah pembangunan, misalnya dalam suatu pulau, hampir

selalu muncul peluang keragaman suku bangsa (lihat misalnya Antoh, 2007),

Page 27: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

88

yang memiliki ciri-ciri khas lebih banyak dan mendalam daripada ringkasan para

ahli.

Tabel 19. Jumlah Desa di Indonesia menurut Keragaman Etnis, 2006

Wilayah Penghuni Banyak Etnis Penghuni Satu Etnis Total

Jawa Bali Absolut 13.435 12.302 25.737 % 52 48 100

Kalimantan Absolut 4.869 1.315 6.184 % 79 21 100

Maluku Absolut 1.146 508 1.654 % 69 31 100

Nusa Tenggara Absolut 2.227 1.331 3.558 % 63 37 100

Papua Absolut 1.482 1.857 3.339 % 44 56 100

Sulawesi Absolut 6.258 1.962 8.220 % 76 24 100

Sumatera Absolut 14.236 7.029 21.265 % 67 33 100

Total 43.653 26.304 69.957 % 62 38 100 Sumber: Potensi Desa 2006

Sebagaimana telah ditunjukkan di muka, perbedaan kesukubangsaan

pernah dikuatkan oleh penjajah Belanda, dan dilemahkan dalam Sumpah

Pemuda. Sejarah demikian menunjukkan aspek keberlanjutan hubungan antar

suku bangsa di Indonesia. Pola hubungan tersebut seharusnya bersifat dinamis,

bukan statis. Akan tetapi ciri statis dalam kategorisasi budaya ini masih kuat

(Tabel 19). Desa yang dihuni hanya oleh satu etnis mencapai 37,6 persen

(lebih besar daripada patokan 33%). Dari patokan tersebut, wilayah yang

memiliki dimensi etnis kuat mencakup Jawa dan Bali (47,8 persen), Nusa

Tenggara (37,4 persen), Papua (55,6 persen), dan Sumatera (33,1 persen).

Konteks semacam ini menjadi bersifat negatif, ketika muncul

kecenderungan kosmopolitanisme yang rendah dengan ketimpangan

pembangunan wilayah, terutama dalam dimensi ketimpangan perkotaan-

pedesaan (Tabel 20). Wilayah yang lebih maju (diindikasikan sebagai

perkotaan) memiliki keragaman etnis, sebaliknya wilayah yang lebih

terbelakang (diindikasikan sebagai pedesaan) dihuni etnis yang seragam.

Page 28: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

89

Tabel 20. Hubungan Perkotaan, Pedesaan dan Keragaman Etnis menurut Jumlah Desa, 2006

Wilayah Penghuni Banyak Etnis Penghuni Satu Etnis Total

Perkotaan Absolut 9.586 2.688 12.274 % 78 22 100

Pedesaan Absolut 33.972 23.588 57.560 % 59 41 100

Total 43.558 26.276 69.834 % 62 38 100

Pelajaran yang bisa diambil dari keragaman suku bangsa ialah, pertama,

potensi peningkatan kualitas ketimpangan wilayah dapat muncul ketika

ketimpangan tersebut sekaligus mereflesikan suku bangsa yang berbeda-beda.

Kedua, terdapat peluang perbedaan cara pandang atau kebudayaan dalam

suatu wilayah pembangunan. Konsekuensinya pembangunan selalu berupa

kompromi di antara budaya-budaya yang berbeda-beda.

Krisis Moneter

Krisis pembangunan terbesar yang dialami Indonesia saat ini ialah krisis

moneter yang dimulai pada akhir tahun 1997. Krisis tersebut telah menurunkan

posisi Indonesia, dari sebelumnya menjadi salah satu tenaga ekonomi Asia

Timur untuk menurunkan ketimpangan wilayah global, menjadi salah satu

Negara miskin sesudah krisis. Sebagaimana pada akhir abad ke 19 Indonesia

gagal tinggal landas akibat keuntungan Tanam Paksa mengalir ke Negeri

Belanda, kini pada akhir abad ke 20 Indonesia juga gagal tinggal landas akibat

krisis moneter.

Secara keseluruhan ketimpangan menurun selama krisis moneter (Tabel

21). Di Jawa dan Bali ketimpangan menurun pada wilayah kota dan desa, akan

tetapi di Sulawesi Selatan hanya turun di perkotaan (Hill, 2006; Said dan

Widyanti, 2001).

Akan tetapi ketimpangan di antara lapisan miskin sendiri meningkat, baik

di perkotaan maupun di pedesaan (Tabel 22). Kejadian ini menunjukkan

hubungan erat antara pengalaman kemiskinan dengan ketimpangan

Page 29: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

90

pembangunan wilayah. Kejadian ini juga disebabkan oleh masuknya golongan

yang semua di atas garis kemiskinan namun selama krisis moneter terperosok

ke bawah garis kemiskinan.

Tabel 21. Indeks Gini dan Theil-T Selama Krisis Moneter di Indonesia, 1996-1999

1. Gini Coefficient

Wilayah Pebruari 1996 Pebruari 1999 Kota Desa K+D Kota Desa K+D

Jawa – Bali 0.3895 0.2887 0.3835 0.3461 0.2493 0.3344 Sumatra 0.3074 0.2604 0.3048 0.2829 0.2436 0.2738 Kalimantan 0.3020 0.2666 0.2774 0.2723 0.2347 0.2629 Sulawesi 0.3239 0.2928 0.3010 0.3020 0.2754 0.2989 Lainnya 0.3357 0.2590 0.3207 0.2944 0.2594 0.2856

2. Theil-T Index

Wilayah Pebruari 1996 Pebruari 1999 Kota Desa K+D Kota Desa K+D

Jawa – Bali 0.2925 0.1628 0.2601 0.2250 0.1189 0.2182 Sumatra 0.1724 0.1301 0.1618 0.1391 0.1036 0.1332 Kalimantan 0.1640 0.1312 0.1558 0.1318 0.0958 0.1228 Sulawesi 0.1858 0.1621 0.1799 0.1642 0.1405 0.1642 Lainnya 0.1946 0.1204 0.1927 0.1493 0.1180 0.1415 Sumber: Said dan Widyanti, 2001

Tabel 22. Perubahan Gini pada Golongan Miskin Indonesia Selama Krisis Moneter, 1996-1999

Wilayah Kota Desa 1996 1999 % Perubahan 1996 1999 % Perubahan

Jawa – Bali 0.0768 0.0788 2.63 0.0819 0.0865 5.66 Sumatra 0.0887 0.0967 9.08 0.0784 0.0848 8.11 Kalimantan 0.0795 0.0789 -0.79 0.0694 0.0864 24.46 Sulawesi 0.0918 0.0824 -10.27 0.0933 0.0931 -0.19 Lainnya 0.1015 0.1009 -0.55 0.1077 0.1228 13.95 Sumber: Said dan Widyanti, 2001

Krisis moneter yang diikuti inflasi tinggi segera meningkatkan

kemiskinan. Inflasi berlangsung pada komponen makanan dan non makanan,

tapi tidak termasuk upah kerja. Kemiskinan yang terjadi tersebut bersifat

sementara, dan segera menurun setelah inflasi dapat diatasi. Penurunan secara

cepat ini didorong oleh kebijakan pemerintah dalam menstabilkan harga

barang, serta mengeluarkan program jaring pengaman sosial.

Page 30: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

91

Krisis moneter juga menurunkan peran pemerintah, militer dan polisi

untuk menjaga keamanan maupun kesatuan bangsa. Hal ini terefleksikan oleh

konflik antar wilayah dan gerakan separatisme. Dimensi-dimensi krisis moneter

tersebut telah mengurangi efektivitas kebijakan pengurangan ketimpangan

wilayah (Shankar dan Shah, 2001; Tadjoeddin, 2003; Tadjoeddin, Suharyo,

Mishra, 2001).

Pemulihan krisis moneter di luar Jawa lebih cepat daripada wilayah di

Jawa (McCulloh, 2008). Pada satu sisi hal ini menunjukkan monetisasi

(kebudayaan uang atau pasar) di Jawa lebih tinggi, dan terutama didorong oleh

industri dan konsumsi massal. Sebagian industri yang terpengaruh krisis

moneter memiliki pautan alat dan modal produksi dengan pasar global. Adapun

kebangkitan wilayah luar Jawa sempat diramalkan oleh Geertz (1983), sebagai

konsekuensi pertanian non-sawah, yang turut meningkat sejalan dengan

peningkatan karga komoditas tanaman keras.

Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman krisis moneter ialah,

pertama, tetap terbuka kemungkinan kegagalan dalam suatu pembangunan,

misalnya terjadi krisis moneter. Kedua, perekonomian yang didasarkan pada

sumberdaya di dalam negeri memiliki kekuatan bertahan yang lebih kuat ketika

muncul krisis ekonomi.

Otonomi Daerah

Otonomi daerah sebagai salah satu proses desentralisasi di Indonesia

mengemukakan kabupaten/kota dan desa sebagai wilayah-wilayah otonom.

Pada negara yang sangat luas dan terdiri atas pulau-pulau dalam lautan yang

lebar, desentralisasi menjadi konsekuensi logis. Diharapkan desentralisasi

mampu menumbuhkan wilayah-wilayah yang semula lebih tertinggal.

Desakan untuk melakukan desentralisasi telah terjadi sejak masa

penjajahan Hindia Belanda pada awal abad ke 20 (The, 1993; Wignjosoebroto,

2004). Desentralisasi tidak sepenuhnya berlangsung, bahkan muncul penyatuan

beberapa wilayah sempit untuk memudahkan penarikan pajak. Federalisasi juga

sempat muncul pada tahun 1950. Bentuk Negara federal berubah menjadi

Page 31: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

92

sentralisasi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tahun 1959 (Anderson,

1999). Desentralisasi secara massif baru berlangsung pada tahun 2000, setelah

setahun sebelumnya disahkan perundang-undangan mengenai otonomi daerah.

Pada saat ini terdapat empat jenis regulasi otonomi daerah. Pertama,

dua undang-undang desentralisasi yang dikeluarkan pada tahun 1999 (UU

22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU 25/1999 tentang pembagian

keuangan antara pemerintah pusat dan daerah). Kedua, dua UU otonomi

khusus di Nanggroe Aceh Darussalam/NAD (UU 18/2001) dan Papua (UU

22/2001), yang memberikan otonomi lebih besar pada dua provinsi didiami oleh

kelompok separatis. Ketiga, revisi UU desentralisasi sebelumnya menjadi UU

32/2004 dan UU 33/2004. Dalam UU yang baru pemilihan kepala daerah

dilaksanakan secara langsung. Keempat, UU 11/2006 tentang hukum

pemerintahan di NAD, sebagai tindak lanjut dari pertemuan pemerintah

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki.

Pada negara yang tidak melembagakan pengawasan (check and

balance), maka kombinasi rente sumberdaya alam dan sistem demokratis dapat

menahan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi kelemahan ini,

pengawasan yang akuntabel diperlukan pada negara Indonesia yang sudah

lebih demokratis sejak reformasi 1997 dapat menahan peningkatan

ketimpangan pembangunan wilayah.

UU otonomi khusus tepat untuk menahan separatisme di NAD dan

Papua. Sedangkan dua provinsi lain yang sama-sama memiliki sumberdaya

alam yang besar –Riau dan Kalimantan Timur—memandang UU desentralisasi

sudah cukup memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Tadjoeddin ,

2007).

Agenda tersembunyi dari level desentralisasi pada tingkat

kabupaten/kota (bukan pada tingkat provinsi) ialah untuk menghindari kongsi

antar daerah yang membentuk koalisi besar dan lepas dari kesatuan negara

Indonesia (Islam, 2003).

Otonomi daerah telah menurunkan derajat eksploitasi ekonomi antar

daerah. Dengan demikian lebih banyak output ekonomi yang dinikmati oleh

warga di daerah itu sendiri (Tabel 23).

Page 32: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

93

Tabel 23. Tingkat Eksploitasi Ekonomi Provinsi-provinsi di Indonesia Tahun 1996 dan 2002

Propinsi Populasi 2002

HDI 2002

PDRB per kapita 2002

(Rp 000)

Pengeluaran Konsumsi per kapita

2002 (Rp 000)

Index Eksploitasi

1996 2002 Nanggroe Aceh Darussalam 4.022.140 66,0 8.784 na 81 na Sumatera Utara 11.891.742 68,8 7.379 2.312 68 69 Sumatera Barat 4.289.647 67,5 6.772 2.702 59 60 Riau 5.285.460 69,1 12.570 3.073 84 76 Jambi 2.479.469 67,1 5.484 2.236 54 59 Sumatera Selatan 7.167.970 66,0 6.796 2.005 67 70 Bangka Belitung 913.869 65,4 7.901 2.689 na 66 Bengkulu 1.640.597 66,2 3.752 1.822 53 49 Lampung 6.862.338 65,8 4.056 1.777 55 56 DKI Jakarta 8.379.069 75,6 30.236 5.779 78 81 Jawa Barat 36.914.883 65,8 5.767 2.509 55 56 Banten 8.529.799 66,6 6.762 3.123 na 54 Jawa Tengah 31.691.866 66,3 4.921 2.072 62 58 DIY 3.156.229 70,8 5.284 2.783 58 47 Jawa Timur 35.148.579 64,1 6.443 2.240 69 65 Bali 3.217.150 67,5 6.831 3.608 66 47 Kalimantan Barat 4.167.293 62,9 5.151 2.233 68 57 Kalimantan Tengah 1.947.263 69,1 7.039 2.468 73 65 Kalimantan Selatan 3.054.129 64,3 6.726 2.540 65 62 Kalimantan Timur 2.566.125 70,0 34.772 3.418 89 90 Sulawesi Utara 2.043.742 71,3 5.441 2.649 62 51 Gorontalo 855.057 64,1 2.624 1.533 na 42 Sulawesi Tengah 2.269.260 64,4 4.898 2.050 54 58 Sulawesi Selatan 8.244.890 65,3 4.412 2.036 55 54 Sulawesi Tenggara 1.915.326 64,1 4.152 1.937 52 53 Nusa Tenggara Barat 4.127.519 57,8 3.802 1.810 48 52 Nusa Tenggara Timur 3.924.871 60,3 2.201 1.556 46 29 Maluku 1.271.083 66,5 2.924 na 63 na Maluku Utara 796.447 65,8 2.688 na na na Papua 2.218.360 60,1 9.803 na 82 na Indonesia 210.992.171 65,8 7.597 2.476 64 59 Sumber: Mubyarto (2005)

Dalam era otonomi daerah diketahui bahwa komponen dana dari Pusat

jauh lebih banyak daripada pendapatan asli daerah yang dipungut. Hal ini

menunjukkan kekuataan pemerintah Pusat lebih besar daripada pemerintah

daerah (Nordholt dan Klinken, 2008).

Sayangnya desentralisasi juga diikuti dengan pemekaran wilayah dan

konflik pemilihan kepala daerah. Pembatasan kepala daerah juga terjadi untuk

menyaring warga asli. Bersamaan dengan itu, semakin meningkat orientasi ke

dalam wilayah, dan menyurutkan kerjasama antar daerah. Dengan kata lain,

Page 33: Konteks Kebijakan Pengurangan Ketimpangan · PDF fileterbesar suku bangsa di Indonesia hanya sekitar ... Penduduk (% dari penduduk dunia) 40,2 44,2 38,9 ... kelompok yang memandang

94

identitas suku, agama, ras dan golongan kembali meningkat dan digunakan

secara praktis dalam aspek politik dan ekonomi di daerah.

Desentralisasi dapat meningkatkan ketimpangan pembangunan wilayah

atau minimal tidak mengurangi ketimpangan tersebut, karena kapasitas teknis

aparat Pemda masih lemah dalam mengelola prasarana dan sarana pendidikan

maupun kesehatan (Adair, 2004). Dalam proses desentralisasi aparat Pemda

perlu mengelola dana yang relatif jauh lebih besar. Prioritas pembangunan

daerah bisa jadi berbeda daripada prioritas pembangunan menurut Pemerintah

Pusat, terutama ketika dana dialirkan melalui mekanisme DAU (Dana Alokasi

Umum). Klinik untuk ibu dan anak tidak mengalami pertambahan

pembangunan, bahkan kelembagaan kesehatan di tingkat lokal menurun akibat

prioritas pembangunan daerah tidak diarahkan kepada pembangunan

kesehatan, padahal sekitar 80 persen dana kesehatan dialirkan melalui DAU

(Adair, 2004).