mobilitas penduduk

download mobilitas penduduk

If you can't read please download the document

Transcript of mobilitas penduduk

Pokok-Pokok Satuan Acara Pengajaran4Kata Pengantar Bismillah, Alhamdulillah puji syukur hanya untuk Alloh Azza Wa Jalla atas limpahan rahmat dan ridho-Nya. Salam dan sholawat semoga tercurah kepada panutan Rosululloh Muhammad shollallohu alaihi wa sallam. Modul ini adalah buah dari sebuah karya kecil atas ijin Alloh dengan tujuan untuk menjadi salah satu sumber informasi kepada mahasiswa di Fakultas Geografi yang menempuh mata kuliah mobilitas penduduk. Perkuliahan mobilitas penduduk ditawarkan kepada mahasiswa yang ingin memperdalam beberapa aspek terkait mobilitas penduduk seperti konsep dasar dan ruang lingkup mobilitas penduduk, sumber dan jenis data, mobilitas penduduk internal, mobilitas penduduk internasional, dinamika teori mobilitas penduduk, dan dampak mobilitas penduduk terhadap perubahan sosial. Telah sama-sama dipahami bahwa visi Universitas Gadjah Mada adalah menjadi research university, yaitu universitas yang berkelas dunia dengan didasari oleh berbagai kegiatan penelitian ilmiah. Demi mewujudkan kualitas lulusan yang handal, telah terjadi perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan dari teaching center (TCL) menjadi student center learning (SCL). Perubahan paradigma tersebut tidaklah dapat menuai harapan jika tidak diikuti dengan perubahan proses pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah materi kuliah. Adalah suatu kemestian adanya perubahan baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode yang diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Untuk itulah, modul kuliah Mobilitas Penduduk yang berisi rangkaian program kegiatan pembelajaran ini disusun. Secara teknis modul ini memuat satuan acara perkuliahan berikut metode yang digunakan. Banyak hal yang belum tercakup di modul kecil ini. Kompleksitas permasalahan mobilitas penduduk memungkinkan berbagai data dan isu mobilitas penduduk berkembang begitu cepat. Penulis mohon maaf jika banyak isu menarik dan kontemporer belum tercakup di sini. Kritik dan saran demi perbaikan modul berikutnya sangatlah kami nantikan. Semoga modul ini bermanfaat bagi pembaca. Yogyakarta, November 2006 PenyusunAgus Joko PitoyoDAFTAR ISIHalaman1. RPKPS Mobilitas Penduduk 3 1.1 Latar Belakang 3 1.2 Perencanaan Pembelajaran 4 1.3 Jadwal Kegiatan Mingguan 5 1.4 Operasionalisasi Kegiatan Mingguan 81.5 Daftar Acuan Pustaka 132. Paper Pendukung 144OPTIMALISASI KULIAH Mobilitas Penduduk BERBASIS STUDENT CENTER LEARNING FAKULTAS GEOGRAFIUNIVERSITAS GADJAH MADA20091.1 LATAR BELAKANGSeirama dengan visi universitas untuk menjadi research university dan upaya perwujudan kompetensi universitas, terutama dalam hal pencapaian kualitas lulusan yang handal, adanya perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan dari teaching center menjadi student center learning adalah suatu kemestian yang tak dapat ditunda-tunda lagi. Hal ini sudah tentu mengharuskan perbaikan proses pembelajaran, baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode yang diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Perlu disampaikan bahwa (RPKPS) adalah penyempurnaan dari Garis Besar Pokok Pembelajaran (GBPP) dan/atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang sebelumnya telah ada. Model pembelajaran yang berbasis pada mahasiswa melalui RPKPS diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam upaya perbaikan kegiatan belajar pada mata kuliah Mobilitas Penduduk yang selama ini tidak berjalan secara optimal. Telah dipahami oleh terutama Mahasiswa Jurusan Geografi Manusia bahwa mata kuliah Mobilitias Penduduk adalah mata kuliah dasar sebagai penentu kemampuan ilmiah pada mata kuliah lanjutan seperti perencanaan kependudukan, teknik analisis demografi, dan manajemen sumber daya manusia. Angin segar tentang suasana kuliah yang kondusif, kegairahan dalam proses pembelajaran dan peningkatan kreativitas dan kesungguhan mahasiswa nampaknya dapat menjadi kenyataan jika pilar-pilar dari Student Center Learning diaplikasikan melalui metode yang tepat, seperti small group discussion, role-play, collaborative learning, active learning, adult learning dan yang lainnya. Untuk tujuan tersebut, beberapa model baru akan diterapkan dalam perkuliahan Mobilitas Penduduk adalah kuliah kelas partisipatif, kunjungan lapangan, observasi lapangan, belajar mandiri, seminar, diskusi dan kuis. Variasi model yang dikemas dalam Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS), diharapkan mempertinggi tingkat keberhasilan dan kompetensi mahasiswa. PERENCANAAN PEMBELAJARAN 1. Nama Matakuliah : Mobilitas Penduduk 2. Jumlah SKS : 2 sks/GEM 1204 3. Semester : II (Genap) 4. Tujuan Pembelajaran : Kuliah ini merupakan kuliah dasar diberikan terutama bagi mahasiswa tingkat awal bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar mobilitas penduduk, konsep dan sumber data, teori mobilitas penduduk, dan dampak mobilitas penduduk terhadap perubahan sosial. 5. Outcome Pembelajaran (Learning Outcome)Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan Mobilitas Penduduk secara konseptual berdasarkan perspektif keruangan, temporal dan kompleksitas kewilayahan, seperti struktur dan distribusi penduduk berdasarkan tempat dan waktu. Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu mengevaluasi sumber data mobilitas penduduk berikut cara pengukurannya, baik yang berasal dari data Sensus Penduduk maupun dari data survai. Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan kompleksitas teori tentang mobilitas penduduk.Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu menganalisis dampak mobilitas penduduk dalam perubahan social ekonomi masyarakatSetelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu menganalisis kontribusi Mobilitas Penduduk terhadap pembangunan ekonomi makro. 6. Alokasi Jumlah Jam dan PembagiannyaKuliah Kelas (Metode Tatap Muka Partisipatif)Pada pembelajaran yang berbasis student center learning, kuliah tutorial bukanlan metode yang utama digunakan, kuliah tatap muka lebih bersifat partisipasi aktif dengan mekanisme two way communication antara dosen dan mahasiswa. Metode tatap muka partisipatif diberikan dengan alokasi waktu setiap kali pertemuan kurang lebih 40 menit/minggu dengan jumlah tatap muka 14-16 kali pertemuan dalam satu semester, dosen lebih difungsikan sebagai fasilitator.Kunjungan LapanganKunjungan lapangan adalah metode baru yang diterapkan dalam mata kuliah Mobilitas Penduduk. Hal ini penting dilakukan agar mahasiswa memahami betul realita sumber dan jenis data mobilitas penduduk, fenomena mobilitas penduduk, dan bentuk-bentuk mobilitas penduduk. Kunjungan dilakukan di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang merupakan lembaga pemerintah yang bertugas dalam pemindahan penduduk utamanya transmigrasiObservasi LapanganObservasi lapangan juga merupakan metode baru yang diterapkan demi memahami fakta di lapangan terkait dengan permasalahan Mobilitas Penduduk. Kegiatan ini merupakan penunjang kuliah dalam bentuk pengamatan terhadap migrasi ulang alik, sirkuler, mondok, dan migrasi internasional. Fenomena menarik yang selalu hangat dibahas terkait dengan isu mobilitas penduduk adalah dinamika transmigrasi di Indonesia dan program pemagangan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Dua isu yang belakangan ini mencuat adalah obyek studi yang tak boleh diabaikan. Latihan Metode latihan diberikan pada mahasiswa disela-sela kuliah, difungsikan sebagai ice-breaking yang menjadi penghangat suasana kuliah. Latihan diberikan dengan alokasi waktu 15 sampai 30 menit dan diberikan kurang lebih 10 kali/semester. Latihan dapat juga dikerjakan di rumah dengan alokasi waktu 1 minggu. Diskusi Diskusi juga merupakan hal baru yang diintegrasikan dalam setiap kali kuliah, setidaknya sekitar 40 menit setiap tatap muka (40 menit/minggu), dosen bertindak sebagai fasilitator. Belajar MandiriBelajar mandiri penting dilakukan sejalan dengan dinamika isu-isu Mobilitas Penduduk. Ini berarti bahwa belajar mandiri terutama dari sumber-sumber relevan seperti buku literatur, surat kabar, internet mutlak diperlukan dalam rangka peningkatan partisipasi aktif di kelas, pengkayaan materi dan kompetensi mata kuliah. Akses internet yang terbuka seperti di perpustakaan Fakultas Geografi dan laboratorium jurusan secara operasional memang sangat mendukung mahasiswa demi memperoleh informasi terbaru tentang Mobilitas Penduduk.TugasTugas diberikan pada mahasiswa dengan membuat makalah dalam bentuk kelompok kecil berjumlah 2-4 orang/kelompok, dengan alokasi waktu pengumpulan 1-2 bulan.Seminar Seminar dalam bentuk presentasi makalah dilakukan pada pertengahan hingga akhir perkuliahan, alokasi waktu untuk masing-masing presentasi dan tanya jawab adalah 25 menit. Kuis, Simulasi Kuis, simulasi, ice-breaking diberikan pada sela-sela kuliah sekitar 10 hingga 15 menit sesuai dengan kebutuhan. 1.3 Jadwal Kegiatan Mingguan Minggu KeTopik SubtansiMetode Pembelajaran dan Bentuk Kegiatan 1PendahuluanvMenjelaskan pokok-pokok bahasan, metode pembelajaran dan cara evaluasivOverview Mobilitas Penduduk Ice-BreakingPerkenalanrole-play Diskusi interaktif 2, 3Ruang Lingkup, Konsep mobilitas pendudukDeterminan mobilitas pendudukMobilitas penduduk sebagai prosesSumber data mobilitas penduduk vKonsep mobilitas pendudukvMobilitas penduduk internalvMobilitas penduduk internasionalvMobilitas pekerja Indonesia ke luar negerivPendekatan Fungsionalis vPendekatan Strukturalis vRegistrasivSensusvSurvaivSupasKuliah partisipatifKunjungan kerja,Observasi lapanganDiskusi, SimulasiTugas Mandiri 4, 5Teori Mikro Mobilitas Penduduk vTeori Push Pull (Teori Lee)vTeori Harapan Rasional (Teori Psikologis De Jong and Fawcett)vHukum Migrasi RavenstainKuis, SimulasiKuliah partisipatif,Diskusi, Presentasi6,7 Teori Makro Mobilitas PendudukvCentripetal and Centrifugal Forces, MitchellvMigration as a spatial interaction, Robert NorrisvTeori Sistem Migrasi, Akin L Mabogunje vTransisi Mobilitas Penduduk, Wilbur ZelinskiKuis, SimulasiKuliah partisipatif,Diskusi, Presentasi8Mid SemesterMateri yang telah diberikan Ujian tulisMinggu KeTopik SubtansiMetode Pembelajaran dan Bentuk Kegiatan 9,10Kerangka konseptual, teori dan determinan migrasi InternasionalDampak Remitance Studi empiris tentang migrasi internasionalDampak Migrasi internasional dalam pembangunan makrovTeori-teori Fungsionalis tentang migrasivTeori-teori Strukturalis tentang migrasivDiskursus tentang Pendekatan ekonomi dan pendekatan politik migrasi internasionalvEquilibrium, disequillibrium and world system model dalam menganalisis migrasi internasionalvStudi empiris tentang migrasi internasional, trafficking dan smugglingvPemanfaatan remitanvKonsep brain drain dan brain gain dalam migrasi internasionalvAnalisis migrasi internasional dalam pembangunan nasionalKuliah Partisipatif, Tugas MandiriMembuat paper Diskusi terfokusKuis, Simulasi10Mekanisme dan prosedur migrasi internasionalvPendaftaran, rekrutmen, tinggal di tempat penampungan dan aktivitas kerja di luar negerivPekerja asing di IndonesiaKuis, SimulasiKuliah partisipatif,Diskusi11Pengiriman tenaga kerja gaya baru: Fenomena pekerja magang ke Asia, Jepang, Korea Selatan dan TaiwanvProgram pemagangan tenaga kerja ke Jepang dan Taiwan: diskusi hasil studi empirisKuis, SimulasiKuliah partisipatif,DiskusiMinggu KeTopik SubtansiMetode Pembelajaran dan Bentuk Kegiatan 12Aspek legalitas hukum dan bilateral agreement: AKAN, AFLA, AFTAAnalisis kebijakan migrasi internasional vPerlindungan hukum, kerjasama bilateral, multilateral dan internasional: analisis model depency negara-negara dunia ketiga terhadap negara maju dan NICsvAnalisis kebijakan migrasi internasional: dinamika, peluang dan prospeknya di masa depan Kuis, SimulasiKuliah partisipatif,Diskusi13, 14,15 Seminar dan diskusi kelompok isu-isu kontemporer migrasi internasionalvMakalah tentang migrasi internasional sesuai dengan minat Mahasiswa Presentasi dan Diskusi16Overview Kuliah, Penutup, vOverviewvPenutup Kuliah PartisipatifDiskusi 8. Penilaian : Keriteria dan cara evaluasi hasil pembelajaranPenilaian dilakukan melalui berbagai macam bentuk kegiatan seperti partisipasi kelas, tugas mandiri, latihan, pembuatan makalah/seminar, simulasi, kuis, dan nilai hasil ujian. Latihan sangat bermanfaat untuk melihan kemampuan mahasiswa dalam memahami materi kuliah. Ice breaking, simulasi dan kuis diberikan untuk merangsang daya kreasi dan inovasi mahasiswa. Mid semester sebagai upaya overview materi kuliah sampai tengah semester. Tugas kelompok, makalah dan presentasi untuk melihat daya kompetitif mahasiswa berikut latihan kemampuan presentasi ilmiah. Tugas mandiri dinilai dari keaktifan mahasiswa dalam mencari leteratur sebagai bahan untuk berdiskusi Nilai akhir diperoleh dari ujian mid semester, ujian akhir semester, tugas mandiri, latihan, presentasi, partisipasi dan hasil kuis. Pembobotannya adalah kuis, simulasi 5%, diskusi dan partisipasi 10%, tugas, latihan 5%, tugas mandiri 10%, makalah kelompok 10% ujian mid-semester 20% dan ujian akhir semester 40 %. 9. Bahan, sumber informasi dan referensiHandout dan Bahan ajar Mobilitas Penduduk Referensi berupa buku, makalah, jurnal dan majalah ilmiahPerpustakaan Fakultas Geografi, UGMLaboratorium Jurusan Geografi Manusia, UGMPusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGMDownload dari internet Badan Pusat StatistikEvaluasiRencana dokumen untuk mendapatkan masukan dari mahasiswa (kejelasan, kecepatan, kesulitan, metode, dll).Tanggapan (perbaikan dan perubahan rencana)1.5 Daftar Pustaka Oberai, A.S. 1987. Migration, urbanisation and Development. Geneva: International Labor Organization.Bilsborrow, Richard E; A.S. Oberai and Guy Standing. 1984. Migration Surveys in Low Income countries: Guidelines for Survey and Questionaire Design. London: Croom HelmKonsinski, Leszek A and Mansell Piothero (ed). 1974. People on The Move. London: Methnen & Co. LtdAnanta Aris & Chotib (eds). 1996. Mobilitas Penduduk Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi Universitas Indonesia.Mantra, Ida Bagoes dan Agus Joko Pitoyo. 1999. Kumpulan Teori Mobilitas Penduduk, Buku I dan Buku II. Fakultas Geografi, UGM. YogyakartaPROGRAM PEMAGANGAN TENAGA KERJA KE LUAR NEGERI: Apa Bedanya Dengan Pengiriman TKI ?Kasto, Agus Joko PitoyoAbstract This study is aimed to investigate the mechanism of apprenticeship labour program abroad, including income rate, and several problems emerging within the process of apprenticeship; and to identify what problems which constrain empowering mechanism toward the valunteers at origin place, then how far they can stand alone and involve in the local development processes. This research is conducted by structured interview and focus group discussion, as well as secondary data usage. Descriptive-qualitative analysis is used through data validation by triangulation technique. This study indicated that (1) Apprenticeship process mechanism is not fully transparent yet; (2) Their income are relatively high on spite of the valunteers education level that is also faily high, however, looking at their job they are still absorbed in 3D jobs (dirty, dangerous, difficult); (3) those arising problems set the volunteer in low bidding position; (4) volunteer empowering at origin place is vague; (5) positive thing has been achieved from the process of abroad apprenticeship is a high work ethic, good discipline, and better working stamina. PendahuluanMigrasi internasional pekerja Indonesia ke luar negeri merupakan salah satu fenomena penting yang tidak dapat dilepaskan dari seluruh proses pembangunan. Arti penting dari mobilitas pekerja tersebut secara nasional dapat dilihat melalui perannya terhadap penerimaan devisa bagi negara (foreign exchange). Pada tataran individu, kontribusi pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dapat dirasakan melalui besarnya remitan yang mereka kirimkan. Ini akan lebih bermakna jika remitan tersebut dilihat pada konteks yang lebih luas, tidak saja dalam bentuk uang, tetapi juga yang berujud nonmateri. Sebagai contoh ide-ide baru, pengetahuan akan teknologi modern, keahlian khusus dan kedisiplinan kerja, hal tersebut merupakan remitan penting dalam pembangunan. Demi memperoleh manfaat yang lebih optimal, dewasa ini beberapa propinsi di Indonesia mencanangkan program pengiriman tenaga kerja ke luar negeri melalui mekanisme Government to Government yang lebih dikenal dengan program G to G. Salah satu contoh program G to G yang nampaknya cukup menjanjikan adalah pemagangan tenaga kerja dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ke Jepang, melalui nota kesepahaman antara pemerintah Jepang dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Secara operasional program tersebut dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak tahun 1998, bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait. Melalui program tersebut, ada beberapa tujuan yang diusung. Selain berupaya memperkecil jumlah penganggur dan meningkatkan pendapatan, pemagangan tenaga kerja ke Jepang juga memberikan peluang adanya transfer teknologi maju (high-tech) yang lebih cepat. Terutama untuk tujuan yang terakhir, transfer teknologi sangatlah penting dalam menciptakan tenaga kerja yang terampil. Untuk itu patut dipertimbangkan secara serius dalam kerangka kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti bahwa pemerintah, terutama melalui departemen terkait, perlu menciptakan aturan-aturan yang lebih transparan guna menjamin seluruh proses pemagangan. Dengan demikian, program pemagangan pekerja yang dilaksanakan tersebut benar-benar dapat sejalan dengan program percepatan pembangunan, baik di tingkat lokal maupun regional. Tulisan ini merupakan potret awal dari studi empiris tentang program pemagangan tenaga kerja dari Provinsi D.I. Yogyakarta ke Jepang. Beberapa hal yang menjadi fokus kajian adalah mekanisme pengiriman pekerja magang, tingkat pendapatan, dan masalah yang timbul selama proses pemagangan. Aspek lain yang tak kalah menarik adalah persoalan seputar alih teknologi sekembalinya mereka ke daerah asal; sejauh mana mereka dapat mandiri dan terlibat dalam proses pembangunan daerah. Profil Pekerja MagangBatas umur minimal dan maksimal bagi calon pekerja magang merupakan prasyarat agar mereka dapat bekerja secara optimal di luar negeri. Peraturan yang diberlakukan oleh Yayasan IMM Japan menyebutkan bahwa umur maksimal bagi calon pekerja magang yang berpendidikan terakhir SLTA adalah 25 tahun. Sementara itu, bagi mereka yang berpendidikan terakhir universitas atau perguruan tinggi adalah 27 tahun. Seorang partisipan menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan di Jepang sangat ketat dalam membuat batasan umur maksimal calon pekerja. Hal ini terkait dengan produktivitas dan kesehatan pekerja.Untuk umur memang sangat ketat, bahkan kalau perusahaan tahu kalau umur kita sudah melebihi batas maksimal, kita dapat dipulangkan. . untuk yang SMA 25 tahun, kalau sarjana 27 tahun (Giyanto, 29 tahun, 21 Juli 2004).Atas dasar batas umur maksimal yang ketat diberlakukan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang, maka kebanyakan pekerja magang yang hendak berangkat terkonsentrasi pada umur sekitar 20 tahun untuk pendidikan SLTA dan sekitar 26 tahun untuk mereka yang berpendidikan sarjana. Dengan ketentuan waktu selama 3 tahun menjadi pekerja magang di Jepang, maka ketika pulang, mereka pun masih tergolong muda, yaitu berkisar 25 tahun untuk mereka yang berpendidikan SLTA dan sekitar 30 tahun untuk mereka yang berpendidikan sarjana. Kenyataan ini memungkinkan mereka berkembang lebih baik setelah kembali dari Jepang, terutama dalam hal implementasi dan penciptaan peluang kerja mandiri berdasarkan pengalaman dan bekal yang diperoleh dari luar negeri.Berdasarkan jenis kelamin, terutama untuk pemberangkatan tahun 2001, Provinsi D.I. Yogyakarta hanya memberangkatkan calon pekerja laki-laki. Beberapa partisipan menyebutkan bahwa untuk angkatan-angkatan awal, misalnya pemberangkatan tahun 1999, 2000, dan 2001, kebanyakan dari pekerja magang luar negeri adalah laki-laki. Oleh para partisipan, hal ini dijelaskan terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan, yakni pada jenis-jenis pekerjaan yang lebih banyak menggunakan tenaga fisik dan keprimaan stamina, seperti di pelat konstruksi bangunan, operator mesin logam, pemasangan rangka beton, pengecoran logam, dan pengeboran. Walau banyak partisipan yang menyebutkan bahwa dominansi pekerja laki-laki hanya di tahun-tahun awal program magang, kenyataan menunjukkan bahwa dominansi tersebut masih terjadi hingga sekarang. Tahun 2004, Disnakertrans Provinsi D.I. Yogyakarta bekerja sama dengan Suruga Miyagawa Company Japan memberangkatkan sekitar 36 calon pekerja magang, dibulan April 2004 dan hanya tiga di antara mereka yang adalah perempuan. Ini berarti bahwa program magang tenaga kerja di Jepang masih memprioritaskan pekerja laki-laki daripada perempuan.Salah satu karakteristik lain yang penting dalam analisis sumber daya manusia adalah pendidikan. Menurut teori human capital, di samping kesehatan dan gizi, pendidikan termasuk keterampilan merupakan variabel yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga seseorang mempunyai potensi berkembang pada masa yang akan datang secara lebih baik (Effendi, 1993: 17). Ini berarti bahwa semakin tinggi pendidikan dan keterampilan, semakin tinggi pula kualitas dirinya. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap kemungkinan adanya mobilitas sosial, dengan alasan meningkatnya kemampuan bersaing dalam pasar kerja dan produktivitas kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya pendidikan tidak hanya merupakan jaminan tingkat melek huruf seseorang, tetapi lebih ke arah wawasan yang tinggi, pola pikir yang lebih maju, serta kemampuan untuk lebih cepat meninggalkan perilaku tradisional yang relatif kurang baik.Tabel 1.Spesifikasi Pendidikan Peserta Program Magang di JepangBagianSpesifikasi PendidikanPelistrikanSTM ListrikSTM Teknik ListrikSTM ElektronikaD3 Elektronika, dll.PermesinanS1 Teknik MesinD3 Teknik MesinD1 Teknik MesinSMK Mesin TenagaSMK Mesin KonstruksiSMK Mekanik UmumSMK Mekanik OtomotifSMK OtomotifSMK Mesin Produksi, dll.BangunanS1 Teknik SipilD3 Teknik SipilSTM Bangunan, dll.Sumber: Disnakertrans, Provinsi D.I. Yogyakarta, 2004Berdasarkan pendidikan, kebanyakan peserta program magang di Jepang berlatar belakang pendidikan kejuruan tingkat atas daripada pendidikan umum. Selain pendidikan menengah atas, ada beberapa peserta magang yang berpendidikan D1, D3, dan sarjana, terutama pada spesifikasi pendidikan kejuruan dan politeknik (lihat Tabel 1). Bagi peserta yang berpendidikan umum, mereka diharuskan memiliki ijazah dari Balai Latihan Kerja (BLK) dengan spesifikasi latihan kejuruan atau kemampuan khusus, seperti permesinan, montir, listrik, dan mekanik. Persyaratan tersebut dapat dimaklumi karena jenis-jenis pekerjaan yang hendak dilakukan di luar negeri, terutama di Jepang, memang lebih bersifat kerja teknik dan mekanik yang berurusan dengan mesin, listrik, otomotif, bangunan, dan perindustrian. Persyaratan ini terkait juga dengan nama program magang sehingga apabila program telah selesai dan kembali ke daerah, pengalaman praktis pemagangan ini diharapkan dapat diterapkan di Indonesia atau di daerah asal.Berdasarkan status perkawinan, kebanyakan peserta program magang di Jepang berstatus lajang. Selain karena mereka baru saja lulus dari pendidikan menengah atas dan sarjana, faktor kesiapan material dan mental sering disebut sebagai kendala utama untuk menikah.Bagi mereka ini, bekerja magang di Jepang merupakan salah satu strategi untuk memapankan aspek materi sebelum menikah. Adalah wajar jika kebanyakan partisipan merencanakan untuk menikah pada waktu-waktu awal setelah kepulangannya dari luar negeri. Satu kasus yang cukup menarik adalah peserta magang di Jepang yang sebelum berangkat sudah kawin menyebutkan bahwa keretakan perkawinan merupakan pendorong utama kepergiannya menjadi peserta program magang. Keretakan ini terutama bersumber pada pekerjaan yang belum menentu.Saya sering cekcok dengan istri hingga istri bilang sudah kamu pergi saja .... karena istri sudah bilang gitu ya saya lebih bersemangat menjadi pekerja magang (Wahyu, 21 Juli 2004).Dinamika Rekrutmen: Sumber Informasi dan Mekanisme SeleksiTerkait dengan informasi program magang, ternyata banyak dari pekerja yang tidak sengaja mengetahui informasi tentang adaanya program magang di luar negeri. Informasi pada umumnya datang dari saudara, teman, atau orang yang mempunyai akses terhadap lembaga yang berwenang mengatur program pemagangan tersebut yaitu, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans).Saya kerja di Jakarta 1996-1998, di-PHK, lalu nganggur, iseng-iseng main ke Depnaker, sebetulnya saya tidak punya cita-cita ke luar negeri, cuma iseng-iseng saja, mendaftarkan diri, ternyata setelah tes, saya dinyatakan lolos, setelah tes yang terakhir saya jadi mantap, kadung sudah di tengah-tengah, akhirnya saya menjadi peserta magang (Sukamto, 28 Agustus 2004).Persoalannya adalah banyak pekerja purna magang yang justru tidak mendapatkan informasi langsung dari Disnakertrans atau pun jika sumber informasi itu adalah Disnakertrans, biasanya dibawa oleh orang dalam, dalam arti dari mereka yang bekerja di Disnakertrans. Fakta ini menunjukkan bahwa Disnakertrans kurang mempunyai kepedulian terhadap penyebaran informasi tentang peluang untuk menjadi pekerja magang luar negeri. Penyebarluasan informasi yang mereka lakukan kurang menjangkau sasaran walaupun dari segi jumlah permintaan, Disnakertrans tetap dapat memenuhi. Hal ini disebabkan oleh jumlah permintaan relatif kecil. Tidak mengherankan jika beberapa pekerja purna magang adalah mereka yang keluarganya bekerja di Disnakertrans D.I. Yogyakarta maupun di luar D.I. Yogyakarta.Patut disayangkan, ada beberapa pekerja purna magang yang kena calo terkait dengan informasi pekerjaan dan besarnya biaya administrasi. Berawal dari kepasifan Disnakertrans dalam penyebaran informasi tentang peluang kerja magang secara terbuka, maka hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mengeruk ke-untung-an. Ditemukan beberapa pekerja purna magang yang pernah didekati oleh calo dengan menjual informasi dan jaminan lolos seleksi asal membayar sejumlah uang. Mereka yang gagal umumnya tersandung pada tes psikologi dan tes fisik. Diperkirakan hal ini merupakan salah satu penjelasan logis berlainannya biaya administrasi tiap-tiap calon pekerja magang antara satu dengan yang lain. Data yang berhasil dikumpulkan menjelaskan bahwa besar biaya ini bervariasi dari dua juta rupiah sampai dengan enam juta rupiah.Ada banyak pertimbangan bagi calon pekerja sebelum memutuskan menjadi pekerja magang luar negeri, mulai dari ada tidaknya keinginan personal calon pekerja, faktor pendukung dan hambatan moral dari keluarga sampai kendala finansial yang harus diatasi. Kuatnya hambatan dari keluarga misalnya, terjadi akibat belum jelasnya prospek masa depan dan minimnya pengetahuan tentang mekanisme pekerja magang luar negeri. Bukti tentang keberhasilan pekerja magang yang telah kembali belum ada karena program ini memang masih baru. Hal ini menyebabkan banyak partisipan yang harap-harap cemas menjalaninya.Motif ekonomi adalah pendorong utama menjadi pekerja magang di Jepang. Alasan tersebut disampaikan secara bervariasi, seperti mencari tambahan modal atau mencari modal baru, ingin mengubah nasib, dan membantu meringankan beban orang tua. Namun demikian, ada partisipan yang menyebutkan bahwa kepergiannya ke luar negeri disebabkan oleh seringnya ia bertengkar dengan istrinya. Kondisi rumah tangganya sulit untuk dipertahankan lagi karena dia dan istri sama-sama keras. Kasus tersebut menunjukkan bahwa kepergiannya ke Jepang, pada awalnya, merupakan strategi keluar dari permasalahan rumah tangga.Setelah keputusan diambil dan mendaftarkan diri sebagai calon pekerja magang, mereka harus menjalani beberapa tes atau seleksi untuk menentukan lolos tidaknya mereka sebagai pekerja magang yang siap diberangkatkan ke luar negeri. Beberapa tes yang harus dilalui antara lain, adalah tes seleksi administrasi, tes kesempatan atau tes fisik, dan tes psikologi yang dilanjutkan dengan tes wawancara. Ini merupakan prosedur resmi yang harus dilalui dan calon peserta harus lolos seleksi dari tes demi tes. Dengan lain perkataan, jika calon peserta telah gagal dalam tes administrasi, maka tidak mungkin mengikuti tes fisik dan tes wawancara. Walau begitu, ada juga kasus tentang peserta magang di Jepang yang lolos tanpa melalui tahapan-tahapan tes yang ditentukan.Saat tes fisik, banyak yang tidak lari juga lulus saat tes fisik, saya sangat marah kenapa kita dulu sudah lewat jalur yang resmi, tapi kok tahu-tahu ada nama baru (tidak mengikuti tes) muncul (M. Sholeh, 28 Agustus 2004).Saya pernah lihat sendiri, untuk lari, push up itu ada joki, banyak bukti tidak ikut tes, tapi kok dapat lulus, lebih aneh lagi ada yang tidak ikut tes di daerah (di Yogyakarta), tapi lolos juga di pusat (di Bandung, Jakarta, atau Bekasi), tapi ya itu dengan bayar 40 sampai 60 juta (Sutrisno, 28 Agustus 2004).Proses PembekalanSetelah dinyatakan lolos, calon peserta magang harus mengikuti pembekalan di Yogyakarta. Pembekalan di Yogyakarta ini dimaksudkan untuk memberi dasar-dasar keterampilan bahasa Jepang dan kemampuan fisik. Waktu yang dialokasikan untuk pembekalan ini adalah selama satu bulan. Beberapa partisipan menyebutkan bahwa setiap hari mereka harus bangun sangat pagi, berolah raga, lalu masuk kelas untuk mengikuti materi bahasa Jepang. Pemberian materi bahasa pada pembekalan di daerah ini merupakan hal yang penting karena menentukan lolos tidaknya pada saat tes di akhir pembekalan. Disebutkan juga bahwa ketidaklulusan calon peserta di daerah biasanya disebabkan oleh ketidakmampuannya berbahasa Jepang.Diperoleh informasi bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh calon peserta untuk pembekalan bervariasi antara calon yang satu dengan yang lain mulai dari Rp 2.000.000,00 sampai Rp 6.000.000,00, sehingga tidak diketahui sesungguhnya berapa besar biaya resminya. Biaya yang dipungut tersebut digunakan untuk pembuatan paspor, medical check up, biaya pelatihan, dan keperluan administrasi lain. Kalau dilihat dari surat kerjasama antara Disnakertrans Provinsi D.I. Yogyakarta dengan Suruga Miyagawa Company Japan tahun 2004, ternyata tiap-tiap peserta magang diwajibkan membayar biaya sekitar tiga juta (lihat Tabel 2).Tabel 2.Kalkulasi Biaya Pemagangan di JepangNoKomponenSumber Dana dan besarnya danaPesertaSuruga MiyagawaPemerintah Provinsi DIY1.Medical Check UpRp 480.000,00--2.PasporRp 500.000,00--3.Visa-Rp 250.000,00-4.Pelatihan PemaganganRp 1.400.000,00Rp 1.000.000,00-5.Uang saku--Rp 400.000,006.Transport Yogya JakartaTransport Jakarta - TokyoDitanggung MiyagawaDitanggung MiyagawaJumlahRp 2.380.000,00Rp 1.250.000,00 plus transportRp 400.000,00Sumber: Disnakertrans Provinsi D.I. Yogyakarta, 2004Setelah peserta dinyatakan lulus di Yogya, mereka harus mengikuti pembekalan tahap kedua di Lembang, Bandung selama 3 bulan. Pada dasarnya, materi pembekalan yang diberikan sama, yaitu bahasa Jepang, seluk-beluk kehidupan di Jepang dan latihan disiplin serta kesehatan fisik mental agar tetap dalam kondisi prima untuk mengikuti proses pemagangan di Jepang.Satu bulan sebelum pembekalan berakhir atau sebelum berangkat ke Jepang, akan dijelaskan tentang pekerjaan yang akan dilakukan. Namun demikian, sebagian besar responden mengatakan pekerjaan itu tidak cocok dengan yang telah diberitahukan sebelumnya, bahkan tidak cocok atau tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan/keterampilan yang dimiliki.Pemagangan dan PermasalahannyaAda beberapa yayasan yang bekerja sama dengan Depnakertrans R.I pada tingkat pusat dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (tingkat provinsi) dalam penyelenggaraan program pemagangan ke Jepang. Yayasan tersebut adalah IMM Japan, Suruga Miyagawa Company Japan, dan Putra Indonesia sebagai yayasan dari Indonesia. Dua yayasan dari Jepang menyerahkan semua proses dalam program pemagangan kepada Dinas Tenaga Kerja sejak dari penyebaran informasi, proses rekrutmen, seleksi, pelatihan, sampai pada pemberangkatan. Namun program pemagangan yang dilakukan oleh yayasan dari Indonesia hanya menyerahkan proses rekrutmen kepada Dinas tenaga Kerja, sedangkan proses lainnya dilakukan sendiri oleh yayasan yang bersangkutan.Program pemagangan dari Suruga Miyagawa dimulai pada tahun 2004 yang diperuntukkan bagi calon pemagang, baik laki-laki maupun perempuan. Hal-hal yang berkaitan dengan Suruga Miyagawa tidak termasuk dalam bahasan ini karena penelitian ini memfokuskan kepada pekerja purna magang. Oleh karena itu, tim peneliti berusaha menjaring pekerja purna magang yang sudah lepas kontrak (program tahun 2001). Mereka semuanya adalah laki-laki dan dari IMM Japan. Memang program pemagangan, pada awalnya, dikhususkan untuk calon pekerja laki-laki.Program pemagangan oleh IMM Japan dilaksanakan atas dasar:1.Nota Kesepakatan Kerja sama antara Departemen Tenaga Kerja R.I. dengan The Association International Manpower Development of Medium and Small Enterprises Japan (IMM Japan);2.Memorandum of Understanding The Ministry of Manpower at the Republik of Indonesia (MOM) and The Association for International Manpower Development of Medium and Small Enterprises Japan (IMM Japan).Keberadaan program pemagangan tenaga kerja ini sebenarnya baik, selain dapat mengurangi penganggur yang tidak sedikit jumlahnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, juga dapat memberikan keterampilan kerja bagi angkatan kerja dari Indonesia pada umumnya dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya. Diharapkan bahwa setelah purna magang, keterampilan yang mereka peroleh dapat dimanfaatkan dalam pembangunan khususnya di daerah asal mereka. Namun bagaimana sebenarnya yang terjadi?Sesuai dengan informasi yang diterima pada saat pembekalan bahwa sesampainya di salah satu perusahaan Jepang, pemagang masih di training selama satu bulan. Penilaian diberikan setelah satu bulan dilatih dan bekerja selama satu tahun. Setelah itu, diadakan ujian dengan hasil akhir lolos atau tidak. Pemagang yang lolos memperoleh sertifikat dari perusahaan yang bersangkutan kemudian bekerja sampai kontrak habis (tiga tahun) dan bagi yang tidak lolos, mereka akan putus kontrak, dan dapat segera pulang ke kampung halaman. Hasil FGD memberikan fakta tentang magang di Jepang selama satu bulan atau tiga tahun?. Pada umumnya, yang dialami oleh pemagang tidak seperti tersebut di atas. Magang atau dalam bahasa Jepangnya adalah Kenabusai tidak pernah dialami oleh pekerja purna magang. Pihak manajemen perusahaan hanya memberikan instruksi dengan menggunakan bahasa Jepang yang berkaitan dengan pekerjaan dan memberikan penilaian setelah satu bulan. Mereka harus belajar sendiri dari senior-senior yang sudah ada di sana. Mereka sama sekali tidak memperoleh buku-buku panduan.Sebagai ilustrasi, berikut adalah ungkapan dari pekerja purna magang, yakni dua komentar dari peserta FGD tentang tidak sesuainya istilah magang (pelatihan). sbb:1.Unine trening (katanya training), tapi kok sudah kayak karyawan biasa, tidak ada yang membimbing (Hartono, 28 Agustus 2004).2.Kan kita di sana training sehingga gajinya ya gaji training, tetapi kok kerjanya justru banyak lemburnya (Agus, 28 Agustus 2004).Masih banyak komentar senada mengenai persepsi magang. Berdasarkan pengalaman dan persepsi para pekerja purna magang, sebenarnya penggunaan istilah program pemagangan tenaga kerja tidak tepat.. Memang sepertinya ada informasi yang tidak transparan. Namun demikian, selama ini program berjalan terus dan jumlah peserta program (peminat) juga tidak sedikit. Hal ini karena tampaknya dari pihak pekerja meskipun dirasakan berat, mereka puas dengan hasil yang diperoleh, baik finansial maupun pengalaman, dan dirasakan lebih baik daripada menganggur di daerah asal.Selama magang atau bekerja di Jepang, masing-masing pekerja purna magang mempunyai pengalaman menarik yang berbeda antara pekerja satu dengan lainnya. Sebelum membahas mengenai pengalaman kerja, ada baiknya dibahas tentang masalah jenis pekerjaan yang digeluti serta kesesuaian antara pekerjaan yang diterima dengan keinginan, pendidikan, dan pelatihan. Jenis pekerjaan yang ditawarkan untuk calon program pemagangan sebenarnya banyak sekali. Menurut brosur Depnaker-trans RI-IMM, jumlahnya sampai 59 jenis pekerjaan. Informasi mengenai jenis pekerjaan yang akan dilakukan untuk para calon pemagang di Jepang diberikan satu bulan sebelum mereka diberangkatkan berdasarkan pilihan para calon pemagang. Dengan demikian mereka berangkat sudah dalam keadaan mengetahui pekerjaan yang akan digeluti dalam program pemagangan di Jepang. Namun demikian, setelah sampai di perusahaan yang menerima para calon pemagang, yang mereka temui tidak sesuai dengan keinginan mereka. Para calon pemagang dari Daerah Istimewa Yogyakarta tersebar di beberapa perusahan dan berbagai jenis pekerjaan, yakni pengolahan plat, plastik, beton, bagian bangunan, permesinan, perlistrikkan, dan perakitan. Hampir 70 persen dari mereka menyatakan bahwa pekerjaan yang diterima tidaklah sesuai dengan keinginan. Menurut mereka, hal itu karena pada umumnya, diperusahaan yang menerima mereka, tidak ada jenis pekerjaan yang diinginkan atau ada jenis pekerjaan pilihan calon pemagang, namun tidak ada lowongan untuk itu. Oleh karena itu, mereka diberi pekerjaan lainnya yang memerlukan tenaga kerja baru. Ini merupakan kekecewaan dalam hal pekerjaan yang dialami oleh pekerja purna magang. Selain hal tersebut, pekerjaan sebagai latihan kerja mereka di Jepang bila dikaitkan dengan pelatihan sebelum mereka diberangkatkan tidak jauh berbeda dengan penjelasan di atas. Sekitar 78 persen menyatakan bahwa pelatihan tidak sesuai atau tidak mendukung pekerjaan di sana. Hal ini disebabkan oleh pelatihan, seperti telah diuraikan di depan, yang diadakan sebelum berangkat adalah khusus mengenai bahasa dan kehidupan/kebudayaan Jepang, tidak ada sama sekali kaitannya dengan hal pekerjaan yang dilakukan. Akan berbeda bila pekerjaan dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki para pekerja purna magang. Persentase yang menjawab bahwa pekerjaan yang dilakukan tidak cocok dengan pendidikan mereka tidak setinggi sebelumnya. Sekitar 44 persen menyatakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan di sana sesuai dengan pendidikan mereka dan 56 persen yang menyatakan tidak sesuai. Mereka yang menyatakan sesuai adalah mereka yang berpendidikan STM kerana jurusannya sesuai dengan jenis pekerjaannya, misalnya STM jurusan mesin memperoleh jenis pekerjaan di bagian permesinan. Satu hal yang perlu dicatat adalah banyak yang mengalami ketidakcocokan antara pekerjaan yang harus dilakukan dengan keinginan dan tingkat pendidikan mereka. Mau tidak mau mereka harus tetap melaksanakan pekerjaan yang diberikan kalau masih ingin bekerja sampai kontrak habis atau tiga tahun.Satu hal menyedihkan yang perlu dicatat di sini adalah pekerjaan yang harus mereka lakukan selama magang atau bekerja dan sarana kerja yang digunakan. Memang nasib baik atau buruk mengikuti mereka masing-masing. Bagi mereka yang bernasib baik, walaupun mungkin tidak sesuai dengan keinginan dan pendidikan, juga pekerjaan yang harus dilakukan selain tidak terlalu berat, bos perusahaan baik. Sebaliknya, bagi mereka yang bernasib buruk, pekerjaan yang mereka jalani tidak sesuai dengan keinginan, terlalu berat, dan risikonya pun tinggi. Ada seorang pekerja purna magang yang bekerja di bagian pengepresan (karet untuk kendaraan), pekerjaan semua dilakukan secara tradisional (tidak dengan mesin). Bahan-bahan yang harus dibakar/dimasak dimasukkan ke pemanas yang bersuhu sampai 180 derajat dengan tangan pekerja yang tanpa pelindung sehingga sering tangan pekerja yang bersangkutan kena pemanas atau terbakar. Seorang pekerja purna magang yang bernasib buruk menyatakan bahwa salah satu perusahaan (pengecoran) tidak memberikan perlakuan yang manusiawi. Mereka mendapat pekerjaan yang berat, padahal gaji/upah tidak lancar diberikan. Para pekerja diperlakukan sewenang-wenang. Itulah contoh kasus dari pengakuan beberapa pekerja purna magang yang nasibnya tidak menguntungkan. Mereka yang bernasib tidak baik ini apabila dilihat secara absolut, memang tidak banyak jumlahnya, namun secara proporsional tercatat sekitar 20 persen (Hasil wawancara dan FGD).Terlepas dari nasib baik dan buruk sewaktu magang, pada akhir masa magang, semua pekerja purna magang bernasib sama, yakni membawa hasil jerih payah selama tiga tahun yang besarnya minimal 600 ribu yen atau sekitar 50 sampai 60 juta rupiah. Program pemagangan ditetapkan untuk jangka tiga tahun. Dengan demikian, selama tiga tahun tersebut para pekerja magang harus menerima dan melakukan pekerjaan apa saja yang telah ditugaskan kepada mereka dengan disiplin. Pada awalnya, memang mereka merasa sangat berat dalam melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari, apalagi bagi mereka yang berpendidikan tinggi dan/atau yang merasa tidak cocok dengan keinginannya. Namun lama kelamaan rasa berat dan terpaksa itu tidak lagi mereka rasakan. Menurut mereka, bila dirasakan, justru mereka tidak bisa bekerja apa-apa dan sakit hati. Sesuai tujuan dan niat awal dari keberangkatan mereka ke Jepang untuk magang atau bekerja, maka dalam kondisi seberat apapun, pada umumnya, mereka berusaha disiplin dan dapat bekerja sebaik mungkin sesuai dengan perintah-perintah atau arahan-arahan yang diberikan dari pihak perusahaan. Berkaitan dengan situasi dan kondisi pekerja magang yang tidak sama, perlu diinformasikan pula bahwa ada dari mereka yang tidak tahan dan tidak puas dengan pekerjaan yang harus dilakukan di perusahaan yang bersangkutan. Walaupun tidak sebanyak mereka yang tetap menerima pekerjaan yang ditawarkan, hal ini perlu pula dibahas untuk melengkapi laporan tentang program pemagangan ini. Tim peneliti menerima informasi dari Dinas Tenaga Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta yang memperoleh surat pemberitahuan tentang peserta yang melarikan diri dari program pemagangan. Surat tersebut berasal dari Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tertanggal antara November 2003 hingga Maret 2004.Dalam waktu kurang lebih lima bulan, tercatat ada 26 pekerja dari beberapa provinsi yang melarikan diri dan sembilan di antaranya berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam surat tersebut lengkap tertulis identitas pekerja, nama perusahaan, jenis kerja, tanggal melarikan diri, serta penjelasan alasan mereka melarikan diri. Akan tetapi, pada umumnya, tidak diketahui secara jelas alasan mereka meninggalkan perusahaan dalam arti melarikan diri. Namun, berdasarkan informasi dari teman-teman sekelompok pekerja yang melarikan diri, sebelum pergi meninggalkan perusahaan, mereka pernah berbicara akan mencari pekerjaan lain, mencari gaji (uang) yang lebih banyak, dan tidak kuat bekerja di perusahaan tersebut. Ada dua kondisi pekerja magang. Pertama, pekerja magang yang selesai kontrak, yakni pekerja yang telah bekerja selama tiga tahun dan kedua, pekerja magang yang kontraknya terpaksa selesai, yakni pekerja yang dipulangkan perusahaan dan melarikan diri. Pekerja kelompok pertama tidak mengalami masalah karena mereka dapat pulang dengan tenang di samping membawa hasil yang menurut mereka cukup banyak dan tidak mungkin mereka peroleh di negara sendiri dalam jangka waktu yang sama. Bagi kelompok kedua, mereka dipulangkan dengan alasan tidak dapat bekerja karena tidak dapat menerima instruksi (menurut penilaian dari pihak perusahaan) atau karena melanggar peraturan. Sementara itu, bagi pekerja yang melarikan diri, apabila mereka dapat kembali ke perusahaan meskipun tidak boleh bekerja lagi di perusahaan bersangkutan, biaya kembali ke daerah asal masih tetap ditanggung oleh perusahaan. Namun apabila kelompok kedua ini tidak dapat ditemukan atau tidak kembali ke perusahaan bersangkutan, mereka akan menjadi tenaga kerja ilegal yang sangat riskan bagi keamanan dirinya. Hasil FGD yang dilakukan oleh tim peneliti banyak memberikan informasi tentang alasan pelarian diri para pekerja ini. Beberapa partisipan menyebutkan bahwa larinya pekerja magang tersebut, pada umumnya, karena pekerja tidak kuat bekerja di perusahaan dengan pekerjaan yang begitu berat, terlebih lagi apabila pekerjaannya di lapangan yang kondisinya panas atau dingin. Selain hal itu, terkadang pekerja magang mendapat iming-iming gaji yang lebih tinggi dari temannya yang sudah lama di Jepang. Hampir seluruh pekerja purna magang mengambil keputusan untuk berangkat ke Jepang dengan tujuan serta harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik, dari sisi materi dan sisi keterampilan. Memang bila dilihat dari kontrak kerja yang berkaitan dengan masalah upah/gaji yang akan diterima jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan upah/gaji di daerah asal. Masing-masing pekerja akan menerima upah/gaji bersih yang berbeda pada tahun pertama, kedua, dan ketiga, yakni 80 ribu yen, 90 ribu yen, dan 100 ribu yen. Kemudian setelah kontrak selesai, menjelang pekerja purna magang pulang, mereka diberikan 600 ribu yenPada waktu itu, 1 yen = Rp 80,00. yang disebutkan bonus sebagai modal.Tidak ada masalah yang dihadapi berkaitan dengan pemberian upah/gaji. Pada umumnya, pemberian upah/gaji berdasarkan ketentuan lancar. Semua pekerja purna magang minimal menerima upah/gaji seperti yang telah ditentukan. Sementara itu, bagi pekerja purna magang yang nasibnya baik atau beruntung, mereka bisa menerima upah/gaji lebih daripada yang telah ditentukan tersebut. Memang ada beberapa perusahaan yang memberikan upah/gaji kepada mereka lebih dari ketentuan, yakni antara 95 ribu135 ribu yen untuk tahun kedua dan antara 110-150 untuk tahun ketiga. Pemberian kelebihan gaji ini dilakukan pada tahun kedua. Hal ini masuk akal sebab pada tahun pertama, selain mereka masih dalam latihan, juga pihak perusahaan belum mengetahui kualitas pekerja itu, termasuk rajin, disiplin, kerjanya baik atau tidak. Hak selain upah/gaji yang seharusnya diterima oleh pekerja purna magang adalah uang lembur dan kesejahteraan lain, misalnya asuransi, bonus tahunan, check up kesehatan, dan hak cuti. Berdasarkan hasil FGD dapat diketahui bahwa banyak hak pekerja purna magang yang tidak terpenuhi. Mengenai asuransi, ada permainan dalam angka nominal dari masing-masing perusahaan. Begitu juga dengan peraturan tentang bonus tahunan. Bonus ini diberikan dua kali dalam satu tahun yang berbeda dengan bonus untuk pekerja asal Jepang yang diberikan tiga kali setahun. Namun dalam kenyataan bonus tersebut tidak diberikan. Untuk jumlahnya, tim peneliti tidak dapat mengejar berapa jumlahnya. Demikian pula masalah check up kesehatan yang seharusnya dilakukan setiap bulan bagi pekerja, namun selama tiga tahun tidak pernah dilakukan check kesehatan tersebut.Hal menarik lain dapat diungkapkan di sini adalah masalah lembur dan hak cuti. Seperti pada umumnya perusahaan atau lembaga yang selalu memberikan hak cuti kepada karyawan/pegawainya, demikian pula dengan perusahaan-perusahaan di Jepang. Berdasarkan hasil wawancara dengan pekerja purna magang, hak cuti ada, tetapi tidak begitu mereka perhatikan. Pihak perusahaan memberikan hak cuti selama 11 hari setiap tahun. Namun implementasinya tidak sama antara perusahaan yang satu dengan lainnya. Ada beberapa perusahaan yang sama sekali tidak memberikan cuti tersebut dan ada yang memberikan hanya 50 persen saja. Selain itu, ada perusahaan yang memberikan hak cuti tersebut 100 persen (11 hari), namun dengan syarat tidak boleh digunakan untuk pulang dan jika pekerja sakit dan tidak masuk kerja, ini dihitung sebagai cuti. Untuk masalah lembur, pihak perusahaan memberikan ketentuan lembur yang pada umumnya tiga atau empat kali dalam seminggu dan selama dua jam dalam satu kali lembur. Ditentukan pula batasan maksimal lembur dalam satu bulan, yakni 40 jam, sementara upah/gaji ditentukan per jamnya antara 600-1.000 yen. Namun menurut pengakuan pekerja purna magang dari hasil wawancara maupun FGD, mereka tidak semua mendapat kerja lembur karena tidak semua pekerjaan harus dikerjakan secara lembur. Perlu tidaknya lembur tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing perusahaan. Pada akhir bahasan ini, akan coba dijawab pertanyaan berikut ini. Berapakah pendapatan mereka yang selama tiga tahun mencurahkan tenaganya mengikuti program pemagangan di negara matahari terbit itu? Dengan beberapa asumsi, tim peneliti mencoba memperkirakan pendapatan mereka berdasarkan ketentuan yang telah diinformasikan. Hal ini dilakukan karena tim peneliti tidak dapat menangkap jawaban pihak pekerja purna magang tentang pendapatan secara keseluruhan yang diperoleh selama tiga tahun. Asumsi tersebut adalah sebagai berikut.1.Kurs nilai rupiah terhadap yen adalah satu yen sama dengan Rp 80,00.2.Penerimaan gaji tahun pertama semua sama, sementara untuk tahun kedua, tergantung pada perusahaan seperti telah dijelaskan di depan. Asumsi yang dibuat untuk menghitung gaji pada tahun kedua adalah penerimaan rata-rata pada tahun kedua yang berkisar antara 90-135 ribu yen per bulan.3.Demikian pula perkiraan gaji yang diterima pekerja pada tahun ketiga. Penerimaan rata-rata tahun ketiga berkisar antara 100-150 ribu yen per bulan.4.Asumsi perkiraan lembur, per minggu 3 kali lembur selama dua tahun dengan uang lembur rata-rata 19.800 yen per bulan.Dengan asumsi tersebut, dapatlah diperkirakan pendapatan dari seorang pekerja purna magang selama tiga tahun di Jepang. Pendapatan berikut belum dikurangi pengeluaran untuk kebutuhan hidup mereka di sana dan bila ada pengiriman ke daerah asal. Berikut adalah perkiraan pendapatannya.Gaji tahun I= 80.000 X 12 X Rp 80,00= Rp76.800.000,00Gaji tahun II= 106.000 X 12 X Rp 80,00= Rp101.760.000,00Gaji tahun III= 125.000 X 12 X Rp 80,00= Rp120.000.000,00Lembur= 1.650 X 3 X 4 X 24 X Rp80,00= Rp38.016.000,00Bonus akhir= 600.000 X Rp 80,00= Rp48.000.000,00Jumlah= Rp384.576.000,00Pemberdayaan Pekerja Magang dalam PembangunanSeperti tersebut dalam dokumen, tujuan pemagangan di Jepang adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan teknik peserta magang di perusahaan kecil dan menengah di Jepang sehingga setelah kembali ke Indonesia, mereka mampu berperan aktif dalam membangun Indonesia. Di samping itu, program pemagangan bertujuan untuk membentuk sikap dan etos kerja agar lebih produktif dalam rangka perluasan kerja/kesempatan kerja serta untuk kesejahteraan keluarga dan peserta magang. Rumusan tujuan pemagangan ini sesuai dengan salah satu teori pengembangan kualitas sumber daya manusia. Menurut teori Human Capital, kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui (1) peningkatan pendidikan formal atau pelatihan; (2) peningkatan kesehatan dan gizi, serta (3) proses migrasi (Simanjuntak, 1985).Pekerja magang yang diteliti di sini adalah mereka yang berangkat pada tahun 2001 dan kembali di tahun 2004. Namun pada saat penelitian ini dilakukan di tahun 2004, belum ada dari mereka yang mampu memanfaatkan pengalaman magangnya di Jepang untuk pekerjaan di Indonesia. Mungkin sekali karena jarak waktu mereka kembali dengan saat penelitian terlalu pendek sehingga mereka belum dapat melamar pekerjaan. Namun demikian, peserta yang kembali sebelum tahun 2004 umumnya menyatakan belum mendengar siapa-siapa saja yang telah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pengalaman magang di jepang. Konsep menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan teknik seperti dirumuskan dalam dokumen tujuan pemagangan tersebut tampaknya sulit dipenuhi. Hal ini disebabkan oleh informasi peserta magang tentang jenis pekerjaan yang mereka lakukan lebih bersifat pekerjaan kasar (seperti telah diuraikan sebelumnya yang sering dikenal dengan istilah 3D (dirty, dangerous, dan difficult)) yang kurang diminati oleh pekerja lokal. Umumnya sifat pekerjaan 3 D ini ditemui pada pekerja migran dengan tingkat pendidikan yang rendah. Banyak penelitian menemukan gejala ini, salah satu di antaranya adalah kajian Hatmadji (2004). Sifat pekerjaan 3 D ini ternyata ditemukan juga pada peserta magang dalam penelitian ini yang tingkat pendidikannya adalah menengah atas ke atas, seperti diketahui persyaratan peserta magang ke jepang minimal berpendidikan sekolah menengah atas. Di samping itu, untuk jenis pekerjaan yang sama, pekerja magang dipaksa atau terpaksa menerima upah yang lebih rendah. Kalau mereka tidak mau menerima, mereka diancam akan dipulangkan. Ancaman ini yang paling menakutkan bagi peserta magang. Setelah mereka kembali ke daerah asal, mereka tidak tahu ke mana harus melamar pekerjaan karena tidak ada atau tidak diketahui adanya informasi kebutuhan pekerja. Pekerjaan yang mereka lakukan saat ini bervariasi, mulai dari pekerjaan mereka sebelum berangkat ke Jepang (bengkel reparasi sepeda motor, televisi dan radio), membuka warung klontong, toko alat-alat jahit menjahit sampai mencoba melakukan usaha peternakan ayam dan membuka kursus bahasa Jepang. Semua pekerjaan ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan magang di Jepang. Pada dasarnya, mereka memanfaatkan pendapatan dan bonus yang mereka dapat dari proses pemagangan. Beberapa dari mereka mengatakan akan menggunakan hasil kerja mereka untuk memperbaiki rumah orang tuanya, membangun rumah baru, membeli tanah, dan membeli sepeda motor. Mereka umumnya takut kalau sampai uang hasil pemagangan habis tanpa bekas mengingat kebutuhan keluarga yang bermacam-macam. Pemanfaatan yang lain adalah untuk pengembalian pinjaman yang mereka gunakan saat pemberangkatan. Pinjaman ini umumnya lunas pada tahun pertama. Mereka justru balik bertanya mengapa pemerintah/Disnakertrans tidak dapat menyalurkan atau tidak dapat memberdayakan mereka agar tujuan pemagangan ini dapat tercapai.Dalam hal pemberdayaan masyarakat, sebenarnya Indonesia telah berhasil, yaitu pada saat kebijakan atau program Inpres Desa Tertinggal dilaksanakan. Konsep pemberdayaan harus mengandung unsur-unsur kepemihakan, pengorganisasian, dan pendampingan (Kartasasmita, 1997). Sebenarnya pemberdayaan ini tidak harus dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi lembaga swadaya masyarakat dapat mengambil bagian. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan pendapatan dari peserta magang tidak hanya untuk tujuan konsumtif, tetapi harus diarahkan untuk tujuan-tujuan ekonomi produktif di tingkat lokal sehingga tujuan magang ini dapat tercapai.Belum adanya unsur-unsur kepemihakan, pengorganisasian, dan pendampingan tersebut membuat peserta magang was-was atau khawatir akan keberhasilan atau kelangsungan usahanya mengingat mereka belum mempunyai pengalaman pengelolaan usaha ekonomi produktif. Namun demikian, perlu dicatat bahwa peserta magang angkatan tahun 2001 ini telah berhasil mendirikan semacam perkumpulan/organisasi/paguyuban sebagai wadah berkomunikasi untuk saling membagi pengalaman dalam mengembangkan usahanya. Dinas terkait, tidak hanya Disnakertrans, dapat memanfaatkan wadah ini dalam rangka pemberdayaan tersebut.Salah satu usaha yang dilakukan oleh peserta magang yang tampaknya mempunyai prospek yang baik adalah membuka kursus bahasa Jepang. Usaha ini dilaksanakan oleh peserta magang dari Kota Yogyakarta dengan latar belakang pendidikan sarjana dari Universitas Negeri Yogyakarta. Mereka membuka kursus dengan teman-teman S1 yang utamanya melayani mereka yang akan mengikuti program ke Jepang. Peluang ini dilihat saat yang bersangkutan mengalami pembekalan, baik di Yogja maupun di Bandung. Kegagalan peserta karena bahasa Jepang menjadi inspirasi mendirikan kursus.Aspek positif yang dirasakan dari proses pemagangan adalah masalah disiplin kerja dan etos kerja yang tinggi. Menurut mereka, hal ini sulit dilaksanakan di Indonesia karena situasinya tidak atau kurang mendukung. Mereka juga khawatir kalau terlalu lama tidak diberdayakan, semangat kerja mereka akan kembali seperti semula.Kesimpulan dan SaranMelalui serangkaian analisis terhadap hasil studi empiris yang dilakukan, berikut disampaikan beberapa kesimpulan.1.Mekanisme proses pemagangan belum sepenuhnya transparan, terutama yang berkaitan dengan informasi yang belum merata atau meluas, jumlah biaya dan rinciannya, kelulusan atau ketidaklulusan dalam proses pembekalan, baik yang dilakukan di Yogya maupun di Bandung; kejelasan isi kontrak kerja, dan hak serta kewajiban peserta magang. Posisi tawar peserta magang berada pada kondisi yang rendah.2.Tujuan yang intinya adalah alih teknologi atau transfer teknologi tidak tercapai karena, sesuai dengan dokumen, mereka bekerja di perusahaan kecil dan menengah yang pekerjaannya mempunyai ciri atau sifat 3D (dirty, dangerous, dan difficult). Apabila dilihat dari tingkat pendidikan peserta magang yang sekolah menengah atas ke atas (sesuai dengan persyaratan), terjadi gejala missmatch (ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan pendidikan, umumnya pendidikan lebih tinggi daripada tingkatan pekerjaan). Sifat pekerjaan 3D umumnya dijumpai pada pekerja dengan tingkat pendidikan rendah.3.Tujuan yang berkaitan dengan dapat berperan aktifnya pekerja purna magang dalam membangun Indonesia khususnya daerah asal jauh dari tercapai. Hal ini disebabkan oleh jaminan penempatan setelah kembali mengikuti program magang tidak ada sama sekali. Pekerjaan yang mereka lakukan setelah kembali sifatnya masih coba-coba. Tanpa ada bimbingan, rasa khawatir terhadap kegagalan usaha yang mereka lakukan dengan modal yang diperoleh saat pemagangan selalu menghantui.Dari aspek kesejahteraan keluarga dan peserta magang selama mereka masih dapat memanfaatkan hasil magang dapat dikatakan tercapai meskipun sifatnya semu atau sementara. Hal ini disebabkan oleh apa yang mereka lakukan sifatnya masih coba-coba. Tanpa adanya kepemihakan, pengorganisasian, dan pendampingan (unsur-unsur konsep pemberdayaan masyarakat) dari pemerintah atau Disnakertrans sebagai pencetus program magang, maka yang mereka lakukan saat ini kemungkinan besar akan mengalami kegagalan.4.Hal positif yang dirasakan oleh pekerja purna magang adalah disiplin kerja dan etos kerja yang tinggi. Mereka mengakui faktor ini yang menyebabkan keberhasilan Jepang dalam berbagai pembangunan. Kondisi ini belum kondusif bila dilaksanakan di Indonesia.Sebagai respon dari beberapa kesimpulan di atas, beberapa saran berikut patut diperhitungkan agar tujuan dan/atau pertimbangan diadakannya program magang ini lebih berhasil. 1.Mekanisme proses pemagangan, mulai dari akses terhadap informasi, besar biaya, proses pembekalan, dan kontrak kerja agar dijelaskan kepada calon peserta secara lebih transparan. Dengan demikian, program magang yang direncanakan secara khusus ini hasilnya berbeda dan lebih unggul dibandingkan dengan program ketenagakerjaan yang lain, seperti program TKI atau TKW.2.Pemerintah perlu berperan aktif dalam proses pemagangan, terutama yang berhubungan dengan negara tujuan (Jepang) agar posisi tawar pekerja magang lebih baik. Dengan adanya peran aktif ini, mereka tidak menerima pekerjaan yang sifatnya 3D. Sifat ini umumnya terjadi pada pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah.3.Pemerintah harus mengambil bagian dalam memberdayakan peserta magang yang telah kembali. Inti pemberdayaan ini adalah agar pendapatan yang diperoleh tidak habis dikonsumsi, tetapi dapat dipergunakan dan dikembangkan untuk tujuan ekonomi produktif. Di samping pemerintah, lembaga sosial masyarakat dapat berperan sebagai pendamping mengingat kelompok atau angkatan pemberangkatan tahun 2001 telah memiliki wadah/organisasi.4.Pelaksanaan program pemberdayaan ini perlu diupayakan dengan semangat, disiplin, dan etos kerja yang tinggi agar lebih memantapkan tujuan peningkatan kesejahteraan keluarga maupun peserta magang.5. Program pemagangan tenaga kerja melalui konsep G to G nampaknya memang cukup menjanjikan. Para pemagang selain mendapatkan gaji yang tinggi, mereka mempunyai akses untuk transfer teknologi tinggi dan kemungkinan memperoleh bantuan modal ketika kembali ke Indonesia. Nilai manfaat dari program pemagangan yang ditekankan oleh pemerintah adalah peran aktif pekerja magang dalam pembangunan daerah sekembalinya mereka dari luar negeri. Hal ini diharapkan terwujud melalui sikap dan etos kerja produktif dan penciptaan peluang kerja. Namun demikian, para pemagang yang banyak mempunyai nilai lebih, nampaknya belum sepenuhnya disikapi oleh pemerintah secara arif, misalnya dalam hal penyaluran ke perusahaan/ industri yang membutuhkan, juga kaitannya dengan pemanfaatan dana dan pengetahuan yang mereka miliki. Jika pemerintah tidak secara serius melalukan intervensi terhadap para pekerja magang yang telah kembali, boleh jadi program pemagangan tidak lebih seperti program pengiriman TKI yang dilakukan oleh PJTKI dan yang lainnya. DAFTAR PUSTAKAAmstrong, Hand J. Taylor, 1985. Regional Economics and Policy. Oxford: Philip Allan Ltd.Billsbarraw, R.E. 1984. The needs for design of Community-Level Questioner dalam R.E. Billsborow, A.S. Oberei dan G. Standing (eds), Migration Survey in Law Income Countries: Guidline for survey and questioner design. London Croom Helm. Hlm 1-11BPS. 2002. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2001. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.------------, 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku I: Provinsi. Jakarta.Castello, M.A, T.R. Leinbach, and Ulack R. 1987. Mobility and Employment in Urban Southeast Asia. Boulder C.O: Westview Press.Effendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.Findly, A. 1987. The Role of International Labour Migration in the Transformation of an Economy: The Case of the Yemen Republic. International Migration for Employment. Working Paper. Geneva: ILO.Hatmadji, Sri Harijati. 2004. Profil Tenaga Kerja Migran Indonesia: Beberapa Karakteristik dan Permasalahannya dalam Warta Demografi Tahun ke 34, No. 1 Jakarta: Lembaga Demografi Tahun Ke 34, No. 1. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI. Hlm 6-16.Hugo, Graeme J. 1992. Indonesian Labour Migration to Malaysia: Trends and Policy Implication. Paper Presented to International Colloqium on Migration, Development and Gender in Southeast Asia. University of Malaysia. 28-31 Oktober.---------------, 1993. Indonesia Labour Migration to Malaysia: Trends and Policy Implication dalam South Asia Journal of Social Science. Vo. 21 No. 1.Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Power dan Empowerment: Sebuah telaah mengenai konsep pemberdayaan masyarakat dalam Budhy Tjahyadi, S. Soegijoko dan BS Kusliantoro (Penyunting) Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia: Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana. Hal. 169-185.Lee, Everett S. 1995. Suatu Teori Migrasi. Terjemahan Peter Hagul. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.Mantra, Ida Bagoes dan Marcelius Molo, 1986. Studi Mobilitas Sirkuler Keenam Kota Besar di Indonesia. Kerjasama Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Yogyakarta: PPK-UGM.Mitchell, J. Clayde. 1961. The causes of Labor Migration In Africa South of The Sahara. Abidjan: C.C.T.A.Naim, M. 1986. Mobilitas Penduduk di Sumatera Barat. Paper Seminar Penduduk dan Pembangunan. Jakarta 12-14 Oktober.Renard, Anchalee Singhanetra. 1985. Overeas Contract Labor: New Migration Path for Thai and Indonesian Workers. Singapore: Southeast Asian Studies Program.Simanjuntak, Payaman J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.Stahl, C.W. 1991. South-North Migration in the Asia-Pasific Region dalam International Organization for Migration Review. Vol. XXIX, No. 2.Stark, Oded. 1991. The Migration of Labor. Oxford: Basil Blackwell Ltd.Sutton, Constance R. 1987. The Caribbeanization of New York City and The Emergence of A Transnational Socio-culture System dalam Constance R. Sutton dan Elsa M. Chaney Caribbean Life in New York City: Socio-Cultural Dimention. New York: Center for Migration Studies of New York.Titus, M.J. 1978. Interregioal Migration in Indonesia as a reflection of Social and regional inequalities Yogyakarta: Population Studies Center.Todaro, Michael P. 1995. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.Tukiran, Endang Ediastuti, dan Sukamdi, 2000. Pemetaan Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta. Kerjasama Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja D.I. Yogyakarta dengan Pusat Penelitian Kependudukan UGM.Wood, C.H. 1982. Equilibrium and Historical-Structuralist Perspective on Migration dalam International Migration Review, 16 (2): 298-319.OTONOMI DAERAH DAN DISTRIBUSI PENDUDUK Makalah disampaikan dalam Pertemuan Penyusunan Kerja Sama Antar Daerah Dalam Rangka Penataan Persebaran Penduduk, di Hotel Jayakarta, Jln. Laksda Adisucipto Yogyakarta, Tanggal 11 September 2004. Oleh :Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A.PendahuluanTidak terasa, sudah hampir setengah dekade usia otonomi daerah, sejak dilaksanakannya mulai tanggal 1 Januari 2001. Berpedoman dengan dua buah undang-undang yakni undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang No. 29 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, siap tidak siap pemerintah daerah harus menerimanya. Reaksi pemerintah daerah yang sering muncul dalam memberikan sikap terhadap kedua undang-undang tersebut adalah ketidaksiapan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Adanya variasi sumber daya antardaerah membawa dampak pada diskursus tentang perimbangan kekuasaan, termasuk kewenangan dalam pengambilan keputusan, dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Nampaknya pemerintah daerah diperas habis-habisan untuk memikirkan bagaimana anggaran yang diperoleh dari pemerintah pusat dapat secara tepat dimanfaatkan. Hal lain yang cukup penting kadang terabaikan, sebagai contoh dampak dari otonomi daerah terhadap aspek kependudukan, seperti gerak dan mobilitas penduduk, fertilitas, mortalitas, pengembangan sumber daya manusia, ketenagakerjaan dan sebagainya belum secara intensif didiskusikan. Persoalan lain yang belum banyak disinggung oleh pemerintah daerah adalah kebijakan atau peraturan daerah yang berkaitan dengan aspek kependudukan. Persoalan-persoalan kependudukan tersebut yang seharusnya mulai dibicarakan seakan tertutupi isu perimbangan kekuasaan dan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berdasarkan kenyataan tersebut pemerintah daerah perlu mengaji kembali bagaimana pelaksanaan kebijakan kependudukan dalam era otonomi daerah.Menurut Prof. Dr Emil Salim (1999), ada tiga matra utama yang menjadi pangkal dari pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, otonomi daerah menyaratkan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat dalam pengambilan keputusan yang bersifat sektoral (government power sharing). Batasan terhadap kekuasaan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap perangkat pemerintahan seperti DPR daerah, dinas-dinas daerah dan kepala daerah sudah ditetapkan.Kedua, otonomi daerah menyaratkan perimbangan yang adil dan rasional dalam hal keuangan dan potensi sumber daya manusia antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (financial and manpower sharing). Adanya perimbangan yang adil dan rasional tersebut mengindikasikan keadilan dalam penyusunan anggaran. Anggaran tidak lagi dilihat dari aspek kuantitas, tetapi lebih kearah kualitas dan manfaat dari anggaran. Dalam kaitannya dengan perimbangan pengembangan potensi sumber daya manusia, potensi sumber daya manusia yang berkualitas tidak boleh terkumpul semua di pemerintah pusat, tetapi harus terdistribusi merata selaras dengan potensi ekonomis, yakni sumber daya alam yang dimiliki oleh pemerintah daerah . Ketiga, otonomi daerah menyaratkan munculnya perkembangan daerah sebagai satuan kebhinekaan negara (political and social cultural power sharing). Diharapkan tiap-tiap daerah akan memiliki keunikan tersendiri yang harus tetap dijaga dan diberi kedaulatan untuk melestarikan keunikan tersebut. Pelestarian terhadap keunikan masing-masing daerah diharapkan dapat menjadi nilai faedah (value advantage) daerah yang tidak hanya diterapkan untuk daerah propinsi dan daerah tingkat dua, tetapi juga otonomi pada tingkat desa. Berdasarkan pendapat dari Prof. Dr. Emil Salim, bahwa demi terwujudnya kelangsungan otonomi daerah yang baik, maka ketiga matra tersebut harus dilaksanakan secara terpadu dan tidak terlepas-lepas. Diskursus yang selalu memfokuskan pada aspek perimbangan kekuasaan dan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya sudah mulai ditinggalkan. Pemerintah daerah sudah harus memperhatikan matra yang kedua dan ketiga, yakni aspek man power sharing dan political and social cultural power sharing. Aspek penduduk (population) tidak boleh ditenggelamkan dalam wacana diskursus government power sharing dan financial sharing. Penduduk adalah aspek utama yang harus diperhatikan, mengingat kedudukannya sebagai obyek sekaligus subyek dari otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah ada beberapa persoalan kependudukan yang perlu mendapat perhatian, misalnya urbanisasi dalam kaitannya dengan mobilitas penduduk desa-kota, interaksi penduduk antar daerah dan dan antar pulau, analisis kualitas sumber daya manusia yang bervariasi antar daerah, pola mobilitas yang terjadi dan sebagainya. Isu kependudukan tersebut menjadi lebih menarik ketika dibenturkan dengan fakta sosial-demografis-politis, seperti heterogenitas etnis, agama, bahasa, luas wilayah, jumlah penduduk, potensi penduduk. Beberapa permasalahan kependudukan tersebut perlu disentuh, jika pemerintah tidak ingin menambah daftar kegagalan pembangunan di Indonesia. Mobilitas penduduk dalam arti gerak dan perpindahan penduduk secara geografis, secara khusus hendaknya perlu mendapat perhatian. Gerak dan jumlah penduduk di suatu daerah secara langsung akan berkaitan dengan proses pembangunan. Penduduk merupakan salah satu faktor produksi, yakni berupa tenaga kerja yang sangat berperan dalam proses perekonomian. Secara regional, penduduk mempunyai daya tawar di dalam pasar tenaga kerja. Adanya perbedaan kualitas penduduk antardaerah berikut pola mobilitas yang terjadi, pada tahap berikutnya akan menyebabkan variasi nilai tawar antardaerah. Untuk itu diperlukan sebuah mekanisme khusus atau kebijakan yang mengatur mobilitas penduduk, disesuaikan dengan karakteristik tiap-tiap daerah.Sampai saat ini mobilitas penduduk sebagai salah satu fenomena demografi, telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan tersebut dapat terlihat baik dalam bentuk mobilitas penduduk internal, yakni antardaerah di wilayah Republik Indonesia, maupun dalam bentuk mobilitas internasional, yakni gerak dan perpindahan penduduk ke luar negeri. Salah satu alasan utama yang menjadi sebab pesatnya perkembangan mobilitas penduduk di Indonesia adalah adanya transportation revolution, yaitu keberhasilan pembangunan di bidang transportasi. Sebagaimana temuan Hugo (1997), bahwa telah terjadi peningkatan akses terhadap sarana transportasi baik darat, laut dan udara. Rasio kendaraan bermotor terutama roda empat, pada tahun 1961 sebesar 1:447 orang, sedangkan tahun 1993 menjadi satu kendaraan melayani 55 orang. Penumpang yang menggunakan jalur laut, yakni dengan kapal feri, juga mengalami lonjakan dari 6.780.000 orang pada tahun 1968 menjadi 46.637.000 orang pada tahun 1993. Penduduk yang menggunakan pesawat terbang meningkat dari 382.285 orang pada tahun 1968 menjadi 3.746.075 orang pada tahun 1993.Selain adanya revolusi di bidang transportasi, laju perkembangan mobilitas penduduk juga dipengaruhi oleh teknologi informasi, utamanya informasi tentang kesempatan ekonomi di daerah lain. Keberadaan informasi tentang kesempatan ekonomi di daerah lain secara alamiah akan menimbulkan keinginan penduduk untuk berpindah sebagai upaya memperbaiki standar hidupnya. Mobilitas penduduk dan Pembangunan Daerah: Potensi dan Dampak Secara konseptual, mobilitas penduduk didefinisikan sebagai semua proses gerak penduduk yang melintasi batas wilayah dalam periode waktu tertentu. Terdapat dua dimensi yang terkandung dalam definisi tersebut, yakni dimensi waktu dan dimensi wilayah (geographical aspects). Berdasarkan dimensi waktunya, mobilitas penduduk dibagi lagi menjadi mobilitas penduduk permanen, ditandai dengan adanya niatan untuk menetap di daerah tujuan, dan mobilitas penduduk nonpermanen, ditandai dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Mobilitas penduduk nonpermanen atas dasar lamanya di daerah tujuan dibagi dua, yaitu mobilitas ulang alik atau harian dan mobilitas penduduk yang mondok/menginap atau mobilitas penduduk sirkuler (Mantra, et. Al,: 1999). Terutama mobilitas penduduk sirkuler, dengan adanya peningkatan sarana transportasi dan informasi, jangkauan mobilitas penduduk sirkuler semakin jauh dan waktu yang ditempuh semakin singkat. Pada jangka waktu panjang, mobilitas penduduk nonpermanen baik yang bersifat mondok/menginap maupun sirkuler akan banyak berpengaruh terhadap perkembangan fisik dan sosial daerah. Secara geografis (aspek wilayah), mobilitas penduduk dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk internal (dalam satu wilayah negara) dan mobilitas penduduk internasional (antar negara). Mobilitas penduduk geografis ini penting maknanya dalam pembangunan daerah. Mobilitas penduduk dan pembangunan daerah merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tanpa adanya mobilitas penduduk, pembangunan daerah tidak akan berjalan dengan baik. Begitu juga tidak akan terjadi penyebaran penduduk ke suatu daerah jika tidak ada kegiatan pembangunan.Secara teoritis, seseorang melakukan mobilitas disebabkan oleh adanya motivasi dan harapan tertentu. Ketimpangan perkembangan ekonomi antardaerah, secara rasional akan mendorong penduduk untuk melakukan mobilitas, dengan harapan di daerah baru akan memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik. Motif utama yang mendorong perilaku mobilitas adalah motif ekonomi, yakni kemungkinan kesempatan kerja dan harapan untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik (Rani & Fei, 1961; Todaro, 1979; Tirus, 1978; Mantra, 1985; Lee, 1995).Senada dengan alasan ekonomi, mobilitas penduduk juga dipandang sebagai suatu mekanisme untuk mempertahankan hidup (struggle to live mechanism), baik dalam aspek sistem sosial, psikologis, politik, ekonomi maupun budaya (Mabogunje, 1970; Wilkinson, 1973; De Jong, 1981; Broek, 1996). Namun demikian, meskipun fenomena mobilitas penduduk dapat dipandang sebagai suatu mekanisme strategi mempertahankan hidup, perbedaan alasan ekonomi, politik, sosial dan budaya akan menghasilkan bentuk dan pola mobilitas yang berlainan.Perpindahan penduduk yang dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi secara rasional telah diperhitungkan oleh pelakunya. Individu telah mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang dihasilkan oleh proses perpindahan sebelum memutuskan untuk berpindah. Dalam hal ini, individu melakukan perpindahan secara terencana dan sukarela (voluntary planned migration) bukan perpindahan yang terdesak (impelled) atau terpaksa (forced migration), seperti pengungsi (refugee) dan korban kerusuhan politik (Norris, Peterson, 1969; Kunz, 1973; Gunther, 1981). Bagi individu yang melakukan perpindahan secara terencana, keputusan untuk berpindah merupakan langkah untuk mendapatkan kesejahteraan yang optimal. Motivasi untuk melakukan mobilitas berdasarkan kaca mata ekonomi dapat dijelaskan juga melalui dual labor market theory (Piore, 1979). Dual labor market theory menjelaskan bahwa perpindahan penduduk terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja pada suatu masyarakat industri. Migrasi terjadi karena ada peluang kerja di daerah yang lebih maju, sebagai daerah yang membutuhkan tenaga kerja. Dalam hal ini, migrasi terjadi karena daya tarik daerah tujuan, bukan sekedar daya dorong (push factor) dari daerah asal. Ini berarti bahwa pembangunan ekonomi dalam arti pembangunan sektor industri modern akan menjadi penyebab terjadinya mobilitas penduduk. Salah satu fenomena mobilitas penduduk yang tidak boleh diabaikan dalam era otonomi daerah adalah gerak/perpindahan penduduk dari desa ke kota. Selain disebabkan oleh pertumbuhan alamiah dan reklasifikasi daerah, mobilitas penduduk dari desa ke kota juga merupakan penyebab pertumbuhan penduduk di kota. Menurut Mamas (2000), bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota memegang peranan yang signifikan terhadap pertumbuhan penduduk dan pembangunan perkotaan. Diperkirakan perpindahan penduduk dari desa ke kota tersebut menjadi faktor yang signifikan terhadap laju peningkatan angka urbanisasi di Indonesia, dibandingkan dengan pertumbuhan alamiah dan reklasifikasi daerah. Dalam istilah demografi, proses urbanisasi diartikan sebagai peningkatan proporsi penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (Chotib, 2000). Analisis dari data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan Supas 1995 menunjukkan bahwa peningkatan angka pertumbuhan penduduk perkotaan jauh lebih tinggi dari pada angka pertumbuhan penduduk secara nasional. Angka urbanisasi di Indonesia berdasarkan sensus penduduk 1980 adalah 22,3 persen, meningkat menjadi 30,9 persen pada sensus penduduk 1990. Selama periode sepuluh tahun, dapat diketahui bahwa angka pertumbuhan penduduk kota sebesar 5,4 persen pertahun. Angka tersebut jauh lebih besar dari angka pertumbuhan penduduk nasional, yakni 1,97 persen pertahun. Jika bukan dari pertumbuhan penduduk alami, lalu dari mana asalnya dominansi pertumbuhan penduduk kota tersebut, tentunya migrasi desa-kota, perpindahan penduduk antar kota dan reklasifikasi daerah adalah penjelas yang patut diperhitungkan.Secara spasial peningkatan angka urbanisasi telah terjadi di setiap propinsi, kecuali di Propinsi DKI Jakarta (tabel 1). Dalam kurun waktu 15 tahun sebagian besar propinsi di Indonesia telah mengalami peningkatan angka urbanisasi dua kali lipat. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat urbanisasi di Propinsi DI. Yogyakarta adalah nomor dua setelah Propinsi DKI Jakarta, yakni sebesar 58,05 persen pada tahun 1995, terjadi peningkatan hampir tiga kali lipat sejak tahun 1980 sebesar 22,08 menjadi 58,05 pada tahun 1995. Hal ini menunjukkan betapa tinggi laju tingkat urbanisasi di Propinsi DI. Yogyakarta, dalam arti, konsentrasi penduduk di daerah perkotaan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut juga dibuktikan dengan adanya angka migrasi neto yang selalu positif sejak tahun 1975 (Muhidin, 2002).Tabel 1. Tingkat Urbanisasi di Indonesia Th 1980, 1990 dan 1995PropinsiTingkat Urbanisasi198019901995DI. Aceh8,9415,8120,54Sumatra Utara25,4835,5041,09Sumatra Barat12,7220,2125,06Riau27,1831,7434,36Jambi12,6621,4727,16Sumatra Selatan27,3829,2830,31Bengkulu9,4420,3825,71Lampung12,4712,4515,71DKI Jakarta93,69100,00100,00Jawa Barat21,0234,5142,69Jawa Tengah18,7526,9931,90DI. Yogyakarta22,0844,4458,05Jawa Timur19,6127,4832,06Bali14,7126,4434,31NTB14,0817,2918,85NTT7,5111,4013,88Kalimantan Barat16,7819,9621,66Kalimantan Tengah10,3017,5822,47Kalimantan Selatan21,3727,0929,96Kalimantan Timur39,9548,8250,22Sulawesi Utara16,7722,8126,28Sulawesi Tengah8,9916,4421,87Sulawesi Selatan18,0924,1528,27Sulawesi tenggara9,3517,0322,38Maluku10,8619,0724,57Irian Jaya21,4324,1525,76Indonesia22,2930,3935,91Sumber: Chotib (1997)Setidaknya ada tiga hal penting yang menjadikan Propinsi DI. Yogyakarta adalah sebagai berikut: pertama, posisi strategis dalam hal pariwisata dan kebudayaan; kedua, cultural mixed dalam hal pendidikan; ketiga, faktor keamanan dan kenyamanan terutama untuk bisnis permukiman. Beberapa studi telah dilakukan di propinsi ini, betapa propinsi ini memungkinkan untuk berkembang secara pesat terutama dalam hal pendidikan dan wisata (Rohadian et.al, 2000; Sukamdi, 2001; Pitoyo, 1999). Eksistensi sektor pendidikan dan pariwisata sudah barang tentu akan diikuti oleh tumbuh suburnya bisnis properti, furniture, perumahan, perdagangan dan jasa-jasa. Kenyataan ini memberikan persoalan baru, terutama dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari konsentrasi penduduk di perkotaan. Munculnya beberapa permukiman liar akibat penggusuran atau sebab lain, merebaknya pekerja jalanan, keberadaan street vendors yang belum tertata dan permasalahan kepadatan lalu lintas, semua itu merupakan aspek penting yang sepatutnya ditangani secara lebih serius. Dalam hal ini, agaknya keberpihakan terhadap pembangunan perdesaan dan kota-kota kecil di daerah pinggiran untuk dapat memberikan fungsi ekonomis dan sebagai daerah penyangga (buffer zone) adalah salah satu alternatif pemecahan masalah. Selain itu, diperlukan suatu policy khusus yang secara komprehensif mampu mengatur laju distribusi penduduk ke perkotaan. Otonomi Daerah Dan Kebijakan Mobilitas PendudukKebijakan otonomi daerah yang dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah memberikan harapan sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola potensi sumber daya yang ada di tiap-tiap daerah. Kebijakan tersebut telah mengubah paradigma pembangunan yang sebelumnya bersifat top down menjadi bottom up. Kewenangan daerah yang lebih besar dalam era otonomi diperkirakan terkait dengan keberadaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di tiap-tiap daerah. Selain pemerintah daerah memperoleh kewenangan untuk mengatur pemerintahan sendiri, otonomi daerah diperkirakan juga akan melahirkan gap antardaerah, yang berujung pada persaingan. Adanya variasi sumber daya antardaerah, maka akan muncul istilah daerah basah dan daerah kering (Chotib, 2000). Kondisi ini pada tahap berikutnya akan menyebabkan makin terjadinya polarisasi mobilitas penduduk sesuai dengan hukum migrasi tenaga kerja, sebagaimana yang telah terjadi di beberapa propinsi di Indonesia. Tabel 2.Peringkat Propinsi Berdasarkan PDRB, PDRB/Kapita dan HDIBerdasarkan Harga Konstan 1993.PropinsiPeringkat PDRBPeringkat PDRB/KapitaPeringkat HDIDI. Aceh9512Sumatra Utara585Sumatra Barat111415Riau636Jambi211911Sumatra Selatan81010Bengkulu25219Lampung142313DKI Jakarta221Jawa Barat11516Jawa Tengah41614DI. Yogyakarta17132Jawa Timur31122Bali1267NTB202526NTT232724Timor Timur272627Kalimantan Barat151223Kalimantan Tengah1874Kalimantan Selatan16919Kalimantan Timur718Sulawesi Utara19183Sulawesi Tengah242221Sulawesi Selatan102020Sulawesi tenggara262418Maluku221717Irian Jaya13425Keterangan:Sumber: Brodjonegoro, 2000HDI: Human Development IndexSkema perimbangan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana termaktub dalam UU No 25 tahun 1999 maka daerah-daerah yang kaya sumber daya seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Irian Jaya dan Bali, yang juga dengan pendapatan perkapita yang tinggi, cenderung menerima dana yang lebih besar dari sebelumnya (tabel 2). Seiring dengan irama otonomi daerah, maka keterlibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alamnya, diperkirakan daerah-daerah tersebut akan menjadi daerah kaya baru dan pusat pertumbuhan baru. Kota-kota seperti Bontang, Lhokseumawe, Timika dan Rumbai kemungkinan akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (Brodjonegoro, 2000). Dalam kaitannya dengan mobilitas penduduk, daerah-daerah yang bersumber daya alam tinggi dan daerah-daerah yang mempunyai kualitas manusia tinggi (peringkat HDI) seperti DI. Yogyakarta, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan Bengkulu dalam jangka panjang akan menjadi daerah tujuan migran. Kondisi ini harus diperhitungkan oleh daerah yang kaya sumber daya agar perekonomian lokal tidak dikuasai oleh para pendatang. Menurut Prijono Tjiptoherijanto (2000), bahwa kebijakan terhadap pola mobilitas penduduk di Indonesia sangat terkait dengan kebijakan pemerintah, terutama pemerintah pusat dalam menerapkan kebijakan pembangunan daerah. Hubungan antara pola mobilitas penduduk dengan pembangunan ekonomi dapat telihat dari tiga kebijakan pembangunan ekonomi makro di Indonesia. Pertama, strategi ekonomi makro yang dijalankan oleh pemerintah pusat antara tahun 1967 sampai dengan tahun 1980. Pada periode waktu tersebut kebijakan ekonomi lebih diarahkan pada sektor manufaktur dengan polarisasi pembangunan di metropolitan Jakarta. Antara tahun 1974-1979 persentase sumbangan DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat terhadap sektor manufaktur skala besar dan menengah di Indonesia meningkat dari 38 persen menjadi 42 persen. Proses industrialisasi dan pemusatan kegiatan ekonomi di DKI Jakarta dan daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa menyebabkan terjadinya proses urbanisasi yang cepat. Migrasi desa-kota dari daerah-daerah perdesaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta ke kota Jakarta dan beberapa kota di pesisir utara Pulau Jawa terus berkelanjutan sehingga pembangunan ekonomi dan pertambahan penduduknya meningkat dengan pesat. Kedua, sejak awal dasawarsa 1980 pertumbuhan industri substitusi impor telah mulah berubah ke industri nasional misalnya industri tekstil. Saat itu, banyak industri nasional yang berkembang yang cenderung menggunakan sumber daya alam lokal. Seiring dengan perkembangan industri secara keseluruhan, perkembangan sektor manufaktur juga terus berlanjut dengan konsentrasi di Pulau Jawa. Pada tahun 1985, sekitar 76 persen dari seluruh tenaga kerja di sektor manufaktur di Indonesia terdapat di Pulau Jawa. Sementara itu 72 persen fasilitas perkotaan dan perdesaan terpusat di Pulau Jawa. Untuk mengurangi polarisasi urbanisasi di Pulau Jawa, pada masa 1980-an dilakukan program transmigrasi secara besar-besaran. Sebagian besar dari para transmigran berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.Ketiga, pada paruh kedua dasawarsa 1980-an pemerintah pusat memiliki perhatian yang besar untuk mengembangkan Kawasan Timur Indonesia. Investasi untuk kawasan tersebut meningkat dari 26 persen pada tahun 1993 menjadi 27,6 persen dari total investasi pemerintah tahun 1998. Diharapkan dengan pembangunan Kawasan Timur Indonesia tersebut dapat menarik para pelaku mobilitas untuk menuju wilayah tersebut sebagai daerah tujuan. Distribusi merata dari penduduk Indonesia nampaknya masih tetap merupakan harapan yang panjang, mengingat pada tahun 1995 persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa masih sebesar 58 persen. Namun demikian, dengan adanya otonomi daerah pola mobilitas penduduk di masa mendatang akan mengalami perubahan sejalan dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi tiap-tiap daerah. Daerah-daerah yang kaya sumber daya, baik sumber daya alam dan sumber daya manusia, diperkirakan akan menjadi daerah pertumbuhan baru yang mampu menarik penduduk untuk datang secara suka rela dengan tujuan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan. Sejalan dengan proses tersebut migrasi desa-kota dan mobilitas sirkuler akan terus berlangsung. Agar tidak mengulang kesalahan yang sama yakni polarisasi urbanisasi yang diikuti dengan konsentrasi penduduk di perkotaan, maka untuk daerah-daerah pertumbuhan baru agaknya sudah harus memikirkan kebijakan yang terkait dengan mobilitas penduduk. Bukan berarti daerah-daerah pertumbuhan baru melarang penduduk dari daerah luar untuk datang, paling tidak harus ada peraturan daerah yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak mempunyai jenis pekerjaan tetap hanya diperkenankan tinggal dalam periode waktu tertentu. DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik. 2000. Pengangguran Terbuka dan Setengah Pengangguran di Indonesia 1997-1999. Jakarta.Badan Pusat Statistik. n.d. Penyempurnaan Metodologi Perhitungan Penduduk Miskin dan Profil Kemiskinan 1999. Jakarta.De Jong, Gordon F. 1981. International and Internal Migration Decision Making: A Value Expectacy base Analytical Frame Work of Intentions to Move From a Rural Phillipine Province. Pensylvania: Population Issues Research Center. The Pensylvania State University.Effendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia, peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.Esmara, Hender. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Gramedia.Green, Cynthia. 1992. The Environment and Population Growth: Decade for Action, dalam Population Reports. Series M, No. 10. May.Keban, Yeremias T. 1998. Migrasi Internasional, Strategi Pembangunan Nasional dan Globalisasi, Workshop Nasional Mengenai Migrasi Internasional. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 9-11 Maret: 1-11.Lee, Everett S. 1995. Teori Migrasi (terjemahan). Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.Mabogunje, A.L. 1970. System Approah to A Theory of Rural Urban Migration, In Geographical Analysis, 2: 1-8.Mamas, S.G. 2000. Pengaruh Migrasi Masuk Terhadap Laju Pertumbuhan Penduduk Tujuh Kota Besar/Madya di Indonesia, dalam Laporan Pelaksanaan Simposium Nasional Pokok-pokok Masalah Mobilitas Penduduk, Urbanisasi dan Transmigrasi. Jakarta, 25-26 Mei: 145-194.Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi. 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: PT. Gramedia.Mantra, Ida Bagoes; Kasto dan Yeremias T. Keban. 1999. Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia: Studi Kasus Flores Timur, Lombok Tengah, dan Pulau Bawean. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.Mantra, Ida Bagoes; Kasto dan Abdul Haris. 2001. Mobilitas Pekerja Perempuan Indonesia ke Arab Saudi: Masalah Kekerasan dan Perlindungan Hukum. Kasus di Kabupaten Cilacap. Yogyakarta: Lembaga Peneliti Universitas Gadjah Mada.Mitchell, J. Clyde. 1961. The Causes of Labaour Migration, in Migrant Labour in Africa South of The Sahara. Abidjan: C.C.T.A.Muhidin, S. 2002. Estimasi Migrasi Penduduk: Pemanfaatan Data Sensus dan Supas dalam Tukiran et.al (eds), Mobilitas Penduduk di Indonesia: Tinjauan Lintas Disiplin, hal: 57-72, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGMNogle, June Marie. 1994. The System Approah to International Migration: An Application of Network Analysis Method, in International Migration Review, 32