Konstruksi+Identitas+Virtual+Alay
Transcript of Konstruksi+Identitas+Virtual+Alay
1
KONSTRUKSI IDENTITAS MELALUI BAHASA ALAY
DI DUNIA VIRTUAL
DR (can.)Rulli Nasrullah, M.Si Mahasiswa Kajian Budaya dan Media S3 UGM
Email: [email protected]
Adi Onggoboyo
Aktivis sosial Medresa Foundation, Bandung Email: [email protected]
ABSTRAK
Kehadiran situs jejaring sosial (social networking site) seperti Facebook memberikan ruang bagi penampilan diri seseorang di dunia maya. Facebook memiliki fasilitas dimana individu bisa mengkonstruksi identitas diri dan bagaimana individu itu menciptakan kesan atas penampilan diri mereka di ruang virtual. Kehadiran media baru (new media) khususnya media sosial (social media) juga tidak hanya membawa perubahan pola konsumsi konten, melainkan juga telah membawa arah baru dari produksi konten. Melalui fasilitas ‘Status’ (wall) Facebook memungkinkan siapa saja untuk mengkonstruksi identitas dirinya di dunia maya; ruang virtual dimana konstruksi diri itu sering terjadi. Di fasilitas inilah pengguna, dalam observasi peneliti, mengungkapkan apa yang sedang dipikirkan olehnya, kondisi fisik apa yang sedang ia alami, keadaan di sekitar dirinya, hingga bagaimana tanggapannya terhadap situasi, misalnya, politik pada saat ini. Namun, konten yang dikonstruksi tersebut tidak hanya menggunakan bahasa umum sebagaimana yang dipergunakan, baik secara lisan maupun tulisan, melainkan telah bertambah dengan bahasa Alay; suatubahasaatau kata yang dibentuk memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan kata baku. Makalah ini mencoba untuk melihat bagaimana karakteristik dan produksi bahasa Alay di status Facebook. Juga untuk melihat proses dan dinamika sosial yang mungkin terjadi. . Kata Kunci: Identitas, Facebook, Alay, Virtual-Real, Internet
2
ABSTRACT
The emergence of social networking sites like Facebook give a space for self-performance of someone in virtual world. Facebook has facilities where someone can construct self identity and how to create impression for their performance in virtual space.New media attendance, especially social media, not only bring a change of content consuming pattern, but also has brought a new way for content producing. By ’status’ (wall) facility, Facebook makes everyone constructing their identities. Users at this facility, in researcher’s observation, show what they think, physical condition that they do, situation around them, until how their respond to the recent political situation. The constructed content not only use common language, but now there is Alay language: a languange or words which are formed with its own unique characteristics than standard one. This paper try to view how the characteristics and alay languange production in Facebook status. It also try viewing process and social dynamics which possibly happen. . Keywords: Identity, Facebook, Alay, Virtual-Real, Internet
G
3
1. Pendahuluan
Relasi merupakan bagian terpenting dari suatu sistem di antara individu. Apabila ada
dua atau lebih individu melakukan komunikasi, sebenarnya mereka sedang membangun dan
mendefinisikan relasi atau hubungan di antara mereka. Menurut Littlejohn (1996: 250),
People in relationship are always creating a set of expectations, reinforcing old ones, or
changing an existing pattern of interaction. Individu-individu yang berada dalam hubungan
selalu menciptakan sekumpulan harapan, memperkuat harapan-harapan lama, atau merubah
sebuah pola interaksi yang sudah ada.
Internet sudah menjadi media baru yang memberikan akses kemudahan bagi
penggunanya di seluruh dunia. John Vivian (2008:262-264) mencatat bahwa penyebaan
pesan internet meski hampir serupa dengan penyebaran pesan dalam medium massa
tradisional yang mengirim pesan melalui titik sentral. Namun, internet bisa melampui hal
tersebut; sifatnya yang bisa berinteraksi, kapasitas mampukan orang berkomunikasi bukan
hanya menerima pesan saja, dan yang terpenting bisa dilakukan secara real time.
Data statistik yang dikeluarkan oleh www.internetworldstats.com menunjukkan bahwa
ada sekitar 6,676,120,288 penduduk di dunia yang mengakses internet. Dari jumlah tersebut
39,5 persen pengakses internet berasal dari wilayah Asia. Dalam urutan pengakses internet
terbanyak, Indonesia menempati urutan kelima setelah China, Japan, India, dan Korea
Selatan.Lebih terperinci lagi, data yang dikeluarkan Asosiasi Penyedia Jasa Internet
Indonesia (APJII) menyebutkan bahwa ada perkembangan yang sangat signifikan dari tahun
ke tahun pengakses internet. Dari awalnya sekitar 134 ribu pelanggan di tahun 1998 jumlah
ini meningkat menjadi 2 juta pelanggan di tahun 2007. Sementara pemakai internet dari
hanya 512 ribu di tahun 1998 menjadi 25 juta pemakai di tahun 2007 dan terus melonjak
dengan pesat dari tahun ke tahun.
Tahun Pelanggan Pemakai
1998 134.000 512.000
1999 256.000 1.000.000
2000 400.000 1.900.000
2001 581.000 4.200.000
2002 667.002 4.500.000
2003 865.706 8.080.534
2004 1.087.428 11.226.143
2005 1.500.000 16.000.000
2006 1.700.000 20.000.000
2007* 2.000.000 25.000.000
Tabel : Perkembangan Jumlah Pelanggan & Pemakai Internet (kumalatif)
* perkiraan s/d akhir 2007
)
4
Data yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa internet sudah menjadi media
baru dan medium canggih yang massif. Salah satu media yang digunakan oleh publik adalah
situs jejaring sosial (social networking sites), misalnya Facebook.Sebagai situs jaringan
sosial, misalnya Facebook, banyak diminati oleh pengguna yang berasal dari Indonesia.
Dibandingkan tahun 2010 pemilik akun yang berasal dari Indonesia, menurut data pada Mei
2010, berjumlah 24.722.360. Jumlah ini meningkat pada tahun 2011, menurut data pada
Agustus 2011, pemilik akun dari Indonesia berjumlah 39,568,620.
Tabel 3.1
Jumlah Akun Facebook Berdasarakan Asal Negara
Rangking Negara Jumlah Akun
1 Amerika 154,040,460 2 Indonesia 39,568,620 3 India 33,587,640 4 Turki 29,951,960 5 Inggris 29,942,160 6 Meksiko 28,150,240 7 Philipina 26,056,340 8 Brasil 24,921,480 9 Perancis 22,582,160
10 Jerman 20,538,540
Sumber: http://www.checkfacebook.com/ diakses pada Senin, 22 Agustus 2011
Sebagai situs jejaring sosial Facebook merupakan medium yang bisa digunakan oleh
audiens untuk melakukan self-discosure. Artinya, audiens kini dapat mengungkapkan
informasi personalnya kepada publik sekaligus bisa menetapkan beragam kriteria yang
diinginkan bagi mereka yang ingin menjalin hubungan dengannya. Self-disclosure atau
pengungkapan diri dipandang penting, karena (1) munculnya perilaku positif mengenai diri
sendiri maupun terhadap orang lain dan (2) pengungkapan diri menegaskan arti penting dari
hubungan yang sedang terjalin dengan orang lain (sebagaimana dicontohkan Derlega dan
Berg, 1987).
Belakangan muncul suatu bahasa yang banyak dipakai oleh kaum remaja di Indonesia.
Bahasa ini dikenal sebagai bahasa alay. Bahasa alay sendiri cukup ramai dibicarakan di
kehidupan nyata maupun di ruang virtual. Dalam hal ini, Facebook menempati posisi penting
karena penggunaan bahasa alay banyak dipakai untuk menuliskan status pada wall(dinding)
diri sendiri atau untuk komunikasi dengan pengguna lain. Fenomena alay ini menjadi semakin
)
5
menarik karena ternyata si alay ini tidak hanya dibicarakan oleh komunitasnya sendiri, tetapi
juga oleh mereka yang mengaku terganggu oleh akibat yang ditimbulkan si alay ini.
2. Konsep/Latar Belakang Teori
Stuart Hall dalam The Question of Cultural Identity (1996:596-636) menegaskan bahwa
perkembangan era modern kini teleh membawa perkembangan baru dan mentranformasikan
bentuk-bentuk individualism; sebagai ‘tempat’ di mana konsepsi baru mengenai subyek
individu dan bagaimana identitas itu bekerja. Ada transformasi yang terjadi dalam individu
modern dimana mereka mencoba untuk melepaskan diri dari tradisi maupun struktur (sosial)
yang selama ini dianggap membelenggu. Bukan berarti bahwa masyarakat yang hidup pada
masa pra-modern tidak individualis, melainkan term ini memiliki ‘kehidupan’, ‘pengalaman’,
dan ‘konsep’ yang berbeda sesuai dengan masanya. Salah satu ciri modernitas yang diduga
kuat merubah tatanan sosial yang ada menurut Hall adalah penemuan dan perkembangan
mesin. Dari pembahasan ini, Stuart Hall ingin menempatkan identitas menurut beberapa teori
sebagai the Enlightenment 'subject', identitas yang stabil dan final, sebagai de-centred sampai
kepada identitas yang terbuka, kontradiksi, tidak selesai, identitas terfragmentasi dari subjek
postmodernisme. Bagi Hall dalam Identity: Community, Culture, Difference (1990), “..There
are two kinds of identity, identity as being (which offers a sense of unity and commonality)
and identity as becoming (or a process of identification, which shows the discontinuity in our
identity formation)”.
Mengutip pandangan Raimond Williams, bahwa sejarah modern dari subyek individual
telah membawa makna yang jelas bahwa 1) subyek sesuatu yang ‘indivisible’, entitas yang
telah menyatu dan tidak dapat dilepaspisahkan serta 2) subyek mengandung intensitas yang
‘singular, distinctive, unique’.
Bagi mereka yang menyatakan bahwa identitas modern telah terfragmentasi
memberikan argumen bahwa apa yang terjadi di saat ini tentu menempatkan konsepsi subyek
sebagai yang tidak hanya dipahami secara sederhana sebagai yang terpisah malainkan
‘dislocation;’ berasal dari wacana pengetahuan modern. Stuart Hall selanjutnya memaparkan
sketsa tentang subyek yang berasal dari teori-teori sosial serta human sciences yang berasal
dari paruh kedua abad ke-20, yang pada dasarnya merupakan apa yang disebut dengan ‘the
final de-centring of the cartesian subject’.
Pertama, yang diambil dari pemikiran Marx, 'men (sic) make history, but only on the
basis of conditions which are not of their own making'. Individu pada kenyataannya tidak
berada dalam kondisi yang sebenarnya dari ‘authors’ atau merupakan agen dari sejarah karena
)
6
mereka hanya berbuat berdasarkan kondisi historikal yang dibentuk oleh orang lain di mana
mereka dilahirkan; juga, menggunakan sumber-sumber baik secara material mapun kultural
yang diadopsi mereka dari generasi sebelumnya.
Kedua, diambil dari pemikiran Freud yang mengembangkan konsepsi penemuan
kesadaran, bahwa identitas berdasarkan dari fisik dan proses simbolik dari alam bawah sadar
yang sangat berbeda bentuknya dari yang subyek rasional yang memiliki identitas tetap dan
menyatu.
Ketiga, merujuk pada kalangan lingusitik strukturalis Ferdinand de Saussure, bahwa ‘we
are not in any absolute sense the 'authors' of the statements we make or of the meanings we
express in language’. Bahasa hanya bisa digunakan untuk memproduksi makna dengan
memosisikan diri dalam aturan-aturan kebahasaan serta sistem dari makna itu sendiri yang
berasal dari kultur yang selama ini dipahami oleh individu tersebut. Bahasa merupakan sistem
sosial dan bukannya sistem individu.
Keempat, pembahasan pembentukan pusat subyek yang merujuk pada Michel Foucault
yang menggelontorkan 'genealogy of the modern subject' . Foucault memformulasikan sebuah
tipe baru dari kekuasaan yang berasal dari penelusuran sejarah di abad ke-20 yang disebutnya
sebagai 'disciplinary power'. 'Disciplinary power' mengandung pembahasan mengenai
regulasi, pengawasan, dan pemerintah yang berlaku pada 1) populasi secara keseluruhan dan
2) individu maupun tubuh. Konsep ini berkembang dimana ‘polisi’ dan kedisiplinan yang
beralaku pada masyarakat modern baik di tempat kerja, barak-barak, penjara, sekolah, rumah
sakit, dan sebagainya.Yang menjadi perhatian penting Stuart Hall adalah bahwa sejarah
modern menunjukkan kekuaasaan dan kedisiplinan Foucault merupakan produk dari sekala
besar regulasi institusi yang di akhir era modernisasi, teknik ini melibatkan aplikasi dari
kekuasaan dan pengetahuan yang selanjutnya disebut sebagai ‘individualizes’ yang
terinternalisasi dalam diri (tubuh) seseorang.
Kelima, pembahasan pusat diri yang terakhir ini berasal dari para pemikir cum
penggerak serta akibat feminisme, baik sebagai kritiak teori maupun gerakan sosial (seperti
gerakan mahasiswa, gerakan persamaan hak) yang marak di sekitar tahun 1960-an.
Internet dan komunikasi termediasi komputer
Meminjan konsep yang digelontorkan oleh Christine Hine (2000), David Bell melihat
cyberspace atau ruang siber bisa didekati dalam term ‘culture’ dan ‘cultural artefact’. Sebagai
sebuah budaya (culture), pada awalnya internet ditenggarai sebagai model komunikasi yang
sederhana bila dibandingkan dengan model komunikasi secara langsung atau face-to-face
)
7
(Baym, 1998). Bahwa interaksi face-to-face tidak hanya melibatkan teks sebagai simbol atau
tanda dalam berinteraksi semata. Ekspresi wajah, tekanan suara, cara memandang, posisi
tubuh, agama, usia, ras, dan sebagainya merupakan tanda-tanda yang juga berperan dalam
interaksi antarindividu. Sedangkan dalam Computer Mediatied Communication (CMC)
interaksi terjadi berdasarkan teks semata bahkan emosipun ditunjukkan dengan menggunakan
teks, yakni dengan simbol-simbol dalam emoticon.
Namun, pemaparan internet sebagai sebuah kultur/budaya masih membuat David Bell
tidak bisa menegaskan definisi secara pasti, ‘It’s a slippery term, to be sure; hard to define,
multiplicitous’ (2001:1). Selanjutnya Bell mencoba mendekati cyberspace dengan
pemahaman bahwa ruang siber tersebut merupakan kombinasi dari tiga hal, yakni material,
simbolik, dan dimensi pengalaman. Bell (2001:2) bahkan memberi penekanan bahwa
pengalaman di dunia siber dengan semua spektakuler dan kehidupannya dimanifestasikan
dengan memediasi material dan simbolik. Bahkan memikirkan apa itu dan makna dari ruang
siber itu sendiri melibatkan hypertextuality, sebagaimana campuran dan gabungan dari
perangkat keras/hardware, perangkat lunak/software, dan perangkat pendukung yang bisa
menyimpan data, meramalkan, memberi harapan maupun ketakutan, juga keberhasilan dan
kegagalan. Oleh karena itu menurut Bell cyberspace adalah kultur yang hidup dan tengah
berlangsung, dihasilkan oleh individu maupun komunitas, mesin, dan kisah-kisah yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.
Model selanjutnya menurut Bell, sebagaimana yang disodorkan Hine, adalah internet
sebagai artefak kebudayaan (cultural artefac). Menurut Hine, internet tidak hanya bisa
dipahami sebagai sekumpulan komputer yang berinteraksi dengan bahasa komputer itu
sendiri, yakni TCP/IP. Kata ‘Internet’ bisa didenotasikan sebagai seperangkat program
komputer yang memungkinkan user untuk melakukan interaksi, memunculkan berbagai
macam bentuk komunikasi, serta untuk bertukar informasi. Perkembangan program seperti E-
Mail, IRC, bulletin boards, MUDS, video konferensi, dan kemunculan WWW atau World
Wide Web pada dasarnya adalah pembuktian.
Meyrowitz (1985,51) menegaskan bahwa penelitian kekinian terhadap komunikasi tidak
lagi memfokuskan hanya kepada pesan atau konten semata, melainkan semestinya sudah
merambah pada perkembangan teknologi komunikasi itu sendiri yang sudah melekat dan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Relasi antar individu saat ini tidak lagi fisik atau ‘interface’, telah diwakili oleh
perangkat atau ‘terminal’ teknologi komunikasi, sebagaimana perangkat teknologi yang biasa
kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam perkembangan cyber saat ini,
)
8
kehadiran individu sebagai objek bisa diwakili dengan animasi (avatar) sesuai dengan
keinginan kita; dan di internet siapapun bisa mejadi siapa atau apa yang diinginkannya. Inilah
yang pernah diteliti oleh Sherry Turkle (1984) yang memublikasikan penelitian dalam
‘second life’ yang menggambarkanbagaimana layar komputer telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam relasi individu. Bahkan Sharp (1993) menyatakan teknologi komunikasi
telah meluaskan pengertian waktu dan jangkauan dalam relasi antarindividu menggunakan
cara berkomunikasi baru dengan teknologi informasi.
Inilah yang menurut Holmes (2005:4) bahwa internet merupakan tonggak dari
perkembangan teknologi interaksi global di akhir dekade abad ke-20 yang mengubah cakupan
serta sifat dasar dari medium komunikasi. Transformasi ini yang disebut sebagai ‘second
media age’, dimana media tradisional seperti radio, Koran, dan televise telah banyak
ditinggalkan oleh khalayak.
Berkaitan dengan virtual interaksi yang membentuk perilaku komunikasi, Marc Smith
(1995) memberikan empat aspek penting;
• Virtual interactions is aspatial, bahwa jarak tidak memengaruhi proses komunikasi
dan interaksi. Kehadiran atau kedekatan jarak tidak menjadi penting selama masing-
masing dapat menjalankan fungsinya.
• Virtual interaction via system is predominantly asynchronous. Pengecualian dalam
memakai Chat, MUDs, atau ICQs bahwa komunikasi melalui komputer seperti
konferensi sistem, dan email dapat dioperasikan berdasarkan waktu atau jadwal yang
diinginkan.
• CMC is acorporeal because it is primarily a text-only medium. Interaksi yang
terjadi melalui jaringan komputer pada dasarnya diwakili dengan teks. Efek dari
CMC yang asynchronous dan acorporeal ini, sebagai misal, mampu melakukan
komunikasi dengan melibatkan jumlah individu yang besar, sedangkan hal ini juga
bisa dilakukan melalui konferensi telepon.
• CMC is astigmatic. Bahwa interaksi yang terjadi cenderung mengabaikan stigma
terhadap individu tertentu, sebab komunikasi berdasarkan teks ini sangat sedikit bisa
menampilkan gambaran visual tentang status seseorang dibandingkan apabila
bertatap muka.
Akhirnya, mengutip penjelasan Tim Jordan dalam bukunya Cyberpower (1999) bahwa
CMC pada dasarnya anti hirarki sebab identitas individu di cyberspace tidaklah
menggambarkan secara utuh hirarki yang terjadi secara off-line. Juga, kapasitas internet yang
)
9
bisa mencakup dari banyak ke banyak menciptakan inklusifitas dan lingkungan partisipan
dimana terdapat kultur pengecualian yang sulit mendukung bahwa inilah gambaran individu
yang sebenarnya di dunia nyata atau off-line life. Problem identitas inilah yang menjadi salah
satu isu penting ketika membincangkan CMC.
Tentang Bahasa Alay
Kata alay tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Beberapa pengertian dasar
dari alay yang didapat dari sumber-sumber internet, yang paling populer diantaranya adalah
sebagai berikut:
Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu
Definisi diatas ditemukan diberbagai situs di internet sehingga sulit untuk mengetahui
siapa yang mula-mula mendefinisikannya. Demikian pula dengan pengertian alay berikut ini:
singkatan dari Anak layangan, Alah lebay, Anak Layu, atau Anak keLayapan yang menghubungkannya dengan anak JARPUL (Jarang Pulang). Tapi yang paling santer adalah anak layangan.Dominannya, istilah ini untuk menggambarkan anak yg sok keren, secara fashion, karya (musik) maupun kelakuan secara umum. Konon asal usulnya, alay diartikan "anak kampung", karena anak kampung yang rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap karena kebanyakan main layangan.
Dari kedua definisi tersebut dapat ditangkap bahwa alay mengacu kepada sikap atau
perilaku dari seseorang yang tampak dari informasi yang ditampilkannya secara kasat mata
seperti cara berpakaian, bermusik, tata rambut, dan sebagainya. Sesungguhnya baik anak alay
dan bahasa alay, keduanya merupakan sebuah konstruksi sosial. Anak alay belum tentu
menggunakan bahasa alay dan orang yang menggunakan bahasa alay belum tentu
berpenampilan seperti stigma yang melekat pada kebanyakan orang untuk anak alay. Kalau
dicermati, proses konstruksi sosial atas keduanya secara kebetulan berada pada suatu era yang
sama, dan yang lebih penting adalah adalah, terdapat elemen dasar keduanya yang
diasumsikan mirip, misalnya yaitu sama-sama kampungan atau sama-sama sok keren. Oleh
karena terdapat kecenderungan bahwa anak alay juga menggunakan bahasa alay, dan
sebaliknya, orang yang berbahasa alay kerap berpenampilan luar seperti halnya anak alay,
maka dalam banyak kasus, anak alay dan bahasa alay adalah satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.
)
10
Bahasa alay di dalam ruang virtual sesungguhnya hanya berupa format tulisan (teks),
bukan bahasa verbal. Bahwa bahasa alay dalam ruang virtual hampir tidak mungkin dipakai
dalam pembicaraan sehari-hari. Bahasa alay sendiri diminati oleh sebagian anak muda karena
dinilai sesuai dengan jiwanya yang bebas dan beda dengan yang lain (Misandra,et.al:2010).
Lebih lanjut Misandra mengatakan bahwa lambat laun bahasa ini berkembang menjadi bahasa
gaul: karena anak muda ingin dinilai sebagai anak yang tidak ketinggalan maka mereka
beralih dari penulisan yang biasa menjadi penulisan dengan gaya alay. Dengan demikian,
fenomena alay sesungguhnya memiliki kemiripan dengan fenomena anak gaul. Lebih
sederhananya, bahasa alay adalah salah satu varian bahasa gaul kontemporer. Di zaman tahun
80-an atau 90-an dikenal bahasa prokem sebagai bahasa gaul. Zaman berubah, bahasa gaul
juga mengalami evolusi, dan hadirlah sekarang bahasa alay. Subandy Ibrahim (2007)
mengatakan bahwa :
Penguasaan bahasa gaul dianggap sebagai modal utama untuk bisa masuk dalam dunia yang diyakini membutuhkan orang-orang yang “pandai gaul“. Sedangkan seseorang yang tidak pandai bergaul kita kenal dengan kata kurang gaul. Sehingga dengan hanya bermodalkan keterampilan berbahasa gaul kita dapat menjadi bagian dari komunitas yang menamakan dirinya sebagai “anak gaul “
Pandangan Subandy Ibrahim tersebut menyiratkan bahwa jika kita ingin masuk ke dalam
komunitas anak gaul, maka tentunya kita harus menguasai bahasa dalam komunitas itu sendiri
sebagai semacam ‘prasyarat’ menjadi ‘in groups’.
3. Metodologi
Metode yang digunakan menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan pada level
teknis, penelitian ini didekati dengan metode yang ditawarkan Hine (2000), yakni etnografi
virtual. Sebagai sebuah kultur dan artefak kultural, cyberspace atau dunia siber bagi peneliti
etnografi virtual bisa mendekati beberapa objek atau fenomena yang ada di internet. Oleh
kerena itu, dalam mengumpulkan data penelitian ini akan melakukan wawancara dan studi
‘lapangan’ dengan melakukan ‘partisipasi’ terhadap halaman Facebook subjek penelitian
untuk menangkap fenomena maupun pola self-disclosure yang terjadi.
4. Analisis dan Diskusi
Kategorisasi Penulisan Bahasa Alay
Berikut ini beberapa contoh penulisan alay hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap
pengguna Facebook dengan pola pengumpulan cum jumlah subyek penelitian disesuaikan
)
11
dengan kebutuhan dan tujuan penelitian yakni untuk menemukan pola-pola self-disclosure di
fasilitas ‘Status’ Facebook:
Informan D:
QuH Sdar SHbaT kGK bZa nGLahiN ciNTHa...N Quh juA SdaR,,LOw
CintHA bzA NGlAhin sMUa.A.............TP nTuCH bza bER SAtu...PHa bILA
ShBAt N oRG yG qTA ciNthai bzA sLiNg mngRti......:-)
Informan H:
..takkqutt kehhilangann kammuu !!jangann jauu drii kqu . .! ..[kqu mmohhonn]
mskqipun kmu bukqann mlikqu .. Vo : cppa ajja lahh hehehe.. **qo nuliz gnii
ia??gakqh tw deddh buadd cpp ntu stattuz . .pii ntu drii htii nuranii gu . .
Sedangkan informan A:
Skíåñ lm q cb tùk trz mlgkh kdpñ,tp byg ìtù sllù mgktì.Q brsh tk mnèngk
kblkg,tp byg itù sllù dä. rs syg,cntä,kgn,rndù...Q tk prñh tw lg....? Cm 1
kìn9ññq.....!??
Kategorisasi yang kemudian dapat dibuat, menyetujui hasil analisis dari Misandra, dkk
(2010) tentang kecenderungan umum tulisan pada status pengguna Facebook ialah terkait (1)
informasi waktu dan tempat, (2) pendapat akan sesuatu hal, (3) sebagai penghubung
informasi, dan (4) curhat subyektif personal, yang sifatnya bisa dianggap tidak penting. Pada
karekteristik konten dari tulisan alay yang teramati, kecenderungan umumnya mengarah pada
bentuk curhat subyektif personal, yang tidak jarang absurd.
Kemudian, jika ditilik dari konfigurasi huruf-huruf yang membentuk kata-kata
alay,setidaknya dapat dianalis terdapat beberapa pola, yaitu:
(1) Kombinasi huruf kecil huruf besar, misalnya QuH Sdar SHbaT (aku sadar sahabat)
(2) Penghilangan satu atau lebih huruf, misalnya bgd (banget), smua (semua)
(3) Penyingkatan, merupakan varian dari penghilangan, contoh: aq (aku), km (kamu), qt
(kita), mrk (mereka)
(4) Penambahan satu huruf atau lebih, baik diletakkan diakhir kata misalnya aquw (aku),
atau disisipkan di tengah kata, misalnya kamyu (kamu)
(5) Pengulangan satu huruf atau lebih yang sama, misalnya kkkitta (kita), gobbblllookk
(goblok)
(6) Penggantian konsonan dan vocal, misalnya gyh (lagi), chybuwgh (sibuk)
(7) Penggantian huruf dengan angka atau lambang, misalnya g4y4 (gaya), Skíåñ (sekian).
)
12
Berdasarkan konsep Luhmann tentang kontingensi ganda, yang mengacu pada fakta
bahwa setiap komunikasi harus mempertimbangkan cara komunikasi itu diterima, tapi kita
juga tahu bahwa cara yang akan diterima tergantung pada estimasi penerima terhadap
komunikator, dan komunikator tergantung pada penerima.
Orang yang memiliki gaya bahasa dan tulisan alay memiliki cara penyampaian
tersendiri untuk mencurahkan isi hatinya dalam tulisan. Tapi cara yang mereka gunakan
bukanlah cara yang memudahkan orang untuk memahami apa yang mereka maksud,
melainkan lebih mempersulit orang yang membacanya agar mengerti. Seperti:
Skiǻй LǻΜa aQŭ tЯuЅ mЇkrkan muuuhh... (sekian lama aku memikirkanmu)
Sehingga dari contoh di atas, tulisan yang dibuat dengan bahasa alay akan lebih
mempersulit dalam berkomunikasi dan akan membuat kontingensi ganda antar pihak-pihak
yang melakukan komunikasi semakin ‘ganda’, yang berarti memperumit, karena orang
dengan bahasa dan tulisan alay memiliki caranya sendiri. Sehingga akan membentuk
hubungan sosialnya tersendiri, yang tentunya akan semakin mempersulit interaksi dan
hubungan social secara lebih luas.
Dalam situasi normal, kecukupan informasi antar sesama pihak-pihak yang
berkomunikasi diperlukan, sehingga dibutuhkan pengetahuan akan struktur sosial untuk
mensolusikan problem komunikasi. Struktur bahasa, dapat dianggap merupakan salah satu
sebentuk informasi struktur sosial yang dapat membantu upaya mensolusikan komunikasi
sehingga mungkin terjadi. Bahasa alay membuat struktur sosial yang dibangun menjadi
berjarak, yang berakhir dengan kemungkinan interaksi sosial yang gagal (interaksi sosialnya
akan kurang baik dengan sebagian besar orang). Indikasi yang memperlihatkan ini adalah
banyak bermunculannya komunitas anti alay di Facebook. Mereka secara terang-terangan
menunjukkan ketidaksukaan kepada para pengguna bahasa alay.
Dalam hal penyampaian, biasanya tulisan dengan gaya alay ini untuk percakapan
singkat. Seperti dalam status dan wall Facebook, chatting sms, dan pesan pendek lainnya.
Ada pula yang mengunakannya dalam pesan panjang seperti dalam notes, atau blog, tetapi
sangat jarang. Dengan demikian terdapat kecenderungan kalangan alay menggunakan media
untuk hubungan yang bersifat privat-privat, atau ‘privat-publik yang cair’ seperti Facebook,
namun tidak untuk dibahasakan secara formal publik.
Membangun Identitas Virtual
Kehadiran Facebook merupakan salah satu medium dalam budaya siber yang memediasi
interaksi antarsubyek di ruang virtual. Dalam kupasan yang dipaparkan David Bell di awal
)
13
tulisan ini bahwa komunikasi termediasi komputer bisa didekati dalam dimensi pengalaman.
Perangkat Facebook yang dilahirkan oleh Mark Zurkenberg memberikan perangkat untuk
membangun subyek. Setiap pengguna dan atau pemilik akun di Facebook disediakan form
atau borang untuk menuliskan profil diri mereka seperti nama, nama kecil, tempat tanggal
lahir, pendidikan, hobi, sampai pada kutipan yang disenangi olehnya. Fasilitas Facebook
tersebut memungkinkan seseorang mengkonstruk dirinya melalui perantaraan teks baik itu
dalam pengertian kumpulan kata maupun gambar yang pada akhinya memberikan kepingan-
kepingan gambar bagaimana subyek pemilik akun Facebook itu; pada praktiknya ruang
konstruksi identitas ini bisa bersifat opt in (hanya dibaca oleh pemilik akun itu sendiri,
sebagian teman dalam jaringan Facebook, atau teman dari teman dalam jaringan Facebook)
atau opt out (yang bisa dibaca oleh siapapun juga).
Meski Facebook memiliki kuasa untuk mengarahkan bagaimana informasi apa saja yang
harus disampaikan oleh subyek tersebut, namun pilihan untuk memberikan informasi tersebut
tetap kembali kepada kesadaran pengetahuan dari pengguna facebook tersebut. Kesadaraan
pengetahuan yang bagi Foucault seharusnya membebaskan setiap orang dari pemahaman
kesejarahan tentang identitas yang selama ini berlaku atau terjadi di dunia nyata. Karena bagi
Foucault secara esensi siapapun memiliki kekuasaan untuk mengkosntruk dirinya dan apabila
ada kekuasaan lain—dalam hal ini pengaruh kuasa yang mendominasi yang lain (the other)—
maka hal tersebut bisa menyebabkan kegilaan dan kemarahan.
Hanya saja, sebagaimana ketika Foucault membahas tentang subyek dalam episteme
yang menyatakan subyek itu ada pada bahasa dan bukan pada Tuhan atau manusia yang
dianggapnya sudah mati, teks atau gambar yang ada di Facebook merupakan satu-satunya
(wacana) identitas yang dipahami oleh pengguna Facebook yang lain (the other). Misalnya, X
merupakan identitasnya di dunia nyata dan ketika membuka akun Facebook X membuat
sebuah identitas melalui teks, gambar, siapa saja yang disetujuinya menjadi teman dalam
jaringan perteman Facebooknya, hingga grup diskusi mana saja yang akan diikuti oleh X.
Perspektif Foucault menyatakan bahwa X di dunia nyata telah mati dan hanya X di dalam
Facebook yang hadir. Wacana siapa X itu di dunia virtual tidak bisa dihubungkan dengan
siapa X di dunia nyata, sebab dalam teknologi internet komputer telah menjadi alat teknologi
yang memunculkan pola interaksi komunikasi baru berdasarkan pada teks-teks dan juga
internet telah menghubungkan para penggunanya dari berbagai wilayah geografis di muka
bumi. Selain juga karena alasan empiris, bahwa tidak mungkin seorang pengguna internet bisa
bertatap muka langsung dengan pengguna internet yang lainnya; di Facebook siapapun bisa
)
14
mengajukan dirinya untuk menjadi teman (invite) dan bisa menyetujui (approve) siapa yang
akan menjadi temannya.
Berdasarkan perspektif wacana yang dikembangkan Foucaults, identitas pengguna
Facebook tidak bisa berdiri sendiri. Identitas itu harus bercermin dari yang lain (the other) dan
tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan pengguna Facebook yang lain. Contoh
sederhananya adalah keberadaan X di Facebook tidak akan eksis ketika ia tidak memiliki
jaringan pertemanan dan atau tidak ada pengguna Facebook lain yang mau berteman
dengannya. Fasilitas Facebook memungkikan pengguna hanya menampilkan informasi hanya
nama pengguna dan foto profil penggunanya saja, sedangkan informasi lengkap X termasuk
foto-foto bisa disembunyikan untuk tidak dilihat oleh bagi pengguna Facebook lain yang tidak
menjadi jaringan pertemanannya. Di sinilai wacana kehadiran subyek itu beroperasi, bahwa
bagi pengguna yang bukan menjadi jaringan pertemanan X keberadaan X tidak eksis dan
dengan demikian subyek X juga tidak ada di Facebook. Itulah mengapa identitas bagi
Foucault memerlukan pengakuan dari yang lain, dibentuk oleh serangkaian opini yang
melibatkan konfirmasi dalam hal ini oleh para pengguna Facebook yang lainnya.
David Holmes (2005:55) menegaskan bahwa salah satu poin penting dalam komunikasi
yang termediasi komputer ini adalah “Dengan sedikit mengabaikan beragam bentuk interaksi
sosial yang mungkin mendukung perspektif CMC, bahwa perspektif ini memfokuskan pada
integrasi informasi dimana komunikasi yang terjadi melalui medium komputer berdasarkan
pada proses informasi yang dapat dijumpai dalam beragam bentuk”. Roses informasi inilah
yang terjadi di Facebook hanya melalui teks dan gambar. Siapa X di dunia nyata dan siapa X
di dunia virtual bisa jadi sama dan bisa jadi sangat berbeda. X sebagai seorang lelaki pekerja,
kepala keluarga, dan memiliki dua orang anak bisa menjadi X yang bujangan, berstatus
mahasiswa, dan belum memiliki pacar di dunia virtual. Ini yang disebut oleh Tim Jordan
bahwa operasionalisasi identitas di dunia virtual menjadi identity fluidity, renovated
hierarchies, dan information as reality. Identity fluedity bermakna sebuah proses
pembentukan identitas secara online atau virtual dan identitas yang terbentuk ini tidaklah
mesti sama atau mendekati dengan identitasnya di dunia nyata (offline identities). Renovated
hierarchies adalah proses dimana hirarki-hirarki yang terjadi di dunia nyata (offline
hierarchies) direka bentuk kembali menjadi online hierarchies.Bahkan dalam praktiknya Tim
Jordan (1999, 62-87) mendefenisikan istilah ini dengan anti-hierarchical. Hasil akhir dari
identity fluidity dan renovated hierarchies inilah yang selanjutnya menjadi informational
space, yakni infromasi yang menggambarkan realita yang hanya berlaku di dunia virtual.
)
15
5. Simpulan
Keumuman penggunaan bahasa alay lebih cenderung eksis pada situs jejaring sosial
yang mapan, massif, dan menjejaring, dalam hal ini Facebook, daripada wahana lainnya.
Kenyataan tambahan bahwa bahasa alay tidak praktis digunakan dalam percakapan sehari-
hari, makin menguatkan arah simpulan bahwa wacana seseorang berbahasa alay di dunia
virtual –Facebook khususnya- tidak bisa dihubungkan dengan dia di dunia nyata, atau bahkan
dia di wahana virtual yang lain selain Facebook. Pengguna bahasa alay di Facebook tidak
akan eksis ketika ia tidak memiliki jaringan pertemanan dan atau tidak ada pengguna
Facebook lain yang mau berteman dengannya: mereka memerlukan pengakuan dari yang lain,
dibentuk oleh serangkaian opini yang melibatkan konfirmasi dalam hal ini oleh para
pengguna Facebook yang lainnya untuk pada akhirnya mengkonstruk identitasnya, dimana
identitas tersebut jatuh hanya pada gambaran realitas yang hanya berlaku di dunia virtual,
dalam hal ini Facebook.
DAFTAR PUSTAKA
Baym, N. 1998. The Emergence of On-Line Community, dalam S. Jones (ed.). Cybersociety
2.0: Revisiting Computer-Mediated Communication and Community. London: Sage
Bell, David. 2001. An Introduction to Cyberculture. London-New York: Routledge
Berger, Pam, Are You Blogging Yet?, Infromation Searcher 14 No.2, 2003
Derlaga, Valerian J. and Berg, John H. Self-Disclosure: Theory, Research and Therapy (Perspectives in Social Psychology). New York: Plenum Press
Facebok.com/press diakses pada Minggu, 20 Juni 2010
http://siteanalytics.compete.com/facebook.com+friendster.com+myspace.com/?metric=uv diunduh pada Selasa, 22 Juni 2010
Foucault, Michel. 1969. The History of Sexuality: An Introduction. London and Worcester: Guilford Billing & Sons Ltd
Foucault, Michel. 1977. Discipline and Punish: the Birth of the Prison (transl. AlanSheridan). London: Allen Lane the Penguin Press.
Gane, Nicholas and Beer, David. 2008. New Media. Oxford-New York: Berg
Hine, Christine. 2000. Virtual Ethnography. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications
Holmes, David. 2005. Communication Theory: Media, Technology and Society. London, Thousand Oaks, New Dehli: SAGE Publications
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra
)
16
Jordan, Tim. 1999. Cyberpower, The culture and Politcs of Cyberspace and The Internet, London and New York: Routledge
Lechte, John. 1994. Fifty Key Contemporary Thinkers, From Structuralism to Posmodernity London: Allen & Uniwim
Littlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communication, 5th edition, California: Wadswort Publishing Company
Lydia, Alix Fillingham, 2001. Foucault Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius
Meyrowitz, J. 1985. No Sense of Place: The Impact of Electronic Media on Social Behavior.
New York: Oxford University Press
Misandra, Jully, Nurul Fitriani, Karinia Delicia, Adi Onggoboyo. 2010. Fenomena Alay di
Kalangan Remaja Pengguna Facebook Dalam Ruang Virtual. Tidak dipublikasi
McCaughey, Martha and Ayes, Michael D. 2003. Cyberactivism, Online Activism in Theory
and Practice, London and New York: Routledge
Purwanto, Edi. Micahel Foucault: Usaha Mengenal ‘Yang Lain’. http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/05/14/michel-foucault-usaha-mengenal-yang-lain/ diakses pada Rabu, 8 Juli 2010
Rheingold, Howard. 2000. The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier, Cambridge, MA: MIT Press
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Sharp, G. 1993. Extended Forms of The Social: Technological Mediation and Self Formation,
Arena Journal (New Series), No.1:221-37
Smith, Marc A. and Kollock, Peter. 1999. Communities in Cyberspace. London and New York: Routledge
Stuart Hall et. al. 1992. Modernity and Its Futures. London: Polity Press / The Open University, p. 274-295.
Stuart Hall. 1996. "The Question of Cultural Identity", in: Stuart Hall/David Held/Don Hubert/Kenneth Thompson, Modernity, Oxford: Blackwell, pp. 596-636.
Stuart Hall. 1990. Identity: Community, Culture, Difference. Ed. Jonathan Rutherford. London: Lawrence & Wishart
Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Pranada Media Grup
Wood, Andrew F., dan Smith, Matthew J. 2005. Online Communication, Lingking
Technology, Identity, and Culture. NewJersy: Lawrence Erlbaum Associates, Inc