Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

25
Konstruksi Sosial: Pembangunan sebuah Identitas Diaspora masyarakat Madura di Malang Laporan ini disusun berdasarkan hasil praktikum lapangan yang diadakan pada desa Sumberjaya, Gondanglegi, dan Dermo, guna prasyarat dan mengikuti Ujian Akhir semester Ganjil tahun Ajaran 2013-2014 Dosen Pembimbing: Roikan S. Sos Oleh M. Roddini (12511080711008) KEMENNTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU BUDAYA ANTROPOLOGI BUDAYA 2012

Transcript of Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

Page 1: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

Konstruksi Sosial: Pembangunan sebuah Identitas

Diaspora masyarakat Madura di Malang

Laporan ini disusun berdasarkan hasil praktikum lapangan yang diadakan pada desa

Sumberjaya, Gondanglegi, dan Dermo, guna prasyarat dan mengikuti Ujian Akhir

semester Ganjil tahun Ajaran 2013-2014

Dosen Pembimbing:

Roikan S. Sos

Oleh

M. Roddini (12511080711008)

KEMENNTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

ANTROPOLOGI BUDAYA

2012

Page 2: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian

ini, dengan judul: Konstruksi Sosial: Pembangunan sebuah Identitas masyarakat

diaspora masyarakat Madura di Malang. Dalam proses penelitian dan penulisan

Laporan ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

kepada:

1. Ibunda tercinta Khoirun Nihayah. B.A.

2. Ayahanda Drs. Mansur

3. Bapak Roikan S. Sos selaku dosen pembimbing penelitian

4. Ibu Siti Zurinani, M.A. selaku ketua prodi Antopologi Brawijaya

5. Rekan-rekan seperjuangan prodi Antropologi Budaya angkatan 2012

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Laporan Penelitian ini masih sangat jauh

dari kesempurnaan, untuk itu saran-saran yang membangun sangat diharapkan.

Semoga semua ini bermanfaat bagi kita.

Malang, 11 Januari 2014

Penulis

Page 3: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Fenomena persebaran suatu kelompok sosial manusia dari satu tempat ke tempat

lain sebenarnya bukanlah fenomena yang baru. Sejak zaman dahulu, manusia sudah sering

berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Bahkan, ilmuwan antropologi dan arkeologi pun

sudah membuktikan bahwa gaya hidup sebagian besar nenek moyang kita adalah

nomaden. Seperti apa yang ditulis di buku “Manusia Setengah Salmon” oleh Raditya Dika,

bahwa manusia juga akan mengalami hal sebagaimana salmon yang selalu berpindah-

pindah untuk kelangsungan hidupnya. Namun ada perbedaan diantara keduanya, jika ikan

Salmon melakukan hal tersebut atas kebutuhan reproduksi kelangsungan populasinya.

Manusia cenderung berdiaspora atau melakukann persebaran diawali atas dasar

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan subsistennya, seperti, makanan, untuk mendapatkan

modal-modal kapital/uang dan lain sebagainya. Hal tersebut dikarenakan oleh sifat manusia

yang juga merupakan mahluk homo economicus yaitu, mahluk yang selalu ingin

memperbaiki dan meningkatkan kualitas dalam hidupnya. Artinya manusia sebagai makhluk

ekonomi bersikap rasional, segala perilaku dan kegiatannya selalu memperhitungkan

keuntungan yang diperoleh. Sebagai homo economicus, manusia dihadapkan pada

persoalan ekonomi, yang muncul karena jumlah alat pemuas kebutuhan yang terbatas

dibanding dengan kebutuhan manusia itu sendiri.

Namun lebih dari itu, proses diaspora pada realisasinya juga menyebabkan

munculnya berbagai gejala sosial yang pelik. Seperti yang dikatakan oleh (Abdullah, 2006;

Ingold, 1995) bahwa sekelompok manusia yang pindah dari satu lingkungan budaya ke

lingkungan budaya yang lain, akan mengalami proses sosial-budaya yang dapat

mempengaruhi mode adaptasi dan pembentukan identitasnya.1 Diaspora, baik itu yang

sifatnya hanya migrasi sementara atau untuk dekade yang lama tersebut, akan

menghadapkan individu kepada kerangka kultural, definisi, nilai dan norma-norma yang baru

dalam kehidupannya, seperti gaya hidup, cara berpakaian, bahasa, ideologi dan lain

sebagainya. Hal ini merupakan sebuah proses sosial yang penting menyangkut dua hal.

Pertama, mengambarkan dinamika kebudayaan yang sedang berjalan pada sebuah

kelompok sosial dengan melihat proses dominasi dan subordinasi budaya yang terjadi

secara dinamis dalam kelompok tersebut. Dan yang Kedua, mengambarkan resistensi2

1 Baca: produksi dan reproduksi kebudayaan dalam ruang sosial baru. Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm: 41 s.d 42 2 Resistensi adalah sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya.

Page 4: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

didalam reprosuksi identitas sekelompok orang didalam konteks sosial-budaya tertentu.

Sebuah proses aktif menegaskan keberadaan latarbelakang budaya yang berbeda memalui

adaptasi terhadap sebuah kebudayaan baru atau yang biasa disebut pula sebagai

reproduksi kebudayaan.3 Serangkaian konsep tersebut penulis korelasikan dengan diaspora

yang terjadi pada etnis Madura yang ada di wilayah Jawa. Tepatnya penelitian ini dilakukan

di wilayah Malang dengan pengambilan sempel pada desa Bulupitu dan Sumberjaya

kecamatan Gondanglegi serta beberapa etnis Madura lain yang berdomisili di Malang.

Orang madura yang melakukan persebebaran ke suatu daerah tertentu, mau tidak

mau tentunya juga akan berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya yang

berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan koentjaraningrat bahwa, keterkaitan persebaran

dapat menyebabkan pertemuan-pertemuan antar kelompok manusia dan kebudayaan yang

berbeda, yang mengakibatkan individu-individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan

unsur kebudayaan yang lain.4 Sebuah realitas mengenai strategi yang menyangkut

bagaimana ‘kebudayaan asal’ direpresentasikan dalam lingkungan yang baru, guna

membedakan mereka dengan kelompok lain. Semisal salah satunya adalah kecenderungan

untuk mengasosiasikan diri dalam suatu wadah organisasinya yang disebut dengan asosiasi

klen5. Dimana mereka menciptakan suatu wadah tempat melakukan aktivitas yang

berhubungan dengan adat dan kegiatan sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara

sesama anggota klen di bawah pengaturan asosiasi.

Dalam penulisan laporan ini, penulis hendak memaparkan mengenai proses dinamis

yang dapat terjadi pada saat berlangsungnya interaksi yang terus-menerus antara sifat-sifat

general (sosial) pada saat proses reproduksi kebudayaan tersebut. Mengenai perubahan

ruang yang telah menyebabkan munculnya beberapa strategi untuk mempertahankan

sebuah identitas kebudayaan tertentu. Yaitu dengan cara menggunakan norma-norma dan

idiologi tradisional asalnya untuk mengembangkan gaya hidup (sub budaya) sendiri, guna

membedakan mereka dengan kelompok lain bahkan ketika dalam situasi yang kontemporer

sekalipun.

3 Reproduksi kebudayaan: proses penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya. Dengan kata lain reproduksi budaya merupakan penegasan budaya asli ke tempat tinggal yang baru. 4 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi I. (Rineka Cipta; Jakarta, 1990). Hlm: 2485 Klen/ clan : kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo; Jakarta. Hal 204.

Page 5: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah

mengenai: hal apa saja yang berhubungan dengan strategi budaya pada kasus diaspora

masyarakat Madura di Malang. Menyangkut sebuah proses reproduksi kebudayaan,

pembentuk identitas individu, ‘kekuasaan’ dalam sebuah kelompok sosial, sehingga

mempengaruhi prilaku serta tatanan sosial dalam keseharian hidupnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas praktikum penelitian lapangan

pada matakuliah etnografi Jawa dan Madura. Serta selanjutnya, untuk mendeskripsikan

mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan strategi budaya pada kasus diaspora

masyarakat Madura di Malang. Menyangkut sebuah proses reproduksi kebudayaan,

pembentuk identitas individu, ‘kekuasaan’ dalam sebuah kelompok sosial, sehingga

mempengaruhi prilaku serta tatanan sosial dalam keseharian hidupnya.

Page 6: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN METODE PENELITIAN

1. Landasan Teori

Ilmu antropologi menyediakan banyak teori yang telah dikemukakan oleh

beberapa ahli. Penulis memilih beberapa di antaranya yang mendasari penelitian

yang dilakukan guna mengkaji mengenai reproduksi kebudayaan masyarakat

Madura di Malang, yaitu:

1.1 Teori Kekuasaan Michel Foucault dan Ideologi: Lois Althusser

Teori Pengetahuan-Kekuasaan Foucault mulanya berpusat pada sebuah cara

dalam pembacaan dinamika persoalan masyarakat modern. Dimana pada

masyarakat modern sering ditemukan terdapatnya kompleksitas kekuasaan.

Sebuah kelompok sosial tidak lagi hanya terkurung dalam sebuah ‘kuasa’ budaya

tertentu. Mobilitas dan interaksi antar budaya dalam sebuah ruang/ arena

tertentu, telah meyebabkan bermacam-macam representasi tentang dunia yang

berbeda-beda. Disini Foucault mempertimbangkan adanya keberagaman hasil

tindakan manusia.

Foucault mendefinisikan kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya, bahwa

kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan

dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, serta memiliki

sifat produktif.6 Dalam kerangka kultural yang demikian ‘Kuasa’ tidak lagi

dipahami sebagai sistem umum dominasi suatu kelompok sosial terhadap yang

lain, Melainkan dipahami dengan banyak dan beragamaannya, hubungan-

hubungan yang melekat pada bidang hubungan tersebut dan organisasinya.7

Sebuah realitas yang bergerak melalui proses dialog, penerapan strategi tertentu

untuk menebarkan sebuah wacana, hingga membentuk identitas dan disiplin

tertentu.

Tujuan penulis menggunakan teori ini yaitu untuk menjelaskan, relasi antara

diaspora masyarakat Madura di Malang dengan reproduksi kebudayaan yang

terjadi didalamnya. Bagaimana pengetahuan dan spirit orang Madura tentang

norma dan nilai-nilai budaya asalnya untuk direpresentasikan kembali pada

6 Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.7 Ibid. Hlm: 11

Page 7: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

ruang diaspora yang ia tempati, yang pada akhirnya juga menciptakan ‘kuasa’ di

lingkungannya tersebut. Seperti adanya blater (atau yang orang desa bulupitu

dan Sumberjaya sebut ‘reng embongan’) sebagai lembaga keamanan informal,

Togukkan sebagai asosiasi klen, memicu eksklusifitas orang Madura di Malang.

Hal ini adalah pembukaan sebuah kedok teknik tertentu dari kekeuasaan yang

mengelompokkan orang kedalam kategori dan mengkaitkannya dengan identitas.

Hal ini nantinya, sedikit banyak tentu juga akan menyinggung terhadap

konsep pemikiranya Lois Althusser tentang ideologi. Yaitu bahwa Ideologi8

merupakan sebuah hal yang terkonsep, memiliki kekuatan untuk menunjukkan

kekuasaannya dengan caranya sendiri terhadap berbagai perkembangan sosial,

dengan berbagai kekuatan determinismenya (overdetermining) - ekonomi, politik,

cultural - yang saling bekerja dan berkompetisi satu dengan yang lain hingga

membentuk sebuah wacana lalu bermuara pada praktik sosial tertentu. Bahwa,

Interaksi antar manusia atau antara manusia dengan sebuah teks di kehidupan

sehari-hari merupakan aktivitas ideologis dan power yang terjadi di masyarakat,

‘mengikat’ mereka ke dalam suatu tatanan sosial yang disebut socialorder.

dimana ideologi dalam sebuah masyarakat terus ber-reproduksi.9 Bahwa tatanan

nilai dan norma yang di sebarkan oleh orang Madura di Malang, seperti

pengunaan bahasa daerah asalnya, pembentukan asosiasi/ organisasi klen, dan

lain sebagainya juga merupakan serangkaian aktivitas ideologis. Dengan

demikian artinya, fokus ideologi bukan hanya pada sikap antar manusia,

melainkan tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ideologi itu sendiri.

Bagaimana pola internalisasi dalam keluarga Madura yang ada di Malang,

seperti proses ibu/ ayah dalam mendidik anak-anaknya menjadi faktor penting

untuk keberlangsungan produksi ideologi, dan berjalan terus demikian sampai

sang anak juga menjadi agen produksi ideologi tersebut.

2. Metode dan Teknik Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengunakan Metode Kualitatif dengan pendekatan

Etnografi, Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan Menurut

Spradley metode ini ialah sebagai berikut: Tujuan utama aktifitas ini adalah untuk

memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana

dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah “memahami

sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan

8 ideologi adalah representasi/kumpulan ide atau gagasan dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya.9 Muchamad Sidik Roostandi. Ideologi dan identitas.(Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Indonesia, 2010 ). Hlm: 26

Page 8: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan

aktifitas belajar mengenai dunia orang lain dengan cara belajar, melihat, mendengar,

berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Etnografi tidak hanya

mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu. Etnografi belajar dari masyarakat.10

Artinya, penelitian ini juga merupakan penelitian yang bersifat empiris (dapat diamati

dengan pancaindera sesuai dengan kenyataan), hanya saja pengamatan atas data

bukanlah berdasarkan ukuran-ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti

dan harus dapat disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain. Melainkan berdasarkan

ungkapan subjek penelitian, sebagaimana yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek

penelitian dengan cara menggunakan konsep ke-alamiahan (kecermatan, kelengkapan,

atau orisinalitas) data dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Jadi, adapun dari

situ untuk dapat menggambarkan permasalahn seputar reproduksi kebudayaan

masyarakat Madura di Malang secara lebih dalam. Penulis juga tidak lupa untuk

menggunakan baik-baik semua indra yang dimilikinya untuk menangkap respon-respon

atau stimulus-stimulus yang berkaitan dengan penelitian tersebut. Hal ini melalui

beberapa tahapan seperti pertama yaitu pengamatan terhadap sasaran (masyarakat

Pandalungan di desa bulupitu dan Sumberjaya). Lalu berlanjut wawancara yaitu

mengajukan beberapa pertanyaan terstruktur terhadap pihak sasaran. Mendengar

jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut serta mengamati segala macam respon

yang di tunjukkan oleh sasaran, seperti gerak gestur, mimik muka dan lain sebagainya.

Penulis memilih pendekatan tersebut bertujuan untuk menelaah sikap atau perilaku

dalam proses reproduksi kebudayaan masyarakat Madura di Malang yang cenderung

artifisial, artinya sebagai sebagai kultur buatan atau hasil tiruan.

2.1 Teknik Pengambilan dan Penentuan Data

Penelitian ini didasarkan pada dua kelompok sumber data, yaitu data sekunder

dan primer. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai tempat dan meliputi karya-

karya terpublikasi, buku, majalah, jurnal, serta dokumen histori yang terkait dengan

masalah yang di teliti. Data sekunder tersebut dibutuhkan untuk membangun

konstruksi awak penelitian dan selanjutnya dibutuhkan untuk mambangun

interpretasi agar memperoleh pemahaman yang komprehensif dan mendalam.

Sedang data primer yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa informasi

dari kalangan masyarakat etnis Madura da Pandalungan melalui wawancara

langsung, mendalam dan intensif. Peneliti mengambil sempel dari informan yang

berumur 18 s.d 40 tahun, yang mengacu pada masyarakat Pandalungan (orang-

10 James P. Spradley. Metode Etnografi. 2007. Edisi II. (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2007) hlm: 4

Page 9: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

orang keturunan Madura) yang ada di Malang. Hal ini berkolerasi dengan tujuan

penelitian yaitu mendeskripsikan mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan

strategi budaya pada kasus diaspora masyarakat Madura di Malang. Menyangkut

sebuah proses reproduksi kebudayaan, pembentuk identitas individu, ‘kekuasaan’

dalam sebuah kelompok sosial, sehingga mempengaruhi prilaku serta tatanan sosial

dalam keseharian hidupnya. Jumlah sempel pada mulanya ditentukan sebesar 4 s.d

6 orang informan dari desa Sumberjaya dan Bulupitu, sebagai daerah di malang

yang mayoritas masyarakatnya adalah orang-orang pandalungan. Dan 3 s.d 4 orang

informan dari luar kedua daerah tersebut yaitu tepatnya di kelurahan dermo

kecamatan Jetis kota Malang.

Namun kenyataan di lapangan hanya terdapat 4 orang informan kunci dari total

5 orang informan yang dapat dijadikan data. Karena adanya beberapa tipe informan

yang tidak dapat melengkapi fokus kajian penelitian yaitu perwujudan atau gambaran

praktik-praktik sosio-kultural tentang tujuan penelitian. Mengingat data yang tersedia

dan informasi yang minim, peneliti terpaksa menggunakan data yang tersedia.

Page 10: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

BAB 3

PEMBAHASAN

Diaspora Masyarakat Madura di Malang: Redefinisi Area kebudayaan

Secara sedarhana Konsep “DIASPORA” merupakan bentuk hubungan sosial yang

diproduksi dari perpindahan sebuah masyarakat. Sekalipun mereka pindah dari daerah asal

mereka, namun mereka tetap menjaga keaslian identitas mereka. Diaspora ditandai dengan

tindakan keluar sebuah masyarakat atau etnis tertentu dari lingkungan asalnya dan

beberapa hal yang melatarbelakanginya. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa diaspora

dengan istilah migrasi. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari

satu tempat ke tempat lain. Perpindahan tersebut dilatarbelakangi oleh enam faktor yaitu, (1)

makin berkurangnya sumber-sumber alam di daerah asalnya, (2) menyempitnya lahan

pekerjaan akibat sistem politik, pendidikan, dan adat-istiadat didaerah asalnya, (3) alasan

perkawinan, (4) bencana alam, (5) adanya tekanan-tekanan/diskriminasi agama, politik, dan

suku didaerah asalnya, (6) ketidak cocokan lagi terhadap budaya dan kepercayaan di

tempal asalnya. Persamaan antara migarasi dan diaspora adalah keduanya sama-sama

merupakan sebuah bentuk perpindahan dan perbedaanya adalah pada identitas. Masarakat

yang berdiaspora adalah masyarakat yang tetap mempertahankan identitas asalnya, sedang

pada migrasi para migran lebih sering melepakan identitasnya dan cenderung tidak adanya

lagi rasa ketertarikan terhadap tanah airnya. 11

Faktor yang melarbelakangi diaspora orang Madura di malang adalah pada nomor

satu, dua, dan tiga. Seperti yang dikatakan Wiyata dalam Subaharianto dkk, bahwa

masyarakat Madura dipulau Madura sudah sangat lama diasosiasikan dengan atribut

kemiskinan dan keterbelakangan. Atribut tersebut didapatkan karena kondisi alam madura

yang gersang dan tandus sehingga daya dukung lahan, khususnya sektor pertanian,

terhadap penduduk tidak memadai. Ketika musim kemarau tiba tidak ada lagi yang dapat

diperbuat atas tanah yang kering dan tandus itu, kecuali tembakau.12 Tekanan kehidupan

sosial-ekonomi yang berat memaksa orang madura pergi merantau ke daerah lain, dalam

rangka mencari penghidupan yang lebih baik. Seperti yang dikemukakan oleh Pak Hariri,

seorang yang berprofesi sebagai Pamong desa13. Bahwa alasan terpenting pertama ia

pindah ke desa Bulupitu adalah lahan pekerjaan dan kepemilikan tanah di desa asalnya.11 Huprey. 2004: 32 dalam Shabrina. 2012. SKRIPSI. Diaspora masyarakat Libanon (1860-1990). Jakarta: Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Hlm: 512 Subaharianto, Wiyata, Kusnadi dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura: Menbentur Kultur, Menjunjung Leluhur. (Malang: Bayu Media). Hlm 4-513 Pamong desa merupakan pengurus pemerintahan desa yang bertugas sebagai pelaksana Teknis Lapangan, yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan masyarakat setempat dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Page 11: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

“...saya pindah kesini waktu umur 15 tahun mas, saudara saya ada enam. Dan bapak saya

hanya seorang buruh tani tembakau, yang memilki sepetak tanah tidak dapat ditanami selain

tembakau. Bapak saya dan saya sebagai anak tertua waktu itu, memutuskan pindah disini

karena mendapat kabar dari tetangga yang lebih dulu tinggal disini (maksudnya desa

Bulupitu). Katanya disini masih banyak tanah seng kosong, yo enek pabrik tebu pisan

(banyak lahan tanah yang kosong, serta terdapat pabrik tebu”

“...tetap tinggal disana saya juga mau makan apa mas, ya yang penting saat itu nekat dan

berdoa saja. Wong saya Cuma punya ijazah SD apalagi ayah saya”

(wawancara pada Pak Hariri, kamis 02 Januari 2014)

Hal ini adalah suatu sifat alamiah manusia sebagai mahluk homo economicus yang selalu

ingin memperbaiki dan meningkatkan kualitas dalam hidupnya. Orang madura dengan

kondisi ekologis daerah asalnyanya seperti demikian akhirnya berusaha untuk mengadakan

serangkaian cara agar kebutuhan penghidupannya tercukupi.

Namun melalui itu pula, bahwa internalisasi yang begitu kuat dalam sitem

kekerabatan orang madura, tentang norma dan nilai-nilai adiluhung kebudayaan asalnya

juga mendapatkan tantangan. Pertemuan antar etnis dalam sebuah ruang budaya juga pada

akhirnya akan membawa mereka yang pendatang untuk adaptasi/ penyesuain terhadap

nilai-nilai yang beredar pada ruang baru yang ia tinggali. Hal ini beracuan pada konsep

bahwa kebudayaan bagi sebuah masyarakat juga merupakan frame of reference, pedoman

tingkah laku dalam berbagai praktik sosial. Pola interaksi dan adaptasi antar budaya sebagai

konsekuensi proses komunikasi antar etnis, tidak dapat dipungkiri, telah melahirkan sebuah

varian budaya baru bernuansa hibrid yang kemudian disebut Pandalungan.14 Hal tersebut

berlangsung pada kurun waktu yang cukup lama melalui sebuah proses budaya dalam

masyarakat secara kontinyu.

Pada kasus perpindahan orang madura ke Jawa ini terdapat sebuah keunikan.

Orang madura mengadakan serangkaian cara agar kebudayaanya tetap dapat langgeng

dan terus menerus di pertahankan generasinya. Keterangan dari seorang informan, pak

shaleh warga kelurahan dermo kecamatan Dau misalnya. Pak shaleh adalah anak dari

orang Madura asli Sumenep, Ia lahir dan di besarkan di kota Jember. Pada usia kisaran 19

tahun, tepatnya pada tahun1987 ia memutuskan untuk merantau ke kota Malang. Tujuannya

14 Barker, Chris. Cultural Studies, Teori dan Praktik: terjemahan Indonesia oleh Nurhadi. (Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2004). Hlm: 208Pieterse dalam Barker menjelaskan bahwa hibridasi merupakan proses perpaduan yang menghasilkan piihan organisasional bagi masyarakat. Sedangkan hibridasi kultural membedakan berbagai respons budaya yang merentang dari asimilasi, bentuk¬bentuk pemisahan, sampai dengan hibrida yang mendestabilkan dan mengaburkan sekat¬sekat budaya sehingga terjadi persilangan serta munculnya `komunitas terbayang' meskipun tidak selamanya sekat masing-masing budaya terhapus.

Page 12: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

perantaunya pada saat itu adalah untuk mencari pekerjaan. Namun akibat tingkat

pendidikannya yang rendah pekerjaan yang ia dapat hanya sebagai pemerah susu di dusun

Dermo. Dahulu sama sekali ia tidak memilki kenalan orang madura, ia hanya bisa

berbahasa Madura. Suatu waktu ia bertemu dengan juragan baru/ pengepul baru yang juga

mempunyai pekerjaan sampingan jual mobil bekas, bernama Pak Said warga tumpang.

Awalnya dia hanya mereka-mereka bahwa pak Said adalah orang Madura. "...Yo angger

nebak ae le biyen, ketok e teko glagate kok wong medura pas tak ajak omong boso meduro

kok isa.( ya asal menebak saja waktu dulu itu nak, dari glagatnya seperti orang madura. Dan

waktu saya ajak bicara bahasa Madura dia bisa)". Pak shaleh dan Said adalah sama-sama

orang madura minoritas yang bertempat tinggal di Malang pada saat itu, maksudnya, dalam

keseharian hidupnya mereka sangat jarang berinteraksi dengan warga Madura, tetangga

rumah mereka sama sekali tidak ada orang Maduranya.

Namun pada akhirnya pertemuan tersebut menjadi awal bagi mereka berdua untuk

mengembangkan interaksi dengan orang sesama etnisnya. Pak said yang meskipun

notabenya jarang bertemu dengan orang Madura tapi dia juga mempunyai banyak kenalan

dengan sesama orang Madura di Malang. Sering mengajak pak said untuk kumpul bersam

dengan orang-orang Madura yang ada di Malang. Bahkan sampai membentuk sebuah

organisasi orang Madura dengan kegiatan istighosah mingguan bergilir di tiap-tiap rumah

anggota organisasinya. Dari situlah orang-orang Jawa yang bertetangga dengan pak shaleh

mulai mengenal bagaimana itu orang Madura sesungguhnya, meliputui mengenai

keeksklusif-an orang madura. "...dulu pertama-tama ketika aggotanya masih sedikit, hampir

setiap jumat malam rumah saya yang jadi tempat istigosah le, jadi yo sering rame" warga

sekitar kini mengenal pak shaleh sebagi seorang yang agamis. Akibat dari organisasi

tersebut, sekarang ia juga telah menjadi seorang berprofesi jual-beli mobil yang tergolong

sukses."...dulu waktu saya pertama disini orang sering menganggap bahwa orang madura

adalah orang yang didentik dengan kekerasan, kaku, angkoh, atau mudah terseinggung

mas, tapi alhmdulillah pelan tapi pasti dari bebrapa kegiatan yang kami lakukan. Pandangan

masyarakat yang seperti demikian berubah terhadap kami. Bahkan di salah satu pengajian

di desa ini (maksudnya adalah kelurahan Dermo). Saya pernah mengatakan, 'jika perkataan

orang Madura itu kasar itu adalah unkapan yang benar dari hatinya, dan jika pujian dari

orang madura yang mungkin anda lihat terlalu berlebihan, itu juga dari hatinya'.

Dari sini dapat dilihat bahwa sebuah arena budaya juga tidak melulu didefinisikan

sebagai mana dahulu, yang mengedepankan bentuk fisik seperti geografis, pakaian atau

yang lainnya. Melainkan, juga dapat dilihat dari tatanan sosial dalam sebuah ruang tertentu

yang membentuk etnis tersebut. Perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat

bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor yang

Page 13: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

menentukan penataan sosial secara meluas. Meminjam istilah Abdullah, bahwa perubahan

komunitas harus dilihat dalam konteks perubahan globalyang terjadi dan memilki pengaruh

dalam penataan sosial hingga ketingkat yang paling kecil. Tempat-tempat pun mengalami

perubahan karakter akibat interaksi dengan berbagai nilai yang berlainan dari berbagai

kelompok masyarakat.

Konstruksi Sosial: Pembangunan sebuah Identitas

Sebagai mahluk sosial manusia selalu hidup berdampingan dan saling

membutuhkan satu sama lain. Namun dari keadaan itulah manusia juga mendapati berbagai

batasan atas tindak-prilaku dalam keseharian hidupnya. Hal ini diperoleh dari gagasan dan

kesepakatan bersama antar individu dalam sebuah kelompok tertentu, guna kepentingan

kontrol sosial mereka dalam berkehidupan di lingkungannya masing-masing. Hal ini

memang cukup relevan ketika di terapkan dalam sebuah ruang budaya yang disitu di

tempati oleh satu etnis tertentu. Tapi lalu bagaimana dengan kasus diaspora orang madura

di Jawa? dimana dalam satu ruang budaya, mereka dipaksa untuk hidup berdampingan

dengan satu atau beberapa etnis lain. Arena budaya baru yang mereka tempati, disadari

atau tidak memeberi kerangka kultural baru bagi mereka, memberikan definisi-definisi dan

ukuran-ukuran nilai bagi kehidupan kelompok pendatang tersebut.15

Dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan, mengenai mengapa penulis lebih

cenderung mengunakan istilah diaspora ketimbang migrasi. Bahwa pada diaspora,

masyarakat yang melakukan perpindahan cenderung akan memepertahankan kebudayaan

asalnya, berkesebalikan dengan istilah migrasi. lalu kemudian akan berkorelasi dengan

kontrusi sosial. Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya

dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Secara sederhana

Kontruksi sosial adalah sebuah pernyataan keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut

pandang (a viewpoint) bahwa kandungan dari kesadaran, dan cara berhubungan dengan

orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan masyarakat.16 Pemahaman individu tentang

dunia, pengetahuan dan diri individu terbentuk dalam kondisi sosial historis yang konkrit.

Pengetahuan dan realitas konkrit dihubungkan oleh apa yang disebut Foucault sebagai

discourse atau diskursus, yakni sejumlah gagasan dan argumen yang langsung berkaitan

dengan teknik-teknik kontrol demi kekuasaan (power). Tanpa memandang dari mana

kekuasaan tersebut berasal, tetapi kekuasaanlah yang mendefinisikan pengetahuan,

melakukan penilaian apa yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh, mengatur

perilaku, mendisiplinkan dan mengontrol segala sesuatu, dan bahkan menghukumnya.

15 Lihat: Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm: 41- 4316 Charles R. Ngangi. KONSTRUKSI SOSIAL DALAM REALITAS SOSIAL dalam jurnal ASE – Volume 7 Nomor 2, Mei 2011: 1 - 4

Page 14: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

Dari pemahaman tersebut penulis hendak memaparkan mengenai beberapa strategi

yang dilaksanakan pada diaspora orang Madura yang akhirnya menjadikan mereka mampu

me-reproduksi kebudayaan asal mereka pada ruang baru yang ia tempati. Meminjam istilah

james scott, bahwa bentuk-bentuk reproduksi tersebut justru melahirkan wilayah-wilayah

simbolik baru yang memilki kekuatan isolasi yang sangat kuat terhadap lingkungan sekitar.

Terdapat beberapa strategi yang diterapkan oleh orang Madura pada proses

diaspora tersebut. Pertama adalah melalui bahasa, dialeg bahasa Madura pada desa

Bulupitu dan Sumberjaya. Dalam keseharian hidup mereka, tidak ada kejelasan yang pasti

tentang bahasa apa yang sebanarnya pertama di-internalisasikan oleh para orang tua

kepada anak-anaknya. Mereka hanya sedemikian rupa berjalan, mengajari anak-anak

mereka untuk paham terhadap dua varian bahasa yaitu, bahasa Madura dan Jawa. semisal

pada dialog ini :

Ujaran seorang pandhalungan :“...jek de’iyeh, mon de’eiyeh gak oleh le.(tidak, begitu itu

tidak baik nak).”

“...seteyah kan bulan maulud, mon maskeh belajar ye

belajar, tapeh agemah jok sampek kelopaen. (ini kan bulan

maulid, belajar ya belajar. Tapi agama juga jangan

dilupakan).”17

Ujaran seorang Madura asli :”...ela jek de’iyeh, mon de’iyeh tak lebur cong”

“...satiya kan bulen maulid, mon maskeh ajer ye ajer, tapeh

agemah jugen tek olle ekalopaen”

Dari kedua dialog tersebut, ditemukan terdapatnya perbedaan antara ujaran dari seorang

madura pandalungan dan madura yang asli. Orang pandalungan tersebut cenderung masih

membawa unsur bahasa Jawa dalam dialeknya. Istri dari pak Hariri juga memberikan

pengumpamaan bahwa hal tersebut merupakan bentuk pembelajaran mereka terhadap

bahasa Madura kepada anaknya. Dan lebih jauh dari pada itu, sistem pembelajaran dua

bahasa seperti demikian ternyata juga ia akui dapatkan sejak ia masih seusia anaknya.

Selanjutnya lain dari pada itu, seorang informan, Pak Abdul Ghoni Pamong desa

Sumberjaya juga memberikan isyarat pengumpamaan. Sebagai gambaran tentang begitu

kuatnya internalisasi dari keluarga, mengenai pengenalan norma dan nilai kebudayaan

asalnya Madura. Dengan mengatakan: “...kalau orang Jawa itu berpikir bahwa bekal yang

terbaik bagi anaknya itu ada dua yaitu agama dan pendidikan/ ilmu pengetahuan. Orang

Madura berbeda bekal yang terpenting untuk anak adalah Agama, pendidikan hanya

pendukung ketika orang itu mampu baik dri tenaga pikiran maupun ekonomi. Bapak dan

mabah dulu waktu saya kecil, mana pernah memarahi saya ketika saya tidak berangkat

17 Didapatkan ketika wawancara pada Pak hariri. Saat itu istri pak hariri sedang memarahi anaknya yang masih berusia kisaran 6 tahun, yang sedang bermain di selokan depan rumah. Serta ketika ia bercanda dengan saya tentang maulid nabi. Nb: perlu diketahui bahwa istri pak hariri juga merupakan anak dari Migran madura, tapi dia lahir di desa bulupitu kabupaten Malang. Kamis 02 januari 2014

Page 15: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

kesekolah. Yang ada saya di samblekki iku le ambek sapu lek gak budal ngaji ( saya di

pukuli itu nak dengan gagang sapu ketika tidak berangkat mengaji). Dan ketika sore begini

ini saya di kon ngelalar/ngapalno olehi ngaji seng dino wingi (saya disuruh belajar tentang

hasil yang sudah di peroleh ketika mengaji kemaren harinya)”. Hubungan pembentukan

identitas orang Madura yang ada di Malang begitu kuat melalui keluarga. Bagaimana

mereka mereprensentasikan kembali kebudayaan asalanya, yang kuat bernuansa islami di

daerah perantauan mereka.

Seperti apa yang dikatakan oleh Althusser, bahwa fokus ideologi bukan hanya pada

sikap antar manusia, melainkan tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ideologi itu

sendiri. dalam contoh ini adalah organisasi sosial ‘keluarga’. Ketika dia sukses

menginternalisasikan ideologi tersebut kepada anak-anaknya, berarti kemungkinan besar

ideologi tersebut juga akan sukses langgeng di kemudian harinya. Namun jika seorang

menemui kegagalan dalam menjunjung nilai-nilai kebudayaan asalnya tersebut, maka dapat

dicurigai bahwa keluarganya dahulu juga telah gagal merepresentasikan hal tersebut

kepadanya.

Kedua, asosiasi klen18 yang dimaksud disini adalah kecenderungan suatu etnis

tertentu untuk mengasosiasikan diri dalam suatu wadah organisasi. Dimana mereka

menciptakan suatu wadah tempat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan adat dan

kegiatan sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara sesama anggota klen di bawah

pengaturan asosiasi. Penulis menemukan konsep-konsep semacam demikian di desa

Sumberjaya yaitu melalui bentuk organisasi yang bernama togukkan.19 Seorang informan

bernama Pak Hariri yang kemudian dikuatkan oleh Rahman mengemukakan bahwa, didesa

juga terdapat organisasi yang bernama togukkan. Meskipun tidak diketahui peraturanya

secara pasti. Namun di organisasi tersebut diketahui bahwa semua anggotanya rata

merupakan ‘reng embongan’ atau blater jika orang madura sebut.20 Lebih dari itu, setiap ada

pergelakan acara togukkan akan sering dibarengi oleh karnaval kasenian Madura. Atau jika

tidak demikian sebelum acara togukkan tersebut di mulai, akan ada adu pantun dari pihak

yang mengadakan acara kepada para anggotanya. Pantun tersebut berisi guyonan yang

18 Klen/ clan : kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo; Jakarta. Hal 204.19 Togukkan adalah semacam acara Buwuhan jika orang jawa menyebut. Yaitu, rombongan beberapa orang yang datang untuk menyumbangkan sebagian harta bendanya kepada saodara, teman atau tetangganya yang sedang mengadakan hajatan atau pesta, entah itu seperti sunatan, perkawinan maupun lamaran. Namun Togukkan sedikit berbeda, ia memilki sistem yang hampir sama dengan arisan (ungkap pak Hariri). Orang yang terdaftar dalam Togukkan meiliki kewajiban untuk bergantian menyumbang. Orang-orang yang masuk pada daftar anggota Togukkan tersebut juga tidak bisa sembarangan. Ada beberapa prosedur yang harus ia lalui seperti pengisian alamat lengkap, surat perjanjian dan lain sebagainya.20 Dalam prespektif orang Jawa blater adalah orang yang memilki sifat terbuka, luwes, dan ekspresif, dalam pergaulan sosial. orang blater adalah orang yang mudah bergauldengan siapapun dan dalam lingkungan sosial apa pun dan tidak ada kaitannya dengan kecenderungantindakan sosialnyayang kriminal. Blater dalam pengertian orang madura agaknya sinonim dari pengertian jagoan dalam masyarakat Jawa. (Wiyata dalam Subaharianto. 2004) hlm: 57

Page 16: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

disampaikan dengan menggunakan bahasa Madura. Dan pada malam harinya akan di isi

oleh kontes musik dangdut. Dalam kontes tersebut biasanya para anggota organisasi akan

naik keatas panggung untuk memeberikan saweran atau penghargaan kepada penyanyi.

Sebagai simbol bahwa ia telah mampu dalam bidang ekonomi atau berkecukupan. Dari sini

dapat dapat dilihat bahwa togukkan juga merupakan strategi kebudayaan dari orang

pandalungan untuk merepresentasikan wujud kebudayaan aslinya.

Selanjutnya kita akan coba melihat mengenai bagaimana mekanisme konsep

kekuasaan faucolt pada sebuah masyarakat yang berlaku di diaspora orang Madura di

malang dari sebutan reng embungan atau blater tersebut. Misalnya melalui pemaparan Pak

Rahman kepala desa Bulupitu yang juga kemudian dikuatkan oleh Pak Haris kepala desa

Sumberjaya, tentang fenomena ssosial yang terjadi saat pemilihan kepala desa Bulupitu

bulan november kemaren. Kedua orang tersebut sama-sama mengemukakan bahwa,

"...pada saat terakhir menjelang pemilihan. Semua Gang-gang masuk RT desa bulupitu di

tutup oleh wong-wong embongan. Bahkan pak Rahman mengumpamakan bahwa setiap

lorong masuk desa ini di tutup dan di jaga ketat oleh orang-orang tersebut. Tujuan mereka

untuk menghindari adanya kegiatatn-kegiatan politik praktis pada saat minggu tenang

tersebut. Setiap warga yang tidak berkepentingan jelas tidak diperbolehkan berkunjung/

masuk ke daerah yang bukan RT tempat tinggalnya. Dan siapa pun yang menolak atau

melanggar hal tersebut akan ditindak tegas oleh wong-wong embungan tersebut. Dalam

kasus ini, meskipun penulis juga sempat menemui kecurigaan bahwa ini merupakan

kepntingan-kepentingan politis ulah dari politisi elit desa tersebut. Namun sedikit banyak hal

tersebut telah memberikan gambaran mengenai disiplin dan keketraturan sosial yang di

bentuk melalui simbol-simbol kebudayaan. Reng embungan atau blater yang diartikan oleh

orang madura sebagai jagoan, orang yang luwes, banyak pengalaman, dan semacam

lembaga keamanan informal dan orang yang patut untuk di segani. Pada akhirnya juga

menjadi simbol kebudayaan yang mampu mewacanakan ideologi/ penetahuan, yang itu

sama artinya dengan memilki kekuasaan. Mampu memberi tindakan-tindakan represif pada

angota kelompoknya. Anggota kelompok masyarakat tersebut bahkan sampai tidak

menyadari bahwa itu juga merupakan kekerasan simbolik. Sebuah alat pranata sosial yang

tanpa di dasari mengatur kehidupan sosialnya.

BAB 4

PENUTUP

Kesimpulan

Pergeseran konsep etnisitas dan batas kebudayaan secara struktural, sejalan

dengan globalisasi yang meluas dan intensif. Pada akhirnya juga mengantarkan masyarakat

Madura pada tantangan untuk membuat serangkaian strategi agar tetap mempertahankan

Page 17: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

norma-dan nilai-nilai kebudayaan asalnya. Proses reproduksi ideologi yang berjalan pada

masyarakat multietnis demikian, tidak hanya fokus pada sikap antar individu. Melainkan,

juga lewat tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ideologi itu sendiri. Tatanan sosial

tersebut jugalah yang telah melahirkan kekuasaan untuk megendalikan individu dalam

masyarakat. Kuatnya pengetahuan dan spirit orang-orang Madura yang ada di Jawa

khususnya Malang menjadikanya terus dapat melanggengkan ideologi kebudayaan asalnya

di tempat yang baru. Namun spirit itu sendiri, bukanlah hal yang begitu saja muncul,

melainkan ia adalah bentuk dari lingkaran siklus pewarisan simbol-simbol budaya.

Page 18: Konstruksi Sosial_Pembangunan Sebuah Identitas_Diaspora Masyarakat Madura Di Malang

DAFTAR PUSTAKA

Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi I. Rineka Cipta; Jakarta

Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo;

Jakarta.

Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik

Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari

2002.

Muchamad Sidik Roostandi. 2010. Ideologi dan identitas. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya.

Universitas Indonesia

James P. Spardley. 2007. Metode Etnografi. Edisi II. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Shabrina. 2012. SKRIPSI. Diaspora masyarakat Libanon (1860-1990). Jakarta: Fakultas

Ilmu pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia

Subaharianto, Wiyata, Kusnadi dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura: Menbentur

Kultur, Menjunjung Leluhur. Malang: Bayu Media

Barker, Chris. Cultural Studies, 2004. Teori dan Praktik: terjemahan Indonesia oleh Nurhadi.

Yogyakarta: Kreasi Wacana

Charles R. Ngangi. KONSTRUKSI SOSIAL DALAM REALITAS SOSIAL dalam jurnal ASE –

Volume 7 Nomor 2, Mei 2011: 1 - 4