Konstipasi Pada Anak 1

16
KONSTIPASI I. DEFINISI Berbagai batasan konstipasi dapat kita temui dalam literatur, yang pada umumnya didasarkan pada frekuensi defekasi yang jarang, konsistensi feses yang keras dan kesulitan dalam pengeluaran feses. Beberapa penulis menggunakan batasan sederhana: defekasi kurang dari 3 kali seminggu. Yang lain lebih menekankan pada kesulitan pengeluaran feses tanpa memperhitungkan frekuensi. (3) North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPGAN) 2006 mendefenisikan konstipasi sebagai kelambatan atau kesulitan dalam defekasi yang terjadi dua minggu atau lebih dan cukup membuat pasien menderita. Jadi ada dua komponen penting dalam definisi ini: a) kelambatan artinya penurunan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali seminggu, b) kesulitan dalam defekasi. Seorang anak mungkin bisa buang air besar setiap hari tetapi jika disertai kesulitan dalam pengeluaran feses disebabkan karena konsistensinya (fesesnya keras dan besar), itu disebut konstipasi. Di lain pihak, jika seorang anak defekasi dua atau tiga hari sekali namun fesesnya lunak dan tidak ada 1

description

hfkhgkj

Transcript of Konstipasi Pada Anak 1

Page 1: Konstipasi Pada Anak 1

KONSTIPASI

I. DEFINISI

Berbagai batasan konstipasi dapat kita temui dalam literatur, yang pada

umumnya didasarkan pada frekuensi defekasi yang jarang, konsistensi

feses yang keras dan kesulitan dalam pengeluaran feses. Beberapa penulis

menggunakan batasan sederhana: defekasi kurang dari 3 kali seminggu.

Yang lain lebih menekankan pada kesulitan pengeluaran feses tanpa

memperhitungkan frekuensi.(3)

North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition

(NASPGAN) 2006 mendefenisikan konstipasi sebagai kelambatan atau

kesulitan dalam defekasi yang terjadi dua minggu atau lebih dan cukup

membuat pasien menderita. Jadi ada dua komponen penting dalam definisi

ini: a) kelambatan artinya penurunan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali

seminggu, b) kesulitan dalam defekasi. Seorang anak mungkin bisa buang

air besar setiap hari tetapi jika disertai kesulitan dalam pengeluaran feses

disebabkan karena konsistensinya (fesesnya keras dan besar), itu disebut

konstipasi. Di lain pihak, jika seorang anak defekasi dua atau tiga hari

sekali namun fesesnya lunak dan tidak ada kesulitan dalam buang air

besar, ini tidak disebut konstipasi.(1)

Kriteria ROMA II membedakan definisi konstipasi fungsional

kronik pada dewasa, anak dan bayi. Anak dikatakan mengalami konstipasi

kronik fungsional bila tidak ada bukti kelainan anatomi, endokrin, atau

metabolik dan terdapat gejala berikut selama minimal 2 minggu, yaitu

pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terdapat frekuensi defekasi

kurang 3x seminggu atau bila terdapat nyeri saat defekasi dan retensi feses

walaupun frekuensi defekasi 3 kali seminggu atau lebih. Pada anak berusia

> 4 tahun.(1) Konstipasi ditegakkan bila terdapat minimal 2 kriteria berikut:

a) frekuensi defekasi 2 kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian

laksatif.

b) terdapat 2 kali atau lebih episode solling/enkopresis setiap minggunya

1

Page 2: Konstipasi Pada Anak 1

c) terdapat periode pengeluaran feses dalam jumlah besar 7 – 30 hari.

d) teraba massa abdominal atau massa rektal pada pemeriksaan fisik.(1)

Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak

UmurNilai Rata-rata defekasi

per minggu

Nilai Rata-rata defekasi

per hari

0 – 3 bulan

ASI

Formula

5 – 40

5 – 28

2,9

2,0

6 – 12 bulan 5 – 28 1,8

1 – 3 tahun 4 – 21 1,4

> 3 tahun 3 – 14 1,0

Table 1. Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak.(4)

II. ETIOLOGI

Pada sebagian besar anak, penyebab konstipasi adalah fungsional,

karenanya tidak terdapat bukti obyektif untuk terjadinya suatu keadaaan patologis.

Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan oleh kelainan fungsional dan hanya

5% disebabkan oleh kelainan organik. Di antara penyebab organik, penyakit

Hirschprung adalah penyebab tersering dan paling penting. Walaupun demikian,

pada neonatus penyebab organik lebih sering dari pada penyebab fungsional. Bila

terjadi konstipasi pada neonatus harus dipikirkan penyebab organik terlebih

dahulu seperti penyakit Hirschprung dan hipothyroidism.(1)

Konstipasi fungsional sebagian besar berkaitan dengan rasa nyeri saat

defekasi yang mengakibatkan penahanan feses secara sadar oleh seorang anak

dengan harapan defekasi yang tidak menyenangkan dapat dihindari. Berbagai

kejadian dapat menyebabkan rasa nyeri saat defekasi seperti toilet training terlalu

dini, perubahan makanan, kurang minum, dan meningkatnya kehilangan cairan

(dehidrasi), asupan susu yang berlebihan (susu mengandung rendah serat dan

tinggi kalsium), intoleransi terhadap susu sapi dapat bermanifestasi konstipasi

(8%), sebagian besar IgE-mediated dengan karakteristik utamanya infiltrasi

2

Page 3: Konstipasi Pada Anak 1

eosinofil, kejadian yang menyebabkan stres, menderita penyakit yang lama, tidak

tersedianya toilet, atau penundaan defekasi karena anak tersebut terlalu sibuk.

Hal-hal tersebut di atas akan menyebabkan pemanjangan stasis feses dalam kolon,

dengan reabsorpsi cairan, dan peningkatan ukuran dan konsistensi feses.(1)

Penyebab Konstipasi pada Anak

Kausa

Idiopatik atau fungsional 95%

Lesi sekunder pada anal Fisura Anal, lokasi anus yang terletak

anterior, stenosis anal

Neurologikal Lesi spinal cord, cerebral palsy,

penyakit Hirschsprung

Endokrine / metabolic Hypothyroidism, asidosis, diabetes

insipidus, hyperkalsemia

Obat-obatan Anti konvulsi, antipsikotik, codein

mengandung anti diare, antasid

Tabel 2. Penyebab Konstipasi pada Anak.(1)

III. PATOFISIOLOGI

Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait

dengan faktor anatomi dan fisiologi dalam proses mekanisme defekasi terganggu.

Gangguan dapat terjadi pada kekuatan propulsif, sensasi rektal ataupun suatu

obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet). Konstipasi dikatakan

idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik, fisiologik,

radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.(5)

Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi

yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ

sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan

merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani

interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna

kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon

melalui anus. Bila relaksasi sfingter interna tidak cukup kuat, maka sfingter anal 3

Page 4: Konstipasi Pada Anak 1

eksterna akan berkontraksi secara reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan. Otot

puborektal akan membantu sfingter anal eksterna sehingga keinginan defekasi

juga menghilang.(5)

Pada konstipasi, feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari

satu bulan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas

peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang

semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan

kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah

terjadi.(5)

Patofisiologi Defekasi

Gambar 1. Patofisiologi Defekasi.(1)

IV. GEJALA DAN TANDA KLINIS

Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi.

Dengan terjadinya retensi tinja, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul

seperti nyeri dan distensi abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting

dicatat adanya riwayat tinja yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang

mungkin menyumbat saluran toilet. Seorang anak yang mengalami konstipasi

biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan

mengalami perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat

4

REKTUM

SARAF INTRINSIK

RELAKSASI SFINGTER INTERNA

DEFEKASIKONSTRIKSI ANUS

Otot puborektal

LAMA

REFLEKS DEFEKASI HILANG

RELAKSASI SFINGTER EXTERNA

KONSTRIKSI SFINGTER EXTERNA

Isi usus

lemah

kuat

Page 5: Konstipasi Pada Anak 1

disalahtafsirkan sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Inkontinensia urin dan

infeksi saluran kemih, seringkali berkaitan dengan konstipasi pada anak.

Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter ditemukan pada

anak dengan konstipasi kronis. Jika feses lama berada di rektum, lebih banyak

bakteri yang berkolonisasi di perineum sehingga akan meningkatkan risiko infeksi

saluran kemih. Penelitian menemukan bahwa dengan mengobati konstipasi akan

menurunkan risiko rekurensi dari infeksi saluran kemih.(1)

Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus

normal, meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen

kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang

dapat teraba di daerah epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan

lebar merupakan tanda penting pada konstipasi. Pemeriksaan fisik yang penting

yang membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 3.

Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Hirschsprung Disease

Gejala Konstipasi fungsional Hirschsprung Disease

Mekonium terlambat Jarang Sering

Onset Setelah 2 tahun Saat lahir

Failure to thrive Jarang Sering

Fecal incontinence Sering Hampir tidak pernah

Riwayat adanya fissura Sering Jarang

Distensi abdomen Jarang Sering

Enterocolitis Tidak Bisa terjadi

Colok dubur Terdapat feses Kosong

Tinja menyemprot bila

telunjuk dicabut

Gagal tumbuh Jarang Sering

Tabel 3. Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Hirschsprung

Disease(1)

V. DIAGNOSIS

5

Page 6: Konstipasi Pada Anak 1

Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan

kemungkinan pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang

tua bahwa anaknya menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada

anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi.

Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat dan colok dubur perlu

dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya

memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal dan

bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan

fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun

frekuensi defekasi. Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila

tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum

memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali mengidentifikasi kasus

pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal ini. (1)

Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan

apakah konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila

keluhan berlangsung kurang dari 1 – 4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan

berlangsung lebih dari 1 bulan.(1)

Penyebab konstipasi akut yang paling sering adalah konstipasi fungsional,

fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet, dan obat. Tetapi perlu dipikirkan

kelainan yang mengancam kehidupan, seperti obstruksi usus, dehidrasi dan

botulisme infantil. Salah satu penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi

virus. Infeksi virus dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya

frekuensi defekasi. Anak juga mengalami anoreksia serta kehilangan banyak

cairan melalui saluran nafas dan demam.(1)

Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi

kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit

Hirschsprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.(1)

Pemeriksaan Penunjang

6

Page 7: Konstipasi Pada Anak 1

Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang

diduga mempunyai penyebab organik.

1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa

tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok

dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak

teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.(1)

2. Pemeriksaan barium enema untuk mencari penyebab organik seperti

Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus.(8)

3. Pemeriksaan darah terutama pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan TSH

dilakukan untuk memastikan diagnosis, apabila ditemukan kadar T4 rendah

disertai kadar TSH yang meningkat maka diagnosis bisa ditegakkan untuk

menyingkirkan diagnosis banding lainnya.(8)

4. Pemeriksaan radiologis berupa pemeriksaan osifikasi tulang (bone age).

Biasanya pada hipotiroidisme ada ketidak sesuaian antara bone age dan

chronological age.(7)

VI. PENATALAKSANAAN

Tata laksana meliputi :

Edukasi orang tua. Edukasi pada orang tua ini dapat diberikan mengenai

pengertian konstipasi, meliputi penyebab, gejala maupun terapi yang dapat

diberikan. (6)

Evakuasi atau pembersihan skibala. Adalah awal yang sangat penting

untuk dilakukan sebelum memulai terapi rumatan. Skibala dapat

dikeluarkan dengan obat per oral atau per rectal. Pemberian obat secara

oral merupakan pengobatan yang tidak invasive namun memerlukan

ketaatan dalam meminum obat. Sebaliknya pemakaian obat melalui rectal

memberikan efek yang cepat namun memberikan efek psikologis yang

kurang baik pada anak dan dapat menimbulkan trauma pada anus. Obat

per oral yang biasa dipakai adalah mineral oil, larutan polietilen glikol,

laktulosa, sorbitol. Mineral oil (paraffin liquid) dengan dosis

15-30ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi.

7

Page 8: Konstipasi Pada Anak 1

Larutan polietilen glikol diberikan 20ml/kg/jam (maksimum 1000ml/jam)

diberikan melalui NGT selama 4 jam perhari. Evakuasi tinja dengan obat

per rectum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg BB 1-2

kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-

1000ml). Pada bayi digunakan enema gliserin 2-5ml. Evakuasi tinja

dilakukan selama 3 hari berturut-turut agar evakuasi tinja sempurna. (6)

Terapi rumatan untuk mencegah kekambuhan , yang meliputi :

1. Intervensi diet, anak dianjurkan banyak minum, serta

menkonsumsi karbohidrat dan serat. (6)

2. Modifikasi prilaku dan toilet training. Segera setelah makan anak

dianjurkan untuk buang air besar, beri waktu sekitar 10-15 menit

bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan

mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. (6)

3. Pemberian laksatif seperti laktulosa, sorbitol dan paraffin liquid.

Apabila terjadi konstipasi kronik, rujuk ke dokter subspesialis

gastrohepatologi anak. (6)

Bedah

Diperlukan pada kasus Hirschsprung, striktura ani dan adanya kelainan

organik. (6)

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan subspesialis lainnya, dll)

Bila terjadi konstipasi kronik lebih dari 3 bulan, rujuk ke konsultan

gastrohepatologi. (6)

VII. PROGNOSIS

8

Page 9: Konstipasi Pada Anak 1

Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari penyebabnya.

Anak dengan inkontinensia feses yang volunter tanpa disertai adanya mega

rektum dan impaksi (kemacetan) sangat resisten terhadap pengobatan. Anak

dengan keadaan seperti ini seringkali disertai gangguan tingkah laku yang berat,

dan memerlukan evaluasi dan pengobatan psikiatri. Selain itu, angka keberhasilan

tindakan pembedahan kolon pada penderita konstipasi yang intraktabel sangat

tergantung pada ketepatan diagnosis praoperasi. (6,7)

DAFTAR PUSTAKA

9

Page 10: Konstipasi Pada Anak 1

1. USU.Konstipasi.Availablefrom:repository.usu.ac.id/bitstream/

123456789/31236/4/Chapter II.pdf

2. Mansjoer, Arif. Konstipasi. Kapita Selekta Kedokteran – Gastroenterologi

Anak. Media Aesculapius FKUI. Jakarta :2000

3. Syarif, Badriul Hegar. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri Vol. 6. Penerbit

FKUI. Jakarta :2004

4. Wendy S. Biggs, M.D., William H. Dery, M.D. Evaluation and Treatment of

Constipation in Infants and Children, Michigan State University College of

Human Medicine, East Lansing, Michigan [online]. 2015 june 1;73(3):469-

477 [cited 2015 june 7]. Available from:

http://www.aafp.org/afp/2015/0201/p469.html

5. Alpha Fardah A., IG. M. Reza Gunadi Ranuh, Subijanto Marto Sudarmo.

Konstipasi. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR

Surabaya [online]. 2015 [cited 2015 june 7]. Available from:

http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-

cmis232.htm

6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konstipasi – Standar Pelayanan Medis

Kesehatan Anak Edisi I 2004. Badan Penerbit IDAI. 2005.

7. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI . Buku kuliah jilid 1 Ilmu

Kesehatan Anak hal 266. InfoMedika.Jakarta: 1985.

8. E. Behrman, Richard. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 12 Bagian 3.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

10