BAB I Konstipasi

download BAB I Konstipasi

of 22

description

Konstipasi Pada Geriatri

Transcript of BAB I Konstipasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar BelakangGeriatri atau Lansia merupakan suatu proses yang alami yang tidak dapat dihindari. Orang menjadi tua ditandai dengan kemunduran-kemunduran biologis yang pada lahirnya terlihat gejala-gejala kemunduran fisik diantaranya kulit mengendor, wajah keriput, rambut mulai berubah putih, gigi mulai ompong, penglihatan dan pendengaran menjadi buruk, cepat dan mudah lelah dan kerampingan tubuh mulai menghilang.1

Pada lansia akan mengalami kemunduran biologis tubuh yang mengakibatkan aktifitas kerjanya menurun dan kecukupan gizi yang dibutuhkan lebih rendah dibanding pada usia remaja dan dewasa. Untuk mencapai gizi yang prima, lansia harus memakan makanan yang beraneka ragam dan menggunakan semua macam bahan makanan dari semua golongan serta bahan makanan dalam jumlah dan kualitas yang benar dan tepat. Salah satu yang harus diperhatikan pada usia ini adalah konsumsi serat dan intake cairan setiap hari. Ini bertujuan agar manusia lansia terhindar dari terjadinya konstipasi, wasir, hemoroid dan kanker kolon.1Konstipasi yang terjadi pada lansia berbeda dengan konstipasi pada usia muda, sebagian besar problem konstipasi pada lansia berhubungan dengan penurunan otalitas kolon terbatas ke anorekturo, yaitu berupa kegagalan relaksasi otot-otot didasar pinggul selama proses defekasi.1,2Faktor resiko konstipasi pada lanjut usia antara lain disebabkan oleh pengaruh obatobatan seperti obat antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik dan diuretik, bisa juga kondisi neurologik seperti stroke dan penyakit parkinson, gangguan metabolic seperti hiperkalsemia, hipokalemia hipotiroidisme, psikologik seperti psikosis, depresi, dimensia dan berbagai penyakit saluran cerna seperti kanker kolon, divertikel ileus hernia dan volvunus, bisa juga disebabkan oleh diet rendah serat, kurangnya asupan cairan, imobilisasi dan kurang olahraga. Konstipasi pada lanjut usia lebih sering terjadi pada lanjut usia umur 60 tahun, sebagian besar konstipasi pada lanjut usia berhubungan dengan penurunan motilitas kolon, berkurangnya mobilitas aktifitas fisik, rendahnya asupan serat dan asupan cairan pada lanjut usia.1,2,3Makanan atau diet sehari memegang peranan penting dalam fungsi saluran cerna: terutama pada kelompok lansia. Bukti-bukti yang kuat dari penelitian epidemiologi terhadap tinggi rendahnya prefalensi konstipasi dan gangguan saluran cerna lainnya.1,2Menurut informasi mengenai jumlah serat yang dikonsumsi sehari. Oleh lansia terutama di Indonesia yang tinggal di Metropolitan Jakarta dan lansia yang tinggal di Semarang menunjukkan bahwa rata-rata asupan serat makananya itu 16 gr/hr untuk lansia yang tinggal di Semarang dan 11 gr/hr untuk lansia yang tinggal di Jakarta.1Status hidrasi yang rendah dapat memperburuk konstipasi pada lanjut usia, karena pada umumnya lanjut usia membatasi asupan cairan yang dapat menyebabkan seringnya buang air kecil. Perubahan rasa haus dimana rasa dahaga menurun (hipodipsia) berkurang kemampuan untuk mensekresi urin dan mempertahankan bodywater terjadi pada lansia menyebabkan resiko tinggi terjadi dehidrasi. Untuk itu dianjurkan untuk mengkonsumsi air sebanyak 15002000cc perhari atau 30cc/kgbb/Hari.1Pengobatan empiris dapat dicoba secara awal untuk pasien dengan konstipasi fungsional. Pengelolaan konstipasi kronis termasuk menjaga buku catatan harian untuk merekam sifat dari buang air besar, konseling pada pelatihan usus, meningkatkan cairan dan asupan makanan berserat, dan meningkatkan aktivitas fisik. Ada berbagai pilihan resep obat pencahar yang tersedia untuk pengobatan konstipasi. Serat dan pencahar meningkatkan frekuensi buang air dan meningkatkan gejala konstipasi. Jika konstipasi refrakter terhadap pengobatan medis, evaluasi diagnostik lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menilai waktu transit usus dan disfungsi anorektal. Metode pengobatan alternatif seperti biofeedback dan operasi dapat dipertimbangkan untuk pasien ini.4BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Batasan Usia Lanjut Batasan umur lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut usia meliputi usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun, usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 71-90 tahun, usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang nomer 13 tahun 1998 Menjelaskan tentang kesejahteraan lanjut usia yang termaktub dalam BAB I pasal 1 ayat 2 yaitu bahwa lanjut usia adalah seseorang yang mencapai umur diatas 60 tahun. Sedangkan menurut Sumiati (2000) Membagi periodesasi biologis perkembangan hidup manusia sebagai berikut: Umur 40-65 tahun : masa setengah umur (prasenium), Umur 65 tahun keatas: masa lanjut usia (senium). Sedangkan menurut Setyonegoro (dalam Nugroho, 2008) Pengelompokan usia lanjut sebagai berikut : Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun, Young age yaitu umur 70-75 tahun, Old yaitu umur 75-80 tahun, Very old yaitu umur lebih dari 80 tahun.1

2.2Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia1,3 a. Perubahan Pada Sistem Gastrointestinal

Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam saluran gastrointestinal (GI) dalam beberapa derajat. Namun, karena luasnya persoalan fisiologis pada sistem gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang berkaitan dengan usia yang dilihat dalam kesehatan lansia. Banyak masalah-masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan gaya hidup mereka.Mitos umum dikaitkan dengan fungsi normal saluran gastrointestinal dan perubahan-perubahan kebutuhan nutrisi lansia. 1) Rongga Mulut

Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah. Kehilangan gigi penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indera pengecap menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari selaput lendir, atropi indera pengecap ( 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit.

2) Esofagus

Esophagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi atau pelebaran seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus. Refleks muntah pada lansia akan melemah, kombinasi dari faktor-faktor ini meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia.

3) Lambung

Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang. Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi peptone terganggu. Karena sekresi asam lambung berkurang rangsang lapar juga berkurang. Kesulitan dalam mencerna makanan adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan penurunan motalitas lambung. Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan sekresi asam hidrogen-klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang dicerna keluar dari lambung dan terus melalui usus halus dan usus besar.4) Usus Halus

Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan sel epithelial berkurang. Di daerah duodenum enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga menurun, sehingga metabolisme karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak sebaik sewaktu muda.

5) Usus Besar dan Rektum

Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltic kolon yang melemah gagal mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan konstipasi. Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan elektrolik meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan keluhan yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen sudah melemah.

6) Pankreas

Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada lansia sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu yang menyumbat ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim pankreas oleh enzim elastase dan fosfolipase-A yang diaktifkan oleh tripsin dan/ atau asam empedu.7) Hati

Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi billirubin dan lain sebagainya. Dengan meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat atrofi sebagian besar sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi hati. Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia terjadi dalam sistem empedu yang juga terjadi pada pasien-pasien yang obesitas.

2.3Konstipasi 2.3.1Definisi Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau kesulitan pergerakan feses, feses kering. Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses.4

Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead, 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.4

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan : 1) konstipasi fungsional, 2) konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.4,5

2.3.2. Epidemiologi

Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi yang berlangsung singkat adalah normal. MenurutNational Health Interview Surveypada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar.6Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 65 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh mendrita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria meneluh menderita konstipasi.62.3.3Manifestasi klinis3,4 a. Mengejan berlebihan saat BAB

b. Massa feses yang keras

c. Perasaan tidak puas saat BAB

d. Sakit pada daerah rektum saat BAB

e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses.

2.3.4 Makanan yang menyebabkan konstipasi Berikut beberapa makanan umum yang dapat menyebabkan konstipasi :7

a. Makanan yang tinggi lemak

Contoh : minyak kacang tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, ayam, daging sapi, mentega, margarin, keju, susu kental manis, tepung susu, dan sebagainya.

b. Makanan yang tinggi gula

Seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan.

2.3.5Makanan yang tidak menyebabkan konstipasi Berikut beberapa makanan yang tidak menyebabkan konstipasi :7

a. buah-buahan segar

Contoh : alvukat, anggur, belimbing, jambu biji, jeruk bali, jeruk sitrun, mangga, melon, nanas, pepaya, pisang, semangka, sirsat, srikaya, dan sebagainya.

b. Sayuran

Contoh : bayam, kangkung, daun pepaya, daun singkong, sawi hijau, kubis, kacang panjang, buncis, dan sebagainya.

c. Makanan tinggi serat

Contoh : tepung maizena, beras ketan, ubi merah, ubi putih, oncom merah, oncom putih, kacang hijau, kacang tanah, dan sebagainya.

d. makanan yang menyediakan asam lemak Omega-3 Terdapat dalam daun-daunan, beberapa minyak biji-bijian, termasuk minyak kacang kedelai, minyak biji rami, minyak biji rape, minyak ikan, ikan, kecambah, gandum.

2.3.6Proses Pembentukan Feses Setiap harinya, sekitar 750 cc chime masuk ke kolon dari ileum. Di kolon, chime tersebut mengalami proses absorpsi air, natrium, dan kloride. Absorbsi ini dibantu dengan adanya gerakan peristaltic usus. Dari 750 cc chime tersebut, sekitar 150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chime yang tidak direabsorbsi menjadi bentuk semisolid yang disebut feses.5

Selain itu, dalam saluran cerna banyak terdapat bakteri. Bakteri tersebut mengadakan fermentasi zat makanan yang tidak dicerna. Proses fermentasi akan menghasilkan gas yang dikeluarkan melalui anus setiap harinya, yang kita kenal dengan istilah flatus. Misalnya, karbohidrat saat difermentasi akan menjadi hydrogen, karbondioksida, dan gas metan. Apabila terjadi gangguan pencernaan karbohidrat, maka akan ada banyak gas yang terbentuk saat fermentasi. Akibatnya, seseorang akan merasa kembung. Protein, setelah mengalami proses fermentasi oleh bakteri, akan menghasilkan asam amino, indole, statole, dan hydrogen sulphide. Oleh karenanya, apabila terjadi gangguan pencernaan protein maka flatus dan fesesnya menjadi sangat bau.52.3.7Akibat Konstipasi Menurut Darmojo & Martono (2006) akibat-akibat konstipasi antara lain:1

a. Impaksi feses

Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.

b. Volvulus daerah sigmoid

Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.

c. Haemorrhoid Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi sehingga ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid.

d. Kanker kolon

Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang keras akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki waktu yang cukup lama untuk memproduksi karsinogen dan karsinogen yang diproduksi menjadi lebih konsentrat. e. Penyakit divertikularMengedan berlebihan (peningkatan tekanan intraabdominal) pada penderita konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantung-kantung pada dinding kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisa-sisa makanan. Kantung-kantung ini dapat meradang dan disebut dengan divertikulitis.2.4Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konstipasi pada Lansia1 Menurut Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000), kejadian konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu :

1) Asupan serat

a. Pengertian

Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan.

b. Ragam Serat makanan

Menurut Wirakusumah, ada dua istilah yang sering digunakan dalam kaitannya dengan serat yaitu :

1) Dietary fiber (serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap dalam kolon setelah pencernaan, baik serat larut air maupun serat tidak larut air.

2) Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut dalam air, misalnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, gel dan mucilages.

c. Klasifikasi Serat

Klasifikasi serat menurut karakteristik kelarutan dalam air, yaitu :

1) Serat larut air (Soluble fibre) Serat larut air adalah serat yang larut dalam air kemudian membentuk gel dalam saluran pencernaan dengan cara menyerap air. Soluble fiber meliputi pectin, gum, mucilage, dan beberapa hemicelluloses. Bentuk lain soluble fiber/serat larut ditemukan pada gandum, padi dan polong. Pengaruh serat larut dalam saluran cerna berhubungan dengan kemampuan mereka untuk menahan air dan membentuk gumpalan/gel.

2) Serat tidak larut air (Insoluble fibre ) Serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam air dan juga dalam sistem pencernaan, tetapi memiliki kemampuan. menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja. Insoluble fiber terutama terdiri dari cellulose dan hemicelluloses. Sumber utama serat ini berada dalam padi, sereal dan biji-bijian. d. Sumber Serat

Sumber makanan yang tinggi serat antara lain:

1) sayur-sayuran : daun bawang, bawang prei, kecipir muda, kangkung, tauge, tomat, lobak, kembag kol, daun kelor, brokoli, buncis, kentang, kol, wortel, timun, daun singkong, daun kemangi, dan lain-lain.

2) buah-buahan : jambu biji, belimbing, anggur, kedondong,.

3) sereal : oat, gandum, rye, jagung, beras, dan beras merah.

4) biji-bijian : sunflower seed dan sesame seed.

5) kacang-kacangan : kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang bogor.

e. Anjuran konsumsi Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2.000 kalori untuk orang dewasa, paling sedikit 1.000-2.000 kalori harus berasal dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20 gram-35 gram per hari dan cukup untuk pemeliharaan tanpa efek negatif terhadap kesehatan.

f. Cara menghitung serat

Asupan serat diperoleh dari data konsumsi makanan yang dikumpulkan dengan metode food recall selama 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini responden menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut.Langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam adalah sebagai berikut:

1) Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Kemudian petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam menaksir/memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) menggunakan berbagai alat bantu seperti contoh ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok, dan lain-lain).

2) Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

3) Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia.

g. Keuntungan Serat

Keuntungan-keuntungan serat antara lain:

1) berfungsi untuk mengontrol berat badan.

2) mencegah/meringankan risiko konstipasi, Irritable Bowel Syndrome, penyakit divertikular, dan haemorrhoid.

3) mencegah kanker kolon.

4) menurunkan kadar Low Density Lipoprotein dan kolesterol.

5) memperlambat absorbsi glukosa (berguna untuk meregulasi kadar gula darah).

h. Asupan serat dan konstipasi

Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak dapat dicerna dan tak larut air panas) menghasilkan kotoran yang lembek. Insoluble fibre bersifat menahan air pada fragmen serat sehingga menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair. Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat waktu transit kolon, peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan tekanan di dalam kolon.

2) Intake cairan

Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara fisiologis, yang memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh, hampir 90% dari total berat badan tubuh. Sementara itu, sisanya merupakan bagian padat dari tubuh. Secara keseluruhan, kategori persentase cairan tubuh berdasarkan umur adalah bayi baru lahir 75% dari total berat badan, pria dewasa 57% dari total berat badan, wanita dewasa 55% dari total berat badan, dan dewasa tua 45% dari total berat badan. Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung pada faktor usia, lemak dalam tubuh dan jenis kelamin.

Di samping sumber air yang nyata berupa air dan minuman lain, hampir semua makanan mengandung air. Sebagian besar buah dan sayuran mengandung sampai 95% air, sedangkan daging, ayam, dan ikan sampai 70-80%. Air juga dihasilkan di dalam tubuh sebagai hasil metabolisme energi. Ketidakseimbangan air dapat berakibat buruk bagi kesehatan, seperti konstipasi dan dehidrasi. Konsumsi air diatur oleh rasa haus dan kenyang. Hal ini terjadi melalui perubahan yang dirasakan oleh mulut, hipotalamus (pusat otak yang mengontrol pemeliharaan keseimbangan air dan suhu tubuh) dan perut. Bila konsentrasi bahan-bahan di dalam darah terlalu tinggi, maka bahan-bahan ini akan menarik air dari kelenjar ludah. Mulut menjadi kering, dan timbul keinginan untuk minum guna membasahi mulut. Bila hipotalamus mengetahui bahwa konsentrasi darah terlalu tinggi, maka timbul rangangan untuk minum. Pengaturan minum dilakukan pula oleh saraf lambung.

Pada lansia, proses penuaan normal dapat mempengaruhi keseimbangan cairan. Perubahan fisiologi yang terjadi antara lain respons haus sering menjadi tumpul, nefron (unit fungsional ginjal) menjadi kurang mampu menahan air, penurunan TBW (total body water) yang berhubungan dengan FFM (Fat Free Mass). Perubahan normal karena penuaan ini meningkatkan resiko dehidrasi.Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun keatas menurut AKG, tahun 2004 adalah 1,5-2 liter/hari.

Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal. Kolon menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air, semakin besar usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus. Proses ini memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya dapat diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon. Dampaknya tinja menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras.2.5PengobatanApabila obat-obatan atau kondisi medis yang menjadi penyebab konstipasi, maka menghentikan pengobatan yang berefek samping terhadap konstipasi atau mengobati kondisi medis yang mendasari dapat meringankan konstipasi. Namun, kondisi tertentu memerlukan penggunaan obat meskipun menimbulkan efek samping. Meskipun terapi opioid hampir selalu menyebabkan beberapa derajat konstipasi, opioid sendiri menginduksi konstipasi untuk derajat yang berbeda. Suatu penelitian16 menemukan bahwa fentanyl (Duragesic) kurang cenderung menyebabkan konstipasi daripada morfin oral. Dalam kebanyakan kasus, pencahar profilaksis harus dipertimbangkan ketika meresepkan terapi opioid kronis karena toleransi terhadap efek konstipasi opioid tidak berkembang dari waktu ke waktu.3,8Bila tidak ada penyebab sekunder dari konstipasi yang teridentifikasi, pengobatan empiris harus dilakukan secara awal untuk konstipasi fungsional. Manajemen harus dimulai dengan metode nonfarmakologis untuk meningkatkan keteraturan usus dan harus melanjutkan dengan penggunaan obat pencahar jika metode nonfarmakologis tidak berhasil. Jika konstipasi yang refrakter terhadap pengobatan, pasien harus dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik lebih lanjut. Ini mungkin termasuk pengukuran waktu transit kolon, anorektal manometry, defecography, atau tes ekspulsi balon untuk menilai transit usus dan fungsi anorektal. Dalam kasus yang jarang terjadi, terapi biofeedback atau mungkin dianjurkan untuk dilakukan operasi.3,92.5.1Pengobatan Non Farmakologis

Sebuah buku harian tinja mungkin berguna bagi beberapa pasien untuk mencatat sifat keluhan dalam hal frekuensi tinja, konsistensi, ukuran, dan tingkat ketegangan. Banyak pasien salah percaya bahwa mereka harus buang air besar setiap hari, konseling tentang perubahan gaya hidup yang sederhana dapat meningkatkan persepsi mereka tentang keteraturan usus. Yang paling penting, pasien harus dididik tentang mengenali dan menanggapi dorongan untuk buang air besar.3,6Bowel TrainingRasa ingin buang air besar merupakan sebagian reflex yang dapat dikondisikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan pasien dengan pola pengosongan usus yang teratur pada perut mereka kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Waktu optimal untuk memiliki gerakan usus biasanya segera setelah bangun tidur dan setelah makan, pada aktivitas kolon terbesar. Pasien harus didorong untuk mencoba buang air besar pertama di pagi hari, ketika usus lebih aktif, dan 30 menit setelah makan, untuk mengambil keuntungan dari refleks gastrokolik.3Diet Asupan SeratAsupan serat yang tidak memadai adalah alasan umum untuk terjadinya konstipasi pada masyarakat Barat. Penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan asupan makanan berserat menyebabkan penurunan waktu transit kolon dan tinja yang lunak. Sebuah buku harian makanan dapat membantu untuk menilai kecukupan jumlah serat yang dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat Amerika yang paling sehat mengkonsumsi 5 sampai 10 gram serat perhari. Asupan serat harian yang direkomendasikan adalah 20 sampai 35 gram perhari. Jika asupan serat secara substansial kurang dari ini, pasien harus didorong untuk meningkatkan asupan makanan kaya serat seperti sereal, buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan. Jus prune umumnya digunakan untuk meringankan konstipasi. Rekomendasi adalah untuk meningkatkan serat dengan 5 g per hari setiap minggu sampai mencapai intak harian yang direkomendasikan. Menambahkan serat untuk diet terlalu cepat dapat menyebabkan gas dan kembung berlebihan.3Asupan Cairan

Hidrasi yang memadai dianggap penting dalam mempertahankan motilitas usus. Namun, meskipun keyakinan bahwa kurangnya cairan meningkatkan risiko konstipasi, beberapa studi telah menyatakan bahwa hidrasi dikaitkan dengan kejadian konstipasi. Penurunan asupan cairan mungkin berperan dalam menurunnya impaksi feses.3Latihan Secara Reguler

Survey Evaluasi Kesehatan dan Gizi Nasional menemukan bahwa tingkat aktivitas fisik yang rendah dikaitkan terhadap peningkatan resiko konstipasi dua kali lipat. Study epidemiologi lain menunjukkan bahwa pasien yang menetap lebih mungkin untuk mengeluh konstipasi. Bedrest berkepanjangan dan imobilitas sering dikaitkan dengan konstipasi. Walaupun mungkin pasien harus didorong untuk menjadi aktif secara fisik, tidak ada bukti yang konsisten bahwa olahraga teratur mengurangi konstipasi. Namun, Penelitian Kohort Kesehatan Keperawatan, yang diikuti oleh 62.036 wanita, menemukan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan sebanyak 2-6 kali per minggu dikaitkan dengan penurunan risiko konstipasi yang lebih rendah yaitu sejumlah 35 persen.3.92.5.2Pengobatan Farmakologis.

Sebuah tinjauan sistematis menemukan bahwa peningkatan asupan serat dan penggunaan obat pencahar meningkatkan frekuensi buang air besar dibandingkan dengan plasebo pada orang dewasa. Namun, data mengenai keunggulan perawatan individu tidak meyakinkan karena sejumlah studi, ukuran sampel yang kecil, atau metodologi penelitian tersebut. Juga terbatasnya data tentang manfaat jangka panjang dan risiko sediaan obat pencahar dan serat. Formulasi, dosis, dan biaya obat pencahar yang biasa digunakan, pelunak feses, dan agen prokinetik. Tidak ada pedoman berbasis bukti pada urutan penggunaan berbagai jenis obat pencahar yang disukai, namun AGA telah mengembangkan algoritma pengobatan untuk pasien dengan fungsional, konstipasi transit yang normal (Skema 1).3,10

Skema 1. Konstipasi Normal.4Obat pencahar

Pencahar yang dijual kepada massal mungkin berisi larutan (psyllium, pektin, atau guar) atau produk selulosa (tidak larut). Mereka hidrofilik, menyerap air dari lumen usus untuk meningkatkan massa feses dan melunakkan konsistensi tinja, dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien. Pasien dengan konstipasi fungsional dengan kemampuan pengangkutan yang normal memperoleh keuntungan dari pengobatan dengan obat pencahar massal. Namun, pasien konstipasi dengan angkutan yang lambat atau disfungsi anorektal mungkin tidak terbantu dengan agen pencahar. Suatu tinjauan sistematis menemukan bahwa obat pencahar massal memperbaiki gejala konstipasi seperti konsistensi tinja dan sakit perut. Seperti dengan peningkatan asupan makanan kaya serat, kembung dan produksi gas yang berlebihan dapat menjadi komplikasi dari obat pencahar massal.10Obat pencahar emolien

Pencahar emolien atau pelunak feses, (misalnya, docusates), bertindak dengan menurunkan tegangan permukaan, memungkinkan air untuk memasuki usus lebih mudah. Mereka umumnya dapat ditoleransi dengan baik, tetapi tidak seefektif psyllium dalam pengobatan konstipasi. Sebuah penelitian membandingkan pelunak feses dengan psyllium menemukan bahwa psyllium lebih efektif dalam mengurangi konstipasi. Pelunak feses tidak efektif pada geriatri dengan penyakit kronis. Bangku pelembut mungkin lebih berguna untuk pasien dengan celah anal atau wasir yang menyebabkan buang air besar yang menyakitkan. Minyak mineral tidak dianjurkan karena potensi untuk menguras vitamin yang larut dalam lemak dan risiko aspirasi.10Obat pencahar osmotik

Larutan salin atau obat pencahar osmotik adalah agen hiperosmolar yang menyebabkan sekresi air ke dalam lumen usus oleh aktivitas osmotik. Yang paling umum digunakan obat pencahar osmotik adalah magnesium hidroksida (Milk of Magnesia), magnesium sitrat, dan natrium bifosfat (Phospho-Soda). Secara umum, agen ini dianggap relatif aman karena mereka bekerja dalam lumen usus dan tidak memiliki efek sistemik. Namun, mereka telah dikaitkan dengan ketidakseimbangan elektrolit dalam lumen usus dan dapat memicu hipokalemia, cairan dan garam yang berlebihan, dan diare. Oleh karena itu, obat-obatan ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gagal jantung kongestif dan insufisiensi ginjal kronis. Penggunaan kronis dari magnesium yang mengandung pencahar dapat menyebabkan hypermagnesemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal kronis.10Pencahar hiperosmotik alternatif sorbitol, laktulosa, dan polietilen glikol (PEG) 3350. Sorbitol dan laktulosa adalah agen yang tidak dapat dicerna yang dimetabolisme oleh bakteri menjadi hidrogen dan asam organik. Penyerapan yang buruk dari agen ini dapat menyebabkan perut kembung dan distensi abdomen. Dalam percobaan multicenter dari 164 pasien, ditemukan bahwa laktulosa menjadi lebih efektif dalam memproduksi tinja normal dalam tujuh hari dibandingkan dengan obat pencahar yang mengandung senna, turunan antrakuinon, atau bisacodyl (Dulcolax). Dalam percobaan multicenter, plasebo-terkontrol dari 150 pasien, ditemukan PEG 3350 menjadi agen yang efektif untuk melembutkan tinja dan meningkatkan frekuensi buang air. Dalam studi perbandingan pada 99 pasien dengan konstipasi kronis, PEG 3350 ditemukan lebih efektif dan menyebabkan perut kembung kurang dari laktulosa.

Stimulan laksatif

Pencahar Stimulan termasuk produk yang mengandung senna dan bisacodyl. Pencahar ini meningkatkan motilitas usus dan sekresi air ke usus. Mereka umumnya menghasilkan buang air besar dalam beberapa jam, tetapi dapat menyebabkan kram perut karena peningkatan peristaltik. Pencahar Stimulan tidak boleh digunakan pada pasien dengan dugaan obstruksi usus. Penggunaan stimulan laksatif yang mengandung antrakuinon dapat menyebabkan pigmentasi coklat-hitam pada mukosa kolon yang dikenal sebagai melanosis coli. Kondisi ini jinak dan dapat diatasi ketika pencahar stimulan tidak dilanjutkan. inersia kolon terlihat pada beberapa pengguna kronis obat pencahar stimulan, tetapi tidak jelas apakah ini terkait dengan lama penggunaan mereka. Dalam percobaan dari 77 penghuni panti jompo, kombinasi senna dan pencahar massal ditunjukkan lebih efektif daripada laktulosa dalam meningkatkan frekuensi dan konsistensi buang air dan juga dengan biaya lebih rendah.10AGEN ProkinetikSejumlah agen prokinetik telah dipelajari untuk pengobatan konstipasi. Yang paling sukses adalah colchicine dan misoprostol (Cytotec). Kedua agen ini mempercepat waktu transit kolon dan meningkatkan frekuensi buang air pada pasien dengan konstipasi, meskipun tidak disetujui oleh Food and Drug Administration untuk indikasi ini. Sebuah studi pada 12 pasien dengan tantangan pembangunan yang diperlukan tiga atau lebih obat pencahar untuk mengelola konstipasi kronis mereka menemukan bahwa colchicine meningkatkan jumlah buang air besar dan menurunkan penggunaan jumlah obat pencahar dubur. Dalam studi lebih baru dari 16 wanita dengan konstipasi kronis yang menerima colchicine, jumlah buang air besar meningkat secara signifikan dan efek samping awal sakit perut berkurang dengan pengobatan lanjutan. Percobaan yang lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasi kemanjuran dan keamanan penggunaan jangka panjang colchicine untuk pengobatan konstipasi kronis.10Pada wanita dengan sindrom iritasi usus ditandai dengan konstipasi, tegaserod (Zelnorm) adalah agen prokinetik kolon yang meningkatkan frekuensi dan konsistensi tinja. Suatu tinjauan sistematis terbaru dievaluasi delapan jangka pendek, studi plasebo-terkontrol yang dilakukan terutama pada wanita dan menemukan bahwa meskipun tegaserod meningkatkan jumlah buang air besar, itu tidak secara signifikan meningkatkan gejala pasien sakit perut dan ketidaknyamanan. Pasien pada dosis tinggi tegaserod (12 mg) rentan terserang diarrhea.10Biofeedback

Biofeedback, atau pelatihan ulang dasar panggul, adalah pengobatan andalan untuk pasien dengan disfungsi anorektal. Biofeedback digunakan untuk menekankan koordinasi normal dan fungsi dari anal-sfingter dan otot dasar panggul. Biofeedback dapat dilakukan dengan anorectal elektromiografi atau kateter manometri. Pasien menerima umpan balik visual dan pendengaran dengan mensimulasikan evakuasi dengan balon atau silikon-yang diisi tinja buatan. Suatu studi tinjauan sistematis biofeedback mengungkapkan tingkat keberhasilan keseluruhan dari 67 persen.8Operasi

Hanya pasien yang telah dievaluasi oleh pengujian fisiologis dan terbukti memiliki kemampuan pengankutan kolon konstipasi bermanfaat untuk dioperasi. Sebuah kolektomi subtotal dengan ileorectostomy adalah prosedur pilihan untuk pasien dengan konstipasi angkutan lambat yang persisten dan intractable. Komplikasi setelah operasi dapat mencakup obstruksi usus kecil, konstipasi berulang atau persisten, diare, dan incontinence. Pada umumnya operasi tidak dianjurkan untuk konstipasi yang disebabkan oleh disfungsi anorektal. Hubungan antara rektokel dan konstipasi tidak sepenuhnya jelas. Koreksi bedah dicadangkan untuk pasien dengan rectoceles besar yang mengubah fungsi usus.3,9BAB IIIPENUTUP

3.1KESIMPULAN

Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 65 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh mendrita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria meneluh menderita konstipasi.

Konstipasi yang terjadi pada lansia berbeda dengan konstipasi pada usia muda, sebagian besar problem konstipasi pada lansia berhubungan dengan penurunan otalitas kolon terbatas ke anorekturo, yaitu berupa kegagalan relaksasi otot-otot didasar pinggul selama proses defekasi.

Apabila obat-obatan atau kondisi medis yang menjadi penyebab konstipasi, maka menghentikan pengobatan yang berefek samping terhadap konstipasi atau mengobati kondisi medis yang mendasari dapat meringankan konstipasi.

Bila tidak ada penyebab sekunder dari konstipasi yang teridentifikasi, pengobatan empiris harus dilakukan secara awal untuk konstipasi fungsional. Manajemen harus dimulai dengan metode nonfarmakologis untuk meningkatkan keteraturan usus dan harus melanjutkan dengan penggunaan obat pencahar jika metode nonfarmakologis tidak berhasil. Jika konstipasi yang refrakter terhadap pengobatan, pasien harus dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik lebih lanjut.DAFTAR PUSTAKA1. Darmojo, Boedhi & Martono, Hadi. 2006.Buku Ajar Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia.

2. Noedhi, Darmojo. 2009.Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia).Jakarta: Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.4. Hsieh C. Treatment of Constipation in Older Adults. Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania Am Fam Physician.2005Dec1;72(11):2277-2284. 5. Foster DW. Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

6. Stewart WF, Liberman JN, Sandler RS, Woods MS, Stemhagen A, Chee E, et al. Epidemiology of constipation (EPOC) study in the United States: relation of clinical subtypes to sociodemographic features.Am J Gastroenterol. 1999;94:353040.7. Rao SS. Constipation: evaluation and treatment.Gastroenterol Clin North Am. 2003;32:65983.8. Locke GR III, Pemberton JH, Phillips SF. American Gastroenterological Association Medical Position Statement: guidelines on constipation.Gastroenterology. 2000;119:17616.9. Abstracts of the 66th annual scientific meeting of the American College of Gastroenterology. October 2224, 2001; Las Vegas, Nev. Am J Gastroenterol 2001;96:(9 suppl):S1376.10. Radbruch L, Sabatowski R, Loick G, Kulbe C, Kasper M, Grond S, et al. Constipation and the use of laxatives: a comparison between transdermal fentanyl and oral morphine.Palliat Med. 2000;14:1119.

22